86 BAB VI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DI

advertisement
BAB VI
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA, 1998-2004
6.1. Pendahuluan
Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden
Republik Indonesia. Siapapun tidak akan menyangka Soeharto akan mengundurkan
diri secepat itu, mengingat reputasinya dalam membendung setiap protes yang
ditujukan kepadanya sejak awal memerintah. Peristiwa ini adalah kegembiraan
sekaligus kegamangan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kegembiraan karena
tujuan politik telah tercapai, yakni mundurnya Soeharto dari jabatan presiden yang
dipegangnya selama tiga puluh dua tahun. Gamang karena sebagian besar rakyat
tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah Soeharto mundur.
Soeharto meninggalkan masalah mendalam terhadap sistem ekonomi politik
Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Soeharto telah meninggalkan krisis,
kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi. Pendapatan per kapita rakyat Indonesia
pada tahun 1996 mencapai 1.155 dollar/kapita dan pada tahun 1997 mencapai
1.088 dollar/kapita, tetapi pada tahun 1998 menciut menjadi 610 dollar/kapita. Dua
dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam
kondisi sangat miskin1. Dibidang politik, pemerintah Soeharto gagal dalam
melembagakan demokrasi akibat campur tangan militer yang terlalu jauh dalam
kehidupan politik sipil.
Salah satu penopang utama pemerintahan Orde Baru adalah birokratis
pemerintahan. Melalui UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 serta
intervensi militer dalam kehidupan sosial politik (dwi fungsi), Soeharto
membangun negara birokrasi otoriter. Orde Baru membangun pondasi persatuan
nasional diatas berbagai ketidakpuasan daerah dan kalangan sipil. Tidak
mengherankan begitu Soeharto jatuh, ancaman disintegrasi dan protes segera
1
Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Kompas, 21/12/1998.
86
berkembang dimana-mana, dan BJ Habibie yang paling menanggung resiko dari
seluruh persoalan yang diciptakan Soeharto.
Habibie
yang
ditinggal
pergi
oleh
Soeharto
untuk
meneruskan
pemerintahan, hampir kehilangan kendali atas seluruh ruang politik. Legitimasi
yang lemah ditambah dengan meledaknya ketidakpuasan atas kebijakan Soeharto
membuat Pemerintahan BJ Habibie dihadang oleh berbagai persoalan. Habibie
dianggap foto copy Soeharto. Kelemahan basis legitimasi inilah yang menyebabkan
Habibie membangun kapasitas kekuasaannya melalui penggunaan konsesi melalui
kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa menaikkan popularitas. Habibie praktis
kehilangan daya cekalnya terhadap berbagai gejolak yang muncul pasca Soeharto.
Satu-satunya pilihan yang ditempuh Habibie adalah menggunakan stretegi politik
layang-layang, menarik dan mengendalikan berbagai protes di masyarakat2.
Hari ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, suasana
Yogyakarta terasa lengang. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta menyimak
perkembangan politik nasional, khususnya setelah aksi besar sehari sebelumnya.
Hari itu hanya sedikit saja kendaraan yang lalu lalang di dalam kota sedangkan
seluruh perhatian masyarakat tertuju ke Jakarta, khususnya setelah Amien Rais
melakukan konferensi pers pada pukul 01.00 WIB tanggal 21 Mei 1998 dengan
substansi ”selamat tinggal pemerintahan lama, selamat datang pemerintahan baru”.
Pagi harinya jam 09.00 WIB Soeharto benar-benar meninggalkan Istana dengan
didampingi oleh Tutut putrinya.
Bagian dari laporan penelitian ini akan mengupas berbagai tema penting
yang terjadi di Yogyakarta pasca Soeharto mundur sebagai Presiden. Dengan topik
mengenai gerakan MS di Yogyakarta, laporan ini akan menghimpun beberapa tema
mengenai keadaan, strategi dan pengelompokkan MS
pasca Soeharto.
Sebagaimana kita bahas pada bab sebelumnya, pokok perlawanan MS sebelum
tanggal 21 Mei 1998 adalah menurunkan Soeharto dari kursi Kepresidenan.
Kekuasaan yang memusat ditangannya telah menjadikan Soeharto musuh bersama
(common enemy) MS. Tidak ada figur yang sedemikian penting dalam khasanah
Orde Baru selain dari pada Soeharto. Maka begitu Soeharto menyatakan berhenti
2
Tim Lapera [2000] Otonomi Versi Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
87
sebagai Presiden, kebingungan segera menyelimuti MS, dan fragmentasi pun mulai
muncul. Fragmentasi tersebut dapat menjadi jaringan politik, saling menegasikan
atau juga tidak terhubung sama sekali antara satu dengan yang lain.
Membuat batasan metode gerakan MS berdasarkan pada periodesasi
pemerintahan setelah Orde Baru sangat rumit karena pola perkembangannya
kontinum dalam lintas pemerintahan. Artinya adalah bahwa pola gerakan yang
berlangsung tidak semata-mata merespon perkembangan kekuasaan di Jakarta,
tetapi juga berkaitan dengan konteks lokal. Sehingga aktifitas MS bisa lintas
pemerintahan antara Habibie, Gus Dur, Megawati, dan bahkan sesudahnya. Sulit
untuk mencari ciri MS dari setiap pemerintahan baik itu Habibie,
Gus Dur,
ataupun Megawati. Paling tidak ada dua alasan mengapa pembagian berdasarkan
periodesasi pemerintahan sulit dilakukan, pertama, pasca
Soeharto hampir
keseluruhan konsentrasi wacana gerakan MS tidak memiliki hubungan atau sedikit
saja terhubung dengan perkembangan politik nasional. Di daerah seperti
Yogyakarta, setelah Soeharto lengser, praktis kegiatan dan wacana gerakan MS
mulai berkurang perhatiannya terhadap persoalan-persoalan kepemimpinan
nasional. Persoalan politik nasional yang terjadi dan diliput oleh media umumnya
hanya melibatkan kelompok MS di Jakarta. Kalaupun ”melibatkan Yogyakarta”
biasanya hanya tokoh-tokohnya saja dan hanya mewakili pribadi, bukan mewakili
MS secara keseluruhan Sebagai contoh adalah pendapat aktifis LSM atau
intelektual yang terekam di media massa umumnya tidak mewakili institusinya. Di
daerah seperti Yogyakarta, MS mulai mengembangkan isu yang sesuai dengan
problem dan karakteristik lokal. Dengan demikian menghubungkan dinamika
nasional dengan dinamika lokal sangat sulit karena kadang-kadang berada dalam
lajur tema yang berbeda. Kedua, karena dalam lajur tema yang berbeda, dalam
banyak hal persoalan yang ditangani oleh MS di daerah
seperti Yogyakarta
berlangsung lintas pemerintahan.
Meneliti perkembangan MS di Yogykarta pada tahun 1998-2004 dapat
dilihat melalui dua optik, yakni (1) transisi menuju demokrasi, dan
(2)
pelembagaan politik. Transisi menuju demokrasi adalah upaya mendekontruksi dan
sekaligus membongkar tatatanan politik Orde Baru untuk menciptakan satu
88
pemerintahan yang bersih dari beban politik masa lalu. Bagian kedua dari topik
pembahasan adalah pelembagaan politik. Pelembagaan politik adalah keterlibatan
MS dalam berbagai advokasi kebijakan di tingkat lokal. Dengan menggunakan
optik tersebut dapat ditelusuri metode, pendekatan, isu, aliansi dan kepentingan
yang melatar belakangi berbagai peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta.
Pelembagaan politik ini dapat dikalatan sebagai metode kerja yang berlangsung
pada paruh kedua setelah upaya dekontruksi rezim orde baru berlangsung.
Pendekatan model ini mulai marak setelah pelaksanaan pemilu 1999, baik oleh
kepentingan donor ataupun oleh perubahan paradigma MS. Dalam konteks ini juga
dilihat perkembangan MS menjelang pemilu 2004, respon dan paradigma MS
dalam menghadapi pelaksanaan pemilu 2004 dan sekaligus pemilihan Presiden
secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia.
6.2. Transisi Menuju Demokrasi
Apa yang dimaksud dengan transisi demokrasi? Setelah kejatuhan rezim
Orde Baru, Indonesia mengalami satu peralihan (transisi) politik yang ditandai
dengan perubahan konstelasi dan konfigurasi politik. Partai bukan hanya tiga
sebagaimana waktu Orde Baru, tetapi siapapun rakyat (asal memiliki sumber daya
yang cukup) dapat mendirikan partai politik. Jatuhnya pemerintahan Soeharto
membawa angin segar dalam kehidupan demokrasi yang ditandai dengan
partisipasi MS yang sangat luas. Kejatuhan Soeharto, memunculkan eforia
dikalangan MS, dan sekaligus membuka sumbatan ketakutan yang diciptakan Orde
Baru melalui pendekatan keamanan. Habibie sebagai pewaris kekuasaan Soeharto,
praktis telah kehilangan daya cengkram terhadap kehidupan politik sipil. Soeharto
bukan hanya mewariskan sejumlah masalah, tetapi juga mewariskan kekacauan
dimana-mana3. Namun demikian Habibie juga tidak memiliki keberanian
memenuhi tekanan massa untuk membawa Soeharto ke pengadilan berkaitan
dengan kebijakan politiknya sewaktu berkuasa.
3
E. Shobirin Nadj. (edt) [2003] Supremasi Sipil Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional; Studi
Transisi Politik Pasca Orde Baru, LP3ES, Jakarta
89
”Pemerintah dinilai tidak punya nyali”, demikian headline harian Yogya
Post tanggal 18 September 1998, menyikapi perkembangan pemeriksaan atas
mantan Presiden Soeharto. Bagaimanapun Habibie memiliki beban psikologis
dalam memeriksa mantan Presiden Soeharto, mengingat jasanya yang sangat besar
dalam membesarkan karirnya. Habibie adalah foto copy dari Soeharto, kira-kira
begitu judul tajuk rencana di Harian Solo Pos yang terbit 18 September 19984.
Diluar kasus Soeharto yang tidak kunjung diperiksa oleh Habibie dan selalu
menjadi berita utama berbagai surat kabar lokal mapun nasional kita akan
menjumpai berbagai fenomena sosial politik yang menandai kebangkitan MS di
tingkat lokal. Reformasi telah menjadi mantra paling sakti dalam ranah sosial
politik nasional, sehingga reformasi dimaknai sebagai ” kebebasan melakukan
apapun yang pada jaman Presiden Soeharto dilarang”. Kebebasan ini bukan hanya
bermakna sebagai tindakan, tetapi juga pengungkapan berbagai persoalan sosial
politik yang mengendap dimasa lalu. Dalam konteks Yogyakarta kita akan
menelusuri tiga peristiwa penting yang menjadi wacana politik pada tahun ketika
Habibie memerintah dan menjadi contoh bagaimana MS merespon perubahan
politik, yakni (1) protes sipil di pedesaan, (2) protes terhadap sistem politik Orde
Baru seperti dwi fungsi ABRI, pengadilan Soeharto, dan pembubaran partai
Golkar, (3) Kasus Pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin dan
Pengadilan Wilardjito. Ketiga topik tersebut berlangsung di Yogyakarta dan dapat
menjadi contoh bagaimana MS memberikan respon terhadap perubahan politik.
6.2.1. Protes Sipil Di Pedesaan
Orde Baru meninggalkan sejumlah masalah mendasar dalam kehidupan
politik pedesaan. UU No. 5 /1979 tentang Pemerintahan Desa benar-benar ampuh
membungkam demokrasi dan partisipasi politik di desa. Sejumlah tindakan
pengendalian politik seperti proses rekruitmen kepala desa yang penuh intervensi
dan rekayasa kepentingan, kelembagaan desa yang memusat dan seragam,
partisipasi politik yang terbatas, dan lain sebagainya
4
telah menimbulkan
Solo Pos, 18 /9/1998; Yogya Post 18/9/1998.
90
kegelisahan dikalangan rakyat desa5. Kepala Desa dan elit desa lainnya telah
menjelma menjadi kekuatan politik tanpa batas yang dapat berbuat apa saja
terhadap rakyatnya. Kejatuhan Orde Baru dengan sendirinya telah membuka kotak
pandora, ketidakpuasan telah muncul dimana-mana dan menjelma menjadi
anarkisme.
Dalam bulan-bulan pertama pemerintahan Habibie, di pedesaan Yogyakarta
dan sekitarnya telah berlangsung protes yang masif berkaitan dengan berbagai
persoalan yang mengendap dan tidak tersentuh selama Orde Baru berkuasa. Protes
ditujukan untuk mereformasi pemerintahan desa karena dipandang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat.
Reformasi telah menjadi satu kuasa untuk
mendongkel pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Di Desa,
rakyat atas nama reformasi dapat melakukan apa saja yang dianggap berhubungan
atau bagian dari status quo yang telah merugikan rakyat. Kadang tindakan rakyat
menjurus ke dalam tindakan pelanggaran ketertiban.
Reformasi telah menjelma menjadi hukum. Reformasi menjadi kata sakti
yang ditakuti oleh penguasa dan tempat rakyat untuk melakukan apapun yang
dianggap tidak sesuai dengan aspirasi. “Kaum Reformis” adalah sebutan yang
dilekatkan kepada kelompok yang melakukan protes untuk melakukan perubahan
pemerintahan di desa. Kaum reformis ini benar-benar disegani, sehingga siapa saja
yang menentang tindakan mereka dapat digolongkan sebagai anti reformasi dan
dapat diperkarakan sepihak melalui cara-cara diluar hukum. Di desa kadang-kadang
kaum reformis melakukan apapun untuk memenuhi tuntutan mereka sekalipun
dengan cara-cara yang melanggar hukum dan ketertiban. Pembakaran dan
pengrusakan Balai Desa atau rumah mereka yang dituduh adalah hal biasa yang
berlangsung pada periode ini. Jangan harap aparat akan mengambil tindakan
hukum terhadap orang-orang yang melakukan pengrusakan, karena bisa-bisa aparat
sendiri yang akan dihakimi kaum reformis. Seperti yang terjadi pada Supardi,
warga desa Tohputi, Kecamatan Dlingo yang dibunuh beramai-ramai dan mayatnya
5
Lihat Hans Antlov [2000] Negara Dalam Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Hans Antlov
berhasil memotret bagaimana Orde Baru telah menghadirkan negara dalam tingkat desa melalui
berbagai instrumen politik . Kepala Desa telah menjelma sebagai Presiden, Babinsa telah menjelma
menjadi Panglima, dan seluruh kehidupan sosial politik dikontrol dengan ketat.
91
dikubur langsung oleh masyarakat gara-gara mencuri ayam warga6. Tidak ada
tindakan hukum yang dikenakan kepada mereka yang melakukan pengroyokan.
Reformasi telah menjadi mantra paling sakral pada masa peralihan dari
Soeharto ke Habibie. Sistuasi politik ini mirip dengan apa yang ditulis oleh Anton
Lucas dalam peristiwa tiga daerah7. Kekosongan kekuasaan yang terjadi setelah
jatuhnya pemerintahan Jepang telah mendorong rakyat di tiga daerah (Tegal,
Pekalongan dan Brebes) melakukan apa saja atas nama revolusi untuk menggusur
kekuasaan lama yang dianggap tidak pro rakyat. Revolusi menjadi pengesah
berbagai tindakan masyarakat sekalipun kadang-kadang sudah berada diluar batas
nalar sosial. Keberhasilan ”reformasi” dalam mendongkel Soeharto menjadikan
rakyat di berbagai pelosok desa telah membentuk kemauannya sendiri untuk
melakukan berbagai tindakan atas nama reformasi. Berdasarkan pengamatan media
untuk kepentingan penelitian, di pedesaan sekitar Yogyakarta, telah berlangsung
protes yang sangat masif terhadap pemerintah desa setempat. Protes ini ditujukan
kepada pemerintah desa yang dianggap menyeleweng, atau tidak sesuai dengan
kehendak rakyat. Kadang-kadang protes berlangsung hanya karena masalah etika
moral kepala desa, seperti perselingkuhan, perjudian atau poligami.
Kejatuhan Soeharto secara sosiologis juga
diikuti dengan runtuhnya
seluruh bangunan nilai dan politik yang menopangnya. Dahulu yang dianggap tabu
dan berbahaya, setelah Soeharto jatuh menjadi boleh dilakukan. Otoritas politik dan
hukum menjadi hilang dan simbol-simbol negara jatuh ke titik nadir. Tidak
mengherankan kalau sasaran aksi dan pengrusakan selalu berkaitan dengan kantorkantor pemerintah seperti pos polisi, balai desa, tangsi tentara, fasilitas pemerintah
dan lain sebagainya. Mereka yang melakukan protes umumnya menggunakan
reformasi sebagai dalih pembenar atas tindakan protesnya. Umumnya kata
”reformasi” selalu dilekatkan pada kelompok protes ini, seperti Komite Reformasi,
Forum Rakyat untuk Reformasi, dan lain sebagainya. Di Jawa Tengah sepanjang
Mei sampai Oktober 1998 saja jumlah Kepala Desa yang diturunkan oleh rakyatnya
6
Yogya Post 4/2/1999
Lihat Anton E. Lucas [2004] One Soul One Struggle; Peristiwa Tiga Daerah, Resist Book,
Yogyakarta
7
92
berjumlah 1178. Ini merupakan prestasi protes terbesar sepanjang tiga puluh dua
tahun dan hanya dapat disamakan dengan ketika Indonesia dalam masa revolusi.
Dari laporan media yang terbit di Yogyakarta dan Solo, Jawa Tengah
nampaknya menjadi arena protes paling subur, khususnya Kabupaten Klaten yang
bertetangga dengan Yogyakarta. Situasi ini dipengaruhi oleh geopolitik lokal
dimana tingkat intervensi dan represi politik di Jawa Tengah lebih dominan
dibandingkan dengan Yogyakarta. Latar belakang sebagai daerah ”merah” juga
turut mempengaruhi wilayah ini menjadi ladang subur radikalisme di pedesaan9.
Harian Solo Pos dalam tajuknya tanggal 6 Februari 1999 yang berjudul ”Pertikaian
Elit Politik di Desa” menuliskannya sebagai berikut ;
”bahwa pertikaian politik di tingkat desa telah sampai pada tingkat yang
membahayakan karena mengganggu kehidupan sosial ekonomi rakyat. Konflik ini
tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, sehingga harus ada tindakan ekstra untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang berlangsung di pedesaan”.
Di Yogyakarta sendiri sekalipun eskalasinya tidak setajam di Jawa Tengah,
namun suasana protes di pedesaan tidak dapat dihindari. Tanggal 14 April 1999
warga desa Sidorejo Godean melakukan unjuk rasa minta supaya hasil pilkades
yang dilaksanakan pada masa Orde Baru dibatalkan karena lurah yang terpilih tidak
sesuai dengan aspirasi warga10. Di Tirtosari kabupaten Bantul juga berlangsung
aksi serupa11. Protes warga tidak hanya melulu berkaitan dengan penurunan kepala
desa, tetapi juga penundaan pelantikan kepala desa karena dianggap curang dalam
pemilihannya sebagaimana yang terjadi di desa Wedomartani, Pandowoharjo,
Sedangsari, dan Sindumartani12. Sebagaimana yang disampaikan diatas, kelompok
protes kadang-kadang menggunakan idiom reformasi dalam melakukan protes
untuk melindungi aksi-aksi mereka sebagai tindakan yang dianggap reformis. Di
Pendowoharjo, Kabupaten Sleman misalnya, aksi protes yang dilakukan ”kaum
8
Wawasan, 7 /10/1998
Lihat Sugijanto Padmo [2000] Land Reform dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965,
Media Presindo-KPA, Yogyakarta
10
Kedaulatan Rakyat, 15 /4/1999
11
Yogya Post 5 /3/ 1999, Kedaulatan Rakyat, 5/3/ 1999
12
Bernas, 13 /4/1999; Bernas, 5 /4/1999; Bernas, 12 /4/1999; Bernas, 18 /3/1999; Yogya Pos,
30/3/ 1999; Kedaulatan Rakyat. 31/3/ 1999; Kedaulatan Rakyat. 30 /3/1999
9
93
reformis” bernama Gerakan Rakyat Reformasi Pendowoharjo (Garrapan), untuk
melakukan protes terhadap hasil pemilihan kepala desa yang dianggap curang13.
Selain soal pemilihan kepala desa, tanah dan sumber daya alam juga
menjadi arena protes yang menonjol di Yogyakarta, salah satunya adalah sengketa
umbul wadon dan kasus tanah Tegal Buret.
Di Sleman ratusan warga lereng
Merapi melakukan protes karena eksploitasi pemerintah terhadap mata air Umbul
Wadon yang menjadi sumber kesejateraan warga sekitar14. Kasus Tegal Buret
adalah sengketa tanah antara masyarakat dengan TNI. Tegal Buret berada di Desa
Kranggan dan Brosot, Kabupaten Kulon Progo. Tanah yang menjadi objek
sengketa seluas 2,6 ha. Tanah tersebut semula milik warga kecamatan Galur. Tahun
1948 tanah tersebut diminta tentara Jepang. Ketika Belanda datang tahun 1949,
tanah tersebut dikuasai oleh Belanda. Setelah Belanda pergi, tanah tersebut dikuasai
oleh TNI. Ketika reformasi bergulir, ahli waris meminta tanah tersebut, tetapi TNI
tidak boleh. TNI minta warga membuktikan melalui hukum. Kemudian warga
membentuk Paguyuban Pembela Hak Tanah Tegal Buret. Warga didampingi oleh
LBH Yogyakarta dalam menuntut pengembalian tanah tersebut. Aksi warga bahkan
sangat berani dengan langsung mendatangi tangsi militer untuk menuntut supaya
tanah dikembalikan kepada ahli waris15. Sebuah tindakan yang tidak mungkin
dilakukan seandainya Soeharto masih berkuasa.
Maraknya protes ini menimbulkan trauma disebagian kalangan masyarakat.
Protes yang diselingi dengan kekerasan telah menimbulkan kekhawatiran sebagian
pihak untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan dan perebutan posisi kepala desa.
Di Sleman misalnya, pendaftaran kepala desa untuk beberapa desa di wilayah ini
masih sepi dikarenakan banyak calon yang masih takut mendaftar dikarenakan
khawatir kalau diprotes sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah16.
Protes di pedesaan menjadi wacana serius yang terjadi di Yogyakarta (dan
sekitarnya) pada bulan-bulan awal pemerintahan Habibie. Protes menjadi fenomena
baru dikalangan MS yang merasa selama tiga puluh dua tahun aspirasinya
13
Kedaulatan Rakyat, 12 /4/1999
Yogya Pos, 10 /8/1999; Kedaulatan Rakyat, 11/8/1998
15
Kedaulatan Rakyat, 14 /2/2000; Bernas, 25 /1/2000; Bernas, 9 /7/1999; Kedaulatan Rakyat,
27/2/2001, Wawancara dengan Pardiyono, 15 Juni 2008
16
Kedaulatan Rakyat, 19 /2/ 1999
14
94
disumbat. Gerakan protes ini menjadi ekspresi politik rakyat dan sekaligus menjadi
pertanda kebangkitan gerakan sipil di pedesaan. Kadang protes tidak hanya
ditujukan kepada pemerintahan, tetapi juga apa saja yang berhubungan dengan
sistem lama seperti yang terjadi di Prambanan pada tanggal 17 Maret 1999, warga
menyerang pos polisi setempat karena anggota polisi secara tidak sengaja menabrak
salah seorang warga desa hingga tewas17.
Gejala ini tentu menjadi sesuatu yang manarik karena hampir selama Orde
baru berkuasa, aksi protes dapat menaui akibat yang sangat fatal bagi pelakunya.
Dengan keberanian protes yang tumbuh dikalangan rakyat pedesaan, sesungguhnya
kesadaran politik sebagai pondasi demokrasi mulai terbit sekalipun kadang-kadang
dengan cara yang keliru. Pergerakan politik ini yang terus tumbuh dalam
momentum pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang nantinya
akan dikawal sebagian LSM Yogya untuk memperkuat demokrasi lokal.
6.2.2. Protes di Perkotaan
Habibie nampaknya begitu gentar terhadap Soeharto sehingga sekalipun
tuntutan untuk mengadili mantan Presiden sangat besar, namun tidak digubris sama
sekali. Bagimanapun Soeharto mempunyai andil besar dalam membesarkan
Habibie sampai menjadi Wakil Presiden. Dalam tradisi pemilihan Wakil Presiden
Orde Baru, penentuan yang menjadi Wakil Presiden menjadi hak prerogratif
Soeharto. Tidak mengherankan kalau Habibie tidak memiliki keberanian politik
untuk memeriksa dan mengadili mantan Presiden tersebut.
Berkaitan dengan protes terhadap sistem politik yang dilangsungkan
golongan kaum terpelajar perkotaan, tulisan ini tidak akan menyoroti berbagai
peritiwa yang berlangsung ditingkat nasional (Jakarta). Fokus perhatian akan
diberikan kepada berbagai peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta sekalipun
dalam berbagai peristiwa protes di Yogyakarta memiliki kaitan dengan peristiwa
nasional. Protes ini bukan hanya berkaitan dengan penyelenggaraan aksi dan
tuntutan masa yang ditunjukkan melalui serangkaian demonstransi, tetapi juga
berbagai bentuk simbolisasi pembangkangan MS. Dalam konteks lokal Yogyakarta
17
Wawancara Saniman, warga Desa Tlogo, Prambanan, 21 Mei 2007
95
akan dilihat empat peristiwa menonjol yang berlangsung selama fase awal
kepemimpinan Habibie, yakni pendirian Posko Gotong Royong oleh simpatisan
PDIP, protes terhadap militer, tuntutan masyarakat terhadap pengadilan mantan
Presiden Soeharto, dan pembubaran partai Golkar.
Tidak ada satupun data yang mengulas kapan pendirian Posko Gotong
Royong PDI Perjuangan dimulai. Satu kesimpulan terhadap fenomena tersebut
adalah besarnya simpati masyarakat terhadap Megawati sebagai korban Orde Baru.
Pendirian Posko Gotong Royong PDI Perjuangan dapat dimaknai sebagai
kebangkitan MS dimana protes terhadap penguasa ditunjukkan dengan memberikan
simpati kepada korban kekuasaan. Satu unsur terpenting dari pendirian posko ini
adalah solidaritas dan keswadayaan dikalangan MS, khususnya mereka yang
disebut Pro Mega. Megawati adalah simbol penindasan dan sekaligus anak
Soekarno, tokoh terbesar dalam sejarah Indonesia. Yogyakarta sendiri memiliki
hubungan sejarah dengan golongan nasionalis, PNI menang mutlak di daerah ini
pada pemilu 1951. Masyarakat Yogyakarta secara umum memiliki latar belakang
sebagai kaum abangan dengan priyayi dengan keraton sebagai centrum sosial18.
Sekalipun Sultan dan sebagian besar keluarganya adalah kader dan pengurus
Golkar, tetapi sebagian besar warga Yogyakarta memiliki garis politik ke arah
nasionalis. Maka ketika Megawati dan PDI Perjuangan mengalami tekanan dari
pemerintah Soeharto, simpati mengalir deras kepadanya. Tidak mengherankan
ketika jargon
”Mega Bintang”
yang dilaunching oleh Mudrick Sangidhu,
perolehan suara PPP di Yogyakarta hanya berselisih 2 kursi dari Golkar pada
pemilu 1997 karena limpahan suara dari pendukung Mega.
Dalam khasanah sosiologis, masyarakat Jawa percaya mengenai datangnya
Ratu Adil sebagaimana yang diramal oleh Joyoboyo, dan kebetulan Megawati
adalah seorang perempuan (Ratu). Tidak heran kalau dukungan kepada Megawati
pada tahun-tahun tersebut sudah sampai pada batas-batas pengkultusan. Sebagai
figur yang disingkirkan dari panggung politik Orde Baru, Megawati juga mewakili
18
Untuk memahami hal tersebut dapat di baca Clifford Geerzt (1981), Santri, Abangan, dan Priyayi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sekalipun temuan Geerzt ini dianggap sudah tidak
relevan, namun kita dapat memahami bagaimana di Yogyakarta kelompok nasionalis unggul dalam
pemilu 1951.
96
perasaan sebagian besar rakyat Indonesia yang tertindas oleh sistem ekonomi
politik Rezim Orde Baru. Dengan nama besar Soekarno, figur yang dianiaya,
ditambah lagi keyakinan akan datangnya Ratu Adil, tidak ada alasan untuk tidak
memberikan dukungan dan pengorbanan kepada Megawati. Posko Gotong Royong
adalah salah satu bentuknya.
Posko Gotong Royong didirikan oleh pengikut Megawati dengan warna
khas merah dan hitam lengkap dengan gambar Soekarno dan Megawati, serta
tulisan ”Hanya Satu Tekad; Bela Mega”. Posko ini umumnya berbentuk gardu jaga
yang didirikan di pinggir jalan atau sudur-sudut kampung. Pendirian posko ini
dengan biaya swadaya masyarakat sekitar, yang kadang-kadang nilainya jauh
melebihi kemampuan ekonomi masyarakat. Sebuah posko yang terletak di Jalan
Swadaya, Pojok Beteng Kulon, berdiri sangat megah dengan melintang jalan,
Posko tersebut dibangun atas iuran warga sekitarnya yang mencapai tiga juta
rupiah, sebuah nilai yang cukup besar pada tahun 199919.
Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah partai yang didirikan oleh Gus Dur,
juga mendirikan sejumlah posko di Yogyakarta. Kadang di beberapa tempat posko
PKB dan PDIP menjadi satu sebagaimana yang terjadi di Bantul. Jumlah Posko
PKB di Yogyakarta relatif sedikit, cuma 10
buah, bandingkan dengan PDI yang
mencatat 1.120 posko di seluruh Yogyakarta20. Solidaritas sebagai ”sesama
korban” Orde Baru kadang-kadang juga berkembang diantara partai politik
menjelang pemilu 1999. Di Jalan Magelang Yogyakarta pernah terjadi perseteruan
antara massa PKB dan PPP karena kesalahpahaman diantara kedua belah pihak.
Tidak jauh dari lokasi ketegangan terdapat Posko Gotong Royong. Simpatisan
PDIP yang kebetulan berada di Posko berusaha melerai kedua massa partai yang
berseteru sehingga ketegangan dapat diredakan21.
Pengadilan Soeharto dan pencabutan dwi fungsi ABRI mendapat porsi
penting dalam setiap gerakan protes di Yogyakarta. Setelah Soeharto jatuh,
mahasiswa tetap memegang kendali atas aksi protes yang berlangsung di dalam
19
Posko ini beberapa tahun kemudian di bongkar sejalan dengan kekecewaan terhadap prestasi
pemerintahan Megawati. Catatan Penelitian
20
Gatra, Nomor 12/V, 6 Februari 1999
21
SiaR, 24/3/99
97
kota. Pergerakan mahasiswa menjadi semakin luas dan berani, salah satunya adalah
dengan mendatangi markas tentara seperti yang berlangsung tanggal 18 Desember
1998, dimana sebagian mahasiswa Universitas Islam Indonesia mendatangi
Akademi Militer Magelang menuntut pencabutan dwi fungsi ABRI dan pengadilan
terhadap Soeharto22. Mendatangi tangsi militer adalah trend baru dalam aksi
mahasiswa setelah Soeharto jatuh. Aksi di Akademi Militer atau asrama tentara
dipilih karena tempat-tempat tersebut menjadi simbol otoritas tentara. Tanggal 14
November 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan aksi
di depan Markas Korem 072/Pamungkas, dan menuntut siaran Stasiun RRI
Nusantara II Kotabaru23. Menyiarkan tuntutan mahasiswa melalui Stasiun RRI
juga menjadi cara baru aksi mahasiswa. Beberapa kali stasiun RRI didatangi oleh
kelompok aksi minta supaya tuntutan mahasiswa disiarkan secara langsung.
Jatuhnya Soeharto nampaknya membuat energi aksi menjadi jauh
berkurang. Penjagaan aparat keamanan juga sudah sangat longgar berbeda dengan
ketika Soeharto masih berkuasa. Aparat keamanan nampaknya sangat berhati-hati
dalam menangani aksi mahasiswa dan menjaga diri supaya tidak terprovokasi yang
berujung dengan bentrokan. Mahasiswa berusaha memprovokasi aparat keamanan
agar mengambil tindakan keras supaya aksi menjadi perhatian publik, misalnya
dengan mengejek tentara melalui lagu-lagu yang diplesetkan24. Nampaknya tentara
di Yogyakarta paham benar siapa yang akan dihadapi kalau seandainya terjadi
tindakan keras terhadap mahasiswa, sementara pamor kekuasaannya telah meredup.
Ini berbeda dengan aksi di beberapa kota pulau Sumatra seperti Palembang dan
Lampung. Bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa menyebabkan
jatuhnya korban dari pengunjuk rasa. Hampir selama aksi mahasiswa pasca
Soeharto, tidak ada bentrokan atau tindakan represif dari tentara terhadap
mahasiswa di Yogyakarta. Bahkan dalam beberapa aksi mahasiswa yang ditujukan
ke markas tentara, para mahasiswa disambut dengan spanduk ucapan selamat
22
Bernas, 19 /12/1998.
Kompas, 15 /11/ 1998; Kronologi Aksi, 13 /4/1999;
24
Pada waktu Orde Baru ada lagu ABRI yang selalu diputar di radio untuk menunjukkan
superioritas militer. Lagu tersebut kemudian diganti syairnya oleh mahasiswa dengan kata-kata
antara lain ; Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, bubarkan saja, tidak berguna, lebih baik
diganti pramuka. Makan diwarteg nggak pernah bayar, naik bis kota juga nggak pernah bayar….”
Lihat Bab Pendahuluan
23
98
datang atau musik dangdut yang dibunyikan keras-keras untuk menenggelamkan
orasi mahasiswa25.
Pengadilan Soeharto yang berlarut telah menjadi polemik di media massa
terbitan Yogyakarta. Kedaulatan Rakyat merupakan koran tradisional yang lebih
berhati-hati dalam membahas kasus Soeharto, bahkan dalam beberapa hal terkesan
membela. Bagaimanapun Kedaulatan Rakyat tetap berusaha menjaga citra
akomodatif terhadap berbagai hal yang berkembang di masyarakat. Berbeda dengan
harian Bernas yang sejak lama telah menjadi referensi bacaan kritis di Yogyakarta.
Bernas sebagian besar wartawannya adalah angkatan muda yang mengambil sikap
oposan terhadap kekuasaan. Koran ini sempat menjadi bacaan favorit aktifis
mahasiswa pada tahun 1995-1999. Dalam tajuknya tanggal 4 Agustus 1999, Bernas
membuat judul yang provokatif, ”Kasus Soeharto Tetap Menggantung”. Dua
minggu kemudian Bernas membuat tajuk yang lebih tegas bahwa ” Pemberantasan
KKN Perlu Tindakan Nyata”, untuk memberi gambaran mengenai berlarutnya
proses pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto26. Berbeda dengan KR yang
terkesan lebih lunak terhadap polemik seputar perkara Soeharto, KR menurunkan
tajuk pada 14 April 2000 dengan judul ”Rasa Iba Juga Menyertai Status Cekal
Soeharto”27.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) masih menjadi kelompok paling aktif
menyuarakan pencabutan Dwi fungsi ABRI, pengadilan Soeharto dan kadangkadang referendum terhadap Timor Leste. Sekalipun sudah menjadi partai dan
menyatakan siap untuk mengikuti pemilu, tetapi kepemimpinan tetap dipegang oleh
kalangan mahasiswa yang miskin pengalaman politik dan sumber daya. Oleh
karena itu tidak mengherankan kalau kemudian PRD gagal dalam pemilu 1999.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kelompok ini adalah militansinya yang besar
dalam setiap isu yang berkaitan dengan Soeharto. PRD menerbitkan tabloid
”Pembebasan” sebagai corong ideologi dengan slogan ”Suara Sosial Demokrasi
Kerakyatan”.
25
Xpos, No 35/II/10-16 Oktober 99. Mahasiswa yang meninggal adalah Meyer Ardiansyah
(Pelembang) dan Yusuf Rizal;Zaidatul Fitria (Lampung)
26
Bernas, 4 dan 17 /8/ 1999.
27
Kedaulatan Rakyat, 14 /4/2000
99
Golkar adalah sasaran lain dari gerakan protes post Soeharto. Sekretariat
DPD Golkar DIY berada di jalan paling strategis di Kota Yogyakarta. Lokasi DPD
Golkar selalu menjadi jalur demonstrasi ketika mahasiswa melakukan long marc ke
DPRD Propinsi atau Jalan Malioboro di pusat kota Yogyakarta. Setiap aksi
menuntut penuntasan kasus rezim Orde Baru, tidak lupa para peserta aksi akan
berhenti sejenak di depan Kantor DPD Golkar untuk melakukan orasi mengecam
Golkar sebagai partai Orde Baru. Hari Kamis, tanggal 8 Februari 1999, 500 massa
Pokja Rakyat Yogyakarta (PRY) melakukan penyegelan di Kantor DPD Golkar.
Selain menyegel kantor DPD Golkar mereka juga menuntut supaya Golkar
dibubarkan. Penyegelan ini disaksikan Kapoltabes Yogyakarta Komisaris Besar
Ibnu Sudjak Mahsfudz, Massa PRY berasal dari IAIN Sunan Kalijaga, UGM,
Universitas Sanata Dharma, Universitas Janabadra28. Sebagian besar massa PRY
adalah mahasiswa dan pemuda atau mantan aktifis mahasiswa. Aksi ini sempat
berbuntut panjang dengan kemarahan kader Golkar atas penyegelan tersebut.
Sebagai balasan atas aksi-aksi yang menimpa Golkar, Sekitar 1.500 pendukung
Partai Golkar di Kota Yogyakarta, Sabtu (17/3), melakukan pendeklarasian
berdirinya Jaringan Pembela Kehormatan Partai Golkar (JP-KPG), di halaman
Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jaringan tersebut dibentuk
guna menjawab maraknya tuntutan pembubaran partai berlambang pohon beringin
tersebut29. Dengan lihai Golkar segera mengalihkan masalah pembubaran Golkar
ke dalam komunisme. Golkar membentuk satgas Gepako (Gerakan Pasukan Anti
Komunis) yang kemudian berubah menjadi FAKI (Front Anti Komunis)30.
Kelompok ini kadang-kadang bertindak diluar hukum dan memprokasi setiap aksi
anti Golkar sebagai bagian dari komunis. Sebagai contoh adalah pemukulan
terhadap sekjen FPPI Yogyakarta Gunawan dengan konblok (bata semen) usai
menghadiri seminar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 20
Februari 2001 dan penyerangan Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi31. FPPI
adalah organisasi mahasiswa yang tidak memiliki sangkutan dengan komunisme.
28
Kompas, 9/2/1999, Bernas, 9/2/1999
Kompas, 18 /3/ 2001
30
Kedaulatan Rakyat, 9/4/2002
31
Kompas, 2/3/ 2001; Kronologi Penyerangan terhadap kampus ABA"Yo" Yogyakarta, 22/2/2001
29
100
Sedangkan Taring Padi adalah lembaga kebudayaan yang mengusung tema-tema
kerakyatan dalam ekspresi keseniannya.
6.2.3. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Pelanggaran HAM yang menonjol peda era Orde Baru dan paling menonjol
terjadi di Yogyakarta adalah kasus Pembunuhan Wartawan Bernas (Udin) dan
Wilardjito. Kasus Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dan
Wilardjito adalah panggung yang berbeda dalam konteks sosial politik di
Yogyakarta. Salah satu ciri penting dalam kasus tersebut adalah peran kelompok
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sangat besar dalam mengadvokasi
perkembangan kasus tersebut. Ini berbeda dengan dua kategori sebelumnya,
dimana peran komite rakyat (masyarakat dan mahasiswa) sangat besar. Persamaan
diantara keduanya adalah sama-sama residu dari kebijakan politik pemerintah Orde
Baru dan kemudian menjadi persoalan yang hangat dibicarakan setelah Soeharto
jatuh. Dalam dua kasus ini peran MS muncul dalam metode yang berbeda dengan
dua contoh di atas. Kalau sebelumnya muncul dalam aksi-aksi massa yang
melibatkan berbagai elemen masyarakat, dalam kasus Udin dan Wilardjito metode
aksi tidak berkembang.
Udin adalah Wartawan Harian Bernas yang dibunuh oleh orang tidak
dikenal pada tanggal 13 Agustus 1996. Tiga hari kemudian Udin Meninggal di
Rumah Sakit Bethesda (Bab 5). Kematian Udin diduga terkait dengan berita -berita
yang ditulisnya di Harian Bernas. Kasus Udin tenggelam dibawah hiruk-pikuk
Pemilu 1997 dan jatuhnya Soeharto, terlebih setelah Tim Pencari Fakta (TPF)
Kijang Putih dibubarkan karena intervensi aparat keamanan.
Beberapa hari setelah Pisowanan Agung tanggal 20 Mei 1998 di alun-alun
Utara Yogyakarta yang konon dimotori oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat
(FAMPERA), segera komite aksi ini meluncur ke DPRD Bantul untuk menuntut
Sri Roso Sudarmo Bupati Bantul turun dari jabatannya karena terkait berbagai
masalah, termasuk di antaranya pembunuhan Wartawan Bernas, Udin. FAMPERA
secara aktif mengambil kepemimpinan atas aksi di Kabupaten Bantul tersebut,
bahkan kelompok aksi ini menginap berhari-hari di DPRD untuk menuntut Sri
101
Roso mundur dari jabatannya32. Setelah DPRD Bantul menyatakan persetujuannya
untuk memberhentikan Sri Roso dan pemberhentian diproses oleh Departemen
Dalam Negeri, penuntasan kasus pembunuhan Udin diambil alih oleh Lembaga
Bantuan Hukum, Persatuan Wartawan Indonesia dan Lembaga Pembelaan Hukum
(LPH)
33
. Apa yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut?
Berbagai upaya untuk mengungkap dalang pembunuh Udin dilakukan oleh
LBH Yogyakarta, LPH, dan PWI. Sekalipun PWI adalah organisasi wartawan
pemerintah, tetapi nampaknya sejak reformasi bergulir, organisasi ini berusaha
memperbaiki citranya dimata publik. Semasa Soeharto masih berkuasa dalam kasus
yang sama,--- pembunuhan Udin—PWI tidak melakukan apapun untuk
mempersoalkan kasus Udin. Bahkan langkah Harian Bernas untuk mengungkap
kasus pembunuhan wartawan Udin justru diintervensi melalui pemutasian dan
pemecatan wartawan yang tergabung dalam Tim Kijang Putih. Sejalan dengan
perubahan politik pasca Soeharto, PWI memberikan perhatian terhadap kasus Udin
dengan membentuk TPF, sekalipun sejumlah fakta telah ditemukan oleh Tim
Kijang Putih.
LBH Yogyakarta adalah cabang dari YLBHI Jakarta yang didirikan oleh
advokat Adnan Buyung Nasution. LBH adalah salah satu lembaga hukum yang
menjalankan advokasi dengan pendekatan struktural sejalan dengan menguatnya
berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jauh sebelum reformasi
bergulir, LBH Yogyakarta menjadi posko para aktifis mahasiswa untuk berbagai
kasus pelanggaran struktural, sekaligus menjadi corong demokrasi di Yogyakarta.
Kantor LBH Yogyakarta selalu menjadi tempat diskusi para aktifis dan sekaligus
mengembangkan jaringan demokrasi di Yogyakarta. Dengan demikian LBH
Yogyakarta menjadi salah satu motor penggerak gerakan pro demokrasi di
Yogyakarta. Tidak mengherankan kalau terjadi kasus-kasus struktural di
Yogyakarta, LBH Yogyakarta menjadi salah satu rujukan. LPH adalah lembaga
yang dimintai bantuan hukum Dwi Sumiaji alias Iwik ketika dituduh sebagai
32
33
Kompas, 3/6/1998, Bernas, 3/6/ 1998
Bernas. 25/2/1999; Bernas, 29/1/1999.
102
pembunuh Udin. Tuduhan terhadap Iwik sebagai pembunuh Udin akhirnya tidak
terbukti.
Pada akhir Januari 1999, ketiga lembaga tersebut membentuk tim gabungan
untuk penuntasan kasus Udin yang diberi nama Tim Gabungan Kasus Udin
(TGKU). Tim ini didirikan atas dasar kekhawatiran kalau kasus pembunuhan Udin
dipetieskan34. Langkah pertama yang dilakukan oleh TGKU adalah menyurati
Panglima ABRI untuk menuntaskan kasus Udin35. Kasus udin menjadi polemik
hangat di Yogyakarta dari tahun 1998-2000, karena dukungan Bernas dan kalangan
MS. Kasus Udin dipandang menjadi peristiwa pelanggaran HAM fenomenal
mengingat pembunuhan tersebut diduga melibatkan orang-orang penting di
Kabupaten Bantul sewaktu Soeharto berkuasa. Kalangan MS di Yogyakarta
menjadikan Udin sebagai simbol martir dari arogansi kekuasaan kepada warga sipil
dan media. Oleh karena itu LBH Yogyakarta mengusulkan kepada pemerintah agar
Udin diberi gelar pahlawan Jurnalistik36.
Kalangan MS berpendapat bahwa mantan Bupati Bantul, Sri Roso yang
berlatar belakang militer memiliki keterlibatan dalam kasus Udin. Tajuk Rencana
Harian Solo Pos tanggal 5 Juli 1999 menyatakan bahwa Sri Roso dapat menjadi
pintu masuk untuk membongkar siapa dalang pembunuh Udin. Sri Roso disidang di
Makamah Militer Luar Biasa dalam kasus suap terhadap Yayasan Dharmais
melalui adik tiri Soeharto yang menjadi Lurah Argomulyo. Sampai vonis
dijatuhkan kepada Sri Roso, kasus Udin tidak pernah disinggung sedikitpun 37.
Dalam perkembangan kasus wartawan Udin, beberapa lembaga diluar
TGKU mulai melibatkan diri bahkan lebih aktif dari TGKU sendiri. Beberapa
elemen tersebut antara lain Aliansi Jurnalis Independen, LBH Yogyakarta, FISIP
UAJY, Parwi, Forum LSM DIY, LAPERA, PLBH Persada, ICM, Pusham UII,
PWI Yogya, dan Jaringan Radio Komunitas. Kelompok ini bergabung dalam
34
Kedaulatan Rakyat, 29 /1/ 1999
Kompas, 29/1/99, Bernas, 29/1/1999
36
Bernas, 16/1/99, Bernas, 5/11/1999, Bernas, 23/3/1999. Usulan ini sampai sekarang belum
terealisasi meskipun Departemen Sosial Kanwil DIY pernah meminta LBH untuk menyiapkan
berkas-berkas yang diperlukan sebagai syarat pengusulan tersebut.
37
Bernas, 2/7/1999
35
103
Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU)38. K@MU menyelenggarakan berbagai
kegiatan khususnya berkaitan dengan kematian Udin, antara lain peringatan 7 tahun
meninggalnya Udin tanggal 13 Agustus 2003, Orasi budaya dan refleksi terhadap
kasus Udin tanggal 15 Agutus 200339. Kasus Udin menjadi gambaran bagaimana
LSM dan kalangan intelektual kampus menjalankan advokasi yang berbeda dengan
cara yang biasa digunakan oleh mahasiswa ataupun rakyat. Kemampuan advokasi
kalangan LSM ataupun kampus cenderung elitis dengan mengunakan kasus sebagai
basis gerakan. Akibatnya daya tekan terhadap institusi otoritas menjadi sangat
lemah dan mudah sekali diabaikan.
Kasus yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan kasus Udin
adalah kasus Soekardjo Wilardjito. Wilardjito adalah mantan anggota dinas sekuriti
Istana Bogor yang bertugas ketika Presiden Soekarno menandatangani Surat
Perintah
Sebelas
Maret
(Supersemar).
Berdasarkan
pengakuannya,
penandatanganan Supersemar dilakukan dibawah todongan pistol oleh para
Jenderal yang saat itu datang menghadap Soekarno40. Kontan saja mengakuan
Wilardjito membuat aparat terhenyak dan segera saja dituduh sebagai penyebar
kabar bohong41. Wilardjito segera menunjuk LBH Yogyakarta sebagai kuasa
hukum dan segera diikuti dengan pembentukan tim pembela42. Apa yang dilakukan
oleh LBH Yogyakarta atas kasus ini? LBH memiliki jaringan kuat ke media lokal.
Sebagai ”lokomotif demokrasi” ketika Soeharto berkuasa, LBH mengembangkan
advokasi melalui pembentukan opini Kekuatan pendekatan ini adalah pada metode
yang dikembangkan melalui pembentukan opini publik melalui media massa. Pada
waktu Soeharto masih berkuasa, pembentukan opini publik dimaksudkan sebagai
sarana untuk membentuk kesadaran menganai persoalan politik yang lebih besar,
yakni otoritarianisme Orde Baru. Dengan demikian akan membentuk kesadaran
baru di atas kesadaran palsu yang dikembangkan rezim. Sebagai lokomotif tentu
saja tugasnya hanya mengantarkan. Setelah itu lokomotif akan kembali ke stasiun
awal untuk disimpan. Demokratisasi telah terbentuk, ruang politik telah terbuka,
38
Bernas, 2/10/2002.
Laporan Kegiatan Forum LSM DIY Periode Kepengurusan 2002 – 2004
40
Berbas, 25/08/1998, Kedaulatan Rakyat, 04/08/1999
41
Kedaulatan Rakyat 28/07/1999, Solo Pos, 6/4/1999, Bernas, 09/8/1998
42
Solo Pos, 27/1/1999
39
104
dan ini merupakan ”salah satu” sumbangan LBH sebagai lokomotif. Apakah
kemudian LBH akan menjadi bagian dari proses demokrasi tersebut, nampaknya
tidak. LBH tetap memilih sebagai lokomotif dan kembali ke depo penyimpanan
dan tetap menjadi lembaga berwatak konservatif, Yayasan43.
Dalam kasus Wilardjito, LBH mengembangkan advokasi melalui media dan
menyediaan bantuan hukum secara cuma-cuma. Sejalan dengan perkembangan
situasi politik, kasus ini kemudian tenggelam dengan sendirinya. Tidak ada
pengakuan dari bahwa apayang disampaikan oleh Wilardjito tentang penodongan
senjata tersebut benar adanya, dan juga tidak ada tindakan hukum ke Wilardjito
kalau seandainya menyebarkan kabar bohong. Ini adalah ciri penegakan hukum di
Indonesia, tidak jelas dan selalu selesai tanpa tindakan apapun.
6.3. Pelembagaan Politik
Salah satu perkambangan yang menarik dalam transisi demokrasi adalah
problem kelembagaan politik. Pelembagaan politik dipandang penting untuk
menjadikan demokrasi yang sudaah berjalan menjadi semakin kokoh. Kita telah
menyaksikan bagaimana medan politik pasca Orde Baru berkembang dalam
berbagai protes jalanan yang tujuannya menuntaskan seluruh problem politik
”peninggalan” Soeharto. Disisi lain sebagian kalangan MS memandang bahwa
bukan hanya ”penuntasan Orde Baru” saja yang penting, tetapi juga menata
bagaimana demokrasi yang sedah dicapai menjadi lebih bermakna.
Pemerintahan berikutnya (BJ Habibie) nampaknya memiliki keinginan
untuk menjalankan roda demokrasi dengan segera. Tidak ada kesempatan bagi
Habibie
untuk
mempertahankan
dan
mengulang
apa
yang
dilakukan
Soeharto.Tuntutan politik sudah demikian kencang untuk segara membuka keran
politik seluas-luasnya. Ini ditandai dengan
berbagai langkah kongkret seperti
pelaksanaan pemilu multi partai secepatnya, desentralisasi politik, pemberesan
masalah Timor Leste, dan lain sebagainya. Nampaknya pemerintah pusat sudah
43
Hal ini yang menjadikan LBH mengalami pasang surut setelah reformasi. Jauh sebelumnya
perpecahan telah berlangsung yang ditandai dengan pendirian PBHI sebagai anti tesis YLBHI.
105
sudah kehilangan daya cengkramnya terhadap kehidupan politik sipil. Militerpun
telah berjanji untuk mundur dari panggung politik secara bertahap. Inilah
kesempaatan bagi MS untuk menata kehidupan politik mejadi lebih bermakna
dengan mengembangkan kerja yang lebih kongkret.44
Transisi
demokrasi
membutuhkan
tatanan
yang
lebih
pasti
agar
demokratisasi lebih terjamin, bukan hanya semata-mata membongkar status quo
tapi juga menyusun agenda berikutnya bagi memperkukuh partisipasi .
Pelembagaan politik didasarkan pada upaya mengembangkan ”ilmu pasang” ,
dimana seluruh energi pembaruan bukan semata-mata diletakkan pada upaya
”membongkar” tatanan politik lama, tetapi lebih dari itu adalah menata kehidupan
dan kelembagaan politik menjadi lebih bermakna. Dalam konteks ini gagasan
seperti memperkuat demokrasi di tingkat lokal, memastikan ruang politik rakyat
lebih terbuka, memastikan anggaran lebih berpihak kepada rakyat dan lain
sebagainya menjadi tema kalangan MS . Di Yogyakarta tema-tema ini menjadi
gelombang besar yang disorongkan MS lokal. Banyak aktifitas ornop yang
ditujukan untuk melakukan penataan kelembagaan politik, baik struktur politik
paling bawah yakni desa ataupun diatasnya, kabupaten dan propinsi.
Untuk melihat dinamika gerakan MS di Yogyakarta, akan dibagi dalam
tema-tema utama yang menjadi kerangka dasar aktifitas ornop dan MS lainnya di
Yogyakarta. Membaginya dalam tema ini memudahkan melihat dalam optik tujuan
dan hasil yang diperlihatkan oleh kalangan MS di Yogyakarta. Tema yang akan
disajikan untuk melihat fenomena gerakan MS di Yogyakarta adalah masalah yang
berkaitan dengan desentralisasi politik baik itu meliputi desa ataupun kabupaten,
masalah gerakan feminis, kebijakan publik, pemilihan Gubernur DIY termasuk
didalamnya adalah masalah Keistimewaan DIY, dan gerakan
anti kekerasan.
Membagi dalam optik-optik tersebut akan membuka persinggungan setiap aktor
dan tokoh dalam bingkai besar dan pertautannya dalam dinamika politik di DIY.
44
Untuk Melihat bagaimana transisi demokrasi berjalan dalam fase awal reformasi dapat dibaca
Chris Manning & Peter Van Diermen (2000), Indonesia di Tengah Transisi; Aspek-Aspek Sosial
Reformasi dan Krisis, LkiS, Yogyakarta
106
6.3.1. Gerakan Memperkuat Desentralisasi Politik
Salah satu agenda demokratisasi yang digulirkan Presiden Habiabie adalah
otonomi daerah. Habibie tidak ingin mengambil resiko menghadapi berbagai protes
dan ancaman disintegrasi, karenanya segera melonggarkan pengendalian terhadap
daerah. Salah satu substansi dari kebijakan ini adalah memberikan ruang partisipasi
politik kepada rakyat desa melalui UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah. Ini
adalah undang-undang paling skstrem menyangkut hubungan pusat dan daerah. Di
Yogyakarta salah satu LSM yang memiliki perhatian terhadap dinamika politik
lokal adalah LAPERA45. Pada tahun 1998 menjelang Soeharto jatuh, LAPERA
bekerjasama dengan YAPPIKA menyelenggarakan
training bagi kalangan
masyarakat pedesaan dan buruh yang diberi tema “Pendidikan Penguatan
Masyarakat Sipil (P2MS)46”. P2MS disusun atas dasar pemikiran bahwa kesadaran
politik rakyat harus mulai ditumbuhkan sebagai pintu terbentuknya demokratisasi
politik di tingkat grassroot. P2MS dilakukan di dua basis utama yang menjadi
konsentrasi LAPERA, yakni buruh dan pedesaan. Untuk pelaksanaan P2MS
disektor buruh dilakukan di Ungaran Jawa Tengah terhadap beberapa pabrik
garmen dan tekstil47. Sedangkan untuk wilayah pedesaan dilaksanakan di Desa
Gadingsari, Kabupaten Bantul dan Mororejo, Kabupaten Sleman. Pemilihan lokasi
pendidikan didasarkan pada aktifitas pendampingan yang dilakukan sebelumnya
oleh lembaga tersebut dalam beberapa kasus seperti pilkades dan sengketa tanah.
Output dari pendidikan tersebut adalah dibentuk fórum masyarakat yang didirikan
atas inisiatif masyarakat sebagaimana di Gadingsari dibentuk Lembaga Inisiatif
Masyarakat (LIM).
Ini adalah sebuah ujicoba politik dimana pembentukan
organisasi diluar aturan resmi negara adalah tindakan yang berbahaya ketika Orde
Baru berkuasa.
45
Sutoro Eko (Edt) [2005] Manifesto Pembaruan Desa; Persembahan 40 tahun STPMD ”APMD”,
APMD Press, Yogyakarta
46
Tim LAPERA [1998] Manual Kursus Pendidikan Penguatan Masyarakat Sipil (P2MS),
LAPERA, Yogyakarta
47
Untuk pabrik garment yang mengikuti pendidikan adalah PT Golden Flowers dan pabrik tekstil
PT Batamtex. Ungaran merupakan sebuah kawasan industri di Jawa Tengah dan sering menjadi
basis pengorganisasian LSM perburuhan di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Catatan aktifitas
penggorganisasian
107
Tahun 1999 sejalan dengan proses demokratisasi di Indonesia, sebuah
lembaga donor, yakni The Ford Foundation (TFF), mulai mengembangkan deks
baru di lingkungan kantor perwakilannya Jakarta, yakni deks Governance and Civil
Society48. Hans G. Antlov, seorang antropolog berkebangsaan Swedia adalah
Program Officier pertama untuk deks ini. Disertasi Hans G. Antlov mengenai
pemerintahan desa dalam sistem politik Orde Baru diterbitkan LAPERA dengan
judul Negara Dalam Desa (2000). Ditengah-tengah hiruk pikuk politik 1999,
ketika berbagai ornop melakukan advokasi terhadap pelaksanaan pemilu, TFF
memalingkan perhatiannya terhadap upaya mendorong demokratisasi di tingkat
lokal, salah satunya adalah pelembagaan politik desa. Bukan hanya TFF yang
memberikan perhatian terhadap masalah desentralisasi di Indonesia, CSSP-USAID
juga secara khusus menggelontorkan dukungan untuk LSM yang bekerja untuk
masalah ini. Di Yogyakarta salah satu ornop yang memberikan perhatian terhadap
pelembagaan politik lokal adalah LAPERA, yang kemudian diikuti oleh ornop
lainnnya seperti IRE, Forum LSM DIY, dan beberapa perguruan tinggi seperti
Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, STPMD ”APMD”, UMY, dan UAJY.
Gagasan pertama LAPERA adalah pendirian ”Parlemen Desa”49. Sebuah
lembaga legislatif di tingkat desa. Sejalan dengan pertemuan antara TFF dan
LAPERA serta inisiasi penguatan masyarakat di pedesaan melalui P2MS,
disusunlah satu program realisasi parlemen desa yang berangkat dari pengalaman
DIY dalam menjalankan Dewan Kelurahan pada tahun 194650. Program pertama
adalah menggali kembali sejarah parlemen desa di DIY51. Dari penelitian tersebut
kemudian dikembangkan satu gagasan untuk mengimplementasikan kembali
perlemen desa di salah satu desa penelitian, yakni Gadingsari, Kecamatan Sanden.
Gagasan ini mirip dengan keberadaan legislatif di lembaga politik setingkat distrik
sampai pusat. Upaya merealisasikan parlemen desa tentu bukan mudah
48
TFF, Celebrating Indonesia, Fifty Years With The Ford Foundation 1953-2003, 2003.
Sebelumnya desk tersebut tidak ada di kantor perwakilan TFF Jakarta.
49
Bernas, 6/2/1999
50
Selo Soemardjan, [1981] Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta; Soedarisman Poerwokoesoemo[1984] Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
51
Suhartono W. Pranoto, dkk, [2000] Parlemen desa : dinamika DPR Kalurahan dan DPRK
Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
108
dilaksanakan mengingat kehidupan politik di desa mengalami stagnasi selama
pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Ornop penggiat demokrasi lokal di Yogyakarta mencatat paling tidak ada
enam masalah mendasar yang dihadapi rakyat desa dalam masa transisi tersebut52,
pertama, rakyat merasa dirinya bodoh. Posisi rakyat yang dimarjinalisasi pada
dasarnya telah menjadi sarana yang paling efektif untuk menutup setiap
kesempatan yamg dimiliki oleh rakyat. Kedua, rakyat mengalami ketergantungan.
Apa yang dilukiskan oleh rakyat sendiri sebagai “kebodohan” terkadang menjadi
sarana untuk ‘bersembunyi’. Rakyat pada gilirannya menyerahkan perubahan pada
mereka yang anti perubahan. Ketiga, pandangan bahwa pemerintah adalah hukum.
Keempat, warga pemerintah. Posisi pemerintah yang menjelma menjadi hukum,
pada dasarnya makin memperkukuh kekuasaan pemerintah. Logika awal di mana
pemerintah adalah hasil kreasi masyarakat untuk mengatasi masalah mereka, sama
sekali tidak bisa berjalan. Kelima, mitos ekonomi dan anti-politik. Proses politik
yang penuh dengan represi telah menempatkan rakyat menjadi pihak yang seakanakan (dan dalam kenyataan) tidak memiliki hak untuk ambil bagian dalam politik.
Secara sistematik telah terbentuk mitos bahwa wilayah rakyat hanyalah ekonomi.
Keenam, legalitas mengalahkan legitimasi. Kekuasaan absolut telah pula
menjadikan rakyat terkena sindrom legalitas. Dalam sebuah pertemuan yang
dilakukan oleh LAPERA untuk prakarsa parlemen desa, hampir selalu ditanyakan
oleh masyarakat local apakah gagasan tersebut ada dasar hukumnya atau tidak.
Bahkan dalam rapat-rapat ornop di pedesaan pada periode tersebut selalu
ditanyakan apakah sudah ijin dengan aparat berwenang atau belum.
Dalam perkembangannya gagasan untuk mengujicobakan parlemen desa,
berbarengan dengan perumusan undang-undang otonomi daerah oleh Presiden BJ
Habibie yang kemudian melahirkan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah
yang didalamnya memuat regulasi tentang pembentukan Badan Perwakilan Desa
52
Himawan Pambudi, (edt) [2003] Jalan Baru Keadilan; Dokumen Pertemuan Konsolidasi
Pembaruan Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta; Catatan Refleksi Lima Tahun Pembaruan
Desa 1998-2003 (dari Parlemen Desa ke Institusionalisasi Demokrasi Desa hingga Pembaruan
Desa), LAPERA Indonesia
109
(BPD). Dengan demikian gagasan tersebut menemukan titik legalnya ketika UU
tentang pemerintahan desa yang baru diimplementasikan.
Menstransformasi pandangan rakyat dalam sebuah sistem politik yang
otoriter ke dalam sistem politik yang demokratis tidaklah mudah dilakukan. Dalam
upaya mendorong berbagai tantangan politik yang berkembang, sekaligus
merespon perubahan politik melalui pembentukan parlemen hasil pemilu 1999,
LAPERA mengembangkan dialog kritis antara anggota DPRD hasil pemilu 1999
dan masyarakat desa. Dialog ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan
politik egaliter yang sangat sulit didapatkan ketika Soeharto berkuasa, sekaligus
memberikan jawaban berbagai problema politik rakyat diatas. Rakyat yang
sebelumnya menganggap tabu membicarakan politik dan menganggap bahwa
politik merupakan wilayah “terlarang” dengan dialog tersebut secara berlahan
berubah. Kehadiran politisi di rumah-rumah penduduk secara langsung, telah
membangkitkan kepercayaan dan keyakinan rakyat bahwa politik menjadi sesuatu
yang “lumprah” dalam kehidupan sehari-hari rakyat desa. Dalam mengembangkan
dialog antara DPRD dan rakyat di pedesaan, LAPERA kemudian mengembangkan
kerjasama yang lebih luas dengan Harian Bernas, yakni membuka kolom tanya
jawab antara DPRD dan masyarakat yang diberi nama FORUM RAKYAT. Rubrik
ini terbit setiap hari Senin dengan difasilitasi oleh LAPERA selama dua tahun.
Ciri lain dari perkembangan MS di Yogyakarta posta Soeharto adalah
kerjasama yang intensif dengan media massa lokal, khususnya media cetak dan
radio. Elemen gerakan MS di Yogyakarta leluasa mengisi berbagai kolom yang
disediakan oleh media cetak, baik itu debat opini, kolom tanya jawab, ataupun
sejumlah rubrik kerjasama lainnya. Kadangkala ornop langsung menjadi
redakturnya dalam beberapa kolom opini kerjasama. Kalau pada waktu Orde Baru
masih berkuasa, kerjasama dengan ornop boleh dikatakan sangat terbatas, hanya
pada peliputan aktifitas LSM atau statment politik tertentu. Setelah Soeharto jatuh,
media cetak memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkampanyekan
berbagai gagasan LSM. Selain itu radio juga krap menjadi tempat bagi LSM untuk
mengkampanyekan gagasannya. Selain media cetak, salah satu ciri lain dalam
perkembangan MS posta Soeharto adalah maraknya penerbitan dibawah payung
110
LSM53. Penerbitan rupanya menjadi sebuah trend baru dikalangan LSM pada era
ini karena dukungan yang sangat besar dari program-program donor. Hampir setiap
program memiliki alokasi dana untuk penerbitan sebagai bagian dari kampanye.
Selain kepentingan untuk mengembangkan kampanye terhadap gagasan yang
diusung LSM, penerbitan juga berfungsi sebagai fund rusing LSM untuk
menghindari ketergantungan lebih jauh terhadap donor. Inilah yang menjadikan
mengapa kemudian Yogyakarta menjadi salah satu centrum penerbitan di
Indonesia.
Salah satu gejala baru pendekatan LSM dalam periode ini adalah berbagai
program pengembangan kapasitas baik untuk aktifis gerakan sosial ataupun untuk
masyarakat secara langsung. Sesungguhnya pengembangan kapasitas bukan hal
baru di lingkungan LSM, hanya yang cukup menonjol pada periode ini adalah
berkembangnya training advokasi dan politik di lingkungan LSM. Setiap program
yang disusun dengan lembaga donor hampir selalu menyertakan training sebagai
salah satu aktifitasnya. Training adalah kegiatan yang paling sederhana dan
sebagian besar donor mendukung kegiatan ini. Dukungan donor memang sangat
besar pada periode ini, selain The Ford Foundation juga beberapa lembaga donor
governance seperti USAID – CSSP, Partnership Governance Reform, Ausaid,
Novib dan lain sebagainya54.
Memperkuat kelembagaan politik di desa adalah salah satu strategi yang
ditempuh oleh kalangan MS di Yogyakarta. Memperbesar ruang partisipasi politik
rakyat dikembangkan dengan mempengaruhi dan memperkuat Badan Perwakilan
Desa (BPD), sebagai salah satu lembaga demokrasi di tingkat desa yang
diamanatkan dalam UU No. 22/1999. Tugas BPD berdasarkan UU No. 22/1999
adalah (1) mengayomi yaitu menjaga adat istiadat yang hidup dan berkembang di
desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan, (2)
legislasi yaitu merumuskan dan menetapakan peraturan desa sersama-sama dengan
pemerintah desa, (3)Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan
53
Adhe,[2007] Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007, Komunitas Penerbit Jogja,
Yogyakarta, Untuk menyebut beberapa penerbitan yang berada di bawah payung LSM antara lain
LAPERA Pustaka Utama, IRE Press, ATPMD “APMD” Press, Insist Press, Forum LSM, LKiS, dan
lain sebagainya.
54
TFF, Op cit ; USAID – CSSP; Building The Foundation For Democracy, April 2005
111
peraturan desa, anggaran belanja, serta serta keputusan kepala desa . (4)
menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang
diterima dari masyarakat kepada pejabat atau insatansi yang berwenang55. Dengan
fungsi yang sedemikian vital bagi pertumbuhan partisipasi politik di pedesaan,
LSM mengambil peran yang sangat besar dalam mengembangkan kapasitas politik
para anggota BPD.
Tanggal 13 Mei 2003 jaringan BPD se DIY membentuk
jaringan untuk memperkuat dan memperjuangkan pelaksanaan otonomi desa56.
Kemudian tanggal 19-21 Mei 2003 diselenggarakan pertemuan nasional BPD yang
kemudian membentuk Asosiasi Badan Perwakilan Seluruh Indonesia (ABDESI).
BPD merupakan kelembagaan baru yang dibentuk atas mandat UU No. 22/1999.
Sebagai lembaga baru di desa dan memiliki otoritas politik besar, peran dan fungsi
BPD menjadi penting dalam mengawasi kebijakan pemerintahan desa. Dalam
menjalankan pemerintahan, pemerintah desa tidak dapat lagi semena-mena
sebagaimana sewaktu UU No. 5/1979 diberlakukan. Bahkan kadang-kadang
pemerintah desa dan BPD sering tidak menemukan mufakat terhadap kebijakan
tertentu seperti yang terdapat di desa Ambarketawang dan beberapa desa lain di
kabupaten Bantul57.
Salah satu ciri lain dalam gerakan MS pasca Soeharto adalah kerjasama
yang intensif dengan aparatur pemerintahan. Kalau pada waktu Orde Baru MS
mengambil peran oposisi, pada era ini justru sebaliknya, bekerjasama untuk
memperkuat kapasitas rakyat.
Di Kabupaten Bantul misalnya, telah dibentuk
Komite Pembaruan Desa (KPD) di masing-masing desa atas kerjasama UMY dan
LAPERA. KPD terdiri dari anggota masyarakat, perangkat desa Badan Perwakilan
Desa, untuk merumuskan dan mengawal kerja pembaruan desa di tingkat desa. Ini
mirip dengan panitia agraria pada waktu pelaksanaan UUPA 1960. Di Kabupaten
yang sama juga telah berlangsung satu kursus pembaruan desa yang disebut dengan
Sekolah Pembaruan Desa (SPD). Kursus ini diikuti oleh kepala desa, anggota
Badan Perwakilan Desa, masyarakat desa yang mendedikasikan kerja politiknya
55
Pasal 36 UU No 22 Tahun 1999
Bernas, 14/5/2003, Kedaulatan Rakyat, 2 4/2002, Bernas, 8/5/2003
57
Bernas,13/9/2003, Bernas, 3/10/200, Bernas, 31/10/2003, Bernas, 24/10/2003, Bernas, 3/9/2002,
Bernas, 7/9/2002, Bernas, 8/5/2003.
56
112
bagi pembaruan desa. SPD merupakan kerjasama beberapa perguruan tinggi dan
LSM yang ada di Yogyakarta, antara lain Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Fisipol Universitas
Atmajaya, Fisipol Universitas Gajah Mada, IRE dan LAPERA58. Kerjama
pengembangan demokrasi lokal bukan hanya terbatas pada implementasi kegiatan,
tetapi juga pada konsentrasi isu. Beberapa universitas dan LSM di Yogyakarta
kemudian mengembangan Jaringan Pembaruan Desa (JPD) yang bertujuan
mengawal pelaksanaan otonomi di Yogyakarta. Kerjasama antara LSM dan
universitas semakin erat dalam berbagai kegiatan, dan membentuk mutualism yang
kuat. Keterlibatan perguruan tinggi dalam praktek pemberdayaan juga merupakan
arena baru dalam era pasca Soeharto. Universitas sangat concern terhadap gagasan
pemberdayaan di berbagai sektor sekalipun sesungguhnya kerja yang demikian
sudah dikembangkan jauh sebelum era reformasi. Dukungan donor terhadap
universitas dalam berbagai program pemberdayaan juga sangat melimpah, dan
bahkan dalam banyak hal donor lebih menyukai universitas dalam menjalankan
berbagai program karena dinilai lebih profesional.
Kabupaten Bantul pernah memiliki hubungan yang buruk dengan kalangan
MS di masa lalu terkait dengan pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad
Syafrudin. Melalui kerjasama tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan
paradigma di kalangan ornop melalui kerjasama dengan pemerintah. Karena
pemerintahlah yang memiiki legitimasi dan legalitas untuk menggerakkan
masyarakat.
Dari
merekalah
memberdayakan masyarakat59.
energi
perubahan
hendak
diarahkan
untuk
Dengan keterlibatan pemerintah daerah dalam
program-program yang digagas ornop dan kalangan universitas, maka upaya
penataan kelembagaan akan jauh lebih efektif. Kerjasama semacam ini
sesungguhnya telah selalu berlangsung di berbagai tempat, bukan hanya penguatan
kelembagaan lokal, tetapi juga anggaran daerah, penyelenggaraan kursus dan
keterlibatan ornop yang intensif dalam berbagai proyek pemerintah..
58
Laporan Program Realisasi Pembaruan Desa, Yayasan LAPERA Indonesia, 2004
Lihat Laporan Lima Tahun Refleksi Pembaruan Desa, LAPERA Indonesia, 2003. Wawancara
dengan Nurhadi, 2 Juni 2007
59
113
Selain mengenai penataan kelembagaan, salah satu yang perlu dicatat
adalah pertumbuhan ornop yang memiliki perhatian terhadap dinamika politik lokal
pedesaan. Pertama yang perlu dicatat dalam periode ini adalah berdirinya berbagai
ornop yang concern terhadap masalah politik pedesaan, salah satunya adalah
Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Karsa didirikan oleh aktifis
Konsorsium Pembaruan Desa dan beberapa aktifis yang yang concern terhadap
masalah ekologi dengan fokus pada persoalan-persoalan tranformasi sosial politik
di desa.
Bagian kedua yang penting juga untuk dicatat berkaitan dengan dinamika
ornop politik lokal adalah perbedaan antara kelompok ornop yang mengusung
”pembaruan”
desa
dengan
kelompok
ornop
lain
yang
memberi
label
”pembaharuan” desa pada aktifitasnya. Sebuah pertengkaran eksistensi dikalangan
ornop Yogyakarta yang mengusung transformasi pedesaan sedang terjadi.
Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar diantara dua kelompok ini,
tetapi eksistensi lembaga membutuhkan pengakuan, oleh karena itu membuat
membangun wacana tanding diperluan agat diperoleh pengakuan60.
Namun menguatnya
perhatian terhadap masalah desentralisasi tidak
dibarengi dengan menguatan di level nasional. Membesarnya gerakan desentralisasi
justru dengan mudah dipatahkan oleh panggung politik formal di Jakarta. Ketika
gerakan desentralisasi menguat di level daerah dan dukungan donor yang besar,
namun pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 22/1999 menjadi
UU No. 32/2004 yang dianggap oleh banyak kalangan penggiat desentralisasi
sebagai bentuk resentralisasi. Penyusunannya sediri dianggap tidak kredibel karena
cacat partisipasi.
Kerjasama antara LSM dan perguruan tinggi sangat intensif pada periode
ini.
Salah
satunya
adalah
penyelenggaraan
KKN
alternatif
dipedesaan.
Sebagaimana kita ketahui, LSM memiliki jaringan kuat di pedesaan melalui
berbagai macam program, sedangkan Perguruan Tinggi memiliki sumber daya
intelektual yang besar. Penyelenggaraan KKN alternatif di pedesaan dengan
60
Untuk melihat fenomena tersebut, lihat Sindu Dwi Hartanto, [2003] Pembaruan Desa dan Krisis
Hegemoni, Tesis Pada Program Sosiologi Pedesaan IPB, (tidak diterbitkan).
114
program-program khusus yang di gagas oleh LSM mendapat respon besar dari
kalangan Perguruan Tinggi. Tercatat beberapa Perguruan Tingggi
yang
mengembangkan KKN model ini adalah Universitas Kristen Duta Wacana,
Universitas Mahammadiyah Yogyakarta dan STPMD ”APMD”.
Selain peranan LSM yang menonjol dalam upaya memperbesar peran
politik parlemen desa, pemerintah desa rupaya juga bergerak sendiri membentuk
asosiasi kepala desa untuk memperkuat posisinya. Di Kabupaten Kulon Progo di
deklarasikan paguyuban lurah Bodronoyo yang merupakan persatuan lurah se
kabupaten Kulon Progo. Di Gunung kidul dibentuk paguyuban Semar dengan
tujuan yang sama. Di Kabupaten Bantul membentuk paguyuban Tunggul Jati.
Tanggal 2 November 2000 kemudian dibentuk paguyuban lurah Ismaya yang
merupakan akronim dari ing sedyo memetri asline Yogyakarta. Paguyuban lurah ini
tidak dapat dilepaskan dari peran Notosoewito yang merupakan lurah Argomulyo,
masih bersaudara dengan Soeharto61. Dalam perkembangannya Semar memiliki
peran sangat besar dalam dinamika politik di Yogyakarta, khususnya berkaitan
dengan keistimewaan dan pemilihan Gubernur. Dengan posisinya sebagai kepala
desa (lurah) paguyuban semar mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar
untuk mendukung proses politik yang diperjuangkan.
Diluar kelembagaan politik di tingkat desa, di Yogyakarta juga berkembang
upaya memperkuat posisi politik rakyat melalui pembentukan serikat tani. Di
Yogyakarta sangat jarang kasus tanah yang menimbulkan sengketa berlarut
sebagaimana yang terjadi di Kedung Ombo. Namun hubungan-hubungan politik
telah terbangun melalui berbagai aktifitas LSM, khususnya yang bergerak di
masalah agraria dan lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) DIY adalah salah satu konsorsium LSM di Yogyakarta yang melakukan
advokasi terhadap kebijakan Taman Nasional di Gunung Merapi. Dalam
mengembangkan advokasi berkaitan dengan taman nasional WALHI membentuk
komite lokal dengan nama Komite Rakyat Lereng Merapi dan kemudian
berkembang menjadi Forum Masyarakat Lereng Merapi (FMLM)62. WALHI
61
62
Bernas, 1/4/2000; Laporan program LAPERA, 2002
Radar Jogja, 21/6/2006.
115
adalah salah satu elemen MS yang percaya bahwa pengorganisasian menjadi jalan
untuk memperkuat rakyat marginal. Sekalipun dalam beberapa hal WALHI
mengembangkan kerjasama dengan pemerintah, namun sikap oposan masih
menjadi ciri terpenting kelompok ini. Di luar WALHI, LBH Yogyakarta juga salah
satu elemen yang berkeyakinan bahwa pemerintahan post Orde Baru memiliki
kemauan baik untuk melindungi rakyatnya. Dengan pengalaman sebagai bantuan
hukum struktural, LBH memiliki banyak kontak dengan masyarakat desa. Salah
satu divisi dalam LBH adalah Divisi Tanah dan Lingkungan. Divisi ini banyak
menangani sengketa tanah dan lingkungan di DIY dan Jawa Tengah. Melalui divisi
ini dan bekerjasama dengan beberapa lembaga yang ada di Yogyakarta, LBH
mendeklarasikan Serikat Tani Merdeka (SETAM)63. SETAM merupakan salah satu
model serikat rakyat yang dipelopori oleh LSM, oleh karena itu model
organisasinyapun tidak jauh berbeda dengan LSM, terutama dalam kemandirian
terhadap donor.
Sekalipun SETAM merupakan organisasi yang berbasis pada
massa, yang berbeda dengan LSM yang bercirikan pada staft, tetapi dalam
prakteknya
seringkali
mengadopsi
model
LSM
untuk
mengembangkan
organisasinya. Sebagai contoh dalam soal pendanaan, SETAM mencari dukungan
dari lembaga donor ketimbang mengembangkan partisipasi anggotanya. SETAM
pada tahun 2000 mendapatkan dukungan dari USAID – CSSP untuk program
penguatan organisasi tani.
6.3.2. Gerakan Feminis di Yogyakarta
Pelopor ornop perempuan di Yogyakarta adalah Yayasan Anisa Swasti
(Yasanti) yang didirikan pada tahun 1982 oleh beberapa mahasiswi di Yogyakarta.
Yasanti memberikan perhatian terhadap nasib buruh perempuan64. Sesudah Yasanti
berdiri, berbagai ornop perempuan berkembang dengan pesat di Yogyakarta
diantaranya adalah Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY), Yayasan
Kesejahteraan Fatayat yang berafiliasi dengan NU, Rifka Anisa, SP Kinasih,
Senjata Kartini (Sekar)
yang berafiliasi dengan PRD, Koalisi Perempuan
63
Bernas, 28/8/1999
Wawancara Kumoro Dewi, 6 Januari 2007, Katalog LSM/LPSM DIY, BP Forum LSM/LPSM
DIY 1991-1994
64
116
Indonesia, Tjoet Nya Dien, LBH APIK, Lembaga Studi Perempuan dan Anak,
IHAP, PKBI, dan beberapa Pusat Studi Wanita (PSW) universitas. Dalam melihat
pola, interrelasi antar ornop perempuan di Yogyakarta, akan lebih dalam kalau
menggunakan kasus yang terjadi di Yogyakarta pada medio 1998-2004.
Selain Yasanti yang menjadi embrio gerakan ornop perempuan di
Yogyakarta, kiranya kita perlu melihat ornop yang berada dalam koordinasi
nasional, yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Konsentrasi
organisasi ini adalah pada kesehatan reproduksi, termasuk didalamnya adalah soal
HIV/AIDS pada kelompok rentan seperti PSK, homoseksual, dan lain sebagainya.
Sekalipun gerakan perempuan bukan merupakan salah satu pilihan stretegisnya,
namun karena perempuan merupakan kelompok masyarakat yang paling berkaitan
dengan kesehatan reproduksi, maka PKBI memasukkan masalah gender dalam
memahami persoalan perempuan. Sebagai contoh adalah kelompok dampingan
mereka di Pasar Kembang, salah satu lokalisasi terbesar di Yogyakarta. Bersama
Griya Lentera, PKBI mengorganisir para PSK melalui Bunga Seroja, untuk
meningkatkan posisi tawar perempuan pekerja sex dalam penggunaan kondom
sebagai cara melindungi dari penyakit menular sexual. Tetapi justru bukan pada
pengorganisasian perempuan, ornop ini menuai masalah berkaitan dengan
gerakannya.
PKBI juga mengorganisir kelompok homoseksual dan trans jender di
Yogyakarta. Tanggal 11 November 2000, PKBI dan kelompok dampingannya
menyelenggarakan acara "Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000” yang diikuti
komunitas Gay dan Lesbi dari berbagai daerah. Tidak disangka sebelumnya, acara
tersebut tiba-tiba diserang oleh Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), salah satu ormas
kepemudaan yang berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan65. Peristiwa
bentrokan semacam ini biasa terjadi di Yogyakarta antara organisasi pemuda yang
berafiliasi ke partai dengan kelompok sosial lainnya. Bentrokan paling sering
terjadi antara mahasiswa yang dituduh komunis dengan organisasi seperti FAKI,
Gepako, atau GPK. Peristiwa tersebut membuktikan perbedaan cara pandang
antara ornop dengan masyarakat terhadap masalah tertentu. Dari sisi perjuangan
65
Pernyataan sikap Indonesia Gay Society (IGS) tanggal 12 November 2000
117
kemanusiaan dan universalisme nilai, apa yang dilakukan PKBI merupakan sebuah
langkah positif. Tetapi masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap isu
tertentu. Perbedaan semacam ini sering terjadi antara ornop dengan masyarakat,
sebagaimana yang terjadi dengan organisasi massa perempuan Koalisi Perempuan
Indonesia (KPI) wilayah Yogyakarta.
KPI didirikan tanggal 14-17 Desember 1998, dalam sebuah pertemuan para
aktifis feminis Indonesia di Yogyakarta. Beberapa aktifis perempuan memberi
acungan jempol terhadap organisasi massa perempuan yang barangkali merupakan
organisasi massa perempuan pertama yang berdiri sejak Soeharto tumbang.
Beragam isu diangkat oleh ormas ini, salah satunya adalah affirmative action.
Affirmative action adalah perlakuan khusus yang diberikan kepada perempuan
untuk duduk dalam kelembagaan politik seperti parlemen mengingat sangat
minimnya jumlah perempuan yang mengambil bagian dalam keputusan politik.
Kampanye yang dilakukan KPI adalah mendorong partai politik untuk memberikan
porsi lebih banyak kepada perempuan untuk menjadi calon legislatif. Selain itu KPI
juga mempromosikan supaya para perempuan memilih perempuan dalam pemilu
200466. Selain mempromosikan keterwakilan perempuan dalam kelembagaan
politik, KPI juga mendorong pemberian porsi anggaran yang lebih besar kepada
kaum perempuan sebagaimana yang juga dilakukan oleh kalangan ornop lainnya di
Yogyakarta atau berbagai daerah di Indonesia. Sejauh menyangkut tentang promosi
politik, aktifitas ornop di Yogyakarta tidak akan berhadapan dengan nilai sosial
yang dipegang oleh masyarakat Yogyakarta. Namun kalau bersentuhan dengan
tema yang dianggap tabu, seringgali gerakan perempuan akan menghadapi
tantangan yang berat. Sebagai contoh adalah pengelenggaraan pentas monolog
yang diberi judul ‘Vagina Monolog’. Pentas ini dilaksanakan tanggal 7 Maret 2003
dengan melibatkan 18 perempuan yang terdiri dari artis panggung dan aktifis
perempuan. ‘Vagina Monolog’ bertutur mengenai berbagai kekerasan yang dialami
perempuan terkait dengan posisinya yang tersubordinasi dalam panggung ekonomi,
66
Semai, Edisi IV/April 2003; Semai Edisi VI/ Juni 2003; Semai Edisi VIII/Agustus 2003; Semai
Edisi IX/september 2003, Wawancara dengan Mulyandari, 26 Juli 2007; Bernas, 24-26//2/2003
118
sosial, budaya dan politik67. Bukan pentas ini yang menjadi heboh dan kemudian
menjadi polemik di media massa lokal, tetapi keterlibatan GKR Hemas, permasuri
Sultan, yang sedianya akan menjadi salah satu pemain dalam petas monolog
tersebut. Pada mulanya GKR Hemas bersedia untuk tampil dalam salah satu sesi
acara tersebut. Keterlibatan GKR Hemas tentu merupakan simbol dukungan yang
besar bagi gerakan perempuan di Yogyakarta. Namun secara tiba-tiba, 3 hari
sebelum pementasan dilangsungkan, GKR Hemas membatalkan keikutsertaannya
dalam pentas monolog tersebut68. Alasan yang disampaikan GKR Hemas adalah
karena tema yang diangkat dalam pementasan tersebut terkesan kontroversial.
Sebagai publik figure, apalagi sebagai simbol feodalisasi Jawa, keterlibatan GKR
Hemas tentu saja dapat menuai kecaman dari publik, khususnya mereka yang
masih perpandangan konservatif terhadap seksualitas.
Kampanye semacam ini tetap menjadi ciri gerakan MS di Yogyakarta.
Metode yang digunakan tetap menggunakan panggung wacana sebagai basis
gerakan, ketimbang masuk kedalam politik riil. KPI tetap memposisikan sebagai
organisasi non partisan sampai sekarang69. Dengan corak dan metode organisasi
yang tidak jauh dari model organisasi yang berbasis pada staft, KPI tetap
menggantungkan
sumber
pendanaannya
dari
donor
luar
negeri.
Upaya
mengembangkan iuran anggota sebagai salah satu ciri ormas, tetap sulit dilakukan
mengingat pola relasi yang terbangun masih berbasiskan pada elitisme personal.
KPI memang menyelenggarakan pemilihan Sekretaris Jendral secara langsung dan
demokratis, tetapi upaya ini tidak berpengaruh banyak terhadap upaya membangun
partisipasi anggota yang lebih besar, khususnya berkaitan dengan pendanaan.
Ciri untuk tetap menyertakan ormas dalam proses mendorong wacana yang
diinginkan adalah salah satu ciri gerakan perempuan pasca Soeharto. Kita
mengetahui semua bahwa pada jaman Soeharto membangun ormas adalah tindakan
subversif. Oleh karena itu wacana organisasi berbasis massa, selalu menjadi bagian
dari metode MS di Yogyakarta. Sebagai contoh adalah hubungan antara Rumpun
Tjoet Nyak Dien (RTND) dengan kelompok advokasinya, Pembantu Rumah
67
Bernas, 10/3/2003.
Bernas, 5/3/2003
69
Semai Edisi IX / September 2004
68
119
Tangga (PRT). RTND didirikan pada tanggal 9 April 1995 dengan fokus perhatian
terhadap PRT. Lembaga ini berpandangan bahwa PRT yang mayoritas adalah
perempuan, belum diakui kedudukannya dalam hubungan kerja yang layak dalam
struktur sosial keluarga. Untuk memperjuangkan upaya tersebut RTND membentuk
Jaringan Pekerja Rumah Tangga (JPRT).
Pendekatan terhadap advokasi kebijakan juga menjadi ciri aktifitas ornop
post Soeharto. Kalau jaman Orde Baru, aktifitas politik ditujukan untuk
membongkar praktek kebijakan yang kotor sebagai cara untuk mendelegitimasi
kekuasaan, setelah Soeharto jatuh advokasi ditujukan untuk melembagakan
berbagai kebijakan yang dianggap pro rakyat. Kita akan menjumpai berbagai
aktifitas ornop yang ditujukan untuk melembagakan isu berkaitan dengan regulasi
anggaran, peraturan daerah, ataupun undang-undang. Dalam kaitan dengan regulasi
itulah tujuan RTND dan JPRT adalah mendorong lahirnya peraturan daerah yang
melindungi PRT. Namun sudah lebih dari lima tahun upaya tersebut belum berhasil
dilakukan sekalipun komitment dari pemerintah dan DPRD sudah seringkali
ditagih. Ini berbeda dengan upaya Rifka Anissa dalam pengalamannya mendorong
UU tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Rifka Anissa adalah salah satu ornop di Yogyakarta yang concern terhadap
persoalan kekerasan dalam rumah tangga didirikan pada tahun 1990. Awalnya. Sri
Kusyuniati, direktur Yasanti—sebuah LSM yang bekerja untuk advokasi buruh
perempuan--- menemukan banyak buruh perempuan yang didampingi mengalami
kekerasan. Tidak hanya di pabrik, tetapi ketika pulang ke rumah pun mereka
mengalami kekerasan. Sistuasi ini mendorongnya untuk mendirikan Women’s
Crisis Center (WCC) di Indonesia. Usaha pertamanya untuk mendirikan WCC
bersama aktifis perempuan di Yogyakarta menemui kegagalan. Kemudian beberapa
aktifis perempuan di Yogyakarta mendirikan Rifka Anissa Women’s Crisis Center
Yogyakarta pada tanggal 26 Agustus 1993. Rifka Anissa adalah WCC pertama di
Indonesia. Tahun 1995 merupakan babak baru dalam perjalanan Rifka Anissa,
yakni mulai bersentuhan dengan perspektif gender. Sesungguhnya masalah KDRT
sudah menjadi perbincangan lama, hanya dalam konteks yang berbeda. Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) telah mengangkat masalah polygami dan feodalisme
120
yang menjadi akar dari KDRT
70
. Di dalam melakukan advokasi, Rifka Anissa
memiliki kemampuan untuk membangun empati terhadap suara korban dengan
menghadirkan secara langsung para korban dalam ruang publik melalui talk show
di radio ataupun TV lokal. Beberapa stasiun radio mengembangkan kerjasama
dengan Rifka Anissa untuk menyelenggarakan berbagai acara seperti talk show,
ruang konsultasi, bahkan pembuatan sandiwara radio sampai dengan film
dokumenter71. Rifka Anissa memperoleh dukungan yang besar dari media massa
nasional untuk ruang advokasinya. Harian Kompas bahkan memberikan rubrik
khusus tentang persoalan perempuan dalam ‘Swara’ dimana banyak memuat tulisan
aktifis perempuan dan masalah KDRT menjadi salah satu topik yang mendapat
porsi khusus72. Barangkali Rifka Anissa adalah satu-satunya ornop yang mampu
mengemas sebuah isu –dalam hal ini KDRT---dari sejak permulaannya sampai
menjadi regulasi politik nasional .
Selain berbagai ornop dan ormas perempuan di atas, pertumbuhan ornop
perempuan post Orde baru merupakan fenomena penting. Dapat dikatakan bahwa
tahun-tahun sesudah Orde Baru jatuh, wacana gerakan feminis cukup menghangat
di Yogyakarta. Selain ornop lokal, juga beberapa ornop merupakan cabang dari
ornop yang ada di Jakarta seperti LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan (LBH Apik) yang fokus pada letigasi perempuan korban kekerasan.
Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY) juga merupakan salah satu
ornop perempuan yang peduli terhadap perdagangan perempuan dan penguatan
wacana feminisme di tingkat lokal. Selain soal masalah-masalah diatas, anggaran
untuk perempuan dan pendidikan politik untuk perempuan kiranya juga menjadi
tema penting dalam advokasi ornop di Yogyakarta. Kedua masalah tersebut tidak
selalu menjadi wilayah kerja ornop perempuan, tetapi dapat menjadi wilayah kerja
ornop yang tidak secara khusus mengusung ideologi feminis dalam lembaganya.
Sebagai contoh adalah LAPERA dan IDEA, dua ornop yang peduli pada masalah
pedesaan dan anggaran. LAPERA sejak awal telah mengembangkan wacana
70
Lihat Saskia Wieringa [1999] Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya,
Jakarta
71
Tulus [2002] Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan; Kisah-kisah advokasi di Indonesia, Insist
Press, , hal 273.
72
Kompas, 26/5/2003, Kompas, 14/10/2002
121
demokratisasi desa menjadi salah satu topik utama advokasinya. Secara khusus
aktifitas LAPERA selalu bersinggungan dengan kelembagaan desa. Namun dalam
beberapa hal, persinggungan dengan
perempuan di desa yang masih
termarginalisasi mendorong LAPERA untuk mengembangkan advokasi mengenai
partisipasi perempuan di pedesaan melalui pendirian Instutut Penguatan Peran
Politik Perempuan (IP4). Fokus utama lembaga ini adalah melakukan pendidikan
politik untuk perempuan pedesaan supaya memiliki kesempatan mengambil bagian
dalam kebijakan politik di desa73. IDEA (Institut Development and Economic
Analysis) merupakan ornop yang peduli terhadap korupsi dan transparansi
anggaran. Dalam perkembangan programnya IDEA juga melakukan advokasi
mengenai gender bugeting, baik di kabupaten ataupun pedesaan. Di Kabupaten
Gunungkidul, IDEA mengembangkan advokasi anggaran untuk kesehatan
perempuan.
Nafas gerakan perempuan yang berbeda dilakukan oleh Senjata Kartini
(Sekar). Sekar adalah organ gerakan feminis dari sebuah partai politik. Umumnya
anggota Sekar adalah anak muda yang tidak hanya fokus pada persoalan
perempuan, tetapi juga meluas ke berbagai isu yang lain. Sebagai contoh adalah
tuntutan Sekar berkaitan Hari Perempuan Internasional yang tidak memiliki kaitan
langsung dengan persoalan yang dihadapi perempuan, seperti kenaikan upah buruh
100%, pembentukan UU bagi perlindungan buruh, jaminan pendidikan dan
kesehatan gratis, pemberian subsidi bagi sarana produksi pertanian, pembentukan
UU tentang perlindungan hasil produksi pertanian74.
Kampanye melalui media adalah salah satu strategi yang berkembang
setelah orde baru jatuh. Tidak mengherankan kalau koran lokal seperti KR dan
Bernas bertebaran berbagai kolom yang diisi oleh para aktifis ornop. Bernas pernah
menyelenggarakan kolom Perempuan dan Politik kerjasama dengan KPI DIY,
LAPERA,
SBPY,
dan
LBH
APIK
menyelenggarakan debat opini Perempuan
DIY.
Kedaulatan
Rakyat
pernah
dan Keistimewaan DIY kerjasama
Forum LSM DIY, KPI, LAPERA. Selain itu LBH APIK juga menyelenggarakan
73
Lihat Bernas, 22/4/2003, Bernas, 17-19/3/2003; Interem Report, Percepatan Pembaruan Desa
Melalui Peningkatan Peran politik Perempuan, LAPERA – The Asia Foundation, 2002
74
Bernas, 8/3/2003
122
konsultasi hukum perempuan korban kekerasan di KR. Rubrik ini berisi konsultasi
masalah perempuan di Yogyakarta. Bentuk-bentuk kerjasama dengan media
menjadi sebuah model kampanye yang paling sering dilakukan oleh kalangan
ornop di Yogyakarta. Tetapi kerjasama dengan media kadang-kadang menimbulkan
dilema dikalangan ornop sebagaimana kasus yang terjadi pada Pemimpin Umum
harian Kedaulatan Rakyat (KR) .
Soemadi M. Wonohito (SMW) adalah Pemimpin Umum Harian KR, koran
terbesar di Yogyakarta.
SMW dituduh oleh Sri Wahyuni –stafnya – telah
melakukan pelecehan seksual dan diperkarakan secara hukum. Kasus ini menjadi
berita hangat di Yogyakarta karena menyangkut tokoh pemilik koran terbesar.
Media massa yang menjadi rival KR tentu saja menjadikan kasus ini menjadi
amunisi untuk membidik dan menjatuhkan KR. Demikian juga beberapa ornop
perempuan yang ada di Yogyakarta bergabung dalam Koalisi Aktivis Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (KAAKTP). Kelompok ini giat mendampingi
korban untuk memperkarakan SMW secara hukum75. Akibatnya adalah berbagai
siaran pers dan pemberitaan aktifitas ornop perempuan yang bergabung dalam
koalisi tersebut tidak pernah mendapat liputan dari KR. LBH APIK jauh hari
sebelum peristiwa tersebut muncul ke permukaan telah menjalin kerjasama dengan
KR. Ketika kasus tersebut berkembang, LBH APIK memilih untuk berdiri diluar
koalisi dengan bersikap netral. Pilihan tersebut sesungguhnya disayangkan oleh
anggota koalisi yang lain, karena dengan demikian LBH APIK memilih tetap
bekerjasama dengan KR dari pada pilihan idelismenya sebagai ornop yang
memperjuangkan hak perempuan.
Pilihan isu dan metode gerakan perempuan di Yogyakarta menjadi
fenomena yang menarik untuk dipelajari. Pada ujung dari berbagai advokasi
terhadap hak dan partisipasi politik perempuan, gerakan perempuan menemukan
titik kebuntuan ketika diperhadapkan pada kenyataan bahwa salah satu calon
Presiden padsa pemilu 2004 adalah perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri.
Dengan alasan untuk tetap bersikap non partisan, pada babak akhir pelaksanaan
75
Bernas, 21/2/2003
123
pilpres, para aktifis gerakan perempuan tidak sedikitpun memberikan wacana
tentang presiden perempuan.
6.3.3. Gerakan Tata Pemerintahan Yang Baik
Tata pemerintahan yang baik menjadi salah satu tema LSM setelah Orde
Baru jatuh. Peran lembaga lembaga donor dan keterbukaan politik mendorong
kalangan masyarakat sipil, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
terlibat intensif dalam program-program pengembangan demokratisasi dan
transparansi pemerintahan. Topik seperti partisipasi transparansi, good governance,
akuntabilitas, dan lain sebagainya menjadi jargon yang kerap diusung oleh
kalangan LSM pada periode ini. Hampir tidak ada diskursus tanding dalam topik
tersebut. LSM telah masuk dalam perangkap wacana yang dilontarkan donor untuk
mereformasi sistem politik di Indonesia76. Longgarnya peran donor dalam
mendukung wacana tersebut telah memicu pertumbuhan LSM advokasi yang
memberi perhatian pada sistem pemerintahan lokal. Tidak mengherankan kalau
LSM anti korupsi, advokasi regulasi partisipasi dan transparansi, serta advokasi
anggaran banyak berdiri pada periode tersebut di Yogyakarta. Salah satu LSM yang
memberikan perhatian terhadap tema tersebut adalah Forum LSM DIY yang
merupakan wadah berbagai berbagai LSM di Yogyakarta.
Forum LSM DIY menerima hibah dari The Ford Foundation sebesar 1,2
milyar untuk melakukan advokasi kebijakan berkaitan dengan partisipasi publik.
Hibah tersebut digunakan untuk masa program dua tahun, dan diperpanjang
beberapa bulan berikutnya77. Forum LSM DIY menegaskan tujuannya akan
mendorong peran organisasi rakyat dalam mewujudkan pemerintahan yang
partisipatif, akuntabel, dan transparan. Program advokasi kebijakan publik tersebut
secara khusus ditujukan untuk mendorong lahirnya perda partisipasi publik di
Kotamadya Yogyakarta. Dalam menjalankan program, Forum LSM DIY membagi
anggotanya menjadi tiga tim yang dikoordinir oleh Manajer Eksekutif yang diberi
76
Mengenai kepentingan donor terhadap berbagai proyek yang berkaitan dengan tema kebijakan
publik dapat dilihat Jurnal Wacana, Membongkar Proyek-Proyek Ornop, No. 16 Tahun VI/2004
Januari – April 2004
77
Dokumen Laporan Pertanggungjawaban Forum LSM Yogyakarta, 2002-2004, Bernas, 24/3/2003,
Bernas, 25/3/2003, Bernas, 26/3/2003.
124
nama TAK (Tim Advokasi Kebijakan). Team tersebut terdiri dari team legislasi,
tim pengorganisasian, dan tim kampanye. Tim legislasi bertugas menyiapkan draft
rancangan peraturan daerah yang akan didesakkan menjadi regulasi di Kota
Yogyakarta. Tim pengorganisasian bertugas untuk mengorganisir partisipan dan
menjadi gerakan ekstra parlementer dalam upaya mendorong
kebijakan.
Sedangkan tim kampanye bertugas untuk menyiapkan daya dukung melalui
pembentukan opini publik. Tim pengorganisasian melakukan kegiatan dengan
membentuk forum-forum dialog di perkampungan. Sedangkan tim kampanye
melakukan penerbitan berupa Jurnal dengan nama Jurnal Demokrasi dan leaflet
dengan tema-tema yang disesuaikan dengan tujuan program. Pembentukan ketiga
tim ini mirim dengan apa yang direkomendasikan dalam manual kursus advokasi
oleh Insist78. Forum LSM DIY juga tergabung dalam koalisi yang didukung oleh
CSSP -USAID terkait dengan tema partisipasi publik. Dalam perjalanan advokasi
untuk penyusunan Peraturan Daerah (Perda) mengalami kebuntuan, bahkan sampai
sekarang Perda tersebut tidak terealisasi.
Rupanya partisipasi publik menjadi tema yang cukup menonjol dikalangan
ornop Yogyakarta. Selain Forum LSM DIY yang secara serius memberikan
perhatian terhadap masalah ini, beberapa isu yang berdekatan atau bahkan sama
dengan apa yang dilakukan Forum LSM DIY adalah Yogyakarta Corruption Wacth
(YCW), Jogjakarta Transparansi, Jaringan Advokasi dan Kajian Kebijakan Publik
(Jangkep), masyarakat anti korupsi (MAKI), Aliansi Masyarakat Untuk
Transparansi Yogyakarta (AMTY), Masyarakat Anti Korupsi dan Kekerasan
Yogyakarta (MAKKY) dan sejumlah tema-tema sejenis dalam konteks lokal
kabupaten.
Perkembangan ini tentu saja menggembirakan dan sekaligus
menimbulkan kerancuan bagi kalangan masyarakat sipil. Menggembirakan karena
perkembangan politik dalam transisi demokrasi telah mendorong berbagai prakarsa
MS untuk terlibat lebih jauh dalam proses politik di Yogyakarta, sesuatu yang
sangat sulit terjadi ketika Orde Baru masih tegak. Namun disisi lain pertumbuhan
78
Insist adalah salah satu ornop yang concern terhadap advokasi dan perubahan sosial. Lembaga ini
banyak menerbitkan buku-buku bertemakan advokasi dan pengorganisasian masyarakat sipil. Lihat
Roem Topatimasang (edt) [2000] Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi Untuk
Organisasi Non Pemerintah, Readbook, Yogyakarta
125
tersebut seringkali menimbulkan tumpang tindih dalam menyikapi isu tertentu.
Sebagai contoh misalnya peran Forum LSM DIY sebagai wadah gerakan LSM di
Yogyakarta yang kemudian menjelma menjadi lembaga tersendiri, sementara
partisipannya seperti IDEA, Tjoet Nyak Dien dan lain sebagainya juga melakukan
hal yang sama sebagaimana yang dikerjakan oleh Forum LSM. Akibatnya daya
kendali Forum LSM sebagai sebuah wadah LSM di Yogyakarta menjadi tidak
signifikan. Kadang-kadang Forum LSM juga membentuk koalisi lain untuk untuk
menyikapi berbagai masalah yang terjadi di Yogyakarta bersama-sama dengan
LSM anggotanya. Sebagai contoh adalah kasus pembangunan Jogja Expo Center
(JEC) di daerah Janti, Yogyakarta.
Jogja Expo Center (JEC) digagas sebagai tempat ruang pamer dan kegiatan
masyarakat DIY. Konon pembangunan gudung ini menghabiskan biaya Rp 42,5
milyar dari anggaran pemerintah DIY79. Pada mulanya gagasan ini tidak
mengundang protes dari kalangan MS di Yogyakarta karena memang DIY
memerlukan tempat yang representatif untuk berbagai kegiatan ekspo dan
pertemuan. Menjadi masalah ketika ternyata dalam pembangunan tersebut ada
indikasi korupsi dalam pengucuran dana untuk pembangunan kepada sejumlah
anggota DPRD Propinsi DIY. Beberapa anggota DPRD DIY ditengarai menerima
sejumlah dana dari kontraktor pembangunan untuk mempercepat pencairan
anggaran tambahan pembangunan80.
Sejumlah LSM di DIY segera bertindak untuk mendesak pengusutan kasus
korupsi tersebut. Tanggal 11 Januari 2002 Parwi dan PKBH Universitas Ahmad
Dahlan mengajukan barang bukti berupa cek yang mengalir ke beberapa anggota
DPRD81. Pada bulan yang sama, 9 LSM termasuk di dalamnya Forum LSM DIY
mendesak supaya kasus korupsi tersebut segera dituntaskan dan pelakunya dibawa
79
Koran Tempo Online, 4/2/ 2002
Gatra, 16 /10 /2002. Bersaman dengan kasus tersebut juga berkembang isu suap dikalangan
DPRD DIY berkaitan dengan pemilihan Wakil Gubernur DIY, Sri Paku Alam VIII yang dikenal
dengan kasus “Pakan Munyuk”, karena yang member suap adalah kepala kebun binatang Gembira
Loka (Joko Tirtono). Kasus ini kemudian terhenti tanpa tindak lanjut dari kajaksaan. Kompas, 23
/2/ 2002 Radar Jogja, 22/2/ 2002, Bernas, 23 /2/ 2002 , Bernas, 1/2/2002, Kedaulatan Rakyat, 1/
2/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 31/1/2002
81
Kompas, 12/1/2002
80
126
ke pengadilan82. Dalam perkembangan kasus korupsi tersebut akhirnya hanya satu
anggota DPRD DIY, yakni Herman Abdurrachman yang diajukan ke meja hijau.
Ini tentu merupakan proses politik dimana sekalipun korupsi dilakukan secara
berjamaah, namun beberapa anggota DPRD berusaha meminimalisir korban83.
Tentu saja kalangan MS mendesak supaya bukan hanya Herman Abdurrachman
yang diajukan ke meja hijau, tetapi juga anggota DPRD lainnya yang diyakini
terlibat dalam kasus suap tersebut. Berbagai aliansi masyarakat sipil dibentuk
menyikapi kasus tersebut antra lain MAKI (Masyarakat Anti Korupsi), MAKKY
(Masyarakat Anti Korupsi dan kekerasan Yogyakarta), AMTY (Aliansi Masyarakat
Untuk Transparansi Yogyakarta). Pada tanggal 11 Mei 2002, MAKI mengeluarkan
pernyataan dukungan terhadap Herman Abdurrachman untuk membeberkan
anggota dewan lain yang menerima suap84. MAKKY yang beranggotkan sejumlah
elemen LSM di Yogyakarta juga mengeluarkan pernyataan serupa pada tanggal 10
April 2002. Dua bulan sebelumnya Forum LSM DIY yang tergabung dalam
AMTY juga mendesak supaya kasus JEC diusut tutas85.
Aliansi seperti diatas menjadi fenomena MS yang terjadi di Yogyakarta.
Kalau ini dianggap sebagai sebuah strategi, sesungguhnya kurang memberi makna
bagi perjuangan gerakan MS. Aliansi yang terbetuk umumnya anggotanya sama
dengan aliansi lain atau sedikit berbeda untuk menyikapi masalah yang sama.
Kadang antar elemen saling berkoordinasi dan memberikan statment dalam wadah
yang berbeda. Akibatnya adalah seringkali terjadi jebakan dari mereka yang berdiri
diseberang kelompok tersebut sebagaimana menimpa AMTY
yang dituduh
menerima suap dari pengusaha yang mengerjakan proyek JEC86. Sekalipun hal
tersebut dibantah oleh para aktifisnya, namun paling tidak tuduhan tersebut telah
menunjukkan betapa lemahnya kekuatan aliansi yang tidak terkoordinasi dengan
baik karena dapat dengan mudah masuk ke dalam power game. Selain itu kadang
kala masing-masing anggota aliansi masih mengeluarkan statment untuk kasus
82
Radar Jogja, 31/1/ 2002. Sembilan elemen tersebut antra lain Forum LSM DIY, AJI, LBH Jogja,
YLKI, PBHI. YCW, LAPERA, IDEA, Tjoet Nyak Dien
83
Radar Jogya , 14/11/2002, Kompas, 10/6/ 2002, Bernas, 20 /7/ 2002 , Kompas, 17/10/ 2002
84
Bernas, 12/5/ 2002
85
Bernas, 11/4/ 2002 . Kedaulatan Rakyat 14/5/2002, Kompas, 5/2/2002, Kompas, 6/2/ 2002,
Kedaulatan Rakyat, 6/2/2002
86
Bernas, 1/3/ 2002, Radar Jogja, 1/3/ 2002, Kompas, 1 /3/ 2002
127
yang sama dan sering tidak dikoordinasikan dengan aliansi yang lain. Forum LSM
DIY yang merupakan bagian dari aliansi masih mengeluarkan statment sendiri
selain statment yang dikeluarkan oleh aliansi dimana Forum adalah bagian di
dalamnya. Hal ini juga terjadi pada PARWI atau YCW yang mengeluarkan
statment untuk kasus yang sama sekalipun keduanya merupakan bagian dari aliansi.
Barangkali kebutuhan terhadap publisitas lembaga yang mendorong tetap harus
tampil meninggalkan aliansi, sekalipun substansinya sama dengan yang diusung
oleh aliansi. Kesan bahwa ornop tidak berada dalam koordinasi yang baik sangat
nampak ketika mereka menyikapi berbagai masalah yang berkembang di
Yogyakarta. Forum LSM DIY yang anggotanya terdiri dari 60 ornop kadangkadang membentuk aliansi untuk menyikapi isu tertentu bersama anggotanya.
Dengan demikian Forum LSM telah menjelma menjadi lembaga tersendiri yang
memiliki kedudukan politik sama dengan anggotanya ketika terlibat dalam
advokasi. Kadang kala untuk yang sama masalah yang sama, Forum LSM DIY
membiarkan anggotanya untuk bekerja membentuk aliansi sendiri tanpa Forum
LSM terlibat sekalipun masalah yang disikapi memiliki keterkaitan dengan
pendekatan forum. Ini yang terjadi pada Jangkep (Jaringan Kajian dan Advokasi
Kebijakan Publik).
Selain melakukan advokasi terhadap korupsi JEC, beberapa kasus
penggusuran dan korupsi juga menjadi fokus perhatian ornop. Kasus yang
menonjol adalah pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai PKL87,
dugaan penyimpangan anggaran di DPRD Kota Yogyakarta88, dan korupsi proyek
saluran air hujan89.
Jangkep adalah jaringan beberapa Ornop di Yogyakarta yang peduli
terhadap kebijakan publik. Dalam bahasa Jawa, Jangkep berarti lengkap atau
sempurna. Dengan demikian, secara filosofis, keberadaan Jangkep diharapkan
dapat turut mendorong terwujudnya suatu kebijakan publik yang lengkap/sempurna
87
Radar Jogja, 10/10/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 10 /10/ 2002; Bernas, 11/2/ 2002 . Perda ini
diadvokasi oleh YLKI, Yayasamn Cita Mandiri, Jogja Urban, LABH. YLKI dan LABH adalah
partisipan Forum LSM DIY
88
Radar Jogja, 20/10/2002
89
Radar Jogja, 18/11/2003 , Radar Jogja, 11/12/2003. Bernas, 11/3/2004. Bernas, 18/3/2004 Kasus
ini diadvokasi oleh Forum LSM DIY dan YCW.
128
dalam tatanan demokratis. Jangkep dibentuk tanggal 28 Oktober 2000 oleh
beberapa LSM antara lain IDEA, JPMS, LBM,YLKI Yogyakarta, PBHI
Yogyakarta,STA (komunitaS masyarakaT perkotAan). Pada awalnya personalpersonal pendiri Jangkep ini tidak mengatasnamakan kelembagaan mereka, namun
merupakan
jaringan
aktifis
ornop
yang
resah
terhadap
lemahnya
dan
dilemahkannya masyarakat oleh-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan
publik. Perkembangan dari hasil-hasil pertemuan yang diadakan secara mingguan
(setiap hari sabtu), dengan tempat yang bergiliran di sekretariat masing-masing
lembaga akhirnya pada pertemuan di STA (komunitaS masyarakaT perkotAan),
beberapa LSM bergabung antara lain, KOMPESHAM (Komunitas Peduli Syariah
dan HAM), ELKAM (Lembaga Kajian dan Advokasi Media), dan Serambi
Mataram. YLKI, IDEA, PBHI, dan Serambi Mataram adalah partisipan Forum
LSM90.
Kesembilan ornop tersebutlah di awal-awal kegiatan Jangkep saling bahumembahu melakukan pengkritisan dan advokasi terhadap berbagai kebijakan public
di Yogyakarta. Bahkan pada saat melakukan advokasi terhadap RAPBD Propinsi
DIY Tahun 2001, Jangkep sempat memprakarsai sebuah jaringan masyarakat yang
lebih luas, yang tidak saja terdiri atas ornop, tetapi juga ormas, organisasi
kemahasiswaan, yakni KAMTA (Kesatuan Aksi Masyarakat untuk Transparansi
Anggaran).
Forum LSM DIY menjadi anggota KAMTA. Koalisi ini
memperjuangkan gender buged pada anggaran pemerintahan Provinsi DIY. Hal itu
dilakukan setelah ditemukan data bahwa anggaran untuk kesejahteraan perempuan
di provinsi tersebut nol rupiah. Di samping itu, proporsi anggaran belanja aparatur
jauh lebih besar ketimbang anggaran belanja untuk publik. Setelah dirinci, jumlah
dan besaran alokasi anggaran untuk kesejahteraan penduduk ternyata kurang dari 1
% dari total anggaran yang diusulkan. Puncaknya, jejaring koalisi tersebut sempat
“menduduki” ruang parlemen saat acara pengesahan RAPBD 2003. Mereka
menuntut adanya revisi pada usulan anggaran yang diajukan. Seiring dengan
berjalannya waktu, jejaring tersebut bubar akibat berbenturan dengan kegiatan
masing-masing anggota. Mereka memutuskan untuk menjalankan proses advokasi
90
Wawancara Dati Fatimah, 23 Desember 2007
129
sesuai dengan kepentingan atau focus lembaga masing-masing, agar hasilnya lebih
optimal dan tidak terjadi tumpang-tindih dengan lembaga lain91. Dalam
perkembangannya Jangkep
mengkonsentrasikan pada kebijakan publik yang
berkaitan dengan anggaran, khususnya APBD. Hal ini karena disadari bahwa lahan
garapan tentang kebijakan publik sangat luas. Sedangkan sumber daya yang ada di
Jangkep sangat terbatas. Selain itu, kebijakan publik anggaran/APBD dipandang
merupakan
isu
yang
penting
untuk
digarap,
karena
belum
banyak
jaringan/ornop/lembaga yang belum menaruh perhatian terhadap hal tersebut.
Selain berbagai lembaga yang terlibat dalam berbagai advokasi diatas,
banyak lembaga baru yang dibentuk setelah fase transisi demokrasi karena
menariknya isu ini bagi kalangan MS. Jogjakarta Transparansi dan YCW adalah
dua diantara banyak lembaga yang berdiri pada fase transisi demokrasi yang
memberikan perhatian pada transparansi92. Lembaga ini bekerja secara sendirisendiri ataupun secara kolektif mendorong berbagai perubahan kebijakan di tingkat
local.
6.3.4. Pemilihan Gubernur dan Keistimewaan Yogyakarta
Tanggal 7 April 2007 adalah hari yang bersejarah bagi rakyat Yogyakarta.
Hari itu bertepatan dengan pada acara peringatan Wiyosan Dalem (hari ulang
tahun) ke-61 Sri Sultan HB X di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Bukan acara ulang
tahunnya yang dianggap penting, tetapi pidato Sultan yang berjudul “Berbakti
Kepada Ibu Pertiwi”. Dalam pidato tersebut Sultan HB X menyatakan “dengan
tulus ikhlas tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi
DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008. Jabatan Sultan HB X sebgai
Gubernur DIY akan berakhir pada Oktober 2008, dan ini adalah masa jabatan
terakhir menurut ketentuan UU No. 32 Tahun 2004.
91
Aris Arif Mundayat(et al) [2006] Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, Women
Research Institute, Jakarta. hal 89-90
92
Kedaulatan Rakyat, 9/10/2002; Bernas, 9/10/2002
130
Polemik mengenai jabatan Gubernur DIY sudah berlangsung empat tahun
sebelumnya. Menjelang masa jabatan pertama berakhir, masalah jabatan Gubernur
dan Keistimewaan DIY selalu berlangsung seru yang melibatkan kalangan MS di
Yogyakarta. Substansi yang mengemuka adalah berkaitan dengan, apakah jabatan
Gubernur
DIY
secara
otomatis
menjadi
privillege
(penetapan)
Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan mempertimbangkan aspek sejarah dan cultural
masyarakat DIY, atau dipilih secara demokratis sebagaimana amanat UU93.
Persoalan ini yang kemudian mengemuka pada tahun 2003 ketika masa jabatan
Gubernur DIY untuk periode pertama berakhir. Bagi sebagian besar masyarakat
DIY, penetapan bukan semata-mata diletakkan pada konteks sejarah, tetapi juga
kehormatan Keraton yang memiliki posisi sentral dalam aspek sosiologis dan
kultural masyarakat Yogyakarta. Kalau jabatan Gubernur dipilih dan salah satu
calonnya adalah Raja mereka, maka ini bukan saja akan mengancam kewibawaan
Keraton, tetapi juga telah melanggar nilai-nilai sosial budaya masyarakat
Yogyakarta karena menempatkan Raja sama dengan rakyat kebayakan dalam
kompetisi politik.
Bagian ini akan memberikan perhatian terhadap dinamika politik di
Yogyakarta saat suksesi Gubernur akan berlangsung pada tahun 2003. Pemilihan
Gubernur menjadi topik paling hangat di DIY pada waktu itu dan sekaligus
membentuk kutub-kutub yang saling bertentangan satu dengan yang lain sesuai
dengan kepentingan, peran politiknya dan kapasitas politiknya. Secara politik kita
dapat membaginya dalam dua golongan, yakni parlementer dan ekstra parlementer.
Tetapi itu saja tidak cukup, dalam posisi ekstra parlementer ternyata ada dua
kelompok yang dicirikan oleh mobilitas politik, yakni golongan menengah
terpelajar perkotaan dan masyarakat pedesaan yang diwakili perangkat desa.
93
Dalam konteks sejarah, bergabungnya Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI dapat
dikatakan sebagai fase penting dari “Feodal” menjadi “Republik”. Maklumat 5 September 1945
dianggap menjadi tonggak penting, bukan saja bergabungnya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat
dengan NKRI yang baru terbentuk, tetapi juga peran sejarahnya di kemudian hari dalam
pembentukan Republic Indonesia.
131
Ketiganya membentuk tali temali yang berujung pada penetapan atau pemilihan
Gubernur DIY dengan melihat Keistimewaan sebagai dasar politiknya.
Untuk bagian pertama kita akan melihat peran golongan menengah
terpelajar yang direpresentasikan oleh LSM dan Perguruan Tinggi (Universitas).
Golongan memiliki
ciri yang tidak selamanya sama persis dengan apa yang
diwakilinya, yakni, pertama, umumnya berasal dari kelompok yang tidak memiliki
afiliasi politik, atau mereka yang mengklaim posisinya sebagai non partisan.
Kedua, golongan ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, bahkan
menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai kaum intelektual. Ketiga, memiliki
pandangan politik moderat yang mengadopsi model politik kotemporer dengan
jargon –jargon partisipasi, demokrasi, dan transparansi. Keempat, golongan ini
tidak mewakili siapapun selain dirinya sendiri atau lembaga yang berbasis staft.
Kadang ciri tersebut dapat ditambahkan dengan kemampuan mobilitas yang tinggi
dan pembentukan opini yang lebih argumentative.
LSM dan Universitas memiliki pandangan berbeda dengan Partai Politik
dan masyarakat di pedesaan. Forum LSM DIY misalnya, dalam laporan akhir
kepengurusan Dewan Pengurus Forum LSM Periode 2002-2004 menegaskan
pandangannya terhadap polemik pemilihan Gubernur DIY. Forum LSM
mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “wacana kritis”. Forum LSM DIY
memandang kuatnya kultur feodal berimbas pada menyempitnya ruang demokrasi
dimana partisipasi politik rakyat tidak dihargai. Forum LSM DIY mengupayakan
serangkaian diskusi untuk memberikan wacana dan membuka ruang diskursus yang
kritis atas proses-proses demokratisasi yang terkungkung dalam kuatnya kultur
feodal di DIY dimana jabtan Gubernur menjadi hak istimewa Keraton. Dengan
mengembangkan wacana kritis maka diharapkan ada proses peningkatan kesadaran
rakyat untuk mendorong terwujudnya gerakan sosial, dan ini dianggapnya sebagai
saripati demokrasi.
Dalam mengembangkan wacana kritis tersebut beberapa LSM di
Yogyakarta membentuk Koalisi Masyarakat Yogyakarta untuk Keistimewaan
132
(KMKY). Koalisi ini terdiri dari LAPERA, LBH, Forum LSM DIY, PLBH
Persada, GMNI ’STPMD’, IRE.
Inti dari koalisi ini dalah mendesak supaya
pelaksanaan pemilihan gubernur DIY dilakukan secara demokratis sebagaimana
daerah lain di Indonesia sesuai dengan semangat demokrasi dan Undang-undang94.
Koalisi ini selain mengembangkan aksi untuk menuntut pemilihan Gubernur secara
langsung, juga lobi ke parlemen Daerah yang secara konstitusional memiliki
kewenangan politik. Selain mengembangkan dialog dengan berbagai kalangan,
koalisi juga membangun opini melalui media massa dengan rubrik opini mengenai
persoalan keistimewaan dan statment terhadap perkembangan polemik95. IRE
adalah salah satu anggota koalisi. IRE bersama dengan anggota koalisi lainnya
menyusun draft RUU Keistimewaan sebagai konsep tanding RUU versi pemerintah
propinsi dan Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM. Salah satu point penting dalam
RUU itu adalah menyangkut pemilihan jabatan Gubernur sebagai eksekutif yang
yang langsung di bawah Sultan dan Paku Alam sebagaimana monarkhi Inggris96.
Diluar kelompok LSM yang sudah ‘mapan’, terdapat beberapa LSM yang baru
berkembang namun memiliki gagasan yang serupa. Sebagai contoh adalah Yayasan
Ronggowarsito. Yayasan Ronggowarsito berniat menyelenggarakan debat publik
terhadap calon-calon Gubernur, termasuk Sri Sultan HB X97.
Sama seperti pandangan LSM, kalangan intelektual kampuspun tidak
ketinggalan dalam mewarnai perdebatan Keistimewaan. Umumnya kalangan
kampus sejalan dengan pandangan LSM, bahwa Keistimewaan bukan terletak pada
jabatan Gubernur tetapi pada peran dan sumbangan Yogyakarta dalam
mengembangkan demokrasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sri Sultan HB
IX melalui Makulamat 5 September 1945. Dalam pandangan akademisi, penetapan
Gubernur sebagaimana yang dikehendaki dalam bingkai Keistimewaan sudah tidak
sejalan dengan semangat demokrasi yang berkembang. Sultan dapat saja
94
Kedaulatan Rakyat, 29/9/2002, Kedaulatan Rakyat, 28/1/2003, Bernas, 15/8/2002, Kedaulatan
Rakyat, 25/7/2002
95
Bernas, 15/8/2002
96
Bernas, 23/10/2002. Wawancara Titok Haryanto, 3 September 2007
97
Radar Jogja, 22/5/2003, Radar Jogja, 14/6/2003
133
didudukkan lebih tinggi dari posisi Gubernur, yakni semacam kelembagaan yang
diberi otoritas untuk menyetujui calon gubernur dan memberikan fatwa berkaitan
dengan persoalan pemerintahan. Formulasi ini juga sekaligus memberikan
kesempatan kepada warga DIY untuk mengambil bagian dalam pemerintahan
melalui konpetisi yang fair dan terbuka. Kelompok ini berpusat di UGM,
khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sekalipun dalam lingkup satu
Fakultas, sesungguhnya terdapat dua kelompok yang berbeda, satu dari Jurusan
Ilmu Pemerintahan dan yang lainnya adalah Sosiologi. Jurusan Ilmu Pemerintahan
(JIP) merupakan kelompok yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Departemen
Dalam Negeri) untuk menyusun Draft Rancangan UU Keistimewaan DIY. Dalam
berbagai kesempatan kedua kelompok ini sering tampil bersama membahas
masalah keistimewaan melalui apa yang disebut Bulaksumur School of Thought,
salah satunya adalah menyelenggarakan debat opini di Kedaulatan Rakyat98.
Selain UGM, beberapa PKBH Universitas di Yogyakarta juga menyuarakan
hal serupa seperti PKBH Universitas Ahmad Dahlan dan PKBH UMY99. Dengan
posisinya sebagai akademisi, kemampuan dalam pembentukan opini di media lokal
melalui statment ataupun kolom opini tentu sangat intens. Sudah menjadi hal rutin
bahwa media massa pasti meminta pendapat kalangan kampus atau LSM.
Berbeda dengan kalangan LSM dan Perguruan Tinggi, masyarakat desa
memiliki pandangan sendiri berkaitan dengan Keistimewan DIY, khususnya
jabatan Gubernur yang menjadi privilege Keraton. Keistimewaan berarti jabatan
gubernur berasal dari Keraton. Paguyuban Lurah dan Badan Perwakiln Desa adalah
motor penggerak kelompok ini yang tergabung dalam berbagai aliansi seperti
Ismoyo (Paguyuban Lurah Yogyakarta) Forum Komunikasi BPD, Gerakan Rakyat
Yogyakarta, dan Forum Jogja Asli (Forjas).
Badan Perwakilan Desa adalah salah satu lembaga yang dibentuk
berdasarkan amanat UU No. 22/1999. Sekalipun baru, badan ini memiliki pengaruh
kuat di masyarakat. Forum Komunikasi BPD DIY sebagai wadah bagi gerakan
98
99
Kedaulatan Rakyat, 22-24 Juli 2002. Wawancara dengan Heru Nugroho, 2 Maret 2008
Radar Jogja, 2/5/2003
134
BPD menyatakan dukungannya terhadap Keistimewaan DIY100. FK BPD meminta
supaya gubernur ditetapkan sebagai bukti keistimewaan. Pada tanggal 4 Mei 2003,
FK BPD mendatangi DPRD DIY untuk meminta penetapan. Bahkan FK BPD
mengancam akan melakukan judicial review terhadap UU No. 22/1999 dan PP No.
151/2000 tentang pemilihan kepala derah. Selain BPD, paguyuban lurah adalah
kelompok yang konsisten pengusung pandangan ini. Tanggal 10 Mei 2003
paguyuban Ismoyo menuntut supaya RUU Keistimewaan mengakomodasi tuntutan
untuk menetapkan Sultan sebagai Gubernur. Umumnya media selalu mengutip
tokoh-tokoh dari kelompok ini mengenai pandangannya soal keistimewaan dan
penetapan Gubernur. Hampir setiap pekan media mass lokal selalu memuat bertita
kutipan wawancara dari ketua Ismoyo ataupun Forum Komunikasi BPD mengenai
pandangan mereka soal keistimewaan101. Puncak dari seluruh kehendak masyarakat
desa terhadap penetapan Gubernur DIY adalah pada bulan Juni 2003. Gelombang
aksi massa pedesaan bertubi-tubi mendatangi DPRD Propinsi DIY. Tanggal 9 Juni
2003 ribuan massa dari berbagai kabupaten melakukan aksi pendudukan di DPRD
DIY selama 6 jam. Mereka menuntut supaya Sultan segera ditetapkan sebagai
Gubernur DIY102. Pada aksi kali ini Sultan sempat memberikan orasi dihadapan
masyarakat dengan mengatakan ‘jangan ganggu rakyat Yogya’, satu pernyataan
bernada ancaman sekaligus kekhawatiran. Tanggal 23 Juni 2003 giliran pamong se
kabupaten Sleman melakukan aksi di DPRD dengan agenda serupa103. Dalam
menjalankan tujuan politiknya, kadang-kadang stigma terhadap pendatang dan non
pendatang dimunculkan untukn membendung pengaruh kelompok LSM dan
intelektual. Kebayakan dari LSM dan akademisi bukan kelahiran Yogyakarta,
mereka umumnya pendatang yang berniat belajar kemudian menetap di
Yogyakarta, karenanya preferensi politiknya menjadi longgar. Forum Jogja Asli
100
Wawancara dengan Kasdiyono, 10 Juni 2007; Radar Jogja, 1/5/2003, Kedaulatan Rakyat,
1/5/2003.
101
Lihat misalnya Bernas, 6/5/2003, Radar Jogja, 2/6/2003,
102
Kedaulatan Rakyat, 10/6/2003, Bernas, 10/6/2003
103
Bernas, 24/6/2003, Bernas, 29/6/2003, Radar Jogja, 24/6/2003. Aksi pamong Kabupaten Sleman
ini bergabung dalam paguyuban lurah Suryo Ndadri dan Forum BPD.
135
(Forjas) adalah kelompok yang memunculkan stigma bahwa mereka yang tidak
setuju penetapan adalah masyarakat pendatang.
Berbeda dengan dua kelompok di atas, DPRD sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan konstitusional nampaknya berada dalam kegamangan. Partai
adalah organisasi politik yang menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat secara konstitusional. Namun dalam konteks Keistimewaan DIY, agaknya
partai politik gamang dalam menentukan sikapnya melalui parlemen. Jejak di
media menggambarkan kepada publik bahwa telah terjadi tarik menarik di dalam
parlemen berkaitan dengan apakah jabatan Gubernur ditetapkan atau dipilih sesuai
amanat UU. No.22/1999. Kegamangan ini sesungguhnya sebuah kewajaran
mengingat bagaimanapun parlemen adalah kelembagaan politik yang harus tunduk
pada konstitusi. UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000 tidak mengatur secara jelas
bagaimana mekanisme pengisian jabatan Gubernur di DIY, sementara UU
Keistimewaan yang ditunggu-tunggu masyarakat DIY tidak kunjung terealisasi104.
Dengan kondisi politik seperti itu maka tidak mengherankan kalau terjadi tarik ulur
dalam penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY.
Masalah pertama yang muncul adalah penyusunan tata tertip (tantip) dalam
Pilkada yang akan menjadi dasar bagi parlemen untuk menjalankan pemilihan
Gubernur. Pansus beranggotakan 17 orang dari lintas fraksi. Pembentukan pansus
sudah menuai protes dari masyarakat karena dengan demikian Dewan telah
menunjukkan niatnya untuk melakukan pemilihan bukan penetapan. Perbedaan
pertama muncul dalam soal pencalonan. Berdasarkan PP No. 151 calon Gubernur
yang kan dipilih harus ada minimal dua pasangan. Sedangkan sebagian besar
pansus menghendaki kalaupun hanya ada satu calon maka itu sah105. Nampaknya
sebagian pansus melihat kemungkinan hanya pihak Keraton yang akan menjadi
calon Gubernur, tanpa memberikan kesempatan kepada calon lain untk
berkompetisi. Sampai disini proses di Pansus menjadi deadlock 106.
104
Bernas, 21/3/2003
Kedaulatan Rakyat, 6/4/2003
106
Kedaulatan Rakyat, 9/4/2003
105
136
Golkar sebagai partai kedua di DPRD DIY dimana Sultan adalah salah satu
fungsionarisnya segera membuat pernyataan dukungan terhadap Sultan HB X dan
Paku Alam IX sebgai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan cara
ditetapkan107. Sultan tidak tergesa-gesa merespon keputusan Golkar ini. Satu ciri
kekuasaan dalam tradisi Jawa, seorang Raja tidak boleh memiliki ambisi
kekuasaan, karena kekuasan
ambisi
kekuasaan
akan
merupakan amanat. Seorang Raja yang memiliki
jatuh
pada
angkara
murka
dan
mencederai
kebangsawanannya. Berbeda dengan Golkar yang mendukung penetapan, PKB
dan PAN nampaknya berada dalam ambigu. Disatu sisi kedua partai ini sepakat
untuk menjaga keistimewaan dengan
memprioritsskan Sultan dan Paku Alam
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, tetapi disisi lain proses yang dilakukan
harus tetap sesuai dengan UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000. Padahal dalam
kedua regulasi itu posisi Yogyakarta tidak berbeda dengan propinsi lain di
Indonesia. PDIP sendiri terlambat mengeluarkan sikapnya dibandingkan dengan
Golkar soal penetapan walapun kemudian juga berikap sama108. Tarik ulur diantara
partai politik ini yang membuat masyarakat Yogyakarta di pedesaan merasa jengah
dan kemudian secara bertubi-tubi mendatangi DPRD DIY untuk menuntut
penetapan. Rupanya partai-partai diluar Golkar dan PDIP memiliki kehendak
sendiri dalam soal pemilihan Gubernur. Nampaknya mereka juga sedang
mempersiapkan calon Gubernur diluar Sultan. Kemudian PKA, PAN, Fraksi
TNI/Polri , dan Fraksi Persatun membentuk forum lintas fraksi untuk menyamakan
pandangan dalam soal tersebut109. Ini yang kemudian menjadi blunder didalam
tubuh empat fraksi tersebut karena dianggap tidak tegas dalam menentukan
sikapnya. Terlebih setelah anggota PAN mengkritik sikap PA IX yang dianggap
tidak memiliki visi pemerintahan110. Dengan demikian sikap di Parlemen terbelah
menjadi dua, Golkar dan PDIP yang menginginkan penetapan dan FPKB, FPAN,
FTNI/Polri dan F Persatuan yang tergabung dalam Forum Lintas Fraksi yang
107
Kedaulatan Rakyat, 7/4/2003
Kedaulatan Rakyat, 9/4/2003
109
Radar Jogja, 14/5/2003
110
Bernas, 12/6/2003, Radar Jogja, 24/5/2003. Wawancra dengan Imawan Wahyudi, 5 Maret 2006
108
137
menginginkan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam UU. Tekanan tentu
saja mengalir ke Forum Lintas Fraksi karena sikapnya tersebut. Sampai disini
proses berjalan alot dan penuh pertentangan, sampai kemedian PAN meminta fatwa
ke MA untuk mengenai penetapan111. Sampai disini proses menjadi alot walaupun
kemudian melalui berbagai pendekatan dan persetujuan pemerintah pusat, Sultan
HB X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
Periode 2003-2008. DPRD pun merasa menjadi korban kebijakan pemerintah pusat
akibat ketidakjelasan regulasi mengenai DIY
112
. Kejadian yang hampir sama
terjadi berikutnya pada tahun 2008 sesudah Sultan mengeluarkan pernyataan
tanggal 7 April 2007.
6.3.5. Gerakan Solidaritas dan Pluralisme
Gerakan solidaritas menjadi salah satu fenomena penting di Yogyakarta
dalam hubungannya dengan gerakan MS. Gerakan solidaritas ini tumbuh dalam
berbagai peristiwa berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di
Yogyakarta diluar konteks program yang umumnya dijalankan oleh LSM. Ciri
penting gerakan solidaritas ini adalah sikap kerelawanan yang ditunjukkan dalam
mengembangkan gagasan dan melakukan advokasi terhadap kasus tertentu.
Umumnya mereka yang berada dlam ranah ini memiliki keyakinan terhadap sikap
yang ditunjukkan pada berbagai aktifitas. Sekalipun model gerakan ini tetap
dibatasi oleh lingkup tema atau kasus tertentu, tetapi gerakan ini umumnya
bersikap indpenden dan memiliki fokus pada topik tertentu secara berkelanjutan.
Ciri lain yang menonjol dari gerakan ini adalah solidaritas horisontal yang
ditumbuhkan. Salah satu yang menonjol adalah gerakan lintas agama yang
tergabung dalam Forum Persaudaran Umat Beriman (FPUB).
FPUB didirikan untuk merespon perkembangan politisasi agama dan
konflik berlatar belakang agama yang terjadi di Indonesia menjelang Soeharto
jatuh. FPUB pada mulanya didirikan oleh bberapa tokoh agama di Yogyakarta
111
Bernas, 19/6/2003. Radar Jogja. 19/6/2003. Pada gilirannya kemudian PAN menyatakan
dukungannya kepada Sultan HB X. Bernas, 23/6/2003
112
Bernas, 25/6/2003
138
yang ingin memberikan kontribusi secara significant terhadap proses perdamaian
dan mengembangkan dialog lintas iman sebagai perwujudan sikap saling
menghormati. FPUB, yang dideklarasikan 24 Maret 1997. Yang unik dari FPIB
adalah wadah ini tidak memiliki struktur kelembagaan yang jelas, seluruhnya
dijalankan karena rasa saling percaya dan menghormati. Siapapun dapat bekerja
dalam wadah ini asal memiliki tujuan yang sama dengan apa yang diperjuangkan
oleh FPUB. Dengan sifat keorganisasian yang cair dan rasa saling percaya diantara
komunitasnya,
FPBU
tumbuh
menjadi
wahana
yang
dipercaya
untuk
mengembangkan wacana pluralism dengan energy tiada batas karena didukung
oleh berbagai kalangan dengan cara swadaya. Pesona FPUB melalui gema nilai
kemanusiaan lintas iman menginspirasi para pencinta perdamaian dan persaudaraan
iman juga membangun komunitas sejenis. FPUB menginspirasi forum-forum lain
di 15 kota di Indonesia. Di Nanggroe Aceh Darussalam namanya Forum Aceh
Kemang; di Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Persaudaraan Umat Beriman; dan di
Klaten (Jateng) Forum Kerukunan Umat Beragama. Seterusnya terbentuk pula
wadah serupa di Purworejo dan Temanggung (keduanya di Jateng) serta Pulau Bali.
Di Yogyakarta, komunitas lintas iman yang diprakarsai oleh FPUB telah bersemi di
73 desa di Yogyakarta.
Dalam berbagai kesempatan, FPUB juga menjelma menjadi kelompok
dinamis untuk mencegah kekerasan ketika situasi politik memanas. Sebagai Contoh
adalah kampanye ‘Jogja Damai’ pada tanggal 22 Januari 2000 di alun-alun utara
saat Gus Dur digoyang oleh Sidang Istimewa MPR. FPUB, KKY, dan beberapa
organisasi kemasyarakatan melakukan kampanye supaya berbagai kerusuhan di
Jakarta tidak menjalar ke Yogyakarta. Peran FPUB
sangat besar dalam
mengembangkan dialog yang didukung berbagai elemen, termasuk cendekiawan
dan bahkan Sri Sultan HB X. .
Berkat FPUB, sekarang banyak orang menyadari bahwa persaudaraan sejati
tidak sekedar berarti asal tidak ada perseteruan, melainkan sikap menerima dan
menghormati kelompok-kelompok agama lain dengan tulus, tanpa mempedulikan
latar belakang dan mengejewantah dalam pergaulan hidup sehari-hari.
139
Namun sejumlah kritik juga singgah kepada tokoh-tokoh FPUB dengan
mengatakan bahwa FPUB adalah organisasi sinkretis dan para pemuka agama yang
terlibat di dalamnya telah meninggalkan agama mereka. KH Muhaimin sebagai
pendiri FPUB dicap sebagai sebagai seorang Muslim yang murtad, Pastor
Hadiatmaja dan Pendeta Bambang Subagyo dianggap sebagai figure yang tidak
setia pada agamanya Ditengah menguatnya fundamentalisme agama, apa yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh FPUB dapat mengundang polemik, bahkan
pertentangan.
Forum persaudaraan itu telah menjadi mitra kerja Conference on Religion
and Peace (yang beroperasi di tingkat nasional, regional, dan dunia), Comite
Catholique Contre La Faim et Pour Le Developpement (komite Katolik Prancis
untuk pembangunan dan penanggulangan kelaparan), dan Asia-Europe Meeting
(ASEM).
Selain FPUB, gerakan diffabel juga merupakan fenomena gerakan
solidaritas yang tumbuh di Yogyakara pada transisi demokrasi. Difabel adalah
individu
yang memiliki kemampuan berbeda dengan orang pada umumnya.
Mereka lahir atau mengalami sebuah keadaan yang memaksa mereka tidak seperti
manusia pada umumnya. Tetapi golongan ini bukan cacat, tetapi memiliki
kemampuan yang berbeda dengan orang normal. Sebab banyak diantara kaum
difabel memiliki prestasi lebih baik dari orang yang dianggap normal. Istilah
‘diffable’ merupakan akronim dari differently able people113.
Dria Manunggal adalah lembaga yang memberikan perhatian secara khusus
kepada kaum difabel. Kegiatatabnya banyak mengembangkan kampanye mengenai
hak-hak kaum difable seperti membuat sanggar belajar bersama, mngembangkan
pelatihan guru tentang penyediaan buku-buku dan materi yang aksesibel bagi siswa
tunanetra di 7 SMU di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini
bekerjasama dengan SLB Negeri 3 Yogyakarta, SMU Muhammadiyah 3
Yogyakarta dan Departemen Pendidikan Nasional. Kini, kegiatan tersebut
diselenggarakan bersama dengan Resource Center IX (RC) SLB Negeri 3
113
Mansour Fakih [2002] Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar bekerjasama
dengan Insist Press, Yogyakarta
140
Yogyakarta dan Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan rencana strategi
dan pengembangan pendidikan inklusi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
dan pemberian beasiswa bagi 60 anak difabel di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dria Manunggal juga mengembangkan advokasi kebijakan berkaitan
dengan fasilitas umum yang memiliki aksesibilitas terhadap difabel, anggaran,
sampai hal politik untuk memilih dalam pemilu.
Solidaritas terhadap pedagang kaki lima (PKL) dilakukan para mahsiswa
yang tergabung dalam FPPI. Mereka menolak penggusuran pedagang yang
sebelumnya telah menempati lokasi disepanjang Selokan Mataram114. Dengan alas
an lokasi sekitar Selokan Mataram akan ditata, sejumlah pedagang yang menempati
lokasi tersebut selama bertahun-tahun akan dipindahkan dalam satu lokasi.
Sejumlah aksi protespun dilancarkan untuk menolak relokasi, karena dianggap
tempat yang baru tidak menjanjikan115. Berbeda dengan setiap aksi yang hampir
selalu menghadirkan LSM atau LBH, aksi PKL yang didukung FPPI ini relative
steril dari
advokasi LSM. Rupanya ada kesepakatan etika diantara MS di
Yogyakarta untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam advokasi atas kasus tertentu
kalau tidak diundang oleh elemen yang melalakukan advokasi. Advokasi semacam
ini terus bergulir di Yogyakarta. Hapir bersamaan dengan pemilu 2004, mencuat
masalah penataan parkir di DIY. Para juru parkir melakukan protes dengan
kebijakan Pemerintah Kota dan melibatkan LSM di dalamnya. Berbeda dengan
kasus PKL Selokan Mataram, aksi-aksi para juru parkir sepenuhnya diorganisir
oleh LSM yang tergabung dalam Paguyuban Parkir.
6.4. Menjelang Pemilu 2004
MS gamang dalam menyambut pelakasanaan pemilu 2004. Paling tidak ada
dua sebab mengapa kalangan MS di Yogyakarta menyambut dingin pelaksanaan
pemilu 2004, pertama, selama masa transisi demokrasi tidak ada tanda-tanda yang
114
Selokan Mataram adalah saluran irigasi yang menghubungkan antra sungai Opak dan Sungai
Progo yang dibangun semasa pendudukan Jepang. Menurut mitos wilayah Mataram (Ngajogjakarta
Hadiningrat) akan makmur kalau kedua sungai tersebut menyatu. Pembuatan selokan mataram atas
inisiatif Sri Sultan HB IX untuk menghindarkan warganya dari kewajiban romusha Jepang.
115
Suara Merdeka, 13/1/2004, Suara Merdeka, 19/12/2003)
141
menunjukkan bahwa status quo dapat digusur dari panggung politik. Soeharto tidak
kunjung diadili, kasus-kasus pelanggaran HAM tidak terungkap, Golkar sebagai
partai utama Orde Baru tidak dapat dimintai pertanggungjawaban bahkan
menunjukkan eksistensi yang semakin kuat, politisi sipil kehilangan pamornya, dan
sederetan fenomena lain yang intinya menunjukkan bahwa reformasi tidak
membawa pengaruh terhadap konfigurasi politik.
Kedua, nampaknya MS telah kehabisan energi dan strategi untuk terus
melawan dan menunjukkan eksistensinya. Wajah oposisional tetap menjadi
dominan ketika MS berhadapan dengan masalah politik yang justru menyebabkan
hilangnya simpati atas model kerja yang ditumbuhkan. MS hanya dianggap
”canggih” dalam mengembangkan opini, sebuah metode yang dianggap basi oleh
berbagai kalangan mengingat realitas politik yang memungkinkan setiap pribadi
untuk bertarung memperebutkan pengaruh. MS dianggap tidak memiliki kaki yang
riil, apalagi ditambah dengan stigma bahwa kelompok ini hanya mengandalkan
dukungan dari donor luar negeri. Berbeda dengan pemilu 1999 yang lalu ketika
donor internasional memberikan perhatian besar terhadap demokratisasi di
Indonesia dengan menggelontorkan dana jutaan dolar untuk pemantauan
melakukan
pendidikan pemilih, pada pemilu kali ini nampaknya donor mulai
”menjaga jarak”. Tidak ada alasan yang jelas dari donor internasional mengenai hal
ini, apakah
karena keyakinan bahwa Indonnesia telah sampai
pada fase
demokratisasi yang lebih baik dan menyakinkan atau karena kecewa dengan
transisi demokrasi di Indonesia .
Pemilu 2004 memiliki makna penting bagi keberlanjutan demokrasi dan
transisi politik. Selama lima tahun pemerintahan produk pemilu paling demokratis
(pemilu 1999), dianggap tidak ada perubahan politik yang cukup berarti dalam
panggung politik Indonesia dan hanya melahirkan elit baru yang memiliki track
record koruptif. Agenda reformasi menggantung dalam tarik manarik politik,
bahkan kecenderungan terjadi pembusukan politik yang ditandai dengan korupsi,
oligarki kekuasan sampai dengan konflik. Pemerintahan sipil pasca reformasi (BJ
Habibie, Gus Dur, Megawati) dianggap gagal memenuhi harapan rakyat dalam
menuntaskan agenda reformasi. Dengan keadaan yang demikian, pemilu 2004
142
diharapkan akan melahirkan, pertama, pemilu 2004 diharapkan akan menghasilkan
kekuatan politik baru yang dapat mengentaskan kebuntuan politik.Kebuntuan
politik yang dimaksud adalah frustasi politik rakyat dimana berbagai persoalan
sepanjang lima tahun semenjak 1999 justru mengalami kemunduran. Kedua,
pemilu 2004 adalah pertaruhan politik antara kekuatan militer dan kekuatan sipil.
Pemilu 2004 akan menjadi pertaruhan apakah demiliterisasi akan terus menguat
atau justru sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa salah satu agenda
reformasi yang diusung oleh gerakan MS adalah menuntaskan supremasi sipil.
Ketiga, bagaimanapun pemilu adalah manifestasi kesadaran politik tentang makna
kedaulatan. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih presiden dan
wakil presiden secara langsung116.
Pemilu 2004 memang sangat berbeda dengan pemilu 1999. Perbedaan
tersebut dapat kita lihat dalam perbandingan tabel sebagai berikut ;
Tabel 1
Perbedaan Proses Pemilu Dalam Demokrasi Transisi dan Demokrasi Tertata
Demokrasi Transisi
Terbuka – bebas (baik terhadap
peserta maupun pemilih
Jurdil
Disusun semudah mungkin (untuk
membuka partisipasi seluas mungkin)
Terbentuknya pemerintahan koalisi
(pelangi-gotong rotong)
Dadang Juliantara, 2003
Demokrasi Tertata
Lebih selektif – menjadi jalan untuk
perbaikan menyeluruh
Memungkinkan
pemilih
untuk
menolak mereka yang dianggap anti
perubahan
Diarahkan agar pemilih memiliki
rasa
tanggungjawab,dan
rasa
memiliki proses pemilu
Koalisi terbatas-bahkan kemenangan
mutlak
Tabel diatas menunjukkan adanya perubahan atau perbedaan yang
mendasar,yakni bahwa pemilu 2004, diharapkan menghasilkan kekuatan yang
benar-benar pro pada pembaruan (reformasi)117.
Berbagai persoalan mengurung gerak MS dalam menghadapi pemilu 2004.
Sebagai salah satu kekuatan politik, MS dipandang bukan merupakan kekuatan
116
117
Himawan Pambudi, Pertaruhan Politik Rakyat Dalam Pemilu 2004, Bernas,15 /4/ 2003
Dadang Juliantara, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, , Bernas,17/4/2003
143
politik kongkret yang mampu membawa perubahan secara nyata, khususnya
dengan semakin besarnya peran partai politiki sebagai organisasi politik yang
memiliki hak untuk mengurus negara. Dengan model organisasi berbasis staft maka
kemampuan MS hanya sebatas pada pembentukan opini belum sampai pada
pengorganisasian yang kongkret. Selain itu MS menempatkan dirinya sebagai
kekuatan moral yang memandang persoalan politik sebagai ”hitam putih”. Bahwa
dalam politik terjadi kompromi, konsolidasi, dan negosiasi, seringkali tidak
ditangkap sebgai sebuah proses. Dengan alasan sebagai kekuatan non partisan, MS
justru terpenjara oleh wajah oportunisnya, dan menjauhkan diri dari riil politik
kekuasaan.Akibatnya partai politik sebagai organ politik legal justru didominasi
oleh figur-figur yang bermasalah118. Walaupun ada opini untuk melakukan kontrak
politik dengan kalangan partai politik atau politisi, namun wacana tersebut tidak
membawa efect terhadap perbaikan kualitas anggota parlemen.
Dalam sebuah pertemuan di Kaliurang 15-17 April 2003 untuk merespon
pemilu 2004, mereka yang hadir di Kaliurang memiliki kessimpulan bahwa LSM
sebagai salah satu kekuatan MS memiliki kerja yang parsial, dan terkesan menjadi
alat kepentingan lembaga donor. Ketika LSM bersinggungan dengan masalah riil
politik, banyak kalangan LSM yang merasa gamang menghadapi persoalan tersebut
dan memilih menjauh dari panggung politik. Perubahan-perubahan politik tidak
dapat direspon dengan baik, yang berkembang adalah kemampuan carity dalam
menyelesaikan persoalan rakyat yang sesungguhnya hal tersebut menjadi
tanggungjawab pemerintah. Sebagai salah satu pilar MS, peran LSM semestinya
sangat penting dalam mendorong perubahan-perubahan yang berpengaruh terhadap
kekuatan politik formal. Hubungan LSM dan rakyat semestinya permanen sebagai
basis
pengorganisasian
yang
akan
mendorong
rakyat
untuk
tampil
memimpin.Dalam kaitan dengan hal tersebut seringkali LSM gagal dalam
menyampaikan gagasan yang ingin dicapai. Namun demikian LSM memiliki
sejumlah kelebihan dibandingkan dengan kekuatan politik lain; pertama LSM
memiliki ruang yang lebih terbuka untuk bertemu rakyat dalam menjelaskan dan
118
Menuju Demokrasi Terkonsolidasi,Dokumen Rapat Konsolidasi Gerakan ProDemokrasi
Menyongsong Pemilu 2004,15-17 April 2003
144
mengembangkan transformasi politik. Harus diakui bahwa LSM telah tumbuh
menjadi salah satu pilar demokrasi melalui berbagai aktifitasnya. Sebagai salah satu
kekuatan politik,LSM mampu datang dan bekerja bersama rakyat secara baik.
Dibandingkan dengan partai politik, LSM memiliki jam terbang yang lebih tinggi
kehadirannya ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu LSM umumnye
memiliki komunitas dampingan yang lebih solid. Sebagai kekuatan partisan,LSM
juga dapat bekerja secara intensif dengan media untuk mengembangkan berbagai
opini. Dalam kondisi yang demikian, kita akan memilihat bagaimana MS di
Yogyakarta bekerja menyongsong pemilu 2004.
Komite Persiapan Pergerakan Indonesia (KPPI) adalah organ yang didirikan
oleh aktifis LSM di Jakarta untuk menyongsong pelaksanaan pemilu 2004.Para
deklarator KPPI antara lain Faisal Basri, Meilono Soewondo, Franky Sahilatua,
Ade Indira Damayanti, dan Martin Manurung, Teten Masduki dan lain sebagainya.
Dalam deklarasi tersebut Franky Sahilatua meluncurkan salah satu album yang
menjadi tema penting pendirian KPPI yang berjudul ”Jangan Pilih Politisi Busuk”.
Meluncurlah Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB) secara
nasional. Ini adalah agenda MS untuk membendung politisi yang dianggap
bermasalah selama menjabat sebagai wakil rakyat hasil pemilu 1999. Gerakan ini
mirip dengan gerakan CAGE di Korea Selatan119.
Di Yogyakarta GNTPPB segera saja disambut oleh kalangan Ornop/LSM
yang dimotori oleh Forum LSM DIY. KPPI segera dideklarasikan di Yogyakarta
bersama puluhan aktifis dan dosen dengan salah satu tujuannya dalah menghadang
politisi busuk tampil kembali dalam pemilu 2004. Salah satu langkah yang
ditempuh GNTPPB meneliti track record politisi dan mempublikasikan dalam
koran ”SOSOK”. SOSOK
memuat nama-nama politisi yang bermasalah dari
berbagai partai politik di DIY, baik propinsi ataupun Kabupaten. SOSOK terbit tiga
kali berturut-turut dengan memuat daftar politisi bermasalah di DIY. Salah satu
terbitan ”SOSOK” memuat daftar 18 nama politisi bermasalah dari lintas parpol
yang berkaitan dengan korupsi dan pelanggaran HAM antara lain Caleg DPR RI 1.
119
Tempo Interaktif, 10 Januari 2004 , Indra J. Pilliang, Menakar Efektifitas GNTPPB, Refleksi
Untuk Masa Depan, Kompas, 5 Maret 2004, , Bergerak Menghadang Politisi Busuk, FLAMMA,
Edisi 19/2004
145
H Totok Daryanto SE (Partai Amanat Nasional) 2. Hasan Joeffries SH MM (Partai
Bulan Bintang), Calon DPD 1. Sutarno SH (Calon DPD No 8) Calon DPRD
Propinsi DIY 1. Drs H Nur Achmad Affandi (PKB) 2. Nazaruddin SH (PAN) 3.
Nuryadi (PDIP) 4. Drs Herkitanto Djawadi (PDIP) 5. Nuruddin Haniem SE (PAN)
6. H Umar Sri Yanto (PDIP) 7. Drs H Harowi Muhyati Msi (PAN) 8. Drs H Noor
Harish (PKB) 9. Djati Waluyo (PDIP) 10. H Suwandono (P Golkar) 11. H Ahmad
Asyaari (Partai Persatuan Pembangunan) 12. Ir Bambang Sunaryo (P Golkar) 13.
Ahmad Dainuri Nur BA (PKB) 14. Karsono Soemodiharjo (PDIP) 15. Drs
Gandung Pardiman (P Golkar)120. Totok Daryanto dianggap bermasalah dalam
penerimaan dana pembangunan JEC bersama-sama anggota DPRD Propinsi
lainnya seperti Nur Ahmad Affandi. Gandung Pardiman terlibat kekerasan ketika
sekelompok aktifis pro demokrasi menyegel kantor DPD Golkar. Sebagian anggota
yang lain dianggap bermasalah
dalam penerimaan dana purna tugas sebagai
anggota DPRD, dan sederetan masalah lain yang berkaitan dengan etika moral121.
Kontan saja apa yang dilakukan oleh Forum LSM dan beberapa organisasi
MS di Yogyakarta mengundang amarah para politisi yang dianggap busuk. Selain
somasi dari DPD PKS Propinsi DIY, satu respon yang cukup keras datang dari
Nazaruddin, anggota DPRD Kota Yogyakarta yang dianggap tersangkut kasus
DPT. Anggota Komisi A DPRD Kota itu melayangkan somasi ke Direktur
Eksekutif Forum LSM DIY, Tri Wahyu. KH yang sekaligus pemimpin Koran
“SOSOK”. Dalam somasi yang dilayangkan oleh penasehat hukum Nazaruddin,
Tri Wahyu dituntut untuk menyatakan penyesalannya dan memohon maaf kepada
Nazaruddin karena dianggap telah melakukan fitnah dengan memasang iklan di tiga
penerbitan lokal dan satu penerbitan nasional, paling lambat tiga hari sejak somasi
120
SOSOK Edisi 3,1 April 2004
Lihat Pers Release ““Menggugat Pesangon Anggota DPRD Kota Yogyakarta, 25 Februari
2004,MASAPEDE. Dalam kasus DPT beberapa anggota DPRD menganggap bahwa aktifis LSM
tidak cermat karena tidak meneliti kebenaran kasus tersebut sebagaimana yang dialami oleh Suprih
Hidayat dan Wajdi Rahman Kader PKS di DPRD Sleman. Keduanya pada 29 Januari 2004 secara
tegas menolak DPT dan penolakan tersebut terdokumentasi dalam Risalah Sidang DPRD Sleman
tanggal tersebut. Sementara, Wajdi Rahman yang ditulis menyetujuai dana purna tugas (DPT) dalam
APBD 2004 DPRD Kota Jogjakarta sebesar 75 juta rupiah. Padahal, Wajdi Rahman juga menolak
penganggaran DPT tersebut. Hal ini, bahkan kemudian terbukti, pada proses pengadilan, bahwa
Wajdi Rahman merupakan satu-satunya anggota DPRD Kota Yogyakarta yang tidak terjerat hukum
kasus DPT tersebut. Opini tidak terdokumentasi M. Ilyas Sunnah, Wasek III/Biro Pusat Informasi
DPW PKS DIY.Bernas, 13/5/2004, Kompas, 2/4/2004
121
146
itu dilayangkan122. Kasus ini sempat menjadi berita hangat di Yogyakarta sekalipun
kemudian tenggelam dalam hiruk pikuk pemilu. Totok Daryanto, Nur Ahmad
Affandi, Gandung Pardiman, Noor Harish, dan Nazaruddin tetap terpilih sebagai
anggota parlemen pada pemilu 2004. Sebuah langkah buntu telah dilakukan oleh
kalangan MS di Yogyakarta.
Selain soal GNTPPB, fenomena lain adalah pengisian anggota Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Propinsi DIY yang berjumlah 5 orang. LSM berusaha
mempengaruhi komposisi keanggotaan KPU dengan mendorong anggotanya
berasal dari kalangan LSM.Melalui uji publik dan dialog terbatas, LSM terus
mempengaruhi anggota KPU Pusat untuk memilih wakil LSM dan Perguruan
Tinggi yang dikenal baik oleh LSM123. Dari 10 calon anggota KPU DIY, 6
diantaranya berasal dari latar belakang LSM dan Perguruan Tinggi. Selain
pemilihan anggota KPU, masuknya sejumlah kader LSM yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif juga menjadi fenomena dalam pemilu 2004. Salah
satunya contohnya adalah Kasdiyono yang mencalonkan diri melalui PAN untuk
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo. Kasdiyono adalah ketua Forum
Komunikasi BPD Propinsi DIY,sebuah forum yang dibentuk oleh LSM LAPERA.
Dalam pemilu 2004 tersebut Kasdiyono terpilih sebagai anggota DPRD bahkan
duduk sebagai ketua DPRD Kabupaten Kulon Progo124.
Sultan dan Golkar adalah dua sisi mata uang dalam panggung politik di
Yogyakarta. Sultan adalah kader Golkar tulen,yang pernah menjabat sebagai ketua
DPD dan kemudian anggota dewan penasehat partai Orde Baru tersebut. Kita
mengetahui bersama bahwa Sultan juga merupakan tokoh reformasi yang sangat
dihormati di Yogyakarta. Menjelang Pemilihan Presiden 2004, Sultan mengikuti
Konvensi Golkar untuk mendapatkan tiket sebagai calon Presiden dari partai
tersebut. Walaupun kemudian Sultan mengurungkan niatnya,tetapi tidak pelak lagi
keikutsertaan Sultan sebagai tokoh reformasi (dan juga Nurcholish Majid) dalam
konvensi tersebut telah menjadi mesin cuci Golkar untuk memulihkan nama
122
Bernas, 26/3/2004
Bernas,10/2/ 2004 , Bernas, 30/3/2004, Bernas, 29/3/2004, Bernas, 24/4/2003, Bernas, 3/5/2003,
Bernas, 26/4/2003
124
Wawancara Kasdiyono, 6 April 2006
123
147
baiknya125. Kalangan MS di Yogyakarta perlu merasa hati-hati untuk menyerang
Sultan dan Golkar dalam pemilu 2004,karena bukan hanya berhadapan dengan
internal Golkar, tapi bisa langsung berhadapan dengan Raja Jawa tersebut.
Keadaan tidak selamanya sesuai harapan. Akhirnya SBY, seorang Jendral
intelek memenangkan kompetisi politik dalam Pilpres 2004. Sebuah keadaan yang
paradoksal dengan keadaan 6 tahun lalu. Di Yogyakarta sendiri, agenda yang
digulirkan MS ternyata mengalami kebuntuan. Dalang pembunuh Udin tidak
terungkap sampai sekarang,
dalam soal demokratisasi lokal UU No. 32/2004
dianggap sebagai resentralisasi kembali kekuasaan pusat, kasus JEC hanya
menyeret 1 orang saja dan sederatan masalah lain yang tidak tertuntaskan dengan
baik. Demokrasi telah dibajak, demikian salah satu judul artikel Demos yang
melakukan evaluasi terhadap transisi demokrasi di Indonesia126.
6.5. Ikhtisar
Gerakan sosial pada periode pasca Presiden Soeharto mengalami perubahan
dari metode dan tujuannya. Kalau sebelumnya gerakan memfokuskan pada satu
platform yakni anti rezim, sesudahnya ada dua platform
utama yang
dikembangkan oleh gerakan, yakni dekontruksi kekuasaan, dan institusionalisasi
demokrasi, sekalipun keduanya berada dalam satu payung, mereduksi kekuasaan
Orde Baru. Metode yang berkembang juga mengalami pergeseran, kalau
sebelumnya fokus pada aksi kolektif yang mengandalkan partisipasi luas dari
peserta protes, sesudahnya selain tetap mengandalkan aksi-aksi protes juga diikuti
dengan keterlibatan kritis (critical engagement). Berbagai organisasi gerakan
social, terutama NGO berupaya mengkombinasikan stretegi advokasi dengan
kerjasama. Strategi tersebut merupakan konsekuensi dari situasi politik yang
berubah pasca Orde Baru.
125
Tempo, 23/10/2003, Kompas, 18/1/2004, Bernas, 22/10/2003
Lihat Demos, Transisi Demokrasi Telah Dibajak, Tempo, 10 /10/ 2004, AE Priyono, (dkk)
[2003] Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, Demos – ISAI, Jakarta
126
148
Download