1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia selain dikenal negara agraris, juga negara maritim. Sebutan tersebut diberikan mengingat sebagian besar wilayahnya adalah lautan, serta matapencaharian penduduk yang tinggal di wilayah pesisir sebagian besar sebagai nelayan. Dipandang dari luas wilayah, Indonesia terdiri atas 25% daratan dan 75% lautan (Kamasan, 2010: 278). Sebutan Indonesia sebagai negara maritim, dikemukakan pula oleh Lapian, yang di hubungkan dengan negara kepulauan. Pendapat Lapian mengenai hal tersebut, dapat disimak dalam kutipan berikut : “Istilah ‘negara kepulauan’ merupakan padanan’ dalam bahasa Indonesia dari pengertian archipelagic state. Jika disimak arti sesungguhnya kata archipelago, menurut kamus Oxford dan Webster, kata ini berasal dari kata Yunani, yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Jadi archipelagic state sebenarnya harus diartikan sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut. Dengan demikian paradigma perihal negara kita seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya. Oleh sebab itu perhatian terhadap aspek maritim bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan, melainkan sesuatu yang wajib mendapat prioritas istimewa” (Lapian, 2009: 2). Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia dengan garis pantai lebih dari 81.000 km, dan dari 67.439 desa di Indonesia kurang lebih 9.21 desa dikategorikan sebagai desa pesisir (Kusnadi, 2002:1). Secara geografis Indonesia terletak pada posisi 6° LU-11° 08’LS dan dari 95°’ BT - 141° 45’ BT dan memiliki luas daratan sebesar 1.922.570 km², terdiri dari daratan non-air seluas 1.829.570 km² dan daratan berair seluas 93.000 km² 1 2 (http://id.wilipedia.org/wiki/Geografi Indonesia. 2/10/2011). Indonesia yang merupakan negara kepulauan (archipelago state) terdiri atas 13.607 pulau dengan 944 pulau di antaranya didiami penduduk. Diperkirakan luas daratan dua juta km2 dan sisanya tiga juta Km2 adalah permukaan laut. Ditinjau dari luas tersebut, maka laut Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Bahkan berdasarkan hukum laut yang baru, yaitu ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), laut Indonesia memiliki luas 5.866.133 Km2, dengan potensi ikannya 6,62 juta ton/tahun (Danusaputro, 1991 dalam Jaya, 2001: 8). Potensi sumber daya laut yang luas, merupakan sumber penghidupan yang layak bagi kehidupan masyarakat nelayan. Namun dalam kenyataannya kondisi sosial ekonomi nelayan sangat jauh berbeda dengan potensi sumber daya alamnya. Sementara ini perhatian pemerintah terhadap masyarakat nelayan yang juga tergolong masyarakat petani masih sangat kurang. Masyarakat petani bukan saja mereka yang bekerja di sawah dan ladang, melainkan nelayan pun termasuk kelompok petani. Pertanian dalam arti sempit adalah aktivitas yang dilakukan di sawah dan ladang. Sedangkan pengertian pertanian secara lebih luas adalah aktivitas yang dilakukan di sawah, ladang dan laut. Untuk itulah dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani, perlu langkah-langkah operasional yang harus dilakukan seperti peningkatan pendapatan, perluasan lapangan kerja, mempertahankan dan memperluas swasembada pangan, mengoptimalkan sumber daya alam secara lestari, serta penganekaragaman hasil-hasil pertanian (Wibowo, 1997: 32). 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir semakin meningkat. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (Kusuma, 2005: vi). Keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, telah mendorong semangat pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengembangkan daerah pesisir, berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi kekayaan laut di Indonesia dapat diketahui dari wilayah maritim Indonesia yang membentang sekitar 18 ribu pulau, dengan panjang garis pantainya sekitar 81.290 km. Adapun wilayah laut yang dimiliki bangsa Indonesia sekitar 5,8 juta km2, dengan potensi sumber daya di dalamnya yang cukup kaya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001 dalam Nadjib, 2009: 16). Di antara potensi sumber daya yang terkandung di dalam laut Indonesia adalah berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, terumbu karang, rumput laut, bahan tambang dan sebagainya. Oleh karena banyaknya potensi sumber daya yang terkandung itulah menjadi area bagi kepentingan, seperti perburuan ikan, budidaya, pertambangan, transportasi, pariwisata dan bahkan sebagai sumber pembuangan limbah. Kekayaan laut yang beragam tersebut, juga terdapat di wilayah pantai Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, yang sekarang ini sedang mendapatkan perhatian untuk lebih dikembangkan. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia, memiliki luas perairan laut sekitar 9.500 km2 (tidak termasuk perairan Samudra Hindia dan ZEE). 4 Berdasarkan letak geografisnya, maka perairan laut daerah Bali dapat dibagi menjadi empat wilayah yaitu, (1). Perairan Bali bagian utara meliputi perairan pantai sepanjang Kabupaten Buleleng dengan luas perairan 3.168 km². (2). Perairan Bali bagian timur, meliputi perairan pantai Kabupaten Karangasem dengan luas perairan 3.350 km². (3). Perairan Bali bagian barat, meliputi perairan Kabupaten Badung, Tabanan dan Jembrana dengan luas 2.982 km². (4). Perairan Bali bagian selatan atau Samudra Hindia, menurut Manuaba ( dalam Mudana, 2001: 32). Pembagian wilayah perairan laut seperti diuraikan di atas, bahwa Bali Utara (Kabupaten Buleleng) memiliki wilayah laut yang cukup luas, dan memiliki sumber daya alam yang cukup potensial untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena di laut terdapat berbagai sumber daya alam, salah satunya adalah ikan. Berdasarkan potensi yang dimiliki tersebut, pemerintah Kabupaten Buleleng bersama-sama dengan masyarakat dan mengembangkannya, serta pihak swasta telah melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat nelayan di Kabupaten Buleleng, dilakukan terhadap masyarakat pesisir Desa Sumberkima. Di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, terdapat komunitas pesisir yang kesehariannya baik langsung maupun tidak langsung hidup tergantung dari pengelolaan sumber daya laut. Komunitas pesisir Sumberkima kalau dilihat dari stratifikasi sosial ekonomi, bukan tergolong masyarakat homogen, melainkan mereka terbentuk dari kesatuan sosial yang beragam. Kalau disimak dari pola interaksi terhadap sumberdaya ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, mereka 5 bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu, pertama pemanfaat langsung sumberdaya laut, seperti nelayan, pembudidaya ikan di perairan pantai seperti jaring apung, rumpon. Kedua pengolah hasil ikan dan kekayaan laut seperti, pemindang, pembuat garam, pengrajin kerang. Ketiga, penunjang kegiatan ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir dan las) pengusaha angkutan, tukang perahu dan buruh kasar. Pemberdayaan yang dilakukan pada masyarakat nelayan pesisir Desa Sumberkima, yaitu melalui pengembangan usaha budidaya ikan kerapu, dan telah melibatkan pemerintah dan investor (pemilik modal), baik investor dari dalam maupun luar negeri. Dipilihnya ikan kerapu untuk dibudidayakan, karena memiliki nilai jual cukup tinggi. Di samping itu, didukung pula oleh keadaan laut Desa Sumberkima, yang sangat cocok untuk melakukan budidaya ikan laut, khususnya ikan kerapu. Pemberdayaan masyarakat Desa Sumberkima sangat dibutuhkan mengingat adanya banyak potensi yang cukup potensial untuk dikembangkan. Salah satu potensi yang dapat dikembangkan adalah ikan kerapu. Ikan kerapu sangat cocok dikembangkan di Desa Sumberkima, karena didukung oleh potensi alam, sosial, dan budaya. Untuk itu perlu dilakuakn pemberdayaan masyarakat nelayan Desa Sumberkima, sangat dibutuhkan. Ketiga pilar politik-ekonomi-budaya, dikenal dengan istilah threefolding (pemerintah, swasta, masyarakat), sangat berpengaruh besar terhadap pemberdayaan yang dilakukan. Pemerintah berperan dalam memberikan pelatihan dan pembinaan, swasta berperan dalam bidang bantuan modal dan masyarakat 6 dalam bidang budaya (partisipasi). Salah satu masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng yang telah diberdayakan adalah masyarakat pesisir di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Pemerintah Kabupaten Buleleng bersama-sama dengan pihak swasta, telah mengembangkan budidaya ikan kerapu. Budidaya ikan juga telah banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), realisasi produksi perikanan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, hasil budidaya ikan mencapai 4,7 ton, sedangkan pada tahun 2010 mencapai 6,2 juta ton (Anonim, 2011: 21). Adanya peningkatan hasil yang diperoleh, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut telah mendorong terjadinya suatu pergeseran paradigma pembangunan nasional dari pembangunan yang berorientasi sektoral ke pembangunan yang berorientasi keterpaduan dan wilayah. Selain itu, terjadi pula pergeseran orientasi pembangunan nasional dari yang berorientasi daratan ke pembangunan yang berorientasi wilayah pesisir dan lautan. Pergeseran orientasi pembangunan nasional tersebut sebenarnya harus dipandang sebagai sesuatu yang wajar mengingat sebagian besar luas wilayah Indonesia adalah lautan. Untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil, pemerintah telah menerbitkan suatu payung hukum yang mengatur tata cara pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil melalui UU Nomor 27 Tahun 2007. Selanjutnya, telah diterbitkan pula peraturan penjabaran Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.16/Men/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- 7 Pulau Kecil serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Melalui peraturan perundangan di atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dimaknai sebagai suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah wilayah yang berpotensi untuk dijadikan andalan sebagai modal utama dalam membangun suatu daerah. Indonesia sebagai negara kepulauan meskipun mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dikelola secara benar agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan. Selama ini, sebagian besar potensi tersebut masih belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, sehingga belum bisa meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir secara maksimal. Kabupaten Buleleng sebagai wilayah pengembangan perikanan pesisir di Bali, berada di kawasan Bali Utara. Potensi lahan untuk budidaya laut di Bali seluas 3.805 hektar, dipusatkan di Teluk Pegametan, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Desa Sumberkima memiliki pantai cukup luas dan dinilai layak untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) seluas 59 ha dan pengembangan kegiatan budidaya rumput laut, kerang hijau dan kima seluas 130 hektar. Budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung telah dikembangkan di Teluk 8 Pegametan karena karakter lingkungan setempat mendukung keberhasilan budidaya tersebut (Heruni, 2005: 100). Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan di Desa Sumberkima sebanyak 82 kepala keluarga. Sedangkan masyarakat yang bekerja dalam budidaya ikan kerapu kurang lebih 90 orang. Masyarakat yang bekerja dalam budidaya ikan kerapu, sebagian masih ada yang melakukan pekerjaan sampingan sebagai nelayan, terutama pada malam harinya. Masyarakat yang bekerja sebagai tenaga kerja dalam budidaya ikan kerapu, selain para nelayan, bisa juga salah satu dari anggota keluarganya. Pemberdayaan masyarakat, terutama masyarakat pesisir, bertujuan untuk memberi peluang kepada mereka dalam menentukan hidupnya menuju yang lebih baik. Masyarakat pesisir dilihat dari kondisi ekonominya, tergolong masyarakat miskin, sehingga perlu dilakukan suatu pemberdayaan. Masyarakat pesisir di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali, dilihat dari kondisi ekonominya juga tergolong miskin dan perlu dilakukan pemberdayaan. Salah satu patokan yang digunakan apakah seseorang tergolong miskin atau tidak, yaitu dengan mengacu pada kriteria yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS). BPS setiap tahun biasanya selalu mengeluarkan batasan pendapatan per kapita per tahun, dan dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dan kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yakni setara 2.100 kalori energi per kapita sehari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok (Setiadi, 2011: 792). 9 Kemiskinan selain dipandang dari segi ekonomi, juga dapat dipandang dari segi sosial budaya. Kemiskinan jika dipandang dari segi sosial budaya, terdiri atas : (1). Kemiskinan kultural. dan (2). Kemiskinan struktural. Menurut Setiadi, 2011: 979, menjelaskan kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok, masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah diajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan mengubah tingkat kehidupannya. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, dan boros. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tertanam ekonomi dunia yang cendrung menguntungkan kelompok sosial tertentu. Kemiskinan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima, yang dapat dilihat yaitu adanya sikap dan perilaku masyarakat yang kurang sabar, serta tidak mau dan berani menanggung resiko. Adanya kondisi seperti itu maka sebagian besar warga masyarakat tetap bertahan sebagai nelayan, dan hanya sebagian kecil saja yang mau mengubah profesi sebagai nelayan. Alasan mereka tetap memilih sebagai nelayan karena hasil yang mereka peroleh lebih cepat, dibandingkan dengan melakukan usaha budidaya ikan kerapu, serta tidak banyak menanggung resiko, khususnya dipandang dai segi ekonomi. Melakukan usaha budidaya ikan kerapu 10 memperoleh hasil dalam waktu yang cukup lama serta menanggung resiko yang cukup tinggi. Sedangkan kemiskinan struktural pada masyarakat nelayan di Desa Sumberkima dapat diketahui dengan adanya sumberdaya manusia yang masih rendah, yaitu dilihat berdasarkan tingkat pendidikan masyarakatnya. Masyarakat nelayan di Desa Sumberkima, sebagian besar hanya mampu menamatkan sekolahnya pada tingkat sekolah dasar (SD), bahkan banyak yang tidak tamat sekolah dasar (SD). Selain sumberdaya manusia yang masih sangat rendah, juga kondisi alamnya yang kurang mendukung. Wilayah Desa Sumberkima sebagian besar merupakan daerah tegalan yang hanya bisa ditanami tanaman pada musim hujan. Dengan demikian hasil bumi yang mereka peroleh hanya setahun sekali. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Sumberkima yang masih tergolong miskin tersebut, mendorong masyarakat untuk melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Salah satu usaha yang telah dilakukan adalah melakukan budidaya ikan kerapu. Budidaya ikan kerapu sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat Desa Sumberkima, yaitu mulai tahun 2000. Pelaksanaan usaha budidaya ikan kerapu dari tahun 2000 sampai tahun 2005 mengalami pasang surut. Tahun 2005 banyak pengusaha yang kabur karena kondisi cuaca yang tidak baik dan pasaran ikan kerapu anjlok (mengalami penurunan harga). Kondisi tersebut menyebabkan para investor mengalami kerugian dalam melakukan usaha budidaya ikan kerapu. Dalam budidaya ikan kerapu, khususnya di Desa Sumberkima, kendala yang dihadapi, antara lain: (1). Modal yang dimiliki terbatas, (2). Rendahnya sumber 11 daya manusia (SDM). Faktor modal sangat penting, karena usaha budi daya ikan kerapu membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain modal, sumber daya manusia juga perlu diperhatikan. Ikan kerapu (family sarranidae) merupakan jenis ikan yang paling popular dan bernilai tinggi di antara jenis ikan karang di daerah Asia-pasifik. Ikan kerapu umumnya tumbuh cepat, kuat dan cocok untuk budidaya intensif dan mempunyai kekhasan dalam pasca panen serta penyajiannya dalam konsumsi. Permintaan jenis ikan kerapu cukup tinggi karena mempunyai keunikan dalam cara memasak dan menyajikannya serta persediaan di alam sangat langka. Ikan kerapu biasanya dipelihara dalam keramba jaring apung (KJA) dan tambak, namun KJA lebih umum diterapkan di negara-negara Asia-Tenggara. Budidaya ikan kerapu di tambak bekas budidaya udang intensif menjadi sangat menarik terutama setelah tambak udang intensif menemui masalah produksi. Masalah utama yang dihadapi dalam kegiatan budidaya ikan kerapu adalah kematian ikan masih terlalu tinggi karena penanganan yang kurang memadai, akibatnya setres, lalu diserang penyakit dan akhirnya mati. Pemberdayaan masyarakat nelayan budidaya ikan kerapu di Desa Sumberkima penting diteliti sebagai penelitian kajian budaya, karena sangat relevan dengan disiplin kajian budaya. Pemberdayaan tersebut bertujuan untuk mengadakan perubahan terhadap kehidupan masyarakat nelayan (perubahan sosial). Sardar dan Van Loon, dalam Hasan (2011: 30) mengungkapkan cultural studies tidak hanya studi tentang budaya, melainkan memiliki tujuan untuk memahami budaya dalam bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks 12 sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Cultural studies melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan garis radikal tindakan politik. Tradisi yang dipegangnya bukanlah tradisi yang bebas nilai (value-free), melainkan secara tegas berkomitmen bagi rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Jadi, ia berusaha tidak hanya untuk memahami, tetapi juga punya maksud untuk mengubah struktur dominasi yang ada di mana-mana, terutama dalam masyarakat kapitalis. Seperti yang telah diuraikan, maka pemberdayaan masyarakat nelayan budi daya ikan kerapu di Desa Sumberkima dipandang relevan dengan ilmu kajian budaya, di mana kajian budaya memusatkan perhatiannya pada isu-isu salah satunya perubahan sosial. Demikian pula dengan masyarakat di Desa Sumberkima menginginkan adanya perubahan sosial yang di dalamnya berkaitan dengan usaha pemberdayaan ikan kerapu di Desa Sumberkima. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima? 2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima? 3. Apa implikasi dan makna pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima? 13 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat luas mengenai pemberdayaan masyarakat nelayan dalam budidaya ikan kerapu, terutama budidaya ikan kerapu yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima. 2. Untuk mengetahui faktor pemengaruh pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima. 3. Untuk mengetahui implikasi pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Sumberkima. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk : 1. Menambah khazanah pengetahuan tentang pemberdayaan masyarakat nelayan budidaya ikan kerapu di Desa Sumberkima. 14 2. Penelitian ini dapat dipakai acuan keilmuan dalam kazanah penelitian ilmu kajian budaya, terutama dalam bidang budidaya ikan kerapu yang dikembangkan oleh masyarakat. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat: 1. Sebagai bahan informasi/masukan kepada pemerintah daerah dan pusat dalam mengambil kebijakan, khususnya yang terkait dengan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu. 2. Sebagai bahan informasi bagi pengusaha, bahwa Desa Sumberkima memiliki potensi yang sangat cocok untuk mengembangkan usaha budidaya ikan kerapu, dan menarik minatnya untuk menanamkan modalnya di sana. 3. Memberi sumbangan pemikiran kepada masyarakat, khususnya masyarakat nelayan di Desa Sumberkima, dalam melakukan usaha budidaya ikan kerapu.