ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK 2017 LINGKUNGAN DAN KEADILAN Kumpulan Materi Hari Studi APTIK 2015 dan Rapat Umum Anggota APTIK 2016 Editor: Yap Fu Lan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik d.a. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jl. Jend. Sudirman 51 Jakarta 12930 Telp. 021-5706059 LINGKUNGAN DAN KEADILAN Kumpulan Materi Hari Studi APTIK 2015 dan Rapat Umum Anggota APTIK 2016 Editor, cover designer, layouter: Yap Fu Lan Foto cover: “Ciliwung di tahun 2005” © APTIK 2017 ISBN: 978-602-14190-4-5 Buku ini diterbitkan hanya dalam bentuk elektronik, tidak untuk dicetak dan diperjualbelikan. ii Daftar Isi Pengantar: Respon Perguruan Tinggi APTIK terhadap Isu Lingkungan Paulus Wiryono Priyotamtama, SJ 1 Kapitalisme dan Ekologi Kehidupan B. Herry Priyono, SJ 12 Permasalahan Lingkungan dan Upaya Masyarakat untuk Mengatasinya Maria Ratnaningsih 37 Pengalaman Mengembangkan Eco Camp Ferry Sutrisna Wijaya, Pr. 55 Pendidikan dan Pembangunan Berkelanjutan Emil Salim 66 Membangun New Citizenship di Lingkungan Perguruan Tinggi APTIK Petrus Sunu 79 Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPT) Arief Yuwono 98 iii Lingkungan dan Keadilan PENGANTAR Respon Perguruan Tinggi APTIK Terhadap Isu Lingkungan Paulus Wiryono Priyotamtama, SJ Ketua APTIK Isu lingkungan telah diangkat sebagai topik dua acara penting, yakni Hari Studi APTIK, yang diselenggarakan di Yogyakarta, tanggal 8–10 Oktober 2015, dan Rapat Umum Anggota APTIK di Jakarta, tanggal 14–17 Maret 2016. Sejumlah narasumber dengan berbagai latar belakang telah dihadirkan untuk membantu proses pembelajaran bersama terkait isu penting ini. Dengan bantuan para narasumber, segenap peserta dibantu untuk melakukan tinjauan menyangkut aspek pendekatan paradigma, perundang-undangan, praktik masyarakat, tantangan bidang pendidikan serta pembangunan, dan aspek spiritual kemanusiaannya. Kontribusi para narasumber tersebut bagi pembelajaran APTIK dapat dibaca melalui tulisantulisan dalam buku edisi khusus APTIK yang dipublikasi secara online ini. Demikian respon Perguruan Tinggi APTIK terhadap isu lingkungan telah diawali dengan proses pembelajaran bersama dengan dibantu oleh sejumlah sumber pilihan. Apakah APTIK akan berhenti di sini? Tentunya tidak. Kedua acara APTIK terkait isu lingkungan tersebut dimaksudkan untuk menjawab tiga tantangan sebagaimana dirumuskan dalam Term of Reference (TOR) RUA APTIK 2016 di Jakarta. Ketiga tantangan, yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, meliputi: (1) Bagaimana Perguruan Tinggi APTIK ikut mewujudkan pembaharuan ~1~ Lingkungan dan Keadilan diri lewat pertobatan ekologis yang bisa terwujud secara nyata di tengah-tengah belahan bumi tropis bernama bumi Nusantara? (2) Bagaimana visi penuh harapan dari Paus Fransiskus dan tokoh-tokoh dunia terkait isu lingkungan bisa dijabarkan dalam paradigma, kerangka kerja dan strategi pencapaian dalam konteks Indonesia saat ini, dan (3) Apa yang ingin dipilih sebagai kontribusi nyata komunitas akademik lingkungan Perguruan Tinggi APTIK untuk tetap terawatnya bumi Nusantara? Tantangan-tantangan ini tentunya tidak berhenti dirumuskan saat acara Hari Studi dan RUA diselenggarakan melainkan menjadi tantangan-tantangan programatik ke depan yang harus dijawab oleh masing-masing Perguruan Tinggi APTIK. Apa yang sekiranya bisa dihasilkan dari proses pembelajaran APTIK untuk menjawab ketiga tantangan terkait isu lingkungan? Sudah adakah rencana tindak lanjut sebagai tanda telah mulai dijalaninya proses pertobatan ekologis? Apakah tindak lanjut yang diambil sudah sesuai dengan harapan Paus Fransiskus sebagaimana disampaikan melalui Ensiklik Laudato Si’? Sudahkah muncul gerakangerakan peduli lingkungan di kalangan sivitas akademika? Apakah sudah mulai diambil inisiatif-inisiatif pengambilan kebijakan oleh pengurus Yayasan terkait kepentingan peningkatan efisiensi energi, penghematan penggunaan air, pengolahan sampah, dan penataan lahan kampus agar semakin hijau? Bagaimana pengembangan program-program penelitian serta abdimas (pengabdian kepada masyarakat) di bidang lingkungan yang harus dipikirkan oleh pimpinan Perguruan Tinggi APTIK? ~2~ Lingkungan dan Keadilan Pertanyaan-pertanyaan bernada reflektif ini layak diajukan sebagai pengingat bahwa isu lingkungan adalah isu serius sekaligus kompleks yang memerlukan perhatian khusus APTIK. Harapan Paus sangatlah tinggi terhadap respon positif dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi Katolik melalui kegiatan penelitian, pengembangan iptek, dan pengabdian bagi proses transformasi masyarakat. Selain sebagai pengingat, pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dijadikan pegangan bagi penciptaan proses pembelajaran berkelanjutan di lingkungan Perguruan Tinggi APTIK terkait isu lingkungan. Tanggapan positif atas isu lingkungan membutuhkan langkah-langkah strategis berjangka panjang yang hanya bisa dirumuskan secara tepat melalui proses pembelajaran berkelanjutan. Apa sebenarnya harapan Paus Fransiskus kepada perguruan tinggi terkait isu lingkungan? Harapan-harapan Paus kepada perguruan tinggi dapat disarikan dari Bab V dan Bab VI Ensiklik Laudato Si’ terkait orientasi dan aksi khususnya menyangkut perlunya dialog agama-agama dan ilmu pengetahuan serta kepentingan pendidikan ekologis. Harapan-harapan Paus tidak disampaikan secara eksplisit kepada dunia perguruan tinggi. Namun bisa ditarik sebagai sesuatu yang implisit atau tersirat dalam rekomendasi-rekomendasi aksi yang tertuang di bagian akhir ensiklik. Ada empat harapan Paus yang bisa disarikan dari dua bab tersebut yang memiliki kaitan dengan dunia perguruan tinggi, yakni: ~3~ Lingkungan dan Keadilan 1) perlunya membangun dialog di antara pelbagai bidang ilmu untuk bisa semakin membuka diri bagi penanganan masalah-masalah lingkungan secara lintas ilmu; 2) perlunya memfasilitasi terciptanya perjumpaan dan dialog terbuka antar para pakar bidang ilmu positip dan para pemikir bidang agama, etika, estetika, serta budaya dalam pencarian prinsipprinsip etika, nilai-nilai spiritual, solusi komprehensif masalahmasalah lingkungan yang bisa menggerakkan penyelamatan masa depan planet bumi secara bersama-sama; 3) perlunya – lewat pendidikan – membangun kesadaran akan asal semua makhluk hidup yang satu serta sama, rasa saling memiliki, dan kesediaan berbagi masa depan dengan semua makhluk hidup yang masih bisa diselamatkan; 4) perlunya – lewat pendidikan bercorak transformatif – membangun budaya baru yang lebih berkelanjutan. Cara yang ditempuh ialah di satu pihak mengambil sikap kritis terhadap konsumerisme, aneka bentuk egoisme kolektif serta keserakahan yang akan membawa penghancuran diri manusia sendiri, dan di lain pihak membuka diri terhadap kebaikan bersama, kebenaran, keindahan serta keharmonisan yang menjamin kehidupan berkelanjutan. Harapan-harapan Paus, yang merupakan rekomendasi-rekomendasi aksi ini, masih perlu dijabarkan ke dalam program-program serta kegiatan-kegiatan konkret kalau mau dijadikan komitmen kelembagaan. Bagaimana Perguruan Tinggi APTIK mau menanggapi harapan-harapan Paus ini dalam kaitan ~4~ Lingkungan dan Keadilan dengan pengembangan tersendiri. Tridharma, merupakan tantangan Ensiklik Laudato Si’ menyuarakan Ajaran Sosial Gereja dalam konteks dunia yang sedang dilanda krisis ekologi. Perguruan Tinggi APTIK sebagai bagian dari tubuh perutusan Gereja perlu mempelajari ensiklik ini secara mendalam. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup baru yang terkandung di dalamnya perlu dijadikan bahan renungan bagi kepentingan pembaharuan hidup. Segenap sivitas akademika diharapkan mau meresapi nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup baru yang ditawarkan demi pembaharuan kehidupan bersama baik di kampus maupun di luar kampus. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup baru macam apa perlu dijadikan bahan renungan bersama? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup baru tersebut terkait dengan relasi manusia dengan alam, relasi manusia dengan sesamanya, dan pemeliharaan keberlanjutannya. Saling ketergantungan antara manusia dan alam menuntut diakuinya nilai intrinsik komponen-komponen alam seperti ekosistem, mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan, ikan, binatang, dan manusia. Seluruh satuan komponen-komponen alam tersebut bernilai dalam dirinya sendiri dan juga bernilai dalam berelasi satu sama lain. Nilai kedua sering dikategorikan sebagai nilai instrumental komponen-komponen alam. Di dalam jaringan komponen-komponen alam terkandung tata keteraturan, hukum sebab-akibat, prinsip daur ulang, dan prinsip konservasi sumbersumber alam yang tidak bisa diabaikan atau dilanggar begitu saja ~5~ Lingkungan dan Keadilan oleh manusia demi mencari nilai manfaat dari alam. Keberlanjutan hanya mungkin dijamin kalau ada keseimbangan penghayatan atas nilai intrinskik dan nilai instrumental tersebut dalam relasi manusia dengan alam. Dalam kerangka ekologi integral, sebagaimana ditawarkan oleh Paus, semakin tampak bagaimana relasi manusia dengan alam tak bisa dipisahkan dari relasi manusia dengan sesamanya dan juga relasi manusia dengan Allah Sang Pencipta. Relasi manusia dengan alam yang cenderung eksploitatif serta merusak ternyata berkorelasi positip dengan relasi manusia dengan sesamanya yang cenderung membiarkan terjadinya kesenjangan, menyingkirkan sesama yang miskin, dan tidak peduli terhadap penderitaan berkepanjangan dari sesama yang semakin jauh tersingkir tersebut. Jeritan bumi menyatu dengan jeritan saudara-saudara kita yang tersingkirkan. Di sini Paus mengajak kita untuk merenungkan tentang saling ketergantungan antar makhluk hidup dan alam lingkungannya yang mendasar. Kita diajak mendalami misteri kesatuan asal usul dan pengembangannya secara ekologis dari seluruh alam ciptaan. Kesatuan ini bisa dilacak lewat kesamaan banyak kode-kode genetik yang ditemukan di hampir semua makhluk hidup, kajian teori evolusi yang sudah bisa diterima oleh Gereja, dan refleksi spiritual dari berbagai tradisi keagamaan. Kesatuan ekologis ini sangatlah intim sekaligus rentan terhadap pengrusakan-pengrusakan yang diciptakan oleh ulah manusia yang tak bertanggung-jawab. ~6~ Lingkungan dan Keadilan Di dalam misteri kesatuan ekologis Allah hadir dan membangun kesatuan sinergis diri-Nya, manusia, dan alam. Kehadiran-Nya menciptakan pengalaman keterpesonaan serta pengalaman intimitas mendalam bagi sejumlah tokoh-tokoh religius seperti Agustinus lewat konsep Deus Intimior Intimo Meo, Fransiskus Asisi lewat madah “Gita Sang Surya”, dan Ignatius Loyola lewat “Kontemplasi Mendapatkan Cinta” serta pengalaman konsolasi rohani mendalam saat malam hari memandang bintang-bintang di langit lepas. Pengalaman keterpesonaan dimungkinkan untuk dialami secara mendalam oleh peneliti-peneliti yang menekuni objek-objek penelitian terkait dengan realitas materi di bentangan alam semesta. Melalui kesatuan ekologis serta sinergis, Allah melanjutkan karya penciptaan-Nya. Terkait hal ini, keberlanjutan karya penciptaan Allah hanya mungkin berjalan mulus kalau relasi manusia – alam – sesama – Allah bisa dibuat utuh kembali. Ini berarti relasi-relasi pincang bisa diluruskan kembali, keadilan ditegakkan kembali, kebaikan bersama diusahakan lagi, dan solidaritas ditumbuhkan lagi. Di sinilah letak pentingnya pertobatan ekologis sebagaimana ditawarkan oleh Ensiklik Laudato Si’. Demi terpenuhinya nilai-nilai tersebut perlulah dipilih prinsip-prinsip kerja seperti: pengakuan akan kesatuan serta saling ketergantungan antar manusia dan alam, penerapan prinsip daur ulang dan prinsip konservasi sumber-sumber air, preferensi jenis-jenis energi terbarukan, efisiensi penggunaan energi, penghematan air, pengolahan limbah, kesediaan saling merawat serta saling berbagi, usaha pencarian solusi-solusi masalah lingkungan secara bersama, dialog, dan kerjasama. Bagaimana nilai-nilai dan prinsip-prinsip kerja ~7~ Lingkungan dan Keadilan ini bisa ditanamkan dalam segenap sivitas akademika, perlu dicari peluang-peluang konkret yang tersedia di setiap perguruan tinggi. Sejumlah perguruan tinggi telah menerapkan prinsip daur ulang dan konservasi sumber-sumber air dengan kebijakan pengolahan sampah, penanaman pohon-pohon besar serta rindang untuk penyerapan gas emisi CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraankendaraan bermotor milik mahasiswa sekaligus sebagai penyerap air hujan, penggalian banyak sumur resapan, pembuatan kolamkolam ataupun bak-bak penampung air hujan, dll. Prinsip efisiensi penggunaan energi diterapkan dengan kebijakan berjalan kaki atau bersepeda untuk memenuhi kebutuhan mobilitas di kampus, penggunaan lampu-lampu penerangan hemat energi, penerangan ruangan-ruangan kelas secara alami, penggunaan AC seminimal mungkin, dll. Mahasiswa dianjurkan untuk membawa sendiri bekal air minum dalam satu botol plastik permanen, mengumpulkan tugas pembuatan karya tulis secara on-line, dll. Metode kerja khas Ajaran Sosial Gereja dikenal dengan rumus tiga tahapan kerja: see (= melihat) – judge (= menilai) – act (= bertindak). Mengingat bahwa masalah lingkungan adalah masalah kompleks dan bertindak untuk menanggapi masalah ini menuntut kebersamaan, kiranya untuk menerapkan metode kerja ini sejak awal tahapan melihat sudah harus diarahkan kepada pencarian peluang-peluang untuk nantinya bisa bertindak secara bersamasama atau setidak-tidaknya dampaknya bisa dirasakan bersama. Pencarian peluang-peluang nyata untuk bisa bertindak bersama perlu dilakukan oleh Perguruan Tinggi APTIK di tempat masing~8~ Lingkungan dan Keadilan masing dengan cara melihat secara saksama. Dalam paradigma berpikir ekologis, peluang-peluang nyata bagi usaha bersama pelestarian lingkungan akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor: ruang, waktu, tenaga, dana, dan gerakan kebersamaan yang mungkin dilakukan. Sebagai contoh: pilihan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta untuk memanfaatkan peluang ikut pengembangan urban farming atau pertanian kota di pusat atau pinggiran Jakarta sangatlah tepat. Dikatakan sangat tepat karena pilihan ini memungkinkan usaha pengurangan ecological footprints atau jejakjejak ekologis dari usaha mendatangkan sayuran dari pusat-pusat sayuran daerah Puncak yang ekosistemnya sudah sering mengalami banjir dan longsor. Gerakan bersama pengembangan urban farming di Jakarta sangat mungkin untuk diciptakan. Pilihan Universitas Sanata Dharma untuk memanfaatkan peluang penghijauan kampus, pengolahan limbah sampah, dan penggalian sumur resapan sebanyak-banyaknya merupakan pilihan tepat karena bisa menjawab masalah Kota Yogyakarta yang kurang memiliki area hijau, saluran pembuangan air hujan yang minim, dan mulai datangnya ancaman krisis sumber air sumur bagi penduduknya. Gerakan bersama penghijauan, pengolahan sampah, dan pembuatan sumur resapan untuk Kota Yogyakarta seharusnya cukup mudah untuk dihidupkan secara terus menerus kalau ada contoh-contoh konkret. Mungkinkah dilakukan gerak bersama antar Perguruan Tinggi APTIK dalam menjawab harapan-harapan Paus Fransiskus? Jawabannya: ~9~ Lingkungan dan Keadilan sangat mungkin. Sejumlah usaha konkret telah dicoba dirintis. Melalui program bernama APTIK Peduli Mentawai, isu lingkungan dicoba dikemas melalui program pembelajaran di rumah-rumah belajar bagi anak-anak selepas dari sekolah. Program pembelajaran model ini masih dalam perancangan. Program Studi Magister Manajemen USD dengan dukungan teman-teman dari UAJY telah menyelenggarakan program lingkungan yang diberi nama Green Entrepreneuship Training yang ditawarkan kepada pengusahapengusaha muda di DIY. Dua angkatan pelatihan sudah dihasilkan. Teman-teman dosen USD dan Unika Soegijapranata terlibat dalam usaha pendampingan kelompok-kelompok tani organik di bawah payung organisasi Sekretariat Petani-Nelayan Hari Pangan Sedunia yang didirikan tahun 1990 lewat Deklarasi Ganjuran. Program yang dikembangkan diberi nama Revitalisasi Deklarasi Ganjuran. Temanteman dosen UAJY dan USD di bawah koordinasi Ketua APTIK yang kebetulan berdomisili di Yogyakarta sedang merintis Eco-Camp Mangun Karso di Pantai Grigak sebagai kelanjutan dari program pengabdian Almarhum Rama YB. Mangunwijaya, Pr. di tengah masyarakat Dukuh Karang berupa penyediaan air minum bagi masyarakat dan penghijauan lingkungan. Kiranya masih banyak peluang-peluang yang bisa ditemukan oleh Perguruan Tinggi APTIK di tempat masing-masing. Keterlibatan konkret yang dipilih sebagai langkah strategis pemberdayaan gerakan pelestarian lingkungan baik di tingkat lokal maupun nasional akan menandai realisasi program Renstra APTIK 2017-2021 di bidang pencerdasan bangsa. Program-program pencerdasan berjangka panjang terkait isu lingkungan dan keterlibatan~ 10 ~ Lingkungan dan Keadilan keterlibatan konkret yang bisa dikembangkan dalam rangka Tridharma dan dengan orientasi nasional serta internasional tentunya memiliki nilai strategi sangat tinggi. Semoga programprogram dan keterlibatan-keterlibatan macam ini yang dijadikan pilihan Perguruan Tinggi APTIK. ~ 11 ~ Lingkungan dan Keadilan Kapitalisme dan Ekologi Kehidupan (Beberapa Catatan untuk Refleksi Programatik) B. Herry-Priyono, SJ.1 Menimbang kaitan antara kapitalisme, kerusakan lingkungan, konsern keadilan sosial dan urgensi Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah menimbang topik maha luas. Agar keluasan itu tidak langsung melumpuhkan, saya hanya akan mengiris saja perkara melalui 2 pertanyaan berikut: 1. Apa kaitan modus ekonomi-politik kapitalisme dan kondisi lingkungan hidup? 2. Urgensi programatik apa yang terlibat dalam kaitan keduanya bagi agenda transformasi di Indonesia? Pada hemat saya, dua pertanyaan itu pun sudah terlalu luas dan terlalu sulit untuk dijawab secara layak. Namun baiklah, kita akan coba menimbang sejenak 2 persoalan itu. Apa yang tertulis di bawah hanya pointers untuk memicu studi/diskusi lebih lanjut, dan pointers jauh dari kelengkapan. I. Beberapa Pengandaian Dasar Apa saja yang berlangsung dalam sejarah merupakan konteks sinequa-non bagi iman Kristiani – entah itu perang atau perdamaian, tatanan atau kekacauan, lingkungan sehat atau rusak, instabilitas atau stabilitas sistem ekonomi-politik, keadilan atau ketidakadilan, dsb. Pada jantung iman Kristiani, semua itu punya status teologisspiritual, persis karena Allah yang diimani dan diikuti orang Kristiani 1 B. Herry-Priyono, SJ., Dosen tetap dan Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Ph.D. The London School of Economics and Political Science (LSE), Inggris. ~ 12 ~ Lingkungan dan Keadilan adalah Allah yang menjelma, mendunia, menyejarah (Incarnate God; Iesus Christus = Deus incarnatus). Lugasnya, keterlibatan kita dengan jerih-payah perjuangan membuat dunia dan sejarah ini ke arah the common good merupakan syarat mutlak kesejatian iman Kristiani. Namun apa yang terjadi dalam sejarah manusia bukan hasil dari interaksi buta materi (random/blind interactions of matters), melainkan hasil dari dinamika hasrat dan gagasan manusia. Kehancuran hutan dan tingginya polusi oleh jumlah kendaraan pribadi bukanlah dalil alam tapi hasil dari corak hasrat dan gagasan tertentu. Karena realitas dibentuk oleh gagasan manusia, laku-iman Kristiani mutlak mensyaratkan keterlibatan dengan “pertarungan gagasan” (battle of ideas) untuk membentuk realitas sejarah. Dalam rangka “pertarungan gagasan” untuk membentuk realitas inilah Perguruan Tinggi (PT) Katolik punya posisi dan tugas garda-depan. Mengajar para mahasiswa agar mereka punya gelar dan mendapat kerja itu baik; dosen meneliti untuk memperoleh nilai kum juga baik. Namun itu tidak cukup, sebab PT Katolik punya mandat konstitutif lebih besar, yaitu terlibat dalam “pertarungan gagasan” untuk membentuk realitas menurut the common good. Kekhasan lembaga akademik adalah daya edukatif-formatif bagi para warga dunia modern (formative task) dan daya penelitian (research). Lembaga akademik bukanlah LSM, bukan juga kementerian pemerintah. Maka, mandat konstitutif terlibat dalam “pertarungan gagasan” untuk membentuk realitas sejarah dilakukan terutama melalui proses edukatif-formatif dan penelitian. Di jantung ciri “Katolik” PT adalah kesetiaan pada proses menterjemahkan mandat konstitutif di atas dalam dinamika formatif dan penelitian. Inilah pokok yang mudah dikatakan tapi begitu terjal untuk dihidupi. Dan di situ pula terletak locus jerih-payah imaginasi intelektual, imaginasi aksi, imaginasi manajerial. ~ 13 ~ Lingkungan dan Keadilan Perihal Kapitalisme: Karena istilah ‘kapitalisme’ begitu lentur dan latah, ada baiknya diajukan klarifikasi kecil. Yang dimaksud capitalism adalah ism tentang capital (isme/ideologi/gagasan mengenai modal). Di jantung arti kapitalisme adalah faham/gagasan tentang prioritas capital dalam proses produksi, distribusi, alokasi dan pengorganisasian realitas hidup. The primacy of capital ini salah satunya terungkap dalam logika akumulasi capital. Tanpa tujuan akumulasi capital, tak ada kapitalisme. Dengan berporos pada capital, kapitalisme membentuk sistem organisasi masyarakat yang mensyaratkan corak politik dan budaya tertentu. Namun dari arti dasar itu, penting untuk memahami tidak hanya ada satu jenis kapitalisme. Terdapat beragam jenis kapitalisme: corak kapitalisme di Amerika Serikat berbeda dengan kapitalisme di Jerman. Misalnya, operasi kapitalisme AS bertumpu pada pasar modal dan berciri deregulatif, sedangkan kapitalisme Jerman lebih bertumpu pada institusi bank dan regulatif. Begitu pula kapitalisme di Jepang berbeda dengan di Prancis, kapitalisme di China lain dari kapitalisme di negara-negara Amerika Latin, kapitalisme di Indonesia lain dari kapitalisme di Rusia.2 Maka, kaitan antara kapitalisme dan lingkungan hidup sebenarnya juga bervariasi. Istilah ‘lingkungan’ (environment) menunjuk pada dualitas atau relasi timbal-balik antara alam (nature) dan budaya (culture). Maka, di satu pihak adalah ciri alami/fisik lingkungan (physical environment), di lain pihak adalah sifat kultural lingkungan (cultural environment). Lingkungan bukanlah pilihan salah satu, tapi kondisi hasil tegangan niscaya antara keduanya. Lingkungan menyangkut 2 Untuk keragaman jenis dan kinerja kapitalisme, lihat misalnya Peter A. Hall & David Soskice (eds.), Varieties of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2001); John Scott, Corporate Business and Capitalist Classes (Oxford: Oxford University Press, 1997). ~ 14 ~ Lingkungan dan Keadilan faktisitas biofisik yang bisa diukur secara obyektif dan sekaligus dinamika kultural persepsi-aspirasi manusia yang menghuni bumi. Dengan itu, apa yang terjadi pada lingkungan bukan sekadar hasil dari interaksi acak/buta daya materi seturut dalil alam tapi secara mendalam dibentuk oleh corak gagasan dan kegiatan manusia, misalnya dalam ecological footprints.3 ‘Keadilan’ adalah konsep filsafat moral (moral philosophy) ketimbang sesuatu yang dapat disimpulkan dari kaidah ilmiah dalam arti ketat. Maksudnya, keadilan adalah konsep valuasi (penilaian) etis yang melibatkan pengenaan ciri “baik” atau “buruk” pada gugus tindakan, praktek, atau kondisi faktual tertentu. Misalnya, Koefisien Gini (KG) 0,41 mengindikasikan tingkat kesenjangan lebih tinggi antara kaum kaya dan miskin dibanding 0,14. Tetapi, kesimpulan bahwa KG 0,41 lebih tidak adil dibanding 0,14 adalah valuasi yang melibatkan pandangan etis. Apakah mungkin memisahkan “kaidah ilmiah” dan “valuasi etis”? Pada hemat saya, kedua hal itu secara kategoris bisa dibedakan tapi tak mungkin dipisahkan sejauh perkara yang dikaji menyangkut tindakan, praktik, dan kondisi yang muncul dari tindakan/praktik manusia. Dan soal kualitas lingkungan hidup merupakan salah satu perkara seperti itu. Lalu, apa kriteria “baik” dan “buruk”, atau “adil” dan “tidak-adil”? Ada berbagai tradisi pemikiran etis, dan ASG adalah tradisi ethicotheological yang secara konstitutif di-mandat-kan oleh Gereja kepada PT Katolik.4 3 Ciri human-made lingkungan sudah luas ditunjukkan. Lihat misalnya Spencer R. Weart, The Discovery of Global Warming (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003); lihat juga Ensiklik Paus Franciscus, Laudato Si’, 24 Mei 2015, terutama #17-61. 4 Bandingkan dengan Johanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, 15 Agustus 1990. ~ 15 ~ Lingkungan dan Keadilan II. Corak Kapitalisme Kontemporer Seperti disebut, amat simplistik memandang kapitalisme sebagai entitas homogen dan monolit. Namun tidak keliru menyatakan bahwa ciri kapitalisme dewasa ini dibentuk secara mendalam oleh jenis kapitalisme di AS dan Eropa Barat yang berevolusi sejak abad ke-18. Kapitalisme yang berkembang di Jepang, China dan Asia Timur lain baru mulai abad ke-20. Dengan variasi, salah satu terobosan penelitian mengenai ciri kapitalisme dalam kurun panjang (longue durée) adalah kaitannya dengan tingkat ketimpangan ekonomi (economic inequality) - karena itu juga ketimpangan sosial, ekonomi dan kultural. 2. Grafik longue durée di bawah ini adalah hasil penelitian panjang ekonom Thomas Piketty dkk. Penelitian terobosan ini secara eksplisit melukiskan ciri kapitalisme dalam rentang waktu yang panjang, dengan proxy perbandingan antara tingkat imbalan atas modal (rate of return - r, tanda ♦) dan tingkat pertumbuhan ekonomi (economic growth- g, tanda I I).5 5 Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press, 2014), hlm. 356. Sejak diterbitkan, buku ini telah menjadi buku klasik dan topik perdebatan dalam ilmu ekonomi dan studi tentang kapitalisme. ~ 16 ~ Lingkungan dan Keadilan Tanpa masuk ke detail, grafik di atas berkisah bagaimana sampai Depresi Ekonomi 1930, ciri kapitalisme di Eropa Barat dan AS ditandai oleh kesenjangan sangat tinggi - lihat jarak antara (-♦-) dan (-1 I-). Kemudian dari PD II sampai sekitar 1980, kapitalisme ditandai kesenjangan ekonomi rendah. Itulah periode ketika kapitalisme punya “wajah ramah” dalam rupa berbagai jaminan sosial. Namun sejak sekitar 1980 (kira-kira ketika corak globalisasi dewasa ini mulai) ciri kapitalisme kembali menunjukkan wajah kesenjangan tajam dan sangat tajam. Piketty menemukan bahwa di awal abad ke-21, kapitalisme kembali menunjukkan ciri sangat timpang seperti abad ke-19, yang ia sebut ‘Kapitalisme Patrimonial’ (Patrimonial Capitalism). Inilah jenis kapitalisme yang digerakkan oleh harta warisan, para pelakunya tidak perlu kerja keras atau hanya butuh taktik berkolusi, cirinya mengolok-olok meritokrasi dan tata demokrasi. Apakah ciri kapitalisme dalam kaitannya dengan tingkat ketimpangan itu juga menandai ciri kapitalisme di negara-negara miskin dan sedang berkembang? Piketty dan kawan-kawannya juga meneropong negara-negara seperti India, Indonesia, China, Argentina, Colombia, Afrika Selatan. Apa yang ditemukan dalam kurun waktu panjang menunjukkan pola yang sama.6 Di bawah ini adalah grafik perbandingan antara yang terjadi di AS, Eropa, dan negara-negara miskin serta sedang berkembang. Kedua grafik menunjukkan pola yang sangat mirip. 6 Piketty, Capital in the Twenty-First Century, hlm. 324, 327. Untuk kajian teknis-metodologis, lihat Thomas Piketty, The Economics of Inequality /(Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press), 2015. ~ 17 ~ Lingkungan dan Keadilan Kontroversi yang dibawa penelitian Piketty dkk. menyulut kemarahan kaum konservatif. Namun, pada 2 Oktober 2014 diterbitkan laporan penelitian lain mengenai ketimpangan dan kesejahteraan dunia oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan Universitas Utrecht, Belanda, berjudul How was Life? Global Well-Being since 1820. Apa yang ditemukan sangat mirip dan meneguhkan temuan Piketty dkk.: sejak 1820 ketimpangan terus menanjak, lalu periode 1950-1980 ditandai ciri egalitarian, dan sejak 1980 ketimpangan kembali melonjak tajam ~ 18 ~ Lingkungan dan Keadilan seperti pola di sekitar tahun 1820.7 Rupanya jenis kapitalisme itulah yang menjadi target kritik 2 Ensiklik Paus Franciscus, ketika ia menulis ciri menjarah kapitalisme telah menjadi “tirani baru” yang “menyembah berhala uang”, yang telah membuat “kematian seorang gelandangan tua tidak menjadi berita, tapi penurunan 2 points indeks pasar saham menjadi berita besar”.8 Atau, ketika ia menulis kapitalisme dewasa ini ditandai “sistem hubungan komersial dan hak milik yang secara struktural sesat (structurally perverse)” melalui “persekongkolan kekuatankekuatan ekonomi yang menjustifikasi sistem global, dengan prioritas pada spekulasi dan penjarahan finansial, yang tidak peduli pada konteks apalagi pada dampaknya bagi martabat manusia dan lingkungan alam”.9 Ciri kapitalisme apa yang dapat dikenali dari data dan grafik di atas? Rupanya ciri kapitalisme senantiasa berwajah ganas dalam kaitannya dengan tingkat ketimpangan, kecuali masa antara 19451980. Periode 1945-1980 itu disebut dengan aneka istilah: masa keemasan kapitalisme, wajah manusiawi kapitalisme, kapitalisme yang berciri sosial, kapitalisme tertanam (embedded capitalism), dsb. Dalam periode itu, tingkat laba investasi tidak terlalu tinggi, dan kapitalisme dikenai berbagai regulasi untuk menyangga berbagai jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakan kerja, pendidikan, keluarga, pensiun, upah minimum, dsb. Apa yang menyebabkan periode itu berakhir? Seperti tampak dalam grafik, momen itu terjadi sekitar 1979-1980. Apa yang terjadi di belakang 7 OECD Development Centre, How was Life? Global Well-Being since 1820 (Paris, 2014). 8 Paus Franciscus, Evangelii Gaudium, 24 November 2013, #53, 55-56. 9 PausFranciscus,Laudato Si’, #52, 56. ~ 19 ~ Lingkungan dan Keadilan perubahan itu adalah resesi ekonomi (yang merepotkan pemerintah-pemerintah negara maju) yang berkait dengan imbalan rendah atas invetasi (yang menekan nafsu laba para kapitalis). Aliansi antara pemerintah dan kaum investor besar itulah yang lalu memicu revolusi privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pada dekade 1980-an. Inilah yang lalu membawa globalisasi ekonomi dan finansial dalam coraknya dewasa ini – pada grafik ditandai dengan tingkat ketimpangan yang melonjak tajam ke arah ketimpangan abad ke-19. Menurut Piketty, “wajah ramah” dan “sifat sosial” kapitalisme periode 1945-1980 itu adalah pengecualian (exception) dalam logikainternal kapitalisme. Namun pada hemat saya, karena kapitalisme selalu beroperasi dalam bingkai politik, sosial, kultural dan enviromental tertentu, logika-internal (internal logic) bukanlah satusatunya cara memandang persoalan. Apa yang hendak saya ajukan adalah pokok ini: bahwa ciri ganas kapitalisme bukanlah keniscayaan dan dapat dimodifikasi melalui agenda politik, sosial, kultural dan enviromental tertentu. Corak kapitalisme pada periode 1945-1980 persis punya wajah lebih ramah karena dimodifikasi oleh skema politik tertentu, yaitu negara sosial/kesejahteraan (the social State, the welfare State). Tentu, saya sepenuhnya sadar argumen sanggahan yang kini menjadi mode teknokrasi: bahwa skema politik dalam rupa regulasi dan beban “pajak sosial” itu akan mencegah investor untuk menanam modal, padahal modal hanya dipunyai kaum kaya yang akan berinvestasi jika prospek labanya tinggi ^ maka rendahnya investasi menyebabkan rontoknya lapangan kerja, lapangan kerja yang rontok menimbulkan pengangguran luas! Selamat datang ke “logika sirkular ayam-telur”. Inilah kerdilnya wawasan ekonomi dewasa ini. Apa ciri kapitalisme yang beroperasi di Indonesia? Tentu saja sulit ~ 20 ~ Lingkungan dan Keadilan melukiskan ciri umum itu, sebab ciri para kapitalis Indonesia juga beragam. Ahli seperti Richard Robison mengisyaratkan bahwa yang subur di Indonesia adalah kapitalisme rente (rent capitalism). Itu jenis kapitalisme dengan operasi yang disandarkan pada kolusi dengan para pejabat negara, terutama melalui monopoli kontrak, kartel dan penyimpangan budget pemerintah.10 Melihat apa yang berkembang sejak Reformasi 1998, pada hemat saya corak kapitalisme di Indonesia yang menggejala dewasa ini lebih mirip apa yang ditunjuk Marx sebagai ‘akumulasi primitif (primitive accumulation). Sesungguhnya akumulasi primitif belum disebut kapitalisme, tapi kondisi sebelum kapitalisme: “Inilah asal-usul historis produksi kapitalis, bukan dampaknya; akumulasi primitif ini berperan sama seperti dosa-asal dalam teologi”.11 Proses akumulasi primitif terjadi dalam transisi dari modus produksi pra-kapitalis ke kapitalis, melibatkan transfer paksa tanpa melalui mekanisme pasar dari sektor pra-kapitalis ke produksi kapitalis. Akumulasi primitif melibatkan penjarahan asset publik, pengambilan paksa tanah milik publik dan warga miskin, korupsi masif, pemakaian kekuasaan negara untuk mendistorsi harga pasar, proteksi pasar, transfer melalui mekanisme fiskal. Aneka modus akumulasi primitif ini menggejala di semua negara yang sedang bergerak menuju kapitalisme, terutama di negara-negara sedang berkembang (developing countries) serta negara-negara transisi seperti di Eropa Timur. Pada hemat saya, corak akumulasi primitif ini yang lebih tepat melukiskan kapitalisme di Indonesia: cirinya menjarah dan samasekali tak peduli pada apapun (termasuk lingkungan), kecuali perolehan aset dan laba setinggi mungkin. 10 Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin), 1986. 11 Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy – Vol. 1 (London: Penguin Classics, 1990 [1867]), hlm. 764, 873. ~ 21 ~ Lingkungan dan Keadilan Apakah ciri kapitalisme di Indonesia itu terkait secara kausal dengan kerusakan lingkungan yang sedang ganas terjadi? Dalam ilmu-ilmu manusia, adalah naif menyimpulkan penyebab suatu gejala pada satu faktor, sebab kesemrawutan realitas merupakan simptom keragaman dan lapis-lapis penyebab. Namun saya berani bertaruh, ciri kapitalisme di Indonesia yang secara dominan ditandai oleh akumulasi primitif dan bisnis penjarahan merupakan satu faktor kausal yang maha penting di belakang gejala kerusakan lingkungan di Indonesia, dari pembakaran hutan dan asap tahunan sampai regularitas banjir serta kehancuran keragamaan hayati. Dalam konstelasi kaitan ini, bisnis tambang, bisnis otomotif dan bisnis monokultur memegang peran sentral. Salah satu contohnya adalah penelitian baru The Institute for Ecosoc Rights yang jelas menunjukkan kaitan langsung antara kerusakan lingkungan, pelanggaran hak-hak asasi dan ciri-menjarah bisnis kelapa sawit di Kalimantan Tengah.12 Sebagai ilustrasi, gambar di bawah yang telah diketahui banyak pihak hanya memberi contoh. Gambar kiri menunjukkan apa yang telah dan akan terjadi pada hutan tropis di Kalimantan. Gambar kanan menyajikan kawasan Merauke (Papua) yang telah di-kapling perusahaan-perusahaan dalam rangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). 12 The Institute for Ecosoc Rights, Industri Perkebunan Sawit dan Hak Asasi Manusia: Potret Pelaksanaan TanggungJawab Pemerintah dan Korporasi terhadap Hak Asasi Manusia di Kalimantan Tengah, Jakarta 2015. Penelitian ini juga kaya dengan narasi kisah-kisah nyata yang dikumpulkan melalui wawancara lapangan mengenai kaitan kausal antara corak bisnis, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM. ~ 22 ~ Lingkungan dan Keadilan III. Kapitalisme, Lingkungan dan Defisit Teknokrasi Lalu, bagaimana memandang kaitan antara kapitalisme dan kondisi lingkungan hidup? Soal ini telah menjadi kontroversi yang membelah bahkan orang-orang yang berkehendak baik ke dalam kubu-kubu ideologis. Namun dapat dikatakan semakin terjadi konsensus bahwa ciri kapitalisme dewasa ini mempunyai dampak yang mencemaskan bagi kualitas lingkungan.13 Salah satu cara memahami kaitan antara kapitalisme dan kondisi lingkungan adalah melihat trend operasi para pelaku kapitalisme yang dibandingkan dengan trend produksi/konsumsi secara umum. Interaksi antara kedua trends itu salah satunya menghasilkan jejak-ekologis (ecological footprint). Di bawah ini adalah grafik trend pertumbuhan operasi perusahaan transnasional dan perdagangan global. 13 Lihat misalnya Nik Haynen et al. (eds.), Neoliberal Environment: False Promises and Unnatural Consequences, London: Routledge, 2007. ~ 23 ~ Lingkungan dan Keadilan Sedangkan grafik di bawah adalah contoh permintaan industri (gambar kiri) yang salah satunya membentuk jejak-ekologis dengan dampak pada lingkungan (gambar kanan & bawahnya). ~ 24 ~ Lingkungan dan Keadilan Dari beberapa grafik di atas tampak bahwa kondisi lingkungan hidup paralel dengan gerak corak industrialisasi yang menjadi bagian integral kapitalisme. Namun juga perlu ditegaskan, corak industrialisasi dalam sistem sosialis dan komunis juga tidak lebih baik. Pokok ini penting tapi punya risiko simplifikasi yang dapat membawa ke posisi luddite, yaitu sikap anti terhadap industrialisasi dan teknologi modern. Sangatlah pasti itu bukan posisi ASG. Apabila kualitas lingkungan tidak mungkin dipisahkan dari industrialisasi, maka rupanya soal pokoknya bukan industrialisasi melainkan jenis industrialisasi apa yang sanggup merawat kualitas keberlanjutan lingkungan. Kritik tajam ASG dalam beberapa dasawarsa ini (menonjol sejak ensiklik Caritas in Veritate sampai Laudato Si’) membidik bukan pembangunan dan industrialisasi itu sendiri, tetapi corak pembangunan, industrialisasi dan teknokrasi-ekonomi yang dominan dewasa ini. Di situlah pentingnya perdebatan yang terus menyala mengenai model pembangunan, model sistem ekonomi, tananan finansial, faham fundamentalisme pasar dan neoliberalisme, ciri sosial pasar, dsb. Dan perdebatan mengenai persoalan-persoalan itu kini tetap berlangsung. Semua itu juga menunjukkan bahwa corak kaitan yang kini terjadi antara ‘kapitalisme/industrialisasi’ dan ‘lingkungan’ bukanlah keniscayaan logis. Maka perlu ditegaskan, kapitalisme dan industrialisasi tidaklah per se dan niscaya berakibat detrimental pada lingkungan. Dalam realpolitik bisnis, inovasi teknologi dan program corporate social responsibility (CSR) tentu bukan pertama-tama ditujukan (intended) untuk perbaikan lingkungan dan keadilan. Akan tetapi, tidak sedikit inovasi teknologi atau program CSR yang ~ 25 ~ Lingkungan dan Keadilan intentionally dimaksudkan untuk mengungkit produktivitas dan laba serta menaikkan reputasi bisnis sering juga mempunya dampak baik, meskipun tentu dampak itu hanya efek-sampingan (unintended consequences). Apa yang selalu memusingkan adalah bahwa efek-sampingan ini tetap tinggal “sampingan” (externality). Artinya, tidak integral dalam operasi bisnis itu sendiri (internality). Maka kita berayun antara business as usual dan aneka skema institusional untuk minimalisasi dampak merusak terhadap lingkungan (bahasa ekonomi: negative externality). Itulah mengapa operasi bisnis terus berderap (sering dengan ciri menjarah sama) yang berpacu dengan makin aktifnya usaha institusional untuk meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan. Di bawah ini 2 gambar yang dapat melukiskan tegangan itu. Gambar kiri memotret penjarahan-tanah yang terus terjadi secara global, sedangkan gambar kanan melukiskan upaya institusional yang semakin kencang – agenda kolosal seperti Millennium Development Goals (MDG) dan kini Sustainable Development Goals (SDG) adalah bagian dari upaya itu. Tidak sangat keliru mengatakan Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015) juga bagian upaya intervensi bagi “pertarungan gagasan” dan “agenda programatik” dalam persoalan itu. ~ 26 ~ Lingkungan dan Keadilan Selamat datang ke paradoks kisah manusia: semakin gelap neraka, semakin cemerlang sorga. Dalam suatu masyarakat yang relatif tertata, justru tidak mudahlah kita berbicara tentang “yang baik” (the good). Justru ketika kondisi dalam keadaan gelap, lebih mudahlah menggagas tentang the good itu. Maka, mungkin soal pokoknya bukan apa itu the good dalam situasi buram ini, tapi mengapa the good itu tidak terjadi! Di sinilah kita bertemu dengan urusan lebih memusingkan lagi ketimbang perkara menjelaskan. Itulah proses dan langkah-langkah transformasi. Ketika menggagas proses dan langkah transformasi, salah satu perangkap yang hampir selalu menjebak kita adalah konsepsi ini: kita bermimpi gagasan dan maksud baik menciptakan desain transformasi yang baik, dan karena baik desain transformasi itu akan diikuti semua orang ergo desain transformasi itu cepat atau lambat akan dilaksanakan semua pihak pelaksanaan desain membuat lingkungan hidup kembali menjadi nirvana. Terhadap mimpi seperti ini perlu ditegaskan: Realpolitik perubahan tidak pernah berlangsung seperti itu! Apa yang selalu terjadi adalah logika begini: jerih-payah gerakan transformasi menyusup dalam keragaman kepentingan dan tegangan/konflik antar aneka kepentingan, dan transformasi adalah produk dari kecerdikan mengelola (skillful management) keragaman kepentingan itu ke arah isi transformasi yang dituju oleh desain. Ada-tidaknya desain yang baik biasanya menjadi tanggungjawab pemerintah (government). Dan desain transformasi yang baik juga berisi langkah-langkah metodis untuk mencapai target yang dibidik secara gradual. Ini yang disebut teknokrasi (technocracy). Teknokrasi berisi seperangkat kebijakan dengan langkah-langkah teknis yang diterapkan untuk mengubah arah perilaku dan kecenderungan ~ 27 ~ Lingkungan dan Keadilan gejala. Contoh, Paket Ekonomi Pemerintah RI (9 September 2015) merupakan kebijakan teknokratis seperti itu, dengan sasaran mengubah perilaku para investor agar tidak takut ber-investasi di Indonesia dalam kondisi rupiah lemah. Kebijakan teknokratis sangat dibutuhkan bagi manajemen, dari pengelolaan usaha kecil sampai pengelolaan negara-bangsa. Teknokrasi dan seni-pemerintahan tak bisa dipisahkan. Namun (seperti halnya sifat manusia) pada kekuatan teknokrasi juga terletak kelemahannya.14 Apa kelemahannya? Instrumen kebijakan teknokratis biasanya punya premis agak behavioristik tentang tindakan manusia: bahwa orang akan berubah menurut arah desain setelah menerima stimulus insentif atau dis-insentif tertentu. Instrumen kebijakan teknokratis umumnya menderita defisit konsepsi perubahan tindakan, juga mengabaikan kuatnya daya habitus. Habitus manusia tidaklah se-elastis seperti yang kita kira, tidak juga mudah berubah meskipun disuntik berbagai stimuli insentif dan dis-insentif. Habitus dies hard. Apa pentingnya soal teknokrasi dan habitus dalam rangka memahami kaitan antara kapitalisme dan kondisi lingkungan? Tanpa 14 Ensiklik Caritas in Veritate (Benedictus XVI) mengingatkan kelemahan teknokrasi sebagai satu-satunya metode perubahan, dengan ungkapan begini: “Pengembangan manusia lalu sering dipahami sebagai sekedar rekayasa finansial, liberalisasi pasar, pembebasan tarif, investasi produksi, reformasi institusi –dengan kata lain, urusan teknis belaka…” Lalu “satusatunya kriteria tindakan bisnis adalah maksimalisasi laba, dalam politik kriteria itu konsolidasi kekuasaan, dan dalam sains penemuan-penemuan riset” (#71). ~ 28 ~ Lingkungan dan Keadilan perangkat kebijakan teknokratis, pemerintah kehilangan raison d’être-nya. Desain kebijakan teknokratis sebagai stimulus bagi dunia bisnis untuk berubah ke arah perawatan lingkungan sangatlah mendesak, dan dunia perguruan tinggi punya tugas luhur membantu pembuatan skema teknokratis ini. Namun, seperti telah diisyaratkan, adanya desain kebijakan teknokratis tidak serta-merta membawa perubahan, juga bila coba selalu ditegakkan. Itu bukan berarti kebijakan teknokratis tidak penting. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa instrumen kebijakan teknokratis merupakan “kerangka politis” melalui mana perubahan bersama sebagai suatu bangsa akan ditempuh. Tapi itu masih jauh dari perubahan. Sebab, dalam praktik bisnis dan perawatan lingkungan, apa yang mesti berubah bukanlah sekadar “kerangka politis” tetapi perubahan cara berpikir, cara merasakan, tindakan, perilaku, praktik, dan habitus. Di situlah kita bertemu dengan agenda yang menyangkut proses formatif-edukatif yang butuh penelitian serius mengenai pedagogi transformasi. Inilah wilayah kompetensi PT. Cukup pasti mandat Gereja kepada PT Katolik untuk terlibat dalam “pertarungan gagasan” bagi the common good menyangkut soal ini pula. IV. Perguruan Tinggi Katolik dan Urgensi Pedagogi Transformasi Dengan pool keahlian dan pengalaman memadai dalam kebijakan pemerintahan, sesungguhnya tidaklah teramat sulit mendesain skema kebijakan teknokratis yang baik. Namun sebaik apapun, skema teknokratis tidak dapat mengganti proses perubahan ~ 29 ~ Lingkungan dan Keadilan perilaku dan praktik di dataran riil sehari-hari yang rutin dan berlangsung gradual dalam waktu panjang. Ini berlaku bukan hanya bagi urusan lingkungan hidup, tetapi juga banyak hal lain: dari soal korupsi sampai cara berlalu-lintas, dari kejujuran dalam ujian sekolah sampai tata-krama ber-handphone di ruang pertemuan. Dalam banyak hal dapat dikatakan, yang kurang di negeri ini bukan skema kebijakan teknokrasi dan undang-undang, melainkan proses pedagogis perubahan habitus pada dataran hidup sehari-hari. Tentu, tidaklah mudah menemukan teknokrat yang andal, tetapi rupanya jauh lebih sulit menemukan pedagog transformasi habitus. Di mana para ahli pedagogi transformasi? Itu juga yang menjadi pokok urgen dalam perkara lingkungan hidup. Apa yang kurang bukanlah undang-undang dan skema kebijakan teknokratis, melainkan proses pedagogis perubahan dari perilaku/praktik unsustainable ke perilaku/praktik sustainable. Berilah perilaku/praktik yang unsustainable simbol X1, dan perilaku/praktik sustainable simbol X2. ‘Permanensi’ menunjuk kondisi status quo (dari X1 tetap ke X1), sedangkan ‘transformasi’ menunjuk kondisi perubahan (dari X1 ke X2). Kalau seorang di tahun 2010 punya kebiasaan membuang sampah sembarangan dan kini di tahun 2015 tetap punya kebiasaan itu, yang terjadi adalah status quo dari X1 tetap ke X1. Bila ia berubah ke arah kebiasaan membuang sampah di kotak sampah, yang terjadi X1 menjadi X2, seberapa pun gradual perubahan itu. Mengapa setelah sekian tahun orang yang melakukan X1 tetap melakukan X1? Mengapa setelah sekian tahun orang yang dulu melakukan X1 kini berubah ke melakukan X2? Itulah pertanyaan inti teori tindakan, teori transformasi, dan proses pedagogis transformasi. ~ 30 ~ Lingkungan dan Keadilan Time-1 (t1) Time-2 (t2) Permanensi X1 (praktik unsustainable) X1 (praktik unsustainable) Transformasi X1 (praktik unsustainable) X2 (praktik sustainable) Bagaimana X1 berubah menjadi X2? Bisa dengan koersi/paksaan, bisa melalui komando. Tetapi kedua rute itu tidak akan bertahan lama. Cara yang khas manusia adalah melalui proses belajar perubahan dari X1 ke X2. Itu mengandaikan bahwa manusia dapat dididik (educable) untuk berubah dari melakukan X1 ke melakukan X2, bukan hanya sebagai tindakan sesekali tetapi sebagai praktik/kebiasaan baru (habitus baru). Proses berkelanjutan mengubah X1 ke X2 ini disebut ‘pendidikan’ (education). Di situlah terletak inti pengertian proses pedagogis dalam formasi/edukasi lingkungan hidup: proses membawa seorang, sekelompok orang atau kinerja institusional dari praktik/kebiasaan environmentally unsustainable ke praktik/ kebiasaan yang enviromentally sustainable. Berbagai pendekatan ilmu-ilmu (misalnya pendekatan ekonomi, pendekatan politik, pendekatan antropologi, psikologi, hukum, dsb.) adalah model-model penjelasan (models of explanations) mengenai apa, mengapa dan bagaimana hubungan kausal antara faktor-faktor (explanantia) dan perilaku/kebiasaan yang environmentally sustainable atau unsustainable (explananda). Semua pendekatan itu sangat berguna! Namun semua itu bukanlah proses transformasi sendiri. Proses pedagogis melibatkan langkah-langkah metodis mengubah dimensi (a) cara-merasa, (b) cara-berpikir, dan (c) cara-bertindak dari posisi yang membenarkan perilaku/ praktik/kebiasaan yang environmentally unsustainable ke posisi ~ 31 ~ Lingkungan dan Keadilan menghidupi/promosi perilaku/praktik/kebiasaan mentally unsustainable. yang environ- Permanensi (X1 -> X1) atau transformasi (X1 -> X2) terjadi sejauh 3 dimensi tindakan-manusia berikut berada dalam kondisi tetap (status quo) atau berubah (transformed) Gugus keyakinan pada lapis Hasrat, keinginan, motif, corak afektif-emosional – credo nilai dan kepercayaan, kehendak, ergo sum nafsu, intensionalitas, disposisi batin, dsb. Gugus pengertian pada lapis Kapasitas berpikir/menalar; kapasitas membedakan dengan jelas dan terpilah; kognitif – cogito ergo sum kapasitas membedakan baik dan buruk, benar dan salah, merusak dan tidakmerusak, pengertian tentang kebaikanbersama. perilaku/praktik fisik, ciri Gugus tindakan praktis pada Kebiasaan lapis kebiasaan korporeal/fisik – tangible tindakan dan praktik, kapasitas ago ergo sum eksekusi tindakan, kapasitas membuat keyakinan dan gagasan jadi tindakan/kebiasaan konkret. Bagaimana ketiganya dilakukan dalam proses pedagogis yang efektif, sangatlah bergantung pada imaginasi taktis-metodis di lapangan: (a) Dimensi perubahan cara-merasa (credo) dapat medayaguna-kan kegiatan regular seperti retret, rekoleksi, doa, refleksi, menonton bersama film, membaca novel, dsb; (b) Dimensi perubahan cara-berpikir (cogito) dapat men-dayaguna-kan kegiatan reguler hari studi, ceramah, seminar, simposisum, presentasi makalah, analisis film, bedah buku ilmiah dan novel, penelitian, dsb; (c) Dimensi perubahan cara-bertindak dapat men-dayaguna-kan kegiatan reguler ekstrakurikuler, student camp, live-in, kompetisi hemat energi dan go-green antar-jurusan, aliansi berbagai ~ 32 ~ Lingkungan dan Keadilan perguruan tinggi untuk melakukan gerakan reguler bagi lingkungan di lingkup kota, dsb. Ciri triniter dimensi perilaku/praktik/kebiasaan manusia itu tidak terpisah satu sama lain, tetapi ketiganya dapat dibedakan dalam langkah metodis. Jika dan hanya jika perubahan terjadi pada ketiga dimensi itu, transformasi sejati dari X1 ke X2 dapat diharapkan. Pokok ini mungkin juga berguna untuk memahami mengapa banyak seminar, simposium, penelitian, atau acara-acara panggung tentang urgensi perawatan lingkungan sudah selalu diadakan, tetapi praktik/kebiasaan di lapangan tetap (atau semakin) ganas dan endemik. Seminar, simposium atau penelitian dapat mengubah pengertian, tetapi perubahan tindakan/praktik/kebiasaan/kondisi kerusakan bukan sekadar soal pengertian. Di balik ratapan kita atas kondisi lingkungan, tersembunyi pengandaian yang mungkin naif tentang tindakan manusia. Naifnya pengandaian seringkali terletak dalam pandangan ini: orang/kelompok yang sudah diajar dan tahu apa yang baik juga akan melakukan yang baik. Itu tidak pernah terjadi dalam sejarah manusia, dulu, sekarang dan esok. Tentu, saya samasekali tidak mau mengecilkan arti dan peran pengetahuan. Namun mengandaikan kaitan-langsung antara “pengetahuan” dan “transformasi” sama dengan mengandaikan terlalu banyak. Bisa saja proses pendidikan lingkungan mulai dari satu di antara tiga dimensi itu (terserah yang mana: entah dimensi pengetahuan, tindakan praktis, atau afektif-emosional). Namun tanpa dikawal dengan 2 dimensi lain, tak akan terjadi proses pedagogistransformatif sejati dari X1 ke X2. Dengan demikian, agar terjadi proses pedagogis-transformatif dari X1 ke X2, pintu-masuk dari salah satu dimensi apapun selalu mensyaratkan terjadinya proses paralel pada 2 dimensi lain. Misalnya, bisa saja mahasiswa diwajibkan ambil MK “Lingkungan Hidup” (pengertian), tetapi tidak akan terjadi ~ 33 ~ Lingkungan dan Keadilan proses pedagogis-transformatif apapun pada enviromentally sustainable acts/habitus apabila pelajaran itu tidak dibarengi proses pembatinan (dimensi afektif-emosional) dan latihan habituasi tindakan/praktik pada dataran aksi (dimensi tubuh/fisik). Ini juga berlaku bukan hanya pada lingkup perorangan, tapi juga lingkup kelompok, sekolah/perguruan tinggi, institusi bisnis, dan masyarakat sebesar suatu bangsa secara keseluruhan. Di mana tempat hukum (law), penegakan hukum (law enforcement), institusi (institution)? Institusi bukanlah “ruang/kerangka kosong” ke mana kita masuk dan dari dari mana kita keluar. Institusi adalah gugus endapan praktik kolektif yang terbentuk melalui perulangan tindakan tiap hari. Institusi yang menghidupi enviromentally sustainable habitus terbentuk sebagai endapan praktik yang terbentuk dari perulangan enviromentally sustainable acts setiap hari. Dan hukum? Hukum adalah keabsahan imperatif dalam masyarakat beradab untuk melakukan dan mencegah tindakan. Tetapi tak ada hukum yang efektif bagi transformasi dari X1 ke X2 apabila tidak disangga oleh pengertian (cogito) dan keyakinan (credo) bahwa apa yang diperintahkan hukum itu baik. Maka hukum yang efektif juga mengandaikan proses pedagogis pendidikan dari X1 (tindakan dilarang hukum) ke X2 (tindakan dibenarkan hukum). Pada akhirnya, sukses reformasi institusi, reformasi hukum dan penegakan hukum hanya terjadi apabila institusi dan hukum mengabdi proses pedagogis tranformasi dari X1 ke X2 secara non-koersif. Dari pokok-pokok di atas, moga-moga semakin jelas bahwa skema kebijakan teknokratis dan undang-undang tidaklah mencukupi, sebab semua itu hanya bingkai politis dan dasar legal. Locus pemberadaban (civilising process) terletak dalam jerih-payah proses formatif-edukatif tersembunyi yang berlangsung pada dataran rutinitas sehari-hari. Ia bukan satu momen peristiwa (event), ~ 34 ~ Lingkungan dan Keadilan melainkan proses pedagogis diri dan bersama yang berlangsung dalam waktu panjang, dengan kunci-metodis berupa repetitio (pengulangan). Tidak pernah ada proses pemberadaban yang instan dan langsung punya dampak. Karena itu juga bukan pada tempatnya mengharapkan dampak langsung dan instan pada kualitas lingkungan. 8. Bukankah seluruh proses pedagogis itu berlaku tidak hanya bagi institusi PT tetapi juga semua institusi lain, dari institusi bisnis sampai institusi pemerintah? Benar! Namun pada hemat saya ada urgensi tertentu mengapa pokok ini diajukan kepada PT, termasuk PT Katolik: PT adalah civitas dengan pool keahlian dalam bidang pendidikan dan proses pedagogi, dengan otoritasnya dalam penelitian dan pengembangan model serta modul pedagogi, dengan otoritasnya dalam membentuk (formatif) keterdidikan warganegara dan generasi baru bagi proses pemberadaban. Apa yang kosong di negeri ini dalam proses pemberadaban ke arah kualitas lingkungan bukan tiadanya undang-undang dan skema kebijakan teknokratis, tetapi pengembangan modelmodel dan modul-modul pedagogi transformasi. Sesungguhnya pokok ini berlaku bukan hanya dalam soal lingkungan hidup, tetapi juga dalam banyak perkara lain seperti korupsi, hubungan antar umat-beragama, kultur demokrasi, dsb. Otoritas dan kompetensi untuk meneliti dan mengembangkan model dan modul itu ada di tangan PT. Penelitian dan pengembangan serius model-model dan modulmodul proses transformasi societal inilah yang rupanya makin ditinggalkan oleh institusi PT, meskipun tugas agung bagi “pertarungan gagasan” ini sesungguhnya telah diserahkan oleh sejarah kepada PT. Keahlian untuk itu tidak bisa kita serahkan ~ 35 ~ Lingkungan dan Keadilan kepada institusi bisnis ataupun pemerintah. Di dataran praktis proses transformasi, kontroversi kaitan antara kapitalisme dan lingkungan hidup tiba-tiba seperti lenyap. Ada apa? Tidak, perkara itu tidak lenyap. Untuk meringkas, ada gunanya kita kembali memungut 2 pertanyaan di awal yang memandu refleksi kecil ini: Pertama, secara agregat dapat dikatakan bahwa kualitas lingkungan hidup punya kaitan historis dengan modus produksi dan konsumsi kapitalisme. Apakah kaitan itu membentuk keniscayaan logis ataukah sekadar koinsidensi historis? Karena dampak modus produksi/konsumsi sistem sosialis dan komunis rupanya juga tidak lebih baik atau buruk dibandingkan sistem kapitalis, mungkin dapat dikatakan bahwa letak masalahnya bukan pada modus kapitalis, sosialis, atau komunis, melainkan pada corak industrialisasi, entah itu dalam sistem kapitalis, sosialis ataupun komunis. Namun juga perlu ditegaskan bahwa corak industrialisasi dan praktik bisnis dalam ciri kapitalisme dewasa ini secara niscaya berdampak detrimental terhadap kualitas lingkungan hidup. Inilah yang juga menjadi sasaran kritik profetis ASG. Kedua, sementara pendekatan melalui kebijakan teknokratis dan hukum menjadi tuntutan niscaya, apa yang urgen dilakukan PT (Katolik) adalah penelitian dan pengembangan serius model-model pedagogi transformasi untuk proses formatif-edukatif lingkungan hidup pada dataran rutin sehari-hari, baik bagi kelompok-kelompok pendidikan dasar, menengah, tinggi, pelaku bisnis, pemerintah, dan institusi-institusi lain. Selebihnya, vita supplet. ~ 36 ~ Lingkungan dan Keadilan Permasalahan Lingkungan dan Upaya Masyarakat untuk Mengatasinya Maria Ratnaningsih1 1. Latar Belakang Membaca judul makalah ini, pertanyaan pertama yang timbul dari dalam benak kita adalah: MAMPUKAH? Sebagaimana kita ketahui bahwa permasalahan lingkungan hidup menjadi isu utama dalam setiap pembicaraan dan pembahasan, terrmasuk kunjungan Paus Fransiskus baru-baru ini ke UN. Salah satu topik yang mendapatkan sorotan adalah isu perubahan iklim. Mengapa Paus sampai bersusah payah untuk menyuarakan keadilan lingkungan kepada dunia global? Mengapa Paus sampai mengeluarkan Laudato ‘Si? Jawabannya sangat jelas, hampir tidak ada keadilan lingkungan bagi masyarakat kecil, lemah, miskin, dan tertindas. Kebijakan pembangunan yang berpihak secara adil dan merata kepada semua pihak masih belum terwujud. Kerusakan lingkungan tidak diperhitungkan sebagai biaya pembangunan yang harus diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun para pengusaha yang memanfaatkan sumber daya alam dalam skala besar. Pertimbangan dan target pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi telah mengabaikan sisi sosial dan lingkungan. Hal inilah yang menjadi awal terjadinya ketimpangan pembangunan dan kerusakan lingkungan. 1 Dr. Maria Ratnaningsih, S.E., M.M. adalah Sekretaris Yayasan Atma Jaya Jakarta. ~ 37 ~ Lingkungan dan Keadilan Pilar pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan belum berjalan seimbang: Dari sisi sosial, pembangunan sumber daya manusia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih dikonsentrasikan pada penyediaan sarana dan prasarana pendidikan formal. Promosi dan investasi di bidang pendidikan baik formal maupun informal bagi masyarakat khususnya di wilayah perdesaan dan daerah tertinggal serta pelatihan dan penguatan kapasitas masyarakat masih sangat minim dilakukan. Kegiatan yang ada lebih merupakan inisiatif masyarakat maupun dilakukan oleh kelompok-kelompok peduli masyarakat bekerja sama dengan NGO atau lembaga donor. Padahal, kekuatan sosial budaya dapat merupakan kekuatan untuk menciptakan inovasi dan ketahanan masyarakat dalam mengadaptasi dan memitigasi perubahan iklim maupun persoalan-persoalan lingkungan lainnya termasuk untuk memperkuat hak dan keadilan sosial bagi yang masyarakat kurang beruntung dan rentan seperti perempuan dan anak-anak. Dari sisi lingkungan, pelestarian lingkungan hidup secara nyata dapat mendukung keberlanjutan pembangunan. Dengan terlindunginya alam dan lingkungan, maka sumber daya alam sebagai aset pembangunan akan terus tersedia untuk mendukung aktivitas masyarakat. Pelestarian hutan dan lahan, menjaga ketersediaan air, energi, keanekaragaman hayati, sumber daya kelautan dan pesisir, mempertahankan kualitas air dan udara, serta kesehatan ekosistem DAS untuk mendukung seluruh aktivitas manusia maupun alam, merupakan kewajiban setiap pihak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim lokal maupun global. Penciptaan dan pemanfaatan teknologi dan energi ramah lingkungan menjadi bagian penting untuk mendukung pelestarian ini. ~ 38 ~ Lingkungan dan Keadilan Dari sisi ekonomi, kinerja pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak mampu menjawab permasalahan pembangunan. Kesenjangan pembangunan banyak dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia karena adanya perbedaan kepentingan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Kebijakan Nasional tidak sepenuhnya dapat menjamin kepentingan lokal, demikian pula sebaliknya. Kebutuhan Pendapatan Asli Daerah dan kebutuhan Penerimaan Pajak Nasional sering kali berbenturan atau justru mempercepat eksploitasi sumber alam sebagai bagian dari mengejar pendapatan demi pembiayaan pembangunan. Investasi didorong dengan tujuan pembangunan namun sekaligus menciptakan permasalahan pembangunan. 2. Indikator Pembangunan Dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat lokal baik akibat adanya perubahan iklim ataupun akibat pembangunan yang buruk (bad policy or corrupt policy) sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat lokal. Minimnya pengetahuan bersamaan dengan masih rendahnya pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal/adat, rendahnya keberpihakan kepada mereka, semakin melemahkan posisi mereka. Perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan periode kepemimpinan kepala daerah sungguh tidak menguntungkan meskipun Rencana Pembangunan Jangka Panjang baik Nasional maupun Daerah (RPJPN/D) sudah disusun dan dimiliki oleh semua Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan oleh penggunaan indikator pembangunan yang tidak mampu mencerminkan situasi dan kondisi pencapaian hasil pembangunan yang sesungguhnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan. ~ 39 ~ Lingkungan dan Keadilan Untuk memberikan gambaran yang utuh, maka dapat dilihat dari contoh-contoh berikut: 1) Kebijakan Ekslusif Top – Down REDD merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbon dari pembukaan lahan. Sosialisasi kepada masyarakat tentang REDD sangat minim dilakukan padahal skema REDD sangat mempengaruhi aktivitas dan mata pencaharian masyarakat. Kebijakan penetapan area untuk kegiatan REDD otomatis akan membatasi akses masyarakat pada sumber mata pencahariannya. Di sisi lain, para pengusaha yang telah memanfaatkan sumber daya hutan, khususnya kayu, dan secara significant berkontribusi pada peningkatan emisi justru berupaya untuk bisa mendapatkan dana REDD dan justru menyatakan bahwa mereka adalah perusahaan yang ramah lingkungan dan mendapatkan dukungan dari pemerintah karena dianggap lebih legal dibandingkan kelompok masyarakat. Dari contoh ini tampak bahwa ketidakadilan pembangunan terjadi. Upaya perbaikan pemerintah dengan menyempurnakan program REDD menjadi REDD+ menjadi tidak signifikan karena sudah memberikan gambaran ketidakadilan bagi masyarakat. (Kasus Aceh – Palangkarya). 2) Inkonsistensi kebijakan Wilayah Kalimantan Timur sangat kaya hasil tambang. Saat dominasi minyak bumi dan gas alam mendominasi pertumbuhan ekonomi, ~ 40 ~ Lingkungan dan Keadilan maka pengambilannya dilakukan secara massif. Perkembangan ekonomi di Kalimantan Timur tidak dapat dikatan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang semula mencapai tingkat 7,42% pada era kayu telah turun menjadi 5,41% pada era migas dan diikuti oleh peningkatan pengangguran hingga 10%. Perpindahan sektor unggulan ini disebabkan menurunnya stok kayu akibat penebangan besar-besaran dan menyisakan kerusakan lahan yang luar biasa parah. Pertumbuhan ekonomi kemudian didominasi oleh sektor Migas. Namun seiring dengan menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam, maka upaya melanjutkan pembangunan dilakukan dengan meningkatkan kegiatan di sektor pertambangan batu bara yang hingga kini masih massif dilakukan meskipun harga batu bara dunia anjlok. Pergesaran dari sektor Migas ke batubara juga menghasilkan pengangguran tinggi yaitu mencapai 12,83% pada tahun 2007. Kondisi ini terus memburuk, tingkat pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur akibat berkurangnya stok sumber daya alam mencapai tingkat 1,59% pada tahun 2013 akibat penurunan kontribusi sektor Migas dan anjloknya harga batubara.2 Sadar bahwa aset sumber daya alam tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber pembangunan, maka upaya melakukan transformasi ekonomi giat dilakukan untuk beralih melalui strategi transformasi ekonomi menuju struktur ekonomi berbasis sumber daya alam terbarukan berdasarkan transformasi sosial dan berbasis pada pertumbuhan ekonomi hijau dan pola pembangunan rendah karbon. 2 Bappeda Kalimantan Timur, 2013. ~ 41 ~ Lingkungan dan Keadilan Visi pembangunan hijau telah dicanangkan di Kalimantan Timur hingga tahun 2030. Upaya ini tidak sepenuhnya akan terwujud mengingat Pemerintah Pusat masih menetapkan bahwa Kalimantan Timur sebagai lumbung pangan dan lumbung energi nasional. Kegiatan perkebunan kelapa sawit dan penambangan mineral masih tetap menjadi primadona. 3) Kebijakan Spatial Pulau Jawa merupakan wilayah yang subur dan cocok untuk kegiatan pertanian karena kondisi tanahnya dan ketersediaan air yang memadai. Pencetakan sawah termasuk bendungan dan irigasinya telah dilakukan oleh Pemerintah sejak lama. Namun dengan adanya pergeseran arah pembangunan, maka Pulau Jawa bergeser menjadi daerah industri dan bisnis. Alih fungsi sawah banyak terjadi di berbagai tempat. Hilangnya investasi pemerintah yang telah dikeluarkan untuk keperluan irigasi dan persawahan tidak pernah dihitung sebagai bagian dari harga jual tanah sawah. Kebutuhan pangan yang tetap tinggi dan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk menjadi permasalahan baru bagi pemerintah karena terbatasnya lahan pertanian. Upaya yang dilakukan salah satunya adalah membuka sejuta lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk dijadikan areal pertanian meskipun terbukti gagal, dan yang terakhir adalah upaya pembangunan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), padahal budaya setempat bukanlah budaya bertani, melainkan budaya berburu. Sekitar 2,5 juta hektar lahan dialokasikan untuk Proyek MIFEE dan sudah beberap perusahaan besar melakukan investasi untuk mendapatkan konsesi kayu, pangan, dan produksi biofuel. Potensi ~ 42 ~ Lingkungan dan Keadilan masalah yang timbul adalah konflik sosial masalah kepemilikan lahan, meningkatnya jumlah migrasi yang melihat adanya peluang pekerjaan di Kabupaten Merauke, ketimpangan sosial antara masyarakat asli dan pendatang3. 4) Pembangunan Perkotaan yang Tidak Sesuai Keterbatasan lahan menjadi isu utama untuk dapat menampung seluruh kegiatan pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk. DKI Jakarta menjadi salah satu contoh nyata. Reklamasi lahan di wilayah Utara dilakukan untuk menambah luas wilayah guna menambah areal permukiman. Kegiatan ini jelas akan mempengaruhi ekosistem laut, menggusur nelayan dan seluruh mata pencahariannya, mengubah ekosistem mangrove yang memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dan daratan. Ironisnya, perumahan yang dibangun adalah perumahan kelas menengah ke atas di mana para pemiliknya sebagian besar mampu membeli rumah di bagian lain dari Jakarta atau menjadikannya sebagai rumah kedua. Tujuan kebijakan untuk mengatasi masalah perumahan tidak terjawab, sedangkan permasalahan lingkungan justru menjadi masalah baru yang harus dicari solusinya seperti meluapnya air pantai sepanjang jalan tol menuju bandara bila musim hujan sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat dan udara, meningkatnya luas area intrusi air laut ke wilayah Jakarta lainnya. Kerugian akibat kerusakan lingkungan ini harus ditanggung 3 Meauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) Project, Forest Peoples Programme, www.forestpeoples.org ~ 43 ~ Lingkungan dan Keadilan oleh pemerintah dan masyarakat terkena dampak tanpa jelas penyelesaiannya. 5) Kebakaran Hutan Bencana asap akibat kebakaran hutan yang berulang setiap tahun belum dapat diatasi secara tuntas. Awalnya bencana musiman ini ditudingkan langsung kepada masyarakat yang membuka ladang dengan membakar hutan, meskipun sekarang tudingan itu sekarang diperluas kepada para pengusaha perkebunan yang juga secara sengaja membuka lahan dengan membakar. Kadin Riau memperkirakan kerugian akibat kebakaran hutan yang telah menyebabkan bencana asap di Riau pada bulan September 2015 mencapai Rp 20 trilyun karena telah melumpuhkan ekonomi Riau selama sebulan dihitung dari potensi kerugian sekitar 8% dari Produk Domestik Bruto (PDRB) Riau, khususnya dari sektor perkebunan dan kehutanan, jasa-jasa, perhotelan dan perdagangan yang menyumbang 48% PDRB Riau4. Kesulitan mengungkap siapa yang harus bertanggung jawab muncul manakala pihak perusahaan yang dianggap melakukan kelalaian sulit ditemui karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki kantor di lokasi terjadinya kebakaran. Hal termudah dilakukan adalah kembali menuding masyarakat sebagai pelakunya. Kerugian karena kebakaran ini luar biasa besar baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. 4 “Kadin: Kebakaran Hutan Rugikan Ekonomi Riau Rp 20 Trilyun”, CNN Indonesia, 15 September 2015. ~ 44 ~ Lingkungan dan Keadilan Berdasarkan contoh-contoh tersebut tampak jelas bahwa indikator pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi sangat tidak relevan. Pembangunan harus mampu menjawab kebutuhan keberlanjutannya dan menjawab sedikitnya lima capaian utama5, yaitu: a) b) c) d) e) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, ekosistem yang sehat dan produktif, pertumbuhan yang menyeluruh dan merata, ketahanan sosial dan lingkungan hidup, pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelima capaian ini harus mendapatkan bobot yang sama di dalam setiap kebijakan dan rencana pembangunan yang akan ditetapkan sehingga arah dan tujuan pembangunan tidak lagi berdimensi jangka pendek melainkan jangka panjang dan mencakup seluruh aspek pembangunan. Cadangan dan perubahan cadangan sumberdaya alam harus dicatat dan dijadikan dasar kebijakan pemanfaatannya sehingga tidak terjadi pengambilan cadangan sumberdaya alam yang berlebihan yang ditunjukkan melalui kerusakan lingkungan yang terjadi. Kinerja pembangunan ekonomi juga harus dihitung berdasarkan perhitungan yang tepat di mana pengambilan asset sumberdaya alam harus dihitung sebagai penyusutan modal alam yang dikurangkan dari nilai tambah hasil produksinya. Kerusakan lingkungan yang memerlukan biaya perbaikan harus dipisahkan pula dari kenaikan nilai tambah sektor produksi. Dengan demikian, kinerja ekonomi benar-benar ditunjukkan melalui nilai murni 5 Global Green Growth Institute, Indonesia: Towards Green Growth, 2015. ~ 45 ~ Lingkungan dan Keadilan pembangunan yang mampu masyarakat yang sesungguhnya. menunjukkan kesejahteraan 3. Upaya Masyarakat dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan Upaya untuk mengelola lingkungan dan memperbaiki kerusakannya sudah banyak dilakukan di Indonesia baik murni dilakukan oleh kelompok masyarakat maupun dilakukan bersama dengan pemerintah melalui peningkatan kapasitas masyarakat. Upaya penguatan efektifitas Peran Organisasi Kemasyarakatan menuju Lingkungan Hidup yang Adil dan Lestari mendapat dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Inisiatif yang tumbuh dari kesadaran masyarakat ini akan diperkuat sehingga menjadi kekuatan mandiri untuk menjaga, melindungi, dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan melalui kerjasama dengan berbagai pihak.6 Sinergitas gerakan LSM merupakan modal yang kuat untuk melakukan pengawasan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Gerakan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bidang, seperti: a) pembaharuan agraria, b) penguatan masyarakat adat, c) konservasi, rehabilitasi, dan perlindungan terumbu karang, d) konservasi, rehabilitasi, dan perlindungan ekosistem mangrove, e) konservasi keanekaragaman hayati dan ekologi, f) jaringan pemantau dan penyelamatan hutan, g) kemitraan di bidang pendanaan lingkungan, h) lembaga pemantau perkebunan kelapa sawit, i) lembaga penyelamatan air. 6 Konsolidasi Nasional Jaringan Organisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, www.menlh.go.id ~ 46 ~ Lingkungan dan Keadilan Berbagai gerakan ini tumbuh karena kebutuhan perlindungan alam dan lingkungan dirasakan sangat mendesak dan pemerintah memiliki keterbatasan untuk dapat menyelesaikan semua permasalahan lingkungan yang ada. Selain itu, desakan global untuk perlindungan juga sangat kuat. Sebagai contoh, terwujudnya perjanjian kemitraan sukarela yang bertujuan untuk melegalisasi kayu yang dihasilkan oleh negara-negara penghasil kayu sehingga konsumen tidak lagi membeli kayu illegal. Upaya ini memberikan manfaat ganda karena pembalakan liar dapat dikurangi, kerusakan lingkungan dapat diminimalkan, kerugian negara dan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dapat berkurang pula, dan terbentuk pusat-pusat informasi kehutanan. Kementerian Kehutanan dan Komisi Eropa telah bekerjasama dalam bidang ini dan memberikan sumbangan pendanaan €15 juta. 7 Dari sisi antisipasi perubahan iklim dilakukan upaya untuk mengembangkan energi terbarukan, pendampingan dan proyek percontohan yang dilakukan bersama dengan LSM dan organisasi penelitian terkait penurunan emisi dan deforestasi, pengelolaan hutan lestari, dan sebagainya. Keberpihakan pemerintah terhadap kelompok pengusaha dan upaya mengutamakan tujuan pembangunan yang lebih bersifat makro mendapat berbagai masukan dan tentangan. Sebagai contoh kuat adalah gerakan penguatan masyarakat adat karena upaya untuk mengikutsertakan mereka di dalam pengambilan kebijakan pemerintah sangat terbatas. Lembaga masyarakat adat semakin tumbuh dan berkembang karena mereka merasa telah kehilangan legitimasinya. Berbagai tekanan sudah dirasakan oleh masyarakat adat sejak dikeluarkannya UU N0 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU Pertambangan, dan berbagai UU lainnya terkait kawasan hutan. Penguatan status hutan adat telah dilakukan 7 eeas.europa.eu ~ 47 ~ Lingkungan dan Keadilan sehingga yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan Hutan Adat statusnya berdiri sendiri, tidak disatukan ke dalam Hutan Hak. Penguasaan hutan oleh negara harus memperhatikan hak masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Upaya-upaya ini diperkuat lagi melalui UUPengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Upaya masyarakat untuk membangun kekuatan kolektif masyarakat adat dilakukan sebagai upaya untuk merevitalisasi kehidupan lembaga dan memperkuatnya sehingga keterwakilannya di dalam penyusunan kebijakan pemerintah baik mulai dari penataan ruang hingga pelaksanaannya dapat diakui dan diakomodasi. Kebijakan yang hanya bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan menciptakan ancaman bencana alam seperti yang banyak terjadi karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit skala besar, pertambangan, dan penebangan kayu harus dibatasi dan diutamakan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat adat yang mata pencaharian dan sumber penghidupannya berada di kawasan hutan yang sama. Jaminan perlindungan keberlanjutan kehidupan bagi masyarakat di kawasan hulu juga harus diperhatikan. Bencana alam seperti longsor, banjir, dan kekeringan akibat rusaknya ekosistem DAS tidak hanya ditudingkan kepada masyarakat yang tinggal di kawasan hulu. Alih fungsi lahan yang dilarang tidak hanya sebatas larangan melainkan harus diperhatikan juga bagaimana larangan tersebut tidak mengurangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu konsep insentif dan disinsentif harus diterapkan guna menghasilkan pengelolaan lingkungan yang sesuai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan konsep Pembayaran Jasa Lingkungan, di mana penghasil jasa ~ 48 ~ Lingkungan dan Keadilan lingkungan berhak mendapatkan insentif dari penerima manfaat.8 Praktek ini sudah mulai banyak dilakukan di berbagai daerah seperti di Cidanau antara masyarakat dengan PT Krakatau Tirta Industri, Jasa Tirta, PDAM Mataram, Cirebon-Kuningan untuk air bersih, PLTA Singkarang, dan sebagainya. Penerapan konsep Pembayaran Jasa Lingkungan memberikan manfaat sangat luas bagi masyarakat maupun keberlanjutan ekosistem DAS. Dengan tertatanya lingkugnan maka ketersediaan air untuk industri, irigasi, transportasi sungai, pembangkit listrik hydro, dan kegiatan wisata alam dapat terjamin. Keberlanjutan kehidupan dan keberlanjutan pembangunan dengan terlindunginya sumber dan daerah tangkapan air dapat menjamin ketersediaan air baik secara kuantitas maupun kualitas. Kompensasi bagi masyarakat di wilayah hulu untuk kegiatan konservasi dan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam baik di hulu maupun di hilir juga dapat dilakukan. Secara tidak langsung, pengakuan hak masyarakat atas kawasan yang dikelolanya juga dapat diperoleh. Upaya-upaya ini akan berhasil apabila kesadaran masyarakat dibangun dan ditumbuhkan dan dikonsolidasikan sebagai kekuatan masyarakat di berbagai sektor. Kemampuan masyarakat untuk mengatasi berbagai permasalah lingkungan ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas, dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah, dan dipercaya serta didukung untuk membangun kemandirian ekonomi kerakyatan. 8 Pirard Romain, Raphael Bille, PES: A Reality Check (stories from Indonesia), IDDRI, No 3/June 2010. ~ 49 ~ Lingkungan dan Keadilan Contoh 1: Pembayaran Jasa Lingkungan di Cidanau Sumber: PES Scheme implemented in the Cidanau Watershed, Indonesia, TEEB case by E. Mbak (2010), TEEBweb.org DAS Cidanau terletak di Jawa Barat yang menyokong kebutuhan air bersih untuk sekitar 30.767 penduduk si Cilegon dan sekitar 100 industri. DAS Cidanau meliputi 22.260 ha termasuk di dalamnya adalah Rawa Danau seluas 2000 ha dengan 131 spesies endemic, serta merupakan satu-satunya hutan rawa dataran rendah yang tersisa di Pulau Jawa. Degradasi DAS Cidanau dan Danau Rawa sangat tinggi akibat tingginya alih fungsi lahan dan pencemaran, sehigga kuantitas dan kualitas air menjadi sangat buruk karena sedimentasi dan pencemaran dengan perbedaan fluktuasi debit air yang sangat tinggi yaitu 1,2 m3 per detik pada musim kemarau dan 44m3 per detik pada musim penghujan. Untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) dan difasilitasi oleh LSM lokal dan LP3ES untuk menghitung dan menilai jasa lingkungan DAS Cidanau. Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan akan terdiri dari dua pemain yaitu penyedia jasa dan pemanfaat jasa. Penyedia jasa di DAS Cidanau adalah masyarakat petani yang tinggal di hulu DAS Cidanau, sedangkan pemanfaat jasa adalah penduduk yang tinggal di hilir dan industri. Saat ini hanya ada 1 pemanfaat jasa yang terlibat dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau yaitu Krakatau Tirta Industri yang menggunakan air untuk kegiatan industri baja. Mekanisme pelaksanaannya adalah KTI membayar biaya penanaman kembali hutan di hulu DAS Cidanau seluas 100 ha ~ 50 ~ Lingkungan dan Keadilan sebesar $ 350 per ha per tahun yang dituangkan dalam MoU antara KTI dan FKDC yang diwakili oleh Gubernur Banten. Distribusi dana kepada masyarakat dikelola oleh FKDC. Besarnya pembayaran akan disesuaikan dengan target keberhasilan penanaman dan pemeliharaan per tahun. Dana yang dibayarkan termasuk digunakan untuk pengembangan kapasitas masyarakat mengelola hutan dan hasil hutan non kayu, mengidentifikasikan pemanfaat lain selain KTI, penyebaran informasi, dan monitoring. Dana yang digunakan KTI diambilkan dari dana CSR. Contoh 2: Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Melawan Perusakan dan Alih Fungsi Hutan Mangrove di Langkat, Sumatera Utara. Sumber: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, 9 September 2013 Upaya penyelamatan hutan mangrove sangat gencar dikampanyekan. Mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi, pengolah limbah alami sehingga mencegah masuknya polutan dari darat menuju perairan, dan sebagai tempat pemijahan biota laut seperti ikan, udang, kepiting sebagai mata pencaharian nelayan. Upaya masyarakat di Kabupaten Lahat untuk mencegah terjadinya konversi hutan kawasan ekosistem mangrove terus dilakukan, namun sejak tahun 2008 alih fungsi kawasan mangrove terus dilakukan oleh perkebunan sawit skala besar untuk dijadikan kawasan kebun kelapa sawit seluas 1.200 ha. Konflik terjadi antara perusahaan dan masyarakat hingga mengarah pada ancaman dan intimidasi serta pengrusakan bibit mangrove yang telah disiapkan. Upaya masyarakat melaporkan dan membawa kasus ini kepada aparat penegak hukum baru mendapat tanggapan setelah 5 tahun ~ 51 ~ Lingkungan dan Keadilan yaitu dari 2008 hingga 2013 dengan dugaan melanggar Pasal 17 jo Pasal 46 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yaitu pidana kejahatan melakukan usaha perkebunan kelapa sawit tanpa ijin dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2 milyar. Penegakan hukum perlindungan terhadap lingkungan masih lemah. Dari kasus di atas sesungguhnya pelanggaran yang dilakukan selain melanggar UU No 18 tahun 2004 juga dapat dikenakan pasal berlapis, yaitu: UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan. UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau=Pulau Kecil yaitu dilarang melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove, melakukan kegiatan industri di kawasan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir. UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena tindakan perusakan lahan dan upaya menghalang-halangi inisiatif penyelamatan mangrove. Contoh 3: Aksi Masyarakat untuk Penyelamatan Sungai Ciliwung Sumber: Aksi Masyarakat untuk Penyelamatan Sungai Ciliwung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Komunitas Ciliwung Puncak, 2014 Sungai Ciliwung menjadi salah satu dari tiga belas sungai prioritas nasional 2010 -2014 karena kerusakan ekosistemnya telah mengalami kerusakan tinggi akibat menurunnya tutupan hutan di wilayah DAS Ciliwung dan kualitas air sungai memiliki beban ~ 52 ~ Lingkungan dan Keadilan pencemaran tinggi. 80% sumber pencemaran berasal dari limbah domestik, sisanya berasal dari usaha peternakan dan pertanian skala kecil dan kegiatan industri. Pembuangan sampah ke sungai juga merupakan penyumbang penurunan kualitas sungai Ciliwung. Berbagai aksi penyelamatan sungai Ciliwung telah dilakukan bersama antara Pemerintah dan masyarakat dalam berbagai bentuk aksi bersama. Komunitas pegiat penyelamatan Ciliwung telah dideklarasikan pada tanggal 11 November 2011 sekaligus menjadi ajang kampanye penyelamatan kawasan sungai yang melintas wilayah Puncak, Depok, dan Jakarta. Bentuk kegiatannya antara lain berupa aksi bersama membersihkan gunung sampah, berkemah di pinggir sungai, diskusi santai dan pemutaran film documenter mengenai Sungai Ciliwung, menyusuri sungai, memulung sampah, menanam pohon, apresiasi seni, sarasehan, dan pameran industri kreatif produk lokal. Beberapa komunitas juga telah terbentuk seperti: Komunitas DAS Ciliwung MAT PECI (Masyarakat Peduli Ciliwung), Komunitas Peduli Ciliwung (KP) Bogor, Komunitas Ciliwung Condet, Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak yang diinisiasi oleh P4W IPB dab Forest Watch Indonesia, Ciliwung Institute. 4. Penutup Dari uraian yang disampaikan, tampak bahwa Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan belum dapat sepenuhnya menjalankan tugasnya dalam menjamin kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan. Pemerintah belum secara penuh dapat menjalankan fungsinya sebagai penyedia jasa ~ 53 ~ Lingkungan dan Keadilan publik termasuk menjaga fungsi ekosistem demi keberlanjutan pembangunan. Kepentingan pembangunan yang dititikberatkan pada pemenuhan sektor ekonomi terbukti tidak dapat menjamin keberlanjutan pembangunan. Pembangunan yang seringkali mengabaikan masyarakat dan fungsi lingkungan telah terbukti menimbulkan biaya pembangunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya. Masyarakat sebagai korban pembangunan dan kerusakan ekosistem dan habitat satwa justru dianggap sebagai musuh pembangunan. Ketimpangan ini harus segera diatasi secara bersama antara pemerintah dan masyarakat. Komunitas-komunitas masyarakat yang timbul sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah maupun oleh para pengusaha dalam bentuk kemitraan. ~ 54 ~ Lingkungan dan Keadilan Pengalaman Mengembangkan Eco Camp Ferry Sutrisna Wijaya, Pr.1 Pengantar Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan di lingkungan APTIK. Saya seorang imam diosesan biasa, yang berkat inisiatif Almarhum Pastor B. Herman Joedianto, OSC, diajak masuk Universitas Katolik Parahyangan tahun 1999 sepulang saya dari Manila. Itulah awal perkenalan saya dengan dunia pendidikan. Pengalaman di Unpar dan APTIK, yang bahkan diperluas dengan mengikuti berbagai kegiatan ACUCA, sungguh memperkaya saya. Terima kasih untuk Unpar. Terima kasih APTIK. Tahun 2002 saya ikut bergabung dengan Spirit Camp yang menyediakan berbagai program pendidikan untuk anak-anak di alam terbuka. Pengalaman 12 tahun mengembangkan Spirit Camp yang kemudian bertransformasi menjadi Eco Camp (www.ecolearningcamp.org) itulah yang dijadikan bahan studi lanjut di UPI. Perjalanan Eco Camp yang sekarang menginjak tahun ke-14 itulah yang saya ingin disharingkan dalam Hari Studi APTIK 2015 ini. Semoga sharing ini dapat menjadi inspirasi bagi para peserta. 1 Dr. Ferry Sutrisna Wijaya, Pr. adalah pengembang Spirit Camp yang di kemudian hari bertransformasi menjadi Eco Camp (www.ecolearningcamp.org). HP : 0811-223277 ; 08170-223277; email: [email protected]. ~ 55 ~ Lingkungan dan Keadilan Berkaitan dengan tema Hari Studi APTIK 2015 “Lingkungan dan Keadilan”, ensiklik Laudato Si’ yang diterbitkan Paus Fransiskus 18 Juni 2015 memberi landasan iman, etik, dan moral yang sangat kuat bagi kita semua. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa perjuangan lingkungan hidup tidak terpisahkan dari perjuangan keadilan, khususnya untuk mereka yang miskin dan lemah. 1. Spirit Camp Menjadi Eco Camp (2002-2015) Spirit Camp didirikan tahun 2002 oleh Shierly Megawati dkk. dengan payung Yayasan Sahabat Anak dengan motivasi untuk menyediakan tempat dan kegiatan bermain bagi anak-anak di alam terbuka. Selama tujuh tahun Spirit Camp berlokasi di daerah Ledeng yang berakhir karena diusir oleh pemilik lahan yang ingin mengelola sendiri lahan bermain anak-anak di lahan tsb. Lalu Spirit Camp menjadi Spirit Camp Educity atau Spice di Kota Baru Parahyangan selama lima tahun. Selama 12 tahun itu ada berbagai kegiatan bermain dengan tema permainan tradisional, sulap versus science, rabbit days, dll. Salah satu kegiatan terbesar adalah Gerakan Aku Cinta Air yang melibatkan 150 sekolah (TK dan SD) dan diakhiri dengan Olimpiade Air. 12 pemenangnya diajak study tour 3 hari ke Singapura mengunjungi Science Center, Discovery Center, Newater, Marina Barrage, dll. Langganan paling sering dan paling banyak mengirim peserta adalah SMAK 1 BPK Jakarta selama 7 tahun berturut-turut. Peserta program Science Camp dan Social Camp selama 2 hari berjumlah antara 200-250 siswa. Program serupa dalam bentuk ~ 56 ~ Lingkungan dan Keadilan Kompas Fun Science Camp ditangani Spirit Camp selama 3 hari untuk 300 anak usia 9-11 tahun di Kota Baru Parahyangan. Tahun 2012, kami diundang untuk membantu Balai Pengelola Taman Hutan Raya Djuanda di Bandung untuk menyediakan berbagai program pendidikan. Selama 2 tahun dibantu Unpar kami menyusun Master Plan Pengembangan Tahura Djuanda untuk 35 tahun. Sayang perjanjian kerjasama tripartit selama 3 tahun (2012-2015) tersebut berakhir karena tidak dapat diteruskan lebih lanjut. Semua pengalaman bersama Spirit Camp dan anak-anak selama dua belas tahun itu kemudian dijadikan topik untuk studi lanjut di UPI dan dikembangkan dalam konsep pendidikan lingkungan hidup yang diberi nama Eco Learning Camp. Tahun 2013, dalam rangka mewujudkan Eco Learning Camp di Tahura Djuanda, Yayasan Sahabat Anak bertransformasi menjadi Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup. Ada dua belas pendiri yang dilibatkan dari berbagai latar belakang. Ada ibu Popong Otje Djundjunan yang anggota DPR dan sesepuh masyarakat Jabar. Ada pengusaha seperti Bapak Edwin Soeryadjaya (Saratoga, William Soeryadjaya Foundation), Ibu Martha Tilaar (Martha Tilaar Group), Bapak Agus Dharma (Gulaku), Almarhum Bapak Teguh Satria (REI), dan pak Hody Kuntohadi (L J Hooker). Ada Bapak Tono Suratman (ketua KONI Pusat), Bapak Djoko Kusumowidagdo (Outward Bound Indonesia), dan Bapak Alexander Iskandar (dosen fisika ITB). Dan ada dua orang imam , yaitu: Romo A. Sarwanto SJ (Ketua Yadapen) dan saya. Pendiri paling senior adalah Ibu Teko Sukarmin, yang dalam usia 84 tahun, masih berperan aktif sebagai trainer dalam ~ 57 ~ Lingkungan dan Keadilan bidang pengembangan diri dan protokoler. Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup juga mengikutsertakan banyak dosen dari Unpar, ITB, UPI, Unpad, Polban, dll., serta didukung berbagai pihak selain pendiri yang peduli seperti Soho Global Health, Ultra dan Campina, dan The Body Shop. Eco Camp juga bekerja sama dan dipakai untuk kegiatan WWF, Greeneration, dan Peace Generation. Selama satu tahun masa operasionalnya, Eco Camp dikunjungi dan dipakai untuk berkegiatan oleh lebih dari 6000 orang dari Medan sampai Papua, dari kegiatan yang hanya beberapa jam sampai maksimum program sepuluh hari. Pertanyaan studi: Bagaimana caranya agar para anggota APTIK mau menggunakan fasilitas dan tempat yang sudah dimiliki atau mencari fasilitas dan tempat baru yang dapat digunakan untuk membangun kerja sama empat pilar (akademik, masyarakat, pemerintah, dan pengusaha) dalam bidang pendidikan lingkungan hidup yang dapat membawa manfaat untuk masyarakat luas ? 2. Green Building dan Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis Terbitnya ensiklik Laudato Si’ dari Paus Fransiskus pada tanggal 18 Juni 2015 memberi kepada Eco Camp dukungan secara etik maupun moral bahkan iman bagi kita semua. Eco Camp memang bukan lembaga agama atau milik agama tertentu melainkan bersifat lintas agama dan lintas lembaga. Eco Camp dibangun sebagai Green Building dengan mengikuti panduan Green Building Council Indonesia yang menggunakan sistem ~ 58 ~ Lingkungan dan Keadilan rating dengan enam aspek : Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD), Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER), Konservasi Air (Water Conservation/WAC), Sumber & Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC), Kualitas Udara & Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC), dan Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment Management). Dengan bantuan Ir. Bintang Nugroho (Founder GBCI) dan Dr. Yasmin Suriansjah (GP satu-satunya dari Unpar) Eco Camp mencoba memenuhi enam aspek tersebut namun tidak memproses penerbitan sertifikatnya. Dari 75 point maksimum, Eco Camp diperhitungkan mendapat 48 point atau peringkat emas atau bisa platinum bila menambah 1 point lagi. Point tersebut diperoleh dengan menggunakan lahan yang sudah ada bangunannya, solar cell 4000 watt, toilet hemat air, recycle air limbah dengan bio septic tank, sebagian bahan bangunan bekas, bahan bangunan prefab dan ramah lingkungan, kayu FSC dan kayu bekas, cat ramah lingkungan, pencahayaan yang cukup, jalur udara yang segar, pengolahan sampah, pengelolaan air hujan, dll. Namun Eco Camp sebagai Rumah belajar Lingkungan Hidup tidak cukup hanya mencoba memenuhi kriteria green building bila tidak dilandasi green lifestyle. Sejak mulai kegiatan operasional pada Agustus 2014, kami memilih bidang edukasi, dan bukan gerakan nyata atau advokasi lingkungan hidup. Dua kutipan Laudato Si’ (LS) yang sangat kuat mendukung gerakan edukasi Eco Camp adalah: ~ 59 ~ Lingkungan dan Keadilan LS 202: Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk. Kesadaran mendasar ini dapat memungkinkan pengembangan keyakinan, sikap, dan bentuk kehidupan yang baru. Jadi kita berhadapan dengan suatu tantangan budaya, spiritual, dan pendidikan yang besar, yang akan membutuhkan proses pembaruan yang panjang. LS 212: Janganlah kita berpikir bahwa upaya ini tidak akan mengubah dunia. Tindakan-tindakan ini menyebarkan di masyarakat suatu kebaikan yang selalu menghasilkan buah di luar yang bisa kita lihat, karena menimbulkan suatu kebaikan di bumi yang cenderung menyebar terus, meskipun kadangkadang tak terlihat. Selain itu, bertumbuhnya perilaku ini mengembalikan rasa harga diri kita, membawa kita kepada suatu kehidupan yang lebih penuh dan mendalam, yang memungkinkan kita merasakan bahwa kehidupan di bumi ini berharga. Tujuh kesadaran baru hidup ekologis yang kami kembangkan di Eco Camp adalah berkualitas, sederhana, hemat, peduli, semangat berbagi, bermakna, dan harapan. Dalam praktek sehari-hari di Eco Camp ketujuh kesadaran baru hidup ekologis itu diterjemahkan menjadi berbagai perilaku, antara lain: membawa botol minum sendiri, menghindari pemakaian kemasan ~ 60 ~ Lingkungan dan Keadilan plastik dan styrofoam, menghemat air dan listrik, menggunakan solar cell, mengolah air limbah dan sampah untuk digunakan kembali, makan makanan sederhana (vegetarian), belajar pertanian organik, memasang seprei sendiri, mencuci piring dengan cara hemat air, dll. Paus Fransikus mengungkapkan hal-hal di atas dalam Laudato Si’ sebagai berikut “Pendidikan dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorong berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan untuk pelestarian lingkungan, seperti : menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, pemilahan sampah, memasak secukupnya saja untuk kita makan, memperlakukan makhluk hidup lain dengan baik, menggunakan transportasi umum atau satu kendaraan bersama dengan beberapa orang lain, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak perlu. Semuanya itu adalah bagian dari suatu kreativitas yang layak dan murah hati, yang mengungkapkan hal terbaik dari manusia. Menggunakan kembali sesuatu daripada segera membuangnya karena terdorong oleh motivasi mendalam, dapat menjadi tindakan kasih yang mengungkapkan martabat kita” (LS 211). Pertanyaan studi: bagaimana caranya agar para anggota APTIK mengusahakan terciptanya green campus, yang bukan hanya kampus bebas rokok, yang bukan hanya green building, melainkan juga kampus yang melaksanakan cara baru hidup ekologis dalam seluruh aspeknya termasuk gedung dan cara hidup di kampus ? Lihat misalnya program sustainability di Harvard University dan UC San Diego. ~ 61 ~ Lingkungan dan Keadilan 3. Program Eco Learning Camp Program edukasi di Eco Camp pada hakekatnya adalah program pendidikan nilai non formal yang disampaikan melalui wacana alam, budaya, dan sains lewat kegiatan belajar dan bermain di alam terbuka secara berkelompok yang menghasilkan pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi aktif. Ada tiga pilar Eco Camp, yaitu: alam (nature), budaya (culture), dan sains (science). Ada tiga nilai Eco Camp, yaitu: semangat berbagi, penghargaan, dan tanggung jawab yang bisa dilaksanakan secara utuh menjadikan pribadi yang memiliki integritas. Pertanyaan studi: Bagaimana caranya agar para anggota APTIK dapat mendirikan program global sustainability studies yang menghubungkan berbagai prodi dengan perspektif keberlanjutan, misalnya ekonomi lingkungan hidup, hukum lingkungan hidup, green technology, green science, dll. ? Lihat misalnya Graduate School of Global Environmental Studies dari Sophia University. 4. Lingkungan dan Keadilan Komitmen terhadap lingkungan hidup oleh Paus Fransiskus tidak dipisahkan dari komitmen terhadap perjuangan keadilan. Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menyatakan “Tetapi hari ini, mau tak mau kita harus mengakui bahwa pendekatan ekologis yang sejati selalu berupa pendekatan sosial, yang harus mengintegrasikan soal ~ 62 ~ Lingkungan dan Keadilan keadilan dalam diskusi lingkungan hidup, untuk mendengarkan jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin (LS 49). Salah satu masalah yang mendesak dan penting adalah masa depan pangan. Saat ini air, laut, tanah, tumbuhan, hewan, dan makanan kita sudah diracuni dengan berbagai bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Sampah plastik sudah lama mengalir ke laut di seluruh dunia. Lihatlah film Trashed dengan narator Jeremy Irons yang menggambarkan bagaimana sampah sudah sangat merusak seluruh dunia dan tentunya kehidupan manusia. Benih GMO sudah masuk ke berbagai negara termasuk Indonesia. Di India sudah lebih dari 200 ribu petani bunuh diri akibat monopoli benih. Orang miskin tidak punya akses untuk memperoleh air bersih dan makanan sehat. Akibat penggunaan pestisida yang berlebihan yang dipakai petani bawang di Brebes maka wanita usia subur dan anak-anak terpapar penyakit gondok/tiroid yang sangat tinggi. Bahkan ada SD dengan kasus tiroid sampai 97,5 %. Artinya pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak-anak tersebut sangat terhambat. Solusi menghadapi masalah pangan tersebut tentu saja adalah pertanian organik dan lokal. Sudah saatnya kita belajar kembali permakultur dan agroecology atau pertanian lokal terpadu sesuai dengan karakteristik alam tiap daerah. Sebagian masyarakat juga menunjuk gaya hidup vegetarian atau vegan sebagai salah satu solusi cepat, mudah, segera, dan murah yang bisa dilakukan setiap orang. Itu karena sektor industri peternakan menyumbang 18% terhadap global warming dibandingkan sektor transportasi yang 13%. Ditambah faktor penggundulan hutan, pemborosan air dan pakan, ~ 63 ~ Lingkungan dan Keadilan pemborosan transportasi dan energi, apalagi ditambah faktor akibatnya bagi kesehatan, maka sektor industri sangat mengakibatkan tingkat pemanasan global yang semakin parah. Di Eco Camp kami hanya menyediakan makanan vegetarian dan lokal karena alasan ekologi, keadilan, kesehatan, dan kasih sayang. Tidak adil bagi orang miskin bahwa industri ternak yang sudah menghabiskan lahan, pakan, air, energi, dll yang sangat diperlukan orang miskin, kemudian akhirnya hanya bisa dibeli orang kaya. Eco Camp juga mempromosikan pertanian organik, penggunaan mikroba untuk mengolah sampah organik dan menghasilkan kompos, dan penggunaan minyak nimba untuk pupuk dan pestisida. Mengenai pemanfaatan nimba yang merupakan pohon suci apotek kehidupan, Eco Camp akan bekerja sama dengan berbagai lembaga, keuskupan, perguruan tinggi, lembaga riset, LSM, dan pengusaha agar manfaat nimba bagi pertanian dan kesehatan bisa menjangkau banyak orang. Pertanyaan studi: Bagaimana caranya agar para anggota APTIK mencari jalan, usaha, cara, dan ruang publik yang baru di mana perjuangan lingkungan hidup dikaitkan dengan perjuangan keadilan ? Apakah dalam pilihan program studi, pola hidup, dan kebijakan lainnya para anggota APTIK memperhatikan jeritan bumi sekaligus jeritan orang miskin ? Penutup Apa yang saya sharing-kan dalam makalah ini hanya sebagian kecil dari apa yang diperjuangkan Eco Camp. Masih ada mimpi lain ~ 64 ~ Lingkungan dan Keadilan misalnya membangun Eco Village, green and renewable energy, melawan industri rokok, bagaimana mengusahakan pertambangan dan perkebunan yang sustainable, green school, green families, rumah ibadat yang green, dll yang menjadi keprihatinan Eco Camp. Semoga Hari Studi APTIK 2015 ini menjadi salah satu momen di mana semakin banyak gerakan nyata lingkungan hidup. Semoga semua anggota APTIK semakin memiliki kesadaran dan komitmen untuk membangun kampus, program studi, dan cara hidup perguruan tinggi yang ekologis, sustainable and green, dengan penuh kegembiraan. Tidak ada kata terlambat untuk mulai dengan sesuatu. Kata Paus Fransiskus, apapaun yang kita lakukan untuk bumi jangan pernah merasa percuma. ~ 65 ~ Lingkungan dan Keadilan PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Emil Salim1 Paus Fransiskus telah menerbitkan ensiklik "Laudato Si'" yang memuat diagnosa tentang kondisi bumi kita yang sedang dilanda berbagai krisis lingkungan yang mengancam keberlanjutan kehidupan manusia, seperti polusi akibat budaya sampah, polusi yang mampu mempengaruhi perubahan iklim, semakin langkanya air bersih, dan hilangnya keaneka-ragaman hayati. Disamping itu kualitas hidup manusia dan sosial merosot dan ini berimbas pada ketimpangan global. 1. Akar Krisis Ekologi Akar krisis ekologi terletak dalam diri manusia yang didominasi oleh paradigma teknokratis dan peri kehidupan antroposentris sehingga manusia "tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang berlaku, atau sebagai tempat berlindung yang hidup." Alam menjadi obyek untuk dieksploitasi. Sesungguhnya semua saling terkait sebagai berbagai komponen dari suatu ekologi integral mempertautkan ekologi ekonomi, sosial dan ,ingkungan. Ekologi manusia tidak terlepas dari gagasan kesejahteraan umum sebagai pemersatu dalam etika sosial. Konsep 1 Prof. Dr. Emil Salim adalah Guru Besar FE UI, berperan sebagai Menteri Lingkungan Hidup di zaman Orde Baru, dan kini dikenal sebagai pakar di bidang lingkungan hidup. ~ 66 ~ Lingkungan dan Keadilan kesejahteraan umum juga meluas ke generasi masa depan. Kita tidak bisa bicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antar-generasi. Karena bumi yang kita huni adalah juga milik generasi mendatang. Dunia macam apa ingin kita tinggalkan untuk generasi depan? Terselip disini kesadaran bahwa yang dipertaruhkan adalah martabat kita sendiri. Kitalah yang pertama-tama berkepentingan mewariskan planet yang layak huni bagi generasi selanjutnya. Tak kurang penting bukan hanya memikirkan kaum miskin masa depan, tetapi juga perlu ditanggulangi kaum miskin sekarang ini. Maka selain solidaritas yang adil antar-generasi, juga mendesak membaharui solidaritas intra-generasi. Dalam berusaha menanggulangi berbagai kerusakan lingkungan ini, perlu dikembangkan beberapa jalur dialog yang dapat membawa kita keluar dari spiral kehancuran manusia dan lingkungan. Berbagai dialog tentang lingkungan sudah dilaksanakan dalam forum politik internasional, seperti Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro (1992), disusul dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan "Rio+20" di Rio de Janeiro, 2012. Juga di dalam negara-negara berlangsung dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal yang menghasilkan proses transparansi pada pengambilan keputusan di tingkat proyek. Pada saat kesejahteraan umum dibahas, tumbuh kebutuhan mendesak agar politik dan ekonomi secara tegas diabdikan pada kehidupan, terutama kehidupan manusia. Krisis keuangan 20072008 terbukti tidak ditanggapi dengan meninjau-ulang kriteria usang yang terus memerintah dunia. Gelembung keuangan ~ 67 ~ Lingkungan dan Keadilan umumnya juga menjadi gelembung produksi. Dalam konteks ini, perlindungan lingkungan tidak dapat dijamin semata-mata atas dasar perhitungan finansial tentang "biaya-dan-manfaat". Lingkungan tidak dilindungi secara memadai oleh mekanisme "pasar". Perlu dibuang kesan tentang pasar bahwa masalah akan terselesaikan dengan meningkatkan keuntungan perusahaan dan individu. Dalam pola fikir profit, tak ada ruang untuk berfikir tentang irama alam, regenerasi alamiah atau kompleksitas ekosistem yang diubah oleh ulah manusia. Keanekaragaman hayati dianggap sebagai sumber daya alam untuk dieksploitasi, tanpa memahami fungsi hakikinya. Karena itu perlu "mengubah model pembangunan global, merefleksi tanggung jawab atas makna ekonomi dan tujuannya dan memperbaiki kesalahan dalam fungsi dan applikasinya". Kita juga butuhkan politik berpandangan luas bisa mengajukan pendekatan komprehensif dan mampu mengintegrasikan berbagai aspek dari krisis ke dalam suatu dialog interdisipliner. Seringkali politik itu sendiri bertanggung-jawab atas hilang wibawa dan reputasinya karena korupsi dan buruknya kebijakan publik. Bila ekonomi terobsesi dengan keuntungan ekonomi belaka dan politik terobsesi untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, maka hasilnya adalah rangkaian konflik yang merusak lingkungan dan kegagalan melindungi yang lemah. Oleh karena itu maka kesadaran terhadap ancaman krisis budaya dan ekologi harus diterjemahkan ke dalam adat kebiasaan baru. Sehingga lahirlah kebutuhan akan pendidikan lingkungan untuk menciptakan "kewarganegaraan ekologis" menumbuhkan perilaku ~ 68 ~ Lingkungan dan Keadilan yang memungkinkan kita menghayati kesadaran bahwa kehidupan di bumi ini berharga. Dalam kaitan inilah "hubungan antara pendidikan estetika yang tepat dan pelestarian lingkungan tidak boleh diabaikan." Pendidikan yang efektif adalah yang mampu menyebarkan cara berfikir baru tentang manusia, kehidupan, masyarakat dan hubungan kita dengan alam. Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh. Demikian pokok-pokok fikiran Paus Fransiscus dalam Ensiklik Laudato Si' tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. 2. Merawat Rumah Kita Bersama Dalam melaksanakan pembangunan Indonesia sangatlah penting untuk menghayati semangat dan orientasi pembangunan "Merawat Rumah Kita Bersama", terutama dalam menanggapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan menjelang 100 tahun usia Republik Indonesia di tahun 2045. Tantangan pertama adalah menanggapi dampak demografi pada pembangunan. Penduduk Indonesia akan meningkat dari 230 juta (2012) ke 316 juta jiwa (2050). Sedangkan penduduk global akan naik dari 7 milyar (2012) ke 9 milyar (2050). Pertumbuhan penduduk Indonesia ini mendorong naiknya ekonomi menghasilkan Produk Domestik Bruto US$ 3.500 per orang (2012) ke US$ 14.500 per orang (2050); Sedangkan Produk Global Bruto naik dari US$ 70 trilliun 2012) ke 200 trilliun (2050). Jika kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) diusahakan "business as usual" menurut pola pembangunan konvensional akan memberi tekanan besar dan melampaui "bio-kapasitan" tanah-air Indonesia dan bumi sejagat. ~ 69 ~ Lingkungan dan Keadilan Jika ditelusuri Produksi PDB menurut pulau maka tampak bahwa: 1. Jawa hasilkan 57% PDB Nasional, DKI Jakarta saja 16%; 2. Sumatera hasilkan 24%, Riau saja 7%; 3. Kalimantan hasilkan 10%, Kalimantan Timur saja 7%; 4. Sulawesi hasilkan 4%, Sulawesi Selatan saja 2%; 5. Bali dan Nusa Tenggara hasilkan 3%, Bali saja 1,24%; 6. Maluku dan Papua hasilkan 2,2%, Maluku saja 0,3%; Praktis 82% PDB Indonesia dihasilkan oleh pulau-pulau JawaSumatera dan Bali yang terletak di bagian barat Indonesia dan sisa PDB dihasilkan oleh kepulauan bagian timur Indonesia. Dan ketimpangan pendapatan juga terdapat di dalam satuan pulau masing-masing. Ketimpangan pembangunan PDB Indonesia diikuti ketimpangan dalam pembagian pendapatan. Bila garis-kemiskinan rata-rata nasional adalah 11,96% (2012) maka propinsi yang menderita persentase penduduk miskinya di atas rata-rata nasional adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Papua 31,11%; Papua Barat 28,2% Maluku 21,78% Nusa T.Timur 20,88% Nusa T.Barat 18,63% Aceh 19,46% 7. 8. 9. 10. 11. Gorontalo 17,33% Bengkulu 17,7% Lampung 16,18% Jateng 15,34% DI Yogja 16,05% ~ 70 ~ 12. 13. 14. 15. 16. Sulawesi Tengah 15,4% Sul.Tenggara 15,4% Sumatera Slt. 13,78% Jawa Timur 13,85% Sulawesi Barat 13,29% Lingkungan dan Keadilan Penduduk tujuh propinsi lain berada DI BAWAH rata-rata nasional. Yang merisaukan bahwa pola pembangunan yang terlaksana di beberapa propinsi merekam jejak-ekologi pembangunan yang sudah melampaui bio-kapasitas propinsi, sehingga menghasilkan "defisit" yang menunjukkan bahwa tekanan pembangunan fisik telah melampaui ambang-batas sustainabilitas eko-region di propinsi bersangkutan. Dan menjadi peka terhadap kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan) beserta risiko kebakaran, kekurangan air dan kenaikan suhu panas. JEJAK EKOLOGI DAN BIO-KAPASITAS (ha/orang tahun 2010) Indonesia: jejak ekologi 1,13 Riau 2,69 biokapasitas 1,32 1,31 Akibat dampak: Defisit Jambi 3,89 3,17 Defisit Sulawesi Utara 1,79 1,21 Defisit Nusa Tenggara Barat 0,65 0,33 Defisit Bali 1,76 0,24 Defisit Jawa 3,01 0,20 Defisit Jejak ekologi adalah luas areal yang tereksploitasi. Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2012. Dari gambaran ini tampak bahwa pola pembangunan konvensional yang berpedoman pada peningkatan rasio manfaat-biaya ekonomi semata tidaklah menjamin keberlanjutan pembangunan, terutama bagi generasi masa depan. Karena itulah Konferensi Tingkat Tinggi tentang Peta Jalan Pembangunan Global 2015-2030 bulan ~ 71 ~ Lingkungan dan Keadilan September 2015 di Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat merubah pola Pembangunan Konvensional ke dalam pola Pembangunan Berkelanjutan (sustainable) yang mencakup pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dilaksankan secara serentak dengan sasaran pembangunan global mencapai tingkat kemiskinan 0% di tahun 2030. Implikasi dari pola pembangunan berkelanjutan adalah: (1) dimensi pembangunan ekonomi perlu perbaiki pengembangan Human Development Index; (2) dimensi sosial memperbaiki tercapainya "Millennium Development Goals" yang mencakup segi-segi kesehatan, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, dll.; dan (3) dimensi lingkungan memperbaiki "rasio jejak ekologi terhadap biokapasitas agar kurang dari satu, pengendalian kadar pencemaran CO yang berimbas pada kenaikan suhu bumi, dll. Sehingga pola pembangunan bersifat multi-disiplin mencakup dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang melalui analisa general equilibrium mencapai ketiga sasaran secara simultan. Lahirlah konsep-konsep sustainable inclusive growth with equity, natural resource base enrichment, teknologi reuse-reduce-recycling dalam pengelolaan non-renewable resources. Tersimpul di sini bahwa pelaku pembangunan berkelanjutan tidaklah homogin tunggal dan terdiri dari berbagai fihak yang berbeda kepentingan. Karena proses pembangunan berlangsung melalui mekhanisme harga dalam pasar maka fihak yang "kuat" dalam menyatakan fungsi-preferensinya umumnya menang. "Harga" dalam pasar ditentukan oleh fihak yang mampu mempengaruhi harga karena didukung oleh kekuatan ekonominya. ~ 72 ~ Lingkungan dan Keadilan Sehingga "pasar" cendrung mencerminkan preferensi mereka yang kuat daya keuangannya untuk menopang "harga" di pasar. Sehingga harga tidak lagi mencerminkane kelangkaan komoditas, tetapi kekuatan pembeli yang ditopang oleh dana keuangannya. Faktor-faktor eksternalitas yang ditimbulkan oleh perubahan mutu lingkungan alam dan dampak pembangunan pada tatanan sosial tidak digubris karena kuatnya intervensi pelaku ekonomi yang menyandang dana sehingga pasar tidak memperhitungkan biaya sosial dan biaya lingkunganSehingga fungsi pasar sebagai pengatur alokasi resources sesungguhnya terdistorsi oleh the power of money. Sering penyandang dana juga bisa mempengaruhi perimbangan kekuatan politik. Dan bertemulah kepentingan ekonomi dengan kepentingan politik dalam wujud "mafia ekonomi dan politik" yang bersenjatakan "the power of money". Proses demokrasi di tanah-air kita adalah mahal, karena calon-calon pemimpin membutuhkan dana besar untuk merebut suara rakyat dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, bahkan dalam pemilihan Pimpinan Partai. Indonesia belum menemukan model pemilihan pemimpin secara demokratis yang bebas dari pengaruh mereka yang punya uang. Sehingga dalam politik dan ekonomi, fihak penentu adalah "mereka yang menguasai uang". Dalam kaitan inilah Ensiklik Laudato Si' tentang Perawatan Rumah Kita Bersama dari Paus Fransiskus menjadi relevan. Besar peranan pemimpin-pemimpin agama untuk menumbuhkan kekuatan etikamoral yang mengimbangi sebagai counter-vailing power kekuatan kekuasaan uang. Kesadaran beretika, bermoral dan beragama perlu ~ 73 ~ Lingkungan dan Keadilan dibangkitkan agar lebih unggul dari mereka yang mengandalkan the power of money. Kekuatan intrinsik dalam diri manusia perlu dibangkitkan oleh kesadaran beragama "menjalin tali hubungan dengan Tuhan sebagai pegangan menjalin tali hubungan antar manusia". Bermodalkan pemahaman etika dan moral agama, pendidikan dikembangkan untuk mengikis habis pandangan hidup vulgar yang "memberhalakan uang sebagai sumber peroleh kekuatan ekonomi dan kekuasaan politik." Inilah sesungguhnya hakekat inti yang perlu dihayati para pendidik di berbagai tingkat pendidikan untuk membangun peri-laku "manusia merawat rumah kita bersama". Sesungguhnya Indonesia sudah mencatat langkah tindak konkrit para Pemimpin Agama dalam merawat bumi Nusantara kita. Pater Bollen mengajak jemaahnya di Gereja Katolik Maumere, Nusa Tenggara Timur untuk bergotong-royong memulihkan fungsi penyerapan air hujan dalam tanah yang dibangun menjadi teras bangku yang ditanami pohon lamtoro. Setelah para jemaah gereja bekerja bertahun-tahun, alam gersang mampu menghidupkan Kali Lei kembali di Maumere, NTT. Begitu pula Kyai Haji Basid, Pemimpin Pondok Pesantren "AnNuqayah" di Guluk-guluk, Sumenep, Madura, memimpin santrisantri dan penduduk sekitar untuk menanam pohon di tanah keringgersang Madura. Setelah bekerja bertahun-tahun tumbuh hutan rimbun yang mampu menguap embun dan menarik curah hujan, sehingga secara berangsur terbentuk kali yang tumbuh menjadi sungai. Motivasi yang mendorong Kyai Haji Basid bekerja bertahuntahun membangun hutan alam adalah dorongan keyakinan ~ 74 ~ Lingkungan dan Keadilan beragamanya untuk mendapatkan air bersih bagi kesempurnaan menjalankan ibadah salat. Indonesia dianugerahi Tuhan sebagai satu-satunya negara kepulauan di dunia yang terletak di khatulistiwa dengan "tropical biological natural resource daratan dan lautan" terkaya di dunia. Sehingga dengan sains dan teknologi, Indonesia memiliki produk bersaing unggulan dengan nilai tambah sumber daya keanekaragaman hayati tropis daratan dan lautan yang kaya melimpah. Karena itu kita perlu: 1. Melestarikan kawasan "eko-region" tiap pulau sebagai habitat alami microba, bakteri, jamur dll sebagai sumber daya genetika flaura-fauna; 2. Mengembangkan ilmu sains dan teknologi untuk mengembangkan obat-farmasi berbasis "mikroba alami faunaflora" memerangi TBC, anti-kanker, dll.; 3. Mengembangkan Mikroba Penyubur Perakaran pengganti pupuk-kimia menggantipestisida kimia dan mengembangkan Agen-Perombak Bahan Kimia Agro; 4. Menumbuhkan Bio-farming diversitas pangan (kentang hitam Nganjuk, Varietas Umbi Tacca di pasir kering Madura dan Bangka; 5. Mengembagkan sumber daya Marin Tropis mengolah laut untuk pangan, obat, kosmetika; 6. Membangun Bio-pestisida, bio-ethanol, bio-fuel, bio-pellet (antara lain untuk interior mobil) berbasis sampah plastik; 7. Mengembangkan hewan dan ikan sebagai sumber pangan, obat, kosmetika, dll; 8. Menerapkan teknologi restorasi biodiversitas dan ekosistem untuk sustainabilitas alami. ~ 75 ~ Lingkungan dan Keadilan Posisi Indonesia yang unik sebagai negara kepulauan di kawasan khatulistiwa memberi berkah kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang harus dinaikkan nilai tambahnya sebagai sumber peningkatan kesejahteraan rakyat kita engan pola pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Dan inilah harus menjadi pedoman para guru-pendidik untuk menginternalisasikan orientasi dan pemahaman ilmu ScienceTechnology-Engineering-Mathematika-Ilmu Sosial-Budaya kepada anak-didik kita untuk bisa menciptakan "nilai tambah atas keunikan kekayaan alam kita" sebagai arahan pendidikan anak didik kita untuk memberi substansi pada tiga jalur ekonomi-sosial-lingkungan dalam pola pembangunan berkelanjutan. 3. PERANAN PENDIDIKAN BAGI GENERASI BONUS DEMOGRAFI Pemimpin-pemimpin kita, seperti Bung Karno lahir 1901 dan menjadi Presiden di tahun 1945. Pak Harto lahir 1921 dan menjadi Presiden di tahun 1967. Ada siklus hidup 40 tahun dengan pematangan puncak manusia pada usia 40-tahunan. Sehingga pada usia 40 tahun tumbuhlah élan dan kreativitas manusia menuju puncak prestasinya. Berkat berhasilnya Indonesia melaksanakan Program Keluarga Berencana, maka kita beruntung menikmati "bonus demografi", yaitu tumbuhnya potensi percepatan pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh menurunnya rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk (dihitung dari jumlah penduduk 0-14 tahun ditambah dengan penduduk usia 65 tahun+ dibagi dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun). Struktur penduduk yang didominasi oleh kelompok usia produktif 15-64 tahun ini meningkatkan suplai ~ 76 ~ Lingkungan dan Keadilan angkatan kerja, naiknya potensi tabungan, dan naiknya kualitas sumber daya manusia berkat membaiknya kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 2012 "rasio ketergantungan penduduk kita menunjukkan proses turun meliwati batas 50% di tahun 2012. Dan akan mencapai titik terendah (46,9%) antara tahun 2028-2031. Sehingga dalam periode inilah generasi 15-64 tahun mendominasi profil kependudukan kita. Apabila generasi ini terlatih, terdidik, sehat dan cerdas, maka sumber daya manusia Indonesia seperti ini mampu mendobrak ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan dibandingkan negara-negara lain. Hal ini juga difahami kalangan bisnis yang memperhitungkan kebangkitan pasar yang berpangkal pada tumbuhnya jumlah generasi muda. Kita perlu waspada bahwa generasi muda ini tidak menjadi potensi industri yang justru merusak kualitas generasi muda ini. Akhir-akhir ini tampak meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan rokok di kalangan generasi muda. Citi-ciri ketiga industri Na(rkoba)-Rok(ok)-a(lkohol) alias NAROKA ini adalah ciri-ciri menumbuhkan "kecanduan" (addiction) pada pemakainya. Dan sekali anak-muda masuk genggaman kecanduan ini, seumur hidup ia terikat pada NAROKA dengan akibat hancurnya kualitas generasi muda kita. Sehingga para pendidik perlu aktif serta dakam pembrantasan proses addiction oleh NAROKA agar generasi muda tidak terjerumus dalam "neraka hidup" ini. Karena itu sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia generasi ini. Generasi muda ini berusia usia 20-an ke atas (lahir di tahun 90-an ke atas) dan akan mencapai usia 40-an di ~ 77 ~ Lingkungan dan Keadilan tahun 2020-an. Sehingga generasi ini dan yang akan datang berkesempatan membawa kita ke 100 tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045. Pada ujung jalan usia Indonesia 100 tahun inilah sudah harus dicapai Indonesia yang lepas lamdas, keluar dari perangkap keterbelakangan dan Middle Income Trap. Terlepas dari belenggu vested interests groups, berbagai mafia ekonomi dan politik, penuh kesadaran dan komitmen membangun Indonesia yang sejahtera ekonominya, adil kehidupan masyarakat tanpa ketimpangan dan dalam lingkungan alam tropis Indonesia yang utuh lestari di tahun 2045. Sasaran ini bisa dicapai apabila pola pembangunan konvensional didobrak menempuh jalan Manusia Ber-Tuhan berkat reformasi pola pendidikan menuju pembentukaan Manusia yang Utuh, menghayati peri-kehidupan keselarasan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesama manusia dan masyarakat, dan antara manusia dengan lingkungan alam, yang mampu dengan penuh kesadaran "membangun dan merawat Bumi Nusantara kita bersama". ~ 78 ~ Lingkungan dan Keadilan Membangun New Citizenship di Lingkungan Perguruan Tinggi Katolik Petrus Sunu Hardiyanto, SJ1 Compositio Sui Loci Videndo (Menempatkan Diri dengan Melihat Tempat) “LAUDATO SI’, mi’ Signore” – “Praise be to you, my Lord”. In the words of this beautiful canticle, Saint Francis of Assisi reminds us that our common home is like a sister with whom we share our life and a beautiful mother who opens her arms to embrace us. “Praise be to you, my Lord, through our Sister, Mother Earth, who sustains and governs us, and who produces various fruit with coloured flowers and herbs”. Undangan Panitia Rapat Umum Anggota (RUA) APTIK mendesak saya berhenti sejenak. Saya merasa dipercaya untuk membagikan pengalaman-pengalaman kecil bagi teman-teman peserta RUA APTIK yang mau menyusun Renstra APTIK 2017-2021. Secara istimewa ingin ditemukan Kontribusi Nyata dari Perguruan Tinggi anggota APTIK dalam ikut merawat Bumi Nusantara dengan merujuk pada ‘visi’ dan insight dari ensiklik Laudato Si’. Tujuan yang sangat jelas dari RUA untuk menyusun Renstra membantu saya untuk menentukan pokok-pokok (Puncta) yang bisa saya panggil dari pengalaman hidup saya melalui kontemplasi 1 Petrus Sunu Hardiyanta, SJ, S.Si., M.Sc. adalah dosen Universitas Sanata Dharma, berlatar belakang pendidikan di bidang-bidang biologi lingkungan, budaya, dan ekologi. Sejak Juli 2014, ia bertugas sebagai Superior Provinsial Serikat Jesuit Indonesia. ~ 79 ~ Lingkungan dan Keadilan (contemplor = melihat dengan mata batin) dan meditasi (meditare= menimbang/ menalar secara runtut) untuk selanjutnya saya bagikan kepada teman-teman sebagai wujud konkret menemukan dan berbagi kekayaan dari dan untuk sesama peziarah (to find the richness of others). Demikianlah, undangan ini menjadi hal yang menyenangkan bagi saya dan semoga bagi teman-teman semua. Santo Ignatius Loyola mengajarkan cara-cara menimbang perkara secara tepat (deliberation). Satu hal yang sangat menarik dari metode tersebut adalah: mengintegrasikan NALAR, RASA dan KEHENDAK. Banyak orang menalar tetapi lupa mencermati RASA. Banyak orang menjadi emosional dan menjadi tidak nalar.Keduanya masing-masing dan bersama-sama melahirkan ‘lemah kehendak’. KEHENDAK yang kokoh hanya lahir dari terintegrasinya NALAR dan RASA yang dibangun melalui kegiatan bermutu dari hari ke hari. RUA APTIK pada kesempatan ini dimaksudkan untuk menemukan insight (pandangan mendalam/ mata batin) bagaimana Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK dapat (1) membantu Formasi Orang Muda (para mahasiswa dan para dosen serta karyawan) untuk (2) mampu membangun ‘Paradigma Baru’ (mengemukakan gagasan) dan (3) melaksanakannya dalam program-program strategis bagi (4) Tetap Terawatnya Nusantara bagi generasi ini dan masa depan. 1. Pokok-Pokok Meditasi-Kontemplasi Tiga Pertanyaan Utama yang Harus Saya Jawab Panitia memberikan TOR dalam tiga pertanyaan. (1) Bagaimana mewujudkan pembaharuan diri (pertobatan) bisa terwujud secara ~ 80 ~ Lingkungan dan Keadilan nyata di tengah-tengah belahan bumi tropis bernama bumi Nusantara? (2) Bagaimana Visi penuh harapan dari Paus dan tokohtokoh dunia bisa dijabarkan dalam paradigma, kerangka kerja dan strategi pencapaian dalam konteks Indonesia saat ini, dan (3) Apa yang ingin dipilih sebagai kontribusi nyata Komunitas Akademik APTIK untuk tetap terawatnya bumi Nusantara? Ultimate Goal Membaca TOR tersebut saya ditantang untuk berbagi insight mengenai ‘ultimate goal’ dan ‘proximate goals’ dari Laudato Si’. Saya melihat bahwa ‘ultimate goal’dari Laudato Si’ tidak lain ‘Membangun New Citizenship’. Inilah kerinduan utama dari ensiklik Laudato Si’. Paus mengajak kita semua untuk mengerahkan seluruh kreativitas, seluruh kemampuan bekerjasama, seluruh simpulsimpul energi dari semua orang yang berkehendak kuat untuk menumbuhkan budaya dan membangun ‘New Citizenship’, membangun warga dunia baru, warga dunia yang peduli akan Ibu Pertiwi, warga yang memiliki awareness toward our common home. Pada poin ini sudah langsung menjadi jelas dan pilah (clara et distincta) pentingnya ‘formasi Latihan mencermati Nalar-RasaKehendak’. Setiap Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK memiliki kesempatan dan merupakan potensi ‘spatial dan temporal’ (ruang dan waktu) untuk membangun suatu ‘New Citizenship’. Setiap PT di lingkungan APTIK merupakan ‘locus incarnationis’ (tempat penjelmaan) bagi ‘Sabda yang mau MENDAGING’ dalam diri orang-orang muda (mahasiswa) dan para Dosen serta Karyawan yang bersama-sama merupakan Citizen, merupakan ‘companion’ sahabat seperjalanan ~ 81 ~ Lingkungan dan Keadilan dalam menziarahi HIDUP. Kalau kita secara kreatif bisa membantu diri sendiri dan teman-teman yang kita dampingi untuk MEMBIARKAN DIRI terbuka pada ‘SABDA’ yang ingin menjadi DAGING dalam diri kita dan dalam diri sesama kita, maka di situlah akan terjadi PEMBAHARUAN, suatu ‘pertobatan yang menyenangkan’. Yang saya maksud dengan Sabda Menjadi Daging adalah: ketika kita terbuka dan membiarkan diri untuk mencintai, melayani, menghargai, membantu orang lain. Ketika Anda mendengarkan anak-anak, menghargai mahasiswa, mencintai suami atau istri, membantu orang yang dalam kesulitan saat itulah sebenarnya ‘SABDA’ menjadi daging di dalam mata, tangan, mulut, telinga, kaki, pikiran, hati dan seluruh diri Anda. Ketika kita berani mendengarkan mahasiswa, mendengarkan anakanak, mendengarkan suami, mendengarkan istri, dan mendengarkan diri sendiri, ternyata para mahasiswa, anak-anak, suami, istri, teman merasa SENANG. Senang karena didengarkan. Lebih mengejutkan lagi, ternyata diri kita sendiri juga SENANG. Betapa menyenangkan didengarkan. Betapa lebih menyenangkan bisa mendengarkan. Pengalaman lain: ketika aku berani memuji anak-anak, berani memuji mahasiswa, berani memuji istri, berani memuji suami, ternyata mereka juga senang. Dipuji itu sangat menyenangkan.Tetapi memuji, ternyata jauh lebih menyenangkan. Sungguh aneh tapi nyata: mendengarkan, memuji, memperhatikan, membantu, menemani, menghibur, meneguhkan, semuanya ternyata MENYENANGKAN. Inilah yang oleh Immanuel Kant disebut ~ 82 ~ Lingkungan dan Keadilan sebagai ‘Imperatif Kategoris’. Lakukanlah yang orang lain ingin kamu melakukannya untuknya, dan ketika kamu melakukannya dia bahagia dan di saat yang sama ketika kamu melakukannya kamu juga bahagia’. Kalau Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK bisa membangun budaya (daya budi) dan tradisi (living faith=keyakinan yang dihidupi) mendengarkan, memuji, menghargai, membantu, menemani, menghibur, meneguhkan, maka sesungguhnya Komunitas Akademik dalam APTIK sudah dan sedang berkontribusi untuk membangun ‘New Citizenship’ yang dirindukan Paus Fransiskus. Dan persis yang dibutuhkan hanya dua hal: membangun‘budaya’ (daya nalar) dan tradisi (keyakinan yang dihidupi). ‘Mendengarkan’ adalah budaya, daya budi.Memperhatikan juga budaya, daya budi.Menemani, menghibur, menguatkan, membantu, mencintai, semuanya adalah budaya, daya budi yang mendaging dalam telinga, mata, mulut, hati, tangan, tubuh.Dan ketika budaya itu dihidupi dalam keseharian, dia menjadi tradisi (living faith) suatu keyakinan yang dihidupi. Dari sudut psikologi dan filsafat, membangun nalar yang mendaging dan membangun keyakinan yang dihidupi tidak lain merupakan pengelolaan ‘needs’ menjadi ‘values’melalui pewujudan ‘imperatif kategoris Immanuel Kant’. Lakukan yang orang lain ingin kau lakukan baginya, dan yang ketika kamu lakukan hal itu, orang lain itu bahagia dan ketika kamu melakukan hal itu, kamupun bahagia. Membantu diri kita sendiri untuk mengenali dan menemukan ‘needs psikololgis kita’ yang sesungguhnya adalah ‘inang’ bagi perubahan (transformasi) dunia (microcosmos maupun macrocosmos) dan membaliknya menjadi ‘values’ yang sesungguhnya adalah ~ 83 ~ Lingkungan dan Keadilan ‘panggilan/ calling/ Cendana’ dari hidup kita merupakan ‘pertobatan yang menyenangkan’. Sebagai contoh: salah satu need psikologis saya adalah ‘ingin dipercaya’. Ini adalah ‘inang’ hidupku. Maka panggilan saya tidak lain adalah ‘mempercayai’. ‘Mempercayai’ itulah cendanaku. Mempercayai teman, mempercayai dosen, mempercayai diriku sendiri dan mempercayai bahwa segala kesulitan yang saya alami akan melahirkan ‘kebangkitan’. Cendana hanya bisa tumbuh bila ada inang. Tanpa inang, dia tidak akan mampu tumbuh. Needpsikologisku ‘ingin dipercaya’ bisa kubalik menjadi tindakan bermutu ‘mempercayai’.Mempercayai teman, mempercayai pembesar, mempercayai mahasiswa dan tentu saja mempercayai diri saya sendiri.Ketika saya mempercayai mahasiswa, teman dan orang lain, mereka bahagia dan sayapun bahagia. Ultimate goal membangun ‘New Citizenship’ tidak lain membangun ‘nalar yang mendaging’ dan membangun ‘keyakinan yang dihidupi’. Membangun New Citizenship tidak lain adalah pelan-pelan membalik ‘needs’ menjadi ‘tindakan bernilai’/ values mendengarkan, memperhatikan, memuji, mendukung, menemani, melayani dan mencintai. New Citizenship yang terlatih untuk mengeksekusi imperative Kategoris Immanuel Kant merupakan Komunitas yang siap untuk berubah dan mentransformasi diri serta dunia dengan gembira. Pertobatan yang menggembirakan itu nyata. 202. Many things have to change course, but it is we human beings above all who need to change. We lack an awareness of our common origin, of our mutual belonging, and of a future to be shared with everyone. This basic awareness would enable the development of new convictions, attitudes and forms of life. A great cultural, spiritual and educational ~ 84 ~ Lingkungan dan Keadilan challenge stands before us, and it will demand that we set out on the long path of renewal. Proximate Goals Ultimate Goal merupakan sasaran pembangunan dasar ‘afektif spiritual’ suatu ‘New Citizenship’. Proximate Goals merupakan ‘sasaran-sasaran dekat’ (proksi) untuk mewujudkan ‘ultimate goal’. Sasaran dekat ini berupa kegiatan-kegiatan yang bisa bersifat sangat lokal namun demikian terarah pada sasaran yang paling besar, paling jauh, paling mendalam, paling luas. Authentic human development has a moral character. It presumes full respect for the human person, but it must also be concerned for the world around us and “take into account the nature of each being and of its mutual connection in an ordered system”. Accordingly, our human ability to transform reality must proceed in line with God’s original gift of all that is. Pada awal November 2015 yang lalu, saya bertemu seorang teman.Dia mengeluh bahwa dari banyak lulusan Perguruan Tinggi (baik Negri maupun Swasta) disinyalir tidak memiliki daya juang, tidak memiliki daya tahan (endurance) dalam bekerja, dan kurang memiliki achievement. Bahwa generasi orang muda ini kurang memiliki daya juang dan daya tahan bisa lebih mudah dipahami. Bahwa mereka ternyata disinyalir kurang memiliki ‘achievement’, hal ini cukup mengherankan, sebab biasanya orang jaman ini sangat dipicu oleh ‘pencapaian’.Pencapaian adalah need, adalah inang bagi setiap orang untuk bisa maju. Di balik need ‘achievement’ ditawarkan value ‘meaningfulness’. Artinya, orang perlu bertanya ‘what does it mean to me’ untuk setiap pencapaian. Mereka yang tidak pernah bertanya mengenai makna, akan tersungkur oleh ~ 85 ~ Lingkungan dan Keadilan karena hanya bertemu ‘meaninglessness’. Lesunya generasi muda untuk ‘achievement’ barangkali dipicu oleh ‘tiadanya latihan mencari dan menemukan makna hidup’. Hal ini perlu dipelajari dan diteliti secara sitem sistematis. 205. Yet all is not lost. Human beings, while capable of the worst, are also capable of rising above themselves, choosing again what is good, and making a new start, despite their mental and social conditioning. We are able to take an honest look at ourselves, to acknowledge our deep dissatisfaction, and to embark on new paths to authentic freedom. No system can completely suppress our openness to what is good, true and beautiful, or our God-given ability to respond to his grace at work deep in our hearts. I appeal to everyone throughout the world not to forget this dignity which is ours. No one has the right to take it from us. Tantangan berkontribusi untuk turut membangun bumi Nusantara dalam terang ensiklik Laudato Si’ menjadi isi dari Proximate Goals. Secara khusus Paus mengundang kita untuk memperhatikan: pentingnya air bagi semua; pentingnya menyembuhkan komunitas dari throw-away culture; pentingnya memanfaatkan energi secara efektif dan kreatif. 2. Rahmat yang Dimohon: Kontribusi Nyata APTIK Provokasi: Pentingnya kehendak untuk membangun bumi yang baru Santo Ignatius dan para Yesuit perdana (primi patres) memberi teladan cara ber-deliberasi (menimbang-nimbang perkara bersamasama: memaparkan halnya, memilah, memilih dan mengambil keputusan yang harus dilaksanakan). Sebelum kita berbicara panjang lebar mengenai suatu perkara, sangat penting kupastikan ~ 86 ~ Lingkungan dan Keadilan di dalam diriku bahwa yang menjadi keputusan pembicaraan bersama ini akan KULAKUKAN. United Nations Climate Change Conference 2007 (UNCCC) di Bali mengenai pemanasan global menjadi salah satu contoh ‘ironis’: pertemuan menghasilkan keputusan bagus, tetapi TIDAK DILAKSANAKAN. Negotiations on a successor to the Kyoto Protocol dominated the conference. A meeting of environment ministers and experts held in June called on the conference to agree on a road-map, timetable and 'concrete steps for the negotiations' with a view to reaching an agreement by 2009. It has been debated whether this global meeting on climate change has achieved anything significant at all. "We've been suckered again by the US. So far the Bali deal is worse than Kyoto" Initial EU proposals called for global emissions to peak in 10 to 15 years and decline "well below half" of the 2000 level by 2050 for developing countries and for developed countries to achieve emissions levels 20-40% below 1990 levels by 2020. The United States strongly opposed these numbers, at times backed by Japan, Canada, Australia and Russia. The resulting compromise mandates "deep cuts in global emissions" with references to the IPCC's Fourth Assessment Report. (by George Monbiot, December 17, 2007, Guardian unlimited) Pembicaraan panjang para politikus dengan back up ratusan businessmen berakhir dengan satu kata: delay!!!! Delay to reduce emissions levels. Michel Foucault merefleksikan bahwa realitas politik selalu berwajah ambigu. (Ketika Kusni Kasdut dihukum mati sebagai penjahat, beberapa orang justru menganggapnya sebagai pahlawan. Ketika beberapa anggota DPR mencalonkan beberapa ~ 87 ~ Lingkungan dan Keadilan mantan presiden sebagai pahlawan, rakyat mencibir para calon pahlawan sebagai ‘pecundang’ bangsa. Ketika para pemimpin Negara maju tidak berani mengambil tindakan konkret untuk mengurangi emisi karbon, anak-anak TK, SD mulai membuat beberapa orangtua tidak nyaman: ‘Mama, tidak baik memakai AC, ini menyebabkan bumi makin panas!!!!’ Begitu pula mulai muncul istilah‘green buster’, ‘Green Monster’, ‘Ijo-lan sampah’, ‘composting for education’ dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu gejala local genius yang perlahan menjadi gerakan universal untuk memperhatikan ‘our common home’, Ibu Pertiwi, s (bumi), menjadi embrio-yang dalam bahasa Paus Fransiskus disebut sebagai ‘new citizenship’. Musuh utama formasi new citizenship adalah karakter ‘lemah kehendak’. Kelemahan kehendak biasanya berakar pada atau ‘lemah nalar’ atau ‘lemah rasa’ atau ‘lemah nalar dan rasa sekaligus’. Dalam hal inilah kita perlu menilik local genius ‘Serat Wedatama’ yang ditulis oleh Mangkunegara IV dua abad yang lalu. Mungkinkah pendidikan tinggi membantu formasi ‘warga dunia baru’ yang memiliki ‘ketangguhan dan kekuatan kehendak’? Pertobatan Nalar, Rasa, Kehendak Rumi (1112) memberikan refleksi tajam, indah dan manusiawi mengenai pertobatan ‘Nasuha’ (kisah bisa dibaca di appendix). Memang hanya pertobatan otentik yang bisa melahirkan ‘hidup baru’ dan pertobatan otentik selalu menyentuh pengalaman yang sangat manusiawi. Bahkan Anda akan menemukan, pertobatan otentik hanya akan ‘sustainable’ bila ternyata hasilnya adalah membawa rasa lebih enak, rasa lebih comfortable. Dalam bahasa Rama Mangunwidjaya terungkap ‘benar cantik dengan sendirinya’. Tindakan tidak keliru dengan sendirinya membawa rasa puas ~ 88 ~ Lingkungan dan Keadilan mendalam, bahkan menginspirasi untuk tindakan tidak keliru berikutnya. Rupa-rupanya di tengah masyarakat kita jarang terjadi pertobatan karena pemahaman kurang menyeluruh atau kurang tepat mengenai ‘tobat’. Tobat terbayangkan membawa akibat rasa ‘tidak enak’ melebihi ‘rasa enak’ yang timbul. Hanya bila seseorang sudah mengalami secara empiris bahwa ‘sebuah tindakan baru’ ternyata lebih membawa ‘rasa lebih enak secara tidak keliru’ dibandingkan dengan kebiasaan lama, maka orang ini akan tetap dalam pertobatannya. Beberapa ilustrasi kecil akan membantu: (1) Beberapa orang akhirnya lebih suka mengurangi makan ‘gorengan’ atau minum manis, sebab ternyata membawa efek lebih segar di badan. (2) Saya lebih suka pergi dari rumah ke kampus VU University di Amsterdam dengan mengendarai sepeda daripada naik ‘trem’. Ketika saya refleksikan, mengapa saya lebih suka naik sepeda? Ternyata: saya naik sepeda bukan karena saya ingin mengurangi emisi karbon, bukan karena tidak punya uang saku untuk membayar trem, tetapi karena ternyata naik sepeda jauh lebih nyaman daripada naik trem. (3) Beberapa teman sudah merasakan juga bahwa ‘tidak merokok’ ternyata lebih nyaman dan menyenangkan daripada ‘merokok’. (4) Mudah-mudahan banyak orang akan menemukan juga bahwa ‘tidak korupsi’ (waktu, pikiran dan semacamnya) ternyata lebih menyenangkan daripada ‘korupsi’. Pasti ketika kita menggunakan waktu sebaik-baiknya, menggunakan kesempatan untuk berdiskusi sebaik-baiknya, menggunakan kesempatan untuk menikmati alam sebaik-baiknya, kita sesungguhnya merasakan ‘nikmat’, ‘asyik’, ‘segar’, ‘lovely’, ‘cerdas’, ‘ciamik’, ‘top tenan’. Kecerdasan Rumi memaparkan pengalaman ‘Nasuh’ membantu kita paham mengenai makna ‘tobat otentik’. Pertobatan autentik ~ 89 ~ Lingkungan dan Keadilan melibatkan ‘penalaran’, ‘afeksi (rasa yang timbul karena tindakan), kehendak dan ‘pengalaman going beyond’. Sesungguhnya, dalam hidup keseharian, Anda, Saya, Kita mengalami pertobatanpertobatan kecil.Setiap hari, saya yakin Anda semua mengalami pengalaman-pengalaman ‘going beyond’ yang sesungguhnya merupakan titik-titik kecil pertobatan sederhana. Bagi saya ‘tidak menunda’ , ‘tidak marah’, ‘tidak membiarkan diri patah arang’, merupakan hal kecil yang selalu menyenangkan. ‘Sayang sekali, banyak pengalaman indah dan penting itu ‘lenyap’ karena tidak pernah ‘diendapkan’, tidak pernah disadari, hanya lewat begitu saja. Padahal, perjalanan hidup sudah menempa kita untuk mengalami pertobatan-pertobatan yang menyenangkan. Mangkunegara IV (1811) sudah merefleksikan betapa pentingnya ‘mardi siwi’ (mendidik anak). Dalam Wedhatama, Mangkunegara menawarkan pedagogi (paidon agoge) untuk membangun nalar yang mantab melalui wiweka rasa yang melahirkan kehendak kokoh dan tangguh dalam bermasyarakat. Jinejer ing wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi. Mangka najan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepa lir sepah samun, samangsane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi. (Diajarkan dalam wedhatama, supaya endapan nalar berasa mantab. Setiap dari kita memang akan menjadi tua dan pikun; namun demikian bila kita tidak mencermati (wikan) rasa; kita akan mendapatkan diri senyatanya sepi, sepa (tanpa rasa), sepah (ampas tebu) samun (tidak jelas); ketika dalam perkumpulan, tingkah laku orang seperti ini akan memalukan. ~ 90 ~ Lingkungan dan Keadilan 3. Metodologi: Merdeka, Kreatif, Berani Ambil Resiko: Dasar Kokoh ‘Agent of Change’ Perguruan Tinggi merupakan ‘locus incarnationis’ ruang penjelmaan Sabda yang mau mendaging. Setiap tahun ribuan mahasiswa baru menggabungkan diri: siap dibantu untuk mendagingkan Sabda. Ribuan yang lain sesungguhnya siap untuk ditinggikan di kayu salib. Sepertinya abstrak, padahal sesungguhnya konkret. Perguruan tinggi menjadi ‘locus incarnationis’ ruang penjelmaan.Allah ingin didagingkan di dalam nalar, rasa dan kehendak setiap mahasiswa yang bergabung dengan Civitas Akademik kita. Panggilan kita tidak lain adalah: membantu mereka ‘dengan gembira’ membiarkan penalaran-penalaran Allah tumbuh dalam nalar mereka; membantu mereka ‘merasakan dalam-dalam’ betapa menyenangkan, betapa berat, betapa menantang membangun persahabatan, membangun kerjasama, membangun komunitas, membangun suasana Allah yang Meraja; membantu mereka berani membentur-benturkan diri untuk terbentuk, membantu mereka berani ‘going beyond’, berani ‘rugi’, berani memperhatikan, melayani, mencintai orang lain. Hanya itu. Dan itu artinya, perlahan-lahan mengajak anak berani: ‘nggetih’ (merdeka, kreatif, berani ambil reasiko). Pertobatan Personal: Ternyata Orang Muda Masih Bisa Berubah Ternyata, dari pengalaman-pengalaman kecil beberapa tahun mendampingi para mahasiswa di USD, saya menemukan antusiasme, semangat yang menyala-nyala dari orang muda untuk tumbuh. Orang-orang muda ini sangat ingin meneliti, sangat ingin mengambil tantangan, sangat ingin belajar mengenai hal-hal yang ~ 91 ~ Lingkungan dan Keadilan memang sangat menarik. Setiap tahun, tidak kurang dari 15 (10% dari populasi) mahasiswa baru Fakultas Farmasi USD dengan penuh semangat dan gembira masuk kebun obat dan membuat penelitianpenelitian (PKM) yang sangat menarik. Tiap tahun, mahasiswa baru Pendidikan Biologi USD menikmati tantangan ‘empat hari inisiasi diri sendiri’ di pantai Drini dan sekitarnya dan disitu mereka menemukan motivasi untuk belajar selama empat tahun ke depan. Terus terang, saya banyak kali DIPERTOBATKAN: tercengang melihat GAIRAH muda yang sedemikian otentik dan terbuka untuk menjadi pribadi A, yakni pribadi yang ‘always thinking, serving, loving, ministering others’. Betapa menyengankan, membahagiakan menemani mahasiswa baru ‘menemukan tantangan’, menemukan ‘visi’, menemukan cara untuk tumbuh. Itu semua tampak dan terungkap dalam ‘gesture’ fisik mereka: mata berbinar, pingin tahu, bertanya, gembira, ceria, siap sedia mengambil tanggung jawab, dan siap ambil resiko mengekplore tantangan. Semakin menantang semakin tinggi adrenalin. Pertobatan ternyata sangat menyenangkan. Pertobatan itu tak terlupakan: menjadi merdeka, menjadi kreatif, menjadi berani ambil resiko. Bulan Maret 2015, Franky seorang Mahasiswa Papua memutuskan untuk memelihara lele di dua kolam Pusat Studi Lingkungan USD untuk persiapan inisiasi bagi adik-adik angkatan baru.Pada kesempatan ‘inisiasi diri sendiri prodi PBIO 2015/2016’ akhir Sepetember yang lalu dengan bangga ia menunjukkan bahwa seluruh lampu LED yang dipakai dalam camping inisiasi diri sendiri dibeli dari hasil panen lele. Ini merupakan gambar seorang yang ‘mau rugi’, berani ambil resiko dan merdeka. Anehnya: sikap mau rugi yang dihidupi oleh Franky ini diam-diam diserap secara lembut dan mendalam oleh adik-adik kelasnya. Begitulah ‘Allah yang Menjelma’ itu sesungguhnya mendaging di dalam hidup orang~ 92 ~ Lingkungan dan Keadilan orang muda seperti Franky ini. Saya menyaksikan, jumlah orangorang muda yang mengalami transformasi sederhana seperti ini Cukup banyak, bahkan sangat banyak.Jumlah mereka per angkatan Cukup untuk membuat angkatan mereka ‘gila’. Peran Formator (Dosen, Karyawan dan seluruh Civitas Akademik) Dosen, karyawan dan seluruh Civitas Akademik adalah formator bagi setiap mahasiswa dan juga seluruh Civitas Akademik yang lain. Peran utama formator adalah menjadi teman. Aristoteles memperkenalkan ‘maiuteke tekne’ yakni peran formator sebagai bidan, yang berperan membantu kelahiran ‘pengetahuan’, ‘kehendak’, dan ‘energi mengeksekusi mimpi’. Perhatian biasanya sudah cukup diarahkan untuk formasi para Dosen supaya semakin mampu membantu formasi para mahasiswa. Tidak kalah penting adalah peran para karyawan (administrasi, kebersihan, keamanan dsb). Mereka dalam kehadiran dan ketekunan menjalankan tugas sesungguhnya membantu formasi mental para mahasiswa.Dan tidak kalah penting lagi adalah peran komunitas para mahasiswa (peer group) sendiri. Keberhasilan membentuk komunitaskomunitas mahasiswa yang kreatif dan produktif akan sangat membantu ‘channeling’ energy keseluruhan mahasiswa. Tantangan Formator Perguruan Tinggi adalah membantu civitas akademik, terlebih mahasiswa, untuk mengalamai pertobatanpertobatan sederhana: pertobatan penalaran, pertobatan fisik dan batin melalui pembadanan pengalaman (praktikum, studi lapangan, kuliah, kegiatan ekstra), pengendapan pengalaman (refleksi menyangkut Rasa, Nalar, Kehendak) dan perayaan (selebrasi) pengalaman olah nalar, rasa, kehendak sampai ke fisik. ~ 93 ~ Lingkungan dan Keadilan 4. Indonesia Raya: Ingenuinity Observasi awal: masih ada banyak ruang dan waktu yang secara sangat sederhana akan membawa warga Indonesia mengalami persentuhan nalar, rasa dan kehendak dengan alam. Anak-anak sekolah dasar atau SMP yang tinggal di tempat-tempat yang masih jauh dari kemudahan sarana transportasi memiliki potensi persentuhan fisik dengan tantangan alam sehari-hari. Masih banyak juga Ibu-Ibu yang menekuni karya-karya sederhana dengan berjualan dipasar, bercocok tanam di sawah, mengerjakan seni kriya di rumah. Terhadap kenyataan ini, afirmasi dari pemimpin seperti Jokowi merupakan hal yang sangat penting. Pengakuan, konfirmasi bahwa yang mereka kerjakan sehari-hari adalah hal yang ‘genuine and excellent’ hal yang asli dan luar biasa. Kunjungan langsung Jokowi ke Kalimantan merupakan fenomen menarik. Ketika Jokowi datang, seluruh jajaran polda, polres, bupati, camat berbondong-bondong memadamkan api. Selesai acara kunjungan Jokowi pulang. Tanpa mereka ketahui, lima jam kemudian Jokowi datang lagi ke lokasi yang sama. Dan ternyata, tak seorangpun ditemui di sana. Tak seorangpun. Ini merupakan contoh ‘tajam’ dari ‘rapuhnya kehendak’. Bahkan para prajurit yang biasanya sudah tertempa dengan mental baja, tak satupun tampak bekasnya.Ke manakah mental itu??? Betapa menyakitkan, mengetahui kenyataan bahwa pribadi-pribadi yang mestinya memiliki KEHENDAK TANGGUH DAN KOKOH ternyata adalah ‘Arya Kendor’. Salah satu poin menarik dari Paus Fransiskus adalah kekokohan kehendaknya. Beliau melihat, kita bisa membangun new citizenship. Untuk ini kita perlu melakukan dialog ‘fisik’. Artinya bertatap muka, saling mendengarkan, saling berbagi pengetahuan dan ide, saling ~ 94 ~ Lingkungan dan Keadilan mengembangkan. Mendengarkan itu menggerakkan. Orang yang didengar, akan bergerak. Ketika Anda tidak didengar, maka besar kemungkinan Anda akan ‘diam’ atau bahkah ‘mundur menjauh’. Perhatikan, ketika Anda didengar, ketika anak didengar, ketika mahasiswa didengar, mereka bergerak. Tantangan PT adalah membantu para mahasiswa untuk tumbuh menjadi ‘transformation agents’ untuk pandai, cerdas mendengarkan, pandai melibatkan orang lain, pandai terlibat dalam gerak bersama. Tidak ada cara lebih tepat untuk mengajari para mahasiswa cerdas mendengar, daripada ‘MENDENGARKAN’ mereka dengan jeli dan teliti. Latihan-latihan mendengarkan diri sendiri dengan baik dan benar (refleksi, menulis refleksi, membagikan refleksi) dan latihan mendengarkan orang lain (mendengarkan presentasi, mendengarkan pertanyaan, mendengarkan diskusi) merupakan latihan terbaik untuk mampu MENGGERAKKAN ORANG LAIN. 5. Colloquium: 211. Yet this education, aimed at creating an “ecological citizenship”, is at times limited to providing information, and fails to instil good habits. The existence of laws and regulations is insufficient in the long run to curb bad conduct, even when effective means of enforcement are present. If the laws are to bring about significant, long-lasting effects, the majority of the members of society must be adequately motivated to accept them, and personally transformed to respond. Only by cultivating sound virtues will people be able to make a selfless ecological commitment. A person who could afford to spend and consume more but regularly uses less heating and wears warmer clothes, shows the kind of convictions and attitudes which help to protect the environment.There is a nobility in the duty to care for creation through little daily actions, and it is wonderful how education can bring about real ~ 95 ~ Lingkungan dan Keadilan changes in lifestyle. Education in environmental responsibility can encourage ways of acting which directly and significantly affect the world around us, such as avoiding the use of plastic and paper, reducing water consumption, separating refuse, cooking only what can reasonably be consumed, showing care for other living beings, using publictransport or car-pooling, planting trees, turning off unnecessary lights, or any number of other practices. All of these reflect a generous and worthy creativity which brings out the best in human beings. Reusing something instead of immediately discarding it, when done for the right reasons, can be an act of love which expresses our own dignity. Apa yang sudah kulakukan? Ultimate goal apa yang SUDAH menjadi ‘visi’ formasi mahasiswa dan seluruh civitas akademik di lingkungan Perguruan Tinggiku? Proximate goals apa saja yang SUDAH dapat membantu setiap mahasiswa, setiap dosen dan setiap karyawan untuk dari tahap-ke tahap mengenali ‘needs’ dan mentransformasikannya menjadi ‘calling’ panggilan serta ‘values’ nilai-nilai dan keutamaan yang mengantar menjadi pribadi yang berani mendengarkan, memperhatikan, menghargai, menemukan makna, dan selalu memikirkan, melayani, mengabdi dan mencintai orang lain. Apa yang sedang kulakukan? Ultimate goal apa yang SEDANG menjadi visi formasi mahasiswa dan seluruh anggota civitas akademik? Proximate goals apa saja yang SEDANG ditawarkan untuk membantu mahasiwa dan seluruh anggota civitas akademik untuk bertransformasi menjadi ‘A quality person’. Apa yang harus kulakukan? Ultimate goal apa yang mau kujadikan ‘visi’ dari Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK? Proximate goals apa saja yang bisa kupilih untuk ~ 96 ~ Lingkungan dan Keadilan menjadi sarana formasi (Nalar-Rasa-Kehendak) dari para Mahasiswa (dosen dan karywan juga) untuk menjadi ‘new cisizenship’? Penutup Membangun ‘New Citizenship’ bukanlah hal mustahil. APTIK sebagai ektensi dari masing-masing Perguruan Tinggi Katolik merupakan ruang untuk ‘mendalam dan meluas’ bagi usaha membangun new citizenship. Masing-masing Perguruan Tinggi dapat secara kreatif menemukan proximate goals yang bisa jadi sangat lokal, tetapi bisa di-share secara lebih luas dan mendalam oleh Perguruan tinggi yang lain. Di tengah tantangan yang sangat kompleks dari dunia saat ini, ‘latihan-latihan’ integrasi ‘nalar-rasakehendak’ melalui kegiatan kuliah maupun di luar kuliah bisa menjadi pilihan strategis membangun ‘new cisizenship’ yang memiliki ‘awareness’ akan common home kita, Ibu Pertiwi Nusantara. ~ 97 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 98 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 99 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 100 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 101 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 102 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 103 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 104 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 105 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 106 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 107 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 108 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 109 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 110 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 111 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 112 ~ Lingkungan dan Keadilan ~ 113 ~ ISBN: 978-602-14190-4-5 ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK d.a. Universitas Katolik Indonesia ATMA JAYA Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930 Telp. (021) 5706059 email: [email protected] www.aptik .or.id