II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Para ahli

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Agroforestri
Para ahli memiliki banyak definisi tentang agroforestri. Menurut Nair
(1983), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang memiliki aspek
sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan
tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau
bergiliran, sehingga dari suatu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan
yang optimal dalam arti berkesinambungan. Definisi lain menurut Lundgren
(1982), agroforestri adalah penanaman pepohonan secara bersamaan atau
berurutan dengan tanaman pertanian dan/atau peternakan, baik dalam lingkup
keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan
kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk
pelaksanaan proyek-proyek hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka secara garis besar agroforestri
memiliki unsur-unsur seperti penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan
oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tahunan
dan/atau ternak atau hewan, waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu
periode tertentu, dan ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial. Adapun ciri dan
karakteristik pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri menurut Lahjie (2004)
adalah sebagai berikut: 1) usaha pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan
produksi dari berbagai output dengan perlindungan bagi sumberdaya dasar, 2)
kurun waktu umumnya lebih dari satu tahun, 3) interaksi dari beberapa aspek
sosial, ekonomi, ekologi dan usaha pemanfaatan lahan lebih dari dua macam
produk, 4) mempunyai fungsi dari aspek lingkungan, misalnya konservasi lahan
terhadap kesuburan dan erosi, penahan kuatnya angin yang akan mempengaruhi
pertumbuhan tanaman lain, maupun sebagai tempat untuk melakukan industri
rumah tangga, 5) usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri yang
sederhana pun secara biolois maupun ekonomis lebih kompleks dari pada
pemanfaatan lahan monokultur, 6) usaha dilakukan oleh perorangan maupun
kelompok, baik terencana maupun tak terencana, 7) melibatkan lebih banyak
nilai-nilai sosial budaya yang saling mempengaruhi, dan 8) mempunyai strata
4
tajuk yang bervariasi khusunya pada komunitas vegetasi yang membentuk
ekosistem setempat.
Indonesia telah memiliki beberapa sistem agroforestri yang terkenal seperti
repong damar di Lampung Barat, tembawang di Kalimantan Barat, pelak di
Jambi, parak di Sumatera Barat, lembo di Kalimantan Timur, talun di Jawa Barat,
kebun kemenyan di Sumatera Utara, kebun karet campuran di Jambi dan
Sumatera Selatan, kebun durian campuran di Kalimantan Barat, dan kebun
pepohonan campuran di sekitar Bogor. Istilah yang melekat di masyarakat tentang
agoforestri adalah kebun campuran, karena pada umumnya lahan masyarakat
ditanam dengan berbagai jenis tanaman.
2.2
Pola Tanam
Pertumbuhan tanaman pertanian maupun kehutanan pada sistem agroforestri
dipengaruhi oleh pola tanam. Pola tanam ini akan mempengaruhi pertumbuhan
tanaman pada tegakan, karena pada sistem agroforestri terjadi persaingan unsur
hara dan cahaya. Oleh karena itu, perlu diadakan beberapa cara untuk
pemanfaatan ruang dan waktu yang optimal. Pemanfaatan ruang secara optimal
dapat dilakukan dengan cara pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, dan
perkembangan lapisan tajuk dan perakaran. Adapun pemanfaatan waktu secara
optimal dapat dilakukan dengan pengaturan waktu tanam dan panen.
Pada sistem agroforestri, pola tanam diatur sedemikian rupa, sehingga pada
tahap awal saat penutupan tajuk belum menjadi masalah. Beberapa komponen
dapat tumbuh bersama dalam satu tajuk. Pada tahap selanjutnya, sistem
agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan
tajuk. Lapisan tajuk bagian atas ditempati oleh jenis-jenis dominan, strata di
bawahnya ditempati jenis-jenis yang kurang dominan (semi toleran), kemudian
lapisan bawah ditempati jenis-jenis yang tahan naungan (Sukandi 2002).
2.3
Pemilihan Jenis
Sistem agroforestri terdiri dari beberapa komponen jenis tanaman, seperti
pohon, perdu, liana, maupun tanaman semusim. Pemilihan jenis sangat
dipengaruhi oleh kondisi biofisik, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.
4
5
Aspek biofisik seperti iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan
kondisi lahan.
Kondisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan kondisi bentang
alamnya menjadikan Indonesia mempunyai curah hujan yang relatif tinggi.
Adanya kondisi tingginya curah hujan tentu akan mempengaruhi kondisi tanah
seperti pencucian tanah (leaching) maupun aliran permukaan yang membawa top
soil (surface run off). Oleh karena itu, sangat diperlukan jenis yang mampu
mengikat agregat tanah atau dapat berperan sebagai cover crops sebagai upaya
konservasi tanah dan air.
Pada topografi miring, peluang terjadinya surface run off akan lebih besar,
karenanya diperlukan jenis yang memiliki perakaran dalam seperti mahoni, khaya,
atau nangka. Pemilihan jenis ini tentu tidak melihat faktor topografi saja, tetapi
kondisi curah hujan, lahan, maupun budaya masyarakat.
Faktor lain yang tidak kalah penting mengenai pemilihan jenis adalah
ketinggian tempat. Pada daerah yang lebih tinggi, jumlah oksigen rendah, suhu
semakin menurun, dan radiasi lebih tinggi. Untuk itu, pemilihan jenisnya harus
tepat. Adapun contoh dari tanaman dataran tinggi adalah manglid, suren, pinus,
puspa, kopi, alpukat, aren, rasamala, mahoni, dan gmelina. Selain itu, fase
perkembangan agroforestri perlu diperhatikan. Saat fase awal, dapat dipilih jenis
tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya matahari banyak (sampai dua atau
tiga tahun pertama), seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pada fase
selanjutnya, saat penutupan tajuk mulai mendominasi, maka diperlukan jenis yang
tahan terhadap naungan seperti kunyit, laos, temulawak, ubi jalar, bengkuang, dan
lainnya (Sukandi 2002).
Faktor biofisik tersebut harus diimbangi oleh budaya masyarakat sekitar.
Pemilihan jenis tidak hanya memperhatikan kondisi biofosik, tetapi juga
kebutuhan masyarakat dan budaya masyarakat, karena masyarakat yang berperan
langsung terhadap sistem agroforestri.
5
6
2.4
Gmelina
2.4.1 Klasifikasi dan penyebaran
Gmelina atau jati putih merupakan jenis tanaman yang tumbuh dengan cepat
(fast growing species). Tumbuhan ini termasuk tanaman penghasil kayu yang
produktif. Gmelina berasal dari Asia Tenggara, di negara lain dikenal dengan
nama gumadi (India), gamar (Bangladesh), atau yamene (Myanmar) (Martawijaya
1995). Klasifikasi morfologi gmelina adalah:
Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub kelas
: Asteridae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Gmelina
Spesies
: arborea Roxb.
Penyebaran alami gmelina adalah di Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Sri
Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Cina Selatan. Di hutan alam
jenis ini selalu tersebar dan berkelompok dengan jenis yang lain dan terdapat di
hutan yang selalu hijau di Myanmar dan Bangladesh, dan hutan kering
menggugurkan daun di India Tengah. Sudah ditanam luas di berbagai negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat, dan Amerika Selatan. Di Indonesia
jenis ini termasuk kayu asing (exotic spesies) dan mendapat prioritas dalam
rangka pembangunan Hutan Tanaman Industri (Sukajadi 1992).
Gmelina dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi (0–1000 m
dpl), tetapi tumbuh optimal pada ketinggian 0–800 m dpl, dengan curah hujan
1200–3000 mm/tahun. Jenis ini tumbuh pada tanah berlapisan dalam, subur,
berdrainase baik, dan toleran terhadap tanah berlapisan dangkal, berpasir, tanah
padat, tanah asam asalkan tidak pada tanah berdrainase jelek.
2.4.2 Deskripsi botani
Tanaman gmelina merupakan pohon dengan ukuran sedang, tinggi dapat
mencapai lebih (30–40) meter, batang silindris, diameter rata-rata 50 cm kadangkadang mencapai 140 cm. Kayu gmelina termasuk dalam kategori kelas kuat III–
6
7
IV dan kelas awet III (Martawijaya 2005). Kulit halus atau bersisik, warna coklat
muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau berbulu halus. Bunga kuning
terang, mengelompok dalam tandan besar (30–350 bunga per tandan). Bunga
sempurna, panjang mencapai lebih dari 25 mm, berbentuk tabung dengan 5 helai
mahkota. Bunga mekar malam hari, penyerbukan umumnya dilakukan dengan
bantuan lebah. Daun bersilang, bergerigi, atau bercuping, berbentuk jantung,
ukuran 10–25 cm x 5–18 cm.
Buah gmelina berupa buah berdaging dengan panjang 20–35 mm, kulit
mengkilat, mesokarp lunak, agak manis sedangkan bijinya keras seperti batu,
panjang 16–25 mm, permukaan licin, satu ujung bulat, ujung yang lain runcing.
Buah terdiri dati 4 ruang, jarang dijumpai 5 ruang, sedikitnya satu ruang berisi
benih, jarang dalam satu buah terdiri dari biji batu. Ukuran benih meningkat
menurut ukuran biji, yaitu panjang 6–9 mm. Berat 1000 butir biji batu sekitar
400 g. Tanaman gmelina berbunga dan berbuah setiap tahun. Di sebaran alami
beriklim musim, mulai berbunga pada musim kemarau ketika pohon
menggugurkan daun. Di luar sebaran alami beriklim musim, periode pembungaan
dan pembuahan tidak jelas, bunga dan buah terlihat kira-kira sepanjang tahun
(Martawijaya 2005).
2.4.3 Teknik silvikultur
Tanaman gmelina dapat diproduksi dengan biji, stump, dan stek. Bahan
untuk keperluan biji ini dikumpulkan dari tegakan yang baik agar diperoleh
tegakan yang baik (Alrasyid dan Widiarti 1992). Biji atau benih dapat dilakukan
penyimpanan pada wadah kedap udara. Biji atau benih dikumpulkan lebih baik
ketika buah masih hijau atau kuning. Daya kecambah benih dari buah coklat atau
hitam sangat rendah. Biji yang mengapung dalam air sebaiknya tidak dipakai.
Benih tidak mengalami dormansi dan tidak memerlukan perlakuan pendahuluan.
Benih yang akan ditabur sebaiknya direndam dalam air dingin selama 24–48 jam.
Benih umumnya cepat berkecambah dalam jumlah banyak.
Perkecambahan sering lebih dari 100% karena dari satu biji tumbuh lebih
dari satu kecambah. Kecambah gmelina termasuk epigeal (kotiledon terangkat
dari permukaan tanah). Bibit gmelina ditanam pada musim hujan dengan jarak
tanam yang umum dipakai 2,5 x 2,5 meter atau 3,5 x 3,5 meter. Hama penyakit
7
8
yang perlu diwaspadai adalah serangan Atta sp., yaitu sejenis semut perusak daun
dan Calapepla leayana yaitu umumnya menyerang daun tunas dan ranting pohon
(Sukajadi 1992).
2.4.4 Pemanfaatan gmelina
Kayu gmelina ringan dan memiliki berat jenis 0,42–0,64. Pada mulanya
pohon ini dikenal sebagai penghasil kayu energi, karena kayunya menghasilkan
arang berkualitas terbaik, kurang berasap, dan cepat terbakar. Pohon ini juga dapat
digunakan untuk keperluan pembuatan papan partikel, core kayu lapis, korek api,
peti kemas, dan bahan kerajinan kayu (Alrasyid 1991). Martawijaya (1995)
menambahkan, bahwa kayu gmelina bisa juga untuk bahan venir dan kayu lapis,
papan partikel dan moulding.
Kayu gmelina menghasilkan pulp yang berkualitas baik. Pulp semi
campuran sesuai digunakan sebagai papan karton atau kertas tulis kualitas rendah,
namun pulp (kraft) sesuai digunakan sebagai kertas tulis yang berkualitas tinggi.
Akar, kulit batang, daun, buah, dan benih dari gemelina digunakan sebagai
pengobatan bagi masyarakat Hindu. Buah dan kulit kayu gmelina digunakan
sebagai obat penyakit hati. Gmelina sering ditanam pada kebun kopi dan coklat
untuk melindungi pohon muda dan untuk menekan rumput yang berbahaya. Daun
dari gmelina digunakan sebagai makanan ternak. Bunga dari gmelina
menghasilkan nektar yang melimpah yang akan menghasilkan madu yang
berkualitas tinggi (Soerianegara dan Lemmens 1994).
2.4.5 Karakteristik pohon gmelina sebagai pepohonan multi guna untuk
agroforestri
Pohon multi guna adalah pohon yang ditanam dengan tujuan untuk
menyediakan lebih dari satu kontribusi bagi produksi dan/atau fungsi jasa
(perlindungan, naungan, atau kelestarian lahan) bagi sistem pemanfaatan lahan
dimana pohon tersebut berada. Karakteristik pohon multi guna yang sesuai untuk
agroforestri menurut Lahjie (2004) adalah: 1) mampu beradaptasi dengan kondisi
iklim lokal, 2) tajuk cukup terbuka sehingga dapat dilalui cahaya, 3) mampu
bertunas dengan cepat setelah pemangkasan, pentrubusan atau pollarding, 4)
kapasitas produksi meliputi kayu pertukangan, kayu bakar, bahan pangan, pakan
8
9
ternak, obat-obatan dan hasil lainnya, 5) banyak menghasilkan guguran daun
untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara, 6) akar lateral sedikit (atau mudah
dipotong), 7) mampu mengikat nitrogen, 8) tahan terhadap kekeringan, banjir,
variasi tanah, dan gangguan-gangguan iklim lainnya, 9) sistem perakaran dalam,
10) pemeliharaannya mudah, 11) murah dalam pengadaannya, dan 12) nilai harga
dan jumlah permintaan akan hasil-hasilnya lebih tinggi.
Adanya karakter di atas dapat digunakan sebagai panduan untuk memilih
jenis pohon untuk agroforestri dan tanaman pertanian yang dapat digunakan di
bawah tegakan. Gmelina sebagai pohon multi guna memiliki beberapa kriteria di
atas.
2.5
Perakaran
Akar merupakan organ tumbuhan yang berpembuluh dan terletak di dalam
tanah. Organ tumbuhan ini juga memiliki beberapa fungsi yaitu 1) penopang
tubuh tumbuhan, karena akar memiliki kemampuan untuk menerobos lapisan
tanah, 2) sebagai absorbsi, yaitu penyerapan hara dan mineral di tanah untuk
tumbuhan, 3) mengangkat hara dan mineral tadi ke tempat-tempat pada tubuh
tumbuhan yang memerlukan, 4) cadangan makanan, pada beberapa tanaman, akar
digunakan sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan, contohnya pada ubi,
kentang, dan wortel (Tjitrosoepomo 2007).
Akar tumbuh dan berkembang dari ujung distal. Terdapat empat zona
perkembangan yang tersusun mulai dari ujung akar: tudung akar, zona
meristematik, zona pemanjangan, dan zona pendewasaan. Tudung akar
melindungi meristem apikal dari kerusakan mekanik ketika akar menembus tanah.
Zona meristematik, terletak tepat di balik tudung akar dan meristem akar yang ada
pada bagian ini hanya membangun saat organ yaitu akar primer. Zona
pemanjangan, daerah dimana sel-sel memanjang secara cepat dan aktif. Laju
pembelahan sel menurun sejalan dengan jauhnya jarak dari meristem. Zona
pendewasaan, sel yang ada pada daerah ini memiliki ciri terdiferensiasi. Sel
memasuki proses pendewasaan setelah pembelahan dan pemanjangan berhenti.
Sistem perakaran terbagi menjadi dua yaitu sistem perakaran tunggang dan
serabut. Sistem perakaran tunggang dijumpai pada tumbuhan dikotil dan
gymnospermae, akar lembaga (calon akar yang sudah ada di dalam biji) tumbuh
9
10
terus menjadi akar pokok yang bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih
kecil. Akar pokok yang berasal dari akar lembaga inilah yang disebut akar
tunggang (adix primaria). Selain memiliki akar tunggang, pada monokotil
maupun angiospermae juga terdapat
serabut
dijumpai
pada
beberapa akar lateral. Sistem perakaran
tumbuhan
monokotil,
akar
lembaga
dalam
perkembangannya mengalami kematian atau kemudian disusul oleh sejumah akar
yang kurang lebih sama besar dan semuanya keluar dari pangkal batang. Akarakar ini karena bukan berasal dari calon akar yang asli, maka dinamakan akar liar,
bentuknya seperti serabut, sehingga dinamakan akar serabut (radix adventic)
(Tjitrosoepomo
2007).
Faktor-faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi
pertumbuhan dan bentuk sistem akar antara lain: 1) permeabilitas akar:
berhubungan dengan kelimpahan dan penyebaran pori-pori yang cukup besar dan
nantinya akan berkolerasi dengan perkembangan akar, 2) air tanah, 3) aerasi
tanah: berkaitan dengan pertukaran gas dan udara, 4) suhu tanah, sistem perakaran
tumbuhan yang hidup di tanah kering biasanya berkembang lebih baik, dan 5)
faktor-faktor
kimia
tanah,
ketersediaan
unsur-unsur
yang
mendorong
pertumbuhan akar dan atau tumbuhan (Mulyani 2007).
10
Download