II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedelai Kedelai merupakan bahan pangan yang penting di Indonesia yaitu sebagai sumber protein nabati yang dapat dikonsumsi secara langsung, sebagai bahan pelengkap, bahan industri, maupun keperluan lainnya. Kedelai (Glycine max (L) Merill) termasuk famili Leguminosae (kacang-kacangan) yang diklasifikasikan dengan nama ilmiah Glycine max (L) Merill, spesiesnya max, genusnya glycine, sub famili papilionoidaceae, famili leguminosae, dan ordo polypetales (Suprapto 1985). Menurut Somaatmadja (1964), tanaman kacang kedelai termasuk tanaman semusim yang tumbuhnya tegak dan bercabang. Tanaman ini sering kali ditanam pada ketinggian 5 sampai 1000 meter dari permukaan laut. Di samping itu kedelai juga membutuhkan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 20300C dan pada pH tanah antara 5.0-7.0. Buah kedelai disebut polong. Di dalam polong terdapat biji yang jumlahnya satu sampai lima. Kedelai dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu berdasarkan warna kulit bijinya dan berdasarkan umurnya. Berdasarkan warna kulit biji, kedelai dikelompokan lagi menjadi kedelai kuning atau putih, kedelai hitam, dan kedelai hijau. Secara kimiawi tidak ada perbedaan komposisi gizi yang berarti antara ketiga jenis warna kedelai tersebut. Sedangkan berdasarkan umurnya kedelai dikelompokkan menjadi kedelai umur pendek atau genjah (75-85 hari), umur sedang (85-90 hari), dan kedelai yang berumur lebih dari 90 hari. Gambar 1. Tanaman kedelai (kiri) dan biji kedelai kuning (kanan) (eemoo-esprit.blogspot.com (kiri) dan www.recipetips.com (kanan)) Kedelai merupakan sumber pangan yang bernilai gizi tinggi. Kedelai terutama mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Wolf dan Cowan (1971), komposisi kimia kedelai bervariasi tergantung varietas, kesuburan tanah, dan kondisi iklim. Jumlah protein pada kedelai sekitar 40 - 50 % (Bentley 1975; Ledesna et al. 2009). Kadar protein kedelai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebagian besar kacang-kacangan (Messina 1995). Asam amino pembatas pada kedelai adalah metionin dan sistin, sedangkan kandungan lisin dan treoninnya sangat tinggi. Hal tersebut sangat menguntungkan karena pada umumnya makanan pokok sangat miskin akan lisin. Kedelai mengandung lemak sekitar 18 20 %, 85 % di antaranya merupakan asam lemak tidak jenuh. Lemak kedelai mengandung asam lemak esensial yang cukup, yaitu asam linoleat (Omega 6) serta linolenat (Omega 3). Minyak kedelai mengandung 61 % lemak polyunsaturated dan 23.4 % monounsaturated (Gunstone et al. 1986). Kandungan lemak tidak jenuh ini membuat kedelai baik bagi kesehatan terutama dalam mengontrol kolesterol dan penyakit kardiovaskuler. Kedelai juga dilengkapi vitamin (terutama vitamin A, B kompleks, dan E) dan mineral (kalsium, fosfor, zat besi). Kedelai juga merupakan sumber dietary fiber 3 dan oligosakardida yang terbukti dapat mencegah penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, berbagai kanker, osteoporosis, penyakit ginjal, dan lain-lain (Li dan Manfred 2010) . Nilai gizi kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kedelai mentah dan direbus per 100 g Komponen Mentah Direbus Energi (Kkal) 381 189 Air (g) 12.7 56.8 Protein (g) 40.4 20.2 Lemak (g) 16.7 8.2 Karbohidrat (g) 24.9 12.7 Serat (g) 3.2 1.6 Abu (g) 5.3 2.1 Kalsium (mg) 222 91 Fosfor (mg) 682 270 Besi (mg) 10 3.9 Karoten total (mcg) 31 15 Vitamin B1 (mg) 0.52 0.2 Sumber: Slamet dan Tarwotjo (1980) Selain sumber zat gizi, kedelai juga memiliki senyawa bioaktif isoflavon (salah satu golongan flavonoid) yang bersifat sebagai antioksidan (Nijveldt et al. 2001). Menurut United States Department of Agricuture (USDA 1999), per 100 g kedelai mentah mengandung 128.35 mg isoflavon. Isoflavon kedelai dikenal sebagai fitoestrogen karena struktur molekulnya mirip dengan struktur molekul estrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen (Miksicek 1994; Penalvo et al. 2004). Isoflavon kedelai berguna sebagai antioksidan sehingga antara lain dapat berguna untuk mencegah : 1) kerusakan oksidatif membran sel, 2) arterosklerosis akibat teroksidasinya LDL, 3) penyakit jantung koroner, 4) penyakit kardiovaskuler, 5) kerusakan oksidatif DNA, 6) menghambat pertumbuhan sel kanker (Astawan 2009; Heneman et al. 2007). Isoflavon juga telah dibuktikan dapat mengurangi risiko kanker payudara, prostat, ovarium (Imhof et al. 2008; Hillman dan Singh-Gupta 2011), diabetes (Lu et al. 2008) menurunkan kadar kolesterol total dan LDL serta meningkatkan HDL (Crouse et al. 1999; Demonty et al. 2002; Bricarello et al. 2004), menurunkan tekanan darah tinggi (Liu et al. 2010), dan mencegah osteoporosis pada wanita paska menopause (Liu et al. 2010) . Begitu banyaknya manfaat dari kedelai, maka tidak heran jika kedelai mempunyai banyak sebutan, seperti “Miracle Golden Bean”,”The Golden Nugget of Nutrition”, “The Cow of China”, “Meat of the Fields”, “The Meat That Grows on Vines”, “Cinderella Crops of the Century”, “The Protein Hope of the Future”, dan “The Amazing Soybean” (Rahman 1978). B. Minuman Bubuk Berbasis Kedelai Salah satu pengolahan kedelai yang strategis adalah menjadi minuman bubuk karena pangan dalam bentuk minuman mudah dikonsumsi oleh golongan khusus seperti bayi dan orang yang sedang sakit. Sekarang ini banyak dijual minuman bubuk berbahan dasar kedelai yang ditambah atau difortifikasi dengan berbagai macam bahan lainnya, misalnya vitamin, mineral, asam amino lain, susu skim, perisa, dan lain-lain dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi karena minuman bubuk berbasis kedelai ini umumnya juga dikonsumsi sebagai minuman kesehatan. 4 1. Susu kedelai bubuk Susu kedelai adalah produk seperti susu sapi namun dibuat dari ekstrak kedelai. Susu kedelai diperoleh dengan cara penggilingan biji kedelai yang telah direndam dalam air. Hasil penggilingan kemudian disaring untuk mendapatkan filtrat, yang kemudian dididihkan dan diberi flavor untuk meningkatkan rasanya (Koswara 1992). Di samping dalam bentuk cair, susu kedelai dapat juga dibuat dalam bentuk bubuk (powder), yang pada umumnya dilakukan dengan pengeringan semprot (spray drying). Susu kedelai bubuk juga dapat diolah lebih lanjut menjadi susu bubuk kedelai instan dengan proses instanisasi. Menurut Rumin (1992), susu kedelai mempunyai beberapa daya tarik, seperti 1) Bergizi tinggi. Pada kadar air yang sama dengan susu sapi, susu kedelai mengandung jumlah protein 26 - 52 % lebih banyak, walaupun Protein Efficiency Ratio-nya lebih rendah. Menurut Bourne (1976), 200 ml susu kedelai dengan kandungan protein 3 % akan memenuhi 50 % RDA protein yang ditetapkan WHO bagi balita, 2) Teknologi untuk mengolah susu kedelai sederhana dan biayanya kecil, 3) Susu kedelai bebas laktosa dan tidak menyebabkan alergi, 4) Susu kedelai bebas kolesterol dan hanya mengandung sedikit lemak. Kandungan lemaknya pun hanya sepertiga lemak susu sapi dan sebagian besar dalam bentuk tidak jenuh. Daya tarik berikutnya, 5) Susu kedelai dapat divariasikan. Selain menjadi minuman pengganti susu sapi, susu kedelai dapat diolah menjadi yoghurt (soygurt), keju, kefir, soyanaise, dan lain-lain, 6) Susu kedelai memberikan kalori 12 % lebih rendah dibanding susu sapi sehingga menjadi pilihan yang baik untuk orang yang ingin berdiet, 7) Alternatif swasembada pangan. Beralih ke susu kedelai dapat menghemat devisa negara untuk mengimpor susu sapi yang relatif lebih mahal harganya, serta dapat menciptakan lapangan kerja baru di samping menghasilkan sumber protein yang lebih murah. Susu kedelai mempunyai protein tinggi dan nilai gizi lain yang hampir sama dengan susu sapi. Perbedaan yang cukup mencolok hanya pada kadar kalsium. Susu sapi memiliki kadar kalsium yang cukup tinggi dibanding susu kedelai. Perbandingan kandungan gizi susu kedelai dan susu sapi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan nilai gizi susu kedelai dan susu sapi Komponen Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Satuan Susu kedelai cair Susu sapi Kkal g g g mg mg mg SI mg mg g 41 3.5 2.5 5 50 45 0.7 200 0.08 2 87 61 3.2 3.5 4.3 143 60 1.7 130 0.03 1 88.3 Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1972) Kandungan protein susu kedelai dipengaruhi oleh varietas kedelai yang digunakan dan cara pengolahan. Kadar protein dan lemak dalam biji kedelai berkolerasi positif dengan kadar protein dan lemak susu kedelai (Hermana 1985). Jumlah air yang digunakan untuk mengekstrak berkorelasi negatif dengan kadar protein. 5 2. Susu Formula Berbasis Protein Kedelai Ketidakmampuan mencerna laktosa (lactose intolerance) dialami oleh 70 % penduduk Asia Tenggara. Penderita yang mengkonsumsi susu sapi (kadar laktosa sekitar 4.8 %) akan merasa kembung, sakit perut atau mencret (Rumin 1992). Sedangkan alergi susu sapi adalah alergi makanan terbanyak dan dialami oleh 2-3 % bayi di bawah satu tahun (Crittenden 2005; Rona 2007). Reaksi dapat ditimbulkan oleh partikel protein dari kandungan susu sapi, baik dari ASI ibu yang makan dairy product (produk dari susu sapi), maupun pemberian langsung susu sapi pada bayi. Menurut El-Agamy (2006), Cavagni et al. (1994) dan Docena et al. (1996), susu sapi mengandung lebih dari 20 protein yang dapat menyebabkan alergi. Alergi merupakan masalah yang tidak boleh diremehkan. Reaksi yang ditimbulkan dapat mengganggu semua organ tubuh dan perilaku anak sehingga bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada tahun pertama kehidupan anak, sistem imun tubuhnya relatif masih sangat lemah dan rentan. Oleh karena itu dikembangkanlah susu formula berbahan dasar kedelai menggantikan susu sapi sebagai sumber proteinnya. Susu formula pertama yang menggunakan kedelai dikembangkan pada awal 1950. Pada awalnya, susu formula dari kedelai menggunakan tepung kedelai (kedelai yang dibubukkan). Namun sayangnya ditemukan beberapa keluhan, seperti kembung (Fomon dan Filer 1974) yang kemungkinan disebabkan karena tepung kedelai mengandung stakiosa dan rafinosa (karbohidrat yang tidak dapat dicerna bayi yang mengakibatkan bayi kembung dan sering buang air besar) yang cukup tinggi. Pengembangan susu formula dari protein kedelai selanjutnya adalah pada tahun 1960-an. Formula ini sudah memiliki warna, bau, dan rasa yang lebih baik, juga dapat lebih mengurangi kasus kembung dan buang angin. Perkembangan selanjutnya adalah digunakannya isolat protein kedelai, protein kedelai yang sudah bebas dari komponen-komponen lainnya termasuk karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Perkembangan selanjutnya adalah penggunaan isolat protein kedelai pada formula milk-free bagi balita, geriatric, hospital, dan postoperative feeding. Susu formula kedelai sekarang ini juga telah difortifikasi dengan minyak nabati (untuk melengkapi kandungan lemak), sirup jagung, atau sukrosa (untuk melengkapi kandungan karbohidrat), vitamin, dan mineral (terutama zat besi karena komponen antinutrisi pada kedelai dapat menghambat absorpsi zat besi) sesuai ketentuan yang telah diterapkan. Susu formula tersedia dalam bentuk cair (ready to drink), maupun bentuk kering (bubuk). C. Isolat Protein Kedelai Isolat protein kedelai merupakan bentuk olahan kedelai yang mengandung protein paling murni karena kadar proteinnya minimum 90 % berdasarkan berat keringnya (Muchtadi 1997). Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak, sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibanding konsentrat kedelai dan tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dibuat dengan cara mengekstrak kedelai bebas lemak dengan alkali, kemudian mengendapkan protein kedelai pada titik isoelektriknya sehingga protein dapat diisolasi dan dipisahkan dari bagian-bagian lainnya yang tidak diinginkan. Bagian protein yang mengendap tersebut kemudian dicuci dan dikeringkan. Isolat protein kedelai baik sekali digunakan sebagai pengikat dan pengemulsi dalam produk daging (Muchtadi 1997; Liu et al 1999; Molina et al. 2001), produk meat analog, dan formulasi produk pangan lainnya (Muchtadi 1997). 6 D. Dekstrin Dektrin merupakan produk yang dihasilkan dari degradasi pati secara acak dengan berbagai macam cara seperti pemanasan pati kering, hidrolis pati oleh asam, maupun hidrolisa pati secara enzimatis (Radley 1986; Sikoraa et al. 2002). Dekstrin dipasarkan dalam bentuk bubuk berwarna putih sampai coklat tua. Menurut Satterwaite dan Iwinski (1973), dekstrin dapat dihasilkan dari hidrolisa pati dengan enzim-enzim tertentu atau dengan hidrolisa pati secara basah yang dikatalis dengan asam. Dekstrin mengandung dua bentuk polimer D-glukosa, yaitu linier (amilosa) dan bercabang (amilopektin), mempunyai sifat sangat larut dalam air dingin atau panas, dengan viskositas yang relatif rendah (Wuzburg 1968). Dekstrin memiliki struktur molekul yang lebih pendek dan lebih bercabang dibandingkan dengan pati (Acton 1976; Alvani et al. 2009). Struktur yang lebih pendek ini mengakibatkan dekstrin mempunyai sifat mudah larut dalam air. Desktrin umumnya ditambahkan sebagai bahan pengisi. Bahan pengisi ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah total padatan dalam larutan. Peningkatan jumlah total padatan terutama pada produk cair yang dikeringkan diperlukan karena kandungan air yang sangat tinggi. Kandungan total padatan yang relatif tinggi dapat mempercepat pengeringan sehingga kerusakan bahan karena pemanasan dapat dicegah dan biaya operasional dapat diperkecil (Masters 1979). Semua jenis pati dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan dekstrin. Namun perlu diperhatikan bahwa sifat dasar pati akan mempengaruhi sifat dan mutu dekstrin yang dihasilkan (Satterwaite dan Iwinski 1973). Sifat-sifat dekstrin yang merupakan keunggulan jika dibandingkan dengan pati asal adalah kelarutan dalam air dingin, lapisan film yang dihasilkan, kekentalan, kemampuan perekatan, warna, dan kestabilan penyimpanan yang baik (Wuzburg 1968; Miyazaki et al. 2004). E. Daya Cerna Protein Kedelai 1. Protein Kedelai Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh, zat pembangun, dan pengatur metabolisme tubuh. Menurut Winarno (1997), protein, dalam keadaan normal, merupakan senyawa kimia yang membentuk unsur dasar makhluk hidup, menjaga fungsi pertumbuhan dan fungsi alat-alat tubuh lain. Protein dalam tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan, bertindak sebagai bahan membran sel, dapat membentuk jaringan pengikat misalnya kolagen dan elastin, serta membentuk protein yang inert seperti rambut dan kuku. Disamping itu protein dapat bekerja sebagai enzim, bertindak sebagai plasma (albumin), membentuk kompleks dengan molekul lain, serta dapat bertindak sebagai bagian sel yang bergerak (protein otot). Kekurangan protein dalam waktu lama dapat mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang biasanya tidak dimiliki oleh golongan karbohidrat ataupun lemak (Winarno 1997). Molekul protein berupa polimer yang tersusun oleh monomer-monomer asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Sebuah asam amino mengandung gugus karboksil (–COOH) dan gugus amino (–NH2), sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α. Struktur asam amino dapat dilihat pada Gambar 2. 7 H H2N C COOH R Gambar 2. Struktur asam amino (Lehninger 1982) Asam amino digolongkan menjadi asam amino esensial dan asam amino non-esensial. Asam amino non-esensial dapat disintesis oleh tubuh manusia, sedangkan asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia sehingga perlu asupan dari makanan. Salah satu parameter mutu makanan adalah kandungan asam amino esensial pada makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah asam amino esensial yang terkandung maka mutu makanan tersebut semakin baik. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sangat baik dan bermutu tinggi. Protein kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Kandungan asam-asam amino yang lengkap ini yang menyebabkan kedelai banyak dikonsumsi sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan protein hewani yang relatif lebih mahal. Kandungan asam-asam amino kedelai dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Susunan asam amino pada kedelai (g AAE/100 g protein) Asam amino Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistein Fenilalanin Tirosin Treonin Triptofan Valin Arginin Histidin Alanin Aspartat Glutamat Glisin Prolin Serin kedelai Pola FAO 4.5 7.8 6.4 1.3 1.3 4.9 3.1 3.9 1.3 4.8 7.2 2.5 4.3 11.7 18.7 4.2 5.5 5.1 4.0 7.0 5.5 3.5 3.5 6.0 6.0 4.0 1.0 5.0 - Sumber : FAO (1971) Dari tabel dapat terlihat bahwa asam amino glutamat merupakan asam amino yang paling dominan dalam protein kedelai. Sedangkan asam amino sulfur yaitu metionin dan sistin mempunyai persentase yang lebih rendah dibanding asam amino lain. Protein kedelai merupakan protein yang bersifat hidrofilik dan dapat diekstrak dengan air. Kedelai kering yang mengandung 6.94 % nitrogen, sebanyak 5.97 % dapat larut pada air, 0.26 % larut dalam garam, 0.16 % larut dalam alkohol dan hanya 0.55 % yang tidak larut, yaitu tertinggal di dalam ampas. Dari jumlah protein pada kedelai, 84 % terdiri dari globulin (Sutantyo 1976). Protein globulin 8 mengandung 78.5 % glisinin dan 21.5 % faseolin sedangkan albumin mengandung 78.5 % legumelin. Glisin dan legumelin ini sebagian besar terdiri dari gugus asam-asam amino esensial (Circle 1950). Protein kedelai yang sebagian besar mengandung globulin tersebut mempunyai titik isoelektrik 4.1- 4.6. Globulin akan mengendap pada pH 4.1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa, prolamin, dan albumin bersifat larut dalam air sehingga diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein non-globulin karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein tersebut dalam air. Menurut Koswara (1992), globulin akan segera larut dengan penambahan garam seperti natrium klorida atau kalsium klorida. Globulin larut dalam larutan garam encer pada pH di atas atau di bawah titik isoelektriknya. Kelarutan minimum protein kedelai terjadi pada pH 3.8-5.2. sedangkan kelarutan maksimum pada sisi asam terjadi pada pH 1.5-2.5 dan pada sisi basa terjadi pada pH 6.3. Dibanding dengan kacang-kacangan lain, protein kedelai mempunyai nilai gizi yang paling tinggi. Kedelai mempunyai skor protein sebesar 73, dengan kekurangan dalam asam amino yang mengandung zat belerang (Poerwosoedarmo dan Sediaoetomo 1977). Protein kedelai juga mempunyai sifat kimia dan fisika yang baik, seperti daya mengikat air, daya emulsi, pembentuk gel, pembentuk adonan, dan pengental (Somaatmadja 1964). 2. Daya Cerna Protein Produk Kedelai Protein yang terkandung dalam bahan pangan akan mengalami pencernaan setelah dikonsumsi menjadi unit-unit penyusunnya seperti asam-asam amino dan atau peptida (Damodaran 1996). Proses pencernaan protein tersebut membutuhkan bantuan enzim protease, seperti tripsin, kimotripsin, pepsin, dan sebagainya. Asam-asam amino inilah yang selanjutnya akan diserap oleh usus, dan kemudian dialirkan ke seluruh tubuh untuk digunakan dalam pembentukan jaringan-jaringan baru dan mengganti jaringan tubuh yang rusak (Winarno 1997). Daya cerna protein adalah kemampuan suatu protein untuk dicerna oleh enzim pencernaan protease (Pellet dan Young 1980). Menurut Muchtadi (1989) daya cerna protein adalah kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan, di mana daya cerna protein tinggi berarti protein dapat dihidrolisis dengan baik menjadi asam-asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi, sedangkan daya cerna protein rendah berarti protein sulit untuk dihidrolisis menjadi asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses. Pada sistem pencernaan, protein makanan dicerna oleh enzim proteolitik. Pertama, oleh enzim pepsin yang terdapat di dalam lambung. Di dalam lambung enzim pepsin akan memecah protein menjadi peptida atau asam amino dengan bantuan asam lambung (HCl). HCl memiliki pH sekitar 1.5 yang menyebabkan rantai protein terbuka (terdenaturasi) untuk memudahkan enzim pencernaan menyerang dan memutus ikatan peptida. Asam lambung inilah yang juga mengaktivasi enzim pepsin. Tidak seperti enzim pada umumnya, enzim pencernaan di lambung justru memiliki aktivitas optimum pada suasana asam. Selama perjalanan menuju usus halus, 70 % protein terpecah menjadi tripeptida, dipeptida, maupun asam amino sederhana oleh enzim-enzim pencernaan protein yang disekresikan oleh pankreas (pancreatic protease) antara lain tripsin, kimotripsin, dan karboksipeptidase (Grosvenor dan Smolin 2002). Tripsin dan kimotripsin merupakan endopeptidase yang akan memecah protein (polipeptida) menjadi polipeptida kecil. Tripsin dan kimotripsin disekresikan pankreas dalam bentuk prekursor inaktif. Bentuk in-aktif tripsin disebut tripsinogen sedangkan bentuk in-aktif kimotripsin disebut kimotripsinogen. Keduanya akan diaktifkan apabila kontak dengan mukosa usus. Aktivasi tripsinogen dilaksanakan oleh enterokinase yang diproduksi kelenjar usus. Kemudian tripsin yang aktif tersebut 9 secara otokatalitik akan mengaktifkan tripsinogen dan kimotripsinogen lainnya. Hidrolisa tripsin sangat spesifik yaitu hanya memecahkan ikatan peptida lisin dan arginin (Winarno 1980), sedangkan kimotripsin punya daya hidrolisa yang spesifik yaitu memecahkan ikatan peptida antara asam amino aromatis seperti tirosin, fenilalanin, dan triptofan (Winarno 1980). Karboksipeptidase adalah enzim yang bertindak sebagai eksopeptidase. Ada dua macam karboksipeptidase, yaitu karboksipeptidase A yang akan menghidrolisis protein menjadi peptida kecil dan asam amino aromatik, dan karboksipeptidase B yang menghidrolisis protein menjadi peptida kecil dan asam amino basa (Muchtadi et al. 2006). Di usus halus, larutan basa yang dihasilkan pankreas (pH 8.00) akan menetralkan asam dari lambung agar enzim pencernaan berikutnya bisa bekerja dengan optimal sampai hampir semua protein menjadi asam amino (Sizer dan Whitney 2000). Beberapa enzim protease yang disekresikan oleh mukosa usus misalnya aminopeptidase dan dipeptidase. Aminopeptidase akan menghidrolisis polipeptida dari ujung rantai asam amino bebas menjadi peptida kecil dan asam amino bebas, sedangkan dipeptidase akan menghidrolisis dipeptida menjadi asam amino (Muchtadi et al. 2006). Asam-asam amino dan sejumlah kecil peptida sebagai hasil pemecahan protein, selanjutnya diabsorbsi melalui selsel mukosa usus (brush border). Mekanisme absorbsi berlangsung secara spesifik untuk setiap asam amino netral, asam atau basa, serta peptida. Sebagian besar peptida yang diserap, dihidrolisis oleh sel-sel usus (Muchtadi 1993). Menurut Muchtadi (1989), daya cerna protein adalah salah satu faktor yang menentukan nilai gizi protein karena menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daya cerna yang rendah berarti protein yang masuk ke tubuh tidak dapat dicerna dengan sempurna sehingga asam-asam amino yang terkandung tidak dapat diserap dan digunakan oleh tubuh. Hal ini dapat menurunkan mutu protein suatu makanan serta menimbulkan malnutrisi protein bagi konsumennya. Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Metode in vivo seringkali dianggap mahal dan terlalu lama. Daya cerna protein yang ditetapkan secara in vivo dinyatakan sebagai perbandingan antara jumlah N yang diserap dengan jumlah N yang dikonsumsi, tanpa memperhatikan N yang terdapat dalam urin. Perhitungan daya cerna hanya memperhatikan nitrogen yang terdapat di dalam feses dan dianggap mencerminkan jumlah protein yang dapat dicerna oleh tubuh. Skema penggunaan nitrogen dari protein makanan (belum termasuk penggunaan senyawa nitrogen yang tertahan oleh tubuh (Hackler 1977) dapat dilihat pada Gambar 3. N yang dikonsumsi proses pencernaan N dalam urea N yang diserap N yang terdapat dalam urin Proses anabolik/ katabolik N yang tertahan oleh tubuh Gambar 3. Penggunaan nitrogen dari protein makanan (Hackler 1977). Metode in vitro lebih praktis dan dengan cara menggunakan enzim-enzim pencernaan dan membuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi dalam pencernaan tubuh manusia. 10 Beberapa macam enzim protease yang telah digunakan antara lain pepsin, pankreatin, tripsin, kimotripsin, peptidase, atau campuran dari beberapa macam enzim tersebut (multi-enzim). Daya cerna protein secara in vitro dapat diamati dari terbentuknya asam amino pada proses hidrolisis protein oleh enzim-enzim protease pencernaan tersebut. Semakin tinggi daya cerna suatu protein ditunjukan oleh semakin banyaknya asam amino yang dihasilkan dalam waktu tertentu. Jumlah asam amino yang terbentuk dapat diamati secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada hidrolisis ikatan peptida oleh enzim protease akan dibebaskan ion-ion hidrogen sehingga menyebabkan penurunan pH. Oleh karena itu penentuan daya cerna protein secara in vitro salah satunya dapat dilakukan dengan analisa penurunan pH protein yang terjadi setelah reaksi hidrolisis. Salah satu metode pengukuran daya cerna protein berdasarkan perubahan pH tersebut adalah metode Hsu et al. yang digunakan pada penelitian ini. Daya cerna protein dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksogenus dan endogenus (Guo et al. 2007). Faktor eksogenus misalnya interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor (Duodu et al. 2003; Ikeda et al. 1986). Sedangkan faktor endogenus terkait dengan karakterisasi struktur protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas dan perlakuan reduksi (Deshpande dan Damodaran 1989; Ikeda et al. 1991; Vaintraub et al. 1979). Menurut Fennema (1996), daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas permukaan partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali. Konformasi protein dapat berhubungan dengan proses pengolahan produk. Pemanasan merupakan suatu proses termal yang dapat mengubah konformasi protein (Fennema 1996). Proses pemanasan, seperti perebusan kedelai atau pengeringan dapat meningkatkan daya cerna protein karena dapat mendenaturasi protein senyawa anti-nutrisi (anti-protease). Proses perubahan sifat fisikokimia protein dengan adanya pemanasan dapat dibedakan menjadi 4 tahap yaitu: pra-denaturasi, denaturasi, agregasi, dan degradasi (Muchtadi 1993). Menurut Muchtadi (1993), mekanisme denaturasi protein adalah pada suhu tinggi butiran protein terurai dari bentuk globular menjadi bentuk memanjang. Hal ini disebabkan oleh terputusnya ikatan ionik, disulfida, hidrogen dan vander wals. Beberapa molekul akan terpisah dengan sub-sub unitnya yang bersifat tidak larut. Selanjutnya terjadi penggabungan molekul-molekul tersebut dan membentuk agregat. Menurut Lehninger (1982), denaturasi protein menyebabkan hilangnya aktifitas biologi juga dapat disebabkan oleh pH ekstrim maupun oleh beberapa pelarut organik. Jika suatu protein terdenaturasi maka susunan rantai polipeptida terganggu dan molekul ini terbuka menjadi struktur acak, tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Namun yang perlu diperhatikan juga, pemanasan yang berlebihan justru dapat menyebabkan reaksi Maillard yang dapat merusak dan mengurangi ketersediaan asam amino, sehingga dapat menurunkan daya cerna protein (Lembono 1989). Protein merupakan senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi 1993). Asam amino yang terikat pada senyawa lain dapat menurunkan daya cerna proteinnya karena senyawa gabungan tersebut bisa saja lebih susah dicerna enzim-enzim pencernaan. Hubungan antara luas dan ukuran protein terhadap daya cerna adalah semakin kecil ukuran protein maka luas permukaannya semakin besar sehingga daya cernanya dapat meningkat karena enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein (Fennema 1996). Perlakuan pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein. Hal ini terjadi karena proses pengeringan akan mengeluarkan air dari protein serta membuat protein memiliki luas permukaan yang lebih luas dari 11 sebelumnya dikarenakan partikel protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya, daya cerna protein akan tinggi. Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino (bentuk L menjadi bentuk D) dan juga reaksi antar asam amino, misalnya terbentuknya lisinolalanin dari lisin dan alanin. Asam-asam amino D tidak dapat diserang oleh enzim. Pembentukkan ikatan peptida L-D, D-L, atau D-D akan tahan terhadap serangan enzim proteolitik (Muchtadi 1993). Kesemuanya ini dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat menurunnya daya cerna protein dan menurunnya ketersediaan (availabilitas) asam-asam amino esensial (Friedman et al. 1981). Pengolahan pangan menggunakan alkali mempunyai tujuan khusus, misalnya di dalam pembuatan isolat protein kedelai digunakan alkali untuk mengekstrak protein. Alkali juga digunakan untuk memperbaiki sifat fungsional protein. Susu dimasak didalam larutan alkali untuk meningkatkan daya larutnya. Adanya faktor anti-nutrisi dapat mempengaruhi daya cerna protein (Muchtadi 1989; Nielsen 1991). Beberapa faktor antinutrisi yang dapat menurunkan daya cerna protein pada kedelai adalah : a. Protease inhibitor Protease inhibitor adalah senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim proteolitik, enzim yang diperlukan untuk mencerna protein dalam lambung. Protease inhibitor misalnya adalah antitripsin, anti-kimotripsin, dan lain-lain. Telah diketahui bahwa paling sedikit ada lima atau enam macam inhibitor protease pada kedelai, tetapi yang paling banyak dipelajari adalah inhibitor Kunitz, inhibitor yang pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi oleh Kunitz. Inhibitor Kunitz mudah terdenaturasi oleh panas, asam, atau alkali (Kunitz 1947; Brandon et al. 1988). Pada pH rendah, inhibitor ini dapat dihirolisa secara lambat oleh ezim pepsin. Disamping itu terdapat pula inhibitor Bowman Birk yang tidak terpengaruh oleh perlakuan pemanasan, asam, alkali, atau enzim pepsin dan papain (Birk 1985). Mekanisme penghambatan protease inhibitor adalah terbentuknya ikatan kompleks antara enzim dan inhibitor tersebut sehingga enzim tidak dapat menghidrolisis substrat (protein) (Nielsen 1991). Salah satu protease inhibitor yaitu anti-tripsin dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan hipertrofi pankreas pada hewan percobaan. Aktivitas anti-tripsin pada kedelai dapat dihilangkan dengan cara perendaman yang diikuti dengan pemanasan basah, yaitu perebusan ataupun pengukusan (Yoshida et al. 1988; Soetrisno 1982; Phillips et al. 1983; El-Hady dan Habiba 2003), dengan germinasi (Sembiring et al. 1984) dan fermentasi (Osman 2004). Menurut Liener (1958), anti-tripsin dapat dihilangkan dengan pemanasan, dan kecepatan penghancuran oleh panas tersebut merupakan fungsi dari suhu, lama pemanasan, ukuran partikel bahan, dan kadar air bahan. Percobaan Liener (1976) terhadap tujuh jenis kacang-kacangan yang mengandung tripsin inhibitor juga telah membuktikan bahwa kacang yang telah dipanaskan mempunyai daya cerna protein yang lebih tinggi daripada kacang mentah. b. Hemaglutinin Kedelai mentah yang diberikan pada tikus percobaan akan mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan. Terhambatnya pertumbuhan tikus tersebut 40 % disebabkan karena anti-tripsin, sedangkan sisanya disebabkan rendahnya daya cerna protein kedelai yang belum terdenaturasi dan oleh adanya faktor-faktor anti gizi lain, salah satunya adalah hemaglutinin (Muchtadi 1989). Percobaan Jaffe dan Camejo (1962) juga telah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar hemaglutinin kacang kedelai hitam pada diet tikus, maka semakin rendah daya cerna proteinnya secara in vivo. Aktivitas hemaglutinin dapat dihilangkan dengan cara perendaman bahan dalam air diikuti dengan perlakuan panas (perebusan atau pengukusan) dan dengan germinasi (Nielsen dan Liener 1988). c. Tanin Selain dapat menurunkan ketersediaan dan penyerapan mineral, tanin juga dapat menurunkan daya cerna protein. Tanin akan berikatan dengan protein untuk menghambat pencernaan protein 12 d. (Nielsen 1991; Alipour dan Rouzbehan 2010). Kompleks tanin-protein dapat menurunkan daya cerna pada kedelai hitam baik secara in vitro maupun in vivo (Aw dan Swanson 1985). Adanya tanin juga dapat menurunkan daya cerna protein secara in vivo pada pakan dari kedelai (Alipour dan Rouzbehan 2010). Percobaan Rehman dan Shah (2005) dengan menggunakan black grams, chick peas, lentils, red dan white kidney beans menunjukkan bahwa pengurangan kadar tanin dapat meningkatkan daya cerna protein kacang-kacangan tersebut. Kadar tanin dapat dikurangi dengan cara fermentasi (Osman 2004), perendaman (El-Hady dan Habiba 2003), dan germinasi (Ghavidel dan Prakash 2007). Asam fitat Asam fitat termasuk senyawa anti-gizi karena dapat mengkelat elemen mineral terutama seng, kalsium, magnesium, dan besi sehingga akan mengurangi ketersediaan mineral-mineral tersebut secara biologis. Namun selain mengkelat logam, ternyata asam fitat juga dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks sehingga kecepatan hirolisis protein oleh enzim-enzim proteolitik dalam sistem pencernaan menjadi terhambat karena adanya perubahan konfigurasi protein (Nielsen 1991). Fitat dapat membentuk kompleks dengan protein melalui interaksi ionik (de Rham dan Jost 1979). Interaksi yang dapat terjadi pada suasana asam dan basa ini mengakibatkan penurunan kelarutan protein. Protein dalam kompleks fitat-protein ini lebih sulit dihidrolisis enzim proteolitik (Cheryan 1980; Serraino et al. 1985). Pengurangan kadar fitat pada kacang-kacangan dapat meningkatkan daya cerna proteinnya (El-Hag et al. 2002; Rehman dan Shah 2005; Ghavidel dan Prakash 2007) Kandungan fitat dalam biji kedelai terdistribusi merata dalam semua bagian biji, dan Sudarmaji dan Markakis (1977) menemukan kadar fitat dalam kacang kedelai mentah sebesar 1.4%. Menurut Erdman (1979), kedelai atau kedelai tanpa lemak dan kulit mengandung asam fitat sekitar 1.4 % hingga 1.6 % berat kering, sedangkan Okubo et al. (1975) menemukan kadar fitat sebesar 2 % pada bungkil kedelai tanpa lemak. Asam fitat dapat dihidrolisis oleh enzim fitase menjadi inositol dan asam fosfat. Enzim fitase dalam kedelai dapat diaktifkan dengan perendaman dalam air hangat, perkecambahan, dan fermentasi (Muchtadi 1989; El-Hag et al. 2002; Osman 2004; Ghavidel dan Prakash 2007). Kandungan fitat pada kedelai dan kacang-kacangan lainnya dapat juga dikurangi dengan perebusan, penyangraian, dan hidrolisis dengan asam (Clysdesdale 1983; Shimelis dan Rakhsit 2007). 13