BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah marginal merupakan tanah yang memiliki mutu rendah karena adanya beberapa faktor pembatas seperti topografi yang miring, dominasi bahan induk, kandungan unsur hara dan bahan organik yang sedikit, kadar lengas yang rendah, pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, bahkan terdapat akumulasi unsur logam yang bersifat meracun bagi tanaman (Handayani dan Prawito, 2006; Widyati, 2008; Yuwono, 2009; Kanzler, 2015). Apabila dilakukan upaya budidaya tanaman pada tanah tersebut hasilnya akan kurang menguntungkan sebab hanya jenis-jenis tertentu saja yang mampu beradaptasi di atas tanah tersebut. Sebagai akibatnya, diperlukan biaya yang lebih besar dalam pengelolaan tanah marginal agar dapat memberikan keuntungan. Tanah pasir pantai merupakan salah satu contoh tanah marginal yang terbentuk secara alami. Kekuatan angin dan suhu yang tinggi di kawasan pantai mengakibatkan evapotranspirasi di kawasan tersebut tinggi, selain itu tekstur tanah yang didominasi pasir mengakibatkan kemampuan tanah menyimpan air sangat rendah (Martini dan Hendrata, 2008; Yuwono, 2009). Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya kandungan garam pada tanah dan angin sehingga sedikit sekali jenis vegetasi yang dapat hidup di kawasan pantai (Supriyo et al., 2009; Hakam et al., 2010). Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki panjang garis pantai yang cukup panjang, mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan sebesar 1 1.060.000 ha, yang secara umum tanah di kawasan tersebut tergolong tanah marginal (Yuwono, 2009). Pemanfaatan tanah pasir pantai dalam bidang pertanian dan kehutanan masih sangat terbatas, mengingat kendala yang dihadapi untuk pengelolaan tanah ini. Sampai saat ini, upaya yang dilakukan adalah dengan pembuatan sumur renteng untuk penyiraman tanaman dan pemupukan dengan pupuk organik dosis tinggi (Supriyo et al., 2009; Yuwono, 2009). Kedua upaya tersebut dirasa masih sangat memberatkan petani karena investasi yang harus dikeluarkan cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi teknologi yang lebih sederhana yang mampu meningkatkan produktivitas lahan tanpa banyak membebani petani sebagai pengelolanya. Tanah bekas tambang batu bara juga tergolong sebagai tanah marginal. Berbeda dengan tanah pasir pantai yang marginal karena pengaruh faktor geografisnya, tanah bekas tambang batu bara menjadi marginal karena pengaruh aktivitas penambangan batu bara. Penggalian batu bara mengakibatkan hilangnya top soil sehingga tanah menjadi miskin bahan organik (Chen et al., 1998; Wiryono, 2006; Chaubey et al., 2012). Air asam tambang yang disebabkan oleh oksidasi mineral sulfida menurunkan pH tanah sehingga tanah menjadi asam. Pada tanah asam kelarutan ion Alumunium (Al) tinggi yang mengakibatkan Fosfor (P) yang terdapat dalam tanah terikat oleh ion Al sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Hardjowigeno, 1987). Selain itu perkembangan mikroorganisme tanah, seperti bakteri Rhizobium pun menjadi terganggu. Bakteri Rhizobium hanya berkembang baik pada pH di atas 5,5 (Hardjowigeno, 1987). Lebih lanjut Kennedy (1986) menegaskan bahwa proses nitrifikasi (perubahan 2 amonium menjadi nitrat) tidak akan terjadi pada tanah dengan pH kurang dari 4. Tidak hanya itu, kerusakan tanah bekas tambang batu bara juga disebabkan oleh penggunaan alat berat pada proses penambangan maupun rehabilitasi yang mengakibatkan pemadatan tanah sehingga aerasi dan drainase tanah menjadi buruk. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pengekspor batu bara setelah Australia dan Cina dengan cadangan batu bara yang masih cukup besar mencapai 36 milyar ton (Mandil, 2004; Sukandarrumidi, 2004 ). Kondisi tersebut secara tidak langsung menunjukkan masih tingginya aktivitas pertambangan batu bara di Indonesia. Ulfa et al. (2011) menyatakan bahwa penambangan terbuka mengakibatkan degradasi sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah, bahkan pengembalian lapisan tanah pada bekas galian tambang tidak mampu mengembalikan tanah seperti kondisi semula. Sementara itu, Widyati (2008) menyebutkan bahwa luas lahan bekas tambang di Indonesia mencapai lebih dari 1,3 juta ha. Menurut Suprapto (2002), di Indonesia terdapat tanah marginal yang luas, mencapai 89,5 juta ha. Sampai saat ini penanganan terhadap lahan marginal tersebut masih minim (Yuwono, 2009), padahal dengan banyaknya konversi lahan pertanian dan kehutanan ke sektor lain menuntut upaya reklamasi tanah marginal agar menjadi lebih produktif. Hampir sama dengan bidang pertanian, saat ini pun bidang kehutanan juga melakukan pemupukan untuk meningkatkan produktivitasnya, padahal harga pupuk mahal dan penggunaan pupuk anorganik dalam jangka panjang mengakibatkan dampak negatif bagi tanah dan lingkungan, 3 seperti eutrofikasi laut, pencemaran air tanah dan kematian mikroorganisme tanah (Crews dan Peoples, 2004). Oleh sebab itu diperlukan inovasi untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan dengan biaya yang murah dan ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang dapat dipilih adalah dengan penanaman legum penutup tanah pada awal proses reklamasi. Legum penutup tanah telah banyak digunakan pada perkebunan karet dan sawit karena memberikan dampak yang positif terhadap efektivitas dan efisiensi pemupukan serta konservasi tanah (Winarti, 1991; Setyamidjaja, 1993; Anwar, 2001; Susetyo dan Sudiharto, 2006; Allorerung et al., 2010; Nugroho et al., 2010). Susetyo dan Sudiharto (2006) juga menyebutkan bahwa penanaman legum penutup tanah dapat menjadi sumber bahan organik secara alami. Menurut Navas et al. (2011) keberadaan legum penutup tanah mampu meningkatkan indeks kualitas tanah dari sangat rendah menjadi sedang. Crews dan Peoples (2004) menyatakan bahwa legum penutup tanah dapat mendukung penambatan Nitrogen (N) serta menjadi sumber N yang ramah lingkungan dan berkelanjutan pada sistem tanam. Hiltbrunner et al. (2007) menambahkan bahwa legum penutup tanah efektif mengontrol keberadaan gulma. Salah satu jenis legum penutup tanah yang banyak digunakan adalah Centrosema pubescens. Menurut Ndukwe et al. (2011) keberadaan Centrosema spp. memberikan dampak positif dalam meningkatkan unsur hara pada tanah. Anonim (2000) menyebutkan bahwa C. pubescens memiliki bintil akar yang mengandung bakteri penambat N bebas di udara. C. pubescens menggunakan N 4 ini untuk metabolisme pertumbuhannya dan apabila terdapat kelebihan N hasil penambatan maka dapat digunakan oleh tanaman lain di sekitarnya. Dalam tahap awal kegiatan reklamasi, pada umumnya lahan ditanami tanaman pionir dari jenis legum terlebih dulu, selanjutnya setelah kualitas tanah membaik baru ditanami jenis pionir non legum atau jenis non pionir. Dalam rangka percepatan tahap reklamasi perlu diujicoba untuk langsung menanam jenis pionir non legum seperti gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dan jenis non pionir seperti mahoni (Swietenia macrophylla King.) pada awal kegiatan reklamasi. Gmelina merupakan jenis yang disukai dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat (Pratiwi dan Salim, 2013). Dalam skala besar, gmelina banyak dikembangkan di Hutan Tanaman Industri (HTI). Jenis ini mudah beradaptasi dan bertahan di berbagai jenis tanah serta toleran terhadap kondisi asam maupun basa (Florido dan Cornejo, 2002). Mahoni merupakan jenis yang dapat ditanam setelah pemapanan jenis pionir pada tanah marginal (Yuwono, 2009). Menurut Krisnawati et al. (2011) mahoni juga memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi tanah dan lingkungan, bahkan di Jawa dapat tumbuh pada tanah yang sangat tidak subur. Penelitian mengenai pengaruh legum penutup tanah terhadap tingkat kesuburan tanah maupun hasil panen tanaman pertanian dengan memberikan input biomassa berupa guguran daun yang ketika terdekomposisi menyumbang unsur hara bagi tanah sudah banyak dilakukan. Namun demikian, informasi mengenai pengaruh legum penutup tanah pada masa pertumbuhan, khususnya C. pubescens terhadap ketersediaan N dan unsur hara lainnya bagi tanaman keras (gmelina dan 5 mahoni) pada berbagai tanah marginal masih sedikit. Menurut Xiao et al. (2004) nitrogen yang ditransfer tanaman legum, Vicia faba pada gandum melalui kontrak akar dapat mencapai 6 sampai 7 mg atau setara dengan 15% total nitrogen yang terdapat pada gandum. Nikiema et al. (2012) juga menyebutkan bahwa ketersediaan N pada lapisan tanah atas yang ditanami legum penutup tanah lebih dari satu tahun meningkat 1,5 hingga 2,2 kali lipat dibandingkan tanah yang tidak ditanami legum penutup tanah, akan tetapi pertumbuhan semai Abies fraseri yang ditanam bersama legum penutup tanah justru menurun. Oleh sebab itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan untuk mengetahui pengaruh C. pubescens terhadap pertumbuhan semai gmelina dan mahoni. Dalam penerapannya legum penutup tanah digunakan dalam kegiatan penanaman di lapangan, akan tetapi guna membatasi faktor lingkungan yang memengaruhi interaksi tanaman pokok dengan legum penutup tanah maka penelitian dilakukan dalam polibag di rumah kaca. Dengan demikian mekanisme pengaruh legum penutup tanah terhadap ketersediaan unsur hara pada tanah marginal serta pertumbuhan semai gmelina dan mahoni dapat diamati dengan lebih baik dan terkontrol. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 1.2. Tujuan 1. Menganalisis pengaruh C. pubescens terhadap ketersediaan unsur hara bagi semai gmelina dan mahoni di tanah marginal pasir pantai dan bekas tambang batu bara. 6 2. Mengidentifikasi pengaruh C. pubescens terhadap pertumbuhan semai gmelina dan mahoni di tanah marginal pasir pantai dan bekas tambang batu bara. 1.3. Hipotesis 1. C. pubescens berkontribusi positif terhadap ketersediaan unsur hara bagi semai gmelina dan mahoni di tanah pasir pantai dan bekas tambang batu bara. 2. C. pubescens membantu meningkatkan pertumbuhan semai gmelina dan mahoni di tanah pasir pantai dan bekas tambang batu bara. 1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh legum penutup tanah (C. pubescens) pada saat masa pertumbuhan terhadap ketersediaan unsur hara, khususnya N terhadap tanaman kehutanan yang tumbuh pada tanah marginal sehingga penggunaan pupuk, terutama pupuk anorganik dalam rangka reklamasi lahan dapat diminimalkan. Dengan demikian lahan marginal bisa menjadi lebih produktif dengan biaya yang relatif murah. 7 Lahan Marginal: Kesuburan rendah Strategi rehabilitasi Kondisi saat ini Input pupuk biaya mahal Penanaman jenis pionir Waktu lama Penanaman jenis komersil non pionir Penelitian Keluaran Rumah kaca Lapangan Penanaman jenis pionir non legum dan non pionir bersama legum penutup tanah Mekanisme interaksi tanaman pokok dengan legum penutup tanah Akselerasi tahap reklamasi dengan biaya minimal Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 8