1 Dukungan Proklamasi Kemerdekaan di Bali Dr. Abdul Syukur, M.Hum Pendahuluan Tulisan ini disusun berdasarkan permintaan dari panitia Seminar Nasional Proklamasi Kemerdekaan RI di 8 Wilayah Propinsi yang diselenggarakan Museum Perumusan Naskah Proklamasi Kemenetrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 30 Oktober 2014 di Jakarta. Thema yang diberikan panitia untuk penulis adalah Peran Aktif Golongan Pro-Republik Era Awal Kemerdekaan Indonesia di Sunda Kecil, khususnya Bali. Pulau Bali menjadi pusat pemerintahan Propinsi Sunda Kecil yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia pada awal kemerdekaan. Kebijakan ini sesunggunya merupakan kelanjutan dari kebijakan dua pemerintahan sebelumnya, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerntahan pendudukan militer Jepang. Fokus tulisan ini adalah peran akif golongan pro-repubik di Bali terhadap proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Explanasi (Penjelasan) terhadap peran aktif mereka dibahas dengan menelusuri mentifact (fakta mental) dan sosiofact (fakta sosial) yang mengintegrasikan Bali dengan seluruh wilayah koloni pemerintah Hindia Belanda. Penelusuran dijelaskan dalam kerangka berpikir kausalitas yang sangat penting dalam studi-studi kesejarahan. Kolonisasi Belanda di Bali Kolonisasi Belanda berawal dari kegiatan perdagangan yang dilakukan gabubungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda yang terhimpun dalam VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Perusahaan ini dibentuk pada 20 Maret 1602 Dr. Abdul Syukur, M.Hum adalah dosen di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2 dan mendapatkan dukungan politik dari Staten General, sebuah dewan perwakilan tujuh negara bagian Belanda. Di antara bentuk dukungan adalah menerbitkan Octrooi (Surat Izin) kepada VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur. Di samping itu pihak kerajaan Belanda memberikan perlindungan dengan melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal dagang VOC yang berlayar dari Belanda ke Hindia Timur, dan sebaliknya. Perusahaan VOC beroperasi selama 197 tahun lamanya. Pemerintah Belanda membubarkan VOC pada tahun 1799 karena tidak sanggup membayar dividen dari saham-saham yang dijualnya. Seluruh kekayaan VOC disita pemerintah Belanda sebagai pengganti pelunasan hutanghutangnya, seperti benteng-benteng atau daerah-daerah produksi rempah-rempah di Nusantara. Seluruh wilayah ini sempat dikuasai Perancis dan Inggris. Pada tahun 1816 pihak Inggris mengembalikan Hindia Timur kepada Belanda. Sejak itulah sesungguhnya pemerintah Belanda mengawali kolonisasi dengan membentuk kolonial Hindia Belanda dengan ibukotanya di Batavia, sekarang Jakarta. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2012: 52). Setelah berhasil memperkuat kekuasaannya di seluruh Pulau Jawa, pemerintah kolonial mengirimkan pasukannya untuk menguasai Pulau Bali yang dikuasai beberapa kerajaan: Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Mengwi, dan Bangli. Masing-masing kerajaan dipimpin seorang raja dengan pemerintahannya sendiri. Raja Dewa Agung dari Klungkung diakui sebagai raja tertinggi karena secara adat diakui sebagai pemimpin agama Hindu di seluruh Bali. Kerajaan Karangasem yang terletak di ujung timur Pulau Bali meluaskan wilayah kekuasaanya hingga ke Pulau Lombok pada tahun 1740 dengan menaklukan kedatuan Selaparang yang merupakan kedatuan yang terkuat di Pulau Lombok1 Sejak tahu 1774 kekuasaan kerajaan Karangasem di Pulau Lombok terbagi menjadi empat 1 Menurut Babad Lombok, ada tiga kedatuan di Pulau Lombok sebelum dikuasai Kerajaan Karangasem, yaitu Selaparang,, Pejanggi, dan Bayan. Sejak dikuasai Kerajaan Karangem, kedatuan dihapuskan dan gelar tertinggi yang semula Datu digantikan dengan Gusti 3 kerajaan otonom: Karangasem Sasak, Mataram, Pugutan, dan Pagesangan. Keempatnya terlibat perang memperebutkan hegemoni yang mencapai puncaknya pada tahun 1838-1839. Perang ini dimenangkan Kerajaan Mataram. Raja-raja Mataram mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Karangasem. Kerajaan Karangasem dan kerajaan-kerajaan Bali lainnya sudah menjalin hubungan perdagangan dengan Belanda sejak masa VOC. Mereka dikenal sebagai pemasok budak.Pihak VOC dan pemerintah kolonial menjadikan budak-budak dari Bali sebagai anggota pasukan tempurnya. Pada tahun 1841 hubungan perekonomian itu berubah menjadi hubungan politik setelah Raja Karangasem meminta bantuan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menghancurkan pemberontakan di Lombok. Selain menjalin hubungan politik dengan Kerajaan Karangasem, pemerintah kolonial mengadakan hubungan politik dengan Kerajaan Klungkung, Bueleng dan Badung. Hubungan politik ini dilakukan melalui sebuah perjanjian yang berisi tentang pengakuan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan melarang mereka menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa lainnya. Hak Tawan Karang, sebuah tradisi di Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya, menjadi masalah yang meengganggu hubungan baik kerajaan-kerajaan di Bali dengan pemerintah kolonial. SEdikitnya dua kali kapal-kapal dagang pemerintah Hindia Belanda dirampas oleh kerajaan Bali, yaitu pada tahun 1841 di pantai wilayah Kerajaan Badung, dan tahun1844 di pantai wilayah Kerajaan Buleleng. Raja Badung dan Buleleng menolak untuk mengembalikan kapal-kapal dagang Belanda yang terkena hak tawan karang. Keduanya memilih berperang melawan pasukan Hindia Belanda. Raja Buleleng menolak konsep perjanjian penghapusan hak tawan karang yang disusun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1841 dan 1843. Penolakannya mendapat dukungan Raja Karangasem dan Raja Klungkung. Akibat penolakan ini pasukan Hindia Belanda menyerang Bali pada tahun 1846. Tiga tahun 4 kemudian Kerajaan Buleleng dihancurkan. Keberhasilan ini mengakibatkan beberapa kerajaan di Bali berdamai seperti Kerajaan Badung, Bangli, Jembrana, Tabanan, dan Gianyar Mereka mengirimkan pasukannya untuk membantu pasukan Hindia Belanda menghancurkan pasukan Kerajaan Karangasem dan Buleleng. Bantuan pasukan juga diberikan Kerajaan Mataram dari Pulau Lombok yang sudah lama bermusuhan dengan Kerajaan Karangasem. Bantuan mereka sangat membantu pasukan Hindia Belanda menghancurkan pasukan Karangasem dan Buleleng pada tahun 1849. Namun hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan bekas sekutu lokalnya (Badung, Bangli, Jembrana, Tabanan, Gianyar, dan Mataram Lombok) segera berubah dari persekutuan menjadi permusuhan hingga terjadi perang besar selama dekade 1900-an. Pengalaman pahit ini menanamkan kebencian yang meluas terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tokoh Bali Mempersiapkan Kemerdekaan Pulau Bali dan Lombok oleh pemerintah Hindia Belanda disatukan dalam satu pemerintahan setingkat karesidenan. Pusat pemerintahannya berada di kota Singaraja. Dalam struktur birokrasi kolonial, para raja Bali menjadi bawahan sebagai kepanjangan tangan kekuasan pemerintah Hindia Belanda. Dalam struktur pemerintahan, Keresidenan Bali-Lombok dimasukan ke dalam wilayah Gouvernement Groote Oost (Indonesia Bagian Timur) yang terdiri dari Keresidenan Sulawesi dan sekitarnya (Celebes en Onderhoorigheden), Keresidenan Menado, Kerisidenan Maluku dan Karesidenan Timor. Di luar Jawa, pemerintah kolonial membentuk wilayah otonom zelfbesturen landshchapen. Pembentukannya didasarkan pada kesepakatan politik antara raja setempat dengan gubernur jenderal Hindia Belanda. Kesepakatan politik ini terdiri dari dua: lange politieke cnotracten (kontrak politik, plakat panjang) dan korte verklaring (perjanjian/plakat pendek). Berdasarkan peraturan tahun 1940 inilah bekas kerajaan-kerajaan di Bali dijadikan sebagai zelfbesturen landschapen. 5 Persyaratan pemimpin zelfbuesterun landschapen harus berpendidikan calon pangreh pradja. Pada awalnya pendidikannya dilakukan di Hoofdenschool yang didirikan pemerintah kolonial pada tahun 1878 di Bandung, Magelang dan Probolinggo. Dua puluh dua tahun kemudian Hoofdenschool direorganisasi menjadi OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). Pendidikan OSVIA berpusat di Bandung, Magelang, Probolinggo, Serang, Madiun dan Blitar. Pemerintah kolonial mereorganisasi OSVIA menjadi MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambternaren). Reorganisasi ini didahului dengan penutupan OSVIA. Pendidikan MOSVIA dipusatkan di Bandung, Magelang, Madiun, dan Probolinggo. Melalui sistem pendidikan ini anak raja-raja Bali berinteraksi dan berintegrasi dengan anak raja-raja dari daerah lainnya. Pemerintah Hindia Belanda memasukan mereka ke dalam golongan inlander atau Bumiputera. Pemerintahan Hindia Belanda berakhir pada tahun 1942 setelah pasukannya dihancurkan pasukan Jepang. Bekas wilayah koloni Hindia Belanda ini oleh pemerintah Jepang dibagi menjadi tiga wilayah pemerintahan militer, yaitu pemerintahan militer Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang dengan pusat pemerintahannya di Bukittinggi dan wilayahnya mencakup seluruh Pulau Sumatera, pemerintahan militer Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang dengan pusat pemerintahan di Jakarta dan wilayahnya mencakup Pulau Jawa-Madura, dan pemerintahan Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut Jepang dengan pusat pemerintahannya di Makasar dan wilayahnya meliputi Pulau Sulawesi, Kalimantan, Kepulauan Maluku, Bali, Lombok, Nusatenggara, dan Timor. Pemerintahan militer Jepang yang dibangun Angkatan Darat disebut gunseikan, sedangkan yang dibentuk Angkatan Laut adalah Meinsifu. Kantor bawahan Meinsifu terdapat di Sulawesi, Kalimantan, dan Seram dalam kepulauan Maluku. Memasuki tahun 1943 kantor bawahan Meinsifu di Seram dipindahkan ke Bali. Kepindahan ini didasarkan pada strategi miiliter untuk menghadapi pasukan sekutu. 6 Jakarta menjadi pusat pemerintahan yang dibangun Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Olek karena itu Angkatan Laut Jepang membuka kantor penghubung (Bukanfu) di Jakarta. Kepala kantor penghubung dijabat Laksamana Tadashi Maeda. Ia mempunyai hubungan dekat dengan para tokoh pergerakan nasional karena sudah berada di Jakarta sejak tahun 1930-an dalam tugas penyamaran sebagai bagian persiapan pasukan Jepang menguasai Hindia Belanda. Banyak tokoh pergerakan yang bekerja di kantor penghubung. Di antaranya adalah Mr. Achmad Subardjo. Sebagian besar tokoh pergerakan nasional mendukung pemerintahan Jepang karena mereka sangat dikecewakan secara politik pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karena mereka menjadi bagian dari pemerintahan militer yang dibangun Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang, termasuk memimpin organisasi-organisasi pengerahkan dukungan rakyat. Dukungan mereka bertambah kuat setelah Perdana Menteri Jepang yang baru terpilih Jenderal Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 mengumumkan keputusannya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Berdasarkan keputusan ini Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta Letnan Jenderal Kumakici Harada pada 1 Maret 1945 membentuk Dokuritsu Junbi Cosokai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dengan melibatkan 60 tokoh nasional maupun daerah dan golongan yang berpengaruh. Badan ini dipimpin dr. K.R.T. Radjiman Wediodingrat. Janji Perdana Menteri Koiso dan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosokai disebarkan secara luas oleh pemerintah Jepang melalui siaran radio maupun surat kabar. Badan ini berhasil menyusun konstitusi dan dasar negara. Karena tugasnya telah selesai, pemerintah Jepang membubarkannya dan menggantinya dengan badan baru: Dokuritsu Junbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan). Badan ini dibentuk pada 7 Agustus 1945 berdasarkan keputusan Panglima Tentara Umum Selatan Jenderal Besar Terauchi yang bermarkas di Dalat, Vietnam Selatan. Ketua badan persiapan adalah Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta. Keduanya 7 dikenal sebagai tokoh pergerakan yang sangat berpengaruh. Keanggotaannya mewakili seluruh wilayah pendudukan, yakni 12 wakil dari Pulau Jawa-Madura, 3 wakil dari Sumatera, dan 5 daerah wilayah di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang (Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Maluku), dan seorang wakil golongan (Cina). Wakil dari Bali dalam Badan Persiapan Kemerdekaan adalah Mr. I Gusti Ketut Pudja, seorang pejabat pemerintahan Meinsifu. Ia berada di Jakarta sejak 7 Agustus 1945 untuk keperluan pelantikan. Dua hari setelah pelantikan, pimpinan Badan Persiapan Kemerdekaan (Ir. Sekarno dan Drs. Mohammad Hatta) menghadap Jenderal Besar Terauchi di Dalat. Keduanya ditemani mantan ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Pertemuan antara tokoh Indonesia dengan Jenderal Besar Terauchi di Dalat berlangsung pada 12 Agustus 1945. Dua hari kemudian ketiga tokoh Indonesia tiba di tanah air dan belum mengetahui berita tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu. Menurut rencana Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta akan memimpin rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan di Hotel Des Indies pada 16 Agustus 1945. Namun rapat ini tidak dapat dilaksanakan karena para tokoh pemuda menculiknya ke Rengasdengklok. Mr. Achmad Subardjo kemudian menjemput keduanya kembali ke Jakarta. Naskah proklamasi dirumuskan di rumah kepala kantor penghubung Angkatan Laut Jepang Laksamana Tadashi Maeda. Proses perumusan naskah proklamasi dihadari seluruh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Teks Proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno. Keesokan harinya dibentuk pemerintahan yang dipimpin Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Panitia Persiapan Kemerdekaan dibubarkan. Kedudukannya digantikan Komite Nasional Indonesia yang terdiri dari tingkat daerah dan pusat. Pemerintah membagi wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, 8 Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatera. Masing-masing provinsi dipimpin seorang gubernur. Tokoh dari Bali Mr. I Gusti Ketut Pudja diangkat sebagai Gubernur Sunda Kecil dengan wilayah meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa dan Nusa Tenggara. Melalui keterlibatannya di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan dan pengangkatannya sebagai gubernur memudahkan penyebaran berita proklamasi di seluruh Bali. Sekembalinya dari Jakarta, I Ketut Pudja langsung membentuk Kominte Nasional Indonesia Daerah. Tugas terberatnya adalah memberitahu kepala daerah Meinsifu di Bali yang dijabat perwira Angkatan Laut Jepang. Tugas ini sangat berat karena pihak Jepang dilarang memberikan bantuan perubahan status quo di wilayah yang dikuasainya. Seluruh wilayah pendudukannya akan diserahkan kepada pihak Sekutu sebagai pemenang perang. Larangan mengubah statu quo berlaku sejak penyerahanan Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Sebagai Gubernur Sunda Kecil, Ketut Pudja menndaklanjuti kebijakan pemerintah pusat membentuk KNID Sunda Kecil dan Badan Keamanan Rakyat Sunda Kecil (BKR SK). Dua tokoh Bali diangkat sebagai pemimpinnya, yaitu Ida Bagus Putra Manuaba memimpin KNID Sunda Kecil, dan I Gusti Ngurah Rai memimpin BKR Sunda Kecil. Pengangkatan Ngurah Rai didasarkan pada latar belakang pendidikan dan sosial. Ia keturunan bangsawan Kerajaan Badung yang mendapatkan pendidikan militer pada masa kolonial di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah pusat mengubah seluruh BKR menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Gubernur Sunda Kecil juga mengubah BKR SK menjadi TKR SK pada 1 Nopember 1945 melalui rapat bersama Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil Ida Bagus Putra Manuaba, pimpinan badanbadan perjuangan dan dewan raja-raja di Bali. Dalam rapat tersebut, I Gusti Ngurah Rai dikukuhkan sebagai panglima TKR SK. 9 Untuk mempersenjatai pasukan TKR SK, Ngurah Rai berunding dengan pimpinan tentara Jepang di Bali agar menyerahan persenjataan mereka secara damai. Pihak Jepang menolak permintaannya sehingga mendorongnya menyusun rencana penyerangan secara serentak terhadap markas-markas tentara Jepang di seluruh Bali. Serangan dilaksanakan pada tengah malam 13 Desember 1945 di bawah pimpinannya. Namun serangan mengalami kegagalan karena tidak dapat menguasai markas-markas tentara Jepang. Bahkan pasukan memukul mundur TKR SK, termasuk pasukan Ngurah Rai di kota Denpasar. Pasukannya terkepung di Puri Kesiman, Kota Denpasar, dan meloloskan diri dari kepungan pasukan Jepang ke Banjar Mungsengan, Desa Catur, Kabupaten Bangli. Pada 19 Desember 1945 Ngurah Raid dan beberapa pimpinan TKR SK ke markas TKR pusat di Pulau Jawa. Perjalanan ditempuh dengan menerobos hutan belantara menuju pantai Celukan Bawang, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Dengan perahu nelayan rombongan ke pantai Bayuwangi. Untuk sementara kepemimpinan TKR SK dijabat I Made Widjakusuma. Misi utama Ngurah Rai ke Jawa adalah meminta bantuan. yang dikenal dengan nama Pak Joko. I Made Widjakusuma menjalankan tugas-tugas kepemimpinan selama masa tersebut, berdasarkan instruksi pucuk pimpinan Resimen TKR Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai. Ia kembali ke Bali pada 5 April 1946 dan langsung menuju Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, Kabupaten Tabanan yang terletak di pedalaman. Ngurah Rai membentuk Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRISK) sesuai perintah Menteri Pertahanan Keamanan RI untuk menggabungkan TKR dengan lascar-laskar perjuangan. Pada setiap kabupaten dibentuk Markas Besar (MB) yang membawahi Markas Cabang di kecamatan, Markas Ranting di tingkat desa, dan Markas Anak Ranting (MAR) di tingkat banjar. Pembentukan DPRI SK merupakan persiapan Ngurah Rai untuk menghadapi pasukan Sekutu dan Belanda di Bali. Kekuatannya mendapatkan bantuan dari Angkatan Laut RI. Pada tanggal 16 April 1946 datang satu kompi Kompi Angkatan 10 Laut (AL) pimpinan Kapten P. Markadi di Pantai Cekik, Gilimanuk, Kabupaten Jembrana. Pada 18 Nopember 1946 pasukan TKR SK pimpinan I Gusti Ngurah Rai menyerang pasukan Belanda di Tabanan. Pasukan Belanda mendapatkan bantuan dari daerah lain termasuk mendatangkan pasukan dari Lombok. Serangan balik pasukan Belanda menghancur seluruh garis pertahanan TKR SK. Ngurah Rai beserta pasukannya terdesak di Desa Margarana. Mereka menolak untuk menyerah kepada pasukan Belanda dan memilih perang puputan, suatu tradisi Bali berjuang hingga mati. Oleh karena itu perang antara pasukannya melawan pasukan Belanda yang kuat dan besar pada 20 November 1946 di Margarana dikenang sebagai Puputan Margarana. Kesimpulan Kolonisasi Belanda di Bali menndoong pengintegrasian Bali dengan daerah koloni lainnya, terutama dengan Jawa. Kaum bangsawan dan rakyat Bali oleh pemerintah kolonial dimasukan ke dalam golongan Bumiputera atau inlander. Kebijakan ini mempercepat proses integrasi sehingga gagasan kebangsaan Indonesia mendapat dukungan dari para bangsawan Bali yang mengikuti pendidikan tinggi di Jawa seperti STOVIA, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), THS (Technische Hoge School / Sekolah Tinggi Teknik), RHS (Rechtskundige Hogeschool / Sekolah Hakim Tinggi), dan Rechshool (Sekolah Hakim). Melalui pendidikan itulah anak-anak bangsawan Bali berintegrasi dengan anak-anak bangsawan dari berbagai daerah. Di antaranya I Ketut Pudja yang menamatkan pendidikan hukumnya di RHS dan sejak awal terlibat dalam menyiapkan kemerdekaan Indonesia karena diangkat oleh pemerintahan militer Jepang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Setelah merdeka, ia diangkat oleh pemerintah RI menjadi Gubernur Sunda Kecil dan mendapatkan tugas khusus menyebarkan berita proklamasi serta memberikan pemahaman kepada para 11 raja dan bangsawan Bali agar mendukung proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia. Tokoh Bali lainnya yang berjasa dalam menyatukan Bali ke dalam negara Republik Indonesia adalah I Gusti Ngurah Rai, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Badung di Denpasar. Sesuai latar belakang pendidikan militernya, ia menjabat Komandan TKR Sunda Kecil. Namanya dikenal sebagai pahlawan dalam Puputan Margarana menghadapi pasukan Belanda.