BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia selain dikenal

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia selain dikenal negara agraris, juga negara maritim. Sebutan
tersebut diberikan mengingat sebagian besar wilayahnya adalah lautan, serta
matapencaharian penduduk yang tinggal di wilayah pesisir sebagian besar
sebagai nelayan. Dipandang dari luas wilayah, Indonesia terdiri atas 25% daratan
dan 75%
lautan (Kamasan, 2010: 278). Sebutan Indonesia sebagai negara
maritim, dikemukakan pula oleh Lapian, yang di hubungkan dengan negara
kepulauan. Pendapat Lapian mengenai hal tersebut, dapat disimak dalam kutipan
berikut :
“Istilah ‘negara kepulauan’ merupakan padanan’ dalam bahasa Indonesia
dari pengertian archipelagic state. Jika disimak arti sesungguhnya kata
archipelago, menurut kamus Oxford dan Webster, kata ini berasal dari
kata Yunani, yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Jadi
archipelagic state sebenarnya harus diartikan sebagai ‘negara laut utama’
yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang
dikelilingi laut. Dengan demikian paradigma perihal negara kita
seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya. Oleh
sebab itu perhatian terhadap aspek maritim bukan lagi merupakan hal yang
pantas dilakukan, melainkan sesuatu yang wajib mendapat prioritas
istimewa” (Lapian, 2009: 2).
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia
dengan garis pantai lebih dari 81.000 km, dan dari 67.439 desa di Indonesia
kurang lebih 9.21 desa dikategorikan sebagai desa pesisir (Kusnadi, 2002:1).
Secara geografis Indonesia terletak pada posisi 6° LU-11° 08’LS dan dari 95°’ BT
- 141° 45’ BT dan memiliki luas daratan sebesar 1.922.570 km², terdiri dari
daratan non-air seluas 1.829.570 km² dan daratan berair seluas 93.000 km²
1
2
(http://id.wilipedia.org/wiki/Geografi Indonesia. 2/10/2011). Indonesia yang
merupakan negara kepulauan (archipelago state) terdiri atas 13.607 pulau dengan
944 pulau di antaranya didiami penduduk. Diperkirakan luas daratan dua juta km2
dan sisanya tiga juta Km2 adalah permukaan laut. Ditinjau dari luas tersebut, maka
laut Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Bahkan
berdasarkan hukum laut yang baru, yaitu ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE), laut Indonesia memiliki luas 5.866.133 Km2, dengan potensi ikannya 6,62
juta ton/tahun (Danusaputro, 1991 dalam Jaya, 2001: 8). Potensi sumber daya laut
yang luas, merupakan sumber penghidupan yang layak bagi kehidupan
masyarakat nelayan. Namun dalam kenyataannya kondisi sosial ekonomi nelayan
sangat jauh berbeda dengan potensi sumber daya alamnya. Sementara ini
perhatian pemerintah terhadap masyarakat nelayan yang juga tergolong
masyarakat petani masih sangat kurang.
Masyarakat petani bukan saja mereka yang bekerja di sawah dan ladang,
melainkan nelayan pun termasuk kelompok petani. Pertanian dalam arti sempit
adalah aktivitas
yang dilakukan di sawah dan ladang. Sedangkan pengertian
pertanian secara lebih luas adalah aktivitas yang dilakukan di sawah, ladang dan
laut. Untuk itulah dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani,
perlu langkah-langkah operasional yang harus dilakukan seperti peningkatan
pendapatan, perluasan lapangan kerja, mempertahankan dan memperluas
swasembada pangan, mengoptimalkan sumber daya alam secara lestari, serta
penganekaragaman hasil-hasil pertanian (Wibowo, 1997: 32).
3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, menunjukkan
bahwa perhatian pemerintah terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir semakin meningkat. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2004 tersebut, menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut
diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (Kusuma,
2005: vi). Keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004,
telah
mendorong
semangat
pemerintah
daerah
dan
masyarakat
untuk
mengembangkan daerah pesisir, berdasarkan potensi yang dimilikinya.
Potensi kekayaan laut di Indonesia dapat diketahui dari wilayah maritim
Indonesia yang membentang sekitar 18 ribu pulau, dengan panjang garis
pantainya sekitar 81.290 km. Adapun wilayah laut yang dimiliki bangsa Indonesia
sekitar 5,8 juta km2, dengan potensi sumber daya di dalamnya yang cukup kaya
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001 dalam Nadjib, 2009: 16). Di antara
potensi sumber daya yang terkandung di dalam laut Indonesia adalah berbagai
jenis ikan, udang, kerang-kerangan, terumbu karang, rumput laut, bahan tambang
dan sebagainya. Oleh karena banyaknya potensi sumber daya yang terkandung
itulah menjadi area bagi kepentingan, seperti perburuan ikan, budidaya,
pertambangan, transportasi, pariwisata dan bahkan sebagai sumber pembuangan
limbah. Kekayaan laut yang beragam tersebut, juga terdapat di wilayah pantai
Kabupaten Buleleng,
Provinsi Bali, yang sekarang ini sedang mendapatkan
perhatian untuk lebih dikembangkan.
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia, memiliki luas perairan
laut
sekitar 9.500 km2 (tidak termasuk perairan Samudra Hindia dan ZEE).
4
Berdasarkan letak geografisnya, maka perairan laut daerah Bali dapat dibagi
menjadi empat wilayah yaitu, (1). Perairan Bali bagian utara meliputi perairan
pantai sepanjang Kabupaten Buleleng dengan luas perairan 3.168 km². (2).
Perairan Bali bagian timur, meliputi perairan pantai Kabupaten Karangasem
dengan luas perairan 3.350 km². (3). Perairan Bali bagian barat, meliputi perairan
Kabupaten Badung, Tabanan dan Jembrana dengan luas 2.982 km². (4). Perairan
Bali bagian selatan atau Samudra Hindia, menurut Manuaba ( dalam Mudana,
2001: 32). Pembagian wilayah perairan laut seperti diuraikan di atas, bahwa Bali
Utara (Kabupaten Buleleng) memiliki wilayah laut yang cukup luas, dan memiliki
sumber daya alam yang cukup potensial untuk dimanfaatkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Karena di laut terdapat berbagai sumber daya alam, salah
satunya adalah ikan.
Berdasarkan potensi yang dimiliki tersebut, pemerintah Kabupaten
Buleleng bersama-sama dengan masyarakat dan
mengembangkannya, serta
pihak swasta
telah
melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat
pesisir. Pemberdayaan masyarakat nelayan di Kabupaten Buleleng, dilakukan
terhadap masyarakat pesisir Desa Sumberkima. Di Desa Sumberkima, Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali,
terdapat
komunitas pesisir
yang
kesehariannya baik langsung maupun tidak langsung hidup tergantung dari
pengelolaan sumber daya laut. Komunitas pesisir Sumberkima kalau dilihat dari
stratifikasi sosial ekonomi, bukan tergolong masyarakat homogen, melainkan
mereka terbentuk dari kesatuan sosial yang beragam. Kalau disimak dari pola
interaksi terhadap sumberdaya ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, mereka
5
bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu, pertama pemanfaat langsung
sumberdaya laut, seperti nelayan, pembudidaya ikan di perairan pantai seperti
jaring apung, rumpon. Kedua pengolah hasil ikan dan kekayaan laut seperti,
pemindang, pembuat garam, pengrajin kerang. Ketiga, penunjang kegiatan
ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir
dan las) pengusaha angkutan, tukang perahu dan buruh kasar.
Pemberdayaan yang dilakukan pada masyarakat nelayan pesisir
Desa
Sumberkima, yaitu melalui pengembangan usaha budidaya ikan kerapu, dan telah
melibatkan pemerintah dan investor (pemilik modal), baik investor dari dalam
maupun luar negeri. Dipilihnya ikan kerapu untuk dibudidayakan, karena
memiliki nilai jual cukup tinggi. Di samping itu, didukung pula oleh keadaan laut
Desa Sumberkima, yang sangat cocok untuk melakukan budidaya ikan laut,
khususnya ikan kerapu.
Pemberdayaan
masyarakat
Desa
Sumberkima
sangat
dibutuhkan
mengingat adanya banyak potensi yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Salah satu potensi yang dapat dikembangkan adalah ikan kerapu. Ikan kerapu
sangat cocok dikembangkan di Desa Sumberkima, karena didukung oleh potensi
alam, sosial, dan budaya. Untuk itu perlu dilakuakn pemberdayaan masyarakat
nelayan Desa Sumberkima, sangat dibutuhkan.
Ketiga pilar politik-ekonomi-budaya, dikenal dengan istilah threefolding
(pemerintah,
swasta,
masyarakat),
sangat
berpengaruh
besar
terhadap
pemberdayaan yang dilakukan. Pemerintah berperan dalam memberikan pelatihan
dan pembinaan, swasta berperan dalam bidang bantuan modal dan masyarakat
6
dalam bidang budaya (partisipasi). Salah satu masyarakat pesisir di Kabupaten
Buleleng yang telah diberdayakan adalah masyarakat pesisir di Desa Sumberkima,
Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Pemerintah Kabupaten Buleleng
bersama-sama dengan pihak swasta, telah mengembangkan budidaya ikan kerapu.
Budidaya ikan juga telah banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir lainnya di
Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
realisasi produksi perikanan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 2009, hasil budidaya ikan mencapai 4,7 ton, sedangkan pada tahun 2010
mencapai 6,2 juta ton (Anonim, 2011: 21). Adanya peningkatan hasil yang
diperoleh, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kondisi tersebut telah mendorong terjadinya suatu pergeseran paradigma
pembangunan nasional dari pembangunan yang berorientasi sektoral ke
pembangunan yang berorientasi keterpaduan dan wilayah. Selain itu, terjadi pula
pergeseran orientasi pembangunan nasional dari yang berorientasi daratan ke
pembangunan yang berorientasi wilayah pesisir dan lautan. Pergeseran orientasi
pembangunan nasional tersebut sebenarnya harus dipandang sebagai sesuatu yang
wajar mengingat sebagian besar luas wilayah Indonesia adalah lautan.
Untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil, pemerintah telah
menerbitkan suatu payung hukum yang mengatur tata cara pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau – pulau kecil melalui UU Nomor 27 Tahun 2007. Selanjutnya,
telah diterbitkan pula peraturan penjabaran Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007,
meliputi
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
Per.16/Men/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
7
Pulau Kecil serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Melalui peraturan perundangan di atas pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dimaknai sebagai suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan
laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah wilayah yang berpotensi
untuk dijadikan andalan sebagai modal utama dalam membangun suatu daerah.
Indonesia sebagai negara kepulauan meskipun mempunyai potensi yang besar,
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dikelola secara benar agar potensi
tersebut dapat dimanfaatkan. Selama ini, sebagian besar potensi tersebut masih
belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, sehingga belum bisa
meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir secara maksimal.
Kabupaten Buleleng sebagai wilayah pengembangan perikanan pesisir di
Bali, berada di kawasan Bali Utara. Potensi lahan untuk budidaya laut di Bali
seluas 3.805 hektar, dipusatkan di Teluk Pegametan, Desa Sumberkima,
Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Desa Sumberkima memiliki pantai
cukup luas dan dinilai layak untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dengan
menggunakan keramba jaring apung (KJA) seluas 59 ha dan pengembangan
kegiatan budidaya rumput laut, kerang hijau dan kima seluas 130 hektar.
Budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung telah dikembangkan di Teluk
8
Pegametan karena karakter lingkungan setempat mendukung keberhasilan
budidaya tersebut (Heruni, 2005: 100). Masyarakat yang bermata pencaharian
sebagai nelayan di Desa Sumberkima sebanyak 82 kepala keluarga. Sedangkan
masyarakat yang bekerja dalam budidaya ikan kerapu kurang lebih 90 orang.
Masyarakat yang bekerja dalam budidaya ikan kerapu, sebagian masih ada yang
melakukan pekerjaan sampingan sebagai nelayan, terutama pada malam harinya.
Masyarakat yang bekerja sebagai tenaga kerja dalam budidaya ikan kerapu, selain
para nelayan, bisa juga salah satu dari anggota keluarganya.
Pemberdayaan masyarakat, terutama masyarakat pesisir, bertujuan untuk
memberi peluang kepada mereka dalam menentukan hidupnya menuju yang lebih
baik. Masyarakat pesisir dilihat dari kondisi ekonominya, tergolong masyarakat
miskin, sehingga perlu dilakukan suatu pemberdayaan. Masyarakat pesisir di Desa
Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali, dilihat
dari kondisi ekonominya
juga tergolong miskin dan perlu dilakukan
pemberdayaan. Salah satu patokan yang digunakan apakah seseorang tergolong
miskin atau tidak, yaitu dengan mengacu pada kriteria yang dikeluarkan Biro
Pusat Statistik (BPS). BPS setiap tahun biasanya selalu mengeluarkan batasan
pendapatan per kapita per tahun, dan dibedakan antara wilayah pedesaan dan
perkotaan.
Menurut
BPS
(Badan
Pusat
Statistik),
kemiskinan
adalah
ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dan kebutuhan dasar, baik
makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yakni
setara 2.100 kalori energi per kapita sehari, ditambah nilai pengeluaran untuk
kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok (Setiadi, 2011: 792).
9
Kemiskinan selain dipandang dari segi ekonomi, juga dapat dipandang dari segi
sosial budaya. Kemiskinan jika dipandang dari segi sosial budaya, terdiri atas :
(1). Kemiskinan kultural. dan (2). Kemiskinan struktural. Menurut Setiadi, 2011:
979, menjelaskan kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau
kelompok, masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan
budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa
kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah diajak untuk
berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan
mengubah tingkat kehidupannya. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah
menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Baswir bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak
disiplin, dan boros. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang
tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta
tertanam ekonomi dunia yang cendrung menguntungkan kelompok sosial tertentu.
Kemiskinan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima, yang dapat dilihat yaitu
adanya sikap dan perilaku masyarakat yang kurang sabar, serta tidak mau dan
berani menanggung resiko. Adanya kondisi seperti itu maka sebagian besar warga
masyarakat tetap bertahan sebagai nelayan, dan hanya sebagian kecil saja yang
mau mengubah profesi sebagai nelayan. Alasan mereka tetap memilih sebagai
nelayan karena hasil yang mereka peroleh lebih cepat, dibandingkan dengan
melakukan usaha budidaya ikan kerapu, serta tidak banyak menanggung resiko,
khususnya dipandang dai segi ekonomi. Melakukan usaha budidaya ikan kerapu
10
memperoleh hasil dalam waktu yang cukup lama serta menanggung resiko yang
cukup tinggi.
Sedangkan kemiskinan struktural pada masyarakat nelayan di Desa
Sumberkima dapat diketahui dengan adanya sumberdaya manusia yang masih
rendah, yaitu dilihat berdasarkan tingkat pendidikan masyarakatnya. Masyarakat
nelayan di Desa Sumberkima, sebagian besar hanya mampu menamatkan
sekolahnya pada tingkat sekolah dasar (SD), bahkan banyak yang tidak tamat
sekolah dasar (SD). Selain sumberdaya manusia yang masih sangat rendah, juga
kondisi alamnya yang kurang mendukung. Wilayah Desa Sumberkima sebagian
besar merupakan daerah tegalan yang hanya bisa ditanami tanaman pada musim
hujan. Dengan demikian hasil bumi yang mereka peroleh hanya setahun sekali.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Sumberkima yang masih tergolong
miskin tersebut, mendorong masyarakat untuk melakukan langkah-langkah untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Salah satu usaha yang telah dilakukan
adalah melakukan budidaya ikan kerapu.
Budidaya ikan kerapu sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat Desa
Sumberkima, yaitu mulai tahun 2000. Pelaksanaan usaha budidaya ikan kerapu
dari tahun 2000 sampai tahun 2005 mengalami pasang surut. Tahun 2005 banyak
pengusaha yang kabur karena kondisi cuaca yang tidak baik dan pasaran ikan
kerapu anjlok (mengalami penurunan harga). Kondisi tersebut menyebabkan para
investor mengalami kerugian dalam melakukan usaha budidaya ikan kerapu.
Dalam budidaya ikan kerapu, khususnya di Desa Sumberkima, kendala yang
dihadapi, antara lain: (1). Modal yang dimiliki terbatas, (2). Rendahnya sumber
11
daya manusia (SDM). Faktor modal sangat penting, karena usaha budi daya ikan
kerapu membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain modal,
sumber daya
manusia juga perlu diperhatikan.
Ikan kerapu (family sarranidae) merupakan jenis ikan yang paling popular
dan bernilai tinggi di antara jenis ikan karang di daerah Asia-pasifik. Ikan kerapu
umumnya tumbuh cepat, kuat dan cocok untuk budidaya intensif dan mempunyai
kekhasan dalam pasca panen serta penyajiannya dalam konsumsi. Permintaan
jenis ikan kerapu cukup tinggi karena mempunyai keunikan dalam cara memasak
dan menyajikannya serta persediaan di alam sangat langka. Ikan kerapu biasanya
dipelihara dalam keramba jaring apung (KJA) dan tambak, namun KJA lebih
umum diterapkan di negara-negara Asia-Tenggara. Budidaya ikan kerapu di
tambak bekas budidaya udang intensif menjadi sangat menarik terutama setelah
tambak udang intensif menemui masalah produksi. Masalah utama yang dihadapi
dalam kegiatan budidaya ikan kerapu adalah kematian ikan masih terlalu tinggi
karena penanganan yang kurang memadai, akibatnya setres, lalu diserang penyakit
dan akhirnya mati.
Pemberdayaan masyarakat nelayan budidaya ikan kerapu di Desa
Sumberkima penting diteliti sebagai penelitian kajian budaya, karena sangat
relevan dengan disiplin kajian budaya. Pemberdayaan tersebut bertujuan untuk
mengadakan perubahan terhadap kehidupan masyarakat nelayan (perubahan
sosial). Sardar dan Van Loon, dalam Hasan (2011: 30) mengungkapkan cultural
studies tidak hanya studi tentang budaya, melainkan memiliki tujuan untuk
memahami budaya dalam bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks
12
sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Cultural studies
melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan garis radikal
tindakan politik. Tradisi yang dipegangnya bukanlah tradisi yang bebas nilai
(value-free), melainkan secara tegas berkomitmen bagi rekonstruksi sosial dengan
melibatkan diri dalam kritik politik. Jadi, ia berusaha tidak hanya untuk
memahami, tetapi juga punya maksud untuk mengubah struktur dominasi yang
ada di mana-mana, terutama dalam masyarakat kapitalis.
Seperti yang telah diuraikan, maka pemberdayaan masyarakat nelayan
budi daya ikan kerapu di Desa Sumberkima dipandang relevan dengan ilmu kajian
budaya, di mana kajian budaya memusatkan perhatiannya pada isu-isu salah
satunya perubahan sosial.
Demikian pula dengan masyarakat di Desa
Sumberkima menginginkan adanya perubahan sosial yang di dalamnya berkaitan
dengan usaha pemberdayaan ikan kerapu di Desa Sumberkima.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas,
dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima?
2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pemberdayaan masyarakat nelayan di
Desa Sumberkima?
3. Apa implikasi dan makna pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa
Sumberkima?
13
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Penulisan
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
kepada
masyarakat luas mengenai pemberdayaan masyarakat nelayan dalam budidaya
ikan kerapu, terutama budidaya ikan kerapu yang dilakukan oleh masyarakat di
Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa
Sumberkima.
2. Untuk mengetahui faktor pemengaruh pemberdayaan masyarakat nelayan di
Desa Sumberkima.
3. Untuk mengetahui implikasi pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa
Sumberkima.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Menambah khazanah pengetahuan tentang pemberdayaan masyarakat nelayan
budidaya ikan kerapu di Desa Sumberkima.
14
2. Penelitian ini dapat dipakai acuan keilmuan dalam kazanah penelitian ilmu
kajian budaya, terutama dalam bidang budidaya ikan kerapu yang
dikembangkan oleh masyarakat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat:
1. Sebagai bahan informasi/masukan kepada pemerintah daerah dan pusat dalam
mengambil kebijakan, khususnya yang terkait dengan pengembangan usaha
budidaya ikan kerapu.
2. Sebagai bahan informasi bagi pengusaha, bahwa Desa Sumberkima memiliki
potensi yang sangat cocok untuk mengembangkan usaha budidaya ikan kerapu,
dan menarik minatnya untuk menanamkan modalnya di sana.
3. Memberi sumbangan pemikiran kepada masyarakat, khususnya masyarakat
nelayan di Desa Sumberkima, dalam melakukan usaha budidaya ikan kerapu.
Download