ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK

advertisement
ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK
2017
LINGKUNGAN DAN KEADILAN
Kumpulan Materi Hari Studi APTIK 2015
dan Rapat Umum Anggota APTIK 2016
Editor:
Yap Fu Lan
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik
d.a. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jl. Jend. Sudirman 51
Jakarta 12930
Telp. 021-5706059
LINGKUNGAN DAN KEADILAN
Kumpulan Materi Hari Studi APTIK 2015
dan Rapat Umum Anggota APTIK 2016
Editor, cover designer, layouter:
Yap Fu Lan
Foto cover: “Ciliwung di tahun 2005”
© APTIK 2017
ISBN: 978-602-14190-4-5
Buku ini diterbitkan hanya dalam bentuk elektronik,
tidak untuk dicetak dan diperjualbelikan.
ii
Daftar Isi
Pengantar:
Respon Perguruan Tinggi APTIK terhadap Isu Lingkungan
Paulus Wiryono Priyotamtama, SJ
1
Kapitalisme dan Ekologi Kehidupan
B. Herry Priyono, SJ
12
Permasalahan Lingkungan dan Upaya Masyarakat untuk
Mengatasinya
Maria Ratnaningsih
37
Pengalaman Mengembangkan Eco Camp
Ferry Sutrisna Wijaya, Pr.
55
Pendidikan dan Pembangunan Berkelanjutan
Emil Salim
66
Membangun New Citizenship di Lingkungan Perguruan
Tinggi APTIK
Petrus Sunu
79
Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPT)
Arief Yuwono
98
iii
Lingkungan dan Keadilan
PENGANTAR
Respon Perguruan Tinggi APTIK Terhadap Isu Lingkungan
Paulus Wiryono Priyotamtama, SJ
Ketua APTIK
Isu lingkungan telah diangkat sebagai topik dua acara penting, yakni
Hari Studi APTIK, yang diselenggarakan di Yogyakarta, tanggal 8–10
Oktober 2015, dan Rapat Umum Anggota APTIK di Jakarta, tanggal
14–17 Maret 2016. Sejumlah narasumber dengan berbagai latar
belakang telah dihadirkan untuk membantu proses pembelajaran
bersama terkait isu penting ini. Dengan bantuan para narasumber,
segenap peserta dibantu untuk melakukan tinjauan menyangkut
aspek pendekatan paradigma, perundang-undangan, praktik
masyarakat, tantangan bidang pendidikan serta pembangunan, dan
aspek spiritual kemanusiaannya. Kontribusi para narasumber
tersebut bagi pembelajaran APTIK dapat dibaca melalui tulisantulisan dalam buku edisi khusus APTIK yang dipublikasi secara online ini. Demikian respon Perguruan Tinggi APTIK terhadap isu
lingkungan telah diawali dengan proses pembelajaran bersama
dengan dibantu oleh sejumlah sumber pilihan. Apakah APTIK akan
berhenti di sini? Tentunya tidak.
Kedua acara APTIK terkait isu lingkungan tersebut dimaksudkan
untuk menjawab tiga tantangan sebagaimana dirumuskan dalam
Term of Reference (TOR) RUA APTIK 2016 di Jakarta. Ketiga
tantangan, yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, meliputi: (1)
Bagaimana Perguruan Tinggi APTIK ikut mewujudkan pembaharuan
~1~
Lingkungan dan Keadilan
diri lewat pertobatan ekologis yang bisa terwujud secara nyata di
tengah-tengah belahan bumi tropis bernama bumi Nusantara? (2)
Bagaimana visi penuh harapan dari Paus Fransiskus dan tokoh-tokoh
dunia terkait isu lingkungan bisa dijabarkan dalam paradigma,
kerangka kerja dan strategi pencapaian dalam konteks Indonesia
saat ini, dan (3) Apa yang ingin dipilih sebagai kontribusi nyata
komunitas akademik lingkungan Perguruan Tinggi APTIK untuk
tetap terawatnya bumi Nusantara? Tantangan-tantangan ini
tentunya tidak berhenti dirumuskan saat acara Hari Studi dan RUA
diselenggarakan
melainkan
menjadi
tantangan-tantangan
programatik ke depan yang harus dijawab oleh masing-masing
Perguruan Tinggi APTIK.
Apa yang sekiranya bisa dihasilkan dari proses pembelajaran APTIK
untuk menjawab ketiga tantangan terkait isu lingkungan? Sudah
adakah rencana tindak lanjut sebagai tanda telah mulai dijalaninya
proses pertobatan ekologis? Apakah tindak lanjut yang diambil
sudah sesuai dengan harapan Paus Fransiskus sebagaimana
disampaikan melalui Ensiklik Laudato Si’? Sudahkah muncul gerakangerakan peduli lingkungan di kalangan sivitas akademika? Apakah
sudah mulai diambil inisiatif-inisiatif pengambilan kebijakan oleh
pengurus Yayasan terkait kepentingan peningkatan efisiensi energi,
penghematan penggunaan air, pengolahan sampah, dan penataan
lahan kampus agar semakin hijau? Bagaimana pengembangan
program-program penelitian serta abdimas (pengabdian kepada
masyarakat) di bidang lingkungan yang harus dipikirkan oleh
pimpinan Perguruan Tinggi APTIK?
~2~
Lingkungan dan Keadilan
Pertanyaan-pertanyaan bernada reflektif ini layak diajukan sebagai
pengingat bahwa isu lingkungan adalah isu serius sekaligus
kompleks yang memerlukan perhatian khusus APTIK. Harapan Paus
sangatlah tinggi terhadap respon positif dari lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Katolik melalui kegiatan penelitian,
pengembangan iptek, dan pengabdian bagi proses transformasi
masyarakat. Selain sebagai pengingat, pertanyaan-pertanyaan
tersebut bisa dijadikan pegangan bagi penciptaan proses
pembelajaran berkelanjutan di lingkungan Perguruan Tinggi APTIK
terkait isu lingkungan. Tanggapan positif atas isu lingkungan
membutuhkan langkah-langkah strategis berjangka panjang yang
hanya bisa dirumuskan secara tepat melalui proses pembelajaran
berkelanjutan.
Apa sebenarnya harapan Paus Fransiskus kepada perguruan tinggi
terkait isu lingkungan? Harapan-harapan Paus kepada perguruan
tinggi dapat disarikan dari Bab V dan Bab VI Ensiklik Laudato Si’
terkait orientasi dan aksi khususnya menyangkut perlunya dialog
agama-agama dan ilmu pengetahuan serta kepentingan pendidikan
ekologis. Harapan-harapan Paus tidak disampaikan secara eksplisit
kepada dunia perguruan tinggi. Namun bisa ditarik sebagai sesuatu
yang implisit atau tersirat dalam rekomendasi-rekomendasi aksi
yang tertuang di bagian akhir ensiklik. Ada empat harapan Paus yang
bisa disarikan dari dua bab tersebut yang memiliki kaitan dengan
dunia perguruan tinggi, yakni:
~3~
Lingkungan dan Keadilan
1) perlunya membangun dialog di antara pelbagai bidang ilmu untuk
bisa semakin membuka diri bagi penanganan masalah-masalah
lingkungan secara lintas ilmu;
2) perlunya memfasilitasi terciptanya perjumpaan dan dialog
terbuka antar para pakar bidang ilmu positip dan para pemikir
bidang agama, etika, estetika, serta budaya dalam pencarian prinsipprinsip etika, nilai-nilai spiritual, solusi komprehensif masalahmasalah lingkungan yang bisa menggerakkan penyelamatan masa
depan planet bumi secara bersama-sama;
3) perlunya – lewat pendidikan – membangun kesadaran akan asal
semua makhluk hidup yang satu serta sama, rasa saling memiliki,
dan kesediaan berbagi masa depan dengan semua makhluk hidup
yang masih bisa diselamatkan;
4) perlunya – lewat pendidikan bercorak transformatif –
membangun budaya baru yang lebih berkelanjutan.
Cara yang ditempuh ialah di satu pihak mengambil sikap kritis
terhadap konsumerisme, aneka bentuk egoisme kolektif serta
keserakahan yang akan membawa penghancuran diri manusia
sendiri, dan di lain pihak membuka diri terhadap kebaikan bersama,
kebenaran, keindahan serta keharmonisan yang menjamin
kehidupan berkelanjutan. Harapan-harapan Paus, yang merupakan
rekomendasi-rekomendasi aksi ini, masih perlu dijabarkan ke dalam
program-program serta kegiatan-kegiatan konkret kalau mau
dijadikan komitmen kelembagaan. Bagaimana Perguruan Tinggi
APTIK mau menanggapi harapan-harapan Paus ini dalam kaitan
~4~
Lingkungan dan Keadilan
dengan pengembangan
tersendiri.
Tridharma,
merupakan
tantangan
Ensiklik Laudato Si’ menyuarakan Ajaran Sosial Gereja dalam konteks
dunia yang sedang dilanda krisis ekologi. Perguruan Tinggi APTIK
sebagai bagian dari tubuh perutusan Gereja perlu mempelajari
ensiklik ini secara mendalam. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup
baru yang terkandung di dalamnya perlu dijadikan bahan renungan
bagi kepentingan pembaharuan hidup. Segenap sivitas akademika
diharapkan mau meresapi nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup baru
yang ditawarkan demi pembaharuan kehidupan bersama baik di
kampus maupun di luar kampus. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup
baru macam apa perlu dijadikan bahan renungan bersama? Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip
hidup baru tersebut terkait dengan relasi manusia dengan alam,
relasi manusia dengan sesamanya, dan pemeliharaan
keberlanjutannya.
Saling ketergantungan antara manusia dan alam menuntut
diakuinya nilai intrinsik komponen-komponen alam seperti
ekosistem, mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan, ikan, binatang, dan
manusia. Seluruh satuan komponen-komponen alam tersebut
bernilai dalam dirinya sendiri dan juga bernilai dalam berelasi satu
sama lain. Nilai kedua sering dikategorikan sebagai nilai
instrumental komponen-komponen alam. Di dalam jaringan
komponen-komponen alam terkandung tata keteraturan, hukum
sebab-akibat, prinsip daur ulang, dan prinsip konservasi sumbersumber alam yang tidak bisa diabaikan atau dilanggar begitu saja
~5~
Lingkungan dan Keadilan
oleh manusia demi mencari nilai manfaat dari alam. Keberlanjutan
hanya mungkin dijamin kalau ada keseimbangan penghayatan atas
nilai intrinskik dan nilai instrumental tersebut dalam relasi manusia
dengan alam.
Dalam kerangka ekologi integral, sebagaimana ditawarkan oleh
Paus, semakin tampak bagaimana relasi manusia dengan alam tak
bisa dipisahkan dari relasi manusia dengan sesamanya dan juga
relasi manusia dengan Allah Sang Pencipta. Relasi manusia dengan
alam yang cenderung eksploitatif serta merusak ternyata
berkorelasi positip dengan relasi manusia dengan sesamanya yang
cenderung membiarkan terjadinya kesenjangan, menyingkirkan
sesama yang miskin, dan tidak peduli terhadap penderitaan
berkepanjangan dari sesama yang semakin jauh tersingkir tersebut.
Jeritan bumi menyatu dengan jeritan saudara-saudara kita yang
tersingkirkan. Di sini Paus mengajak kita untuk merenungkan
tentang saling ketergantungan antar makhluk hidup dan alam
lingkungannya yang mendasar. Kita diajak mendalami misteri
kesatuan asal usul dan pengembangannya secara ekologis dari
seluruh alam ciptaan. Kesatuan ini bisa dilacak lewat kesamaan
banyak kode-kode genetik yang ditemukan di hampir semua
makhluk hidup, kajian teori evolusi yang sudah bisa diterima oleh
Gereja, dan refleksi spiritual dari berbagai tradisi keagamaan.
Kesatuan ekologis ini sangatlah intim sekaligus rentan terhadap
pengrusakan-pengrusakan yang diciptakan oleh ulah manusia yang
tak bertanggung-jawab.
~6~
Lingkungan dan Keadilan
Di dalam misteri kesatuan ekologis Allah hadir dan membangun
kesatuan sinergis diri-Nya, manusia, dan alam. Kehadiran-Nya
menciptakan pengalaman keterpesonaan serta pengalaman
intimitas mendalam bagi sejumlah tokoh-tokoh religius seperti
Agustinus lewat konsep Deus Intimior Intimo Meo, Fransiskus Asisi
lewat madah “Gita Sang Surya”, dan Ignatius Loyola lewat
“Kontemplasi Mendapatkan Cinta” serta pengalaman konsolasi
rohani mendalam saat malam hari memandang bintang-bintang di
langit lepas. Pengalaman keterpesonaan dimungkinkan untuk
dialami secara mendalam oleh peneliti-peneliti yang menekuni
objek-objek penelitian terkait dengan realitas materi di bentangan
alam semesta. Melalui kesatuan ekologis serta sinergis, Allah
melanjutkan karya penciptaan-Nya. Terkait hal ini, keberlanjutan
karya penciptaan Allah hanya mungkin berjalan mulus kalau relasi
manusia – alam – sesama – Allah bisa dibuat utuh kembali. Ini berarti
relasi-relasi pincang bisa diluruskan kembali, keadilan ditegakkan
kembali, kebaikan bersama diusahakan lagi, dan solidaritas
ditumbuhkan lagi. Di sinilah letak pentingnya pertobatan ekologis
sebagaimana ditawarkan oleh Ensiklik Laudato Si’.
Demi terpenuhinya nilai-nilai tersebut perlulah dipilih prinsip-prinsip
kerja seperti: pengakuan akan kesatuan serta saling ketergantungan
antar manusia dan alam, penerapan prinsip daur ulang dan prinsip
konservasi sumber-sumber air, preferensi jenis-jenis energi
terbarukan, efisiensi penggunaan energi, penghematan air,
pengolahan limbah, kesediaan saling merawat serta saling berbagi,
usaha pencarian solusi-solusi masalah lingkungan secara bersama,
dialog, dan kerjasama. Bagaimana nilai-nilai dan prinsip-prinsip kerja
~7~
Lingkungan dan Keadilan
ini bisa ditanamkan dalam segenap sivitas akademika, perlu dicari
peluang-peluang konkret yang tersedia di setiap perguruan tinggi.
Sejumlah perguruan tinggi telah menerapkan prinsip daur ulang dan
konservasi sumber-sumber air dengan kebijakan pengolahan
sampah, penanaman pohon-pohon besar serta rindang untuk
penyerapan gas emisi CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraankendaraan bermotor milik mahasiswa sekaligus sebagai penyerap
air hujan, penggalian banyak sumur resapan, pembuatan kolamkolam ataupun bak-bak penampung air hujan, dll. Prinsip efisiensi
penggunaan energi diterapkan dengan kebijakan berjalan kaki atau
bersepeda untuk memenuhi kebutuhan mobilitas di kampus,
penggunaan lampu-lampu penerangan hemat energi, penerangan
ruangan-ruangan kelas secara alami, penggunaan AC seminimal
mungkin, dll. Mahasiswa dianjurkan untuk membawa sendiri bekal
air minum dalam satu botol plastik permanen, mengumpulkan tugas
pembuatan karya tulis secara on-line, dll.
Metode kerja khas Ajaran Sosial Gereja dikenal dengan rumus tiga
tahapan kerja: see (= melihat) – judge (= menilai) – act (= bertindak).
Mengingat bahwa masalah lingkungan adalah masalah kompleks
dan bertindak untuk menanggapi masalah ini menuntut
kebersamaan, kiranya untuk menerapkan metode kerja ini sejak
awal tahapan melihat sudah harus diarahkan kepada pencarian
peluang-peluang untuk nantinya bisa bertindak secara bersamasama atau setidak-tidaknya dampaknya bisa dirasakan bersama.
Pencarian peluang-peluang nyata untuk bisa bertindak bersama
perlu dilakukan oleh Perguruan Tinggi APTIK di tempat masing~8~
Lingkungan dan Keadilan
masing dengan cara melihat secara saksama. Dalam paradigma
berpikir ekologis, peluang-peluang nyata bagi usaha bersama
pelestarian lingkungan akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor:
ruang, waktu, tenaga, dana, dan gerakan kebersamaan yang
mungkin dilakukan.
Sebagai contoh: pilihan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di
Jakarta untuk memanfaatkan peluang ikut pengembangan urban
farming atau pertanian kota di pusat atau pinggiran Jakarta
sangatlah tepat. Dikatakan sangat tepat karena pilihan ini
memungkinkan usaha pengurangan ecological footprints atau jejakjejak ekologis dari usaha mendatangkan sayuran dari pusat-pusat
sayuran daerah Puncak yang ekosistemnya sudah sering mengalami
banjir dan longsor. Gerakan bersama pengembangan urban farming
di Jakarta sangat mungkin untuk diciptakan. Pilihan Universitas
Sanata Dharma untuk memanfaatkan peluang penghijauan kampus,
pengolahan limbah sampah, dan penggalian sumur resapan
sebanyak-banyaknya merupakan pilihan tepat karena bisa
menjawab masalah Kota Yogyakarta yang kurang memiliki area
hijau, saluran pembuangan air hujan yang minim, dan mulai
datangnya ancaman krisis sumber air sumur bagi penduduknya.
Gerakan bersama penghijauan, pengolahan sampah, dan
pembuatan sumur resapan untuk Kota Yogyakarta seharusnya
cukup mudah untuk dihidupkan secara terus menerus kalau ada
contoh-contoh konkret.
Mungkinkah dilakukan gerak bersama antar Perguruan Tinggi APTIK
dalam menjawab harapan-harapan Paus Fransiskus? Jawabannya:
~9~
Lingkungan dan Keadilan
sangat mungkin. Sejumlah usaha konkret telah dicoba dirintis.
Melalui program bernama APTIK Peduli Mentawai, isu lingkungan
dicoba dikemas melalui program pembelajaran di rumah-rumah
belajar bagi anak-anak selepas dari sekolah. Program pembelajaran
model ini masih dalam perancangan. Program Studi Magister
Manajemen USD dengan dukungan teman-teman dari UAJY telah
menyelenggarakan program lingkungan yang diberi nama Green
Entrepreneuship Training yang ditawarkan kepada pengusahapengusaha muda di DIY. Dua angkatan pelatihan sudah dihasilkan.
Teman-teman dosen USD dan Unika Soegijapranata terlibat dalam
usaha pendampingan kelompok-kelompok tani organik di bawah
payung organisasi Sekretariat Petani-Nelayan Hari Pangan Sedunia
yang didirikan tahun 1990 lewat Deklarasi Ganjuran. Program yang
dikembangkan diberi nama Revitalisasi Deklarasi Ganjuran. Temanteman dosen UAJY dan USD di bawah koordinasi Ketua APTIK yang
kebetulan berdomisili di Yogyakarta sedang merintis Eco-Camp
Mangun Karso di Pantai Grigak sebagai kelanjutan dari program
pengabdian Almarhum Rama YB. Mangunwijaya, Pr. di tengah
masyarakat Dukuh Karang berupa penyediaan air minum bagi
masyarakat dan penghijauan lingkungan.
Kiranya masih banyak peluang-peluang yang bisa ditemukan oleh
Perguruan Tinggi APTIK di tempat masing-masing. Keterlibatan
konkret yang dipilih sebagai langkah strategis pemberdayaan
gerakan pelestarian lingkungan baik di tingkat lokal maupun
nasional akan menandai realisasi program Renstra APTIK 2017-2021
di bidang pencerdasan bangsa. Program-program pencerdasan
berjangka panjang terkait isu lingkungan dan keterlibatan~ 10 ~
Lingkungan dan Keadilan
keterlibatan konkret yang bisa dikembangkan dalam rangka
Tridharma dan dengan orientasi nasional serta internasional
tentunya memiliki nilai strategi sangat tinggi. Semoga programprogram dan keterlibatan-keterlibatan macam ini yang dijadikan
pilihan Perguruan Tinggi APTIK.
~ 11 ~
Lingkungan dan Keadilan
Kapitalisme dan Ekologi Kehidupan
(Beberapa Catatan untuk Refleksi Programatik)
B. Herry-Priyono, SJ.1
Menimbang kaitan antara kapitalisme, kerusakan lingkungan,
konsern keadilan sosial dan urgensi Ajaran Sosial Gereja (ASG)
adalah menimbang topik maha luas. Agar keluasan itu tidak
langsung melumpuhkan, saya hanya akan mengiris saja perkara
melalui 2 pertanyaan berikut:
1. Apa kaitan modus ekonomi-politik kapitalisme dan kondisi
lingkungan hidup?
2. Urgensi programatik apa yang terlibat dalam kaitan keduanya
bagi agenda transformasi di Indonesia?
Pada hemat saya, dua pertanyaan itu pun sudah terlalu luas dan
terlalu sulit untuk dijawab secara layak. Namun baiklah, kita akan
coba menimbang sejenak 2 persoalan itu. Apa yang tertulis di bawah
hanya pointers untuk memicu studi/diskusi lebih lanjut, dan pointers
jauh dari kelengkapan.
I.
Beberapa Pengandaian Dasar
Apa saja yang berlangsung dalam sejarah merupakan konteks sinequa-non bagi iman Kristiani – entah itu perang atau perdamaian,
tatanan atau kekacauan, lingkungan sehat atau rusak, instabilitas
atau stabilitas sistem ekonomi-politik, keadilan atau ketidakadilan,
dsb. Pada jantung iman Kristiani, semua itu punya status teologisspiritual, persis karena Allah yang diimani dan diikuti orang Kristiani
1
B. Herry-Priyono, SJ., Dosen tetap dan Ketua Program Studi
Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Ph.D. The London School of
Economics and Political Science (LSE), Inggris.
~ 12 ~
Lingkungan dan Keadilan
adalah Allah yang menjelma, mendunia, menyejarah (Incarnate God;
Iesus Christus = Deus incarnatus). Lugasnya, keterlibatan kita dengan
jerih-payah perjuangan membuat dunia dan sejarah ini ke arah the
common good merupakan syarat mutlak kesejatian iman Kristiani.
Namun apa yang terjadi dalam sejarah manusia bukan hasil dari
interaksi buta materi (random/blind interactions of matters),
melainkan hasil dari dinamika hasrat dan gagasan manusia.
Kehancuran hutan dan tingginya polusi oleh jumlah kendaraan
pribadi bukanlah dalil alam tapi hasil dari corak hasrat dan gagasan
tertentu. Karena realitas dibentuk oleh gagasan manusia, laku-iman
Kristiani mutlak mensyaratkan keterlibatan dengan “pertarungan
gagasan” (battle of ideas) untuk membentuk realitas sejarah. Dalam
rangka “pertarungan gagasan” untuk membentuk realitas inilah
Perguruan Tinggi (PT) Katolik punya posisi dan tugas garda-depan.
Mengajar para mahasiswa agar mereka punya gelar dan mendapat
kerja itu baik; dosen meneliti untuk memperoleh nilai kum juga baik.
Namun itu tidak cukup, sebab PT Katolik punya mandat konstitutif
lebih besar, yaitu terlibat dalam “pertarungan gagasan” untuk
membentuk realitas menurut the common good.
Kekhasan lembaga akademik adalah daya edukatif-formatif bagi
para warga dunia modern (formative task) dan daya penelitian
(research). Lembaga akademik bukanlah LSM, bukan juga
kementerian pemerintah. Maka, mandat konstitutif terlibat dalam
“pertarungan gagasan” untuk membentuk realitas sejarah
dilakukan terutama melalui proses edukatif-formatif dan penelitian.
Di jantung ciri “Katolik” PT adalah kesetiaan pada proses
menterjemahkan mandat konstitutif di atas dalam dinamika formatif
dan penelitian. Inilah pokok yang mudah dikatakan tapi begitu terjal
untuk dihidupi. Dan di situ pula terletak locus jerih-payah imaginasi
intelektual, imaginasi aksi, imaginasi manajerial.
~ 13 ~
Lingkungan dan Keadilan
Perihal Kapitalisme: Karena istilah ‘kapitalisme’ begitu lentur dan
latah, ada baiknya diajukan klarifikasi kecil. Yang dimaksud
capitalism adalah ism tentang capital (isme/ideologi/gagasan
mengenai modal). Di jantung arti kapitalisme adalah faham/gagasan
tentang prioritas capital dalam proses produksi, distribusi, alokasi
dan pengorganisasian realitas hidup. The primacy of capital ini salah
satunya terungkap dalam logika akumulasi capital. Tanpa tujuan
akumulasi capital, tak ada kapitalisme. Dengan berporos pada
capital, kapitalisme membentuk sistem organisasi masyarakat yang
mensyaratkan corak politik dan budaya tertentu. Namun dari arti
dasar itu, penting untuk memahami tidak hanya ada satu jenis
kapitalisme. Terdapat beragam jenis kapitalisme: corak kapitalisme
di Amerika Serikat berbeda dengan kapitalisme di Jerman. Misalnya,
operasi kapitalisme AS bertumpu pada pasar modal dan berciri
deregulatif, sedangkan kapitalisme Jerman lebih bertumpu pada
institusi bank dan regulatif. Begitu pula kapitalisme di Jepang
berbeda dengan di Prancis, kapitalisme di China lain dari kapitalisme
di negara-negara Amerika Latin, kapitalisme di Indonesia lain dari
kapitalisme di Rusia.2 Maka, kaitan antara kapitalisme dan
lingkungan hidup sebenarnya juga bervariasi.
Istilah ‘lingkungan’ (environment) menunjuk pada dualitas atau
relasi timbal-balik antara alam (nature) dan budaya (culture). Maka,
di satu pihak adalah ciri alami/fisik lingkungan (physical
environment), di lain pihak adalah sifat kultural lingkungan (cultural
environment). Lingkungan bukanlah pilihan salah satu, tapi kondisi
hasil tegangan niscaya antara keduanya. Lingkungan menyangkut
2
Untuk keragaman jenis dan kinerja kapitalisme, lihat misalnya Peter
A. Hall & David Soskice (eds.), Varieties of Capitalism (Oxford: Oxford
University Press, 2001); John Scott, Corporate Business and Capitalist Classes
(Oxford: Oxford University Press, 1997).
~ 14 ~
Lingkungan dan Keadilan
faktisitas biofisik yang bisa diukur secara obyektif dan sekaligus
dinamika kultural persepsi-aspirasi manusia yang menghuni bumi.
Dengan itu, apa yang terjadi pada lingkungan bukan sekadar hasil
dari interaksi acak/buta daya materi seturut dalil alam tapi secara
mendalam dibentuk oleh corak gagasan dan kegiatan manusia,
misalnya dalam ecological footprints.3
‘Keadilan’ adalah konsep filsafat moral (moral philosophy)
ketimbang sesuatu yang dapat disimpulkan dari kaidah ilmiah dalam
arti ketat. Maksudnya, keadilan adalah konsep valuasi (penilaian)
etis yang melibatkan pengenaan ciri “baik” atau “buruk” pada
gugus tindakan, praktek, atau kondisi faktual tertentu. Misalnya,
Koefisien Gini (KG) 0,41 mengindikasikan tingkat kesenjangan lebih
tinggi antara kaum kaya dan miskin dibanding 0,14. Tetapi,
kesimpulan bahwa KG 0,41 lebih tidak adil dibanding 0,14 adalah
valuasi yang melibatkan pandangan etis. Apakah mungkin
memisahkan “kaidah ilmiah” dan “valuasi etis”? Pada hemat saya,
kedua hal itu secara kategoris bisa dibedakan tapi tak mungkin
dipisahkan sejauh perkara yang dikaji menyangkut tindakan, praktik,
dan kondisi yang muncul dari tindakan/praktik manusia. Dan soal
kualitas lingkungan hidup merupakan salah satu perkara seperti itu.
Lalu, apa kriteria “baik” dan “buruk”, atau “adil” dan “tidak-adil”?
Ada berbagai tradisi pemikiran etis, dan ASG adalah tradisi ethicotheological yang secara konstitutif di-mandat-kan oleh Gereja
kepada PT Katolik.4
3
Ciri human-made lingkungan sudah luas ditunjukkan. Lihat misalnya
Spencer R. Weart, The Discovery of Global Warming (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2003); lihat juga Ensiklik Paus Franciscus, Laudato
Si’, 24 Mei 2015, terutama #17-61.
4
Bandingkan dengan Johanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, 15 Agustus
1990.
~ 15 ~
Lingkungan dan Keadilan
II. Corak Kapitalisme Kontemporer
Seperti disebut, amat simplistik memandang kapitalisme sebagai
entitas homogen dan monolit. Namun tidak keliru menyatakan
bahwa ciri kapitalisme dewasa ini dibentuk secara mendalam oleh
jenis kapitalisme di AS dan Eropa Barat yang berevolusi sejak abad
ke-18. Kapitalisme yang berkembang di Jepang, China dan Asia
Timur lain baru mulai abad ke-20. Dengan variasi, salah satu
terobosan penelitian mengenai ciri kapitalisme dalam kurun panjang
(longue durée) adalah kaitannya dengan tingkat ketimpangan
ekonomi (economic inequality) - karena itu juga ketimpangan sosial,
ekonomi dan kultural. 2. Grafik longue durée di bawah ini adalah hasil
penelitian panjang ekonom Thomas Piketty dkk. Penelitian
terobosan ini secara eksplisit melukiskan ciri kapitalisme dalam
rentang waktu yang panjang, dengan proxy perbandingan antara
tingkat imbalan atas modal (rate of return - r, tanda ♦) dan tingkat
pertumbuhan ekonomi (economic growth- g, tanda I I).5
5
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA:
The Belknap Press of Harvard University Press, 2014), hlm. 356. Sejak
diterbitkan, buku ini telah menjadi buku klasik dan topik perdebatan dalam
ilmu ekonomi dan studi tentang kapitalisme.
~ 16 ~
Lingkungan dan Keadilan
Tanpa masuk ke detail, grafik di atas berkisah bagaimana sampai
Depresi Ekonomi 1930, ciri kapitalisme di Eropa Barat dan AS ditandai
oleh kesenjangan sangat tinggi - lihat jarak antara (-♦-) dan (-1 I-).
Kemudian dari PD II sampai sekitar 1980, kapitalisme ditandai
kesenjangan ekonomi rendah. Itulah periode ketika kapitalisme
punya “wajah ramah” dalam rupa berbagai jaminan sosial. Namun
sejak sekitar 1980 (kira-kira ketika corak globalisasi dewasa ini mulai)
ciri kapitalisme kembali menunjukkan wajah kesenjangan tajam dan
sangat tajam. Piketty menemukan bahwa di awal abad ke-21,
kapitalisme kembali menunjukkan ciri sangat timpang seperti abad
ke-19, yang ia sebut ‘Kapitalisme Patrimonial’ (Patrimonial
Capitalism). Inilah jenis kapitalisme yang digerakkan oleh harta
warisan, para pelakunya tidak perlu kerja keras atau hanya butuh
taktik berkolusi, cirinya mengolok-olok meritokrasi dan tata
demokrasi.
Apakah ciri kapitalisme dalam kaitannya dengan tingkat
ketimpangan itu juga menandai ciri kapitalisme di negara-negara
miskin dan sedang berkembang? Piketty dan kawan-kawannya juga
meneropong negara-negara seperti India, Indonesia, China,
Argentina, Colombia, Afrika Selatan. Apa yang ditemukan dalam
kurun waktu panjang menunjukkan pola yang sama.6 Di bawah ini
adalah grafik perbandingan antara yang terjadi di AS, Eropa, dan
negara-negara miskin serta sedang berkembang. Kedua grafik
menunjukkan pola yang sangat mirip.
6
Piketty, Capital in the Twenty-First Century, hlm. 324, 327. Untuk kajian
teknis-metodologis, lihat Thomas Piketty, The Economics of Inequality
/(Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press), 2015.
~ 17 ~
Lingkungan dan Keadilan
Kontroversi yang dibawa penelitian Piketty dkk. menyulut
kemarahan kaum konservatif. Namun, pada 2 Oktober 2014
diterbitkan laporan penelitian lain mengenai ketimpangan dan
kesejahteraan dunia oleh Organisation for Economic Cooperation
and Development (OECD) dan Universitas Utrecht, Belanda,
berjudul How was Life? Global Well-Being since 1820. Apa yang
ditemukan sangat mirip dan meneguhkan temuan Piketty dkk.: sejak
1820 ketimpangan terus menanjak, lalu periode 1950-1980 ditandai
ciri egalitarian, dan sejak 1980 ketimpangan kembali melonjak tajam
~ 18 ~
Lingkungan dan Keadilan
seperti pola di sekitar tahun 1820.7
Rupanya jenis kapitalisme itulah yang menjadi target kritik 2 Ensiklik
Paus Franciscus, ketika ia menulis ciri menjarah kapitalisme telah
menjadi “tirani baru” yang “menyembah berhala uang”, yang telah
membuat “kematian seorang gelandangan tua tidak menjadi berita,
tapi penurunan 2 points indeks pasar saham menjadi berita besar”.8
Atau, ketika ia menulis kapitalisme dewasa ini ditandai “sistem
hubungan komersial dan hak milik yang secara struktural sesat
(structurally perverse)” melalui “persekongkolan kekuatankekuatan ekonomi yang menjustifikasi sistem global, dengan
prioritas pada spekulasi dan penjarahan finansial, yang tidak peduli
pada konteks apalagi pada dampaknya bagi martabat manusia dan
lingkungan alam”.9
Ciri kapitalisme apa yang dapat dikenali dari data dan grafik di atas?
Rupanya ciri kapitalisme senantiasa berwajah ganas dalam
kaitannya dengan tingkat ketimpangan, kecuali masa antara 19451980. Periode 1945-1980 itu disebut dengan aneka istilah: masa
keemasan kapitalisme, wajah manusiawi kapitalisme, kapitalisme
yang berciri sosial, kapitalisme tertanam (embedded capitalism),
dsb. Dalam periode itu, tingkat laba investasi tidak terlalu tinggi, dan
kapitalisme dikenai berbagai regulasi untuk menyangga berbagai
jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakan kerja,
pendidikan, keluarga, pensiun, upah minimum, dsb. Apa yang
menyebabkan periode itu berakhir? Seperti tampak dalam grafik,
momen itu terjadi sekitar 1979-1980. Apa yang terjadi di belakang
7
OECD Development Centre, How was Life? Global Well-Being since 1820
(Paris, 2014).
8
Paus Franciscus, Evangelii Gaudium, 24 November 2013, #53, 55-56.
9
PausFranciscus,Laudato Si’, #52, 56.
~ 19 ~
Lingkungan dan Keadilan
perubahan itu adalah resesi ekonomi (yang merepotkan
pemerintah-pemerintah negara maju) yang berkait dengan imbalan
rendah atas invetasi (yang menekan nafsu laba para kapitalis).
Aliansi antara pemerintah dan kaum investor besar itulah yang lalu
memicu revolusi privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pada dekade
1980-an. Inilah yang lalu membawa globalisasi ekonomi dan
finansial dalam coraknya dewasa ini – pada grafik ditandai dengan
tingkat ketimpangan yang melonjak tajam ke arah ketimpangan
abad ke-19.
Menurut Piketty, “wajah ramah” dan “sifat sosial” kapitalisme
periode 1945-1980 itu adalah pengecualian (exception) dalam logikainternal kapitalisme. Namun pada hemat saya, karena kapitalisme
selalu beroperasi dalam bingkai politik, sosial, kultural dan
enviromental tertentu, logika-internal (internal logic) bukanlah satusatunya cara memandang persoalan. Apa yang hendak saya ajukan
adalah pokok ini: bahwa ciri ganas kapitalisme bukanlah
keniscayaan dan dapat dimodifikasi melalui agenda politik, sosial,
kultural dan enviromental tertentu. Corak kapitalisme pada periode
1945-1980 persis punya wajah lebih ramah karena dimodifikasi oleh
skema politik tertentu, yaitu negara sosial/kesejahteraan (the social
State, the welfare State). Tentu, saya sepenuhnya sadar argumen
sanggahan yang kini menjadi mode teknokrasi: bahwa skema politik
dalam rupa regulasi dan beban “pajak sosial” itu akan mencegah
investor untuk menanam modal, padahal modal hanya dipunyai
kaum kaya yang akan berinvestasi jika prospek labanya tinggi ^ maka
rendahnya investasi menyebabkan rontoknya lapangan kerja,
lapangan kerja yang rontok menimbulkan pengangguran luas!
Selamat datang ke “logika sirkular ayam-telur”. Inilah kerdilnya
wawasan ekonomi dewasa ini.
Apa ciri kapitalisme yang beroperasi di Indonesia? Tentu saja sulit
~ 20 ~
Lingkungan dan Keadilan
melukiskan ciri umum itu, sebab ciri para kapitalis Indonesia juga
beragam. Ahli seperti Richard Robison mengisyaratkan bahwa yang
subur di Indonesia adalah kapitalisme rente (rent capitalism). Itu jenis
kapitalisme dengan operasi yang disandarkan pada kolusi dengan
para pejabat negara, terutama melalui monopoli kontrak, kartel dan
penyimpangan budget pemerintah.10 Melihat apa yang berkembang
sejak Reformasi 1998, pada hemat saya corak kapitalisme di
Indonesia yang menggejala dewasa ini lebih mirip apa yang ditunjuk
Marx sebagai ‘akumulasi primitif (primitive accumulation).
Sesungguhnya akumulasi primitif belum disebut kapitalisme, tapi
kondisi sebelum kapitalisme: “Inilah asal-usul historis produksi
kapitalis, bukan dampaknya; akumulasi primitif ini berperan sama
seperti dosa-asal dalam teologi”.11 Proses akumulasi primitif terjadi
dalam transisi dari modus produksi pra-kapitalis ke kapitalis,
melibatkan transfer paksa tanpa melalui mekanisme pasar dari
sektor pra-kapitalis ke produksi kapitalis. Akumulasi primitif
melibatkan penjarahan asset publik, pengambilan paksa tanah milik
publik dan warga miskin, korupsi masif, pemakaian kekuasaan
negara untuk mendistorsi harga pasar, proteksi pasar, transfer
melalui mekanisme fiskal. Aneka modus akumulasi primitif ini
menggejala di semua negara yang sedang bergerak menuju
kapitalisme, terutama di negara-negara sedang berkembang
(developing countries) serta negara-negara transisi seperti di Eropa
Timur. Pada hemat saya, corak akumulasi primitif ini yang lebih
tepat melukiskan kapitalisme di Indonesia: cirinya menjarah dan
samasekali tak peduli pada apapun (termasuk lingkungan), kecuali
perolehan aset dan laba setinggi mungkin.
10
Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen &
Unwin), 1986.
11
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy – Vol. 1 (London:
Penguin Classics, 1990 [1867]), hlm. 764, 873.
~ 21 ~
Lingkungan dan Keadilan
Apakah ciri kapitalisme di Indonesia itu terkait secara kausal dengan
kerusakan lingkungan yang sedang ganas terjadi? Dalam ilmu-ilmu
manusia, adalah naif menyimpulkan penyebab suatu gejala pada
satu faktor, sebab kesemrawutan realitas merupakan simptom
keragaman dan lapis-lapis penyebab. Namun saya berani bertaruh,
ciri kapitalisme di Indonesia yang secara dominan ditandai oleh
akumulasi primitif dan bisnis penjarahan merupakan satu faktor
kausal yang maha penting di belakang gejala kerusakan lingkungan
di Indonesia, dari pembakaran hutan dan asap tahunan sampai
regularitas banjir serta kehancuran keragamaan hayati. Dalam
konstelasi kaitan ini, bisnis tambang, bisnis otomotif dan bisnis
monokultur memegang peran sentral. Salah satu contohnya adalah
penelitian baru The Institute for Ecosoc Rights yang jelas
menunjukkan kaitan langsung antara kerusakan lingkungan,
pelanggaran hak-hak asasi dan ciri-menjarah bisnis kelapa sawit di
Kalimantan Tengah.12 Sebagai ilustrasi, gambar di bawah yang telah
diketahui banyak pihak hanya memberi contoh. Gambar kiri
menunjukkan apa yang telah dan akan terjadi pada hutan tropis di
Kalimantan. Gambar kanan menyajikan kawasan Merauke (Papua)
yang telah di-kapling perusahaan-perusahaan dalam rangka
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025 (MP3EI).
12
The Institute for Ecosoc Rights, Industri Perkebunan Sawit dan Hak
Asasi Manusia: Potret Pelaksanaan TanggungJawab Pemerintah dan
Korporasi terhadap Hak Asasi Manusia di Kalimantan Tengah, Jakarta 2015.
Penelitian ini juga kaya dengan narasi kisah-kisah nyata yang dikumpulkan
melalui wawancara lapangan mengenai kaitan kausal antara corak bisnis,
kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
~ 22 ~
Lingkungan dan Keadilan
III. Kapitalisme, Lingkungan dan Defisit Teknokrasi
Lalu, bagaimana memandang kaitan antara kapitalisme dan kondisi
lingkungan hidup? Soal ini telah menjadi kontroversi yang membelah
bahkan orang-orang yang berkehendak baik ke dalam kubu-kubu
ideologis. Namun dapat dikatakan semakin terjadi konsensus bahwa
ciri kapitalisme dewasa ini mempunyai dampak yang mencemaskan
bagi kualitas lingkungan.13 Salah satu cara memahami kaitan antara
kapitalisme dan kondisi lingkungan adalah melihat trend operasi
para pelaku kapitalisme yang dibandingkan dengan trend
produksi/konsumsi secara umum. Interaksi antara kedua trends itu
salah satunya menghasilkan jejak-ekologis (ecological footprint). Di
bawah ini adalah grafik trend pertumbuhan operasi perusahaan
transnasional dan perdagangan global.
13
Lihat misalnya Nik Haynen et al. (eds.), Neoliberal Environment: False
Promises and Unnatural Consequences, London: Routledge, 2007.
~ 23 ~
Lingkungan dan Keadilan
Sedangkan grafik di bawah adalah contoh permintaan industri
(gambar kiri) yang salah satunya membentuk jejak-ekologis dengan
dampak pada lingkungan (gambar kanan & bawahnya).
~ 24 ~
Lingkungan dan Keadilan
Dari beberapa grafik di atas tampak bahwa kondisi lingkungan hidup
paralel dengan gerak corak industrialisasi yang menjadi bagian
integral kapitalisme. Namun juga perlu ditegaskan, corak
industrialisasi dalam sistem sosialis dan komunis juga tidak lebih
baik. Pokok ini penting tapi punya risiko simplifikasi yang dapat
membawa ke posisi luddite, yaitu sikap anti terhadap industrialisasi
dan teknologi modern. Sangatlah pasti itu bukan posisi ASG. Apabila
kualitas lingkungan tidak mungkin dipisahkan dari industrialisasi,
maka rupanya soal pokoknya bukan industrialisasi melainkan jenis
industrialisasi apa yang sanggup merawat kualitas keberlanjutan
lingkungan. Kritik tajam ASG dalam beberapa dasawarsa ini
(menonjol sejak ensiklik Caritas in Veritate sampai Laudato Si’)
membidik bukan pembangunan dan industrialisasi itu sendiri, tetapi
corak pembangunan, industrialisasi dan teknokrasi-ekonomi yang
dominan dewasa ini.
Di situlah pentingnya perdebatan yang terus menyala mengenai
model pembangunan, model sistem ekonomi, tananan finansial,
faham fundamentalisme pasar dan neoliberalisme, ciri sosial pasar,
dsb. Dan perdebatan mengenai persoalan-persoalan itu kini tetap
berlangsung. Semua itu juga menunjukkan bahwa corak kaitan yang
kini terjadi antara ‘kapitalisme/industrialisasi’ dan ‘lingkungan’
bukanlah keniscayaan logis. Maka perlu ditegaskan, kapitalisme dan
industrialisasi tidaklah per se dan niscaya berakibat detrimental pada
lingkungan. Dalam realpolitik bisnis, inovasi teknologi dan program
corporate social responsibility (CSR) tentu bukan pertama-tama
ditujukan (intended) untuk perbaikan lingkungan dan keadilan. Akan
tetapi, tidak sedikit inovasi teknologi atau program CSR yang
~ 25 ~
Lingkungan dan Keadilan
intentionally dimaksudkan untuk mengungkit produktivitas dan laba
serta menaikkan reputasi bisnis sering juga mempunya dampak
baik, meskipun tentu dampak itu hanya efek-sampingan
(unintended consequences). Apa yang selalu memusingkan adalah
bahwa efek-sampingan ini tetap tinggal “sampingan” (externality).
Artinya, tidak integral dalam operasi bisnis itu sendiri (internality).
Maka kita berayun antara business as usual dan aneka skema
institusional untuk minimalisasi dampak merusak terhadap
lingkungan (bahasa ekonomi: negative externality). Itulah mengapa
operasi bisnis terus berderap (sering dengan ciri menjarah sama)
yang berpacu dengan makin aktifnya usaha institusional untuk
meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan. Di bawah ini 2
gambar yang dapat melukiskan tegangan itu. Gambar kiri memotret
penjarahan-tanah yang terus terjadi secara global, sedangkan
gambar kanan melukiskan upaya institusional yang semakin
kencang – agenda kolosal seperti Millennium Development Goals
(MDG) dan kini Sustainable Development Goals (SDG) adalah bagian
dari upaya itu. Tidak sangat keliru mengatakan Ensiklik Laudato Si’
(24 Mei 2015) juga bagian upaya intervensi bagi “pertarungan
gagasan” dan “agenda programatik” dalam persoalan itu.
~ 26 ~
Lingkungan dan Keadilan
Selamat datang ke paradoks kisah manusia: semakin gelap neraka,
semakin cemerlang sorga. Dalam suatu masyarakat yang relatif
tertata, justru tidak mudahlah kita berbicara tentang “yang baik”
(the good). Justru ketika kondisi dalam keadaan gelap, lebih
mudahlah menggagas tentang the good itu. Maka, mungkin soal
pokoknya bukan apa itu the good dalam situasi buram ini, tapi
mengapa the good itu tidak terjadi! Di sinilah kita bertemu dengan
urusan lebih memusingkan lagi ketimbang perkara menjelaskan.
Itulah proses dan langkah-langkah transformasi.
Ketika menggagas proses dan langkah transformasi, salah satu
perangkap yang hampir selalu menjebak kita adalah konsepsi ini: kita
bermimpi gagasan dan maksud baik menciptakan desain
transformasi yang baik, dan karena baik desain transformasi itu
akan diikuti semua orang  ergo desain transformasi itu cepat atau
lambat akan dilaksanakan semua pihak  pelaksanaan desain
membuat lingkungan hidup kembali menjadi nirvana. Terhadap
mimpi seperti ini perlu ditegaskan: Realpolitik perubahan tidak
pernah berlangsung seperti itu! Apa yang selalu terjadi adalah logika
begini: jerih-payah gerakan transformasi menyusup dalam
keragaman kepentingan dan tegangan/konflik antar aneka
kepentingan, dan transformasi adalah produk dari kecerdikan
mengelola (skillful management) keragaman kepentingan itu ke arah
isi transformasi yang dituju oleh desain.
Ada-tidaknya desain yang baik biasanya menjadi tanggungjawab
pemerintah (government). Dan desain transformasi yang baik juga
berisi langkah-langkah metodis untuk mencapai target yang dibidik
secara gradual. Ini yang disebut teknokrasi (technocracy). Teknokrasi
berisi seperangkat kebijakan dengan langkah-langkah teknis yang
diterapkan untuk mengubah arah perilaku dan kecenderungan
~ 27 ~
Lingkungan dan Keadilan
gejala. Contoh, Paket Ekonomi Pemerintah RI (9 September 2015)
merupakan kebijakan teknokratis seperti itu, dengan sasaran
mengubah perilaku para investor agar tidak takut ber-investasi di
Indonesia dalam kondisi rupiah lemah. Kebijakan teknokratis sangat
dibutuhkan bagi manajemen, dari pengelolaan usaha kecil sampai
pengelolaan negara-bangsa. Teknokrasi dan seni-pemerintahan tak
bisa dipisahkan.
Namun (seperti halnya sifat manusia) pada kekuatan teknokrasi juga
terletak kelemahannya.14 Apa kelemahannya? Instrumen kebijakan
teknokratis biasanya punya premis agak behavioristik tentang
tindakan manusia: bahwa orang akan berubah menurut arah desain
setelah menerima stimulus insentif atau dis-insentif tertentu.
Instrumen kebijakan teknokratis umumnya menderita defisit
konsepsi perubahan tindakan, juga mengabaikan kuatnya daya
habitus. Habitus manusia tidaklah se-elastis seperti yang kita kira,
tidak juga mudah berubah meskipun disuntik berbagai stimuli
insentif dan dis-insentif. Habitus dies hard.
Apa pentingnya soal teknokrasi dan habitus dalam rangka
memahami kaitan antara kapitalisme dan kondisi lingkungan? Tanpa
14
Ensiklik Caritas in Veritate (Benedictus XVI) mengingatkan kelemahan
teknokrasi sebagai satu-satunya metode perubahan, dengan ungkapan
begini: “Pengembangan manusia lalu sering dipahami sebagai sekedar
rekayasa finansial, liberalisasi pasar, pembebasan tarif, investasi produksi,
reformasi institusi –dengan kata lain, urusan teknis belaka…” Lalu “satusatunya kriteria tindakan bisnis adalah maksimalisasi laba, dalam politik
kriteria itu konsolidasi kekuasaan, dan dalam sains penemuan-penemuan
riset” (#71).
~ 28 ~
Lingkungan dan Keadilan
perangkat kebijakan teknokratis, pemerintah kehilangan raison
d’être-nya. Desain kebijakan teknokratis sebagai stimulus bagi dunia
bisnis untuk berubah ke arah perawatan lingkungan sangatlah
mendesak, dan dunia perguruan tinggi punya tugas luhur
membantu pembuatan skema teknokratis ini. Namun, seperti telah
diisyaratkan, adanya desain kebijakan teknokratis tidak serta-merta
membawa perubahan, juga bila coba selalu ditegakkan. Itu bukan
berarti kebijakan teknokratis tidak penting. Apa yang hendak
dikatakan di sini adalah bahwa instrumen kebijakan teknokratis
merupakan “kerangka politis” melalui mana perubahan bersama
sebagai suatu bangsa akan ditempuh. Tapi itu masih jauh dari
perubahan. Sebab, dalam praktik bisnis dan perawatan lingkungan,
apa yang mesti berubah bukanlah sekadar “kerangka politis” tetapi
perubahan cara berpikir, cara merasakan, tindakan, perilaku,
praktik, dan habitus.
Di situlah kita bertemu dengan agenda yang menyangkut proses
formatif-edukatif yang butuh penelitian serius mengenai pedagogi
transformasi. Inilah wilayah kompetensi PT. Cukup pasti mandat
Gereja kepada PT Katolik untuk terlibat dalam “pertarungan
gagasan” bagi the common good menyangkut soal ini pula.
IV. Perguruan Tinggi Katolik dan Urgensi Pedagogi
Transformasi
Dengan pool keahlian dan pengalaman memadai dalam kebijakan
pemerintahan, sesungguhnya tidaklah teramat sulit mendesain
skema kebijakan teknokratis yang baik. Namun sebaik apapun,
skema teknokratis tidak dapat mengganti proses perubahan
~ 29 ~
Lingkungan dan Keadilan
perilaku dan praktik di dataran riil sehari-hari yang rutin dan
berlangsung gradual dalam waktu panjang. Ini berlaku bukan hanya
bagi urusan lingkungan hidup, tetapi juga banyak hal lain: dari soal
korupsi sampai cara berlalu-lintas, dari kejujuran dalam ujian sekolah
sampai tata-krama ber-handphone di ruang pertemuan. Dalam
banyak hal dapat dikatakan, yang kurang di negeri ini bukan skema
kebijakan teknokrasi dan undang-undang, melainkan proses
pedagogis perubahan habitus pada dataran hidup sehari-hari. Tentu,
tidaklah mudah menemukan teknokrat yang andal, tetapi rupanya
jauh lebih sulit menemukan pedagog transformasi habitus. Di mana
para ahli pedagogi transformasi?
Itu juga yang menjadi pokok urgen dalam perkara lingkungan hidup.
Apa yang kurang bukanlah undang-undang dan skema kebijakan
teknokratis, melainkan proses pedagogis perubahan dari
perilaku/praktik unsustainable ke perilaku/praktik sustainable.
Berilah perilaku/praktik yang unsustainable simbol X1, dan
perilaku/praktik sustainable simbol X2. ‘Permanensi’ menunjuk
kondisi status quo (dari X1 tetap ke X1), sedangkan ‘transformasi’
menunjuk kondisi perubahan (dari X1 ke X2). Kalau seorang di tahun
2010 punya kebiasaan membuang sampah sembarangan dan kini di
tahun 2015 tetap punya kebiasaan itu, yang terjadi adalah status quo
dari X1 tetap ke X1. Bila ia berubah ke arah kebiasaan membuang
sampah di kotak sampah, yang terjadi X1 menjadi X2, seberapa pun
gradual perubahan itu. Mengapa setelah sekian tahun orang yang
melakukan X1 tetap melakukan X1? Mengapa setelah sekian tahun
orang yang dulu melakukan X1 kini berubah ke melakukan X2? Itulah
pertanyaan inti teori tindakan, teori transformasi, dan proses
pedagogis transformasi.
~ 30 ~
Lingkungan dan Keadilan
Time-1 (t1)

Time-2 (t2)
Permanensi
X1 (praktik unsustainable)

X1 (praktik unsustainable)
Transformasi
X1 (praktik unsustainable)

X2 (praktik sustainable)
Bagaimana X1 berubah menjadi X2? Bisa dengan koersi/paksaan, bisa
melalui komando. Tetapi kedua rute itu tidak akan bertahan lama.
Cara yang khas manusia adalah melalui proses belajar perubahan
dari X1 ke X2. Itu mengandaikan bahwa manusia dapat dididik
(educable) untuk berubah dari melakukan X1 ke melakukan X2, bukan
hanya sebagai tindakan sesekali tetapi sebagai praktik/kebiasaan
baru (habitus baru). Proses berkelanjutan mengubah X1 ke X2 ini
disebut ‘pendidikan’ (education). Di situlah terletak inti pengertian
proses pedagogis dalam formasi/edukasi lingkungan hidup: proses
membawa seorang, sekelompok orang atau kinerja institusional dari
praktik/kebiasaan environmentally unsustainable ke praktik/
kebiasaan yang enviromentally sustainable.
Berbagai pendekatan ilmu-ilmu (misalnya pendekatan ekonomi,
pendekatan politik, pendekatan antropologi, psikologi, hukum,
dsb.) adalah model-model penjelasan (models of explanations)
mengenai apa, mengapa dan bagaimana hubungan kausal antara
faktor-faktor (explanantia) dan perilaku/kebiasaan yang
environmentally sustainable atau unsustainable (explananda). Semua
pendekatan itu sangat berguna! Namun semua itu bukanlah proses
transformasi sendiri. Proses pedagogis melibatkan langkah-langkah
metodis mengubah dimensi (a) cara-merasa, (b) cara-berpikir, dan
(c) cara-bertindak dari posisi yang membenarkan perilaku/
praktik/kebiasaan yang environmentally unsustainable ke posisi
~ 31 ~
Lingkungan dan Keadilan
menghidupi/promosi perilaku/praktik/kebiasaan
mentally unsustainable.
yang
environ-
Permanensi (X1 -> X1) atau transformasi (X1 -> X2) terjadi sejauh 3 dimensi
tindakan-manusia berikut berada dalam kondisi tetap (status quo) atau
berubah
(transformed)
Gugus
keyakinan
pada lapis
Hasrat, keinginan, motif, corak
afektif-emosional – credo
nilai dan kepercayaan, kehendak,
ergo sum
nafsu, intensionalitas, disposisi
batin, dsb.
Gugus pengertian pada lapis
Kapasitas berpikir/menalar; kapasitas
membedakan dengan jelas dan terpilah;
kognitif – cogito ergo sum
kapasitas membedakan baik dan buruk,
benar dan salah, merusak dan tidakmerusak, pengertian tentang kebaikanbersama. perilaku/praktik fisik, ciri
Gugus tindakan praktis pada
Kebiasaan
lapis kebiasaan korporeal/fisik – tangible tindakan dan praktik, kapasitas
ago ergo sum
eksekusi tindakan, kapasitas membuat
keyakinan dan gagasan jadi
tindakan/kebiasaan konkret.
Bagaimana ketiganya dilakukan dalam proses pedagogis yang
efektif, sangatlah bergantung pada imaginasi taktis-metodis di
lapangan: (a) Dimensi perubahan cara-merasa (credo) dapat medayaguna-kan kegiatan regular seperti retret, rekoleksi, doa,
refleksi, menonton bersama film, membaca novel, dsb; (b) Dimensi
perubahan cara-berpikir (cogito) dapat men-dayaguna-kan kegiatan
reguler hari studi, ceramah, seminar, simposisum, presentasi
makalah, analisis film, bedah buku ilmiah dan novel, penelitian, dsb;
(c) Dimensi perubahan cara-bertindak dapat men-dayaguna-kan
kegiatan reguler ekstrakurikuler, student camp, live-in, kompetisi
hemat energi dan go-green antar-jurusan, aliansi berbagai
~ 32 ~
Lingkungan dan Keadilan
perguruan tinggi untuk melakukan gerakan reguler bagi lingkungan
di lingkup kota, dsb.
Ciri triniter dimensi perilaku/praktik/kebiasaan manusia itu tidak
terpisah satu sama lain, tetapi ketiganya dapat dibedakan dalam
langkah metodis. Jika dan hanya jika perubahan terjadi pada ketiga
dimensi itu, transformasi sejati dari X1 ke X2 dapat diharapkan. Pokok
ini mungkin juga berguna untuk memahami mengapa banyak
seminar, simposium, penelitian, atau acara-acara panggung tentang
urgensi perawatan lingkungan sudah selalu diadakan, tetapi
praktik/kebiasaan di lapangan tetap (atau semakin) ganas dan
endemik. Seminar, simposium atau penelitian dapat mengubah
pengertian, tetapi perubahan tindakan/praktik/kebiasaan/kondisi
kerusakan bukan sekadar soal pengertian. Di balik ratapan kita atas
kondisi lingkungan, tersembunyi pengandaian yang mungkin naif
tentang tindakan manusia. Naifnya pengandaian seringkali terletak
dalam pandangan ini: orang/kelompok yang sudah diajar dan tahu
apa yang baik juga akan melakukan yang baik. Itu tidak pernah
terjadi dalam sejarah manusia, dulu, sekarang dan esok. Tentu, saya
samasekali tidak mau mengecilkan arti dan peran pengetahuan.
Namun mengandaikan kaitan-langsung antara “pengetahuan” dan
“transformasi” sama dengan mengandaikan terlalu banyak.
Bisa saja proses pendidikan lingkungan mulai dari satu di antara tiga
dimensi itu (terserah yang mana: entah dimensi pengetahuan,
tindakan praktis, atau afektif-emosional). Namun tanpa dikawal
dengan 2 dimensi lain, tak akan terjadi proses pedagogistransformatif sejati dari X1 ke X2. Dengan demikian, agar terjadi
proses pedagogis-transformatif dari X1 ke X2, pintu-masuk dari salah
satu dimensi apapun selalu mensyaratkan terjadinya proses paralel
pada 2 dimensi lain. Misalnya, bisa saja mahasiswa diwajibkan ambil
MK “Lingkungan Hidup” (pengertian), tetapi tidak akan terjadi
~ 33 ~
Lingkungan dan Keadilan
proses pedagogis-transformatif apapun pada enviromentally
sustainable acts/habitus apabila pelajaran itu tidak dibarengi proses
pembatinan (dimensi afektif-emosional) dan latihan habituasi
tindakan/praktik pada dataran aksi (dimensi tubuh/fisik). Ini juga
berlaku bukan hanya pada lingkup perorangan, tapi juga lingkup
kelompok, sekolah/perguruan tinggi, institusi bisnis, dan
masyarakat sebesar suatu bangsa secara keseluruhan.
Di mana tempat hukum (law), penegakan hukum (law enforcement),
institusi (institution)? Institusi bukanlah “ruang/kerangka kosong”
ke mana kita masuk dan dari dari mana kita keluar. Institusi adalah
gugus endapan praktik kolektif yang terbentuk melalui perulangan
tindakan tiap hari. Institusi yang menghidupi enviromentally
sustainable habitus terbentuk sebagai endapan praktik yang
terbentuk dari perulangan enviromentally sustainable acts setiap hari.
Dan hukum? Hukum adalah keabsahan imperatif dalam masyarakat
beradab untuk melakukan dan mencegah tindakan. Tetapi tak ada
hukum yang efektif bagi transformasi dari X1 ke X2 apabila tidak
disangga oleh pengertian (cogito) dan keyakinan (credo) bahwa apa
yang diperintahkan hukum itu baik. Maka hukum yang efektif juga
mengandaikan proses pedagogis pendidikan dari X1 (tindakan
dilarang hukum) ke X2 (tindakan dibenarkan hukum). Pada akhirnya,
sukses reformasi institusi, reformasi hukum dan penegakan hukum
hanya terjadi apabila institusi dan hukum mengabdi proses
pedagogis tranformasi dari X1 ke X2 secara non-koersif.
Dari pokok-pokok di atas, moga-moga semakin jelas bahwa skema
kebijakan teknokratis dan undang-undang tidaklah mencukupi,
sebab semua itu hanya bingkai politis dan dasar legal. Locus
pemberadaban (civilising process) terletak dalam jerih-payah proses
formatif-edukatif tersembunyi yang berlangsung pada dataran
rutinitas sehari-hari. Ia bukan satu momen peristiwa (event),
~ 34 ~
Lingkungan dan Keadilan
melainkan proses pedagogis diri dan bersama yang berlangsung
dalam waktu panjang, dengan kunci-metodis berupa repetitio
(pengulangan). Tidak pernah ada proses pemberadaban yang instan
dan langsung punya dampak. Karena itu juga bukan pada tempatnya
mengharapkan dampak langsung dan instan pada kualitas
lingkungan. 8. Bukankah seluruh proses pedagogis itu berlaku tidak
hanya bagi institusi PT tetapi juga semua institusi lain, dari institusi
bisnis sampai institusi pemerintah? Benar! Namun pada hemat saya
ada urgensi tertentu mengapa pokok ini diajukan kepada PT,
termasuk PT Katolik:

PT adalah civitas dengan pool keahlian dalam bidang pendidikan
dan proses pedagogi, dengan otoritasnya dalam penelitian dan
pengembangan model serta modul pedagogi, dengan
otoritasnya dalam membentuk (formatif) keterdidikan
warganegara dan generasi baru bagi proses pemberadaban.

Apa yang kosong di negeri ini dalam proses pemberadaban ke
arah kualitas lingkungan bukan tiadanya undang-undang dan
skema kebijakan teknokratis, tetapi pengembangan modelmodel dan modul-modul pedagogi transformasi. Sesungguhnya
pokok ini berlaku bukan hanya dalam soal lingkungan hidup,
tetapi juga dalam banyak perkara lain seperti korupsi, hubungan
antar umat-beragama, kultur demokrasi, dsb. Otoritas dan
kompetensi untuk meneliti dan mengembangkan model dan
modul itu ada di tangan PT.

Penelitian dan pengembangan serius model-model dan modulmodul proses transformasi societal inilah yang rupanya makin
ditinggalkan oleh institusi PT, meskipun tugas agung bagi
“pertarungan gagasan” ini sesungguhnya telah diserahkan oleh
sejarah kepada PT. Keahlian untuk itu tidak bisa kita serahkan
~ 35 ~
Lingkungan dan Keadilan
kepada institusi bisnis ataupun pemerintah.
Di dataran praktis proses transformasi, kontroversi kaitan antara
kapitalisme dan lingkungan hidup tiba-tiba seperti lenyap. Ada apa?
Tidak, perkara itu tidak lenyap. Untuk meringkas, ada gunanya kita
kembali memungut 2 pertanyaan di awal yang memandu refleksi
kecil ini:
Pertama, secara agregat dapat dikatakan bahwa kualitas lingkungan
hidup punya kaitan historis dengan modus produksi dan konsumsi
kapitalisme. Apakah kaitan itu membentuk keniscayaan logis
ataukah sekadar koinsidensi historis? Karena dampak modus
produksi/konsumsi sistem sosialis dan komunis rupanya juga tidak
lebih baik atau buruk dibandingkan sistem kapitalis, mungkin dapat
dikatakan bahwa letak masalahnya bukan pada modus kapitalis,
sosialis, atau komunis, melainkan pada corak industrialisasi, entah
itu dalam sistem kapitalis, sosialis ataupun komunis. Namun juga
perlu ditegaskan bahwa corak industrialisasi dan praktik bisnis
dalam ciri kapitalisme dewasa ini secara niscaya berdampak
detrimental terhadap kualitas lingkungan hidup. Inilah yang juga
menjadi sasaran kritik profetis ASG.
Kedua, sementara pendekatan melalui kebijakan teknokratis dan
hukum menjadi tuntutan niscaya, apa yang urgen dilakukan PT
(Katolik) adalah penelitian dan pengembangan serius model-model
pedagogi transformasi untuk proses formatif-edukatif lingkungan
hidup pada dataran rutin sehari-hari, baik bagi kelompok-kelompok
pendidikan dasar, menengah, tinggi, pelaku bisnis, pemerintah, dan
institusi-institusi lain.
Selebihnya, vita supplet.
~ 36 ~
Lingkungan dan Keadilan
Permasalahan Lingkungan dan
Upaya Masyarakat untuk Mengatasinya
Maria Ratnaningsih1
1.
Latar Belakang
Membaca judul makalah ini, pertanyaan pertama yang timbul dari
dalam benak kita adalah: MAMPUKAH?

Sebagaimana kita ketahui bahwa permasalahan lingkungan
hidup menjadi isu utama dalam setiap pembicaraan dan
pembahasan, terrmasuk kunjungan Paus Fransiskus baru-baru
ini ke UN. Salah satu topik yang mendapatkan sorotan adalah isu
perubahan iklim. Mengapa Paus sampai bersusah payah untuk
menyuarakan keadilan lingkungan kepada dunia global?
Mengapa Paus sampai mengeluarkan Laudato ‘Si? Jawabannya
sangat jelas, hampir tidak ada keadilan lingkungan bagi
masyarakat kecil, lemah, miskin, dan tertindas. Kebijakan
pembangunan yang berpihak secara adil dan merata kepada
semua pihak masih belum terwujud. Kerusakan lingkungan tidak
diperhitungkan sebagai biaya pembangunan yang harus
diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun para pengusaha
yang memanfaatkan sumber daya alam dalam skala besar.
Pertimbangan dan target pembangunan yang lebih
menitikberatkan
pada pertumbuhan
ekonomi telah
mengabaikan sisi sosial dan lingkungan. Hal inilah yang menjadi
awal terjadinya ketimpangan pembangunan dan kerusakan
lingkungan.
1
Dr. Maria Ratnaningsih, S.E., M.M. adalah Sekretaris Yayasan Atma
Jaya Jakarta.
~ 37 ~
Lingkungan dan Keadilan
Pilar pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan sisi
ekonomi, sosial, dan lingkungan belum berjalan seimbang: Dari
sisi sosial, pembangunan sumber daya manusia yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih
dikonsentrasikan pada penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan formal. Promosi dan investasi di bidang pendidikan
baik formal maupun informal bagi masyarakat khususnya di
wilayah perdesaan dan daerah tertinggal serta pelatihan dan
penguatan kapasitas masyarakat masih sangat minim dilakukan.
Kegiatan yang ada lebih merupakan inisiatif masyarakat maupun
dilakukan oleh kelompok-kelompok peduli masyarakat bekerja
sama dengan NGO atau lembaga donor. Padahal, kekuatan
sosial budaya dapat merupakan kekuatan untuk menciptakan
inovasi dan ketahanan masyarakat dalam mengadaptasi dan
memitigasi perubahan iklim maupun persoalan-persoalan
lingkungan lainnya termasuk untuk memperkuat hak dan
keadilan sosial bagi yang masyarakat kurang beruntung dan
rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Dari sisi lingkungan, pelestarian lingkungan hidup secara nyata
dapat mendukung keberlanjutan pembangunan. Dengan
terlindunginya alam dan lingkungan, maka sumber daya alam
sebagai aset pembangunan akan terus tersedia untuk
mendukung aktivitas masyarakat. Pelestarian hutan dan lahan,
menjaga ketersediaan air, energi, keanekaragaman hayati,
sumber daya kelautan dan pesisir, mempertahankan kualitas air
dan udara, serta kesehatan ekosistem DAS untuk mendukung
seluruh aktivitas manusia maupun alam, merupakan kewajiban
setiap pihak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim
lokal maupun global. Penciptaan dan pemanfaatan teknologi
dan energi ramah lingkungan menjadi bagian penting untuk
mendukung pelestarian ini.
~ 38 ~
Lingkungan dan Keadilan

Dari sisi ekonomi, kinerja pembangunan yang hanya berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi tidak mampu menjawab
permasalahan pembangunan. Kesenjangan pembangunan
banyak dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia karena
adanya perbedaan kepentingan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat sebagai obyek
pembangunan. Kebijakan Nasional tidak sepenuhnya dapat
menjamin kepentingan lokal, demikian pula sebaliknya.
Kebutuhan Pendapatan Asli Daerah dan kebutuhan Penerimaan
Pajak Nasional sering kali berbenturan atau justru mempercepat
eksploitasi sumber alam sebagai bagian dari mengejar
pendapatan demi pembiayaan pembangunan. Investasi
didorong dengan tujuan pembangunan namun sekaligus
menciptakan permasalahan pembangunan.
2. Indikator Pembangunan
Dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat lokal baik akibat
adanya perubahan iklim ataupun akibat pembangunan yang buruk
(bad policy or corrupt policy) sangat tidak menguntungkan bagi
masyarakat lokal. Minimnya pengetahuan bersamaan dengan masih
rendahnya pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal/adat,
rendahnya keberpihakan kepada mereka, semakin melemahkan
posisi mereka. Perencanaan pembangunan yang disusun
berdasarkan periode kepemimpinan kepala daerah sungguh tidak
menguntungkan meskipun Rencana Pembangunan Jangka Panjang
baik Nasional maupun Daerah (RPJPN/D) sudah disusun dan dimiliki
oleh semua Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan indikator pembangunan yang tidak mampu
mencerminkan situasi dan kondisi pencapaian hasil pembangunan
yang sesungguhnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat dan keberlanjutan pembangunan.
~ 39 ~
Lingkungan dan Keadilan
Untuk memberikan gambaran yang utuh, maka dapat dilihat dari
contoh-contoh berikut:
1) Kebijakan Ekslusif Top – Down
REDD merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbon dari
pembukaan lahan. Sosialisasi kepada masyarakat tentang REDD
sangat minim dilakukan padahal skema REDD sangat
mempengaruhi aktivitas dan mata pencaharian masyarakat.
Kebijakan penetapan area untuk kegiatan REDD otomatis akan
membatasi akses masyarakat pada sumber mata pencahariannya.
Di sisi lain, para pengusaha yang telah memanfaatkan sumber daya
hutan, khususnya kayu, dan secara significant berkontribusi pada
peningkatan emisi justru berupaya untuk bisa mendapatkan dana
REDD dan justru menyatakan bahwa mereka adalah perusahaan
yang ramah lingkungan dan mendapatkan dukungan dari
pemerintah karena dianggap lebih legal dibandingkan kelompok
masyarakat.
Dari contoh ini tampak bahwa ketidakadilan pembangunan terjadi.
Upaya perbaikan pemerintah dengan menyempurnakan program
REDD menjadi REDD+ menjadi tidak signifikan karena sudah
memberikan gambaran ketidakadilan bagi masyarakat. (Kasus Aceh
– Palangkarya).
2) Inkonsistensi kebijakan
Wilayah Kalimantan Timur sangat kaya hasil tambang. Saat dominasi
minyak bumi dan gas alam mendominasi pertumbuhan ekonomi,
~ 40 ~
Lingkungan dan Keadilan
maka pengambilannya dilakukan secara massif. Perkembangan
ekonomi di Kalimantan Timur tidak dapat dikatan berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang semula mencapai tingkat 7,42% pada
era kayu telah turun menjadi 5,41% pada era migas dan diikuti oleh
peningkatan pengangguran hingga 10%. Perpindahan sektor
unggulan ini disebabkan menurunnya stok kayu akibat penebangan
besar-besaran dan menyisakan kerusakan lahan yang luar biasa
parah. Pertumbuhan ekonomi kemudian didominasi oleh sektor
Migas. Namun seiring dengan menipisnya cadangan minyak bumi
dan gas alam, maka upaya melanjutkan pembangunan dilakukan
dengan meningkatkan kegiatan di sektor pertambangan batu bara
yang hingga kini masih massif dilakukan meskipun harga batu bara
dunia anjlok. Pergesaran dari sektor Migas ke batubara juga
menghasilkan pengangguran tinggi yaitu mencapai 12,83% pada
tahun 2007. Kondisi ini terus memburuk, tingkat pertumbuhan
ekonomi Kalimantan Timur akibat berkurangnya stok sumber daya
alam mencapai tingkat 1,59% pada tahun 2013 akibat penurunan
kontribusi sektor Migas dan anjloknya harga batubara.2
Sadar bahwa aset sumber daya alam tidak lagi dapat diandalkan
sebagai sumber pembangunan, maka upaya melakukan
transformasi ekonomi giat dilakukan untuk beralih melalui strategi
transformasi ekonomi menuju struktur ekonomi berbasis sumber
daya alam terbarukan berdasarkan transformasi sosial dan berbasis
pada pertumbuhan ekonomi hijau dan pola pembangunan rendah
karbon.
2
Bappeda Kalimantan Timur, 2013.
~ 41 ~
Lingkungan dan Keadilan
Visi pembangunan hijau telah dicanangkan di Kalimantan Timur
hingga tahun 2030. Upaya ini tidak sepenuhnya akan terwujud
mengingat Pemerintah Pusat masih menetapkan bahwa Kalimantan
Timur sebagai lumbung pangan dan lumbung energi nasional.
Kegiatan perkebunan kelapa sawit dan penambangan mineral
masih tetap menjadi primadona.
3) Kebijakan Spatial
Pulau Jawa merupakan wilayah yang subur dan cocok untuk
kegiatan pertanian karena kondisi tanahnya dan ketersediaan air
yang memadai. Pencetakan sawah termasuk bendungan dan
irigasinya telah dilakukan oleh Pemerintah sejak lama. Namun
dengan adanya pergeseran arah pembangunan, maka Pulau Jawa
bergeser menjadi daerah industri dan bisnis. Alih fungsi sawah
banyak terjadi di berbagai tempat. Hilangnya investasi pemerintah
yang telah dikeluarkan untuk keperluan irigasi dan persawahan
tidak pernah dihitung sebagai bagian dari harga jual tanah sawah.
Kebutuhan pangan yang tetap tinggi dan meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk menjadi permasalahan baru bagi
pemerintah karena terbatasnya lahan pertanian. Upaya yang
dilakukan salah satunya adalah membuka sejuta lahan gambut di
Kalimantan Tengah untuk dijadikan areal pertanian meskipun
terbukti gagal, dan yang terakhir adalah upaya pembangunan MIFEE
(Merauke Integrated Food and Energy Estate), padahal budaya
setempat bukanlah budaya bertani, melainkan budaya berburu.
Sekitar 2,5 juta hektar lahan dialokasikan untuk Proyek MIFEE dan
sudah beberap perusahaan besar melakukan investasi untuk
mendapatkan konsesi kayu, pangan, dan produksi biofuel. Potensi
~ 42 ~
Lingkungan dan Keadilan
masalah yang timbul adalah konflik sosial masalah kepemilikan
lahan, meningkatnya jumlah migrasi yang melihat adanya peluang
pekerjaan di Kabupaten Merauke, ketimpangan sosial antara
masyarakat asli dan pendatang3.
4) Pembangunan Perkotaan yang Tidak Sesuai
Keterbatasan lahan menjadi isu utama untuk dapat menampung
seluruh kegiatan pembangunan dan pertambahan jumlah
penduduk. DKI Jakarta menjadi salah satu contoh nyata. Reklamasi
lahan di wilayah Utara dilakukan untuk menambah luas wilayah
guna menambah areal permukiman. Kegiatan ini jelas akan
mempengaruhi ekosistem laut, menggusur nelayan dan seluruh
mata pencahariannya, mengubah ekosistem mangrove yang
memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dan daratan.
Ironisnya, perumahan yang dibangun adalah perumahan kelas
menengah ke atas di mana para pemiliknya sebagian besar mampu
membeli rumah di bagian lain dari Jakarta atau menjadikannya
sebagai rumah kedua. Tujuan kebijakan untuk mengatasi masalah
perumahan tidak terjawab, sedangkan permasalahan lingkungan
justru menjadi masalah baru yang harus dicari solusinya seperti
meluapnya air pantai sepanjang jalan tol menuju bandara bila musim
hujan sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat dan
udara, meningkatnya luas area intrusi air laut ke wilayah Jakarta
lainnya. Kerugian akibat kerusakan lingkungan ini harus ditanggung
3
Meauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) Project, Forest
Peoples Programme, www.forestpeoples.org
~ 43 ~
Lingkungan dan Keadilan
oleh pemerintah dan masyarakat terkena dampak tanpa jelas
penyelesaiannya.
5) Kebakaran Hutan
Bencana asap akibat kebakaran hutan yang berulang setiap tahun
belum dapat diatasi secara tuntas. Awalnya bencana musiman ini
ditudingkan langsung kepada masyarakat yang membuka ladang
dengan membakar hutan, meskipun sekarang tudingan itu sekarang
diperluas kepada para pengusaha perkebunan yang juga secara
sengaja membuka lahan dengan membakar.
Kadin Riau memperkirakan kerugian akibat kebakaran hutan yang
telah menyebabkan bencana asap di Riau pada bulan September
2015 mencapai Rp 20 trilyun karena telah melumpuhkan ekonomi
Riau selama sebulan dihitung dari potensi kerugian sekitar 8% dari
Produk Domestik Bruto (PDRB) Riau, khususnya dari sektor
perkebunan dan kehutanan, jasa-jasa, perhotelan dan perdagangan
yang menyumbang 48% PDRB Riau4.
Kesulitan mengungkap siapa yang harus bertanggung jawab muncul
manakala pihak perusahaan yang dianggap melakukan kelalaian
sulit ditemui karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki
kantor di lokasi terjadinya kebakaran. Hal termudah dilakukan
adalah kembali menuding masyarakat sebagai pelakunya. Kerugian
karena kebakaran ini luar biasa besar baik secara ekonomi, sosial,
dan lingkungan.
4
“Kadin: Kebakaran Hutan Rugikan Ekonomi Riau Rp 20 Trilyun”, CNN
Indonesia, 15 September 2015.
~ 44 ~
Lingkungan dan Keadilan
Berdasarkan contoh-contoh tersebut tampak jelas bahwa indikator
pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan
ekonomi sangat tidak relevan. Pembangunan harus mampu
menjawab kebutuhan keberlanjutannya dan menjawab sedikitnya
lima capaian utama5, yaitu:
a)
b)
c)
d)
e)
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
ekosistem yang sehat dan produktif,
pertumbuhan yang menyeluruh dan merata,
ketahanan sosial dan lingkungan hidup,
pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kelima capaian ini harus mendapatkan bobot yang sama di dalam
setiap kebijakan dan rencana pembangunan yang akan ditetapkan
sehingga arah dan tujuan pembangunan tidak lagi berdimensi
jangka pendek melainkan jangka panjang dan mencakup seluruh
aspek pembangunan. Cadangan dan perubahan cadangan
sumberdaya alam harus dicatat dan dijadikan dasar kebijakan
pemanfaatannya sehingga tidak terjadi pengambilan cadangan
sumberdaya alam yang berlebihan yang ditunjukkan melalui
kerusakan lingkungan yang terjadi.
Kinerja pembangunan ekonomi juga harus dihitung berdasarkan
perhitungan yang tepat di mana pengambilan asset sumberdaya
alam harus dihitung sebagai penyusutan modal alam yang
dikurangkan dari nilai tambah hasil produksinya. Kerusakan
lingkungan yang memerlukan biaya perbaikan harus dipisahkan pula
dari kenaikan nilai tambah sektor produksi. Dengan demikian,
kinerja ekonomi benar-benar ditunjukkan melalui nilai murni
5
Global Green Growth Institute, Indonesia: Towards Green Growth,
2015.
~ 45 ~
Lingkungan dan Keadilan
pembangunan yang mampu
masyarakat yang sesungguhnya.
menunjukkan
kesejahteraan
3. Upaya Masyarakat dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan
Upaya untuk mengelola lingkungan dan memperbaiki kerusakannya
sudah banyak dilakukan di Indonesia baik murni dilakukan oleh
kelompok masyarakat maupun dilakukan bersama dengan
pemerintah melalui peningkatan kapasitas masyarakat. Upaya
penguatan efektifitas Peran Organisasi Kemasyarakatan menuju
Lingkungan Hidup yang Adil dan Lestari mendapat dukungan dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Inisiatif yang
tumbuh dari kesadaran masyarakat ini akan diperkuat sehingga
menjadi kekuatan mandiri untuk menjaga, melindungi, dan
mengelola sumber daya alam dan lingkungan melalui kerjasama
dengan berbagai pihak.6 Sinergitas gerakan LSM merupakan modal
yang kuat untuk melakukan pengawasan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Gerakan tersebut
dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bidang, seperti:
a) pembaharuan agraria,
b) penguatan masyarakat adat,
c) konservasi, rehabilitasi, dan perlindungan terumbu karang,
d) konservasi, rehabilitasi, dan perlindungan ekosistem mangrove,
e) konservasi keanekaragaman hayati dan ekologi,
f) jaringan pemantau dan penyelamatan hutan,
g) kemitraan di bidang pendanaan lingkungan,
h) lembaga pemantau perkebunan kelapa sawit,
i) lembaga penyelamatan air.
6
Konsolidasi Nasional Jaringan Organisasi Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, www.menlh.go.id
~ 46 ~
Lingkungan dan Keadilan
Berbagai gerakan ini tumbuh karena kebutuhan perlindungan alam
dan lingkungan dirasakan sangat mendesak dan pemerintah
memiliki keterbatasan untuk dapat menyelesaikan semua
permasalahan lingkungan yang ada. Selain itu, desakan global untuk
perlindungan juga sangat kuat. Sebagai contoh, terwujudnya
perjanjian kemitraan sukarela yang bertujuan untuk melegalisasi
kayu yang dihasilkan oleh negara-negara penghasil kayu sehingga
konsumen tidak lagi membeli kayu illegal. Upaya ini memberikan
manfaat ganda karena pembalakan liar dapat dikurangi, kerusakan
lingkungan dapat diminimalkan, kerugian negara dan masyarakat
yang tinggal di kawasan hutan dapat berkurang pula, dan terbentuk
pusat-pusat informasi kehutanan. Kementerian Kehutanan dan
Komisi Eropa telah bekerjasama dalam bidang ini dan memberikan
sumbangan pendanaan €15 juta. 7 Dari sisi antisipasi perubahan iklim
dilakukan upaya untuk mengembangkan energi terbarukan,
pendampingan dan proyek percontohan yang dilakukan bersama
dengan LSM dan organisasi penelitian terkait penurunan emisi dan
deforestasi, pengelolaan hutan lestari, dan sebagainya.
Keberpihakan pemerintah terhadap kelompok pengusaha dan
upaya mengutamakan tujuan pembangunan yang lebih bersifat
makro mendapat berbagai masukan dan tentangan. Sebagai contoh
kuat adalah gerakan penguatan masyarakat adat karena upaya
untuk mengikutsertakan mereka di dalam pengambilan kebijakan
pemerintah sangat terbatas. Lembaga masyarakat adat semakin
tumbuh dan berkembang karena mereka merasa telah kehilangan
legitimasinya. Berbagai tekanan sudah dirasakan oleh masyarakat
adat sejak dikeluarkannya UU N0 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, UU No 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, UU Pertambangan, dan berbagai UU lainnya
terkait kawasan hutan. Penguatan status hutan adat telah dilakukan
7
eeas.europa.eu
~ 47 ~
Lingkungan dan Keadilan
sehingga yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan Hutan Adat
statusnya berdiri sendiri, tidak disatukan ke dalam Hutan Hak.
Penguasaan hutan oleh negara harus memperhatikan hak
masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Upaya-upaya ini
diperkuat lagi melalui UUPengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat.
Upaya masyarakat untuk membangun kekuatan kolektif masyarakat
adat dilakukan sebagai upaya untuk merevitalisasi kehidupan
lembaga dan memperkuatnya sehingga keterwakilannya di dalam
penyusunan kebijakan pemerintah baik mulai dari penataan ruang
hingga pelaksanaannya dapat diakui dan diakomodasi. Kebijakan
yang hanya bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan
menciptakan ancaman bencana alam seperti yang banyak terjadi
karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit skala besar,
pertambangan, dan penebangan kayu harus dibatasi dan
diutamakan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat adat yang
mata pencaharian dan sumber penghidupannya berada di kawasan
hutan yang sama.
Jaminan perlindungan keberlanjutan kehidupan bagi masyarakat di
kawasan hulu juga harus diperhatikan. Bencana alam seperti
longsor, banjir, dan kekeringan akibat rusaknya ekosistem DAS tidak
hanya ditudingkan kepada masyarakat yang tinggal di kawasan hulu.
Alih fungsi lahan yang dilarang tidak hanya sebatas larangan
melainkan harus diperhatikan juga bagaimana larangan tersebut
tidak mengurangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan
penghasilan. Oleh karena itu konsep insentif dan disinsentif harus
diterapkan guna menghasilkan pengelolaan lingkungan yang sesuai.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan
konsep Pembayaran Jasa Lingkungan, di mana penghasil jasa
~ 48 ~
Lingkungan dan Keadilan
lingkungan berhak mendapatkan insentif dari penerima manfaat.8
Praktek ini sudah mulai banyak dilakukan di berbagai daerah seperti
di Cidanau antara masyarakat dengan PT Krakatau Tirta Industri,
Jasa Tirta, PDAM Mataram, Cirebon-Kuningan untuk air bersih, PLTA
Singkarang, dan sebagainya.
Penerapan konsep Pembayaran Jasa Lingkungan memberikan
manfaat sangat luas bagi masyarakat maupun keberlanjutan
ekosistem DAS. Dengan tertatanya lingkugnan maka ketersediaan
air untuk industri, irigasi, transportasi sungai, pembangkit listrik
hydro, dan kegiatan wisata alam dapat terjamin. Keberlanjutan
kehidupan dan keberlanjutan pembangunan dengan terlindunginya
sumber dan daerah tangkapan air dapat menjamin ketersediaan air
baik secara kuantitas maupun kualitas. Kompensasi bagi masyarakat
di wilayah hulu untuk kegiatan konservasi dan efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam baik di hulu maupun di hilir juga dapat dilakukan.
Secara tidak langsung, pengakuan hak masyarakat atas kawasan
yang dikelolanya juga dapat diperoleh.
Upaya-upaya ini akan berhasil apabila kesadaran masyarakat
dibangun dan ditumbuhkan dan dikonsolidasikan sebagai kekuatan
masyarakat di berbagai sektor. Kemampuan masyarakat untuk
mengatasi berbagai permasalah lingkungan ditingkatkan melalui
peningkatan kapasitas, dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan dan kebijakan pemerintah, dan dipercaya serta didukung
untuk membangun kemandirian ekonomi kerakyatan.
8
Pirard Romain, Raphael Bille, PES: A Reality Check (stories from
Indonesia), IDDRI, No 3/June 2010.
~ 49 ~
Lingkungan dan Keadilan
Contoh 1: Pembayaran Jasa Lingkungan di Cidanau
Sumber: PES Scheme implemented in the Cidanau Watershed, Indonesia,
TEEB case by E. Mbak (2010), TEEBweb.org
DAS Cidanau terletak di Jawa Barat yang menyokong kebutuhan air
bersih untuk sekitar 30.767 penduduk si Cilegon dan sekitar 100
industri. DAS Cidanau meliputi 22.260 ha termasuk di dalamnya
adalah Rawa Danau seluas 2000 ha dengan 131 spesies endemic,
serta merupakan satu-satunya hutan rawa dataran rendah yang
tersisa di Pulau Jawa.
Degradasi DAS Cidanau dan Danau Rawa sangat tinggi akibat
tingginya alih fungsi lahan dan pencemaran, sehigga kuantitas dan
kualitas air menjadi sangat buruk karena sedimentasi dan
pencemaran dengan perbedaan fluktuasi debit air yang sangat
tinggi yaitu 1,2 m3 per detik pada musim kemarau dan 44m3 per detik
pada musim penghujan.
Untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah Forum Komunikasi
DAS Cidanau (FKDC) dan difasilitasi oleh LSM lokal dan LP3ES untuk
menghitung dan menilai jasa lingkungan DAS Cidanau. Konsep
Pembayaran Jasa Lingkungan akan terdiri dari dua pemain yaitu
penyedia jasa dan pemanfaat jasa. Penyedia jasa di DAS Cidanau
adalah masyarakat petani yang tinggal di hulu DAS Cidanau,
sedangkan pemanfaat jasa adalah penduduk yang tinggal di hilir dan
industri. Saat ini hanya ada 1 pemanfaat jasa yang terlibat dalam
Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau yaitu
Krakatau Tirta Industri yang menggunakan air untuk kegiatan
industri baja.
Mekanisme pelaksanaannya adalah KTI membayar biaya
penanaman kembali hutan di hulu DAS Cidanau seluas 100 ha
~ 50 ~
Lingkungan dan Keadilan
sebesar $ 350 per ha per tahun yang dituangkan dalam MoU antara
KTI dan FKDC yang diwakili oleh Gubernur Banten. Distribusi dana
kepada masyarakat dikelola oleh FKDC. Besarnya pembayaran akan
disesuaikan dengan target keberhasilan penanaman dan
pemeliharaan per tahun. Dana yang dibayarkan termasuk digunakan
untuk pengembangan kapasitas masyarakat mengelola hutan dan
hasil hutan non kayu, mengidentifikasikan pemanfaat lain selain KTI,
penyebaran informasi, dan monitoring. Dana yang digunakan KTI
diambilkan dari dana CSR.
Contoh 2: Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Melawan
Perusakan dan Alih Fungsi Hutan Mangrove di Langkat, Sumatera
Utara.
Sumber: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, 9 September 2013
Upaya penyelamatan hutan mangrove sangat gencar
dikampanyekan. Mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi,
pengolah limbah alami sehingga mencegah masuknya polutan dari
darat menuju perairan, dan sebagai tempat pemijahan biota laut
seperti ikan, udang, kepiting sebagai mata pencaharian nelayan.
Upaya masyarakat di Kabupaten Lahat untuk mencegah terjadinya
konversi hutan kawasan ekosistem mangrove terus dilakukan,
namun sejak tahun 2008 alih fungsi kawasan mangrove terus
dilakukan oleh perkebunan sawit skala besar untuk dijadikan
kawasan kebun kelapa sawit seluas 1.200 ha. Konflik terjadi antara
perusahaan dan masyarakat hingga mengarah pada ancaman dan
intimidasi serta pengrusakan bibit mangrove yang telah disiapkan.
Upaya masyarakat melaporkan dan membawa kasus ini kepada
aparat penegak hukum baru mendapat tanggapan setelah 5 tahun
~ 51 ~
Lingkungan dan Keadilan
yaitu dari 2008 hingga 2013 dengan dugaan melanggar Pasal 17 jo
Pasal 46 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yaitu pidana
kejahatan melakukan usaha perkebunan kelapa sawit tanpa ijin
dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak Rp 2 milyar.
Penegakan hukum perlindungan terhadap lingkungan masih lemah.
Dari kasus di atas sesungguhnya pelanggaran yang dilakukan selain
melanggar UU No 18 tahun 2004 juga dapat dikenakan pasal
berlapis, yaitu:
 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena mengerjakan
dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan
secara tidak sah dan merambah kawasan hutan.
 UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau=Pulau Kecil yaitu dilarang melakukan konversi ekosistem
mangrove, menebang mangrove, melakukan kegiatan industri
di kawasan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi
ekologis pesisir.
 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup karena tindakan perusakan lahan dan upaya
menghalang-halangi inisiatif penyelamatan mangrove.
Contoh 3: Aksi Masyarakat untuk Penyelamatan Sungai Ciliwung
Sumber: Aksi Masyarakat untuk Penyelamatan Sungai Ciliwung,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Komunitas Ciliwung Puncak, 2014
Sungai Ciliwung menjadi salah satu dari tiga belas sungai prioritas
nasional 2010 -2014 karena kerusakan ekosistemnya telah
mengalami kerusakan tinggi akibat menurunnya tutupan hutan di
wilayah DAS Ciliwung dan kualitas air sungai memiliki beban
~ 52 ~
Lingkungan dan Keadilan
pencemaran tinggi. 80% sumber pencemaran berasal dari limbah
domestik, sisanya berasal dari usaha peternakan dan pertanian skala
kecil dan kegiatan industri. Pembuangan sampah ke sungai juga
merupakan penyumbang penurunan kualitas sungai Ciliwung.
Berbagai aksi penyelamatan sungai Ciliwung telah dilakukan
bersama antara Pemerintah dan masyarakat dalam berbagai bentuk
aksi bersama. Komunitas pegiat penyelamatan Ciliwung telah
dideklarasikan pada tanggal 11 November 2011 sekaligus menjadi
ajang kampanye penyelamatan kawasan sungai yang melintas
wilayah Puncak, Depok, dan Jakarta. Bentuk kegiatannya antara lain
berupa aksi bersama membersihkan gunung sampah, berkemah di
pinggir sungai, diskusi santai dan pemutaran film documenter
mengenai Sungai Ciliwung, menyusuri sungai, memulung sampah,
menanam pohon, apresiasi seni, sarasehan, dan pameran industri
kreatif produk lokal. Beberapa komunitas juga telah terbentuk
seperti:
 Komunitas DAS Ciliwung MAT PECI (Masyarakat Peduli
Ciliwung),
 Komunitas Peduli Ciliwung (KP) Bogor,
 Komunitas Ciliwung Condet,
 Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak yang diinisiasi oleh
P4W IPB dab Forest Watch Indonesia,
 Ciliwung Institute.
4. Penutup
Dari uraian yang disampaikan, tampak bahwa Pemerintah sebagai
pelaksana pembangunan belum dapat sepenuhnya menjalankan
tugasnya dalam menjamin kesejahteraan masyarakat melalui
pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan. Pemerintah belum
secara penuh dapat menjalankan fungsinya sebagai penyedia jasa
~ 53 ~
Lingkungan dan Keadilan
publik termasuk menjaga fungsi ekosistem demi keberlanjutan
pembangunan. Kepentingan pembangunan yang dititikberatkan
pada pemenuhan sektor ekonomi terbukti tidak dapat menjamin
keberlanjutan pembangunan.
Pembangunan yang seringkali mengabaikan masyarakat dan fungsi
lingkungan telah terbukti menimbulkan biaya pembangunan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya. Masyarakat sebagai
korban pembangunan dan kerusakan ekosistem dan habitat satwa
justru dianggap sebagai musuh pembangunan. Ketimpangan ini
harus segera diatasi secara bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Komunitas-komunitas masyarakat yang timbul sebagai
upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan harus didukung
sepenuhnya oleh pemerintah maupun oleh para pengusaha dalam
bentuk kemitraan.
~ 54 ~
Lingkungan dan Keadilan
Pengalaman Mengembangkan Eco Camp
Ferry Sutrisna Wijaya, Pr.1
Pengantar
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan di lingkungan APTIK. Saya seorang imam diosesan biasa, yang
berkat inisiatif Almarhum Pastor B. Herman Joedianto, OSC, diajak
masuk Universitas Katolik Parahyangan tahun 1999 sepulang saya
dari Manila. Itulah awal perkenalan saya dengan dunia pendidikan.
Pengalaman di Unpar dan APTIK, yang bahkan diperluas dengan
mengikuti berbagai kegiatan ACUCA, sungguh memperkaya saya.
Terima kasih untuk Unpar. Terima kasih APTIK.
Tahun 2002 saya ikut bergabung dengan Spirit Camp yang
menyediakan berbagai program pendidikan untuk anak-anak di
alam terbuka. Pengalaman 12 tahun mengembangkan Spirit Camp
yang
kemudian
bertransformasi
menjadi
Eco
Camp
(www.ecolearningcamp.org) itulah yang dijadikan bahan studi lanjut
di UPI. Perjalanan Eco Camp yang sekarang menginjak tahun ke-14
itulah yang saya ingin disharingkan dalam Hari Studi APTIK 2015 ini.
Semoga sharing ini dapat menjadi inspirasi bagi para peserta.
1
Dr. Ferry Sutrisna Wijaya, Pr. adalah pengembang Spirit Camp yang di
kemudian
hari
bertransformasi
menjadi
Eco
Camp
(www.ecolearningcamp.org). HP : 0811-223277 ; 08170-223277; email:
[email protected].
~ 55 ~
Lingkungan dan Keadilan
Berkaitan dengan tema Hari Studi APTIK 2015 “Lingkungan dan
Keadilan”, ensiklik Laudato Si’ yang diterbitkan Paus Fransiskus 18
Juni 2015 memberi landasan iman, etik, dan moral yang sangat kuat
bagi kita semua. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa perjuangan
lingkungan hidup tidak terpisahkan dari perjuangan keadilan,
khususnya untuk mereka yang miskin dan lemah.
1.
Spirit Camp Menjadi Eco Camp (2002-2015)
Spirit Camp didirikan tahun 2002 oleh Shierly Megawati dkk. dengan
payung Yayasan Sahabat Anak dengan motivasi untuk menyediakan
tempat dan kegiatan bermain bagi anak-anak di alam terbuka.
Selama tujuh tahun Spirit Camp berlokasi di daerah Ledeng yang
berakhir karena diusir oleh pemilik lahan yang ingin mengelola
sendiri lahan bermain anak-anak di lahan tsb. Lalu Spirit Camp
menjadi Spirit Camp Educity atau Spice di Kota Baru Parahyangan
selama lima tahun.
Selama 12 tahun itu ada berbagai kegiatan bermain dengan tema
permainan tradisional, sulap versus science, rabbit days, dll. Salah
satu kegiatan terbesar adalah Gerakan Aku Cinta Air yang
melibatkan 150 sekolah (TK dan SD) dan diakhiri dengan Olimpiade
Air. 12 pemenangnya diajak study tour 3 hari ke Singapura
mengunjungi Science Center, Discovery Center, Newater, Marina
Barrage, dll. Langganan paling sering dan paling banyak mengirim
peserta adalah SMAK 1 BPK Jakarta selama 7 tahun berturut-turut.
Peserta program Science Camp dan Social Camp selama 2 hari
berjumlah antara 200-250 siswa. Program serupa dalam bentuk
~ 56 ~
Lingkungan dan Keadilan
Kompas Fun Science Camp ditangani Spirit Camp selama 3 hari untuk
300 anak usia 9-11 tahun di Kota Baru Parahyangan.
Tahun 2012, kami diundang untuk membantu Balai Pengelola Taman
Hutan Raya Djuanda di Bandung untuk menyediakan berbagai
program pendidikan. Selama 2 tahun dibantu Unpar kami menyusun
Master Plan Pengembangan Tahura Djuanda untuk 35 tahun. Sayang
perjanjian kerjasama tripartit selama 3 tahun (2012-2015) tersebut
berakhir karena tidak dapat diteruskan lebih lanjut. Semua
pengalaman bersama Spirit Camp dan anak-anak selama dua belas
tahun itu kemudian dijadikan topik untuk studi lanjut di UPI dan
dikembangkan dalam konsep pendidikan lingkungan hidup yang
diberi nama Eco Learning Camp.
Tahun 2013, dalam rangka mewujudkan Eco Learning Camp di Tahura
Djuanda, Yayasan Sahabat Anak bertransformasi menjadi Yayasan
Sahabat Lingkungan Hidup. Ada dua belas pendiri yang dilibatkan
dari berbagai latar belakang. Ada ibu Popong Otje Djundjunan yang
anggota DPR dan sesepuh masyarakat Jabar. Ada pengusaha
seperti Bapak Edwin Soeryadjaya (Saratoga, William Soeryadjaya
Foundation), Ibu Martha Tilaar (Martha Tilaar Group), Bapak Agus
Dharma (Gulaku), Almarhum Bapak Teguh Satria (REI), dan pak
Hody Kuntohadi (L J Hooker). Ada Bapak Tono Suratman (ketua
KONI Pusat), Bapak Djoko Kusumowidagdo (Outward Bound
Indonesia), dan Bapak Alexander Iskandar (dosen fisika ITB). Dan
ada dua orang imam , yaitu: Romo A. Sarwanto SJ (Ketua Yadapen)
dan saya. Pendiri paling senior adalah Ibu Teko Sukarmin, yang
dalam usia 84 tahun, masih berperan aktif sebagai trainer dalam
~ 57 ~
Lingkungan dan Keadilan
bidang pengembangan diri dan protokoler. Yayasan Sahabat
Lingkungan Hidup juga mengikutsertakan banyak dosen dari Unpar,
ITB, UPI, Unpad, Polban, dll., serta didukung berbagai pihak selain
pendiri yang peduli seperti Soho Global Health, Ultra dan Campina,
dan The Body Shop. Eco Camp juga bekerja sama dan dipakai untuk
kegiatan WWF, Greeneration, dan Peace Generation. Selama satu
tahun masa operasionalnya, Eco Camp dikunjungi dan dipakai untuk
berkegiatan oleh lebih dari 6000 orang dari Medan sampai Papua,
dari kegiatan yang hanya beberapa jam sampai maksimum program
sepuluh hari.
Pertanyaan studi: Bagaimana caranya agar para anggota
APTIK mau menggunakan fasilitas dan tempat yang sudah
dimiliki atau mencari fasilitas dan tempat baru yang dapat
digunakan untuk membangun kerja sama empat pilar
(akademik, masyarakat, pemerintah, dan pengusaha) dalam
bidang pendidikan lingkungan hidup yang dapat membawa
manfaat untuk masyarakat luas ?
2. Green Building dan Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis
Terbitnya ensiklik Laudato Si’ dari Paus Fransiskus pada tanggal 18
Juni 2015 memberi kepada Eco Camp dukungan secara etik maupun
moral bahkan iman bagi kita semua. Eco Camp memang bukan
lembaga agama atau milik agama tertentu melainkan bersifat lintas
agama dan lintas lembaga.
Eco Camp dibangun sebagai Green Building dengan mengikuti
panduan Green Building Council Indonesia yang menggunakan sistem
~ 58 ~
Lingkungan dan Keadilan
rating dengan enam aspek : Tepat Guna Lahan (Appropriate Site
Development/ASD), Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency &
Refrigerant/EER), Konservasi Air (Water Conservation/WAC), Sumber
& Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC), Kualitas Udara &
Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC), dan
Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment
Management).
Dengan bantuan Ir. Bintang Nugroho (Founder GBCI) dan Dr. Yasmin
Suriansjah (GP satu-satunya dari Unpar) Eco Camp mencoba
memenuhi enam aspek tersebut namun tidak memproses
penerbitan sertifikatnya. Dari 75 point maksimum, Eco Camp
diperhitungkan mendapat 48 point atau peringkat emas atau bisa
platinum bila menambah 1 point lagi. Point tersebut diperoleh
dengan menggunakan lahan yang sudah ada bangunannya, solar cell
4000 watt, toilet hemat air, recycle air limbah dengan bio septic tank,
sebagian bahan bangunan bekas, bahan bangunan prefab dan
ramah lingkungan, kayu FSC dan kayu bekas, cat ramah lingkungan,
pencahayaan yang cukup, jalur udara yang segar, pengolahan
sampah, pengelolaan air hujan, dll.
Namun Eco Camp sebagai Rumah belajar Lingkungan Hidup tidak
cukup hanya mencoba memenuhi kriteria green building bila tidak
dilandasi green lifestyle.
Sejak mulai kegiatan operasional pada Agustus 2014, kami memilih
bidang edukasi, dan bukan gerakan nyata atau advokasi lingkungan
hidup. Dua kutipan Laudato Si’ (LS) yang sangat kuat mendukung
gerakan edukasi Eco Camp adalah:
~ 59 ~
Lingkungan dan Keadilan

LS 202: Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi
terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah
kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan
pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk.
Kesadaran mendasar ini dapat memungkinkan pengembangan
keyakinan, sikap, dan bentuk kehidupan yang baru. Jadi kita
berhadapan dengan suatu tantangan budaya, spiritual, dan
pendidikan yang besar, yang akan membutuhkan proses
pembaruan yang panjang.

LS 212: Janganlah kita berpikir bahwa upaya ini tidak akan
mengubah dunia. Tindakan-tindakan ini menyebarkan di
masyarakat suatu kebaikan yang selalu menghasilkan buah di
luar yang bisa kita lihat, karena menimbulkan suatu kebaikan di
bumi yang cenderung menyebar terus, meskipun kadangkadang tak terlihat. Selain itu, bertumbuhnya perilaku ini
mengembalikan rasa harga diri kita, membawa kita kepada
suatu kehidupan yang lebih penuh dan mendalam, yang
memungkinkan kita merasakan bahwa kehidupan di bumi ini
berharga.
Tujuh kesadaran baru hidup ekologis yang kami kembangkan di Eco
Camp adalah berkualitas, sederhana, hemat, peduli, semangat
berbagi, bermakna, dan harapan.
Dalam praktek sehari-hari di Eco Camp ketujuh kesadaran baru hidup
ekologis itu diterjemahkan menjadi berbagai perilaku, antara lain:
membawa botol minum sendiri, menghindari pemakaian kemasan
~ 60 ~
Lingkungan dan Keadilan
plastik dan styrofoam, menghemat air dan listrik, menggunakan
solar cell, mengolah air limbah dan sampah untuk digunakan
kembali, makan makanan sederhana (vegetarian), belajar pertanian
organik, memasang seprei sendiri, mencuci piring dengan cara
hemat air, dll.
Paus Fransikus mengungkapkan hal-hal di atas dalam Laudato Si’
sebagai berikut “Pendidikan dalam tanggung jawab ekologis dapat
mendorong berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung dan
signifikan untuk pelestarian lingkungan, seperti : menghindari
penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air,
pemilahan sampah, memasak secukupnya saja untuk kita makan,
memperlakukan makhluk hidup lain dengan baik, menggunakan
transportasi umum atau satu kendaraan bersama dengan beberapa
orang lain, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak perlu.
Semuanya itu adalah bagian dari suatu kreativitas yang layak dan
murah hati, yang mengungkapkan hal terbaik dari manusia.
Menggunakan kembali sesuatu daripada segera membuangnya
karena terdorong oleh motivasi mendalam, dapat menjadi tindakan
kasih yang mengungkapkan martabat kita” (LS 211).
Pertanyaan studi: bagaimana caranya agar para anggota
APTIK mengusahakan terciptanya green campus, yang
bukan hanya kampus bebas rokok, yang bukan hanya green
building, melainkan juga kampus yang melaksanakan cara
baru hidup ekologis dalam seluruh aspeknya termasuk
gedung dan cara hidup di kampus ? Lihat misalnya program
sustainability di Harvard University dan UC San Diego.
~ 61 ~
Lingkungan dan Keadilan
3. Program Eco Learning Camp
Program edukasi di Eco Camp pada hakekatnya adalah program
pendidikan nilai non formal yang disampaikan melalui wacana alam,
budaya, dan sains lewat kegiatan belajar dan bermain di alam
terbuka secara berkelompok yang menghasilkan pengetahuan,
kesadaran, dan partisipasi aktif.
Ada tiga pilar Eco Camp, yaitu: alam (nature), budaya (culture), dan
sains (science). Ada tiga nilai Eco Camp, yaitu: semangat berbagi,
penghargaan, dan tanggung jawab yang bisa dilaksanakan secara
utuh menjadikan pribadi yang memiliki integritas.
Pertanyaan studi: Bagaimana caranya agar para anggota
APTIK dapat mendirikan program global sustainability
studies yang menghubungkan berbagai prodi dengan
perspektif keberlanjutan, misalnya ekonomi lingkungan
hidup, hukum lingkungan hidup, green technology, green
science, dll. ? Lihat misalnya Graduate School of Global
Environmental Studies dari Sophia University.
4. Lingkungan dan Keadilan
Komitmen terhadap lingkungan hidup oleh Paus Fransiskus tidak
dipisahkan dari komitmen terhadap perjuangan keadilan. Dalam
Laudato Si’, Paus Fransiskus menyatakan “Tetapi hari ini, mau tak
mau kita harus mengakui bahwa pendekatan ekologis yang sejati
selalu berupa pendekatan sosial, yang harus mengintegrasikan soal
~ 62 ~
Lingkungan dan Keadilan
keadilan dalam diskusi lingkungan hidup, untuk mendengarkan
jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin (LS 49).
Salah satu masalah yang mendesak dan penting adalah masa depan
pangan. Saat ini air, laut, tanah, tumbuhan, hewan, dan makanan
kita sudah diracuni dengan berbagai bahan kimia yang berbahaya
bagi kesehatan. Sampah plastik sudah lama mengalir ke laut di
seluruh dunia. Lihatlah film Trashed dengan narator Jeremy Irons
yang menggambarkan bagaimana sampah sudah sangat merusak
seluruh dunia dan tentunya kehidupan manusia. Benih GMO sudah
masuk ke berbagai negara termasuk Indonesia. Di India sudah lebih
dari 200 ribu petani bunuh diri akibat monopoli benih. Orang miskin
tidak punya akses untuk memperoleh air bersih dan makanan sehat.
Akibat penggunaan pestisida yang berlebihan yang dipakai petani
bawang di Brebes maka wanita usia subur dan anak-anak terpapar
penyakit gondok/tiroid yang sangat tinggi. Bahkan ada SD dengan
kasus tiroid sampai 97,5 %. Artinya pertumbuhan fisik dan
kecerdasan anak-anak tersebut sangat terhambat.
Solusi menghadapi masalah pangan tersebut tentu saja adalah
pertanian organik dan lokal. Sudah saatnya kita belajar kembali
permakultur dan agroecology atau pertanian lokal terpadu sesuai
dengan karakteristik alam tiap daerah. Sebagian masyarakat juga
menunjuk gaya hidup vegetarian atau vegan sebagai salah satu
solusi cepat, mudah, segera, dan murah yang bisa dilakukan setiap
orang. Itu karena sektor industri peternakan menyumbang 18%
terhadap global warming dibandingkan sektor transportasi yang 13%.
Ditambah faktor penggundulan hutan, pemborosan air dan pakan,
~ 63 ~
Lingkungan dan Keadilan
pemborosan transportasi dan energi, apalagi ditambah faktor
akibatnya bagi kesehatan, maka sektor industri sangat
mengakibatkan tingkat pemanasan global yang semakin parah. Di
Eco Camp kami hanya menyediakan makanan vegetarian dan lokal
karena alasan ekologi, keadilan, kesehatan, dan kasih sayang. Tidak
adil bagi orang miskin bahwa industri ternak yang sudah
menghabiskan lahan, pakan, air, energi, dll yang sangat diperlukan
orang miskin, kemudian akhirnya hanya bisa dibeli orang kaya. Eco
Camp juga mempromosikan pertanian organik, penggunaan
mikroba untuk mengolah sampah organik dan menghasilkan
kompos, dan penggunaan minyak nimba untuk pupuk dan pestisida.
Mengenai pemanfaatan nimba yang merupakan pohon suci apotek
kehidupan, Eco Camp akan bekerja sama dengan berbagai lembaga,
keuskupan, perguruan tinggi, lembaga riset, LSM, dan pengusaha
agar manfaat nimba bagi pertanian dan kesehatan bisa menjangkau
banyak orang.
Pertanyaan studi: Bagaimana caranya agar para anggota
APTIK mencari jalan, usaha, cara, dan ruang publik yang baru
di mana perjuangan lingkungan hidup dikaitkan dengan
perjuangan keadilan ? Apakah dalam pilihan program studi,
pola hidup, dan kebijakan lainnya para anggota APTIK
memperhatikan jeritan bumi sekaligus jeritan orang miskin ?
Penutup
Apa yang saya sharing-kan dalam makalah ini hanya sebagian kecil
dari apa yang diperjuangkan Eco Camp. Masih ada mimpi lain
~ 64 ~
Lingkungan dan Keadilan
misalnya membangun Eco Village, green and renewable energy,
melawan industri rokok, bagaimana mengusahakan pertambangan
dan perkebunan yang sustainable, green school, green families,
rumah ibadat yang green, dll yang menjadi keprihatinan Eco Camp.
Semoga Hari Studi APTIK 2015 ini menjadi salah satu momen di mana
semakin banyak gerakan nyata lingkungan hidup. Semoga semua
anggota APTIK semakin memiliki kesadaran dan komitmen untuk
membangun kampus, program studi, dan cara hidup perguruan
tinggi yang ekologis, sustainable and green, dengan penuh
kegembiraan. Tidak ada kata terlambat untuk mulai dengan sesuatu.
Kata Paus Fransiskus, apapaun yang kita lakukan untuk bumi jangan
pernah merasa percuma.
~ 65 ~
Lingkungan dan Keadilan
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Emil Salim1
Paus Fransiskus telah menerbitkan ensiklik "Laudato Si'" yang
memuat diagnosa tentang kondisi bumi kita yang sedang dilanda
berbagai krisis lingkungan yang mengancam keberlanjutan
kehidupan manusia, seperti polusi akibat budaya sampah, polusi
yang mampu mempengaruhi perubahan iklim, semakin langkanya
air bersih, dan hilangnya keaneka-ragaman hayati. Disamping itu
kualitas hidup manusia dan sosial merosot dan ini berimbas pada
ketimpangan global.
1.
Akar Krisis Ekologi
Akar krisis ekologi terletak dalam diri manusia yang didominasi oleh
paradigma teknokratis dan peri kehidupan antroposentris sehingga
manusia "tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang berlaku,
atau sebagai tempat berlindung yang hidup." Alam menjadi obyek
untuk dieksploitasi.
Sesungguhnya semua saling terkait sebagai berbagai komponen
dari suatu ekologi integral mempertautkan ekologi ekonomi, sosial
dan ,ingkungan. Ekologi manusia tidak terlepas dari gagasan
kesejahteraan umum sebagai pemersatu dalam etika sosial. Konsep
1
Prof. Dr. Emil Salim adalah Guru Besar FE UI, berperan sebagai Menteri
Lingkungan Hidup di zaman Orde Baru, dan kini dikenal sebagai pakar di
bidang lingkungan hidup.
~ 66 ~
Lingkungan dan Keadilan
kesejahteraan umum juga meluas ke generasi masa depan. Kita
tidak bisa bicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa
solidaritas antar-generasi. Karena bumi yang kita huni adalah juga
milik generasi mendatang.
Dunia macam apa ingin kita tinggalkan untuk generasi depan?
Terselip disini kesadaran bahwa yang dipertaruhkan adalah
martabat kita sendiri. Kitalah yang pertama-tama berkepentingan
mewariskan planet yang layak huni bagi generasi selanjutnya. Tak
kurang penting bukan hanya memikirkan kaum miskin masa depan,
tetapi juga perlu ditanggulangi kaum miskin sekarang ini. Maka
selain solidaritas yang adil antar-generasi, juga mendesak
membaharui solidaritas intra-generasi.
Dalam berusaha menanggulangi berbagai kerusakan lingkungan ini,
perlu dikembangkan beberapa jalur dialog yang dapat membawa
kita keluar dari spiral kehancuran manusia dan lingkungan. Berbagai
dialog tentang lingkungan sudah dilaksanakan dalam forum politik
internasional, seperti Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro (1992), disusul dengan Konferensi PBB tentang
Pembangunan Berkelanjutan "Rio+20" di Rio de Janeiro, 2012. Juga
di dalam negara-negara berlangsung dialog untuk kebijakan baru
nasional dan lokal yang menghasilkan proses transparansi pada
pengambilan keputusan di tingkat proyek.
Pada saat kesejahteraan umum dibahas, tumbuh kebutuhan
mendesak agar politik dan ekonomi secara tegas diabdikan pada
kehidupan, terutama kehidupan manusia. Krisis keuangan 20072008 terbukti tidak ditanggapi dengan meninjau-ulang kriteria
usang yang terus memerintah dunia. Gelembung keuangan
~ 67 ~
Lingkungan dan Keadilan
umumnya juga menjadi gelembung produksi. Dalam konteks ini,
perlindungan lingkungan tidak dapat dijamin semata-mata atas
dasar perhitungan finansial tentang "biaya-dan-manfaat".
Lingkungan tidak dilindungi secara memadai oleh mekanisme
"pasar". Perlu dibuang kesan tentang pasar bahwa masalah akan
terselesaikan dengan meningkatkan keuntungan perusahaan dan
individu. Dalam pola fikir profit, tak ada ruang untuk berfikir tentang
irama alam, regenerasi alamiah atau kompleksitas ekosistem yang
diubah oleh ulah manusia. Keanekaragaman hayati dianggap
sebagai sumber daya alam untuk dieksploitasi, tanpa memahami
fungsi hakikinya.
Karena itu perlu "mengubah model pembangunan global,
merefleksi tanggung jawab atas makna ekonomi dan tujuannya dan
memperbaiki kesalahan dalam fungsi dan applikasinya". Kita juga
butuhkan politik berpandangan luas bisa mengajukan pendekatan
komprehensif dan mampu mengintegrasikan berbagai aspek dari
krisis ke dalam suatu dialog interdisipliner. Seringkali politik itu
sendiri bertanggung-jawab atas hilang wibawa dan reputasinya
karena korupsi dan buruknya kebijakan publik.
Bila ekonomi terobsesi dengan keuntungan ekonomi belaka dan
politik terobsesi untuk mempertahankan dan meningkatkan
kekuasaannya, maka hasilnya adalah rangkaian konflik yang
merusak lingkungan dan kegagalan melindungi yang lemah. Oleh
karena itu maka kesadaran terhadap ancaman krisis budaya dan
ekologi harus diterjemahkan ke dalam adat kebiasaan baru.
Sehingga lahirlah kebutuhan akan pendidikan lingkungan untuk
menciptakan "kewarganegaraan ekologis" menumbuhkan perilaku
~ 68 ~
Lingkungan dan Keadilan
yang memungkinkan kita menghayati kesadaran bahwa kehidupan
di bumi ini berharga. Dalam kaitan inilah "hubungan antara
pendidikan estetika yang tepat dan pelestarian lingkungan tidak
boleh diabaikan." Pendidikan yang efektif adalah yang mampu
menyebarkan cara berfikir baru tentang manusia, kehidupan,
masyarakat dan hubungan kita dengan alam. Menghayati panggilan
untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan
yang saleh. Demikian pokok-pokok fikiran Paus Fransiscus dalam
Ensiklik Laudato Si' tentang Perawatan Rumah Kita Bersama.
2. Merawat Rumah Kita Bersama
Dalam melaksanakan pembangunan Indonesia sangatlah penting
untuk menghayati semangat dan orientasi pembangunan "Merawat
Rumah Kita Bersama", terutama dalam menanggapi tantangan
pembangunan bangsa di masa depan menjelang 100 tahun usia
Republik Indonesia di tahun 2045.
Tantangan pertama adalah menanggapi dampak demografi pada
pembangunan. Penduduk Indonesia akan meningkat dari 230 juta
(2012) ke 316 juta jiwa (2050). Sedangkan penduduk global akan naik
dari 7 milyar (2012) ke 9 milyar (2050). Pertumbuhan penduduk
Indonesia ini mendorong naiknya ekonomi menghasilkan
Produk Domestik Bruto US$ 3.500 per orang (2012) ke US$ 14.500
per orang (2050); Sedangkan Produk Global Bruto naik dari US$ 70
trilliun 2012) ke 200 trilliun (2050). Jika kenaikan Produk Domestik
Bruto (PDB) diusahakan "business as usual" menurut pola
pembangunan konvensional akan memberi tekanan besar dan
melampaui "bio-kapasitan" tanah-air Indonesia dan bumi sejagat.
~ 69 ~
Lingkungan dan Keadilan
Jika ditelusuri Produksi PDB menurut pulau maka tampak bahwa:
1. Jawa hasilkan 57% PDB Nasional, DKI Jakarta saja 16%;
2. Sumatera hasilkan 24%, Riau saja 7%;
3. Kalimantan hasilkan 10%, Kalimantan Timur saja 7%;
4. Sulawesi hasilkan 4%, Sulawesi Selatan saja 2%;
5. Bali dan Nusa Tenggara hasilkan 3%, Bali saja 1,24%;
6. Maluku dan Papua hasilkan 2,2%, Maluku saja 0,3%;
Praktis 82% PDB Indonesia dihasilkan oleh pulau-pulau JawaSumatera dan Bali yang terletak di bagian barat Indonesia dan sisa
PDB dihasilkan oleh kepulauan bagian timur Indonesia. Dan
ketimpangan pendapatan juga terdapat di dalam satuan pulau
masing-masing.
Ketimpangan pembangunan PDB Indonesia diikuti ketimpangan
dalam pembagian pendapatan. Bila garis-kemiskinan rata-rata
nasional adalah 11,96% (2012) maka propinsi yang menderita
persentase penduduk miskinya di atas rata-rata nasional adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Papua
31,11%;
Papua Barat
28,2%
Maluku
21,78%
Nusa T.Timur
20,88%
Nusa T.Barat
18,63%
Aceh
19,46%
7.
8.
9.
10.
11.
Gorontalo
17,33%
Bengkulu
17,7%
Lampung
16,18%
Jateng
15,34%
DI Yogja
16,05%
~ 70 ~
12.
13.
14.
15.
16.
Sulawesi Tengah
15,4%
Sul.Tenggara
15,4%
Sumatera Slt.
13,78%
Jawa Timur
13,85%
Sulawesi Barat
13,29%
Lingkungan dan Keadilan
Penduduk tujuh propinsi lain berada DI BAWAH rata-rata nasional.
Yang merisaukan bahwa pola pembangunan yang terlaksana di
beberapa propinsi merekam jejak-ekologi pembangunan yang
sudah melampaui bio-kapasitas propinsi, sehingga menghasilkan
"defisit" yang menunjukkan bahwa tekanan pembangunan fisik
telah melampaui ambang-batas sustainabilitas eko-region di
propinsi bersangkutan. Dan menjadi peka terhadap kekeringan di
musim kemarau dan banjir di musim hujan) beserta risiko kebakaran,
kekurangan air dan kenaikan suhu panas.
JEJAK EKOLOGI DAN BIO-KAPASITAS
(ha/orang tahun 2010)
Indonesia: jejak ekologi
1,13
Riau
2,69
biokapasitas 1,32
1,31
Akibat dampak:
Defisit
Jambi
3,89
3,17
Defisit
Sulawesi Utara
1,79
1,21
Defisit
Nusa Tenggara Barat
0,65
0,33
Defisit
Bali
1,76
0,24
Defisit
Jawa
3,01
0,20
Defisit
Jejak ekologi adalah luas areal yang tereksploitasi.
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2012.
Dari gambaran ini tampak bahwa pola pembangunan konvensional
yang berpedoman pada peningkatan rasio manfaat-biaya ekonomi
semata tidaklah menjamin keberlanjutan pembangunan, terutama
bagi generasi masa depan. Karena itulah Konferensi Tingkat Tinggi
tentang Peta Jalan Pembangunan Global 2015-2030 bulan
~ 71 ~
Lingkungan dan Keadilan
September 2015 di Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat merubah
pola Pembangunan Konvensional ke dalam pola Pembangunan
Berkelanjutan (sustainable) yang mencakup pembangunan
ekonomi, sosial dan lingkungan yang dilaksankan secara serentak
dengan sasaran pembangunan global mencapai tingkat kemiskinan
0% di tahun 2030.
Implikasi dari pola pembangunan berkelanjutan adalah: (1) dimensi
pembangunan ekonomi perlu perbaiki pengembangan Human
Development Index; (2) dimensi sosial memperbaiki tercapainya
"Millennium Development Goals" yang mencakup segi-segi
kesehatan, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, dll.; dan (3)
dimensi lingkungan memperbaiki "rasio jejak ekologi terhadap biokapasitas agar kurang dari satu, pengendalian kadar pencemaran
CO yang berimbas pada kenaikan suhu bumi, dll.
Sehingga pola pembangunan bersifat multi-disiplin mencakup
dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang melalui analisa general
equilibrium mencapai ketiga sasaran secara simultan. Lahirlah
konsep-konsep sustainable inclusive growth with equity, natural
resource base enrichment, teknologi reuse-reduce-recycling dalam
pengelolaan non-renewable resources.
Tersimpul di sini bahwa pelaku pembangunan berkelanjutan
tidaklah homogin tunggal dan terdiri dari berbagai fihak yang
berbeda kepentingan. Karena proses pembangunan berlangsung
melalui mekhanisme harga dalam pasar maka fihak yang "kuat"
dalam menyatakan fungsi-preferensinya umumnya menang.
"Harga" dalam pasar ditentukan oleh fihak yang mampu
mempengaruhi harga karena didukung oleh kekuatan ekonominya.
~ 72 ~
Lingkungan dan Keadilan
Sehingga "pasar" cendrung mencerminkan preferensi mereka yang
kuat daya keuangannya untuk menopang "harga" di pasar.
Sehingga harga tidak lagi mencerminkane kelangkaan komoditas,
tetapi kekuatan pembeli yang ditopang oleh dana keuangannya.
Faktor-faktor eksternalitas yang ditimbulkan oleh perubahan mutu
lingkungan alam dan dampak pembangunan pada tatanan sosial
tidak digubris karena kuatnya intervensi pelaku ekonomi yang
menyandang dana sehingga pasar tidak memperhitungkan biaya
sosial dan biaya lingkunganSehingga fungsi pasar sebagai pengatur
alokasi resources sesungguhnya terdistorsi oleh the power of
money.
Sering penyandang dana juga bisa mempengaruhi perimbangan
kekuatan politik. Dan bertemulah kepentingan ekonomi dengan
kepentingan politik dalam wujud "mafia ekonomi dan politik" yang
bersenjatakan "the power of money".
Proses demokrasi di tanah-air kita adalah mahal, karena calon-calon
pemimpin membutuhkan dana besar untuk merebut suara rakyat
dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, bahkan dalam
pemilihan Pimpinan Partai. Indonesia belum menemukan model
pemilihan pemimpin secara demokratis yang bebas dari pengaruh
mereka yang punya uang. Sehingga dalam politik dan ekonomi,
fihak penentu adalah "mereka yang menguasai uang".
Dalam kaitan inilah Ensiklik Laudato Si' tentang Perawatan Rumah
Kita Bersama dari Paus Fransiskus menjadi relevan. Besar peranan
pemimpin-pemimpin agama untuk menumbuhkan kekuatan etikamoral yang mengimbangi sebagai counter-vailing power kekuatan
kekuasaan uang. Kesadaran beretika, bermoral dan beragama perlu
~ 73 ~
Lingkungan dan Keadilan
dibangkitkan agar lebih unggul dari mereka yang mengandalkan the
power of money.
Kekuatan intrinsik dalam diri manusia perlu dibangkitkan oleh
kesadaran beragama "menjalin tali hubungan dengan Tuhan
sebagai pegangan menjalin tali hubungan antar manusia".
Bermodalkan pemahaman etika dan moral agama, pendidikan
dikembangkan untuk mengikis habis pandangan hidup vulgar yang
"memberhalakan uang sebagai sumber peroleh kekuatan ekonomi
dan kekuasaan politik." Inilah sesungguhnya hakekat inti yang perlu
dihayati para pendidik di berbagai tingkat pendidikan untuk
membangun peri-laku "manusia merawat rumah kita bersama".
Sesungguhnya Indonesia sudah mencatat langkah tindak konkrit
para Pemimpin Agama dalam merawat bumi Nusantara kita. Pater
Bollen mengajak jemaahnya di Gereja Katolik Maumere, Nusa
Tenggara Timur untuk bergotong-royong memulihkan fungsi
penyerapan air hujan dalam tanah yang dibangun menjadi teras
bangku yang ditanami pohon lamtoro. Setelah para jemaah gereja
bekerja bertahun-tahun, alam gersang mampu menghidupkan Kali
Lei kembali di Maumere, NTT.
Begitu pula Kyai Haji Basid, Pemimpin Pondok Pesantren "AnNuqayah" di Guluk-guluk, Sumenep, Madura, memimpin santrisantri dan penduduk sekitar untuk menanam pohon di tanah keringgersang Madura. Setelah bekerja bertahun-tahun tumbuh hutan
rimbun yang mampu menguap embun dan menarik curah hujan,
sehingga secara berangsur terbentuk kali yang tumbuh menjadi
sungai. Motivasi yang mendorong Kyai Haji Basid bekerja bertahuntahun membangun hutan alam adalah dorongan keyakinan
~ 74 ~
Lingkungan dan Keadilan
beragamanya untuk mendapatkan air bersih bagi kesempurnaan
menjalankan ibadah salat.
Indonesia dianugerahi Tuhan sebagai satu-satunya negara
kepulauan di dunia yang terletak di khatulistiwa dengan "tropical
biological natural resource daratan dan lautan" terkaya di dunia.
Sehingga dengan sains dan teknologi, Indonesia memiliki produk
bersaing unggulan dengan nilai tambah sumber daya
keanekaragaman hayati tropis daratan dan lautan yang kaya
melimpah. Karena itu kita perlu:
1. Melestarikan kawasan "eko-region" tiap pulau sebagai habitat
alami microba, bakteri, jamur dll sebagai sumber daya genetika
flaura-fauna;
2. Mengembangkan
ilmu
sains
dan
teknologi
untuk
mengembangkan obat-farmasi berbasis "mikroba alami faunaflora" memerangi TBC, anti-kanker, dll.;
3. Mengembangkan Mikroba Penyubur Perakaran pengganti
pupuk-kimia menggantipestisida kimia dan mengembangkan
Agen-Perombak Bahan Kimia Agro;
4. Menumbuhkan Bio-farming diversitas pangan (kentang hitam
Nganjuk, Varietas Umbi Tacca di pasir kering Madura dan Bangka;
5. Mengembagkan sumber daya Marin Tropis mengolah laut untuk
pangan, obat, kosmetika;
6. Membangun Bio-pestisida, bio-ethanol, bio-fuel, bio-pellet
(antara lain untuk interior mobil) berbasis sampah plastik;
7. Mengembangkan hewan dan ikan sebagai sumber pangan, obat,
kosmetika, dll;
8. Menerapkan teknologi restorasi biodiversitas dan ekosistem
untuk sustainabilitas alami.
~ 75 ~
Lingkungan dan Keadilan
Posisi Indonesia yang unik sebagai negara kepulauan di kawasan
khatulistiwa memberi berkah kekayaan sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati yang harus dinaikkan nilai tambahnya
sebagai sumber peningkatan kesejahteraan rakyat kita engan pola
pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Dan inilah
harus
menjadi
pedoman
para
guru-pendidik
untuk
menginternalisasikan orientasi dan pemahaman ilmu ScienceTechnology-Engineering-Mathematika-Ilmu Sosial-Budaya kepada
anak-didik kita untuk bisa menciptakan "nilai tambah atas keunikan
kekayaan alam kita" sebagai arahan pendidikan anak didik kita
untuk memberi substansi pada tiga jalur ekonomi-sosial-lingkungan
dalam pola pembangunan berkelanjutan.
3.
PERANAN PENDIDIKAN BAGI GENERASI BONUS DEMOGRAFI
Pemimpin-pemimpin kita, seperti Bung Karno lahir 1901 dan menjadi
Presiden di tahun 1945. Pak Harto lahir 1921 dan menjadi Presiden di
tahun 1967. Ada siklus hidup 40 tahun dengan pematangan puncak
manusia pada usia 40-tahunan. Sehingga pada usia 40 tahun
tumbuhlah élan dan kreativitas manusia menuju puncak prestasinya.
Berkat berhasilnya Indonesia melaksanakan Program Keluarga
Berencana, maka kita beruntung menikmati "bonus demografi",
yaitu tumbuhnya potensi percepatan pertumbuhan ekonomi yang
dipicu oleh menurunnya rasio ketergantungan (dependency ratio)
penduduk (dihitung dari jumlah penduduk 0-14 tahun ditambah
dengan penduduk usia 65 tahun+ dibagi dengan penduduk usia
produktif (15-64 tahun). Struktur penduduk yang didominasi oleh
kelompok usia produktif 15-64 tahun ini meningkatkan suplai
~ 76 ~
Lingkungan dan Keadilan
angkatan kerja, naiknya potensi tabungan, dan naiknya kualitas
sumber daya manusia berkat membaiknya kesehatan dan
pendidikan.
Pada tahun 2012 "rasio ketergantungan penduduk kita
menunjukkan proses turun meliwati batas 50% di tahun 2012. Dan
akan mencapai titik terendah (46,9%) antara tahun 2028-2031.
Sehingga dalam periode inilah generasi 15-64 tahun mendominasi
profil kependudukan kita. Apabila generasi ini terlatih, terdidik,
sehat dan cerdas, maka sumber daya manusia Indonesia seperti ini
mampu mendobrak ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan
dibandingkan negara-negara lain.
Hal ini juga difahami kalangan bisnis yang memperhitungkan
kebangkitan pasar yang berpangkal pada tumbuhnya jumlah
generasi muda. Kita perlu waspada bahwa generasi muda ini tidak
menjadi potensi industri yang justru merusak kualitas generasi muda
ini. Akhir-akhir ini tampak meningkatnya penggunaan narkoba,
alkohol dan rokok di kalangan generasi muda. Citi-ciri ketiga industri
Na(rkoba)-Rok(ok)-a(lkohol) alias NAROKA ini adalah ciri-ciri
menumbuhkan "kecanduan" (addiction) pada pemakainya. Dan
sekali anak-muda masuk genggaman kecanduan ini, seumur hidup ia
terikat pada NAROKA dengan akibat hancurnya kualitas generasi
muda kita. Sehingga para pendidik perlu aktif serta dakam
pembrantasan proses addiction oleh NAROKA agar generasi muda
tidak terjerumus dalam "neraka hidup" ini.
Karena itu sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia generasi ini. Generasi muda ini berusia usia 20-an ke
atas (lahir di tahun 90-an ke atas) dan akan mencapai usia 40-an di
~ 77 ~
Lingkungan dan Keadilan
tahun 2020-an. Sehingga generasi ini dan yang akan datang
berkesempatan membawa kita ke 100 tahun Indonesia Merdeka di
tahun 2045. Pada ujung jalan usia Indonesia 100 tahun inilah sudah
harus dicapai Indonesia yang lepas lamdas, keluar dari perangkap
keterbelakangan dan Middle Income Trap. Terlepas dari belenggu
vested interests groups, berbagai mafia ekonomi dan politik, penuh
kesadaran dan komitmen membangun Indonesia yang sejahtera
ekonominya, adil kehidupan masyarakat tanpa ketimpangan dan
dalam lingkungan alam tropis Indonesia yang utuh lestari di tahun
2045.
Sasaran ini bisa dicapai apabila pola pembangunan konvensional
didobrak menempuh jalan Manusia Ber-Tuhan berkat reformasi pola
pendidikan menuju pembentukaan Manusia yang Utuh, menghayati
peri-kehidupan keselarasan antara manusia dengan Tuhan, antara
manusia dengan sesama manusia dan masyarakat, dan antara
manusia dengan lingkungan alam, yang mampu dengan penuh
kesadaran "membangun dan merawat Bumi Nusantara kita
bersama".
~ 78 ~
Lingkungan dan Keadilan
Membangun New Citizenship
di Lingkungan Perguruan Tinggi Katolik
Petrus Sunu Hardiyanto, SJ1
Compositio Sui Loci Videndo
(Menempatkan Diri dengan Melihat Tempat)
“LAUDATO SI’, mi’ Signore” – “Praise be to you, my Lord”.
In the words of this beautiful canticle, Saint Francis of Assisi reminds
us that our common home is like a sister with whom we share our life
and a beautiful mother who opens her arms to embrace us. “Praise be
to you, my Lord, through our Sister, Mother Earth, who sustains and
governs us, and who produces various fruit with coloured flowers and
herbs”.
Undangan Panitia Rapat Umum Anggota (RUA) APTIK mendesak
saya berhenti sejenak. Saya merasa dipercaya untuk membagikan
pengalaman-pengalaman kecil bagi teman-teman peserta RUA
APTIK yang mau menyusun Renstra APTIK 2017-2021. Secara
istimewa ingin ditemukan Kontribusi Nyata dari Perguruan Tinggi
anggota APTIK dalam ikut merawat Bumi Nusantara dengan
merujuk pada ‘visi’ dan insight dari ensiklik Laudato Si’.
Tujuan yang sangat jelas dari RUA untuk menyusun Renstra
membantu saya untuk menentukan pokok-pokok (Puncta) yang bisa
saya panggil dari pengalaman hidup saya melalui kontemplasi
1
Petrus Sunu Hardiyanta, SJ, S.Si., M.Sc. adalah dosen Universitas Sanata
Dharma, berlatar belakang pendidikan di bidang-bidang biologi lingkungan,
budaya, dan ekologi. Sejak Juli 2014, ia bertugas sebagai Superior Provinsial
Serikat Jesuit Indonesia.
~ 79 ~
Lingkungan dan Keadilan
(contemplor = melihat dengan mata batin) dan meditasi (meditare=
menimbang/ menalar secara runtut) untuk selanjutnya saya bagikan
kepada teman-teman sebagai wujud konkret menemukan dan
berbagi kekayaan dari dan untuk sesama peziarah (to find the
richness of others). Demikianlah, undangan ini menjadi hal yang
menyenangkan bagi saya dan semoga bagi teman-teman semua.
Santo Ignatius Loyola mengajarkan cara-cara menimbang perkara
secara tepat (deliberation). Satu hal yang sangat menarik dari
metode tersebut adalah: mengintegrasikan NALAR, RASA dan
KEHENDAK. Banyak orang menalar tetapi lupa mencermati RASA.
Banyak orang menjadi emosional dan menjadi tidak nalar.Keduanya
masing-masing dan bersama-sama melahirkan ‘lemah kehendak’.
KEHENDAK yang kokoh hanya lahir dari terintegrasinya NALAR dan
RASA yang dibangun melalui kegiatan bermutu dari hari ke hari.
RUA APTIK pada kesempatan ini dimaksudkan untuk menemukan
insight (pandangan mendalam/ mata batin) bagaimana Perguruan
Tinggi di lingkungan APTIK dapat (1) membantu Formasi Orang
Muda (para mahasiswa dan para dosen serta karyawan) untuk (2)
mampu membangun ‘Paradigma Baru’ (mengemukakan gagasan)
dan (3) melaksanakannya dalam program-program strategis bagi (4)
Tetap Terawatnya Nusantara bagi generasi ini dan masa depan.
1.
Pokok-Pokok Meditasi-Kontemplasi
Tiga Pertanyaan Utama yang Harus Saya Jawab
Panitia memberikan TOR dalam tiga pertanyaan. (1) Bagaimana
mewujudkan pembaharuan diri (pertobatan) bisa terwujud secara
~ 80 ~
Lingkungan dan Keadilan
nyata di tengah-tengah belahan bumi tropis bernama bumi
Nusantara? (2) Bagaimana Visi penuh harapan dari Paus dan tokohtokoh dunia bisa dijabarkan dalam paradigma, kerangka kerja dan
strategi pencapaian dalam konteks Indonesia saat ini, dan (3) Apa
yang ingin dipilih sebagai kontribusi nyata Komunitas Akademik
APTIK untuk tetap terawatnya bumi Nusantara?
Ultimate Goal
Membaca TOR tersebut saya ditantang untuk berbagi insight
mengenai ‘ultimate goal’ dan ‘proximate goals’ dari Laudato Si’.
Saya melihat bahwa ‘ultimate goal’dari Laudato Si’ tidak lain
‘Membangun New Citizenship’. Inilah kerinduan utama dari ensiklik
Laudato Si’. Paus mengajak kita semua untuk mengerahkan seluruh
kreativitas, seluruh kemampuan bekerjasama, seluruh simpulsimpul energi dari semua orang yang berkehendak kuat untuk
menumbuhkan budaya dan membangun ‘New Citizenship’,
membangun warga dunia baru, warga dunia yang peduli akan Ibu
Pertiwi, warga yang memiliki awareness toward our common home.
Pada poin ini sudah langsung menjadi jelas dan pilah (clara et
distincta) pentingnya ‘formasi Latihan mencermati Nalar-RasaKehendak’.
Setiap Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK memiliki kesempatan
dan merupakan potensi ‘spatial dan temporal’ (ruang dan waktu)
untuk membangun suatu ‘New Citizenship’. Setiap PT di lingkungan
APTIK merupakan ‘locus incarnationis’ (tempat penjelmaan) bagi
‘Sabda yang mau MENDAGING’ dalam diri orang-orang muda
(mahasiswa) dan para Dosen serta Karyawan yang bersama-sama
merupakan Citizen, merupakan ‘companion’ sahabat seperjalanan
~ 81 ~
Lingkungan dan Keadilan
dalam menziarahi HIDUP. Kalau kita secara kreatif bisa membantu
diri sendiri dan teman-teman yang kita dampingi untuk
MEMBIARKAN DIRI terbuka pada ‘SABDA’ yang ingin menjadi
DAGING dalam diri kita dan dalam diri sesama kita, maka di situlah
akan terjadi PEMBAHARUAN, suatu ‘pertobatan yang
menyenangkan’.
Yang saya maksud dengan Sabda Menjadi Daging adalah: ketika kita
terbuka dan membiarkan diri untuk mencintai, melayani,
menghargai, membantu orang lain. Ketika Anda mendengarkan
anak-anak, menghargai mahasiswa, mencintai suami atau istri,
membantu orang yang dalam kesulitan saat itulah sebenarnya
‘SABDA’ menjadi daging di dalam mata, tangan, mulut, telinga, kaki,
pikiran, hati dan seluruh diri Anda.
Ketika kita berani mendengarkan mahasiswa, mendengarkan anakanak, mendengarkan suami, mendengarkan istri, dan
mendengarkan diri sendiri, ternyata para mahasiswa, anak-anak,
suami, istri, teman merasa SENANG. Senang karena didengarkan.
Lebih mengejutkan lagi, ternyata diri kita sendiri juga SENANG.
Betapa menyenangkan didengarkan. Betapa lebih menyenangkan
bisa mendengarkan.
Pengalaman lain: ketika aku berani memuji anak-anak, berani
memuji mahasiswa, berani memuji istri, berani memuji suami,
ternyata
mereka
juga
senang.
Dipuji
itu
sangat
menyenangkan.Tetapi memuji, ternyata jauh lebih menyenangkan.
Sungguh aneh tapi nyata: mendengarkan, memuji, memperhatikan,
membantu, menemani, menghibur, meneguhkan, semuanya
ternyata MENYENANGKAN. Inilah yang oleh Immanuel Kant disebut
~ 82 ~
Lingkungan dan Keadilan
sebagai ‘Imperatif Kategoris’. Lakukanlah yang orang lain ingin
kamu melakukannya untuknya, dan ketika kamu melakukannya dia
bahagia dan di saat yang sama ketika kamu melakukannya kamu
juga bahagia’.
Kalau Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK bisa membangun
budaya (daya budi) dan tradisi (living faith=keyakinan yang dihidupi)
mendengarkan, memuji, menghargai, membantu, menemani,
menghibur, meneguhkan, maka sesungguhnya Komunitas
Akademik dalam APTIK sudah dan sedang berkontribusi untuk
membangun ‘New Citizenship’ yang dirindukan Paus Fransiskus. Dan
persis yang dibutuhkan hanya dua hal: membangun‘budaya’ (daya
nalar) dan tradisi (keyakinan yang dihidupi). ‘Mendengarkan’ adalah
budaya, daya budi.Memperhatikan juga budaya, daya
budi.Menemani, menghibur, menguatkan, membantu, mencintai,
semuanya adalah budaya, daya budi yang mendaging dalam telinga,
mata, mulut, hati, tangan, tubuh.Dan ketika budaya itu dihidupi
dalam keseharian, dia menjadi tradisi (living faith) suatu keyakinan
yang dihidupi.
Dari sudut psikologi dan filsafat, membangun nalar yang mendaging
dan membangun keyakinan yang dihidupi tidak lain merupakan
pengelolaan ‘needs’ menjadi ‘values’melalui pewujudan ‘imperatif
kategoris Immanuel Kant’. Lakukan yang orang lain ingin kau lakukan
baginya, dan yang ketika kamu lakukan hal itu, orang lain itu bahagia
dan ketika kamu melakukan hal itu, kamupun bahagia. Membantu diri
kita sendiri untuk mengenali dan menemukan ‘needs psikololgis
kita’ yang sesungguhnya adalah ‘inang’ bagi perubahan
(transformasi) dunia (microcosmos maupun macrocosmos) dan
membaliknya menjadi ‘values’ yang sesungguhnya adalah
~ 83 ~
Lingkungan dan Keadilan
‘panggilan/ calling/ Cendana’ dari hidup kita merupakan ‘pertobatan
yang menyenangkan’.
Sebagai contoh: salah satu need psikologis saya adalah ‘ingin
dipercaya’. Ini adalah ‘inang’ hidupku. Maka panggilan saya tidak lain
adalah ‘mempercayai’. ‘Mempercayai’ itulah cendanaku.
Mempercayai teman, mempercayai dosen, mempercayai diriku
sendiri dan mempercayai bahwa segala kesulitan yang saya alami
akan melahirkan ‘kebangkitan’. Cendana hanya bisa tumbuh bila ada
inang. Tanpa inang, dia tidak akan mampu tumbuh. Needpsikologisku ‘ingin dipercaya’ bisa kubalik menjadi tindakan
bermutu ‘mempercayai’.Mempercayai teman, mempercayai
pembesar, mempercayai mahasiswa dan tentu saja mempercayai
diri saya sendiri.Ketika saya mempercayai mahasiswa, teman dan
orang lain, mereka bahagia dan sayapun bahagia.
Ultimate goal membangun ‘New Citizenship’ tidak lain membangun
‘nalar yang mendaging’ dan membangun ‘keyakinan yang dihidupi’.
Membangun New Citizenship tidak lain adalah pelan-pelan membalik
‘needs’ menjadi ‘tindakan bernilai’/ values mendengarkan,
memperhatikan, memuji, mendukung, menemani, melayani dan
mencintai. New Citizenship yang terlatih untuk mengeksekusi
imperative Kategoris Immanuel Kant merupakan Komunitas yang
siap untuk berubah dan mentransformasi diri serta dunia dengan
gembira. Pertobatan yang menggembirakan itu nyata.
202. Many things have to change course, but it is we human beings above
all who need to change. We lack an awareness of our common origin, of
our mutual belonging, and of a future to be shared with everyone. This
basic awareness would enable the development of new convictions,
attitudes and forms of life. A great cultural, spiritual and educational
~ 84 ~
Lingkungan dan Keadilan
challenge stands before us, and it will demand that we set out on the
long path of renewal.
Proximate Goals
Ultimate Goal merupakan sasaran pembangunan dasar ‘afektif
spiritual’ suatu ‘New Citizenship’. Proximate Goals merupakan
‘sasaran-sasaran dekat’ (proksi) untuk mewujudkan ‘ultimate goal’.
Sasaran dekat ini berupa kegiatan-kegiatan yang bisa bersifat
sangat lokal namun demikian terarah pada sasaran yang paling
besar, paling jauh, paling mendalam, paling luas.
Authentic human development has a moral character. It presumes full
respect for the human person, but it must also be concerned for the
world around us and “take into account the nature of each being and of
its mutual connection in an ordered system”. Accordingly, our human
ability to transform reality must proceed in line with God’s original gift
of all that is.
Pada awal November 2015 yang lalu, saya bertemu seorang
teman.Dia mengeluh bahwa dari banyak lulusan Perguruan Tinggi
(baik Negri maupun Swasta) disinyalir tidak memiliki daya juang,
tidak memiliki daya tahan (endurance) dalam bekerja, dan kurang
memiliki achievement. Bahwa generasi orang muda ini kurang
memiliki daya juang dan daya tahan bisa lebih mudah dipahami.
Bahwa mereka ternyata disinyalir kurang memiliki ‘achievement’, hal
ini cukup mengherankan, sebab biasanya orang jaman ini sangat
dipicu oleh ‘pencapaian’.Pencapaian adalah need, adalah inang bagi
setiap orang untuk bisa maju. Di balik need ‘achievement’
ditawarkan value ‘meaningfulness’. Artinya, orang perlu bertanya
‘what does it mean to me’ untuk setiap pencapaian. Mereka yang
tidak pernah bertanya mengenai makna, akan tersungkur oleh
~ 85 ~
Lingkungan dan Keadilan
karena hanya bertemu ‘meaninglessness’. Lesunya generasi muda
untuk ‘achievement’ barangkali dipicu oleh ‘tiadanya latihan
mencari dan menemukan makna hidup’. Hal ini perlu dipelajari dan
diteliti secara sitem sistematis.
205. Yet all is not lost. Human beings, while capable of the worst, are also
capable of rising above themselves, choosing again what is good, and
making a new start, despite their mental and social conditioning. We are
able to take an honest look at ourselves, to acknowledge our deep
dissatisfaction, and to embark on new paths to authentic freedom. No
system can completely suppress our openness to what is good, true and
beautiful, or our God-given ability to respond to his grace at work deep
in our hearts. I appeal to everyone throughout the world not to forget
this dignity which is ours. No one has the right to take it from us.
Tantangan berkontribusi untuk turut membangun bumi Nusantara
dalam terang ensiklik Laudato Si’ menjadi isi dari Proximate Goals.
Secara khusus Paus mengundang kita untuk memperhatikan:
pentingnya air bagi semua; pentingnya menyembuhkan komunitas
dari throw-away culture; pentingnya memanfaatkan energi secara
efektif dan kreatif.
2. Rahmat yang Dimohon: Kontribusi Nyata APTIK
Provokasi: Pentingnya kehendak untuk membangun bumi yang baru
Santo Ignatius dan para Yesuit perdana (primi patres) memberi
teladan cara ber-deliberasi (menimbang-nimbang perkara bersamasama: memaparkan halnya, memilah, memilih dan mengambil
keputusan yang harus dilaksanakan). Sebelum kita berbicara
panjang lebar mengenai suatu perkara, sangat penting kupastikan
~ 86 ~
Lingkungan dan Keadilan
di dalam diriku bahwa yang menjadi keputusan pembicaraan
bersama ini akan KULAKUKAN.
United Nations Climate Change Conference 2007 (UNCCC) di Bali
mengenai pemanasan global menjadi salah satu contoh ‘ironis’:
pertemuan menghasilkan keputusan bagus, tetapi TIDAK
DILAKSANAKAN.
Negotiations on a successor to the Kyoto Protocol dominated the
conference. A meeting of environment ministers and experts held in June
called on the conference to agree on a road-map, timetable and 'concrete
steps for the negotiations' with a view to reaching an agreement by
2009. It has been debated whether this global meeting on climate change
has achieved anything significant at all. "We've been suckered again by
the US. So far the Bali deal is worse than Kyoto" Initial EU proposals called
for global emissions to peak in 10 to 15 years and decline "well below half"
of the 2000 level by 2050 for developing countries and for developed
countries to achieve emissions levels 20-40% below 1990 levels by 2020.
The United States strongly opposed these numbers, at times backed by
Japan, Canada, Australia and Russia. The resulting compromise
mandates "deep cuts in global emissions" with references to the IPCC's
Fourth Assessment Report. (by George Monbiot, December 17, 2007,
Guardian unlimited)
Pembicaraan panjang para politikus dengan back up ratusan
businessmen berakhir dengan satu kata: delay!!!! Delay to reduce
emissions levels.
Michel Foucault merefleksikan bahwa realitas politik selalu
berwajah ambigu. (Ketika Kusni Kasdut dihukum mati sebagai
penjahat, beberapa orang justru menganggapnya sebagai
pahlawan. Ketika beberapa anggota DPR mencalonkan beberapa
~ 87 ~
Lingkungan dan Keadilan
mantan presiden sebagai pahlawan, rakyat mencibir para calon
pahlawan sebagai ‘pecundang’ bangsa.
Ketika para pemimpin Negara maju tidak berani mengambil
tindakan konkret untuk mengurangi emisi karbon, anak-anak TK, SD
mulai membuat beberapa orangtua tidak nyaman: ‘Mama, tidak baik
memakai AC, ini menyebabkan bumi makin panas!!!!’ Begitu pula
mulai muncul istilah‘green buster’, ‘Green Monster’, ‘Ijo-lan sampah’,
‘composting for education’ dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu
gejala local genius yang perlahan menjadi gerakan universal untuk
memperhatikan ‘our common home’, Ibu Pertiwi, s (bumi),
menjadi embrio-yang dalam bahasa Paus Fransiskus disebut sebagai
‘new citizenship’.
Musuh utama formasi new citizenship adalah karakter ‘lemah
kehendak’. Kelemahan kehendak biasanya berakar pada atau
‘lemah nalar’ atau ‘lemah rasa’ atau ‘lemah nalar dan rasa sekaligus’.
Dalam hal inilah kita perlu menilik local genius ‘Serat Wedatama’
yang ditulis oleh Mangkunegara IV dua abad yang lalu.
Mungkinkah pendidikan tinggi membantu formasi ‘warga dunia
baru’ yang memiliki ‘ketangguhan dan kekuatan kehendak’?
Pertobatan Nalar, Rasa, Kehendak
Rumi (1112) memberikan refleksi tajam, indah dan manusiawi
mengenai pertobatan ‘Nasuha’ (kisah bisa dibaca di appendix).
Memang hanya pertobatan otentik yang bisa melahirkan ‘hidup
baru’ dan pertobatan otentik selalu menyentuh pengalaman yang
sangat manusiawi. Bahkan Anda akan menemukan, pertobatan
otentik hanya akan ‘sustainable’ bila ternyata hasilnya adalah
membawa rasa lebih enak, rasa lebih comfortable. Dalam bahasa
Rama Mangunwidjaya terungkap ‘benar cantik dengan sendirinya’.
Tindakan tidak keliru dengan sendirinya membawa rasa puas
~ 88 ~
Lingkungan dan Keadilan
mendalam, bahkan menginspirasi untuk tindakan tidak keliru
berikutnya.
Rupa-rupanya di tengah masyarakat kita jarang terjadi pertobatan
karena pemahaman kurang menyeluruh atau kurang tepat
mengenai ‘tobat’. Tobat terbayangkan membawa akibat rasa ‘tidak
enak’ melebihi ‘rasa enak’ yang timbul. Hanya bila seseorang sudah
mengalami secara empiris bahwa ‘sebuah tindakan baru’ ternyata
lebih membawa ‘rasa lebih enak secara tidak keliru’ dibandingkan
dengan kebiasaan lama, maka orang ini akan tetap dalam
pertobatannya.
Beberapa ilustrasi kecil akan membantu: (1) Beberapa orang
akhirnya lebih suka mengurangi makan ‘gorengan’ atau minum
manis, sebab ternyata membawa efek lebih segar di badan. (2) Saya
lebih suka pergi dari rumah ke kampus VU University di Amsterdam
dengan mengendarai sepeda daripada naik ‘trem’. Ketika saya
refleksikan, mengapa saya lebih suka naik sepeda? Ternyata: saya
naik sepeda bukan karena saya ingin mengurangi emisi karbon,
bukan karena tidak punya uang saku untuk membayar trem, tetapi
karena ternyata naik sepeda jauh lebih nyaman daripada naik trem.
(3) Beberapa teman sudah merasakan juga bahwa ‘tidak merokok’
ternyata lebih nyaman dan menyenangkan daripada ‘merokok’.
(4) Mudah-mudahan banyak orang akan menemukan juga bahwa
‘tidak korupsi’ (waktu, pikiran dan semacamnya) ternyata lebih
menyenangkan daripada ‘korupsi’. Pasti ketika kita menggunakan
waktu sebaik-baiknya, menggunakan kesempatan untuk berdiskusi
sebaik-baiknya, menggunakan kesempatan untuk menikmati alam
sebaik-baiknya, kita sesungguhnya merasakan ‘nikmat’, ‘asyik’,
‘segar’, ‘lovely’, ‘cerdas’, ‘ciamik’, ‘top tenan’.
Kecerdasan Rumi memaparkan pengalaman ‘Nasuh’ membantu kita
paham mengenai makna ‘tobat otentik’. Pertobatan autentik
~ 89 ~
Lingkungan dan Keadilan
melibatkan ‘penalaran’, ‘afeksi (rasa yang timbul karena tindakan),
kehendak dan ‘pengalaman going beyond’. Sesungguhnya, dalam
hidup keseharian, Anda, Saya, Kita mengalami pertobatanpertobatan kecil.Setiap hari, saya yakin Anda semua mengalami
pengalaman-pengalaman ‘going beyond’ yang sesungguhnya
merupakan titik-titik kecil pertobatan sederhana. Bagi saya ‘tidak
menunda’ , ‘tidak marah’, ‘tidak membiarkan diri patah arang’,
merupakan hal kecil yang selalu menyenangkan. ‘Sayang sekali,
banyak pengalaman indah dan penting itu ‘lenyap’ karena tidak
pernah ‘diendapkan’, tidak pernah disadari, hanya lewat begitu saja.
Padahal, perjalanan hidup sudah menempa kita untuk mengalami
pertobatan-pertobatan yang menyenangkan. Mangkunegara IV
(1811) sudah merefleksikan betapa pentingnya ‘mardi siwi’
(mendidik anak). Dalam Wedhatama, Mangkunegara menawarkan
pedagogi (paidon agoge) untuk membangun nalar yang mantab
melalui wiweka rasa yang melahirkan kehendak kokoh dan tangguh
dalam bermasyarakat.
Jinejer ing wedhatama,
mrih tan kemba kembenganing pambudi.
Mangka najan tuwa pikun,
yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah samun,
samangsane pakumpulan,
gonyak-ganyuk nglelingsemi.
(Diajarkan dalam wedhatama, supaya endapan nalar berasa
mantab. Setiap dari kita memang akan menjadi tua dan pikun;
namun demikian bila kita tidak mencermati (wikan) rasa; kita akan
mendapatkan diri senyatanya sepi, sepa (tanpa rasa), sepah (ampas
tebu) samun (tidak jelas); ketika dalam perkumpulan, tingkah laku
orang seperti ini akan memalukan.
~ 90 ~
Lingkungan dan Keadilan
3. Metodologi:
Merdeka, Kreatif, Berani Ambil Resiko: Dasar Kokoh ‘Agent of
Change’
Perguruan Tinggi merupakan ‘locus incarnationis’ ruang penjelmaan
Sabda yang mau mendaging. Setiap tahun ribuan mahasiswa baru
menggabungkan diri: siap dibantu untuk mendagingkan Sabda.
Ribuan yang lain sesungguhnya siap untuk ditinggikan di kayu salib.
Sepertinya abstrak, padahal sesungguhnya konkret.
Perguruan
tinggi
menjadi
‘locus
incarnationis’
ruang
penjelmaan.Allah ingin didagingkan di dalam nalar, rasa dan
kehendak setiap mahasiswa yang bergabung dengan Civitas
Akademik kita. Panggilan kita tidak lain adalah: membantu mereka
‘dengan gembira’ membiarkan penalaran-penalaran Allah tumbuh
dalam nalar mereka; membantu mereka ‘merasakan dalam-dalam’
betapa menyenangkan, betapa berat, betapa menantang
membangun persahabatan, membangun kerjasama, membangun
komunitas, membangun suasana Allah yang Meraja; membantu
mereka berani membentur-benturkan diri untuk terbentuk,
membantu mereka berani ‘going beyond’, berani ‘rugi’, berani
memperhatikan, melayani, mencintai orang lain. Hanya itu. Dan itu
artinya, perlahan-lahan mengajak anak berani: ‘nggetih’ (merdeka,
kreatif, berani ambil reasiko).
Pertobatan Personal: Ternyata Orang Muda Masih Bisa Berubah
Ternyata, dari pengalaman-pengalaman kecil beberapa tahun
mendampingi para mahasiswa di USD, saya menemukan
antusiasme, semangat yang menyala-nyala dari orang muda untuk
tumbuh. Orang-orang muda ini sangat ingin meneliti, sangat ingin
mengambil tantangan, sangat ingin belajar mengenai hal-hal yang
~ 91 ~
Lingkungan dan Keadilan
memang sangat menarik. Setiap tahun, tidak kurang dari 15 (10% dari
populasi) mahasiswa baru Fakultas Farmasi USD dengan penuh
semangat dan gembira masuk kebun obat dan membuat penelitianpenelitian (PKM) yang sangat menarik. Tiap tahun, mahasiswa baru
Pendidikan Biologi USD menikmati tantangan ‘empat hari inisiasi diri
sendiri’ di pantai Drini dan sekitarnya dan disitu mereka menemukan
motivasi untuk belajar selama empat tahun ke depan. Terus terang,
saya banyak kali DIPERTOBATKAN: tercengang melihat GAIRAH
muda yang sedemikian otentik dan terbuka untuk menjadi pribadi A,
yakni pribadi yang ‘always thinking, serving, loving, ministering
others’.
Betapa menyengankan, membahagiakan menemani mahasiswa
baru ‘menemukan tantangan’, menemukan ‘visi’, menemukan cara
untuk tumbuh. Itu semua tampak dan terungkap dalam ‘gesture’
fisik mereka: mata berbinar, pingin tahu, bertanya, gembira, ceria,
siap sedia mengambil tanggung jawab, dan siap ambil resiko
mengekplore tantangan. Semakin menantang semakin tinggi
adrenalin. Pertobatan ternyata sangat menyenangkan. Pertobatan
itu tak terlupakan: menjadi merdeka, menjadi kreatif, menjadi berani
ambil resiko.
Bulan Maret 2015, Franky seorang Mahasiswa Papua memutuskan
untuk memelihara lele di dua kolam Pusat Studi Lingkungan USD
untuk persiapan inisiasi bagi adik-adik angkatan baru.Pada
kesempatan ‘inisiasi diri sendiri prodi PBIO 2015/2016’ akhir
Sepetember yang lalu dengan bangga ia menunjukkan bahwa
seluruh lampu LED yang dipakai dalam camping inisiasi diri sendiri
dibeli dari hasil panen lele. Ini merupakan gambar seorang yang
‘mau rugi’, berani ambil resiko dan merdeka. Anehnya: sikap mau
rugi yang dihidupi oleh Franky ini diam-diam diserap secara lembut
dan mendalam oleh adik-adik kelasnya. Begitulah ‘Allah yang
Menjelma’ itu sesungguhnya mendaging di dalam hidup orang~ 92 ~
Lingkungan dan Keadilan
orang muda seperti Franky ini. Saya menyaksikan, jumlah orangorang muda yang mengalami transformasi sederhana seperti ini
Cukup banyak, bahkan sangat banyak.Jumlah mereka per angkatan
Cukup untuk membuat angkatan mereka ‘gila’.
Peran Formator (Dosen, Karyawan dan seluruh Civitas Akademik)
Dosen, karyawan dan seluruh Civitas Akademik adalah formator
bagi setiap mahasiswa dan juga seluruh Civitas Akademik yang lain.
Peran utama formator adalah menjadi teman. Aristoteles
memperkenalkan ‘maiuteke tekne’ yakni peran formator sebagai
bidan, yang berperan membantu kelahiran ‘pengetahuan’,
‘kehendak’, dan ‘energi mengeksekusi mimpi’. Perhatian biasanya
sudah cukup diarahkan untuk formasi para Dosen supaya semakin
mampu membantu formasi para mahasiswa. Tidak kalah penting
adalah peran para karyawan (administrasi, kebersihan, keamanan
dsb). Mereka dalam kehadiran dan ketekunan menjalankan tugas
sesungguhnya membantu formasi mental para mahasiswa.Dan
tidak kalah penting lagi adalah peran komunitas para mahasiswa
(peer group) sendiri. Keberhasilan membentuk komunitaskomunitas mahasiswa yang kreatif dan produktif akan sangat
membantu ‘channeling’ energy keseluruhan mahasiswa.
Tantangan Formator Perguruan Tinggi adalah membantu civitas
akademik, terlebih mahasiswa, untuk mengalamai pertobatanpertobatan sederhana: pertobatan penalaran, pertobatan fisik dan
batin melalui pembadanan pengalaman (praktikum, studi lapangan,
kuliah, kegiatan ekstra), pengendapan pengalaman (refleksi
menyangkut Rasa, Nalar, Kehendak) dan perayaan (selebrasi)
pengalaman olah nalar, rasa, kehendak sampai ke fisik.
~ 93 ~
Lingkungan dan Keadilan
4. Indonesia Raya: Ingenuinity
Observasi awal: masih ada banyak ruang dan waktu yang secara
sangat sederhana akan membawa warga Indonesia mengalami
persentuhan nalar, rasa dan kehendak dengan alam. Anak-anak
sekolah dasar atau SMP yang tinggal di tempat-tempat yang masih
jauh dari kemudahan sarana transportasi memiliki potensi
persentuhan fisik dengan tantangan alam sehari-hari. Masih banyak
juga Ibu-Ibu yang menekuni karya-karya sederhana dengan
berjualan dipasar, bercocok tanam di sawah, mengerjakan seni kriya
di rumah. Terhadap kenyataan ini, afirmasi dari pemimpin seperti
Jokowi merupakan hal yang sangat penting. Pengakuan, konfirmasi
bahwa yang mereka kerjakan sehari-hari adalah hal yang ‘genuine
and excellent’ hal yang asli dan luar biasa.
Kunjungan langsung Jokowi ke Kalimantan merupakan fenomen
menarik. Ketika Jokowi datang, seluruh jajaran polda, polres, bupati,
camat berbondong-bondong memadamkan api. Selesai acara
kunjungan Jokowi pulang. Tanpa mereka ketahui, lima jam
kemudian Jokowi datang lagi ke lokasi yang sama. Dan ternyata, tak
seorangpun ditemui di sana. Tak seorangpun.
Ini merupakan contoh ‘tajam’ dari ‘rapuhnya kehendak’. Bahkan
para prajurit yang biasanya sudah tertempa dengan mental baja, tak
satupun tampak bekasnya.Ke manakah mental itu??? Betapa
menyakitkan, mengetahui kenyataan bahwa pribadi-pribadi yang
mestinya memiliki KEHENDAK TANGGUH DAN KOKOH ternyata
adalah ‘Arya Kendor’.
Salah satu poin menarik dari Paus Fransiskus adalah kekokohan
kehendaknya. Beliau melihat, kita bisa membangun new citizenship.
Untuk ini kita perlu melakukan dialog ‘fisik’. Artinya bertatap muka,
saling mendengarkan, saling berbagi pengetahuan dan ide, saling
~ 94 ~
Lingkungan dan Keadilan
mengembangkan. Mendengarkan itu menggerakkan. Orang yang
didengar, akan bergerak. Ketika Anda tidak didengar, maka besar
kemungkinan Anda akan ‘diam’ atau bahkah ‘mundur menjauh’.
Perhatikan, ketika Anda didengar, ketika anak didengar, ketika
mahasiswa didengar, mereka bergerak.
Tantangan PT adalah membantu para mahasiswa untuk tumbuh
menjadi ‘transformation agents’ untuk pandai, cerdas
mendengarkan, pandai melibatkan orang lain, pandai terlibat dalam
gerak bersama. Tidak ada cara lebih tepat untuk mengajari para
mahasiswa cerdas mendengar, daripada ‘MENDENGARKAN’
mereka dengan jeli dan teliti. Latihan-latihan mendengarkan diri
sendiri dengan baik dan benar (refleksi, menulis refleksi,
membagikan refleksi) dan latihan mendengarkan orang lain
(mendengarkan
presentasi,
mendengarkan
pertanyaan,
mendengarkan diskusi) merupakan latihan terbaik untuk mampu
MENGGERAKKAN ORANG LAIN.
5. Colloquium:
211. Yet this education, aimed at creating an “ecological citizenship”, is at
times limited to providing information, and fails to instil good habits. The
existence of laws and regulations is insufficient in the long run to curb
bad conduct, even when effective means of enforcement are present. If
the laws are to bring about significant, long-lasting effects, the majority
of the members of society must be adequately motivated to accept
them, and personally transformed to respond.
Only by cultivating sound virtues will people be able to make a selfless
ecological commitment. A person who could afford to spend and
consume more but regularly uses less heating and wears warmer clothes,
shows the kind of convictions and attitudes which help to protect the
environment.There is a nobility in the duty to care for creation through
little daily actions, and it is wonderful how education can bring about real
~ 95 ~
Lingkungan dan Keadilan
changes in lifestyle. Education in environmental responsibility can
encourage ways of acting which directly and significantly affect the
world around us, such as avoiding the use of plastic and paper, reducing
water consumption, separating refuse, cooking only what can
reasonably be consumed, showing care for other living beings, using
publictransport or car-pooling, planting trees, turning off unnecessary
lights, or any number of other practices. All of these reflect a generous
and worthy creativity which brings out the best in human beings.
Reusing something instead of immediately discarding it, when done for
the right reasons, can be an act of love which expresses our own dignity.
Apa yang sudah kulakukan?
Ultimate goal apa yang SUDAH menjadi ‘visi’ formasi mahasiswa dan
seluruh civitas akademik di lingkungan Perguruan Tinggiku?
Proximate goals apa saja yang SUDAH dapat membantu setiap
mahasiswa, setiap dosen dan setiap karyawan untuk dari tahap-ke
tahap mengenali ‘needs’ dan mentransformasikannya menjadi
‘calling’ panggilan serta ‘values’ nilai-nilai dan keutamaan yang
mengantar menjadi pribadi yang berani mendengarkan,
memperhatikan, menghargai, menemukan makna, dan selalu
memikirkan, melayani, mengabdi dan mencintai orang lain.
Apa yang sedang kulakukan?
Ultimate goal apa yang SEDANG menjadi visi formasi mahasiswa dan
seluruh anggota civitas akademik? Proximate goals apa saja yang
SEDANG ditawarkan untuk membantu mahasiwa dan seluruh
anggota civitas akademik untuk bertransformasi menjadi ‘A quality
person’.
Apa yang harus kulakukan?
Ultimate goal apa yang mau kujadikan ‘visi’ dari Perguruan Tinggi di
lingkungan APTIK? Proximate goals apa saja yang bisa kupilih untuk
~ 96 ~
Lingkungan dan Keadilan
menjadi sarana formasi (Nalar-Rasa-Kehendak) dari para Mahasiswa
(dosen dan karywan juga) untuk menjadi ‘new cisizenship’?
Penutup
Membangun ‘New Citizenship’ bukanlah hal mustahil. APTIK
sebagai ektensi dari masing-masing Perguruan Tinggi Katolik
merupakan ruang untuk ‘mendalam dan meluas’ bagi usaha
membangun new citizenship. Masing-masing Perguruan Tinggi
dapat secara kreatif menemukan proximate goals yang bisa jadi
sangat lokal, tetapi bisa di-share secara lebih luas dan mendalam
oleh Perguruan tinggi yang lain. Di tengah tantangan yang sangat
kompleks dari dunia saat ini, ‘latihan-latihan’ integrasi ‘nalar-rasakehendak’ melalui kegiatan kuliah maupun di luar kuliah bisa
menjadi pilihan strategis membangun ‘new cisizenship’ yang
memiliki ‘awareness’ akan common home kita, Ibu Pertiwi
Nusantara.
~ 97 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 98 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 99 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 100 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 101 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 102 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 103 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 104 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 105 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 106 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 107 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 108 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 109 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 110 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 111 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 112 ~
Lingkungan dan Keadilan
~ 113 ~
ISBN: 978-602-14190-4-5
ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK
d.a. Universitas Katolik Indonesia ATMA JAYA
Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930
Telp. (021) 5706059
email: [email protected]
www.aptik .or.id
Download