Document

advertisement
2
I
1
SKL
Sajian Kasus Longitudinal
Henny Adriani Puspitasari
Kamis, 05 Juni 2014
HAP 2010076
Kepada Yth
_____________________
Pengamatan Jangka Panjang Anak Perempuan
dengan Diabetes Melitus Tipe-1 yang Memasuki Masa Pubertas
D
iabetes melitus (DM) tipe-1 merupakan penyakit kronik yang belum dapat
disembuhkan hingga saat ini. Penyakit ini merupakan penyakit sistemik yang
ditandai oleh hiperglikemia kronik akibat berkurang atau terhentinya produksi insulin karena
terjadinya kerusakan sel beta pankreas akibat proses autoimun ataupun idiopatik.1
Kelangsungan hidup anak DM tipe-1 bergantung penuh pada pemberian insulin eksogen dan
kontrol metabolik.
Insidens DM tipe I di Indonesia belum diketahui pasti namun insidens di Jakarta diperkirakan
mencapai 0,74 per 100.000 penduduk pada tahun 2013. Data Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Endokrinologi anak dan remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pusat pada tahun 2009
hingga 2014 dari 191 pasien DM tipe-1 di RS Cipto Mangunkusumo dengan proporsi
perempuan lebih banyak (55%) dari pada laki-laki.2 Kemajuan pesat teknologi dunia
kedokteran dan munculnya regimen terapi modern pada beberapa dekade terakhir telah
berhasil meningkatkan kualitas perawatan terhadap pasien diabetes di seluruh dunia.3 Anak
dengan penyakit kronis termasuk DM Tipe-1 memiliki angka harapan hidup yang lebih baik.4
Masa remaja merupakan bagian penting dari masa pertumbuhan anak yaitu peralihan menuju
masa dewasa muda. Pada periode ini terjadi perubahan besar secara fisik dan psikologis anak.
Remaja dengan DM memiliki beban tambahan dalam tata laksana diabetes. Kontrol glikemik
biasanya memburuk akibat perubahan hormonal dan ketidakpatuhan terhadap regimen
terapi.5 Diabetes melitus akan berkontribusi terhadap munculnya gangguan tumbuh kembang
anak, gangguan hubungan antara orangtua-anak, kesulitan dalam performa akademis serta
berdampak negatif terhadap kualitas hidup.4 Keluarga dan teman mempunyai peran penting
dalam usaha pencapaian kontrol metabolik yang baik dan dukungan emosional. Selain itu,
peran petugas kesehatan yang tidak kalah penting dalam hal diagnosis dini, terapi dan
pemantauan pada pasien DM. Pemantauan jangka panjang anak dengan DM tipe-1 tahap
1
kedua ini adalah untuk: (1) memantau tumbuh kembang dan menyiapkan pasien menuju masa
pubertas, (2) mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa menimbulkan hipoglikemia, (3)
memantau dan menangani secara optimal komplikasi yang mungkin timbul terutama dalam
kaitannya dengan pubertas, (3) mengidentifikasi dan mengupayakan pemecahan masalah
yang dihadapi keluarga dalam tata laksana pasien.
DATA AWAL (Juli 2009)
Seorang anak perempuan, JS, berusia 6 tahun, nomor rekam medis 3334769, datang pertama
kali ke RSCM karena tidak sadar dan sesak. Keluhan sering merasa haus dan sering minum
dirasakan oleh pasien sejak 1 tahun sebelumnya. Keluhan ini disertai dengan buang air kecil
(BAK) yang semakin sering disertai mengompol. Pasien sering merasa lapar dan makan lebih
banyak, namun berat badan tidak bertambah. Tiga bulan terakhir, orangtua merasa pasien
tampak semakin kurus. Pada hari masuk rumah sakit pasien merasa sakit perut, lemas dan
pusing sehingga orang tua membawa ke RS P. Pasien tidak sadar dan terlihat sesak. Saat itu
baru diketahui bahwa kadar gula darah sewaktu (GDS) pasien sangat tinggi sehingga pasien
langsung dirujuk ke RSCM untuk penanganan lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisis awal, pasien tampak apatis, sesak tanpa sianosis. Laju nadi 110 kali
per menit, teratur, isi cukup, laju napas 40 kali per menit, teratur dan dalam, disertai retraksi
epigastrium tanpa napas cuping hidung, dan napas berbau keton. Suhu aksila 36,8˚C. Berat
badan (BB) pasien saat datang 14 kg (<P3 kurva CDC-NCHS 2000) dan tinggi badan (TB)
105 cm (<P3 kurva CDC-NCHS 2000), secara klinis kesan gizi kurang. Pemeriksaan fisis
didapatkan nyeri tekan epigastrium sedangkan pemeriksaan lain tidak didapatkan fokus
infeksi. Hasil pemeriksaan darah di laboratorium menunjukkan hiperglikemi (GDS 413
mg/dL), leukositosis (25.600/uL), keton darah positif, kadar elektrolit dalam batas normal,
dan analisis gas darah (AGD) didapatkan kesan asidosis metabolik dengan pH 7,133 dan
kadar HCO3 7,7 mmol/L. Hasil urinalisis menunjukkan berat jenis 1,020, glukosuria (+3),
dan ketonuria (+3). Pasien didiagnosis ketoasidosis diabetik (KAD) sedang dengan dehidrasi
ringan. Pasien segera mendapatkan infus NaCl 0,9% sesuai dehidrasi ringan, terapi insulin
reguler diberikan 1 jam kemudian, pemberian kalium sebesar 40 mEq per liter cairan hidrasi
setelah pasien BAK, serta dilakukan edukasi terhadap orangtua.
Kondisi klinis pasien membaik dalam 24 jam, pasien sadar, tidak mengalami nyeri perut
maupun pernapasan Kussmaul. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil GDS 129 mg/dL
dan tidak menunjukkan asidosis metabolik. Pada pemantauan selanjutnya didapatkan kadar
2
kolesterol total 372 mg/dL, trigliserida 152 mg/dL, high-density lipoprotein (HDL) 54
mg/dL, low-density lipoprotein (LDL) 287,6 mg/dL, dan glycosylated hemoglobin (HbA1c)
14,7% dan kadar c-peptide menurun. Pasien diberikan asupan nutrisi total 1600 kkal (pagi
400 kkal, siang 400 kkal, malam 425 kkal dengan 3 kali cemilan senilai 125 kkal/kali) dan
insulin reguler 3 kali sehari yang diberikan setengah jam sebelum makan, serta kolestiramin 2
x 2 g per oral. Pasien dirawat selama 15 hari, mendapat terapi insulin lanjutan berupa insulin
kombinasi (kerja menengah dan kerja cepat) yaitu Novomix® 30 (30% insulin Aspart, 70%
insulin Aspart Protamine) subkutan (SK) dengan dosis awal 12 IU di pagi hari dan 6 IU di
sore hari.
Pemantauan jangka panjang pertama dimulai pada saat anak berusia 6 tahun 1 bulan
hingga 8 tahun 1 bulan. Permasalahan yang dihadapi adalah keterlambatan diagnosis DM
pada pasien, pemahaman kondisi penyakit pasien oleh orangtua, pemahaman orangtua
mengenai tata laksana dan morbiditas DM tipe-1 terhadap organ lain, kontrol metabolik yang
belum tercapai, gizi kurang, perawakan pendek dan imunisasi belum lengkap. Permasalahan
nonmedis yang dihadapi adalah potensi masalah emosi dan perkembangan pada pasien akibat
penyakitnya dan berbagai prosedur medis yang dijalani, kekhawatiran orang tua akan masa
depan pasien, potensi kesalahpahaman lingkungan akan penyakit pasien serta keterbatasan
finansial.
Saat pemantauan jangka panjang pertama, pasien kontrol secara rutin, kontrol metabolik
optimal yang dimonitor dari kadar HbA1c pasien (penurunan dari 14,7% hingga 5,7%)
dengan regimen terapi insulin split-mix dan tidak pernah mengalami KAD berulang. Terapi
insulin Novomix® 30 SK dilanjutkan dengan dosis 21 IU di pagi hari dan 13 IU di sore hari
serta koreksi insulin 1:50 setiap kenaikan GDS lebih dari 200 mg/dL menggunakan
Novorapid® (insulin kerja cepat). Pasien mengalami perbaikan status gizi menjadi gizi baik.
Perawakan pendek yang dialami pasien merupakan perawakan pendek familial karena
didapatkan rentang tinggi dalam tinggi potensi genetik dan hasil pemeriksaan bone age sesuai
dengan rentang usia. Imunisasi yang telah dilengkapi adalah imunisasi MMR dan Td,
sedangkan imunisasi yang belum dilakukan adalah hepatitis A, influenza dan human
papilloma virus (HPV). Hiperlipidemia diterapi selama 2 bulan kemudian didapatkan hasil
normal dan tidak didapatkan komplikasi lain yang terkait dengan DM.
Pengamatan perkembangan psikososial dilakukan dengan menggunakan instrumen pediatric
symptom checklist (PSC) 35 dan child depression inventory (CDI) didapatkan hasil normal
3
pada awal dan akhir pengamatan. Skor kualitas hidup pasien berdasarkan penilaian PedsQL
mengalami peningkatan dibandingkan pada awal pengamatan. Pasien memiliki nilai
intelligence quotient (IQ) 101 dengan prestasi akademik sesuai rata-rata di sekolah. Masalah
di sekolah telah diatasi dengan memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi
pasien dan waktu yang diperlukan oleh pasien untuk makan di luar jam istirahat.
Pasien dan keluarga telah dilibatkan dalam kegiatan seminar komunitas pengidap diabetes
yaitu Ikatan Keluarga dengan Diabetes Anak dan Remaja (IKADAR). Masalah finansial
pasien dapat diatasi dengan adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) dan
donatur yang memberikan modal kerja bagi ayah pasien. Terapi insulin direncanakan untuk
berganti ke regimen basal-bolus dan pasien akan memasuki usia pubertas yang diperkirakan
dapat mengganggu kontrol metabolik pada pasien DM tipe-1.
Pada awal pengamatan jangka panjang kedua (Juli 2011-Mei 2014), pasien berusia
berusia 8 tahun 1 bulan, dengan BB 24 kg (P25-50 kurva CDC-NCHS 2000), TB 118 cm (<P3
kurva CDC-NCHS 2000). Status antropometris BB/U 92,3%; TB/U 92,9%; BB/TB 109%,
IMT 17,2 kg/m2 (P75-85 kurva CDC-NCHS 2000). Klinis sesuai gizi cukup dan status pubertas
A1M1P1. Keluhan hipoglikemia setiap bulan berkurang tetapi masih didapatkan banyak
episode hiperglikemia. Tidak ada keluhan poliuria, polifagi, polidipsi dan keluhan gatal di
kulit. Pada pemeriksaan fisis, tidak didapatkan lipodistrofi. Pasien mendapat terapi insulin
regimen split-mix dengan menggunakan Novomix® 21 unit pagi dan 13 unit sore. Rencana
pemantauan adalah pemantauan kontrol metabolik, komplikasi akut maupun kronik DM dan
pemantauan tumbuh kembang serta kualitas hidup anak khususnya saat memasuki masa
pubertas.
FAKTOR GENETIK/HEREDOKONSTITUTIONAL
Pasien adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara dengan riwayat kehamilan dan persalinan normal.
Morbiditas ibu selama hamil tidak ada. Riwayat perkembangan normal. Saat ini pasien duduk
di bangku kelas 5 sekolah dasar dengan prestasi rata-rata. Tinggi badan ayah adalah 156 cm
dan ibu 148 cm, sehingga tinggi potensi genetik pasien adalah 137 cm (<P3 CDC-NCHS
2000) sampai 154 cm (P3-10 CDC-NCHS 2000), dan mid-parental height 145,5 cm (<P3
CDC-NCHS 2000). Pasien berada dalam rentang tinggi potensi genetik. Ibu mengalami
menarke pada usia 14 tahun. Ayah tidak ingat saat pertama kali mengalami mimpi basah.
Pasien belum pernah sakit berat sebelumnya. Terdapat riwayat alergi pada ibu berupa alergi
udara dingin dan tidak ada riwayat penyakit diabetes dalam keluarga.
4
FAKTOR LINGKUNGAN & PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
Ekosistem mikro
Ibu saat ini berusia 34 tahun, beragama Islam, suku Batak, lulusan SLTA, dan merupakan
seorang ibu rumah tangga. Ibu adalah seorang yang religius, ramah, penyayang, dan sangat
perhatian terhadap anaknya. Ibu menerapkan pola asuh yang protektif karena sangat khawatir
akan kondisi kesehatan anak perempuannya, namun tidak otoriter. Ibu juga bersifat permisif
dan berusaha melayani semua kebutuhan anak di rumah.
Ekosistem mini
Ayah berusia 44 tahun, beragama Islam, suku Betawi, lulusan SLTA, seorang wiraswasta
dengan penghasilan tidak tetap, sekitar Rp. 1.000.000,- per bulan. Ayah bersifat penyayang,
tegas, dan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ayah menerapkan pola
pengasuhan otoriter. Kakak pasien meninggal dunia saat pasien berusia 4 tahun karena
kejang. Adik pasien yang pertama berusia 3 tahun 4 bulan, sehat, klinis dan antropometri
sesuai gizi baik, imunisasi dasar lengkap sesuai usia, tumbuh kembang normal dan memiliki
hubungan yang baik dengan pasien. Adik pasien yang kedua berusia 9 bulan, sehat, klinis dan
antropometri sesuai gizi baik, imunisasi dasar lengkap sesuai usia, tumbuh kembang normal
dan memiliki hubungan yang baik dengan pasien.
Ekosistem meso
Pasien tinggal bersama orangtua dan adik di pemukiman padat di daerah Klender. Mereka
mengontrak sebuah kamar kost berukuran 3 x 4 m2 dengan ventilasi dan cahaya yang kurang
memadai. Fasilitas 2 kamar mandi dan 1 dapur digunakan bersama-sama dengan 14 keluarga
lain. Sumber air berasal dari sumur pompa, sedangkan listrik dari PLN. Hubungan antar
tetangga terkesan baik. Fasilitas umum seperti tempat ibadah, pelayanan kesehatan, dan
sekolah berjarak sekitar 200-500 m dari rumah pasien. Pasien harus menempuh perjalanan
selama 2 jam dengan kendaraan umum untuk menuju RSCM.
Ekosistem makro
Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional namun strip GDS dan
biaya kontrol ke RSCM tiap bulan merupakan biaya yang harus ditanggung keluarga, selain
makin tingginya biaya hidup sehari-hari.
5
Pemenuhan kebutuhan dasar
Fisis Biomedis (Asuh)
Pasien diasuh oleh kedua orangtua sejak kecil. Pasien telah mendapat imunisasi BCG,
hepatitis B 3 kali, DTP 3 kali, polio oral 4 kali, campak, MMR dan imunisasi penguat Td.
Imunisasi lainnya belum diberikan. Pasien mendapat ASI sampai berusia dua tahun dan mulai
mendapat makanan pendamping ASI sejak usia 4 bulan. Ibu sangat memperhatikan pola
makan pasien, termasuk memberikan kudapan di luar jam makan.
Emosi atau Kasih Sayang (Asih)
Hubungan antaranggota keluarga cukup harmonis. Kedua orangtua tampak saling
menyayangi, menghargai, dan memiliki perhatian yang cukup besar. Orangtua berusaha
mencukupi kebutuhan pakaian dan kesehatan pasien secara layak, meskipun dengan
keterbatasan dana yang ada. Hubungan kekerabatan dengan keluarga besar dari kedua belah
pihak dan tetangga baik.
Stimulasi Mental (Asah)
Ibu merupakan sumber utama pemberi stimulasi mental dengan membaca dan belajar
bersama, yang juga melibatkan adik pasien. Pendidikan formal pasien dipenuhi oleh ibu
melalui pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. Ibu
membantu pasien belajar di rumah dengan belajar bersama tiap malam hari sekolah selama 2
jam. Pasien belajar bersama dengan teman sekolah 2 kali dalam seminggu. Ibu pasien
berusaha menghubungi guru sekolah untuk menanyakan tugas sekolah apabila pasien tidak
masuk sekolah.
MASALAH YANG DIHADAPI
Masalah medis
1. Pemilihan regimen terapi insulin untuk mencapai kontrol metabolik optimal.
2. Pengaruh pubertas terhadap kontrol metabolik.
3. Diabetes melitus tipe I dan komplikasi yang diakibatkannya.
4. Kontrol metabolik yang belum tercapai.
5. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak DM.
6. Imunisasi belum lengkap.
6
Masalah nonmedis
1. Potensi masalah emosi, psikososial, dan akademik pasien akibat penyakit dan prosedur
medis yang harus dijalani.
2. Ketidakpahaman pasien akan penyakit dan tata laksana yang diberikan.
3. Kemandirian pasien dalam tata laksana penyakitnya.
4. Sikap remaja yang cenderung memberontak dan sulit diatur.
5. Keterbatasan finansial.
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
Masalah medis
1. Melakukan pemantauan kadar GDS harian dan HbA1c secara rutin untuk menilai kontrol
metabolik pasien sebagai pertimbangan pemilihan regimen terapi insulin.
2. Melakukan penyesuaian dosis insulin dan memberikan edukasi kepada orangtua
mengenai perubahan di masa pubertas yang dapat berpengaruh terhadap kontrol
metabolik.
3. Melakukan pemantauan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi kronis dengan
melakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai dan melakukan konsultasi ke departemen
terkait komplikasi akibat DM.
4. Melakukan edukasi berkelanjutan mengenai tata laksana DM.
5. Melakukan pemantauan berkala tumbuh kembang pasien melalui pengukuran
antropometris dan pemantauan status pubertas.
6. Melengkapi imunisasi sesuai jadwal.
Masalah nonmedis
1. Melakukan deteksi masalah psikososial dengan pemeriksaan kuesioner kekuatan dan
kesulitan serta deteksi gangguan kualitas hidup dengan pemeriksaannPediatric Quality of
Life Inventory (PedsQL).
2. Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit dan terapi DM sesuai taraf
pemahaman pasien.
3. Mengikutsertakan pasien pada perkumpulan keluarga dengan penyakit metabolik dan
kegiatan pertemuan orangtua dengan penyakit serupa (parents support group).
4. Melakukan konsultasi ke Departemen Psikiatri untuk membantu menangani masalah
psikososial dan perbaikan kualitas hidup pasien.
7
5. Membantu keluarga pasien mendapatkan jaminan kesehatan untuk berobat dan
mendapatkan donasi untuk penyediaan strip gula darah.
HASIL PENGAMATAN
Masalah medis
Pada pengamatan jangka panjang kedua, keluhan DM berupa polifagi, poliuri, polidipsi dan
penurunan berat badan tidak lagi didapatkan seiring dengan kontrol metabolik yang baik.
Untuk mengelola DM tipe-1 secara intensif dilakukan pemberian insulin, pengaturan makan,
dan edukasi, yang didukung oleh pemantauan mandiri. Pemberian insulin pada awal
pengamatan menggunakan regimen split-mix. Pasien mendapatkan Novomix® dengan dosis
total 1,6 IU/kg/hari yang terdiri dari 27 IU pada pagi hari dan 16 IU pada sore hari.
Pada pengamatan semester kedua, pasien memiliki kontrol metabolik yang baik dan untuk
mengoptimalkan tata laksana DM dilakukan penggantian regimen terapi basal-bolus. Insulin
basal menyediakan kebutuhan insulin pada saat puasa dan insulin bolus menyediakan
kebutuhan insulin yang meningkat setelah waktu makan atau untuk koreksi hiperglikemia.
Insulin kerja panjang seperti detemir atau glargine diberikan sebagai insulin basal sedangkan
insulin kerja cepat diberikan sebagai insulin bolus.6 Perhitungan dosis awal untuk regimen
adalah sebagai berikut: kebutuhan insulin total 43 IU (1,6 IU/kg/hari), kebutuhan insulin
untuk regimen basal-bolus diperhitungkan 75% dari kebutuhan insulin total yaitu 32 IU (16
IU kebutuhan basal, 16 IU kebutuhan bolus). Faktor koreksi dihitung dari rumus 1800 dibagi
dosis total insulin yaitu 50 sehingga dilakukan koreksi 1 IU setiap kenaikan GDS 50 mg/dL.
Untuk menghitung dosis insulin bolus, ditentukan terlebih dahulu kebutuhan kalori harian
sesuai BB ideal yaitu 1500 kkal. Jumlah total karbohidrat harian adalah 187,5 gram yang
didapatkan dari 50% total kalori dibagi 4. Kemudian dihitung rasio insulin-karbohidrat
dengan membagi total karbohidrat dengan dosis total insulin bolus sehingga didapatkan 1:12.
Waktu makan dibagi menjadi makan utama yaitu makan pagi dengan makan siang dengan
proporsi 25% total karbohidrat harian, makan malam sebanyak 20% serta kudapan sebanyak
10%.Berdasarkan persentase kebutuhan karbohidrat setiap waktu makan maka insulin bolus
yang diberikan sebelum makan pagi dan siang adalah 6 IU, makan malam 4 IU dan kudapan
2 IU. Jenis insulin yang dipakai adalah detemir untuk insulin basal dan novorapid® untuk
insulin bolus. Pasien dirawat selama 5 hari untuk pemantauan GDS dan edukasi orangtua
mengenai cara penghitungan karbohidrat dan bahan makanan penukar.
8
Selama menggunakan regimen basal-bolus, kontrol metabolik pasien menunjukkan hasil yang
baik sehingga ketika bulan Ramadhan pasien diperbolehkan mencoba menjalankan ibadah
puasa. Pada saat puasa pada dasarnya pasien tetap mendapatkan insulin basal dan bolus
seperti hari biasa, hanya terdapat pergeseran waktu makan. Waktu makan dibagi menjadi 2
makan utama yaitu saat berbuka dan sahur serta kudapan setelah tarawih. Saat berbuka puasa
diberikan 50% total karbohidrat (90 gram), saat sahur diberikan 40% (75 gram) dan kudapan
sebanyak 10% (20 gram). Untuk itu, insulin bolus diberikan 7 IU saat buka puasa, 6 IU saat
sahur dan 1 IU saat kudapaan.Insulin basal yang diberikan sebesar 80% dari insulin basal
yang biasa diberikan yaitu 13 IU. Pemantauan GDS perlu dilakukan sebanyak 7 kali, salah
satunya dilakukan di siang hari dan pasien diminta membatalkan puasa bila terdapat
hipoglikemia.Pasien dapat menjalani puasa selama 3 minggu dan hanya mengalami 2 kali
hipoglikemia selama puasa.
Kontrol metabolik pasien dilakukan dengan melakukan pemantauan GDS harian sebanyak 7
kali pada awal pemberian terapi insulin basal-bolus yang kemudian menjadi 3-5 kali perhari.
Pada semester ketiga pengamatan, pasien dirawat selama 1 hari dengan diagnosis demam
dengue. Selama sakit, GDS pasien stabil dan tidak ditemukan keton pada pemeriksaan darah.
Pada semester kelima pengamatan kadar HbA1c pasien mengalami peningkatan bermakna
menjadi 9,6%. Pada saat ini memasuki masa pubertas dan pada masa pubertas terdapat
perubahan hormonal yang dapat menyebabkan insensitivitas terhadap insulin. Pasien menjadi
lebih sulit menepati aturan makan, sering makan kudapan di luar waktunya dan memilih
kudapan yang tidak memiliki keterangan nutrisi pada kemasannya sehingga sulit dihitung
jumlah karbohidratnya. Untuk mempertahankan kontrol gula darah yang baik diperlukan
peningkatan dosis insulin. Dosis insulin total yang diberikan ditingkatkan menjadi 48 IU dan
rasio insulin-karbohidrat disesuaikan menjadi 1:9. Edukasi mengenai pengaruh pubertas
terhadap kontrol metabolik diberikan kepada pasien dan keluarga. Pada akhir pengamatan,
kontrol metabolik mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan menurunnya kadar HbA1C.
(Tabel 1).
Tabel 1. Pemantauan HbA1c
Bulan
HbA1c (%)
Agustus
2011
7,0
November
2011
7,8
Februari
2012
7,4
Mei
2012
8,3
Agustus
2012
7,7
November
2012
7,4
9
Bulan
HbA1c (%)
Februari
2013
7,3
Mei
2013
8,0
Agustus
2013
7,6
November
2013
9,6
Februari
2014
9,0
Mei
2014
7,0
Nilai normal HbA1c <7,5%
Kadar HbA1c yang lebih rendah dapat menurunkan risiko terjadinya komplikasi jangka
panjang. Tanda-tanda komplikasi jangka panjang seperti neuropati dan gangguan penglihatan
tidak ditemukan pada pasien. Pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan retinopati dan
pemeriksaan ureum, kreatinin sera mikroalbuminuria menunjukkan hasil normal (1,6 mg/24
jam). Pemantauan profil lipid pasien dan fungsi tiroid menunjukkan hasil normal.
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pasien dilakukan secara teratur setiap bulan.
Pada awal pengamatan (Juli 2011) BB pasien 24 kg (P25-50 kurva CDC-NCHS 2000) dengan
tinggi badan 118 cm (<P3 kurva CDC-NCHS 2000), secara klinis status gizi sesuai dengan
gizi cukup, perawakan pendek. Edukasi dan pemberian diet dengan jumlah kalori yang
sesuai, penyuntikan insulin yang teratur, dan kontrol metabolik yang baik memberikan hasil
tercapainya BB ideal. Tinggi badan pasien tetap berada di bawah P3 kemudian mengalami
percepatan pertumbuhan hingga mencapai TB 133 cm (P3-10 kurva CDC-NCHS 2000) saat
usia 10 tahun 10 bulan. Kecepatan pertumbuhan pasien 6,4 cm/tahun dan pasien telah
menunjukkan breast-budding. Hasil pemeriksaan bone age menunjukkan average girl, telah
mencapai 86,2% maturasi tulang dan diperkirakan dapat mencapai tinggi akhir 154 cm. Pada
akhir pengamatan, pasien memiliki status gizi baik (Lampiran 1 dan 2) dan mencapai status
pubertas A1M2P1 (Tanner’s stage).
Masalah lain yang ditemukan pada pasien adalah pasien sering mengompol dan buang air
besar di celana dengan frekuensi 2 sampai 3 kali per minggu tanpa disertai keluhan gejala
DM lainnya. Kadar gula darah saat itu terkontrol, kadar HbA1c 9,6%, hasil urinalisis lengkap
dan mikroalbumin urin sewaktu dalam batas normal. Hasil pemeriksaan yang ada dapat
menyingkirkan infeksi saluran kemih dan nefropati. Setelah dieksplorasi lebih lanjut pasien
masih dapat merasakan buang air kecil dan buang air besar tetapi enggan pergi ke kamar
mandi karena kamar mandi yang dipakai adalah kamar mandi bersama dan bau. Pasien
diedukasi dan diminta untuk membuat catatan harian berdasarkan hasil konsultasi ke
departemen psikiatri. Kebiasaan tersebut berhasil dikurangi frekuensinya menjadi 1 kali per
minggu. Pasien juga telah melengkapi imunisasi ulang Td.
10
Masalah Nonmedis
Kesulitan beradaptasi pada masa pubertas seringkali dialami oleh anak normal. Pada pasien
DM kemampuan adaptasi tersebut akan menjadi lebih sulit karena adanya terapi insulin,
pengaturan makan dan pemeriksaan GDS harian. Kesulitan yang dialami pada masa pubertas
berpotensi menimbulkan masalah psikososial, gangguan perilaku, gangguan akademik dan
dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Untuk mendeteksi secara dini kelainan psikososial
maka digunakan instrumen PSC-35 serta kuesioner kekuatan dan kesulitan pada awal dan
akhir pengamatan (Lampiran 3 dan 4). Total skor PSC-35 dalam pengamatan semester
keempat menunjukkan skor 24 yang berarti tidak ditemukan masalah psikososial pada pasien.
(batas skor 28). Kuesioner kekuatan dan kesulitan yang diisi sendiri oleh anak menunjukkan
adanya gangguan emosional, conduct dan hubungan dengan teman sebaya serta kurangnya
perilaku prososial.
Prestasi akademik pasien selama pengamatan sesuai dengan rata-rata kelas (Lampiran 5) dan
pasien tidak pernah tinggal kelas. Pasien tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam
pelajaran dan aktif dalam ekstrakurikuler seni tari serta pramuka. Keluhan guru muncul pada
semester keempat pengamatan karena angka absensi pasien meningkat dan pasien sering
tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Pada awal berlakunya JKN, sistem rujukan
mengharuskan pasien datang terlebih dahulu ke RS Budi Asih sebelum ke RSCM. Hal ini
menyebabkan pasien harus absen dari sekolah minimal 2 hari dalam sebulan.
Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan instrumen PedsQL generik yang menilai gangguan
fungsi fisis, emosi, sosial dan sekolah serta PedsQL modul diabetes yang menilai masalah
pada gejala diabetes, hambatan terapi, kepatuhan terapi, kekhawatiran dan komunikasi.
Kedua instrumen tersebut dilaporkan oleh anak dan orangtua. Penilaian PedsQL generik pada
awal pengamatan cukup baik, yaitu 78 dan 70 (laporan anak dan laporan orangtua)
dibandingkan skor maksimal 100. Penyakit yang berlangsung kronis dan usia pasien yang
memasuki masa pubertas ternyata menjadi masalah bagi pasien dan orangtua. Hal ini tampak
dari total skor PedsQL laporan pasien dan orangtua yang sempat menurun pada saat pasien
memasuki pubertas dan kembali normal pada akhir pengamatan (Tabel 2). Penilaian kualitas
hidup dengan modul diabetes dilakukan pada akhir pengamatan dan didapatkan adanya
masalah tdalam hambatan terapi dan komunikasi berdasarkan laporan anak serta masalah
hambatan terapi dan kekhawatiran pada laporan orangtua. (Tabel 3)
11
Tabel 2. Hasil penilaian PedsQL Generik
Pasien pengamatan
Awal pengamatan
Pasien studi
sebelumnya7
Fungsi
fisik
Anak
100
Orangtua
84
Masuk masa
pubertas
Anak
Orangtua
56,25 68,75
Akhir pengamatan
emosi
70
70
25
50
70
70
sosial
80
94
68,75
112,5
118,75
100
sekolah
62
32
35
35
65
45
Total
78
70
46,25
66,56
83,75
77,18
Anak
81,25
Orangtua
93,75
Anak
79,61
(13,85)
70,66
(16,17)
81,88
(15,04)
72,58
(12,45)
76,63
(10,99)
Orangtua
75,57
(16,99)
61,84
(16,79)
77,58
(17,38)
68,98
(15,66)
71,59
(13,03)
Tabel 3. Hasil PedsQL modul diabetes
Masalah
Pasien pengamatan
Anak
Orangtua
Gejala DM
Hambatan terapi
Kepatuhan berobat
Kekhawatiran
Komunikasi
65,90
43,75
60,70
83,3
41,70
93,20
56,30
78,60
58,30
66,70
Pasien pada studi sebelumnya8
Anak
Orangtua
(rerata±SD)
(rerata±SD)
65,31±15,79
63,96±13,37
73,72±20,91
66,44±19,99
80,81±15,50
76,74±17,13
71,54±22,48
68,24±24,26
74,07±25,08
64,90±25,98
Edukasi mengenai DM lebih difokuskan kepada pasien karena pasien sudah memiliki taraf
pemahaman yang lebih baik. Edukasi dilakukan setiap pasien datang kontrol untuk
memberikan pemahaman terhadap penyakit pasien, tata laksana pemberian insulin yang
cukup rumit dan pentingnya kepatuhan terhadap diet. Pasien sudah mengetahui tentang
penyakit dan tata laksana DM tetapi belum dapat memahami dan menjelaskan kepada orang
lain. Orangtua diminta untuk memberikan dukungan dan motivasi agar pasien dapat lebih
mandiri terutama dalam hal penyuntikan insulin dan pemantauan GDS.Pasien dan orangtua
juga dilibatkan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Penyandang
Diabetes Anak dan Remaja (IKADAR). Kelompok pendukung tersebut dapat menempatkan
pasien dan orangtua dalam lingkungan dengan karakteristik masalah yang sama sehingga
lebih mudah untuk mengungkapkan masalah, memperoleh dukungan yang sesuai dan
mengembalikan kepercayaan diri pasien dan keluarga.
Pada awal pengamatan, biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jamkesmas kemudian pada
semester keempat pengamatan terdapat perubahan peraturan kesehatan sehingga jamkesmas
12
digantikan oleh JKN. Biaya yang ditanggung oleh JKN adalah biaya konsultasi, pemeriksaan
laboratorium dan obat-obatan. Biaya lain seperti strip GDS untuk pemantauan harian masih
didapatkan dari donatur karena keterbatasan keuangan keluarga pasien.
DISKUSI
Diabetes melitus tipe-1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme glukosa
yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik ini disebabkan oleh kerusakan
sel ß pankreas akibat proses autoimun atau idiopatik sehingga produksi insulin berkurang
atau berhenti.9 Insidens tertinggi DM tipe I dilaporkan pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun serta
tidak didapatkan variasi isidens berdasarkan jenis kelamin.10 Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya gejala klasik DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia dan penurunan
berat badan yang terjadi 1-2 minggu sebelum munculnya gejala. Diagnosis dikonfirmasi bila
terdapat gejala tersebut disertai peningkatan kadar gula darah yang bermakna.Namun,
seringkali pasien justru ditemukan dalam kondisi KAD pada awal terdiagnosis sebagaimana
yang dialami oleh pasien saat berusia 6 tahun. Ketoasidosis diabetik yang merupakan
komplikasi serius dari DM dapat ditemukan pada 15-67% pasien saat awal terdiagnosis.11
Studi populasi di AS menunjukkan prevalens KAD saat diagnosis sebesar 25,5% sedangkan
di RSCM sendiri didapatkan 43% kejadian KAD dalam 5 tahun terakhir.11,12Akumulasi benda
keton pada KAD menyebabkan asidemia, ileus, terjadinya diuresis osmotik, dehidrasi bahkan
syok hipovolemik.9,10 Penanganan yang optimal terhadap KAD sangat penting untuk
mencegah mortalitas dan morbiditasyang terkait dengan edem serebri pada saat diagnosis.
Ketoasidosis diabetik pada pasien dapat ditangani dalam waktu 24 jam dan penanganan
diberikan secara optimal sehingga tidak didapatkan edema serebri maupun morbiditas yang
terkait.
Tujuan tata laksana DM adalah mencapai tumbuh kembang optimal, perkembangan emosi
optimal, kontrol metabolik yang baik, angka absensi yang rendah, pasien tidak memanipulasi
penyakit dan mampu mengelola penyakit secara mandiri.Untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan lima pilar tata laksana DM yaitu pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga,
edukasi dan pemantauan mandiri.10
Pemberian insulin bertujuan menjamin ketersediaan insulin yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan insulin basal maupun koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek
glikemik makanan. Regimen split-mix menggunakan kombinasi insulin kerja cepat/pendek
dengan menengah yang disuntikkan 1-3 kali per hari. Pemakaian regimen split-mix
13
membutuhkan kepatuhan yang ketat terhadap diet. Pasien menggunakan insulin kombinasi
yang disuntikkan dua kali sehari dan koreksi kadar GDS dilakukan dengan pemberian insulin
kerja cepat. Kontrol metabolik dapat dicapai dengan baik pada pasien menggunakan regimen
ini tetapi untuk mencapai kadar metabolik yang lebih optimal dan pemberian insulin yang
lebih fisiologis maka dilakukan penggantian regimen menjadi basal-bolus.
Regimen basal-bolus menggunakan insulin kerja cepat/pendek sebelum makan utama dan
insulin basal yang diberikan sekali (pagi atau malam hari). Komponen basal biasanya
diberikan 40-60% dari kebutuhan total insulin dan sisanya dibagi menjadi komponen bolus.
Penyesuaian dosis insulin untuk regmen basal-bolus tergantung dari hasil monitor GDS, pola
GDS harian dan kadar karbohidrat yang dikonsumsi. Pasien berhasil berpindah ke regimen
insulin basal-bolus pada semester ketiga pengamatan. Insulin yang digunakan adalah insulin
basal analog yaitu detemir pada malam hari dan insulin kerja cepat yaitu insulin aspart yang
disuntikkan sebelum makan utama. Dosis insulin basal diberikan 75% dari kebutuhan total
insulin.
Penurunan ambilan glukosa yang distimulasi insulin pada remaja sehat dibandingkan dengan
anak pra-pubertas didemonstrasikan pertama kali pada tahun 1980-an dan efek ini tampak
lebih menonjol pada anak DM tipe-1.Petugas kesehatan harus memperhatikan insensitivitas
terhadap insulin pada masa pubertas dan meningkatkan dosis insulin untuk mempertahankan
kontrol gula darah yang baik. Penyebab insensitivitas insulin selama pubertas adalah
perubahan hormonal besar akibat peningkatan sekresi growth hormone (GH) dan peningkatan
hormon seks steroid. Kedua hormon tersebut dibutuhkan untuk perkembangan tanda seks
sekunder, kenaikan tinggi badan dan perubahan komposisi tubuh. Secara biokimiawi,
peningkatan GH selama pubertas akan meningkatkan pemecahan lemak di dalam sel lipid
(lipolisis) dan meningkatkan aliran asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan berkompetisi
dengan glukosa pada proses oksidasi glukosa sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa
dan insensitivitas terhadap insulin. Selain perubahan secara fisiologi, terjadi perubahan
bermakna secara psikososial pada masa pubertas. Kepatuhan terhadap regimen terapi insulin,
monitor
GDS
dan
diet
menjadi
hal
yang
berpengaruh
terhadap
kontrol
metabolik.13Peningkatan kadar HbA1c pada semester keempat pengamatan dapat disebabkan
oleh perubahan hormonal maupun kepatuhan terhadap pengaturan makan yang berkurang.
Setelah dilakukan penyesuaian dosis insulin dan edukasi untuk mematuhi diet, kadar HbA1c
berangsur-angsur normal.
14
Selain pada masa remaja, penyesuaian dosis insulin juga perlu dilakukan pada saat sakit, saat
puasa dan tindakan pembedahan. Sebuah studi literatur menyatakan bahwa terdapat tiga cara
penyesuaian dosis insulin saat puasa yaitu memberikan 70% dosis insulin pra-puasa yang
dibagi menjadi 60% insulin glargin di malam hari dan 40% insulin kerja pendek yang
diberikan 2 dosis (saat sahur dan saat berbuka). Alternatif lain adalah memberikan 85% dosis
insulin pra-puasa yang dibagi menjadi 70% ultralente dan 30% insulin reguler, keduanya
diberikan 2 dosis (saat sahur dan saat berbuka). Pilihan lain adalah memberikan 100% dosis
insulin pagi dengan insulin premix 70/30 dan 50% dosis insulin malam hari saat sahur.14
Namun sebagian besar literatur menyebutkan bahwa penyesuaian dosis insulin pada pasien
puasa bersifat individual.15 Pemantauan GDS ketat dan pengaturan makanan seperti memilih
karbohidrat kompleks pada saat sahur serta menghindari makanan berkarbohidrat tinggi pada
saat berbuka diperlukan untuk mencegah hipoglikemia atau hiperglikemia pada saat
puasa.15,16 Puasa harus segera dihentikan bila kadar GDS kurang dari 80 mg/dL.
Kontraindikasi puasa pada pasien DM tipe-1 adalah kontrol metabolik yang buruk,
mengalami KAD 3 bulan sebelum bulan Ramadhan, memiliki kondisi komorbid (unstable
angina, hipertensi tidak terkontrol, infeksi, gangguan ginjal, komplikasi makrovaskular lain),
pasien yang tidak patuh trhadap terapi dan diet, pasien dengan aktivitas fisik yang berat,
wanita hamil dan usia lanjut.14 Pasien telah berhasil menjalani puasa dengan penyesuaian
dosis individual. Insulin basal diberikan 80% dosis insulin basal pra-puasa, insulin bolus
diberikan 100% dosis pra-puasa yang dibagi sebanyak 4 kali waktu makan.
Salah satu parameter kontrol metabolik yang penting pada DM tipe-1 adalah kadar HbA1c.
Kadar HbA1c menggambarkan rerata glukosa darah dalam 2-3 bulan terakhir. Pemeriksaan ini
merupakan baku emas evaluasi kontrol metabolik pasien DM.10 Target HbA1c bervariasi
sesuai usia yaitu 7,5-8,5% untuk anak < 6 tahun, < 8% untuk anak 6-12 tahun, < 7,5% untuk
anak 13-19 tahun.17 Penyesuaian dosis insulin tidak selalu memberikan hasil kontrol
metabolik yang diharapkan karena belum ada regimen insulin yang sepenuhnya menyamai
kerja alami insulin tubuh.10 Rerata kadar HbA1c yang didapatkan di Indonesia pada studi
tahun 2006 adalah 10,6±2,7%.18 Selama pemantauan pasien memiliki kadar Hba1c yang
berkisar antara 7,0% hingga 9,6%. Kadar HbA1c pada pasien, walaupun belum berhasil
mencapai kadar HbA1c yang diharapkan tetapi berada di bawah kadar rerata pasien DM tipe1 di Indonesia. Lonjakan kadar HbA1c dapat disebabkan karena insensitivitas insulin pada
masa pubertas yang kemudian mengalami perbaikan setelah dilakukan intervensi penyesuaian
dosis insulin.
15
Pengaturan makan pada anak DM bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik yang baik
tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan.10 Pengaturan makan yang optimal terdiri dari 3
kali pemberian makanan utama dan 3 kali pemberian makanan kecil. Kebutuhan kalori
ditentukan berdasarkan perhitungan untuk mencapai berat badan ideal. American Diabetes
Association (ADA) tahun 2005 merekomendasikan penggunaan indeks glikemik dalam
intervensi diet selainpenghitungan jumlah total karbohidrat. Indeks glikemik adalah respons
glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons glukosa darah tubuh
terhadap glukosa murni. Makanan dengan indeks glikemik rendah (kurang dari 55) dapat
memperbaiki kontrol metabolik. Pemberian nutrisi dengan indeks glikemik rendah selama 336 bulan dapat menurunkan HbA1c hingga 19% dan IMT hingga 8%.19 Makanan dengan
indeks glikemik rendah di antaranya adalah buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, gandum
dan produk susu.16 Pada kasus ini, pasien dan orangtua mendapat edukasi mengenai
penghitungan jumlah karbohidrat total dan penyediaan kalori yang dibutuhkan, serta
penentuan bahan makanan penukar. Edukasi mengenai indeks glikemik masih perlu
ditingkatkan karena selama pemantauan dilakukan yang menjadi fokus utama adalah pada
penghitungan jumlah karbohidrat total.
Olahraga pada anak DM dapat membantu mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan
sensitivitas insulin, menurunkan kadar glukosa darah, dan menimbulkan perasaan
sehat.10Olahraga pada anak DM membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah
hipoglikemia. Konsultasi dengan dokter perlu dilakukan sebelum penderita DM tipe 1
memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan intensitas sedang-berat.
Pemantauan GDS yang lebih ketat serta penyesuaian intensitas dan lama olahraga perlu
dilakukan sebelum dan selama berolahraga.10 Pada kasus ini, pasien cukup aktif terlibat
dalam kegiatan olahraga yaitu bersepeda dan renang.
Salah satu sasaran penting pengelolaan DM Tipe-1 adalah agar anak terhindar dari
komplikasi penyakit.Komplikasi DM tipe-1 dapat berupa komplikasi akut maupun kronik.
Komplikasi kronik terjadi akibat perubahan-perubahan mikrovaskuler (retinopati, nefropati,
neuropati) dan makrovaskuler.10 Risiko timbulnya komplikasi sangat bervariasi, tergantung
pada durasi penyakit, kontrol gula darah, hipertensi yang berhubungan dengan risiko
mikrovaskuler serta kelainan profil lipid dan albuminuria yang merupakan risiko kuat untuk
komplikasi makrovaskuler.20 Pemeriksaan funduskopi dan ginjal (ureum, kreatinin,
mikroalbuminuria) dilakukan setiap tahun serta skrining kelainan makrovaskular (profil lipid)
setiap 5 tahun sebagaimana dianjurkan oleh International Society for Pediatric and
16
Adolescent Diabetes(ISPAD).21,22 Pemeriksaan fungsi tiroid disarankan untuk dilakukan
setiap dua tahun. Pasien telah menjalani pemeriksaan komplikasi kronis terkait DM dan tidak
ditemukan adanya kelainan.
Pertumbuhan merupakan salah satu parameter kesehatan yang penting pada anak. Gangguan
pertumbuhan seringkali ditemukan pada pasien DM tipe-1. Gangguan tersebut dihubungkan
dengan kontrol metabolik yang buruk dan durasi penyakit sejak terdiagnosis. Studi Oxford
menunjukkan kehilangan tinggi badan sebesar 0,06 SDS setiap tahun sejak diagnosis hingga
onset pubertas. Gangguan pertumbuhan berhubungan dengan penurunan kadar insulin growth
factor-1 (IGF-1) yang bersirkulasi dan peningkatan kadar IGFBP-1 (inhibitor bioaktivitas
IGF) akibat kadar insulin portal yang rendah pada anak. Insulin portal yang memproduksi
insulin yang cukup untuk pembentukan IGF-1, supresi IGFBP-1 dan insulin yang dibutuhkan
agar reseptor GH berfungsi normal.23 Studi kasus-kontrol di India melaporkan bahwa anak
DM memiliki TB lebih rendah secara bermakna dibandingkan anak normal. Pasien DM yang
mendapat terapi insulin basal-bolus memilili TB lebih tinggi dibandingkan yang
mendapatkan terapi split-mix walaupun tidak bermakna secara statistik (height-age Zscore/HAZ -1,0±1,0 vs -1,3±1,3).24
Studi pada anak DM tipe-1 di Sudan menunjukkan keterlambatan pematangan seksual pada
anak perempuan dan lelaki. Anak perempuan mengalami menarke pada usia rerata 15,1
tahun, lebih lambat daripada anak normal (13,3 tahun). Anak lelaki dengan DM tipe-1
mencapai stadium Tanner-5 pada usia 17,2 tahun sedangkan anak normal pada usia 15
tahun.3 Pemantauan pertumbuhan pasien dilakukan secara rutin setiap kali kunjungan ke
Poliklinik Endokrinologi IKA. Pasien menunjukkan kenaikan berat badan yang baik sehingga
pada akhir pemantauan. Pada awal pemantauan, tinggi badan berada di bawah P3 kurva CDCNCHS 2000 tetapi saat memasuki masa pubertas tinggi badan berada di antara P 3-10 kurva
CDC-NCHS. Pasien telah mengalami 86,2% maturasi tulang dan diperkirakan dapat
mencapai tinggi akhir 154 cm. Status pubertas pasien saat ini adalah A1M2P1 dan IMT
menunjukkan berat badan ideal.
Fase remaja merupakan fase transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai oleh
percepatan pertumbuhan dan perkembangan psikososial anak.25 Remaja dengan DM memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah psikiatri (10-20%), kelainan pola makan (830%) dan penyalahgunaan substansi (25-50%). Masalah tersebut akan memperburuk kontrol
metabolik pasien di samping adanya perubahan hormonal. Masalah psikiatri dan perilaku
17
pada remaja dikategorikan menjadi gangguan internalisasi (seperti depresi dan ansietas) atau
eksternalisasi (seperti impulsivitas, hiperaktivitas, agresi). Skrining psikologis rutin
diperlukan untuk deteksi dini kelainan psikiatri dan perilaku. Remaja dengan KAD berulang,
memiliki masalah terkait diabetes dengan orangtua atau memiliki konflik dengan orangtua
berisiko mengalami gangguan psikososial yang lebih tinggi.5 Hasil pemeriksaan dengan
kuesioner kekuatan dan kesulitan menunjukkan adanya masalah emosional, conduct dan
hubungan dengan teman sebaya. Kerjasama dengan Departemen Psikiatri dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut sehingga hasil pemeriksaan ulang setelah 2 bulan dilakukan
terapi perilaku menunjukkan hasil yang normal.
Kualitas hidup pada anak DM tipe-1 dapat dinilai dengan menggunakan PedsQL modul
generik yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan divalidasi. Beberapa studi
melaporkan bahwa kualitas hidup anak dan remaja dengan DM tipe-1 lebih rendah daripada
anak normal (Tabel 3).7 Suatu studi di Yunani menunjukkan adanya skor penilaian fungsi
fisik, sekolah dan emosional yang lebih rendah pada anak DM tipe-1 dibandingkan anak
normal.Sedangkan laporan penilaian orangtua menunjukkan skor fungsi sekolah yang
rendah.7 Pada saat memasuki masa pubertas, laporan anak menunjukkan fungsi fisik, sekolah
dan emosional yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena rasa nyeri dan rumitnya regimen
terapi yang harus dijalani oleh seorang pasien DM remaja. Penilaian kualitas hidup dengan
PedsQL modul diabetes menunjukkan hasil yang sesuai dengan anak DM tipe-1 di Texas.8
Anak melaporkan adanya masalah terutama dalam hambatan terapi seperti nyeri saat
menyuntik dan kesulitan berkomunikasi dengan petugas kesehatan karena sifat pemalu pada
pasien sedangkan laporan orangtua lebih menunjukkan masalah pada kekhawatiran terhadap
kondisi yang diderita anaknya. Pemberian edukasi terhadap pasien dan keluarga serta
konsultasi ke Departemen Psikiatri dapat membuat pasien merasa lebih baik sehingga pada
akhir pengamatan kualitas hidup dinilai baik.
Dampak DM tipe-1 terhadap perkembangan otak merupakan hal yang kontroversial. Hal
yang dianggap sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif diantaranya adalah awitan usia
muda (usia 4-7 tahun), hipoglikemia berat dan kejadian KAD. Studi terhadap remaja dengan
DM menunjukkan full scale IQ pada anak DM tidak berbeda bermakna dibanding anak
normal (100,7±2,0 vs 102,5±1,4) begitu pula dengan kemampuan memori, verbal, kecepatan
analisis dan analisis persepsi (perceptual reasoning).26 Studi lain yang mempelajari hubungan
disfungsi memori dengan KAD menunjukkan bahwa pasien DM dengan riwayat KAD
18
memiliki memori yang lebih rendah dalam uji warna dan spasial dibandingkan dengan yang
tidak memiliki riwayat KAD (0,34±0,13 vs 0,44±0,11 pada uji warna; 0,57±0,15 vs0,65±0,18
pada uji spasial).27 Full scale IQ pada pasien adalah menunjukkan hasil sesuai rata-rata
dengan skor 106 sedangkan pemeriksaan memori tidak dilakukan pada pasien. Prestasi
akademik yang didapatkan oleh pasien di sekolah sesuai rata-rata dan tidak pernah tinggal
kelas.
Mortalitas secara keseluruhan pada pasien DM tipe-1 pada studi di Oxford adalah 3,6%
dalam waktu 20 tahun sejak terdiagnosis (IK 95% 1,0-9,0); namun hasil ini memiliki interval
kepercayaan yang lebar sehingga hasilnya harus diinterpretasi secara hati-hati. Prevalens
terjadinya komplikasi serius meningkat dari 3% saat pertama kali didiagnosis menjadi 37%
setelah 20 tahun follow-up. Didapatkan pula gangguan psikiatri sebanyak 25% dari subjek.
Risiko berulangnya KAD pada anak yang telah didiagnosis DM tipe-1 adalah 1-10%. Risiko
ini meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang buruk atau memiliki riwayat KAD
sebelumnya, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri
seperti gangguan pola makan, anak yang memiliki lingkungan keluarga tidak stabil, anak
yang memiliki keterbatasan terhadap pelayanan medis, anak yang mengalami gangguan
penyediaan insulin pada pemakaian terapi insulin pompa. Dengan demikian prognosis pada
pasien adalah quo ad vitam bonam, quo ad functionam dubia dan quo ad sanactionam dubia.
SIMPULAN
Pengamatan jangka panjang kedua selama 2 tahun 10 bulan telah dilakukan terhadap seorang
anak perempuan penderita DM tipe-1 yang memasuki masa pubertas. Masalah yang
ditemukan pada pengamatan adalah pemilihan regimen terapi, kontrol metabolik yang
memburuk akibat pubertas, ancaman komplikasi DM tipe-1, potensi gangguan pertumbuhan
dan perkembangan serta masalah psikososial akibat DM tipe-1. Usaha untuk mendapatkan
kontrol metabolik yang optimal dilakukan dengan memperhatikan lima pilar yang terdiri dari
pemberian insulin, pengaturan makan, nutrisi, edukasi dan pemantauan. Pemberian insulin
pada periode ini telah diubah menjadi regimen basal-bolus sehingga lebih mendekati fisiologi
insulin tubuh. Kontrol metabolik yang baik berhasil dicapai oleh pasien dan tidak didapatkan
komplikasi akut maupun kronik. Pertumbuhan dan perkembangan dinilai baik. Pemantauan
jangka panjang lanjutan masih perlu dilakukan karena pasien masih dapat mengalami
gangguan medis dan psikososial serta terjadinya KAD berulang saat memasuki masa dewasa
muda.
19
Daftar Pustaka
1. Alemzadeh R, Wyatt D. Diabetes mellitus in children. Dalam: Kliegman R BRJHSB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h.
2404-25.
2. Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Data Pasien
Diabetes Melitus Tipe-1 di Jakarta tahun 2012-2013. Jakarta; 2014 [unpublished].
3. Elamin A, Hussein O, Tuvemo T. Growth, puberty, and final height in children with
type 1 diabetes. J Diabetes Complications. 2006;20:252-6.
4. Rusmil K. Kualitas hidup remaja dengan kondisi penyakit kronis. Dalam: Amalia P,
Oswari H, Hartanto F, Kadim M, penyunting. The 2nd adolesccent health national
symposia: current chalanges in management. Jakarta: Balai Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2009. h. 97-107.
5. Kakleas K, Kandyla B, Karayianni C, Karavanaki K. Psychosocial problems in
adolescents with type-1 diabetes melitus. Diabetes Metab. 2009;35:339-50.
6. Cooke DW, Plotnick L. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr Rev.
2008;29:374-85.
7. Kalyva E, Malakonaki E, Eiser C, Mamoulakis D. Health-related quality of life
(HRQoL) of children with type 1 diabetes mellitus (T1DM): self and parental
perceptions. Pediatric Diabetes. 2011;12:34-40.
8. Varni JW, Burwinkle TM, Jacobs JR, Gottschalk M, Kaufman F, Jones KL. The
PedsQL int type 1 and type 2 diabetes. Diabetes Care. 2003;26:631-37.
9. Craig ME, Hattersley A, Donaghue KC. Definition, epidemiology andclassification of
diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10:3-12.
10. Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
nasional pengelolaan diabetes melitus tipe-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2009.
11. Rewers A, Klingensmith G, Davis C, Pettiti DB, Pihoker C, Rodriguez B, dkk. Presence
of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes mellitus in youth: the search for
diabetes in youth study. Pediatrics. 2008;121:e1258-66.
12. Nagrani D, Pulungan AB. Clinical profiles of patients with history of diabetic
ketoacidosis at Cipto Mangunkusumo General Hospital [poster]. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014 [unpublished].
13. Tfayii H, Arslanian S. The challenge of adolescence: hormonal changes and sensitivity
to insulin. Diabetes Voice. 2007;52:28-30.
20
14. Kobeissy A, Zantout MS, Azar ST. Suggested insulin regimens for patients with type 1
diabetes mellitus who wish to fast during month of Ramadhan. Clin Ther.
2008;30:1408-15.
15. Azad K, Mohsin F, Zargar AH, Zabeen B, Ahmad J, Raza A, dkk. Fasting guidelines
for diabetic children and adolescents. Indian J Endocrinol Metab. 2012;16:516-18.
16. Kirpitch AR, Marynuk MD. The 3R's of glycemic index: recommendations, research
and the real world. Clinical Diabetes. 2011;29:155-9.
17. Cooke DW, Pulungan A. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr Rev.
2008;29:374-84.
18. Craig ME, Jones TW, Slink M, Ping YJ. Diabetes care, glycemic control, and
complications in children with type 1 diabetes from Asia and the Western Pacific
Region. J Diabetes Complications. 2007;21:280-7.
19. Buroni J, Longo PJ. Low-glycemic index carbohydrates: an effective behavioral change
for glycemic control and weight management in patients with type 1 and 2 diabetes.
Diabetes Educ. 2006;32:78-88.
20. Marshall SM, Flyvbjerg A. Prevention and early detection of vascular complications of
diabetes. BMJ. 2006;333:475-80.
21. Donaghue KC, Chiarelli F, Trotta D, Allgrove J, Jorgensen KD. Microvascular and
macrovascular complications associated with diabetes in children and adolescents.
Pediatric Diabetes. 2009;10:195-203.
22. Daneman D. Early diabetes-related complications in adolescents. Horm Res.
2005;63:75-85.
23. Dunger D, Ahmed L, Ong K. Growth and body composition in type-1 diabetes mellitus.
Horm Res. 2002;58:66-71.
24. Khadilkar VV, Parhasarathy LS, Mallade BB, Khadilkar AV, Chiplonkar SA BAB.
Growth status of children and adolescents with type-1 diabetes mellitus. Indian J
Endocrinol Metab. 2013;17:1057-60.
25. Pardede N. Masa Remaja. In: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H,
Ranuh IG N G, editors. Tumbuh kembang anak dan remaja. 1 ed. Jakarta: Sagung Seto;
2002. 138-169.
26. Ly TT, Anderson M, McNamara KA, Davis EA, Jones TW. Neurocognitive outcomes
in young adults with early-onset type 1 diabetes. Diabetes Care. 2011;34:2192-7.
27. Ghetti S, Lee JK, Sims CE, DeMaster DM, Glaser NS. Diabetic ketoacidosis and
memory dysfunction in children with type 1 diabetes. J Pediatr. 2010;156:14.
21
22
Download