BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian PSAK 50/55 (revisi 2006) yang merupakan produk dari adoposi standar akuntansi keuagan internasional IFRS (International Financial Reporting Standard) tentang instrumen keuangan merupakan salah satu dari sekian banyak PSAK (Pernyataan Standar Keuangan) yang menuai banyak pertentangan bagi industri perbankan di Indonesia. Industri perbankan merupakan salah satu industri yang banyak terkena dampak akibat konvergensi PSAK 50/55(revisi 2006). Sekarang ini pada industri perbankan belum semuanya standar terkait IFRS telah digunakan karena ada beberapa standar yang bertentangan dengan sistem perbankan di Indonesia. Beberapa peraturan dalam PSAK 50/55 (revisi 2006) memerlukan perubahan pola pikir dan sistem internal bank. Penerapan peraturan ini tidak mungkin ditunda karena akan menghambat perkembangan perbankan nasional untuk bersaing secara global. Menurut Deputi Direktur Pengawas II BI (Bank Indonesia) Budy Iskandar menuturkan PSAK revisi 2006 sebenarnya mulai berlaku sejak 2010 tetapi tidak semua bank memiliki data yang tersusun rapi guna memenuhi persyaratan dalam kewajiban pencatatan Historis. Yang menjadi penghambat utama dalam penerapan PSAK ini adalah pengembangan infrastruktur khususnya dalam teknologi informasi dimana pada model lama masih menggunakan nilai buku, bukan nilai wajar. Menurut 1 2 Deputi Gubernur Bank Indonesia (selanjutnya disingkat BI) Muliaman Darmansyah Hadad penerapan PSAK 50 dan 55 tentang instrumen keuangan tidak dapat dihindari, karena merupakan kesepakatan umum sistem akuntansi yang harus dipatuhi. Namun, pelaksanaannya pada perbankan nasional dilakukan secara bertahap. Terdapat dua motivasi peneliti ingin meneliti masalah ini. Pertama karena penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) merupakan adopsi dari IFRS yang merupakan standar baru sehingga menjadi tema yang menarik untuk dibahas. Konvergensi akuntansi yang dimanifestasikan dalam bentuk penerapan IFRS di Indonesia dimulai sejak Indonesia menghadiri forum G20 di London. Dalam forum itu disepakati bahwa IFRS merupakan suatu standar pelaporan keuangan internasional yang akan diberlakukan secara global guna terciptanya satu standar pelaporan keuangan yang sama untuk setiap negara. Strategi adopsi yang dilakukan untuk konvergensi terdapat dua macam, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara-negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia konvergensi IFRS memiliki tiga tahapan, yaitu tahap adopsi (2008-2010), tahap persiapan akhir (2011), dan tahap implementasi (2012). Sebagai standar baru, standar PSAK 50/55 memiliki banyak hambatan dalam penerapannya, seperti perubahan mekanisme pencadangan yang dulu menggunakan PPAP (Penyisihan Pengahpusan Akiva Produktif) sekarang menggunakan 3 perhitungan pembentukan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) kolektif. Bank juga mengeluhkan cara pengukuran kredit bermasalah secara kolektif karena banyaknya jenis kredit dan jangka waktunya berbeda. Alasan kedua ialah industri perbankan merupakan industri yang cukup berpengaruh dalam perekonomian Indonesia karena memiliki total asset sekitar 5000 triliun. Hal tersebut menyebabkan sektor perbankan memiliki peran yang cukup besar dalam kemajuan perekonomian Indonesia sehingga perubahan-perubahan yang ada di sektor perbankan banyak mendapat perhatian banyak praktisi dan akademisi. Informasi laba adalah informasi yang sering menjadi sasaran manajemen perusahaan untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya dengan mengesampingkan kepentingan para investor. Hal ini terjadi karena adanya asimetri informasi antara pihak pemegang saham sebagai Principal dengan pihak manajemen sebagai agen, sehingga hal ini sering dimanfaatkan manajemen untuk melakukan manajemen laba. Salah satu cara melakukan manajemen laba dapat dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu sehingga laba dapat dimanipulasi sesuai dengan keinginan manajemen. Selama ini tindakan manajemen laba sering menyeret beberapa perusahaan besar kaliber dunia seperti, Enron, Merck dan WorldCom, sedangkan untuk di Indonesia sendiri ada PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma Tbk. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan mark up dan perekayasaan pada laba bersih perusahaan. Dalam laporan tersebut, Kimia Farma menyebutkan berhasil memperoleh laba sebesar Rp. 132 miliar, tapi setelah dilakukan audit ulang dan laporan keuangannya disajikan kembali ternyata terdapat kesalahan yang cukup 4 mendasar yaitu dengan melakukan overstated pada akun persediaan di laporan keuangan tersebut dan kenyataannya laba justru lebih rendah Rp. 32,6 Miliar dari laba awal yang dilaporkan . Sama halnya dengan kasus PT. Kimia Farma Tbk, kasus pada PT. Lippo Tbk pada tahun 2002, berawal dari diketahuinya manipulasi pada pelaporan keuangannya. Pada saat itu, laporan keuangan per 30 September 2002 Bank Lippo kepada publik bertanggal 28 November menyebutkan, total aktiva perseroan Rp 24. triliun dan laba bersih Rp. 98 miliar. Namun dalam laporannya ke BEJ (sekarang BEI) bertanggal 27 Desember 2002, manajemen menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 triliun (turun 1,2 triliun) dan mengalami rugi bersih sebesar Rp. 1,3 triliun. Akibatnya perbedaan itu segera manimbulkan kontroversi dan polemik pada para stakeholders. Manajemen Bank Lippo beralasan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena ada penurunan asset yang diambil alih atau forclosed asset dari Rp. 2,393 triliun menjadi Rp 1,420 triliun dan hal ini mengakibatkan penurunan tingkat CAR (Capital Adequate Ratio) pada neraca dari 24,77 menjadi 4,23%, namun beberapa pihak menduga perbedaan ini terjadi karena manajemen melakukan praktik manajemen laba. BAPEPAM akhirnya memberi sanksi berupa denda dan pencopotan direksi dan pihak terkait yang terlibat dalam kasus tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Anggraita (2012), bahwa dampak penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) berpengaruh signifikan negatif terhadap manajemen laba. Berdasarkan hasil penelitian Nasution dan Setiawan (2007) menunjukkan bahwa pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 bank-bank di Indonesia 5 melakuka manajemen laba, hal ini dilakukan dengan pola memaksimalkan labanya. Salah satu alasan perusahaan perbankan melakukan manajemen laba adalah ketatnya regulasi pada perbankan jika dibandingkan dengan industri lain, misalnya suatu bank harus memenuhi kriteria CAR minimum (Nasution dan Setiawan, 2007). Pengadopsian standar akuntansi internasional ke standar akuntansi domestik akan menghasilkan laporan keuangan yang berkredibilitas tinggi karena IFRS menetapkan persyaratan akan item-item pengungkapan yang semakin tinggi, sehingga bisa meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas yang tinggi dalam menjalankan perusahaan. Pengadopsian IFRS membawa berbagai dampak pada aspek-aspek pengukuran item pelaporan keuangan, dan penerapan IFRS pada item ini akan mengurangi tingkat manajemen laba (Situmorang, 2011). Dampak utama dari PSAK 50/55 (revisi 2006) adalah dalam valuasi pencadangan kredit bermasalah. PSAK tersebut menekankan pada objektivitas dalam penentuan Cadangan Kerugian Nilai (CKPN) dimana diketahui CKPN itu berdampak pada laba perbankan karena letaknya sendiri berada pada laporan laba rugi. Manajemen laba bisa dilakukan terhadap akun ini. Dengan dikeluarkannya PSAK 50/55 (revisi 2006) maka kredit atau pencadangan kredit bermasalah yang akan diberikan harus berdasarkan data historis 3 tahun ke belakang, sehingga membuat manajemen akan semakin sulit dalam menghitung CKPN. Penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) dapat menimbulkan hal yang positif maupun negatif. Hal positifnya ialah bila diterapkan dengan benar maka penerapan 6 PSAK 50/55 (revisi 2006) meningkatkan akurasi dan keinformatifan CKPN, karena pada PSAK ini memiliki aturan yang sangat ketat sehingga sulit bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba. Namun demikian karena sifat PSAK 50/55 (revisi 2006) yang principle based dan akan menekankan pada konsep maka pada penerapannya dapat memberikan ruang yang lebih bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba. Ditambah lagi dengan tingkat kompleksitas yang tinggi dari PSAK 50/55 (revisi 2006) karena merupakan standar yang baru dalam dunia akuntansi. Jika sumber daya manusianya tidak siap dan teknologi informasi yang tidak mendukung maka tingkat keakuratan informasi yang dihasilkan akan menurun. Corporate Governance merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi konflik keagenan yang terjadi di perusahaan. Corporate Governance juga merupakan mekanisme yang dapat melindungi pemegang saham minoritas/non-pengendali dari ekspropriasi yang dilakukan oleh para pemegang saham pengendali dan manajer (Sabrina, 2010). Ekspropriasi merupakan pencabutan hak milik perorangan untuk kepentingan umum yang disertai pemberian ganti rugi. Dalam penelitian ini corporate Governance diproksikan melalui kepemilikan institusional dan kualitas audit. Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham mayoritas/pengendali yang biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, dan investasi). Kepemilikan institusional mempunyai saham yang banyak pada suatu perusahaan sehingga sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk memonitoring manajemen (Anggraini, 2011). Keberadaan investor institusional 7 dipandang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan karena investor institusi memiliki porsi kepemilikan saham yang besar sehingga bisa melakukan kontrol secara intensif kepada para manajemen (Junaidi, dalam Sefiana, 2008). Investor institusi sering juga disebut sebagai investor yang canggih (Sophisticated) yang seharusnya dapat menggunakan informasi sekarang untuk memprediksi laba di masa depan dibanding dengan investor non-institusi. Kepemilikan institusional yang tinggi dapat mengurangi tingkat manajemen laba tergantung pada tingkat kecanggihan investor tersebut (Veronica dan Utama, 2005 dalam Indriani, 2010). Penelitian kualitas audit di Indonesia secara umum masih sangat terbatas validitasnya, yaitu menggunakan ukuran KAP yang berafiliasi dengan Big 4 atau spesialisasi industri KAP. Studi Herusetya (2009) dan Mayangsari (2004) mengembangkan sebuah pengukuran kualitas audit multidimensi dengan menggunakan composite measures yaitu dengan menghitung semua proksi kualitas audit secara terpisah kemudian diberikan skor-skor untuk dihitung secara bersamaan yang diyakini lebih valid, disebut Audit Quality Metric Score (selanjutnya disebut AQMS), meliputi dimensi kompetensi dan independensi. Sejauh pengetahuan penulis, pengukuran dengan pendekatan AQMS ini merupakan pendekatan yang pertama digunakan oleh Antonius Herusetya dalam penelitian kualitas audit. Penelitian ini mereplikasi penelitian Viska Anggraita (2012). Beda penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah dengan menambah kualitas audit sebagai 8 variable pemoderasi, kualitas audit diukur dengan menggunakan Composite Measure, dan memperpanjang periode penelitian dari tahu 2009-2011. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terjadi penurunan manajemen laba melalui cadangan penurunan nilai kredit yang diberikan (CKPN) pada bank-bank di Indonesia setelah penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) ? 2. Apakah kepemilikan Institusional memoderasi pengaruh penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba pada bank-bank di Indonesia ? 3. Apakah kualitas audit memoderasi pengaruh penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba pada bank-bank di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba melalui CKPN pada bank-bank yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia). 2. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memberikan bukti empiris efek moderasi kepemilikan institusional pada pengaruh penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba melalui CKPN. 9 3. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memberikan bukti empiris efek moderasi kualitas audit pada pengaruh penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba melalui CKPN. D. Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi sebagai berikut: 1. Bidang teoritis. a. Sebagai salah satu acuan yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian di bidabang Akuntansi Keuangan dan Pasar Modal khususnya pada Industri Perbankan. 2. Bidang praktisi. a. Memberikan wacana alternatif bagi para pemakai laporan keuangan dan praktisi penyelenggara perusahaan perbankan dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen laba. b. Bagi perusahaan perbankan, hasil penelitian ini juga bermanfaat kepada para pemegang saham dari perusahaan perbankan yang ingin mewujudkan corporate governance sehingga bisa meminimalisi manajemen laba. b. Bagi investor, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada investor untuk menilai suatu perusahaan sebelum mengambil keputusan untuk membeli suatu saham perusahaan. 10 c. Bagi kreditur, penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada kreditur tentang kinerja perusahaan perbankan yang melakukan kontrak utang dengan kreditur, sehingga perusahaan yang menjadi pihak kreditur tidak akan mengalami kerugian nantinya akibat perusahaan perbankan yang memiliki utang terhadap kreditur mengalami kebangkrutan. d. Bagi manajemen, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penecerahan kepada manajemen bahwa manajemen laba itu tidak baik karena dapat merugikan perusahaan dengan menurunnya nilai perusahaan dan merugikan pribadi sendiri.