BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa hidup berdampingan
dengan orang lain. Dalam hidup berdampingan dengan manusia lainnya, setiap orang
pasti memiliki kehendak satu sama lain dan memiliki keinginan yang berbeda pula.
Untuk mencapai keinginan tersebut biasanya diwujudkan dengan tindakan melalui
hubungan timbal balik, hubungan inilah yang disebut dengan interaksi. Menurut
Gillin & Gillin 1 interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis,
menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu
dengan kelompok.
Interaksi terjadi apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga
menimbulkan reaksi dari individu-individu yang lain, karena itu interaksi terjadidalam
suatu kehidupan sosial. Interaksi pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari
struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan sosial. Perkembangan
inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh dari pola-pola perilaku individu yang
berbeda menurut situasi dan kepentingannya masing-masing yang diwujudkannya
dalam proses hubungan sosial2. Dalam kehidupan sosial, tingkah laku setiap orang
cenderung akan diamati oleh manusia lainnya, baik perilaku, gaya bahasa, penampilan
hingga cara berjalan adalah sesuatu yang menarik. Jika terdapat orang yang berbeda
diantara sekian banyak orang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat maka
cenderung akan terjadi diskriminasi ataupun pengecualian3. Tatapan aneh atau pikiran
aneh yang datang dari masyarakat pada umumnya terhadap orang yang
berpenampilan berbeda adalah hal yang wajar, karena perbedaan selalu menjadi
sorotan. Hal inilah yang terjadi pada perempuan bertato di Yogyakarta. Perempuan
bertato memiliki masalah dalam interaksi sosial karena akan dianggap sebagai
1
Gillin, J.L dan J .P. Gillin, 1954., Cultural Sociology. New York: The Mc Millan C0. Hal 489
Ibid,
3
Ibid,
2
perempuan nakal atau tidak baik.
Tato pada sejarahnya merupakan bagian kebudayaan kuno yang dapat
ditemukan pada beberapa suku di dunia. Dalam tradisi suku Dayak di pedalaman
Kalimantan (Indonesia), tato menjadi satu bentuk ritual dalam kaitannya dengan
penghormatan pada leluhurnya. Tato juga menjadi suatu tradisi yang turun temurun
dan dijadikan sebagai alat untuk dapat menunjukan posisi seseorang dalam suku
Dayak, serta menunjukan secara historis mengenai kejadian yang pernah di alami si
pemilik tato.
Perempuan bertato di Indonesia khususnya di Yogyakarta
pada dasarnya
bukanlah suatu fenomena baru dalam kesejarahan dan budaya Indonesia, banyak suku
yang memiliki perempuan bertato. Akan tetapi makna tato mulai menjadi sebuah hal
yang menakutkan manakala terjadi serangan petrus pada masa Orde Baru. Hingga
tahun 1986, keberadaan tato di Indonesia seolah-olah menghilang dari pemandangan,
dan jikapun ada semata-mata dianggap sebagai sebuah penyimpangan sosial 4 .
Anggapan negatif sebagian besar masyarakat tentang tato dan larangan memakai tato
bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan citra tato sebagai sesuatu
yang terlarang, haram dan menyimpang. Citra tato pun kemudian menjadi identik
dengan pemberontakann terhadap tatanan nilai religus dan norma sosial yang ada.
Namun pada dekade belakangan, keberadaan tato di Indonesia khususnya di
Yogyakarta mulai mengalami pergeseran makna. Bersamaan dengan semakin
merosotnya kekuasaan orde baru dan tumbuhnya kebudayaan populer di kota-kota
besar di Indonesia yang membawa masuk produk musik, film, novel, serta budaya
Barat lainnya tato kini mulai dimaknai sacara positif sebagai salah satu sarana
ekspresi identitas diri. Tato kini semakin banyak diminati dan dipakai oleh berbagai
lapisan masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Tidak hanya melulu dimiliki
oleh para penjahat, gali, preman ataupun sekelompok anak muda anggota subkultur
tertentu. Kaum perempuan, kalangan menengah ke atas, serta mahasiswa yang relatif
memiliki status sosial ekonomi dan pendidikan tinggi kini turut pula mentato
tubuhnya. Semenjak tahun 1990-an bahkan muncul fenomena pemakaian tato
dikalangan artis, model, para profesional, mahasiswa dan bahkan anak-anak sekolah.
4
Berman, Barry and Joel R. Evan, 2002, Retail Management: A Strategic Approach, Eight edition, Mac
Milan, New York. Hal.63
Resiko bertato tidak terbatas pada pandangan negatif saja yang mungkin
diterima, tetapi juga resiko terjangkitnya penyakit pasca penatoan. Mentato tubuh
juga berarti melukai tubuh. Bibit penyakit dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka
akibat tusukan tato, dan beresiko tinggi tertular virus hepatitis ataupun HIV. Kondisi
ini disebabkan karena tato tidak menggunakan alat yang tidak steril atau digunakan
secara bergantian. Hepatitis menular lewat darah dan cairan tubuh manusia5. Virus
HIV juga hidup di dalam 4 cairan tubuh manusia, cairan darah, cairan sperma, cairan
vagina, dan air susu ibu6. Bahkan kehadiran tato telah digunakan sebagai keriteria
untuk penangguhan donor darah karena berpotensi menularkan penyakit7.
Sebagian besar masyarakat lebih mengenal AIDS sebagai resiko terkait pada
seni tubuh (tato), tetapi resiko lain yang berpotensi tidak diketahui 8. Resiko lainnya
yang berpotensi dalam tato seperti alergi atau iritasi pada kulit yang disebabkan oleh
tinta tato. Tinta tato yang beredar di pasaran umumnya terbuat dari bahan kimia yang
patut dikelompokkan ke dalam unsur logam berat, seperti arsenik, mercury, perak,
emas, dan bismuth, yang berbahaya untuk kesehatan9.
Pada
dasarnya
orang-orang
yang
menggunakan
tato
hanya
ingin
mengkomunikasikan tentang identitas diri atau kelompok kepada masyarakat luas.
Komunikasi disini berarti adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku,
baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media 10 . Dalam
mengkomunikasikan pesan-pesan tato kepada masyarakat di Yogyakarta, disini setiap
gambar atau setiap symbol memiliki arti yang berbeda tergantung dari keinginan
orang yang ditato.
5
Evy. 2009. Awas, Tato dan Tindik Tularkan Hepatitis. 16 April 2009. Jakarta. Diambil pada 18
Agustus 2014 dari Http://nasional.kompas.com
6
Putra, Y. 2009. Penyebaran HIV/AIDS Sudah Masuk Daerah. Koran Kompas. Jakarta. Diambil 17
Agustus 2014
7
Nishioka, A dan Gyorkos T. W. 2001. Tattoos as Risk Factors for Transfusion-Transmitted Diseases.
International Journal of Infectious Diseases, Vol. 5 No. 1. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari
ttp://ac.els-cdn.com/S1201971201900451/1-s2.0-S1201971201900451main.pdf?tid=81143b0cfc3657f5dc1109d36319f9fb&acdnat=
13360598311233aa14b6d96a2b82a8b6b90711076d.
8
Quaranta, dkk. 2011. Body Piercing and Tattoos: A Survey on Young Adults’ Knowledge of The Risk
and Practices in Body Art. BMC Public Health.11: 774.Diambil pada 18 Agustus 2014 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3196715/pdf/1471- 2458-11-774.pdf.
9
Rixco. 2008. Bahaya Tato Dari Segi Medis. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari
Http://rixco.multiply.com/journal/item/183/BAHAYANYA_TATOO_DARI_SEGI_ME
DIS?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem.
10
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, PT. Remaja Rosda. Karya, hal 5
Interaksi sosial memungkinkan masyarakat berproses sedemikian rupa
sehingga membangun suatu pola hubungan. Tato dapat dikaitkan dengan interaksi
sosial karena pemakaian tato sendiri selalu menarik untuk diperhatikan bagi siapa
saja, tato bisa menjadi sarana untuk orang yang dengan yang lainnya berinteraksi
secara langsung ataupun tidak langsung. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua
kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Bertemunya manusia dengan manusia lain tidak akan menghasilkan pergaulan tanpa
adanya interaksi sosial. Ketika seseorang berjalan dan bertemu dengan seorang
pemakai tato, akanada banyak pikiran yang tersemat dalam benaknya, dan situasi
inilah yang disebut sebagai interaksi sosial. Dalam kasus ini secara tidak langsung
tato menjadi alat komunikasi.
Tato selama ini juga mengkomunikasikan tentang maskulinitas, kejantanan,
dan kegarangan dari penampilan seseorang. Tidak heran jika tato kemudian
melebarkan pemahamannya dengan menyangkut pada adanya kelas gender
penggunanya. Kecenderungan tato sampai saat ini sepertinya masih di pegang pada
tabu laki-laki sebagai gender yang dirasa “cocok” untuk memiliki tato. Kesan
maskulinitas seharusnya menjadi acuan jika nilai gender ini memang dihadirkan
untuk menempatkan tato sebagai “milik” laki-laki. Kenyataannya sekarang ini tato
bukan hanya di dominasi oleh laki-laki. Tato telah menjadi sebuah fenomena yang
disukai oleh sebagian masyarakat umum, termasuk perempuan di Yogyakarta.
Hasil penelitian Tapaningtyas 11 yang berlokasi di Surabaya menyebutkan
bahwa pandangan masyarakat terhadap perempuan bertato 55,45% negatif, 12,22%
positif, dan 32,33% netral. Kebanyakan orang menilai perempuan yang mentato
tubuhnya identik dengan hal yang negatif (sangar, menyeramkan, preman, perempuan
nakal, liar). Masyarakat yang hanya melihat sekilas tentang perempuan bertato
biasanya langsung mengambil kesimpulan bahwa perempuan yang bertato adalah
perempuan yang nakal yang tidak tahu aturan, dan tidak jauh mereka menghakimi
bahwa perempuan bertato itu galak dan mengerikan. Hal tersebut membuat
perempuan yang bertato merasa lebih tidak dihargai oleh masyarakat luas, sementara
setiap manusia ingin dihargai dan dihormati, namun sepertinya tanggapan-tanggapan
11
Tapaningtyas, D. A. 2008.Perancangan Buku Esai Foto Perempuan dan Tato”. Surabaya: Universitas
Kristen Petra. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari Http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_11096.html
yang diberikan masyarakat tentang perempuan bertato mempengaruhi interaksi sosial
dalam kehidupannya.
Saat ini, perempuan yang mentato tubuh tidak jarang untuk ditemukan.
Sebagian dari mereka bahkan menggunakan pakaian yang cenderung memperlihatkan
tato mereka. Menurut Kassandra12, perempuan bertato cenderung mengarah tipikal
perempuan yang eksibisionis. Kebanggaan dan keinginan menampilkan tato yang ada
di bagian tertentu tubuhnya, termasuk kategori eksibisionis. Seolah perempuan bertato
ingin memperlihatkan sisi kelembutannya dengan mewujudkan sebuah tato yang
indah. Hasil penelitian Sanders
13
yang mengambil tempat di Amerika
mengungkapkan tentang lokasi tubuh tato pertama, responden pria paling banyak
menerima tato pertama mereka di lengan atau tangan (71%), sedangkan responden
perempuan paling banyak menerima tato pertama mereka di dada (35%).
Jumlah perempuan yang bertato saat ini sudah banyak dan terutama berada di
kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Alasan dari perempuan yang
bertato beragam, mulai dari ingin tampil eksis, ingin terlihat seksi, ikut-ikutan
pergaulan ataupun untuk menegaskan jati diri dan tujuan hidup. Seperti yang
dinyatakan seorang perempuan bertato melalui sebuah blog, dimana dalam blognya,
perempuan ini mengatakan bahwa tato adalah symbol untuk ekspresi, dimana
perempuan ini juga mentato tubuhnya dengan tato lumba-lumba dan salib14. Bagi
Worotyas, keputusan mentato adalah salah satu kesadaran diri yang ingin
diungkapkan kepada masyarakat bahwa orang yang bertato bukanlah orang jahat.
Dalam hal mentato juga Worotyas mengungkapkan bahwa tidak ada penyesalan
setelah mentato tubuhnya dua kali. Apa yang diceritakan diblog Worotyas
menunjukkan bahwa tato bukanlah suatu fenomena asing atau buruk dikalangan
masyarakat ataupun dikalangan perempuan masa kini.
Penggunaan tato pada dasarnya tidaklah dapat diterima oleh sebagian besar
orang, karena makna tato sendiri yang masih dianggap tabu terutama bagi para wanita
yang menggunakan tato. Para perempuan bertato yang memiliki masalah pada
12
Aldy. 2007. Eksibisionis Dengan Tato. Diambil pada 17 Agustus 2014 dari Http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg 02984.html.
13
Sanders, C. R. 2008. Customizing The Body: The Art and Culture of Tattooing. Philadelphia: Temple
University Press
14
http://catatanworotyas.wordpress.com/2010/05/10/saya-bertato/
interaksi sosial juga banyak dan salah satunya dialami oleh informan bernama Esta.
Esta, salah satu perempuan yang mentato tubuhnya sebagai berikut:
“Aku kadang ga seneng sih pake tato, tapi hal yang buat aku senang, aku
pengen buktiin ke sekitar meskipun aku punya tato tapi aku bisa jadi orang
baik, bisa jadi orang berpendidikan. Ibaratnya aku pengen nepis image buruk
yang ditimbulkan sama tato. Aku feel nothing, aku kadang lupa punya tato.
Cuma kadang agak ke distract aja kalo orang yang lagi natap mata aku terus
gara-gara liat tatoku langsung noleh ke tatoku gitu. Papa cuma geleng-geleng,
mama sama adek ga komen. Mantan pacar yang tau aku punya tato ga
bereaksi.”15
Dari wawancara diatas dapat dilihat bahwa tidak adanya respon dari orang tua
atau orang terdekat menunjukkan bahwa fenomena mentato tubuh sudah bukan hal
yang tabu atau asing bagi sebagian masyarakat. Melihat dari pandangan dua orang
diatas dapat dikatakan bahwa penerimaan orang terhadap orang-orang bertato sudah
semakin mudah apalagi mengingat media sering menunjukkan artis-artis yang bertato,
hal ini juga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tato terutama bagi
perempuan bertato. Pandangan tentang tato juga disampaikan oleh salah seorang
perempuan bertato bernama Risha yang dilakukan disalah satu blog:
“Saya memandang tato sebagai sebuah seni yang indah, saya memiliki makna
sendiri, saya seperti sudah jengah dengan pandangan orang yang memandang
negatif terhadap pemakai tato, saya merasa bahwa tidak semua orang yang
memakai tato itu buruk. Pada awalnya memang lingkungan saya memandang
saya yang bertato ini memang dengan pandangan negatif. Saya memang cuek
kepribadiannya, tapi kadang saya juga ga tahan. Tapi inti dari saya memakai
tato adalah saya ingin berbeda dari yang lain dan saya ingin menunjukkan juga
bahwa dengan bertato bukan berarti saya buruk.”16
Wawancara dengan salah satu subjek diatas merupakan dukungan terhadap
dua wawancara sebelumnya tentang perempuan bertato. Dari wawancara diatas juga
didapatkan bahwa tato itu indah, dan tato bisa memperindah tubuh bagi pemakainya.
Tato dianggap dapat mempercantik tubuh maupun penampilan seseorang sehingga
akan berpengaruh pada body image orang tersebut. Cash dan Pruzinky17 menyatakan
15
Wawancara dengan Estafirani Kamahayani, Mahasiswi jurusan Hukum UGM, wawancara melalui
Line tanggal 17 Juni 2014, pada pukul 13.43
16
Hasil wawancara yang diambil dari http://diarypecundang.blogspot.com/2010/11/bincang-bincangtentang-bertato-dan.html diakses pada tanggal 18 Agustus 2014, pukul 07.00 WIB
17
Cash, T.F., & Pruzinsky, T. (2002). Body Image: A handbook of theory, research, and clinical
practice. London: The Guildford Press
bahwa body image adalah sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya yang
dapat berupa penilaian positif dan negatif. Dalam wawancara diketahui bahwa Risha
memiliki pandangan bahwa tato tidak memberikan dampak buruk bagi tubuh, justru
tato mampu membuat Risha menjadi lebih percaya diri.
Dari wawancara dengan perempuan bertato baik wawancara secara langsung
dengan Esta ataupun melihat pandangan dari blog Risha, dapat dilihat bahwa adanya
penilaian yang telah tertanam di masyarakat yang menyebutkan bahwa seorang
perempuan yang cantik adalah perempuan yang menjaga kesehatan tubuhnya dan
menjaga pula kesehatan kulitnya serta penampilannya. Namun, masyarakat di
Yogyakarta kini menganggap bahwa perempuan bertato membuat seseorang memiliki
minus dalam penampilannya. Tato dianggap dapat mengurangi nilai kecantikan yang
dimiliki oleh seorang perempuan. Bahkan dapat menjatuhkan perempuan yang
menggunakan tato dengan penilaian-penilaian negatif yang melekat di tubuhnya.
Keinginan peneliti untuk menciptakan suatu bentuk identitas baru bagi perempuan
dengan tato-tato yang dimiliki juga menjadi bentuk perlawanan terbesar bagi
perempuan bertato di Yogyakarta dalam usaha menghapus penilaian negatif
masyarakat terhadap perempuan bertato.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah Bagaimana Komunikasi Perempuan Bertato Dalam
Interkasi Sosial Mereka di Masyarakat Yogyakarta.
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui bagaimana dampak perempuan bertato dalam
interaksi sosial pada masyarakat di Yogyakarta
2.
Untuk mengetahui bagaimana perempuan menggunakan tato sebagai
alat komunikasi
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang akan dilakukan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan kepada teman-teman yang ingin menganalisa sejauh mana budaya
tato berkembang di Yogyakarta, serta sejauh mana fenomena tato ini
mempunyai daya tarik bagi para perempuan yang mempunyai latar budaya
urban dan modern.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitianini diharapkan membawa manfaat sebagai landasan
dalam menganalisis masalah serta memahami yang terjadi dalam masyarakat
Yogyakarta khususnya karakteristik pengguna tato di kalangan perempuan
perkotaan.
1.5 Kajian Literatur
Menurut penelitian dari Tri Handoko (2010) yang berjudul “Perkembangan
Motif, Makna, Dan Fungsi Tato Di Kalangan Narapidana Dan Tahanan Di
Yogyakarta”, bahwa Tato dan kegiatan menato di kalangan narapidana mempunyai
dua fungsi utama yaitu pribadi dan sosial. Fungsi pribadi berkaitan dengan tato
sebagai karya seni. Dalam batasan ini, tato berfungsi sebagai ekspresi pengalaman
hidup yang berfungsi juga sebagai pengingat akan peristiwa tertentu dan hiasan
tubuh, sebagai ekspresi religiositas, terapi dan relaksasi, jimat, daya tarik seks,
keamanan diri, serta untuk menutupi luka atau tato yang dianggap tidak bagus.
Fungsi pribadi lainnya adalah sebagai pendapatan bagi narapidana yang mampu
menato. Fungsi sosial tato adalah lambang kelompok, sarana sosialisasi dan
menumbuhkan rasa percaya diri individu dalam kelompok, baik di dalam maupun di
luar Lembaga Pemasyarakatan. Persamaannya dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis adalah terkait dengan fungsi tato dalam hubungan sosial.
Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan penulis lakukan disini adalah
dari sisi pola interaksi sosial perempuan bertato dalam masyarakat, dimana dalam
penelitian ini penulis akan menggunakan metode survey untuk mendapatkan hasil
tentang pola interaksi sosial.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ana Sari Sri Rejeki Rahayu (2010)
tentang “Pemaknaan Tato Pada Pengguna Tato”, disini beranggapan bahwa faktorfaktor internal penyebab pengguna tato menato tubuhnya adalah kerena coba-coba
atau iseng, mengabadikan momen khusus dalam kehidupannya, mencari perhatian
dan sebagai accesoris. Sedangkan faktor-faktor eksternalnya antara lain setia kawan,
diajak teman serta karena trend atau mode. Pemakanaan tato pada pengguna tato
menunjukkan bahwa tato yang ada di tubuh pengguna tato tersebut adalah sebagai
ungkapan
perasaan,
ekspresi
seni
dan
keindahan,
identitas,
pelampiasan
permasalahan yang sedang dihadapi serta tato sebagai spiritualitas (kepercayaan).
Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan berfokus pada interaksi sosial dari
perempuan bertato dimsyarakat, dimana penulis akan lebih banyak mengeksplorasi
tentang bagaimana interaksi perempuan bertato didalam lingkungannya.
1.6 Kerangka Teori
1. Pola dan Interaksi Sosial
Penggunaan tato dewasa ini memiliki banyak arti, dan untuk sebagian
menggunakan tato hanya untuk mengekspresikan diri serta manyampaikan sebuah
pesan lewat gambar-gambar yang digambarkan oleh tato. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Hovland, yang mengartikan komunikasi sebagai upaya yang sistematis
untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan
sikap dan pendapat18. Dari wawancara yang sudah dilakukan terhadap pengguna tato
dikalangan perempuan, sebagian besar dari mereka menggunakan tato untuk
mengkomunikasikan kepada orang lain bahwa tato tidaklah seburuk yang dipikirkan
serta tidak semua pengguna tato adalah orang jahat. Pesan inilah yang
dikomunikasikan oleh sebagian pemakai tato. Dalam melakukan komunikasi biasanya
terdapat pola-pola tertentu didalamnya.
Pola adalah sambungan dan hubungan antara semua hal-hal19. Mengerti pola
membantu kita menemukan akar tantangan dan menuntun pada kehidupan. Setiap
18
Effendy,Onong Uchjana. 2003.Op.,Cit. Hal 10
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
19
pola memiliki pesan yang terlampir. Sebuah pola muncul ketika dua hal atau lebih
berada dalam hubungan yang berarti satu sama lain. Menurut Soekanto 20 pola
interaksi sosial merupakan gambaran hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,
maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Pola interaksi
merupakan proses-proses yang mengarah kepada terciptanya bentuk-bentuk hubungan
sosial yang berupa persaingan (kompetisi), kontravensi ataupun konflik (pertikaian),
yang pada giliran berikutnya menghambat terjadinya keteraturan sosial21.
Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut22.
a) Berdasarkan kedudukan sosial (status) dan peranannya. Contohnya seorang
guru yang berhubungan dengan muridnya harus mencermin kan perilaku seorang
guru. Sebaliknya, siswa harus menaati gurunya.
b) Merupakan suatu kegiatan yang terus berlanjut dan berakhir pada suatu titik
yang merupakan hasil dari kegiatan tadi. Contohnya, dari adanya interaksi,
seseorang melakukan penyesuaian, pembauran, terjalin kerja sama, adanya
persaingan, muncul suatu pertentangan, dan seterusnya.
c) Mengandung dinamika. Artinya, dalam proses interaksi sosial terdapat
berbagai keadaan nilai sosial yang diproses, baik yang mengarah pada
kesempurnaan maupun kehancuran. Contohnya, penerapan nilai-nilai agama dalam
kehidupan masyarakat dapat menciptakan keteraturan sosial.
d) Tidak mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial
dapat terjadi kapan dan di manapun, dan dapat berakibat positif atau negatif
terhadap kehidupan masyarakat.
Interaksi sosial merupakan proses dasar dan pokok dalam setiap masyarakat,
dimana sifat-sifat masyarakat sangat dipengaruhi oleh tipe-tipe utama interaksi yang
berlangsung di dalamnya. Proses sosial berpangkal pada interaksi sosial. Pengertian
interaksi adalah hubungan yang sifatnya ada timbal balik. Pengertian interaksi sosial,
yaitu bentuk hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang
20
Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarat: PT Raja Grafindo Persada. Hal 55 Ibid 22
Soekanto, Soerjono, 2002; Sosiologi suatu pengantar, Jakarta : Raja Grafindo, hal 128
21
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, atau antara perorangan dengan
kelompok manusia 23 . Aktifitas-aktifitas yang merupakan bentuk interaksi sosial,
misalnya apabila ada dua orang bertemu, mereka saling menegur, berjabat tangan,
mengadakan pembicaraan, dan sebagainya. Apabila dua orang bertemu, tetapi tidak
terjadi tatap muka apalagi mengadakan pembicaraan, tandanya tidak terjadi interaksi.
Di sisi lain, apabila ada pertemuan dua orang masing-masing tidak bertegur
sapa, akan tetapi ada kesan tersendiri karena ada yang menyebabkan perubahan
perasaan berkaitan dengan kesan seseorang seperti wangi badan, pakaian yang rapih,
maka dikatakan telah terjadi interaksi soial karena telah menimbulkan kesan dalam
pikiran seseorang yang menimbulkan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan
kemudian. Sebagai contoh dapat dijelaskan jika seorang perempuan bertato sedang
berjalan ditengah keramaian maka ada banyak pikiran dalam benak setiap orang yang
melihatnya, seperti “wow, keren, perempuan nakal, cantik, berani, bukan wanita baikbaik…” kata-kata ini pada umumnya akan menjadi pikiran setiap orang yang menatap
perempuan bertato. Disini secara tidak langsung terjadi interaksi sosial dimana
perempuan bertato menyampaikan pesan dengan tato yang dimiliki, dan orang-orang
yang melihatnya bereaksi dengan berbagai pikiran yang ada dalam benak mereka.
Beberapa faktor yang menjadi dasar bagi berlangsungnya suatu interaksi sosial
adalah24:
a)
Imitasi
Faktor imitasi berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan. Sisi
positif dari suatu imitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Sisi negatif dari imitasi adalah
tindakan-tindakan yang menyimpang yang ditiru atau imitasi dapat melemahkan
pengembangan kreasi seseorang. Dalam kaitannya dengan perempuan bertato,
maka dapat diartikan bahwa setiap perempuan yang bertato ini meniru sikap orang
lain yang sama-sama merajah tubuh.
b)
Sugesti
23
Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafmdo Persada.
24
Ibid
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan atau
sikap yang berasal dari dirinya, kemudian diterima oleh pihak lain. Sisi negatif
berlangsungnya sugesti apabila pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal ini
akan menghambat daya pikir seseorang secara rasional. Dalam kaitannya dengan
perempuan bertato maka dapat dijelaskan bahwa upaya dari perempuan bertato
untuk menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa tidak semua pengguna tato
adalah orang jahat. Disini perempuan bertato mencoba untuk memasukkan sugesti
kepada orang lain.
c)
Identifikasi
Faktor identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginankeinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi
sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena itu kepribadian seseorang
dapat dibentuk atas dasar proses ini. Proses indentifikasi dapat berlangsung dengan
sendirinya atau disengaja karena seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di
dalam proses kehidupannya. Proses identifikasi yang terjadi pada perempuan
bertato lebih merujuk pada pada bagaimana mereka menemukan alasan-alasan
untuk menggunakan tato serta siapa yang menjadi panutan mereka dalam
menggunakan tato, panutan disini tidak hanya sekedar meniru secara permukaan,
tetapi juga sampai pada ideologi dan basic dari penggunaan tato.
d)
Simpati
Proses simpati sebenarnya merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik
pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan penting
walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak
lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati dari para pengguna tato
perempuan ini muncul atas reaksi dari ketidakadilan pandangan yang diberikan
masyarakat kepada para pemakai tato. Perasaan simpati inilah yang kemudian
menjadi alasan bagi perempuan bertato untuk juga menggunakan tato.
Hendro Puspito menyatakan bahwa pada umumnya para ahli sosiologi
mengklasifikasikan bentuk dan pola interaksi sosial menjadi dua, yaitu proses
sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang
menceraikan
(dissociative
processes).
Proses
sosial
yang
mengarah
menggabungkan ditujukan bagi terwujudnya nilai-nilai yang disebut kebajikankebajikan sosial seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas dan
dikatakan sebagai proses positif. Sedangkan proses sosial menceraikan mengarah
kepada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial seperti kebencian, permusuhan,
egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecehan dan ini dikatakan proses
negatif 25 . Berikut merupakan bentuk dari proses sosial yang menceraikan
(dissociative processes):
(1) Persaingan, adalah bentuk proses sosial dimana satu atau lebih
individu atau kelompok berusaha mencapai tujuan bersama dengan
cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi. Dengan adanya
persaingan itu, masyarakat mengadakan seleksi untuk mencapai
kemajuan.
(2) Penghalang (oposisi), berasal dari bahasa latin opponere yang artinya
menempatkan sesuatu atau seseorang dengan maksud permusuhan.
Oposisi adalah proses sosial dimana seseorang atau sekelompok orang
berusaha menghalangi pihak lain mencapai tujuannya.
(3) Konflik, berasal dari bahasa latin confligere yang berarti saling
memukul. Konflik berarti suatu proses dimana orang atau kelompok
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau
membuatnya tidak berdaya
Sedangkan bentuk dari associative processes antara lain adalah sebagai
berikut:
(1) Kerja sama, ialah suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih
perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan bersama guna
mencapai tujuan yang sama. Bentuk ini paling umum terdapat di antara
masyarakat untuk mencapai dan meningkatkan prestasi material
maupun non material.
(2) Asimilasi, ialah berasal dari kata latin assimilare yang artinya menjadi
sama. Definisi sosiologisnya adalah suatu bentuk proses sosial dimana
25
Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: Yayasan Kanisius,1992. Hal 288
dua atau lebih individu atau kelompok saling menerima pola kelakuan
masing-masing sehingga akhirnya menjadi satu kelompok yang
terpadu. Mereka memasuki proses baru menuju penciptaan satu pola
kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk hidup bersama.
(3) Akomodasi, berasal dari kata latin acemodare yang berarti
menyesuaikan. Definisi sosiologisnya adalah suatu bentuk proses sosial
yang di dalamnya dua atau lebih individu atau kelompok berusaha
untuk tidak saling menggangu dengan cara mencegah,
mengurangi atau menghentikan ketegangan yang akan timbul atau
yang sudah ada. Akomodasi ada dua bentuk yaitu toleransi dan
kompromi. Bila pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini bersedia
menanggung derita akibat kelemahan yang dibuat masing-masing. Bila
masing-masing pihak mau memberikan konsesi kepada pihak lain yang
berarti mau melepaskan sebagian tuntutan yang semula dipertahankan
sehingga ketegangan menjadi kendor disebut kompromi.
2. Tato Sebagai Alat Komunikasi
Tato dalam penelitian ini juga digunakan sebagai alat komunikasi.
Komunikasi
pada
dasarnya
merupakan
aktivitas
dasar
manusia.
Dengan
berkomunikasi manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik secara individu
maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat komunikasi adalah proses
pernyataan antar manusia26. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk interaksi
manusia yang saling berpengaruh mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak
sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bhasa verbal, tetapi
juga ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi27.
Secara
etimologi
istilah
komunikasi
dalam
bahasa
Inggris
yaitu
communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata
communis yang berarti sama, sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti.
Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang
26 26
Effendy,Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan kesembilanbelas. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hal 8 27
Cangara, Hafied.2002.Pengantar Ilmu Komunikasi.Jakarta : PT. RajaGrafindo. Persada. Hal 20 disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan28. Dari hal tersebut
dapat diartikan jika tidak terjadi kesamaan makna antara komunikator dan komunikan
maka komunikasi tidak terjadi.
Laswell menerangkan bahwa cara terbaik untuk menerangkan komunikasi
adalah dengan menjawab pertanyaan : Who Says What In Which Channel To Whom
With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan
Efek Apa). Jawaban dari pertanyaan paradigmatic Laswell merupakan unsur-unsur
proses komunikasi yang meliputi : komunikator, pesan, media, komunikan, dan
efek29. Paradigm tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Who (Siapa) : Komunikator ; orang yang menyampaikan pesan
2) Says What : Pernyataan yang didukung oleh lambing-lambang
3) In Which Channel : Media ; sarana atau salauran yang mendukung
pesan yang disampaikan.
4) To Whom : Komunikan ; orang yang menerima pesan
5) Whit What Effect : Efek dampak sebagai pengaruh pesan atau dapat
juga dikatakan sebagai hasil dari proses komunikasi
Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Bahkan bebrapa
ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang melakukan
komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan yang dapat
merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hambatan
komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator jika ingin komunikasinya
sukses30
1) Gangguan
Ada dua jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut sifatnya dapat
diklasifikasikan sebagai gangguan mekanik dan gangguan semantic. Gangguan
mekanik adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang
bersifat fisik. Sebagai contoh ialah gangguan suara ganda (interfensi) pada pesawat
radio, gambar meliuk-meliuk atau berubah-ubah pada layar televisi, huruf tidak jelas,
28
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Op.,Cit. Hal 30 Ibid, Hal 253 30
Ibid hal 45 29
jalur huruf yang hilang atau terbalik atau halaman yang sobek pada surat kabar.
Sedangkan gangguan sematik adalah jenis gangguan yang bersangkutan dengan pesan
komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan sematik ini tersaring ke
dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih anyak kekacauan mengenai
pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator, maka akan leih
banyak gangguan sematik dalam pesannya. Gangguan semantic terjadi dalam sebuah
kepentingan.
2) Interest atau kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi
atau menghayati pesan. Orang akan hanya memperhatikan perangsang yang
ada
hubungananya
dengan
kepentingan.
Kepentingan
bukan
hanya
mempengaruhi perhatian kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap.
Perasaan, pikiran dan tingkah laku kita akan merupakan sikap reaktif terhadap
segala perangsang yang tidak bersesuai atau bertentangan dengan suatu
kepentingan31.
3) Motivation atau motivasi akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang
sesuai benar dengan keinginannya, kebutuhan dan kekurangannya. Keinginan,
kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang lain, dari waktu
ke waktu dan dari tempat ke tempat, sehingga karena motivasinya itu berbeda
intensitasnya. Semakin sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang semakin
besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak
yang a. Gangguan b. Kepentingan c. Motivasi terpendam bersangkutan.
Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tidak sesuai
dengan motivasinya.
4) Prejudice atau prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan
terberat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai
prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator
yang hendak melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita
untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka tanpa menggunakan
pikiran yang rasional. Prasangka bukan saja dapat terjadi terhadap suatu ras,
seperti sering kita dengar, melainkan juga terhadap agama, pendirian politik,
pendek kata suatu perangsang yang dalam pengalaman pernah memberi kesan
yang tidak enak. d. Prasangka
31
Ibid. Hal 47 3. Perempuan dan Tato
Dalam era modern, tato tidak hanya dijadikan sebagai alat yang memiliki
pandangan kuno terhadap hal-hal seperti, kekuatan magis, atau hal-hal ortodok
lainnya. Posisi tato sekarang ini jauh melebihi perannya pada masa lampau.Tato
dalam pandangan modern telah banyak melibatkan unsur-unsur yang secara sinergis
dapat disatukan dalam suatu ringkasan gambar. Seni design dalam tato memiliki
hubungan kuat dengan adanya sisi mistic dari gambar tato, dengan kata lain tato
inipun menjadi satu komoditas lain untuk dapat mengapresiasi seni, bahkan hal ini
justru dijadikan alasan umum untuk kaum urban dalam mengklaim tato32.
Eksplorasi pop art menjadi salah satu cara untuk menempatkan tato sebagai
bentuk-bentuk di luar pemahaman kuno, kecenderungan memberikan wacana baru
sebagai bentuk gaya hidup. Pemilihan kata gaya hidup pun akan semakin menjelaskan
tato sebagai salah satu cara lain dalam
mengungkapkan kebutuhan seseorang.
Kebutuhan-kebutuhan yang dituju oleh para pengguna tato ini juga menarik perhatian
peneliti untuk dapat meneliti maksud dari adanya penggunaan tato di era ini.
Tidak heran jika tato kemudian melebarkan pemahamannya dengan
menyangkut pada adanya kelas gender penggunanya. Kecenderungan tato sampai saat
ini sepertinya masih di pegang pada tabu laki-laki sebagai gender yang dirasa “cocok”
untuk memiliki tato. Kesan maskulinitas seharusnya menjadi acuan jika nilai gender
ini memang dihadirkan untuk menempatkan tato sebagai “milik” pria. Kenyataannya
sekarang ini tato bukan hanya di dominasi oleh pria. Perempuan
pun berhak
menentukan pilihannya dalam menghias tubuhnya dengan beragam gambar tato.
Konsep modernitas pada perempuan bertato di asumsikan kemudian munculnya sikap
feminisme dalam perlawannya menempatkan emansipasi melalui
gambar tato.
Beberapa contoh aspek yang di jangkau pada gambar tato seharusnya dapat membuka
pemahaman-pemahaman
masyarakat
mengenai
posisi krusial tato dalam
masyarakat. Jika melihat hubungan tato dengan objek gambar tato, bahkan aspek
32
Diambil dari http://www.tatoopedia.com/id/article/koi-fish-tatoo/pada
2014 18 November
lainnya juga memiliki kecenderungan tersendiri. Keberagaman objek yang tidak
terbatas dapat diterapkan pada gambar tato33.
Beberapa pola menunjukan tato pada perempuan dapat menunjukan sisi
seksualitasnya, apalagi dengan letak gambar tato yang dapat berada dalam jangkauan
intim. Jika hal ini merupakan sebagian kecil asumsi tato yang memiliki daya tarik
seksual untuk dapat membentuk image tersendiri bagi penggunanya. Memang tidak
selalu dihubungkan dengan seks, tetapi ini merupakan trend lain yang ditunjukan dari
fenomena tato34.
Perempuan yang bertato seringkali dianggap sebagai permpuan nakal dalam
masyarakat, namun hal ini pada kenyataannya tidak membendung keinginan para
perempuan yang ingin menggunakan tato, hal ini terlihat dari banyaknya perempuan
yang menggunakan tato 35 . Alasan yang diungkapkan oleh para perempuan yang
bertato juga beragam, akan tetapi sebagian besar adalah untuk menjadi berbeda dari
yang lain.
1.6 Kerangka Konsep
Dalam sebuah kehidupan sosial, antara satu orang dengan orang lainnya
membutuhkan sarana untuk bisa menyampaikan pesan, dan ini disebut sebagai
komunikasi. Ketika seseorang melakukan komunikasi maka bisa menunjukkan
banyak hal, pengetahuan, pemahaman serta saling tahu maksud atau keinginan orang
lain. Komunikasi dibutuhkan oleh semua orang baik itu personal, kelompok ataupun
sebuah perusahaan. Dalam penelitian ini akan mengambil subyek perempuan bertato,
dimana melihat bagaimana pandangan masyarakat terhadap perempuan yang
memakai tato.
Bagaimana interaksi perempuan bertato dimasyarakat dalam penelitian ini
akan dijelaskan oleh teori pola interaksi sosial dari Soerjono Soekanto, dimana
berpendapat bahwa pola interaksi sosial merupakan gambaran hubungan-hubungan
sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perempuan bertato dengan
orang perorangan dalam masyarakat, juga antara perempuan bertato yang menghadapi
33
Yulindrasari, Hani. (2011). Wanita dan tato: Studi eksploratif tentang pencarian sensasi pada wanita pengguna tato di bandung. Jurnal. Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia. 34
Ibid, 35
Olong, H. A. K. (2006). Tato. Yogyakarta: LKIS kelompok-kelompok manusia yang memiliki pandangan dan pikiran yang berbedabeda. Pola interaksi sosial yang akan dibahas akan melihat bagaimana perempuan
bertato akan mengkomunikasikan tato yang dipakai sebagai identitas diri mereka
dalam kehidupan masyarakat.
1.7 Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Kualitas suatu penelitian ditentukan oleh ketetapan dalam pemilihan metode
penelitian, dimana metode tersebut dapat dipergunakan untuk menangkap dan
menjelaskan realitas sosial secara jelas sesuai dengan karakter objek studi yang
diteliti. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif. Isaac & Michael berpendapat bahwa metode penelitian
deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi
tertentu secara factual dan cermat36. Penelitian deskriptif bertujuan sebagai berikut:
a. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang
ada.
b. Mengindentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek
yang berlaku.
c. Membuat perbandingan atau evaluasi.
2. Responden Penelitian
Responden dalam penelitian ini akan ditentukan berdasarkan purposive
sampling, dimana subjek sudah diketahui jumlah serta karakteristiknya. Responden
dalam penelitian ini yang diambil adalah berjumlah 3 orang perempuan bertato,
dimana ke-3 perempuan ini menggunakan tato lebih dari 3 tahun.
3. Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini secara garis besar terdiri dari data
primer dan sekunder.
a. Data Primer
36
Rakhmad, Jallaludin. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Hal 22
Data primer merupakan data yang secara langsung dikumpulkan dari objek
penelitian dan selanjutnya diklasifikasi serta diolah sesuai metodologi yang
digunakan. Dalam penelitian ini sumber data primer untuk dipergunakan adalah:
1) Dokumen
Informasi dokumenter sangat relevan untuk setiap topik dalam penelitian
studi kasus. Proses pengumpiulan dokumen sebagai dasar penelitian dapat
dilakukan dengan pengumpulan data dan teori melalui dokumen-dokumen
berikut ini:
(1) Surat, memorandum, dan pengumuman resmi
(2) Agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan dan laopran-laporan
peristiwa tertulis lainnya.
(3) Dokumen-dokumen administratif, proposal, laporan kemajuan, dan
dokumen-dokumen intern lainnya.
(4) Penelitian-penelitian atau evaluasi-evaluasi resmi pada situs resmi
yang sama
(5) Kliping-kliping yang baru dan artikel-artikel lain yang muncul di
media massa
2) Wawancara
Merupakan proses tanya jawab yang dilakukan secara lisan oleh kedua
pihak yang berhadapan langsung secara fisik. Wawancara dilakukan
berdasarkan pertanyaan dan telah dirumuskan dalam daftar pertanyaan serta
yang muncul secara spontan. Pertanyaan dalam wawancara ini diutamakan
bertipe open-anded yakni dimana peneliti dapat bertanya pada responden
kunci tentang fakta-fakta atau peristiwa disamping opini mereka tentang
peristiwa yang ada.
3) Pengamatan berpartisipasi
Peneliti mengumpulkan data dan informasi dengan melibatkan diri atau jadi
bagian dalam kegiatan ini ditempat penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam skripsi ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi, yaitu melaksanakan penelitian di lapangan guna memperoleh data
yang akurat. Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan observasi partisipan
dengan melakukan pengamatan secara cermat dan sistematis di
lokasi
penelitian dalam kegiatan perpustakaan keliling guna memperoleh gambaran
tentang fenomena yang dicermati.
b. Wawancara
Proses tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian. Wawancara
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan baik yang telah digariskan, maupun
pertanyaan yang dilakukan secara spontan. Wawancara mendalam dengan
bertanya langsung kepada informan dalam hal ini adalah langsung kepada
perempuan bertato, dalam upaya mencari data primer berdasarkan interview
guide yang telah disusun.
c. Studi Pustaka
Merupakan upaya pengumpulan data dan teori melalui buku-buku, surat kabar,
majalah serta sumber informasi lainnya baik yang ada dilokasi penelitian
maupun di luar lokasi penelitian sebagai penunjang penelitian (seperti
dokumen, agenda, hasil penelitian, catatan).
5. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui
deskriptif kualitatif dengan metode analisis data model Miles dan Huberman, dimana
terdapat tiga komponen utama dalam analisis data kualitatif. Antara lain yaitu reduksi
data, sajian data, dan penarikan simpulan dimana ketiganya nanti saling berkaitan
untuk menentukan hasil akhir analisis.
a. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan berdasarkan teknik pengumpulan data yang telah
dipaparkan yang meliputi observasi, interview dan dokumentasi.
b. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan
abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote. Reduksi data menjadi bagian
dari analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus dan
membuang hal yang tidak penting serta mengatur data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
c. Sajian Data
Data dalam penelitian ini disajikan dengan bentuk kalimat yang disusun secara
logis dan sistematis agar mudah dipahami serta mengacu pada rumusan
masalah yang dijadikan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga data yang
tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang menceritakan dan
menunjuk permasalahan yang ada.
6. Teknik keabsahan data
Teknik pemeriksaan data yang digunakan adalah triangulasi data. Menurut
Nawawi37, menyatakan triangulasi data merupakan usaha untuk mengecek kebenaran
data yang telah disimpulkan. Penelitian ini dalam menggunakan Triangulasi sumber
data. Triangulasi dengan menggunakan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal tersebut dapat dicapai dengan
jalan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah/tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
d. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan38
37
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
1998. Hal 188
38
Moleong, J. Lexy. 2000, Metode Penelitian Deskriptif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya. Hal
178
Download