artikel - Portal Garuda

advertisement
daerah sudah menunjukkan adanya resistensi
terhadap beberapa kelompok insektisida.
Pelaksanaan program P2 DBD perlu ditingkatkan
dengan mengutamakan keterpaduan dan integrasi
program pada pengendalian penyakit berbasis
vektor dan lingkungan serta meningkatkan
keterlibatan lintas sektor dan lintas program.
SARAN
Untuk mengantisipasi resistensi serangga
vektor terhadap insektisida diperlukan suatu strategi
dengan cara melakukan rotasi atau pergiliran
penggunaan insektisida, serta melaksanakan
mapping vektor DBD. Peran lintas sektor dan lintas
program perlu ditingkatkan dalam mendukung
program P2 DBD sehingga pelaksanaannya dapat
lebih optimal. Peningkatan peran serta masyarakat
melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) mengingat telah adanya resistensi pada
beberapa jenis insektisida.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada seluruh
Kepala Dinkes Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
dan seluruh pengelola program P2 DBD di Sumatera
Utara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Endy TP, Chunsuttiwat S, Nisalak A, Libraty
DH, Green S, Rothman AL, et al. Epidemiology
of inapparent and symptomatic acute dengue
virus infection: a prospective study of primary
school children in Kamphaeng Phet, Thailand.
American Journal of Epidemiology. 2002: 156
(1): 40-51.
2. Freitas MGR, Tsouris P, Sibajev A, Weimann
ETS, Marques AU, Ferreira RL, et al. Explatory
temporal and spatial distribution analysis of
dengue notifications in Boa Vista, Roraima,
Brazilian Amazon, 1999-2001. Dengue Buletin.
2003: 27: 63-80.
3. Chinnock P. (2008) Alternate hypothesis on the
pathogenesis of dengue hemorrhagic fever
(DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue
virus infection. [diakses tanggal 22 Augustus
2 0 1 0 ] . A v a i l a b l e f r o m :
http://www.tropika.net/svc/review/Chinnock20
080710ReviewDHF.
4. Lloyd LS. Best practices for dengue prevention
and control in the Americas. Environmental
health project. Office of Health, Infectious
6 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 1-6
Diseases and Nutrition Bureau for Global
Health.
US Agency for International
Development, Washington DC; 2003.
5. Supartha IW. Pengendalian terpadu vektor virus
demam berdarah dengue, Aedes aegypti (Linn.)
dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera:
Culicidae). Makalah dipresentasikan dalam
pertemuan ilmiah 3-6 September 2008,
Denpasar.
6. Dinkes Prov. Sumut. Laporan Tahunan 2011
pengendalian & pemberantasan demam
berdarah dengue (P2DBD), P2 malaria, P2
rabies, P2 filariasis, dan P2 kecacingan, Medan.
7. Dinkes Prov. Sumut. Laporan Tahunan 2012
pengendalian & pemberantasan demam
berdarah dengue (P2DBD), P2 malaria, P2
rabies, P2 filariasis, dan P2 kecacingan. Medan.
8. Depkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003
tentang pedoman penyelenggaraan sistem
surveilans epidemiologi kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2003.
9. Depkes. Pencegahan dan pemberantasan demam
berdarah dengue di Indonesia. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
10. Gubler DJ. The global threat of emergent/reemergent vector-borne diseases. In: Atkinson,
P.W. ed. Vector Biology, Ecology and Control.
2010. New York : Springer, pp. 39-62.
11. B2P2VRP. Laporan akhir penelitian 2011. Peta
resistensi vektor demam berdarah dengue Aedes
aegypti terhadap insektisida kelompok
organofosfat, karbamat, dan pyrethroid secara
konvensional dan molekuler di Indonesia,
Salatiga.
12. Hemingway J, Field L, Vontas J. An overview of
insecticide resistance. Science. 2002; 298:96-97
13. Teutsch SM, Churchill RE. Principles and
practice of public health surveillance. New York:
Oxford University Press; 2000.
14. WHO. Management of dengue epidemic,
information, education and communication
(IEC) activities. [Diakses tanggal 1 April 2013].
A v a i l a b l e
f r o m :
http://209.61.208.233/en/Section10/Section332
/Section377_2325.htm
ARTIKEL
ARTIKEL
TOXOPLASMOSIS DALAM KEHAMILAN
Sri Wahyuni*
Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Kebidanan
JL. Letjend Sutoyo, Mojosongo, Surakarta
Email: [email protected]
Accepted: 18 Februari 2013, Reviewed: 25 April 2013, Published: 31 Mei 2013
ABSTRAK. Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke
manusia yang disebabkan sporozoa dengan nama Toxoplasma gondii, yang dapat menginfeksi hewan peliharaan
dan manusia. Infeksi pada manusia terutama pada wanita hamil sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis
yang jelas. Sementara akibat yang bisa ditimbulkan bisa fatal bila mengenai ibu hamil terutama pada trimester
ketiga kehamilan diantaranya adalah hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Toksoplasmosis adalah
sebuah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, yang dapat diperoleh dari makanan yang tidak
dimasak, daging yang terinfeksi atau tanah faces kucing yang dapat menginfeksi ibu hamil. Proses menginfeksi
pada manusia dapat terkena infeksi parasit ini dengan melalui dua cara yaitu didapat (Aquiredtoxoplasmosis)
maupun diperoleh semenjak dalam kandungan (Congenital toxoplasmosis). Dampak toxoplasmosis kongenital
sangat beragm diantaranya adalah Chorioretinitis, Hydrocephalus, Intracranial calcificatio. Pemeriksaan
laboratorium mutlak diperlukan karena gejala klinik bagi yang terinfeksi tidaklah spesifik. Pemeriksaan yang
lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma.pencegahan perlu
dilakukan baik pencegahan primer maupun sekunder. Pengobatan dengan menggunakan Spiramycine cukup
efektif untuk penderita toxoplasmosis. Infeksi toxoplasmosis bisa dicegah dengan menghindari semua faktor
yang bisa menularkan sporozoa Toxoplasma gondii seperti menghindari makan makanan yang tidak dimasak
terutama daging yang belum sempurna matangnya, menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi
Toxoplasma gondii. Penanganan pada kehamilan dengan toxoplasmosis perlu dilakuan termasuk mengakhiri
kehamilan dan pemberian antibiotik terhadap janin yang dikandung berdasarkan diskusi tenaga medis dengan
pasien dan suaminya.
Kata kunci: Toksoplasmosis, kehamilan
ABSTRACT. Toxoplasmosis is one zoonosis caused by toxoplasmosis gondii that can infected pets and human.
Infection in woman pregnant, frequently asymptomatic. While impact at this disease woman pregnant for her
pregnancy, specially at third trimester pregnant were hidrocephalus, chorioretinitis, deaf or epilepsi.
Toxoplasmosis is a disease caused by toxoplasma gondii, transmitted to human by eating food under cooked,
infected meat or handling soil or cat feces that contain the parasite. The route of infection in to human by aquired
or congenital variation impact of congenital toxoplasmosis were chorioretinitis, hydrocephalus, intracranial
calcificatio. Laboratorys tests are very important of clinical sign is asymtomatic. Test that commonly usedmore
anti toxoplasma Ig G, Ig M, Ig A and Aviditas Anti Toxoplasma. Primmary and secondary prevention is important.
Treatment to toxoplasmosis with spiramycine is effective. Toxoplasmosis infection prevention could be done by
avoid risk factor of toxoplasmosis ie not eating raw specially undercooked meat, not contact with animal's
infected. Toxoplasmosis treatment in pregnancy is needed include abortion and antibiotic support to infant could
be done according to discussion from doctor, patients and her husband.
Key words: Toxoplasmosis, pregnancy
PENDAHULUAN
Toxoplasmosis merupakan penyakit
zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat
ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma
gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak
menginfeksi
manusia dan hewan peliharaan.
Toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau
anjing tetapi penyakit ini juga dapat menyerang
hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan
peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada
hewan-hewan yang disebutkan di atas penyakit
toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada
kucing dan anjing.1,2,3 Sebagai contoh adalah survei
yang telah diadakan di Amerika Serikat. Data positif
didasarkan kepada penemuan serodiagnostik dari
beberapa hewan peliharaan dapat dilihat pada Tabel
I.
27
Tabel 1. Data positif didasarkan penemuan
serodiagnostik1
No
Hewan yang terinfeksi
Persentase (%)
1
Anjing
59
2
Kucing
34
3
Babi
30
4
Sapi
47
5
Kambing
48
Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak
hanya terjadi pada orang yang memelihara kucing
atau anjing, karena pada manusia toxoplasmosis ini
sering melalui saluran pencernaan, biasanya melalui
perantara makanan atau minuman yang
terkontaminasi agen penyebab penyakit
toxoplasmosis ini, misalnya karena minum susu sapi
segar atau makan daging yang belum sempurna
matangnya dari hewan yang terinfeksi dengan
penyakit toxoplasmosis. Penyakit ini juga sering
terjadi pada sejenis ras kucing yang berbulu lebat
dan warnanya indah yang bisanya disebut dengan
mink, pada kucing ras mink penyakit toxoplasmosis
sering terjadi karena makanan yang diberikan
biasanya dari daging segar (mentah) dan sisa-sisa
daging dari rumah potong hewan.1,4,5,6
Infeksi Toxoplasma sangat berbahaya bila
terjadi pada manusia terutama pada ibu hamil atau
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh
terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien
transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan
respon imun). Infeksi parasit toxoplasmosis ini pada
ibu hamil seakan-akan tanpa menimbulkan gejala
yang nyata atau tidak berpengaruh terhadap ibu
sendiri, tetapi mempunyai dampak yang serius
terhadap janin yang dikandungnya, dapat terjadi
keguguran atau seandainya berhasil lahir
kemungkinan anak menjadi cacat fisik maupun
mental di kemudian hari, dan biasanya akan tetap
disandang untuk selamanya. Cacat kongenital ini
dapat melanda semua jaringan organ tubuh termasuk
organ sistem syaraf pusat dan perifer yang
mengendalikan fungsi-fungsi gerak, penglihatan,
pendengaran, sistem kardiovaskuler serta
metabolisme tubuh 7,8,9,10,11.
Dewasa ini setelah siklus hidup Toxoplasma
ditemukan maka usaha pencegahannya diharapkan
lebih mudah dilakukan. Saat ini diagnosis
toxoplasmosis lebih mudah karena adanya antibodi
IgM atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan
dengan penegakan diagnosis maka pengobatan
28 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 27-32
penyakit ini menjadi lebih mudah, sehingga
penderita toxoplasmosis dapat sembuh sempurna.
Insidensi keguguran, cacat kongenital, dan lahir
mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat
dicegah sedini mungkin. Kecacatan pada anak dapat
dihindari dan menciptakan sumber daya manusia
yang lebih berkualitas 1,12,13,14,15. Berdasarkan hal
tersebut diatas maka perlu diupayakan pencegahan
dan penanganan pada penderita toxoplasmosis
terutama pada wanita hamil.
METODE
Bahan penulisan artikel ini adalah literatur
dan cara yang digunakan dalam penulisan ini adalah
studi literatur dari berbagai sumber yang
berhubungan dengan toxoplasmosis dalam
kehamilan baik berupa textbook maupun artikel atau
jurnal ilmiah.
PEMBAHASAN
Sejarah
Toksoplasma mulai dikenal sejak tahun
1908 ketika Charles Nocholledan Louis Manceaux
menemukan parasit ini dalam sel mononukleus
limpa dan hati binatang mengerat Ctenodactilus
gondii yang hidup di Afrika Utara.
Astellani
dari
A
N
O
Ceylon melaporkan adanya toksoplasmosis pada
manusia. Janku adalah seorang ahli mata yang
pertama kali melaporkan adanya toksoplasmosis
disertai hidrochephalus kongenital dan
mikrosephalus dengan koloboma di makula.
Penemuan pemeriksaan serologi pertama kali
16
diselidiki oleh Sabin dan Feldman.
Pengertian
Toxoplasmosis merupakan penyakit infeksi
yang dapat menyerang binatang dan manusia yang
d i s e b a b k a n o l e h p a r a s i t To x o p l a s m a
gondii.17,18,19,20,21,22 Tersebar luas di berbagai kabupaten
di Pulau Jawa, dan bersifat zoonosis. Kucing sebagai
inang definitif, sedangkan inang perantaranya
20,21,23
adalah kambing, domba dan manusia.
Pengertian lain bahwa toksoplasmosis adalah
sebuah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii, yang dapat diperoleh dari makanan yang
tidak dimasak, daging yang terinfeksi atau tanah
feses kucing yang mengandung parasit tersebut. 2,3,4
Epidemiologi
Infeksi Toxoplasma ada dimana-mana, pada
binatng dan merupakan salah satu infeksi laten
P
H
E
KLB dilakukan untuk melakukan
penanggulangan dan pengendalian agar KLB
tidak meluas dan mencegah kejadian serupa di
masa yang akan datang.12,13,14
Perlu diwaspadai penyebaran DBD pada
wilayah baru yang sebelumnya tidak ada laporan
DBD, wilayah sporadic meningkat menjadi
wilayah endemis DBD (gambar 2).
Spektrum kelompok umur yang terserang
semakin meluas yakni di seluruh kelompok umur
hingga upaya pengendalian DBD semakin sulit
dan membutuhkan biaya yang semakin mahal.
Kelompok umur kasus DBD yang paling tinggi
adalah 15-44 tahun yang mana pada kelompok
ini merupakan kelompok usia anak sekolah dan
usia produktif serta memiliki mobilitas yang
tinggi sehingga perlu keterlibatan lintas sektor
untuk menanggulanginya. Beberapa laporan
kasus DBD diketahui bahwa kasus terinfeksi di
lingkungan sekolah, lingkungan tempat kerja
dan juga tempat-tempat umum lainnya.
Sekolah pada beberapa kabupaten/kota
telah mengadakan program juru pemantau jentik
(jumantik) anak sekolah yang bertujuan untuk
melakukan pemantauan jentik nyamuk Aedes
aegypti di lingkungan sekolah yang bertujuan
untuk mengurangi transmisi virus Dengue di
sekolah dengan cara mengurangi kepadatan
nyamuk dewasa, memberantas habitat
perkembangbiakan nyamuk, tempat/wadah yang
terdapat jentik nyamuk untuk mengantisipasi
berjangkitnya DBD di lingkungan sekolah.14
5. Kemitraan/Jejaring Kerja Multi Disiplin dan
Sektoral
Pelaksanaan P2 DBD di Sumatera Utara
telah melakukan kemitraan/jejaring kerja secara
multi disiplin dan sektoral diantaranya dengan
mengadakan pertemuan lintas program dan
sektor dalam pengendalian DBD pada beberapa
kabupaten/kota yang menunjukkan peningkatan
jumlah kasus DBD, daerah baru yang
sebelumnya tidak terdapat kasus DBD dan
daerah-daerah yang potensial terjadinya kasus
DBD. Melalui pertemuan tersebut diharapkan
lintas program (multi disiplin) dan lintas sektor
yang tugas pokoknya memiliki keterkaitan
dengan pencegahan DBD dapat berperan serta
untuk menggerakkan masyarakat melalui tugas
rutin mereka dalam upaya pencegahan DBD.
Dalam mengoptimalkan program P2 DBD,
Provinsi Sumatera Utara telah memiliki
kelompok kerja operasional (Pokjanal)
pemberantasan penyakit DBD. Pokjanal DBD
bertujuan untuk membina pelaksanaan berbagai
upaya/kegiatan yang berkaitan dengan
pengendalian dan pemberantasan DBD yang
secara operasional dilaksanakan oleh kelompok
kerja yang berada di tingkat rukun tetangga
/rukun warga (RT/RW)/dusun/lingkungan,
desa/kelurahan dan Pokjanal DBD setiap
tingkatan administrasi pemerintahan secara
berjenjang dan berkesinambungan.
Berdasarkan hasil evaluasi diketahui
bahwa peran serta lintas sektor dan lintas
program belum berjalan dengan maksimal dan
membutuhkan peningkatan biaya untuk
meningkatkan kegiatan penggalangan kemitraan
melalui pertemuan lintas sektor/program di
kabupaten/kota sehingga upaya pencegahan
DBD dapat lebih terdistribusi dan efektif untuk
membatasi penyebaran penyakit.
6. Monitoring dan Evaluasi Program
Monitoring program pengendalian DBD
dilakukan terhadap upaya pengendalian DBD di
seluruh wilayah kabupaten/kota melalui
kegiatan asistensi teknis terhadap manajemen
Program P2 DBD pada Dinkes Kabupaten/Kota
dan jajarannya, serta melakukan asistensi teknis
manajemen kasus DBD di rumah sakit pada
wilayah angka kasus dan kematian yang tinggi
dan sebagian diantaranya diadakan pertemuan
untuk memberikan feedback hasil asistensi pada
petugas rumah sakit dan dinkes serta membahas
permasalahan penanganan DBD di sarana
pelayanan kesehatan.
KESIMPULAN
Pelaksanaan Program P2 DBD di Sumatera
Utara ditinjau dari manajemen program
pengendalian penyakit dinilai berhasil dalam
menurunkan IR DBD hingga menjadi di bawah
indikator Renstra Provinsi Sumatera Utara namun
CFR DBD masih fluktuatif. Vektor utama DBD di
Provinsi Sumatera Utara yaitu nyamuk Aedes
aegypti keberadaannya diketahui mulai meluas
yakni ke wilayah pedesaan terutama wilayah
perkebunan, hingga potensi berjangkitnya DBD
yang selama ini hanya fokus di daerah perkotaan ke
depannya dapat semakin luas hingga meningkatkan
terjadinya masalah kesehatan masyarakat. Beberapa
Evaluasi Program..................(Sitepu, et.al)
5
Kabupaten/Kota.
d. Distribusi data
Data jumlah kasus DBD berdasarkan
orang, tempat, dan waktu di kabupaten/kota
telah didistribusikan ke Dinkes Prov. Sumut
dengan rutin dalam bentuk laporan bulanan,
dan bila terjadi KLB DBD di suatu daerah
akan segera dilaporkan dengan menggunakan
formulir W1 ke Dinkes Prov. Sumut.
Penyebarluasan informasi telah dilaksanakan
dengan membuat laporan/tulisan dalam
bentuk warta DBD yang diterbitkan secara
berkala 4 (empat) kali setahun.8,9
2. Penemuan dan Tata Laksana Kasus
Upaya penemuan dan tata laksana kasus
DBD dilakukan oleh masyarkarat dan sarana
pelayanan kesehatan
dengan dilakukan
pemeriksaan sesuai standar WHO dan atau
ditambah pemeriksaan antigen/antibody
Dengue.8 Penemuan infeksi Dengue ditunjang
dengan rapid diagnostic test (RDT) DBD yang
didistribusikan ke kabupaten/kota yang memiliki
kasus. Untuk meningkatkan kemampuan
petugas kesehatan dalam penatalaksanaan kasus
DBD, Dinkes Prov. Sumut melaksanakan
pelatihan terhadap petugas rumah sakit
pemerintah dan Dinkes Kabupaten/Kota.
3. Penyuluhan dan Peningkatan Peran Serta
Masyarakat
Penyuluhan dilakukan untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam hal pencegahan
DBD di lingkungan tempat tinggal masyarakat
tersebut. Penyuluhan berguna untuk mengubah
perilaku masyarakat dengan melaksanakan
pendekatan berupa: (i) analisis situasi di
lingkungan masyarakat tersebut, (ii) identifikasi
perilaku masyarakat, (iii) mobilisasi dan
komunikasi sosial, (iv) pemberdayaan
masyarakat, dan (v) kemitraan.
Peningkatan peran serta masyarakat
dilakukan untuk meningkatkan pemberdayaan
masyarakat dalam pencegahan DBD dengan
melaksanakan kegiatan 3 M+ menghindari
gigitan nyamuk di lingkungan tempat
tinggal/rumah tangga maupun pada institusi
pemerintah dan swasta misalnya perkantoran,
sekolah, pesantren, dan tempat-tempat umum.9,10
Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin dan
terprogram baik secara tersendiri atau
4 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 1-6
terintegrasi dengan program penyuluhan
kesehatan masyarakat lainnya di puskesmas,
Dinkes Kabupaten/Kota maupun pada kegiatan
respons kasus dan KLB.
Dalam rangka meningkatkan peran serta
masyarkat, Dinkes Prov. Sumut bersama
beberapa Dinkes Kabupaten membentuk dan
mengembangkan
Desa Percontohan
Pengendalian DBD. Tujuan pembentukan desa
percontohan adalah memberdayakan
masyarakat dalam P2 DBD dah keberhasilannya
dapat dijadikan contoh di desa-desa lainnya.
Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor DBD dilaksanakan dalam
2 (dua) kegiatan yaitu pemberantasan nyamuk
dewasa (fogging focus dan fogging sebelum musim
penularan (SMP)) dan pemberantasan jentik
nyamuk melalui kegiatan 3M+ serta kegaitan
pemantauan jentik berkala (PJB).
Hasil pelaksanaan pengendalian vektor belum
diperoleh data yang akurat, masih banyak kegiatan
penyuluhan, fogging focus, SMP, dan 3M+ yang
belum dilaporkan seluruhnya oleh Dinkes
Kabupaten/Kota ke Dinkes Prov. Sumut. Sehingga
upaya pengumpulan data kegiatan pengendalian
vektor perlu untuk dilengkapi dan divalidasi dengan
Dinkes Kabupaten/Kota untuk mendapatkan
gambaran intensitas pengendalian vektor DBD.
Hasil uji resistensi vektor DBD terhadap
i n s e k t i s i d a b e r d a s a r k a n Ta b e l 1 p e r l u
dipertimbangkan adanya suatu strategi untuk
mengantisipasi resistensi serangga vektor terhadap
insektisida dengan melakukan rotasi atau pergiliran
penggunaan insektisida berdasarkan mode of action
11
dan target site yang berbeda.
Pada beberapa daerah telah dijumpainya Aedes
aegypti pada wilayah pedesaan dan telah
menyebabkan timbulnya KLB di tahun 2011,
mapping vektor DBD belum terlaksana secara
sistematik pada wilayah berpotensi KLB dan daerah
baru hingga berpotensi menjadikan penyebaran
DBD semakin luas dan sulit diduga serta
menyulitkan untuk pengendalian penyakit.
4. S i s t e m K e w a s p a d a a n D i n i d a n
Penanggulangan KLB
Sistem kewaspadaan dini DBD
dilaksanakan secara terintegrasi dengan
pengamatan penyakit potensial KLB terhadap
daerah-daerah yang potensial terjadinya KLB
DBD dengan melakukan PWS. Penanggulangan
manusia yang paling lazim di seluruh dunia.
Insidennya sangat bervariasi pada orang-orang dan
binatang pada berbagai daerah geografis. Prevalensi
yang lebih tinggi biasanya terjadi pada daerah
beriklim panas dan basah. Penularan pada janin
biasanya terjadi bila infeksi diperoleh pada ibu yang
secara imunologis normal selama masa
kehamilannya. Penularan kongenital dari ibu yang
secara imunologis normal, yang terinfeksi sebelum
kehamilan adalah sangat jarang. Wanita dengan
gangguan imun dengan infeksi kronis menularkan
infeksi pada janinnya. Insiden infeksi kongenital di
Amerika Serikat berkisar dari 1/1.000 sampai
1/8.000 kelahiran hidup. Insiden infeksi yang di
dapat yang baru pada populasi wanita hamil
tergantung pada resiko menjadi terinfeksi dalam
daerah geografik khusus tersebut dan proporsi
22
populasi yang belum pernah terinfeksi.
Proses infeksi dan gejala
Parasit Toxoplasma biasanya hidup di dalam
usus hewan peliharaan rumah seperti anjing, kucing,
tikus, burung merpati atau ayam dan binatang ternak
seperti kerbau, sapi, kambing, sehingga penularan
dari hewan kepada manusia mudah sekali baik
melalui dikonsumsi ataupun melalui feses yang
mengandung parasit tersebut. Penularan parasit
semakin besar karena bentuk kehidupan
Toxoplasma yang di usus sebagai mikrofilaria dapat
berubah menjadi kista-kista yang masuk dalam
peredaran darah dan dideposit di sela-sela jaringan
otot atau daging mentah. Bila penyakit ini
menjangkiti wanita hamil maka janin dalam
kandungan juga akan beresiko terinfeksi dan
menimbulkan berbagai kecacatan fiik pada anak
setelah dilahirkan Toxoplasmosis tidak ditularkan
dari orang ke orang Transmisi atau cara penularan
pada manusia biasanya melalui rute oral,melalui
daging mentah/kurang matang (kista). Buah/sayur
mentah yang tidak dicuci bersih (ookista), kontak
dengan benda yang tercemar (ookista), terinfeksi
dari ibu ke janin melalui transplasental.7,22 Secara
garis besar manusia dapat terkena infeksi parasit ini
dengan dua cara yaitu didapat (Aquired
toxoplasmosis) maupun diperoleh semenjak dalam
kandungan (Congenital toxoplasmosis).22,24
Penyakit toxoplasmosis kongenital
biasanya ditandai dengan gejala kinis korioretinitis,
kalsifikasi serebri, mikrosefalus atau hidrosefalus.
Gejala lain yang mungkin menyertai gejala klinis
utama tersebut adalah anemia, kejang,
pembengkakan kelenjar air liur, muntah, bisul-bisul
di kulit, radang paru-paru, diare, demam, kulit
kuning dan pengapuran dalam tengkorak. Gejalagejala tersebut umumnya tampak setelah bayi
berusia satu tahun atau lebih kemudian bila tidak
ditangani akan diteruskan dengan kejang-kejang
serta keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental
pada usia selanjutnya, sehingga saat ini telah
terlambat untuk menyembuhkan penyakit secara
tuntas.7 Sedangkan hubungan insidens dan derajat
keparahan Toxoplasmosis Kongenital dengan waktu
terjadinya infeksi pada ibu hamil dapat dilihat pada
Tabel 2.
Cara diagnosa
Diagnosis Toxoplasmosis secara klinis
sukar ditentukan karena gejala-gejalanya tidak
spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub
klinik). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium
mutlak diperlukan untuk mendapatkan diagnosis
yang tepat. Pemeriksaan yang lazim dilakukan
adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta
Aviditas Anti-Toxoplasma.25,26 Selain hal tersebut
diagnosa pada prenatal dapat dilakukan dengan
deteksi adanya parasit di dalam darah fetus atau
cairan amnion, adanya dokumentasi/riwayat
Toxoplasma IgM dan IgA dalam darah fetal/bayi.27
South australian practice guidelines mengatakan
pemeriksaan ultrasonografi pada ibu hamil,
amniocentesis untuk PCR (Polymerase Chain
Reaction) dan atau kultur pada kehamilan 18-20
Tabel 2. Hubungan Insidens dan Derajat Keparahan Toxoplasmosis Kongenital Dengan Waktu
Terjadinya Infeksi pada Ibu Hamil7
Saat
infeksi
Bayi
Toxoplasmosis
terinfeksi
Berat
Ringan/Asimtomatik
Trimester I
25
60
40
Trimester II
54
30
70
Trimester III
65
0
100
Toxoplasmosis dalam..................(Wahyuni)
29
minggu atau jika lebih dari 4 minggu setelah ibu
28
terinfeksi sangat diperlukan. Hal tersebut juga
dikuatkan oleh OTIS (Organization of Teratology
Information Specialists) yang mengatakan bahwa
Tes serologi dan PCR (Polymerase Chain Reaction)
diperlukan untuk menegakkan diagnosis
toxoplasmosis pada wanita hamil.18
Beberapa literatur mengatakan bahwa
pilihan
pertama diagnostik laboratorum pada
infeksi toxoplasmosis adalah demonstrasi titer anti
bodi IgM/IgG terhadap Toxoplasmosis gondii
dengan pengamatan gejala hidrocephalus,
chorioretinitis, kalsifikasi cerebral yang tersebar.
Pilihan kedua adalah dengan demonstrasi titer Ab.
IgM/IgG anti
Toxoplasmosis gondii tanpa
pengamatan gejala, pengamatan IgM – IgG aviditas.7
Berikut dibawah ini adalah toxoplasma IgG Avidity
dan interpretasinya.
a. Nilai standar Toxo-aviditas
Hasil : 2 < 15
: rendah
Hasil : 15 30 % : sedang
Hasil : 30 > 30 % : tinggi
b. Dapat membedakan infeksi baru dan infeksi
lampau
1) Low avidity : infeksi baru terjadi ( < 4 bulan)
2) High avidity : infeksi lampau ( > 4 bulan )
Dampak toxoplasmosis
Infeksi primer pada toxoplasmosis selama
kehamilan jarang terjadi di Australia. Risiko dari
penularan antara janin dan ibu serta abnormalitas
yang berhubungan dengan infeksi toxoplasmosis
kongenital relatif tergantung usia kehamilan. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : ≤ 13
minggu kehamilan : risiko penularan ibu ke janin
sebesar 5-15 %, sebesar 60-80 % berisiko terjanin
kecacatan bila terinfeksi, trimester ke dua kehamilan
: risiko penularan ibu ke janin sebesar 25-40 %,
sebesar 15-25 % berisiko terjanin kecacatan bila
terinfeksi, trimester ke tiga kehamilan : risiko
penularan ibu ke janin sebesar 30-75 %.3,6,8,9, 28
Transmisi melalui penyaluran transplasental
setelah parasitemia pada ibu yang mengidap infeksi
setelah ingesti oosit infektif dari daging yang
terkontaminasi atau mentah.6,29 Wanita hamil yang
terinfeksi toxoplasma gondii maka efek yang terjadi
sangat bervariasi seperti abortus spontan (4%), lahir
mati (3%), toxoplasmosis bawaan (20%). Kejadian
toxoplasmosis bawaan seperti tersebut diatas bisa
berupa keterbelakangan mental, kerusakan
mata/telinga, kejang-kejang, ensefalitis. Kerusakan
30 BALABA Vol. 9, No. 03, Juni 2013 : 27-32
organ berat pada bayi terutama bila infeksi
7,20
toxoplasmosis terjadi pada saat kehamilan muda.
Pencegahan
Kucing adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya toxoplasmosis, karena
kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam
tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di
dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk
mencegah hal ini, maka dapat dijaga terjadinya
infeksi pada kucing yaitu dengan memberi makanan
yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus
atau burung.24
Pencegahan juga bisa dilakukan dengan: 1)
Pencegahan primer dengan memasak daging yang
benar setidaknya sampai 670C (1530F), memasak
daging benar-benar matang jangan warnanya masih
merah muda (pink), termasuk daging yang diasap
atau daging yang sudah dikemas kemungkinan
masih terinfeksi parasit, menghindari kontak dengan
lendir atau cairan dari daging tanpa pelindung
tangan, mencuci tangan dengan hati-hati setelah
kontak tanpa pelindung dengan daging,
membersihkan atau mencuci semua peralatan masak
dengan menggunakan pelindung setelah kontak
dengan daging mentah, menghindari untuk
memotong hewan, menghindari kontak dengan
semua yang berhubungan dengan feces kucing,
khususnya yang memelihara kucing ataupun ketika
berkebun, mencuci buah-buahan dan sayuran
sebelum di makan, menghindari minum air yang
beresiko terkontaminasi dengan oocysts; 2)
Pencegahan sekunder (serological screening)
penting mengidentifikasi wanita selama hamil dari
terinfeksi Toxoplasma gondii dan jika fetal terinfeksi
dengan pemeriksaan selama prenatal, kemungkinan
therapi, termasuk mengakhiri kehamilan dan
pemberian antibiotik terhadap janin yang dikandung
perlu didiskusikan dengan pasien. Ibu dan suami
perlu tahu adanya risiko termasuk adanya risiko
terhadap janin yang dikandung.2,9 12,25, 30
Selain hal tersebut pencegahan yang harus dilakukan
adalah dengan :
1. Melakukan pemeriksaan sebelum kehamilan.
Ada baiknya memeriksakan tubuh sebelum
merencanakan kehamilan, apakah dalam tubuh
terdapat virus atau bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi TORCH.
2. Melakukan vaksinasi
Vaksinasi bertujuan untuk mencegah masuknya
parasit penyebab TORCH. Seperti vaksin rubela
organofosfat (malation 0,8%), karbamat
(bendiokarb 0,10%), dan pyrethroid (deltametrin
0,05%, permetrin 0,75%, lambdasihalotrin 0,05%,
dan cypermetrin 0,05%).11 Hasil dari uji resistensi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Resistensi Vektor DBD terhadap
Insektisda Organofosfat, Karbamat, dan
Pyrethroid di Kota Medan Tahun 2011
Kelompok
Insektisida
Organofosfat
Karbamat
Pyrethroid
Insektisida
Hasil
Malation 0,8%
Bendiokarb 0,10%
Resisten
Toleran
Deltametrin 0,05%
Permetrin 0,75%
Lambdasihalotrin 0,05%
Cypermetrin 0,05%
Resisten
Resisten
Resisten
Toleran
PEMBAHASAN
1. Surveilans Epidemiologi DBD
Pelaksanaan surveilans epidemiologi DBD di
Sumatera Utara secara rutin dan terpadu dengan
melibatkan unit-unit surveilans yang ada di
seluruh kabupaten/kota.
a. Pengumpulan dan pengolahan data
Kasus suspek atau confirmed DBD yang
dirawat di sarana pelayanan kesehatan
dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota)
dengan tembusan kepada Puskesmas tempat
tinggal penderita dalam waktu 24 jam setelah
diagnosa ditegakkan menggunakan format
laporan kewaspadaan dini rumah sakit
(KD/RS). Berdasarkan laporan tersebut
selanjutnya dilakukan penyelidikan
epidemiologi (PE) dan kegiatan respons
pencegahan penyakit apabila ada kasus yang
tidak terlaporkan atau tidak mencari
pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan,
maupun untuk menyelidiki ada tidaknya
kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa
(KLB) DBD.8
Berdasarkan laporan KD/RS, hasil PE
dan kegiatan respons pencegahan penyakit
tersebut kemudian direkap dan dilaporkan
secara bulanan oleh puskesmas kepada
Dinkes Kabupaten/Kota menggunakan
formulir rekapitulasi penderita DBD per
bulan (DP-DBD), Dinkes Kabupaten/Kota
mengkompilasi, mengolah dan menganalisa
data laporan DP-DBD yang diterima dari
puskesmas menggunakan format laporan
bulanan (K-DBD) untuk selanjutnya
dikirimkan kepada Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara (Dinkes Prov.
Sumut) paling lambat tanggal 10 setiap
bulannya termasuk laporan nihil yakni bila
tidak ada kasus pada bulan tersebut.
S e l a n j u t n y a D i n k e s P r o v. S u m u t
mengirimkan laporan ke Subdit Arbovirosis
Kementerian Kesehatan RI paling lambat
tanggal 15 setiap bulannya. Kelengkapan
dan ketepatan laporan divalidasi setiap
bulan, serta dilakukan feedback oleh Dinkes
Prov. Sumut setiap 3 bulan sekali.
Berdasarkan hasil analisis selama ini,
ketepatan dan kelengkapan laporan DBD
dari Dinkes Kabupaten/Kota sebesar >90%.
Untuk memudahkan pengiriman laporan
bulanan dari Dinkes Kabupaten/Kota ke
Dinkes Prov. Sumut dapat dilakukan melalui
e-mail, faximile ataupun pos.
b. Analisis serta rekomendasi tindak lanjut
Dinkes Prov. Sumut telah melakukan
analisis perkembangan DBD berdasarkan
orang, tempat dan waktu dan memberikan
rekomendasi tindak lanjut ke Dinkes
Kabupaten/Kota. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Dinkes Kabupaten/Kota ke
Puskesmas sebagai pelaksanaan pemantauan
wilayah setempat (PWS) atau sistem
kewaspadaan dini DBD di daerahnya.
c. Umpan balik
Yang terjadi selama ini kurangnya
koordinasi dan sharing data antara setiap
program yang ada, termasuk koordinasi
antara rumah sakit dan Dinkes
Kabupaten/Kota sehingga kasus DBD yang
dirawat di rumah sakit ada yang tidak
dilaporkan kepada Dinkes Kabupaten/Kota.
Kurangnya umpan balik ini mengakibatkan
program P2 DBD di beberapa
kabupaten/kota masih berjalan kurang baik.
Untuk mengatasi hal ini beberapa petugas
surveilans Dinkes Kabupaten/Kota
melakukan surveilans aktif dengan
melakukan kunjungan langsung ke rumah
sakit dan unit pelayanan kesehatan yang lain.
Pertemuan peningkatan tata laksana DBD
yang diadakan oleh Dinkes Prov. Sumut
dengan mengundang pihak rumah sakit dan
Dinkes Kabupaten/Kota cukup memberikan
dampak yang positif terhadap sharing data
antara rumah sakit dan Dinkes
Evaluasi Program..................(Sitepu, et.al)
3
adalah untuk menurunkan Incidence Rate (IR) DBD
sesuai Renstra Provinsi Sumatera Utara (IR DBD
<50 per 100.000 penduduk) dan CFR DBD <1%.
Berdasarkan laporan yang masuk, IR DBD tahun
2010-2012 masih berada di bawah indikator Renstra
Provinsi Sumatera Utara, sedangkan CFR DBD
masih fluktuatif, namun pada tahun 2012 sudah
berada di bawah indikator (CFR <1%). Kajian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pencapaian
program, hambatan, tantangan, dan rumusan saran
dan tindak lanjut upaya perbaikan program P2 DBD
di Sumatera Utara.
Gambar 1 menunjukkan bahwa IR DBD di
Sumatera Utara pada tahun 2011 menurun
dibandingkan tahun 2010, namun mengalami
peningkatan kembali pada tahun 2012. (CFR)
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa
penyebaran DBD semakin meluas dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2010 dari 33 kabupaten/kota di
Sumatera Utara sebanyak 24 kabupaten/kota yang
melaporkan adanya kasus DBD, tahun 2011
meningkat menjadi sebanyak 27 kabupaten/kota
yang melaporkan kasus DBD, dan pada tahun 2012
hanya ada 2 kabupaten yang tidak ada laporan kasus
DBD.
dapat dilakukan sebelum kehamilan. Setelah
vaksin ini tidak boleh hamil dahulu sampai 2
bulan kemudian.
3. Mengkonsumsi makanan yang matang
Menghindari memakan makanan tidak matang
atau setengah matang. Virus atau parasit
penyebab TORCH bisa terdapat pada makanan
dan tidak akan mati apabila makanan tidak
dimasak sampai matang. Untuk mencegah
kemungkinan tersebut, selalu mengkonsumsi
makanan matang dalam keseharian Anda.
4. Memeriksakan kandungan secara teratur
Selama masa kehamilan, pastikan juga agar
memeriksakan kandungan secara rutin dan
teratur. Maksudnya adalah agar dapat dilakukan
tindakan secepatnya apabila di dalam tubuh Anda
ternyata terinfeksi TORCH. Penanganan yang
cepat dapat membantu agar kondisi bayi tidak
menjadi buruk.
5. Menjaga kebersihan tubuh
Menjaga higiene tubuh, prosedur higiene dasar,
seperti mencuci tangan, sangatlah penting.
METODE
Evaluasi dilakukan dengan kajian deskriptif
terhadap pelaksanaan sistem surveilans DBD di
Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012, yaitu
surveilans epidemiologi DBD; penemuan dan tata
laksana kasus; penyuluhan dan peningkatan peran
serta masyarakat; pengendalian vektor; sistem
kewaspadaan dini dan penanggulangan DBD;
kemitraan/jejaring kerja multi disiplin dan sektoral;
dan monitoring evaluasi program P2 DBD.
HASIL
Gambar 3. Kasus DBD di Sumatera Utara Menurut
A
N
O
Kelompok Umur
Gambar 1. Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate
(CFR) DBD di Sumatera Utara dari Tahun
2010-2012
Pada tahun 2011 Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
(B2P2VRP) Salatiga melakukan uji resistensi vektor
DBD terhadap insektisida secara konvensional
dengan metode standar WHO susceptibility test di
beberapa kelurahan di Kota Medan yaitu di
Kelurahan Heveltia Tengah Kecamatan Helvetia,
Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan, dan
Kelurahan Tanjungreo Kecamatan Sunggal.
Insektisida yang diuji resistensi adalah kelompok
Gambar 2. Penyebaran DBD dari Tahun 2010-2012 dan Pembagian Kabupaten/Kota Berdasarkan IR
2 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 1-6
P
H
Penanganan
Dari obat-obatan toxoplasmosis yang
Eoptimal hasilnya ialah memakai : Spiramycine 3
MIU-3X sehari 1 tablet. Lebih efektif lagi apabila
selama pengobatan dengan Spiramycine selalu
dibina pula kehidupan flora usus agar Pseudo Kista
dalam limfonodus-mesenterik dan vili-vili usus
turut tercerna (biasanya diberikan pula vitamin B
Complex atau obat pemacu suburnya flora usus yang
lain. Kista yang dindingnya sukar ditembus setelah
terpapar AB, maka perlu ditunggu 2 minggu tanpa
obat agar kista pecah lagi, sehingga pemberia obat
perlu menurut jadwal : 3 minggu dengan obat (paket
1) tenggang 2 minggu tidak boleh minum obatobatan antibiotik apapun, kemudian dilanjutkan
dengan paket 2 spiramycine 3 MIU lagi selama 3
minggu, libur 2 minggu, dan seterusnya (paket 3).
Diperiksa kadar IgG-Anti toxoplasma setiap 3 paket
pengobatan. Batas dihentikan obat toxoplasmosis
setelah IgG-Anti toxoplasmosisnya kurang dari 6
IU/m.1 Kemungkinan therapi, termasuk mengakhiri
kehamilan dan pemberian antibiotik terhadap janin
yang dikandung perlu didiskusikan dengan pasien.
Ibu dan suami perlu tahu adanya risiko termasuk
adanya risiko terhadap janin yang dikandung.
Upayakan persalinan pervaginam dan apabila terjadi
disporposi kepala panggul yang disebabkan oleh
hidrosephalus, lakukan kajian ultrasonografi
ketebalan korteks untuk pilihan penyelesaian
persalinan.30,15
KESIMPULAN
Penyakit toxoplasmosis adalah penyakit
dengan gejala klinis relatif ringan sehingga sering
kali luput dari pengamatan tenaga kesehatan.
Padahal akibat yang ditimbulkannya memberikan
beban berat bagi masyarakat terutama ibu hamil
seperti abortus, lahir mati maupun cacat kongenital.
Infeksi toxoplasmosis bisa dicegah dengan
menghindari semua faktor yang bisa menularkan
sporozoa Toxoplasma gondii seperti menghindari
makan makanan yang tidak dimasak terutama
daging yang belum sempurna matangnya,
menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi
Toxoplasma gondii.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hiswani. Toxoplasmosis penyakit zoonosis
yang perlu diwaspadai oleh ibu hamil.
Universitas Sumetera Utara; 2003.
2. Kravetz JD, Federman DG. Prevention of
toxoplasmosis in pregnancy: knowledge of risk
factors, infectious diseases in obstetrics and
gynecology; 2005.
3. Lopes FMR, Goncalves DD, Mitsuka-Bregano
R, Freire RL, Navarro IT. Toxoplasmosis
gondii infection in pregnancy. The Brazillian
Journal of Infectious Diseases. 2007; 11(5):
496-506.
4. Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar
keperawatan maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC;
2005.
5. Dentico P, Volpe A, Putoto G, Ramadani N,
Bertinato L, Berisha M, et al. Toxoplasmosis in
Kosovo preganant women. New
Microbiologica. 2011; 34: 203-7.
6. Kapperud G, Jenum PA, Stray-Pedersen B,
Melby KK, Eskild A. Risk factor for
toxoplasma gondii infection in pregnancy.
American Journal of Epidemiology. 1996; 144
(4).
7. Haksohusodo S. Infeksi TORCH patogenesis,
infeksi maternal-kongenital dan
pengobatannya. Yogyakarta: Medika Fakultas
Kedokteran UGM bekerjasama dengan
Yayasan Inovasi Biomolekuler Kedokteran
Haksohusodo; 2002.
8. Paquet
C, Rivieres T, Yudin MH.
Toxoplasmosis in pregnancy: prevention,
Toxoplasmosis dalam..................(Wahyuni)
31
Intermezo
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
screening, and treatment. J Obstetricians and
Gynaecologists of Canada. 2013; 35(1): 78-9.
Stricker R, Sitavanc R, Liassine N, Marval F.
Toxoplasmosis during Pregnancy and Infancy.
Swiss Med Wkly. 2009; 139(43-44): 643-644.
South Australian Perinatal Practice Gudelines
workgroup. Toxoplasmosis in pregnancy.
2 0 1 0 . A v a i l a b l e f r o m :
[email protected]
Kravetz JD, Federman DG. Toxoplasmosis in
pregnancy. The American Journal of Medicine.
2005; 118: 212-216.
Sagel U, Kramer A, Mikolajczyk RT. Blind
periods in screening for toxoplasmosis in
pregnancy in austria-a debate. BMC Infectious
Disease. 2012; 12: 118.
Sagel U, Kramer A, Mikolajczyk RT.
Toxoplasmosis. 2010. Available from:
http://www.health.qld.gov.au.
Sever JL, Ellenberg JH, Ley AC, Madden DL,
Fuccilo DA, Tzan NR, et al. toxoplasmosis:
maternal and pediatric in 23,000 pregnancies.
1988. Official Journal of The American
Academy of Pediatrics. Available from:
http://pediatrics.aappublications.org/content/8
2/2/181.
JNPKKR-POGI, YBPSP. Buku acuan nasional
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta: Tridasa Printer; 2002.
Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak. Jakarta: EGC; 2008.
H a m i l t o n P e r s i s M a r y. D a s a r- d a s a r
keperawatan maternitas. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Organization of Teratology Information
Specialists. Toxoplasmosis and pregnancy.
2 0 1 0 . A v a i l a b l e f r o m :
www.OTISpregnancy.org.
32 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 27-32
19. Rukiyah Y, Yulianti L. Asuhan kebidanan IV
(patologi kebidanan). Jakarta: Trans Info
Media; 2010.
20. Desdidel, Hasan Z, Hevrialni R, Sratika Y.
Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita.
Jakarta: EGC; 2012.
21. Klaus & Fanaroff. Penatalaksanaan neonatus
resiko tinggi. Edisi 4. Surjono Achmad, Editor.
Jakarta: EGC; 1998.
22. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu
kesehatan anak. Edisi 15 Vol 2. Wahab S,
Editor. Jakarta: EGC; 2012.
23. Tolibin Iskandar. Penyakit toksoplasmosis
pada kambing dan domba di Jawa.
WARTAZOA. 2008; 18 (3).
24. Chahaya I. Epidemiologi Toxoplasma gondii.
Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara; 2003.
25. Chahaya I. uk standards for microbiology
investigations: investigation of toxoplasma
infection in pregnancy. UK Protocols. 2012; 2
(2):1-15.
26. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.Dr. Sulianti
S a r o s o . P e n g e r t i a n TO R C H b e r i k u t
pencegahannya.
27. M a n i t o b a H e a l t h P u b l i k H e a l t h .
Toxoplasmosis. Communicable Dsease
Management Protocol; 2001.
28. South Australian Practice Guidelines.
Toxoplasmosis in pregnancy, maternity care in
SA, government of South Australia.
29. Paulette H. Asuhan neonatus rujukan cepat.
Jakarta: EGC; 2008.
30. Jose G, Montoya and Jack S. Remington.
Management of Toxoplasma gondii infection
during pregnancy. 2008.
ARTIKEL
ARTIKEL
EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN DEMAM
BERDARAH DENGUE (DBD) DI SUMATERA UTARA TAHUN 2010-2012
Frans Yosep Sitepu*, Teguh Supriyadi*
*Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Jl. Prof. HM Yamin, SH No. 41 AA Medan 20234
Email: [email protected]
Accepted: 04 Februari 2013, Reviewed: 25 April 2013, Published: 31 Mei 2013
ABSTRAK. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Sumatera
Utara yang merupakan daerah endemis. Program pengendalian DBD diharapkan dapat memberikan informasi
tentang endemisitas dari suatu daerah, musim penularan dan perkembangan penyakit yang dapat digunakan
untuk menjadikan sistem lebih efektif dan efisien. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif yang dilakukan
dengan mengumpulkan dan menganalisis data DBD dari tahun 2010-2012. Evaluasi mengenai cara pencegahan
dan program pengendalian DBD telah dilakukan. Cara pencegahan dan program pengendalian DBD di
Sumatera Utara antara lain: pengamatan epidemiologi yang dilakukan pada semua kasus DBD; penemuan dan
manajemen kasus di Rumah Sakit, dokter pribadi dan perawatan kesehatan primer; perluasan dan peningkatan
partisipasi masyarakat, pengendalian vektor di daerah DBD, sistem peringatan dini dan pengendalian
perjangkitan, kerjasama dari berbagi sektor, monitoring dan evaluasi. Program pengandalian DBD di Sumatera
Utara perlu ditingkatkan dengan menambah kerjasama lintas sektor dan program untuk mengoptimalkan
program tersebut, merotasi insektisida untuk menghindari resistensi vektor.
Kata kunci: evaluasi, program pengendalian DBD, Sumatera Utara
ABSTRACT. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is still a public health problem in North Sumatera which is an
endemic area. DHF control program is expected to result information about endemicity of an area, season of
transmission and disease progression that can be use to make the system more effective and efficient. It was a
descriptive study by collecting and analyzing DHF data from 2010-2012. Evaluated had been done to the process
of the DHF prevention and control program. The process of DHF prevention and control program in North
Sumatera such as: epidemiological surveillance conducted to all the DHF cases; discovery and management of
cases at hospitals, private physicians, and primary health care; extension and improvement of community
participation, vector control in the area of DHF, early warning systems and controlling outbreaks, partnerships /
networks of multiple disciplines and sectors, monitoring and evaluation. DHF control program in North
Sumatera needs to be improved, increasing collaboration across sector and programs to optimize the program,
rotate the insecticide to avoid resistance vectors.
Key words: Evaluation, DHF Control Program, North Sumatera
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan salah satu penyakit menular yang masih
tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penyebaran penyakit ini cenderung semakin meluas
terutama di negara-negara berkembang.1,2 Serangan
DBD dapat berakibat luas yang dapat menimbulkan
kerugian material dan moral yang paling fatal dapat
mengakibatkan kehilangan nyawa atau kematian.3,4
DBD sering terjadi di negara-negara tropis dan sub
tropis termasuk di Indonesia.5 DBD di Indonesia
merupakan salah satu emerging disease dengan
insiden yang meningkat dari tahun ke tahun. DBD
pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
tahun 1968 dengan Case Fatality Rate (CFR) 41,3%
dan pada tahun 1997 DBD telah menyerang semua
provinsi di Indonesia.
Sumatera Utara merupakan daerah endemis
DBD dimana kasus DBD terjadi setiap tahun dan
wilayah penyebaran DBD semakin meluas. 6
Program Pencegahan dan Pengendalian DBD (P2
DBD) sejak lama telah dilaksanakan untuk
menunjang upaya pengendalian DBD di Sumatera
Utara namun berdasarkan laporan kasus DBD
selama 3 (tiga) tahun 2010-2012 menunjukkan
bahwa beberapa kabupaten yang pada awalnya
tidak ada laporan kasus DBD (daerah bebas DBD)
menjadi daerah sporadis, dan daerah sporadis
7
menjadi daerah endemis.
Tujuan program P2 DBD Sumatera Utara
1
Download