PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi urbanisasi. Di sisi lain juga dihadapkan pada perbaikan lingkungan akibat adanya kerusakan hutan, banjir, penurunan kesuburan tanah, polusi udara dan air akibat penggunaan pupuk maupun pestisida yang berlebihan dalam produksi pertanian. Pada awal millennium ini berdasarkan data BPS (2010), jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 235 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1.5% pertahun pada tahun 2000-2010, pertumbuhan laju populasi melebihi laju pertumbuhan produksi pertanian, yang diperkirakan 1.3% pertahun pada periode tahun 1995-2010. Kondisi ini menyebabkan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk. Impor beras, jagung, kedelai, gula dan beberapa komoditas lain semakin meningkat. Dari sisi kelestarian lingkungan program intensifikasi pertanian yang gencar digalakkan terutama untuk pengelolaan lahan sawah (padi) juga tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk dan bahkan cenderung menurunkan kualitas lingkungan terutama kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah semakin menurun. Pemerintah juga dihadapkan pada pencapaian ketahanan pangan yang menurut Undang Undang Nomor: 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang mengartikan ketahanan pangan sebagai: “Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Pengertian ini mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup, dan sekaligus aspek mikro yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif. Pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam menyediakan pangan bersumber dari dalam negeri sendiri, yaitu yang dihasilkan petani. Sedangkan 2 impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan menguras devisa negara dalam jumlah banyak, ketahanan pangan di dalam negeripun akan terganggu, karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan harga jualnya selalu berfluktuasi (Apriantono 2008). Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa eko-fisiologi melalui sistem pertanaman ganda seperti tumpang sari, tanaman sela setahun, penanaman sela bersisipan, penanaman beruntun dan agroforestri. Sistem ini selain meningkatkan produktivitas lahan juga diyakini dapat mengendalikan cekaman biotik terutama hama dan penyakit tanaman, serta mengurangi resiko gagal panen. Namun yang perlu diingat bahwa dalam peningkatan produktivitas pertanian ini harus mempertimbangkan empat prinsip yaitu prinsip keseimbangan ekologi agar produksi pertanian dapat lestari, prinsip capaian optimum karena adanya keragaman lingkungan yang besar, prinsip kehati-hatian untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menurunnya keragaman genetik serta prinsip kearifan lokal agar pengetahuan yang baik (endogenus knowledge) yang telah ada dapat dipertahankan dan dikembangkan (Chozin 2006). Selain itu juga diharapkan dapat melaksanakan ekstensifikasi pertanian terutama pada lahan-lahan kering yang masih cukup luas dan memiliki potensi yang besar. Menurut Deptan (2002), terdapat 57.38 juta ha lahan potensial untuk perluasan areal pertanian. Di luar Pulau Jawa saja terdapat sekitar 37 juta ha (Sumatera 14.43 juta ha, Kalimantan 12.76 juta ha, Sulawesi 8.83 juta ha dan Papua 2.01 juta ha). Lebih dari 40% areal ini berkemiringan 0-3% dan sisanya berkemiringan 3-15%, dan sekitar 60% (21 juta ha) didominasi oleh jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PKM) atau Ultisol. Sebagian lahan ini telah dibuka untuk pertanian dan pemukiman melalui program transmigrasi. Departemen kehutanan juga melakukan revitalisasi sektor kehutanan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara efektif mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik. Kawasan yang kosong dan telantar akan dikelola bersama 3 masyarakat untuk ditanami, dipelihara dan diatur panennya pada masa mendatang, berdasarkan kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang sistem pengelolaannya disebut sebagai sistem agroforestri. Salah satu tantangan pengembangan pertanian lahan kering adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas tanaman disebabkan oleh faktor fisik dan sosial ekonomi masyarakat. Masalah fisik antara lain kesuburan tanah, kemiringan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air, sedangkan masalah sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak pada “cash” kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang rendah (Hadipoernomo 1983; Kusmana 1988). Menurut Irawan dan Pranadji (2002) masalah lain yang juga penting adalah: 1) biofisik lahan kering yang tidak sebaik lahan sawah, tingkat kesuburan rendah dan sumber pengairan yang mengandalkan curah hujan yang distribusinya terkadang tidak merata, 2) topografi yang tajam, sehingga laju aliran permukaan (run off) dan erosi tanah cukup tinggi, 3) masih terbatasnya dukungan paket teknologi, tingkat adopsi teknologi dan asosiasi paket teknologi pada proses produksi, 4) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan skala usaha umumnya tidak mencapai titik minimum skala ekonomi, dan 5) dalam pengembangan DAS, para pengambil keputusan masih belum mempertimbangkan dampak negatif pada lingkungan, sehingga pembangunan pertanian yang berkelanjutan sulit terwujud. Selain itu Keeney (1990), menyatakan bahwa pengembangan usaha pertanian di lahan kering umumnya berhubungan dengan kerusakan lingkungan yang menyebabkan lahan-lahan menjadi tandus, ketersediaan air yang terbatas dan erosi. Keadaan ini mendorong perlunya perencanaan dan evaluasi yang baik, sehingga dapat meminimalkan kerusakan lingkungan dan membantu meningkatkan produksi terutama pangan bagi masyarakat. Menurut Sinukaban (2003), pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) seyogyanya dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah serta meningkatkan kualitas lingkungan dan hasil akhirnya adalah kondisi tata air yang baik. Tata air yang baik dapat diukur 4 dari tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, dalam memperlakukan DAS sebagai suatu sistem keberkelanjutan, dalam pengembangannya perlu memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) dapat memberikan produktivitas lahan yang tinggi, 2) dapat menjamin kelestarian DAS, 3) menjamin pemerataan pendapatan petani (equity), dan 4) mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi (resilient). Salah satu alternatif pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS adalah pengembangan agroforestri. Agroforestri diartikan secara luas sebagai suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan. Agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersamasama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budidaya masyarakat setempat (King dan Chandler 1978); Wijayanto (2002). Pengelolaan lahan kering, khususnya di DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : 1) lahan kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, 2) lahan kering dapat memasok sebagian besar komoditas andalan, 3) lahan kering mempunyai keragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih 1991; Suhara 1991; Badrun 1998). Secara umum, banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam. Menurut Beets (1982), dalam pola tanam campuran (mixed cropping) seperti halnya pada sistem agroforestri, akan terjadi kompetisi baik antar tanaman maupun dengan pohon terutama kompetisi dalam penyerapan unsur hara sehingga sering berdampak negatif terhadap produktivitas tanaman. Untuk itu dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam dalam agroforestri harus mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi dan 5 peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian pola tanam dalam rangka memperlancar proses adopsi teknologi. Sedangkan dalam penentuan jenis tanaman (cash crops) yang akan dikembangkan, menurut Thakur et al. (2005), petani sebaiknya memilih tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu dan bahkan pakan ternak. Selain itu, rendahnya produktivitas juga dapat disebabkan oleh cekaman intensitas radiasi surya akibat penutupan tajuk (naungan). Beberapa studi tentang ekofisiologi tanaman di bawah naungan telah dilakukan pada padi gogo (Chozin et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid 1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas cahaya adalah terganggunya laju fotosintesis yang menyebabkan menurunnya proses metabolisme tanaman. Menurut Kusmana (1998) dan Kartasubrata (1992), bahwa penekanan pengembangan agroforestri di DAS diarahkan agar mempunyai pengaruh ganda terhadap keberlanjutan lingkungan, perbaikan lahan kritis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur jenis tanaman yang diusahakan petani beragam dan pola tanam yang dikembangkan belum optimal, sehingga diperlukan bentuk pengembangan yang mengarah pada peningkatkan produktivitas tanaman. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk membangun agroforestri yang baik, produktivitas tinggi serta layak secara sosialekonomi dan ekologi yang lestari. Perumusan Masalah Pengelolaan lahan yang kurang tepat di suatu DAS dapat menimbulkan kerusakan ekosistem. Kerusakan ekosistem ini menyebabkan menurunnya kualitas air, bahan organik tanah, erosi, sedimentasi, dan akhirnya terjadi degradasi lahan yang merugikan secara ekologi. Degradasi lahan dapat menurunkan produktivitas lahan, oleh karena itu diperlukan kajian pemanfaatan lahan secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek sumberdaya manusia, teknologi, sumberdaya tanah dan air serta sosial ekonomi masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan lahan kering di kawasan 6 DAS adalah sistem agroforestri. Sistem ini dianggap memiliki keunggulan, karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan pohon, yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial ekonomi masyarakat serta meningkatkan kualitas lingkungan. Sistem agroforestri banyak dikembangkan termasuk di DAS Cianjur, baik dalam bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks. Sistem agroforestri yang dikembangkan di kawasan ini bersifat lokal dan produktivitasnya rendah, sehingga perlu perbaikan dan optimalisasi dengan pengaturan pola tanam serta pemilihan jenis tanaman terutama tanaman semusim. Pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman semusim merupakan kunci keberhasilan sistem agroforestri. Hal ini disebabkan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang tepat dapat mengurangi kompetisi baik kompetisi antar tanaman maupun antara pohon dengan tanaman semusim. Salah satu bentuk pola tanam yang banyak diterapkan masyarakat adalah pola tanam lorong (alley cropping). Pola tanam lorong (alley cropping) dilaksanakan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong (lorong) di antara barisan pohon, sehingga dianggap sebagai bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan. Menurut Workman (2007), alley cropping dapat meningkatkan intensivitas pemanfaatan lahan, meningkatkan keragaman hasil/pendapatan, keragaman waktu panen, mengurangi erosi serta memperbaiki siklus hara dalam tanah. Sedangkan menurut Suryanto et al. (2005) alley cropping juga mempunyai karakteristik yang dinamis dan dapat memadukan dua tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu produksi dan konservasi, dan pola tersebut cocok untuk daerah-daerah lereng/ miring. Serangkaian penelitian akan dilakukan untuk mengkaji karakteristik agroekologi sistem agroforestri dengan penekanan pada pengaturan pola tanam, pemilihan jenis tanaman, aspek sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan di wilayah tersebut. Penelitian akan dilakukan di tiga zona DAS Cianjur (hulu, tengah dan hilir) dengan memperhatikan karakteristik wilayah masing-masing. Keluaran dari penelitian ini adalah menghasilkan bentuk pola tanam dan jenis tanaman yang tepat, dengan mempertimbangkan teknik budidaya masyarakat 7 setempat menuju pengelolaan sistem agroforestri yang produktif, layak secara sosial, ekonomi dan ekologis, serta dapat menggambarkan bentuk pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian ini sangat strategis karena menyangkut keberlanjutan sistem pengelolaan lahan di DAS secara terintegrasi. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik agroekologi sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan beberapa tujuan, yaitu: 1. Menganalisis karakter biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di DAS Cianjur. 2. Menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur. 3. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri di DAS Cianjur 4. Menganalisis prospek dan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada setiap zona DAS yang berpengaruh terhadap karakteristik sistem agroforestri baik jumlah spesies baik tegakan maupun tanaman semusim, penyebaran serta tujuan pemanfaatannya. 2. Terdapat perbedaan pola tanam dan produktivitas sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, yang diduga disebabkan oleh perbedaan intensifikasi lahan, tujuan penanaman tanaman semusim oleh petani, kebiasaan/ pengalaman serta kesesuaian pemilihan jenis tanaman dengan faktor agroklimat. 3. Terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap sistem agroforestri, pola tanam dan produktivitas tanaman semusim, sehingga mempengaruhi pendapatan. 8 4. Sistem agroforestri di DAS Cianjur berlanjut (sustainable), terutama dilihat dari produksi yang konstan setiap tahun, peningkatan sosial ekonomi dengan meningkatnya pendapatan petani, dan sistem agroforestri telah berlangsung lama dan menjadi budaya masyarakat di DAS Cianjur dalam pengelolaan lahan kering. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Sebagai pedoman dalam penerapan sistem agroforestri dengan berbagai kombinasi tanaman semusim dan tahunan pada beberapa karakter wilayah DAS Cianjur. 2. Sebagai pedoman untuk penentuan jenis tanaman dan pola tanam sistem agroforestri dengan memperhatikan pemanfaatan lahan, status hara tanaman, analisis usaha tani dan konservasi lahan pada beberapa karakteristik wilayah DAS Cianjur. 3. Menghasilkan sistem pengelolaan yang tepat dengan memperhatikan aspek pemanfaatan lahan, produktivitas, sosial ekonomi dan lingkungan. 4. Menjadi model/contoh dalam perencanaan usaha tani agroforestri yang optimal pada beberapa wilayah yang memiliki karakteristik yang sama atau hampir sama.