HUBUNGAN MATURITAS BAYI DENGAN KEJADIAN

advertisement
HUBUNGAN MATURITAS BAYI DENGAN KEJADIAN IKTERUS
NEONATORUM FISIOLOGIS DI RUANG GAYATRI
RSU Dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO
MOJOKERTO
DWI ATIKA RAHMY
11002010
Subject : Maturitas Bayi, Ikterus Neonatorum Fisiologis, Neonatus
DESCRIPTION
Maturitas bayi atau kematangan bayi baru lahir dapat mempengaruhi
terjadinya ikterus. Ikterus adalah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi
baru lahir. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir menurut beberapa penulis
berkisar antara 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi lahir kurang bulan.
Ikterus pada bayi baru lahir timbul jika kadar bilirubin serum ≥ 7 mg/dl.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahuai hubungan antara maturitas
bayi dengan kejadian ikterus neonatorum fisiologis di ruang Gayatri RSU Dr.
Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto pada bulan januari sampai april 2014.
Rancang bangun penelitian ini adalah Cross sectional. Julmah populasi yaitu 178
bayi. Pengambilan sampel sacara total sampling dengan jumlah sampel 178 bayi.
Instrumen pengumpulan data menggunakan data sekunder berupa medical record
bayi di ruang perinatal. Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi dan dianalisis dengan uji Chi – Square dengan bantuan komputer
program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur yaitu 20,8%
(37 bayi) dan yang mengalami kejadian ikterus neonatorum fisiologis yaitu 39,9%
(71 bayi) dari 178 bayi.
Uji Chi – Square yang sebelumnya menghitung nilai frekuensi harapan dan
didapatkan X2 hitung 21,32 > X2 tabel 3,84 dengan derajat kemaknaan (α = 0,05)
yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya ada hubungan antara
maturitas bayi dengan kejadian ikterus neonatorun fisiologis.
Sebagian kecil bayi yang lahir prematur mengalami ikterus neonatorun
fisiologis dan sebagian besar bayi yang lahir aterm tidak mengalami ikterus
neonatorum fisiologis. Hendaknya petugas kesehatan dapat meningkatkan
memberikan informasi khususnya pada waktu ANC sehingga dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap tanda bahaya pada ibu hamil, serta mengenali faktor
predisposisi terjadinya persalinan prematur sehingga kejadian ikterus neonatorum
fisiologis dapat dicegah.
ABSTRACT
Infant maturity or newborn maturity may affect the occurrence of jaundice.
Jaundice is a symptom which often found in newborns. Incidence of jaundice in
newborns according to some authors ranged from 50% in mature infants and 75%
in premature infants. Jaundice in newborns occur if the levels of bilirubin serum is
≥ 7 mg/dl.
The purpose of this study was to understand the relationship between infants
maturity with physiological neonatal jaundice phenomenon in Gayatri room, RSU
Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto within January to April 2014. The Design
of this study was cross-sectional. Total population were 178 infants. Sampling
method used total sampling method which involved 178 infants. Data collection
instruments used secondary data from the infants medical record in perinatal
room. The data results were presented in tabular form and analyzed by frequency
chi – Square with the help of a statisic computer program.
The results showed that babies born prematurely were 20.8% (37 infants)
and babies who experience the incidence of physiological neonatal jaundice were
39.9% (71 infants) of 178 infants.
Chi – Square Test which previously calculated the expected frequency and
obtained X2 count at 21.32 > X2 table 3.84 with significance level (α = 0.05)
which meant that H0 was rejected and H1 was accepted, which meant there was a
relationship between the infants maturity with physiological neonatal jaundice
phenomenon.
Very few among premature infants experienced physiological neonatal
jaundice and most infants who born aterm were not experiencing physiological
neonatal jaundice. Paramedics should be able to enhance the spreading of
information especially at ANC time so that it will increase awareness of danger
signs in pregnant women, as well as to identify factors that predispose to preterm
labor so that physiological neonatal jaundice phenomenon can be prevented.
Keywords: Infants Maturity, Physiological neonatal jaundice
Contributor
: 1. Dyah Siwi Hety, S.KM.,M.Kes.
2. Widji Utami, S.ST.
Date
: 12 Mei 2014
Type Material
: Laporan Penelitian
Identifier
:
Right
: Open Document
Summary
:
LATAR BELAKANG
Maturitas bayi atau kematangan bayi baru lahir dapat mempengaruhi
terjadinya ikterus. Ikterus adalah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi
baru lahir. Semua bayi baru lahir akan mengalami proses “menjadi kuning” yang
disebut sebagai ikterus neonatorum. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir
menurut beberapa penulis berkisar antara 50% pada bayi cukup bulan dan 75%
pada bayi lahir kurang bulan (Puspito, dkk, 2006). Di temukan 25-50% pada
neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Bayi cukup
bulan dengan berat badan > 2500 gram atau usia gestasi 37-42 minggu (Wahyuni,
2011). Bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 gram atau usia gestasi < 37
minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus
yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya.
Kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir
minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan (Health Technology
Assessment , 2004).
Upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolak ukur
adalah menurunnya angka mortalitas dan morbilitas neonatus, dengan proyeksi
pada tahun 2015 Angka Kematian Bayi (AKB) dapat turun menjadi 18 per 1000
kelahiran hidup. Penyebab mortalitas pada bayi baru lahir salah satunya adalah
ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kern ikterus) (Health Technology
Assessment, 2004). Ikterus apabila tidak dikelolah dengan baik dapat
menyebabkan kerusakan pada otak bayi. Tanda kerusakan otak diawali dengan
alregi, layuh dan malas minum, setelah beberapa hari akan menjadi opistotonus,
tangisan melengking dan dapat kejang kemudian dapat menyebabkan kematian
bayi (Prawirohardjo, 2009).
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari
beberapa rumah sakit pendidikan. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Januari
2005 – November 2006 dari 90 pasien yang diteliti ditemukan kejadian
hiperbilirubinemia terbanyak pada bayi preterm (55,6%) (Kosim, dkk, 2007).
Tahun 2004 terdapat 412 bayi yang menderita ikterus neonatorum atau sekitar
30,88% dan pada bulan Agustus sampai Oktober 2005 tercatat 23,1% di ruang
Intermediated neonatologi RSU dr. Soetomo Surabaya. Di RSUD Dr. R. Koesma
Tuban tahun 2009 dari 305 bayi di ruang perinatologi bahwa hampir seluruhnya
bayi tidak mengalami ikterus neonatorum yaitu sebanyak 296 bayi ( 97,05%) dan
terdapat 9 bayi (2,95%) yang terkena ikterus neonatorum (Munir, 2012). RSUD
dr. Harjono Ponorogo mulai bulan Januari sampai dengan Juli 2009 jumlah bayi
yang dirawat 420 bayi aterm dan yang menderita ikterus neonatorum sebanyak
116 bayi aterm (27,6%) (faridah, 2010). Berdasarkan hasil study pendahuluan
yang dilakukan pada tanggal 22 Maret 2014 di ruang Gayatri RSU Dr. Wahidin
Sudiro Husodo Mojokerto mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2013
jumlah neonatus yang dirawat sebanyak 958 neonatus dan yang menderita ikterus
neonatorum sebanyak 142 neonatus (14,8%).
Ikterus adalah diskolorisasi kuning kulit atau organ lain akibat penumpukan
bilirubin. Ditemukan 25 – 50% pada neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada
neonatus kurang bulan. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan
dalam minggu pertama kehidupannya, dapat berupa suatu gejala fisiologis dan
dapat merupakan manifestasi bukan penyakit atau keadaan patologis. Misalnya,
pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran empedu,
dan sebagainya. Ikterus pada bayi baru lahir timbul jika kadar bilirubin serum ≥ 7
mg/dl (Wahyuni, 2011).
Penanganan ikterus neonatorum dapat dilakukan dengan berbagai cara
sesuai dengan jenisnya. Ikterus neonatorum fisiologis dapat dilakukan terapi
memberikan ASI sedini dan sesering mungkin, memberikan terapi sinar bila
ikterus di klasifikasikan sebagai ikterus dini. Ikterus neonatorum patologis dapat
dilakukan fototerapi 3x24 jam yang diubah posisi tiap 6 jam, transfusi tukar
(Dewi, 2011).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Hubungan Maturitas Bayi Dengan Kejadian Ikterus
Neonatorum Fisiologis Di Ruang Gayatri RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo
Mojokerto“.
METODOLOGI
Penelitian ini menurut prosesnya merupakan jenis penelitian analitik non
eksperimental dengan Rancang bangun Cross sectional, mempunyai dua variabel
yaitu Variabel independent (maturitas bayi) dan Variabel dependent (ikterus
neonatorum fisiologis). Subyek pada penelitian ini adalah 178 bayi yang ada di
ruang gayatri dengan menggunakan teknik total sampling, data yang digunakan
yaitu data sekunder dengan instrumen berupa check list dan analisa data dengan
uji chi – square. Tempat dan waktu penelitian di ruang Gayatri RSU Dr. Wahidin
Sudiro Husodo Mojokerto dilakukan pada tanggal 12 mei 2014.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan usia ibu bayi, dapat diketahui bahwa dari 178 orang ibu bayi
didapatkan responden yang berusia < 20 tahun sebanyak 4,5% (8 orang),
responden yang berusia 20 – 35 tahun sebanyak 71,3% (127 orang), dan
responden yang berusia > 35 tahun sebanyak 24,2% (43 orang). Berdasarkan
paritas ibu bayi, dapat diketahui bahwa dari 178 orang ibu didapatkan responden
yang priritmipara sebanyak 28,7% (51 orang), responden yang multipara
sebanyak 63,5% (113 orang), dan responden yang grandemultipara sebanyak
7,9% (14 orang).
Berdasarkan maturitas bayi, dapat diketahui bahwa dari 178 bayi didapatkan
bayi yang lahir prematur sebanyak 37 bayi (20,8%) dan bayi yang lahir aterm
sebanyak 141 bayi (79,2%). Berdasarkan kejadian ikterus neonatorum fisiologis,
dapat diketahui dari 178 bayi didapatkan bayi yang mengalami ikterus
neonatorum fisiologis sebanyak 71 bayi (39,9%) dan bayi tidak mengalami ikterus
neonatorum fisiologis sebanyak 107 bayi (60,1%). Berdasarkan hubungan
maturitas bayi dengan kejadian ikterus neonatorum fisiologis, dapat diketahui dari
178 bayi didapatkan bayi yang lahir prematur yang mengalami ikterus
neonatorum fisiologis sebanyak 27 bayi (15,2%) dan bayi yang tidak mengalami
ikterus neonatorum fisiologis sebanyak 10 bayi (5,6%). Bayi yang lahir aterm
yang mengalami ikterus neonatorum fisiologis sebanyak 44 bayi (24,2%) dan bayi
yang tidak mengalami ikterus neonatorum fisiologis sebanyak 97 bayi (54,5%).
Dari data diatas kemudian dilakukan analisa data dengan menggunakan uji
Chi – Square, maka didapatkan hasil X2 hitung > X2 tabel yaitu 21,32 > 3,84
dengan derajat kemaknaan (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak
dan H1 diterima yang artinya ada hubungan antara maturitas bayi dengan kejadian
ikterus neonatorum fisiologis.
Berdasarkan maturitas bayi diketahui bahwa dari 178 bayi yang dirawat di
ruang Gayatri RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto terdapat hampir
seluruhnya bayi yang lahir aterm sebanyak 141 bayi (79,2%).
Menurut Wahyuni (2011) Neonatus dapat di klasifikasikan menurut masa
gestasi atau maturitas. Klasifikasi menurut masa gestasi atau maturitas :
a. Bayi kurang bulan (preterm infant/prematur)
Masa gestasinya kurang dari 259 hari (kurang dari 37 minggu)
b. Bayi cukup bulan (term infant/ aterm)
Masa gestasinya 259-293 hari (37-42 minngu)
c. Bayi lebih bulan (postterm infant/post date/serotinus)
Masa gestasinya 294 hari (lebih dari 42 minggu)
Makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan makin
tinggi mordibitas dan mortalitas. Faktor yang mempengaruhi predisposisi
terjadinya kelahiran prematur yaitu : riwayat kelahiran prematur sebelumnya,
perdarahan antepartum, malnutrisi, kelainan uterus, hidramnion, penyakit
jantung/penyakit kronik lainnya, hipertensi, umur ibu kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, jarak dua kehamilan yang terlalu dekat, infeksi, cacat bawaan,
kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pacah dini, keadaan sosial ekonomi yang
rendah, pekerjaan yang melelahkan, merokok dan tidak diketahui (Prawirohardjo,
2007).
Berdasarkan atas timbulnya bermacam-macam problematik pada derajat
prematuritas maka Usher (1975) menggolongkan bayi tersebut dalam tiga
kelompok.
a. Bayi yang sangat prematur (extremely premature) : 24-30 minggu. Bayi
dengan masa gestasi 24-27 minggu masih sangat sukar hidup terutama di
negara yang belum atau sedang berkembang. Bayi dengan masa gestasi 28-30
minggu masih mungkin dapat hidup dengan perawatan yang sangat intensif
agar dicapai hasil yang optimim.
b. Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately premature) : 31-36
minggu. Pada golongan ini kesanggupan untuk hidup jauh lebih baik dari
golongan pertama dan gejala sisa yang dihadapinya kemudian hari juga lebih
ringan, asal saja pengelolahan terhadap bayi ini betul-betul intensif.
c. Borderline premature : masa gestasi 37-38 minggu. Bayi ini mempunyai
sifat-sifat prematur dan matur. Biasanya beratnya seperti bayi matur dan
dikelola seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problematik seperti
yang dialami bayi prematur, misalnya sindroma gangguan pernapasan,
hiperbilirubinemia, daya isap yang lemah dan sebagainya, sehingga bayi ini
harus diawasi dengan seksama (Prawirohardjo, 2007).
Ditinjau dari segi usia ibu bayi sebagian besar responden berusia 20 – 35
tahun sebanyak 127 orang (71,3%).
Menurut Revina (2009), pada kehamilan di usia muda (termasuk usia remaja
dibawah usia 20 tahun) memiliki resiko lebih tinggi pada kesehatan. Pada usia
dibawah 20 tahun secara ilmu kedokteran memiliki organ reproduksi yang belum
siap dan beresiko tinggi mengalami kondisi kesehatan yang buruk saat hamil.
Selain itu kondisi sel telur belum sempurna dikhawatikan akan mengganggu
perkembangan janin. Beberapa kondisi kesehatan yang mungkin terjadi adalah
tekanan darah tinggi pada ibu hamil, kelahiran prematur, BBLR, depresi
postpartum, perdarahan dan infeksi.
Kenyataan menunjukkan bahwa seorang wanita yang hamil dengan usia
yang muda sangat rentan terhadap komplikasi, salah satunya yaitu kelahiran
prematur. Oleh karena itu hendaknya menghindari kehamilan di usia muda
dikarenakan organ reproduksi wanita pada usia < 20 tahun belum siap untuk
menerima kehamilan.
Berdasarakan kejadian ikterus neonatorum fisiologis didapatkan sebagian
besar bayi tidak mengalami ikterus neonatorum fisiologis sebanyak 107 bayi
(60,1%).
Menurut Wahyuni (2011), ikterus adalah diskolorisasai kuning kulit atau
organ lain akibat penumpukan bilirubin. Ditemukan 25 – 50% pada neonatus
cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Pada sebagian besar
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya, dapat
berupa suatu gejala fisiologis dan dapat merupakan manifestasi bukan penyakit
atau keadaan patologis. Misalnya, pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis,
penyumbatan saluran empedu, dan sebagainya. Ikterus pada bayi baru lahir timbul
jika kadar bilirubin serum ≥ 7 mg/dl.
Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010) Ikterus fisiologis adalah
ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar
atau tidak mempunyai potensi menjadi kern ikterus. Secara umum, setiap
neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12
mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total
biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL,
kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin
terkonjugasi < 2 mg/dL (Health Technology Assessment , 2004).
Menurut Dewi (2011) faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus
yaitu prahepatik (ikterus hemolitik), pascahepatik (obstruktif), dan hepatoseluler
(ikterus hepatik).
Faktor-faktor penyebab ikterus pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta (Monintja,dkk., 1997 dalam Prawirohardjo, 2007).
A. 1. Hemolisis
Inkompatibilitas Rh .................................................... 0.09%
Inkompatibilitas ABO................................................. 1,33%
Defisiensi enzim G6PD............................................... 3,61%
Perdarahan tertutup..................................................... 2,95%
2. Infeksi
Sepsis/Meningitis........................................................
7,71%
3. Lain-lain
Hipoksia/RDS.............................................................
Asidosis metabolik......................................................
Hipoglikemia .............................................................
Polisistemia ...............................................................
10,09%
12,28%
5,14%
0,85%
B. Penyebab multipel ...........................................................
7,52%
C. Tanpa Morbiditas
Bayi Kurang Bulan S.M.K. .............................................
Bayi Kurang Bulan K.M.K. ............................................
Bayi Cukup Bulan S.M.K. ..............................................
Bayi Cukup Bulan K.M.K. .............................................
7,14%
2,76%
35,52%
2,95%
Ditinjau dari segi usia ibu bayi sebagian besar responden berusia 20 – 35
tahun sebanyak 127 orang (71,3%).
Menurut Revina (2009), pada kehamilan di usia muda (termasuk usia remaja
dibawah usia 20 tahun) memiliki resiko lebih tinggi pada kesehatan. Pada usia
dibawah 20 tahun secara ilmu kedokteran memiliki organ reproduksi yang belum
siap dan beresiko tinggi mengalami konidsi kesehatan yang buruk saat hamil.
Selain itu kondisi sel telur belum sempurna dikhawatikan akan mengganggu
perkembangan janin. Beberapa kondisi kesehatan yang mungkin terjadi adalah
tekanan darah tinggi pada ibu hamil, kelahiran prematur, BBLR, depresi
postpartum, perdarahan dan infeksi.
Bersangkutan dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik
anatomik maupun fisiologik pada bayi prematur maka mudah timbul beberapa
kelainan seperti berikut : suhu tubuh yang tidak stabil, gangguan pernapasan,
gangguan pencernaan dan nutrisi, immatur hati yang memudahkan terjadinya
hiperbillirubinemia, immatur ginjal, mudah terjadi perdarahan, gangguan
immunologik, perdarahan intravaskuler, dan Retrolental fibroplasia.
Kenyataan menunjukkan bahwa seorang wanita yang hamil dengan usia
yang relatif muda sangat rentan terhadap komplikasi, salah satunya yaitu
kelahiran prematur. Bayi lahir prematur mudah mengalami ikterus disebabkan
immatur hati sehingga dapat menyebabkan produksi bilirubin indirect yang
berlebihan dalam darah, gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar,
gangguan transportasi dalam metabolisme dan gangguan dalam ekskresi bilirubin.
Upaya pencegahannya supaya hamil pada umur 20 – 35 tahun, serta bagi ibu yang
hamil dengan umur < 20 tahun perlu mendapatkan pengawasan yang ketat dengan
sering memeriksakan kehamilannya.
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan pengawasan
antenatal yang baik, penggunaan obat – obatan yang rasional pada ibu hamil dan
ibu bersalin, pencegahan dan pengobatan hipoksia pada janin dan neonatus,
pemberian ASI sedini mungkin dan pencegahan infeksi.
Berdasarkan tabulasi silang antara maturitas bayi dengan kejadian ikterus
neonatorum fisiologis, dapat diketahui sebagian kecil bayi yang lahir prematur
mengalami ikterus neonatorum fisiologis sebanyak 27 bayi (15,2%) dan sebagian
besar bayi yang lahir aterm tidak mengalami ikterus neonatorum fisiologis
sebanyak 97 bayi (54,5%).
Sesuai dengan hasil uji X2 pada lampiran yaitu X2 hitung > X2 tabel (21,32
> 3,84). Maka Ho ditolak dan H1 diterima yang artinya ada hubungan antara
maturitas bayi dengan kejadian ikterus neonatorun fisiologis.
Ikterus adalah salah satu keadaan menyerupai penyakit hati yang terdapat
pada bayi baru lahir akibat terjadinya hiperbilirubinemia. Ikterus merupakan salah
satu kegawatan yang sering terjadi pada bayi baru lahir, sebanyak 25% - 50%
pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi lahir rendah (Dewi, 2011). Pada
sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya, dapat berupa suatu gejala fisiologis dan dapat merupakan
manifestasi bukan penyakit atau keadaan patologis. Misalnya, pada
inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran empedu, dan
sebagainya. Ikterus pada bayi baru lahir timbul jika kadar bilirubin serum ≥ 7
mg/dl (Wahyuni, 2011).
Kenyataan menunjukkan bahwa ada hubungan antara maturitas bayi dengan
kejadian ikterus neonatorum fisiologis, hal tersebut terbukti bahwa dari 37 bayi
yang lahir prematur didapatkan 27 bayi yang mengalami ikterus neonatorum
fisiologis. Karena bayi lahir prematur mudah mengalami ikterus disebabkan
immatur hati sehingga dapat menyebabkan produksi bilirubin indirect yang
berlebihan dalam darah, gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar,
gangguan transportasi dalam metabolisme dan gangguan dalam ekskresi bilirubin.
Ikterus apabila tidak dikelolah dengan baik dapat menyebabkan kerusakan
pada otak bayi. Tanda kerusakan otak diawali dengan alregi, layuh dan malas
minum, setelah beberapa hari akan menjadi opistotonus, tangisan melengking dan
dapat kejang kemudian dapat menyebabkan kematian bayi (Prawirohardjo, 2009).
Perawatan yang harus dilakukan pada bayi prematur adalah pengaturan suhu
lingkungan, pemberian makanan dan bila perlu pemberian oksigen, serta
mencegah infeksi. Perawatan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi atau penyulit yang mudah timbul yaitu, hipotermi, gangguan
pernapasan (hipoksia), infeksi dan asidosis metabolik. Dimana penyulit atau
komplikasi tersebut dapat menyebabkan ikterus. Hal ini disebabkan karena belum
matangnya fungsi hepar. Karena kurangnya enzim glukoronil transferase sehingga
konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna dan kadar albumin
darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang.
Penanganan ikterus neonatorum dapat dilakukan dengan berbagai cara
sesuai dengan jenisnya. Ikterus neonatorum fisiologis dapat dilakukan terapi
memberikan ASI sedini dan sesering mungkin, memberikan terapi sinar bila
ikterus di klasifikasikan sebagai ikterus dini. Sedangkan ikterus neonatorum
patologis dapat dilakukan fototerapi 3x24 jam yang diubah posisi tiap 6 jam,
transfusi tukar (Dewi, 2011).
SIMPULAN
1. Maturitas bayi yang dirawat di ruang Gayatri RSU Dr. Wahidin Sudiro
Husodo Mojokerto yang terbanyak adalah aterm dengan frekuensi 141 bayi
(79,2%) sedangkan untuk prematur 37 bayi (20,8%).
2. Kejadian ikterus neonatorum fisiologis yang dirawat di ruang Gayatri RSU
Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto adalah 71 bayi (39,9%).
3. Berdasarkan hasil penghitungan statistik cara uji Chi – Square (X2)
didapatkan X2 hitung (21,32) > X2 tabel (3,84) sehingga Ho ditolak dan H1
diterima yang artinya ada hubungan antara maturitas bayi dengan kejadian
ikterus neonatorum fisiologis di ruang Gayatri RSU Dr. Wahidin Sudiro
Husodo Mojokerto.
REKOMEENDASI
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dalam proses penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan
dengan maturitas bayi dan ikterus neonatorum fisiologis dapat dilakukan
pada responden yang lebih banyak dan jangka waktu yang lebih lama.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan dalam hal perawatan
pada bayi baru lahir sehingga kejadian ikterus dapat dikurangi.
3. Bagi Profesi Kebidanan
Lebih meningkatkan pembelajaran tentang materi maturitas bayi serta
penyulit yang menyertai, khususnya ikterus neonatorum fisiologis dan lebih
meningkatkan pengalaman dalam praktek, asuhan kebidanan maupum laborat
tetntang penanganan ikterus neonatorum fisiologis.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Perlu ditambahkan wawasan baru dalam penelitian mengenai hubungan
maturitas bayi dengan kejadian ikterus neonatorum fisiologis sehingga dapat
menerapkan ilmu yang diperoleh dan dapat memberikan penanganan dan
perawatan pada bayi baru lahir agar tidak terjadi penyulit seperti ikterus.
ALAMAT CORRESPONDENSI
Email
: [email protected]
No. Telp
: 085730066664
Alamat
: Gresik
Download