Perbedaan Harga Diri Mahasiswa Bertato dengan Mahasiswa tidak

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Pengertian Harga Diri
Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran
penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Coopersmith
(dikutip dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi
yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap
menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap
kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan. Secara singkat, harga diri
adalah “Personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang
diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya”.
Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian
individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal dirinya. Dapat disimpulkan bahwa harga diri menggambarkan
sejauh mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memeiliki
kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten.
Sedangkan menurut Branden (1987) harga diri merupakan aspek
kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan
yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. Harga diri
mencakup dua komponen yaitu perasaan akan kompetensi pribadi dan perasaan
akan penghargaan diri pribadi. Seseorang akan menyadari dan menghargai dirinya
jika mampu menerima diri pribadinya. Brehm dan Kassin (1990) menyatakan
bahwa individu yang menilai dirinya baik umumnya bahagia, sehat, sukses,
adaptif dalam situasi yang membuat stres.
Sheaford (2003) menyatakan bahwa harga diri berhubungan dengan
kepercayaan seseorang tentang yang bernilai dalam dirinya. Seseorang yang tidak
menghargai atau menghormati dirinya sendiri akan merasa kurang percaya diri
dan banyak berjuang dengan segala keterbatasan dirinya, sehingga sering mereka
terlibat dalam tingkah laku yang salah atau rentan untuk dieksploitasi dan
disalahgunakan oleh orang lain. Selanjutnya Sheaford (2003) menjelaskan bahwa
seseorang yang memiliki perasaan menghargai diri yang rendah timbul karena
persepsi yang subjektif dan tidak selalu akurat dengan pandangan orang lain. Rasa
menghargai diri yang rendah seringkali berasal dari perbandingan yang tidak
menyenangkan tentang dirinya sendiri dan orang lain. Pendapat senada dinyatakan
Rosenberg (1979) bahwa individu yang memiliki harga diri tinggi akan
menghormati dirinya dan menganggap dirinya sebagai individu yang berguna.
Sedangkan individu yang memiliki harga diri yang rendah tidak dapat menerima
dirinya dan menganggap dirinya tidak berguna dan serba kekurangan.
2.1.1 Karakteristik Harga Diri
Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) harga diri mempunyai beberapa
karakteristik, yaitu : (1) harga diri sebagai sesuatu yang bersifat umum; (2) harga
diri bervariasi dalam berbagai pengalaman; dan (3) evaluasi diri. Individu yang
memiliki harga diri tinggi menunjukkan perilaku menerima dirinya apa adanya,
percaya diri, puas dengan karakter dan kemampuan diri dan individu yang
memiliki harga diri rendah, akan menunjukkan perhargaan buruk terhadap dirinya
sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
2.1.2 Pembentukan Harga Diri
Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan
dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling
tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi
menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman
tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai
orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga
individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).
Harga diri mengandung pengertian”siapa dan apa diri saya”. Segala
sesuatu yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian
berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekatdalam diri
individu akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi
dimana proses ini dapat menguji . individu, yang memperlihatkan standar dan
nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain.
2.1.3 Aspek-Aspek dalam Harga Diri
Coopersmith dalam Burn (1998) membagi harga diri kedalam empat
aspek:
1) Kekuasaan (power)
Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain.
Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima
individu dari orang lain.
2) Keberatian (significance)
Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang
lain.
3) Kebajikan (virtue)
Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk
menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.
4) Kemampuan (competence)
Individu berhasil memenuhi tuntutan prestasi.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri
Faktor-faktor yang melatarbelakangi harga diri yaitu (Coopersmith, dalam
Burn, 1998) : (1) pengalaman; (2) pola asuh ; (3) lingkungan; dan (4) sosial
ekonomi. Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan
kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan
meninggalkan kesan dalam hidup individu.
2.1.5 Hambatan dalam Perkembangan Harga Diri
Menurut Dariuszky (2004) yang menghambat perkembangan harga diri
adalah : perasaan takut, yaitu kekhawatiran atau ketakutan (fear). Dalam
kehidupan sehari-hari individu harus menempatkan diri di tengah-tengah realita.
Ada yang menghadapi fakta-fakta kehidupan dengan penuh kebenaran, akan tetapi
ada juga yang menghadapinya dengan perasaan tidak berdaya. Ini adalah
tanggapan negatif terhadap diri, sehingga sekitarnya pun merupakan sesuatu yang
negatif bagi dirinya. Tanggapan ini menjadikan individu selalu hidup dalam
ketakutan yang akan mempengaruhi seluruh alam perasaannya sehingga terjadi
keguncangan dalam keseimbangan kepribadian, yaitu suatu keadaan emosi yang
labil.
Dalam keadaan terguncang individu tidak berpikir secara wajar, jalan
pikirannya palsu, dan segala sesuatu yang diluar diri yang dipersepsikan secara
salah. Dengan demikian tindakan-tindakannya menjadi tidak adekuat sebab
diarahkan untuk kekurangan dirinya. Keadaan ini lama kelamaan tidak dapat
dipertahankan lagi, yang akhirnya akan menimbulkan kecemasan, sehingga
jelaslah bahwa keadaan ini akan berpengaruh pada perkembangan harga dirinya.
Perasaan salah yang pertama dimiliki oleh individu yang mempunyai pegangan
hidup berdasarkan kesadaran dan keyakinan diri, atau dengan kata lain individu
sendiri telah menentukan kriteria mengenai mana yang baik dan buruk bagi
dirinya. Perasaan salah yang kedua adalah merasa salah terhadap ketakutan,
seperti umpamanya orangtua. Keadaan ini kemudian terlihat dalam bentuk
kecemasan yang merupakan unsure penghambat bagi perkembangan kepercayaan
akan diri sendiri.
2.1.6. Meningkatkan Harga Diri
Hal-hal yang dapat meningkatkan harga diri seseorang menurut pendapat
Coopersmith (1967) diantaranya adalah keberhasilan yang diperoleh selama
dirinya berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan itu sendiri antara lain: a.
Power, kemampuan untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain; b. Virtue,
kesesuaian diri dan kecemasan dalam mengemukakan tentang dirinya; c.
Significance, penerimaan perhatian dari keluarga; d. Competence, kesuksesan dan
Perasaan ketidakpuasan.
Sedangkan Soepri Tjahjono (2004) menjelaskan beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam upaya meningkatkan harga diri diantaranya adalah: a) Mengenali
diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan dengan cara bercermin baik
dengan kaca maupun melalui tulisan dikertas dan menuliskan mana potensipotensi yang bisa kita kembangkan atau tunjukan ke orang lain, dan mana yang
harus kita tinggalkan. b) Menerima diri seperti apa adanya. Orang yang dapat
menerima diri sendiri apa adanya tidak akan menyesali segala yang terjadi dalam
menghadapi kenyataan. Artinya, apa yang ada pada diri kita harus diterima dan
dikembangkan. c) Manfaatkan kelebihan dengan cara mengenali kelebihan yang
kita miliki, selanjutnya digunakan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Misalnya kita yang pandai berbicara, mengapa tidak mencoba jadi pembawa
acara? d) Meningkatkan keahlian yang dimiliki. Kemampuan, keahlian, dan
keterampilan yang kita miliki memberikan sumbangan untuk meningkatkan harga
diri kita. Semakin banyak dan beragam keahlian yang kita miliki, akan semakin
besar kita menghargai diri kita. e) Memperbaiki kekurangan. Individu harus
mengenali kekurangan yang ada pada dirinya. Kalau individu tidak mengenalinya,
maka keinginan untuk memotivasi dan mengembangkan dirinya ke arah yang
lebih baik juga tidak ada. Kalau individu mengenali kekurangannya, maka
sebenarnya kekurangan itu dapat juga dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna.
f) Mengembangkan pemikiran bahwa individu sama dan sederajat dengan orang
lain. Setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan itu bisa dari sudut
ekonomi ataupun status sosial. Tetapi semuanya itu akan sama haknya dalam
setiap kesempatan. Pemikiran itulah yang harus selalu dikembangkan bahwa
setiap orang punya hak dan derajat yang sama.
Raymond Tambunan (2009) (http:/e-psikologi.com) menjelaskan bahwa
perkembangan harga diri pada seseorang akan menentukan keberhasilan maupun
kegagalannya dimasa mendatang. Sedangkan arti harga diri itu sendiri
menurutnya adalah hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan
dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif dan negatif. Bagaimana seseorang
menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya seharihari. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan
diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya
diperlukan di dunia ini.
Pendapat di atas menunjukan peningkatan harga diri seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal pada diri individu dan
faktor eksternal. Faktor internal pada individu meliputi penghargaan, penerimaan,
pengertian dan perlakuan orang lain terhadap dirinya. Sedangkan faktor eksternal
adalah prestasi yang dicapai, hubungan dimasyarakat, keluarga dan pergroupnya.
Harga diri bukan merupakan faktor bawaan tetapi dapat dibangun / ditingkatkan
melalui proses belajar melalui interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya
dalam bentuk umpan balik yang diterima dari orang-orang yang berarti bagi
individu. Kemauan untuk mengevaluasi kembali kepercayaan seseorang tentang
diri sendiri merupakan langkah awal terhadap pertumbuhan dalam menghargai
dirinya.
Menurut Ubaydillah (2001) menaikkan harga-diri harus dimulai dari diri
sendiri terlebih dulu. Jika ini sudah individu lakukan, orang lain akan
menghargainya meski prosesnya ada yang tidak langsung-seketika. Adapun
langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi : a) Secara mental, temukan
sesuatu yang berharga di dalam diri individu. Ini bisa sifat, watak, skill,
pengetahuan, kelebihan, pedoman hidup yang individu yakini, kebaikan, sikap,
atribut akademik, modal sosial yang individu miliki, dan lain-lain. Ini adalah jalan
untuk menciptakan perasaan positif tadi. Untuk bisa menemukan ini memang
harus sering-sering melakukan dialog dengan diri sendiri dan cepat sadar atas
munculnya perasaan negatif. b) Secara aktual, lakukan sesuatu yang menurut
individu itu bernilai atau berharga membuat dirinya, entah itu untuk hari ini atau
hari esok. Ini pokok. Tidak ada orang yang punya perasaan positif kalau tidak
melakukan hal-hal positif.
Menurut pengalaman hidup Michael Angier (2004), jika seseorang punya
perasaan positif terhadap dirinya, orang itu akan merasa lebih ringan untuk
melakukan hal-hal positif. Semakin banyak tindakan positif yang dilakukan,
semakin besar pula perasaan positif yang muncul. Jadi ada semacam timbal-balik
yang saling terkait. c). Melatih diri untuk memiliki jiwa yang lebih besar, pikiran
yang lebih besar atau pertimbangan yang lebih bijak. Tapi ini perlu didasari atas
pengetahuan tentang adanya manfaat yang lebih besar (kekuatan). Ini misalnya
saja memaafkan atau memahami orang lain karena itu hasilnya akan lebih baik,
bukan karena tidak mampu melawan secara terang-teranga lalu ngomong di
belakang (kelemahan). d) Latihlah menghadapi persoalan dengan keputusan. e)
Jauhi hal – hal yang berpotensi menegatifkan perasaan dan pikiran.
Selanjutnya Sumarni (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang
dapat dilakukan agar harga diri atau kehormatan diri seseorang dapat terpelihara
dengan baik diantaranya : a) Mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri ,
artinya menyadari bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan.
b) Menerima diri apa adanya , artinya menyadari dan menerima apa adanya
dengan mensyukuri keadaan yang ada pada diri sendiri walau dalam keadaan
apapun juga dengan menyadari bahwa manusia tidak ada yang sempurna.
c) Memanfaatkan kelebihan, artinya menyadari bahwa semua orang mempunyai
kelebihan dan kekurangan yang beragam bentuknya.
2.2.
Tato Dan Harga Diri
Pada sub pokok bahasan ini akan dibahas mengenai pengertian bertato,
bertato dipandang dari berbagai aspek, perkembangan bertato pada masa
sekarang, hubungan antara harga diri seseorang bertato dan seseorang tidak
bertato, perbedaan harga seseorang bertato dengan harga diri seseorang tidak
bertato.
2.2.1. Pengertian Tato
Kata tato berasal dari kata Tahitian atau Tatu yang memiliki arti
menandakan sesuatu. Dalam Wikipedia (2010) tato (tattoo) adalah suatu tanda
yang dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis,
tato adalah implantasi pigmen mikro. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tato berarti gambar (lukisan) pada bagian (anggota) tubuh. Dengan tujuan
menunjukkan kepribadian seseorang.
2.2.2.
Tato Dipandang dari Berbagai Aspek
Menurut Potiman Sutalip (2010) menyatakan seseorang memiliki tato
dapat dipandang dari berbagai aspek yaitu; (1) Pada sistem budaya tato
mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda orang yang memakai tato untuk
menandai masa inisiasi pada anak laki-laki, menunjukkan usia dan kelas sosial
dan menandakan tahap-tahap dalam kehidupan.
(2) Selain anggapan sistem budaya yang positif di atas anggapan negatif
atau pandangan dari aspek sosial bahwa masyarakat memandang tato merupakan
larangan memakai bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan
image tato sebagai sesuatu yang: dilarang, haram, dan tidak boleh. Maka memakai
tato sama dengan memberontak terhadap tatanan nilai sosial yang ada, sama
dengan membebaskan diri terhadap segala tabu dan norma-norma masyarakat
yang membelenggu. Orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat memakai
tato sebagai simbol pemberontakan dan eksistensi diri. Anak-anak yang
disingkirkan oleh keluarga memakai tato sebagai simbol pembebasan.
(3) Duffy dan Atwater (2005) pada aspek psikologi bahwa seseorang
memiliki tato menyatakan bahwa mental image mengenai tubuh seseorang,
bagaimana perasaan seseorang tentang tubuhnya, bagaimana kepuasan dan
ketidakpuasan seseorang terhadap tubuhnya. Guslingga (2006) menambahkan
bahwa orang yang memiliki tato angapan secara positif akan cenderung merasa
puas terhadap kondisi tubuhnya, memiliki harga diri yang tinggi, penerimaan jati
diri yang tinggi, rasa percaya diri dan kepeduliannya terhadap kondisi badan dan
kesehatannya sendiri, serta adanya kepercayaan diri ketika menjalin hubungan
dengan orang lain. Berkaitan dengan remaja bertato, di satu sisi tato merupakan
suatu seni yang dapat memperindah penampilan, mempercantik tubuh ataupun
membuat seseorang terlihat menarik. Sedangkan orang yang memiliki tato
angapan secara yang negatif akan cenderung merasa tidak puas atau malu
terhadap kondisi tubuhnya sehingga tidak jarang menimbulkan depresi, memiliki
harga diri yang rendah atau bahkan merasa dirinya tidak berharga.
(4) Pada aspek pendidikan bertato diinstansi pendidikan SMP, SMA/K
dari Diknas pusat telah menyatakan untuk tidak menerima calon siswa yang
bertindik dan bertato dengan alasan peningkatan karakter siswa yang baik,
berpenampilan sopan dan santun. Artinya pendidikan secara garis besarnya
menolak seseorang yang memiliki tato pada tubuhnya karena ini jauh dari tujuan
pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.2.3.
Perkembangan Tato Pada Masa Sekarang
Perkembangan tatoakhir-akhir ini sudah menjadi trend dan membudaya,
khususnya di kalangan generasi muda. Meski prosesnya dilakukan dengan
menggunakan jarum suntik, namun tak sedikit generasi muda yang tertarik untuk
mencobanya. Padahal, merajah tubuh dengan jarum suntik itu menimbulkan rasa
sakit dan pedih luar biasa serta sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Ironisnya, trend merajah tubuh ini semakin menggelobal (William Sudduth,
2010).
Menurut Amir saleh (2010) orang-orang dewasa ini menggunakan tato
sebagai bentuk ekspresi diri, dengan menempatkan tato di bagian mana saja pada
tubuh mereka. Di Indonesia pernah ada suatu masa ketika tato dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Individu yang memakai tatodiidentikkan dengan penjahat dan
orang nakal. Pokoknya golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu
dianggap mengacau ketentraman masyarakat. Tanggapan negatif masyarakat
tentang tatoserta larangan memakai rajah atau tato bagi penganut agama tertentu,
semakin menyempurnakan persepsi tato masyarakat sebagai sesuatu yang
dilarang, haram, dan tidak boleh. Maka memakai tato dianggap sama dengan
memberontak. Namun kini, persepsi pemberontakan yang melekat pada tato inilah
yang menjadi populer dan dicari-cari anak muda. Orang-orang yang dikucilkan
pun memakai tatosebagai simbol pemberontakan dan eksistensi dirinya.
Sedangkan anak-anak yang disingkirkan oleh keluarga, memakai tatosebagai
simbol pembebasan.
Menurut Budiman (2011) fenomena yang berkembang sekarang adalah
semakin banyak orang yang menghiasi tubuhnya dengan tato di bagian-bagian
tubuh yang sebelumnya jarang kita jumpai. Secara umum, orang yang membuat
tato dengan alasan seni, walaupun ada beberapa orang mempunyai tujuan agar
terlihat "sangar". Jika bertujuan untuk seni, Seni sendiri dapat dijelaskan secara
umum menjadi 2 yaitu :
1.
Bisnis.
Banyak orang yang menjalani hidup di dunia seni sebagai sarana bisnis. Hal
ini sangat menguntungkan, karena selain menyalurkan kretifitas, juga dapat
menghasilkan uang. Seseorang bisa membuat tato sebagai sarana bisnis. Antara
lain dengan mengikuti kontes tato.
2.
Hobi.
Seni bisa merupakan suatu hobi. Seseorang dapat membuat tato sebagai
hobi. Tetapi anda harus siap secara mental karena masih banyak orang
menganggap tato sebagai hal negatif. Apalagi di Indonesia, banyak orang
mengalami kesulitan mencari pekerjaan jika mempunyai tato ditubuhnya. Jadi jika
anda menginginkan tato hanya untuk hobi, Seseorang harus siap juga secara
finansial.
2.2.4.
Tato dan Harga Diri
Harga diri berkaitan dengan kepribadian dan tatoo adalah sebagai suatu alat
yang digunakan oleh pribadi untuk kepentingan harga diri. Istilah “kepribadian”
(personality) berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng atau kedok,
yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang
maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang.
Kepribadian sebagai topeng (mask personality), yaitu kepribadian yang berpurapura, yang dibuat-buat, yang semu atau mengandung kepalsuan.
Menurut Kartono (1979) kata personality berasal dari bahasa latin persona
yang artinya kedok atau topeng. Topeng ini biasanya digunakan oleh pemain
teater Yunani untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter tertentu.
Personality juga berasal dari personare yang artinya menembus, maksudnya
dengan menggunakan topeng dapat menembus keluar untuk mengekspresikan satu
bentuk tingkah laku tertentu. Persona merupakan gambaran salah satu bentuk atau
tipe individu tertentu.
Ada tujuh topeng yang digunakan oleh pribadi untuk mengekspresikan diri.
Ketujuh topeng itu ialah 1).Topeng kepemilikan 2). Topeng intelektualitas 3).
Topeng sosial 4). Topeng moral 5). Topeng impresif(aktor/artis) 6). Topeng
jabatan 7). Topeng seksualitas. Tato sebagai topeng manusia masuk dalam
gambaran topeng impresif (aktor/artis). Bahwa khawatir jika kekurangan atau sisi
negatif diri terungkap, cemas jika tidak dicintai atau dihargai banyak orang,
khawatir jika ada kesan negatif orang lain mengenai dirinya, terobsesi untuk
dikenal sebagai figur publik yang positif, keinginan untuk terus-menerus
mendapat tepuk tangan dari orang lain. Orang yang menggunakan topeng ini ingin
memberi kesan positif pada orang-orang yang mengenalnya. Untuk itu berusaha
Menunjukkan sikap positif, bermurah hati, pengertian serta mudah mengumbar
janji, seolah dirinya orang yang baik dan bermurah hati. Orang yang
menggunakan topeng ini juga haus akan pujian, sanjungan serta tepuk tangan.
Meskipun orang yang menggunakan topeng ini menunjukkan kebaikan serta
perilaku menolong, sebenarnya tidaklah begitu tertarik untuk membantu orang
lain (Martin, 2003).
Penggunaan tato juga dapat dimasukan sebagai gambaran topeng
seksualitas. Seseorang merasa tidak nyaman dengan kondisi diri yang
sesungguhnya, minder atas keadaan non-fisik dirinya, kesulitan untuk mencintai
tanpa syarat karena dirinya terbiasa dicintai secara bersyarat, ketidakpercayaan
akan ketulusan hati orang lain, merasa orang lain selalu mengambil keuntungan
dari dirinya, tidak merasa memiliki sisi positif diri yang dapat dikembangkan,
obsesi terus menerus untuk menguasai orang lain dengan daya tarik fisiknya,
kehausan untuk terus menerus dipuji dan dicintai karena daya tarik fisiknya.
Jung (dalam Kartono, 1979) menyatakan persona itu merupakan topeng bagi
individu sepanjang hidupnya yang berfungsi sebagai benteng pelindung untuk
menutupi dan melindungi diri sendiri agar mempunyai penampilan yang
menyenangkan dan lebih baik.
Salah satu kepribadian yang berpur-pura, yang dibuat-buat, yang semu atau
mengandung kepalsuan yaitu kepribadian seseorang untuk menutupi dari
kelemahan dalam diri, atau sebagai kompensasi terhadap sikap atau perilaku yang
ingin diperhatikan oleh banyak orang. Biasanya seseorang akan masuk kedalam
lingkungan atau kelompok yang dapat menerima dia, misalnya seseorang akan
masuk ke dalam kelompok atau geng-geng tertentu, menggambar tubuh dengan
membuat lambang atau menato tubuh sebagai indentitas yang dapat diperhatikan
oleh orang lain (Kandeva 2008).
Selanjutnya Kandeva (2008) menyatakan tanpa disadari, ternyata seseorang
dalam hidup ini mengenakan topeng-topeng. Seseorang bertingkah laku sesuai
dengan topeng yang dikenakan atau peran yang tengah dimainkan, sedangkan
kepribadian seseorang yang sesungguhnya disembunyikan dan hanya keluar
manakala dalam kesendirian. Macam-macam topeng yang seseorang kenakan atau
peranan yang dimainkan: sebagai anak yang patuh, istri yang penurut, suami yang
gagah dan melindungi, ibu yang sabar, nenek atau kakek yang bijaksana, guru
yang berdedikasi, dan sebagainya. Dari luar seseorang seperti itu, tapi dalam hati
tidak seperti itu.
Seseorang
tidak
menunjukkan
perasaan
yang
sebenarnya
karena
menganggap hal itu tidak pantas. Menginginkan kebenaran dalam hidup ini, juga
menginginkan kewajaran: bertingkah laku secara wajar dan ingin orang lain
memperlakukan seseorang dengan wajar. Tapi kenyataannya dalam kehidupan
sehari-hari orang sering dicela, bahkan dihukum, jika memperlihatkan sifat-sifat
yang sesungguhnya. Akhirnya seseorang jadi sering berpura-pura dan hanya
bersikap seperti yang dikehendaki masyarakat. Sering bergaya besar, sombong,
atau lebih berani dari yang sebenarnya. Seseorang tidak berani berkata "tidak
bisa" meskipun sebenarnya tidak bisa. Seseorang tidak berani berterus terang,
terus saja berbasa-basi dan berpura-pura, memakai topeng. Efeknya menjadi
tersiksa. Selain itu, juga jadi terasing dari diri sendiri, tidak mengenali diri sendiri
dan tidak dikenal oleh orang lain. Maka dari itu salah satu kompensasinya
seseorang mencari-cari cara agar menutupi diri dengan mencari identitas baru
misalnya dengan memberikan atau membuat lambang yang disebut tato agar
seseorang bertambah lebih berani, bergaya besar atau kebanggaan tersendiri.
Lazurdi (2009) menyatakan bahwa sesungguhnya tato dibuat sebagai suatu
simbol atau penanda, dapat memberikan suatu kebanggaan tersendiri bagi si
empunya dan simbol keberanian dari si pemilik tato. Sejak masa pertama tato
dibuat juga memiliki tujuan demikian. Tato dipercaya sebagai simbol
keberuntungan, status sosial, kecantikan, kedewasaan, dan harga diri.
2.2.5.
Perbedaan Harga Diri Seseorang Bertato dengan Harga Diri
Seseorang Tidak Bertato
Tambunan (2001) menyatakan pengambilan keputusan seseorang bertato
tidak dengan sendirinya dapat terwujud pada seseorang, banyak faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan bertato. Harga diri
merupakan suatu hal yang dianggap dapat mempengaruhi keputusan seseorang
untuk bertato. Seseorang menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku
dalam kehidupannya sehari-hari. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa
percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta
rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini.
Sebaliknya, berbeda dengan seseorang yang memiliki harga diri yang negatif
akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Di
samping itu seseorang dengan harga diri yang negatif cenderung untuk tidak berani
mencari tantangan-tantangan baru dalam hidupnya dengan bertato, lebih senang
menghadapi hal-hal yang sudah dikenal dengan baik serta menyenangi hal-hal
yang tidak penuh dengan tuntutan, cenderung tidak merasa yakin akan pemikiranpemikiran serta perasaan yang dimilikinya, cenderung takut menghadapi respon
dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung
merasa hidupnya tidak bahagia. Pada seseorang yang memiliki harga diri negatif
inilah sering muncul perilaku negatif. Berawal dari perasaan tidak mampu dan
berharga, mereka mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang seolah-olah
membuat dirinya lebih berharga. Misalnya dengan mencari pengakuan dan
perhatian dari teman-temannya (Tambunan, 2001).
Pada masyarakat Indonesia, anak muda dianggap normal, ganteng dan alim
apabila rapi, bersih tidak ada tato, tak bertindik dan lain-lain. Jika terjadi
penyimpangan sedikit saja seperti telinga atau hidung yang ditindik, maka akan
mengakibatkan gunjingan dan celaan yang cepat menyebar ke mana-mana. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika gaya-gaya anak muda seperti itu akan
cepat-cepat dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Tanggapan negatif masyarakat
tentang tatomerupakan larangan bagi penganut agama tertentu semakin
menyempurnakan tato sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan tidak boleh.
Maka memakai tato dianggap sama dengan memberontak. Sekarang, walaupun
banyak orang yang berontak dan beranggapan bahwa tato merupakan bagian dari
fashion, rasa minder atas penggunaan tato masih juga terjadi. Mungkin disebabkan
karena citra tato yang sudah melembaga di masyarakat menyebabkan beberapa
orang hanya memperlihatkan tato pada lingkungan pergaulannya saja, sedangkan
berbeda di lingkungan yang lebih ketat orang yang tidak memiliki tato akan
beranggapan bahwa banyak sekali orang- orang yang bertato akan sulit bekerja
karena masih adanya anggapan negatif yang tertempel dalam dirinya, merusak
tubuh dan menyebabkan penyakit dalam tubuh dan masyarakat.
2.3.
Penelitian yang Relevan
Perbedaan harga diri mahasiswa yang bertato dengan mahasiswa yang tidak
bertato pada mahasiswa laki-laki FKIP-UKSW Salatiga didukung oleh penelitian
oleh Hapsari (2008) yang menemukan bahwa harga diri pada pemuda bertato pada
komunitas musik rock tinggi, sedangkan pada pemuda yang tidak bertato
komunitas musik rock memiliki harga diri yang rendah. Hal ini dikarenakan
kemungkinan tingkat penyesuaian sosial dan hubungan sosial pada pemuda
komunitas musik rock sangat luas atau mudah beradaptasi yang dapat mudah
terpengaruh dalam hal bertato dan itu merupakan satu identitas bagi diri komunitas
pecinta musik rock.
Hal senada dingkapkan oleh Gustafian (2008) dalam penelitiannya yang
menyatakan remaja laki-laki yang bertato permanen di SMK Swasta Yogyakarta
memiliki harga diri yang tinggi berbeda dengan remaja laki-laki yang tidak bertato
memiliki harga diri yang rendah, hal ini disebabkan oleh faktor hubungan sosial
dari remaja laki-laki yang bertato yaitu pergaulan yang luas dan banyaknya
pertemanan dari berbagai kalangan.
2.4.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; ada
perbedaan harga diri mahasiswa yang bertato dengan mahasiswa yang tidak
bertato pada mahasiswa laki-laki FKIP-UKSW Salatiga.
Download