BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses sosialisasi antara sesama manusia hanya dimungkinkan terjadi dengan adanya bahasa. Bahasalah menjadi alat bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginannya agar memenuhi hasrat sosialnya, yaitu kebutuhan untuk beriteraksi dengan sesamanya, agar dapat saling mengenal, saling memahami dan saling berbagi dalam perasaan suka dan duka, juga agar dapat membela diri dari berbagai perlakuan buruk dan ketidakadilan yang menimpanya, atau agar dapat meminta maaf dan saling memaafkan atas kesalahan dan kekeliruan yang terjadi di antara mereka. Dengan bahasa juga seseorang dapat memenuhi hasrat adaftasi alamgeografisnya, agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, tempat di mana mereka berdomisili untuk bercocok tanam, berbisnis atau mengerjakan berbagai usaha dan kegiatan lainnya. Bahkan dengan bahasa pula, manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya untuk menghadap keharibaan Allah, Tuhan Maha Kuasa, dalam beribadah, berdo’a dengan mengharapkan ketenangan batin dan keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian dalam tujuan budaya baik lisan maupun tulisan, Bahasa menjadi alat perekam terhadap berbagai hal yang berada di sekitar manusia, baik berupa peristiwa-peristiwa penting (history) dan hasil karya manusia (artefak), maupun mengenal berbagai makhluk disekelilingnya, seperti ; berbagai jenis binatang (fauna), tumbuh-tumbuhan (flora), dan aneka makhluk lainnya yang berada di lautan dan di angkasa raya, direkam dan disusun, 1 kemudian diungkapkan kembali kepada orang lain atau kepada generasi berikutnya sebagai bahan pengetahuan. Ini menandakan bahwa melalui bahasa kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina dan dikembangkan serta dapat diwariskan kepada generasinya (Kerap,1980). Karena itu tidaklah mengherankan jika manusia pertama, Adam, diajar lansung oleh Tuhan tentang bagaimana berbahasa (al-asmaa, nama-nama), agar dapat mengerti dan menamai segala sesuatu yang ada di alam sekelilingnya. Setelah lancar berbahasa dan mengetahui berbagai nama benda-benda di alam sekelilingnya dan cara pemamfaatannya, maka ia diuji kebolehannya di hadapan para makhluk lain. Ternyata kecerdasannya mengagumkan. Akhirnya, Adam menjadi makhluk terhormat karena memiliki pengetahuan yang dapat menuntunnya untuk mampu hidup berbudaya bersama keturunannya, dan mengharuskan malaikat bersujud kepadanya atas perintah Tuhan (Lihat Q.S. 2: 31-35). Bloomfield (Al-Wasilah,1985b) menjelaskan sifat bahasa dalam dua pendekatan ; pertama, biophysical aspect of language, yaitu bahasa sebagai gerakan alat ucap yang menghasilkan bunyi ujaran dan gelombang suara, di mana bunyi ujaran tersebut terpantul pada gendang telinga pihak pendengar, sehingga terjadi proses komunikasi di antara keduanya. Pada aspek ini bahasa sebagai bagian diri individu yang menonjolkan kemampuan seseorang melahirkan bahasa sebagai ujaran yang dapat dipahami oleh lawan bicara. Kedua, biosocial aspect of language adalah melihat kenyataan bahwa penutur dalam suatu masyarakat telah terlatih dalam menghasilkan bunyi-bunyi ujaran tadi dalam situasi-situasi tertentu dan memberikan respons 2 kepada bunyi-bunyi itu dengan tindakan sesuai dengan suasananya. Bahasa pada aspek ini diletakkan pada tujuan-tujuan sosial dalam memenuhi hajat manusia sebagai makhluk saling berinteraksi dengan sesamanya. Pada hakekatnya fungsi bahasa dapat bersifat individual dan dapat pula bersifat umum. Fungsi individualnya adalah ketika seseorang mengemukakan fikiran, perasaan dan keinginan kepada orang lain yang sifatnya untuk kebutuhan dan kepentingan dirinya. Adapun fungsi umum atau institusional adalah ketika seseorang atau atas nama institusi tertentu menyampaikan, memberitahukan, menganjurkan atau memerintahkan, mengemukakan ide dan pokok fikiran baik dari dirinya atau warisan dari masa lalunya untuk tujuan kemaslahatan orang banyak. Termasuk pula di dalamnya adalah memberi nasehat, mengajar, mengajak kepada kebajikan (berdakwah), membela dan mempertahankan kebenaran baik secara lisan maupun tulisan. Bahkan kebutuhan umum ini dianggap sebagai kebutuhan yang paling mendesak bagi suatu masyarakat (Azis,2000). Baik fungsi idividual atau fungsi umum bahasa ada tercakup di dalamnya fungsi advokasi, yaitu bahasa berfungsi untuk melakukan pembelaan terhadap seseorang atau kelompok, ras, bangsa, agama yang merasa diperlakukan secara tidak adil atau terpiggirkan oleh berbagai macam informasi dan berita media. Bahasa advokasi yang tertua dengan keunggulan retorika yang diabadikan oleh Plato (Tredennik, 1961) dalam bukunya ”Phaedo”, tentang kisah pembelaan diri Sokrates dihadapan sidang pengadilan dan warga Athena, Yunani pada tahun 399 SM. Meskipun akhirnya pengadilan Athena memutuskan hukuman mati bagi Sokrates dengan jalan meminum racun. 3 Alasannya, karena ia dianggap meracuni fikiran para pemuda dan memiliki keyakinan adanya Tuhan selain tuhan-tuhan orang Athena. Beberapa teman dan murid-murid Sokrates berencana untuk melarikan dia dari tempat tahanannya, akan tetapi Sokrates berkeras menolak usul mereka. Karena dianggapnya tidak patut bagi seorang warga negara bertindak menyalahi undang-undang dan hukum negaranya (Hasan,1973). Menurut Jakobson (1960) bahwa salah satu fungsi bahasa adalah retorika (rhetorical speech) yaitu ucapan yang berfungsi untuk memengaruhi dan mengondisikan fikiran, sikap dan tingkah laku orang lain atau khalayak pendengar. Sokrates menyebutkan bahwa retorika mesti berasaskan atas kebenaran yang diperoleh melalui dialetika, lalu dianalisis agar sesuai keadaan para pendengar, dengan isi pesan tentang keadilan, kehormatan, kemuliaan dan kebaikan. Retorika bukan saja penting digunakan untuk berdebat di muka pengadilan dan berpitato ditempat-tempat pertemuan umum, tetapi penting untuk kualitas diri pribadi. Karena orang yang mengetahui kebenaran ialah mereka yang bisa membela dan mempertahankannya dan juga dapat membantah kesalahan orang lain. Bagi mereka yang dapat berbuat seperti ini menurut Sokrates dapat dipandang sebagai filosof atau orang yang mencintai kebajikan (Cangara, 1998). Setelah Nabi Muhammad saw. berada di Kota Madina (625M), beliau bersama dengan para sahabatnya membuat kesepakatan dengan kaum Ahlul Kitab (Judeo-Christian) yang ada di Madinah dan sekitarnya ketika itu, dengan maksud agar tercipta keamanan, keadilan dan agar tercipta komunitas yang suka saling tolong menolong di antara mereka. Teks 4 kesepakatan itu dikenal dengan nama Konstitusi Madinah (625M) yang disebut sebagai ”the first written-Constirution of the World” (Ahmad,1973). Kemudian pada tahun 630M melalui sekretarisnya, di antaranya Zaid bin Tsabit, nabi mengirim surat-surat (rasail) kepada raja-raja yang berada di negeri-negeri Arab, Romawi dan Parsi, di antaranya dikirim kepada Heraklius kaisar Romawi Timur, raja Maqauqis di Mesir, raja Najasi di Habasyah, penguasa Oman, raja Yamamah, raja Bahrain, raja Perbatasan Syam dan penguasa Yaman, yang berisi keterangan tentang kerasulannya dan ajakan kepada mereka untuk memeluk Islam. Menurut penelitian Hamidullah (Ahmad,1973) bahwa nabi telah mengirim kurang lebih 287 buah surat, yang dapat dilacak dalam penelusuran manuskrift Arab kuno, untuk berbagai tujuan dakwah Islam di masa beliau. Ini menandakan bahwa nabi telah memanfaatkan media teks dalam menyampaikan dakwahnya kepada orangorang yang jauh dari jangkuannya. Seribu tahun kemudian, gerakan reformasi Martin Luther menyebar, sebagai salah satu gerakan sosial yang berupaya membela kemurnian gereja. Pemicunya adalah ketika Luther menentang propaganda Johann Tetsel yang melakukan penjualan surat pengampuan dosa (aflat) atas perintah Paus Leo X untuk membangun gedung gereja Basilika Santo Petrus di Roma. Maka Luther menyusun 95 dalil yang ditempelkan di pintu gereja Wittenberg 31 Oktober 1517. Membaca dalil itu, banyak orang tertarik untuk menyebar luaskannya sehingga protes itu tersebar keseluruh negeri Jerman. Paus Leo X mendakwa Luther sebagai orang sesat dan penyesat, lalu ia menuntut agar 5 Luther mencabut ajarannya yang ngawur itu, tapi Luther sama sekali tidak mengindahkannya (Aritonang, 1995). Martin Luther (Briggs et al, 2006) seorang biarawan Katolik dari Ordo Santo Agustinus dan guru besar di Universitas Wittemberg Jerman, dalam pengajarannya lebih menyukai keterlibatan lansung anggota jemaat dalam mengkaji agama, dan mendorong mereka untuk membaca Injil dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Ia menjustifikasi bahwa keterlibatan jemaat sebagai ’priesthood for all believers’ fungsi imamat pada semua orang beriman, yaitu sebuah ajaran yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hubungan lansung dengan Tuhan tanpa perlu perantara dari para klerik gereja. Keterlibatan merupakan akibat rakyat dalam keberhasilan reformasi sekaligus dari keterlibatan media, khusus media cetak di mana Luther menyebarkan gagasan-gagasannya lewat media cetak. Luther memanfaatkan peranan mesin cetak temuan Johann Gutenberg tahun 1450 dari Mainz, Jerman (Cangara,1998), sehingga tulisan-tulisannya dapat diperoleh dengan jumlah besar, bahkan 4000 examplar dari pidatonya kepada kaum bangsawan Kristen Jerman (An der christlichen Adel Deutcher Nation) telah habis terjual dalam beberapa hari saja setelah terbit tahun 1520 oleh pencetak Melchior Lotter dari Wittemberg. Begitu pula Injil terjemahan Luther, laku 100.000 kopi selama beberapa tahun. Buku Luther Small Cetechism (1529) mencapai jumlah pembaca lebih banyak lagi. Lebih dari 80 persen buku di Jerman yang diterbitkan tahun 1523 untuk persisnya 418 judul dari 498 adalah berkenaan dengan reformasi Gereja. Tahun 1525 telah dicetak sebanyak 25.000 examplar Dua Belas Pasal, dan 296 pamflet bersifat 6 polemik telah muncul di kota Strasbourg saja antara tahun 1520-1529. Bahkan pada tahun 1550 telah dicetak kira-kira 10.000 pamflet dalam bahasa Jerman. Sehingga Gereja Katolik Roma benar-benar tidak mampu untuk membungkam pengaruh reformasi Luther. Briggs, et all (2006) menganalisis urutan revolusi pencerahan di Eropa dari tahun 1450-an sampai tahun 1790-an dan berfokuskan pada kejadian atau rentetan kejadian yang telah diberi label seperti Reformasi (1452) , Perang Agama (1566), Perang Saudara di Inggris Glorouos Revolution (1688) dan Revolusi Perancis (1789), itu timbul dan berjalan mulus dengan menggunakan media cetak. Adipati Milan, seorang musuh terkemuka dari republik Florentine, dikatakan pernah mengucapkan bahwa ia lebih takut akan pena kanselir humanis Coloccio Salutati (1331-1406) dibanding sepasukan tentara berkuda. Karena itu kekuatan media dapat menyebarkan informasi dengan cepat keseluruh pelosok bumi yang dapat dijangkaunya, sehingga ia mudah menbentuk publik opini masyarakat. Melalui publik opini akan memudahkan terjadinya people power yang dapat digerakkan oleh pihak tertentu untuk menghancurkan kemapanan dan status quo. Media Massa (Hamad,2004) membuat dirinya menjadi penting dalam kehidupan dengan beberapa alasan : Pertama, daya jangkauannya (coverage) yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi, yang mampu melewati batas wilayah, kelompok umur, jenis kelamin dan sosial-ekonomistatus, dan perbedaan paham dan orientasi. Dengan begitu suatu masalah yang dimediasikan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan. Kedua, kemampuannya melipatgandakan pesan (multiplier of 7 massage) yang luar biasa. Satu peristiwa bisa dilipatgandakan pemberitaannya sesuai jumlah koran, tabloid, dan majalah yang tercetak; juga bisa diulang-ulang penyiarannya sesuai kebutuhan. Alhasil, pelipatgandaannya menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak. Ketiga, setiap media bisa mewacanakan suatu peristiwa yang sesuai pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimilikinya menentukan penampilan isi yang diberitakan. Justru karena kemampuan inilah media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakannya dan sebaliknya dijauhi oleh pihak yang tidak menyukainya. Keempat, tentu saja dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa. Sesuai dengan kebijakannya masingmasing, setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan. Yang jelas belum tentu berita yang menjadi agenda media merupakan agenda publik juga. Kelima, pemberitaan suatu peristiwa utamanya pada headline oleh suatu media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk rantai informasi (media as links in other chain). Hal ini akan menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi dan dampaknya terhadap publik. Dengan adanya aspek ini, semakin kuatlah peranan media dalam membentuk opini publik. Karena itu, media dianggap sebagai pilar keempat dalam sistem politik dan ekonomi, setelah pilar kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Istilah ’pilar keempat ’ pertama kali dicetuskan oleh pakar sejarah Macaulay dengan merujuk pada the Press Gallery di Parlemen Inggris (1850), sebelumnya 8 Kongres Amerika Serikat (AS) telah memasukkan ke dalam Bill of Right, pada Amendemen Pertama Konstitusi AS tahun 1791, menyatakan bahwa : ” Kongres tidak akan membuat kebebasan berbicara dan undang-undang yang ......membatasi kekebasan pers.” Daily Telegraph bahkan menghapkan agar media di masa mendatang dapat dianggap sebuah otoritas yang jauh lebih besar dan jauh lebih dapat dipercaya dibandingkan penutut umum manapun atau pejabat atau pejabat sensor pers manapun(Briggs et.al, 2006). Menurut Samantho (2002) bahwa media memegang peranan penting dalam masyarakat karena : (1) sebagai penyalur aspirasi rakyat banyak. (2) pembentuk (trend setter) pendapat masyarakat (opini publik). Pengaruh opini publik sebagimana dilaksanakan melalui menentukan dalam peradaban modern.” pers, merupakan hal yang (3) kelompok penekan (pressure group) yang dapat turut memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara (public policy decision making). (4) pembela kebenaran dan keadilan. Karena itu, media berperan sebagai pembela kebenaran dan keadilan, diakui oleh banyak kalangan sebagai fungsi universal dan ideal. Terlepas dari perdebatan filosofis apa yang disebut dengan kebenaran atau keadilan itu. Jelasnya, fungsi ini tentunya berkaitan erat dengan sistem nilai dan filsafat atau agama yang dianut oleh para jurnalis dan masyarakatnya. Berdasarkan fungsi ini, pada hakikatnya media memiliki misi dan tugas advokatif baik terhadap seseorang, golongan ataupun masyarakat yang terpinggirkan atau mereka yang tidak mendapatkan perlakuan tidak adil di tengah masyarakat. Tidaklah berlebihan, jika dilihat fungsi media di atas, terkhusus media Islam sangat penting peranannya dalam menghadapi tantangan informasi 9 dewasa ini. Karena itu, ummat Islam berkewajiban membangun media yang profesional, dengan beberapa alasan : (1) menjadi alat untuk mencerdaskan umat, menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan memengaruhi umat agar tetap berada dalam kepatuhan dan ketaatan pada ajaran Islam. Jangkuannya luas, harganya murah dan frekuensi yang tinggi merupakan nilai lebih yang dapat memengaruhi umat dalam skala besar. (2) media yang diharapkan dapat membimbing dan memotivasi umat dalam melaksanakan ajaran Islam secara sempurna. (3) media yang dapat menjadi penyeimbang terhadap isu dan informasi yang berat sebelah, yang dilancarkan oleh kalangan yang tidak menyukai misi Islam. (Sabili No.5/TH.V 20 Oktober 1992). Pada fungsi ke tiga ini, media Islam memiliki kewajiban untuk melakukan advokasi terhadap ajaran Islam dan umat Islam di mana saja berada. Setelah ummat Islam lepas dari kungkungan penjajahan bangsa Barat. Berbagai persoalan baik berupa perbenturan ideologi ataupun belitan kemiskinan dan keterbelakangan melilit mereka. Maka mereka berusaha untuk keluar dari belitan krisis demi krisis, mereka berusaha mempertahankan diri dari tekanan yang menghimpitnya. Ternyata hal itu menimbulkan berbagai pergesekan dan benturan dengan kepentingan Barat di negeri mereka sendiri. Akhirnya, sebagian organisasi dan aktivis muslim diberi label-label gerakan fundamentalisme, ekstremisme, redikalisme, dan terakhir dan paling menyedihkan adalah tuduhan sebagai gerakan terorisme. Tak kalah dahsyatnya adalah berita-berita media umum tidak pernah sepi memuat berbagai aksi kekerasan, terjadinya bom bunuh diri yang berujung pada 10 tuduhan dan akhirnya terjadi penggerebekan pada kelompok yang dijuluki fundamentalis atau ekstrimis itu. Setelah era Perang Dingin berakhir, Blok Timur runtuh, AS menilai aktivis Islam adalah musuh potensial ke depan, yang bakal mengganjal kepentingannya di negeri-negeri muslim. Gerges (1999) menyatakan meski para pemimpin AS menolak hipotesis ’clash of civilization’ tapi kebijakan AS pasca Perang Dingin memang sangat dipengaruhi oleh ketakutan adanya ’ancaman kaum Islamis’ (Islamic threat). Yaitu ancaman bersatunya umat Islam dalam sebuah wilayah dikenal dengan Khilafah Islamiyah dengan landasan Syariah, sebagaimana telah terbentuk sejak Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah (622-632), kemudian diperkuat pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661M), kemudian menyusul Daulah Umayyah (661-749) dan Daulah Abbasiyah (749-1258), kemudian berakhir dengan runtuhnya khilafah Turki Utsmaniyah tahun 1924 (1294-1924). Bahkan pada awal tahun 1992, sebagaimana dikutip oleh The Gurdian (19/6/1992), Presiden Israel Hersog di depan parlemennya menyatakan bahwa, ”Penyakit (Islam Fundamentalis) sedang menyebar secara cepat yang merupakan sebuah bahaya tidak hanya untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi kemanusiaan secara umum.” Tony Blair, PM Inggris, misalnya, menyebut ideologi Syariah dan Khilafah sebagai ideologi setan (5/10/2005) kemudian Charles Clark, Menteri Dalam Negeri Inggris (5/10/2005) dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kompromi dengan Syariah dan Khilafah. George W. Bush (6/10/2005) menyebut Islam fundamentalis sebagai fasis, dan mengingatkan bahaya dan ancamannya bagi dunia. Adapun Rumsfel mengingatkan bangkitnya kembali Khilafah jika 11 AS dan sekutunya segera keluar dari Irak, ” Jika tentara AS keluar dari Irak segera, Irak akan menjadi surga bagi para teroris dan menjadi basis penyebaran negara adidaya Islam yang akan mengancam dunia.......Irak akan menjadi basis negara Khilafah yang baru, yang akan meluas ke seluruh Timur Tengah (Al-Wa’ie No. 67 Tahun VI, 1-31 Maret 2006). Mantan presiden AS, Richard Nixon dalam bukunya Seize The Moment (Maulani, 2002) telah memberikan ciri-ciri yang dianggap sebagai gerakan Islam fundamentalis atau Islam ekstremis adalah : (1) anti peradaban Barat, (2) ingin menerapkan syariat Islam, (3) akan membangun peradaban Islam, (4) tidak memisahkan antara Islam dan negara, (5) menjadikan para pendahulu (salaf) sebagai panduan masa depan (khalaf). Kelima ciri inilah sebagai tolok ukur dalam menilai apakah seorang aktivis atau gerakan Islam itu pantas disebut “fundamentalis” atau tidak. Pribadi atau gerakan Islam yang memiliki ciri-ciri seperti inilah oleh Barat dianggap menjadi rival utama atau menjadi musuh laten mereka, karena memiliki cita-cita untuk menegakkan syariah di dalam negara Khilafah. Bila dirunut ke masa lampau, komplik antara umat Islam dengan Barat mulai ketika Nabi Muhammad saw. mengirimkan surat melalui diplomatnya, Al-Harits bin Umair Al-Uzdi kepada gubernur Romawi, yang berkedudukan di Bostra. Tapi diplomat itu dibunuh oleh Syurahbil bin Amer Al-Gassany penguasa daerah Mu’tah, wilayah Emperium Ramawi (Haekal,1990). Maka Nabi Muhammad saw. mengirim sebanyak 3.000 pasukan dipimpin Zaid bin Haritsah untuk mencari diplomatnya yang terbunuh tapi ternyata sudah ditunggu oleh 200.000 pasukan Romawi dipimpin oleh 12 Theodore, saudara kandung Kaisar Heraklius, Raja Romawi Timur. Maka berkecamuklah perang Mu’tah (629M). Perang yang tidak seimbang itu menyebabkan 3 panglima Islam gugur. Inilah persinggungan pertama pasukan Islam dengan Barat, kemudian disusul dengan perang Tabuk (630M) karena nabi memperoleh informasi dari dewan intelijennya bahwa Romawi akan menyerbu Madinah. Maka nabi bersama 30.000 pasukannya lebih dahulu keluar menunggunya di Tabuk. Tapi pasukan Ramawi mundur sehingga tidak terjadi pertempuran. Nabi ketika itu tetap mengirim 420 pasukan kavaleri dipimpin oleh Khalid bin Walid menuju daerah Duma AlJandal dan berhasil menangkap Ukaidir, raja Duma Al-Jandal, pembantu setia dan sayap terdepan pasukan Romawi Timur yang berencana menyerang kota Madinah. Ia dibawa ke Madinah dan setelah menyetujui perjanjian damai dengan Nabi maka Raja Ukaidir dilepaskan dan kembali ke negerinya (Chalil,1977). Pada zaman Khulafaur Rasyidin, khalifah pertama, Abu Bakar AshShiddiq tetap mengirim pasukan Islam di bawah panglima Usamah bin Zaid, yang telah dipersiapkan oleh nabi yang belum diberangkatkan disebabkan karena beliau wafat, untuk menggempur kembali Bani Gassan (632M) yang telah membunuh diplomat Rasulullah. Pada peperangan ini pasukan Islam beroleh kemenangan gemilang. Ketika terjadi perang Yarmuk tahun 637, pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi di Syria dan Jordania, bahkan Jenderal Theodore, panglima besar Romawi tewas dalam pertempuran itu. Pada tahun 660, di zaman kekhalifahan Umayyah, kekuasaan Romawi telah 13 bersih dari daratan Asia dan Afrika, dan bahkan dakwah Islam sudah sampai di Spanyol tahun 711 (Sou’yb, 1977). Kemudian perang Salib mulai tahun 1095, menurut Asyur (1998) bahwa ketika kekuasaan Daulah Abbasiyah melemah, persatuan ummat Kristen bangkit untuk melakukan penaklukan kembali (Reconquista), juga dikenal dengan nama perang Salib (Crusades) terhadap daerah-daerah Romawi yang telah dikuasai Islam. Dengan dukungan Paus Urbanus II, pendeta Peter de Hermit berkunjung ke berbagai negeri Kristen Eropa, menghimbau mereka agar bangkit bersatu untuk menggepur penguasa muslim dengan semboyang ”Deus Lo Volt” (perang demi kehendak Tuhan). Akhirnya perang Salib pecah dan berlansung selama seratus lima puluh tahun (1095-1250M). Ketika perang Salib, ternyata perseteruan umat Islam dengan Barat belum juga berakhir, hingga sampai pada masa pemerintahan Muhammad II Al-Fatih dari Daulah Turki Utsmaniyah bersama 150.000 pasukan Islam berhasil menaklukkan Konstantinopel, pusat kota Emperium Romawi Timur pada tanggal 28 Mei 1453. Kemudian kota itu diganti namanya menjadi Istambul, lalu dijadikan ibu kota Daulah Turki Utsmaniyah. Pasukan sultan, ketika itu, masih meneruskan peperangan sehingga dapat menguasai daerah Balkan bahkan menerobos ke jantung Eropa, sehingga mereka sampai ke pintu gerbang kota Wina, Austria. Kemudian masuk ke kota Otranto di Italia dan bahkan hampir menaklukkan kota Roma (Hassan, 1989). Sejak tahun 1651 Daulah Turki Utsmaniyah mengalami kemunduran dan kekalahan dalam berbagai pertempuran yang dilancarkan oleh Eropa. 14 Maka bangsa Eropa mulai menjajah negeri-negeri Islam Seperti Belanda membonceng VOC ke Indonesia tahun 1596, Pertugis menggempur Malaka dan Manila tahun 1547. Kemudian Perancis telah masuk ke Mesir pada tahun 1798. Separatisme kesukuan berkembang di bawah pengaruh Inggris di wilayah Hijaz (Arab Saudi), Aden, Sudan. Begitu pula Perancis menaklukkan Maroko, Aljazair dan Suriah, kemudian Italia menaklukkan Libiya dan mengalamai keadaan yang sama. Ketika Jenderal Gouraul panglima pasukan Perancis dapat memenangkan pertempuran di Misoleum Damaskus, ia lansung ke makam Salahuddin Al-Ayyubi, panglima pasukan Islam yang mengusir pasukan perang Salib Eropa, di sisi mesjid Jami’ AlAmawi, sambil menyepak-nyepakkan kakinya pada batu nisan pahlawan itu lalu berkata : ” Inilah kami telah kembali, hai Salahuddin !” Ketika Jenderal Allemby panglima pasukan Inggris ketika memasuki kota suci Al-Quds spontan berteriak ”Kini peperangan Salib telah selesai!” Ucapan kegirangan atas kemenangannya mengalahkan pasukan Turki Utsmaniyah (’Alam,1985). Kekalahan mutlak Daulah Turki Utsmaniyah pada Perang Dunia I yang semakin menghancurkan kekuatannya dan melahirkan perjanjian SaxPicot tahun 1916 yang isinya yang sudah disetujui oleh tiga negara Inggris, Rusia dan Perancis untuk menetapkan pembagian Daulah Turki Utsmaniyah menjadi negara-negara kebangsaan di antaranya Syiria, Lebanon, Palestina serta Irak. Kemudian perjanjian Balfour menetapkan Palestina berada di bawah mandat PBB. Tapi ternyata Inggris secara diam-diam telah memberikan daerah Palestina kepada Zionis Yahudi (Yakan,1988). Pada perjanjian Lausane yang disetujui pada tanggal 23 April 1924. Kemal Antaturk 15 menyepakati perjanjian damai dengan Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris dengan syarat (1) penghapusan Khilafah secara total (2) Pengusiran Khalifah dari Turki (3) Penyitaan kekayaan Khalifah (4) Mengadakan sekulerisasi terhadap Turki. Kemudian perjanjian Lausane yang ditandatangani pada tanggal 24 Juli 1924. Ketika itu, negara-negara Barat secepatnya memberikan pengkuan atas kemerdekaan Turki. Inggrispun menarik pasukannya dari Istambul dan kawasan selat Bosporus. Kemudian Harrington-pun meninggalkan Turki, salah seorang perwira militer Inggris menyatakan protes kepada Curzon di Gedung Parlemen mengenai pengakuan Inggris atas kemerdekaan Turki. Curzon menjawab : ”Persoalan utamanya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spritual mereka, yaitu Khilafah dan Islam (Zallum,2001). Tujuh puluh tahun setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah, James Walsh melihat sebuah kebangkitan baru di dunia Islam yang mencemaskan Barat, sehingga dalam laporan utamanya pada majalah Time berjudul ” The Sword of Islam” menyatakan : ”The whole world, in fact, is watching and wondering about the impact of this tectonic shift, just as medieval Europe crouched the epogee of its power. With the death of the Soviet empire, some Western policymakers are concerned whether Islamic ”fundamentalism”- a term rejected by Muslims as a misnomer – may shape up as the next millenial threat to liberal democracy (Time,June15,1992). Jelasnya setelah kehancuran Soviet, dunia menghadapi perkembangan dahsyat gerakan Islam. Gerakan ini seakan-akan 16 mengulangi sejarah abad pertengahan Eropa, ketika itu Islam mencapai puncak kejayaannya. Ia mengingatkan Barat untuk waspada terhadap gerakan Islam fundamentalis yang akan menghancurkan bangunan demokrasi liberal yang merupakan puncak kesempurnaan sistem peradaban manusia. Dengan gaya bahasa yang meyakinkan, Walsh kemudian menyorot bangkitnya Islam fundamentalis di kawasan negeri-negeri Muslim, khususnya al-Jazair, Sudan, dan Afghanistan. Kemudian tulisan Huntington dalam Jurnal Foreign Affair (1993) berjudul The Clash of Civilizations? meramalkan kemungkinan akan terjadinya benturan peradaban antara Barat dan Islam yang bersekutu dengan peradaban Konghucu. Selama tiga tahun, isi artikel ini memancing polemik di berbagai penjuru dunia – sesuatu yang tidak pernah terjadi selama 40 tahun penerbitan jurnal Foreign Affairs. Huntington (2005) menyatakan bahwa konflik antara Islam dan Kristen baik Kristen Barat maupun Ortodoks adalah konflik yang sebenarnya, bukan konflik biasa. Konflik antara Demokrasi Liberal (Barat) dan Marxis-Leninis pada abad ke dua puluh ini justeru dinilainya bukan merupakan konflik yang sebenarnya. Konflik kedua ideologi itu hanya merupakan fenomena sejarah yang ‘sesaat’ (fleeting) dan di permukaan (superficial) saja. Fenomena pascakasus tanggal 11 September 2001, kian bertambah meningkatnya ketegangan global antara Islam dan Barat, sepertinya menguatkan tesis Huntington tentang ancaman terjadinya ”konflik peradaban” ( clash of civilization ) antara Islam dan Barat yang dipimpin oleh AS. Kamis tanggal 20 September 2001, usai sembilan hari penyerangan gedung kembar 17 WTC, Bush dalam pidato kenegaraannya menyimpulkan bahwa pelaku penyerangan WTC adalah jaringan Al-Qaedah pimpinan Usmah bin Laden. Usamah digambarkan sebagai monster (demons) yang akan membantai orang-orang Yahudi dan Kristen, juga akan membunuh seluruh orang Amerika di mana pun mereka berada, tanpa pandang bulu apakah wanita atau pria, dewasa atau anak-anak, sipil atau militer. Lalu AS menyusun rencana penyerangan ke Afganistan yang dianggap markas Al-Qaidah dan Taliban dengan diperkuat oleh resolusi-resolusi PBB, misalnya sehari setelah terjadi tragedi WTC, PBB mengeluarkan resolusi No.1368 yang mengutuk serangan teroris terhadap menara kembar WTC, Pentagon dan Pensylvania dan mengategorikannya sebagai ancaman kedamaian dan keamanan internasional. Kemudian diperkuat dengan Resolusi No.1455 dan Resolusi 1456 tahun 2002 yang secara khusus membidik individu, kelompok maupun negara yang mempunyai “link” dengan Taliban dan Al-Qaidah (Saksi, No.10 Tahun VI 17 Maret 2004). Amerika Serikat bersama sekutunya benar-benar menyerang Afganistan (7/10/2002) karena negara ini dianggap tidak tunduk kepada kebijakan AS, untuk menangkap dan menyerahkan Usamah bin Laden. Begitu pula agen-agen AS melakukan penyisiran di berbagai belahan dunia, khususnya di negeri-negeri muslim melalui kerja sama petugas keamanan setempat, untuk menangkap para aktivis Islam yang dicurigai memiliki hubungan dengan Al-Qaedah dan Taliban, atau orang-orang yang pernah terlibat dalam jihad Afganistan. Seperti kasus penangkapan Al-Farouq, penangkapan dan pengadilan Abu Bakar Ba’asyir di Indonesia (Hidayatullah 18 10/XI Pebruari 2002), dan penangkapan secara dramatis Agus Dwikarna di Filipina (Sabili, 02 TH. X 8 Agustus 2002), menyusul Al-Ghozi juga ditangkap dan ditembak mati di Filipina (Sabili, No.8 Thn, XI 6 Nopember 2003). Kemudian mewajibkan pemerintah di negara di mana gerakan yang dicurigai memiliki jaringan dengan terorisme agar diberangus dengan berbagai cara. Sebagai contoh, Pasca Tragedi WTC 2001, Bush mengutus Paul O’Neil, menteri Keuangan AS, meminta kerajaan Arab Saudi, untuk menutup lembaga-lembaga bantuan yang dicurigai mendanai terorisme internasional. Dengan demikian, tidak kurang dari 250 lembaga yang beroperasi di 55 negara yang menjadi penyalur dana bantuan pendidikan, pembangunan rumah ibadah, dan untuk menolong ketertindasan ummat Islam di seluruh dunia dibekukan. (Saksi No 9 Tahun VII 2 Pebruari 2005). Media Islam bertugas memuat laporan dan pembelaan terhadap ajaran Islam dan umatnya dengan berbagai argumentasi dan pelurusan berita, pembeberan fakta dan bahkan terkadang menciptakan diskursus-diskursus sinisme dan sarkastik terhadap hegemoni Barat, khususnya negara adidaya AS yang dianggap sebagai dalang atas tindakan penghinaan, penindasan dan penderitaan yang menimpa umat Islam. Amerika Serikat sebagai polisi dunia, juga dianggap diskriminatif, karena membiarkan tindakan kekerasan Israel terhadap bangsa Palestina sampai saat ini. Khsususnya blokade dan pengeboman terus-menerus terjadi di Jalur Gaza. Akibatnya menimbulkan bencana kelaparan di wilayah luasnya hanya 365 km per segi dengan penduduk 1,6 juta jiwa. Ribuan warga korban pembunuhan setiap tahunnya dan yang menderita cacat mencapai 17 ribu orang. Tahun 2009 saja ada 19 3.800 rumah dan 80 gedung pemerintah yang rubuh, karena pengeboman. Jumlah pengangguran mencapai 65 persen, sedangkan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 80 persen, dan sebanyak 3.500 pasilitas industri dan perdagangan telah ditutup (Media Ummat 18Juni-1 Juli 2010) Media Islam di Indonesia yang paling berperanan dalam mengungkap motif-motif terselubung kebijakan AS adalah majalah Sabili yang memiliki pembaca peringkat ke-1 kategori majalah Islam di Indonesia, Kemudian majalah Suara Hidayatullah yang memiliki pembaca tetap dari berbagai Pesantren Hidayatullah, dan simpatisannya di seluruh Indonesia. Berikutnya Media Umat, salah satu tabloid Hisbut Tahrir yang banyak membeberkan kebijakan politik AS yang banyak merugikan negeri-negeri Islam. Ketiga media inilah yang menarik dijadikan objek penelitian untuk mengungkap sejauh mana ketiganya membangun wacana pemberitaan dalam bentuk kritikan, kecaman dan pembelaan terhadap negeri-negeri muslim atas kebijakan politik AS. Fokus utama penelitian ini adalah berita-berita dari majalah Suara Hidayatullah, Sabili, dan Media Umat dengan menggunakan analisis wacana kritis (CDA). Berita-berita yang dipilih adalah laporan tentang kebijakan AS terhadap negeri-negeri muslim, seperti berita-berita pergolakan di Afganistan, Irak, Palestina, dan lain-lain. Pendekatan analisis adalah teori kritis yang memandang media sebagai instrumen ideologi dan kekuasaan hegemonik untuk menguasai kesadaran khalayak dan menjadi sumber legitimasi di mana penguasa memupuk kekuasaanya agar tampak absah benar, dan memang 20 seharusnyalah seperti itu. Karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengungkap tentang adanya interest atau ideologi yang terselubung di balik wacana berita advokasi ketiga media Islam tersebut, apakah mereka memiliki tujuan yang sama atau tujuan yang berbeda dalam membela Islam dan umatnya dengan cara yang berbeda dalam pemberitaan yang dilakukannya. Pendekatan interpretasi dengan analisis wacana kritis (CDA), yang memadukan model analisis Fowler et al. dengan model van Dijk. Ini dilakukan untuk memperoleh analisis critical linguistic yang lebih tajam dari Fowler tanpa mengabaikan analisis framing dan konteks yang mamadai dari van Dijk. Dengan pemaduan kedua metode analisis ini dapat mencapai sasaran analisis interpretasi kritis yang diharapkan dalam penelitian ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan-permasalahan yang muncul yang menjadi fokus penelitian ini adalah berusaha melihat sejauh mana isi dan ideologi teks berita-berita media Islam dalam melakukan pembelaan terhadap Islam dan umatnya yang telah diramu oleh wartawan, melalui beberapa pertanyaan berikut ini : 1. Bagaimana perbandingan struktur wacana pemberitaan yang dibangun oleh Majalah Sabili, Suara Hidayatullah dan Media umat ? 2. Bagaimana kesamaan atau perbedaan ideologi dalam struktur wacana yang dibangun oleh majalah Sabili dengan Majalah Hidayatullah dan Media Umat ? 21 C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola-pola dan karakteristik struktur wacana berita advokasi media Islam di Indonesia dan secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. untuk menghasilkan analisis teks perbandingan bahasa advokasi dalam majalah Sabili, Hidayatullah dan Media Umat 2. menemukan adanya pengaruh ideologi pada kesamaan atau perbedaan bentuk bahasa advokasi dalam majalah Sabili, Hidayatullah dan Media Umat. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik yang menitikberatkan pada kajian fungsi bahasa dalam interaksi sosial masyarakat, dengan memakai pendekatan teori kritis melalui cara interpretasi wacana atau analisis wacana kritis dalam mengkaji berita-berita advokasi media Islam di Indonesia, khususnya pada majalah Sabili, Hidayatullah dan Media Umat yang diharapkan dapat bermanfaat antara lain : Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu Linguistik di Indonesia, khususnya kajian yang berhubungan dengan bahasa dan media. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan buat para peneliti di bidang yang sama, khususnya berhubungan bahasa advokasi yang digunakan oleh media Islam di Indonesia. 22 Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada media Islam di Indonesia, khususnya kepada majalah Sabili, majalah Hidayatullah dan tabloid Media Umat sebagai salah satu tempat untuk mengaca diri agar dapat meningkatkan mutu sajian, kesantunan dan karakteristik keislamannya di tengah umat pembacanya masing-masing. 23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Fungsi Bahasa Barthes (2007) menyatakan bahwa konsep dikotomis bahasa, langue dan parole yang diperkenalkan oleh Perdinand de Saussure, yang multiforma dan heteroklit (berkombinasi), adalah sebuah realitas yang tidak bisa dipisahpisahkan, sebuah keutuhan unit, sebab realitas ini termasuk dan sekaligus dalam segala yang fisik (le physique), segala yang fisiologis (le physiologieque), dan segala yang psikologis (le physchologique), termasuk juga dalam segala yang individual (l’individuel) dan segala yang sosial (le social). Meskipun konsep langue bersifat abstrak, tapi dapat digambarkan sebagai sebuah institusi sosial yang menampung nilai-nilai (valeur). Oleh sebab itu secara esenssial langue menjadi suatu kontrak kolektif dalam sebuah komunitas. Siapapun yang ingin menggunakannya untuk berkomunikasi harus tunduk sepenuhya pada aturan-aturan, norma-norma yang ada di dalamnya. Ahimsa (Amal, 2004) menyatakan bahwa : ”Aspek langue inilah yang memungkinkan terjadinya komunikasi simbolik antar manusia karena ia dimiliki bersama (fenomena milik kolektif). Dia merupakan sebuah sistem, sebuah fakta sosial yang bersifat alamiah atau tidak disadari. Berbeda halnya 24 dengan parole, yang merupakan wujud atau aktualisasi dari langue dalam lisan maupun tulisan. Parole atau tuturan adalah apa yang kita wujudkan ketika kita menggunakan suatu bahasa dalam percakapan atau menyampaikan pesan tertentu lewat suara-suara simbolik dari mulut kita.” Menurut Barthes (2007) bahwa langue tidak memiliki pengertian yang sempurna kecuali didefinisikan lewat proses dialektis yang menyatukan keduanya (parole). Tidak ada langue yang hadir tanpa parole, tidak ada parole di luar langue. Dalam pertukaran inilah praxis linguistik yang sebenarnya menjadi ada. Langue adalah suatu entitas yang murni abstrak, suatu norma-norma yang berada di atas individu-individu, sekumpulan tipetipe yang esensial, yang direalisasikan oleh parole dengan keanekaragaman ujaran yang tidak terbatas.” Oleh karena itu, Langue adalah sistem yang memuat norma-norma dan aturan-aturan atau fakta sosial yang menjadi milik bersama sebuah komunitas bahasa. Kemudian penggunaannya diatur pula oleh berbagai norma-norma yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan baik yang bersifat individu maupun yang bersifat sosial. Tak dapat disangkal bahwa dalam langue-lah tersimpan berbagai fungsi sosial bahasa untuk memenuhi hajat dan hubungan dengan sesama manusia dalam komunitasnya. Nababan (1984) menyimpulkan adanya dua aspek kajian bahasa (langue), yaitu kajian yang menitikberatkan pada hakekat bahasa dan kemudian kajian yang berhubungan dengan fungsinya. (1) Hakekat Bahasa; persoalan ini dikaji oleh ahli-ahli linguistik. Secara garis besar, bahasa ialah suatu sistem perisyaratan(semiotik) yang terdiri dari unsur-unsur isyarat dan 25 hubungan antara unsur-unsur itu. Dari unsur satuan bunyi (fonem), morfem, frasa, kalimat, klausa sampai kepada unsur wacana. Hubungan struktur dari unsur-unsur bahasa pada dasarnya terdiri dari dua macam, yang satu secara horisontal atau sintagmatik (mengenai urutan), dan vertikal atau paradigmatis (mengenai pengolongan). (2) Fungsi bahasa; kajian fungsi bahasa yang paling mendasar adalah berkenaan dengan kebutuhan berkomunikasi dan interaksi sosial. Komunikasi adalah perekat yang mengikat orang dalam sistem kemasyarakatan. Tanpa komunikasi tidak masyarakat atau sistem sosial manusia didasarkan pada komunikasi kebahasaan. Tanpa bahasa ada masyarakat; atas dan bergantung tidak ada sistem kemasyarakatan manusia, dan akan lenyaplah kemanusiaan itu sendiri. Kajian mengenai hakikat bahasa (Chaer,2007) biasa pula disebut kajian mikrolinguistik yang mengarahkan kajiannya pada struktur internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal suatu bahasa pada umumnya, seperti kajian pada bunyi (phonetics, phonology), kajian pada kata (morphology) atau kajian pada kalimat (syntax) atau pada makna (semantics) dan wacana (discourse). Sedangkan makrolinguistik adalah suatu kajian yang menyelidiki bahasa kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, seperti hubungan bahasa dengan budaya (antropholinguistics), hubungannya dengan jiwa manusia (psycholinguistics) , hubungannya dengan karya sastra (stylistics), kajian bahasa yang berhubungan dengan masyarakat pemakai bahasa disebut sosiolinguistics. Kajian terakhir inilah memberikan perhatian khusus terhadap kajian mengenai fungsi-fungsi sosial bahasa. 26 Fungsi bahasa (Al-Wasilah,1985) dapat merujuk pada teori komponen sosilogis Firth, yang ia disebut dengan istilah field of relation. Field of relation berarti hubungan antara orang-orang yang memainkan peran dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ujarkan, dan objek-objek lain, kejadiankejadian dan seterusnya yang ada hubungannya dengan orang-orang dan ujarannya itu. Konsep Firth tentang field of relation muncul dari pengaruh Malinowski yang menyatakan pentingnya menempatkan kata-kata dalam konteks keseluruhan ujaran pada situasinya, yang disebutnya dengan context of situation. Menurutnya konteks ini adalah lingkungan fisik sebenarnya dari satu ujaran (Hill, ed. 1969). Halliday (1985), murid Firth menyatakan bahwa suatu bahasa dipakai oleh masyarakat untuk komunikasi dan interaksi sosial sesuai dengan keadaan atau keperluan yang mereka hadapi. Peristiwa komunikasi meliputi tiga hal, yaitu medan (field), suasana (tenor) dan cara (mode). Kemudian yang dimaksud dengan (1) medan (field) adalah mengacu pada sesuatu hal atau topik, yaitu tentang bahasa yang digunakan kepada sesuatu subjek atau topik pembicaraan. Contohnya adalah masalah ekonomi, politik, teknologi dan pendidikan dan yang lainnya. Keberagaman bahasa pada kelompok ini sering memperlihatkan laras bahasa (register), yang ditandai salah satunya yaitu dengan penggunaan istilah teknis (jargon). Berikutnya adalah (2) suasana (tenor) yang mengacu pada hubungan peran peserta tuturan atau pembicaraan, yakni hubungan sosial antara pembicara dengan pendengar dengan yang ada dalam teks atau pembicaraan tersebut. Suasana dipengaruhi oleh hubungan sosial antara pembicara dengan pendengar atau 27 antara penulis dengan pembaca. Keberagaman suasana berujud pada aspek kesantunan, ukuran formal dan tidaknya suatu ujaran dan status partisipan yang terlibat di dalamnya. Suasana mempengaruhi pilihan ragam bahasa ke dalam berbagai gaya berbahasa, seperti ragam intim (intimate), santai (casual), konsultatif, resmi (formal), dan beku (frozen). Terakhir adalah (3) cara (mode) mengacu kepada peran yang dimainkan bahasa dalam komunikasi. Termasuk di dalamnya adalah peran yang terkait dengan jalur (cannel) yang digunakan ketika berkomunikasi. Jalur yang dimaksud adalah apakah pesan disampaikan dengan bahasa tulis, lisan, lisan untuk dituliskan atau tulis yang dilisankan. Begitu pula cara behubungan dengan ragam retoris, misalnya yang dipakai bahasa persuasif, ekspositoris dan naratif. Ketiga unsur ini merupakan komponen utama fungsi bahasa dalam komunikasi baik digunakan dalam percakapan atau dalam bentuk tulisan (teks berita). Kemudian para ahli bahasa membagi fungsi bahasa ke dalam beberapa kategori, seperti Jakobson (1960) menyimpulkan ada enam fungsi bahasa, yaitu (1) emotive speech, ujaran yang berfungsi psikologis yaitu dalam menyatakan perasaan, sikap, emosi si penutur (2) phatic speech, ujaran yang berfungsi memelihara hubungan sosial yang dilakukannya pada suasana tertentu, (3) cognitive speech, ujaran yang mengacu pada dunia yang sesungguhnya yang sering diberi istilah denotatif dan informatif (4) rhetorical speech ; ujaran yang berfungsi mempengaruhi dan mengondisikan fikiran dan tingkah laku para penaggap tutur (5) metalingual speech ; ujaran yang berfungsi untuk membicarakan bahasa, ini adalah jenis ujaran yang 28 paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi (6) poetic speech ; ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengistimewakan nilai-nilai estetiknya. Halliday (Al-Wasilah,1985) juga membuat klasifikasi tentang pemakaian bahasa ke dalam : (1) instrumental; yaitu sebagai alat untuk menggerakkan serta memanipulasikan lingkungan atau menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Jakobson menyebutnya sebagai fungsi rhetorical, bahasa inilah yang dipakai oleh para politikus dan pedagang untuk memengaruhi lawan bicaranya ; massa atau konsumen yang dihadapinya (2) regulatory; mengacu kepada pemakaian bahasa untuk mengatur tingkah laku orang lain atau amat dekat dengan fungsi directive, yaitu ujaran yang berorientasi pada pendengar agar dapat mempengaruhi tingkah lakunya. Di sini bukan hanya membuat pendengar melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang direncanakan si pembicara. Ini dapat dilakukan dengan perintah, ancaman, permohonan, pemberian perhatian, atau dengan rayuan (3) representational atau referential, biasa juga disebut fungsi cognitive, denotative atau informative, adalah bahasa dipakai untuk membicarakan obyek atau peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau di dalam kebudayaan pada umumnya. Fungsi ini yang melahirkan pandangan tradisional bahwa bahasa adalah alat komunikasi pikiran, untuk membuat pernyataan tentang bagaimana si pembicara merasa atau memahami dunia sekitarnya. (4) interactional dapat pula disebut interpersonal atau Jakobson menyebutnya fungsi phatic adalah fungsi dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memeliharanya dan memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Fungsi tidak 29 hanya dengan bahasa tapi biasanya dibumbui dengan paralinguistik (nonverbal) seperti dengan isyarat, kontak fisik, air muka, lambaian tangan, bersalaman, atau bisa juga dengan senyuman, Malinowski (1887-1942) menyebutnya sebagai phatic communication, di mana ujaran dalam suasana ini tidak diterjemahkan secara harfiah. Makna ujaran sebagian besar bersandar pada institusi komunikasi tertentu dan lansung dalam proses tutur (5) personal, atau disebut pula fungsi emotive, affective adalah fungsi ujaran yang berorientasi pada si penutur atau diri pribadinya. Bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tapi memperlihatkan emosinya sewaktu penyampaian apa yang dituturkan. Penanggap tutur pun dapat menyimpulkan apakah si penutur sedih, marah atau gembira. (6) Fungsi heuristic adalah bahasa sebagai alat untuk menyelidiki realitas, satu cara untuk mempelajari banyak hal. Dalam ilmu pendidikan di mana anak didik, karena ada modal pengetahuan yang telah diajarkannya, maka dengan bahasa ia akan mampu untuk menjelajahi lingkungannya. Murid bahkan diharapkan dapat menemukan sesuatu dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain (7) imaginative, fungsi ini menitikberatkan pada struktur pesan (message) bahasa, yang dapat dipakai untuk mengungkapkan pikiran atau gagasan, perasaan dan hayalan. Pemakaian bahasa untuk kesenangan bagi penutur maupun pendengar, disebut juga dengan fungsi poetic, yaitu ujaran yang menitik beratkan dirinya pada segi-segi estetika bahasa, seperti pada puisi, novel, nyanyian si ibu ketika menimang sang balita, termasuk pula di dalamnya lelucon-lelucon, dan dongeng-dongeng, dlsb. 30 Menurut Vestergaard dan Schoder (Rani, 2006) fungsi bahasa seperti berikut : (1) Ekspresif, bahasa mengarah pada penyampaian pesan, yaitu digunakan untuk mengekspresikan emosi, keinginan, atau perasaan penyampai pesan. Fungsi ini bersifat individual. (2) Direktif ; berorientasi pada penerima pesan dimana bahasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain, baik emosinya, perasaannya, maupun tingkah lakunya. Di samping itu, dapat juga digunakan untuk memberi keterangan, mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam dan lain-lainnya. (3) Informational ; bahasa digunakan untuk menyampaikan sesuatu seperti melaporkan, mendeskripsikan, menjelaskan, mengomfirmasikan sesuatu. (4) Metalingual ; bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan banyak memakai kode dan rumus. Bahasa sebagai kode dapat melambangkan kode yang lain dalam ilmu pengetahuan tertentu, seperti pada Fisika, Kimia dan Matematika. (5) Interaksional ; bahasa befokus pada saluran. Fungsi ini bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan dan mengakhiri suatu kontak komunikasi antara penyampai pesan dan penerima pesan. Fungsi ini lebih ditekankan pada komunikasi yang tidak berhadapan lansung, seperti pada percakapan melalui telepon. (6) Kontekstual ; fungsi ini berpedoman bahwa suatu ujaran harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya. Dengan alasan bahwa suatu ujaran akan berbeda maknanya apabila berada dalam konteks yang berbeda. Salah satu alat bantu untuk memahami konteks adalah dengan mempertimbangkan penanda-penanda kohesi dan acuan (reference) yang digunakan dalam suatu situasi komunikasi. 31 Brown dan Yule (Rani, 2006) menyatakan bahwa dalam interaksi sosial dapat diidentifikasikan fungsi-fungsi bahasa, yang didasarkan pada tanggapan mitra tutur, ada dua macam. Pertama, fungsi transaksional apabila penerima informasi yang dipentingkan isi komunikasi (message). Dengan fungsi tersebut, bahasa dapat digunakan sebagai penyalur informasi. Fungsi ini dinyatakan sebagai fungsi transaksional bahasa yang utama. Fungsi ini bisa berupa wacana lisan, seperti ; ceramah atau pidato (tidak membaca teks), deklamasi, dan iklan radio. Ataupun berupa wacana tertulis berupa undangan, cerita pendek, makalah, tesis, teks berita (surat kabar). Kedua, Fungsi interaksional apabila yang dipentingkan dalam penggunaan bahasa adalah hubungan interaksi antara penyapa dan pesapa. Contohnya dalam wacana lisan adalah percakapan sehari-hari, debat, wawancara, diskusi. Sedangkan wacana tulis yang bersifat interaksional dapat berupa suratmenyurat antar teman dan polemik. Dalam peristiwa komunikasi, bahasa memiliki fungsi yang bervariasi. Karena itu, fungsi transaksional bahasa adalah digunakan untuk mengekspresikan emosi, memberitakan suatu fakta, mempengaruhi orang lain, membela kebenaran, mengeritik ketidakadilan, membicarakan bahasa, berceritra, ngobrol dengan handai tolan, dan lainlainnya. Karena itu bahasa advokasi merupakan kajian bahasa yang berada pada lingkungan makrolinguistik ; suatu kajian interdisipliner linguistik dengan ilmu sosial (sosiolinguitik), yang berfokus pada fungsi sosial bahasa dalam kehidupan manusia. Berdasarkan teori fungsi bahasa Halliday (1985) dan (Kushartanti ed. 2007), maka bahasa advokasi dalam kajian ini berada pada 32 field (medan) register jurnalistik (komunikasi), dengan tenor (suasana) bahasa formal, dengan mode (cara) jalur komunikasi tertulis (teks berita). Kemudian bahasa advokasi dikategorikan berada dalam fungsi direktif atau regulatory (Halliday) dan transaksional karena bahasa digunakan untuk membela segmen tertentu yaitu Islam dan umatnya Dengan cara mengungkap berbagai ketidakadilan baik melalui media pemberitaan untuk mempengaruhi pengambil kebijakan agar dapat mendukungnya, dan agar umat akan sadar terhadap ketimpangan, penderitaan yang sedang terjadi di antara mereka. 2. Bahasa Advokasi Media Islam a. Konsepsi Advokasi Kata advokasi berakar dari kata to advocate yang bukan hanya berarti to defend (membela), melainkan pula to promote to create (berusaha menciptakan) dan to change (melakukan perubahan, mengemukakan atau memajukan. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa kegiatan advokasi adalah sebagai upaya untuk mengubah kebijakan publik melalui berbagai bentuk komunikasi persuasif atau sebuah proses yang melibatkan seperangkat tindakan politis yang dilakukan oleh warga negara yang terorganisir agar dapat mengubah kebijakan yang terjadi dalam kekuasaan. Menurut Suharto (2007) Advokasi adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan melakukan tindakan-tindakan yang secara langsung mewakili, mempertahankan, mencampuri, mendukung atau merekomendasikan tindakan tertentu untuk kepentingan satu individu atau lebih, kelompok atau masyarakat dengan tujuan menjamin dan menopang 33 keadilan dan hak-hak mereka. Dalam konteks inilah advokasi merupakan salah satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial masyarakat. Margaret Schuler (Muis, 2011) menyatakan bahwa advokasi terdiri atas sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu, dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi itu juga berisi aktivitas-aktivitas legal dan politis yang dapat memengaruhi bentuk dan praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan serta mobilisasi.” Kemudian menurut Wolfensberger (1994) adalah : ”berbicara, bertindak dan menulis dengan sedikit konflik kepentingan atas nama kepentingan diangap tulus dari orang atau kelompok yang kurang beruntung untuk mempromosikan, melindungi dan mempertahankan kesejahteraan dan keadilan untuk mereka. Ada beberapa elemen kunci yang disebutkan secara lansung atau tersirat dalam definisi advokasi menurut Wolfensberger (1994) di atas adalah : (1) berfungsi dengan berbicara, bertindak dan menulis, dengan maksud untuk mengangkat isu-isu yang bisa mendapat perhatian pengambil kebijakan untuk memperjuangkan hak hidup seseorang atau kelompok lebih layak dan terhindar dari ketidakadilan dan penindasan. (2) Meminimalisasi konflik kepentingan, ketika seseorang berada dalam peran advokasi, anda menangani kepentingan dan kebutuhan yang bertentangan dengan golongan tertentu atau bagi pengambil kebijakan, maka harus mengurangi terjadinya pertentangan dan perseteruan dalam konflik kepentingan ini, dan mengakui keterbatasan-keterbatasan yang disebabkan karena kekeliruan-kekeliruan 34 yang terjadi. (3) ikhlas dalam membela, ketika seseorang menyatakan apa yang diinginkan biasa berbeda dengan apa yang tampak dalam kepentingan yang diidamkan, maka biasanya timbul ketidakpuasan yang memerlukan kesabaran dan keikhlasan (4) Mengusung tentang perbaikan kesejahteraan dan keadilan tanpa pandang bulu. Kita memperjuangkan bagi siapa saja yang tertindas dan diperlakukan tidak adil dengan tidak melihat tingkat sosial, golongan, suku, agama. (5) Kekuatan tindakan, advokasi membutuhkan semangat dan kedalaman perasaan dalam memperjuangkan kepentingan orang yang tertindas. Memulai, membuat aksi, memimpin, bekerja lebih dari apa yang dilakukan secara rutin, menantang masyarakat agar berubah pola pikirnya dan terpengaruh untuk ikut serta terhadap apa yang diperjuangkan. (6) Mempertimbangkan adanya pembiayaan maka perlu dipersiapkan dan mremahami apa yang mungkin terjadi pada para aktivis ketika mereka melakukan advokasi. Kemudian sebuah LSM Program Pengembangan Kecamatan (2007) mengemukakan proses yang perlu dilakukan dalam advokasi, yaitu (1) kumpulkan data, sebelum mengadvokasi sebuah kasus, sebanyak mungkin dikumpulkan informasi dan data mengenai hal yang hendak diadvokasi (2) analisis data berdasarkan data yang terkumpul, dilakukan analisis mengenai apa dan mengapa terjadi ketimpangan dan ketidakadilan (3) bangun basis dengan melibatkan masyarakat, yaitu berusaha melibatkan masyarakat di setiap tahapan yang dilakukan (4) Bangun jaringan agar supaya advokasi berjalan dengan baik, dengan adanya jaringan dapat saling membantu dalam melancarkan advokasi (5) Lancarkan tekanan ke berbagai pihak dengan 35 berbagai cara mulai dari yang bersifat lunak, bersifat kritik, mempengaruhi publik opini melalui media (6) Pengaruhi pembuat dan pengambil kebijakan dengan jalan persuasif, dengan mengajak diskusi atau menginformasikan kepada pengambil kebijakan atas arti penting penanganan kasus tersebut bagi masyarakat dan pembangunan (7) Lakukan pembelaan dengan melancarkan tekanan, yang dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan, membeberkan bukti-bukti penyelewengan, perlakuan tidak adil dan penindasan dengan jalan pemantauan secara kontinyu. Jadi advokasi adalah berbagai tindakan yang dilakukan baik persuasif ataupun dengan tekanan untuk membela golongan tertindas agar dapat memperoleh haknya yang telah dicampakkan oleh kekuatan atau pihak tertentu. Kemudian aktifitas advokasi bisa berujud tuntutan yang dapat disampaikan melalui berbagai cara, mulai dari cara yang paling tradisional, seperti pepe (berjemur diri). Bisa pula berujud protes berupa ungkapanungkapan sindiran, pembelaan dengan kritikan melalui komunikasi antar personal dan komunikasi sosial dan kesenian dalam komunikasi publik, seni sastra atau melalui media massa(Mas’oed,1997). Wahana yang terakhir inilah, yakni media massa, hingga kini dianggap paling efektif, populer, rasional serta institusional dalam melakukan berbagai berita advokasi sebelum ditindaklanjuti dengan penyelesaian melalui pengadilan. Adapun media massa paling efektif dan artikulatif (vokal) dalam menyampaikan advokasi sosial adalah pers (media cetak). Kegiatan advokasi yang dilakukan oleh media, khususnya media Islam tampaknya cenderung lebih banyak berhadapan dengan aspek dominasi 36 kekuasaan atau hegemoni yang juga memiliki media dipakai untuk melanggengkan kekuasaannya. Menurut Maryani (2011) bahwa kekuasaan di sini dipahami sebagai ”certain individuals and groups are able to dominate others, to carry through and realize their own particular aims and interest even in the face of opposition and resistance ( dalam Sullivan,1995). Selain itu kekuasaan juga berhubungan dengan aspek source, means dan relation untuk mendominasi, mengontrol dan melakuan subordinasi yang dibuat dalam situasi dan proses sosial tertentu. Sehingga kekuasaan dapat bersifat coercive, yang melibatkan kekuatan fisik secara lansung untuk menekan dan memelihara dominasi atau dapat juga merupakan hasil dari adanya perbedaan akses dan distribusi dari sumber-sumber yang penting dalam masyarakat. Sumber-sumber itu dapat berupa bahan baku (raw material), ataupun bentuk-bentuk simbolik seperti pengetahuan, melek huruf, ilmu pengetahuan dan tipe-tipe kapital lainnya. Oleh sebab itu, kekuasaan hegemonik dianggap sebagai sosok yang punya kecenderungan distorsif, represif, koruptif, kolusif dan lain-lain sehingga perlu mendapat kritikan, dan pembeberan fakta atas perlakuannya yang dianggap tidak adil dan menyeleweng. Hegemoni cenderung otoriter, tidak demokratis, tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, bahkan dapat menipu publik agar dapat melanggengkan dominasinya terhadap golongan lain. Karena itu, perlu suatu jaringan media yang menjadi lawan, pembela golongan tertindas, menjadi suara masyarakat dalam mempertahankan dan membela hak-hak mereka. Sesuai dengan pernyataan McQuail (1989) bahwa sejak awal 37 perkembangan pers (ia menyebutkan surat kabar) sudah menjadi lawan yang nyata terhadap penguasa yang mapan. b. Karakteristik Media Islam Menurut Cangara (2003) komunikasi massa didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung yang mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alatalat yang bersipat mekanis seperti radio, televisi, surat kabar dan film. Sifat pesannya ditujukan kepada khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan dapat diterima secara serentak pada saat yang sama. Pendapat itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bittner (1980) : Mass communication is messeges communicated through a mass medium to a large number of people. Jadi, media massa dalam disiplin Ilmu Komunikasi biasa juga disebut komunikasi media massa (mass media communication). Dalam praktek sehari-hari, komunikasi massa atau komunikasi bermedia juga disebut dengan media cetak dan media elektronik. Media cetak adalah media yang menggunakan barang cetakan dalam menyebarkan informasi kepada khalayak, seperti : surat kabar, majalah, tabloid dan jurnal atau buletin. Adapun media elektronik mempergunakan alat yang bersipat elektron dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, seperti televisi, radio dan internet. Kemudian dalam pengertian yang khusus media yang menggunakan barang cetakan dalam menyebarkan informasi liputannya secara sederhana disebut dengan pers (Amir, 1999). 38 Pers adalah lembaga atau badan atau organisasi yang menyebarkan berita, sebagai karya jurnalistik kepada khalayak. Pers dan jurnalistik diibaratkan sebagai raga dan jiwa. Pers adalah aspek raga, karena ia berwujud, kongkrit dan nyata; oleh karena itu dapat diberi nama, sedangkan jurnalistik adalah aspek jiwa, karena ia abstrak, merupakan kegiatan, daya hidup, menghidupi aspek pers. Dengan demikian pers dan jurnalistik merupakan dwitunggal. Pers tidak mungkin beroperasi tanpa jurnalistik, sebaliknya jurnalistik tidak akan mungkin mewujudkan suatu karya yang bernama berita tanpa pers. Kegiatan jurnalistik di sini meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, berupa berita dan pendapat kepada khalayak pembaca. Pers dalam arti media cetak atau berhubungan kerja jurnalistik pada media cetak, memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan bentuk pers lainnya. Karena paling banyak dan paling luas penyebarannya dan paling dalam daya kemampuannya untuk merekam kejadian sehari-hari sepanjang sejarah manapun di dunia ini. Adapun media Islam masuk dalam kategori pers khusus, disebut dengan pers keagamaan. Keberadaan pers keagamaan menjadi mitra bagi pers umum. Proses tumbuh berkembangnya, serta kendala yang dihadapinya, boleh jadi tak jauh berbeda dengan pers umum. Kalaupun ada perbedaan lebih dari pada subtansi media ke dalam memperjuangkan misinya. Media Islam secara konsepsional tentu memiliki perbedaan normatif dengan jenis-jenis pers lainnya, meskipun secara operasionalnya sama dengan pers jenis umum, yang merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik. 39 Adapun jurnalistik adalah suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa (news) dan pandangan (views) kepada masyarakat. Secara garis besar, ada dua pendekatan yang sederhana dalam mengenal apa itu pers Islam : (a) Metode pendekatan secara formal, pers Islam dipahami sebagai aktivitas jurnalistik yang dikelola dan diterbitkan oleh umat Islam, menyuarakan aspirasi dan aktivitas umat Islam serta bertujuan mempertahankan misi dan eksistensi Islam. (b) Metode pendekatan informal, dari sudut pandangan ini, pers Islam dinilai dari misi Islam itu sendiri secara universal sebagai rahmatan lil alamin (QS.21:107). Dalam konteks ini media Islam lebih banyak diukur dari cita-cita moralitas Islam, dari semua segi kehidupan ummat Islam (Nur,1997). Karenanya media Islam senantiasa berpijak dan bernafaskan ajaran AlQur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai way of life ummat Islam. Raslulullah bersabda : “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpagang dengannya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah.” (HSR. Muslim). Menurut Malik (Hamka et al,1989) mengemukakan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh media Islam, yaitu : (1) Media Islam harus bersifat kritis terhadap lingkungan luar, sanggup menyaring informasi baik dari Barat atau dari yang lainnya yang relevan dan tidak bias terhadap Islam. Ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an : “Wahai orang-orang yang beriman ! Jika seseorang fasik datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakn suatu kaum karena kebodohan 40 (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. ” (Al-Hujurat 7 ). (2) Media Islam harus manpu menjadi penerjemah dan frontier spirit berbagai pembaharuan dan gagasan kreatif kontemporer. Ajaran Islam perlu dikaji dan diorientasikan ke depan untuk menjadi alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh ummat manusia dewasa ini. Firman Allah : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (AlQur’an) pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (kepadanya).”(QS.Yunus:57). (3) Media Islam hendaknya sanggup melakukan proses sosialisasi sebagai upaya untuk memelihara dan mengembangkan hasanah intelektual Islam. (4) Media Islam harus mampu mempersatukan setiap kelompok umat sambil memberitakan kesiapan untuk bersikap terbuka bagi perbedaan paham. Sebagaimana dipesankan dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 103 : “ Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali Allah (Qur’an dan Sunnah) dan janganlah kamu bercerai-berai.” Waspadalah jangan sampai terjadi : “ Tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing.” (QS.Al-Mu’minun 53 ). Tak berlebihan jika media Islam menjadi sangat penting peranannya, dalam era globalisasi informasi saat ini, yaitu umat Islam menghadapi tantangan dan perang informasi sehingga berkewajiban membangun media Islam yang profesional. Ada beberapa alasan yang mengharuskan hal tersebut, yaitu (1) Media Islam menjadi alat untuk mencerdaskan umat ; menjadi alat untuk menyiarkan informasi ; mendidik, menghibur dan memengaruhi umat secara Islami supaya mereka tetap berada dalam 41 kepatuhan dan ketaatan pada ajaran Islam. Jangkuannya luas, harganya yang murah dan frekuensi yang tinggi merupakan nilai lebih yang dapat memengaruhi umat dalam skala besar. (2) Media Islam menjadi penyeimbang terhadap isu dan informasi buruk yang dilancarkan oleh terhadap menyukai Islam dan umatnya. (3) Media Islam diharapkan dapat membimbing dan memotivasi umat dalam melaksanakan ajaran Islam secara sempurna (Sabili No.5/TH.V 20 Oktober 1992). c. Bentuk Advokasi Media Islam Bila kita memperhatikan etika berbahasa dalam Al-Qur’an, maka kita tidak akan menemukan satu ayatpun yang menganjurkan penggunaan katakata kasar untuk menyampaikan kebenaran, melakukan pembelaan dan kritikan. Perkataan yang dianjurkan oleh Allah swt. ketika kita berintraksi dalam bentuk apapun dengan sesama manusia harus dengan (1) ucapan atau kata-kata yang baik ‘qawlan ma’rufaa’(QS.2:235, 4:5, 8, 33:32), (2) dengan tutur kata yang benar ‘qawlan sadidaa’ (QS. 4:9, 33:70). (3) dengan perkataan yang membekas dan berkesan dalam jiwa ‘ qawlan baliighaa’ (QS. 4:63), (4) dengan perkataan yang sopan dan mulia (honorifik) ’qawlan kariimaa’ (QS. 17:23), (5) dengan ucapan yang lemah lembut ‘qawlan maysuuraa’ (QS. 17:28), (6) dengan ucapan yang berbobot ‘qawlan tsakiilaa’ (73:5), dan (7) jangan mengucapkan perkataan yang mengandung dosa di dalamnya ‘qawlan adzimaa’ (QS. 17:40). Bahasa advokasi media Islam harus menjiwai tuntunan Al-Qur’an dalam menyampaikan wacana tertulis (teks berita) untuk membela Islam dan 42 umatnya. Adapun tahapannya adalah sesuai dengan tahapan pencegahan kemungkaran yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. berikut ini : 1. Strategi Mengubah Kemungkaran Kekuasaan memiliki banyak peluang untuk tercebur ke dalam kemungkaran, yaitu melakukan kolusi, korupsi, atau tindakan represif dan penyelewengan lainnya. Media Islam memiliki dasar pegangan dalam melakukan tugasnya untuk mencegah kemungkaran (alat kontrol sosial). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (As-Sunnah 05/Tahun VI/2002) Nabi Muhammad saw. Bersabda : “ Siapa yang di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklan merubah dengan tangannya (AlYadu), apabila tidak anggup maka cegahlah dengan lidahnya (Al-Lisan), apabila masih tidak sanggup maka dengan hatinya (Al-Qalb), dan ini selemah-lemah iman.” Pada hadits lain diriwayatkan Imam Muslim beliau bersabda : “Tiada seorang nabi sebelumku, melainkan mempunyai sahabatsahabat yang setia, yang benar-benar mengikuti ajarannya, kemudian timbul di belakang mereka generasi yang hanya bicara dan tidak suka berbuat, dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan kekuatan tangannya, maka ia mukmin, dan siapa yang menentang mereka dengan lidahnya, juga mukmin, dan siapa yang membenci mereka dengan hatinya, ia juga termasuk mukmin. Selain dari itu tidak ada lagi iman walau sebiji sawi.” Nabi Muhammad s.a.w. memberikan cara yang bijak dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat, sesuai dengan kemampuan seseorang untuk mengatasinya, yaitu dengan : 43 a. At-Taghyiru bil-Yadi : Maksudnya menghentikan sesuatu ketimpangan dengan jalan memberlakukan hukum, penangkapan atau bila tidak mau kalah maka harus diperangi sampai mengalah. Menurut Syeikh Bin Baz (Al-Wayili,1999) yang dapat melakuan tindakan dengan cara ini adalah penguasa kepada rakyatnya. Atasan kepada bawahannya, Ayah kepada anak-anak dan isi rumah tangganya. Seseorang menindak dengan pakai ‘tangan’ terhadap suatu ketimpangan yang terjadi di dalam tanggung jawabnya. Tidak boleh ia menindak dengan “tangannya” yang tidak di bawah tanggung jawabnya. b. At-Taghyiru bil-Lisan : Maksudnya memberi nasihat, kritikan, larangan lisan yang bisa diperjelas melalui tulisan seperti ; brosur, surat, atau berbentuk terbitan harian seperti surat kabar atau terbitan periodik seperti majalah, tabloid dan jurnal. c. Al-Bughdu anil-Qalb : maksudnya kita tak memiliki kekuatan untuk mencegahnya atau menegurnya baik secara kekuasaan dan nasihat tetapi hati seorang muslim tidak pernah setuju apalagi mengadakan kerja sama dengan para pelaku kezaliman. Hukum mencegah dengan menggunakan salah satu dari tiga hal itu, adalah wajib (fardhu ‘ain) berdasarkan perintah Nabi Muhammad s.a.w. Kewajiban pencegahan kemungkaran sesuai dengan tahapan di atas, ditegaskan kewajibannya oleh sebagian besar ulama seperti Ibnu Katsir, AzZujaj, Ibnu Hazm, dllsb (As-Sunnah 05/Thn. VI 2002). 44 2. Menghadapi Kemungkaran dengan Tulisan At-Taghyiru bil-Lisan berarti melakukan perubahan dengan menggunakan lisan atau tulisan. Ini bisa berujud nasihat , kritikan, motivasi dan sugesti secara lisan atau melalui tulisan. Media Islam sebagai lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi sosial kontrol, yang bisa diwujudkan dalam bentuk nasihat atau kritik siapa saja yang melakukan kezaliman. Dalam Islam mengubah kemungkaran dengan lisan atau tulisan dapat berujud sebagai : (1) Alat Dakwah Ilallah : mengubah kemungkaran dalam bentuk nasihat, ajakan dan kritikan yang membangun. Al-Munajjid (2001) berkata bahwa memperingatkan orang-orang khilaf, bersalah atau pelaku dosa supaya bertaubat dari perbuatannya, menyadari kesalahannya dan tertarik untuk memperbaiki diri memiliki beberapa syarat, yaitu : (a) menasehati dengan niat ikhlas karena Allah. (b) Menjelaskan hukum kesalahan yang diperbuatnya. (c) Mengulang-ulang peringatan tentang akibat buruk dari kesalahan yang diperbuatnya. (d) Menunjukkan belas kasihan dan perhatian kepadanya. (e) Membimbing pelaku kesalahan hingga mampu memperbaiki dan menghindarkan diri dari kesalahan yang diperbuatnya. (2) Alat Jihad Fi Sabilillah : berarti berjihad melalui lisan dan tulisan. Jihad adalah kesungguhan seorang muslim untuk berkorban karena Allah untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan kebenaran Islam. Menurut Syeikh Jamil Zainu (1998) Jihad dapat dilakukan dengan melalui : (a) kemampuan lisan dan tulisan, (b) kemampuan harta (c) kemampuan jiwa untuk berperang. 45 Oleh sebab itu jurnalisme advokasi adalah satu bentuk jihad oleh madia Islam untuk membeberkan tindakan kezaliman, perlakuan tidak adil dan memperjelas distorsi berita dan marjinalisasi atas Islam dan umatnya. Berdasarkan bunyi salah satu hadits : ”Katakanlah yang benar meskipun pahit.” dalam hadits yang lain : ” Syahid yang paling utama adalah dari umatku ialah seorang yang berdiri diahadapan seorang penguasa yang zalim dengan menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar lalu ia dibunuh secara lansung maupun tidak lansung karenanya. Maka tempatnya di syurga bersama-sama Hamzah dan Ja’far (Audah,1985)”. Meskipun demikian media Islam harus mengingat bahwa syarat utama dari laporan jurnalistik Islam itu adalah: (a) harus memegang teguh norma-norma Islam, (b) betulbetul melaporkan fakta (kebenaran) dan (c) harus tetap memperlakukan lawan dengan adil dalam kondisi apapun. Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 8 berbunyi :”Dan jangalah kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah ! Karena adil itu lebih dekat pada takwa.” 3. Teori Kritis Tokoh utama pemikir kritis adalah termasuk Adorno, Horkheimer, dan Marcuse. Mashab ini berkembang dari Universitas Frankfurt di Jerman yang dikenal kemudian sebagai mashab Frankfurt (Frankfurt School). Para pemikir teori kritis mengembangkan pemikirannya berdasarkan warisan pemikiran dari Marx, Kant dan Hegel sehingga mampu mengembalikan sifat dialektis dari ajaran Marx, juga meramunya bersama dengan konsep reifikasi dari Lukacks dan Korcs (Maryani, 2011). Salah satu sifat dasar teori kritis adalah terjadinya 46 keprihatinan atas akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang bukan membebaskan manusia dari belenggu penderitaan dan perbudakan tapi menjadi penjajah baru atas masyarakat dunia. Jiwa teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat modern dewasa ini. Kondisi masyarakat modern kelihatan produktif dan maju, bagus tapi terselubung suatu struktur ideologi yang menipu dan menjajah kesadaran halayak. Media adalah alat yang paling ampuh digunakan untuk tujuan tersebut. Itulah sebabnya Horkheimer (1986) menyatakan bahwa bahwa teori kritis haruslah memberikan keasadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irrasional dan dengan memberikan pula kesadaran untuk membangun masyarakat rasional, dengan memberikan kesadaran emansipatoris. Meskipun Horkheimer (Maryani, 2011) menyadari bahwa teori kritis tidak netral karena pada tujuannya adalah berusaha membebaskan manusia dari perbudakan dan ketertindasan, membangun hubungan yang merdeka, dan memulihkan manusia sebagai subjek yang mengendalikan sendiri kenyataaan sosialnya. Teori Kritis begitu optimis bahwa akan terjadi perubahan melalui kesadaran manusia yang kritis terhadap lingkunganya dan mampu mengupayakan kehidupan yang lebih manusiawi. Mereka memaknai kesadaran manusia sebagai kemampuan rasionalitas manusia untuk menguasai alam dan melakukan perubahan melalui rasionalitasnya itu. Akan tetapi ketika kemudian mereka mengkritisi modernisasi ada keraguan kembali tentang kekuatan rasionalitas manusia, sehingga mengalami kebuntuan. 47 Tapi kemudian kebuntuan yang terjadi di kalangan pemikir kritis tersebut akhirnya mendapat jalan keluar ketika Habermas mengemukakan bahwa kebuntuan terjadi karena usaha untuk melakukan emansipasi pada masyarakat atas kegagalan modernisasi, karena rasionalitas manusia hanya sebagai rasionalitas instrumental atau rasionalitas terknologis. Padahal rasionalitas tersebut hanya rasionalitas yang arahnya ada dalam praksis kerja sebagai sebuah sistem dalam kehidupan manusia, sementara kehidupan manusia tidak hanya terdiri dari praksis kerja tetapi juga praksis komunikasi yang hidup dalam kesehariannya (lifeworld). Menurut Habermas (1984) orang menghumanisasikan dirinya melalui interaksi atau komunikasi. Rasionalitas komunikasi hanya mungkin ada dalam praksis komunikasi yang anggotanya dapat berpartisipasi aktif dalam praksis komunikasinya dan masih dimungkinkan atau dapat melakukan kontrol terhadap proses komunikasinya. Dengan kata lain rasionalitas komunikatif hanya dapat terjadi yaitu dalam sebuah komunikasi yang bisa diidealkan, yaitu ketika tidak ada tekanan dan hambatan dalam proses komunikasi antara dua pihak. Dengan kata lain masyarakat atau individu harus mendudukkan dirinya sebagai subjek bukan objek dalam proses komunikasi. Apabila sistem komunikasi terdistorsi maka tetap terbangun kesadaran palsu (false consciousness). Kesadaran palsu terus terwujud ketika dominasi dipahami menjadi sesuatu administratif dan manipulasi kebutuhan menjadi kebutuhan itu sendiri. Menurut Marcuse (Maryani,1984) bahwa teori kritis, juga mengungkapkan kondisi tersebut dalam bahasanya tentang manusia satu dimensi. Baginya manusia satu dimensi adalah manusia yang kehidupannya 48 mengalami kekaburan akan dua kontradiksi yang seharusnya selalu dipahami. Kontradiksi yang utama adalah adanya kelompok-kelompok dominan yang selalu berupaya menguasai atau menyubordinatkan kelompok lainnya. Di dalam kehidupan manusia satu dimensi, perbedaan yang ada dikaburkan begitu rupa sehingga manusia sebagai seorang individu tidak menyadari keberadaan dirinya dalam dua kontradiksi tersebut. Tak adanya kesadaran individu menjadikan mereka mudah dikuasai (tanpa perlawanan) karena hilangnya kesadaran mereka sebagai kelompok tertindas. Interaksi masyarakat dan media menjadi begitu penting karena media sebagai institusi hadir dan bergerak dalam ranah publik oleh karenanya keberadaan media seharusnya tidak lepas dari kepentingan publiknya itu sendiri. Segala kepentingan di luar publiknya terutama yang dominan dapat mendistorsi proses komunikasi sehingga publik teralienasi dari kepentingannya sendiri dan terciptalah kesadaran palsu. Komunikasi yang tidak terdistorsi akan dilihat dari kemapuan media untuk menghasilkan ruang dan teks yang memungkinkan terjadinya situasi komunikasi yang diharapkan. Dengan demikian media dan interaksinya dengan khalayak menjadi amat penting untuk selalu dikritisi. Menurut Maryani (2011) media dalam prakteknya adalah ruang di mana ideologi dipertarungkan untuk mendapat tempat dalam benak khalayak. Siapa yang bertarung dalam kehidupan media menjadi penting untuk dilihat kekuasaannya. Siapa yang mampu memanfaatkan kekuasaannya dalam mempengaruhi media dan seberapa besar kekuasaan tersebut bermain dalam praktek media dengan kata lain media tidak saja sekedar sebuah saluran komunikasi akan tetapi juga sebagai sebuah institusi 49 yang telah menjadi bagian dari masyarakat dengan pertarungan ideologi di dalamnya. Karena itu teori kritis (Eriyanto,2006) melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh Karena itu, pertanyaan pertama dari paradigma kritis adalah siapakah yang menguasai media. Apa keuntungan yang didapat bagi pengentrol media. Pihak mana yang tidak dominan, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media bahkan hanya menjadi objek pengontrolan. Aliran kritis melihat struktur sosial dengan konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi, termasuk media massa. Bagi aliran ini penelitian media massa yang mengabaikan atau menghindari konteks sosial dalam penelitiannya akan menghasilkan distorsi yang serius. Tidaklah mengherankan, jika berbeda dengan penelitian positivistik yang umumnya individual dan mikro, paradigma kritis justru berada dalam makro analisis dan bergerak dalam struktur sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat memproleh gambaran secara holistik. Teori kritis melihat bahwa media tidak dapat dilepaskan dari kekuatankekuatan yang ada mempengaruhi berlansungnya komunikasi. Aspek ini tidak mendapat tempat yang mamadai dalam tradisi paradigma empirisposivistik yang lebih melihat proses interaksi dalam media sebagai proses yang netral, dengan mengunakan analisis isi yang kuantitatif dengan kategorisasi yang ketat dengan analisis statistik. Sedangkan teori kritis umumnya kualitatif dan menggunakan penafsiran sebagai basis utama 50 memaknai temuan. Menurut Popkewitz (1990) menyatakan bahwa teori kritis memandang realitas kehidupan bukanlah realitas yang netral, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu konsentrasi analisis pada teori kritis adalah menemukan kekuatan yang dominan tersebut yang selalu berusaha memarjinalkan dan meminggirkan kelompok yang tidak dominan.” Berkenaan dengan media, penafsiran atau analisis teks berita, teori kritis berpandangan bahwa berita bukanlah suatu yang netral, dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Media sebaliknya adalah ruang di mana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan. Oleh sebab itu, menurut Guba (1994) bahwa tujuan penelitian kritis adalah mengubah dunia yang timpang, yang didominasi oleh kekuasaan yang menindas kelompok bawah. Dalam hubungan dengan penelitian teks berita, penelitian kritis berusaha untuk melihat realitas dan hubungan sosial berlansung dalam situasi yang timpang. Ketidakadilan, relasi sosial yang timpang dalam pemberitaan itulah yang menjadi titik tolak penelitian teks dari paradigma ini. Oleh karena itu, penelitian ditujukan untuk menyingkap sumber ketidakadilan tersebut dan berusaha melakuan transformasi sosial untuk mengubah situasi yang tidak adil itu. Menurut Newman (1990) salah satu sifat penelitian positivistik, yang ditolak dalam paradigma kritis, adalah pandangan yang menyatakan bahwa peneliti sebagai subjek yang netral dan bebas bebas nilai. Analisis yang sifatnya kritis, umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang 51 diyakini oleh peneliti. Oleh karena itu keberpihakan peneliti dan posisi peneliti atas suatu masalah sangat menentukan bagaimana data atau teks yang ditafsirkan. Berhubungan dengan keberpihakan peneliti adalah etika atau moral dalam penelitian. Dalam pandangan positivistik peneliti tidak diperbolehkan memberikan penilaian kepada objek yang diteliti. Hal yang berbeda dengan penelitian kritis, justeru pertama kali muncul adalah nilai atau moral tertentu. Penelitian dilakukan karena adanya semacam moral atau nilai tertentu, ada kerisauan, ada keinginan untuk melakukan perubahan. Oleh sebab itu, teks akan ditafsirkan dalam perspektif yang diyakini oleh peneliti. Bahkan Stuart Hall (1982) mengatakan bahwa analisis kritis memandang peneliti seperti layaknya seorang aktivis yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai tertentu yang harus diperjuangkan. Oleh sebab itu berdasarkan pendekatan terori kritis, yang menganggap media sebagai instrumen ideologi dan kekuasaan yang cenderung menguasai kesadaran khalayak dan menjadi sumber legitimasi dimana penguasa dan dominasi tertentu (hegemoni) memupuk kekuasaanya agar tampak absah benar, dan memang seharusnyalah seperti itu. Karena itu, peneliti berusaha agar dapat mengungkap interest atau ideologi yang terselubung di balik wacana berita advokasi ketiga media Islam ini ; Majalah Sabili, Hidayatullah dan Media Umat. Apakah mereka memiliki tujuan yang sama atau tujuan yang berbeda dalam membela Islam dan umatnya dengan cara yang berbeda dalam pemberitaan advokasi yang dilakukannya. 52 4. Teori Wacana Kata wacana (Webster,1983) memiliki arti sebagai berikut, (1) Wacana adalah komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasangagasan, percakapan (a communication of thoughts by words; expression of ideas; conversation). (2) Wacana adalah komunikasi secara umum terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok bahasan (communication in general, especially as a subject of study). (3) Wacana adalah risalah tertulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khutbah. (A written treatise ; a formal dissertation; a lecture, a sermon). Dalam pengertian ini, wacana dapat berbentuk penyampaian lisan ataupun tulisan. Dengan demikkian, semua ucapan atau tulisan yang teratur, sesuai dengan urutan yang semestinya, yaitu sistematik dan logis adalah wacana. Sebuah pernyataan lisan atau tulisan harus punya dua unsur penting, yaitu kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence) maka ia akan memenuhi syarat untuk disebut sebagai wacana. Keraf (1995) menjelaskan pengertian wacana dalam sudut bentuk bahasa dan dari sudut tujuan umum. Dari sudut bentuk bahasa, atau yang bertalian dengan hierarki bahasa, wacana adalah bentuk bahasa di atas kalimat yang mengandung sebuah tema. Satuan bentuk yang mengandung tema ini biasanya terdiri dari atas alinea-alinea, anak-anak bab, bab-bab, atau karangan-karangan utuh, baik yang terdiri atas bab-bab maupun tidak. Jadi tema merupakan ciri dari sebuah wacana. Tanpa tema wacanapun tidak ada. Di pihak lain, pengertian wacana dapat ditinjau dari sudut sebuah komposisi atau karangan utuh. Dalam hal ini, landasan yang utama untuk membedabedakan karangan satu dengan yang lainnya, adalah tujuan umum yang ingin 53 dicapai dalam sebuah karangan. Tujuan umum ini merupakan hasil klasifikasi dari semua tujuan yang ada, yang membawa corak khusus karangankarangan sejenis. Tujuan umum yang akan dicapai dalam sebuah karangan utuh dipengaruhi dan ditentukan oleh kebutuhan dasar manusia. Menurut Keraf (1995) ada empat macam kebutuhan dasar yang dapat dalam karang mengarang. Kebutuhan dasar tersebut dapat berujud dengan: (a) keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain dan memperoleh informasi dari orang lain mengenai satu hal. (b) keyakinan untuk meyakinkan seseorang mengenai suatu kebenaran atau suatu hal, dan lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. (c) keinginan untuk menggambarkan atau menceritrakan bagaimana bentuk atau wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal atau bunyi; (d) keinginan untuk menceritrakan pada orang lain kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang dialami sendiri maupun yang didengarnya dari orang lain. Setiap kebutuhan dasar itu akan melandasi corak dasar dari sebuah karangan, yang secara khusus mewarnai tujuan umum dari suatu karangan. Berdasarkan tujuan umum inilah secara tradisional dibeda-bedakan bermacam-macam bentuk karangan atau bentuk retorika. Disamping itu, ada pula istilah teks, yang maknanya biasa dikacaukan dengan makna wacana. Tapi teks dapat dipahami sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya katakata yang tercetak di atas kertas, tapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Halliday dan Hasan 54 (1976) memandang bahwa wacana adalah kajian bahasa berada pada lingkup semantik ketimbang pada lingkup tata bahasa. Sedangkan Hoed (Sihombing,1994) membedakan pengertian wacana dan teks berdasarkan konsep Saussure tentang bahasa, yaitu langue dan parole. Menurut Hoed, wacana adalah susunan abstrak bersifat teoritis di mana maknanya dapat dianalisis berdasarkan konteks komunikasi. Konteks sendiri adalah unsurunsur bahasa di mana ucapan merujuk kepadanya. Itulah sebabnya wacana sama dengan langue. Sementara teks merupakan wujud dari wacana, yang disamakan dengan parole. Graddol (Eriyanto,2006) menjelaskan bahwa teks dapat dipahami sebagai artefak komunikasi, dan lebih jauh adalah produk dari teknologi. Teks media, dengan demikian menunjuk kepada teknologi yang memungkinkan untuk memproduksinya. Suara, musik dan berbagai hal dapat disebut sebagai teks. Dalam surat kabar bukan hanya teks tertulis, tetapi juga foto, lay out dan grafik dapat dimasukkan sebagai teks. Semetara wacara menurut (Chaer, 2007) wacana adalah satuan bahasa yang lengkap yang mengandung konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca atau pendengar tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya. Jadi wacana dapat dinyatakan sebagai unsur batiniah dari teks, sementara teks adalah unsur lahiriah dari wacana. Selanjutnya, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah 55 mengenai aneka fungsi pragmatik bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubunganhubungan wacana yang bersifat antar kalimat dan supra kalimat, maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain (Taringan,1993). Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. 5. Teori Analisis Wacana Kritis Analisis wacana merupakan istilah umum yang dipergunakan oleh berbagai disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Analisis ini pertama kali diperkenalkan oleh Harris (1951) yang membicarakan wacana iklan dengan menelaah saling hubungan antara kalimat-kalimat yang menyusunnya dan kaitan antara teks dengan masyarakat dan budaya. Kemudian Asher dan Simpson, ed. (1999) membagi pendekatan dalam analisis wacana menjadi tiga, yaitu (1) pendekatan formal (2) pendekatan sosoilogis-empiris, dan (3) pendekatan kritis. Untuk memperjelas perbedaan pradigma analisis wacana ini, akan diringkas berdasarkan penjelasan Hikam (Eriyanto,2006) berikut ini : 1. Pandangan positivisme-empiris ; oleh penganut aliran ini bahasa dilihat sebagai jembatan antar manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara lansung 56 diekspresikan melalui penggunaan bahasa, tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemahaman ini adalah pemisahan antara pemikiran dengan realitas. Efeknya, orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Sebab yang penting adalah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis atau semantik. Jadi analisis wacana yang dimaksudkan hanyalah untuk menggambarkan kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. 2. Pandangan konstruktivisme : Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran penomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivismeempirisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Bahkan subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu, yaitu : upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pegungkapan itu dilakukan di antaranya dengan menempatkan diri pada posisi si 57 pembicara, dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari si pembicara. 3. Pandangan Kritis : Pandangan ini menganggap konstruktivisme kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institutional. Konstruktivisme masih belum menganalisis factor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisa wacana kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenangkan menjadi wacana, persfektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan demikian, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Kategori ketiga inilah yang disebut dengan analisa wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). 58 Fairclough dan Wodak (1977) menyatakan bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing dengan beberapa gejala-gejala penting yang harus mendapat perhatian khusus bagi peneliti yang menerapkan analisis wacana kritis, yaitu : a. Tindakan: Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dalam hal ini seseorang yang berbicara atau menulis tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk berinteraksi dengan orang lain. Maka dalam karateristik ini, pertama : wacana digunakan membujuk, menopang, bereaksi, untuk memengaruhi, mendebat, dan sebaginya. Kedua; wacana digunakan dan diekspresikan secara sadar atau diekspresikan di luar kesadaran. b. Konteks: Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, kondisi dan sebagainya. Wacana di sini diproduksi, dimengerti dan dianalisis secara saksama pada konteks tertentu. Analisis wacana juga memeriksa konteks komunikasi, siapa yang mengomunikasikan siapa dan mengapa. Dalam jenis khalayak dan situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi dan hubungan masing-masing pihak. Biasanya konteks yang berbeda memengaruhi partisipasi komunikan untuk menyesuikan diri dengan konteks yang ada, tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua konteks di luar teks memengeruhi wacana, melainkan hanya yang relevan saja. 59 c. Historis : Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks dan situasi yang menyertainya. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa dipakai seperti itu, dan seterusnya. d. Kekuasaan : Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Karena itu, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidak selalu dalam bentuk fisik dan lansung tetapi juga kontrol secara mental dan psikis. Bisa pula berupa atas konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh bicara dan harus bicara, dan sementara siapa pula yang hanya biasa mendengar dan mengiyakan. e. Ideologi : Persoalan ideologi merupakan konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini disebabkan karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau percerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan, 60 dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak, bahwa dominasi itu diterima secara tidak sadar. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium, melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak, produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam CDA, wacana tidak dikaji hanya sebatas hanya menggambarkan aspek kebahasaan semata, tetapi juga CDA menghubungkan analisis bahasa dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan terjadi dalam masyarakat, khususnya bagaimana media mengemas berita-berita yang disampaikan kepada khalayak pembaca mengandung berbagai macam kepentingan agar mereka dapat terpengaruh dan memberikan responsnya. Dalam penelitian ini akan digabungkan dua jenis model analisis wacana kritis, yaitu CDA model Fowler dkk dan model Teun A. Van Dijk, dengan tujuan untuk menonjolkan analisis Linguistik Kritis tanpa meninggalkan analisis kognisi dan konteks sosialnya. Di bawah ini akan dijelaskan kedua model pendekatan itu: 61 a. Model Fowler dkk Dalam analisis wacana kritis berkembang beberapa model, tapi yang dipakai dalam penelitian ini adalah model CDA Roger Rowler dkk (1979). Model ini dikembangan oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia yang dipelopori oleh Fowler. Pendekatan ini kemudian disebut dengan Critical Linguistics. Critical Linguistics adalah analisis wacana kritis mendasarkan dirinya pada teori linguistics, utamanya teori-teori Halliday tentang struktur dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa inilah yang menjadi alat dari ideologi media yang dikomunkasikan pada khalayak. Fokus utama critical linguistics Fowler dkk. adalah melihat bagaimana struktur bahasa (grammar) dan pilihan kosa kata (diksi) tertentu membawa implikasi pada ideologi tertentu dari media. Pokok-pokok pikiran Fowler dkk. tentang ideologi media yang perlu mendapatkan kajian kritis adalah pada dua tahap, yaitu pertama level kosa kata (diksi) disebabkan dapat : (1) membuat klasifikasi : yaitu ; menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Realitas tertentu dikategorisasikan pada klasifikasi tertentu, dan dibedakan dengan realitas yang lain. Klasifikasi terjadi karena realitas begitu kompleksnya, sehingga orang kemudian membuat penyederhanaan dan abstraksi terhadap realitas tersebut yang bukan hanya bisa dikenali, bahkan pada akhirnya juga berusaha dibedakan dengan yang lainnya. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. (2) Membatasi pandangan: Bahasa pada dasarnya bersifat membatasi, kita diajakan berpikir untuk memahami seperti itu, bukan yang lain. Kosa kata berpengaruh terhadap 62 bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Dikatakan demikian karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu peristiwa secara lansung. Oleh karena itu, ketika membaca suatu kosa kata tertentu akan dihubungkan dengan realitas tertentu. (3) Pertarungan wacana : Kosa kata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Dalam suatu pemberitaan, setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas suatu masalah. Mereka mempunyai klaim kebenaran, dasar pembenar dan penjelas mengenai suatu masalah. Mereka bukan hanya mempunyai versi yang berbeda, tetapi juga berusaha agar versinya yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam memengaruhi opini publik. Dalam upaya memenangkan penerimaan publik tersebut, masing-masing pihak menggunakan kosa kata sendiri dan berusaha memaksakan agar kosa kata itulah yang lebih diterima oleh publik. (4) Marjinalisasi : Argumen dasar dari Fowler dkk, adalah pilihan linguistik tertentu ; kata, kalimat, proposisi ; membawa nilai ideologis tertentu. Kosa kata dipandang bukan sebagai suatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu. Di sini pemakaian kata, kalimat, susunan dan bentuk kalimat tertentu, proposisi tidak dipandang semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi ekspresi dari ideologi ; upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain. Pemakaian bahasa dipandang tidak netral karena membawa implikasi ideologis terentu. Bagian kedua adalah pada level struktur bahasa, yaitu (1) Model aksional adalah (a) model transitif adalah kalimat yang behubungan dengan proses, yakni melihat bagaian mana yang dianggap sebagai penyebab suatu 63 tindakan, dan sebagian yang lain sebagai akibat dari suatu tindakan. Kemudian model (b) intransitif yaitu seorang aktor dihubungkan dengan suatu proses tetapi tanpa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek yang dikenai. (2) Model relasional menggambarkan hubungan di antara dua entitas antara pelaku dengan korban bisa berupa ekuatif, yakni hubungan antara sama-sama kata benda atau hubungan atributif di mana kata benda dihubungkan dengan kata sifat untuk menunjukkan suatu kualitas atau penilaian tertentu. Kedua model di atas disebut Fowler dkk. sebagai model sintagmatik. (3) Kemudian yang lain yang mendapat perhatian utama analisis ini adalah efek bentuk kalimat pasif dan nominalisasi yang dapat menghilangkan pelaku, sehingga pelaku tidak terpojok oleh berita media, meskipun telah berbuat kesalahan yang patal. Adapun pada kalimat aktif bila diubah dalam bentuk apapun tidak mengurangi arti yang ditimbulkannya. b. Model Teun A. Van Dijk Analisis wacana pendekatan Kognisi Sosial (Socio-Cognitive Approach). Pendekatan ini dikembangkan oleh para pengajar di Universitas Amsterdam, dengan tokoh utamanya Teun A. van Dijk. Analisis wacana kritis model van Dijk (1998) bukan hanya semata-mata mengalisis teks, tapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks yang dianalisis. van Dijk menggambarkan wacana dalam tiga dimensi atau bangunan yaitu : teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Medel analisis seperti berikut : 64 TEKSTeun van DijkSumber Gambar 01 Model Analisis KOGNISI SOSIAL KONTEKS SOSIAL KONTEKS SOSIAL Gambar 01 Model Analisis Teun van DijkSumber Eryanto (2001) Inti analisisnya adalah dengan menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Pada dimensi teks yang diteliti bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita, yang melibatkan kognisi individu dari wartawan atau redaktur. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah yang mempengaruhi kognisi wartawan atau redaktur. Analisis van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual, yang memusatkan perhatian murni pada teks, ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan atau redaktur maupun bagian dari konstituen masyarakat tertentu. 1) Tahapan Analisis Teks Berita dianalisis dengan memakai metode Critical Linguistic.. Pendekatan utama pada tahapan ini adalah analisis struktur bahasa, yang dapat menggambarkan kecenderungan isi suatu teks berita. Elemen wacana yang akan dianalisis adalah : 65 STRUKTUR WACANA HAL YANG DIAMATI ELEMEN Struktur Makro Tematik Topik Tema/topic yang dikedepankan dalam suatu berita Superstruktur Skematik Skema Bagaimana bagian dan urutan berita dikemas dalam teks berita utuh Struktur Mikro Semantik Latar, Detail, Maksud, Makna yang ingin ditekankan Peranggapan, dalam teks berita Struktur Mikro Sintaksis Koherensi,Bentuk kalimat, Bagaimana kalimat (bentuk, Kata Ganti, Nominalisasi. susunan) yang dipilih Struktur Mikro Stalistik Leksikon Bagaimana pilihan kata yang diapakai dalam teks berita Struktur Mikro Retoris Grafis, Metafora, Ekspresi Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan Gambar 02 Tabel Bidang Analisis Critical Lingustic (Sumber: Eriyanto, 2002: 74) 2) Tahap Analisis Kognisi Sosial Pada tahap ini analisis diharapkan dapat mengungkap makna yang tersembunyi di balik teks. Pendekatan kognitif menurut van Dijk didasarkan pada asumsi bahwa teks diberikan makna oleh pemakai bahasa. Oleh karena itu analisis membutuhkan penjelasan yang menjadi representasi kognisi dan strategi wartawan atau redaktur dalam memproduksi suatu berita. Bagaimana peristiwa dipahami dan dimengerti didasarakan pada skema. van Dijk menyebut skema ini sebagai model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup di dalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Skema menunjukkan bahwa kita menggunakan struktur mental untuk menyeleksi dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Skema sangat ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai sebuah struktur mental, skema menolong kita menjelaskan realitas dunia yang kompleks–membantu kita 66 memandu apakah yang harus kita pahami, maknai, dan ingat tentang sesuatu. Skema menggambarkan bagaimana seseorang menggunakan informasi yang tersimpan dalam memorinya dan bagaimana itu diintegrasikan dengan informasi yang baru yang menggambarkan bagaimana peristiwa dipahami, ditafsirkan, dan dimasukkan sebagai bagian dari pengetahuan kita tentang suatu realitas. Analisis kognisi sosial sangat menekankan bagaimana perisitiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan ditampilkan dalam suatu model dalam memori yang akhirnya mewarnai sebuah teks berita. Model ini menggambarkan bagaimana tindakan atau peristiwa yang dominan, partisipan, waktu, lokasi. keadaan, objek yang relevan atau perangkat tindakan yang dibentuk dalam struktur berita. Misalnya, sebuah peristiwa demonstarsi mahasiswa, keadaan apa dari peristiwa itu yang lebih ditonjolkan ; demonstrasinyakah atau pengrusakannya; aktor yang terlibat apakah lebih menekankan kepada polisi atau mahasiswa yang berdemonstrasi. Demikian pula pada karateristik waktu, tempat, dan sebagainya. Model atau skema itulah yang menjadi titik fokus dari analisis kognisi sosial. 3) Tahap Analisis Konteks Sosial Analisis pada tahapan konteks sosial adalah bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Fokus utama pada tahap ini adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diperoduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut van Dijk, dalam analisis mengenai masyarakat, ada dua bagian penting ; kekuasaan (power) dan akses (access). Kekuasaan tersebut, 67 menurut van Dijk, sebagai kepemilikan yang didominasi oleh suatu kelompok, lembaga, gerakan untuk mengontrol kelompok lain atau masyarakat. Kekuasan ini umumnya didasarkam pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Kekuasaan menurut van Dijk dapat melakukan kontrol bersipat lansung atau berbentuk persuasif. Kekuasaan persuasif dilakukan dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan. Secara umum dapat juga kita menganalisis bagaimana proses kekuasaan itu secara umum dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus. Analisis wacana model van Dijk juga memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Akses yang lebih besar bukan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan pada khalayak. Begitupala berbeda akses dalam media ini menyebabkan menyebabkan struktur, kesadaran bahan kecenderungan yang berbeda dalam pemberitaan. Faktor kekuasaan dan akses pada media dapat ditelusuri dengan studi pustaka tentang doktrin dan paham yang terakumulasi pengaruhnya dalam sebuah institusi media dan penelusuran sejarah perjalanan ideologi yang menjadi akses media (Eriyanto,2003). Studi pustaka dan penelusuran sejarah merupakan pokok analisis konteks sosial dalam CDA model van Dijk. Sasaran utamanya adalah agar dapat mengenal ideologi yang dominan mempengaruhi 68 sebuah media dalam menyebarkan infomasi dan pengaruhnya kepada khalayak pembacanya. c. Model Gabungan Powler dengan van Dijk Salah satu kekurangan dalam model CDA Fowler dkk adalah tidak memiliki analisis konteks sosial terhadap teks berita, hanya berfokus pada analisis linguistik kritis semata. Sementara analisis model van Dijk memecah bagian struktur kalimat dalam dua bagian yang terpisah yaitu pada bagian semantik dan sintaksis, kemudian diksi dalam stailistik dan retorik, kedua bagian ini disederhanakan dalam Fowler dkk dalam dua bagian yaitu analisis struktur kalimat dan diksi. Sehingga analisis teks model kombinasi ini dapat mempertahankan corak analisis linguistik kritis pada teks berita. Dengan menyatukan kedua model ini, kita akan menemukan sintesa analisis yang menghadirkan analisis linguistik kritis yang dilengkapi dengan analisis framing (kognisi sosial) dan konteks sekaligus, seperti berikut ini : MODEL CDA PERPADUAN POWLER DAN VAN DIJK LEVEL ANALISIS No STRUKTUR WACANA BERITA KONTEKS ELEMEN Topik 1 Tematik Topik yang dikedepankan dalam suatu berita atau topik utama/ andal yang ditonjolkan atau diunggulkan oleh keseluruhan teks berita. 2 Skematik Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita secara utuh. 3 Diksi Bagaimana kata dipakai membuat Klasifikasi, Membatasi pandangan, Pertarungan wacana, dan Marjinalisasi. 4 Struktur Kalimat 1 Kognisi 2 Sosial FRAMING LINGUISTIK KRITIS FOKUS ANALISIS Bagaimana bentuk dan susunan kalimat yang dipilih. Bagaimana kognisi wartawan dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Bagaimanawacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwac yang digambarkan. Tabel 03 Gabungan CDA Fowler dan va Dijk 69 Skema ; headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup. Termasuk pula ; kerangka /alur/plot (frame). Leksikon, metaphor, prase, ungkapan, idiom. Kalimat; Aksional dan Relational; koherensi, maksud, latar, detil, praanggapan, nominalisasi Mempertimbangkan Framing berita dan wawancara. Studi pustaka, sejarah. penelusuran Di bawah ini akan dijelaskan model analisis gabungan ini sebagai berikut, yaitu : 1. Framing Framing adalah bagaimana peristiwa itu dilihat, lantas ditampilkan, ditonjolkan oleh media tentang peristiwa, aktor, atau kelompok tertentu, untuk melihat hal itu van Dijk menempatkan pada posisi analisis tematik dan skematik berita. Tematik adalah berkenaan dengan topik berita sangat strategis untuk membantu menemukan penonjolan sebuah peristiwa dalam sebuah berita dalam media. Kemudian dari skema sebagai langka teknis untuk mempermudah framing karena dalam skema berita dapat diketahui bagian-bagian berita yang ditonjolkan oleh media (Syamsuddin, 2008). 2. Linguistik Kritis Analisis teks berita dengan pendekatan model Fowler memakai analisis diksi dan struktur kalimat dengan berbagai variasinya. Di sini dapat mengikhtisar struktur mikro analisis van Dijk dengan dua pendekatan analisis ini, sehingga pendekatan linguistik lebih dinamis dan global, karena sangat bergantung pada pengetahuan bahasa peneliti. 3. Konteks Analisis konteks berasal dari van Dijk, karena Fowler dkk sapma sekali tidak memiliki pendekatan analisis konteks. Dalam konteks tergabung di dalammya (a) analisis kognisi sosial wartawan yang dapat dilihat melalui kesimpulan dari analisis framing, bila tidak memuaskan maka akan diadakan wawancara terhadap beberapa wartawan dan redaktur media 70 sedang dijadikan obyek penelitian. Kemudian (b) analisis konteks sosial untuk mengetahui bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Ini dapat dilakukan dengan bacaan atau studi pustaka dan penelusuran sejarah yang berkenaan dengan topik yang mendominasi berita media yang bersangkutan. Karena itu, analisis wacana kritis gabungan ini akan diterapkan dalam penelitian ini sebagai model alternatif dalam menemukan analisis wacana kritis yang mempertahankan dan menonjolkan pendekatan linguistik kritis dalam menganalisis teks berita media. B. Tinjauan Hasil Penelitian Beberapa hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan analisis wacana kritis, terutama yang dilakuan oleh Ibnu Hamad (2004) terkait dengan realitas partai politik dalam media massa, dengan analisis berita 10 harian surat kabar ternama di seluruh Indonesia dengan menggunakan teknik analisis kritis teks eklektif, yaitu memadukan beberapa terori wacana kritis dengan model utama CDA Fairclough. Kemudian penelitian dengan pendekatan analisis framing yang dilakukan oleh Elvis Nurdin (2003) khusus membeberkan citra AS dan sekutunya karena rencana mereka menyerang Irak (2002) dalam 271 unit berita harian Fajar dengan pendekatan analsis framing model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki yang merupakan formulasi dari model CDA Teun A. van Dijk. Kemudian penelitian Ambo Enre (2003) menggunakan analisis wacana kritis model van Dijk terhadap teks 71 sufistik Jalalauddin Rahmat dalam bukunya Membuka Tirai Kegaiban : Renungan-Renungan Sufistik. Dari kajian-kajian di atas terlihat bahwa sejauh ini kajian tentang CDA telah dilakukan oleh pada peneliti khususnya dalam kajian ilmu komunikasi, tetapi dalam kajian Linguistik tentang bahasa advokasi media Islam di Indonesia dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis gabungan model Fowler dan van Dijk adalah merupakan kajian baru seperti yang dipilih dalam penulisan disertasi ini. C. Kerangka Pikir Kajian bahasa advokasi termasuk bidang kajian Sosiolinguistik yaitu kajian interdisipliner ilmu bahasa dengan ilmu sosial-masyarakat, yang berfokus pada fungsi direktif atau regulatory bahasa dalam kehidupan manusia. Berdasarkan teori fungsi sosial bahasa Halliday, maka kajian berita media berada pada medan (field) register jurnalistik (media masa). dengan suasana (mood) formal, melalui jalur (tenor) komunikasi tertulis (teks berita). Bahasa advokasi adalah fungsi bahasa regulatory (ditrektif) dan interaksional karena bahasa digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok tertentu, yaitu Islam dan umatnya yang tertindas cara mengungkap berbagai ketidakadilan baik dalam dalam pemberitaan media untuk mempengaruhi kebijakan, dan agar khalayak tersadar terhadap adanya ketimpangan, penderitaan yang sedang terjadi di sekitar mereka. Pada kajian ini pendekatan yang digunakan adalah paradigma teori kritis dalam interpretasi teks berita. teori ini mempertanyakan dan bahkan 72 meragukan netralitas berita media. Media dianggap memiliki ideologi yang terselubung yang dibangun oleh kelompok dominan (kaum kapitalis) dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Wacana dipandang sebagai medium, di mana kelompok yang dominan mempersuasi khalayak, untuk menguatkan kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki. Salah satu pendekatan analisis yang dilakukan dalam pendekatan ini, untuk membongkar praktek-praktek ideologi media adalah analisis wacana kritis. Oleh sebab itu, pada kajian ini metode analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis pada tiga media Islam, yaitu majalah Sabili, Hidayatullah, dan Media Ummat, dengan menggabungkan antara criticial linguistic model Fowler dkk dengan analisis konteks model van Dijk. Adanya gabungan ke dua model CDA ini, maka interpretasi kritis dapat dilakukan dalam dua level, yaitu level teks dengan (1) diksi dan (2) struktur kalimat, kemudian pada level konteks, (1) konteks kognisi sosial dengan analisis framing di dalamnya meliputi tematik dan skematik, yang dapat membongkar kecenderungan wartawan atau redaktur dalam mengemas berita (2) konteks sosial, melalui penelusuran sejarah yang melatar belakangi akumulasi pesan dalam teks berita media Islam. Melalui model analisis ini diharapkan dapat menjawab hipotesis tentang adanya kesamaan ideologi ketiga media Islam dengan model berita advokasi yang berbeda atau sebaliknya adanya kesamaan model berita advokasi ketiga media Islam dengan ideologi yang berbeda. Bila ini terjadi maka asumsi berikutnya yang muncul adalah adanya realitas ideologi lain 73 dalam ideologi media Islam. Adanya asumsi atas realitas idiologi inilah yang dicoba dikaji dalam penelitian ini. Kemudian untuk memperjelas hubungan tersebut dapat dilihat dalam bagan kerangka fikir berikut ini : Teori Kritis BAHASA ADVOKASI Fungsi Bahasa (Sosiolinguistik) Wacana Berita Majalah Sabili Majalah Hidayatullah Analisis Wacana Kritis Teks ; Konteks ; Diksi dan Struktur Kalimat Kognisi (Framing), Sosial Ideologi dalam Keragaman Bahasa Advokasi Tabel Kerangka Fikir 04 74 Media Umat D. Definisi Operasional 1. Bahasa advokasi atau teks berita advokasi atau wacana berita advokasi adalah berita media Islam yang bersifat membela Islam dan umatnya dari berbagai tindakan dan perlakuan kezaliman, penyiksaan dan berita-berita yang menyudutkan. 2. Struktur wacana adalah wujud teks berita yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yang terdiri dari struktur makro, yaitu tematik, skematik dan struktur mikro, yang terdiri dari diksi dan strutur kalimat. 3. Framing adalah penonjolan-penonjolan (pembingkaian) pada aspekaspek tertentu dari berita media yang dapat ditelusuri melalui analisis tematik dan skematik teks berita tersebut. 4. Kognisi sosial adalah alur fikiran wartawan dan redaktur media yang tercermin dalam teks berita media yang dapat ditelusuri melalui analisis tematik atau skematik, bila belum memuaskan, terdapat keraguaraguan peneliti maka perlu diadakan wawancara kepada yang bersangkutan, untuk melengkapi data yang ada. 5. Konteks sosial adalah mencari keterangan latar belakang dari akumulasi berita yang sama sasarannya dengan ideologi yang dianut oleh lingkaran institusi media yang memproduksi berita melalui referensi atau pengetahuan mempengaruhi mereka. 75 dan sejarah masa lalu yang BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan pendekatan teori kritis dengan menggunakan metode analisis wacana kritis dengan critical linguistics Roger Fowler dkk dipadukan dengan CDA van Dijk. Bogdan dan Tylor (dalam Moleong,2002) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipankutipan data untuk memberi gambaran laporan penyajian. Oleh karena sipatnya berhubungan dengan kata-kata dan perilaku orang, maka pendeskripsian menjadi sangat penting untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang lebih jelas atas masalah yang dibahas. Proses interpretasi dilakukan, yaitu menafsirkan data guna mengungkapkan makna-maknanya sebagai bagian dari analisis. Proses penafsiran bersifat esensial dan sangat menentukan, yang memberikan pengaruh pada pemahaman atau understanding. Gibbons (dalam Ibrahim, 2005) mengemukakan, dengan interpretasi diharapkan dapat melampaui data yang diperoleh dari penelitian empirik. Sebab data itu sendiri seringkali merupakan makna dan praktek objek berita bahasa. Tetapi hal itu seringkali menjadi permulaan yang samar dan terartikulasi secara tidak 76 sempurna. Karena itu, untuk menampakkan makna yang sebenarnya, maka kita membutuhkan interpretasi terhadap data, khususnya yang berhubungan dengan analisis berita-berita media. Dalam menganalisis berita-berita media, dibutuhkan teknik analisis yang dapat dipakai untuk menginterpretasi berita-berita secara kritis dan holistik. Analisis wacana kritis adalah analisis teks media yang menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bias menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan CDA dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenangkan menjadi wacana, persfektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan demikian, analisis wacana kritis melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. 77 B. Data dan Sumber Data 1. Data Penelitian adalah teks-teks berita advokasi majalah Suara Hidayatullah, Sabili dan tabloid Media Umat. 2. Sumber Data a. Majalah Suara Hidayatullah yang diterbitkan pada bulan Nopember 2001 sampai dengan bulan Desember 2011. b. Majalah Sabili bulan Nopember 2001 sampai dengan Desember 2011. c. Tabloid Medi Umat Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2011. C Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kebutuhan kajian dan analisis. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian akan digunakan teknik sebagai berikut : a. Penelusuran pustaka dengan mempelajari dan mengkaji literatur yang berhubungan dengan permasalahan, untuk mendukung asumsi landasan terori yang akan dibahas. b. Pendokumentasian teks berita-berita advokasi dari majalah Suara Hidayatullah, Sabili dan tabloid Media Umat tentang berita-berita seputar kebijakan AS terhadap negeri-negeri muslim seperti berita perang Afganistan. Irak, Gaza-Palestina, Mesir, Iran. Setiap media dari tiga media yang diteliti akan diseleksi masing-masing 6 teks berita. Jumlah keseluruhan adalah 18 teks berita. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Stempel (1952) bahwa 6 teks sebagai sample sudah dapat mewakili 78 dan memiliki hasil yang dapat dipercaya jika teks berita yang diambil pada teks media yang sama (Krippendof, 1980). c. Sesudah teks dianalisis dengan CDA Powler dkk. maka dilanjutkan dengan analisis komparatif, yaitu perbandingan bahasa advokasi yang dimiliki oleh ketiga media Islam tersebut. D Teknik Analisis Data Berdasarkan penyeleksian data teks berita dari 50 edisi Majalah Sabili, 20 edisi Majalah Hidayatullah dan 30 terbitan tabloid Media Umat maka dipilih masing-masing 6 judul menjadi sebanyak 18 judul berita untuk dinalisis pada peneltiian ini, dengan tahapan yang dikemukakan dibawah ini : TEKS BERITA MEDIA ISLAM NAMA MEDIA MAJALAH SABILI NO 1 JUDUL BERITA/ OPINI Sabili No. 11/THN. X/ 12 Desember 2002 2 NO EDISI /TGL TERBIT Derita Gunatanamo, Dusta Amerika Agenda AS-Zionis Pasca Irak No Sabili No. 21/THN. X / 8 Mei 2003 16-19 3 4 Israel, Bermain Kayu Tertimpa Besi Prustrasinya AS Menghadapi Taliban Sabili No. 18/ THN. X/ 27 Maret Sabili No. 23 /THN. XVI/ 4 Juni 2003 2009 38-42 106-108 5 Ada Banyak Usamah di Ladang jihad Timur Tengah Baru ; Upaya AS Pertahankan Hegemoni Sabili No. 20 /THN. XVIII/ 16 Juni 2011 Sabili No. 26/ THN. XVIII/29 Sepetember 2011 6 1 MAJALAH HIDAYATULLAH 2 3 4 5 6 1 2 3 MEDIA UMAT 4 5 6 Ummat Islam Pascatragedi WTC Suara Hidayatulah 06/XIV/Oktober 2001 Dari Pembakaran Mesjid Hingga Pembunuhan Apa Lagi Sesudah Saddam ? Suara Hidayatullah 10/XV/Pebruari 2003 Tembok Anti-Teror, Penyebab Teror Suara Hidayatullah, September 2004 Demokrasi ’Menyandera’ Amerika di Suara Hidayatullah, April 2011 Timteng Antara teroris dan Pejuang Suara Hidayatullah, Juni 2011 Sakratul Maut Sang Penjagal Suara Hidayatulah, Nopember 2011 Dangelan Pemilu Afghanistan Media Umat Edisi 20, 4-17 Sepetember 2009 Kebohongan Penarikan Pasukan AS Media Umat 43, 3-16 Sepetember 2010 di Irak Sang Gila Perang dan Penghisap Media Umat 30, 18 Perbruari-4 Maret 2010 Darah Pertarungan AS-Eropa dalam Krisis Media Umat 16, 10-23 Juli 2009 Iran Krisis Mesir dan Sikap hipokrit Media Umat 4-17 Pebruari 2011 Amerika Pembunuhan Usama Bin Laden; Media Umat, 20 Mei-2 Juni 2011 Sukses atau Tipu Daya Tabel 5 Data Teks Berita 79 HALAMAN 55-57 36-45 36-43 78-79 79-80 90-92 28-29 28-29 83-88 28 28 7 28 28 4 Kemudian pada intinya teks di atas akan dianalisis ke dalam dua level, yaitu pada (1) level teks yang meliputi disebut analisis bagian mikro yaitu (a) diksi dan (b) struktur kalimat, dan pada (2) level konteks, yaitu (a) framing atau konteks bahasa sebagai analisis bagian makro, yang terdiri dari bagian (i) tematik dan (ii) skematik teks berita (b) kognisis sosial wartawan (c) konteks sosial, seperti pada tabel berikut ini : LEVEL ANALISIS TEKS KONTEKS Mikro Diksi Makro Struktur Kalimat Skematik Tematik (Framing) Kognisi Sosial Tabel 6 Level Analisis Teks Berita Berikutnya tahapan analisis teks tersebut akan dilakukan ke dalam tiga urutan di bawah ini : 1. Analisis Framing Pada bagian analisis ini berusaha untuk melihat struktur makro, yaitu (a) Tematik atau tema dari teks berita sebagai makna globa(global meaning) ; konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Dengan memperhatikan topik suatu berita, maka kita akan dapat menggambarkan gagasan apa yang dikedepankan oleh wartawan atau redaktur, ketika melihat atau memandang suatu peristiwa. Sebab suatu peristiwa dapat saja dipahami oleh wartawan dan redaktur dengan cara berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan. (b) Skematik : Alur atau skematik menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan arti. Maka yang akan 80 dianalisis adalah (1) summary yang ditandai dengan judul dan lead. Kemudian (2) adalah story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita mempunyai dua sub kategori yaitu (a) situasi yaitu proses atau jalannya peristiwa, dan kemudian (b) komentar yang ditampilkan dalam teks. Situasi berita juga dalam dua subkategori, yaitu (a) kisah utama dari peristiwa dan (b) latar yang mendukung episode yang disajikan kepada khalayak. Kemudian komentar terbagi pula dua subkategori, yaitu (a) komentar dari tokoh yang dikutip oleh wartawan. Kemudian (b) kesimpulan yang dilakukan oleh wartawan dari komentar berbagai tokoh. 2. Analisis Teks Pendekatan utama pada tahapan ini adalah analisis diksi dan struktur kalimat dapat menggambarkan kecenderungan isi suatu teks berita. Pada bagian (1) diksi harapkan dapat menemukan kata-kata, ungkapan, atau prase yang menunjukkan pada alternatif berikut ini : (a) klasifikasi informasi dan pengalaman, atau (b) membatasi pandangan atau adanya unsur-unsur yang mengarah kepada (c) pertarungan wacana atas klaim kebenaran, atau adanya efek (d) marjinalisasi atau pengucilan pihak tertentu dalam teks berita. Kemudian pada (b) struktur kalimat diharapkan menemukan bagian-bagian kalimat, yaitu subjek, objek, penggunaan kata kerja tertentu atau bentuk kalimat tertentu untuk menggambarkan hubungan objek dengan peristiwa, yaitu (a) model aksional dengan (i) kalimat transitif, subjek sebagai penyebab suatu tindakan, atau (ii) kalimat intransitif, subjek sebagai pelaku tindakan yang disamarkan, bisa pula dalam (b) model relasional, yaitu hubungan dua entitas, yang berupa 81 ekuatif atau atributif, kedua model ini disebut pula model sintagmatik. Bentuk struktur lainnya yang dapat juga dilacak adalah (c) efek bentuk kalimat pasif dan nominalisasi dalam teks berita. 3. Analisis Konteks ; analisis ini terdapat 2 tahapan : (a) Kognisi sosial, pada tahapan ini diharapkan dapat mengungkap makna yang tersembunyi di balik teks. Pendekatan kognitif yang didasarkan pada asumsi bahwa teks diberikan makna oleh pemakai bahasa. OLeh karena itu analisis membutuhkan penjelasan yang menjadi representasi kognisi dan strategi wartawan atau redaktur dalam memproduksi suatu berita. Bagaimana peristiwa dipahami dan dimengerti didasarakan pada skema, disebutkan bahwa skema ini adalah sebagai model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup di dalamnya bagaimana kita memandang manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Skema menunjukkan bahwa kita menggunakan struktur mental untuk menyeleksi dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Skema sangat ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai sebuah struktur mental, skema menolong kita menjelaskan realitas dunia yang kompleks – membantu kita memandu apakah yang harus kita pahami, maknai, dan ingat tentang sesuatu. Skema menggambarkan bagaimana seseorang menggunakan informasi yang tersimpan dalam memorinya dan bagaimana itu diintegrasikan dengan informasi yang baru yang menggambarkan bagaimana peristiwa dipahami, ditafsirkan, dan dimasukkan sebagai bagian dari pengetahuan kita tentang suatu realitas. 82 Analisis kognisi sosial sangat menekankan bagaimana perisitiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan ditampilkan dalam suatu model dalam memori yang akhirnya mewarnai sebuah teks berita. Model ini menggambarkan bagaimana tindakan atau peristiwa yang dominan, partisipan, waktu, lokasi. keadaan, objek yang relevan atau perangkat tindakan yang dibentuk dalam struktur berita. Misalnya, sebuah peristiwa demonstarsi mahasiswa, keadaan apa dari peristiwa itu yang lebih ditonjolkan ; demonstrasinyakah atau pengrusakannya; aktor yang terlibat apakah lebih menekankan kepada polisi atau mahasiswa yang berdemonstrasi. Demikian pula pada karateristik waktu, tempat, dan sebagainya. Model atau skema itulah yang menjadi titik fokus dari analisis kognisi sosial. Jadi mengetahui kognisi sosial wartawan amat bergantung pada analisis framing yang dilakukan dalam teks berita. (b) Konteks sosial, analisis pada tahap ini menjelaskan bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Fokus utama pada tahap ini adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diperoduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Dalam analsis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting ; kekuasaan (power) dan akses (acces). Kekuasaan yang dimaksud adalah kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok, lembaga, gerakan untuk mengontrol kelompok lain atau masyarakat. Kekuasan ini umumnya didasarkam pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Kekuasaan dapat melakukan kontrol bersipat lansung atau berbentuk persuasif. Kekuasaan 83 persuasif dilakuakn dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan. Secara umum dapat juga kita menganalisis bagaimana proses kekuasaan itu secara umum dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus. Analisis pada tahapan ini juga memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Akses yang lebih besar bukan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan pada khalayak. Begitupala berbeda akses dalam media ini menyebabkan menyebabkan struktur, kesadaran bahan kecenderungan yang berbeda dalam pemberitaan. Oleh sebab itu, studi pustaka dan penelusuran sejarah merupakan pokok analisis konteks sosial ini. Sasaran utamanya adalah agar dapat mengenal ideologi yang dominan mempengaruhi sebuah media dalam menyebarkan infomasi dan pengaruhnya kepada khalayak pembacanya. 84 DAFTAR PUSTAKA Achmad, A.S. 1990. Manusia dan Informasi. Makassar : Hasanuddin University Press. Ahmad, Zinal Abidin, 1973. Piagam Nabi Muhammad s.a.w : Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Jakarta : Bulan Bintang. Alwasilah, Chaedar, 1985a. Linguistik Suatu Pengantar, Bandung : Angkasa. Alwasilah, Chaedar, 1985b. Sosiologi Bahasa, Bandung : Angkasa. Alwasilah, Chaedar, 1985c. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung : Angkasa. Alwasilah, Chaedar, 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Amal, Muhammad Huldi, 2004. Jejak Yang Melampaui Zaman Dalam Majalah Tempo Edisi 100 Bung Hatta; Suatu Analisis Wacana Semiotik, Skripsi Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin ; Makassar. Amir, Mafri. 1999. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Ciputat: P.T. Logos Wacana Ilmu. Aritonang, Jan S. 1995. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta : PT BPK Gunung Mulia. Asyur, Said Abdul Fattah, 1993. Kronologi Perang Salib. Jakarta : Fikahati Aneka. Azis, Jum’ah Amin Abdul, 2000. Fiqih Dakwah : Studi Atas Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus Dijadikan Acuan dalam Dakwah Islamiyah, Solo ; Era Intermedia. Badudu, R. Syahid & Lussa, B. Menggang. 1983. Himpunan Bahan Pelajaran Bahasa Indonsia II, Makassar : Lintas Fakultas Unhas. Barthes, Roland, 2007. L’aventure Semiologique, Terjemahan oleh Stepanus Aswar Herwinako, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Baqy, Muhammad Fu’ad Al, 1939. Al-Mu’jam Al-Mufahharas Lil Al-Fadzil Qur’an, Mesir : Darul Qutub. 85 Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif, Jakarta : Kencana Prenada Media Group Bloomfield, Leonard, 1939, Linguistic Aspect of Science, International Encyclopedia of Unified Science, The University of Chicago. Bloomfield, Leonard, 1984. Language. Chicago ; University of Chicago Bittner, J.R. 1980. Mass Communication : An Interduction, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Briggs, Asa et al. 2006. Sejarah Sosial Media : Daru Gutenberg Sampai Internet, Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia. Cangara, Hafied. 1998. Lintasan Sejarah Komunikasi, Surabaya ; Usaha Nasional. Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Chaer, Abdul, 2007. Linguistik Umum, Jakarta ; Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Agustina, Leonia, 2010. Sosiolinguistik ; Perkenalan Awal, Jakarta ; Rineka Cipta. Chalil, Munawar. 1966. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Vol IIIb. Jakarta : Penerbit Bulan Bintang Cobley, Paul. 2001. Semiotics and Linguistics, London : Routledge Chomsky, Noam. 1975. Reflection on Language, USA ; Fontana-Collins. Chomsky, Noam. 1991. Menguak Tabir Terorisme Internasional, Bandung : Penerbit Mizan. Chomsky, Noam. 2008. Neo-Imperialisme Amerika Serikat, Yogyakarta : Resist Book Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford : Oxford University Press Crystal, David, 1993. A Dictionary of Linguistics and Phonetics, Massachussetts-USA ; Blackwell Reference Darmojuwono, Setiawati, 2011. Peran Unsur Etnopragmatis dalam Komunikasi Masyarakat Multikultural. Jurnal Ilmiyah masyarakat Linguistik Indonesia. 1 : 19-34 86 Darwis, Muhammad, 1998. Penyimpangan Gramatikal Dalam Puisi Indonesia, Ujung Pandang; Program Pascasarjana Unhas. Effendi, Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung : Citra Aditya Bakti. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta : LKIS Yogyakarta. Fairclough, N. and Ruth Wodak. 1997. “Critical Discourse Analysis : Am Overview.” Dalam Teun van Dijk (ed) Discourse and Interaction. London : Sage Publications, 67-97. Fowler, Roger, et al. 1979. Language and Ideology, London ; Rotledge Fowler, Roger. 1996. “On Critical Linguistics” Dalam Carmen Rosa CaldasCoulthard dan Malcolm Coulthard (ed.) Text and Practices : Reading in Critical Discourse Analysis. London and New York ; Rotledge. Habermas, Jurgen. 1984. Theory of Communicative Action, volume I “Reason and The Rationalism of Society.” Boston ; Beacon Press. Haekal, Muhammad Husain. 1990. Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : P.T.Intermasa. Hall, Stuart. 1982. “The Rediscovery of Ideology ; Return of the Repressed in Media Studies”. Dalam Michael Gurevitch, Bennet, James Curran, dan James Wollcott (ed.), Culture, Socierty and the Media. London ; Methuen. Halliday, M.A.K., & Ruqaiyah Hasan. 1976. Cohesion in English, London, New York; Longman. Halliday, M.A.K. 1978. Language As Sosial Semiotic, Great Britain ; Edward Arnold. Halliday, M.A.K. and Hasan, Ruqaiya. 1985. Language, Context, and Text : Aspek of Language in a Social-Semiotic Perspective, Victoria 3217 ; Deaking University Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta ; Granit. 87 Hamka, Rusydi et al. 1989. Islam dan Era Informasi. Jakarta : Pustaka Panjimas. Haris, Zelling S., 1951. Structural Linguistics, Phoenix Books, The University of Chicago. Hassan, Fuad, 1973. Apologia ; Pidato Pembelaan Sokrates yang Diabadikan Plato, Jakarata ; Bulan Bintang. Hassan, Hassan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang. Kebudayaan Islam, Hatta, Mohammad, 1980. Alam Pikiran Yunani, Jakarta ; Tintamas. Hillenbrand, Carole, 2006. Perang Salib, Jakarta : P.T. Serambi Ilmu Semesta Hoed, Benny H. 1994. “Wacana, Teks, dan Kalimat.” Dalam Liberty P. Sihombing et. Al. (eds.) Bahasawan Cendikia. Jakarta. FSUI dan Intermasa. Hoffman, Murad Wilfred, 1997. Trend Islam 2000. Jakarta : Gema Insani Press. Huntington, Samuel, 2005. The Clash of Sivilization and the Remaking of World Order, Terjemahan oleh M. Sadat Ismail, Yogyakarta ; Penerbit Qalam. Husaini, Adian, 2001. Jihad Osama Vesus Amerika, Jakarta ; Gema Insani Press. Hwia, Ganjar, 2010. Kendali Interaksional Sebagai Cerminan Ideologi : Analisis Wacana Kritis Trilogi Drama Opera Kecoa. Jurnal Ilmiyah Masyarakat Linguistik Indonesia. 1 : 12-22 Ibrahim, Anwar, 2005. Strategi Legitimasi Dalam Budaya Politik Bugis Di Tanah Bone. Makassar ; Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Jakobson, Roman. 1960. Linguistics and Poetics. Dalam Sebeok, Thomas A., Style in Language. Cambridge ; Mass. MIT Press. Jorgensen, Marianne W., 2007. Analisis Wacana Kritis : Teori dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kalijernih, Freddy K, 2011. Some Notes on the Relationship between Language Use and Moral Character : A Case of Linguistic 88 Corruption in Indonesia. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. 2:168-178. Kasman, Sup. 2004. Jurnalisme Universal. Jakarta Selatan : Teraju. Kattsoff, Louis O., 1996. Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara wacana. Kencana, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum, Jakarta : Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi. Jakarta ; Grasindo. Khan, Ayub, 2007. Kritik Pers Islam Di Indonesia Atas Perlakuan Amerika Serikat Terhadap Negeri-Negeri Muslim Pascatragedi WTC 11 September 2011; Analisis Wacana Kritis Teun A van Dijk Makassar ; Program Pascasarjana Unhas. Khan, Majid Ali. 1985. Muhammad Saw : Rasul Terakhir. Bandung : Pustaka. Kovach, Bill, dan Tom Rosenstiel, 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme, Jakarta : Institut Studi Arus Informasi. Kridalaksana, Harimurti, 1980. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa, EndeFlores : Nusa Indah. Krippendorff, Klaus. 1980. Content Analysis, An Introduction to Its Metodology, London : Sage Publication. Kusartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa ; Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama. Kusumaningrat, Hikmat, et al. 2006. Jurnalistik : Teori dan Praktek. Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya. Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. USA, Wadsworth Publishing Company. Lorimer, Rowland. 1994. Mass Communication : A Comparative Introduction, Manchester: Manchester University Press. MacQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, Jakarta ; Erlangga. Marcuse, Herbert, 1998. “Some Social Implication of Medern Tecnology” dalam Andrew Arato dan Eike Gebhard (ed), The Essensial Fraankfurt School Reader, Continun, New York. 89 Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial ; Suara Perlawanan Radion Komunitas, Bandung ; Rosyda Karya. Masyhuri, et al. 2008. Metodologi Penelitian : Pendekatan Praktis dan Aplikatif, Bandung : Refika Aditama. Mas’oed, Mohtar. 1997. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. Maulani, ZA. et al, 2002. Terorisme Dan Konspirasi Anti-Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. Muhammad, Harry. 1992. Jurnalisme Islami :Tanggung Jawab Moral Wartawan Muslim; Surabaya, Pustaka Progressif Muis, H.A. 1999. Jurnalistik Hukum Dan Komunikasi Massa : Menjangkau Era Cybercommunication Millenium Ketiga, Jakarta ; Dharu Anuttama. Muis, Ichwan, 2000. Pengertian dan Tujuan Advokasi Sosial, dalam file : ///E:/Pengertian%20danTujuan%20Advokasi%20_%20Ichwan %20Muis.htm akses 23 Juni 2011. Nababan, P.W.J. 1985. Sosiolinguistik ; Suatu Pengantar, Jakarta; Gramedia. Newman, W. Lawrence. 1997. Social Research Method ; Qualitative and Quantitative Approaches. Boston. Allyn and Bacon Nur, Sitti. 1997. Pemanfaatan Pers Islam Sebagai Media Dakwah Bagi Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Tesis., Makassar; Unhas. Osman, A. Latief. 1951. Ringkasan Sejarah Islam Vol I, Jakarta : Penerbit Wijaya. Osman, A. Latief. 1976. Ringkasan Sejarah Islam Vol II, Jakarta : Penerbit Wijaya. Parera, J.D., 2004. Teori Semantik. Jakarta; Penerbit Erlangga. Parera, Frans M. et al. 1989. Perspektif Pers Indonesia, Jakarta : LP3S. 90 Pateda, Mansoer, 2001, Semantik Leksikal, Jakarta ; Penerbit Rineka Cipta. Petras, Frans M. et all. 1989. Imperialisme Abad 21, Yogyakarta : Kreasi Wacana. Popkewitz, Thomas S. 1990 “Whose Future ? Whose Past? : Notes on Critical Theeory and Methodology”. Dalam Egon G. Guba (ed.) The Paradigm Dialog, Newbury Park ; Sage Publication. Program Pengembangan Kecamatan, 2004. Penerapan Advokasi dalam Pemantauan Proses hukum, P.O. BOX 612 JKP ///E:/Apa-ituAdvokasi.htm. Akses 23 Juni 2011 Rahmat, Jalaluddin, 1986. Psikologi Komunikasi, Bandung : CV. Remaja Karya Rani, Abdul. et all. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa Dalam Pemakaian. Malang; Bayumedia Publishing. Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. River, William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta Timur ; Prenada Media. Salam, Muslim. 2011. Dialog Paradigma Metodologi Penelitian Sosial, Makasar; Masagena Press. Salim, Agus, 2006, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yoguakarta ; Tiara Wacana Saussure, Perdinand de, 1988. Pengantar Linguistik Umum, Yogyakarta; Gajah Mada University Press. Scriffrin, Deborah, 1994, Approaches to Discourse, Massachusetts USA; Blackwell Publisher Senjaya, S. Djuarsa. 1993. Pengantar Komunikasi. Jakarta. Universitas Terbuka. Shabuny, Muhammad Ali Ash, 1996. Shafwatut Tafaasir Vol I-III, Bairut : Darul Fikr. Silalahi, Gabriel Amin, 2003, Metodologi Penelitian dan Studi Kasus, Sidoarjo ; CV. Citramedia. 91 Soehoet, Hoeta, 2002. Seleksi, Penyuntingan dan Penataan Isi Surat Kabar Dan Majalah, Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta IISIP.. Soehoet, Hoeta, 2002. Seleksi, Penyuntingan Dan Penataan Isi Surat Kabar Dan Majalah, Jakarta : Yayasan Kampus Tercinta-IISIP. Soenarjo, R.H.A. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta ; Yayasan Penyelenggara Penterjemahan dan Pentafsiran Al-Qur’an Depag R.I. Subagyo, P. Ari. 2010. Pragmatik Kritis : Paduan Pragmatik Dengan Analisis Wacana Kritis. Jurnal Ilmiyah Masyarakat Linguistik Indonesia. 2 : 178-187. Suharto, Edi. 2007. Pekerja Sosial Di Dunia Industri, Bandung ; Refika Aditama. Sullivan, Tim, et. Al. 1994. Key Concept in Communication and Cultural Studies, Second Edition, London : Rotledge. Stempel, G.H., 1952. “ Sample Size for Classifying Subject Matter in Dailies : Reseach in Brief “ Journal of Social Psichology 37: 333-334 Sturrock, John. 2003. Structuralism, London; Blackwell Publishing Syamsudin, Munawar, 2008. Makiwa : Metode Analisis Kritis Komunikasi Interpretasi Wacana, Surakarta ; Sebelas Maret University Press Taringan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa. Titscher, Stefan, et all, 2009. Metode Analisis Teks & Wacana, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Tredennick, Hugh, 1961, Plato : The Last Day of Socrates, Great Britain ; Penguin Books Ltd. Ulmann, Stehpen, 2009. Pengantar Semantik, Yogyakarta; Pustaka Pelajar van Dijk, Teun A. 1998. Ideology : A Multidisciplinary Study. London ; Sage Publication Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 92 Wayili, Abu Abdillah bin Ibrahim Alu Balithi, 1999. Hak dan Kewajiban Rakyat tehadap Penguasa Menurut Syariat, Surakarta: Yayasan Al-Madinah. Webster’s New Twentieth Century Dictionary. 1983. Second Edition. USA : The World Publishing Company. Wolfensberger, Wolf. 1994. Apa itu Advokasi, ///E:/Apa-itu-Advokasi.htm akses 23 Juni 2011 Yassi, Abdul Hakim, 2011. Transformasi Paradigma Analisis Teks Ke Arah Analisis yang Lebih Berorientasi Sosial dan Kritis : Dari Analisis Wacana ke Analisis Wacana Kritis, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar. 93