BAB VI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA, 1998-2004 6.1. Pendahuluan Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Siapapun tidak akan menyangka Soeharto akan mengundurkan diri secepat itu, mengingat reputasinya dalam membendung setiap protes yang ditujukan kepadanya sejak awal memerintah. Peristiwa ini adalah kegembiraan sekaligus kegamangan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kegembiraan karena tujuan politik telah tercapai, yakni mundurnya Soeharto dari jabatan presiden yang dipegangnya selama tiga puluh dua tahun. Gamang karena sebagian besar rakyat tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah Soeharto mundur. Soeharto meninggalkan masalah mendalam terhadap sistem ekonomi politik Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Soeharto telah meninggalkan krisis, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi. Pendapatan per kapita rakyat Indonesia pada tahun 1996 mencapai 1.155 dollar/kapita dan pada tahun 1997 mencapai 1.088 dollar/kapita, tetapi pada tahun 1998 menciut menjadi 610 dollar/kapita. Dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin1. Dibidang politik, pemerintah Soeharto gagal dalam melembagakan demokrasi akibat campur tangan militer yang terlalu jauh dalam kehidupan politik sipil. Salah satu penopang utama pemerintahan Orde Baru adalah birokratis pemerintahan. Melalui UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 serta intervensi militer dalam kehidupan sosial politik (dwi fungsi), Soeharto membangun negara birokrasi otoriter. Orde Baru membangun pondasi persatuan nasional diatas berbagai ketidakpuasan daerah dan kalangan sipil. Tidak mengherankan begitu Soeharto jatuh, ancaman disintegrasi dan protes segera 1 Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Kompas, 21/12/1998. 86 berkembang dimana-mana, dan BJ Habibie yang paling menanggung resiko dari seluruh persoalan yang diciptakan Soeharto. Habibie yang ditinggal pergi oleh Soeharto untuk meneruskan pemerintahan, hampir kehilangan kendali atas seluruh ruang politik. Legitimasi yang lemah ditambah dengan meledaknya ketidakpuasan atas kebijakan Soeharto membuat Pemerintahan BJ Habibie dihadang oleh berbagai persoalan. Habibie dianggap foto copy Soeharto. Kelemahan basis legitimasi inilah yang menyebabkan Habibie membangun kapasitas kekuasaannya melalui penggunaan konsesi melalui kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa menaikkan popularitas. Habibie praktis kehilangan daya cekalnya terhadap berbagai gejolak yang muncul pasca Soeharto. Satu-satunya pilihan yang ditempuh Habibie adalah menggunakan stretegi politik layang-layang, menarik dan mengendalikan berbagai protes di masyarakat2. Hari ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, suasana Yogyakarta terasa lengang. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta menyimak perkembangan politik nasional, khususnya setelah aksi besar sehari sebelumnya. Hari itu hanya sedikit saja kendaraan yang lalu lalang di dalam kota sedangkan seluruh perhatian masyarakat tertuju ke Jakarta, khususnya setelah Amien Rais melakukan konferensi pers pada pukul 01.00 WIB tanggal 21 Mei 1998 dengan substansi ”selamat tinggal pemerintahan lama, selamat datang pemerintahan baru”. Pagi harinya jam 09.00 WIB Soeharto benar-benar meninggalkan Istana dengan didampingi oleh Tutut putrinya. Bagian dari laporan penelitian ini akan mengupas berbagai tema penting yang terjadi di Yogyakarta pasca Soeharto mundur sebagai Presiden. Dengan topik mengenai gerakan MS di Yogyakarta, laporan ini akan menghimpun beberapa tema mengenai keadaan, strategi dan pengelompokkan MS pasca Soeharto. Sebagaimana kita bahas pada bab sebelumnya, pokok perlawanan MS sebelum tanggal 21 Mei 1998 adalah menurunkan Soeharto dari kursi Kepresidenan. Kekuasaan yang memusat ditangannya telah menjadikan Soeharto musuh bersama (common enemy) MS. Tidak ada figur yang sedemikian penting dalam khasanah Orde Baru selain dari pada Soeharto. Maka begitu Soeharto menyatakan berhenti 2 Tim Lapera [2000] Otonomi Versi Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta 87 sebagai Presiden, kebingungan segera menyelimuti MS, dan fragmentasi pun mulai muncul. Fragmentasi tersebut dapat menjadi jaringan politik, saling menegasikan atau juga tidak terhubung sama sekali antara satu dengan yang lain. Membuat batasan metode gerakan MS berdasarkan pada periodesasi pemerintahan setelah Orde Baru sangat rumit karena pola perkembangannya kontinum dalam lintas pemerintahan. Artinya adalah bahwa pola gerakan yang berlangsung tidak semata-mata merespon perkembangan kekuasaan di Jakarta, tetapi juga berkaitan dengan konteks lokal. Sehingga aktifitas MS bisa lintas pemerintahan antara Habibie, Gus Dur, Megawati, dan bahkan sesudahnya. Sulit untuk mencari ciri MS dari setiap pemerintahan baik itu Habibie, Gus Dur, ataupun Megawati. Paling tidak ada dua alasan mengapa pembagian berdasarkan periodesasi pemerintahan sulit dilakukan, pertama, pasca Soeharto hampir keseluruhan konsentrasi wacana gerakan MS tidak memiliki hubungan atau sedikit saja terhubung dengan perkembangan politik nasional. Di daerah seperti Yogyakarta, setelah Soeharto lengser, praktis kegiatan dan wacana gerakan MS mulai berkurang perhatiannya terhadap persoalan-persoalan kepemimpinan nasional. Persoalan politik nasional yang terjadi dan diliput oleh media umumnya hanya melibatkan kelompok MS di Jakarta. Kalaupun ”melibatkan Yogyakarta” biasanya hanya tokoh-tokohnya saja dan hanya mewakili pribadi, bukan mewakili MS secara keseluruhan Sebagai contoh adalah pendapat aktifis LSM atau intelektual yang terekam di media massa umumnya tidak mewakili institusinya. Di daerah seperti Yogyakarta, MS mulai mengembangkan isu yang sesuai dengan problem dan karakteristik lokal. Dengan demikian menghubungkan dinamika nasional dengan dinamika lokal sangat sulit karena kadang-kadang berada dalam lajur tema yang berbeda. Kedua, karena dalam lajur tema yang berbeda, dalam banyak hal persoalan yang ditangani oleh MS di daerah seperti Yogyakarta berlangsung lintas pemerintahan. Meneliti perkembangan MS di Yogykarta pada tahun 1998-2004 dapat dilihat melalui dua optik, yakni (1) transisi menuju demokrasi, dan (2) pelembagaan politik. Transisi menuju demokrasi adalah upaya mendekontruksi dan sekaligus membongkar tatatanan politik Orde Baru untuk menciptakan satu 88 pemerintahan yang bersih dari beban politik masa lalu. Bagian kedua dari topik pembahasan adalah pelembagaan politik. Pelembagaan politik adalah keterlibatan MS dalam berbagai advokasi kebijakan di tingkat lokal. Dengan menggunakan optik tersebut dapat ditelusuri metode, pendekatan, isu, aliansi dan kepentingan yang melatar belakangi berbagai peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta. Pelembagaan politik ini dapat dikalatan sebagai metode kerja yang berlangsung pada paruh kedua setelah upaya dekontruksi rezim orde baru berlangsung. Pendekatan model ini mulai marak setelah pelaksanaan pemilu 1999, baik oleh kepentingan donor ataupun oleh perubahan paradigma MS. Dalam konteks ini juga dilihat perkembangan MS menjelang pemilu 2004, respon dan paradigma MS dalam menghadapi pelaksanaan pemilu 2004 dan sekaligus pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia. 6.2. Transisi Menuju Demokrasi Apa yang dimaksud dengan transisi demokrasi? Setelah kejatuhan rezim Orde Baru, Indonesia mengalami satu peralihan (transisi) politik yang ditandai dengan perubahan konstelasi dan konfigurasi politik. Partai bukan hanya tiga sebagaimana waktu Orde Baru, tetapi siapapun rakyat (asal memiliki sumber daya yang cukup) dapat mendirikan partai politik. Jatuhnya pemerintahan Soeharto membawa angin segar dalam kehidupan demokrasi yang ditandai dengan partisipasi MS yang sangat luas. Kejatuhan Soeharto, memunculkan eforia dikalangan MS, dan sekaligus membuka sumbatan ketakutan yang diciptakan Orde Baru melalui pendekatan keamanan. Habibie sebagai pewaris kekuasaan Soeharto, praktis telah kehilangan daya cengkram terhadap kehidupan politik sipil. Soeharto bukan hanya mewariskan sejumlah masalah, tetapi juga mewariskan kekacauan dimana-mana3. Namun demikian Habibie juga tidak memiliki keberanian memenuhi tekanan massa untuk membawa Soeharto ke pengadilan berkaitan dengan kebijakan politiknya sewaktu berkuasa. 3 E. Shobirin Nadj. (edt) [2003] Supremasi Sipil Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional; Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru, LP3ES, Jakarta 89 ”Pemerintah dinilai tidak punya nyali”, demikian headline harian Yogya Post tanggal 18 September 1998, menyikapi perkembangan pemeriksaan atas mantan Presiden Soeharto. Bagaimanapun Habibie memiliki beban psikologis dalam memeriksa mantan Presiden Soeharto, mengingat jasanya yang sangat besar dalam membesarkan karirnya. Habibie adalah foto copy dari Soeharto, kira-kira begitu judul tajuk rencana di Harian Solo Pos yang terbit 18 September 19984. Diluar kasus Soeharto yang tidak kunjung diperiksa oleh Habibie dan selalu menjadi berita utama berbagai surat kabar lokal mapun nasional kita akan menjumpai berbagai fenomena sosial politik yang menandai kebangkitan MS di tingkat lokal. Reformasi telah menjadi mantra paling sakti dalam ranah sosial politik nasional, sehingga reformasi dimaknai sebagai ” kebebasan melakukan apapun yang pada jaman Presiden Soeharto dilarang”. Kebebasan ini bukan hanya bermakna sebagai tindakan, tetapi juga pengungkapan berbagai persoalan sosial politik yang mengendap dimasa lalu. Dalam konteks Yogyakarta kita akan menelusuri tiga peristiwa penting yang menjadi wacana politik pada tahun ketika Habibie memerintah dan menjadi contoh bagaimana MS merespon perubahan politik, yakni (1) protes sipil di pedesaan, (2) protes terhadap sistem politik Orde Baru seperti dwi fungsi ABRI, pengadilan Soeharto, dan pembubaran partai Golkar, (3) Kasus Pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin dan Pengadilan Wilardjito. Ketiga topik tersebut berlangsung di Yogyakarta dan dapat menjadi contoh bagaimana MS memberikan respon terhadap perubahan politik. 6.2.1. Protes Sipil Di Pedesaan Orde Baru meninggalkan sejumlah masalah mendasar dalam kehidupan politik pedesaan. UU No. 5 /1979 tentang Pemerintahan Desa benar-benar ampuh membungkam demokrasi dan partisipasi politik di desa. Sejumlah tindakan pengendalian politik seperti proses rekruitmen kepala desa yang penuh intervensi dan rekayasa kepentingan, kelembagaan desa yang memusat dan seragam, partisipasi politik yang terbatas, dan lain sebagainya 4 telah menimbulkan Solo Pos, 18 /9/1998; Yogya Post 18/9/1998. 90 kegelisahan dikalangan rakyat desa5. Kepala Desa dan elit desa lainnya telah menjelma menjadi kekuatan politik tanpa batas yang dapat berbuat apa saja terhadap rakyatnya. Kejatuhan Orde Baru dengan sendirinya telah membuka kotak pandora, ketidakpuasan telah muncul dimana-mana dan menjelma menjadi anarkisme. Dalam bulan-bulan pertama pemerintahan Habibie, di pedesaan Yogyakarta dan sekitarnya telah berlangsung protes yang masif berkaitan dengan berbagai persoalan yang mengendap dan tidak tersentuh selama Orde Baru berkuasa. Protes ditujukan untuk mereformasi pemerintahan desa karena dipandang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Reformasi telah menjadi satu kuasa untuk mendongkel pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Di Desa, rakyat atas nama reformasi dapat melakukan apa saja yang dianggap berhubungan atau bagian dari status quo yang telah merugikan rakyat. Kadang tindakan rakyat menjurus ke dalam tindakan pelanggaran ketertiban. Reformasi telah menjelma menjadi hukum. Reformasi menjadi kata sakti yang ditakuti oleh penguasa dan tempat rakyat untuk melakukan apapun yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi. “Kaum Reformis” adalah sebutan yang dilekatkan kepada kelompok yang melakukan protes untuk melakukan perubahan pemerintahan di desa. Kaum reformis ini benar-benar disegani, sehingga siapa saja yang menentang tindakan mereka dapat digolongkan sebagai anti reformasi dan dapat diperkarakan sepihak melalui cara-cara diluar hukum. Di desa kadang-kadang kaum reformis melakukan apapun untuk memenuhi tuntutan mereka sekalipun dengan cara-cara yang melanggar hukum dan ketertiban. Pembakaran dan pengrusakan Balai Desa atau rumah mereka yang dituduh adalah hal biasa yang berlangsung pada periode ini. Jangan harap aparat akan mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan pengrusakan, karena bisa-bisa aparat sendiri yang akan dihakimi kaum reformis. Seperti yang terjadi pada Supardi, warga desa Tohputi, Kecamatan Dlingo yang dibunuh beramai-ramai dan mayatnya 5 Lihat Hans Antlov [2000] Negara Dalam Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Hans Antlov berhasil memotret bagaimana Orde Baru telah menghadirkan negara dalam tingkat desa melalui berbagai instrumen politik . Kepala Desa telah menjelma sebagai Presiden, Babinsa telah menjelma menjadi Panglima, dan seluruh kehidupan sosial politik dikontrol dengan ketat. 91 dikubur langsung oleh masyarakat gara-gara mencuri ayam warga6. Tidak ada tindakan hukum yang dikenakan kepada mereka yang melakukan pengroyokan. Reformasi telah menjadi mantra paling sakral pada masa peralihan dari Soeharto ke Habibie. Sistuasi politik ini mirip dengan apa yang ditulis oleh Anton Lucas dalam peristiwa tiga daerah7. Kekosongan kekuasaan yang terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Jepang telah mendorong rakyat di tiga daerah (Tegal, Pekalongan dan Brebes) melakukan apa saja atas nama revolusi untuk menggusur kekuasaan lama yang dianggap tidak pro rakyat. Revolusi menjadi pengesah berbagai tindakan masyarakat sekalipun kadang-kadang sudah berada diluar batas nalar sosial. Keberhasilan ”reformasi” dalam mendongkel Soeharto menjadikan rakyat di berbagai pelosok desa telah membentuk kemauannya sendiri untuk melakukan berbagai tindakan atas nama reformasi. Berdasarkan pengamatan media untuk kepentingan penelitian, di pedesaan sekitar Yogyakarta, telah berlangsung protes yang sangat masif terhadap pemerintah desa setempat. Protes ini ditujukan kepada pemerintah desa yang dianggap menyeleweng, atau tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Kadang-kadang protes berlangsung hanya karena masalah etika moral kepala desa, seperti perselingkuhan, perjudian atau poligami. Kejatuhan Soeharto secara sosiologis juga diikuti dengan runtuhnya seluruh bangunan nilai dan politik yang menopangnya. Dahulu yang dianggap tabu dan berbahaya, setelah Soeharto jatuh menjadi boleh dilakukan. Otoritas politik dan hukum menjadi hilang dan simbol-simbol negara jatuh ke titik nadir. Tidak mengherankan kalau sasaran aksi dan pengrusakan selalu berkaitan dengan kantorkantor pemerintah seperti pos polisi, balai desa, tangsi tentara, fasilitas pemerintah dan lain sebagainya. Mereka yang melakukan protes umumnya menggunakan reformasi sebagai dalih pembenar atas tindakan protesnya. Umumnya kata ”reformasi” selalu dilekatkan pada kelompok protes ini, seperti Komite Reformasi, Forum Rakyat untuk Reformasi, dan lain sebagainya. Di Jawa Tengah sepanjang Mei sampai Oktober 1998 saja jumlah Kepala Desa yang diturunkan oleh rakyatnya 6 Yogya Post 4/2/1999 Lihat Anton E. Lucas [2004] One Soul One Struggle; Peristiwa Tiga Daerah, Resist Book, Yogyakarta 7 92 berjumlah 1178. Ini merupakan prestasi protes terbesar sepanjang tiga puluh dua tahun dan hanya dapat disamakan dengan ketika Indonesia dalam masa revolusi. Dari laporan media yang terbit di Yogyakarta dan Solo, Jawa Tengah nampaknya menjadi arena protes paling subur, khususnya Kabupaten Klaten yang bertetangga dengan Yogyakarta. Situasi ini dipengaruhi oleh geopolitik lokal dimana tingkat intervensi dan represi politik di Jawa Tengah lebih dominan dibandingkan dengan Yogyakarta. Latar belakang sebagai daerah ”merah” juga turut mempengaruhi wilayah ini menjadi ladang subur radikalisme di pedesaan9. Harian Solo Pos dalam tajuknya tanggal 6 Februari 1999 yang berjudul ”Pertikaian Elit Politik di Desa” menuliskannya sebagai berikut ; ”bahwa pertikaian politik di tingkat desa telah sampai pada tingkat yang membahayakan karena mengganggu kehidupan sosial ekonomi rakyat. Konflik ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, sehingga harus ada tindakan ekstra untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berlangsung di pedesaan”. Di Yogyakarta sendiri sekalipun eskalasinya tidak setajam di Jawa Tengah, namun suasana protes di pedesaan tidak dapat dihindari. Tanggal 14 April 1999 warga desa Sidorejo Godean melakukan unjuk rasa minta supaya hasil pilkades yang dilaksanakan pada masa Orde Baru dibatalkan karena lurah yang terpilih tidak sesuai dengan aspirasi warga10. Di Tirtosari kabupaten Bantul juga berlangsung aksi serupa11. Protes warga tidak hanya melulu berkaitan dengan penurunan kepala desa, tetapi juga penundaan pelantikan kepala desa karena dianggap curang dalam pemilihannya sebagaimana yang terjadi di desa Wedomartani, Pandowoharjo, Sedangsari, dan Sindumartani12. Sebagaimana yang disampaikan diatas, kelompok protes kadang-kadang menggunakan idiom reformasi dalam melakukan protes untuk melindungi aksi-aksi mereka sebagai tindakan yang dianggap reformis. Di Pendowoharjo, Kabupaten Sleman misalnya, aksi protes yang dilakukan ”kaum 8 Wawasan, 7 /10/1998 Lihat Sugijanto Padmo [2000] Land Reform dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965, Media Presindo-KPA, Yogyakarta 10 Kedaulatan Rakyat, 15 /4/1999 11 Yogya Post 5 /3/ 1999, Kedaulatan Rakyat, 5/3/ 1999 12 Bernas, 13 /4/1999; Bernas, 5 /4/1999; Bernas, 12 /4/1999; Bernas, 18 /3/1999; Yogya Pos, 30/3/ 1999; Kedaulatan Rakyat. 31/3/ 1999; Kedaulatan Rakyat. 30 /3/1999 9 93 reformis” bernama Gerakan Rakyat Reformasi Pendowoharjo (Garrapan), untuk melakukan protes terhadap hasil pemilihan kepala desa yang dianggap curang13. Selain soal pemilihan kepala desa, tanah dan sumber daya alam juga menjadi arena protes yang menonjol di Yogyakarta, salah satunya adalah sengketa umbul wadon dan kasus tanah Tegal Buret. Di Sleman ratusan warga lereng Merapi melakukan protes karena eksploitasi pemerintah terhadap mata air Umbul Wadon yang menjadi sumber kesejateraan warga sekitar14. Kasus Tegal Buret adalah sengketa tanah antara masyarakat dengan TNI. Tegal Buret berada di Desa Kranggan dan Brosot, Kabupaten Kulon Progo. Tanah yang menjadi objek sengketa seluas 2,6 ha. Tanah tersebut semula milik warga kecamatan Galur. Tahun 1948 tanah tersebut diminta tentara Jepang. Ketika Belanda datang tahun 1949, tanah tersebut dikuasai oleh Belanda. Setelah Belanda pergi, tanah tersebut dikuasai oleh TNI. Ketika reformasi bergulir, ahli waris meminta tanah tersebut, tetapi TNI tidak boleh. TNI minta warga membuktikan melalui hukum. Kemudian warga membentuk Paguyuban Pembela Hak Tanah Tegal Buret. Warga didampingi oleh LBH Yogyakarta dalam menuntut pengembalian tanah tersebut. Aksi warga bahkan sangat berani dengan langsung mendatangi tangsi militer untuk menuntut supaya tanah dikembalikan kepada ahli waris15. Sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan seandainya Soeharto masih berkuasa. Maraknya protes ini menimbulkan trauma disebagian kalangan masyarakat. Protes yang diselingi dengan kekerasan telah menimbulkan kekhawatiran sebagian pihak untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan dan perebutan posisi kepala desa. Di Sleman misalnya, pendaftaran kepala desa untuk beberapa desa di wilayah ini masih sepi dikarenakan banyak calon yang masih takut mendaftar dikarenakan khawatir kalau diprotes sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah16. Protes di pedesaan menjadi wacana serius yang terjadi di Yogyakarta (dan sekitarnya) pada bulan-bulan awal pemerintahan Habibie. Protes menjadi fenomena baru dikalangan MS yang merasa selama tiga puluh dua tahun aspirasinya 13 Kedaulatan Rakyat, 12 /4/1999 Yogya Pos, 10 /8/1999; Kedaulatan Rakyat, 11/8/1998 15 Kedaulatan Rakyat, 14 /2/2000; Bernas, 25 /1/2000; Bernas, 9 /7/1999; Kedaulatan Rakyat, 27/2/2001, Wawancara dengan Pardiyono, 15 Juni 2008 16 Kedaulatan Rakyat, 19 /2/ 1999 14 94 disumbat. Gerakan protes ini menjadi ekspresi politik rakyat dan sekaligus menjadi pertanda kebangkitan gerakan sipil di pedesaan. Kadang protes tidak hanya ditujukan kepada pemerintahan, tetapi juga apa saja yang berhubungan dengan sistem lama seperti yang terjadi di Prambanan pada tanggal 17 Maret 1999, warga menyerang pos polisi setempat karena anggota polisi secara tidak sengaja menabrak salah seorang warga desa hingga tewas17. Gejala ini tentu menjadi sesuatu yang manarik karena hampir selama Orde baru berkuasa, aksi protes dapat menaui akibat yang sangat fatal bagi pelakunya. Dengan keberanian protes yang tumbuh dikalangan rakyat pedesaan, sesungguhnya kesadaran politik sebagai pondasi demokrasi mulai terbit sekalipun kadang-kadang dengan cara yang keliru. Pergerakan politik ini yang terus tumbuh dalam momentum pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang nantinya akan dikawal sebagian LSM Yogya untuk memperkuat demokrasi lokal. 6.2.2. Protes di Perkotaan Habibie nampaknya begitu gentar terhadap Soeharto sehingga sekalipun tuntutan untuk mengadili mantan Presiden sangat besar, namun tidak digubris sama sekali. Bagimanapun Soeharto mempunyai andil besar dalam membesarkan Habibie sampai menjadi Wakil Presiden. Dalam tradisi pemilihan Wakil Presiden Orde Baru, penentuan yang menjadi Wakil Presiden menjadi hak prerogratif Soeharto. Tidak mengherankan kalau Habibie tidak memiliki keberanian politik untuk memeriksa dan mengadili mantan Presiden tersebut. Berkaitan dengan protes terhadap sistem politik yang dilangsungkan golongan kaum terpelajar perkotaan, tulisan ini tidak akan menyoroti berbagai peritiwa yang berlangsung ditingkat nasional (Jakarta). Fokus perhatian akan diberikan kepada berbagai peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta sekalipun dalam berbagai peristiwa protes di Yogyakarta memiliki kaitan dengan peristiwa nasional. Protes ini bukan hanya berkaitan dengan penyelenggaraan aksi dan tuntutan masa yang ditunjukkan melalui serangkaian demonstransi, tetapi juga berbagai bentuk simbolisasi pembangkangan MS. Dalam konteks lokal Yogyakarta 17 Wawancara Saniman, warga Desa Tlogo, Prambanan, 21 Mei 2007 95 akan dilihat empat peristiwa menonjol yang berlangsung selama fase awal kepemimpinan Habibie, yakni pendirian Posko Gotong Royong oleh simpatisan PDIP, protes terhadap militer, tuntutan masyarakat terhadap pengadilan mantan Presiden Soeharto, dan pembubaran partai Golkar. Tidak ada satupun data yang mengulas kapan pendirian Posko Gotong Royong PDI Perjuangan dimulai. Satu kesimpulan terhadap fenomena tersebut adalah besarnya simpati masyarakat terhadap Megawati sebagai korban Orde Baru. Pendirian Posko Gotong Royong PDI Perjuangan dapat dimaknai sebagai kebangkitan MS dimana protes terhadap penguasa ditunjukkan dengan memberikan simpati kepada korban kekuasaan. Satu unsur terpenting dari pendirian posko ini adalah solidaritas dan keswadayaan dikalangan MS, khususnya mereka yang disebut Pro Mega. Megawati adalah simbol penindasan dan sekaligus anak Soekarno, tokoh terbesar dalam sejarah Indonesia. Yogyakarta sendiri memiliki hubungan sejarah dengan golongan nasionalis, PNI menang mutlak di daerah ini pada pemilu 1951. Masyarakat Yogyakarta secara umum memiliki latar belakang sebagai kaum abangan dengan priyayi dengan keraton sebagai centrum sosial18. Sekalipun Sultan dan sebagian besar keluarganya adalah kader dan pengurus Golkar, tetapi sebagian besar warga Yogyakarta memiliki garis politik ke arah nasionalis. Maka ketika Megawati dan PDI Perjuangan mengalami tekanan dari pemerintah Soeharto, simpati mengalir deras kepadanya. Tidak mengherankan ketika jargon ”Mega Bintang” yang dilaunching oleh Mudrick Sangidhu, perolehan suara PPP di Yogyakarta hanya berselisih 2 kursi dari Golkar pada pemilu 1997 karena limpahan suara dari pendukung Mega. Dalam khasanah sosiologis, masyarakat Jawa percaya mengenai datangnya Ratu Adil sebagaimana yang diramal oleh Joyoboyo, dan kebetulan Megawati adalah seorang perempuan (Ratu). Tidak heran kalau dukungan kepada Megawati pada tahun-tahun tersebut sudah sampai pada batas-batas pengkultusan. Sebagai figur yang disingkirkan dari panggung politik Orde Baru, Megawati juga mewakili 18 Untuk memahami hal tersebut dapat di baca Clifford Geerzt (1981), Santri, Abangan, dan Priyayi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sekalipun temuan Geerzt ini dianggap sudah tidak relevan, namun kita dapat memahami bagaimana di Yogyakarta kelompok nasionalis unggul dalam pemilu 1951. 96 perasaan sebagian besar rakyat Indonesia yang tertindas oleh sistem ekonomi politik Rezim Orde Baru. Dengan nama besar Soekarno, figur yang dianiaya, ditambah lagi keyakinan akan datangnya Ratu Adil, tidak ada alasan untuk tidak memberikan dukungan dan pengorbanan kepada Megawati. Posko Gotong Royong adalah salah satu bentuknya. Posko Gotong Royong didirikan oleh pengikut Megawati dengan warna khas merah dan hitam lengkap dengan gambar Soekarno dan Megawati, serta tulisan ”Hanya Satu Tekad; Bela Mega”. Posko ini umumnya berbentuk gardu jaga yang didirikan di pinggir jalan atau sudur-sudut kampung. Pendirian posko ini dengan biaya swadaya masyarakat sekitar, yang kadang-kadang nilainya jauh melebihi kemampuan ekonomi masyarakat. Sebuah posko yang terletak di Jalan Swadaya, Pojok Beteng Kulon, berdiri sangat megah dengan melintang jalan, Posko tersebut dibangun atas iuran warga sekitarnya yang mencapai tiga juta rupiah, sebuah nilai yang cukup besar pada tahun 199919. Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah partai yang didirikan oleh Gus Dur, juga mendirikan sejumlah posko di Yogyakarta. Kadang di beberapa tempat posko PKB dan PDIP menjadi satu sebagaimana yang terjadi di Bantul. Jumlah Posko PKB di Yogyakarta relatif sedikit, cuma 10 buah, bandingkan dengan PDI yang mencatat 1.120 posko di seluruh Yogyakarta20. Solidaritas sebagai ”sesama korban” Orde Baru kadang-kadang juga berkembang diantara partai politik menjelang pemilu 1999. Di Jalan Magelang Yogyakarta pernah terjadi perseteruan antara massa PKB dan PPP karena kesalahpahaman diantara kedua belah pihak. Tidak jauh dari lokasi ketegangan terdapat Posko Gotong Royong. Simpatisan PDIP yang kebetulan berada di Posko berusaha melerai kedua massa partai yang berseteru sehingga ketegangan dapat diredakan21. Pengadilan Soeharto dan pencabutan dwi fungsi ABRI mendapat porsi penting dalam setiap gerakan protes di Yogyakarta. Setelah Soeharto jatuh, mahasiswa tetap memegang kendali atas aksi protes yang berlangsung di dalam 19 Posko ini beberapa tahun kemudian di bongkar sejalan dengan kekecewaan terhadap prestasi pemerintahan Megawati. Catatan Penelitian 20 Gatra, Nomor 12/V, 6 Februari 1999 21 SiaR, 24/3/99 97 kota. Pergerakan mahasiswa menjadi semakin luas dan berani, salah satunya adalah dengan mendatangi markas tentara seperti yang berlangsung tanggal 18 Desember 1998, dimana sebagian mahasiswa Universitas Islam Indonesia mendatangi Akademi Militer Magelang menuntut pencabutan dwi fungsi ABRI dan pengadilan terhadap Soeharto22. Mendatangi tangsi militer adalah trend baru dalam aksi mahasiswa setelah Soeharto jatuh. Aksi di Akademi Militer atau asrama tentara dipilih karena tempat-tempat tersebut menjadi simbol otoritas tentara. Tanggal 14 November 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan aksi di depan Markas Korem 072/Pamungkas, dan menuntut siaran Stasiun RRI Nusantara II Kotabaru23. Menyiarkan tuntutan mahasiswa melalui Stasiun RRI juga menjadi cara baru aksi mahasiswa. Beberapa kali stasiun RRI didatangi oleh kelompok aksi minta supaya tuntutan mahasiswa disiarkan secara langsung. Jatuhnya Soeharto nampaknya membuat energi aksi menjadi jauh berkurang. Penjagaan aparat keamanan juga sudah sangat longgar berbeda dengan ketika Soeharto masih berkuasa. Aparat keamanan nampaknya sangat berhati-hati dalam menangani aksi mahasiswa dan menjaga diri supaya tidak terprovokasi yang berujung dengan bentrokan. Mahasiswa berusaha memprovokasi aparat keamanan agar mengambil tindakan keras supaya aksi menjadi perhatian publik, misalnya dengan mengejek tentara melalui lagu-lagu yang diplesetkan24. Nampaknya tentara di Yogyakarta paham benar siapa yang akan dihadapi kalau seandainya terjadi tindakan keras terhadap mahasiswa, sementara pamor kekuasaannya telah meredup. Ini berbeda dengan aksi di beberapa kota pulau Sumatra seperti Palembang dan Lampung. Bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa menyebabkan jatuhnya korban dari pengunjuk rasa. Hampir selama aksi mahasiswa pasca Soeharto, tidak ada bentrokan atau tindakan represif dari tentara terhadap mahasiswa di Yogyakarta. Bahkan dalam beberapa aksi mahasiswa yang ditujukan ke markas tentara, para mahasiswa disambut dengan spanduk ucapan selamat 22 Bernas, 19 /12/1998. Kompas, 15 /11/ 1998; Kronologi Aksi, 13 /4/1999; 24 Pada waktu Orde Baru ada lagu ABRI yang selalu diputar di radio untuk menunjukkan superioritas militer. Lagu tersebut kemudian diganti syairnya oleh mahasiswa dengan kata-kata antara lain ; Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, bubarkan saja, tidak berguna, lebih baik diganti pramuka. Makan diwarteg nggak pernah bayar, naik bis kota juga nggak pernah bayar….” Lihat Bab Pendahuluan 23 98 datang atau musik dangdut yang dibunyikan keras-keras untuk menenggelamkan orasi mahasiswa25. Pengadilan Soeharto yang berlarut telah menjadi polemik di media massa terbitan Yogyakarta. Kedaulatan Rakyat merupakan koran tradisional yang lebih berhati-hati dalam membahas kasus Soeharto, bahkan dalam beberapa hal terkesan membela. Bagaimanapun Kedaulatan Rakyat tetap berusaha menjaga citra akomodatif terhadap berbagai hal yang berkembang di masyarakat. Berbeda dengan harian Bernas yang sejak lama telah menjadi referensi bacaan kritis di Yogyakarta. Bernas sebagian besar wartawannya adalah angkatan muda yang mengambil sikap oposan terhadap kekuasaan. Koran ini sempat menjadi bacaan favorit aktifis mahasiswa pada tahun 1995-1999. Dalam tajuknya tanggal 4 Agustus 1999, Bernas membuat judul yang provokatif, ”Kasus Soeharto Tetap Menggantung”. Dua minggu kemudian Bernas membuat tajuk yang lebih tegas bahwa ” Pemberantasan KKN Perlu Tindakan Nyata”, untuk memberi gambaran mengenai berlarutnya proses pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto26. Berbeda dengan KR yang terkesan lebih lunak terhadap polemik seputar perkara Soeharto, KR menurunkan tajuk pada 14 April 2000 dengan judul ”Rasa Iba Juga Menyertai Status Cekal Soeharto”27. Partai Rakyat Demokratik (PRD) masih menjadi kelompok paling aktif menyuarakan pencabutan Dwi fungsi ABRI, pengadilan Soeharto dan kadangkadang referendum terhadap Timor Leste. Sekalipun sudah menjadi partai dan menyatakan siap untuk mengikuti pemilu, tetapi kepemimpinan tetap dipegang oleh kalangan mahasiswa yang miskin pengalaman politik dan sumber daya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kemudian PRD gagal dalam pemilu 1999. Pelajaran yang dapat dipetik dari kelompok ini adalah militansinya yang besar dalam setiap isu yang berkaitan dengan Soeharto. PRD menerbitkan tabloid ”Pembebasan” sebagai corong ideologi dengan slogan ”Suara Sosial Demokrasi Kerakyatan”. 25 Xpos, No 35/II/10-16 Oktober 99. Mahasiswa yang meninggal adalah Meyer Ardiansyah (Pelembang) dan Yusuf Rizal;Zaidatul Fitria (Lampung) 26 Bernas, 4 dan 17 /8/ 1999. 27 Kedaulatan Rakyat, 14 /4/2000 99 Golkar adalah sasaran lain dari gerakan protes post Soeharto. Sekretariat DPD Golkar DIY berada di jalan paling strategis di Kota Yogyakarta. Lokasi DPD Golkar selalu menjadi jalur demonstrasi ketika mahasiswa melakukan long marc ke DPRD Propinsi atau Jalan Malioboro di pusat kota Yogyakarta. Setiap aksi menuntut penuntasan kasus rezim Orde Baru, tidak lupa para peserta aksi akan berhenti sejenak di depan Kantor DPD Golkar untuk melakukan orasi mengecam Golkar sebagai partai Orde Baru. Hari Kamis, tanggal 8 Februari 1999, 500 massa Pokja Rakyat Yogyakarta (PRY) melakukan penyegelan di Kantor DPD Golkar. Selain menyegel kantor DPD Golkar mereka juga menuntut supaya Golkar dibubarkan. Penyegelan ini disaksikan Kapoltabes Yogyakarta Komisaris Besar Ibnu Sudjak Mahsfudz, Massa PRY berasal dari IAIN Sunan Kalijaga, UGM, Universitas Sanata Dharma, Universitas Janabadra28. Sebagian besar massa PRY adalah mahasiswa dan pemuda atau mantan aktifis mahasiswa. Aksi ini sempat berbuntut panjang dengan kemarahan kader Golkar atas penyegelan tersebut. Sebagai balasan atas aksi-aksi yang menimpa Golkar, Sekitar 1.500 pendukung Partai Golkar di Kota Yogyakarta, Sabtu (17/3), melakukan pendeklarasian berdirinya Jaringan Pembela Kehormatan Partai Golkar (JP-KPG), di halaman Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jaringan tersebut dibentuk guna menjawab maraknya tuntutan pembubaran partai berlambang pohon beringin tersebut29. Dengan lihai Golkar segera mengalihkan masalah pembubaran Golkar ke dalam komunisme. Golkar membentuk satgas Gepako (Gerakan Pasukan Anti Komunis) yang kemudian berubah menjadi FAKI (Front Anti Komunis)30. Kelompok ini kadang-kadang bertindak diluar hukum dan memprokasi setiap aksi anti Golkar sebagai bagian dari komunis. Sebagai contoh adalah pemukulan terhadap sekjen FPPI Yogyakarta Gunawan dengan konblok (bata semen) usai menghadiri seminar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 20 Februari 2001 dan penyerangan Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi31. FPPI adalah organisasi mahasiswa yang tidak memiliki sangkutan dengan komunisme. 28 Kompas, 9/2/1999, Bernas, 9/2/1999 Kompas, 18 /3/ 2001 30 Kedaulatan Rakyat, 9/4/2002 31 Kompas, 2/3/ 2001; Kronologi Penyerangan terhadap kampus ABA"Yo" Yogyakarta, 22/2/2001 29 100 Sedangkan Taring Padi adalah lembaga kebudayaan yang mengusung tema-tema kerakyatan dalam ekspresi keseniannya. 6.2.3. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Pelanggaran HAM yang menonjol peda era Orde Baru dan paling menonjol terjadi di Yogyakarta adalah kasus Pembunuhan Wartawan Bernas (Udin) dan Wilardjito. Kasus Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dan Wilardjito adalah panggung yang berbeda dalam konteks sosial politik di Yogyakarta. Salah satu ciri penting dalam kasus tersebut adalah peran kelompok LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sangat besar dalam mengadvokasi perkembangan kasus tersebut. Ini berbeda dengan dua kategori sebelumnya, dimana peran komite rakyat (masyarakat dan mahasiswa) sangat besar. Persamaan diantara keduanya adalah sama-sama residu dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru dan kemudian menjadi persoalan yang hangat dibicarakan setelah Soeharto jatuh. Dalam dua kasus ini peran MS muncul dalam metode yang berbeda dengan dua contoh di atas. Kalau sebelumnya muncul dalam aksi-aksi massa yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, dalam kasus Udin dan Wilardjito metode aksi tidak berkembang. Udin adalah Wartawan Harian Bernas yang dibunuh oleh orang tidak dikenal pada tanggal 13 Agustus 1996. Tiga hari kemudian Udin Meninggal di Rumah Sakit Bethesda (Bab 5). Kematian Udin diduga terkait dengan berita -berita yang ditulisnya di Harian Bernas. Kasus Udin tenggelam dibawah hiruk-pikuk Pemilu 1997 dan jatuhnya Soeharto, terlebih setelah Tim Pencari Fakta (TPF) Kijang Putih dibubarkan karena intervensi aparat keamanan. Beberapa hari setelah Pisowanan Agung tanggal 20 Mei 1998 di alun-alun Utara Yogyakarta yang konon dimotori oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA), segera komite aksi ini meluncur ke DPRD Bantul untuk menuntut Sri Roso Sudarmo Bupati Bantul turun dari jabatannya karena terkait berbagai masalah, termasuk di antaranya pembunuhan Wartawan Bernas, Udin. FAMPERA secara aktif mengambil kepemimpinan atas aksi di Kabupaten Bantul tersebut, bahkan kelompok aksi ini menginap berhari-hari di DPRD untuk menuntut Sri 101 Roso mundur dari jabatannya32. Setelah DPRD Bantul menyatakan persetujuannya untuk memberhentikan Sri Roso dan pemberhentian diproses oleh Departemen Dalam Negeri, penuntasan kasus pembunuhan Udin diambil alih oleh Lembaga Bantuan Hukum, Persatuan Wartawan Indonesia dan Lembaga Pembelaan Hukum (LPH) 33 . Apa yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut? Berbagai upaya untuk mengungkap dalang pembunuh Udin dilakukan oleh LBH Yogyakarta, LPH, dan PWI. Sekalipun PWI adalah organisasi wartawan pemerintah, tetapi nampaknya sejak reformasi bergulir, organisasi ini berusaha memperbaiki citranya dimata publik. Semasa Soeharto masih berkuasa dalam kasus yang sama,--- pembunuhan Udin—PWI tidak melakukan apapun untuk mempersoalkan kasus Udin. Bahkan langkah Harian Bernas untuk mengungkap kasus pembunuhan wartawan Udin justru diintervensi melalui pemutasian dan pemecatan wartawan yang tergabung dalam Tim Kijang Putih. Sejalan dengan perubahan politik pasca Soeharto, PWI memberikan perhatian terhadap kasus Udin dengan membentuk TPF, sekalipun sejumlah fakta telah ditemukan oleh Tim Kijang Putih. LBH Yogyakarta adalah cabang dari YLBHI Jakarta yang didirikan oleh advokat Adnan Buyung Nasution. LBH adalah salah satu lembaga hukum yang menjalankan advokasi dengan pendekatan struktural sejalan dengan menguatnya berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jauh sebelum reformasi bergulir, LBH Yogyakarta menjadi posko para aktifis mahasiswa untuk berbagai kasus pelanggaran struktural, sekaligus menjadi corong demokrasi di Yogyakarta. Kantor LBH Yogyakarta selalu menjadi tempat diskusi para aktifis dan sekaligus mengembangkan jaringan demokrasi di Yogyakarta. Dengan demikian LBH Yogyakarta menjadi salah satu motor penggerak gerakan pro demokrasi di Yogyakarta. Tidak mengherankan kalau terjadi kasus-kasus struktural di Yogyakarta, LBH Yogyakarta menjadi salah satu rujukan. LPH adalah lembaga yang dimintai bantuan hukum Dwi Sumiaji alias Iwik ketika dituduh sebagai 32 33 Kompas, 3/6/1998, Bernas, 3/6/ 1998 Bernas. 25/2/1999; Bernas, 29/1/1999. 102 pembunuh Udin. Tuduhan terhadap Iwik sebagai pembunuh Udin akhirnya tidak terbukti. Pada akhir Januari 1999, ketiga lembaga tersebut membentuk tim gabungan untuk penuntasan kasus Udin yang diberi nama Tim Gabungan Kasus Udin (TGKU). Tim ini didirikan atas dasar kekhawatiran kalau kasus pembunuhan Udin dipetieskan34. Langkah pertama yang dilakukan oleh TGKU adalah menyurati Panglima ABRI untuk menuntaskan kasus Udin35. Kasus udin menjadi polemik hangat di Yogyakarta dari tahun 1998-2000, karena dukungan Bernas dan kalangan MS. Kasus Udin dipandang menjadi peristiwa pelanggaran HAM fenomenal mengingat pembunuhan tersebut diduga melibatkan orang-orang penting di Kabupaten Bantul sewaktu Soeharto berkuasa. Kalangan MS di Yogyakarta menjadikan Udin sebagai simbol martir dari arogansi kekuasaan kepada warga sipil dan media. Oleh karena itu LBH Yogyakarta mengusulkan kepada pemerintah agar Udin diberi gelar pahlawan Jurnalistik36. Kalangan MS berpendapat bahwa mantan Bupati Bantul, Sri Roso yang berlatar belakang militer memiliki keterlibatan dalam kasus Udin. Tajuk Rencana Harian Solo Pos tanggal 5 Juli 1999 menyatakan bahwa Sri Roso dapat menjadi pintu masuk untuk membongkar siapa dalang pembunuh Udin. Sri Roso disidang di Makamah Militer Luar Biasa dalam kasus suap terhadap Yayasan Dharmais melalui adik tiri Soeharto yang menjadi Lurah Argomulyo. Sampai vonis dijatuhkan kepada Sri Roso, kasus Udin tidak pernah disinggung sedikitpun 37. Dalam perkembangan kasus wartawan Udin, beberapa lembaga diluar TGKU mulai melibatkan diri bahkan lebih aktif dari TGKU sendiri. Beberapa elemen tersebut antara lain Aliansi Jurnalis Independen, LBH Yogyakarta, FISIP UAJY, Parwi, Forum LSM DIY, LAPERA, PLBH Persada, ICM, Pusham UII, PWI Yogya, dan Jaringan Radio Komunitas. Kelompok ini bergabung dalam 34 Kedaulatan Rakyat, 29 /1/ 1999 Kompas, 29/1/99, Bernas, 29/1/1999 36 Bernas, 16/1/99, Bernas, 5/11/1999, Bernas, 23/3/1999. Usulan ini sampai sekarang belum terealisasi meskipun Departemen Sosial Kanwil DIY pernah meminta LBH untuk menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan sebagai syarat pengusulan tersebut. 37 Bernas, 2/7/1999 35 103 Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU)38. K@MU menyelenggarakan berbagai kegiatan khususnya berkaitan dengan kematian Udin, antara lain peringatan 7 tahun meninggalnya Udin tanggal 13 Agustus 2003, Orasi budaya dan refleksi terhadap kasus Udin tanggal 15 Agutus 200339. Kasus Udin menjadi gambaran bagaimana LSM dan kalangan intelektual kampus menjalankan advokasi yang berbeda dengan cara yang biasa digunakan oleh mahasiswa ataupun rakyat. Kemampuan advokasi kalangan LSM ataupun kampus cenderung elitis dengan mengunakan kasus sebagai basis gerakan. Akibatnya daya tekan terhadap institusi otoritas menjadi sangat lemah dan mudah sekali diabaikan. Kasus yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan kasus Udin adalah kasus Soekardjo Wilardjito. Wilardjito adalah mantan anggota dinas sekuriti Istana Bogor yang bertugas ketika Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Berdasarkan pengakuannya, penandatanganan Supersemar dilakukan dibawah todongan pistol oleh para Jenderal yang saat itu datang menghadap Soekarno40. Kontan saja mengakuan Wilardjito membuat aparat terhenyak dan segera saja dituduh sebagai penyebar kabar bohong41. Wilardjito segera menunjuk LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum dan segera diikuti dengan pembentukan tim pembela42. Apa yang dilakukan oleh LBH Yogyakarta atas kasus ini? LBH memiliki jaringan kuat ke media lokal. Sebagai ”lokomotif demokrasi” ketika Soeharto berkuasa, LBH mengembangkan advokasi melalui pembentukan opini Kekuatan pendekatan ini adalah pada metode yang dikembangkan melalui pembentukan opini publik melalui media massa. Pada waktu Soeharto masih berkuasa, pembentukan opini publik dimaksudkan sebagai sarana untuk membentuk kesadaran menganai persoalan politik yang lebih besar, yakni otoritarianisme Orde Baru. Dengan demikian akan membentuk kesadaran baru di atas kesadaran palsu yang dikembangkan rezim. Sebagai lokomotif tentu saja tugasnya hanya mengantarkan. Setelah itu lokomotif akan kembali ke stasiun awal untuk disimpan. Demokratisasi telah terbentuk, ruang politik telah terbuka, 38 Bernas, 2/10/2002. Laporan Kegiatan Forum LSM DIY Periode Kepengurusan 2002 – 2004 40 Berbas, 25/08/1998, Kedaulatan Rakyat, 04/08/1999 41 Kedaulatan Rakyat 28/07/1999, Solo Pos, 6/4/1999, Bernas, 09/8/1998 42 Solo Pos, 27/1/1999 39 104 dan ini merupakan ”salah satu” sumbangan LBH sebagai lokomotif. Apakah kemudian LBH akan menjadi bagian dari proses demokrasi tersebut, nampaknya tidak. LBH tetap memilih sebagai lokomotif dan kembali ke depo penyimpanan dan tetap menjadi lembaga berwatak konservatif, Yayasan43. Dalam kasus Wilardjito, LBH mengembangkan advokasi melalui media dan menyediaan bantuan hukum secara cuma-cuma. Sejalan dengan perkembangan situasi politik, kasus ini kemudian tenggelam dengan sendirinya. Tidak ada pengakuan dari bahwa apayang disampaikan oleh Wilardjito tentang penodongan senjata tersebut benar adanya, dan juga tidak ada tindakan hukum ke Wilardjito kalau seandainya menyebarkan kabar bohong. Ini adalah ciri penegakan hukum di Indonesia, tidak jelas dan selalu selesai tanpa tindakan apapun. 6.3. Pelembagaan Politik Salah satu perkambangan yang menarik dalam transisi demokrasi adalah problem kelembagaan politik. Pelembagaan politik dipandang penting untuk menjadikan demokrasi yang sudaah berjalan menjadi semakin kokoh. Kita telah menyaksikan bagaimana medan politik pasca Orde Baru berkembang dalam berbagai protes jalanan yang tujuannya menuntaskan seluruh problem politik ”peninggalan” Soeharto. Disisi lain sebagian kalangan MS memandang bahwa bukan hanya ”penuntasan Orde Baru” saja yang penting, tetapi juga menata bagaimana demokrasi yang sedah dicapai menjadi lebih bermakna. Pemerintahan berikutnya (BJ Habibie) nampaknya memiliki keinginan untuk menjalankan roda demokrasi dengan segera. Tidak ada kesempatan bagi Habibie untuk mempertahankan dan mengulang apa yang dilakukan Soeharto.Tuntutan politik sudah demikian kencang untuk segara membuka keran politik seluas-luasnya. Ini ditandai dengan berbagai langkah kongkret seperti pelaksanaan pemilu multi partai secepatnya, desentralisasi politik, pemberesan masalah Timor Leste, dan lain sebagainya. Nampaknya pemerintah pusat sudah 43 Hal ini yang menjadikan LBH mengalami pasang surut setelah reformasi. Jauh sebelumnya perpecahan telah berlangsung yang ditandai dengan pendirian PBHI sebagai anti tesis YLBHI. 105 sudah kehilangan daya cengkramnya terhadap kehidupan politik sipil. Militerpun telah berjanji untuk mundur dari panggung politik secara bertahap. Inilah kesempaatan bagi MS untuk menata kehidupan politik mejadi lebih bermakna dengan mengembangkan kerja yang lebih kongkret.44 Transisi demokrasi membutuhkan tatanan yang lebih pasti agar demokratisasi lebih terjamin, bukan hanya semata-mata membongkar status quo tapi juga menyusun agenda berikutnya bagi memperkukuh partisipasi . Pelembagaan politik didasarkan pada upaya mengembangkan ”ilmu pasang” , dimana seluruh energi pembaruan bukan semata-mata diletakkan pada upaya ”membongkar” tatanan politik lama, tetapi lebih dari itu adalah menata kehidupan dan kelembagaan politik menjadi lebih bermakna. Dalam konteks ini gagasan seperti memperkuat demokrasi di tingkat lokal, memastikan ruang politik rakyat lebih terbuka, memastikan anggaran lebih berpihak kepada rakyat dan lain sebagainya menjadi tema kalangan MS . Di Yogyakarta tema-tema ini menjadi gelombang besar yang disorongkan MS lokal. Banyak aktifitas ornop yang ditujukan untuk melakukan penataan kelembagaan politik, baik struktur politik paling bawah yakni desa ataupun diatasnya, kabupaten dan propinsi. Untuk melihat dinamika gerakan MS di Yogyakarta, akan dibagi dalam tema-tema utama yang menjadi kerangka dasar aktifitas ornop dan MS lainnya di Yogyakarta. Membaginya dalam tema ini memudahkan melihat dalam optik tujuan dan hasil yang diperlihatkan oleh kalangan MS di Yogyakarta. Tema yang akan disajikan untuk melihat fenomena gerakan MS di Yogyakarta adalah masalah yang berkaitan dengan desentralisasi politik baik itu meliputi desa ataupun kabupaten, masalah gerakan feminis, kebijakan publik, pemilihan Gubernur DIY termasuk didalamnya adalah masalah Keistimewaan DIY, dan gerakan anti kekerasan. Membagi dalam optik-optik tersebut akan membuka persinggungan setiap aktor dan tokoh dalam bingkai besar dan pertautannya dalam dinamika politik di DIY. 44 Untuk Melihat bagaimana transisi demokrasi berjalan dalam fase awal reformasi dapat dibaca Chris Manning & Peter Van Diermen (2000), Indonesia di Tengah Transisi; Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, LkiS, Yogyakarta 106 6.3.1. Gerakan Memperkuat Desentralisasi Politik Salah satu agenda demokratisasi yang digulirkan Presiden Habiabie adalah otonomi daerah. Habibie tidak ingin mengambil resiko menghadapi berbagai protes dan ancaman disintegrasi, karenanya segera melonggarkan pengendalian terhadap daerah. Salah satu substansi dari kebijakan ini adalah memberikan ruang partisipasi politik kepada rakyat desa melalui UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah. Ini adalah undang-undang paling skstrem menyangkut hubungan pusat dan daerah. Di Yogyakarta salah satu LSM yang memiliki perhatian terhadap dinamika politik lokal adalah LAPERA45. Pada tahun 1998 menjelang Soeharto jatuh, LAPERA bekerjasama dengan YAPPIKA menyelenggarakan training bagi kalangan masyarakat pedesaan dan buruh yang diberi tema “Pendidikan Penguatan Masyarakat Sipil (P2MS)46”. P2MS disusun atas dasar pemikiran bahwa kesadaran politik rakyat harus mulai ditumbuhkan sebagai pintu terbentuknya demokratisasi politik di tingkat grassroot. P2MS dilakukan di dua basis utama yang menjadi konsentrasi LAPERA, yakni buruh dan pedesaan. Untuk pelaksanaan P2MS disektor buruh dilakukan di Ungaran Jawa Tengah terhadap beberapa pabrik garmen dan tekstil47. Sedangkan untuk wilayah pedesaan dilaksanakan di Desa Gadingsari, Kabupaten Bantul dan Mororejo, Kabupaten Sleman. Pemilihan lokasi pendidikan didasarkan pada aktifitas pendampingan yang dilakukan sebelumnya oleh lembaga tersebut dalam beberapa kasus seperti pilkades dan sengketa tanah. Output dari pendidikan tersebut adalah dibentuk fórum masyarakat yang didirikan atas inisiatif masyarakat sebagaimana di Gadingsari dibentuk Lembaga Inisiatif Masyarakat (LIM). Ini adalah sebuah ujicoba politik dimana pembentukan organisasi diluar aturan resmi negara adalah tindakan yang berbahaya ketika Orde Baru berkuasa. 45 Sutoro Eko (Edt) [2005] Manifesto Pembaruan Desa; Persembahan 40 tahun STPMD ”APMD”, APMD Press, Yogyakarta 46 Tim LAPERA [1998] Manual Kursus Pendidikan Penguatan Masyarakat Sipil (P2MS), LAPERA, Yogyakarta 47 Untuk pabrik garment yang mengikuti pendidikan adalah PT Golden Flowers dan pabrik tekstil PT Batamtex. Ungaran merupakan sebuah kawasan industri di Jawa Tengah dan sering menjadi basis pengorganisasian LSM perburuhan di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Catatan aktifitas penggorganisasian 107 Tahun 1999 sejalan dengan proses demokratisasi di Indonesia, sebuah lembaga donor, yakni The Ford Foundation (TFF), mulai mengembangkan deks baru di lingkungan kantor perwakilannya Jakarta, yakni deks Governance and Civil Society48. Hans G. Antlov, seorang antropolog berkebangsaan Swedia adalah Program Officier pertama untuk deks ini. Disertasi Hans G. Antlov mengenai pemerintahan desa dalam sistem politik Orde Baru diterbitkan LAPERA dengan judul Negara Dalam Desa (2000). Ditengah-tengah hiruk pikuk politik 1999, ketika berbagai ornop melakukan advokasi terhadap pelaksanaan pemilu, TFF memalingkan perhatiannya terhadap upaya mendorong demokratisasi di tingkat lokal, salah satunya adalah pelembagaan politik desa. Bukan hanya TFF yang memberikan perhatian terhadap masalah desentralisasi di Indonesia, CSSP-USAID juga secara khusus menggelontorkan dukungan untuk LSM yang bekerja untuk masalah ini. Di Yogyakarta salah satu ornop yang memberikan perhatian terhadap pelembagaan politik lokal adalah LAPERA, yang kemudian diikuti oleh ornop lainnnya seperti IRE, Forum LSM DIY, dan beberapa perguruan tinggi seperti Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, STPMD ”APMD”, UMY, dan UAJY. Gagasan pertama LAPERA adalah pendirian ”Parlemen Desa”49. Sebuah lembaga legislatif di tingkat desa. Sejalan dengan pertemuan antara TFF dan LAPERA serta inisiasi penguatan masyarakat di pedesaan melalui P2MS, disusunlah satu program realisasi parlemen desa yang berangkat dari pengalaman DIY dalam menjalankan Dewan Kelurahan pada tahun 194650. Program pertama adalah menggali kembali sejarah parlemen desa di DIY51. Dari penelitian tersebut kemudian dikembangkan satu gagasan untuk mengimplementasikan kembali perlemen desa di salah satu desa penelitian, yakni Gadingsari, Kecamatan Sanden. Gagasan ini mirip dengan keberadaan legislatif di lembaga politik setingkat distrik sampai pusat. Upaya merealisasikan parlemen desa tentu bukan mudah 48 TFF, Celebrating Indonesia, Fifty Years With The Ford Foundation 1953-2003, 2003. Sebelumnya desk tersebut tidak ada di kantor perwakilan TFF Jakarta. 49 Bernas, 6/2/1999 50 Selo Soemardjan, [1981] Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta; Soedarisman Poerwokoesoemo[1984] Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 51 Suhartono W. Pranoto, dkk, [2000] Parlemen desa : dinamika DPR Kalurahan dan DPRK Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta 108 dilaksanakan mengingat kehidupan politik di desa mengalami stagnasi selama pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Ornop penggiat demokrasi lokal di Yogyakarta mencatat paling tidak ada enam masalah mendasar yang dihadapi rakyat desa dalam masa transisi tersebut52, pertama, rakyat merasa dirinya bodoh. Posisi rakyat yang dimarjinalisasi pada dasarnya telah menjadi sarana yang paling efektif untuk menutup setiap kesempatan yamg dimiliki oleh rakyat. Kedua, rakyat mengalami ketergantungan. Apa yang dilukiskan oleh rakyat sendiri sebagai “kebodohan” terkadang menjadi sarana untuk ‘bersembunyi’. Rakyat pada gilirannya menyerahkan perubahan pada mereka yang anti perubahan. Ketiga, pandangan bahwa pemerintah adalah hukum. Keempat, warga pemerintah. Posisi pemerintah yang menjelma menjadi hukum, pada dasarnya makin memperkukuh kekuasaan pemerintah. Logika awal di mana pemerintah adalah hasil kreasi masyarakat untuk mengatasi masalah mereka, sama sekali tidak bisa berjalan. Kelima, mitos ekonomi dan anti-politik. Proses politik yang penuh dengan represi telah menempatkan rakyat menjadi pihak yang seakanakan (dan dalam kenyataan) tidak memiliki hak untuk ambil bagian dalam politik. Secara sistematik telah terbentuk mitos bahwa wilayah rakyat hanyalah ekonomi. Keenam, legalitas mengalahkan legitimasi. Kekuasaan absolut telah pula menjadikan rakyat terkena sindrom legalitas. Dalam sebuah pertemuan yang dilakukan oleh LAPERA untuk prakarsa parlemen desa, hampir selalu ditanyakan oleh masyarakat local apakah gagasan tersebut ada dasar hukumnya atau tidak. Bahkan dalam rapat-rapat ornop di pedesaan pada periode tersebut selalu ditanyakan apakah sudah ijin dengan aparat berwenang atau belum. Dalam perkembangannya gagasan untuk mengujicobakan parlemen desa, berbarengan dengan perumusan undang-undang otonomi daerah oleh Presiden BJ Habibie yang kemudian melahirkan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang didalamnya memuat regulasi tentang pembentukan Badan Perwakilan Desa 52 Himawan Pambudi, (edt) [2003] Jalan Baru Keadilan; Dokumen Pertemuan Konsolidasi Pembaruan Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta; Catatan Refleksi Lima Tahun Pembaruan Desa 1998-2003 (dari Parlemen Desa ke Institusionalisasi Demokrasi Desa hingga Pembaruan Desa), LAPERA Indonesia 109 (BPD). Dengan demikian gagasan tersebut menemukan titik legalnya ketika UU tentang pemerintahan desa yang baru diimplementasikan. Menstransformasi pandangan rakyat dalam sebuah sistem politik yang otoriter ke dalam sistem politik yang demokratis tidaklah mudah dilakukan. Dalam upaya mendorong berbagai tantangan politik yang berkembang, sekaligus merespon perubahan politik melalui pembentukan parlemen hasil pemilu 1999, LAPERA mengembangkan dialog kritis antara anggota DPRD hasil pemilu 1999 dan masyarakat desa. Dialog ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan politik egaliter yang sangat sulit didapatkan ketika Soeharto berkuasa, sekaligus memberikan jawaban berbagai problema politik rakyat diatas. Rakyat yang sebelumnya menganggap tabu membicarakan politik dan menganggap bahwa politik merupakan wilayah “terlarang” dengan dialog tersebut secara berlahan berubah. Kehadiran politisi di rumah-rumah penduduk secara langsung, telah membangkitkan kepercayaan dan keyakinan rakyat bahwa politik menjadi sesuatu yang “lumprah” dalam kehidupan sehari-hari rakyat desa. Dalam mengembangkan dialog antara DPRD dan rakyat di pedesaan, LAPERA kemudian mengembangkan kerjasama yang lebih luas dengan Harian Bernas, yakni membuka kolom tanya jawab antara DPRD dan masyarakat yang diberi nama FORUM RAKYAT. Rubrik ini terbit setiap hari Senin dengan difasilitasi oleh LAPERA selama dua tahun. Ciri lain dari perkembangan MS di Yogyakarta posta Soeharto adalah kerjasama yang intensif dengan media massa lokal, khususnya media cetak dan radio. Elemen gerakan MS di Yogyakarta leluasa mengisi berbagai kolom yang disediakan oleh media cetak, baik itu debat opini, kolom tanya jawab, ataupun sejumlah rubrik kerjasama lainnya. Kadangkala ornop langsung menjadi redakturnya dalam beberapa kolom opini kerjasama. Kalau pada waktu Orde Baru masih berkuasa, kerjasama dengan ornop boleh dikatakan sangat terbatas, hanya pada peliputan aktifitas LSM atau statment politik tertentu. Setelah Soeharto jatuh, media cetak memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkampanyekan berbagai gagasan LSM. Selain itu radio juga krap menjadi tempat bagi LSM untuk mengkampanyekan gagasannya. Selain media cetak, salah satu ciri lain dalam perkembangan MS posta Soeharto adalah maraknya penerbitan dibawah payung 110 LSM53. Penerbitan rupanya menjadi sebuah trend baru dikalangan LSM pada era ini karena dukungan yang sangat besar dari program-program donor. Hampir setiap program memiliki alokasi dana untuk penerbitan sebagai bagian dari kampanye. Selain kepentingan untuk mengembangkan kampanye terhadap gagasan yang diusung LSM, penerbitan juga berfungsi sebagai fund rusing LSM untuk menghindari ketergantungan lebih jauh terhadap donor. Inilah yang menjadikan mengapa kemudian Yogyakarta menjadi salah satu centrum penerbitan di Indonesia. Salah satu gejala baru pendekatan LSM dalam periode ini adalah berbagai program pengembangan kapasitas baik untuk aktifis gerakan sosial ataupun untuk masyarakat secara langsung. Sesungguhnya pengembangan kapasitas bukan hal baru di lingkungan LSM, hanya yang cukup menonjol pada periode ini adalah berkembangnya training advokasi dan politik di lingkungan LSM. Setiap program yang disusun dengan lembaga donor hampir selalu menyertakan training sebagai salah satu aktifitasnya. Training adalah kegiatan yang paling sederhana dan sebagian besar donor mendukung kegiatan ini. Dukungan donor memang sangat besar pada periode ini, selain The Ford Foundation juga beberapa lembaga donor governance seperti USAID – CSSP, Partnership Governance Reform, Ausaid, Novib dan lain sebagainya54. Memperkuat kelembagaan politik di desa adalah salah satu strategi yang ditempuh oleh kalangan MS di Yogyakarta. Memperbesar ruang partisipasi politik rakyat dikembangkan dengan mempengaruhi dan memperkuat Badan Perwakilan Desa (BPD), sebagai salah satu lembaga demokrasi di tingkat desa yang diamanatkan dalam UU No. 22/1999. Tugas BPD berdasarkan UU No. 22/1999 adalah (1) mengayomi yaitu menjaga adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan, (2) legislasi yaitu merumuskan dan menetapakan peraturan desa sersama-sama dengan pemerintah desa, (3)Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan 53 Adhe,[2007] Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007, Komunitas Penerbit Jogja, Yogyakarta, Untuk menyebut beberapa penerbitan yang berada di bawah payung LSM antara lain LAPERA Pustaka Utama, IRE Press, ATPMD “APMD” Press, Insist Press, Forum LSM, LKiS, dan lain sebagainya. 54 TFF, Op cit ; USAID – CSSP; Building The Foundation For Democracy, April 2005 111 peraturan desa, anggaran belanja, serta serta keputusan kepala desa . (4) menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau insatansi yang berwenang55. Dengan fungsi yang sedemikian vital bagi pertumbuhan partisipasi politik di pedesaan, LSM mengambil peran yang sangat besar dalam mengembangkan kapasitas politik para anggota BPD. Tanggal 13 Mei 2003 jaringan BPD se DIY membentuk jaringan untuk memperkuat dan memperjuangkan pelaksanaan otonomi desa56. Kemudian tanggal 19-21 Mei 2003 diselenggarakan pertemuan nasional BPD yang kemudian membentuk Asosiasi Badan Perwakilan Seluruh Indonesia (ABDESI). BPD merupakan kelembagaan baru yang dibentuk atas mandat UU No. 22/1999. Sebagai lembaga baru di desa dan memiliki otoritas politik besar, peran dan fungsi BPD menjadi penting dalam mengawasi kebijakan pemerintahan desa. Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah desa tidak dapat lagi semena-mena sebagaimana sewaktu UU No. 5/1979 diberlakukan. Bahkan kadang-kadang pemerintah desa dan BPD sering tidak menemukan mufakat terhadap kebijakan tertentu seperti yang terdapat di desa Ambarketawang dan beberapa desa lain di kabupaten Bantul57. Salah satu ciri lain dalam gerakan MS pasca Soeharto adalah kerjasama yang intensif dengan aparatur pemerintahan. Kalau pada waktu Orde Baru MS mengambil peran oposisi, pada era ini justru sebaliknya, bekerjasama untuk memperkuat kapasitas rakyat. Di Kabupaten Bantul misalnya, telah dibentuk Komite Pembaruan Desa (KPD) di masing-masing desa atas kerjasama UMY dan LAPERA. KPD terdiri dari anggota masyarakat, perangkat desa Badan Perwakilan Desa, untuk merumuskan dan mengawal kerja pembaruan desa di tingkat desa. Ini mirip dengan panitia agraria pada waktu pelaksanaan UUPA 1960. Di Kabupaten yang sama juga telah berlangsung satu kursus pembaruan desa yang disebut dengan Sekolah Pembaruan Desa (SPD). Kursus ini diikuti oleh kepala desa, anggota Badan Perwakilan Desa, masyarakat desa yang mendedikasikan kerja politiknya 55 Pasal 36 UU No 22 Tahun 1999 Bernas, 14/5/2003, Kedaulatan Rakyat, 2 4/2002, Bernas, 8/5/2003 57 Bernas,13/9/2003, Bernas, 3/10/200, Bernas, 31/10/2003, Bernas, 24/10/2003, Bernas, 3/9/2002, Bernas, 7/9/2002, Bernas, 8/5/2003. 56 112 bagi pembaruan desa. SPD merupakan kerjasama beberapa perguruan tinggi dan LSM yang ada di Yogyakarta, antara lain Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Fisipol Universitas Atmajaya, Fisipol Universitas Gajah Mada, IRE dan LAPERA58. Kerjama pengembangan demokrasi lokal bukan hanya terbatas pada implementasi kegiatan, tetapi juga pada konsentrasi isu. Beberapa universitas dan LSM di Yogyakarta kemudian mengembangan Jaringan Pembaruan Desa (JPD) yang bertujuan mengawal pelaksanaan otonomi di Yogyakarta. Kerjasama antara LSM dan universitas semakin erat dalam berbagai kegiatan, dan membentuk mutualism yang kuat. Keterlibatan perguruan tinggi dalam praktek pemberdayaan juga merupakan arena baru dalam era pasca Soeharto. Universitas sangat concern terhadap gagasan pemberdayaan di berbagai sektor sekalipun sesungguhnya kerja yang demikian sudah dikembangkan jauh sebelum era reformasi. Dukungan donor terhadap universitas dalam berbagai program pemberdayaan juga sangat melimpah, dan bahkan dalam banyak hal donor lebih menyukai universitas dalam menjalankan berbagai program karena dinilai lebih profesional. Kabupaten Bantul pernah memiliki hubungan yang buruk dengan kalangan MS di masa lalu terkait dengan pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin. Melalui kerjasama tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan paradigma di kalangan ornop melalui kerjasama dengan pemerintah. Karena pemerintahlah yang memiiki legitimasi dan legalitas untuk menggerakkan masyarakat. Dari merekalah memberdayakan masyarakat59. energi perubahan hendak diarahkan untuk Dengan keterlibatan pemerintah daerah dalam program-program yang digagas ornop dan kalangan universitas, maka upaya penataan kelembagaan akan jauh lebih efektif. Kerjasama semacam ini sesungguhnya telah selalu berlangsung di berbagai tempat, bukan hanya penguatan kelembagaan lokal, tetapi juga anggaran daerah, penyelenggaraan kursus dan keterlibatan ornop yang intensif dalam berbagai proyek pemerintah.. 58 Laporan Program Realisasi Pembaruan Desa, Yayasan LAPERA Indonesia, 2004 Lihat Laporan Lima Tahun Refleksi Pembaruan Desa, LAPERA Indonesia, 2003. Wawancara dengan Nurhadi, 2 Juni 2007 59 113 Selain mengenai penataan kelembagaan, salah satu yang perlu dicatat adalah pertumbuhan ornop yang memiliki perhatian terhadap dinamika politik lokal pedesaan. Pertama yang perlu dicatat dalam periode ini adalah berdirinya berbagai ornop yang concern terhadap masalah politik pedesaan, salah satunya adalah Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Karsa didirikan oleh aktifis Konsorsium Pembaruan Desa dan beberapa aktifis yang yang concern terhadap masalah ekologi dengan fokus pada persoalan-persoalan tranformasi sosial politik di desa. Bagian kedua yang penting juga untuk dicatat berkaitan dengan dinamika ornop politik lokal adalah perbedaan antara kelompok ornop yang mengusung ”pembaruan” desa dengan kelompok ornop lain yang memberi label ”pembaharuan” desa pada aktifitasnya. Sebuah pertengkaran eksistensi dikalangan ornop Yogyakarta yang mengusung transformasi pedesaan sedang terjadi. Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar diantara dua kelompok ini, tetapi eksistensi lembaga membutuhkan pengakuan, oleh karena itu membuat membangun wacana tanding diperluan agat diperoleh pengakuan60. Namun menguatnya perhatian terhadap masalah desentralisasi tidak dibarengi dengan menguatan di level nasional. Membesarnya gerakan desentralisasi justru dengan mudah dipatahkan oleh panggung politik formal di Jakarta. Ketika gerakan desentralisasi menguat di level daerah dan dukungan donor yang besar, namun pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 yang dianggap oleh banyak kalangan penggiat desentralisasi sebagai bentuk resentralisasi. Penyusunannya sediri dianggap tidak kredibel karena cacat partisipasi. Kerjasama antara LSM dan perguruan tinggi sangat intensif pada periode ini. Salah satunya adalah penyelenggaraan KKN alternatif dipedesaan. Sebagaimana kita ketahui, LSM memiliki jaringan kuat di pedesaan melalui berbagai macam program, sedangkan Perguruan Tinggi memiliki sumber daya intelektual yang besar. Penyelenggaraan KKN alternatif di pedesaan dengan 60 Untuk melihat fenomena tersebut, lihat Sindu Dwi Hartanto, [2003] Pembaruan Desa dan Krisis Hegemoni, Tesis Pada Program Sosiologi Pedesaan IPB, (tidak diterbitkan). 114 program-program khusus yang di gagas oleh LSM mendapat respon besar dari kalangan Perguruan Tinggi. Tercatat beberapa Perguruan Tingggi yang mengembangkan KKN model ini adalah Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Mahammadiyah Yogyakarta dan STPMD ”APMD”. Selain peranan LSM yang menonjol dalam upaya memperbesar peran politik parlemen desa, pemerintah desa rupaya juga bergerak sendiri membentuk asosiasi kepala desa untuk memperkuat posisinya. Di Kabupaten Kulon Progo di deklarasikan paguyuban lurah Bodronoyo yang merupakan persatuan lurah se kabupaten Kulon Progo. Di Gunung kidul dibentuk paguyuban Semar dengan tujuan yang sama. Di Kabupaten Bantul membentuk paguyuban Tunggul Jati. Tanggal 2 November 2000 kemudian dibentuk paguyuban lurah Ismaya yang merupakan akronim dari ing sedyo memetri asline Yogyakarta. Paguyuban lurah ini tidak dapat dilepaskan dari peran Notosoewito yang merupakan lurah Argomulyo, masih bersaudara dengan Soeharto61. Dalam perkembangannya Semar memiliki peran sangat besar dalam dinamika politik di Yogyakarta, khususnya berkaitan dengan keistimewaan dan pemilihan Gubernur. Dengan posisinya sebagai kepala desa (lurah) paguyuban semar mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar untuk mendukung proses politik yang diperjuangkan. Diluar kelembagaan politik di tingkat desa, di Yogyakarta juga berkembang upaya memperkuat posisi politik rakyat melalui pembentukan serikat tani. Di Yogyakarta sangat jarang kasus tanah yang menimbulkan sengketa berlarut sebagaimana yang terjadi di Kedung Ombo. Namun hubungan-hubungan politik telah terbangun melalui berbagai aktifitas LSM, khususnya yang bergerak di masalah agraria dan lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DIY adalah salah satu konsorsium LSM di Yogyakarta yang melakukan advokasi terhadap kebijakan Taman Nasional di Gunung Merapi. Dalam mengembangkan advokasi berkaitan dengan taman nasional WALHI membentuk komite lokal dengan nama Komite Rakyat Lereng Merapi dan kemudian berkembang menjadi Forum Masyarakat Lereng Merapi (FMLM)62. WALHI 61 62 Bernas, 1/4/2000; Laporan program LAPERA, 2002 Radar Jogja, 21/6/2006. 115 adalah salah satu elemen MS yang percaya bahwa pengorganisasian menjadi jalan untuk memperkuat rakyat marginal. Sekalipun dalam beberapa hal WALHI mengembangkan kerjasama dengan pemerintah, namun sikap oposan masih menjadi ciri terpenting kelompok ini. Di luar WALHI, LBH Yogyakarta juga salah satu elemen yang berkeyakinan bahwa pemerintahan post Orde Baru memiliki kemauan baik untuk melindungi rakyatnya. Dengan pengalaman sebagai bantuan hukum struktural, LBH memiliki banyak kontak dengan masyarakat desa. Salah satu divisi dalam LBH adalah Divisi Tanah dan Lingkungan. Divisi ini banyak menangani sengketa tanah dan lingkungan di DIY dan Jawa Tengah. Melalui divisi ini dan bekerjasama dengan beberapa lembaga yang ada di Yogyakarta, LBH mendeklarasikan Serikat Tani Merdeka (SETAM)63. SETAM merupakan salah satu model serikat rakyat yang dipelopori oleh LSM, oleh karena itu model organisasinyapun tidak jauh berbeda dengan LSM, terutama dalam kemandirian terhadap donor. Sekalipun SETAM merupakan organisasi yang berbasis pada massa, yang berbeda dengan LSM yang bercirikan pada staft, tetapi dalam prakteknya seringkali mengadopsi model LSM untuk mengembangkan organisasinya. Sebagai contoh dalam soal pendanaan, SETAM mencari dukungan dari lembaga donor ketimbang mengembangkan partisipasi anggotanya. SETAM pada tahun 2000 mendapatkan dukungan dari USAID – CSSP untuk program penguatan organisasi tani. 6.3.2. Gerakan Feminis di Yogyakarta Pelopor ornop perempuan di Yogyakarta adalah Yayasan Anisa Swasti (Yasanti) yang didirikan pada tahun 1982 oleh beberapa mahasiswi di Yogyakarta. Yasanti memberikan perhatian terhadap nasib buruh perempuan64. Sesudah Yasanti berdiri, berbagai ornop perempuan berkembang dengan pesat di Yogyakarta diantaranya adalah Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY), Yayasan Kesejahteraan Fatayat yang berafiliasi dengan NU, Rifka Anisa, SP Kinasih, Senjata Kartini (Sekar) yang berafiliasi dengan PRD, Koalisi Perempuan 63 Bernas, 28/8/1999 Wawancara Kumoro Dewi, 6 Januari 2007, Katalog LSM/LPSM DIY, BP Forum LSM/LPSM DIY 1991-1994 64 116 Indonesia, Tjoet Nya Dien, LBH APIK, Lembaga Studi Perempuan dan Anak, IHAP, PKBI, dan beberapa Pusat Studi Wanita (PSW) universitas. Dalam melihat pola, interrelasi antar ornop perempuan di Yogyakarta, akan lebih dalam kalau menggunakan kasus yang terjadi di Yogyakarta pada medio 1998-2004. Selain Yasanti yang menjadi embrio gerakan ornop perempuan di Yogyakarta, kiranya kita perlu melihat ornop yang berada dalam koordinasi nasional, yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Konsentrasi organisasi ini adalah pada kesehatan reproduksi, termasuk didalamnya adalah soal HIV/AIDS pada kelompok rentan seperti PSK, homoseksual, dan lain sebagainya. Sekalipun gerakan perempuan bukan merupakan salah satu pilihan stretegisnya, namun karena perempuan merupakan kelompok masyarakat yang paling berkaitan dengan kesehatan reproduksi, maka PKBI memasukkan masalah gender dalam memahami persoalan perempuan. Sebagai contoh adalah kelompok dampingan mereka di Pasar Kembang, salah satu lokalisasi terbesar di Yogyakarta. Bersama Griya Lentera, PKBI mengorganisir para PSK melalui Bunga Seroja, untuk meningkatkan posisi tawar perempuan pekerja sex dalam penggunaan kondom sebagai cara melindungi dari penyakit menular sexual. Tetapi justru bukan pada pengorganisasian perempuan, ornop ini menuai masalah berkaitan dengan gerakannya. PKBI juga mengorganisir kelompok homoseksual dan trans jender di Yogyakarta. Tanggal 11 November 2000, PKBI dan kelompok dampingannya menyelenggarakan acara "Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000” yang diikuti komunitas Gay dan Lesbi dari berbagai daerah. Tidak disangka sebelumnya, acara tersebut tiba-tiba diserang oleh Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), salah satu ormas kepemudaan yang berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan65. Peristiwa bentrokan semacam ini biasa terjadi di Yogyakarta antara organisasi pemuda yang berafiliasi ke partai dengan kelompok sosial lainnya. Bentrokan paling sering terjadi antara mahasiswa yang dituduh komunis dengan organisasi seperti FAKI, Gepako, atau GPK. Peristiwa tersebut membuktikan perbedaan cara pandang antara ornop dengan masyarakat terhadap masalah tertentu. Dari sisi perjuangan 65 Pernyataan sikap Indonesia Gay Society (IGS) tanggal 12 November 2000 117 kemanusiaan dan universalisme nilai, apa yang dilakukan PKBI merupakan sebuah langkah positif. Tetapi masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap isu tertentu. Perbedaan semacam ini sering terjadi antara ornop dengan masyarakat, sebagaimana yang terjadi dengan organisasi massa perempuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) wilayah Yogyakarta. KPI didirikan tanggal 14-17 Desember 1998, dalam sebuah pertemuan para aktifis feminis Indonesia di Yogyakarta. Beberapa aktifis perempuan memberi acungan jempol terhadap organisasi massa perempuan yang barangkali merupakan organisasi massa perempuan pertama yang berdiri sejak Soeharto tumbang. Beragam isu diangkat oleh ormas ini, salah satunya adalah affirmative action. Affirmative action adalah perlakuan khusus yang diberikan kepada perempuan untuk duduk dalam kelembagaan politik seperti parlemen mengingat sangat minimnya jumlah perempuan yang mengambil bagian dalam keputusan politik. Kampanye yang dilakukan KPI adalah mendorong partai politik untuk memberikan porsi lebih banyak kepada perempuan untuk menjadi calon legislatif. Selain itu KPI juga mempromosikan supaya para perempuan memilih perempuan dalam pemilu 200466. Selain mempromosikan keterwakilan perempuan dalam kelembagaan politik, KPI juga mendorong pemberian porsi anggaran yang lebih besar kepada kaum perempuan sebagaimana yang juga dilakukan oleh kalangan ornop lainnya di Yogyakarta atau berbagai daerah di Indonesia. Sejauh menyangkut tentang promosi politik, aktifitas ornop di Yogyakarta tidak akan berhadapan dengan nilai sosial yang dipegang oleh masyarakat Yogyakarta. Namun kalau bersentuhan dengan tema yang dianggap tabu, seringgali gerakan perempuan akan menghadapi tantangan yang berat. Sebagai contoh adalah pengelenggaraan pentas monolog yang diberi judul ‘Vagina Monolog’. Pentas ini dilaksanakan tanggal 7 Maret 2003 dengan melibatkan 18 perempuan yang terdiri dari artis panggung dan aktifis perempuan. ‘Vagina Monolog’ bertutur mengenai berbagai kekerasan yang dialami perempuan terkait dengan posisinya yang tersubordinasi dalam panggung ekonomi, 66 Semai, Edisi IV/April 2003; Semai Edisi VI/ Juni 2003; Semai Edisi VIII/Agustus 2003; Semai Edisi IX/september 2003, Wawancara dengan Mulyandari, 26 Juli 2007; Bernas, 24-26//2/2003 118 sosial, budaya dan politik67. Bukan pentas ini yang menjadi heboh dan kemudian menjadi polemik di media massa lokal, tetapi keterlibatan GKR Hemas, permasuri Sultan, yang sedianya akan menjadi salah satu pemain dalam petas monolog tersebut. Pada mulanya GKR Hemas bersedia untuk tampil dalam salah satu sesi acara tersebut. Keterlibatan GKR Hemas tentu merupakan simbol dukungan yang besar bagi gerakan perempuan di Yogyakarta. Namun secara tiba-tiba, 3 hari sebelum pementasan dilangsungkan, GKR Hemas membatalkan keikutsertaannya dalam pentas monolog tersebut68. Alasan yang disampaikan GKR Hemas adalah karena tema yang diangkat dalam pementasan tersebut terkesan kontroversial. Sebagai publik figure, apalagi sebagai simbol feodalisasi Jawa, keterlibatan GKR Hemas tentu saja dapat menuai kecaman dari publik, khususnya mereka yang masih perpandangan konservatif terhadap seksualitas. Kampanye semacam ini tetap menjadi ciri gerakan MS di Yogyakarta. Metode yang digunakan tetap menggunakan panggung wacana sebagai basis gerakan, ketimbang masuk kedalam politik riil. KPI tetap memposisikan sebagai organisasi non partisan sampai sekarang69. Dengan corak dan metode organisasi yang tidak jauh dari model organisasi yang berbasis pada staft, KPI tetap menggantungkan sumber pendanaannya dari donor luar negeri. Upaya mengembangkan iuran anggota sebagai salah satu ciri ormas, tetap sulit dilakukan mengingat pola relasi yang terbangun masih berbasiskan pada elitisme personal. KPI memang menyelenggarakan pemilihan Sekretaris Jendral secara langsung dan demokratis, tetapi upaya ini tidak berpengaruh banyak terhadap upaya membangun partisipasi anggota yang lebih besar, khususnya berkaitan dengan pendanaan. Ciri untuk tetap menyertakan ormas dalam proses mendorong wacana yang diinginkan adalah salah satu ciri gerakan perempuan pasca Soeharto. Kita mengetahui semua bahwa pada jaman Soeharto membangun ormas adalah tindakan subversif. Oleh karena itu wacana organisasi berbasis massa, selalu menjadi bagian dari metode MS di Yogyakarta. Sebagai contoh adalah hubungan antara Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) dengan kelompok advokasinya, Pembantu Rumah 67 Bernas, 10/3/2003. Bernas, 5/3/2003 69 Semai Edisi IX / September 2004 68 119 Tangga (PRT). RTND didirikan pada tanggal 9 April 1995 dengan fokus perhatian terhadap PRT. Lembaga ini berpandangan bahwa PRT yang mayoritas adalah perempuan, belum diakui kedudukannya dalam hubungan kerja yang layak dalam struktur sosial keluarga. Untuk memperjuangkan upaya tersebut RTND membentuk Jaringan Pekerja Rumah Tangga (JPRT). Pendekatan terhadap advokasi kebijakan juga menjadi ciri aktifitas ornop post Soeharto. Kalau jaman Orde Baru, aktifitas politik ditujukan untuk membongkar praktek kebijakan yang kotor sebagai cara untuk mendelegitimasi kekuasaan, setelah Soeharto jatuh advokasi ditujukan untuk melembagakan berbagai kebijakan yang dianggap pro rakyat. Kita akan menjumpai berbagai aktifitas ornop yang ditujukan untuk melembagakan isu berkaitan dengan regulasi anggaran, peraturan daerah, ataupun undang-undang. Dalam kaitan dengan regulasi itulah tujuan RTND dan JPRT adalah mendorong lahirnya peraturan daerah yang melindungi PRT. Namun sudah lebih dari lima tahun upaya tersebut belum berhasil dilakukan sekalipun komitment dari pemerintah dan DPRD sudah seringkali ditagih. Ini berbeda dengan upaya Rifka Anissa dalam pengalamannya mendorong UU tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Rifka Anissa adalah salah satu ornop di Yogyakarta yang concern terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga didirikan pada tahun 1990. Awalnya. Sri Kusyuniati, direktur Yasanti—sebuah LSM yang bekerja untuk advokasi buruh perempuan--- menemukan banyak buruh perempuan yang didampingi mengalami kekerasan. Tidak hanya di pabrik, tetapi ketika pulang ke rumah pun mereka mengalami kekerasan. Sistuasi ini mendorongnya untuk mendirikan Women’s Crisis Center (WCC) di Indonesia. Usaha pertamanya untuk mendirikan WCC bersama aktifis perempuan di Yogyakarta menemui kegagalan. Kemudian beberapa aktifis perempuan di Yogyakarta mendirikan Rifka Anissa Women’s Crisis Center Yogyakarta pada tanggal 26 Agustus 1993. Rifka Anissa adalah WCC pertama di Indonesia. Tahun 1995 merupakan babak baru dalam perjalanan Rifka Anissa, yakni mulai bersentuhan dengan perspektif gender. Sesungguhnya masalah KDRT sudah menjadi perbincangan lama, hanya dalam konteks yang berbeda. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) telah mengangkat masalah polygami dan feodalisme 120 yang menjadi akar dari KDRT 70 . Di dalam melakukan advokasi, Rifka Anissa memiliki kemampuan untuk membangun empati terhadap suara korban dengan menghadirkan secara langsung para korban dalam ruang publik melalui talk show di radio ataupun TV lokal. Beberapa stasiun radio mengembangkan kerjasama dengan Rifka Anissa untuk menyelenggarakan berbagai acara seperti talk show, ruang konsultasi, bahkan pembuatan sandiwara radio sampai dengan film dokumenter71. Rifka Anissa memperoleh dukungan yang besar dari media massa nasional untuk ruang advokasinya. Harian Kompas bahkan memberikan rubrik khusus tentang persoalan perempuan dalam ‘Swara’ dimana banyak memuat tulisan aktifis perempuan dan masalah KDRT menjadi salah satu topik yang mendapat porsi khusus72. Barangkali Rifka Anissa adalah satu-satunya ornop yang mampu mengemas sebuah isu –dalam hal ini KDRT---dari sejak permulaannya sampai menjadi regulasi politik nasional . Selain berbagai ornop dan ormas perempuan di atas, pertumbuhan ornop perempuan post Orde baru merupakan fenomena penting. Dapat dikatakan bahwa tahun-tahun sesudah Orde Baru jatuh, wacana gerakan feminis cukup menghangat di Yogyakarta. Selain ornop lokal, juga beberapa ornop merupakan cabang dari ornop yang ada di Jakarta seperti LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) yang fokus pada letigasi perempuan korban kekerasan. Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY) juga merupakan salah satu ornop perempuan yang peduli terhadap perdagangan perempuan dan penguatan wacana feminisme di tingkat lokal. Selain soal masalah-masalah diatas, anggaran untuk perempuan dan pendidikan politik untuk perempuan kiranya juga menjadi tema penting dalam advokasi ornop di Yogyakarta. Kedua masalah tersebut tidak selalu menjadi wilayah kerja ornop perempuan, tetapi dapat menjadi wilayah kerja ornop yang tidak secara khusus mengusung ideologi feminis dalam lembaganya. Sebagai contoh adalah LAPERA dan IDEA, dua ornop yang peduli pada masalah pedesaan dan anggaran. LAPERA sejak awal telah mengembangkan wacana 70 Lihat Saskia Wieringa [1999] Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta 71 Tulus [2002] Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan; Kisah-kisah advokasi di Indonesia, Insist Press, , hal 273. 72 Kompas, 26/5/2003, Kompas, 14/10/2002 121 demokratisasi desa menjadi salah satu topik utama advokasinya. Secara khusus aktifitas LAPERA selalu bersinggungan dengan kelembagaan desa. Namun dalam beberapa hal, persinggungan dengan perempuan di desa yang masih termarginalisasi mendorong LAPERA untuk mengembangkan advokasi mengenai partisipasi perempuan di pedesaan melalui pendirian Instutut Penguatan Peran Politik Perempuan (IP4). Fokus utama lembaga ini adalah melakukan pendidikan politik untuk perempuan pedesaan supaya memiliki kesempatan mengambil bagian dalam kebijakan politik di desa73. IDEA (Institut Development and Economic Analysis) merupakan ornop yang peduli terhadap korupsi dan transparansi anggaran. Dalam perkembangan programnya IDEA juga melakukan advokasi mengenai gender bugeting, baik di kabupaten ataupun pedesaan. Di Kabupaten Gunungkidul, IDEA mengembangkan advokasi anggaran untuk kesehatan perempuan. Nafas gerakan perempuan yang berbeda dilakukan oleh Senjata Kartini (Sekar). Sekar adalah organ gerakan feminis dari sebuah partai politik. Umumnya anggota Sekar adalah anak muda yang tidak hanya fokus pada persoalan perempuan, tetapi juga meluas ke berbagai isu yang lain. Sebagai contoh adalah tuntutan Sekar berkaitan Hari Perempuan Internasional yang tidak memiliki kaitan langsung dengan persoalan yang dihadapi perempuan, seperti kenaikan upah buruh 100%, pembentukan UU bagi perlindungan buruh, jaminan pendidikan dan kesehatan gratis, pemberian subsidi bagi sarana produksi pertanian, pembentukan UU tentang perlindungan hasil produksi pertanian74. Kampanye melalui media adalah salah satu strategi yang berkembang setelah orde baru jatuh. Tidak mengherankan kalau koran lokal seperti KR dan Bernas bertebaran berbagai kolom yang diisi oleh para aktifis ornop. Bernas pernah menyelenggarakan kolom Perempuan dan Politik kerjasama dengan KPI DIY, LAPERA, SBPY, dan LBH APIK menyelenggarakan debat opini Perempuan DIY. Kedaulatan Rakyat pernah dan Keistimewaan DIY kerjasama Forum LSM DIY, KPI, LAPERA. Selain itu LBH APIK juga menyelenggarakan 73 Lihat Bernas, 22/4/2003, Bernas, 17-19/3/2003; Interem Report, Percepatan Pembaruan Desa Melalui Peningkatan Peran politik Perempuan, LAPERA – The Asia Foundation, 2002 74 Bernas, 8/3/2003 122 konsultasi hukum perempuan korban kekerasan di KR. Rubrik ini berisi konsultasi masalah perempuan di Yogyakarta. Bentuk-bentuk kerjasama dengan media menjadi sebuah model kampanye yang paling sering dilakukan oleh kalangan ornop di Yogyakarta. Tetapi kerjasama dengan media kadang-kadang menimbulkan dilema dikalangan ornop sebagaimana kasus yang terjadi pada Pemimpin Umum harian Kedaulatan Rakyat (KR) . Soemadi M. Wonohito (SMW) adalah Pemimpin Umum Harian KR, koran terbesar di Yogyakarta. SMW dituduh oleh Sri Wahyuni –stafnya – telah melakukan pelecehan seksual dan diperkarakan secara hukum. Kasus ini menjadi berita hangat di Yogyakarta karena menyangkut tokoh pemilik koran terbesar. Media massa yang menjadi rival KR tentu saja menjadikan kasus ini menjadi amunisi untuk membidik dan menjatuhkan KR. Demikian juga beberapa ornop perempuan yang ada di Yogyakarta bergabung dalam Koalisi Aktivis Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KAAKTP). Kelompok ini giat mendampingi korban untuk memperkarakan SMW secara hukum75. Akibatnya adalah berbagai siaran pers dan pemberitaan aktifitas ornop perempuan yang bergabung dalam koalisi tersebut tidak pernah mendapat liputan dari KR. LBH APIK jauh hari sebelum peristiwa tersebut muncul ke permukaan telah menjalin kerjasama dengan KR. Ketika kasus tersebut berkembang, LBH APIK memilih untuk berdiri diluar koalisi dengan bersikap netral. Pilihan tersebut sesungguhnya disayangkan oleh anggota koalisi yang lain, karena dengan demikian LBH APIK memilih tetap bekerjasama dengan KR dari pada pilihan idelismenya sebagai ornop yang memperjuangkan hak perempuan. Pilihan isu dan metode gerakan perempuan di Yogyakarta menjadi fenomena yang menarik untuk dipelajari. Pada ujung dari berbagai advokasi terhadap hak dan partisipasi politik perempuan, gerakan perempuan menemukan titik kebuntuan ketika diperhadapkan pada kenyataan bahwa salah satu calon Presiden padsa pemilu 2004 adalah perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri. Dengan alasan untuk tetap bersikap non partisan, pada babak akhir pelaksanaan 75 Bernas, 21/2/2003 123 pilpres, para aktifis gerakan perempuan tidak sedikitpun memberikan wacana tentang presiden perempuan. 6.3.3. Gerakan Tata Pemerintahan Yang Baik Tata pemerintahan yang baik menjadi salah satu tema LSM setelah Orde Baru jatuh. Peran lembaga lembaga donor dan keterbukaan politik mendorong kalangan masyarakat sipil, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terlibat intensif dalam program-program pengembangan demokratisasi dan transparansi pemerintahan. Topik seperti partisipasi transparansi, good governance, akuntabilitas, dan lain sebagainya menjadi jargon yang kerap diusung oleh kalangan LSM pada periode ini. Hampir tidak ada diskursus tanding dalam topik tersebut. LSM telah masuk dalam perangkap wacana yang dilontarkan donor untuk mereformasi sistem politik di Indonesia76. Longgarnya peran donor dalam mendukung wacana tersebut telah memicu pertumbuhan LSM advokasi yang memberi perhatian pada sistem pemerintahan lokal. Tidak mengherankan kalau LSM anti korupsi, advokasi regulasi partisipasi dan transparansi, serta advokasi anggaran banyak berdiri pada periode tersebut di Yogyakarta. Salah satu LSM yang memberikan perhatian terhadap tema tersebut adalah Forum LSM DIY yang merupakan wadah berbagai berbagai LSM di Yogyakarta. Forum LSM DIY menerima hibah dari The Ford Foundation sebesar 1,2 milyar untuk melakukan advokasi kebijakan berkaitan dengan partisipasi publik. Hibah tersebut digunakan untuk masa program dua tahun, dan diperpanjang beberapa bulan berikutnya77. Forum LSM DIY menegaskan tujuannya akan mendorong peran organisasi rakyat dalam mewujudkan pemerintahan yang partisipatif, akuntabel, dan transparan. Program advokasi kebijakan publik tersebut secara khusus ditujukan untuk mendorong lahirnya perda partisipasi publik di Kotamadya Yogyakarta. Dalam menjalankan program, Forum LSM DIY membagi anggotanya menjadi tiga tim yang dikoordinir oleh Manajer Eksekutif yang diberi 76 Mengenai kepentingan donor terhadap berbagai proyek yang berkaitan dengan tema kebijakan publik dapat dilihat Jurnal Wacana, Membongkar Proyek-Proyek Ornop, No. 16 Tahun VI/2004 Januari – April 2004 77 Dokumen Laporan Pertanggungjawaban Forum LSM Yogyakarta, 2002-2004, Bernas, 24/3/2003, Bernas, 25/3/2003, Bernas, 26/3/2003. 124 nama TAK (Tim Advokasi Kebijakan). Team tersebut terdiri dari team legislasi, tim pengorganisasian, dan tim kampanye. Tim legislasi bertugas menyiapkan draft rancangan peraturan daerah yang akan didesakkan menjadi regulasi di Kota Yogyakarta. Tim pengorganisasian bertugas untuk mengorganisir partisipan dan menjadi gerakan ekstra parlementer dalam upaya mendorong kebijakan. Sedangkan tim kampanye bertugas untuk menyiapkan daya dukung melalui pembentukan opini publik. Tim pengorganisasian melakukan kegiatan dengan membentuk forum-forum dialog di perkampungan. Sedangkan tim kampanye melakukan penerbitan berupa Jurnal dengan nama Jurnal Demokrasi dan leaflet dengan tema-tema yang disesuaikan dengan tujuan program. Pembentukan ketiga tim ini mirim dengan apa yang direkomendasikan dalam manual kursus advokasi oleh Insist78. Forum LSM DIY juga tergabung dalam koalisi yang didukung oleh CSSP -USAID terkait dengan tema partisipasi publik. Dalam perjalanan advokasi untuk penyusunan Peraturan Daerah (Perda) mengalami kebuntuan, bahkan sampai sekarang Perda tersebut tidak terealisasi. Rupanya partisipasi publik menjadi tema yang cukup menonjol dikalangan ornop Yogyakarta. Selain Forum LSM DIY yang secara serius memberikan perhatian terhadap masalah ini, beberapa isu yang berdekatan atau bahkan sama dengan apa yang dilakukan Forum LSM DIY adalah Yogyakarta Corruption Wacth (YCW), Jogjakarta Transparansi, Jaringan Advokasi dan Kajian Kebijakan Publik (Jangkep), masyarakat anti korupsi (MAKI), Aliansi Masyarakat Untuk Transparansi Yogyakarta (AMTY), Masyarakat Anti Korupsi dan Kekerasan Yogyakarta (MAKKY) dan sejumlah tema-tema sejenis dalam konteks lokal kabupaten. Perkembangan ini tentu saja menggembirakan dan sekaligus menimbulkan kerancuan bagi kalangan masyarakat sipil. Menggembirakan karena perkembangan politik dalam transisi demokrasi telah mendorong berbagai prakarsa MS untuk terlibat lebih jauh dalam proses politik di Yogyakarta, sesuatu yang sangat sulit terjadi ketika Orde Baru masih tegak. Namun disisi lain pertumbuhan 78 Insist adalah salah satu ornop yang concern terhadap advokasi dan perubahan sosial. Lembaga ini banyak menerbitkan buku-buku bertemakan advokasi dan pengorganisasian masyarakat sipil. Lihat Roem Topatimasang (edt) [2000] Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi Untuk Organisasi Non Pemerintah, Readbook, Yogyakarta 125 tersebut seringkali menimbulkan tumpang tindih dalam menyikapi isu tertentu. Sebagai contoh misalnya peran Forum LSM DIY sebagai wadah gerakan LSM di Yogyakarta yang kemudian menjelma menjadi lembaga tersendiri, sementara partisipannya seperti IDEA, Tjoet Nyak Dien dan lain sebagainya juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang dikerjakan oleh Forum LSM. Akibatnya daya kendali Forum LSM sebagai sebuah wadah LSM di Yogyakarta menjadi tidak signifikan. Kadang-kadang Forum LSM juga membentuk koalisi lain untuk untuk menyikapi berbagai masalah yang terjadi di Yogyakarta bersama-sama dengan LSM anggotanya. Sebagai contoh adalah kasus pembangunan Jogja Expo Center (JEC) di daerah Janti, Yogyakarta. Jogja Expo Center (JEC) digagas sebagai tempat ruang pamer dan kegiatan masyarakat DIY. Konon pembangunan gudung ini menghabiskan biaya Rp 42,5 milyar dari anggaran pemerintah DIY79. Pada mulanya gagasan ini tidak mengundang protes dari kalangan MS di Yogyakarta karena memang DIY memerlukan tempat yang representatif untuk berbagai kegiatan ekspo dan pertemuan. Menjadi masalah ketika ternyata dalam pembangunan tersebut ada indikasi korupsi dalam pengucuran dana untuk pembangunan kepada sejumlah anggota DPRD Propinsi DIY. Beberapa anggota DPRD DIY ditengarai menerima sejumlah dana dari kontraktor pembangunan untuk mempercepat pencairan anggaran tambahan pembangunan80. Sejumlah LSM di DIY segera bertindak untuk mendesak pengusutan kasus korupsi tersebut. Tanggal 11 Januari 2002 Parwi dan PKBH Universitas Ahmad Dahlan mengajukan barang bukti berupa cek yang mengalir ke beberapa anggota DPRD81. Pada bulan yang sama, 9 LSM termasuk di dalamnya Forum LSM DIY mendesak supaya kasus korupsi tersebut segera dituntaskan dan pelakunya dibawa 79 Koran Tempo Online, 4/2/ 2002 Gatra, 16 /10 /2002. Bersaman dengan kasus tersebut juga berkembang isu suap dikalangan DPRD DIY berkaitan dengan pemilihan Wakil Gubernur DIY, Sri Paku Alam VIII yang dikenal dengan kasus “Pakan Munyuk”, karena yang member suap adalah kepala kebun binatang Gembira Loka (Joko Tirtono). Kasus ini kemudian terhenti tanpa tindak lanjut dari kajaksaan. Kompas, 23 /2/ 2002 Radar Jogja, 22/2/ 2002, Bernas, 23 /2/ 2002 , Bernas, 1/2/2002, Kedaulatan Rakyat, 1/ 2/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 31/1/2002 81 Kompas, 12/1/2002 80 126 ke pengadilan82. Dalam perkembangan kasus korupsi tersebut akhirnya hanya satu anggota DPRD DIY, yakni Herman Abdurrachman yang diajukan ke meja hijau. Ini tentu merupakan proses politik dimana sekalipun korupsi dilakukan secara berjamaah, namun beberapa anggota DPRD berusaha meminimalisir korban83. Tentu saja kalangan MS mendesak supaya bukan hanya Herman Abdurrachman yang diajukan ke meja hijau, tetapi juga anggota DPRD lainnya yang diyakini terlibat dalam kasus suap tersebut. Berbagai aliansi masyarakat sipil dibentuk menyikapi kasus tersebut antra lain MAKI (Masyarakat Anti Korupsi), MAKKY (Masyarakat Anti Korupsi dan kekerasan Yogyakarta), AMTY (Aliansi Masyarakat Untuk Transparansi Yogyakarta). Pada tanggal 11 Mei 2002, MAKI mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap Herman Abdurrachman untuk membeberkan anggota dewan lain yang menerima suap84. MAKKY yang beranggotkan sejumlah elemen LSM di Yogyakarta juga mengeluarkan pernyataan serupa pada tanggal 10 April 2002. Dua bulan sebelumnya Forum LSM DIY yang tergabung dalam AMTY juga mendesak supaya kasus JEC diusut tutas85. Aliansi seperti diatas menjadi fenomena MS yang terjadi di Yogyakarta. Kalau ini dianggap sebagai sebuah strategi, sesungguhnya kurang memberi makna bagi perjuangan gerakan MS. Aliansi yang terbetuk umumnya anggotanya sama dengan aliansi lain atau sedikit berbeda untuk menyikapi masalah yang sama. Kadang antar elemen saling berkoordinasi dan memberikan statment dalam wadah yang berbeda. Akibatnya adalah seringkali terjadi jebakan dari mereka yang berdiri diseberang kelompok tersebut sebagaimana menimpa AMTY yang dituduh menerima suap dari pengusaha yang mengerjakan proyek JEC86. Sekalipun hal tersebut dibantah oleh para aktifisnya, namun paling tidak tuduhan tersebut telah menunjukkan betapa lemahnya kekuatan aliansi yang tidak terkoordinasi dengan baik karena dapat dengan mudah masuk ke dalam power game. Selain itu kadang kala masing-masing anggota aliansi masih mengeluarkan statment untuk kasus 82 Radar Jogja, 31/1/ 2002. Sembilan elemen tersebut antra lain Forum LSM DIY, AJI, LBH Jogja, YLKI, PBHI. YCW, LAPERA, IDEA, Tjoet Nyak Dien 83 Radar Jogya , 14/11/2002, Kompas, 10/6/ 2002, Bernas, 20 /7/ 2002 , Kompas, 17/10/ 2002 84 Bernas, 12/5/ 2002 85 Bernas, 11/4/ 2002 . Kedaulatan Rakyat 14/5/2002, Kompas, 5/2/2002, Kompas, 6/2/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 6/2/2002 86 Bernas, 1/3/ 2002, Radar Jogja, 1/3/ 2002, Kompas, 1 /3/ 2002 127 yang sama dan sering tidak dikoordinasikan dengan aliansi yang lain. Forum LSM DIY yang merupakan bagian dari aliansi masih mengeluarkan statment sendiri selain statment yang dikeluarkan oleh aliansi dimana Forum adalah bagian di dalamnya. Hal ini juga terjadi pada PARWI atau YCW yang mengeluarkan statment untuk kasus yang sama sekalipun keduanya merupakan bagian dari aliansi. Barangkali kebutuhan terhadap publisitas lembaga yang mendorong tetap harus tampil meninggalkan aliansi, sekalipun substansinya sama dengan yang diusung oleh aliansi. Kesan bahwa ornop tidak berada dalam koordinasi yang baik sangat nampak ketika mereka menyikapi berbagai masalah yang berkembang di Yogyakarta. Forum LSM DIY yang anggotanya terdiri dari 60 ornop kadangkadang membentuk aliansi untuk menyikapi isu tertentu bersama anggotanya. Dengan demikian Forum LSM telah menjelma menjadi lembaga tersendiri yang memiliki kedudukan politik sama dengan anggotanya ketika terlibat dalam advokasi. Kadang kala untuk yang sama masalah yang sama, Forum LSM DIY membiarkan anggotanya untuk bekerja membentuk aliansi sendiri tanpa Forum LSM terlibat sekalipun masalah yang disikapi memiliki keterkaitan dengan pendekatan forum. Ini yang terjadi pada Jangkep (Jaringan Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik). Selain melakukan advokasi terhadap korupsi JEC, beberapa kasus penggusuran dan korupsi juga menjadi fokus perhatian ornop. Kasus yang menonjol adalah pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai PKL87, dugaan penyimpangan anggaran di DPRD Kota Yogyakarta88, dan korupsi proyek saluran air hujan89. Jangkep adalah jaringan beberapa Ornop di Yogyakarta yang peduli terhadap kebijakan publik. Dalam bahasa Jawa, Jangkep berarti lengkap atau sempurna. Dengan demikian, secara filosofis, keberadaan Jangkep diharapkan dapat turut mendorong terwujudnya suatu kebijakan publik yang lengkap/sempurna 87 Radar Jogja, 10/10/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 10 /10/ 2002; Bernas, 11/2/ 2002 . Perda ini diadvokasi oleh YLKI, Yayasamn Cita Mandiri, Jogja Urban, LABH. YLKI dan LABH adalah partisipan Forum LSM DIY 88 Radar Jogja, 20/10/2002 89 Radar Jogja, 18/11/2003 , Radar Jogja, 11/12/2003. Bernas, 11/3/2004. Bernas, 18/3/2004 Kasus ini diadvokasi oleh Forum LSM DIY dan YCW. 128 dalam tatanan demokratis. Jangkep dibentuk tanggal 28 Oktober 2000 oleh beberapa LSM antara lain IDEA, JPMS, LBM,YLKI Yogyakarta, PBHI Yogyakarta,STA (komunitaS masyarakaT perkotAan). Pada awalnya personalpersonal pendiri Jangkep ini tidak mengatasnamakan kelembagaan mereka, namun merupakan jaringan aktifis ornop yang resah terhadap lemahnya dan dilemahkannya masyarakat oleh-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan publik. Perkembangan dari hasil-hasil pertemuan yang diadakan secara mingguan (setiap hari sabtu), dengan tempat yang bergiliran di sekretariat masing-masing lembaga akhirnya pada pertemuan di STA (komunitaS masyarakaT perkotAan), beberapa LSM bergabung antara lain, KOMPESHAM (Komunitas Peduli Syariah dan HAM), ELKAM (Lembaga Kajian dan Advokasi Media), dan Serambi Mataram. YLKI, IDEA, PBHI, dan Serambi Mataram adalah partisipan Forum LSM90. Kesembilan ornop tersebutlah di awal-awal kegiatan Jangkep saling bahumembahu melakukan pengkritisan dan advokasi terhadap berbagai kebijakan public di Yogyakarta. Bahkan pada saat melakukan advokasi terhadap RAPBD Propinsi DIY Tahun 2001, Jangkep sempat memprakarsai sebuah jaringan masyarakat yang lebih luas, yang tidak saja terdiri atas ornop, tetapi juga ormas, organisasi kemahasiswaan, yakni KAMTA (Kesatuan Aksi Masyarakat untuk Transparansi Anggaran). Forum LSM DIY menjadi anggota KAMTA. Koalisi ini memperjuangkan gender buged pada anggaran pemerintahan Provinsi DIY. Hal itu dilakukan setelah ditemukan data bahwa anggaran untuk kesejahteraan perempuan di provinsi tersebut nol rupiah. Di samping itu, proporsi anggaran belanja aparatur jauh lebih besar ketimbang anggaran belanja untuk publik. Setelah dirinci, jumlah dan besaran alokasi anggaran untuk kesejahteraan penduduk ternyata kurang dari 1 % dari total anggaran yang diusulkan. Puncaknya, jejaring koalisi tersebut sempat “menduduki” ruang parlemen saat acara pengesahan RAPBD 2003. Mereka menuntut adanya revisi pada usulan anggaran yang diajukan. Seiring dengan berjalannya waktu, jejaring tersebut bubar akibat berbenturan dengan kegiatan masing-masing anggota. Mereka memutuskan untuk menjalankan proses advokasi 90 Wawancara Dati Fatimah, 23 Desember 2007 129 sesuai dengan kepentingan atau focus lembaga masing-masing, agar hasilnya lebih optimal dan tidak terjadi tumpang-tindih dengan lembaga lain91. Dalam perkembangannya Jangkep mengkonsentrasikan pada kebijakan publik yang berkaitan dengan anggaran, khususnya APBD. Hal ini karena disadari bahwa lahan garapan tentang kebijakan publik sangat luas. Sedangkan sumber daya yang ada di Jangkep sangat terbatas. Selain itu, kebijakan publik anggaran/APBD dipandang merupakan isu yang penting untuk digarap, karena belum banyak jaringan/ornop/lembaga yang belum menaruh perhatian terhadap hal tersebut. Selain berbagai lembaga yang terlibat dalam berbagai advokasi diatas, banyak lembaga baru yang dibentuk setelah fase transisi demokrasi karena menariknya isu ini bagi kalangan MS. Jogjakarta Transparansi dan YCW adalah dua diantara banyak lembaga yang berdiri pada fase transisi demokrasi yang memberikan perhatian pada transparansi92. Lembaga ini bekerja secara sendirisendiri ataupun secara kolektif mendorong berbagai perubahan kebijakan di tingkat local. 6.3.4. Pemilihan Gubernur dan Keistimewaan Yogyakarta Tanggal 7 April 2007 adalah hari yang bersejarah bagi rakyat Yogyakarta. Hari itu bertepatan dengan pada acara peringatan Wiyosan Dalem (hari ulang tahun) ke-61 Sri Sultan HB X di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Bukan acara ulang tahunnya yang dianggap penting, tetapi pidato Sultan yang berjudul “Berbakti Kepada Ibu Pertiwi”. Dalam pidato tersebut Sultan HB X menyatakan “dengan tulus ikhlas tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008. Jabatan Sultan HB X sebgai Gubernur DIY akan berakhir pada Oktober 2008, dan ini adalah masa jabatan terakhir menurut ketentuan UU No. 32 Tahun 2004. 91 Aris Arif Mundayat(et al) [2006] Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, Women Research Institute, Jakarta. hal 89-90 92 Kedaulatan Rakyat, 9/10/2002; Bernas, 9/10/2002 130 Polemik mengenai jabatan Gubernur DIY sudah berlangsung empat tahun sebelumnya. Menjelang masa jabatan pertama berakhir, masalah jabatan Gubernur dan Keistimewaan DIY selalu berlangsung seru yang melibatkan kalangan MS di Yogyakarta. Substansi yang mengemuka adalah berkaitan dengan, apakah jabatan Gubernur DIY secara otomatis menjadi privillege (penetapan) Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan mempertimbangkan aspek sejarah dan cultural masyarakat DIY, atau dipilih secara demokratis sebagaimana amanat UU93. Persoalan ini yang kemudian mengemuka pada tahun 2003 ketika masa jabatan Gubernur DIY untuk periode pertama berakhir. Bagi sebagian besar masyarakat DIY, penetapan bukan semata-mata diletakkan pada konteks sejarah, tetapi juga kehormatan Keraton yang memiliki posisi sentral dalam aspek sosiologis dan kultural masyarakat Yogyakarta. Kalau jabatan Gubernur dipilih dan salah satu calonnya adalah Raja mereka, maka ini bukan saja akan mengancam kewibawaan Keraton, tetapi juga telah melanggar nilai-nilai sosial budaya masyarakat Yogyakarta karena menempatkan Raja sama dengan rakyat kebayakan dalam kompetisi politik. Bagian ini akan memberikan perhatian terhadap dinamika politik di Yogyakarta saat suksesi Gubernur akan berlangsung pada tahun 2003. Pemilihan Gubernur menjadi topik paling hangat di DIY pada waktu itu dan sekaligus membentuk kutub-kutub yang saling bertentangan satu dengan yang lain sesuai dengan kepentingan, peran politiknya dan kapasitas politiknya. Secara politik kita dapat membaginya dalam dua golongan, yakni parlementer dan ekstra parlementer. Tetapi itu saja tidak cukup, dalam posisi ekstra parlementer ternyata ada dua kelompok yang dicirikan oleh mobilitas politik, yakni golongan menengah terpelajar perkotaan dan masyarakat pedesaan yang diwakili perangkat desa. 93 Dalam konteks sejarah, bergabungnya Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI dapat dikatakan sebagai fase penting dari “Feodal” menjadi “Republik”. Maklumat 5 September 1945 dianggap menjadi tonggak penting, bukan saja bergabungnya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI yang baru terbentuk, tetapi juga peran sejarahnya di kemudian hari dalam pembentukan Republic Indonesia. 131 Ketiganya membentuk tali temali yang berujung pada penetapan atau pemilihan Gubernur DIY dengan melihat Keistimewaan sebagai dasar politiknya. Untuk bagian pertama kita akan melihat peran golongan menengah terpelajar yang direpresentasikan oleh LSM dan Perguruan Tinggi (Universitas). Golongan memiliki ciri yang tidak selamanya sama persis dengan apa yang diwakilinya, yakni, pertama, umumnya berasal dari kelompok yang tidak memiliki afiliasi politik, atau mereka yang mengklaim posisinya sebagai non partisan. Kedua, golongan ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, bahkan menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai kaum intelektual. Ketiga, memiliki pandangan politik moderat yang mengadopsi model politik kotemporer dengan jargon –jargon partisipasi, demokrasi, dan transparansi. Keempat, golongan ini tidak mewakili siapapun selain dirinya sendiri atau lembaga yang berbasis staft. Kadang ciri tersebut dapat ditambahkan dengan kemampuan mobilitas yang tinggi dan pembentukan opini yang lebih argumentative. LSM dan Universitas memiliki pandangan berbeda dengan Partai Politik dan masyarakat di pedesaan. Forum LSM DIY misalnya, dalam laporan akhir kepengurusan Dewan Pengurus Forum LSM Periode 2002-2004 menegaskan pandangannya terhadap polemik pemilihan Gubernur DIY. Forum LSM mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “wacana kritis”. Forum LSM DIY memandang kuatnya kultur feodal berimbas pada menyempitnya ruang demokrasi dimana partisipasi politik rakyat tidak dihargai. Forum LSM DIY mengupayakan serangkaian diskusi untuk memberikan wacana dan membuka ruang diskursus yang kritis atas proses-proses demokratisasi yang terkungkung dalam kuatnya kultur feodal di DIY dimana jabtan Gubernur menjadi hak istimewa Keraton. Dengan mengembangkan wacana kritis maka diharapkan ada proses peningkatan kesadaran rakyat untuk mendorong terwujudnya gerakan sosial, dan ini dianggapnya sebagai saripati demokrasi. Dalam mengembangkan wacana kritis tersebut beberapa LSM di Yogyakarta membentuk Koalisi Masyarakat Yogyakarta untuk Keistimewaan 132 (KMKY). Koalisi ini terdiri dari LAPERA, LBH, Forum LSM DIY, PLBH Persada, GMNI ’STPMD’, IRE. Inti dari koalisi ini dalah mendesak supaya pelaksanaan pemilihan gubernur DIY dilakukan secara demokratis sebagaimana daerah lain di Indonesia sesuai dengan semangat demokrasi dan Undang-undang94. Koalisi ini selain mengembangkan aksi untuk menuntut pemilihan Gubernur secara langsung, juga lobi ke parlemen Daerah yang secara konstitusional memiliki kewenangan politik. Selain mengembangkan dialog dengan berbagai kalangan, koalisi juga membangun opini melalui media massa dengan rubrik opini mengenai persoalan keistimewaan dan statment terhadap perkembangan polemik95. IRE adalah salah satu anggota koalisi. IRE bersama dengan anggota koalisi lainnya menyusun draft RUU Keistimewaan sebagai konsep tanding RUU versi pemerintah propinsi dan Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM. Salah satu point penting dalam RUU itu adalah menyangkut pemilihan jabatan Gubernur sebagai eksekutif yang yang langsung di bawah Sultan dan Paku Alam sebagaimana monarkhi Inggris96. Diluar kelompok LSM yang sudah ‘mapan’, terdapat beberapa LSM yang baru berkembang namun memiliki gagasan yang serupa. Sebagai contoh adalah Yayasan Ronggowarsito. Yayasan Ronggowarsito berniat menyelenggarakan debat publik terhadap calon-calon Gubernur, termasuk Sri Sultan HB X97. Sama seperti pandangan LSM, kalangan intelektual kampuspun tidak ketinggalan dalam mewarnai perdebatan Keistimewaan. Umumnya kalangan kampus sejalan dengan pandangan LSM, bahwa Keistimewaan bukan terletak pada jabatan Gubernur tetapi pada peran dan sumbangan Yogyakarta dalam mengembangkan demokrasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sri Sultan HB IX melalui Makulamat 5 September 1945. Dalam pandangan akademisi, penetapan Gubernur sebagaimana yang dikehendaki dalam bingkai Keistimewaan sudah tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang berkembang. Sultan dapat saja 94 Kedaulatan Rakyat, 29/9/2002, Kedaulatan Rakyat, 28/1/2003, Bernas, 15/8/2002, Kedaulatan Rakyat, 25/7/2002 95 Bernas, 15/8/2002 96 Bernas, 23/10/2002. Wawancara Titok Haryanto, 3 September 2007 97 Radar Jogja, 22/5/2003, Radar Jogja, 14/6/2003 133 didudukkan lebih tinggi dari posisi Gubernur, yakni semacam kelembagaan yang diberi otoritas untuk menyetujui calon gubernur dan memberikan fatwa berkaitan dengan persoalan pemerintahan. Formulasi ini juga sekaligus memberikan kesempatan kepada warga DIY untuk mengambil bagian dalam pemerintahan melalui konpetisi yang fair dan terbuka. Kelompok ini berpusat di UGM, khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sekalipun dalam lingkup satu Fakultas, sesungguhnya terdapat dua kelompok yang berbeda, satu dari Jurusan Ilmu Pemerintahan dan yang lainnya adalah Sosiologi. Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) merupakan kelompok yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri) untuk menyusun Draft Rancangan UU Keistimewaan DIY. Dalam berbagai kesempatan kedua kelompok ini sering tampil bersama membahas masalah keistimewaan melalui apa yang disebut Bulaksumur School of Thought, salah satunya adalah menyelenggarakan debat opini di Kedaulatan Rakyat98. Selain UGM, beberapa PKBH Universitas di Yogyakarta juga menyuarakan hal serupa seperti PKBH Universitas Ahmad Dahlan dan PKBH UMY99. Dengan posisinya sebagai akademisi, kemampuan dalam pembentukan opini di media lokal melalui statment ataupun kolom opini tentu sangat intens. Sudah menjadi hal rutin bahwa media massa pasti meminta pendapat kalangan kampus atau LSM. Berbeda dengan kalangan LSM dan Perguruan Tinggi, masyarakat desa memiliki pandangan sendiri berkaitan dengan Keistimewan DIY, khususnya jabatan Gubernur yang menjadi privilege Keraton. Keistimewaan berarti jabatan gubernur berasal dari Keraton. Paguyuban Lurah dan Badan Perwakiln Desa adalah motor penggerak kelompok ini yang tergabung dalam berbagai aliansi seperti Ismoyo (Paguyuban Lurah Yogyakarta) Forum Komunikasi BPD, Gerakan Rakyat Yogyakarta, dan Forum Jogja Asli (Forjas). Badan Perwakilan Desa adalah salah satu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 22/1999. Sekalipun baru, badan ini memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Forum Komunikasi BPD DIY sebagai wadah bagi gerakan 98 99 Kedaulatan Rakyat, 22-24 Juli 2002. Wawancara dengan Heru Nugroho, 2 Maret 2008 Radar Jogja, 2/5/2003 134 BPD menyatakan dukungannya terhadap Keistimewaan DIY100. FK BPD meminta supaya gubernur ditetapkan sebagai bukti keistimewaan. Pada tanggal 4 Mei 2003, FK BPD mendatangi DPRD DIY untuk meminta penetapan. Bahkan FK BPD mengancam akan melakukan judicial review terhadap UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000 tentang pemilihan kepala derah. Selain BPD, paguyuban lurah adalah kelompok yang konsisten pengusung pandangan ini. Tanggal 10 Mei 2003 paguyuban Ismoyo menuntut supaya RUU Keistimewaan mengakomodasi tuntutan untuk menetapkan Sultan sebagai Gubernur. Umumnya media selalu mengutip tokoh-tokoh dari kelompok ini mengenai pandangannya soal keistimewaan dan penetapan Gubernur. Hampir setiap pekan media mass lokal selalu memuat bertita kutipan wawancara dari ketua Ismoyo ataupun Forum Komunikasi BPD mengenai pandangan mereka soal keistimewaan101. Puncak dari seluruh kehendak masyarakat desa terhadap penetapan Gubernur DIY adalah pada bulan Juni 2003. Gelombang aksi massa pedesaan bertubi-tubi mendatangi DPRD Propinsi DIY. Tanggal 9 Juni 2003 ribuan massa dari berbagai kabupaten melakukan aksi pendudukan di DPRD DIY selama 6 jam. Mereka menuntut supaya Sultan segera ditetapkan sebagai Gubernur DIY102. Pada aksi kali ini Sultan sempat memberikan orasi dihadapan masyarakat dengan mengatakan ‘jangan ganggu rakyat Yogya’, satu pernyataan bernada ancaman sekaligus kekhawatiran. Tanggal 23 Juni 2003 giliran pamong se kabupaten Sleman melakukan aksi di DPRD dengan agenda serupa103. Dalam menjalankan tujuan politiknya, kadang-kadang stigma terhadap pendatang dan non pendatang dimunculkan untukn membendung pengaruh kelompok LSM dan intelektual. Kebayakan dari LSM dan akademisi bukan kelahiran Yogyakarta, mereka umumnya pendatang yang berniat belajar kemudian menetap di Yogyakarta, karenanya preferensi politiknya menjadi longgar. Forum Jogja Asli 100 Wawancara dengan Kasdiyono, 10 Juni 2007; Radar Jogja, 1/5/2003, Kedaulatan Rakyat, 1/5/2003. 101 Lihat misalnya Bernas, 6/5/2003, Radar Jogja, 2/6/2003, 102 Kedaulatan Rakyat, 10/6/2003, Bernas, 10/6/2003 103 Bernas, 24/6/2003, Bernas, 29/6/2003, Radar Jogja, 24/6/2003. Aksi pamong Kabupaten Sleman ini bergabung dalam paguyuban lurah Suryo Ndadri dan Forum BPD. 135 (Forjas) adalah kelompok yang memunculkan stigma bahwa mereka yang tidak setuju penetapan adalah masyarakat pendatang. Berbeda dengan dua kelompok di atas, DPRD sebagai lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional nampaknya berada dalam kegamangan. Partai adalah organisasi politik yang menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat secara konstitusional. Namun dalam konteks Keistimewaan DIY, agaknya partai politik gamang dalam menentukan sikapnya melalui parlemen. Jejak di media menggambarkan kepada publik bahwa telah terjadi tarik menarik di dalam parlemen berkaitan dengan apakah jabatan Gubernur ditetapkan atau dipilih sesuai amanat UU. No.22/1999. Kegamangan ini sesungguhnya sebuah kewajaran mengingat bagaimanapun parlemen adalah kelembagaan politik yang harus tunduk pada konstitusi. UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000 tidak mengatur secara jelas bagaimana mekanisme pengisian jabatan Gubernur di DIY, sementara UU Keistimewaan yang ditunggu-tunggu masyarakat DIY tidak kunjung terealisasi104. Dengan kondisi politik seperti itu maka tidak mengherankan kalau terjadi tarik ulur dalam penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Masalah pertama yang muncul adalah penyusunan tata tertip (tantip) dalam Pilkada yang akan menjadi dasar bagi parlemen untuk menjalankan pemilihan Gubernur. Pansus beranggotakan 17 orang dari lintas fraksi. Pembentukan pansus sudah menuai protes dari masyarakat karena dengan demikian Dewan telah menunjukkan niatnya untuk melakukan pemilihan bukan penetapan. Perbedaan pertama muncul dalam soal pencalonan. Berdasarkan PP No. 151 calon Gubernur yang kan dipilih harus ada minimal dua pasangan. Sedangkan sebagian besar pansus menghendaki kalaupun hanya ada satu calon maka itu sah105. Nampaknya sebagian pansus melihat kemungkinan hanya pihak Keraton yang akan menjadi calon Gubernur, tanpa memberikan kesempatan kepada calon lain untk berkompetisi. Sampai disini proses di Pansus menjadi deadlock 106. 104 Bernas, 21/3/2003 Kedaulatan Rakyat, 6/4/2003 106 Kedaulatan Rakyat, 9/4/2003 105 136 Golkar sebagai partai kedua di DPRD DIY dimana Sultan adalah salah satu fungsionarisnya segera membuat pernyataan dukungan terhadap Sultan HB X dan Paku Alam IX sebgai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan cara ditetapkan107. Sultan tidak tergesa-gesa merespon keputusan Golkar ini. Satu ciri kekuasaan dalam tradisi Jawa, seorang Raja tidak boleh memiliki ambisi kekuasaan, karena kekuasan ambisi kekuasaan akan merupakan amanat. Seorang Raja yang memiliki jatuh pada angkara murka dan mencederai kebangsawanannya. Berbeda dengan Golkar yang mendukung penetapan, PKB dan PAN nampaknya berada dalam ambigu. Disatu sisi kedua partai ini sepakat untuk menjaga keistimewaan dengan memprioritsskan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, tetapi disisi lain proses yang dilakukan harus tetap sesuai dengan UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000. Padahal dalam kedua regulasi itu posisi Yogyakarta tidak berbeda dengan propinsi lain di Indonesia. PDIP sendiri terlambat mengeluarkan sikapnya dibandingkan dengan Golkar soal penetapan walapun kemudian juga berikap sama108. Tarik ulur diantara partai politik ini yang membuat masyarakat Yogyakarta di pedesaan merasa jengah dan kemudian secara bertubi-tubi mendatangi DPRD DIY untuk menuntut penetapan. Rupanya partai-partai diluar Golkar dan PDIP memiliki kehendak sendiri dalam soal pemilihan Gubernur. Nampaknya mereka juga sedang mempersiapkan calon Gubernur diluar Sultan. Kemudian PKA, PAN, Fraksi TNI/Polri , dan Fraksi Persatun membentuk forum lintas fraksi untuk menyamakan pandangan dalam soal tersebut109. Ini yang kemudian menjadi blunder didalam tubuh empat fraksi tersebut karena dianggap tidak tegas dalam menentukan sikapnya. Terlebih setelah anggota PAN mengkritik sikap PA IX yang dianggap tidak memiliki visi pemerintahan110. Dengan demikian sikap di Parlemen terbelah menjadi dua, Golkar dan PDIP yang menginginkan penetapan dan FPKB, FPAN, FTNI/Polri dan F Persatuan yang tergabung dalam Forum Lintas Fraksi yang 107 Kedaulatan Rakyat, 7/4/2003 Kedaulatan Rakyat, 9/4/2003 109 Radar Jogja, 14/5/2003 110 Bernas, 12/6/2003, Radar Jogja, 24/5/2003. Wawancra dengan Imawan Wahyudi, 5 Maret 2006 108 137 menginginkan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam UU. Tekanan tentu saja mengalir ke Forum Lintas Fraksi karena sikapnya tersebut. Sampai disini proses berjalan alot dan penuh pertentangan, sampai kemedian PAN meminta fatwa ke MA untuk mengenai penetapan111. Sampai disini proses menjadi alot walaupun kemudian melalui berbagai pendekatan dan persetujuan pemerintah pusat, Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY Periode 2003-2008. DPRD pun merasa menjadi korban kebijakan pemerintah pusat akibat ketidakjelasan regulasi mengenai DIY 112 . Kejadian yang hampir sama terjadi berikutnya pada tahun 2008 sesudah Sultan mengeluarkan pernyataan tanggal 7 April 2007. 6.3.5. Gerakan Solidaritas dan Pluralisme Gerakan solidaritas menjadi salah satu fenomena penting di Yogyakarta dalam hubungannya dengan gerakan MS. Gerakan solidaritas ini tumbuh dalam berbagai peristiwa berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di Yogyakarta diluar konteks program yang umumnya dijalankan oleh LSM. Ciri penting gerakan solidaritas ini adalah sikap kerelawanan yang ditunjukkan dalam mengembangkan gagasan dan melakukan advokasi terhadap kasus tertentu. Umumnya mereka yang berada dlam ranah ini memiliki keyakinan terhadap sikap yang ditunjukkan pada berbagai aktifitas. Sekalipun model gerakan ini tetap dibatasi oleh lingkup tema atau kasus tertentu, tetapi gerakan ini umumnya bersikap indpenden dan memiliki fokus pada topik tertentu secara berkelanjutan. Ciri lain yang menonjol dari gerakan ini adalah solidaritas horisontal yang ditumbuhkan. Salah satu yang menonjol adalah gerakan lintas agama yang tergabung dalam Forum Persaudaran Umat Beriman (FPUB). FPUB didirikan untuk merespon perkembangan politisasi agama dan konflik berlatar belakang agama yang terjadi di Indonesia menjelang Soeharto jatuh. FPUB pada mulanya didirikan oleh bberapa tokoh agama di Yogyakarta 111 Bernas, 19/6/2003. Radar Jogja. 19/6/2003. Pada gilirannya kemudian PAN menyatakan dukungannya kepada Sultan HB X. Bernas, 23/6/2003 112 Bernas, 25/6/2003 138 yang ingin memberikan kontribusi secara significant terhadap proses perdamaian dan mengembangkan dialog lintas iman sebagai perwujudan sikap saling menghormati. FPUB, yang dideklarasikan 24 Maret 1997. Yang unik dari FPIB adalah wadah ini tidak memiliki struktur kelembagaan yang jelas, seluruhnya dijalankan karena rasa saling percaya dan menghormati. Siapapun dapat bekerja dalam wadah ini asal memiliki tujuan yang sama dengan apa yang diperjuangkan oleh FPUB. Dengan sifat keorganisasian yang cair dan rasa saling percaya diantara komunitasnya, FPBU tumbuh menjadi wahana yang dipercaya untuk mengembangkan wacana pluralism dengan energy tiada batas karena didukung oleh berbagai kalangan dengan cara swadaya. Pesona FPUB melalui gema nilai kemanusiaan lintas iman menginspirasi para pencinta perdamaian dan persaudaraan iman juga membangun komunitas sejenis. FPUB menginspirasi forum-forum lain di 15 kota di Indonesia. Di Nanggroe Aceh Darussalam namanya Forum Aceh Kemang; di Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Persaudaraan Umat Beriman; dan di Klaten (Jateng) Forum Kerukunan Umat Beragama. Seterusnya terbentuk pula wadah serupa di Purworejo dan Temanggung (keduanya di Jateng) serta Pulau Bali. Di Yogyakarta, komunitas lintas iman yang diprakarsai oleh FPUB telah bersemi di 73 desa di Yogyakarta. Dalam berbagai kesempatan, FPUB juga menjelma menjadi kelompok dinamis untuk mencegah kekerasan ketika situasi politik memanas. Sebagai Contoh adalah kampanye ‘Jogja Damai’ pada tanggal 22 Januari 2000 di alun-alun utara saat Gus Dur digoyang oleh Sidang Istimewa MPR. FPUB, KKY, dan beberapa organisasi kemasyarakatan melakukan kampanye supaya berbagai kerusuhan di Jakarta tidak menjalar ke Yogyakarta. Peran FPUB sangat besar dalam mengembangkan dialog yang didukung berbagai elemen, termasuk cendekiawan dan bahkan Sri Sultan HB X. . Berkat FPUB, sekarang banyak orang menyadari bahwa persaudaraan sejati tidak sekedar berarti asal tidak ada perseteruan, melainkan sikap menerima dan menghormati kelompok-kelompok agama lain dengan tulus, tanpa mempedulikan latar belakang dan mengejewantah dalam pergaulan hidup sehari-hari. 139 Namun sejumlah kritik juga singgah kepada tokoh-tokoh FPUB dengan mengatakan bahwa FPUB adalah organisasi sinkretis dan para pemuka agama yang terlibat di dalamnya telah meninggalkan agama mereka. KH Muhaimin sebagai pendiri FPUB dicap sebagai sebagai seorang Muslim yang murtad, Pastor Hadiatmaja dan Pendeta Bambang Subagyo dianggap sebagai figure yang tidak setia pada agamanya Ditengah menguatnya fundamentalisme agama, apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh FPUB dapat mengundang polemik, bahkan pertentangan. Forum persaudaraan itu telah menjadi mitra kerja Conference on Religion and Peace (yang beroperasi di tingkat nasional, regional, dan dunia), Comite Catholique Contre La Faim et Pour Le Developpement (komite Katolik Prancis untuk pembangunan dan penanggulangan kelaparan), dan Asia-Europe Meeting (ASEM). Selain FPUB, gerakan diffabel juga merupakan fenomena gerakan solidaritas yang tumbuh di Yogyakara pada transisi demokrasi. Difabel adalah individu yang memiliki kemampuan berbeda dengan orang pada umumnya. Mereka lahir atau mengalami sebuah keadaan yang memaksa mereka tidak seperti manusia pada umumnya. Tetapi golongan ini bukan cacat, tetapi memiliki kemampuan yang berbeda dengan orang normal. Sebab banyak diantara kaum difabel memiliki prestasi lebih baik dari orang yang dianggap normal. Istilah ‘diffable’ merupakan akronim dari differently able people113. Dria Manunggal adalah lembaga yang memberikan perhatian secara khusus kepada kaum difabel. Kegiatatabnya banyak mengembangkan kampanye mengenai hak-hak kaum difable seperti membuat sanggar belajar bersama, mngembangkan pelatihan guru tentang penyediaan buku-buku dan materi yang aksesibel bagi siswa tunanetra di 7 SMU di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini bekerjasama dengan SLB Negeri 3 Yogyakarta, SMU Muhammadiyah 3 Yogyakarta dan Departemen Pendidikan Nasional. Kini, kegiatan tersebut diselenggarakan bersama dengan Resource Center IX (RC) SLB Negeri 3 113 Mansour Fakih [2002] Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press, Yogyakarta 140 Yogyakarta dan Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan rencana strategi dan pengembangan pendidikan inklusi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pemberian beasiswa bagi 60 anak difabel di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dria Manunggal juga mengembangkan advokasi kebijakan berkaitan dengan fasilitas umum yang memiliki aksesibilitas terhadap difabel, anggaran, sampai hal politik untuk memilih dalam pemilu. Solidaritas terhadap pedagang kaki lima (PKL) dilakukan para mahsiswa yang tergabung dalam FPPI. Mereka menolak penggusuran pedagang yang sebelumnya telah menempati lokasi disepanjang Selokan Mataram114. Dengan alas an lokasi sekitar Selokan Mataram akan ditata, sejumlah pedagang yang menempati lokasi tersebut selama bertahun-tahun akan dipindahkan dalam satu lokasi. Sejumlah aksi protespun dilancarkan untuk menolak relokasi, karena dianggap tempat yang baru tidak menjanjikan115. Berbeda dengan setiap aksi yang hampir selalu menghadirkan LSM atau LBH, aksi PKL yang didukung FPPI ini relative steril dari advokasi LSM. Rupanya ada kesepakatan etika diantara MS di Yogyakarta untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam advokasi atas kasus tertentu kalau tidak diundang oleh elemen yang melalakukan advokasi. Advokasi semacam ini terus bergulir di Yogyakarta. Hapir bersamaan dengan pemilu 2004, mencuat masalah penataan parkir di DIY. Para juru parkir melakukan protes dengan kebijakan Pemerintah Kota dan melibatkan LSM di dalamnya. Berbeda dengan kasus PKL Selokan Mataram, aksi-aksi para juru parkir sepenuhnya diorganisir oleh LSM yang tergabung dalam Paguyuban Parkir. 6.4. Menjelang Pemilu 2004 MS gamang dalam menyambut pelakasanaan pemilu 2004. Paling tidak ada dua sebab mengapa kalangan MS di Yogyakarta menyambut dingin pelaksanaan pemilu 2004, pertama, selama masa transisi demokrasi tidak ada tanda-tanda yang 114 Selokan Mataram adalah saluran irigasi yang menghubungkan antra sungai Opak dan Sungai Progo yang dibangun semasa pendudukan Jepang. Menurut mitos wilayah Mataram (Ngajogjakarta Hadiningrat) akan makmur kalau kedua sungai tersebut menyatu. Pembuatan selokan mataram atas inisiatif Sri Sultan HB IX untuk menghindarkan warganya dari kewajiban romusha Jepang. 115 Suara Merdeka, 13/1/2004, Suara Merdeka, 19/12/2003) 141 menunjukkan bahwa status quo dapat digusur dari panggung politik. Soeharto tidak kunjung diadili, kasus-kasus pelanggaran HAM tidak terungkap, Golkar sebagai partai utama Orde Baru tidak dapat dimintai pertanggungjawaban bahkan menunjukkan eksistensi yang semakin kuat, politisi sipil kehilangan pamornya, dan sederetan fenomena lain yang intinya menunjukkan bahwa reformasi tidak membawa pengaruh terhadap konfigurasi politik. Kedua, nampaknya MS telah kehabisan energi dan strategi untuk terus melawan dan menunjukkan eksistensinya. Wajah oposisional tetap menjadi dominan ketika MS berhadapan dengan masalah politik yang justru menyebabkan hilangnya simpati atas model kerja yang ditumbuhkan. MS hanya dianggap ”canggih” dalam mengembangkan opini, sebuah metode yang dianggap basi oleh berbagai kalangan mengingat realitas politik yang memungkinkan setiap pribadi untuk bertarung memperebutkan pengaruh. MS dianggap tidak memiliki kaki yang riil, apalagi ditambah dengan stigma bahwa kelompok ini hanya mengandalkan dukungan dari donor luar negeri. Berbeda dengan pemilu 1999 yang lalu ketika donor internasional memberikan perhatian besar terhadap demokratisasi di Indonesia dengan menggelontorkan dana jutaan dolar untuk pemantauan melakukan pendidikan pemilih, pada pemilu kali ini nampaknya donor mulai ”menjaga jarak”. Tidak ada alasan yang jelas dari donor internasional mengenai hal ini, apakah karena keyakinan bahwa Indonnesia telah sampai pada fase demokratisasi yang lebih baik dan menyakinkan atau karena kecewa dengan transisi demokrasi di Indonesia . Pemilu 2004 memiliki makna penting bagi keberlanjutan demokrasi dan transisi politik. Selama lima tahun pemerintahan produk pemilu paling demokratis (pemilu 1999), dianggap tidak ada perubahan politik yang cukup berarti dalam panggung politik Indonesia dan hanya melahirkan elit baru yang memiliki track record koruptif. Agenda reformasi menggantung dalam tarik manarik politik, bahkan kecenderungan terjadi pembusukan politik yang ditandai dengan korupsi, oligarki kekuasan sampai dengan konflik. Pemerintahan sipil pasca reformasi (BJ Habibie, Gus Dur, Megawati) dianggap gagal memenuhi harapan rakyat dalam menuntaskan agenda reformasi. Dengan keadaan yang demikian, pemilu 2004 142 diharapkan akan melahirkan, pertama, pemilu 2004 diharapkan akan menghasilkan kekuatan politik baru yang dapat mengentaskan kebuntuan politik.Kebuntuan politik yang dimaksud adalah frustasi politik rakyat dimana berbagai persoalan sepanjang lima tahun semenjak 1999 justru mengalami kemunduran. Kedua, pemilu 2004 adalah pertaruhan politik antara kekuatan militer dan kekuatan sipil. Pemilu 2004 akan menjadi pertaruhan apakah demiliterisasi akan terus menguat atau justru sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa salah satu agenda reformasi yang diusung oleh gerakan MS adalah menuntaskan supremasi sipil. Ketiga, bagaimanapun pemilu adalah manifestasi kesadaran politik tentang makna kedaulatan. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih presiden dan wakil presiden secara langsung116. Pemilu 2004 memang sangat berbeda dengan pemilu 1999. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dalam perbandingan tabel sebagai berikut ; Tabel 1 Perbedaan Proses Pemilu Dalam Demokrasi Transisi dan Demokrasi Tertata Demokrasi Transisi Terbuka – bebas (baik terhadap peserta maupun pemilih Jurdil Disusun semudah mungkin (untuk membuka partisipasi seluas mungkin) Terbentuknya pemerintahan koalisi (pelangi-gotong rotong) Dadang Juliantara, 2003 Demokrasi Tertata Lebih selektif – menjadi jalan untuk perbaikan menyeluruh Memungkinkan pemilih untuk menolak mereka yang dianggap anti perubahan Diarahkan agar pemilih memiliki rasa tanggungjawab,dan rasa memiliki proses pemilu Koalisi terbatas-bahkan kemenangan mutlak Tabel diatas menunjukkan adanya perubahan atau perbedaan yang mendasar,yakni bahwa pemilu 2004, diharapkan menghasilkan kekuatan yang benar-benar pro pada pembaruan (reformasi)117. Berbagai persoalan mengurung gerak MS dalam menghadapi pemilu 2004. Sebagai salah satu kekuatan politik, MS dipandang bukan merupakan kekuatan 116 117 Himawan Pambudi, Pertaruhan Politik Rakyat Dalam Pemilu 2004, Bernas,15 /4/ 2003 Dadang Juliantara, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, , Bernas,17/4/2003 143 politik kongkret yang mampu membawa perubahan secara nyata, khususnya dengan semakin besarnya peran partai politiki sebagai organisasi politik yang memiliki hak untuk mengurus negara. Dengan model organisasi berbasis staft maka kemampuan MS hanya sebatas pada pembentukan opini belum sampai pada pengorganisasian yang kongkret. Selain itu MS menempatkan dirinya sebagai kekuatan moral yang memandang persoalan politik sebagai ”hitam putih”. Bahwa dalam politik terjadi kompromi, konsolidasi, dan negosiasi, seringkali tidak ditangkap sebgai sebuah proses. Dengan alasan sebagai kekuatan non partisan, MS justru terpenjara oleh wajah oportunisnya, dan menjauhkan diri dari riil politik kekuasaan.Akibatnya partai politik sebagai organ politik legal justru didominasi oleh figur-figur yang bermasalah118. Walaupun ada opini untuk melakukan kontrak politik dengan kalangan partai politik atau politisi, namun wacana tersebut tidak membawa efect terhadap perbaikan kualitas anggota parlemen. Dalam sebuah pertemuan di Kaliurang 15-17 April 2003 untuk merespon pemilu 2004, mereka yang hadir di Kaliurang memiliki kessimpulan bahwa LSM sebagai salah satu kekuatan MS memiliki kerja yang parsial, dan terkesan menjadi alat kepentingan lembaga donor. Ketika LSM bersinggungan dengan masalah riil politik, banyak kalangan LSM yang merasa gamang menghadapi persoalan tersebut dan memilih menjauh dari panggung politik. Perubahan-perubahan politik tidak dapat direspon dengan baik, yang berkembang adalah kemampuan carity dalam menyelesaikan persoalan rakyat yang sesungguhnya hal tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah. Sebagai salah satu pilar MS, peran LSM semestinya sangat penting dalam mendorong perubahan-perubahan yang berpengaruh terhadap kekuatan politik formal. Hubungan LSM dan rakyat semestinya permanen sebagai basis pengorganisasian yang akan mendorong rakyat untuk tampil memimpin.Dalam kaitan dengan hal tersebut seringkali LSM gagal dalam menyampaikan gagasan yang ingin dicapai. Namun demikian LSM memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan kekuatan politik lain; pertama LSM memiliki ruang yang lebih terbuka untuk bertemu rakyat dalam menjelaskan dan 118 Menuju Demokrasi Terkonsolidasi,Dokumen Rapat Konsolidasi Gerakan ProDemokrasi Menyongsong Pemilu 2004,15-17 April 2003 144 mengembangkan transformasi politik. Harus diakui bahwa LSM telah tumbuh menjadi salah satu pilar demokrasi melalui berbagai aktifitasnya. Sebagai salah satu kekuatan politik,LSM mampu datang dan bekerja bersama rakyat secara baik. Dibandingkan dengan partai politik, LSM memiliki jam terbang yang lebih tinggi kehadirannya ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu LSM umumnye memiliki komunitas dampingan yang lebih solid. Sebagai kekuatan partisan,LSM juga dapat bekerja secara intensif dengan media untuk mengembangkan berbagai opini. Dalam kondisi yang demikian, kita akan memilihat bagaimana MS di Yogyakarta bekerja menyongsong pemilu 2004. Komite Persiapan Pergerakan Indonesia (KPPI) adalah organ yang didirikan oleh aktifis LSM di Jakarta untuk menyongsong pelaksanaan pemilu 2004.Para deklarator KPPI antara lain Faisal Basri, Meilono Soewondo, Franky Sahilatua, Ade Indira Damayanti, dan Martin Manurung, Teten Masduki dan lain sebagainya. Dalam deklarasi tersebut Franky Sahilatua meluncurkan salah satu album yang menjadi tema penting pendirian KPPI yang berjudul ”Jangan Pilih Politisi Busuk”. Meluncurlah Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB) secara nasional. Ini adalah agenda MS untuk membendung politisi yang dianggap bermasalah selama menjabat sebagai wakil rakyat hasil pemilu 1999. Gerakan ini mirip dengan gerakan CAGE di Korea Selatan119. Di Yogyakarta GNTPPB segera saja disambut oleh kalangan Ornop/LSM yang dimotori oleh Forum LSM DIY. KPPI segera dideklarasikan di Yogyakarta bersama puluhan aktifis dan dosen dengan salah satu tujuannya dalah menghadang politisi busuk tampil kembali dalam pemilu 2004. Salah satu langkah yang ditempuh GNTPPB meneliti track record politisi dan mempublikasikan dalam koran ”SOSOK”. SOSOK memuat nama-nama politisi yang bermasalah dari berbagai partai politik di DIY, baik propinsi ataupun Kabupaten. SOSOK terbit tiga kali berturut-turut dengan memuat daftar politisi bermasalah di DIY. Salah satu terbitan ”SOSOK” memuat daftar 18 nama politisi bermasalah dari lintas parpol yang berkaitan dengan korupsi dan pelanggaran HAM antara lain Caleg DPR RI 1. 119 Tempo Interaktif, 10 Januari 2004 , Indra J. Pilliang, Menakar Efektifitas GNTPPB, Refleksi Untuk Masa Depan, Kompas, 5 Maret 2004, , Bergerak Menghadang Politisi Busuk, FLAMMA, Edisi 19/2004 145 H Totok Daryanto SE (Partai Amanat Nasional) 2. Hasan Joeffries SH MM (Partai Bulan Bintang), Calon DPD 1. Sutarno SH (Calon DPD No 8) Calon DPRD Propinsi DIY 1. Drs H Nur Achmad Affandi (PKB) 2. Nazaruddin SH (PAN) 3. Nuryadi (PDIP) 4. Drs Herkitanto Djawadi (PDIP) 5. Nuruddin Haniem SE (PAN) 6. H Umar Sri Yanto (PDIP) 7. Drs H Harowi Muhyati Msi (PAN) 8. Drs H Noor Harish (PKB) 9. Djati Waluyo (PDIP) 10. H Suwandono (P Golkar) 11. H Ahmad Asyaari (Partai Persatuan Pembangunan) 12. Ir Bambang Sunaryo (P Golkar) 13. Ahmad Dainuri Nur BA (PKB) 14. Karsono Soemodiharjo (PDIP) 15. Drs Gandung Pardiman (P Golkar)120. Totok Daryanto dianggap bermasalah dalam penerimaan dana pembangunan JEC bersama-sama anggota DPRD Propinsi lainnya seperti Nur Ahmad Affandi. Gandung Pardiman terlibat kekerasan ketika sekelompok aktifis pro demokrasi menyegel kantor DPD Golkar. Sebagian anggota yang lain dianggap bermasalah dalam penerimaan dana purna tugas sebagai anggota DPRD, dan sederetan masalah lain yang berkaitan dengan etika moral121. Kontan saja apa yang dilakukan oleh Forum LSM dan beberapa organisasi MS di Yogyakarta mengundang amarah para politisi yang dianggap busuk. Selain somasi dari DPD PKS Propinsi DIY, satu respon yang cukup keras datang dari Nazaruddin, anggota DPRD Kota Yogyakarta yang dianggap tersangkut kasus DPT. Anggota Komisi A DPRD Kota itu melayangkan somasi ke Direktur Eksekutif Forum LSM DIY, Tri Wahyu. KH yang sekaligus pemimpin Koran “SOSOK”. Dalam somasi yang dilayangkan oleh penasehat hukum Nazaruddin, Tri Wahyu dituntut untuk menyatakan penyesalannya dan memohon maaf kepada Nazaruddin karena dianggap telah melakukan fitnah dengan memasang iklan di tiga penerbitan lokal dan satu penerbitan nasional, paling lambat tiga hari sejak somasi 120 SOSOK Edisi 3,1 April 2004 Lihat Pers Release ““Menggugat Pesangon Anggota DPRD Kota Yogyakarta, 25 Februari 2004,MASAPEDE. Dalam kasus DPT beberapa anggota DPRD menganggap bahwa aktifis LSM tidak cermat karena tidak meneliti kebenaran kasus tersebut sebagaimana yang dialami oleh Suprih Hidayat dan Wajdi Rahman Kader PKS di DPRD Sleman. Keduanya pada 29 Januari 2004 secara tegas menolak DPT dan penolakan tersebut terdokumentasi dalam Risalah Sidang DPRD Sleman tanggal tersebut. Sementara, Wajdi Rahman yang ditulis menyetujuai dana purna tugas (DPT) dalam APBD 2004 DPRD Kota Jogjakarta sebesar 75 juta rupiah. Padahal, Wajdi Rahman juga menolak penganggaran DPT tersebut. Hal ini, bahkan kemudian terbukti, pada proses pengadilan, bahwa Wajdi Rahman merupakan satu-satunya anggota DPRD Kota Yogyakarta yang tidak terjerat hukum kasus DPT tersebut. Opini tidak terdokumentasi M. Ilyas Sunnah, Wasek III/Biro Pusat Informasi DPW PKS DIY.Bernas, 13/5/2004, Kompas, 2/4/2004 121 146 itu dilayangkan122. Kasus ini sempat menjadi berita hangat di Yogyakarta sekalipun kemudian tenggelam dalam hiruk pikuk pemilu. Totok Daryanto, Nur Ahmad Affandi, Gandung Pardiman, Noor Harish, dan Nazaruddin tetap terpilih sebagai anggota parlemen pada pemilu 2004. Sebuah langkah buntu telah dilakukan oleh kalangan MS di Yogyakarta. Selain soal GNTPPB, fenomena lain adalah pengisian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi DIY yang berjumlah 5 orang. LSM berusaha mempengaruhi komposisi keanggotaan KPU dengan mendorong anggotanya berasal dari kalangan LSM.Melalui uji publik dan dialog terbatas, LSM terus mempengaruhi anggota KPU Pusat untuk memilih wakil LSM dan Perguruan Tinggi yang dikenal baik oleh LSM123. Dari 10 calon anggota KPU DIY, 6 diantaranya berasal dari latar belakang LSM dan Perguruan Tinggi. Selain pemilihan anggota KPU, masuknya sejumlah kader LSM yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif juga menjadi fenomena dalam pemilu 2004. Salah satunya contohnya adalah Kasdiyono yang mencalonkan diri melalui PAN untuk menjadi anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo. Kasdiyono adalah ketua Forum Komunikasi BPD Propinsi DIY,sebuah forum yang dibentuk oleh LSM LAPERA. Dalam pemilu 2004 tersebut Kasdiyono terpilih sebagai anggota DPRD bahkan duduk sebagai ketua DPRD Kabupaten Kulon Progo124. Sultan dan Golkar adalah dua sisi mata uang dalam panggung politik di Yogyakarta. Sultan adalah kader Golkar tulen,yang pernah menjabat sebagai ketua DPD dan kemudian anggota dewan penasehat partai Orde Baru tersebut. Kita mengetahui bersama bahwa Sultan juga merupakan tokoh reformasi yang sangat dihormati di Yogyakarta. Menjelang Pemilihan Presiden 2004, Sultan mengikuti Konvensi Golkar untuk mendapatkan tiket sebagai calon Presiden dari partai tersebut. Walaupun kemudian Sultan mengurungkan niatnya,tetapi tidak pelak lagi keikutsertaan Sultan sebagai tokoh reformasi (dan juga Nurcholish Majid) dalam konvensi tersebut telah menjadi mesin cuci Golkar untuk memulihkan nama 122 Bernas, 26/3/2004 Bernas,10/2/ 2004 , Bernas, 30/3/2004, Bernas, 29/3/2004, Bernas, 24/4/2003, Bernas, 3/5/2003, Bernas, 26/4/2003 124 Wawancara Kasdiyono, 6 April 2006 123 147 baiknya125. Kalangan MS di Yogyakarta perlu merasa hati-hati untuk menyerang Sultan dan Golkar dalam pemilu 2004,karena bukan hanya berhadapan dengan internal Golkar, tapi bisa langsung berhadapan dengan Raja Jawa tersebut. Keadaan tidak selamanya sesuai harapan. Akhirnya SBY, seorang Jendral intelek memenangkan kompetisi politik dalam Pilpres 2004. Sebuah keadaan yang paradoksal dengan keadaan 6 tahun lalu. Di Yogyakarta sendiri, agenda yang digulirkan MS ternyata mengalami kebuntuan. Dalang pembunuh Udin tidak terungkap sampai sekarang, dalam soal demokratisasi lokal UU No. 32/2004 dianggap sebagai resentralisasi kembali kekuasaan pusat, kasus JEC hanya menyeret 1 orang saja dan sederatan masalah lain yang tidak tertuntaskan dengan baik. Demokrasi telah dibajak, demikian salah satu judul artikel Demos yang melakukan evaluasi terhadap transisi demokrasi di Indonesia126. 6.5. Ikhtisar Gerakan sosial pada periode pasca Presiden Soeharto mengalami perubahan dari metode dan tujuannya. Kalau sebelumnya gerakan memfokuskan pada satu platform yakni anti rezim, sesudahnya ada dua platform utama yang dikembangkan oleh gerakan, yakni dekontruksi kekuasaan, dan institusionalisasi demokrasi, sekalipun keduanya berada dalam satu payung, mereduksi kekuasaan Orde Baru. Metode yang berkembang juga mengalami pergeseran, kalau sebelumnya fokus pada aksi kolektif yang mengandalkan partisipasi luas dari peserta protes, sesudahnya selain tetap mengandalkan aksi-aksi protes juga diikuti dengan keterlibatan kritis (critical engagement). Berbagai organisasi gerakan social, terutama NGO berupaya mengkombinasikan stretegi advokasi dengan kerjasama. Strategi tersebut merupakan konsekuensi dari situasi politik yang berubah pasca Orde Baru. 125 Tempo, 23/10/2003, Kompas, 18/1/2004, Bernas, 22/10/2003 Lihat Demos, Transisi Demokrasi Telah Dibajak, Tempo, 10 /10/ 2004, AE Priyono, (dkk) [2003] Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, Demos – ISAI, Jakarta 126 148