BAB I - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses sosialisasi antara sesama manusia hanya dimungkinkan terjadi
dengan adanya bahasa. Bahasalah menjadi alat bagi seseorang untuk dapat
mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginannya agar memenuhi hasrat
sosialnya, yaitu kebutuhan untuk beriteraksi dengan sesamanya, agar dapat
saling mengenal, saling memahami dan saling berbagi dalam perasaan suka
dan duka, juga agar dapat membela diri dari berbagai perlakuan buruk dan
ketidakadilan yang menimpanya, atau agar dapat meminta maaf dan saling
memaafkan atas kesalahan dan kekeliruan yang terjadi di antara mereka.
Dengan bahasa juga seseorang dapat memenuhi hasrat adaftasi alamgeografisnya, agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya,
tempat di mana mereka berdomisili untuk bercocok tanam, berbisnis atau
mengerjakan berbagai usaha dan kegiatan lainnya. Bahkan dengan bahasa
pula, manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya untuk menghadap
keharibaan Allah, Tuhan Maha Kuasa, dalam beribadah, berdo’a dengan
mengharapkan ketenangan batin dan keselamatan dunia dan akhirat.
Kemudian dalam tujuan budaya baik lisan maupun tulisan, Bahasa
menjadi alat perekam terhadap berbagai hal yang berada di sekitar manusia,
baik berupa peristiwa-peristiwa penting (history) dan hasil karya manusia
(artefak), maupun mengenal berbagai makhluk disekelilingnya, seperti ;
berbagai jenis binatang (fauna), tumbuh-tumbuhan (flora), dan aneka makhluk
lainnya yang berada di lautan dan di angkasa raya, direkam dan disusun,
1
kemudian diungkapkan kembali kepada orang lain atau kepada generasi
berikutnya sebagai bahan pengetahuan. Ini menandakan bahwa melalui
bahasa kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina dan dikembangkan
serta dapat diwariskan kepada generasinya (Kerap,1980).
Karena itu tidaklah mengherankan jika manusia pertama, Adam, diajar
lansung oleh Tuhan tentang bagaimana berbahasa (al-asmaa, nama-nama),
agar dapat mengerti dan menamai segala sesuatu yang ada di alam
sekelilingnya. Setelah lancar berbahasa dan mengetahui berbagai nama
benda-benda di alam sekelilingnya dan cara pemamfaatannya, maka ia diuji
kebolehannya di hadapan para makhluk lain. Ternyata kecerdasannya
mengagumkan. Akhirnya, Adam menjadi makhluk terhormat karena memiliki
pengetahuan yang dapat menuntunnya untuk mampu hidup berbudaya
bersama keturunannya, dan mengharuskan malaikat bersujud kepadanya
atas perintah Tuhan (Lihat Q.S. 2: 31-35).
Bloomfield (Al-Wasilah,1985b) menjelaskan sifat bahasa dalam dua
pendekatan ; pertama, biophysical aspect of language, yaitu bahasa sebagai
gerakan alat ucap yang menghasilkan bunyi ujaran dan gelombang suara, di
mana bunyi ujaran tersebut terpantul pada gendang telinga pihak pendengar,
sehingga terjadi proses komunikasi di antara keduanya. Pada aspek ini
bahasa sebagai bagian diri individu yang menonjolkan kemampuan
seseorang melahirkan bahasa sebagai ujaran yang dapat dipahami oleh
lawan bicara. Kedua, biosocial aspect of language adalah melihat kenyataan
bahwa penutur dalam suatu masyarakat telah terlatih dalam menghasilkan
bunyi-bunyi ujaran tadi dalam situasi-situasi tertentu dan memberikan respons
2
kepada bunyi-bunyi itu dengan tindakan sesuai dengan suasananya. Bahasa
pada aspek ini diletakkan pada tujuan-tujuan sosial dalam memenuhi hajat
manusia sebagai makhluk saling berinteraksi dengan sesamanya.
Pada hakekatnya fungsi bahasa dapat bersifat individual dan dapat
pula
bersifat
umum.
Fungsi
individualnya
adalah
ketika
seseorang
mengemukakan fikiran, perasaan dan keinginan kepada orang lain yang
sifatnya untuk kebutuhan dan kepentingan dirinya. Adapun fungsi umum atau
institusional adalah ketika seseorang atau atas nama institusi tertentu
menyampaikan,
memberitahukan,
menganjurkan
atau
memerintahkan,
mengemukakan ide dan pokok fikiran baik dari dirinya atau warisan dari masa
lalunya untuk tujuan kemaslahatan orang banyak. Termasuk pula di dalamnya
adalah
memberi
nasehat,
mengajar,
mengajak
kepada
kebajikan
(berdakwah), membela dan mempertahankan kebenaran baik secara lisan
maupun tulisan. Bahkan kebutuhan umum ini dianggap sebagai kebutuhan
yang paling mendesak bagi suatu masyarakat (Azis,2000). Baik fungsi
idividual atau fungsi umum bahasa ada tercakup di dalamnya fungsi advokasi,
yaitu bahasa berfungsi untuk melakukan pembelaan terhadap seseorang atau
kelompok, ras, bangsa, agama yang merasa diperlakukan secara tidak adil
atau terpiggirkan oleh berbagai macam informasi dan berita media.
Bahasa advokasi yang tertua dengan keunggulan retorika yang
diabadikan oleh Plato (Tredennik, 1961) dalam bukunya ”Phaedo”, tentang
kisah pembelaan diri Sokrates dihadapan sidang pengadilan dan warga
Athena, Yunani pada tahun 399 SM. Meskipun akhirnya pengadilan Athena
memutuskan hukuman mati bagi Sokrates dengan jalan meminum racun.
3
Alasannya, karena ia dianggap meracuni fikiran para pemuda dan memiliki
keyakinan adanya Tuhan selain tuhan-tuhan orang Athena. Beberapa teman
dan murid-murid Sokrates berencana untuk melarikan dia dari tempat
tahanannya, akan tetapi Sokrates berkeras menolak usul mereka. Karena
dianggapnya tidak patut bagi seorang warga negara bertindak menyalahi
undang-undang dan hukum negaranya (Hasan,1973). Menurut Jakobson
(1960) bahwa salah satu fungsi bahasa adalah retorika (rhetorical speech)
yaitu ucapan yang berfungsi untuk memengaruhi dan mengondisikan fikiran,
sikap dan tingkah laku orang lain atau khalayak pendengar. Sokrates
menyebutkan bahwa retorika mesti berasaskan atas kebenaran yang
diperoleh melalui dialetika, lalu dianalisis agar sesuai keadaan para
pendengar, dengan isi pesan tentang keadilan, kehormatan, kemuliaan dan
kebaikan. Retorika bukan saja penting digunakan untuk berdebat di muka
pengadilan dan berpitato ditempat-tempat pertemuan umum, tetapi penting
untuk kualitas diri pribadi. Karena orang yang mengetahui kebenaran ialah
mereka yang bisa membela dan mempertahankannya dan juga dapat
membantah kesalahan orang lain. Bagi mereka yang dapat berbuat seperti ini
menurut Sokrates dapat dipandang sebagai filosof atau orang yang mencintai
kebajikan (Cangara, 1998).
Setelah Nabi Muhammad saw. berada di Kota Madina (625M), beliau
bersama dengan para sahabatnya membuat kesepakatan dengan kaum Ahlul
Kitab (Judeo-Christian) yang ada di Madinah dan sekitarnya ketika itu,
dengan maksud agar tercipta keamanan, keadilan dan agar tercipta
komunitas yang suka saling tolong menolong di antara mereka. Teks
4
kesepakatan itu dikenal dengan nama Konstitusi Madinah (625M) yang
disebut sebagai ”the first written-Constirution of the World” (Ahmad,1973).
Kemudian pada tahun 630M melalui sekretarisnya, di antaranya Zaid bin
Tsabit, nabi mengirim surat-surat (rasail) kepada raja-raja yang berada di
negeri-negeri Arab, Romawi dan Parsi, di antaranya dikirim kepada Heraklius
kaisar Romawi Timur, raja Maqauqis di Mesir, raja Najasi di Habasyah,
penguasa Oman, raja Yamamah, raja Bahrain, raja Perbatasan Syam dan
penguasa Yaman, yang berisi keterangan tentang kerasulannya dan ajakan
kepada mereka untuk memeluk Islam. Menurut penelitian Hamidullah
(Ahmad,1973) bahwa nabi telah mengirim kurang lebih 287 buah surat, yang
dapat dilacak dalam penelusuran manuskrift Arab kuno, untuk berbagai tujuan
dakwah Islam di masa beliau. Ini menandakan bahwa nabi telah
memanfaatkan media teks dalam menyampaikan dakwahnya kepada orangorang yang jauh dari jangkuannya.
Seribu tahun kemudian, gerakan reformasi Martin Luther
menyebar,
sebagai salah satu gerakan sosial yang berupaya membela kemurnian gereja.
Pemicunya adalah ketika Luther menentang propaganda Johann Tetsel yang
melakukan penjualan surat pengampuan dosa (aflat) atas perintah Paus Leo
X untuk membangun gedung gereja Basilika Santo Petrus di Roma. Maka
Luther menyusun 95 dalil yang ditempelkan di pintu gereja Wittenberg 31
Oktober 1517. Membaca dalil itu, banyak orang tertarik untuk menyebar
luaskannya sehingga protes itu tersebar keseluruh negeri Jerman. Paus Leo
X mendakwa Luther sebagai orang sesat dan penyesat, lalu ia menuntut agar
5
Luther mencabut ajarannya yang ngawur itu, tapi Luther sama sekali tidak
mengindahkannya (Aritonang, 1995).
Martin Luther (Briggs et al, 2006) seorang biarawan Katolik dari Ordo
Santo Agustinus dan guru besar di Universitas Wittemberg Jerman, dalam
pengajarannya lebih menyukai keterlibatan lansung anggota jemaat dalam
mengkaji agama, dan mendorong mereka untuk membaca Injil dengan
menggunakan bahasa sehari-hari. Ia menjustifikasi bahwa keterlibatan jemaat
sebagai ’priesthood for all believers’ fungsi imamat pada semua orang
beriman, yaitu sebuah ajaran yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki
hubungan lansung dengan Tuhan tanpa perlu perantara dari para klerik
gereja.
Keterlibatan
merupakan akibat
rakyat
dalam
keberhasilan
reformasi
sekaligus
dari keterlibatan media, khusus media cetak di mana
Luther menyebarkan gagasan-gagasannya lewat media cetak.
Luther memanfaatkan peranan mesin cetak temuan Johann Gutenberg
tahun 1450 dari Mainz, Jerman (Cangara,1998), sehingga tulisan-tulisannya
dapat diperoleh dengan jumlah besar, bahkan 4000 examplar dari pidatonya
kepada kaum bangsawan Kristen Jerman (An der christlichen Adel Deutcher
Nation) telah habis terjual dalam beberapa hari saja setelah terbit tahun 1520
oleh pencetak Melchior Lotter dari Wittemberg. Begitu pula Injil terjemahan
Luther, laku 100.000 kopi selama beberapa tahun. Buku Luther Small
Cetechism (1529) mencapai jumlah pembaca lebih banyak lagi. Lebih dari 80
persen buku di Jerman yang diterbitkan tahun 1523 untuk persisnya 418 judul
dari 498 adalah berkenaan dengan reformasi Gereja. Tahun 1525 telah
dicetak sebanyak 25.000 examplar Dua Belas Pasal, dan 296 pamflet bersifat
6
polemik telah muncul di kota Strasbourg saja antara tahun 1520-1529.
Bahkan pada tahun 1550 telah dicetak kira-kira 10.000 pamflet dalam bahasa
Jerman. Sehingga Gereja Katolik Roma benar-benar tidak mampu untuk
membungkam pengaruh reformasi Luther.
Briggs, et all (2006) menganalisis urutan revolusi pencerahan di Eropa
dari tahun 1450-an sampai tahun 1790-an dan berfokuskan pada kejadian
atau rentetan kejadian yang telah diberi label seperti Reformasi (1452) ,
Perang Agama (1566), Perang Saudara di Inggris Glorouos Revolution (1688)
dan Revolusi Perancis (1789), itu timbul dan berjalan mulus dengan
menggunakan media cetak. Adipati Milan, seorang musuh terkemuka dari
republik Florentine, dikatakan pernah mengucapkan bahwa ia lebih takut akan
pena kanselir humanis Coloccio Salutati (1331-1406) dibanding sepasukan
tentara berkuda. Karena itu kekuatan media dapat menyebarkan informasi
dengan cepat keseluruh pelosok bumi yang dapat dijangkaunya, sehingga ia
mudah menbentuk publik opini masyarakat. Melalui publik opini akan
memudahkan terjadinya people power yang dapat digerakkan oleh pihak
tertentu untuk menghancurkan kemapanan dan status quo.
Media Massa (Hamad,2004) membuat dirinya menjadi penting dalam
kehidupan dengan beberapa alasan : Pertama, daya jangkauannya
(coverage) yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi, yang mampu
melewati batas wilayah, kelompok umur, jenis kelamin dan sosial-ekonomistatus, dan perbedaan paham dan orientasi. Dengan begitu suatu masalah
yang dimediasikan menjadi perhatian bersama di berbagai
tempat dan
kalangan. Kedua, kemampuannya melipatgandakan pesan (multiplier of
7
massage)
yang
luar
biasa.
Satu
peristiwa
bisa
dilipatgandakan
pemberitaannya sesuai jumlah koran, tabloid, dan majalah yang tercetak; juga
bisa
diulang-ulang
penyiarannya
sesuai
kebutuhan.
Alhasil,
pelipatgandaannya menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah
khalayak. Ketiga, setiap media bisa mewacanakan suatu peristiwa yang
sesuai pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimilikinya
menentukan penampilan isi yang diberitakan. Justru karena kemampuan
inilah media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakannya
dan sebaliknya dijauhi oleh pihak yang tidak menyukainya. Keempat, tentu
saja dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki
kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk
memberitakan sebuah peristiwa. Sesuai dengan kebijakannya masingmasing, setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan. Yang
jelas belum tentu berita yang menjadi agenda media merupakan agenda
publik juga. Kelima, pemberitaan suatu peristiwa utamanya pada headline
oleh suatu media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga
membentuk rantai informasi (media as links in other chain). Hal ini akan
menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi dan dampaknya
terhadap publik. Dengan adanya aspek ini, semakin kuatlah peranan media
dalam membentuk opini publik.
Karena itu, media dianggap sebagai pilar keempat dalam sistem politik
dan ekonomi, setelah pilar kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Istilah
’pilar keempat ’ pertama kali dicetuskan oleh pakar sejarah Macaulay dengan
merujuk pada the Press Gallery di Parlemen Inggris (1850), sebelumnya
8
Kongres Amerika Serikat (AS) telah memasukkan ke dalam Bill of Right, pada
Amendemen Pertama Konstitusi AS tahun 1791, menyatakan bahwa : ”
Kongres
tidak
akan
membuat
kebebasan berbicara dan
undang-undang
yang
......membatasi
kekebasan pers.” Daily Telegraph bahkan
menghapkan agar media di masa mendatang dapat dianggap sebuah otoritas
yang jauh lebih besar dan jauh lebih dapat dipercaya dibandingkan penutut
umum manapun atau pejabat atau pejabat sensor pers manapun(Briggs et.al,
2006). Menurut Samantho (2002) bahwa media memegang peranan penting
dalam masyarakat karena : (1) sebagai penyalur aspirasi rakyat banyak. (2)
pembentuk (trend setter) pendapat masyarakat (opini publik). Pengaruh opini
publik sebagimana dilaksanakan melalui
menentukan dalam peradaban modern.”
pers, merupakan hal yang
(3) kelompok penekan (pressure
group) yang dapat turut memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara
(public policy decision making). (4) pembela kebenaran dan keadilan.
Karena itu, media berperan sebagai pembela kebenaran dan keadilan,
diakui oleh banyak kalangan sebagai fungsi universal dan ideal. Terlepas dari
perdebatan filosofis apa yang disebut dengan kebenaran atau keadilan itu.
Jelasnya, fungsi ini tentunya berkaitan erat dengan sistem nilai dan filsafat
atau agama yang dianut oleh para jurnalis dan masyarakatnya. Berdasarkan
fungsi ini, pada hakikatnya media memiliki
misi dan tugas advokatif baik
terhadap seseorang, golongan ataupun masyarakat yang terpinggirkan atau
mereka yang tidak mendapatkan perlakuan tidak adil di tengah masyarakat.
Tidaklah berlebihan, jika dilihat fungsi media di atas, terkhusus media
Islam sangat penting peranannya dalam menghadapi tantangan informasi
9
dewasa ini. Karena itu, ummat Islam berkewajiban membangun media yang
profesional, dengan beberapa alasan : (1) menjadi alat untuk mencerdaskan
umat, menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan memengaruhi umat
agar tetap berada dalam kepatuhan dan ketaatan pada ajaran Islam.
Jangkuannya luas, harganya murah dan frekuensi yang tinggi merupakan nilai
lebih yang dapat memengaruhi umat dalam skala besar. (2) media yang
diharapkan dapat membimbing dan memotivasi umat dalam melaksanakan
ajaran Islam secara sempurna. (3) media yang dapat menjadi penyeimbang
terhadap isu dan informasi yang berat sebelah, yang dilancarkan oleh
kalangan yang tidak menyukai misi Islam. (Sabili No.5/TH.V 20 Oktober
1992).
Pada fungsi ke tiga ini, media Islam memiliki kewajiban untuk
melakukan advokasi terhadap ajaran Islam dan umat Islam di mana saja
berada.
Setelah ummat Islam lepas dari kungkungan penjajahan bangsa Barat.
Berbagai persoalan baik berupa perbenturan ideologi ataupun belitan
kemiskinan dan keterbelakangan melilit mereka. Maka mereka berusaha
untuk keluar dari belitan krisis demi krisis, mereka berusaha mempertahankan
diri dari tekanan yang menghimpitnya. Ternyata hal itu menimbulkan berbagai
pergesekan dan benturan dengan kepentingan Barat di negeri mereka sendiri.
Akhirnya, sebagian organisasi dan aktivis muslim diberi label-label gerakan
fundamentalisme,
ekstremisme,
redikalisme,
dan
terakhir
dan
paling
menyedihkan adalah tuduhan sebagai gerakan terorisme. Tak kalah
dahsyatnya adalah berita-berita media umum tidak pernah sepi memuat
berbagai aksi kekerasan, terjadinya bom bunuh diri yang berujung pada
10
tuduhan dan akhirnya terjadi penggerebekan pada kelompok yang dijuluki
fundamentalis atau ekstrimis itu.
Setelah era Perang Dingin berakhir, Blok Timur runtuh, AS menilai
aktivis Islam adalah musuh potensial ke depan, yang bakal mengganjal
kepentingannya di negeri-negeri muslim. Gerges (1999) menyatakan meski
para pemimpin AS menolak hipotesis ’clash of civilization’ tapi kebijakan AS
pasca Perang Dingin memang sangat dipengaruhi oleh ketakutan adanya
’ancaman kaum Islamis’ (Islamic threat). Yaitu ancaman bersatunya umat
Islam dalam sebuah wilayah dikenal dengan Khilafah Islamiyah dengan
landasan Syariah, sebagaimana telah terbentuk sejak Nabi Muhammad saw.
hijrah ke Madinah (622-632), kemudian diperkuat pada masa Khulafaur
Rasyidin (632-661M), kemudian menyusul Daulah Umayyah (661-749) dan
Daulah Abbasiyah (749-1258), kemudian berakhir dengan runtuhnya khilafah
Turki Utsmaniyah tahun 1924 (1294-1924). Bahkan pada awal tahun 1992,
sebagaimana dikutip oleh The Gurdian (19/6/1992), Presiden Israel Hersog di
depan parlemennya menyatakan bahwa, ”Penyakit (Islam Fundamentalis)
sedang menyebar secara cepat yang merupakan sebuah bahaya tidak hanya
untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi kemanusiaan secara umum.” Tony
Blair, PM Inggris, misalnya, menyebut ideologi Syariah dan Khilafah sebagai
ideologi setan (5/10/2005) kemudian Charles Clark, Menteri Dalam Negeri
Inggris (5/10/2005) dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kompromi
dengan Syariah dan Khilafah. George W. Bush (6/10/2005) menyebut Islam
fundamentalis sebagai fasis, dan mengingatkan bahaya dan ancamannya
bagi dunia. Adapun Rumsfel mengingatkan bangkitnya kembali Khilafah jika
11
AS dan sekutunya segera keluar dari Irak, ” Jika tentara AS keluar dari Irak
segera, Irak akan menjadi surga bagi para teroris dan menjadi basis
penyebaran negara adidaya Islam yang akan mengancam dunia.......Irak akan
menjadi basis negara Khilafah yang baru, yang akan meluas ke seluruh Timur
Tengah (Al-Wa’ie No. 67 Tahun VI, 1-31 Maret 2006).
Mantan presiden AS, Richard Nixon
dalam
bukunya Seize The
Moment (Maulani, 2002) telah memberikan ciri-ciri yang dianggap sebagai
gerakan Islam fundamentalis atau Islam ekstremis adalah : (1) anti peradaban
Barat, (2) ingin menerapkan syariat Islam, (3) akan membangun peradaban
Islam, (4) tidak memisahkan antara Islam dan negara, (5) menjadikan para
pendahulu (salaf) sebagai panduan masa depan (khalaf). Kelima ciri inilah
sebagai tolok ukur dalam menilai apakah seorang aktivis atau gerakan Islam
itu pantas disebut “fundamentalis” atau tidak. Pribadi atau gerakan Islam yang
memiliki ciri-ciri seperti inilah oleh Barat dianggap menjadi rival utama atau
menjadi musuh laten mereka, karena memiliki cita-cita untuk menegakkan
syariah di dalam negara Khilafah.
Bila dirunut ke masa lampau, komplik antara umat Islam dengan
Barat mulai ketika Nabi Muhammad saw. mengirimkan surat melalui
diplomatnya, Al-Harits bin Umair Al-Uzdi kepada gubernur Romawi, yang
berkedudukan di Bostra. Tapi diplomat itu dibunuh oleh Syurahbil bin Amer
Al-Gassany
penguasa
daerah
Mu’tah,
wilayah
Emperium
Ramawi
(Haekal,1990). Maka Nabi Muhammad saw. mengirim sebanyak 3.000
pasukan dipimpin Zaid bin Haritsah untuk mencari diplomatnya yang terbunuh
tapi ternyata sudah ditunggu oleh 200.000 pasukan Romawi dipimpin oleh
12
Theodore, saudara kandung Kaisar Heraklius, Raja Romawi Timur. Maka
berkecamuklah perang Mu’tah (629M). Perang yang tidak seimbang itu
menyebabkan 3 panglima Islam gugur. Inilah persinggungan pertama
pasukan Islam dengan Barat,
kemudian disusul dengan perang Tabuk
(630M) karena nabi memperoleh informasi dari dewan intelijennya bahwa
Romawi akan menyerbu Madinah. Maka nabi bersama 30.000 pasukannya
lebih dahulu keluar menunggunya di Tabuk. Tapi pasukan Ramawi mundur
sehingga tidak terjadi pertempuran. Nabi ketika itu tetap mengirim 420
pasukan kavaleri dipimpin oleh Khalid bin Walid menuju daerah Duma AlJandal dan berhasil menangkap Ukaidir, raja Duma Al-Jandal,
pembantu
setia dan sayap terdepan pasukan Romawi Timur yang berencana
menyerang kota Madinah. Ia dibawa ke Madinah dan setelah menyetujui
perjanjian damai dengan Nabi maka Raja Ukaidir dilepaskan dan kembali ke
negerinya (Chalil,1977).
Pada zaman Khulafaur Rasyidin, khalifah pertama, Abu Bakar AshShiddiq tetap mengirim pasukan Islam di bawah panglima Usamah bin Zaid,
yang telah dipersiapkan oleh nabi yang belum diberangkatkan disebabkan
karena beliau wafat, untuk menggempur kembali Bani Gassan (632M) yang
telah
membunuh diplomat Rasulullah. Pada peperangan ini pasukan Islam
beroleh kemenangan gemilang. Ketika terjadi perang Yarmuk tahun 637,
pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi di Syria dan Jordania, bahkan
Jenderal Theodore, panglima besar Romawi tewas dalam pertempuran itu.
Pada tahun 660, di zaman kekhalifahan Umayyah, kekuasaan Romawi telah
13
bersih dari daratan Asia dan Afrika, dan bahkan dakwah Islam sudah sampai
di Spanyol tahun 711 (Sou’yb, 1977).
Kemudian perang Salib mulai tahun 1095, menurut Asyur (1998)
bahwa ketika kekuasaan Daulah Abbasiyah melemah, persatuan ummat
Kristen bangkit untuk melakukan penaklukan kembali (Reconquista), juga
dikenal dengan nama perang Salib (Crusades) terhadap daerah-daerah
Romawi yang telah dikuasai Islam. Dengan dukungan Paus Urbanus II,
pendeta Peter de Hermit berkunjung ke berbagai negeri Kristen Eropa,
menghimbau mereka agar bangkit bersatu untuk menggepur penguasa
muslim dengan semboyang ”Deus Lo Volt” (perang demi kehendak Tuhan).
Akhirnya perang Salib pecah dan berlansung selama seratus lima puluh tahun
(1095-1250M).
Ketika perang Salib, ternyata perseteruan umat Islam dengan Barat
belum juga berakhir, hingga sampai pada masa pemerintahan Muhammad II
Al-Fatih dari Daulah Turki Utsmaniyah bersama 150.000 pasukan Islam
berhasil menaklukkan Konstantinopel, pusat kota Emperium Romawi Timur
pada tanggal 28 Mei 1453. Kemudian kota itu diganti namanya menjadi
Istambul, lalu dijadikan ibu kota Daulah Turki Utsmaniyah. Pasukan sultan,
ketika itu, masih meneruskan peperangan sehingga dapat menguasai daerah
Balkan bahkan menerobos ke jantung Eropa, sehingga mereka sampai ke
pintu gerbang kota Wina, Austria. Kemudian masuk ke kota Otranto di Italia
dan bahkan hampir menaklukkan kota Roma (Hassan, 1989).
Sejak tahun 1651 Daulah Turki Utsmaniyah mengalami kemunduran
dan
kekalahan dalam berbagai pertempuran yang dilancarkan oleh Eropa.
14
Maka bangsa Eropa mulai menjajah negeri-negeri Islam Seperti Belanda
membonceng VOC ke Indonesia tahun 1596, Pertugis menggempur Malaka
dan
Manila tahun 1547. Kemudian Perancis telah masuk ke Mesir pada
tahun 1798. Separatisme kesukuan berkembang di bawah pengaruh Inggris
di wilayah Hijaz (Arab Saudi), Aden, Sudan. Begitu pula Perancis
menaklukkan Maroko, Aljazair dan Suriah, kemudian Italia menaklukkan
Libiya dan mengalamai keadaan yang sama. Ketika Jenderal Gouraul
panglima pasukan Perancis dapat memenangkan pertempuran di Misoleum
Damaskus, ia lansung ke makam Salahuddin Al-Ayyubi, panglima pasukan
Islam yang mengusir pasukan perang Salib Eropa, di sisi mesjid Jami’ AlAmawi, sambil menyepak-nyepakkan kakinya pada batu nisan pahlawan itu
lalu berkata : ” Inilah kami telah kembali, hai Salahuddin !” Ketika Jenderal
Allemby panglima pasukan Inggris ketika memasuki kota suci Al-Quds
spontan berteriak ”Kini peperangan Salib telah selesai!” Ucapan kegirangan
atas kemenangannya mengalahkan pasukan Turki Utsmaniyah (’Alam,1985).
Kekalahan mutlak Daulah Turki Utsmaniyah pada Perang Dunia I
yang semakin menghancurkan kekuatannya dan melahirkan perjanjian SaxPicot tahun 1916 yang isinya yang sudah disetujui oleh tiga negara Inggris,
Rusia dan Perancis untuk menetapkan pembagian Daulah Turki Utsmaniyah
menjadi negara-negara kebangsaan di antaranya Syiria, Lebanon, Palestina
serta Irak. Kemudian perjanjian Balfour menetapkan Palestina berada di
bawah mandat PBB. Tapi ternyata Inggris secara diam-diam telah
memberikan daerah Palestina kepada Zionis Yahudi (Yakan,1988). Pada
perjanjian Lausane yang disetujui pada tanggal 23 April 1924. Kemal Antaturk
15
menyepakati perjanjian damai dengan Lord Curzon, Menteri Luar Negeri
Inggris dengan syarat (1) penghapusan Khilafah secara total (2) Pengusiran
Khalifah dari Turki (3) Penyitaan kekayaan Khalifah (4) Mengadakan
sekulerisasi
terhadap
Turki.
Kemudian
perjanjian
Lausane
yang
ditandatangani pada tanggal 24 Juli 1924. Ketika itu, negara-negara Barat
secepatnya memberikan pengkuan atas kemerdekaan Turki. Inggrispun
menarik pasukannya dari Istambul dan kawasan selat Bosporus. Kemudian
Harrington-pun meninggalkan Turki, salah seorang perwira militer Inggris
menyatakan protes kepada Curzon di Gedung Parlemen mengenai
pengakuan Inggris atas kemerdekaan Turki. Curzon menjawab : ”Persoalan
utamanya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah
bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spritual mereka, yaitu
Khilafah dan Islam (Zallum,2001).
Tujuh puluh tahun setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah,
James Walsh melihat sebuah kebangkitan baru di dunia Islam yang
mencemaskan Barat, sehingga dalam laporan utamanya pada majalah Time
berjudul ” The Sword of Islam” menyatakan : ”The whole world, in fact, is
watching and wondering
about the impact of this tectonic shift, just as
medieval Europe crouched the epogee of its power. With the death of the
Soviet empire, some Western policymakers are concerned whether Islamic
”fundamentalism”- a term rejected by Muslims as a misnomer – may shape up
as the next millenial threat to liberal democracy (Time,June15,1992). Jelasnya
setelah kehancuran Soviet, dunia menghadapi perkembangan dahsyat
gerakan
Islam.
Gerakan
ini
seakan-akan
16
mengulangi
sejarah
abad
pertengahan Eropa, ketika itu Islam mencapai puncak kejayaannya. Ia
mengingatkan Barat untuk waspada terhadap gerakan Islam fundamentalis
yang akan menghancurkan bangunan demokrasi liberal yang
merupakan
puncak kesempurnaan sistem peradaban manusia. Dengan gaya bahasa
yang meyakinkan, Walsh kemudian menyorot bangkitnya Islam fundamentalis
di kawasan negeri-negeri Muslim, khususnya al-Jazair, Sudan, dan
Afghanistan.
Kemudian tulisan Huntington dalam Jurnal Foreign Affair (1993)
berjudul The Clash of Civilizations? meramalkan kemungkinan akan
terjadinya benturan peradaban antara Barat dan Islam yang bersekutu
dengan peradaban Konghucu. Selama tiga tahun, isi artikel ini memancing
polemik di berbagai penjuru dunia – sesuatu yang tidak pernah terjadi selama
40 tahun penerbitan jurnal Foreign Affairs. Huntington (2005) menyatakan
bahwa konflik antara Islam dan Kristen baik Kristen Barat maupun Ortodoks
adalah konflik yang sebenarnya, bukan konflik biasa. Konflik antara
Demokrasi Liberal (Barat) dan Marxis-Leninis pada abad ke dua puluh ini
justeru dinilainya bukan merupakan konflik yang sebenarnya. Konflik kedua
ideologi itu hanya merupakan fenomena sejarah yang ‘sesaat’ (fleeting) dan di
permukaan (superficial) saja.
Fenomena pascakasus tanggal 11 September 2001, kian bertambah
meningkatnya ketegangan global antara Islam dan Barat, sepertinya
menguatkan tesis Huntington tentang ancaman terjadinya ”konflik peradaban”
( clash of civilization ) antara Islam dan Barat yang dipimpin oleh AS. Kamis
tanggal 20 September 2001, usai sembilan hari penyerangan gedung kembar
17
WTC, Bush dalam pidato kenegaraannya menyimpulkan bahwa pelaku
penyerangan WTC adalah jaringan Al-Qaedah pimpinan Usmah bin Laden.
Usamah digambarkan sebagai monster (demons) yang akan membantai
orang-orang Yahudi dan Kristen, juga akan membunuh seluruh orang
Amerika di mana pun mereka berada, tanpa pandang bulu apakah wanita
atau pria, dewasa atau anak-anak, sipil atau militer. Lalu AS menyusun
rencana penyerangan ke Afganistan yang dianggap markas Al-Qaidah dan
Taliban dengan diperkuat oleh resolusi-resolusi PBB, misalnya sehari setelah
terjadi tragedi WTC, PBB mengeluarkan resolusi No.1368 yang mengutuk
serangan teroris terhadap menara kembar WTC, Pentagon dan Pensylvania
dan mengategorikannya sebagai ancaman kedamaian dan keamanan
internasional. Kemudian diperkuat dengan Resolusi No.1455 dan Resolusi
1456 tahun 2002 yang secara khusus membidik individu, kelompok maupun
negara yang mempunyai “link” dengan Taliban dan Al-Qaidah (Saksi, No.10
Tahun VI 17 Maret 2004).
Amerika
Serikat
bersama
sekutunya
benar-benar
menyerang
Afganistan (7/10/2002) karena negara ini dianggap tidak tunduk kepada
kebijakan AS, untuk menangkap dan menyerahkan Usamah bin Laden.
Begitu pula agen-agen AS melakukan penyisiran di berbagai belahan dunia,
khususnya di negeri-negeri muslim melalui kerja sama petugas keamanan
setempat, untuk menangkap para aktivis Islam yang dicurigai memiliki
hubungan dengan Al-Qaedah dan Taliban, atau orang-orang yang pernah
terlibat dalam jihad Afganistan. Seperti kasus penangkapan Al-Farouq,
penangkapan dan pengadilan Abu Bakar Ba’asyir di Indonesia (Hidayatullah
18
10/XI Pebruari 2002), dan penangkapan secara dramatis Agus Dwikarna di
Filipina (Sabili, 02 TH. X 8 Agustus 2002), menyusul Al-Ghozi juga ditangkap
dan ditembak mati di Filipina (Sabili, No.8 Thn, XI 6 Nopember 2003).
Kemudian mewajibkan pemerintah di negara di mana gerakan yang dicurigai
memiliki jaringan dengan terorisme agar diberangus dengan berbagai cara.
Sebagai contoh, Pasca Tragedi WTC 2001, Bush mengutus Paul O’Neil,
menteri Keuangan AS, meminta kerajaan Arab Saudi, untuk menutup
lembaga-lembaga bantuan yang dicurigai mendanai terorisme internasional.
Dengan demikian, tidak kurang dari 250 lembaga yang beroperasi di 55
negara yang menjadi penyalur dana bantuan pendidikan, pembangunan
rumah ibadah, dan untuk menolong ketertindasan ummat Islam di seluruh
dunia dibekukan. (Saksi No 9 Tahun VII 2 Pebruari 2005).
Media Islam bertugas memuat laporan dan pembelaan terhadap ajaran
Islam dan umatnya dengan berbagai argumentasi dan pelurusan berita,
pembeberan fakta dan bahkan terkadang menciptakan diskursus-diskursus
sinisme dan sarkastik terhadap hegemoni Barat, khususnya negara adidaya
AS yang dianggap sebagai dalang atas tindakan penghinaan, penindasan dan
penderitaan yang menimpa umat Islam. Amerika Serikat sebagai polisi dunia,
juga dianggap diskriminatif, karena membiarkan tindakan kekerasan Israel
terhadap bangsa Palestina
sampai saat ini. Khsususnya blokade dan
pengeboman terus-menerus terjadi di Jalur Gaza. Akibatnya menimbulkan
bencana kelaparan di wilayah luasnya hanya 365 km per segi dengan
penduduk 1,6 juta jiwa. Ribuan warga korban pembunuhan setiap tahunnya
dan yang menderita cacat mencapai 17 ribu orang. Tahun 2009 saja ada
19
3.800 rumah dan 80 gedung pemerintah yang rubuh, karena pengeboman.
Jumlah pengangguran mencapai 65 persen, sedangkan
penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan mencapai 80 persen, dan sebanyak 3.500
pasilitas industri dan perdagangan telah ditutup (Media Ummat 18Juni-1 Juli
2010)
Media Islam di Indonesia yang paling berperanan dalam mengungkap
motif-motif terselubung kebijakan AS adalah majalah Sabili yang memiliki
pembaca peringkat ke-1 kategori majalah Islam di Indonesia, Kemudian
majalah Suara Hidayatullah yang memiliki pembaca tetap dari berbagai
Pesantren Hidayatullah, dan simpatisannya di seluruh Indonesia. Berikutnya
Media Umat, salah satu tabloid Hisbut Tahrir yang banyak membeberkan
kebijakan politik AS yang banyak merugikan negeri-negeri Islam. Ketiga
media inilah yang menarik dijadikan objek penelitian untuk mengungkap
sejauh mana ketiganya membangun wacana pemberitaan dalam bentuk
kritikan, kecaman dan pembelaan terhadap negeri-negeri muslim atas
kebijakan politik AS.
Fokus utama penelitian ini adalah berita-berita dari majalah Suara
Hidayatullah, Sabili, dan Media Umat dengan menggunakan analisis wacana
kritis (CDA). Berita-berita yang dipilih adalah laporan tentang kebijakan AS
terhadap negeri-negeri muslim, seperti berita-berita pergolakan di Afganistan,
Irak, Palestina, dan lain-lain. Pendekatan analisis adalah teori kritis yang
memandang media sebagai instrumen ideologi dan kekuasaan hegemonik
untuk menguasai kesadaran khalayak dan menjadi sumber legitimasi di mana
penguasa memupuk kekuasaanya agar tampak absah benar, dan memang
20
seharusnyalah seperti itu. Karena itu, penelitian ini berusaha untuk
mengungkap tentang adanya interest atau ideologi yang terselubung di balik
wacana berita advokasi ketiga media Islam tersebut, apakah mereka memiliki
tujuan yang sama atau tujuan yang berbeda dalam membela Islam dan
umatnya dengan cara yang berbeda dalam pemberitaan yang dilakukannya.
Pendekatan
interpretasi dengan analisis wacana
kritis (CDA), yang
memadukan model analisis Fowler et al. dengan model van Dijk.
Ini
dilakukan untuk memperoleh analisis critical linguistic yang lebih tajam dari
Fowler tanpa mengabaikan analisis framing dan konteks yang mamadai dari
van Dijk. Dengan pemaduan kedua metode analisis ini dapat mencapai
sasaran analisis interpretasi kritis yang diharapkan dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan-permasalahan yang muncul
yang menjadi fokus penelitian ini adalah berusaha melihat sejauh mana isi
dan ideologi teks berita-berita media Islam dalam melakukan pembelaan
terhadap Islam dan umatnya yang telah diramu oleh wartawan, melalui
beberapa pertanyaan berikut ini :
1. Bagaimana perbandingan struktur wacana pemberitaan yang dibangun
oleh Majalah Sabili, Suara Hidayatullah dan Media umat ?
2. Bagaimana kesamaan atau perbedaan ideologi dalam struktur wacana
yang dibangun oleh majalah Sabili dengan Majalah Hidayatullah dan
Media Umat ?
21
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola-pola dan
karakteristik struktur wacana berita advokasi media Islam di Indonesia dan
secara khusus penelitian ini bertujuan :
1. untuk menghasilkan analisis teks perbandingan bahasa advokasi dalam
majalah Sabili, Hidayatullah dan Media Umat
2. menemukan adanya pengaruh ideologi pada kesamaan atau perbedaan
bentuk bahasa advokasi dalam majalah Sabili, Hidayatullah dan Media
Umat.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik yang menitikberatkan
pada kajian fungsi bahasa dalam interaksi sosial masyarakat, dengan
memakai pendekatan teori kritis melalui cara interpretasi wacana atau analisis
wacana kritis dalam mengkaji berita-berita advokasi media Islam di Indonesia,
khususnya pada majalah Sabili, Hidayatullah dan Media Umat
yang
diharapkan dapat bermanfaat antara lain : Secara teoritis, hasil penelitian ini
dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu
Linguistik di Indonesia, khususnya kajian yang berhubungan dengan bahasa
dan media. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan buat
para peneliti di bidang yang sama, khususnya berhubungan bahasa advokasi
yang digunakan oleh media Islam di Indonesia.
22
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran
kepada media Islam di Indonesia, khususnya kepada majalah Sabili, majalah
Hidayatullah dan tabloid Media Umat sebagai salah satu tempat untuk
mengaca diri agar dapat meningkatkan mutu sajian, kesantunan dan
karakteristik keislamannya di tengah umat pembacanya masing-masing.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Fungsi Bahasa
Barthes (2007) menyatakan bahwa konsep dikotomis bahasa, langue
dan parole yang diperkenalkan oleh Perdinand de Saussure, yang multiforma
dan heteroklit (berkombinasi), adalah sebuah realitas yang tidak bisa dipisahpisahkan, sebuah keutuhan unit, sebab realitas ini termasuk dan sekaligus
dalam segala
yang fisik (le physique), segala yang fisiologis (le
physiologieque), dan segala yang psikologis (le physchologique), termasuk
juga dalam segala yang individual (l’individuel) dan segala yang sosial (le
social). Meskipun konsep langue bersifat abstrak, tapi dapat digambarkan
sebagai sebuah institusi sosial yang menampung nilai-nilai (valeur). Oleh
sebab itu secara esenssial langue menjadi suatu kontrak kolektif dalam
sebuah
komunitas.
Siapapun
yang
ingin
menggunakannya
untuk
berkomunikasi harus tunduk sepenuhya pada aturan-aturan, norma-norma
yang ada di dalamnya.
Ahimsa (Amal, 2004) menyatakan bahwa : ”Aspek langue inilah yang
memungkinkan terjadinya komunikasi simbolik antar manusia karena ia
dimiliki bersama (fenomena milik kolektif). Dia merupakan sebuah sistem,
sebuah fakta sosial yang bersifat alamiah atau tidak disadari. Berbeda halnya
24
dengan parole, yang merupakan wujud atau aktualisasi dari langue dalam
lisan maupun tulisan. Parole atau tuturan adalah apa yang kita wujudkan
ketika
kita
menggunakan
suatu
bahasa
dalam
percakapan
atau
menyampaikan pesan tertentu lewat suara-suara simbolik dari mulut kita.”
Menurut Barthes (2007) bahwa langue tidak memiliki pengertian yang
sempurna kecuali didefinisikan lewat proses dialektis yang menyatukan
keduanya (parole). Tidak ada langue yang hadir tanpa parole, tidak ada
parole di luar langue. Dalam pertukaran inilah praxis linguistik yang
sebenarnya menjadi ada. Langue adalah suatu entitas yang murni abstrak,
suatu norma-norma yang berada di atas individu-individu, sekumpulan tipetipe yang esensial, yang direalisasikan oleh parole dengan keanekaragaman
ujaran yang tidak terbatas.” Oleh karena itu, Langue adalah sistem yang
memuat norma-norma dan aturan-aturan atau fakta sosial yang menjadi milik
bersama sebuah komunitas bahasa. Kemudian penggunaannya diatur pula
oleh
berbagai
norma-norma
yang
dapat
memenuhi
kebutuhan
dan
kepentingan baik yang bersifat individu maupun yang bersifat sosial. Tak
dapat disangkal bahwa dalam langue-lah tersimpan berbagai fungsi sosial
bahasa untuk memenuhi hajat dan hubungan dengan sesama manusia dalam
komunitasnya.
Nababan (1984) menyimpulkan adanya dua aspek kajian bahasa
(langue), yaitu
kajian yang menitikberatkan pada hakekat bahasa dan
kemudian kajian yang berhubungan dengan fungsinya. (1) Hakekat Bahasa;
persoalan ini dikaji oleh ahli-ahli linguistik. Secara garis besar, bahasa ialah
suatu sistem perisyaratan(semiotik) yang terdiri dari unsur-unsur isyarat dan
25
hubungan antara unsur-unsur itu. Dari unsur satuan bunyi (fonem), morfem,
frasa, kalimat, klausa sampai kepada unsur wacana. Hubungan struktur dari
unsur-unsur bahasa pada dasarnya terdiri dari dua macam, yang satu secara
horisontal atau sintagmatik (mengenai urutan), dan vertikal atau paradigmatis
(mengenai pengolongan). (2) Fungsi bahasa;
kajian fungsi bahasa yang
paling mendasar adalah berkenaan dengan kebutuhan berkomunikasi dan
interaksi sosial. Komunikasi adalah perekat yang mengikat orang dalam
sistem
kemasyarakatan.
Tanpa
komunikasi
tidak
masyarakat atau sistem sosial manusia didasarkan
pada
komunikasi
kebahasaan.
Tanpa
bahasa
ada
masyarakat;
atas dan bergantung
tidak
ada
sistem
kemasyarakatan manusia, dan akan lenyaplah kemanusiaan itu sendiri.
Kajian mengenai hakikat bahasa (Chaer,2007) biasa pula disebut
kajian mikrolinguistik yang mengarahkan kajiannya pada struktur internal
suatu bahasa tertentu atau struktur internal suatu bahasa pada umumnya,
seperti kajian pada bunyi (phonetics, phonology), kajian pada kata
(morphology) atau kajian pada kalimat (syntax) atau pada makna (semantics)
dan wacana (discourse). Sedangkan makrolinguistik adalah suatu kajian yang
menyelidiki bahasa kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, seperti
hubungan bahasa dengan budaya (antropholinguistics), hubungannya dengan
jiwa manusia (psycholinguistics) , hubungannya dengan karya sastra
(stylistics), kajian bahasa yang berhubungan dengan masyarakat pemakai
bahasa disebut sosiolinguistics. Kajian terakhir inilah memberikan perhatian
khusus terhadap kajian mengenai fungsi-fungsi sosial bahasa.
26
Fungsi bahasa (Al-Wasilah,1985) dapat merujuk pada teori komponen
sosilogis Firth, yang ia disebut dengan istilah field of relation. Field of relation
berarti hubungan antara orang-orang yang memainkan peran dalam
masyarakat, kata-kata yang mereka ujarkan, dan objek-objek lain, kejadiankejadian dan seterusnya yang ada hubungannya dengan orang-orang dan
ujarannya itu. Konsep Firth tentang field of relation muncul dari pengaruh
Malinowski yang menyatakan pentingnya menempatkan kata-kata dalam
konteks keseluruhan ujaran pada situasinya, yang disebutnya dengan context
of situation. Menurutnya konteks ini adalah lingkungan fisik sebenarnya dari
satu ujaran (Hill, ed. 1969).
Halliday (1985), murid Firth menyatakan bahwa suatu bahasa dipakai
oleh masyarakat untuk komunikasi dan interaksi sosial sesuai dengan
keadaan atau keperluan yang mereka hadapi. Peristiwa komunikasi meliputi
tiga hal, yaitu medan (field), suasana (tenor) dan cara (mode). Kemudian
yang dimaksud dengan (1) medan (field) adalah mengacu pada sesuatu hal
atau topik, yaitu tentang bahasa yang digunakan kepada sesuatu subjek atau
topik pembicaraan. Contohnya adalah masalah ekonomi, politik, teknologi
dan pendidikan dan yang lainnya. Keberagaman bahasa pada kelompok ini
sering memperlihatkan laras bahasa (register), yang ditandai salah satunya
yaitu dengan penggunaan istilah teknis (jargon). Berikutnya adalah (2)
suasana (tenor) yang mengacu pada hubungan peran peserta tuturan atau
pembicaraan, yakni hubungan sosial antara pembicara dengan pendengar
dengan yang ada dalam teks atau pembicaraan tersebut. Suasana
dipengaruhi oleh hubungan sosial antara pembicara dengan pendengar atau
27
antara penulis dengan pembaca. Keberagaman suasana berujud pada aspek
kesantunan, ukuran formal dan tidaknya suatu ujaran dan status partisipan
yang terlibat di dalamnya. Suasana mempengaruhi pilihan ragam bahasa ke
dalam berbagai gaya berbahasa, seperti ragam intim (intimate), santai
(casual), konsultatif, resmi (formal), dan beku (frozen). Terakhir adalah (3)
cara (mode) mengacu kepada peran yang dimainkan bahasa dalam
komunikasi. Termasuk di dalamnya adalah peran yang terkait dengan jalur
(cannel) yang digunakan ketika berkomunikasi. Jalur yang dimaksud adalah
apakah pesan disampaikan dengan bahasa tulis, lisan, lisan untuk dituliskan
atau tulis yang dilisankan. Begitu pula cara behubungan dengan ragam
retoris, misalnya yang dipakai bahasa persuasif, ekspositoris dan naratif.
Ketiga unsur ini merupakan komponen utama fungsi bahasa dalam
komunikasi baik digunakan dalam percakapan atau dalam bentuk tulisan (teks
berita).
Kemudian para ahli bahasa membagi fungsi bahasa ke dalam
beberapa kategori, seperti Jakobson (1960) menyimpulkan ada enam fungsi
bahasa, yaitu (1) emotive speech, ujaran yang berfungsi psikologis yaitu
dalam menyatakan perasaan, sikap, emosi si penutur (2) phatic speech,
ujaran yang berfungsi memelihara hubungan sosial yang dilakukannya pada
suasana tertentu, (3) cognitive speech, ujaran yang mengacu pada dunia
yang sesungguhnya yang sering diberi istilah denotatif dan informatif (4)
rhetorical speech ; ujaran yang berfungsi mempengaruhi dan mengondisikan
fikiran dan tingkah laku para penaggap tutur (5) metalingual speech ; ujaran
yang berfungsi untuk membicarakan bahasa, ini adalah jenis ujaran yang
28
paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi (6)
poetic speech ; ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan
mengistimewakan nilai-nilai estetiknya.
Halliday
(Al-Wasilah,1985)
juga
membuat
klasifikasi
tentang
pemakaian bahasa ke dalam : (1) instrumental; yaitu sebagai alat untuk
menggerakkan serta memanipulasikan lingkungan atau menyebabkan suatu
peristiwa terjadi. Jakobson menyebutnya sebagai fungsi rhetorical, bahasa
inilah yang dipakai oleh para politikus dan pedagang untuk memengaruhi
lawan bicaranya ; massa atau konsumen yang dihadapinya (2) regulatory;
mengacu kepada pemakaian bahasa untuk mengatur tingkah laku orang lain
atau amat dekat dengan fungsi directive, yaitu ujaran yang berorientasi pada
pendengar agar dapat mempengaruhi tingkah lakunya. Di sini bukan hanya
membuat pendengar melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang
direncanakan si pembicara. Ini
dapat dilakukan dengan perintah, ancaman,
permohonan, pemberian perhatian, atau dengan rayuan (3) representational
atau referential, biasa juga disebut fungsi cognitive, denotative atau
informative, adalah bahasa dipakai untuk membicarakan obyek atau peristiwa
dalam lingkungan sekeliling atau di dalam kebudayaan pada umumnya.
Fungsi ini yang melahirkan pandangan tradisional bahwa bahasa adalah alat
komunikasi pikiran, untuk membuat pernyataan tentang bagaimana si
pembicara merasa atau memahami dunia sekitarnya. (4) interactional dapat
pula disebut interpersonal atau Jakobson menyebutnya fungsi phatic adalah
fungsi dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memeliharanya dan
memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Fungsi tidak
29
hanya dengan bahasa tapi biasanya dibumbui dengan paralinguistik (nonverbal) seperti dengan isyarat, kontak fisik, air muka, lambaian tangan,
bersalaman, atau bisa juga dengan senyuman, Malinowski (1887-1942)
menyebutnya sebagai phatic communication, di mana ujaran dalam suasana
ini
tidak diterjemahkan secara harfiah. Makna ujaran sebagian besar
bersandar pada institusi komunikasi tertentu dan lansung dalam proses tutur
(5) personal, atau disebut pula fungsi emotive, affective adalah fungsi ujaran
yang berorientasi pada si penutur atau diri pribadinya. Bukan hanya
mengungkapkan emosi lewat bahasa, tapi memperlihatkan emosinya sewaktu
penyampaian apa yang dituturkan. Penanggap tutur pun dapat menyimpulkan
apakah si penutur sedih, marah atau gembira. (6) Fungsi heuristic adalah
bahasa sebagai alat untuk menyelidiki realitas, satu cara untuk mempelajari
banyak hal. Dalam ilmu pendidikan di mana anak didik, karena ada modal
pengetahuan yang telah diajarkannya, maka dengan bahasa ia akan mampu
untuk
menjelajahi
lingkungannya.
Murid
bahkan
diharapkan
dapat
menemukan sesuatu dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain (7)
imaginative, fungsi ini menitikberatkan pada struktur pesan (message)
bahasa, yang dapat dipakai untuk mengungkapkan pikiran atau gagasan,
perasaan dan hayalan. Pemakaian bahasa untuk kesenangan bagi penutur
maupun pendengar, disebut juga dengan fungsi poetic, yaitu ujaran yang
menitik beratkan dirinya pada segi-segi estetika bahasa, seperti pada puisi,
novel, nyanyian si ibu ketika menimang sang balita, termasuk pula di
dalamnya lelucon-lelucon, dan dongeng-dongeng, dlsb.
30
Menurut Vestergaard dan Schoder (Rani, 2006) fungsi bahasa seperti
berikut : (1) Ekspresif, bahasa mengarah pada penyampaian pesan, yaitu
digunakan
untuk
mengekspresikan
emosi,
keinginan,
atau
perasaan
penyampai pesan. Fungsi ini bersifat individual. (2) Direktif ; berorientasi pada
penerima pesan dimana bahasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain,
baik emosinya, perasaannya, maupun tingkah lakunya. Di samping itu, dapat
juga digunakan untuk memberi keterangan, mengundang, memerintah,
memesan, mengingatkan, mengancam dan lain-lainnya. (3) Informational ;
bahasa digunakan untuk menyampaikan sesuatu seperti melaporkan,
mendeskripsikan, menjelaskan, mengomfirmasikan sesuatu. (4) Metalingual ;
bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan banyak memakai kode
dan rumus. Bahasa sebagai kode dapat melambangkan kode yang lain dalam
ilmu pengetahuan tertentu, seperti pada Fisika, Kimia dan Matematika. (5)
Interaksional ; bahasa befokus pada saluran. Fungsi ini bahasa digunakan
untuk mengungkapkan, mempertahankan dan mengakhiri suatu kontak
komunikasi antara penyampai pesan dan penerima pesan. Fungsi ini lebih
ditekankan pada komunikasi yang tidak berhadapan lansung, seperti pada
percakapan melalui telepon. (6) Kontekstual ; fungsi ini berpedoman bahwa
suatu ujaran harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya.
Dengan alasan bahwa suatu ujaran akan berbeda maknanya apabila berada
dalam konteks yang berbeda. Salah satu alat bantu untuk memahami konteks
adalah dengan mempertimbangkan penanda-penanda kohesi dan acuan
(reference) yang digunakan dalam suatu situasi komunikasi.
31
Brown dan Yule (Rani, 2006) menyatakan bahwa dalam interaksi sosial
dapat
diidentifikasikan
fungsi-fungsi
bahasa,
yang
didasarkan
pada
tanggapan mitra tutur, ada dua macam. Pertama, fungsi transaksional apabila
penerima informasi yang dipentingkan isi komunikasi (message). Dengan
fungsi tersebut, bahasa dapat digunakan sebagai penyalur informasi. Fungsi
ini dinyatakan sebagai fungsi transaksional bahasa yang utama. Fungsi ini
bisa berupa wacana lisan, seperti ; ceramah atau pidato (tidak membaca
teks), deklamasi, dan iklan radio. Ataupun berupa wacana tertulis berupa
undangan, cerita pendek, makalah, tesis, teks berita (surat kabar). Kedua,
Fungsi interaksional apabila yang dipentingkan dalam penggunaan bahasa
adalah hubungan interaksi antara penyapa dan pesapa. Contohnya dalam
wacana lisan adalah percakapan sehari-hari, debat, wawancara, diskusi.
Sedangkan wacana tulis yang bersifat interaksional dapat berupa suratmenyurat antar teman dan polemik. Dalam peristiwa komunikasi, bahasa
memiliki fungsi yang bervariasi. Karena itu, fungsi transaksional bahasa
adalah digunakan untuk mengekspresikan emosi, memberitakan suatu fakta,
mempengaruhi orang lain, membela kebenaran, mengeritik ketidakadilan,
membicarakan bahasa, berceritra, ngobrol dengan handai tolan, dan lainlainnya.
Karena itu bahasa advokasi merupakan kajian bahasa yang berada
pada lingkungan makrolinguistik ; suatu kajian interdisipliner linguistik dengan
ilmu sosial (sosiolinguitik), yang berfokus pada fungsi sosial bahasa dalam
kehidupan manusia. Berdasarkan teori fungsi bahasa Halliday (1985) dan
(Kushartanti ed. 2007), maka bahasa advokasi dalam kajian ini berada pada
32
field (medan) register jurnalistik (komunikasi), dengan tenor (suasana) bahasa
formal, dengan mode (cara) jalur komunikasi tertulis (teks berita). Kemudian
bahasa advokasi dikategorikan berada dalam fungsi direktif atau regulatory
(Halliday) dan transaksional karena bahasa digunakan untuk membela
segmen tertentu yaitu Islam dan umatnya
Dengan cara mengungkap
berbagai ketidakadilan baik melalui media pemberitaan untuk mempengaruhi
pengambil kebijakan agar dapat mendukungnya, dan agar umat akan sadar
terhadap ketimpangan, penderitaan yang sedang terjadi di antara mereka.
2. Bahasa Advokasi Media Islam
a. Konsepsi Advokasi
Kata advokasi berakar dari kata to advocate yang bukan hanya berarti
to defend (membela), melainkan pula to promote to create (berusaha
menciptakan) dan to change (melakukan perubahan, mengemukakan atau
memajukan. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa kegiatan advokasi
adalah sebagai upaya untuk mengubah kebijakan publik melalui berbagai
bentuk
komunikasi
persuasif
atau
sebuah
proses
yang
melibatkan
seperangkat tindakan politis yang dilakukan oleh warga negara yang
terorganisir agar dapat mengubah kebijakan yang terjadi dalam kekuasaan.
Menurut Suharto (2007) Advokasi adalah salah satu bentuk komunikasi dalam
masyarakat yang bertujuan melakukan tindakan-tindakan yang secara
langsung
mewakili,
mempertahankan,
mencampuri,
mendukung
atau
merekomendasikan tindakan tertentu untuk kepentingan satu individu atau
lebih, kelompok atau masyarakat dengan tujuan menjamin dan menopang
33
keadilan dan hak-hak mereka. Dalam konteks inilah advokasi merupakan
salah satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial masyarakat.
Margaret Schuler (Muis, 2011) menyatakan bahwa advokasi terdiri atas
sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada
suatu isu, dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya.
Advokasi itu juga berisi aktivitas-aktivitas legal dan politis yang dapat
memengaruhi bentuk dan praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan
advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi,
komunikasi, pendekatan serta mobilisasi.” Kemudian menurut Wolfensberger
(1994) adalah : ”berbicara, bertindak dan menulis dengan sedikit konflik
kepentingan atas nama kepentingan diangap tulus dari orang atau kelompok
yang
kurang
beruntung
untuk
mempromosikan,
melindungi
dan
mempertahankan kesejahteraan dan keadilan untuk mereka.
Ada beberapa elemen kunci yang disebutkan secara lansung atau
tersirat dalam definisi advokasi menurut Wolfensberger (1994) di atas adalah :
(1) berfungsi dengan berbicara, bertindak dan menulis, dengan maksud untuk
mengangkat isu-isu yang bisa mendapat perhatian pengambil kebijakan untuk
memperjuangkan hak hidup seseorang atau kelompok lebih layak dan
terhindar dari ketidakadilan dan penindasan. (2) Meminimalisasi konflik
kepentingan, ketika seseorang berada dalam peran advokasi, anda
menangani kepentingan dan kebutuhan yang bertentangan dengan golongan
tertentu atau bagi pengambil kebijakan, maka harus mengurangi terjadinya
pertentangan dan perseteruan dalam konflik kepentingan ini, dan mengakui
keterbatasan-keterbatasan yang disebabkan karena kekeliruan-kekeliruan
34
yang terjadi. (3) ikhlas dalam membela, ketika seseorang menyatakan apa
yang diinginkan biasa berbeda dengan apa yang tampak dalam kepentingan
yang diidamkan, maka biasanya timbul ketidakpuasan yang memerlukan
kesabaran dan keikhlasan (4) Mengusung tentang perbaikan kesejahteraan
dan keadilan tanpa pandang bulu. Kita memperjuangkan bagi siapa saja yang
tertindas dan diperlakukan tidak adil dengan tidak melihat tingkat sosial,
golongan, suku, agama. (5) Kekuatan tindakan, advokasi membutuhkan
semangat dan kedalaman perasaan dalam memperjuangkan kepentingan
orang yang tertindas. Memulai, membuat aksi, memimpin, bekerja lebih dari
apa yang dilakukan secara rutin, menantang masyarakat agar berubah pola
pikirnya dan terpengaruh untuk ikut serta terhadap apa yang diperjuangkan.
(6) Mempertimbangkan adanya pembiayaan maka perlu dipersiapkan dan
mremahami apa yang mungkin terjadi pada para aktivis ketika mereka
melakukan advokasi.
Kemudian sebuah LSM Program Pengembangan Kecamatan (2007)
mengemukakan proses yang perlu dilakukan dalam advokasi, yaitu (1)
kumpulkan data, sebelum mengadvokasi sebuah kasus, sebanyak mungkin
dikumpulkan informasi dan data mengenai hal yang hendak diadvokasi (2)
analisis data berdasarkan data yang terkumpul, dilakukan analisis mengenai
apa dan mengapa terjadi ketimpangan dan ketidakadilan (3) bangun basis
dengan melibatkan masyarakat, yaitu berusaha melibatkan masyarakat di
setiap tahapan yang dilakukan (4) Bangun jaringan agar supaya advokasi
berjalan dengan baik, dengan adanya jaringan dapat saling membantu dalam
melancarkan advokasi (5) Lancarkan tekanan ke berbagai pihak dengan
35
berbagai cara mulai dari yang bersifat lunak, bersifat kritik, mempengaruhi
publik opini melalui media (6) Pengaruhi pembuat dan pengambil kebijakan
dengan jalan persuasif, dengan mengajak diskusi atau menginformasikan
kepada pengambil kebijakan atas arti penting penanganan kasus tersebut
bagi masyarakat dan pembangunan (7) Lakukan pembelaan dengan
melancarkan tekanan, yang dapat dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan, membeberkan bukti-bukti penyelewengan, perlakuan tidak adil dan
penindasan dengan jalan pemantauan secara kontinyu.
Jadi advokasi adalah berbagai tindakan yang dilakukan baik persuasif
ataupun dengan tekanan untuk membela golongan tertindas agar dapat
memperoleh haknya yang telah dicampakkan oleh kekuatan atau pihak
tertentu. Kemudian aktifitas advokasi bisa berujud tuntutan yang
dapat
disampaikan melalui berbagai cara, mulai dari cara yang paling tradisional,
seperti pepe (berjemur diri). Bisa pula berujud protes berupa ungkapanungkapan sindiran, pembelaan dengan kritikan melalui komunikasi antar
personal dan komunikasi sosial dan kesenian dalam komunikasi publik, seni
sastra atau melalui media massa(Mas’oed,1997). Wahana yang terakhir
inilah, yakni media massa, hingga kini dianggap paling efektif, populer,
rasional serta institusional dalam melakukan berbagai berita advokasi
sebelum ditindaklanjuti dengan penyelesaian melalui pengadilan. Adapun
media massa paling efektif dan artikulatif (vokal) dalam menyampaikan
advokasi sosial adalah pers (media cetak).
Kegiatan advokasi yang dilakukan oleh media, khususnya media Islam
tampaknya cenderung lebih banyak berhadapan dengan aspek dominasi
36
kekuasaan atau hegemoni yang juga memiliki media dipakai untuk
melanggengkan kekuasaannya. Menurut Maryani (2011) bahwa kekuasaan di
sini dipahami sebagai ”certain individuals and groups are able to dominate
others, to carry through and realize their own particular aims and interest even
in the face of opposition and resistance ( dalam Sullivan,1995). Selain itu
kekuasaan juga berhubungan dengan aspek source, means dan relation
untuk mendominasi, mengontrol dan melakuan subordinasi yang dibuat dalam
situasi dan proses sosial tertentu. Sehingga kekuasaan dapat bersifat
coercive, yang melibatkan kekuatan fisik secara lansung untuk menekan dan
memelihara dominasi atau dapat juga merupakan hasil dari adanya
perbedaan akses dan distribusi dari sumber-sumber yang penting dalam
masyarakat. Sumber-sumber itu dapat berupa bahan baku (raw material),
ataupun bentuk-bentuk simbolik seperti pengetahuan, melek huruf, ilmu
pengetahuan dan tipe-tipe kapital lainnya. Oleh sebab itu, kekuasaan
hegemonik dianggap sebagai sosok yang punya kecenderungan distorsif,
represif, koruptif, kolusif dan lain-lain sehingga perlu mendapat kritikan, dan
pembeberan fakta atas perlakuannya yang dianggap tidak adil dan
menyeleweng.
Hegemoni
cenderung
otoriter,
tidak
demokratis,
tidak
mempertimbangkan aspirasi masyarakat, bahkan dapat menipu publik agar
dapat melanggengkan dominasinya terhadap golongan lain. Karena itu, perlu
suatu jaringan media
yang menjadi lawan, pembela golongan tertindas,
menjadi suara masyarakat dalam mempertahankan dan membela hak-hak
mereka. Sesuai dengan pernyataan McQuail (1989) bahwa sejak awal
37
perkembangan pers (ia menyebutkan surat kabar) sudah menjadi lawan yang
nyata terhadap penguasa yang mapan.
b. Karakteristik Media Islam
Menurut Cangara (2003) komunikasi massa didefinisikan sebagai
proses komunikasi yang berlangsung yang mana pesannya dikirim dari
sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alatalat yang bersipat mekanis seperti radio, televisi, surat kabar dan film. Sifat
pesannya ditujukan kepada khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim
melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan dapat diterima secara
serentak pada saat yang sama. Pendapat itu sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Bittner (1980) : Mass communication is messeges
communicated through a mass medium to a large number of people. Jadi,
media massa dalam disiplin Ilmu Komunikasi biasa juga disebut komunikasi
media massa (mass media communication).
Dalam praktek sehari-hari, komunikasi massa atau komunikasi
bermedia juga disebut dengan media cetak dan media elektronik. Media cetak
adalah media yang menggunakan barang cetakan dalam menyebarkan
informasi kepada khalayak, seperti : surat kabar, majalah, tabloid dan jurnal
atau buletin. Adapun media elektronik mempergunakan alat yang bersipat
elektron dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, seperti televisi,
radio dan internet. Kemudian dalam pengertian yang khusus media yang
menggunakan barang cetakan dalam menyebarkan informasi liputannya
secara sederhana disebut dengan pers (Amir, 1999).
38
Pers adalah lembaga atau badan atau organisasi yang menyebarkan
berita, sebagai karya jurnalistik kepada khalayak. Pers dan jurnalistik
diibaratkan sebagai raga dan jiwa. Pers adalah aspek raga, karena ia
berwujud, kongkrit dan nyata; oleh karena itu dapat diberi nama, sedangkan
jurnalistik adalah aspek jiwa, karena ia abstrak, merupakan kegiatan, daya
hidup, menghidupi aspek pers.
Dengan demikian pers dan jurnalistik merupakan dwitunggal. Pers
tidak mungkin beroperasi tanpa jurnalistik, sebaliknya jurnalistik tidak akan
mungkin mewujudkan suatu karya yang bernama berita tanpa pers. Kegiatan
jurnalistik di sini meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi, berupa berita dan pendapat kepada
khalayak pembaca. Pers dalam arti media cetak atau berhubungan kerja
jurnalistik pada media cetak, memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan
bentuk pers lainnya. Karena paling banyak dan paling luas penyebarannya
dan paling dalam daya kemampuannya untuk merekam kejadian sehari-hari
sepanjang sejarah manapun di dunia ini.
Adapun media Islam masuk dalam kategori pers khusus, disebut
dengan pers keagamaan. Keberadaan pers keagamaan menjadi mitra bagi
pers
umum.
Proses
tumbuh
berkembangnya,
serta
kendala
yang
dihadapinya, boleh jadi tak jauh berbeda dengan pers umum. Kalaupun ada
perbedaan lebih dari pada subtansi media ke dalam memperjuangkan
misinya. Media Islam secara konsepsional tentu memiliki perbedaan normatif
dengan jenis-jenis pers lainnya, meskipun secara operasionalnya sama
dengan pers jenis umum, yang merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik.
39
Adapun
jurnalistik
adalah
suatu
proses
meliput,
mengolah,
dan
menyebarluaskan berbagai peristiwa (news) dan pandangan (views) kepada
masyarakat.
Secara garis besar, ada dua pendekatan yang sederhana dalam
mengenal apa itu pers Islam : (a) Metode pendekatan secara formal, pers
Islam dipahami sebagai aktivitas jurnalistik yang dikelola dan diterbitkan oleh
umat Islam, menyuarakan aspirasi dan aktivitas umat Islam serta bertujuan
mempertahankan misi dan eksistensi Islam. (b) Metode pendekatan informal,
dari sudut pandangan ini, pers Islam dinilai dari misi Islam itu sendiri secara
universal sebagai rahmatan lil alamin (QS.21:107).
Dalam konteks ini media Islam lebih banyak diukur dari cita-cita
moralitas Islam, dari semua segi kehidupan ummat Islam (Nur,1997).
Karenanya media Islam senantiasa berpijak dan bernafaskan ajaran AlQur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai way of life ummat Islam. Raslulullah
bersabda : “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan
tersesat selama berpagang dengannya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan
Sunnah Rasulullah.” (HSR. Muslim).
Menurut
Malik
(Hamka
et
al,1989)
mengemukakan
beberapa
karakteristik yang harus dimiliki oleh media Islam, yaitu : (1) Media Islam
harus bersifat kritis terhadap lingkungan luar, sanggup menyaring informasi
baik dari Barat atau dari yang lainnya yang relevan dan tidak bias terhadap
Islam. Ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an : “Wahai orang-orang yang beriman
! Jika seseorang fasik datang kepadamu membawa berita, maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakn suatu kaum karena kebodohan
40
(kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. ” (Al-Hujurat
7 ). (2) Media Islam harus manpu menjadi penerjemah dan frontier spirit
berbagai pembaharuan dan gagasan kreatif kontemporer. Ajaran Islam perlu
dikaji dan diorientasikan ke depan untuk menjadi alternatif pemecahan
terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh ummat manusia dewasa ini.
Firman Allah : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (AlQur’an) pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman
(kepadanya).”(QS.Yunus:57). (3) Media Islam hendaknya sanggup melakukan
proses sosialisasi sebagai upaya untuk memelihara dan mengembangkan
hasanah intelektual Islam. (4) Media Islam harus mampu mempersatukan
setiap kelompok umat sambil memberitakan kesiapan untuk bersikap terbuka
bagi perbedaan paham. Sebagaimana dipesankan dalam Al-Qur’an Surah Ali
Imran ayat 103 : “ Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali Allah (Qur’an
dan Sunnah) dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Waspadalah jangan
sampai terjadi : “ Tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada
mereka masing-masing.” (QS.Al-Mu’minun 53 ).
Tak berlebihan jika media Islam menjadi sangat penting peranannya,
dalam era globalisasi informasi saat ini, yaitu umat Islam
menghadapi
tantangan dan perang informasi sehingga berkewajiban membangun media
Islam yang profesional. Ada beberapa alasan yang mengharuskan hal
tersebut,
yaitu (1) Media Islam menjadi alat untuk mencerdaskan umat ;
menjadi alat untuk menyiarkan informasi ; mendidik, menghibur dan
memengaruhi
umat secara Islami supaya mereka tetap berada dalam
41
kepatuhan dan ketaatan pada ajaran Islam. Jangkuannya luas, harganya
yang murah dan frekuensi yang tinggi merupakan nilai lebih yang dapat
memengaruhi umat dalam skala besar. (2) Media Islam menjadi penyeimbang
terhadap isu dan informasi buruk yang dilancarkan oleh terhadap menyukai
Islam dan umatnya. (3) Media Islam diharapkan dapat membimbing dan
memotivasi umat dalam melaksanakan ajaran Islam secara sempurna (Sabili
No.5/TH.V 20 Oktober 1992).
c. Bentuk Advokasi Media Islam
Bila kita memperhatikan etika berbahasa dalam Al-Qur’an, maka kita
tidak akan menemukan satu ayatpun yang menganjurkan penggunaan katakata kasar untuk menyampaikan kebenaran, melakukan pembelaan
dan
kritikan. Perkataan yang dianjurkan oleh Allah swt. ketika kita berintraksi
dalam bentuk apapun dengan sesama manusia harus dengan (1) ucapan
atau kata-kata yang baik ‘qawlan ma’rufaa’(QS.2:235, 4:5, 8, 33:32), (2)
dengan tutur kata yang benar ‘qawlan sadidaa’ (QS. 4:9, 33:70). (3) dengan
perkataan yang membekas dan berkesan dalam jiwa ‘ qawlan baliighaa’ (QS.
4:63), (4) dengan perkataan yang sopan dan mulia (honorifik) ’qawlan
kariimaa’ (QS. 17:23), (5) dengan ucapan yang lemah lembut
‘qawlan
maysuuraa’ (QS. 17:28), (6) dengan ucapan yang berbobot ‘qawlan tsakiilaa’
(73:5), dan (7) jangan mengucapkan perkataan yang mengandung dosa di
dalamnya ‘qawlan adzimaa’ (QS. 17:40).
Bahasa advokasi media Islam harus menjiwai tuntunan Al-Qur’an
dalam menyampaikan wacana tertulis (teks berita) untuk membela Islam dan
42
umatnya. Adapun tahapannya adalah sesuai dengan tahapan pencegahan
kemungkaran yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. berikut ini :
1. Strategi Mengubah Kemungkaran
Kekuasaan memiliki banyak peluang untuk tercebur ke dalam
kemungkaran, yaitu melakukan kolusi, korupsi, atau tindakan represif dan
penyelewengan lainnya. Media Islam memiliki dasar pegangan dalam
melakukan tugasnya untuk mencegah kemungkaran (alat kontrol sosial).
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (As-Sunnah 05/Tahun
VI/2002) Nabi Muhammad saw. Bersabda : “ Siapa yang di antara kamu
melihat kemungkaran maka hendaklan merubah dengan tangannya (AlYadu), apabila tidak anggup maka cegahlah dengan lidahnya (Al-Lisan),
apabila masih tidak sanggup maka dengan hatinya (Al-Qalb), dan ini
selemah-lemah iman.”
Pada hadits lain diriwayatkan Imam Muslim beliau
bersabda : “Tiada seorang nabi sebelumku, melainkan mempunyai sahabatsahabat yang setia, yang benar-benar mengikuti ajarannya, kemudian timbul
di belakang mereka generasi yang hanya bicara dan tidak suka berbuat, dan
mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi
mereka dengan kekuatan tangannya, maka ia mukmin, dan siapa yang
menentang mereka dengan lidahnya, juga mukmin, dan siapa yang
membenci mereka dengan hatinya, ia juga termasuk mukmin. Selain dari itu
tidak ada lagi iman walau sebiji sawi.”
Nabi
Muhammad
s.a.w.
memberikan
cara
yang
bijak
dalam
menghadapi kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat, sesuai dengan
kemampuan seseorang untuk mengatasinya, yaitu dengan :
43
a. At-Taghyiru bil-Yadi : Maksudnya menghentikan sesuatu ketimpangan
dengan jalan memberlakukan hukum, penangkapan atau bila tidak mau
kalah maka harus diperangi sampai mengalah. Menurut Syeikh Bin Baz
(Al-Wayili,1999) yang dapat melakuan tindakan dengan cara ini adalah
penguasa kepada rakyatnya. Atasan kepada bawahannya, Ayah kepada
anak-anak dan isi rumah tangganya. Seseorang menindak dengan pakai
‘tangan’ terhadap suatu ketimpangan yang terjadi di dalam tanggung
jawabnya. Tidak boleh ia menindak dengan “tangannya” yang tidak di
bawah tanggung jawabnya.
b. At-Taghyiru bil-Lisan : Maksudnya memberi nasihat, kritikan, larangan lisan
yang bisa diperjelas melalui tulisan seperti ; brosur, surat, atau berbentuk
terbitan harian seperti surat kabar atau terbitan periodik seperti majalah,
tabloid dan jurnal.
c. Al-Bughdu anil-Qalb : maksudnya kita tak memiliki kekuatan untuk
mencegahnya atau menegurnya baik secara kekuasaan dan nasihat tetapi
hati seorang muslim tidak pernah setuju apalagi mengadakan kerja sama
dengan para pelaku kezaliman.
Hukum mencegah dengan menggunakan salah satu dari tiga hal itu,
adalah wajib (fardhu ‘ain) berdasarkan perintah Nabi Muhammad s.a.w.
Kewajiban pencegahan kemungkaran sesuai dengan tahapan di atas,
ditegaskan kewajibannya oleh sebagian besar ulama seperti Ibnu Katsir, AzZujaj, Ibnu Hazm, dllsb (As-Sunnah 05/Thn. VI 2002).
44
2. Menghadapi Kemungkaran dengan Tulisan
At-Taghyiru
bil-Lisan
berarti
melakukan
perubahan
dengan
menggunakan lisan atau tulisan. Ini bisa berujud nasihat , kritikan, motivasi
dan sugesti secara lisan atau melalui tulisan. Media Islam sebagai lembaga
kemasyarakatan memiliki fungsi sosial kontrol, yang bisa diwujudkan dalam
bentuk nasihat atau kritik siapa saja yang melakukan kezaliman.
Dalam Islam mengubah kemungkaran dengan lisan atau tulisan dapat
berujud sebagai : (1) Alat Dakwah Ilallah : mengubah kemungkaran dalam
bentuk nasihat, ajakan dan kritikan yang membangun. Al-Munajjid (2001)
berkata bahwa memperingatkan orang-orang khilaf, bersalah atau pelaku
dosa supaya bertaubat dari perbuatannya, menyadari kesalahannya dan
tertarik untuk memperbaiki diri
memiliki beberapa syarat, yaitu : (a)
menasehati dengan niat ikhlas karena Allah. (b) Menjelaskan hukum
kesalahan yang diperbuatnya. (c) Mengulang-ulang peringatan tentang akibat
buruk dari
kesalahan yang diperbuatnya. (d) Menunjukkan belas kasihan
dan perhatian kepadanya. (e) Membimbing pelaku kesalahan hingga mampu
memperbaiki dan menghindarkan diri dari kesalahan yang diperbuatnya. (2)
Alat Jihad Fi Sabilillah : berarti berjihad melalui lisan dan tulisan.
Jihad
adalah kesungguhan seorang muslim untuk berkorban karena Allah untuk
memelihara, menegakkan dan mempertahankan kebenaran Islam. Menurut
Syeikh Jamil Zainu (1998) Jihad dapat dilakukan dengan melalui : (a)
kemampuan lisan dan tulisan, (b) kemampuan harta (c) kemampuan jiwa
untuk berperang.
45
Oleh sebab itu jurnalisme advokasi adalah satu bentuk jihad oleh
madia Islam untuk membeberkan tindakan kezaliman, perlakuan tidak adil
dan memperjelas distorsi berita dan marjinalisasi atas Islam dan umatnya.
Berdasarkan bunyi salah satu hadits : ”Katakanlah yang benar meskipun
pahit.” dalam hadits yang lain : ” Syahid yang paling utama adalah dari
umatku ialah seorang yang berdiri diahadapan seorang penguasa yang zalim
dengan menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar lalu ia
dibunuh secara lansung maupun tidak lansung karenanya. Maka tempatnya di
syurga bersama-sama Hamzah dan Ja’far (Audah,1985)”. Meskipun demikian
media Islam harus mengingat bahwa syarat utama dari laporan jurnalistik
Islam itu adalah: (a) harus memegang teguh norma-norma Islam, (b) betulbetul melaporkan fakta (kebenaran) dan
(c) harus tetap memperlakukan
lawan dengan adil dalam kondisi apapun. Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 8
berbunyi :”Dan jangalah kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong kamu
untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah ! Karena adil itu lebih dekat pada
takwa.”
3. Teori Kritis
Tokoh utama pemikir kritis adalah termasuk Adorno, Horkheimer, dan
Marcuse. Mashab ini berkembang dari Universitas Frankfurt di Jerman yang
dikenal kemudian sebagai mashab Frankfurt (Frankfurt School). Para pemikir
teori kritis mengembangkan pemikirannya berdasarkan warisan pemikiran dari
Marx, Kant dan Hegel sehingga mampu mengembalikan sifat dialektis dari
ajaran Marx, juga meramunya bersama dengan konsep reifikasi dari Lukacks
dan Korcs (Maryani, 2011). Salah satu sifat dasar teori kritis adalah terjadinya
46
keprihatinan atas akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang
mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang bukan
membebaskan manusia dari belenggu penderitaan dan perbudakan tapi
menjadi penjajah baru atas masyarakat dunia. Jiwa teori kritis adalah selalu
curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat modern dewasa ini. Kondisi
masyarakat modern kelihatan produktif dan maju,
bagus tapi terselubung
suatu struktur ideologi yang menipu dan menjajah kesadaran halayak. Media
adalah alat yang paling ampuh digunakan untuk tujuan tersebut. Itulah
sebabnya Horkheimer (1986) menyatakan bahwa bahwa teori kritis haruslah
memberikan keasadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat
irrasional dan dengan memberikan pula kesadaran untuk membangun
masyarakat rasional, dengan memberikan kesadaran emansipatoris.
Meskipun Horkheimer (Maryani, 2011) menyadari bahwa teori kritis
tidak netral karena pada tujuannya adalah berusaha membebaskan manusia
dari perbudakan dan ketertindasan, membangun hubungan yang merdeka,
dan memulihkan manusia sebagai subjek yang mengendalikan sendiri
kenyataaan sosialnya. Teori Kritis begitu optimis bahwa akan terjadi
perubahan melalui kesadaran manusia yang kritis terhadap lingkunganya dan
mampu mengupayakan kehidupan yang lebih manusiawi. Mereka memaknai
kesadaran manusia sebagai kemampuan rasionalitas manusia untuk
menguasai alam dan melakukan perubahan melalui rasionalitasnya itu. Akan
tetapi ketika kemudian mereka mengkritisi modernisasi ada keraguan kembali
tentang kekuatan rasionalitas manusia, sehingga mengalami kebuntuan.
47
Tapi kemudian kebuntuan yang terjadi di kalangan pemikir kritis
tersebut akhirnya mendapat jalan keluar ketika Habermas mengemukakan
bahwa kebuntuan terjadi karena usaha untuk melakukan emansipasi pada
masyarakat atas kegagalan modernisasi, karena rasionalitas manusia hanya
sebagai rasionalitas instrumental atau rasionalitas terknologis. Padahal
rasionalitas tersebut hanya rasionalitas yang arahnya ada dalam praksis kerja
sebagai sebuah sistem dalam kehidupan manusia, sementara kehidupan
manusia tidak hanya terdiri dari praksis kerja tetapi juga praksis komunikasi
yang hidup dalam kesehariannya (lifeworld). Menurut Habermas (1984) orang
menghumanisasikan dirinya melalui interaksi atau komunikasi. Rasionalitas
komunikasi hanya mungkin ada dalam praksis komunikasi yang anggotanya
dapat
berpartisipasi
aktif
dalam
praksis
komunikasinya
dan
masih
dimungkinkan atau dapat melakukan kontrol terhadap proses komunikasinya.
Dengan kata lain rasionalitas komunikatif hanya dapat terjadi yaitu dalam
sebuah komunikasi yang bisa diidealkan, yaitu ketika tidak ada tekanan dan
hambatan dalam proses komunikasi antara dua pihak. Dengan kata lain
masyarakat atau individu harus mendudukkan dirinya sebagai subjek bukan
objek dalam proses komunikasi. Apabila sistem komunikasi terdistorsi maka
tetap terbangun kesadaran palsu (false consciousness). Kesadaran palsu
terus terwujud ketika dominasi dipahami menjadi sesuatu administratif dan
manipulasi kebutuhan menjadi kebutuhan itu sendiri.
Menurut
Marcuse
(Maryani,1984)
bahwa
teori
kritis,
juga
mengungkapkan kondisi tersebut dalam bahasanya tentang manusia satu
dimensi. Baginya manusia satu dimensi adalah manusia yang kehidupannya
48
mengalami kekaburan akan dua kontradiksi yang seharusnya selalu
dipahami. Kontradiksi yang utama adalah adanya kelompok-kelompok
dominan yang selalu berupaya menguasai atau menyubordinatkan kelompok
lainnya. Di dalam kehidupan manusia satu dimensi, perbedaan yang ada
dikaburkan begitu rupa sehingga manusia sebagai seorang individu tidak
menyadari keberadaan dirinya dalam dua kontradiksi tersebut. Tak adanya
kesadaran individu menjadikan mereka mudah dikuasai (tanpa perlawanan)
karena hilangnya kesadaran mereka sebagai kelompok tertindas.
Interaksi masyarakat dan media menjadi begitu penting karena media
sebagai institusi hadir dan bergerak dalam ranah publik oleh karenanya
keberadaan media seharusnya tidak lepas dari kepentingan publiknya itu
sendiri. Segala kepentingan di luar publiknya terutama yang dominan dapat
mendistorsi
proses
komunikasi
sehingga
publik
teralienasi
dari
kepentingannya sendiri dan terciptalah kesadaran palsu. Komunikasi yang
tidak terdistorsi akan dilihat dari kemapuan media untuk menghasilkan ruang
dan teks yang memungkinkan terjadinya situasi komunikasi yang diharapkan.
Dengan demikian media dan interaksinya dengan khalayak menjadi amat
penting untuk selalu dikritisi. Menurut Maryani (2011) media dalam prakteknya
adalah ruang di mana ideologi dipertarungkan untuk mendapat tempat dalam
benak khalayak. Siapa yang bertarung dalam kehidupan media menjadi
penting untuk dilihat kekuasaannya. Siapa yang mampu
memanfaatkan
kekuasaannya dalam mempengaruhi media dan seberapa besar kekuasaan
tersebut bermain dalam praktek media dengan kata lain media tidak saja
sekedar sebuah saluran komunikasi akan tetapi juga sebagai sebuah institusi
49
yang telah menjadi bagian dari masyarakat dengan pertarungan ideologi di
dalamnya.
Karena itu teori kritis (Eriyanto,2006) melihat bahwa media bukanlah
saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu
dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh
Karena itu, pertanyaan pertama dari paradigma kritis adalah siapakah yang
menguasai media. Apa keuntungan yang didapat bagi pengentrol media.
Pihak mana yang tidak dominan, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan
kontrol terhadap media bahkan hanya menjadi objek pengontrolan. Aliran
kritis melihat struktur sosial dengan konteks yang sangat menentukan realitas,
proses, dan dinamika komunikasi, termasuk media massa. Bagi aliran ini
penelitian media massa yang mengabaikan atau menghindari konteks sosial
dalam penelitiannya akan menghasilkan distorsi yang serius. Tidaklah
mengherankan, jika berbeda dengan penelitian positivistik yang umumnya
individual dan mikro, paradigma kritis justru berada dalam makro analisis dan
bergerak dalam struktur sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat
memproleh gambaran secara holistik.
Teori kritis melihat bahwa media tidak dapat dilepaskan dari kekuatankekuatan yang ada mempengaruhi berlansungnya komunikasi.
Aspek ini
tidak mendapat tempat yang mamadai dalam tradisi paradigma empirisposivistik yang lebih melihat proses interaksi dalam media sebagai proses
yang netral, dengan mengunakan analisis isi yang kuantitatif dengan
kategorisasi yang ketat dengan analisis statistik. Sedangkan teori kritis
umumnya kualitatif dan menggunakan penafsiran sebagai basis utama
50
memaknai temuan. Menurut Popkewitz (1990) menyatakan bahwa teori kritis
memandang realitas kehidupan bukanlah realitas yang netral, tetapi
dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu
konsentrasi analisis pada teori kritis adalah menemukan kekuatan yang
dominan tersebut yang selalu berusaha memarjinalkan dan meminggirkan
kelompok yang tidak dominan.”
Berkenaan dengan media, penafsiran atau analisis teks berita, teori
kritis berpandangan bahwa berita bukanlah suatu yang netral, dan menjadi
ruang
publik
dari
berbagai
pandangan
yang
berseberangan
dalam
masyarakat. Media sebaliknya adalah ruang di mana kelompok dominan
menyebarkan pengaruhnya dan meminggirkan kelompok lain yang tidak
dominan. Oleh sebab itu, menurut Guba (1994) bahwa tujuan penelitian kritis
adalah mengubah dunia yang timpang, yang didominasi oleh kekuasaan yang
menindas kelompok bawah. Dalam hubungan dengan penelitian teks berita,
penelitian kritis berusaha untuk melihat realitas dan hubungan sosial
berlansung dalam situasi yang timpang. Ketidakadilan, relasi sosial yang
timpang dalam pemberitaan itulah yang menjadi titik tolak penelitian teks dari
paradigma ini. Oleh karena itu, penelitian ditujukan untuk menyingkap sumber
ketidakadilan tersebut dan berusaha melakuan transformasi sosial untuk
mengubah situasi yang tidak adil itu.
Menurut Newman (1990) salah satu sifat penelitian positivistik, yang
ditolak dalam paradigma kritis, adalah pandangan yang menyatakan bahwa
peneliti sebagai subjek yang netral dan bebas bebas nilai. Analisis yang
sifatnya kritis, umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang
51
diyakini oleh peneliti. Oleh karena itu keberpihakan peneliti dan posisi peneliti
atas suatu masalah sangat menentukan bagaimana data atau teks yang
ditafsirkan. Berhubungan dengan keberpihakan peneliti adalah etika atau
moral
dalam
penelitian.
Dalam
pandangan
positivistik
peneliti
tidak
diperbolehkan memberikan penilaian kepada objek yang diteliti. Hal yang
berbeda dengan penelitian kritis, justeru pertama kali muncul adalah nilai atau
moral tertentu. Penelitian dilakukan karena adanya semacam moral atau nilai
tertentu, ada kerisauan, ada keinginan untuk melakukan perubahan. Oleh
sebab itu, teks akan ditafsirkan dalam perspektif yang diyakini oleh peneliti.
Bahkan Stuart Hall (1982) mengatakan bahwa analisis kritis memandang
peneliti seperti layaknya seorang aktivis yang mempunyai komitmen terhadap
nilai-nilai tertentu yang harus diperjuangkan.
Oleh sebab itu berdasarkan pendekatan terori kritis, yang menganggap
media sebagai instrumen ideologi dan kekuasaan yang cenderung menguasai
kesadaran khalayak dan menjadi sumber legitimasi dimana penguasa dan
dominasi tertentu (hegemoni) memupuk kekuasaanya agar tampak absah
benar, dan memang seharusnyalah seperti itu. Karena itu, peneliti berusaha
agar
dapat mengungkap interest atau ideologi yang terselubung di balik
wacana berita advokasi ketiga media Islam ini ; Majalah Sabili, Hidayatullah
dan Media Umat. Apakah mereka memiliki tujuan yang sama atau tujuan
yang berbeda dalam membela Islam dan umatnya dengan cara yang berbeda
dalam pemberitaan advokasi yang dilakukannya.
52
4. Teori Wacana
Kata wacana (Webster,1983) memiliki arti sebagai berikut, (1) Wacana
adalah komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasangagasan, percakapan (a communication of thoughts by words; expression of
ideas; conversation). (2) Wacana adalah komunikasi secara umum terutama
sebagai suatu subjek studi atau pokok bahasan
(communication in general,
especially as a subject of study). (3) Wacana adalah risalah tertulis; disertasi
formal; kuliah; ceramah; khutbah. (A written treatise ; a formal dissertation; a
lecture, a sermon). Dalam pengertian ini, wacana dapat berbentuk
penyampaian lisan ataupun tulisan. Dengan demikkian, semua ucapan atau
tulisan yang teratur, sesuai dengan urutan yang semestinya, yaitu sistematik
dan logis adalah wacana. Sebuah pernyataan lisan atau tulisan harus punya
dua unsur penting, yaitu kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence) maka ia
akan memenuhi syarat untuk disebut sebagai wacana.
Keraf (1995) menjelaskan pengertian wacana dalam sudut bentuk
bahasa dan dari sudut tujuan umum. Dari sudut bentuk bahasa, atau yang
bertalian dengan hierarki bahasa, wacana adalah bentuk bahasa di atas
kalimat yang mengandung sebuah tema. Satuan bentuk yang mengandung
tema ini biasanya terdiri dari atas alinea-alinea, anak-anak bab, bab-bab, atau
karangan-karangan utuh, baik yang terdiri atas bab-bab maupun tidak. Jadi
tema merupakan ciri dari sebuah wacana. Tanpa tema wacanapun tidak ada.
Di pihak lain, pengertian wacana dapat ditinjau dari sudut sebuah komposisi
atau karangan utuh. Dalam hal ini, landasan yang utama untuk membedabedakan karangan satu dengan yang lainnya, adalah tujuan umum yang ingin
53
dicapai dalam sebuah karangan. Tujuan umum ini merupakan hasil klasifikasi
dari semua tujuan yang ada, yang membawa corak khusus karangankarangan sejenis.
Tujuan umum yang akan dicapai dalam sebuah karangan utuh
dipengaruhi dan ditentukan oleh kebutuhan dasar manusia. Menurut Keraf
(1995) ada empat macam kebutuhan dasar yang dapat dalam karang
mengarang. Kebutuhan dasar tersebut dapat berujud dengan: (a) keinginan
untuk memberi informasi kepada orang lain dan memperoleh informasi dari
orang lain mengenai satu hal. (b) keyakinan untuk meyakinkan seseorang
mengenai suatu kebenaran atau suatu hal, dan lebih jauh mempengaruhi
sikap dan pendapat orang lain. (c) keinginan untuk menggambarkan atau
menceritrakan bagaimana bentuk atau wujud suatu barang atau objek, atau
mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal atau bunyi; (d) keinginan untuk
menceritrakan pada orang lain kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
yang terjadi, baik yang dialami sendiri maupun yang didengarnya dari orang
lain.
Setiap kebutuhan dasar itu akan melandasi corak dasar dari sebuah
karangan, yang secara khusus mewarnai tujuan umum dari suatu karangan.
Berdasarkan
tujuan
umum
inilah
secara
tradisional
dibeda-bedakan
bermacam-macam bentuk karangan atau bentuk retorika. Disamping itu, ada
pula istilah teks, yang maknanya biasa dikacaukan dengan makna wacana.
Tapi teks dapat dipahami sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya katakata yang tercetak di atas kertas, tapi juga semua jenis ekspresi komunikasi,
ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Halliday dan Hasan
54
(1976) memandang bahwa wacana adalah kajian bahasa berada pada
lingkup semantik ketimbang pada lingkup tata bahasa. Sedangkan Hoed
(Sihombing,1994) membedakan pengertian wacana dan teks berdasarkan
konsep Saussure tentang bahasa, yaitu langue dan parole. Menurut Hoed,
wacana adalah susunan abstrak bersifat teoritis di mana maknanya dapat
dianalisis berdasarkan konteks komunikasi. Konteks sendiri adalah unsurunsur bahasa di mana ucapan merujuk kepadanya. Itulah sebabnya wacana
sama dengan langue. Sementara teks merupakan wujud dari wacana, yang
disamakan dengan parole.
Graddol (Eriyanto,2006) menjelaskan bahwa teks dapat dipahami
sebagai artefak komunikasi, dan lebih jauh adalah produk dari teknologi. Teks
media, dengan demikian menunjuk kepada teknologi yang memungkinkan
untuk memproduksinya. Suara, musik dan berbagai hal dapat disebut sebagai
teks. Dalam surat kabar bukan hanya teks tertulis, tetapi juga foto, lay out dan
grafik dapat dimasukkan sebagai teks. Semetara wacara menurut (Chaer,
2007) wacana adalah satuan bahasa yang lengkap yang mengandung
konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh
pembaca atau pendengar tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal
yang tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau
kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan
kewacanaan lainnya. Jadi wacana dapat dinyatakan sebagai unsur batiniah
dari teks, sementara teks adalah unsur lahiriah dari wacana.
Selanjutnya, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan
dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah
55
mengenai aneka fungsi pragmatik bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam
kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubunganhubungan wacana yang bersifat antar kalimat dan supra kalimat, maka kita
sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain (Taringan,1993). Analisis
wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam
komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat,
fungsi ucapan tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan
inheren yang disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang
lebih besar dari kalimat, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah
berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi,
dan fonologi.
5. Teori Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana merupakan istilah umum yang dipergunakan oleh
berbagai disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Analisis ini pertama
kali diperkenalkan oleh Harris (1951) yang membicarakan wacana iklan
dengan menelaah saling hubungan antara kalimat-kalimat yang menyusunnya
dan kaitan antara teks dengan masyarakat dan budaya. Kemudian Asher dan
Simpson, ed. (1999) membagi pendekatan dalam analisis wacana menjadi
tiga, yaitu (1) pendekatan formal (2) pendekatan sosoilogis-empiris, dan (3)
pendekatan kritis. Untuk memperjelas perbedaan pradigma analisis wacana
ini, akan diringkas berdasarkan penjelasan Hikam (Eriyanto,2006) berikut ini :
1. Pandangan positivisme-empiris ; oleh penganut aliran ini bahasa dilihat
sebagai
jembatan
antar
manusia
dengan
objek
diluar
dirinya.
Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara lansung
56
diekspresikan melalui penggunaan bahasa, tanpa ada kendala atau
distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan
yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris.
Salah satu ciri dari pemahaman ini adalah pemisahan antara pemikiran
dengan realitas. Efeknya, orang tidak perlu mengetahui makna-makna
subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Sebab yang penting
adalah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis
atau semantik. Jadi analisis wacana yang dimaksudkan hanyalah untuk
menggambarkan kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan tata aturan
kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.
2. Pandangan konstruktivisme : Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh
pemikiran penomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivismeempirisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta
hubungan-hubungan sosialnya. Bahkan subjek memiliki kemampuan
melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap
wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari
sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai
suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna
tertentu, yaitu : upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang
subjek
yang
mengemukakan
suatu
pernyataan.
Pegungkapan
itu
dilakukan di antaranya dengan menempatkan diri pada posisi si
57
pembicara, dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari
si
pembicara.
3. Pandangan Kritis : Pandangan ini menganggap konstruktivisme kurang
sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara
historis maupun institutional. Konstruktivisme masih belum menganalisis
factor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana,
yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek
tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisa wacana kritis menekankan
pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral
yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang
terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu,
tema-tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya. Karenanya,
analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap
proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenangkan menjadi
wacana, persfektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan
demikian, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan
kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan
representasi yang terdapat dalam masyarakat. Kategori ketiga inilah yang
disebut dengan analisa wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA).
58
Fairclough dan Wodak (1977) menyatakan bahwa analisis wacana
kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial saling bertarung
dan mengajukan versinya masing-masing dengan beberapa gejala-gejala
penting yang harus mendapat perhatian khusus bagi peneliti yang
menerapkan analisis wacana kritis, yaitu :
a. Tindakan: Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dalam hal
ini seseorang yang berbicara atau menulis tidak untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk berinteraksi dengan orang lain. Maka dalam karateristik
ini, pertama : wacana digunakan
membujuk,
menopang,
bereaksi,
untuk memengaruhi, mendebat,
dan
sebaginya.
Kedua;
wacana
digunakan dan diekspresikan secara sadar atau diekspresikan di luar
kesadaran.
b. Konteks: Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,
seperti latar, situasi, peristiwa, kondisi dan sebagainya. Wacana di sini
diproduksi, dimengerti dan dianalisis secara saksama pada konteks
tertentu. Analisis wacana juga memeriksa konteks komunikasi, siapa yang
mengomunikasikan siapa dan mengapa. Dalam jenis khalayak dan situasi
apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan
komunikasi dan hubungan masing-masing pihak. Biasanya konteks yang
berbeda memengaruhi partisipasi komunikan untuk menyesuikan diri
dengan konteks yang ada, tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua
konteks di luar teks memengeruhi wacana, melainkan hanya yang relevan
saja.
59
c. Historis : Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti
wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti
tanpa menyertakan konteks dan situasi yang menyertainya. Oleh karena
itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa
wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa
bahasa dipakai seperti itu, dan seterusnya.
d. Kekuasaan : Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan
(power) dalam analisisnya. Karena itu, setiap wacana yang muncul, dalam
bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu
yang alamiah, wajar, dan netral tapi merupakan bentuk pertarungan
kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara
wacana dan masyarakat. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan
wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Satu
orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana.
Kontrol di sini tidak selalu dalam bentuk fisik dan lansung tetapi juga
kontrol secara mental dan psikis. Bisa pula berupa atas konteks, yang
secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh bicara dan harus
bicara, dan sementara siapa pula yang hanya biasa mendengar dan
mengiyakan.
e. Ideologi : Persoalan ideologi merupakan konsep sentral dalam analisis
wacana yang bersifat kritis. Hal ini disebabkan karena teks, percakapan,
dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi
atau percerminan dari
ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya
mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan,
60
dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.
Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada
khalayak, bahwa dominasi itu diterima secara tidak sadar. Wacana dalam
pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium, melalui mana
kelompok yang dominan mempersuasi dan mengomunikasikan kepada
khalayak, produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga
tampak absah dan benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam
CDA, wacana tidak dikaji hanya sebatas hanya menggambarkan aspek
kebahasaan semata, tetapi juga CDA menghubungkan analisis bahasa
dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan praktik
tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Analisis wacana kritis
melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan
untuk melihat ketimpangan kekuasaan terjadi dalam masyarakat, khususnya
bagaimana media mengemas berita-berita yang disampaikan kepada
khalayak pembaca mengandung berbagai macam kepentingan agar mereka
dapat terpengaruh dan memberikan responsnya.
Dalam penelitian ini akan digabungkan dua jenis model analisis
wacana kritis, yaitu CDA model Fowler dkk dan model Teun A. Van Dijk,
dengan
tujuan
untuk
menonjolkan
analisis
Linguistik
Kritis
tanpa
meninggalkan analisis kognisi dan konteks sosialnya. Di bawah ini akan
dijelaskan kedua model pendekatan itu:
61
a. Model Fowler dkk
Dalam analisis wacana kritis berkembang beberapa model, tapi yang
dipakai dalam penelitian ini adalah model CDA Roger Rowler dkk (1979).
Model ini dikembangan oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia
yang dipelopori oleh Fowler. Pendekatan ini kemudian disebut dengan Critical
Linguistics. Critical Linguistics adalah analisis wacana kritis mendasarkan
dirinya pada teori linguistics, utamanya teori-teori Halliday tentang struktur
dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa inilah yang menjadi alat dari
ideologi media yang dikomunkasikan pada khalayak. Fokus utama critical
linguistics Fowler dkk. adalah melihat bagaimana struktur bahasa (grammar)
dan pilihan kosa kata (diksi) tertentu membawa implikasi pada ideologi
tertentu dari media.
Pokok-pokok pikiran Fowler dkk. tentang ideologi media yang perlu
mendapatkan kajian kritis adalah pada dua tahap, yaitu pertama level kosa
kata (diksi) disebabkan dapat : (1) membuat klasifikasi : yaitu ; menyediakan
arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Realitas tertentu
dikategorisasikan pada klasifikasi tertentu, dan dibedakan dengan realitas
yang lain. Klasifikasi terjadi karena realitas begitu kompleksnya, sehingga
orang kemudian membuat penyederhanaan dan abstraksi terhadap realitas
tersebut yang bukan hanya bisa dikenali, bahkan pada akhirnya juga
berusaha dibedakan dengan yang lainnya. Klasifikasi menyediakan arena
untuk mengontrol informasi dan pengalaman. (2) Membatasi pandangan:
Bahasa pada dasarnya bersifat membatasi, kita diajakan berpikir untuk
memahami seperti itu, bukan yang lain. Kosa kata berpengaruh terhadap
62
bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Dikatakan
demikian karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu peristiwa
secara lansung. Oleh karena itu, ketika membaca suatu kosa kata tertentu
akan dihubungkan dengan realitas tertentu. (3) Pertarungan wacana : Kosa
kata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Dalam suatu
pemberitaan, setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas
suatu masalah. Mereka mempunyai klaim kebenaran, dasar pembenar dan
penjelas mengenai suatu masalah. Mereka bukan hanya mempunyai versi
yang berbeda, tetapi juga berusaha agar versinya yang dianggap paling benar
dan lebih menentukan dalam memengaruhi opini publik. Dalam upaya
memenangkan
penerimaan
publik
tersebut,
masing-masing
pihak
menggunakan kosa kata sendiri dan berusaha memaksakan agar kosa kata
itulah yang lebih diterima oleh publik. (4) Marjinalisasi : Argumen dasar dari
Fowler dkk, adalah pilihan linguistik tertentu ; kata, kalimat, proposisi ;
membawa nilai ideologis tertentu. Kosa kata dipandang bukan sebagai suatu
yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu. Di sini pemakaian
kata, kalimat, susunan dan bentuk kalimat tertentu, proposisi tidak dipandang
semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi ekspresi
dari ideologi ; upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan
membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain. Pemakaian bahasa
dipandang tidak netral karena membawa implikasi ideologis terentu.
Bagian kedua adalah pada level struktur bahasa, yaitu (1) Model
aksional adalah (a) model transitif adalah kalimat yang behubungan dengan
proses, yakni melihat bagaian mana yang dianggap sebagai penyebab suatu
63
tindakan, dan sebagian yang lain sebagai akibat dari suatu tindakan.
Kemudian model (b) intransitif yaitu seorang aktor dihubungkan dengan suatu
proses tetapi tanpa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek
yang dikenai. (2) Model relasional menggambarkan hubungan di antara dua
entitas antara pelaku dengan korban bisa berupa ekuatif, yakni hubungan
antara sama-sama kata benda atau hubungan atributif di mana kata benda
dihubungkan dengan kata sifat untuk menunjukkan suatu kualitas atau
penilaian tertentu. Kedua model di atas disebut Fowler dkk. sebagai model
sintagmatik. (3) Kemudian yang lain yang mendapat perhatian utama analisis
ini adalah efek bentuk kalimat pasif dan nominalisasi yang dapat
menghilangkan pelaku, sehingga pelaku tidak terpojok oleh berita media,
meskipun telah berbuat kesalahan yang patal. Adapun pada kalimat aktif bila
diubah dalam bentuk apapun tidak mengurangi arti yang ditimbulkannya.
b. Model Teun A. Van Dijk
Analisis
wacana
pendekatan
Kognisi
Sosial
(Socio-Cognitive
Approach). Pendekatan ini dikembangkan oleh para pengajar di Universitas
Amsterdam, dengan tokoh utamanya Teun A. van Dijk. Analisis wacana kritis
model van Dijk (1998) bukan hanya semata-mata mengalisis teks, tapi juga
melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang
ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran
yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks yang dianalisis. van Dijk
menggambarkan wacana dalam tiga dimensi atau bangunan yaitu : teks,
kognisi sosial dan konteks sosial. Medel analisis seperti berikut :
64
TEKSTeun van DijkSumber
Gambar 01 Model Analisis
KOGNISI SOSIAL
KONTEKS SOSIAL
KONTEKS SOSIAL
Gambar 01 Model Analisis Teun van DijkSumber Eryanto (2001)
Inti analisisnya adalah dengan menggabungkan ketiga dimensi wacana
tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Pada dimensi teks yang diteliti
bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan
suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks
berita, yang melibatkan kognisi individu dari wartawan atau redaktur.
Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang
dalam masyarakat
akan suatu masalah yang mempengaruhi kognisi
wartawan atau redaktur. Analisis van Dijk di sini menghubungkan analisis
tekstual, yang memusatkan perhatian murni pada teks, ke arah analisis yang
komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya
dengan individu wartawan atau redaktur maupun bagian dari konstituen
masyarakat tertentu.
1) Tahapan Analisis Teks
Berita
dianalisis
dengan
memakai
metode
Critical
Linguistic..
Pendekatan utama pada tahapan ini adalah analisis struktur bahasa, yang
dapat menggambarkan kecenderungan isi suatu teks berita. Elemen wacana
yang akan dianalisis adalah :
65
STRUKTUR WACANA
HAL YANG DIAMATI
ELEMEN
Struktur Makro
Tematik
Topik
Tema/topic yang dikedepankan
dalam suatu berita
Superstruktur
Skematik
Skema
Bagaimana bagian dan urutan
berita dikemas dalam teks
berita utuh
Struktur Mikro
Semantik
Latar, Detail, Maksud,
Makna yang ingin ditekankan
Peranggapan,
dalam teks berita
Struktur Mikro
Sintaksis
Koherensi,Bentuk kalimat,
Bagaimana kalimat (bentuk,
Kata Ganti, Nominalisasi.
susunan) yang dipilih
Struktur Mikro
Stalistik
Leksikon
Bagaimana pilihan kata yang
diapakai dalam teks berita
Struktur Mikro
Retoris
Grafis, Metafora, Ekspresi
Bagaimana dan dengan cara
apa penekanan dilakukan
Gambar 02 Tabel Bidang Analisis Critical Lingustic
(Sumber: Eriyanto, 2002: 74)
2) Tahap Analisis Kognisi Sosial
Pada tahap ini analisis diharapkan dapat mengungkap makna yang
tersembunyi di balik teks. Pendekatan kognitif menurut van Dijk didasarkan
pada asumsi bahwa teks diberikan makna oleh pemakai bahasa. Oleh karena
itu analisis membutuhkan penjelasan yang menjadi representasi kognisi dan
strategi wartawan atau redaktur dalam memproduksi suatu berita.
Bagaimana peristiwa dipahami dan dimengerti didasarakan pada
skema.
van
Dijk
menyebut
skema
ini
sebagai
model.
Skema
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup di dalamnya
bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Skema
menunjukkan bahwa kita menggunakan struktur mental untuk menyeleksi dan
memproses informasi yang datang dari lingkungan. Skema sangat ditentukan
oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai sebuah struktur mental, skema
menolong kita menjelaskan realitas dunia yang kompleks–membantu kita
66
memandu apakah yang harus kita pahami, maknai, dan ingat tentang
sesuatu. Skema menggambarkan bagaimana seseorang menggunakan
informasi yang tersimpan dalam memorinya dan bagaimana itu diintegrasikan
dengan informasi yang baru yang menggambarkan bagaimana peristiwa
dipahami, ditafsirkan, dan dimasukkan sebagai bagian dari pengetahuan kita
tentang suatu realitas.
Analisis kognisi sosial sangat menekankan bagaimana perisitiwa
dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan ditampilkan dalam suatu
model dalam memori yang akhirnya mewarnai sebuah teks berita. Model ini
menggambarkan
bagaimana
tindakan
atau
peristiwa
yang
dominan,
partisipan, waktu, lokasi. keadaan, objek yang relevan atau perangkat
tindakan yang dibentuk dalam struktur berita. Misalnya, sebuah peristiwa
demonstarsi mahasiswa, keadaan apa dari peristiwa itu yang lebih ditonjolkan
; demonstrasinyakah atau pengrusakannya; aktor yang terlibat apakah lebih
menekankan kepada polisi atau mahasiswa yang berdemonstrasi. Demikian
pula pada karateristik waktu, tempat, dan sebagainya. Model atau skema
itulah yang menjadi titik fokus dari analisis kognisi sosial.
3) Tahap Analisis Konteks Sosial
Analisis pada tahapan konteks sosial adalah bagaimana wacana
tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Fokus
utama pada tahap ini adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati
bersama, kekuasaan sosial diperoduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi.
Menurut van Dijk, dalam analisis mengenai masyarakat, ada dua bagian
penting ; kekuasaan (power) dan akses (access). Kekuasaan tersebut,
67
menurut van Dijk, sebagai kepemilikan yang didominasi oleh suatu kelompok,
lembaga, gerakan untuk mengontrol kelompok lain atau masyarakat.
Kekuasan ini umumnya didasarkam pada kepemilikan atas sumber-sumber
yang bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Kekuasaan menurut van
Dijk dapat melakukan kontrol bersipat lansung atau berbentuk persuasif.
Kekuasaan persuasif dilakukan dengan jalan mempengaruhi kondisi mental,
seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan. Secara umum dapat juga kita
menganalisis bagaimana proses kekuasaan itu secara umum dipakai untuk
membentuk kesadaran dan konsensus.
Analisis wacana model van Dijk juga memberi perhatian yang besar
pada akses, bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam
masyarakat. Akses yang lebih besar bukan hanya memberi kesempatan
untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan
topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan pada
khalayak. Begitupala berbeda akses dalam media ini menyebabkan
menyebabkan struktur, kesadaran bahan kecenderungan
yang berbeda
dalam pemberitaan.
Faktor kekuasaan dan akses pada media dapat ditelusuri dengan studi
pustaka tentang doktrin dan paham yang terakumulasi pengaruhnya dalam
sebuah institusi media dan penelusuran sejarah perjalanan ideologi yang
menjadi akses media (Eriyanto,2003). Studi pustaka dan penelusuran sejarah
merupakan pokok analisis konteks sosial dalam CDA model van Dijk. Sasaran
utamanya adalah agar dapat mengenal ideologi yang dominan mempengaruhi
68
sebuah media dalam menyebarkan infomasi dan pengaruhnya kepada
khalayak pembacanya.
c. Model Gabungan Powler dengan van Dijk
Salah satu kekurangan dalam model CDA Fowler dkk adalah tidak
memiliki analisis konteks sosial terhadap teks berita, hanya berfokus pada
analisis linguistik kritis semata. Sementara analisis model van Dijk memecah
bagian struktur kalimat dalam dua bagian yang terpisah yaitu pada bagian
semantik dan sintaksis, kemudian diksi dalam stailistik dan retorik, kedua
bagian ini disederhanakan dalam Fowler dkk dalam dua bagian yaitu analisis
struktur kalimat dan diksi. Sehingga analisis teks model kombinasi ini dapat
mempertahankan
corak analisis linguistik kritis pada teks berita. Dengan
menyatukan kedua model ini, kita akan menemukan sintesa analisis yang
menghadirkan analisis linguistik kritis yang dilengkapi dengan analisis framing
(kognisi sosial) dan konteks sekaligus, seperti berikut ini :
MODEL CDA PERPADUAN POWLER DAN VAN DIJK
LEVEL
ANALISIS
No
STRUKTUR WACANA
BERITA
KONTEKS
ELEMEN
Topik
1
Tematik
Topik yang dikedepankan dalam suatu berita
atau topik utama/ andal yang ditonjolkan atau
diunggulkan oleh keseluruhan teks berita.
2
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita
diskemakan dalam teks berita secara utuh.
3
Diksi
Bagaimana kata dipakai membuat Klasifikasi,
Membatasi pandangan, Pertarungan wacana,
dan Marjinalisasi.
4
Struktur Kalimat
1
Kognisi
2
Sosial
FRAMING
LINGUISTIK
KRITIS
FOKUS ANALISIS
Bagaimana bentuk dan susunan kalimat yang
dipilih.
Bagaimana kognisi wartawan dalam memahami
seseorang atau peristiwa tertentu yang akan
ditulis.
Bagaimanawacana yang berkembang dalam
masyarakat, proses produksi dan reproduksi
seseorang atau peristiwac yang digambarkan.
Tabel 03 Gabungan CDA Fowler dan va Dijk
69
Skema ; headline, lead, latar
informasi,
kutipan
sumber,
pernyataan, penutup. Termasuk
pula ; kerangka /alur/plot
(frame).
Leksikon,
metaphor,
prase,
ungkapan, idiom.
Kalimat; Aksional dan Relational;
koherensi, maksud, latar, detil,
praanggapan, nominalisasi
Mempertimbangkan
Framing
berita dan wawancara.
Studi
pustaka,
sejarah.
penelusuran
Di bawah ini akan dijelaskan model analisis gabungan ini sebagai
berikut, yaitu :
1. Framing
Framing adalah bagaimana peristiwa itu dilihat, lantas ditampilkan,
ditonjolkan oleh media tentang peristiwa, aktor, atau kelompok tertentu,
untuk melihat hal itu van Dijk menempatkan pada posisi analisis tematik
dan skematik berita. Tematik adalah berkenaan dengan topik berita sangat
strategis untuk membantu menemukan penonjolan sebuah peristiwa
dalam sebuah berita dalam media. Kemudian dari skema sebagai langka
teknis untuk mempermudah framing karena dalam skema berita dapat
diketahui bagian-bagian berita yang ditonjolkan oleh media (Syamsuddin,
2008).
2. Linguistik Kritis
Analisis teks berita dengan pendekatan model Fowler memakai analisis
diksi dan struktur kalimat dengan berbagai variasinya. Di sini dapat
mengikhtisar struktur mikro analisis van Dijk dengan dua pendekatan
analisis ini, sehingga pendekatan linguistik lebih dinamis dan global,
karena sangat bergantung pada pengetahuan bahasa peneliti.
3. Konteks
Analisis konteks berasal dari van Dijk, karena Fowler dkk sapma sekali
tidak memiliki pendekatan analisis konteks. Dalam konteks tergabung di
dalammya (a) analisis kognisi sosial wartawan yang dapat dilihat melalui
kesimpulan dari analisis framing, bila tidak memuaskan maka akan
diadakan wawancara terhadap beberapa wartawan dan redaktur media
70
sedang dijadikan obyek penelitian. Kemudian (b) analisis konteks sosial
untuk
mengetahui
bagaimana
wacana
yang
berkembang
dalam
masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa
digambarkan. Ini dapat dilakukan dengan bacaan atau studi pustaka dan
penelusuran sejarah yang berkenaan dengan topik yang mendominasi
berita media yang bersangkutan.
Karena itu, analisis wacana kritis gabungan ini akan diterapkan dalam
penelitian ini sebagai model alternatif dalam menemukan analisis wacana
kritis yang mempertahankan dan menonjolkan pendekatan linguistik kritis
dalam menganalisis teks berita media.
B. Tinjauan Hasil Penelitian
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan analisis
wacana kritis, terutama yang dilakuan oleh Ibnu Hamad (2004) terkait dengan
realitas partai politik dalam media massa, dengan analisis berita 10 harian
surat kabar ternama di seluruh Indonesia dengan menggunakan teknik
analisis kritis teks eklektif, yaitu memadukan beberapa terori wacana kritis
dengan model utama CDA Fairclough. Kemudian penelitian dengan
pendekatan analisis framing yang dilakukan oleh Elvis Nurdin (2003) khusus
membeberkan citra AS dan sekutunya karena rencana mereka menyerang
Irak (2002) dalam 271 unit berita harian Fajar dengan pendekatan analsis
framing model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki yang merupakan
formulasi dari model CDA Teun A. van Dijk. Kemudian penelitian Ambo Enre
(2003) menggunakan analisis wacana kritis model van Dijk terhadap teks
71
sufistik Jalalauddin Rahmat dalam bukunya Membuka Tirai Kegaiban :
Renungan-Renungan Sufistik.
Dari kajian-kajian di atas terlihat bahwa sejauh ini kajian tentang CDA
telah dilakukan oleh pada peneliti khususnya dalam kajian ilmu komunikasi,
tetapi dalam kajian Linguistik tentang bahasa advokasi media Islam di
Indonesia dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis gabungan
model Fowler dan van Dijk adalah merupakan kajian baru seperti yang dipilih
dalam penulisan disertasi ini.
C. Kerangka Pikir
Kajian bahasa advokasi termasuk bidang kajian Sosiolinguistik yaitu
kajian interdisipliner ilmu bahasa dengan ilmu sosial-masyarakat, yang
berfokus pada fungsi direktif atau regulatory bahasa dalam kehidupan
manusia. Berdasarkan teori fungsi sosial bahasa Halliday, maka kajian berita
media berada pada medan (field) register jurnalistik (media masa). dengan
suasana (mood) formal, melalui jalur (tenor) komunikasi tertulis (teks berita).
Bahasa advokasi adalah fungsi bahasa regulatory (ditrektif) dan interaksional
karena bahasa digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok
tertentu, yaitu Islam dan umatnya yang tertindas cara mengungkap berbagai
ketidakadilan baik dalam dalam pemberitaan media untuk mempengaruhi
kebijakan, dan agar khalayak tersadar terhadap adanya ketimpangan,
penderitaan yang sedang terjadi di sekitar mereka.
Pada kajian ini pendekatan yang digunakan adalah paradigma teori
kritis dalam interpretasi teks berita. teori ini mempertanyakan dan bahkan
72
meragukan netralitas berita media. Media dianggap memiliki ideologi yang
terselubung yang dibangun oleh kelompok dominan (kaum kapitalis) dengan
tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Wacana
dipandang sebagai medium, di mana kelompok yang dominan mempersuasi
khalayak, untuk menguatkan kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki.
Salah satu pendekatan analisis yang dilakukan dalam pendekatan ini, untuk
membongkar praktek-praktek ideologi media adalah analisis wacana kritis.
Oleh sebab itu, pada kajian ini metode analisis yang digunakan adalah
analisis wacana kritis pada tiga media Islam, yaitu majalah Sabili,
Hidayatullah, dan Media Ummat, dengan menggabungkan antara criticial
linguistic model Fowler dkk dengan analisis konteks model van Dijk. Adanya
gabungan ke dua model CDA ini, maka interpretasi kritis dapat dilakukan
dalam dua level, yaitu level teks dengan (1) diksi dan (2) struktur kalimat,
kemudian pada level konteks, (1) konteks kognisi sosial dengan analisis
framing di dalamnya meliputi tematik dan skematik, yang dapat membongkar
kecenderungan wartawan atau redaktur dalam mengemas berita (2) konteks
sosial, melalui penelusuran sejarah yang melatar belakangi akumulasi pesan
dalam teks berita media Islam.
Melalui model analisis ini diharapkan dapat menjawab hipotesis
tentang adanya kesamaan ideologi ketiga media Islam dengan model berita
advokasi yang berbeda atau sebaliknya adanya kesamaan model berita
advokasi ketiga media Islam dengan ideologi yang berbeda. Bila ini terjadi
maka asumsi berikutnya yang muncul adalah adanya realitas ideologi lain
73
dalam ideologi media Islam. Adanya asumsi atas realitas idiologi inilah yang
dicoba dikaji dalam penelitian ini.
Kemudian untuk memperjelas hubungan tersebut dapat dilihat dalam
bagan kerangka fikir berikut ini :
Teori Kritis
BAHASA
ADVOKASI
Fungsi Bahasa
(Sosiolinguistik)
Wacana Berita
Majalah Sabili
Majalah
Hidayatullah
Analisis Wacana
Kritis
Teks ;
Konteks ;
Diksi dan
Struktur
Kalimat
Kognisi
(Framing),
Sosial
Ideologi dalam
Keragaman
Bahasa Advokasi
Tabel Kerangka Fikir 04
74
Media Umat
D. Definisi Operasional
1.
Bahasa advokasi atau teks berita advokasi
atau wacana berita
advokasi adalah berita media Islam yang bersifat membela Islam dan
umatnya dari berbagai tindakan dan perlakuan kezaliman, penyiksaan
dan berita-berita yang menyudutkan.
2. Struktur wacana adalah wujud teks berita yang akan dianalisis dalam
penelitian ini, yang terdiri dari struktur makro, yaitu tematik, skematik
dan struktur mikro, yang terdiri dari diksi dan strutur kalimat.
3. Framing adalah penonjolan-penonjolan (pembingkaian) pada aspekaspek tertentu dari berita media yang dapat ditelusuri melalui analisis
tematik dan skematik teks berita tersebut.
4. Kognisi sosial adalah alur fikiran wartawan dan redaktur media yang
tercermin dalam teks berita media yang dapat ditelusuri melalui analisis
tematik atau skematik, bila belum memuaskan, terdapat keraguaraguan peneliti maka perlu diadakan wawancara kepada yang
bersangkutan, untuk melengkapi data yang ada.
5. Konteks sosial adalah mencari keterangan latar belakang dari
akumulasi berita yang sama sasarannya dengan ideologi yang dianut
oleh lingkaran institusi media yang memproduksi berita melalui
referensi
atau
pengetahuan
mempengaruhi mereka.
75
dan
sejarah
masa
lalu
yang
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan
pendekatan teori kritis dengan menggunakan metode analisis wacana kritis
dengan critical linguistics Roger Fowler dkk dipadukan dengan CDA van Dijk.
Bogdan dan Tylor (dalam Moleong,2002) mendefinisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data
deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan
bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipankutipan data untuk memberi gambaran laporan penyajian. Oleh karena
sipatnya berhubungan dengan
kata-kata dan perilaku orang, maka
pendeskripsian menjadi sangat penting untuk memperoleh gambaran dan
pemahaman yang lebih jelas atas masalah yang dibahas. Proses interpretasi
dilakukan, yaitu menafsirkan data guna mengungkapkan makna-maknanya
sebagai bagian dari analisis.
Proses penafsiran bersifat esensial dan sangat menentukan, yang
memberikan pengaruh pada pemahaman atau understanding. Gibbons
(dalam Ibrahim, 2005) mengemukakan, dengan interpretasi diharapkan dapat
melampaui data yang diperoleh dari penelitian empirik. Sebab data itu sendiri
seringkali merupakan makna dan praktek objek berita bahasa. Tetapi hal itu
seringkali menjadi permulaan yang samar dan terartikulasi secara tidak
76
sempurna. Karena itu, untuk menampakkan makna yang sebenarnya, maka
kita membutuhkan interpretasi terhadap data, khususnya yang berhubungan
dengan analisis berita-berita media.
Dalam menganalisis berita-berita media, dibutuhkan teknik analisis
yang dapat dipakai untuk menginterpretasi berita-berita secara kritis dan
holistik. Analisis wacana kritis adalah analisis teks media yang menekankan
pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bias
menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat
berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri
si pembicara.
Bahasa dalam pandangan CDA dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,
maupun strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana dipakai untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan
apa yang diperkenangkan menjadi wacana, persfektif yang mesti dipakai,
topik apa yang dibicarakan. Dengan demikian, analisis wacana kritis melihat
bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam
pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat
dalam masyarakat.
77
B. Data dan Sumber Data
1. Data Penelitian adalah teks-teks berita advokasi majalah Suara
Hidayatullah, Sabili dan tabloid Media Umat.
2. Sumber Data
a. Majalah Suara Hidayatullah yang diterbitkan pada bulan Nopember
2001 sampai dengan bulan Desember 2011.
b. Majalah Sabili bulan Nopember 2001 sampai dengan Desember 2011.
c. Tabloid Medi Umat Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2011.
C Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan
kebutuhan kajian dan analisis. Untuk
memperoleh data yang dibutuhkan
dalam penelitian akan digunakan teknik sebagai berikut :
a. Penelusuran pustaka dengan mempelajari dan mengkaji literatur yang
berhubungan dengan permasalahan, untuk mendukung asumsi landasan
terori yang akan dibahas.
b. Pendokumentasian teks berita-berita advokasi dari majalah Suara
Hidayatullah, Sabili dan tabloid Media Umat tentang berita-berita seputar
kebijakan AS terhadap negeri-negeri muslim seperti berita perang
Afganistan. Irak, Gaza-Palestina, Mesir, Iran. Setiap media dari tiga media
yang diteliti akan diseleksi masing-masing 6 teks berita. Jumlah
keseluruhan adalah 18 teks berita. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan
oleh Stempel (1952) bahwa 6 teks sebagai sample sudah dapat mewakili
78
dan memiliki hasil yang dapat dipercaya jika teks berita yang diambil pada
teks media yang sama (Krippendof, 1980).
c. Sesudah teks dianalisis dengan CDA Powler dkk. maka dilanjutkan
dengan analisis komparatif, yaitu perbandingan bahasa advokasi yang
dimiliki oleh ketiga media Islam tersebut.
D Teknik Analisis Data
Berdasarkan penyeleksian data teks berita dari 50 edisi Majalah Sabili,
20 edisi Majalah Hidayatullah dan
30 terbitan tabloid Media Umat maka
dipilih masing-masing 6 judul menjadi sebanyak 18 judul berita untuk dinalisis
pada peneltiian ini, dengan tahapan yang dikemukakan dibawah ini :
TEKS BERITA MEDIA ISLAM
NAMA MEDIA
MAJALAH SABILI
NO
1
JUDUL BERITA/ OPINI
Sabili No. 11/THN. X/ 12 Desember 2002
2
NO EDISI /TGL TERBIT
Derita
Gunatanamo,
Dusta
Amerika
Agenda AS-Zionis Pasca Irak No
Sabili No. 21/THN. X / 8 Mei
2003
16-19
3
4
Israel, Bermain Kayu Tertimpa Besi
Prustrasinya AS Menghadapi Taliban
Sabili No. 18/ THN. X/ 27 Maret
Sabili No. 23 /THN. XVI/ 4 Juni
2003
2009
38-42
106-108
5
Ada Banyak Usamah di Ladang
jihad
Timur Tengah Baru ; Upaya AS
Pertahankan Hegemoni
Sabili No. 20 /THN. XVIII/ 16 Juni
2011
Sabili No. 26/ THN. XVIII/29 Sepetember
2011
6
1
MAJALAH
HIDAYATULLAH
2
3
4
5
6
1
2
3
MEDIA UMAT
4
5
6
Ummat Islam Pascatragedi WTC
Suara Hidayatulah 06/XIV/Oktober 2001
Dari Pembakaran Mesjid Hingga
Pembunuhan
Apa Lagi Sesudah Saddam ?
Suara Hidayatullah 10/XV/Pebruari 2003
Tembok Anti-Teror, Penyebab Teror
Suara Hidayatullah, September 2004
Demokrasi ’Menyandera’ Amerika di Suara Hidayatullah, April 2011
Timteng
Antara teroris dan Pejuang
Suara Hidayatullah, Juni 2011
Sakratul Maut Sang Penjagal
Suara Hidayatulah, Nopember 2011
Dangelan Pemilu Afghanistan
Media Umat Edisi 20, 4-17 Sepetember 2009
Kebohongan Penarikan Pasukan AS Media Umat 43, 3-16 Sepetember 2010
di Irak
Sang Gila Perang dan Penghisap Media Umat 30, 18 Perbruari-4 Maret 2010
Darah
Pertarungan AS-Eropa dalam Krisis Media Umat 16, 10-23 Juli 2009
Iran
Krisis Mesir dan Sikap hipokrit Media Umat 4-17 Pebruari 2011
Amerika
Pembunuhan Usama Bin Laden; Media Umat, 20 Mei-2 Juni 2011
Sukses atau Tipu Daya
Tabel 5 Data Teks Berita
79
HALAMAN
55-57
36-45
36-43
78-79
79-80
90-92
28-29
28-29
83-88
28
28
7
28
28
4
Kemudian pada intinya teks di atas akan dianalisis ke dalam dua level,
yaitu pada (1) level teks yang meliputi disebut analisis bagian mikro yaitu (a)
diksi dan (b) struktur kalimat, dan pada (2) level konteks, yaitu (a) framing
atau konteks bahasa sebagai analisis bagian makro, yang terdiri dari bagian
(i) tematik dan (ii) skematik teks berita (b) kognisis sosial wartawan (c)
konteks sosial, seperti pada tabel berikut ini :
LEVEL ANALISIS
TEKS
KONTEKS
Mikro
Diksi
Makro
Struktur Kalimat
Skematik
Tematik
(Framing)
Kognisi
Sosial
Tabel 6 Level Analisis Teks Berita
Berikutnya tahapan analisis teks tersebut akan dilakukan ke dalam tiga
urutan di bawah ini :
1. Analisis Framing
Pada bagian analisis ini berusaha untuk melihat struktur makro, yaitu (a)
Tematik atau tema dari teks berita sebagai makna globa(global meaning) ;
konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Dengan
memperhatikan topik suatu berita, maka kita akan dapat menggambarkan
gagasan apa yang dikedepankan oleh wartawan atau redaktur, ketika
melihat atau memandang suatu peristiwa. Sebab suatu peristiwa dapat
saja dipahami oleh wartawan dan redaktur dengan cara berbeda, dan ini
dapat diamati dari topik suatu pemberitaan. (b) Skematik : Alur atau
skematik menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan
diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan arti. Maka yang akan
80
dianalisis adalah (1) summary yang ditandai dengan judul dan lead.
Kemudian (2) adalah story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita
mempunyai dua sub kategori yaitu (a) situasi yaitu proses atau jalannya
peristiwa, dan kemudian (b) komentar yang ditampilkan dalam teks.
Situasi berita juga dalam dua subkategori, yaitu (a) kisah utama dari
peristiwa dan (b) latar yang mendukung episode yang disajikan kepada
khalayak. Kemudian komentar terbagi pula dua subkategori, yaitu (a)
komentar dari tokoh yang dikutip oleh wartawan. Kemudian (b) kesimpulan
yang dilakukan oleh wartawan dari komentar berbagai tokoh.
2. Analisis Teks
Pendekatan utama pada tahapan ini adalah analisis diksi dan struktur
kalimat dapat menggambarkan kecenderungan isi suatu teks berita. Pada
bagian (1) diksi harapkan dapat menemukan kata-kata, ungkapan, atau
prase yang menunjukkan pada alternatif berikut ini : (a) klasifikasi
informasi dan pengalaman, atau (b) membatasi pandangan atau adanya
unsur-unsur yang mengarah kepada (c) pertarungan wacana atas klaim
kebenaran, atau adanya efek (d) marjinalisasi atau pengucilan pihak
tertentu dalam teks berita. Kemudian pada (b) struktur kalimat diharapkan
menemukan bagian-bagian kalimat, yaitu subjek, objek, penggunaan kata
kerja tertentu atau bentuk kalimat tertentu untuk menggambarkan
hubungan objek dengan peristiwa, yaitu (a) model aksional dengan (i)
kalimat transitif, subjek sebagai penyebab suatu tindakan, atau (ii) kalimat
intransitif, subjek sebagai pelaku tindakan yang disamarkan, bisa pula
dalam (b) model relasional, yaitu hubungan dua entitas, yang berupa
81
ekuatif
atau atributif, kedua model ini disebut pula model sintagmatik.
Bentuk struktur lainnya yang dapat juga dilacak adalah (c) efek bentuk
kalimat pasif dan nominalisasi dalam teks berita.
3. Analisis Konteks ; analisis ini terdapat 2 tahapan :
(a) Kognisi sosial, pada tahapan ini diharapkan dapat mengungkap makna
yang tersembunyi di balik teks. Pendekatan kognitif yang didasarkan pada
asumsi bahwa teks diberikan makna oleh pemakai bahasa. OLeh karena
itu analisis membutuhkan penjelasan yang menjadi representasi kognisi
dan strategi wartawan atau redaktur dalam memproduksi suatu berita.
Bagaimana peristiwa dipahami dan dimengerti didasarakan pada skema,
disebutkan
bahwa
skema
ini
adalah
sebagai
model.
Skema
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup di
dalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial, dan
peristiwa. Skema menunjukkan bahwa kita menggunakan struktur mental
untuk menyeleksi dan memproses informasi yang datang dari lingkungan.
Skema sangat ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai
sebuah struktur mental, skema menolong kita menjelaskan realitas dunia
yang kompleks – membantu kita memandu apakah yang harus kita
pahami, maknai, dan ingat tentang sesuatu. Skema menggambarkan
bagaimana seseorang menggunakan informasi yang tersimpan dalam
memorinya dan bagaimana itu diintegrasikan dengan informasi yang baru
yang menggambarkan bagaimana peristiwa dipahami, ditafsirkan, dan
dimasukkan sebagai bagian dari pengetahuan kita tentang suatu realitas.
82
Analisis
kognisi
sosial
sangat
menekankan
bagaimana
perisitiwa
dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan ditampilkan dalam suatu
model dalam memori yang akhirnya mewarnai sebuah teks berita. Model
ini menggambarkan bagaimana tindakan atau peristiwa yang dominan,
partisipan, waktu, lokasi. keadaan, objek yang relevan atau perangkat
tindakan yang dibentuk dalam struktur berita. Misalnya, sebuah peristiwa
demonstarsi mahasiswa, keadaan apa dari peristiwa itu yang lebih
ditonjolkan ; demonstrasinyakah atau pengrusakannya; aktor yang terlibat
apakah
lebih
menekankan
kepada
polisi
atau
mahasiswa
yang
berdemonstrasi. Demikian pula pada karateristik waktu, tempat, dan
sebagainya. Model atau skema itulah yang menjadi titik fokus dari analisis
kognisi sosial. Jadi mengetahui kognisi sosial wartawan amat bergantung
pada analisis framing yang dilakukan dalam teks berita.
(b) Konteks sosial, analisis pada tahap ini menjelaskan bagaimana wacana
tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Fokus
utama pada tahap ini adalah untuk menunjukkan bagaimana makna
dihayati bersama, kekuasaan sosial diperoduksi lewat praktik diskursus
dan legitimasi. Dalam analsis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang
penting ; kekuasaan (power) dan akses (acces). Kekuasaan yang
dimaksud adalah kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok, lembaga,
gerakan untuk mengontrol kelompok lain atau masyarakat. Kekuasan ini
umumnya didasarkam pada kepemilikan atas sumber-sumber yang
bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Kekuasaan dapat
melakukan kontrol bersipat lansung atau berbentuk persuasif. Kekuasaan
83
persuasif dilakuakn dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti
kepercayaan, sikap dan pengetahuan. Secara umum dapat juga kita
menganalisis bagaimana proses
kekuasaan itu secara umum dipakai
untuk membentuk kesadaran dan konsensus. Analisis pada tahapan ini
juga memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di
antara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Akses yang lebih
besar bukan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran
khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana
apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan pada khalayak. Begitupala
berbeda akses dalam media ini menyebabkan menyebabkan struktur,
kesadaran bahan kecenderungan
yang berbeda dalam pemberitaan.
Oleh sebab itu, studi pustaka dan penelusuran sejarah merupakan pokok
analisis konteks sosial ini.
Sasaran utamanya adalah agar dapat
mengenal ideologi yang dominan mempengaruhi sebuah media dalam
menyebarkan infomasi dan pengaruhnya kepada khalayak pembacanya.
84
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A.S. 1990. Manusia dan Informasi. Makassar : Hasanuddin
University Press.
Ahmad, Zinal Abidin, 1973. Piagam Nabi Muhammad s.a.w : Konstitusi
Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Jakarta : Bulan
Bintang.
Alwasilah, Chaedar, 1985a. Linguistik Suatu Pengantar, Bandung :
Angkasa.
Alwasilah, Chaedar, 1985b. Sosiologi Bahasa, Bandung : Angkasa.
Alwasilah, Chaedar, 1985c. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori
Linguistik. Bandung : Angkasa.
Alwasilah, Chaedar, 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Amal, Muhammad Huldi, 2004. Jejak Yang Melampaui Zaman Dalam
Majalah Tempo Edisi 100 Bung Hatta; Suatu Analisis Wacana
Semiotik, Skripsi Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin ; Makassar.
Amir, Mafri. 1999. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam.
Ciputat: P.T. Logos Wacana Ilmu.
Aritonang, Jan S. 1995. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja,
Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.
Asyur, Said Abdul Fattah, 1993. Kronologi Perang Salib. Jakarta : Fikahati
Aneka.
Azis, Jum’ah Amin Abdul, 2000. Fiqih Dakwah : Studi Atas Berbagai
Prinsip dan Kaidah yang Harus Dijadikan Acuan dalam
Dakwah Islamiyah, Solo ; Era Intermedia.
Badudu, R. Syahid & Lussa, B. Menggang. 1983. Himpunan Bahan
Pelajaran Bahasa Indonsia II, Makassar : Lintas Fakultas
Unhas.
Barthes, Roland, 2007. L’aventure Semiologique, Terjemahan oleh
Stepanus Aswar Herwinako, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Baqy, Muhammad Fu’ad Al, 1939. Al-Mu’jam Al-Mufahharas Lil Al-Fadzil
Qur’an, Mesir : Darul Qutub.
85
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group
Bloomfield, Leonard, 1939, Linguistic Aspect of Science, International
Encyclopedia of Unified Science, The University of Chicago.
Bloomfield, Leonard, 1984. Language. Chicago ; University of Chicago
Bittner, J.R. 1980. Mass Communication : An Interduction, Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Briggs, Asa et al. 2006. Sejarah Sosial Media : Daru Gutenberg Sampai
Internet, Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia.
Cangara, Hafied. 1998. Lintasan Sejarah Komunikasi, Surabaya ; Usaha
Nasional.
Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Chaer, Abdul, 2007. Linguistik Umum, Jakarta ; Rineka Cipta
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonia, 2010. Sosiolinguistik ; Perkenalan
Awal, Jakarta ; Rineka Cipta.
Chalil, Munawar. 1966. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Vol
IIIb. Jakarta : Penerbit Bulan Bintang
Cobley, Paul. 2001. Semiotics and Linguistics, London : Routledge
Chomsky, Noam. 1975. Reflection on Language, USA ; Fontana-Collins.
Chomsky, Noam. 1991. Menguak Tabir Terorisme Internasional, Bandung
: Penerbit Mizan.
Chomsky, Noam. 2008. Neo-Imperialisme Amerika Serikat, Yogyakarta :
Resist Book
Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford : Oxford University Press
Crystal, David, 1993. A Dictionary of Linguistics and Phonetics,
Massachussetts-USA ; Blackwell Reference
Darmojuwono, Setiawati, 2011. Peran Unsur Etnopragmatis dalam
Komunikasi
Masyarakat
Multikultural.
Jurnal
Ilmiyah
masyarakat Linguistik Indonesia. 1 : 19-34
86
Darwis, Muhammad, 1998. Penyimpangan Gramatikal Dalam Puisi
Indonesia, Ujung Pandang; Program Pascasarjana Unhas.
Effendi, Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media,
Yogyakarta : LKIS Yogyakarta.
Fairclough, N. and Ruth Wodak. 1997. “Critical Discourse Analysis : Am
Overview.” Dalam Teun van Dijk (ed) Discourse and
Interaction. London : Sage Publications, 67-97.
Fowler, Roger, et al. 1979. Language and Ideology, London ; Rotledge
Fowler, Roger. 1996. “On Critical Linguistics” Dalam Carmen Rosa CaldasCoulthard dan Malcolm Coulthard (ed.) Text and Practices :
Reading in Critical Discourse Analysis. London and New York ;
Rotledge.
Habermas, Jurgen. 1984. Theory of Communicative Action, volume I
“Reason and The Rationalism of Society.” Boston ; Beacon
Press.
Haekal, Muhammad Husain. 1990. Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta :
P.T.Intermasa.
Hall, Stuart. 1982. “The Rediscovery of Ideology ; Return of the Repressed
in Media Studies”. Dalam Michael Gurevitch, Bennet, James
Curran, dan James Wollcott (ed.), Culture, Socierty and the
Media. London ; Methuen.
Halliday, M.A.K., & Ruqaiyah Hasan. 1976. Cohesion in English, London,
New York; Longman.
Halliday, M.A.K. 1978. Language As Sosial Semiotic, Great Britain ;
Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. and Hasan, Ruqaiya. 1985. Language, Context, and Text :
Aspek of Language in a Social-Semiotic Perspective, Victoria
3217 ; Deaking University
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa,
Jakarta ; Granit.
87
Hamka, Rusydi et al. 1989. Islam dan Era Informasi. Jakarta : Pustaka
Panjimas.
Haris,
Zelling S., 1951. Structural Linguistics, Phoenix Books, The
University of Chicago.
Hassan, Fuad, 1973. Apologia ; Pidato Pembelaan Sokrates yang
Diabadikan Plato, Jakarata ; Bulan Bintang.
Hassan,
Hassan Ibrahim. 1989. Sejarah dan
Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang.
Kebudayaan
Islam,
Hatta, Mohammad, 1980. Alam Pikiran Yunani, Jakarta ; Tintamas.
Hillenbrand, Carole, 2006. Perang Salib, Jakarta : P.T. Serambi Ilmu
Semesta
Hoed, Benny H. 1994. “Wacana, Teks, dan Kalimat.” Dalam Liberty P.
Sihombing et. Al. (eds.) Bahasawan Cendikia. Jakarta. FSUI
dan Intermasa.
Hoffman, Murad Wilfred, 1997. Trend Islam 2000. Jakarta : Gema Insani
Press.
Huntington, Samuel, 2005. The Clash of Sivilization and the Remaking of
World Order, Terjemahan oleh M. Sadat Ismail, Yogyakarta ;
Penerbit Qalam.
Husaini, Adian, 2001. Jihad Osama Vesus Amerika, Jakarta ; Gema Insani
Press.
Hwia, Ganjar, 2010. Kendali Interaksional Sebagai Cerminan Ideologi :
Analisis Wacana Kritis Trilogi Drama Opera Kecoa. Jurnal
Ilmiyah Masyarakat Linguistik Indonesia. 1 : 12-22
Ibrahim, Anwar, 2005. Strategi Legitimasi Dalam Budaya Politik Bugis Di
Tanah Bone. Makassar ; Tesis Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Jakobson, Roman. 1960. Linguistics and Poetics. Dalam Sebeok, Thomas
A., Style in Language. Cambridge ; Mass. MIT Press.
Jorgensen, Marianne W., 2007. Analisis Wacana Kritis : Teori dan Metode,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kalijernih, Freddy K, 2011. Some Notes on the Relationship between
Language Use and Moral Character : A Case of Linguistic
88
Corruption in Indonesia. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik
Indonesia. 2:168-178.
Kasman, Sup. 2004. Jurnalisme Universal. Jakarta Selatan : Teraju.
Kattsoff, Louis O., 1996. Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara wacana.
Kencana, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum, Jakarta : Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi. Jakarta ; Grasindo.
Khan, Ayub, 2007. Kritik Pers Islam Di Indonesia Atas Perlakuan Amerika
Serikat Terhadap Negeri-Negeri Muslim Pascatragedi WTC 11
September 2011; Analisis Wacana Kritis Teun A van Dijk
Makassar ; Program Pascasarjana Unhas.
Khan, Majid Ali. 1985. Muhammad Saw : Rasul Terakhir. Bandung :
Pustaka.
Kovach, Bill, dan Tom Rosenstiel, 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme,
Jakarta : Institut Studi Arus Informasi.
Kridalaksana, Harimurti, 1980. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa, EndeFlores : Nusa Indah.
Krippendorff, Klaus. 1980. Content Analysis, An Introduction to Its
Metodology, London : Sage Publication.
Kusartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa ; Langkah Awal Memahami
Linguistik, Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama.
Kusumaningrat, Hikmat, et al. 2006. Jurnalistik : Teori dan Praktek.
Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. USA,
Wadsworth Publishing Company.
Lorimer, Rowland. 1994. Mass Communication : A Comparative
Introduction, Manchester: Manchester University Press.
MacQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar,
Jakarta ; Erlangga.
Marcuse, Herbert, 1998. “Some Social Implication of Medern Tecnology”
dalam Andrew Arato dan Eike Gebhard (ed), The Essensial
Fraankfurt School Reader, Continun, New York.
89
Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial ; Suara Perlawanan
Radion Komunitas, Bandung ; Rosyda Karya.
Masyhuri, et al. 2008. Metodologi Penelitian : Pendekatan Praktis dan
Aplikatif, Bandung : Refika Aditama.
Mas’oed, Mohtar. 1997. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,
Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Maulani, ZA. et al, 2002. Terorisme Dan Konspirasi Anti-Islam. Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung :
PT.Remaja Rosdakarya.
Muhammad, Harry. 1992. Jurnalisme Islami :Tanggung Jawab Moral
Wartawan Muslim; Surabaya, Pustaka Progressif
Muis, H.A. 1999. Jurnalistik Hukum Dan Komunikasi Massa : Menjangkau
Era Cybercommunication Millenium Ketiga, Jakarta ; Dharu
Anuttama.
Muis, Ichwan, 2000. Pengertian dan Tujuan Advokasi Sosial, dalam file :
///E:/Pengertian%20danTujuan%20Advokasi%20_%20Ichwan
%20Muis.htm akses 23 Juni 2011.
Nababan, P.W.J. 1985. Sosiolinguistik ; Suatu Pengantar, Jakarta;
Gramedia.
Newman, W. Lawrence. 1997. Social Research Method ; Qualitative and
Quantitative Approaches. Boston. Allyn and Bacon
Nur, Sitti. 1997. Pemanfaatan Pers Islam Sebagai Media Dakwah Bagi
Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Tesis., Makassar; Unhas.
Osman, A. Latief. 1951. Ringkasan Sejarah Islam Vol I, Jakarta : Penerbit
Wijaya.
Osman, A. Latief. 1976. Ringkasan Sejarah Islam Vol II, Jakarta : Penerbit
Wijaya.
Parera, J.D., 2004. Teori Semantik. Jakarta; Penerbit Erlangga.
Parera, Frans M. et al. 1989. Perspektif Pers Indonesia, Jakarta : LP3S.
90
Pateda, Mansoer, 2001, Semantik Leksikal, Jakarta ; Penerbit Rineka
Cipta.
Petras, Frans M. et all. 1989. Imperialisme Abad 21, Yogyakarta : Kreasi
Wacana.
Popkewitz, Thomas S. 1990 “Whose Future ? Whose Past? : Notes on
Critical Theeory and Methodology”. Dalam Egon G. Guba (ed.)
The Paradigm Dialog, Newbury Park ; Sage Publication.
Program Pengembangan Kecamatan, 2004. Penerapan Advokasi dalam
Pemantauan Proses hukum, P.O. BOX 612 JKP ///E:/Apa-ituAdvokasi.htm. Akses 23 Juni 2011
Rahmat, Jalaluddin, 1986. Psikologi Komunikasi, Bandung : CV. Remaja
Karya
Rani, Abdul. et all. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa Dalam
Pemakaian. Malang; Bayumedia Publishing.
Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
River, William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta
Timur ; Prenada Media.
Salam, Muslim. 2011. Dialog Paradigma Metodologi Penelitian Sosial,
Makasar; Masagena Press.
Salim, Agus, 2006, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yoguakarta ;
Tiara Wacana
Saussure, Perdinand de, 1988. Pengantar Linguistik Umum, Yogyakarta;
Gajah Mada University Press.
Scriffrin, Deborah, 1994, Approaches to Discourse, Massachusetts USA;
Blackwell Publisher
Senjaya, S. Djuarsa. 1993. Pengantar Komunikasi. Jakarta. Universitas
Terbuka.
Shabuny, Muhammad Ali Ash, 1996. Shafwatut Tafaasir Vol I-III, Bairut :
Darul Fikr.
Silalahi, Gabriel Amin, 2003, Metodologi Penelitian dan Studi Kasus,
Sidoarjo ; CV. Citramedia.
91
Soehoet, Hoeta, 2002. Seleksi, Penyuntingan dan Penataan Isi Surat
Kabar Dan Majalah, Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta
IISIP..
Soehoet, Hoeta, 2002. Seleksi, Penyuntingan Dan Penataan Isi Surat
Kabar Dan Majalah, Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta-IISIP.
Soenarjo, R.H.A. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta ; Yayasan
Penyelenggara Penterjemahan dan Pentafsiran Al-Qur’an
Depag R.I.
Subagyo, P. Ari. 2010. Pragmatik Kritis : Paduan Pragmatik Dengan
Analisis Wacana Kritis. Jurnal Ilmiyah Masyarakat Linguistik
Indonesia. 2 : 178-187.
Suharto, Edi. 2007. Pekerja Sosial Di Dunia Industri, Bandung ; Refika
Aditama.
Sullivan, Tim, et. Al. 1994. Key Concept in Communication and Cultural
Studies, Second Edition, London : Rotledge.
Stempel, G.H., 1952. “ Sample Size for Classifying Subject Matter in
Dailies : Reseach in Brief “ Journal of Social Psichology 37:
333-334
Sturrock, John. 2003. Structuralism, London; Blackwell Publishing
Syamsudin, Munawar, 2008. Makiwa : Metode Analisis Kritis Komunikasi
Interpretasi Wacana, Surakarta ; Sebelas Maret University
Press
Taringan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa.
Titscher, Stefan, et all, 2009. Metode Analisis Teks & Wacana,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Tredennick, Hugh, 1961, Plato : The Last Day of Socrates, Great Britain ;
Penguin Books Ltd.
Ulmann, Stehpen, 2009. Pengantar Semantik, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar
van Dijk, Teun A. 1998. Ideology : A Multidisciplinary Study. London ;
Sage Publication
Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
92
Wayili, Abu Abdillah bin Ibrahim Alu Balithi, 1999. Hak dan Kewajiban
Rakyat tehadap Penguasa Menurut Syariat, Surakarta:
Yayasan Al-Madinah.
Webster’s New Twentieth Century Dictionary. 1983. Second Edition. USA :
The World Publishing Company.
Wolfensberger, Wolf. 1994. Apa itu Advokasi, ///E:/Apa-itu-Advokasi.htm
akses 23 Juni 2011
Yassi, Abdul Hakim, 2011. Transformasi Paradigma Analisis Teks Ke
Arah Analisis yang Lebih Berorientasi Sosial dan Kritis : Dari
Analisis Wacana ke Analisis Wacana Kritis, Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin, Makassar.
93
Download