BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa hidup berdampingan dengan orang lain. Dalam hidup berdampingan dengan manusia lainnya, setiap orang pasti memiliki kehendak satu sama lain dan memiliki keinginan yang berbeda pula. Untuk mencapai keinginan tersebut biasanya diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal balik, hubungan inilah yang disebut dengan interaksi. Menurut Gillin & Gillin 1 interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu yang lain, karena itu interaksi terjadidalam suatu kehidupan sosial. Interaksi pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan sosial. Perkembangan inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh dari pola-pola perilaku individu yang berbeda menurut situasi dan kepentingannya masing-masing yang diwujudkannya dalam proses hubungan sosial2. Dalam kehidupan sosial, tingkah laku setiap orang cenderung akan diamati oleh manusia lainnya, baik perilaku, gaya bahasa, penampilan hingga cara berjalan adalah sesuatu yang menarik. Jika terdapat orang yang berbeda diantara sekian banyak orang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat maka cenderung akan terjadi diskriminasi ataupun pengecualian3. Tatapan aneh atau pikiran aneh yang datang dari masyarakat pada umumnya terhadap orang yang berpenampilan berbeda adalah hal yang wajar, karena perbedaan selalu menjadi sorotan. Hal inilah yang terjadi pada perempuan bertato di Yogyakarta. Perempuan bertato memiliki masalah dalam interaksi sosial karena akan dianggap sebagai 1 Gillin, J.L dan J .P. Gillin, 1954., Cultural Sociology. New York: The Mc Millan C0. Hal 489 Ibid, 3 Ibid, 2 perempuan nakal atau tidak baik. Tato pada sejarahnya merupakan bagian kebudayaan kuno yang dapat ditemukan pada beberapa suku di dunia. Dalam tradisi suku Dayak di pedalaman Kalimantan (Indonesia), tato menjadi satu bentuk ritual dalam kaitannya dengan penghormatan pada leluhurnya. Tato juga menjadi suatu tradisi yang turun temurun dan dijadikan sebagai alat untuk dapat menunjukan posisi seseorang dalam suku Dayak, serta menunjukan secara historis mengenai kejadian yang pernah di alami si pemilik tato. Perempuan bertato di Indonesia khususnya di Yogyakarta pada dasarnya bukanlah suatu fenomena baru dalam kesejarahan dan budaya Indonesia, banyak suku yang memiliki perempuan bertato. Akan tetapi makna tato mulai menjadi sebuah hal yang menakutkan manakala terjadi serangan petrus pada masa Orde Baru. Hingga tahun 1986, keberadaan tato di Indonesia seolah-olah menghilang dari pemandangan, dan jikapun ada semata-mata dianggap sebagai sebuah penyimpangan sosial 4 . Anggapan negatif sebagian besar masyarakat tentang tato dan larangan memakai tato bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan citra tato sebagai sesuatu yang terlarang, haram dan menyimpang. Citra tato pun kemudian menjadi identik dengan pemberontakann terhadap tatanan nilai religus dan norma sosial yang ada. Namun pada dekade belakangan, keberadaan tato di Indonesia khususnya di Yogyakarta mulai mengalami pergeseran makna. Bersamaan dengan semakin merosotnya kekuasaan orde baru dan tumbuhnya kebudayaan populer di kota-kota besar di Indonesia yang membawa masuk produk musik, film, novel, serta budaya Barat lainnya tato kini mulai dimaknai sacara positif sebagai salah satu sarana ekspresi identitas diri. Tato kini semakin banyak diminati dan dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Tidak hanya melulu dimiliki oleh para penjahat, gali, preman ataupun sekelompok anak muda anggota subkultur tertentu. Kaum perempuan, kalangan menengah ke atas, serta mahasiswa yang relatif memiliki status sosial ekonomi dan pendidikan tinggi kini turut pula mentato tubuhnya. Semenjak tahun 1990-an bahkan muncul fenomena pemakaian tato dikalangan artis, model, para profesional, mahasiswa dan bahkan anak-anak sekolah. 4 Berman, Barry and Joel R. Evan, 2002, Retail Management: A Strategic Approach, Eight edition, Mac Milan, New York. Hal.63 Resiko bertato tidak terbatas pada pandangan negatif saja yang mungkin diterima, tetapi juga resiko terjangkitnya penyakit pasca penatoan. Mentato tubuh juga berarti melukai tubuh. Bibit penyakit dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka akibat tusukan tato, dan beresiko tinggi tertular virus hepatitis ataupun HIV. Kondisi ini disebabkan karena tato tidak menggunakan alat yang tidak steril atau digunakan secara bergantian. Hepatitis menular lewat darah dan cairan tubuh manusia5. Virus HIV juga hidup di dalam 4 cairan tubuh manusia, cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu6. Bahkan kehadiran tato telah digunakan sebagai keriteria untuk penangguhan donor darah karena berpotensi menularkan penyakit7. Sebagian besar masyarakat lebih mengenal AIDS sebagai resiko terkait pada seni tubuh (tato), tetapi resiko lain yang berpotensi tidak diketahui 8. Resiko lainnya yang berpotensi dalam tato seperti alergi atau iritasi pada kulit yang disebabkan oleh tinta tato. Tinta tato yang beredar di pasaran umumnya terbuat dari bahan kimia yang patut dikelompokkan ke dalam unsur logam berat, seperti arsenik, mercury, perak, emas, dan bismuth, yang berbahaya untuk kesehatan9. Pada dasarnya orang-orang yang menggunakan tato hanya ingin mengkomunikasikan tentang identitas diri atau kelompok kepada masyarakat luas. Komunikasi disini berarti adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media 10 . Dalam mengkomunikasikan pesan-pesan tato kepada masyarakat di Yogyakarta, disini setiap gambar atau setiap symbol memiliki arti yang berbeda tergantung dari keinginan orang yang ditato. 5 Evy. 2009. Awas, Tato dan Tindik Tularkan Hepatitis. 16 April 2009. Jakarta. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari Http://nasional.kompas.com 6 Putra, Y. 2009. Penyebaran HIV/AIDS Sudah Masuk Daerah. Koran Kompas. Jakarta. Diambil 17 Agustus 2014 7 Nishioka, A dan Gyorkos T. W. 2001. Tattoos as Risk Factors for Transfusion-Transmitted Diseases. International Journal of Infectious Diseases, Vol. 5 No. 1. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari ttp://ac.els-cdn.com/S1201971201900451/1-s2.0-S1201971201900451main.pdf?tid=81143b0cfc3657f5dc1109d36319f9fb&acdnat= 13360598311233aa14b6d96a2b82a8b6b90711076d. 8 Quaranta, dkk. 2011. Body Piercing and Tattoos: A Survey on Young Adults’ Knowledge of The Risk and Practices in Body Art. BMC Public Health.11: 774.Diambil pada 18 Agustus 2014 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3196715/pdf/1471- 2458-11-774.pdf. 9 Rixco. 2008. Bahaya Tato Dari Segi Medis. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari Http://rixco.multiply.com/journal/item/183/BAHAYANYA_TATOO_DARI_SEGI_ME DIS?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. 10 Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, PT. Remaja Rosda. Karya, hal 5 Interaksi sosial memungkinkan masyarakat berproses sedemikian rupa sehingga membangun suatu pola hubungan. Tato dapat dikaitkan dengan interaksi sosial karena pemakaian tato sendiri selalu menarik untuk diperhatikan bagi siapa saja, tato bisa menjadi sarana untuk orang yang dengan yang lainnya berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya manusia dengan manusia lain tidak akan menghasilkan pergaulan tanpa adanya interaksi sosial. Ketika seseorang berjalan dan bertemu dengan seorang pemakai tato, akanada banyak pikiran yang tersemat dalam benaknya, dan situasi inilah yang disebut sebagai interaksi sosial. Dalam kasus ini secara tidak langsung tato menjadi alat komunikasi. Tato selama ini juga mengkomunikasikan tentang maskulinitas, kejantanan, dan kegarangan dari penampilan seseorang. Tidak heran jika tato kemudian melebarkan pemahamannya dengan menyangkut pada adanya kelas gender penggunanya. Kecenderungan tato sampai saat ini sepertinya masih di pegang pada tabu laki-laki sebagai gender yang dirasa “cocok” untuk memiliki tato. Kesan maskulinitas seharusnya menjadi acuan jika nilai gender ini memang dihadirkan untuk menempatkan tato sebagai “milik” laki-laki. Kenyataannya sekarang ini tato bukan hanya di dominasi oleh laki-laki. Tato telah menjadi sebuah fenomena yang disukai oleh sebagian masyarakat umum, termasuk perempuan di Yogyakarta. Hasil penelitian Tapaningtyas 11 yang berlokasi di Surabaya menyebutkan bahwa pandangan masyarakat terhadap perempuan bertato 55,45% negatif, 12,22% positif, dan 32,33% netral. Kebanyakan orang menilai perempuan yang mentato tubuhnya identik dengan hal yang negatif (sangar, menyeramkan, preman, perempuan nakal, liar). Masyarakat yang hanya melihat sekilas tentang perempuan bertato biasanya langsung mengambil kesimpulan bahwa perempuan yang bertato adalah perempuan yang nakal yang tidak tahu aturan, dan tidak jauh mereka menghakimi bahwa perempuan bertato itu galak dan mengerikan. Hal tersebut membuat perempuan yang bertato merasa lebih tidak dihargai oleh masyarakat luas, sementara setiap manusia ingin dihargai dan dihormati, namun sepertinya tanggapan-tanggapan 11 Tapaningtyas, D. A. 2008.Perancangan Buku Esai Foto Perempuan dan Tato”. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Diambil pada 18 Agustus 2014 dari Http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_11096.html yang diberikan masyarakat tentang perempuan bertato mempengaruhi interaksi sosial dalam kehidupannya. Saat ini, perempuan yang mentato tubuh tidak jarang untuk ditemukan. Sebagian dari mereka bahkan menggunakan pakaian yang cenderung memperlihatkan tato mereka. Menurut Kassandra12, perempuan bertato cenderung mengarah tipikal perempuan yang eksibisionis. Kebanggaan dan keinginan menampilkan tato yang ada di bagian tertentu tubuhnya, termasuk kategori eksibisionis. Seolah perempuan bertato ingin memperlihatkan sisi kelembutannya dengan mewujudkan sebuah tato yang indah. Hasil penelitian Sanders 13 yang mengambil tempat di Amerika mengungkapkan tentang lokasi tubuh tato pertama, responden pria paling banyak menerima tato pertama mereka di lengan atau tangan (71%), sedangkan responden perempuan paling banyak menerima tato pertama mereka di dada (35%). Jumlah perempuan yang bertato saat ini sudah banyak dan terutama berada di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Alasan dari perempuan yang bertato beragam, mulai dari ingin tampil eksis, ingin terlihat seksi, ikut-ikutan pergaulan ataupun untuk menegaskan jati diri dan tujuan hidup. Seperti yang dinyatakan seorang perempuan bertato melalui sebuah blog, dimana dalam blognya, perempuan ini mengatakan bahwa tato adalah symbol untuk ekspresi, dimana perempuan ini juga mentato tubuhnya dengan tato lumba-lumba dan salib14. Bagi Worotyas, keputusan mentato adalah salah satu kesadaran diri yang ingin diungkapkan kepada masyarakat bahwa orang yang bertato bukanlah orang jahat. Dalam hal mentato juga Worotyas mengungkapkan bahwa tidak ada penyesalan setelah mentato tubuhnya dua kali. Apa yang diceritakan diblog Worotyas menunjukkan bahwa tato bukanlah suatu fenomena asing atau buruk dikalangan masyarakat ataupun dikalangan perempuan masa kini. Penggunaan tato pada dasarnya tidaklah dapat diterima oleh sebagian besar orang, karena makna tato sendiri yang masih dianggap tabu terutama bagi para wanita yang menggunakan tato. Para perempuan bertato yang memiliki masalah pada 12 Aldy. 2007. Eksibisionis Dengan Tato. Diambil pada 17 Agustus 2014 dari Http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg 02984.html. 13 Sanders, C. R. 2008. Customizing The Body: The Art and Culture of Tattooing. Philadelphia: Temple University Press 14 http://catatanworotyas.wordpress.com/2010/05/10/saya-bertato/ interaksi sosial juga banyak dan salah satunya dialami oleh informan bernama Esta. Esta, salah satu perempuan yang mentato tubuhnya sebagai berikut: “Aku kadang ga seneng sih pake tato, tapi hal yang buat aku senang, aku pengen buktiin ke sekitar meskipun aku punya tato tapi aku bisa jadi orang baik, bisa jadi orang berpendidikan. Ibaratnya aku pengen nepis image buruk yang ditimbulkan sama tato. Aku feel nothing, aku kadang lupa punya tato. Cuma kadang agak ke distract aja kalo orang yang lagi natap mata aku terus gara-gara liat tatoku langsung noleh ke tatoku gitu. Papa cuma geleng-geleng, mama sama adek ga komen. Mantan pacar yang tau aku punya tato ga bereaksi.”15 Dari wawancara diatas dapat dilihat bahwa tidak adanya respon dari orang tua atau orang terdekat menunjukkan bahwa fenomena mentato tubuh sudah bukan hal yang tabu atau asing bagi sebagian masyarakat. Melihat dari pandangan dua orang diatas dapat dikatakan bahwa penerimaan orang terhadap orang-orang bertato sudah semakin mudah apalagi mengingat media sering menunjukkan artis-artis yang bertato, hal ini juga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tato terutama bagi perempuan bertato. Pandangan tentang tato juga disampaikan oleh salah seorang perempuan bertato bernama Risha yang dilakukan disalah satu blog: “Saya memandang tato sebagai sebuah seni yang indah, saya memiliki makna sendiri, saya seperti sudah jengah dengan pandangan orang yang memandang negatif terhadap pemakai tato, saya merasa bahwa tidak semua orang yang memakai tato itu buruk. Pada awalnya memang lingkungan saya memandang saya yang bertato ini memang dengan pandangan negatif. Saya memang cuek kepribadiannya, tapi kadang saya juga ga tahan. Tapi inti dari saya memakai tato adalah saya ingin berbeda dari yang lain dan saya ingin menunjukkan juga bahwa dengan bertato bukan berarti saya buruk.”16 Wawancara dengan salah satu subjek diatas merupakan dukungan terhadap dua wawancara sebelumnya tentang perempuan bertato. Dari wawancara diatas juga didapatkan bahwa tato itu indah, dan tato bisa memperindah tubuh bagi pemakainya. Tato dianggap dapat mempercantik tubuh maupun penampilan seseorang sehingga akan berpengaruh pada body image orang tersebut. Cash dan Pruzinky17 menyatakan 15 Wawancara dengan Estafirani Kamahayani, Mahasiswi jurusan Hukum UGM, wawancara melalui Line tanggal 17 Juni 2014, pada pukul 13.43 16 Hasil wawancara yang diambil dari http://diarypecundang.blogspot.com/2010/11/bincang-bincangtentang-bertato-dan.html diakses pada tanggal 18 Agustus 2014, pukul 07.00 WIB 17 Cash, T.F., & Pruzinsky, T. (2002). Body Image: A handbook of theory, research, and clinical practice. London: The Guildford Press bahwa body image adalah sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya yang dapat berupa penilaian positif dan negatif. Dalam wawancara diketahui bahwa Risha memiliki pandangan bahwa tato tidak memberikan dampak buruk bagi tubuh, justru tato mampu membuat Risha menjadi lebih percaya diri. Dari wawancara dengan perempuan bertato baik wawancara secara langsung dengan Esta ataupun melihat pandangan dari blog Risha, dapat dilihat bahwa adanya penilaian yang telah tertanam di masyarakat yang menyebutkan bahwa seorang perempuan yang cantik adalah perempuan yang menjaga kesehatan tubuhnya dan menjaga pula kesehatan kulitnya serta penampilannya. Namun, masyarakat di Yogyakarta kini menganggap bahwa perempuan bertato membuat seseorang memiliki minus dalam penampilannya. Tato dianggap dapat mengurangi nilai kecantikan yang dimiliki oleh seorang perempuan. Bahkan dapat menjatuhkan perempuan yang menggunakan tato dengan penilaian-penilaian negatif yang melekat di tubuhnya. Keinginan peneliti untuk menciptakan suatu bentuk identitas baru bagi perempuan dengan tato-tato yang dimiliki juga menjadi bentuk perlawanan terbesar bagi perempuan bertato di Yogyakarta dalam usaha menghapus penilaian negatif masyarakat terhadap perempuan bertato. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana Komunikasi Perempuan Bertato Dalam Interkasi Sosial Mereka di Masyarakat Yogyakarta. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana dampak perempuan bertato dalam interaksi sosial pada masyarakat di Yogyakarta 2. Untuk mengetahui bagaimana perempuan menggunakan tato sebagai alat komunikasi 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang akan dilakukan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan kepada teman-teman yang ingin menganalisa sejauh mana budaya tato berkembang di Yogyakarta, serta sejauh mana fenomena tato ini mempunyai daya tarik bagi para perempuan yang mempunyai latar budaya urban dan modern. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitianini diharapkan membawa manfaat sebagai landasan dalam menganalisis masalah serta memahami yang terjadi dalam masyarakat Yogyakarta khususnya karakteristik pengguna tato di kalangan perempuan perkotaan. 1.5 Kajian Literatur Menurut penelitian dari Tri Handoko (2010) yang berjudul “Perkembangan Motif, Makna, Dan Fungsi Tato Di Kalangan Narapidana Dan Tahanan Di Yogyakarta”, bahwa Tato dan kegiatan menato di kalangan narapidana mempunyai dua fungsi utama yaitu pribadi dan sosial. Fungsi pribadi berkaitan dengan tato sebagai karya seni. Dalam batasan ini, tato berfungsi sebagai ekspresi pengalaman hidup yang berfungsi juga sebagai pengingat akan peristiwa tertentu dan hiasan tubuh, sebagai ekspresi religiositas, terapi dan relaksasi, jimat, daya tarik seks, keamanan diri, serta untuk menutupi luka atau tato yang dianggap tidak bagus. Fungsi pribadi lainnya adalah sebagai pendapatan bagi narapidana yang mampu menato. Fungsi sosial tato adalah lambang kelompok, sarana sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu dalam kelompok, baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan. Persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah terkait dengan fungsi tato dalam hubungan sosial. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan penulis lakukan disini adalah dari sisi pola interaksi sosial perempuan bertato dalam masyarakat, dimana dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode survey untuk mendapatkan hasil tentang pola interaksi sosial. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ana Sari Sri Rejeki Rahayu (2010) tentang “Pemaknaan Tato Pada Pengguna Tato”, disini beranggapan bahwa faktorfaktor internal penyebab pengguna tato menato tubuhnya adalah kerena coba-coba atau iseng, mengabadikan momen khusus dalam kehidupannya, mencari perhatian dan sebagai accesoris. Sedangkan faktor-faktor eksternalnya antara lain setia kawan, diajak teman serta karena trend atau mode. Pemakanaan tato pada pengguna tato menunjukkan bahwa tato yang ada di tubuh pengguna tato tersebut adalah sebagai ungkapan perasaan, ekspresi seni dan keindahan, identitas, pelampiasan permasalahan yang sedang dihadapi serta tato sebagai spiritualitas (kepercayaan). Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan berfokus pada interaksi sosial dari perempuan bertato dimsyarakat, dimana penulis akan lebih banyak mengeksplorasi tentang bagaimana interaksi perempuan bertato didalam lingkungannya. 1.6 Kerangka Teori 1. Pola dan Interaksi Sosial Penggunaan tato dewasa ini memiliki banyak arti, dan untuk sebagian menggunakan tato hanya untuk mengekspresikan diri serta manyampaikan sebuah pesan lewat gambar-gambar yang digambarkan oleh tato. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hovland, yang mengartikan komunikasi sebagai upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan sikap dan pendapat18. Dari wawancara yang sudah dilakukan terhadap pengguna tato dikalangan perempuan, sebagian besar dari mereka menggunakan tato untuk mengkomunikasikan kepada orang lain bahwa tato tidaklah seburuk yang dipikirkan serta tidak semua pengguna tato adalah orang jahat. Pesan inilah yang dikomunikasikan oleh sebagian pemakai tato. Dalam melakukan komunikasi biasanya terdapat pola-pola tertentu didalamnya. Pola adalah sambungan dan hubungan antara semua hal-hal19. Mengerti pola membantu kita menemukan akar tantangan dan menuntun pada kehidupan. Setiap 18 Effendy,Onong Uchjana. 2003.Op.,Cit. Hal 10 Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 19 pola memiliki pesan yang terlampir. Sebuah pola muncul ketika dua hal atau lebih berada dalam hubungan yang berarti satu sama lain. Menurut Soekanto 20 pola interaksi sosial merupakan gambaran hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Pola interaksi merupakan proses-proses yang mengarah kepada terciptanya bentuk-bentuk hubungan sosial yang berupa persaingan (kompetisi), kontravensi ataupun konflik (pertikaian), yang pada giliran berikutnya menghambat terjadinya keteraturan sosial21. Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut22. a) Berdasarkan kedudukan sosial (status) dan peranannya. Contohnya seorang guru yang berhubungan dengan muridnya harus mencermin kan perilaku seorang guru. Sebaliknya, siswa harus menaati gurunya. b) Merupakan suatu kegiatan yang terus berlanjut dan berakhir pada suatu titik yang merupakan hasil dari kegiatan tadi. Contohnya, dari adanya interaksi, seseorang melakukan penyesuaian, pembauran, terjalin kerja sama, adanya persaingan, muncul suatu pertentangan, dan seterusnya. c) Mengandung dinamika. Artinya, dalam proses interaksi sosial terdapat berbagai keadaan nilai sosial yang diproses, baik yang mengarah pada kesempurnaan maupun kehancuran. Contohnya, penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat dapat menciptakan keteraturan sosial. d) Tidak mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial dapat terjadi kapan dan di manapun, dan dapat berakibat positif atau negatif terhadap kehidupan masyarakat. Interaksi sosial merupakan proses dasar dan pokok dalam setiap masyarakat, dimana sifat-sifat masyarakat sangat dipengaruhi oleh tipe-tipe utama interaksi yang berlangsung di dalamnya. Proses sosial berpangkal pada interaksi sosial. Pengertian interaksi adalah hubungan yang sifatnya ada timbal balik. Pengertian interaksi sosial, yaitu bentuk hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang 20 Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarat: PT Raja Grafindo Persada. Hal 55 Ibid 22 Soekanto, Soerjono, 2002; Sosiologi suatu pengantar, Jakarta : Raja Grafindo, hal 128 21 perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, atau antara perorangan dengan kelompok manusia 23 . Aktifitas-aktifitas yang merupakan bentuk interaksi sosial, misalnya apabila ada dua orang bertemu, mereka saling menegur, berjabat tangan, mengadakan pembicaraan, dan sebagainya. Apabila dua orang bertemu, tetapi tidak terjadi tatap muka apalagi mengadakan pembicaraan, tandanya tidak terjadi interaksi. Di sisi lain, apabila ada pertemuan dua orang masing-masing tidak bertegur sapa, akan tetapi ada kesan tersendiri karena ada yang menyebabkan perubahan perasaan berkaitan dengan kesan seseorang seperti wangi badan, pakaian yang rapih, maka dikatakan telah terjadi interaksi soial karena telah menimbulkan kesan dalam pikiran seseorang yang menimbulkan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan kemudian. Sebagai contoh dapat dijelaskan jika seorang perempuan bertato sedang berjalan ditengah keramaian maka ada banyak pikiran dalam benak setiap orang yang melihatnya, seperti “wow, keren, perempuan nakal, cantik, berani, bukan wanita baikbaik…” kata-kata ini pada umumnya akan menjadi pikiran setiap orang yang menatap perempuan bertato. Disini secara tidak langsung terjadi interaksi sosial dimana perempuan bertato menyampaikan pesan dengan tato yang dimiliki, dan orang-orang yang melihatnya bereaksi dengan berbagai pikiran yang ada dalam benak mereka. Beberapa faktor yang menjadi dasar bagi berlangsungnya suatu interaksi sosial adalah24: a) Imitasi Faktor imitasi berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan. Sisi positif dari suatu imitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Sisi negatif dari imitasi adalah tindakan-tindakan yang menyimpang yang ditiru atau imitasi dapat melemahkan pengembangan kreasi seseorang. Dalam kaitannya dengan perempuan bertato, maka dapat diartikan bahwa setiap perempuan yang bertato ini meniru sikap orang lain yang sama-sama merajah tubuh. b) Sugesti 23 Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafmdo Persada. 24 Ibid Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya, kemudian diterima oleh pihak lain. Sisi negatif berlangsungnya sugesti apabila pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal ini akan menghambat daya pikir seseorang secara rasional. Dalam kaitannya dengan perempuan bertato maka dapat dijelaskan bahwa upaya dari perempuan bertato untuk menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa tidak semua pengguna tato adalah orang jahat. Disini perempuan bertato mencoba untuk memasukkan sugesti kepada orang lain. c) Identifikasi Faktor identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginankeinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena itu kepribadian seseorang dapat dibentuk atas dasar proses ini. Proses indentifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya atau disengaja karena seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Proses identifikasi yang terjadi pada perempuan bertato lebih merujuk pada pada bagaimana mereka menemukan alasan-alasan untuk menggunakan tato serta siapa yang menjadi panutan mereka dalam menggunakan tato, panutan disini tidak hanya sekedar meniru secara permukaan, tetapi juga sampai pada ideologi dan basic dari penggunaan tato. d) Simpati Proses simpati sebenarnya merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati dari para pengguna tato perempuan ini muncul atas reaksi dari ketidakadilan pandangan yang diberikan masyarakat kepada para pemakai tato. Perasaan simpati inilah yang kemudian menjadi alasan bagi perempuan bertato untuk juga menggunakan tato. Hendro Puspito menyatakan bahwa pada umumnya para ahli sosiologi mengklasifikasikan bentuk dan pola interaksi sosial menjadi dua, yaitu proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang mengarah menggabungkan ditujukan bagi terwujudnya nilai-nilai yang disebut kebajikankebajikan sosial seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas dan dikatakan sebagai proses positif. Sedangkan proses sosial menceraikan mengarah kepada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecehan dan ini dikatakan proses negatif 25 . Berikut merupakan bentuk dari proses sosial yang menceraikan (dissociative processes): (1) Persaingan, adalah bentuk proses sosial dimana satu atau lebih individu atau kelompok berusaha mencapai tujuan bersama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi. Dengan adanya persaingan itu, masyarakat mengadakan seleksi untuk mencapai kemajuan. (2) Penghalang (oposisi), berasal dari bahasa latin opponere yang artinya menempatkan sesuatu atau seseorang dengan maksud permusuhan. Oposisi adalah proses sosial dimana seseorang atau sekelompok orang berusaha menghalangi pihak lain mencapai tujuannya. (3) Konflik, berasal dari bahasa latin confligere yang berarti saling memukul. Konflik berarti suatu proses dimana orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya Sedangkan bentuk dari associative processes antara lain adalah sebagai berikut: (1) Kerja sama, ialah suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan bersama guna mencapai tujuan yang sama. Bentuk ini paling umum terdapat di antara masyarakat untuk mencapai dan meningkatkan prestasi material maupun non material. (2) Asimilasi, ialah berasal dari kata latin assimilare yang artinya menjadi sama. Definisi sosiologisnya adalah suatu bentuk proses sosial dimana 25 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: Yayasan Kanisius,1992. Hal 288 dua atau lebih individu atau kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi satu kelompok yang terpadu. Mereka memasuki proses baru menuju penciptaan satu pola kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk hidup bersama. (3) Akomodasi, berasal dari kata latin acemodare yang berarti menyesuaikan. Definisi sosiologisnya adalah suatu bentuk proses sosial yang di dalamnya dua atau lebih individu atau kelompok berusaha untuk tidak saling menggangu dengan cara mencegah, mengurangi atau menghentikan ketegangan yang akan timbul atau yang sudah ada. Akomodasi ada dua bentuk yaitu toleransi dan kompromi. Bila pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini bersedia menanggung derita akibat kelemahan yang dibuat masing-masing. Bila masing-masing pihak mau memberikan konsesi kepada pihak lain yang berarti mau melepaskan sebagian tuntutan yang semula dipertahankan sehingga ketegangan menjadi kendor disebut kompromi. 2. Tato Sebagai Alat Komunikasi Tato dalam penelitian ini juga digunakan sebagai alat komunikasi. Komunikasi pada dasarnya merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik secara individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia26. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling berpengaruh mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bhasa verbal, tetapi juga ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi27. Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris yaitu communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama, sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang 26 26 Effendy,Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan kesembilanbelas. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hal 8 27 Cangara, Hafied.2002.Pengantar Ilmu Komunikasi.Jakarta : PT. RajaGrafindo. Persada. Hal 20 disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan28. Dari hal tersebut dapat diartikan jika tidak terjadi kesamaan makna antara komunikator dan komunikan maka komunikasi tidak terjadi. Laswell menerangkan bahwa cara terbaik untuk menerangkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa). Jawaban dari pertanyaan paradigmatic Laswell merupakan unsur-unsur proses komunikasi yang meliputi : komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek29. Paradigm tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Who (Siapa) : Komunikator ; orang yang menyampaikan pesan 2) Says What : Pernyataan yang didukung oleh lambing-lambang 3) In Which Channel : Media ; sarana atau salauran yang mendukung pesan yang disampaikan. 4) To Whom : Komunikan ; orang yang menerima pesan 5) Whit What Effect : Efek dampak sebagai pengaruh pesan atau dapat juga dikatakan sebagai hasil dari proses komunikasi Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Bahkan bebrapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang melakukan komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan yang dapat merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hambatan komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator jika ingin komunikasinya sukses30 1) Gangguan Ada dua jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mekanik dan gangguan semantic. Gangguan mekanik adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Sebagai contoh ialah gangguan suara ganda (interfensi) pada pesawat radio, gambar meliuk-meliuk atau berubah-ubah pada layar televisi, huruf tidak jelas, 28 Effendy, Onong Uchjana. 2003. Op.,Cit. Hal 30 Ibid, Hal 253 30 Ibid hal 45 29 jalur huruf yang hilang atau terbalik atau halaman yang sobek pada surat kabar. Sedangkan gangguan sematik adalah jenis gangguan yang bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan sematik ini tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih anyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator, maka akan leih banyak gangguan sematik dalam pesannya. Gangguan semantic terjadi dalam sebuah kepentingan. 2) Interest atau kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati pesan. Orang akan hanya memperhatikan perangsang yang ada hubungananya dengan kepentingan. Kepentingan bukan hanya mempengaruhi perhatian kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap. Perasaan, pikiran dan tingkah laku kita akan merupakan sikap reaktif terhadap segala perangsang yang tidak bersesuai atau bertentangan dengan suatu kepentingan31. 3) Motivation atau motivasi akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginannya, kebutuhan dan kekurangannya. Keinginan, kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang lain, dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, sehingga karena motivasinya itu berbeda intensitasnya. Semakin sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang a. Gangguan b. Kepentingan c. Motivasi terpendam bersangkutan. Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tidak sesuai dengan motivasinya. 4) Prejudice atau prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan terberat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional. Prasangka bukan saja dapat terjadi terhadap suatu ras, seperti sering kita dengar, melainkan juga terhadap agama, pendirian politik, pendek kata suatu perangsang yang dalam pengalaman pernah memberi kesan yang tidak enak. d. Prasangka 31 Ibid. Hal 47 3. Perempuan dan Tato Dalam era modern, tato tidak hanya dijadikan sebagai alat yang memiliki pandangan kuno terhadap hal-hal seperti, kekuatan magis, atau hal-hal ortodok lainnya. Posisi tato sekarang ini jauh melebihi perannya pada masa lampau.Tato dalam pandangan modern telah banyak melibatkan unsur-unsur yang secara sinergis dapat disatukan dalam suatu ringkasan gambar. Seni design dalam tato memiliki hubungan kuat dengan adanya sisi mistic dari gambar tato, dengan kata lain tato inipun menjadi satu komoditas lain untuk dapat mengapresiasi seni, bahkan hal ini justru dijadikan alasan umum untuk kaum urban dalam mengklaim tato32. Eksplorasi pop art menjadi salah satu cara untuk menempatkan tato sebagai bentuk-bentuk di luar pemahaman kuno, kecenderungan memberikan wacana baru sebagai bentuk gaya hidup. Pemilihan kata gaya hidup pun akan semakin menjelaskan tato sebagai salah satu cara lain dalam mengungkapkan kebutuhan seseorang. Kebutuhan-kebutuhan yang dituju oleh para pengguna tato ini juga menarik perhatian peneliti untuk dapat meneliti maksud dari adanya penggunaan tato di era ini. Tidak heran jika tato kemudian melebarkan pemahamannya dengan menyangkut pada adanya kelas gender penggunanya. Kecenderungan tato sampai saat ini sepertinya masih di pegang pada tabu laki-laki sebagai gender yang dirasa “cocok” untuk memiliki tato. Kesan maskulinitas seharusnya menjadi acuan jika nilai gender ini memang dihadirkan untuk menempatkan tato sebagai “milik” pria. Kenyataannya sekarang ini tato bukan hanya di dominasi oleh pria. Perempuan pun berhak menentukan pilihannya dalam menghias tubuhnya dengan beragam gambar tato. Konsep modernitas pada perempuan bertato di asumsikan kemudian munculnya sikap feminisme dalam perlawannya menempatkan emansipasi melalui gambar tato. Beberapa contoh aspek yang di jangkau pada gambar tato seharusnya dapat membuka pemahaman-pemahaman masyarakat mengenai posisi krusial tato dalam masyarakat. Jika melihat hubungan tato dengan objek gambar tato, bahkan aspek 32 Diambil dari http://www.tatoopedia.com/id/article/koi-fish-tatoo/pada 2014 18 November lainnya juga memiliki kecenderungan tersendiri. Keberagaman objek yang tidak terbatas dapat diterapkan pada gambar tato33. Beberapa pola menunjukan tato pada perempuan dapat menunjukan sisi seksualitasnya, apalagi dengan letak gambar tato yang dapat berada dalam jangkauan intim. Jika hal ini merupakan sebagian kecil asumsi tato yang memiliki daya tarik seksual untuk dapat membentuk image tersendiri bagi penggunanya. Memang tidak selalu dihubungkan dengan seks, tetapi ini merupakan trend lain yang ditunjukan dari fenomena tato34. Perempuan yang bertato seringkali dianggap sebagai permpuan nakal dalam masyarakat, namun hal ini pada kenyataannya tidak membendung keinginan para perempuan yang ingin menggunakan tato, hal ini terlihat dari banyaknya perempuan yang menggunakan tato 35 . Alasan yang diungkapkan oleh para perempuan yang bertato juga beragam, akan tetapi sebagian besar adalah untuk menjadi berbeda dari yang lain. 1.6 Kerangka Konsep Dalam sebuah kehidupan sosial, antara satu orang dengan orang lainnya membutuhkan sarana untuk bisa menyampaikan pesan, dan ini disebut sebagai komunikasi. Ketika seseorang melakukan komunikasi maka bisa menunjukkan banyak hal, pengetahuan, pemahaman serta saling tahu maksud atau keinginan orang lain. Komunikasi dibutuhkan oleh semua orang baik itu personal, kelompok ataupun sebuah perusahaan. Dalam penelitian ini akan mengambil subyek perempuan bertato, dimana melihat bagaimana pandangan masyarakat terhadap perempuan yang memakai tato. Bagaimana interaksi perempuan bertato dimasyarakat dalam penelitian ini akan dijelaskan oleh teori pola interaksi sosial dari Soerjono Soekanto, dimana berpendapat bahwa pola interaksi sosial merupakan gambaran hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perempuan bertato dengan orang perorangan dalam masyarakat, juga antara perempuan bertato yang menghadapi 33 Yulindrasari, Hani. (2011). Wanita dan tato: Studi eksploratif tentang pencarian sensasi pada wanita pengguna tato di bandung. Jurnal. Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia. 34 Ibid, 35 Olong, H. A. K. (2006). Tato. Yogyakarta: LKIS kelompok-kelompok manusia yang memiliki pandangan dan pikiran yang berbedabeda. Pola interaksi sosial yang akan dibahas akan melihat bagaimana perempuan bertato akan mengkomunikasikan tato yang dipakai sebagai identitas diri mereka dalam kehidupan masyarakat. 1.7 Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Kualitas suatu penelitian ditentukan oleh ketetapan dalam pemilihan metode penelitian, dimana metode tersebut dapat dipergunakan untuk menangkap dan menjelaskan realitas sosial secara jelas sesuai dengan karakter objek studi yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Isaac & Michael berpendapat bahwa metode penelitian deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara factual dan cermat36. Penelitian deskriptif bertujuan sebagai berikut: a. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. b. Mengindentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. c. Membuat perbandingan atau evaluasi. 2. Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini akan ditentukan berdasarkan purposive sampling, dimana subjek sudah diketahui jumlah serta karakteristiknya. Responden dalam penelitian ini yang diambil adalah berjumlah 3 orang perempuan bertato, dimana ke-3 perempuan ini menggunakan tato lebih dari 3 tahun. 3. Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini secara garis besar terdiri dari data primer dan sekunder. a. Data Primer 36 Rakhmad, Jallaludin. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya. Hal 22 Data primer merupakan data yang secara langsung dikumpulkan dari objek penelitian dan selanjutnya diklasifikasi serta diolah sesuai metodologi yang digunakan. Dalam penelitian ini sumber data primer untuk dipergunakan adalah: 1) Dokumen Informasi dokumenter sangat relevan untuk setiap topik dalam penelitian studi kasus. Proses pengumpiulan dokumen sebagai dasar penelitian dapat dilakukan dengan pengumpulan data dan teori melalui dokumen-dokumen berikut ini: (1) Surat, memorandum, dan pengumuman resmi (2) Agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan dan laopran-laporan peristiwa tertulis lainnya. (3) Dokumen-dokumen administratif, proposal, laporan kemajuan, dan dokumen-dokumen intern lainnya. (4) Penelitian-penelitian atau evaluasi-evaluasi resmi pada situs resmi yang sama (5) Kliping-kliping yang baru dan artikel-artikel lain yang muncul di media massa 2) Wawancara Merupakan proses tanya jawab yang dilakukan secara lisan oleh kedua pihak yang berhadapan langsung secara fisik. Wawancara dilakukan berdasarkan pertanyaan dan telah dirumuskan dalam daftar pertanyaan serta yang muncul secara spontan. Pertanyaan dalam wawancara ini diutamakan bertipe open-anded yakni dimana peneliti dapat bertanya pada responden kunci tentang fakta-fakta atau peristiwa disamping opini mereka tentang peristiwa yang ada. 3) Pengamatan berpartisipasi Peneliti mengumpulkan data dan informasi dengan melibatkan diri atau jadi bagian dalam kegiatan ini ditempat penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Data dalam skripsi ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik sebagai berikut: a. Observasi Observasi, yaitu melaksanakan penelitian di lapangan guna memperoleh data yang akurat. Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan observasi partisipan dengan melakukan pengamatan secara cermat dan sistematis di lokasi penelitian dalam kegiatan perpustakaan keliling guna memperoleh gambaran tentang fenomena yang dicermati. b. Wawancara Proses tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian. Wawancara dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan baik yang telah digariskan, maupun pertanyaan yang dilakukan secara spontan. Wawancara mendalam dengan bertanya langsung kepada informan dalam hal ini adalah langsung kepada perempuan bertato, dalam upaya mencari data primer berdasarkan interview guide yang telah disusun. c. Studi Pustaka Merupakan upaya pengumpulan data dan teori melalui buku-buku, surat kabar, majalah serta sumber informasi lainnya baik yang ada dilokasi penelitian maupun di luar lokasi penelitian sebagai penunjang penelitian (seperti dokumen, agenda, hasil penelitian, catatan). 5. Teknik Analisa Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui deskriptif kualitatif dengan metode analisis data model Miles dan Huberman, dimana terdapat tiga komponen utama dalam analisis data kualitatif. Antara lain yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dimana ketiganya nanti saling berkaitan untuk menentukan hasil akhir analisis. a. Pengumpulan Data Data dikumpulkan berdasarkan teknik pengumpulan data yang telah dipaparkan yang meliputi observasi, interview dan dokumentasi. b. Reduksi Data Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote. Reduksi data menjadi bagian dari analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus dan membuang hal yang tidak penting serta mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. c. Sajian Data Data dalam penelitian ini disajikan dengan bentuk kalimat yang disusun secara logis dan sistematis agar mudah dipahami serta mengacu pada rumusan masalah yang dijadikan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga data yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang menceritakan dan menunjuk permasalahan yang ada. 6. Teknik keabsahan data Teknik pemeriksaan data yang digunakan adalah triangulasi data. Menurut Nawawi37, menyatakan triangulasi data merupakan usaha untuk mengecek kebenaran data yang telah disimpulkan. Penelitian ini dalam menggunakan Triangulasi sumber data. Triangulasi dengan menggunakan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal tersebut dapat dicapai dengan jalan: a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. c. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah/tinggi, orang berada, orang pemerintahan. d. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan38 37 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998. Hal 188 38 Moleong, J. Lexy. 2000, Metode Penelitian Deskriptif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya. Hal 178