Bab II Metoda Geolistrik Tahanan Jenis 2D Metoda Geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metoda geolistrik yang sering digunakan dalam survei geofisika untuk eksplorasi yang relatif dangkal, diantaranya digunakan dalam eksplorasi sumber mata air, keadaan struktur bawah permukaan dan juga dapat digunakan sebagai pendukung eksplorasi bahan-bahan tambang. Dalam aplikasi eksplorasi, metode geolistrik (resistivity) dapat memberikan informasi yang tidak mungkin diberikan oleh metoda lain. Dalam survei metode geolistrik akan diperoleh nilai beda potensial, kuat arus dan nilai tahanan jenis batuannya. Tahanan jenis batuan yang didapat secara langsung merupakan tahanan jenis semu yang memerlukan suatu pengolahan data lebih lanjut untuk mendapatkan tahanan jenis yang sebenarnya untuk tiap-tiap lapisan. Tahanan jenis sebenarnya tersebut digambarkan sebagai penampang 1D pada setiap stasiun. Kemudian dari penanmpang 1D tersebut, dapat dikembangkan menjadi penampang 2D dengan metoda mapping dengan cara korelasi tiap-tiap stasiun. II.1. Prinsip Dasar Metoda Resistivitas Konsep dasar dari Metoda Geolistrik adalah Hukum Ohm yang pertama kali dicetuskan oleh George Simon Ohm. Dia menyatakan bahwa beda potensial yang timbul di ujung-ujung suatu medium berbanding lurus dengan arus listrik yang mengalir pada medium tersebut. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa tahanan listrik berbanding lurus dengan panjang medium dan berbanding terbalik dengan luas penampangnya. Formulasi dari kedua pernyataan Ohm di atas, dapat dituliskan sebagai berikut: V ∞ I atau V = I .R R∞ (2.1a) L L atau R = ρ A A (2.1b) 6 Arus listrik diasumsikan muatan positif yang bergerak ke arah terminal megatif, sedangkan muatan negatif bergeraka ke terminal positif. Namun kesepakatan menyatakan bahwa arus listrik bergerak dari muatan positif ke arah muatan negatif. Prinsip pelaksanaan survei resistivitas adalah mengalirkan arus listrik searah ke dalam bumi melalui dua elektroda arus yang ditancapkan pada dua titik permukaan tanah dan kemudian mengukur respon beda potensial yang terjadi antara dua titik yang lain di permukaan bumi dimana dua elektroda potensial ditempatkan dalam suatu susunan tertentu. Dari data pengukuran yang didapat yakni beda potensial dan kuat arus, akan diperoleh harga-harga resistivitas semu untuk setiap spasi elektroda yang dibentang. Harga-harga tersebut digambarkan pada kertas grafik log-log untuk mendapatkan kurva lapangan. Kurva lapangan ini kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan harga-harga ketebalan dan resistivitas lapisan bawah permukaan bumi. Dalam pendugaan resistivitas, digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut: - Pada bawah permukaan bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ketebalan tertentu, kecuali pada lapisan terbawah yang mempunyai ketebalan tidak berhingga - Bidang batas antar lapisan adalah horizontal. - Setiap lapisan dianggap homogen isotropis Apabila pada medium homogen isotrropis dialiri arus searah (I) dengan medan listrik (E), maka elemen arus (dI) yang melalui suatu elemen luasan (dA) dengan rapat arus ( J ) akan berlaku hubungan: dI = J ⋅ dA (2.2) Dengan demikian rapat arus ( J ) di setiap elemen luasan akibat medan listrik (E), akan memenuhi hubungan sebagai berikut: 7 J = σE (2.3) dengan E dalam Volts per meter dan σ adalah konduktivitas medium dalam siemens per meter (S/m) atau MHO/m (Ω-m)-1. Medan listrtik adalah gradien dari potensial skalar, E = −∇V (2.4) sehingga kita mendapatkan J = −σ∇V (2.5) Apabila arus stasioner dengan koefisien konduktivitas σ konstan, maka akan diperoleh persamaan Laplace dengan potensial harmonis. Hal ini akan dijabarkan pada seksi berikut. II.2. Potensial Pada Bumi Homogen Isotropis Lapisan bumi bersifat homogen isotropis adalah merupakan pendekatan yang sederhana dalam penentuan tahanan jenis lapisan-lapisan batuan bumi, sehingga tahanan jenis ρ dianggap tidak bergantung pada sumbu koordinat dan ρ merupakan fungsi skalar jarak titik pengamatan. Arus tunggal I menyebabkan timbulnya distribusi potensial. Dalam hal ini hukum-hukum fisika dasar yang dapat digunakan adalah terutama Hukum Kekekalan Muatan dan Hukum Ohm. Aliran arus yang mengalir dalam bumi homogen isotropis didasarkan pada Hukum Kekekalan Muatan yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: ∇⋅J = − ∂q ∂t (2.6) Dimana, J = rapat arus (A/m2) q = rapat muatan (C/m3) Persamaan di atas disebut juga sebagai persamaan kontinuitas. Bila arus stasioner maka persamaan (2.6) menjadi : ∇⋅J = 0 (2.7) 8 Hukum Ohm menyatakan bahwa besarnya rapat arus J akan sebanding dengan besarnya medan listrik E , sehingga diperoleh persamaan matematis seperti berikut : J = 1 ρ E = σ E = −σ ∇ V (2.8) Arah J sama dengan arah E dan σ konstan bila medium homogen isotropis. dimana: ρ = tahanan jenis medium E = medan listrik (volt/m) σ = 1 ρ = hantaran medium (mho/m) V = potensial listrik (volt) Dari persamaan (2.7) dan (2.8) untuk medium homogen isotropis ρ konstan, maka σ juga konstan atau ∇σ = 0, sehingga diperoleh persamaan Laplace sebagai berikut: ∇ 2V = 0 (2.9) Persamaan (2.9) ini termasuk persamaan dasar dalam teori penyelidikan geolistrik tahanan jenis. Dengan demikian distribusi potensial listrik untuk arus listrik searah dalam medium homogen isotropis memenuhi persamaan Laplace. II.3 Potensial Elektroda Arus Tunggal pada Permukaan Medium Isotropis Y θ C1 X Power Pb C2 φ Z Arah aliran arus Muka potensial sama Gambar II.1. Sumber arus tunggal di permukaan medium homogen isotropis (Loke, 2004) 9 Pada model bumi yang berbentuk setengah bola homogen isotropis memiliki konduktivitas udara sama dengan nol. Dengan demikian arus I yang dialirkan melalui sebuah elektroda pada titik P di permukaan, akan tersebar ke semua arah dengan besar yang sama. (Gambar II.1). Potensial pada suatu jarak r dari titik P, hanya merupakan fungsi r saja. Persamaan Laplace yang berhubungan dengan kondisi ini dalam sistem koordinat bola adalah: 1 ∂ ⎛ 2 ∂V ⎞ 1 1 ∂ ⎛ ∂V ⎞ 1 ∂V =0 ⎜r ⎟+ 2 ⎜ sin θ ⎟+ 2 2 2 ∂θ ⎠ r sin θ ∂φ 2 r ∂r ⎝ ∂r ⎠ r sin θ ∂θ ⎝ (2.10) Mengingat arus yang mengalir simetri terhadap arah θ dan φ pada arus tunggal, maka persamaan di atas menjadi: ∂ 2V 2 ∂V + =0 ∂r 2 r ∂r (2.11) Dengan demikian potensial di setiap titik yang berhubungan dengan sumber arus pada permukaan bumi yang homogen isotropis adalah: V = 1 Iρ r 2π atau ρ = 2π r V I (2.12) II.4 Potensial Dua Elektroda Arus pada Permukaan Homogen Isotropis Pada pengukuran geolistrik tahanan jenis, biasanya digunakan dua buah elektroda arus C di permukaan. Besarnya potensial pada titik P di permukaan akan dipengaruhi oleh kedua elektroda tersebut (Gambar II.2). Gambar II.2. Dua elektroda arus dan potensial di permukaan bumi homogen isotropis (Loke & Barker, 1996) 10 Potensial pada titik P1 yang disebabkan oleh arus dari elektroda C1 dan C2 (berdasarkan persamaan (2.12)) adalah: V1 = Iρ Iρ dan V2 = − 2π r1 2π r2 Beda potensial di titik P1 akibat arus C1 dan C2 menjadi: V1 + V2 = Iρ 2π ⎛1 1⎞ ⎜⎜ − ⎟⎟ ⎝ r1 r2 ⎠ (2.13) Demikian pula potensial yang timbul pada titik P2 akibat arus dari elektorda C1 dan C2, sehingga beda potensial antara titik P1 dan P2 ditulis sebagai: ∆V = Iρ 2π ρ =k ∆V I ⎡⎛ 1 1 ⎞ ⎛ 1 1 ⎞⎤ Iρ ⎢⎜⎜ − ⎟⎟ − ⎜⎜ − ⎟⎟⎥ = ⎣⎝ r1 r2 ⎠ ⎝ r3 r4 ⎠⎦ k (2.14) atau k= 2π ⎛1 1⎞ ⎛1 1 ⎜⎜ − ⎟⎟ − ⎜⎜ − ⎝ r1 r2 ⎠ ⎝ r3 r4 ⎞ ⎟⎟ ⎠ (2.15) dimana k adalah faktor geometri yang bergantung pada susunan elektroda. Harga resistivitas pada persamaan (2.15) merupakan harga resistivitas semu yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Harga resistivitas sebenarnya dapat diperoleh dengan melakukan suatu proses perhitungan, baik secara manual maupun secara komputerisasi. Perhitungan secara manual dilakukan dengan bantuan beberapa jenis kurva yang dikenal dengan kurva standar dan kurva bantu. Sedangkan cara komputerisasi membutuhkan suatu perangkat lunak berupa software. Software yang umum digunakan adalah IP dan RES2DINV. Gambar II.3 dan II.4 memperlihatkan kisaran harga resistivitas dari beberapa jenis batuan. Harga resistivitas batuan dapat berubah-ubah, apabila kandungan fluida dalam pori-pori batuan mengalami perubahan atau terjadi perubahan secara signifikan kandungan kimia yang memiliki kontras harga resistivitas. 11 Gambar II.3. Kisaran rata-rata harga resistivitas spesifik dan permitivitas relatif beberapa jenis batuan.(Schön, 1996) Gambar II.4. Kisaran harga resistivitas beberapa jenis batuan, tanah, dan mineral (Loke, 2004) II.5 Konfigurasi Elektroda dan Sensitivitasi Ada beberapa bentuk konfigurasi elektroda (potensial dan arus) dalam eksplorasi geolistrik tahanan jenis dengan faktor geometri yang berbeda-beda, yaitu: Wenner Alpha, Wenner Beta, Wenner Gamma, Pole-Pole, Dipole-Dipole, Pole-Dipole, Wenner–Schlumberger, dan Equatorial Dipole-Dipole. Setiap konfigurasi 12 memiliki kelebihan dan kekurangan, baik ditinjau dari efektivitas dan efisiensinya maupun dari sensitifitasnya. Gambar II.5 menunjukkan berbagai bentuk susunan (konfigurasi) elektroda. Gambar II.5. Konfigurasi elektroda dalam eksplorasi geolistrik (Loke, 2004) II.5.1. Wenner Alpha Wenner Alpha memiliki konfigurasi elektroda potensial berada di antara elektroda arus yang tersusun dari C1 – P1 – P2 – C2. Jarak elektroda yang satu dengan lainnya sama dengan a, seperti terlihat pada Gambar II.5a. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 2 π a. Keuntungan dan keterbatasan konfigurasi Wenner Alpha (Taib, 2004), adalah: 1. Konfigurasi elektroda Wenner Alpha, sangat sensitif terhadap perubahan lateral setempat dan dangkal; seperti gawir, lensa-lensa setempat. Hal tersebut terjadi karena anomali geologi diamati oleh elektroda Ci dan Pi berkali-kali. Namun demikian untuk jarak C-P yang lebih pendek, daya tembus (penetrasi) lebih besar, sehingga berlaku untuk eksplorasi resistivitas dalam. 13 2. Karena bidang equipotensial untuk benda homogen berupa bola, maka datadata lebih mudah diproses dan dimengerti. Disamping itu, errornya kecil. 3. Karena sensitif terhadap perubahan-perubahan ke arah lateral di permukaan, konfigurasi ini disukai dan banyak digunakan untuk penyelidikan Geotermal. 4. Karena pengukuran setiap elektroda harus dipindahkan, maka memerlukan buruh yang lebih banyak. II.5.2. Wenner Beta Wenner beta merupakan kasus khusus untuk konfigurasi Dipole-Dipole dengan susunan elektroda seperti terlihat pada Gambar II.5b. Elektroda potensialnya berdekan pada satu sisi dan elektroda arusnya di sisi yang lain, dengan susunan mulai dari C2 – C1 – P1 – P2. Jarak elektroda yang satu ke elektroda yang lain juga sama dengan a. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 6 π a. Keunggulan dan kelemahan konfigurasi ini hampir sama dengan Wenner Alpha, hanya berbeda pada sensitivitas. Wenner Beta lebih sensitif ke arah horisontal dibandingkan Wenner Alpha, sementara Wenner Alpha lebih sensitif ke arah vertikal atau penetrasi Wenner Alpha lebih dalam daripada Wenner Beta. II.5.3. Wenner Gamma Jarak elektroda konfigurasi ini juga seperti Wenner Alpha dan Beta yaitu sejauh a, akan tetapi kedudukan elektrodanya berselang-seling mulai C1 – P1– C2 – P2, seperti pada Gambar II.5c. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 3 π a. Konfigurasi ini jarang digunakan karena memang tidak dapat memberikan hasil yang lebih baik dan memuaskan. II.5.4. Pole-Pole Jarak elektroda konfigurasi ini juga sama dengan a, namun elektrodanya hanya terdiri dari satu elektroda arus dan satu elektroda potensial seperti terlihat pada Gambar II.5d. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 2 π a. Karena cuma satu elektroda arus dan satu elektoda potensial, maka tidak membutuhkan buruh yang banyak. Akan tetapi terlalu banyak potensial yang tidak terukur. 14 II.5.5. Dipole-Dipole Konfigurasi ini mempunyai susunan elektroda sama dengan Wenner Beta, hanya jarak antara elektroda arus dengan elektroda potensial sama dengan n kali jarak kedua elektroda yang sama (P1 ke P2 atau C1 ke C2). Konfigurasinya dapat dilihat pada Gambar II.5e, dengan faktor geometri sama dengan k = πn(n + 1)(n+2)a. Kelemahan konfigurasi ini memerlukan buruh yang banyak, tetapi dapat memberikan informasi secara horisontal yang cukup jauh. II.5.6. Pole-Dipole Konfigurasi Pole-Dipole merupakan gabungan antara Pole-Pole dengan DipoleDipole, sehingga elektroda yang digunakan hanya 3 masing-masing satu elektroda arus dan dua elektroda potensial. Adapun susunannya diperlihatkan dalam Gambar II.5f, dengan faktor geometri k = 2πn(n + 1)a. Karena Cuma satu elektroda arus, maka tidak membutuhkan buruh yang banyak. Akan tetapi untuk interpretasi, sebaiknya digunakan pengukuran inverse. II.5.7. Wenner – Schlumberger Dalam konfigurasi ini, posisi elektroda sama dengan Wenner Alpha, tetapi jarak antara elektroda arus dan elektroda potensial adalah n kali jarak kedu elektroda potensial. Konfigurasi ini ditunjukkan dalam Gambar II.5g dengan dengan faktor geometri sama dengan k = π n(n + 1)a. Keuntungan dan keterbatasan konfigurasi Wenner- Schlumberger (Taib, 2004), adalah: 1. Dalam konfigurasi ini, MN tidak terlalu sering dipindahkan, sehingga mengurangi jumlah buruh yang dipakai. 2. Referensi dan kurva-kurva lebih banyak, dan studi yang dilakukan cukup banyak. 3. Konfigurasi ini tidak terlalu sensitif terhadap adanya perubahan lateral setempat, sehingga metoda ini dianjurkan dipakai untuk penyelidikan dalam. 4. Kelemahannya: AB/MN harus berada pada rasio 2,5 < AB/MN < 50. Di luar rasio tersebut, faktor geometri sudah berdeviasi. 15 II.5.8. Equatorial Dipole-Dipole Konfigurasi ini lain dari ke-7 konfigurasi yang lain, karena elektrodanya tegak lurus dengan arah lintasan, seperti terlihat pada Gambar II.5h. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 2 π b L/(L – b), dimana b = n a dan L = (a*a + b*b)0,5. Konfigurasi ini disamping memerlukan buruh yang banyak juga butuh strategi yang mantap, karena bentangan elektroda tegak lurus dengan arah lintasan. Dengan kata lain elektroda arus dan elektroda potensial dipasang sejajar tapi tidak segaris. Namun dalam satu kali mengukur dapat mencapai daerah yang luas. Gambar II.6. Model sintetik yang menunjukkan sensitifitas tiap konfigurasi elektroda dalam eksplorasi geolistrik (Darlin dan Zhou, 2004) Setiap konfigurasi elektroda memiliki sensitivitas yang berbeda-beda, misalnya Wenner Alpha dan Schlumberger memiliki kedudukan elektroda yang sama dan sama sensitif terhadap perubahan vertikal, akan tetapi jangkauan penetrasinya berbeda karena dipengaruhi oleh faktor jarak. Begitu pula Wenner Beta dan Dipole-Dipole yang sensitif terhadap perubahan horisontal, namun Dipole-Dipole lebih baik untuk daerah yang lebih luas. Seperti yang terlihat pada Gambar II.6. 16 Tabel II.1 menunjukkan harga setengah dari kedalaman investigasi untuk setiap bentangan yang berbeda dengan panjang bentangan maksimum (L). Dari tabel tersebut dapat diketahui kedalaman penetrasi setiap konfigurasi. Tabel II.1. Setengah kedalaman yang diketahui (ze) untuk bentangan yang berbeda. L adalah panjang bentangan maksimum. Merujuk pada Gambar II.5 untuk konfigurasi elektroda dari bentangan yang berbeda. Faktor geometri untuk nilai “a” 1 meter. (Loke, 2004) 17 Apabila bumi dalam keadaan homogen, maka tahanan jenis (ρ) tidak bergantung pada perubahan arus (I) dan jarak elektroda. Kenyataannya angka/nilai ρ sering tidak konstan bila jarak diubah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi bawah permukaan bumi tidaklah homogen. Dengan demikian tahanan jenis yang diukur di lapangan bukanlah nilai sebenarnya tetapi tahanan jenis semu (apparent resistivity = ρa). II.6 Model Sintetik Pada Gambar II.7 disajikan sebuah model sintetik. Model tersebut terdiri atas sebuah kotak berukuran 10 x 6 meter yang mempunyai harga resistivitas 10 Ωm dan terletak di tengah-tengah model dengan kedalaman puncak kotak ke permukaan sebesar 5 meter. Sedangkan latar belakang model kotak tersebut adalah material dengan harga resistifitas 200 Ωm. 10 Ωm 200 Ω m Gambar II.7. Model sintetik satu blok Model pada Gambar II.7 digunakan sebagai masukan untuk pemodelan ke depan (Forward Modeling). Merbagai macam konfigurasi elektroda digunakan di dalam pemodelan ke depan ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing konfigurasi. Pada pemodelan sintetik ini, yang akan ditampilkan hanya konfigurasi Wenner Alpha, Wenner Beta, Pole-Pole, dan Pole-Dipole. 18 II.6.1 Konfigurasi Wenner Alpha Gambar II.8 memperlihatkan penampang resistivitas semu, sebagai hasil pemodelan ke depan dengan input model pada Gambar II.7. Penampang resistivitas ini menggunakan konfigurasi Wenner Alpha. Gambar II.8. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Wenner Alpha. a b c Gambar II.9. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Wenner Alpha. (a) Resistifitas semu pengukuran, (b) Resistifitas semu perhitungan (respon model), (c) Hasil inversi Pada Gambar II.9 terlihat resistivitas semu pengukuran, respon model, dan hasil inversi dari model sintetik pada Gambar II.8 dengan menggunakan konfigurasi Wenner Alpha. Pada model inversi warna hijau dianggap sebagai target dengan 19 harga resistivitas 52-70 Ωm mempunyai dimensi lebih besar dengan lebar sekitar 10 meter dan kedalaman puncak target sekitar 5 meter dari permukaan, sementara batas bawahnya berada pada kira-kira 12 meter. II.6.2 Konfigurasi Wenner Beta Penampang resistivitas semu pada Gambar II.10 merupakan hasil pemodelan ke depan dari model input Gambar II.7. Penampang resistivitas ini menggunakan konfigurasi Wenner Beta. Hasil inversi yang diperoleh dari model sintetik di atas, dapat dilihat pada Gambar II.11. Gambar II.10. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Wenner Beta. a b c Gambar II.11. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Wenner Beta. (a) Resistifitas semu pengukuran, (b) Resistifitas semu perhitungan (respon model), (c) Hasil inversi 20 Pada Gambar II.11, ditunjukkan resistivitas semu pengukuran, respon model dan hasil inversi dari model sintetik dengan konfigurasi Wenner Beta. Target (model) diperkirakan memiliki harga resistivitas berkisar antara 29-44 Ωm (warna biru hingga hijau) dengan kedalaman puncak sekitar 6m dari permukaan dan lebar sekitar 10m, sedangkan batas bawahnya diperkirakan pada kedalaman 12 m dari permukaan. Dimensi target sekitar 6 x 10 meter yang hampir sama dengan model. II.6.3 Konfigurasi Pole-Pole Pada Gambar II.12 diperlihatkan penampang resistivitas semu yang merupakan hasil pemodelan ke depan dengan input model pada Gambar II.7. Penampang resistivitas ini menggunakan konfigurasi Pole-Pole. Gambar II.12. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Pole-Pole a b c Gambar II.13. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Pole-Pole. (a) Resistifitas semu pengukuran, (b) Resistifitas semu perhitungan (respon model), (c) Hasil inversi 21 Hasil inversi dari model sintetik (Gambar II.12) dengan konfigurasi Pole-Pole ditunjukkan pada Gambar II.13 dengan resistivitas 29-52 Ωm yang berwarna hijau. Kedalaman puncak target dari hasil inversi sekitar 4.5m dari permukaan dengan lebar rata-rata 9 m, batas bawah target sekitar kedalaman 11 m. II.6.4 Konfigurasi Pole-Dipole a b Gambar II.14. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Pole-Dipole. (a) Forward Pole-Dipole dan (b) Reverse Pole-Dipole Pada Gambar II.14 diperlihatkan dua penampang resistivitas semu yang merupakan hasil pemodelan ke depan dengan input model pada Gambar II.7. Penampang resistivitas ini menggunakan konfigurasi Pole-Dipole. Hasil inversi dari model sintetik ini juga diperlihatkan dua bentuk. Gambar II.15 menunjukkan hasil inversi dari kedua model sintetik di atas yang menggunakan konfigurasi Pole-Dipole. Masing-masing inversi dilengkapi dengan penampang resistivitas semu dan respon model yang ditebak. Kedalaman puncak target dari kedua hasil inversi hampir sama bahkan tidak dapat dibedakan sekitar 5m dari permukaan. Dimensi target hasil inversi dari kedua model, baik Forward Pole-Dipole maupun Reverse Pole-Dipole memiliki lebar rata-rata sekitar 9 meter dan batas bawah target diperkirakan pada kedalaman 13 meter dari permukaan. Jadi tinggi target sekitar masing-masing 7 meter, namun pada konfigurasi Reverse Pole-Dipole, model target tidak segiempat tapi mendekati jajaran genjang. 22 a b Gambar II.15. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Pole-Dipole (a) ke depan dan (b) ke belakang, masing-masin (atas) Resistifitas semu pengukuran, (tengah) Resistifitas semu perhitungan, (bawah) Hasil inversi 23 II.7 Hubungan Parameter Geolistrik dengan Parameter Gerakan Tanah Umumnya batuan menghambat arus listrik, dan kebanyakan batuan penyusun kerak bumi merupakan senyawa ionik atau kovalen. Setiap batuan dalam kerak bumi memiliki pori-pori yang biasanya terisi oleh fluida terutama air. Air dalam pori tersebut mengandung larutan garam atau zat-zat kimia sehingga bersifat elektrolit dan besaran yang menyangkut pori-pori ini disebut Porositas. Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori (ruang pori) dengan volume total batuan. φ= Vp V = 1− Vp Vm atau φ = 100% V V (2.16) dimana Vp = volume pori Vm = volume matrix V = volume total batuan φ = porositas Besar kecilnya tahanan jenis batuan ditentukan oleh besar kecilnya tahanan jenis fluida (cairan) yang mengisi pori-porinya. Tahanan jenis suatu benda berbanding lurus dengan tahanan (Ω) dan luas penampang bendan yang dilewati arus (A) serta berbanding terbalik dengan jarak sisi benda bertolak belakang (l). Untuk menuliskan formulasi dari tahanan jenis benda ini, maka persamaan (2.1b) dimodifikasi menjadi: ρ= RA l (2.17) dimana ρ = tahanan jenis benda (Ω-m) R = tahanan atau hambatan (Ω) A = luas permukaan yang dilewati arus (m2) l = panjang benda yang dilewati arus (m) Persamaan Archie I menyangkut hubungan antara tahanan jenis batuan dengan pori-pori dan cairan yang mengisinya ditulis dalam bentuk matematikan: ρ = a ρ w φ −m (2.18) 24 dimana ρw = tahanan jenis cairan yang terkandung dalam pori batuan (Ω-m) a = tetapan empiris yang mencirikan karakter batuan m = tetapan empiris yang mencirikan karakter sementasi Banyak varian yang dikembangkan oleh beberapa ahli, sehingga a dan m pada persamaan (2.18) ditulis dalam Tabel II.2 berikut. Tabel II.2. Hubungan resistivitas dengan porositas (Taib, 2004) No 1 2 3 Ahli Archie (1942) Boyce (1968) Winsaner (1952) a 1.00 1.30 0.62 m 2.00 1.45 2.15 Menurut Archie (1942,1950) bahwa porositas batuan tidak lepas dari pengaruh faktor formasi, yang ditulis F= 1 φm dengan F = ρ ρw (2.19) Akan tetapi Wyllie dan Gregorie (1953) berpendapat lain tentang hubungan tersebut, beliau menyisipkan suatu konstatan D seperti berikut: F= D (2.20) φm Kisaran harga porositas suatu benda dapat dilihat pada Tabel II.3 berikut. Tabel II.3. Kisaran porositas bahan sedimen (Todd, 1961) Jenis Bahan Sedimen Tanah/Soil Lempung/clay Lanau/silt Pasir sedang-kasar Pasir ukuran sama Pasir halus-sedang Kerikil Kerikil dan pasir Batupasir/breksi Batuserpih Batu kapur/gamping Porositas (%) 50 – 60 45 – 55 40 – 50 35 – 40 30 – 40 30 – 35 30 – 40 20 – 30 10 – 20 1 – 10 1 – 10 25 Porositas dapat pula dikaitkan dengan permeabilitas butiran K, sebagaimana yang dirumuskan berikut: φ =CKn (2.21) Menurut Worthington dan Barker (1973) dari persamaan (2.20) dan (2.21) C, n, D, dan m merupakan tetapan dengan harga masing-masing 0.44; 0.113; 1.05; dan 1.47. sehingga kedua persamaan ini dapat ditulis seperti: F = 3.3 K −0.17 (2.22) Apabila porositas dihubungkan dengan densitas, maka akan diperoleh: φ = dw − dd (2.23) dimana dw = densitas basah dd = densitas kering Jika batuan yang ditinjau adalah porous dan mudah pecah, maka porositas total dan porositas efektif tidak jauh perbedaan dan dianggap ekuivalen. Densitas material (ds) dapat dihitung dari: ds = dd 1−φ (2.24) Dalam Tabel II.3 dapat dilihat hubungan antara porositas dan densitas beberapa jenis sedimen. Tabel II.4. Diameter ukuran butir rata-rata, densitas dan porositas dari beberapa jenis sedimen; teras kontinen (shelf dan slope); (Hamilton & Bachman, 1982) Sediment types Sand, coarse fine very fine Silty sand Sandy silt Silt Sand-silt-clay Clayey silt Silty clay Mean Grean Diameter (mm) 0.5285 0.1638 0.0988 0.0529 0.0340 0.0237 0.0177 0.0071 0.0022 26 Density (g/cm3) 2.034 1.962 1.878 1.783 1.769 1.740 1.575 1.489 1.480 Porosity (%) 38.6 44.5 48.5 54.2 54.7 56.2 66.3 71.6 73.0