PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN TAIMIYAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Riana Cahaya Purnama NIM: 1112033100048 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M. PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN TAIMIYAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Riana Cahaya Purnama NIM: 1112033100048 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M. PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN TAIMIYAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 22 Februari 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Jakarta, 22 Februari 2017 LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Riana Cahaya Purnama NIM : 1112033100048 Jurusan : Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas : Ushuluddin Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 10 September 1994 Judul Skripsi : Perbuatan Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibn Taimiyah Dengan ini menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran kalam salah satu tokoh yang berpengaruh dalam aliran Salaf yaitu Ibn Taimiyah terutama dalam persoalan perbuatan manusia yang terdiri dari hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, dan kebebasan manusia dalam perbuatannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta mengelaborasi pikiran-pikiran Ibn Taimiyah yang berkenaan dengan perbuatan manusia. Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitiannya tentang perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn Taimiyah adalah library research dengan menggunakan data primer yang berasal dari salah satu karya Ibn Taimiyah dan data sekunder yang menjadi penunjang bagi sumber data primer. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia tidak terlalu identik dengan pendapat aliran Mu‟tazilah maupun Asy‟ariyah. Namun pemikiran Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia mengambil atau memilih pandangan yang benar dan meninggalkan pandangan yang salah dari pandangan kedua aliran teologi Islam yakni Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah mengenai perbuatan manusia. di antaranya: pertama, Ibn Taimiyah menyetujui pendapat yang diungkapkan oleh aliran Asy‟ariyah bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan, akan tetapi Ibn Taimiyah tidak sependapat dengan aliran ini mengenai peniadaan hakikat dari perbuatan manusia. Dan Ibn Taimiyah juga menyetujui pendapat aliran Mu‟tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi ia tidak sependapat dengan aliran Mu‟tazilah bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia. Kedua, mengenai masalah irādah Tuhan Ibn Taimiyah menolak kedua pendapat aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Ia menolak pendapat Asy‟ariyah yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan perbuatan manusia terwujud disebabkan oleh kehendak mutlak Tuhan. Dan ia mengkritik aliran Mu‟tazilah karena telah menyamakan antara perbuatan Tuhan dengan perbuatan manusia. Ketiga, manusia menurut Ibn Taimiyah memiliki kehendak dan kekuasaan dalam melaksanakan segala apa yang diperintahkan Tuhan kepada hamba-Nya. Kata kunci: kalam, hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, kebebasan manusia. i KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadiran Allah yang maha Esa yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah pada nabi akhir zaman dan kekasih Allah, Muhammad SAW, keluarga beserta sahabatnya juga umatnya yang mengharap syafa’at darinya sampai hari kebangkitan nanti. Dengan rahmat Allah SWT, penulis bersyukur karena telah menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Skripsi yang penulis beri judul “Perbuatan Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibn Taimiyyah”. Selanjutnya dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan kata terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Faqih, MA, pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan serta waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr Syamsuri, M.Ag, ketua Jurusan Aqidah dan Falsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag, Sekertaris Jurusan Aqidah dan Falsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. ii 5. Din Wahid, MA. Ph.D, dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing, membantu, dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, saran-saran, serta pengalaman yang luas dalam keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Para dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah. 7. Bapak dan Ibu tercinta, Eko Purnomo dan Nurhaenih yang tak pernah lelah untuk mendoakan di setiap waktu, serta selalu memberikan motivasi dan dukungan terhadap penulis. 8. Kakak dan Adikku tercinta, Taufik Hidayat, M.Pd, Sri Nurmalasari, SE, Januar Syam, M.Pd, Lita Cahaya Purnama M.Pd., Eril Cahaya Purnama, Lenny Ariani Purnomo, dan Laila Cynthia Purnomo, yang telah memberikan semangat dan selalu menghibur penulis dalam mengerjakan skripsi ini. 9. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan 2012, yang selalu memberikan semangat serta mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsi ini di setiap waktunya. 10. Teman-teman Forum Silaturrahim Pemuda Islam (FORSIPI) Griya Parung Panjang, yang telah memberikan waktu luangnya untuk berdiskusi mengenai penelitian dalam skripsi ini. Segala bantuan dan motivasi yang mereka berikan kepada penulis dengan tulus, semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda kepada mereka semua. iii Penulis masih menyadari bahwa masih adanya kekurangan dan keterbatasan dalam menyusun skripsi ini, maka diharapkan saran dan kritik yang terbaik bagi skripsi ini. Demikian, semoga skripsi ini bisa memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Ciputat, 22 Februari 2017 Riana Cahaya Purnama iv DAFTAR ISI ABSTRAK .............................................................................................................. i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI........................................................................................................... v PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... vii BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 8 C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 8 D. Perumusan Masalah ........................................................................ 9 E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 9 F. Manfaat Penelitian .......................................................................... 10 G. Studi Kepustakaan .......................................................................... 10 H. Metode Penelitian ........................................................................... 12 I. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13 PERBUATAN MANUSIA MENURUT PARA TEOLOG ISLAM A. Pengertian Baik dan Buruk .......................................................... B. Hubungan Kekuasaan Tuhan dengan Perbuatan Manusia ........... C. Aliran Mu‟tazilah ......................................................................... a. Hakikat Perbuatan Manusia ................................................... b. Kebebasan Manusia ............................................................... D. Aliran Asy‟ariyah ......................................................................... a. Hakikat Perbuatan manusia.................................................... b. Kebebasan Manusia ............................................................... BAB III 15 23 25 28 34 36 37 40 BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH DAN KARYA-KARYANYA A. Latar Belakang Kehidupan........................................................... 46 B. Perjalanan Intelektual ................................................................... 49 C. Karya-karya Ibn Taimiyah yang Berkaitan dengan Aqidah ........ 57 BAB IV PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBNU TAIMIYAH A. Perbuatan Manusia menurut Pandangan Ibn Taimiyah ............... 62 B. Kehendak Tuhan .......................................................................... 67 v C. Hakikat Perbuatan Manusia ......................................................... 79 D. Kritik Terhadap Jabariyah dan Qadariyah ................................... 85 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 87 B. Saran ............................................................................................ 89 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ viii vi PEDOMAN TRANSLITERASI Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris ا a a ط ṭ ṭ ب b b ظ ẓ ẓ ت t t ع „ „ ث ts th غ gh gh ج j j ف f f ح ḥ ḥ ق q q خ kh kh ك k k د d d ل l l ذ dz dh م m m ر r r ن n n ز z z و w w س s s ه h h ش sy sh ء „ „ ص ṣ ṣ ي y y ض ḍ ḍ ة h h Vokal Panjang Arab Indonesia Inggris أ ā ā إي ī ī أو ū ū vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbuatan manusia itu terdiri dari perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik harus dilaksanakan agar mendapat hasil yang baik berupa pahala, sedangkan perbuatan buruk harus ditinggalkan karena akan menghasilkan dosa bagi manusia di akhirat nanti. Penjelasan di atas merupakan pemahaman dasar yang kita ketahui sejak kecil mengenai perbuatan manusia yang telah diajarkan di sekolah. Namun saat ini, pemahaman kita mengenai perbuatan manusia bertambah dengan adanya perdebatan dari para ahli teologi Islam mengenai perbuatan manusia seperti, Apakah perbuatan manusia itu ciptaan manusia sendiri atau Tuhan? Apakah manusia diberikan kebebasan dalam perbuatannya atau tidak? Banyak sekali ayat yang membahas mengenai manusia di dalam al-Qur‟an salah satunya adalah pembahasan mengenai perbuatan manusia. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah lepas dari pengawasan serta penglihatan Tuhan terhadap segala perbuatan yang dilakukannya. Karena segala macam perbuatannya akan dihitung di akhirat, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Tuhan telah memberikan ancaman dan janji terhadap manusia. Ancaman dan janji-Nya adalah bahwa Tuhan akan memberikan ganjaran yang setimpal terhadap perbuatan manusia. Apabila manusia melakukan perbuatan yang baik, maka manusia tersebut akan diberikan ganjaran berupa pahala. Sedangkan 1 2 manusia yang melakukan perbuatan buruk, maka akan diberikan ganjaran berupa siksaan api neraka.1 Dalam Islam, perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia dapat diketahui berdasarkan wahyu yang telah Tuhan berikan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Perbuatan baik adalah perbuatan manusia yang sesuai dengan wahyu yang Tuhan berikan kepada manusia, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang menyimpang dari ajaran yang diajarkan nabi dan wahyu. Baik dan buruk perbuatan manusia juga dapat kita temukan di dalam al-Qur‟an dan Hadits dengan berbagi macam term.2 Beberapa term yang menjelaskan mengenai perbuatan baik antara lain: al-birr, al-ma’rūf, dan al-khayr. Sedangkan term yang menjelaskan mengenai perbuatan buruk antara lain: al-syarr, al-itsm, dan munkar. Namun dari masing-masing term perbuatan baik dan term perbuatan buruk memiliki arti yang spesifik salah satunya yang diangkat dan diperbincangkan oleh para teolog adalah al-hasanah dan al-sayyi’ah. Istilah lain yang ditunjukan dalam bentuk term al-birr dan al-itsm di dalam alQur‟an yang memiliki arti akhlak yang baik (kebajikan) dan perbuatan dosa pada sūrah al-Māidah ayat 2 sebagai berikut: “Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. 1 Ahmad Asy Syarbashiy, Pesan-Pesan Rahasia dalam al-Qur’an (Peradaban Qur’ani), Jakarta: Mirqat, 2016, h. 23 2 Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015, h. 368 3 Istilah lain mengenai kebaikan dan keburukan dalam al-Qur‟an dengan bentuk term al-khayr dan al-syarr yang mengandung arti kebahagiaan dan penderitaan terdapat dalam sūrah Fushshilat ayat 49 sampai dengan ayat 50 sebagai berikut: “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang”.3 Istilah baik dan buruk dengan bentuk term al-ma’rūf dan al-munkar terdapat dalam sūrah al-Imrān ayat 104. Al-ma’rūf merupakan segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah. Sedangkan al-munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari-Nya. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'rūf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Al-Hasanah adalah tindakan kebajikan atau amal saleh yang akan menyelamatkan manusia di hari perhitungan (hisāb). Kata al-hasanah ini terkait erat dengan sebutan akhlak dalam Islam, sedangkan sayyi’ah adalah keburukan, kejahatan dan dosa. Perbuatan buruk ini tidak dapat menyelamatkan manusia di hari akhir. Di dalam al-Qur‟an sayyi’ah tidak hanya memiliki makna keburukan, 3 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur’an. Penerjemah: Mansuruddin Djoely., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 360 4 kejahatan, dan dosa saja, akan tetapi sayyi’ah memiliki makna bencana atau musibah seperti terbunuh atau kalah dalam medan perang.4 Manusia merupakan salah satu objek kajian ilmu kalam yang menjadi bahan pembicaraan para teolog Islam hingga saat ini. Pembicaraan para teolog Islam mengenai manusia dalam ilmu kalam terdiri dari beberapa subtema di antaranya: hakikat dan kebebasan manusia dalam perbuatannya, sumber pengetahuan manusia, serta persepsinya tentang iman.5 Masalah perbuatan manusia yang dibahas dalam ilmu kalam oleh para teolog terdiri dari tiga pendapat yang berbeda antara satu golongan dengan golongan yang lainnya. Pendapat yang pertama, bahwa semua perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan dan tidak ada perbuatan bagi manusia. Oleh karena itu, manusia tidak akan mendapat pujian, celaan, pahala, atau siksa. Pendapat yang kedua, bahwa Tuhan dan manusia sama-sama berbuat. Oleh karena itu, pujian dan celaan berlaku bagi keduanya. Pendapat yang ketiga, bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan manusia itu sendiri. Sehingga pujian, celaan, siksa atau pahala berlaku bagi manusia.6 Ketiga pendapat di atas, dapat kita ketahui dari beberapa golongan dalam Islam yang membahas mengenai kebebasan dan keterikatan manusia dalam perbuatannya. Mu‟tazilah merupakan salah satu aliran dalam Islam yang membahas mengenai perbuatan manusia. Menurut Mu‟tazilah, manusia merupakan orang yang menciptakan perbuatannya baik itu perbuatan yang baik maupun perbuatan 4 Nusaibah, “Sayyi‟ah dalam Al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikir Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 2 5 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawârij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, h. 105 6 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al-Asy’ari, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 102 5 yang buruk. Semua perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Manusia yang melakukan perbuatan yang baik akan mendapat ganjaran berupa pahala, sedangkan manusia yang melakukan perbuatan buruk akan mendapat ganjaran berupa siksa atau dosa. Oleh karena itu, Tuhan menurut aliran ini tidak menciptakan perbuatan manusia. Karena di dalam perbuatan manusia terkandung dua unsur yakni sifat-sifat yang baik dan sifat-sifat yang buruk. Jadi, keburukan yang ada di dunia ini bukan berasal dari Tuhan termasuk perbuatan buruk yang ada dalam diri manusia.7 Namun, pendapat golongan ini mengenai perbuatan manusia ditolak oleh golongan yang selanjutnya dalam Islam yaitu aliran Asy‟ariyah. Asy‟ariyah menyelesaikan persoalan perbuatan manusia yang menjadi tema dalam perbincangan para teolog Islam dengan menggunakan teori kasb (perolehan). Perbuatan manusia terjadi karena adanya perolehan yang akan menyebabkan perbuatan manusia muncul dalam dirinya dan perolehan tersebut terjadi dengan perantara daya yang diciptakan oleh Tuhan, sehingga menurut golongan ini daya manusia tidak efektif dalam menciptakan perbuatannya. Jadi, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan bukan manusia dan daya yang digunakan untuk menciptakan perbuatan manusia berasal dari daya Tuhan.8 Selain aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah yang membahas tentang persoalan perbuatan manusia, Ibn Taimiyah merupakan salah satu tokoh yang membahas mengenai perbuatan manusia. Pandangan Ibn Taimiyah mengenai persoalan perbuatan manusia tidak memihak seluruhnya ke dalam pandangan dua aliran di atas yaitu Mu‟tazilah dan 7 M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, h. 58 Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa Nihal. Penerjemah Asywadie Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.t), h.97 8 6 Asy‟ariyah, akan tetapi ia memilih sebuah kebenaran dari pandangan kedua aliran di atas mengenai perbuatan manusia dan meninggalkan segala hal yang menurutnya tidak benar dalam pandangan keduanya mengenai perbuatan manusia. Menurutnya, manusia memiliki kemauan, kehendak, dan kekuatan dalam perbuatannya dan manusia merupakan pelaku yang sebenarnya atas perbuatannya. Oleh karena itu, manusia diberi pertanggungjawaban atas segala apa yang telah diperbuatnya. Kemauan, kekuatan, dan kehendak yang dimiliki oleh manusia bukanlah manusia sendiri yang menciptakannya akan tetapi Tuhan lah yang menciptakan kehendak, kekuatan, dan kekuasaan dalam diri manusia.9 Pandangan Ibn Taimiyah mengenai irādah Tuhan bahwa segala sesuatu di dunia ini yang bersifat baik berasal dari Tuhan, sedangkan segala sesuatu yang bersifat buruk berasal dari manusia itu sendiri. Tuhan tidak menyukai kerusakan, tidak meridhai hamba-Nya untuk berbuat kafir, dan juga tidak memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu, keburukan bukanlah berasal dari Tuhan akan tetapi berasal dari diri manusia.10 Pembedaan antara kebaikan dan keburukan yang dijelaskan oleh Ibn Taimiyah ini diperkuat dengan dalil al-Qur‟an pada sūrah an-Nisā ayat 79. Jelas dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa adanya perbedaan antara kebaikan dan keburukan seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah mengenai irādah Tuhan, akan tetapi dalam ayat sebelumnya yaitu sūrah an-Nisā ayat 78 menjelaskan bahwa semuanya berasal dari Tuhan. Bagaimana Ibn Taimiyah menjelaskan mengenai ayat tersebut. Menurut Ibn Taimiyah jika Tuhan menciptakan segala sesuatu, maka semua ciptaan-Nya memiliki hikmah termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di 9 Syafrial. N, “Corak Teologi Ibnu Taimiyyah,” Tajdid, vol. 18, no.1 (Juli 2015), h. 89 Syafrial. N, Corak Teologi Ibnu Taimiyyah, h. 90 10 7 dunia ini. Dan jika Tuhan melakukan sebuah keburukan maka keburukan tersebut merupakan hikmah dan kasih sayang-Nya untuk mengarahkan manusia kepada jalan yang benar, sehingga keburukan yang digambarkan bukan seperti keburukan yang ada pada perbuatan manusia. Hikmah dan kasih sayang-Nya tidak dapat diketahui oleh makhluk-Nya hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu keburukan yang Tuhan telah lakukan kepada semua yang diciptakan-Nya merupakan kebaikan bukan keburukan.11 Uraian di atas dapat kita temukan tiga hal pandangan Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia. Pertama, Tuhan adalah pencipta manusia beserta perbuatannya. Kedua, manusia merupakan pelaku sebenarnya dari segala perbuatannya sehingga manusia harus bertanggung-jawab atas segala yang diperbuatnya. Ketiga, Tuhan meridhai segala perbuatan yang baik dan tidak meridhai segala perbuatan yang buruk. Alasan penulis memilih judul ini adalah karena Ibn Taimiyah adalah sosok monumental sepanjang sejarah. Ia adalah prototipe ulama pembaharu yang memiliki pemahaman Islam yang orisinal dan mendalam. Dari uraian-uraian di atas dan dengan semangat Rahmatan Lil ‘Alamin, selanjutnya penulis ingin sekali mengangkat tema tersebut, yakni mengenai perbuatan manusia menurut pandangan Ibn Taimiyah secara mendalam yang diperjelas dengan memberi judul “Perbuatan Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibnu Taimiyyah”. 11 Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 80 8 B. Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis ingin memaparkan permasalahan penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah, batasan masalah, dan perumusan masalah sebagai berikut: a. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan aliran Mu‟tazilah mengenai perbuatan manusia? 2. Bagaimana pandangan aliran Asy‟ariyah mengenai perbuatan manusia? 3. Apa yang dimaksud dengan teori kasb yang dikemukakan oleh Asy‟ariyah dalam memecahkan persoalan perbuatan manusia? 4. Apakah ada hubungannya antara kehendak Tuhan dengan perbuatan manusia menurut Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah? 5. Apakah kebaikan dan keburukan merupakan ciptaan Tuhan di dunia ini menurut pandangan Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah? b. Batasan Masalah Untuk mendapatkan gambaran dan kerangka yang jelas mengenai ruang lingkup penelitian, perlu kiranya diberi batasan-batasan yang menyangkut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dengan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis akan 9 membatasi pembahasan hanya pada perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn Taimiyah. c. Perumusan Masalah Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Ibn Taimiyah mengenai perbuatan baik dan buruk manusia? 2. Bagaimana hubungan kehendak Tuhan dengan perbuatan manusia? C. Tujuan Penelitian Dari latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Mengetahui, mempelajari, menggali, serta mengungkapkan secara mendalam mengenai perbuatan manusia menurut pandangan Ibn Taimiyah. 2. Mencoba memberikan gambaran mengenai perbuatan manusia menurut Ibn Taimiyah. 3. Memenuhi tugas akhir proses pembelajaran di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin, yaitu berupa penulisan karya ilmiah/skripsi yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai 10 dokumentasi almamater dan referensi kepada semua pihak, khususnya para peneliti yang sesuai dengan pembahasan ini. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Penulis dapat memahami serta memperkaya dalam memperluas khazanah keilmuan teoritis khususnya mengenai konsep perbuatan manusia menurut pandangan Ibn Taimiyah. 2. Dapat memberikan kontribusi berupa bacaan perpustakaan di lingkungan sekitar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Studi Kepustakaan Penelitian terhadap sosok Ibn Taimiyah telah berlangsung sejak lama. Gagasan-gagasan yang dibangun oleh Ibn Taimiyah dalam berbagai bidang keilmuan sungguh menarik minat banyak orang, sehingga banyak dari para peneliti yang ingin mengkaji pemikiran Ibn Taimiyah dalam penelitiannya. Para peneliti yang membahas kajiannya terhadap sosok pemikiran Ibn Taimiyah sejauh yang penulis ketahui, di antaranya adalah: “Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyah”, skripsi pada Jurusan Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 atas nama Idrus Habsyi. Dalam penelitiannya, Iman menurut Ibn Taimiyah adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan serta diwujudkan dengan 11 amal perbuatan secara zhahir, sehingga konsep iman menurut Ibn Taimiyah bisa bertambah dan bisa berkurang. “Konsep Mahabbah dalam Perspektif Ibn Taimiyah”, skripsi pada Jurusan Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 atas nama Khairul Amri. Dalam penelitiannya, mahabbah dalam pandangan Ibn Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban pada Tuhan dan pada apa yang ada di sisi-Nya. Ibn Taimiyah memandang cinta kepada Tuhan merupakan seagung-agungnya kewajiban keimanan, sebesar-besarnya pokok keimanan, dan semulia-mulianya dasar keimanan dan dengan adanya cinta kepada Tuhan menjadi pendorong untuk melakukan jihad dan amal kebajikan. Dan Tuhan merupakan satu-satunya yang dicintai karena Dzat-Nya. “Kritik Abdullah Al-Harari Terhadap Teologi Ibn Taimiyah”, skripsi pada jurusan Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016 atas nama Siti Robilah Hayati. Dalam penelitiannya, telah dijelaskan kritik al-Harari terhadap teologi Ibn Taimiyah yang disebabkan oleh perbedaan penalaran dan alur logika dalam memahami sifat-sifat Allah. “Konsep Benar dan Salah dalam Pemikiran Hukum Ibn Taimiyah”, disertasi Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997 atas nama Muhammad Hasyim. Dalam penelitiannya menjelaskan mengenai hakikat kebenaran dan kesalahan. kualitas kebenaran yang ditunjukan dalam beberapa kriteria di antaranya; kualitas sumber atas sandaran dan unsur keserasian. Setiap mujtahid memiliki otoritas memproduk keputusan-keputusan melalui ijtihadnya secara benar. Ibn Taimiyah mengembangkan pemikiran hukum Islam selain dengan menggunakan metode 12 salaf, ia juga menggunakan teori-teori baru seperti; teori ijmā istiqrā‘i, teori ta’lil dengan hikmah. Buku karya dari Syaikh Said „Abdul Azhim dengan judul “Ibn Taimiyah Tajdīd Salafī wa Da’wah Islāhiyyah”, dalam buku ini menjelaskan secara lengkap perjalanan Ibn Taimiyyah, bagaimana kiprah dan prestasi dakwah beliau, serta ciri khas metode pembaharuan dan reformasi yang diperjuangkan terutama dalam masalah akidah dan fikih. Dari buku dan judul skripsi serta disertasi yang telah disebutkan di atas, ternyata pembahasan mengenai perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn Taimiyah secara khusus belum ada. Oleh karena itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis penelitian ini. F. Metodelogi Penelitian Penelitian ini digolongkan kepada penelitian kualitatif yaitu dengan menggali informasi melalui data berupa teks atau dokumen yang berhubungan dengan judul penelitian yaitu perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn Taimiyah kemudian mendeskripsikan dan menganalisisnya. Sumber data penelitian yang menjadi bahan rujukan oleh penulis dalam penelitiannya diambil dari tulisan Ibn Taimiyah sendiri yang terdokumentasi dalam bentuk kitab, baik dalam bahasan Arab maupun yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasan Indonesia. Al-hasanah wa al-sayyi’ah adalah salah satu sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, sedangkan tulisan-tulisan tentang Ibn Taimiyah baik yang terdokumentasi dalam buku, makalah, jurnal, artikel, dan majalah yang 13 mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer. Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas terkait dengan masalah yang akan diteliti yaitu perbuatan baik dan buruk menurut Ibn Taimiyah, sedangkan analisis adalah menyelidiki setiap masalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta mengelaborasi pikiran-pikiran Ibn Taimiyah yang berkenaan dengan judul skripsi ini. Kemudian menyajikan hasil penelitian melalui sumber-sumber pustaka primer maupun sekunder dengan menggunakan karangan-karangan Ibn Taimiyah dan yang berkaitan dengan pembahasan perbuatan manusia. Teknik pengumpulan data penelitian ini, penulis dapatkan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Teknik penulisan penelitian skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun ajaran 2012/2013. G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan diuraikan oleh penulis dalam penelitian ini, maka perlu penulis uraikan susunan penulisan skripsi ini yang terdiri dari lima bab, sebagai berikut: 14 Bab satu merupakan pendahuluan yang mencakup lima pasal pembahasan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan penjelasan perbuatan manusia menurut pandangan para teolog Islam yang terdiri dari pengertian baik dan buruk secara umum, perbuatan manusia menurut pandangan para teolog Islam yang terdiri dari aliran Asy‟ariyah, dan Mu‟tazilah mengenai hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, dan kebebasan manusia dalam perbuatannya . Bab ketiga merupakan penjelasan biografi tokoh yaitu Ibn Taimiyah yang terdiri dari riwayat hidup secara ringkas, perjalanan intelektual, serta karyakarya dari Ibn Taimiyah yang berkaitan dengan aqidah. Bab keempat merupakan pembahasan inti yaitu penjelasan perbuatan manusia menurut pandangan Ibn Taimiyah, di dalamnya terkandung permasalah yang diangkat oleh penulis dalam penulisan skripsi ini di antaranya perbuatan manusia menurut Ibn Taimiyah, kehendak Tuhan, hakikat perbuatan manusia, kritik Ibn Taimiyah terhadap Jabariyah dan Qadariyah. Bab kelima merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat mengenai kesimpulan dari seluruh pembahasan dan ditutup dengan saran-saran untuk berbagai pihak. BAB II PERBUATAN MANUSIA MENURUT PARA TEOLOG ISLAM A. Pengertian Baik dan Buruk Istilah baik dan buruk menurut Hadi Podo (2007: 99) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, baik memiliki makna sesuatu yang elok, patut, dan teratur sedangkan kebaikan merupakan sifat-sifat baik atau perbuatan baik. Istilah buruk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 141) memiliki makna rusak dan jelek, sedangkan istilah keburukan memiliki makna sifat-sifat buruk atau perbuatan buruk. Istilah baik dan buruk menurut Mahmud Yunus (2007: 123) dalam bahasa Arab disebut dengan khayr dan hasanah yang mengandung arti “yang baik”, sedangan itsm dan sayyi’ah mengandung arti “dosa” menurut Mahmud Yunus (2007: 34). Adapun baik dan buruk menurut Echols dan Shadily (1994: 274) dalam An English-Indonesia Dictionary yang terbentuk dari term good dan bad. Istilah baik dalam bahasa Inggris disebut sebagai good yang mengandung arti kebaikan dan kebajikan, sedangkan buruk dalam istilah bahasa Inggris disebut dengan bad yang mengandung arti dalam kesukaran, buruk, jelek, susah, tidak enak, dan busuk (1994: 51). Jadi dapat kita simpulkan secara etimologi, baik adalah hal yang mengandung keindahan, ketaatan, kebajikan dalam diri kita yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan maupun sesama manusia dalam menjalankan kehidupan. Sedangkan buruk merupakan kebalikan dari segala sesuatu yang baik. Secara umum, baik dan buruk memiliki makna yang beragam. Pertama, perbuatan baik yang memiliki hubungan dengan kesempurnaan. Dalam hal ini 15 16 baik disebut baik jika segala sesuatu tindak lakunya dikerjakan secara sempurna. Kedua, perbuatan baik adalah perbuatan yang menjadikan pelakunya merasa puas dan senang di dalam semua tindakan yang dikerjakannya. Ketiga, perbuatan baik adalah perbuatan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat memberikan rahmat dari apa yang telah dilakukan. Sedangkan perbuatan buruk memiliki arti yang sebaliknya dari perbuatan baik. Pertama, perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak memiliki kesempurnaan di dalam mengerjakannya. Kedua, perbuatan buruk adalah perbuatan yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak puas dalam melakukannya. Ketiga, perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat memberikan rahmat. Bahkan pelakunya melakukan sesuatu yang keji, tidak diterima oleh orang lain, dan tidak memiliki moral.1 Dari beberapa pengertian baik dan buruk dapat disimpulkan bahwasanya perbuatan baik adalah apabila sesuatu tersebut dapat memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, kepantasan, kepatutan, dan kesempurnaan sesuai dengan apa yang telah diharapkan. Sedangkan perbuatan buruk adalah apa yang dinilai sebaliknya dari perbuatan baik.2 Adapun beberapa teolog dalam Islam yang mendefinisikan perbuatan baik dan buruk menurut pandangannya sendiri, seperti: aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah Seorang hakim yaitu Abdul Jabar yang menganut paham Mu‟tazilah memiliki pendapat mengenai baik dan buruk yang digambarkan dalam bidang etika dan estetika bahwa etika memiliki makna yang sebenarnya dari hasan dan qobīh atau baik dan buruk, karena segala sesuatu yang terjadi baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk dapat dilihat langsung kebenarannya dan dapat diberi kesimpulan 1 2 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, h. 25 Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, h. 362 17 bahwa sesuatu yang dilakukan itu baik atau sebaliknya dari kebaikan tersebut. Sedangkan estetika adalah gambaran dari keindahan yang sebenarnya dalam sebuah media dengan bentuk tulisan seperti buku. Dalam hal ini baik dan buruk tidak memiliki makna yang hakiki lagi, karena merupakan gambaran dari kebaikan yang sebenarnya. Ini merupakan pendapat dari salah satu tokoh aliran Mu‟tazilah mengenai definisi baik dan buruk yang terkandung dalam kata alhasan dan al-qobīh yang memiliki arti etika bukan estetika.3 Mu‟tazilah mengatakan bahwa baik dan buruk adalah esensi dari setiap perbuatan yakni merupakan zat bagi setiap perbuatan. Contohnya: mencuri pada esensinya adalah buruk, sedangkan menolong pada esensinya adalah baik. Oleh karena itu jujur, adil, bijaksana dan perbuatan lainnya adalah baik dari diri zatnya sendiri dan mampu membuat kita menyatakan baik setiap kali menyaksikan halhal tersebut dengan akal kita. Sebaliknya, segala perbuatan yang buruk pada esensinya adalah buruk sehingga kita mampu menyatakan buruk setiap kali menyaksikan perbuatan buruk tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyifati Tuhan dengan kebohongan karena kebohongan sepanjang esensinya adalah buruk dan Tuhan tidak mungkin melakukan keburukan.4 Menurut Asy‟ariyah, pengertian baik dan buruk itu dipandang berdasarkan syari‟at. Segala sesuatu yang diperintah oleh syari‟at merupakan kebaikan sedangkan segala sesuatu yang dilarang oleh syari‟at merupakan keburukan. Jadi, definisi baik dan buruk menurut Asy‟ariyah berdasarkan kepada syari‟at agama bukan yang lainnya. Jika telah datang syari‟at dalam menentukan segala yang baik dan buruk tanpa adanya ketetapan akal, maka sesuatu itu adalah baik. Seperti h. 31 3 Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy, 4 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran ‘Itizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 68 18 halnya diperintahkan berbuat buruk dan dilarangnya berbuat baik sesuai syari‟at maka hal tersebut merupakan kebaikan. Oleh karena itu, menurut aliran Asy‟ariyah baik dan buruk tidak memiliki makna kecuali setelah datangnya syari‟at yang terdiri dari perintah dan larangan-Nya.5 Pendapat Maturidiyah mengenai baik dan buruk lebih identik dengan pandangan baik dan buruk menurut Mu‟tazilah dibandingkan dengan aliran Asy‟ariyah. Aliran ini meyakini bahwasannya akal mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 6 Definisi dari baik dan buruk juga telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya dari Nuwas bin Sam‟an r.a. bahwa Rasulullah Saw, Bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik dan perbuatan dosa adalah segala sesuatu yang mengganjal dalam dadamu dan kamu benci bila orang lain mengetahuinya”.7 Hadits di atas ini memberikan kita petunjuk bahwa kebaikan atau perbuatan baik memiliki hubungan dengan etika yang dalam Islam dikenal dengan sebutan akhlak. Karena definisi dari kata akhlak sendiri dirumuskan sebagai sebuah media yang dapat menimbulkan hubungan baik antara Tuhan dengan manusia dan antara manusia dengan manusia lainnya.8 Sedangkan keburukan atau perbuatan buruk adalah perbuatan yang mengakibatkan manusia memiliki dosa atas tindakannya. Karena, apabila seorang Muslim melakukan perbuatan yang membawanya kepada 5 Ibrāhīm madkūr, Fil Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbīqoh, Kairo: Dār alMā‟arif, 1119, h. 250 6 Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy‟ari dan alMaturidi”, Fikrah, Vol.I, No. 2 (Juli-Desember 2013): h. 226 7 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 220 8 Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008, h. 205 19 dosa, maka hatinya akan terasa bagai dihimpit hingga tidak memiliki ruang dalam hati. Kemudian kamu akan membencinya, jika seseorang di antara kamu mengetahuinya. Etika dan akhlak memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaan antara etika dan akhlak adalah sama-sama membahas mengenai tingkah laku manusia yang terdiri dari baik dan buruk. Dan perbedaan di antara keduanya adalah membedakan sumber dalam mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan. Etika mengetahui baik dan buruk melalui akal, sedangkan akhlak mengetahui baik dan buruk berdasarkan ajaran yang diajarkan oleh Tuhan dan Rasul-Nya.9 Di dalam al-Qur‟an dan hadits akan selalu kita jumpai term-term yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan. Term-term tersebut di antaranya adalah al-hasanah dan al-sayyi’ah, al-khayr dan al-syarr, al-ma’rūf dan almungkar, al-birr dan al-fāhisyah atau al-itsm10 berikut penjelasannya: 1. Al-Hasanah dan al-Sayyi’ah Al-hasanah adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan sesuatu hal yang disukai dan dipandang baik, sedangkan al-sayyi’ah merupakan istilah yang digunakan dalam menunjukan suatu hal yang berlawanan dari term al-hasanah.11 Istilah al-hasanah dan al-sayyi’ah dalam al-Qur‟an yang memiliki makna nikmat dan musibah sebagaimana yang tertera dalam al-Qur‟an sūrah al-Imrān ayat 120 berikut: 9 Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, h. 207 Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam Al-Qur‟an: Analisis Konseptual Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang Bertema Kebaikan dan Keburukan”, Mimbar, 4 Juni 2004, h. 22 11 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015, h. 101 10 20 “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”. Adapun ayat lain yang mengartikan istilah al-hasanah dan al-sayyi’ah sebagai nikmat dan bencana terdapat pada sūrah al-A‟rāf ayat 168 sebagai berikut; “Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran”.12 2. Al-Khayr dan al-Syarr Istilah lain mengenai kebaikan dan keburukan dalam bentuk term alkhayr dan al-syarr yang mengandung arti kebahagiaan dan penderitaan dalam al-Qur‟an tercantum pada sūrah Fushshilat ayat 49 sampai dengan ayat 50 sebagai berikut: 12 Ibnu Taimiyah, Al-Hasanah dan Al-Sayyi’ah. Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005, h. 35 21 “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang”.13 Penggunaan kalimat khayr dan syarr dalam bahasa Arab dan yang dimaksud dengan keduanya adalah keputusan terhadap perbuatan yang dipertimbangkan nilai serta perolehan yang akan didapatkan oleh pelaku atas perbuatannya sendiri. Jika hasil perbuatan atau tindakan tersebut bermanfaat bagi pelaku perbuatan, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan ini termasuk ke dalam perbuatan baik bagi pelakunya. Jika nilai dari perbuatan tersebut berbahaya atau membawa pelaku perbuatan kepada musibah, maka dinyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah buruk. Oleh karena itu, khayr merupakan hal yang menunjukan kepada perbuatan yang bermanfaat dan menghindari segala perbuatan yang menghasilkan syarr bagi pelakunya. 14 3. Al-Birr dan al-Itsm Al-birr digunakan untuk menunjukan hal-hal yang memperluas atau memperbanyak dalam mengerjakan perbuatan baik, sedangkan al-itsm digunakan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan yang menghasilkan dosa.15 Kata al-birr dan al-itsm yang memiliki arti akhlak yang baik (kebajikan) dan perbuatan dosa di dalam al-Qur‟an pada sūrah al-Māidah ayat 2 sebagai berikut: 13 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur’an. h. 360 Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy, Jamiah Kairoh: Dar Ulum, 1981, h. 27 15 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h. 103 14 22 “Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. 4. Al-Ma’rūf dan al-Munkar Al-ma’rūf merupakan segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Tuhan, sedangkan al-munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari-Nya. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur‟an sūrah alImrān ayat 104 berikut: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'rūf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. 5. Fāhisyah Istilah fāhisyah dalam al-Qur‟an menunjukan segala bentuk kecurangan dan keburukan yang melampaui batas. Sebagaimana tertera dalam al-Qur‟an sūrah al-A‟rāf ayat 80 berikut: 23 “Dan kami juga telah mengutus Luth kepada kaumnya. Ingatlah tatkala ia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fāhisyah (homoseksual) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu?”. B. Hubungan Kekuasaan Tuhan dengan Perbuatan Manusia Perbedaan pandangan mengenai perbuatan manusia terjadi di antara beberapa aliran dalam Islam seperti Jabariyah, Qadariyah, Mu‟tazilah dan Asyariyah dalam menyelesaikan persoalan mengenai kehendak Tuhan serta hubungannya dengan perbuatan manusia. Pendapat mereka mengenai perbuatan manusia terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa kehendak Tuhan meliputi segala hal yang baik saja dan tidak menyuruh terhadap segala perbuatan yang buruk bagi manusia. Oleh karena itu, kehendak Tuhan dalam aliran ini sama dengan perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan segala sesuatu yang menghasilkan kebaikan bagi manusia bukan keburukan. Karena Tuhan hanya melakukan suatu kebaikan saja, Tuhan tidak mungkin menciptakan perbuatan manusia karena dalam perbuatan manusia mengandung dua unsur perbuatan yaitu perbuatan baik dan buruk. Oleh sebab itu manusia merupakan pencipta dari perbuatannya dan berkehendak atas segala perbuatannya. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa kehendak Tuhan meliputi segala hal yang baik dan buruk di dunia ini, karena kebaikan dan keburukan yang ada di dunia ini merupakan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu tersebut terjadi, maka akan terjadilah. Oleh karena itu, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia sehingga manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya karena terikat dengan kehendak Tuhan. 24 Kedua pendapat di atas merupakan pendapat yang dikemukakan oleh aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah dalam persoalan mengenai perbuatan manusia. Aliran pertama yang membahas mengenai perbuatan manusia adalah Qadariyah. Pendapat aliran Qadariyah mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam berbuat, sehingga manusia dapat menentukan perjalanan hidupnya sendiri. Selain kebebasan dan kemerdekaan dalam berbuat, manusia juga dapat mewujudkan perbuatanperbuatannya dengan kekuatannya sendiri bukan karena kekuatan dari Tuhan. Kesimpulan dari aliran ini, bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan perbuatan Tuhan. Karena Tuhan tidak ikut campur dalam penciptaan perbuatan manusia. Dengan pendapatnya ini, aliran Qadariyah dikenal dengan nama free will and free act dalam istilah Inggrisnya. Aliran kedua yang membahas mengenai perbuatan manusia adalah Jabariyah. Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Aliran ini berpendapat sebaliknya dari pendapat aliran Qadariyah mengenai perbuatan manusia. Pendapatnya, bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam segala kehendak dan perbuatannya. Karena dalam paham ini kehendak manusia adalah kehendak mutlak Tuhan. Kesimpulan pendapat aliran Jabariyah bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, sehingga Tuhan berkehendak pada setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Dalam bahasa Inggris paham ini dikenal dengan nama fatalism atau predestination.16 Kedua aliran ini, menyatakan pendapatnya mengenai perbuatan manusia dengan bersandar penuh pada al-Qur‟an. Beberapa ayat menyatakan bahwa 16 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, h. 33 25 manusia serta perbuatannya merupakan ciptaan Tuhan, sehingga perbuatan manusia sepenuhnya adalah perbuatan Tuhan. Adapun ayat yang lain di dalam alQur‟an yang menyatakan bahwa manusia diberikan tanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya, sehingga dapat digambarkan bahwa manusia adalah pencipta dari perbuatannya sendiri.17 Perdebatan mengenai manusia dalam perbuatannya tidak hanya sampai pada aliran Jabariyah dan Qadariyah saja, akan tetapi perbincangan mengenai perbuatan manusia berlanjut kepada aliran yang selanjutnya dalam ilmu kalam yaitu aliran Asy‟ariyah dan aliran Mu‟tazilah. Walaupun bila kita uraikan pendapatnya, tidak jauh beda dengan pendapat aliran yang sebelumnya mengenai manusia dalam perbuatannya. Pendapat aliran Mu‟tazilah mengenai perbuatan manusia tidak jauh beda dengan pendapat aliran Qadariyah, sedangkan aliran Asy‟ariyah walaupun dengan menggunakan teori kasb akan tetapi pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat aliran Jabariyah.18 a. Aliran Mu’tazilah Wāsil bin „Ata adalah orang yang membangun aliran ini. Ia adalah seorang syaikh al-Mu’tazilah wa qadilmuha yaitu ketua dari aliran Mu‟tazilah. Ia lahir di Madinah pada tahun 81 H dan meninggal dunia pada 131 H. Di Madinah, ia belajar kepada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah. Setelah belajar di Madinah, ia pindah ke Basrah dan mengikuti pengajian yang dibimbing oleh Hasan al-Basri.19 17 Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 125 M. Yafis, “Pemikiran Kalam K.H. Abdullah Syafi‟ie,” (Disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 104-105 19 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 44 18 26 Kaum Mu‟tazilah adalah aliran yang membawa persoalan teologi secara berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya. Karena aliran ini, membawa persoalan teologi secara mendalam dan bersifat filosofis. Oleh karena itu, aliran ini dikenal dalam dunia Islam dengan sebutan kaum rasionalis Islam.20 Pemberian nama “Mu‟tazilah” pada aliran ini memiliki cerita yang bervariasi. Menurut al-Syahrastani pemberian nama Mu‟tazilah bermula dari peristiwa yang dilakukan oleh Wāsil bin „Ata yaitu menjauhkan diri dari permasalahan dosa besar yang dibahas dalam pengajian yang diadakan oleh Hasan al-Basri di Basrah. Sebagian aliran berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu kafir, dan sebagian lainnya berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih mukmin. Namun Wāsil mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukanlah kafir atau mukmin, akan tetapi pelaku dosa besar memiliki posisi di antara kafir dan mukmin yaitu fasiq. Oleh karena itu, Wāsil beserta teman-temannya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri. Dengan demikian Wāsil beserta temantemannya disebut sebagai aliran Mu‟tazilah. Menurut al-Bagdadi pemberian nama Mu‟tazilah bermula dengan diusirnya Wāsil beserta teman-temannya oleh Hasan al-Basri dari Majlisnya karena adanya pertikaian di antara mereka mengenai pelaku dosa besar. Wāsil dan teman-temannya menjauhkan diri dari persoalan umat Islam yang dibahas oleh Hasan mengenai pelaku dosa besar.21 Persoalan pemberian nama Mu‟tazilah dari kata „itazala ya’tazilu adalah pemberian yang diberikan oleh orang dari luar kelompok Mu‟tazilah. aliran Mu‟tazilah sendiri sebenarnya telah memberikan nama untuk kelompoknya dengan sebuatan ahlu al-‘adl wa al20 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2011, h. 40 21 Harun nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 38 27 tauhīd. Nama ini diambil dari lima prinsip pokok yang diajarkan aliran ini yaitu al-‘adl dan al-tauhīd. Namun mereka tidak keberatan jika mereka ini dikenal dengan sebutan aliran Mu‟tazilah dari pada Ahlu al-Adl wa alTauhīd.22 Kaum Mu‟tazilah ini memiliki lima doktrin pokok yang terkenal dengan sebutan al-Ushūl al-Khomsah. Lima doktrin tersebut di antaranya adalah; alTauhīd (mengesakan Tuhan), al-Adl (keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’īd (janji dan ancaman), al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat untuk pelaku dosa besar), Al-Amr bi al-ma’rūf wa al-Nahy ‘an almunkar (perintah melaksanakan perbuatan baik dan larangan untuk berbuat kemungkaran).23 Yang menyusun semua prinsip-prinsip di dalam ajaran aliran Mu‟tazilah adalah Abu al-Hasan Al-Khayyāt. Ia adalah seorang tokoh generasi awal dari aliran Mu‟tazilah. Lima prinsip tersebut telah disetujui oleh semua pengikut aliran ini.24 Banyak sekali persoalan-persoalan dalam teologi yang dibahas oleh aliran ini. Seperti persoalan mengenai akal dan wahyu, fungsi wahyu, free will dan predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, serta konsep iman. Semua hal tersebut tidak hanya dibahas oleh aliran Mu‟tazilah, akan tetapi aliran-aliran yang lain dalam Islam juga membahas persoalan-persoalan tersebut. Namun saat ini, persoalan yang ditulis dan dijelaskan hanyalah mengenai manusia dan perbuatannya serta hubungan kehendak Tuhan terhadap perbuatan manusia. 22 Mawardy Hatta, “Aliran Mu‟tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam”, Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1 (Januari 2013): h. 90 23 Mawardy Hatta, “Aliran Mu‟tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam”, h. 95-96 24 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001, h. 18 28 1. Hakikat Perbuatan Perbuatan manusia merupakan salah satu bagian dari lima prinsip aliran ini yaitu al-adl (keadilan). Al-adl (keadilan) adalah prinsip yang kedua dari lima prinsip dasar dalam ajaran Mu‟tazilah. Keadilan dalam ajaran Mu‟tazilah membicarakan hubungan Tuhan dengan perbuatan-perbuatan manusia termasuk perbuatan baik dan perbuatan buruk. Pendapat aliran Mu‟tazilah mengenai asal terbentuk atau terciptanya perbuatan adalah dari diri manusia itu sendiri bukan berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu, manusia menurut aliran ini merupakan pencipta bagi perbuatannya. Jika Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, maka manusia tidak akan diberikan siksaan maupun pahala atas perbuatannya. Selain itu, jika perbuatan manusia terjadi berdasarkan qada dan qadar Tuhan, maka Tuhan telah meridhai manusia yang kafir itu menjadi kafir. Hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Tuhan. Jika Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, maka tidak ada gunanya Tuhan mengirim seorang rasul kepada manusia. Karena, manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya untuk mengikuti petunjukpetunjuk yang telah diberikan Rasul-Nya. Tuhan tidak mungkin menciptakan perbuatan manusia dan menyiksa manusia atas perbuatan yang telah Tuhan ciptakan. Dengan memaksa manusia yang baik berbuat maksiat sehingga manusia tersebut mendapat siksa, dan 29 memberikan pahala kepada manusia yang telah berbuat zalim. Ini merupakan hal yang mustahil dilakukan oleh Tuhan. Untuk memperkuat pendapatnya bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Aliran ini menunjukkan pembuktiannya dengan menggunakan argumenargumen rasional dan ayat-ayat rasionalnya diumpamakan al-Qur‟an. seseorang telah Dalam argumen melakukan sebuah perbuatan yang baik bagi orang lain, maka orang yang diberikan kebaikannya tersebut akan berterima kasih kepada orang yang berbuat baik. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang melakukan perbuatan yang buruk maka orang lain pasti merasa tidak senang dengan perbuatan yang dilakukannya. Dengan begitu rasa terima kasih dan tidak senang manusia tersebut ditunjukkan kepada manusia itu sendiri. Jika perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan maka rasa terima kasih dan tidak senang manusia ditunjukkan kepada Tuhan dan bukan manusia.25 Dalam al-Qur‟an yang memperkuat argumennya bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya bukanlah perbuatan Tuhan, akan tetapi perbuatan manusia yang tertera dalam sūrah al-Sajdah ayat 7 sebagai berikut: “ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaikbaiknya”. 25 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 105 30 Ayat di atas menjelaskan bahwa semua perbuatan Tuhan adalah baik. Karena manusia memiliki perbuatan yang terdiri dari perbuatan baik dan buruk dalam dirinya, maka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan.26 Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.1 Hakikat Perbuatan Manusia Menurut Mu‟tazilah Kebaikan Tuhan Keburukan Manusia Kebaikan Perbuatan Manusia pada hakikatnya bukan perbuatan Tuhan akan tetapi perbuatan manusia Menurutnya, Perbuatan manusia adalah murni perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, daya yang digunakan untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah daya yang berasal dari diri manusia itu sendiri bukan Tuhan. Jadi, paham Mu‟tazilah ini menyatakan bahwa kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah daya dan kemampuan manusia.27 Mengenai irādah Tuhan, aliran ini mengatakan bahwa kehendak Tuhan sama dengan perintah-Nya kepada manusia. Semua irādah 26 27 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 106 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 105 31 Tuhan wajib diperintahkan kepada manusia dan Tuhan berkehendak di dalamnya, maka semua perintah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia merupakan irādah Tuhan. Dengan demikian kehendak Tuhan merupakan perintah dan setiap perintah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia membawanya kepada kebaikan. Lalu bagaimana dengan keburukan yang terjadi di alam ini seperti adanya berbagai macam perbuatan kafir dan maksiat. Dalam hal ini, aliran Mu‟tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak menginginkan kekafiran dan kemaksiatan terjadi di alam ini karena Tuhan tidak menyuruh manusia untuk melakukan kekafiran dan kemaksiatan. Seperti yang telah disebutkan dalam firman-Nya pada sūrah al-A‟rāf ayat 28 dan sūrah an-Nahl ayat 90 sebagai berikut: “Katakanlah: Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji”. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Oleh karena itu, segala keburukan dan kekafiran yang terjadi di alam ini bukan termasuk kehendak Tuhan karena kehendak Tuhan menolak segala keburukan dan kekafiran. Kafir dan maksiat yang 32 terjadi di dunia ini bukan berasal dari perbuatan dan kehendak Tuhan, akan tetapi berasal dari perbuatan dan kehendak manusia.28 Aliran ini mengatakan bahwa irādah Tuhan hanya terkait pada perbuatan-perbuatan yang baik saja. Hal tersebut dapat dilihat dari pendirian aliran ini bahwa Tuhan hanya menghendaki tindak laku kebaikan pada manusia itu supaya ada dan tindak laku keburukan pada manusia itu tiada. Oleh karena itu, setiap manusia harus mematuhi perintahnya seperti salat, zakat, mengesakan Tuhan, dan beriman kepada Rasul. Karena setiap perintah yang Tuhan berikan kepada manusia merupakan sesuatu yang selalu baik dan tidak mungkin Tuhan memerintahkan manusia kepada suatu hal yang tidak baik. Tuhan tidak menghendaki kedurhakaan, perbuatan syirik, dan kekafiran. Hal tersebut dilakukan manusia bukan atas irādah Tuhan akan tetapi disebabkan oleh kemauan bebas yang telah Tuhan anugerahkan kepada manusia.29 Hubungan irādah Tuhan dengan perbuatan manusia dapat digambarkan sebagai berikut: 28 Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyatu al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy, h. 43 29 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran ‘Itizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, 1982, h. 77 33 Gambar 1.2 Hubungan Irādah Tuhan dengan Perbuatan Manusia Menurut Mu‟tazilah Tuhan Perbuatan Manusia Kebaikan Perintah Mu‟tazilah memperkuat pendapat-pendapatnya mengenai irādah Tuhan dengan menggunakan dalil akal dan dalil naql. Pendapatnya mengenai irādah Tuhan yang dibuktikannya dengan menggunakan dalil akal adalah: Pertama, jika Tuhan telah menghendaki kekafiran niscaya manusia tersebut akan kafir. Bayangkan jika Tuhan menghendaki kekafiran pada seorang manusia, kemudian Ia memerintahkannya agar jangan menjadi kafir. Ini merupakan sesuatu yang mustahil bagi Tuhan. Kedua, jika kekafiran seorang yang kafir itu dikehendaki oleh Tuhan maka orang tersebut tidak akan memperoleh siksa. Justru ia akan memperoleh pahala karena telah mentaati kehendak Tuhan.30 30 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran ‘Itizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 79 34 Pengukuhan pendapatnya dengan menggunakan dalil naql mengenai irādah Tuhan, sebagaimana tertera dalam Al-Qur‟an sūrah al-Fushshilat ayat 46 berikut: “Dan sekali-kali tidaklah Tuhan mu Menganiaya hambahambaNya”. Selain ayat di atas ada ayat lain yang menjelaskan bahwa Tuhan tidak mungkin berbuat zalim kepada hamba-Nya yang tertera dalam sūrah an-Nisā ayat 40, sebagai berikut; “Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walau pun sebesar Zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar Zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”.31 Demikian ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan tidak mungkin menyiksa hamba-Nya walaupun hanya sebesar biji Zarrah, bahkan Tuhan melipatgandakan kebajikan yang diperbuat oleh hamba-Nya walaupun hanya sebesar biji Zarrah. 2. Kebebasan Manusia Dalam sistem teologi aliran Mu‟tazilah manusia dipandang mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, aliran ini 31 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Tentang Persamaan dan Perbedaan dengan Al-Asy’ari, h. 102-103 35 menganut paham Qadariyah atau free will. Aliran ini memiliki tulisantulisan serta keterangan-keterangan yang mengandung paham bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, sehingga manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di akhirat kelak.32 Mereka menyatakan bahwa qodrat yang telah Tuhan berikan kepada manusia tidak memiliki hubungan dengan irādah Tuhan. Jadi, jika manusia melakukan sebuah perbuatan maka perbuatan tersebut dilakukan atas kekuasaannya sendiri. Baik dan buruk berada di tangan manusia bukan datang dari Tuhan. Segala daya dan upaya datangnya dari manusia itu sendiri dan segala sesuatu perbuatan diciptakan dengan kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu pendapat aliran Mu‟tazilah mengenai kebebasan manusia dalam berbuat identik dengan pendapat aliran Qadariyah.33 Manusia menurut pandangan aliran Mu‟tazilah memiliki kebebasan dalam perbuatannya. Karena perbuatannya terjadi, sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Jika manusia ingin melakukan sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi. Sebaliknya, jika manusia tidak ingin melakukan sesuatu maka sesuatu itu tidak akan terjadi. Apabila Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, maka segala sesuatu yang tidak diinginkan manusia akan diperbuatnya. Begitu pun 32 33 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 103 Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), Jakarta: Tintamas, 1966, h. 49 36 sebaliknya, sesuatu yang manusia inginkan tidak akan pernah terjadi jika perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan.34 Menurut aliran Mu‟tazilah gerak yang berada dalam diri manusia terdiri dari dua jenis gerak yaitu gerak secara sadar dan gerak secara tidak sadar. Gerak secara sadar adalah gerak yang tunduk kepada kemauan dan kebebasan manusia, sedangkan gerak secara tak sadar adalah gerak yang terjadi di luar kemauan dan kebebasan manusia. Seperti halnya dalam bidang hukum, ada namanya pembunuhan secara sengaja dan pembunuhan secara tidak sengaja. Oleh karena itu, aliran ini memiliki prinsip kemauan bebas manusia serta gerak secara sadar yang telah dilakukannya merupakan ciptaan dari kodratnya sendiri bukan dari Tuhan. Sebab inilah manusia diberikan beban untuk bertanggung jawab atas semua perbuatannya.35 Dalil al-Qur‟an yang memperkuat pendapat aliran ini bahwa manusia memiliki pilihan atau kebebasan dalam perbuatannya terdapat dalam sūrah al-Kahf ayat 29 sebagai berikut: … “Barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir". Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diberikan kebebasan dalam memilih di antara dua pilihan di atas yaitu pilihan untuk beriman atau untuk tidak beriman (kafir). 36 34 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 105 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 83 36 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 84 35 37 b. Aliran Asy’ariyah Nama Asy‟ariyah diberikan dalam aliran ini, karena Asy‟ariyah adalah aliran yang mengikuti dan menganut ajaran imam Asy‟ari. Abu Musa al-Asy‟ari adalah seorang tokoh yang mendirikan aliran ini. Ia lahir di Basrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H di Baghdad.37 Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dianut kaum Mu‟tazilah, karena kaum Mu‟tazilah merupakan aliran yang membahas persoalan teologi dengan mengandalkan kekuatan akal. Oleh karena itu, aliran Asy‟ariyah ini menyelesaikan persoalan teologi tidak hanya dengan akal saja, akan tetapi dengan al-Qur‟an dan hadits nabi Muhammad SAW.38 Aliran Asy‟ariyah ini bisa disebut juga sebagai aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah karena memiliki kesamaan di antara keduanya. Kesamaan di antara aliran Asy‟ariyah dan Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah ialah sama-sama mengemukakan dalil dan alasan dengan menggunakan dalil akal dan naql. Jadi aliran ini tidak menganggap akal sebagai hakim atas nas-nas agama dalam menta‟wilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya, akan tetapi sebagai penguat arti dari nash agama.39 Sebenarnya penyebutan Ahl al-Sunnah telah dipakai sebelum lahirnya aliran Asy‟ariyah yaitu aliran yang memecahkan suatu peristiwa dengan mengambil sumber dari al-Qur‟an dan hadits.40 Aliran ini, telah ada sejak zaman sahabat hingga Tābi‟īn yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits. Oleh karena itu, 37 A. Kadir Sobur, “Teologi „Poros Tengah‟ Satu Kajian Terhadap Af‟al al-Ibād dalam Pemikiran Kalam Al-Asy‟ari,” Media Akademika Forum Ilmu dan Budaya Islam Vol. 17, No. 3 (Juli 2002): h. 200 38 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 62 39 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT Al-Husan Zikra, 2001, h. 111 40 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam,, h. 114 38 aliran Asy‟ariyah ini bukanlah aliran yang baru. Hal ini terjadi, karena pada masa munculnya aliran Asy‟ariyah, nama Ahl al-Sunnah belum populer dan terkenal di kalangan masyarakat.41 1. Hakikat Perbuatan Asy‟ariyah menolak pendapat Mu‟tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan hanya menghendaki perbuatan baik saja, hal ini bertentangan dengan kesepakatan kaum Muslimin yang meyakini apa yang dikehendaki Tuhan maka akan terjadi dan apa yang tidak Tuhan kehendaki niscaya tidak akan terjadi.42 Dalam al-Qur‟an dijelaskan mengenai kehendak Tuhan sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Asy‟ariyah pada sūrah al-Insān ayat 30 berikut: “Dan kamu tidak mampu menempuh jalan itu, kecuali bila dikehendaki Allah.” Tidak hanya ayat di atas saja yang menjelaskan bahwa kehendak Tuhan meliputi segala yang ada di dunia ini, adapun beberapa ayat lain yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan niscaya akan terwujud sebagaimana berikut: “Seandainya Aku kehendaki, niscaya Aku berikan kepada setiap jiwa petunjuk untuknya” (QS. As-Sajdah: 13), “ Dan jika Tuhan menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman” (QS. Yūnus: 99), dan “Dan seandainya Allah kehendaki, maka tidaklah mereka saling berbunuh-bunuhan” (QS. Al-Baqarah: 253). Maka telah dikabarkan bahwa pembunuhan tidak akan terjadi jika Tuhan tidak menghendaki, akan 41 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam,, h. 115 Abu al-Hasan al-Asy‟ari, Ajaran-Ajaran Asy’ari. Penerjemah: Afif Mohammad dan H.A. Solihin Rasyidi, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman Institut Teknologi Bandung, 1986, h. 6 42 39 tetapi bila telah dikehendaki maka akan dilakukannya. Ayat-ayat al-Qur‟an di atas jelas menunjukkan bahwa jika Tuhan tidak menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tidak akan terjadi.43 Termasuk perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dimiliki oleh manusia terwujud karena adanya kehendak dari Tuhan. Gambar 1.3 Hakikat Perbuatan Manusia Menurut Asy‟ariyah Tuhan Baik Buruk Perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan Manusia Uraian di atas dapat menyimpulkan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan, menurut aliran Asy‟ariyah. Oleh karena itu, aliran ini menolak pendapat yang dijelaskan oleh aliran Mu‟tazilah bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Karena menurut aliran Asy‟ariyah pendapat aliran Mu‟tazilah itu bertolak belakang dengan Firman Tuhan dalam al-Qur‟an sūrah Hūd ayat 107 yaitu; 43 Abu Hasan al-Asy‟ari, Kitāb al-Luma’, T.tp.: T.pn., 1955, h. 58 40 “Sesungguhnya Tuhan mu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”. Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak atau kemampuan dalam perbuatannya, karena segala perbuatannya berdasarkan kepada kehendak Tuhan. Dengan demikian aliran ini mengatakan bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan. Perbuatan baik maupun buruk, keduanya merupakan ciptaan Tuhan. Hubungan kehendak Tuhan dengan perbuatan manusia dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.4 Hubungan Kehendak Tuhan dengan Perbuatan Manusia Menurut Asy‟ariyah Tuhan Perbuatan Manusia Baik Buruk Halnya keimanan dan kekafiran merupakan ciptaan Tuhan, sehingga manusia mengetahui bahwasanya keimanan itu baik dan kekafiran itu buruk. Bagaimana semisalnya jika bukan Tuhan yang menciptakan keimanan dan kekafiran, maka pastilah orang kafir akan menganggap kekafiran itu sebagai sesuatu hal yang baik dan keimanan sebagai sesuatu yang buruk. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas aliran Asy‟ariyah ini berpendapat bahwa hakikat perbuatan sebenarnya adalah perbuatan Tuhan bukan manusia, karena Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia. pada diri manusia akan tetapi 41 Tuhan lah yang menciptakan perbuatan manusia.44 Sedangkan daya yang digunakan dalam perbuatan manusia adalah daya Tuhan dan bukan daya manusia. Tuhan hanya memberikan satu daya untuk satu perbuatan yang telah terjadi pada diri manusia dan untuk perbuatan yang lainnya dibutuhkan daya yang lainnya pula.45 Iman Al-Asy‟ari menyebut perbuatan manusia dengan sebutan kasb. Terjadinya kasb yang sebenarnya itu dengan perantaraan kekuatan yang diciptakan pada orang yang memperoleh daya. Dengan demikian Al-Asy‟ari berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diciptakan dengan dirinya sendiri, akan tetapi diciptakan oleh Tuhan.46 2. Kebebasan Manusia Dalam persoalan mengenai perbuatan manusia, aliran ini menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan kasb. Kasb menurut paham Qadariyah adalah perbuatan yang dilakukan atau yang dipilih oleh manusia itu sendiri. Bukan ciptaan, kehendak dan keinginan Tuhan. Sedangkan menurut paham Jabariyah, manusia tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Jadi paham ini mengatakan bahwa segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya berasal dari Tuhan.47 Teori kasb ini digunakan oleh Asy‟ari untuk memecahkan persoalan mengenai perbuatan manusia. Aliran ini, menyaksikan mengenai perbedaan 44 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Tentang Persamaan dan Perbedaan dengan Al-Asy’ari, h. 103 45 Abu Hasan al-Asy‟ari, Kitāb al-Luma’, h. 57 46 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, Penerjemah: Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2014, h. 324 47 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 338 42 pendapat antara aliran Jabariyah dan Qadariyah dalam persoalan perbuatan manusia. Aliran Jabariyah mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan manusia dipaksa dalam melakukan segala perbuatannya. Dalam hal ini, manusia tidak diberikan kebebasan dan kemerdekaan dalam perbuatannya. Sedangkan aliran Qadariyah memiliki pendapat yang sebaliknya dari aliran Jabariyah. Pendapat aliran Qadariyah, bahwa manusia yang telah menciptakan perbuatannya sendiri dengan daya yang telah diberikan Tuhan. Sehingga manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam berkehendak dan tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Melihat hal ini, Asy‟ariyah tidak memihak kepada aliran manapun mengenai persoalan perbuatan manusia. Justru aliran ini mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai persoalan perbuatan manusia dengan memilih jalan tengah di antara kedua aliran tersebut. Pendapat Asy‟ariyah mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat menciptakan perbuatannya sendiri, akan tetapi manusia dapat melakukan kasb.48 Imam al-Asy‟ari menyatakan bahwa kasb merupakan suatu perbuatan yang terjadi dengan adanya daya baru. Dan orang yang melakukan sebuah perbuatan dengan daya yang lama disebut fâ’il atau khāliq. Jika perbuatan itu dilakukan dengan daya yang baru maka orang tersebut disebut dengan muktasib.49 Yang di maksud dengan teori kasb yang diajukan oleh aliran Asy‟ariyah dalam menyelesaikan persoalan perbuatan manusia disebut sebagai hak guna pakai. Pokok pikiran di dalam teori kasb yang diajukan oleh aliran ini di 48 A. Kadir Sobur, “Teologi ‘Poros Tengah’ Satu Kajian Terhadap Af’al al-Ibād dalam Pemikiran Kalam Asy’ari”, h. 203 49 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 339 43 antaranya: ketika Tuhan menganugerahkan kodrat kepada manusia. Kodrat tersebut merupakan milik mutlak bagi Tuhan, akan tetapi manusia memiliki kebebasan dalam menggunakan kodrat yang telah Tuhan berikan dalam perbuatannya. Sehingga manusia diberikan pertanggungjawaban atas perbuatannya. Namun hak guna pakai tersebut dapat dicabut dalam beberapa waktu. Seperti halnya cerita nabi Ibrahim yang dibakar dengan api, akan tetapi api yang membakar tubuhnya tidak panas melainkan sebaliknya menjadi dingin dan tidak membakarnya.50 Contoh yang lainnya mengenai teori kasb ini. Misalkan anda ingin melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Ciamis. Ketika anda hendak melakukan perjalanan tersebut, anda pasti akan memilih transportasi apa yang akan anda kenakan apakah dengan mobil bus atau dengan kereta api. Setelah anda menetapkan pilihan anda dengan menggunakan kereta api. Lalu anda melakukan perjalanan dengan kereta api. Di dalam perjalanan tersebut anda melakukan kegiatan seperti melihat pemandangan alam, tidur, makan dan lain sebagainya. Dan akhirnya anda tiba di tujuan. Kodrat yang telah mengantarkan anda dari Jakarta menuju Ciamis adalah kodrat kereta api bukan kodrat anda. Anda dan orang lain akan menganggap bahwa yang berangkat adalah diri anda bukan kereta. Kebenarannya yang telah berangkat itu bukan anda akan tetapi kereta apinya. Sekalipun begitu anda memiliki hak guna pakai dengan membayar ongkos perjalanan kereta api tersebut, sehingga gerak kereta api tersebut identik dengan gerak yang telah anda lakukan secara keseluruhan. 50 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 96 44 Tanpa sadar, anda dan orang di sekitar anda akan menganggap bahwa anda yang telah berangkat bukan keretanya.51 Ayat al-Qur‟an yang menggambarkan mengenai kejadian di atas terdapat dalam sūrah al-Anfal ayat 17 sebagai berikut; “Maka yang sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik”. Kesimpulan dari pemikiran aliran Asy‟ariyah ini mengenai perbuatan manusia bahwa manusia tidak mungkin menciptakan perbuatannya sendiri, karena hanya Tuhan lah yang dapat menciptakan perbuatan manusia. Namun manusia berkuasa dalam memperoleh daya yang diciptakan oleh Tuhan, akan tetapi daya yang diperoleh manusia pada hakikatnya tidak menentukan perbuatannya. Hal tersebut dapat digambarkan dalam contoh sebagai berikut: ada dua orang yang akan mengangkat karung beras. Yang satu dapat mengangkat karung beras tersebut, dan yang lainnya tidak dapat mengangkatnya. Jika keduanya mengangkat satu karung beras tersebut secara bersamaan, maka karung tersebut akan terangkat. Namun bukan berarti yang tidak sanggup mengangkat karung tersebut tidak menyumbangkan tenaganya. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam satu perbuatan memiliki dua pembuat yaitu Tuhan dan manusia, sehingga jelas terlihat berdasarkan contoh 51 Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 97 45 di atas bahwa daya Tuhan lebih efektif dari pada daya manusia dalam menciptakan perbuatan. Asy‟ari menyetujui jika perbuatan manusia dan kasb adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan merupakan pelaku sebenarnya dalam menjadikan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan manusia merupakan tempat berlakunya perbuatan Tuhan. Dalam hal ini manusia bagaikan wayang yang dikendalikan oleh dalangnya (Tuhan) atau dengan kata lain Tuhan merupakan penggerak dan manusia merupakan badan yang digerakan. Sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani, sedangkan Tuhan mustahil memiliki tempat yang bersifat jasmani tersebut. Hal inilah yang menyebabkannya memiliki pendapat yang sama dengan aliran Jabariyah. Jadi menurut aliran Asy‟ariyah manusia tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Karena Tuhan memiliki kehendak dalam perbuatan manusia. Mengenai kehendak Tuhan, Asy‟ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Berikut ini adalah ayat yang dipakai Asy‟ari dalam memperkuat pendapatnya yang tercantum dalam sūrah al-Insān ayat 30 sebagai berikut; “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”. Dari ayat di atas jelas bahwa manusia tidak dapat menghendaki segala sesuatu kecuali jika Tuhan telah menghendaki manusia akan sesuatu tersebut. Manusia menurut aliran ini tidak memiliki kebebasan dalam kehendaknya 46 untuk berbuat karena kehendak yang berada di dalam diri manusia tak lain adalah kehendak Tuhan.52 Kesimpulannya, Tuhan menghendaki adanya perbuatan baik dan adanya perbuatan buruk. Karena keduanya merupakan ciptaan Tuhan yang telah dikehendaki. Seperti hal ayat di atas yang menyatakan bahwa jika Tuhan menghendaki sesuatu maka sesuatu tersebut akan terwujud. Sebaliknya jika Tuhan tidak menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tidak akan terwujud. Perbuatan baik dan buruk ada karena irādah Tuhan. 52 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 110 BAB III BIOGRAFI DAN KARYA IBN TAIMIYAH A. Riwayat Hidup Ibn Taimiyah Ibn Taimiyah adalah seorang ulama besar yang terkenal dengan sebutan Syaikh al-Islām, Mufti al-Umat. Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqīy al-Dīn Abū al-Abbās Ahmad Ibn Syaikh al-Imām al-Allāmah Syīhāb al-Dīn Abī al-Mahāsīn Abd al-Halīm Ibn Syaikh al-Imām al-Allāmah Syaikh al-Islām Majd al-Dīn Abī alBarakat Abd al-Salām Ibn Abī Muhammad Abd Allāh Ibn Abī al-Qāsim al-Khidr Ibn Muhammad ibn al-Khidr ibn Alī Ibn Abd Allāh Ibn Taymiyah al-Harāni.1 Asal mula sebutan “Taimiyah” pada namanya berasal dari perjalanan yang ditempuh oleh kakeknya yang bernama Muhammad al-Khidr ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dengan melewati jalan Taima‟. Setelah melakukan ibadah haji, Muhammad al-Khidr kembali ke rumah dan mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu diberi nama Taimiyah oleh Muhammad al-Khidr untuk mengenang jalan yang telah dilaluinya ketika melaksanakan ibadah haji, sedangkan keturunan Taimiyah disebut dengan Ibn Taimiyah.2 Ahmad Taqīyuddîn atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ibn Taimiyah adalah seorang putra dari keluarga Syria kelahiran Haran. Ibn Taimiyah dilahirkan pada hari Senin tanggal 10 Robiul Awal 661 H atau 22 Januari 1263 M di Haran 1 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, h. 546 2 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008, h. 296 47 48 sebelah timur laut Negara Turki, merupakan tempat yang menjadi pusat terpenting agama-agama di dunia. Pada saat kelahirannya, terjadi penyerbuan tentara Mongol ke negara-negara Islam di Timur Tengah yang dipimpin oleh Jendral Hulako setelah kurang lebih dari tiga tahun. Karena situasi perang ini, Ibn Taimiyah dan ayahnya menjadi buronan para tentara Mongol. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah dibesarkan oleh ayahnya dengan berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya.3 Ibn Taimiyah dikenal sebagai orang yang sangat menghargai waktu. Ia adalah orang yang memiliki rasa tidak puas terhadap berbagai bidang pengetahuan. Buku merupakan temannya di setiap tempat dan waktu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah memiliki perbedaan saat kecil dengan anak-anak yang lain pada masanya. Anak-anak yang lainnya senang bermain-main, sedangkan Ibn Taimiyah tidak suka bermainmain karena ia lebih menyukai belajar dan menghafal kitab yang dapat memberikan manfaat baginya. Sehingga tidak mengherankan jika ia telah menghasilkan fatwafatwa serta mengajar di usianya yang masih muda.4 Ayahnya bernama Syihāb al-Dīn Abd Halīm Ibn Abd al-Salām. Ia dilahirkan di Haran pada tahun 627 H. Abd al-Halīm bin Abd al-Salām Syihābuddīn ini pertama kali belajar mengenai mazhab Hanbali dari ayahnya yaitu Abdussalam. Selain dari ayahnya, ia juga belajar kepada beberapa guru lainnya. Ia mendalami mazhab Hanbali dan menguasainya,5 sehingga ia menjadi seorang ulama dalam madzhab Hanbali. Selain ulama, ia merupakan seorang khatib dan imam besar di masjid Agung 3 Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara. Penerjemah: K.H. Firdaus A.N., Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989, h. 243 4 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf. Penerjemah: Masturi Ilham dan Asmu‟I Taman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, h. 781 5 Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, Penerjemah: M. Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 204 49 Damaskus. Peranan Syihāb al-Dīn dalam ranah pendidikan adalah mengajar sebagai dosen Tafsir dan Hadits serta menjadi direktur di lembaga pendidikan Islam madzhab Hanbali. Ia wafat pada tahun 683 H di Damaskus. Ibn Taimiyah tumbuh sebagai seorang pengajar tradisi Hanbali yang sangat menekankan kajian-kajian literalis terhadap nash-nash agama. Corak kepribadiannya yang digabungkan dalam kondisi umat Islam masa itu yaitu disintegrasi politik Islam, yang melahirkan sikap tegar dalam setiap pemikiran Ibn Taimiyah. Karya-karya yang dipandang radikal telah lahir dari tangan Ibn Taimiyah mengenai seluruh pondasi pemikiran Islam yang menurutnya sudah tidak didasari oleh al-Qur‟an maupun Hadits. 6 Ibn Taimiyah adalah orang selalu mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw. Namun ada satu Sunnah Nabi yang belum ia laksanakan yaitu menikah. Dalam berbagai sumber yang membahas mengenai riwayat hidup Ibn Taimiyah, tidak ada cerita bahwa ia telah menikah. Hal ini disebabkan, karena kesibukannya yang telah ia lakukan sepanjang hidupnya dengan melakukan perdebatan satu ke perdebatan yang lainnya, dari berperang di satu tempat ke tempat lainnya, dan masuk penjara beberapa kali. Ibn Taimiyah diberi hukuman ditahan dalam penjara oleh raja Naser karena mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh Nabi beserta para sahabatnya dan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang telah diajarkan para ulama. Karena tuduhan inilah Ibn Taimiyah ditahan. Ia tidak hanya 6 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawārij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 187 50 sekali saja merasakan hidup di tahanan, akan tetapi ia telah masuk penjara selama tiga kali. Setelah ia merasakan siksaan batin yang amat pedih yang menyebabkan kondisi badannya lemah dan termakan oleh usia. Ibn Taimiyah jatuh sakit di dalam penjara dan tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Ia jatuh sakit selama 20 hari sampai akhirnya ia wafat pada tanggal 27 Syawal 728 H di dalam penjara.7 B. Perjalanan Intelektual Di usianya yang ke-enam tahun, Ibn Taimiyah beserta kedua saudaranya dibawa oleh ayahnya ke Damaskus untuk menghindar dari kejaran para tentara Mongol. Di Damaskus, Ibn Taimiyah mendalami serta mempelajari berbagai macam cabang pengetahuan keislaman dari para ulama yang berada di sana.8 Di usia tujuh tahun, Ibn Taimiyah mengawali perjalanan intelektualnya di Damaskus. Di Damaskus ini, Ibn Taimiyah belajar di beberapa madrasah yang diselenggarakan para penganut madzhab Hanbali. Madrasah-madrasah yang didirikan oleh penganut madzhab Hanbali di antaranya adalah madrasah Jauziyah, madrasah Umariyyah, serta madrasah Sukariyyah. Madrasah Sukariyyah ini dipimpin oleh ayahnya sendiri dan di madrasah ini Ibn Taimiyah mengawali perjalanan intelektualnya.9 Ibn Taimiyah mulai mempelajari agama dengan belajar membaca dan menghafal al-Qur‟an. Selain membaca dan menghafal al-Qur‟an, Ibn Taimiyah 7 Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 245-246 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 384 9 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawārij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 186 8 51 membaca kitab-kitab Hadits. Ia mempelajari al-Kutub al-Sittah, Mu’jam al-Tabrānī, dan Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal secara berulang-ulang. Semua Hadits yang telah ia baca berulang-ulang tidak pernah dilupakan dalam ingatannya, sehingga pengetahuan Ibn Taimiyah mengenai Hadits diakui banyak ulama. Selain belajar mengenai Hadits, Ibn Taimiyah belajar mengenai Fiqh dan Ushul Fiqh pada ayahnya dan belajar tata bahasa Arab dari Ibn al-Qāwi (seorang penulis kitab Iqd al-Farīd).10 Sumber pengetahuan Ibn Taimiyah didapatkan pertama kali oleh Ayahnya. Selain ayahnya yang memberikan ilmu, adapun beberapa ulama yang menjadi guru bagi Ibn Taimiyah di antaranya; Zainuddin al-Mukaddasi, Najmuddin Ibn „Askar, dan ulama-ulama lainnya yang berada di Damaskus.11 Selain mencari ilmu di Damaskus, Ibn Taimiyah pernah menuntut ilmu selama enam tahun di Bagdad. Guru-guru yang pernah mengajarnya antara lain: pertama, Syams al-Dīn Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisī. Ia adalah seorang ahli fiqh dan seorang hakim agung pertama dikalangan mazhab Hanbali di Syiria. Kedua, Muhammad ibn Abd al-Qāwī ibn Badrān al-Maqsidī alMardawī. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqh, tata bahasa Arab, mufti (penasehat hukum), serta pengarang terkenal pada zaman itu. Ketiga, Al-Manja‟ ibn Utsmān ibn As‟ad al-Tanawwukhī. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqh, tafsir, dan tata bahasa Arab. Keempat, Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Abī Sa‟d Asy-Syaybānī. Ia merupakan seorang ahli hadits, tata bahasa, sekaligus sastrawan, sejarawan, dan kebudayaan. Kelima, Zaynab binti Makkī al-Harrānī. Ia merupakan seorang ahli fiqh perempuan 10 11 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf, h. 546 Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 243 52 yang terkenal dengan pengetahuan dan kesalehannya. Keenam, Syams al-Dīn alAsfahānī al-Syâfi‟ī. Ia adalah seorang ahli atau pakar dalam bidang ushul fiqh dalam mazhab Syafi‟i. Ketujuh, Abd al-Rahīm ibn Muhammad al-Baghdādī. Ia merupakan seorang ahli di bidang Hadits dan Fiqh. Ibn Taimiyah juga telah membaca beberapa karya dari para ahli tasawuf di antaranya: kitab Risālat al-Qusyayriyyah yang merupakan karangan dari Imām alQusyasyari, kitab Qūt al-Qulūb fi Mu’āmalat al-Mahbūb merupakan kitab dari karangan Abū Tālib al-Makkī, kitab Ihyā Ulūm al-Dīn merupakan kitab karangan dari Imam al-Ghāzalī, kitab Awārif al-Ma’ārif merupakan karangan dari al-Suhrawardî, dan kitab Fusūs al-Hikam karangan dari Ibn Arabī. Ia tidak hanya membacanya saja, akan tetapi mengamalkannya jika tema-tema dalam tasawuf itu sesuai dengan alQur‟an dan as-Sunnah serta mengkritiknya apabila dianggapnya bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah.12 Ketekunan dan kerajinannya dalam belajar membuat Ibn Taimiyah berpikir dan menulis yang mengantarkannya sebagai sosok ulama yang memiliki pemikiran yang luas dan mendalam. Ia merupakan ulama yang berani dan tidak pernah takut jika apa yang dipandangnya benar. Lidah dan penanya menjadi senjata tajam untuk mengkritik paham agama dalam berbagai bidang yakni bidang teologi, tasawuf, filsafat, dan fiqh yang dianggapnya bid‟ah dan tidak sesuai dengan dalil-dalil alQur‟an maupun hadits. 13 12 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf, h. 547 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 186 13 53 Dari kecil Ibn Taimiyah terkenal rajin dalam menghadiri beberapa diskusidiskusi ilmiah di zamannya. Pada usia tujuh belas tahun, kegiatan ilmiahnya mulai tampak. Pada umur Sembilan belas tahun, Ibn Taimiyah telah menyelesaikan pendidikannya dan mulai mengarang dan memberi fatwa. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1282 M, Ia telah menjabat sebagai seorang Professor dalam ilmu hukum madzhab Hanbali. Ia juga mengajar Tafsir alQur‟an di setiap hari Jum‟at secara mendalam dan menarik perhatian jama’ah secara umum. Karena mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam berbagai bidang keilmuan terutama mengenai penafsiran al-Qur‟an, ilmu hadits, ilmu fiqh , dan ilmu ketuhanan atau ketauhidan beserta cabang-cabangnya, ia mempertahankan paham ulama Salaf dan sahabat-sahabatnya yang pada saat itu jarang mendapat perhatian baik dari ahli ulama maupun ahli fiqh pada masanya. Oleh karena kecerdasan dan kepintaran yang dimilikinya, ia mampu menarik perhatian umat atas pemikirannya. Ibn Taimiyah mendapat serangan dari para ulama yang membencinya dan menjadi musuhnya. Serangan tersebut terjadi di setiap pengajian pada hari Jum‟at. Karena pengajian tersebut merupakan pengajian terbuka dan bebas dalam melontarkan pendapat-pendapat.14 Pada tahun 691 H/ November 1292, ia melakukan ibadah haji. Selain melakukan ibadah haji, ia telah memperkenalkan dirinya pada ulama-ulama besar yang berada di Mekkah. Setelah ia pulang dari Mekkah ke Damaskus pada 692 H/ Februari 1293, ia membawa sebuah karya yang ia tulis selama melakukan perjalanan dalam ibadah haji. Karyanya itu dikenal dengan sebutan Manāsik al-Hadjdj, di 14 Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 90 54 dalamnya berisi celaan terhadap beberapa bid‟ah yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji.15 Selain ilmu dan amalnya, ia juga memiliki sifat-sifat yang baik dan berani dalam mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Karena keberaniannya ini, ia mendapat gelar Muhyis Sunnah padahal umurnya belum sampai 30 tahun.16 Pada Rabi‟ul Awal 699 H/1299 M, ia pergi ke Mesir untuk menerima pertanyaan yang berasal dari Hammah mengenai sifat-sifat Tuhan. Kemudian ia menjawab pertanyaan ini dalam bentuk fatwa dengan alasan-alasan yang cukup jelas. Jawaban tersebut mengakibatkan para ahli ulama terutama Syafi‟ī marah dan ingin menyerangnya, karena jawaban yang dikemukakannya tidak sejalan dengan pemikiran para ulama yang sebelumnya. Hal ini mengakibatkan Ibn Taimiyah kehilangan jabatannya sebagai seorang Professor. Namun Ibn Taimiyah tidak merasa sedih dengan kehilangan jabatannya tersebut, karena baginya jabatan itu tidak penting. Baginya yang terpenting adalah tidak kehilangan keyakinan dan pribadi.17 Namun tidak semuanya dari kalangan para ulama tidak menyetujui jawabannya. Masih banyak dari kalangan para ulama yang mengakui bahwa Ibn Taimiyah merupakan orang yang alim, bahkan orang yang tidak sepaham dengannya menganggap ia sebagai orang yang alim. Salah satunya adalah Syekh Kamaluddīn ibn Zamlakanī seorang penganut madzhab Syafi‟ī yang selalu mengomentari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena ia selalu menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang 15 The Encyclopedia of Islam vol. III, (Leiden: E. J. Brill, 1979), h. 951 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Perkembangannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 279 17 Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 91 16 Ajaran, dan 55 belum mereka ketahui dari guru-guru mereka. Demikian Ibn Taimiyah dipandang oleh para ulama yang memiliki pemahaman yang berbeda sebagai orang yang alim. 18 Walaupun ia memiliki masalah kepada golongan Syafi‟ī di Mesir, tetapi ia dipercayai untuk menerima tugas yang sangat berat yaitu ikut berpartisipasi dalam perang Sabil atau perang Jihad melawan bangsa Mongol. Dalam peperangan ini, ia mendapatkan kemenangan yang luar biasa dalam menghadapi bangsa Mongol yang berada di Shakab. Selain melawan bangsa Mongol, ia juga melawan rakyat Djabal Kasrawan dan menghancurkan golongan-golongan yang percaya terhadap kesaktian Alī bin Abī Thālib pada tahun 1305 M.19 Namun setelah ia pulang dari perang, ia mendapatkan kabar bahwa telah dilakukan lima pertemuan dengan para pembesar negara yang dipimpin oleh Kadhi Syafi‟ī di dalam istana Sultan. Pertemuan itu membahas mengenai dirinya yang berbahaya bagi agama dan kepentingan negara, sehingga Sultan memberi keputusan untuk memenjarakan Ibn Taimiyah beserta kedua saudaranya selama setengah tahun. Untuk kedua kalinya Ibn Taimiyah dipenjarakan karena karangannya mengenai keEsaan Tuhan yang menyebabkan ia dimusuhi oleh para pengikut Kadhi yang berkuasa saat itu yaitu Syafi‟i. Ia masuk penjara selama setengah tahun di Mesir. Namun kegiatannya dalam penjara tidak hanya menulis tentang pemikirannya saja, akan tetapi ia memiliki kesempatan untuk mengajar di dalam penjara mengenai agama Islam sesuai dengan pahamnya. Oleh karena itu, para penghuni penjara merupakan pengikut setia baginya. Setelah keluar dari penjara, ia dicari kembali dan 18 19 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, h. 384 Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 91 56 dijebloskan ke dalam penjara selama delapan bulan di Alexandria. Sesudah keluar dari penjara untuk ke sekian kalinya, ia kembali ke Kairo dan diberikan perintah oleh Sultan an-Nasir untuk menyampaikan beberapa fatwa. Namun Ibn Taimiyah menolak perintah tersebut. Karena Ibn Taimiyah telah menyadari hal tersebut merupakan rencana untuk menjelek-jelekkan namanya dan memperbanyak musuhnya. Oleh karena itu, ia menolak perintah Sultan. Walaupun Sultan an-Nasir menawarkan jabaratan Professor kepadanya di sebuah perguruan tinggi yang dipimpin oleh putra mahkotanya. Dan terakhir, ia dipenjarakan di Damaskus atas perintah Sultan selama dua tahun lebih di dalam istananya. Ia tidak merasa sedih selama di dalam penjara, karena ia masih bisa menulis semua pemikirannya untuk orang yang memerlukannya. Di antara kitab-kitabnya adalah Ma’āruf al-Wusūl, Raf al-Malam dan kitab al-Radd ala al-Ikhna’i.20 Namun musuh-musuhnya telah mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah di dalam penjara, sehingga pada 9 Djumada II 728 H/ 21 April 1328 M adanya keputusan dari Sultan berupa larangan memberikan semua kitab, tinta, dan kertas kepada Ibn Taimiyah. Hal tersebut membuat ia sedih dan jatuh sakit selama 20 hari. Setelah 20 hari jatuh sakit, ia meninggal pada senin 20 Zulkaedah 728 H/27 September 1328 M.21 Walaupun Ibn Taimiyah telah wafat, akan tetapi banyak dari murid-muridnya yang menyebarkan ilmu serta pendapat-pendapatnya. Di antara muridnya yang terkenal adalah Imam Ibn Al-Qayyim al-Jauziyah. Ia adalah murid Ibn Taimiyah 20 21 The Encyclopedia of Islam vol. III, h. 953 Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 92-93 57 yang menimba ilmu banyak darinya dan telah menciptakan beberapa buku terkenal. Murid Ibnu Taimiyah yang lainnya adalah Al-Hāfidz Al-Muhaqqīq Abū Abillah Muhammad bin Ahmad Al-Muqaddisī Al-Hambali As-Shālihi. Ia juga merupakan murid yang cukup lama belajar kepada Ibnu Taimiyah. Ia juga memiliki karya yang bermanfaat yaitu Al-Uqūd Ad-Durriyyah min Manāqib Syaikhil Islām Ahmad bin Taimiyah. Selanjutnya adalah Al-Hāfidz Sirajuddīn Abū Hafs Umar bin Alī Al-Azji Al-Baghdādī. Ia merupakan murid dari Ibnu Taimiyah juga. Ia telah menulis buku dengan judul “Al-A’lam Al-‘illiyah fi Manāqib Ibnu Taimiyah”. Selanjutnya, AlHāfidz Syamsuddīn Abū Abdillah Muhammad bin Utsmān Adz-Dzahābī AdDimasyqī. Ia adalah murid yang belajar kepada Ibnu Taimiyah hingga mendapat ijazah. Ia menulis beberapa karya yang sangat bermanfaat, diantaranya: Tarīkh AlIslām, Siyar A’lam An-Nubala’, dan Mīzan Al-I’tidal fi Naqd Ar-Rijāl. Murid yang lainnya adalah Al-Hāfidz Abū Al-Fath Ibnu Sayyid An-Nās Al-Ya‟murī Al-Misrī. Kemudian, Al-Hāfidz Alamuddīn Al-Qasīm bin Muhammad Al-Barzāni. Ia adalah seorang tokoh terbesar dalam bidang Hadits Syam. Kemudian, Abu Al-Hajjaj Yūsuf bin Az-Zakī. Ia adalah seorang guru bagi para ulama Jarh wa Ta’dil. Selain sebagai guru, ia merupakan seorang ahli hadits dan mengarang buku dengan judul “Tahdzīb Al-Kamāl fi Asmāi Ar-Rijāl”.22 Masih banyak murid Ibnu Taimiyah yang lainnya yang tidak dapat disebutkan secara rinci. 22 Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 216 58 Walaupun pemikiran Ibn Taimiyah di zamannya dianggap aneh oleh para ulama bahkan ditolak. Akan tetapi di masa-masa selanjutnya, pemikirannya dipakai oleh beberapa tokoh-tokoh terkenal.23 C. Karya-Karyanya Karya Ibn Taimiyah ini memiliki beberapa ciri yang membedakannya dengan karya-karya lainnya. Ciri-ciri karyanya di antaranya: pertama, karyanya banyak menggunakan dalil al-Qur‟an, Hadits, dan pendapat Salaf yang telah diriwayatkan oleh para sahabat dan para imam mujtahid dari berbagai tren pemikiran dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang dibicarakan. Kedua, penjelasan ide pemikiran dalam karyanya tidak terlalu rumit dan membingungkan. Semuanya dijelaskan dengan jelas baik dalam bahasa maupun pemahaman yang terkandung di dalamnya. Ketiga, kedalaman pemikiran yang dituang olehnya dalam karyanya mengandung renungan-renungan yang membuat pembaca dapat menguasai dan membandingkan seluruh makna yang mungkin muncul dari kata-kata yang terdapat dalam karyanya tersebut.24 Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah tertulis pada semua karyanya dalam bentuk buku. Ide serta pemikiran Ibn Taimiyah tidak akan pernah terputus justru berkembang hingga saat ini, karena banyak sekali para peneliti yang ingin memahami karyanya secara lebih mendalam. Karangan-karangannya yang dapat ditemukan oleh penulis, terutama yang berkaitan dengan aqidah antara lain: 23 24 Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 385 Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 219 59 1. Muwāfaqah Sharīh al-Ma’qūl li Shahīh al-Manqūl. Kitab ini membahas mengenai kedudukan nash al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan akal dan logika. 2. Al-Jawāb al-shahīh Liman Baddala Dina al-Masīh. Kitab ini membahas mengenai bantahan Ibn Taimiyah terhadap keyakinan orang-orang Nasrani. 3. Majmû’ Fatāwa Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah. Kitab ini merupakan karya monumental yang telah diciptakan oleh Ibn Taimiyah terdiri dari 30 Juz. Kitab ini merupakan kitab kumpulan fatwa-fatwa yang ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam seluruh kajian atau disiplin ilmu keislaman. 4. Al-Īman. Kitab ini menjelaskan mengenai konsep iman dan hal-hal yang berkaitan dengan iman. Dalam kitab ini juga Ibn Taimiyah mengkritik beberapa aliran dalam teologi seperti Murjiah dan Mu‟tazilah mengenai Iman. 5. Al-Iqtidâ’ al-Shirāth al-Mustaqīm. Kitab ini membahas mengenai bid‟ah dan sunnah. 6. Al-Furqān baina al-Haqq wa al-Bāthil. Kitab ini menjelaskan mengenai perbedaan antara yang haq dan yang bathil. 7. Al-Aqīdah al-Wāsithiyah. Kitab ini membahas mengenai aqidah dan masalah yang membuat aqidah tersebut menjadi rusak. Selain membahas mengenai masalah aqidah, kitab ini juga membahas mengenai ziarah kubur, tawasul, dan lain sebagainya. 60 8. Al-Amr bil Ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar. Kitab ini membahas mengenai kewajiban seorang muslim untuk melaksanakan amar ma’rūf nahy mungkar, serta membahas bagaimana jalannya amar ma’rūf nahi mungkar sesuai dengan pedoman kita yaitu al-Qur‟an dan Hadits. 9. Al-Hasanah wa Al-Sayyi’ah. Kitab ini membahas mengenai asal kebaikan dan keburukan dalam diri manusia. Selain itu, kitab ini membahas mengenai definisi dari al-Hasanah wa al-Sayyi’ah serta perbedaan keduanya. 10. Qāidah Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah. Kitab ini membahas mengenai kritik atas ahli bid‟ah yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam dengan berdasarkan dalil Qur‟an dan Hadits. 11. Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirāthal Mustaqīm. Kitab ini membahas mengenai bahaya meniru atau mengikuti kaum kafir dalam tradisi, adat dan kebiasaan mereka, cara berpakaian, bahasa, hari-hari peringatan mereka, dan lain sebagainya. 12. Minhāj al-Sunnah. Kitab ini adalah kitab yang diciptakan oleh Ibn Taimiyah untuk membantu orang Muslim dalam menentukan manhajnya yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah. Serta menjauhi kaum Muslim dari golongan-golongan yang sesat. 13. Risālah al-Aqīdah al-Isfahāniyah. Kitab ini membahas mengenai tauhid khususnya masalah keimanan dan makna iman menurut al-Isfahaniyah. 14. Al-Ubūdiyah. Kitab ini menjelaskan mengenai masalah hubungan manusia dengan Tuhannya. 61 15. Risālah fi Aqīdah al-Asy’ariyah wa Aqīdah al-Maturidiyah. Kitab ini membahas mengenai ajaran dalam aqidah Asy‟ariyah dan Maturudiyah. 16. Ulūm at-Tafsīr. Kitab ini membahas tentang ulumul Qur‟an. Pemikiran Ibn Taimiyah dalam karya-karyanya banyak sekali digemari oleh beberapa peneliti dalam menulis sebuah penelitian. Banyak karya Ibn Taimiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar memudahkan kita dalam memahami pemikirannya. Karya-karya Ibn Taimiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di antaranya: 1. Majmû’ Fatāwa Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah 2. Al-Hasanah wa Al-Sayyi’ah. 3. Al-Amr bil Ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar. 4. Al-Īman 5. Al-Aqīdah al-Wāsithiyah. 6. Qāidah Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah. 7. Mukhtarat Iqtidhā’ Ash-Shirāthal Mustaqīm 8. Minhāj al-Sunnah Menurut beberapa sumber, karya Ibn Taimiyah terdiri dari 300 kitab yang meliputi masalah tafsir, fiqh, retorika, serta fatwa-fatwa yang merupakan kumpulan atas pertanyaan masyarakat pada zaman tersebut yang tidak ia jawab di depan hakim. Selain itu, ia juga melakukan kritik atas berbagai masalah, seperti: tasawuf, filsafat, ziarah kubur, tawwasul, dan lain sebagainya.25 25 Sahilun A. Nasir, Perkembangannya, h. 281 Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan 62 Ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dalam karya-karyanya bersandar berdasarkan alQur‟an dan Hadits. Ia akan menyerang dan mengkritik semua pemikiran-pemikiran para Mutakallim, Sufi, dan Failasuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran alQur‟an dan Hadits. Inilah yang membuat Ibn Taimiyah memiliki banyak musuh dan banyak pengikutnya. Murid-murid yang ia didik merupakan murid-murid yang terkemuka. Ajarannya telah meluas dari Mesir hingga ke Indonesia.26 26 Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 249 BAB IV PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN TAIMIYAH A. Perbuatan Manusia Menurut Ibn Taimiyah Perbuatan manusia merupakan persoalan yang sering diperdebatkan berbagai aliran dalam ilmu kalam. Beberapa dari mereka memiliki pendapat bahwa manusia merupakan pencipta bagi perbuatannya dan Tuhan tidak ikut campur di dalamnya, sehingga manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya. Sebagian lainnya memiliki pendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya, sehingga Tuhan membantunya dalam melakukan setiap tindak lakunya. Bagaimana perbuatan manusia menurut Ibn Taimiyah? Ibn Taimiyah menyelesaikan persoalan kalam mengenai perbuatan manusia dengan mengambil jalan tengah dari pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para teolog Islam yakni Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Namun apakah jalan tengah yang diambil oleh Ibn Taimiyah akan sama seperti jalan tengah yang di kemukakan oleh Imam Asy’ari yang akhirnya terjerumus ke dalam paham yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya karena hanya Tuhan yang berkehendak atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Jalan tengah yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah dapat dilihat dari pemikirannya mengenai persoalan perbuatan manusia. Ibn Taimiyah menyetujui pendapat yang diungkapkan oleh aliran Asy’ariyah bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan, akan tetapi Ibn Taimiyah tidak sependapat dengan aliran ini mengenai peniadaan hakikat dari perbuatan manusia. Dan Ibn Taimiyah 63 64 juga menyetujui pendapat aliran Mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi ia tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia.1 Mengenai persoalan perbuatan manusia ini Ibn Taimiyah meyakini bahwa manusia tidak dipaksa dalam berbuat dan tidak bebas secara mutlak dalam perbuatannya. Ibn Taimiyah yakin bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Tuhan. Ia menolak keyakinan dari aliran Asy’ariyah bahwa manusia terpaksa dan tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya, sehingga perbuatannya bersifat majazi bukan yang sebenarnya. Dan menolak keyakinan Mu’tazilah bahwa manusia merupakan pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dan kehendak Tuhan tidak ikut campur dalam penciptaan perbuatan manusia.2 Karena dalam diri manusia terdiri dari perbuatan baik dan perbuatan buruk, sedangkan kehendak Tuhan hanya kepada kebaikan saja. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ibn Taimiyah mengambil jalan tengah di antara pandangan aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah mengenai perbuatan manusia.3 Ibn Taimiyah adalah orang yang menolak pendapat Asy’ariyah yang menyelesaikan persoalan perbuatan manusia dengan menggunakan teori kasb atau perolehan. Jalan tengah yang telah dikemukakan oleh imam Asy’ari ini berbeda dengan jalan tengah yang dimiliki Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia. 1 Syafrial N, “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 89 Syamsul Hadi Untung dan Nofriyanto, “ Al-Imām Ibn Taimiyah wa Arauhu fi Al-Qadaya alAqāidiyyah”, Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 14, No. 1 (Maret 2016): h. 132 3 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT al-Husna Zikra, 2001, h. 131 2 65 Menurut Ibn Taimiyah, manusia memiliki kehendak dan kekuasaan dalam melaksanakan segala apa yang diperintahkan Tuhan kepada hamba-Nya. Jadi, pendapat Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia merupakan pelaku yang sebenarnya dalam perbuatannya dan memiliki kebebasan dalam berkehendak, akan tetapi perbuatannya itu ada karena diciptakan oleh Tuhan.4 Ibn Taimiyah merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh yang besar dalam aliran Salaf. Aliran Salafiyah ini merupakan aliran yang membahas berbagai persoalan dengan bersandar pada al-Qur’an dan Sunnah nabi dan hanya menganut ajaran yang diajarkan oleh tiga generasi setalah nabi yaitu sahabat nabi, tabi’in, tabi’in tabi’in. Aliran Salafiyah ini berbeda dengan aliran Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Karena ajaran Salafiyah dikemukakan pertama kali oleh imam Ahmad ibn Hanbal, sedangkan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah ajaran yang dikemukan oleh imam Asy’ari. Oleh karena itu, walaupun dasar pendapat mereka mengenai perbuatan manusia berdasarkan pada sumber yang sama yaitu alQur’an dan Hadits. Namun belum tentu keduanya memiliki pandangan yang identik antara satu sama lainnya. Di dalam karya Ibn Taimiyah yaitu Syarah Aqīdah Wāsithiyah, ia tidak memilih pendapat dari aliran Mu’tazilah maupun Asy’ariyah. Namun ia mengambil sisi kebenaran yang ada di antara kedua belah pihak dan meninggalkan sisi kesalahan yang ada di dalam pendapat kedua aliran tersebut. 4 Zulfata, “Model Pemikiran Ketuhanan Reformis Menurut Ibnu Taimiyah dan Johanes Calvin”, (Makalah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2013), h. 5 66 Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia terjadi dengan adanya kehendak dan ciptaan Tuhan. Karena setiap apa yang telah Tuhan ciptakan tidak mungkin tidak Ia kehendaki, sedangkan manusia memiliki pilihan dan kehendak dalam perbuatannya. Manusia yang memilih dalam perbuatannya berbeda dengan manusia yang terpaksa dalam melakukan suatu perbuatan. Jadi perbuatan manusia terjadi karena adanya pilihan dan kehendak dalam perbuatannya. Namun perbuatan tersebut terjadi karena kehendak dan ciptaan dari Tuhan.5 Penjelasan selanjutnya dalam pandangannya mengenai perbuatan manusia dalam Syarah Aqīdah Wāsithiyah sebagai berikut: Segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa adanya kehendak dari Tuhan. Tidak ada daya dan upaya melainkan hanya dengan pertolongan Tuhan. Semua tindakan, perbuatan, gerak, dan diamnya manusia bergantung kepada Tuhan bukan kepada manusia. Ia yang menjadikan orang Muslim itu Muslim dan orang kafir itu kafir. Ia juga yang telah memperjalankan hamba-Nya baik di darat maupun di laut. Dia yang memperjalankan, sedangkan manusia yang berjalan. Tuhan yang menggerakkan dan manusia yang bergerak. Dia yang menghidupkan, sedangkan manusia yang hidup. Dia yang mematikan dan manusia yang mati. Demikian gerakan dan keyakinan manusia itu adalah perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi yang menciptakan perbuatan manusia itu adalah Tuhan. Tuhan hanya memegang masalah ilmu, qudrah, irādah, masyi‟ah, dan penciptaannya. Sedangkan manusia hanya memegang perbuatan, gerakan, dan diam itu sendiri di tangannya.6 Lantas dapat dilihat bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan dan di waktu yang sama merupakan perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia muncul karena adanya keinginan dan kemampuan dalam diri manusia, sedangkan keinginan dan kemauan tersebut merupakan ciptaan dari Tuhan. Jika Tuhan berkehendak dalam mengambil kemampuan yang ada pada diri manusia, maka manusia tersebut tidak akan dapat 5 Ibnu Taimiyah, Syarah Aqīdah Wāsithiyah; Penjelaasan Prinsip-Prinsip Akidah Ahlussunnah wal Jama‟ah dalam Matan Akidah Wasithiyah Karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Penerjemah: Arif Munandar (Solo: Al-Qowam, 2014), h. 70 6 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 151 67 berbuat. Dan seandainya manusia memiliki kemampuan yang telah Tuhan ciptakan, akan tetapi manusia itu tidak ingin berbuat. Maka tidak akan ada perbuatan yang muncul darinya. Jadi, manusia berbuat dengan keinginan dan kemampuannya sendiri. Keinginan dan kemampuan manusia merupakan ciptaan Tuhan, dan segala sesuatu yang diciptakan-Nya telah dikehendaki-Nya. Dalam hal ini manusia tidak melakukan perbuatan secara paksa akan tetapi sesuai dengan pilihannya sendiri.7 Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan dari Tuhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sūrah Ibrahīm/14: 35 berikut: “Dan ingatlah, ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhan ku, jadikanlah negeri ini Mekkah, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembah berhala-berhala”. Ayat ini dikatakan bahwa Ibrahīm memohon pertolongan kepada Tuhan untuk menjauhkan dirinya beserta anak cucunya dari penyembahan berhala, hingga ia berhasil menghindari dirinya dari penyembahan berhala. Dalam ayat ini menjauhi penyembahan berhala merupakan perbuatan manusia, sedangkan perbuatan Tuhan dalam ayat ini adalah upaya menjauhkannya dari penyembahan berhala. Jadi, manusia dalam hal ini tidak akan berbuat sesuatu kecuali setelah adanya perbuatan dari Tuhan.8 7 8 Ibnu Taimiyah, Syarah Aqīdah Wāsithiyah, h. 70 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 168 68 Dalam terjemahan hadits juga dinyatakan bahwa manusia memiliki pilihan dan kehendak dalam perbuatannya sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, beliau bersabda: “Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Mu, selalu ingat kepada-Mu, takut kepada-Mu, tunduk dan patuh kepada-Mu, dan senantiasa khusyu‟ menghadap-Mu”. Ucapannya yang telah diungkapkan di dalam hadits tersebut, bahwa ia memohon kepada Tuhan untuk menjadikannya orang yang senantiasa bersyukur, ingat, takut, tunduk dan patuh, serta khusyu‟ kepada Tuhan. Semua perbuatan yang telah diungkapkan dalam hadits tersebut merupakan perbuatan yang bersifat memilih dan perbuatan tersebut akan terjadi karena kehendak dan pilihan dari hamba-Nya. Lebih jelasnya Ibn Taimiyah mengatakan bahwa kebaikan itu bisa berupa melakukan perintah dari Tuhan dan meninggalkan apa yang dilarang Tuhan kepada manusia. Meninggalkan larangan merupakan sesuatu yang berwujud. Hal itu dapat dilihat ketika manusia meninggalkan sebuah larangan serta mengetahui jika mengerjakan larangan tersebut akan mendapat dosa dan akan disiksa di akhirat kelak. Oleh karena itu, manusia akan mengendalikan dirinya untuk tidak mengerjakan larangan-Nya di saat manusia menginginkannya. Hal ini merupakan sesuatu yang berwujud. Sebaliknya, jika manusia mengetahui bahwa yang 69 diperintah oleh Tuhan merupakan kebaikan maka manusia itu akan mengerjakan perintah tersebut. Semuanya merupakan sesuatu yang berwujud.9 B. Kehendak Tuhan Hubungan antara irādah Tuhan dengan perbuatan manusia menurut Mu’tazilah bahwa Tuhan hanya berkehendak kepada perbuatan baik yang ada di dalam diri manusia. Tuhan Maha Indah dan menyukai keindahan. Tuhan memberikan perintah bagi manusia dan manusia wajib menjalankan perintahNya. Tuhan tidak menghendaki manusia melakukan perbuatan yang buruk, karena perbuatan yang buruk terjadi karena kemauan bebas yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia bukan karena irādah Tuhan.10 Kehendak Tuhan juga berhubungan dengan prinsip kedua dari lima prinsip dalam ajaran Mu’tazilah yang dijelaskan oleh al-Mas’ūdy dalam kitab Murūj al-Dzihab. Menurut al-Mas’ūdy, keadilan adalah keadaan yang sesuai dengan kenyataan. Ia mengatakan bahwa Tuhan tidak menyukai kerusakan, dan tidak membenarkan perbuatan umatnya yang buruk. Akan tetapi Tuhan memberikan manusia perintah untuk dikerjakan dan melarang manusia dengan kehendak Tuhan yang menyebabkan manusia berlutut kepada-Nya. Dan Tuhan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatan yang dikerjakannya. Jika manusia melakukan kebaikan maka akan diberikan pahala dan di tempatkan dalam surga-Nya. Namun jika manusia melakukan perbuatan 9 Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 87 Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 77 10 70 yang dzolim, maka balasan Tuhan akan pedih bagi mereka.11 Keadilan Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah menentukan hukuman bagi perbuatan manusia yang terkandung dalam janji dan ancamannya. Asy’ariyah menolak pendapat yang diungkapkan oleh aliran Mu’tazilah. Mereka tidak menyetujui pendapat aliran Mu’tazilah, karena bagi mereka tidak mungkin ada dua pencipta dalam satu perbuatan. Asy’ariyah ini menolak pandangan bahwa perbuatan baik diciptakan oleh Tuhan sedangkan perbuatan buruk diciptakan oleh manusia atau seperti aliran Mu’tazilah yang beranggapan bahwa Tuhan hanya menciptakan perbuatan yang baik saja. Kaum Mu’tazilah ini beranggapan bahwa sesuatu yang buruk bukanlah termasuk ke dalam irādah-Nya, karena bagi aliran ini irādah Tuhan hanyalah kepada hal-hal yang baik saja atau kebaikan. Sedangkan menurut aliran Asy’ariyah, irādah Tuhan itu meliputi kebaikan dan keburukan. Segala sesuatu yang telah dikehendaki oleh Tuhan akan terwujud, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Tuhan tidak akan terwujud di dunia ini. Kebaikan dan keburukan merupakan sesuatu yang telah ada di dunia ini, karena kebaikan dan keburukan telah dikehendaki oleh Tuhan.12 Dalam al-Qur’an dijelaskan mengenai irādah Tuhan menurut aliran Asy’ariyah bahwa jika Tuhan menghendaki sesuatu itu ada, maka sesuatu itu akan ada. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sūrah as-Sajdah/32: 13 dan sûrah alA’rāf/7: 89 berikut: 11 Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madzāhib al-Islâmiyah, Arab Saudi: Dār al-Fikr, t.t., h. 12 Abu al-Hasan al-Asy’ari, Ajaran-Ajaran Asy‟ari. h. 5 121 71 “Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk”. “Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki-Nya”.13 Kesimpulan dari uraian di atas bahwa kehendak Tuhan memiliki hubungan dalam penciptaan perbuatan manusia. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan hanya menghendaki perbuatan baik yang ada dalam diri manusia, sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menghendaki segala sesuatu yang ada di dunia ini. Karena jika Tuhan telah menghendaki sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi ada seperti halnya Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan dalam diri manusia. Lalu bagaimana dengan pemikiran Ibn Taimiyah mengenai kehendak Tuhan? Apakah pendapatnya lebih cenderung kepada aliran Mu’tazilah atau sebaliknya lebih identik dengan aliran Asy’ariyah? Mengenai masalah irādah Tuhan Ibn Taimiyah menolak kedua pendapat aliran di atas. Ia menolak pendapat Asy’ariyah yang mengatakan bahwa baik dan buruk perbuatan manusia terwujud disebabkan oleh kehendak mutlak Tuhan. Dan ia mengkritik aliran Mu’tazilah karena telah menyamakan antara perbuatan Tuhan 13 Abu al-Hasan al-Asy’ari, Ajaran-Ajaran Asy‟ari, h. 6 72 dengan perbuatan manusia.14 Bagi Ibnu Taimiyah tidak ada yang boleh menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam segala hal, karena semua makhluk ciptaannya tidak ada yang dapat menandingi-Nya. Oleh karena itu, Perbuatan Tuhan berbeda dengan perbuatan yang dilakukan oleh makhluk-Nya.15 Ibn Taimiyah menggambarkan mengenai kehendak Tuhan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’an sūrah an-Nisā/ 4 : 49 berikut: “Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukup lah Allah menjadi saksi”.16 Firman Tuhan di atas menjelaskan bahwa manusialah yang melakukan perbuatan buruk dan atas perbuatan buruknya tersebut manusia akan mendapatkan hukuman. Sedangkan Tuhan adalah zat yang memberikan kebaikan kepada manusia baik berupa amal maupun balasan. Tuhan yang menganugerahkan nikmat yang besar kepada semua manusia. Tidak mungkin kebaikan berasal dari diri manusia, karena selain ayat di atas adapun hadits yang membedakan antara kebaikan dan keburukan yaitu: 14 Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 90 Ibnu Taimiyah, al-Furqān bayna al-Haq wa al-bāthil, (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 19 16 Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, (Kairo: Dar al-Kutub, t.t), h. 15 15 73 “Wahai hamba-Ku, itulah perbuatanmu. Aku akan memberi balasan secara sempurna. Barang siapa melakukan kebaikan hendaknya ia memuji Allah. Dan barang siapa yang melakukan keburukan, tidak ada yang layak dicela selain dirinya”.17 Adanya keburukan di alam ini, Ibn Taimiyah menegaskan bahwa keburukan yang ada di alam ini tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Tuhan tidak menyukai kerusakan, tidak meridhai hamba-Nya untuk berbuat kafir, dan juga tidak memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu, keburukan bukanlah berasal dari Tuhan akan tetapi berasal dari manusia.18 Dapat disimpulkan setelah dilihat uraian kehendak Tuhan menurut Ibn Taimiyah di atas memiliki pandangan yang sama dengan aliran Mu’tazilah. Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak menyuruh kepada hamba-Nya untuk berbuat maksiat dengan firman-Nya yang telah disebutkan di atas dalam pandangan Ibn Taimiyah mengenai kehendak Tuhan pada sūrah al-Nisā ayat 49. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan hanya memberi perintah untuk ditaati karena ketaatan tersebut merupakan kebaikan dan tidak memerintahkan berbuat maksiat karena kemaksiatan adalah keburukan dan keburukan merupakan qada manusia bagi dirinya sendiri. Dan mereka telah mengetahui bahwa kebaikan dan keburukan yang disebutkan dalam ayat tersebut memiliki makna ketaatan dan kemaksiatan, maka kebaikan berasal dari ciptaan Tuhan dan ketentuan-Nya sedangkan keburukan berasal dari ciptaan manusia dan ketentuannya. Dan jika mereka mengatakan bahwa Tuhan telah memerintahkan keburukan kepada 17 18 Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 29 Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 90 74 hamba-Nya, maka Tuhan itu buruk dan melakukan keburukan padahal sesungguhnya Tuhan maha suci dari segala keburukan tersebut.19 Ibn Taimiyah membagi keburukan menjadi dua macam yaitu keburukan pada manusia dan keburukan yang ada di alam. Pertama, keburukan pada manusia dalam pengertian tidak adanya segala sifat kesempurnaan dalam diri manusia dan tidak ada tindakan yang baik dalam dirinya. Hal di atas dinyatakan karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kedua, keburukan pada alam yang menyebabkan sebagian kaum mengatakan bahwa hal tersebut merupakan musibah baginya dan sebagian lainnya memiliki manfaat baginya. Karena sebuah musibah yang terjadi di alam ini tidak akan melanda secara terus menerus kepada manusia. Hal ini merupakan sebuah hikmah yang merupakan ujian dan cobaan dari Tuhan karena hanya bersifat sementara. Jadi, menurut Ibn Taimiyah Tuhan tidak hanya menciptakan kebaikan saja di dunia ini akan tetapi Tuhan juga telah menciptakan keburukan di dunia ini dengan kehendaknya. Namun harus dibedakan kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh Tuhan tidak sama dengan kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh manusia. Tuhan mengirimkan seorang Rasul kepada umat manusia agar manusia dapat mencapai tujuan hidup yaitu kemaslahatan. Oleh karena kemaslahatan umat ini, Tuhan mengutus seorang Rasul untuk mengajarkan kepada manusia untuk melakukan apa yang diperintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Karena perintah Tuhan adalah perintah yang mengarahkan manusia kepada hal yang baik, 19 107 Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy, h. 75 sedangkan larangan-Nya untuk menunjukkan dan menjauhkan manusia dari segala sesuatu yang buruk.20 Firman Tuhan yang menjelaskan mengenai kesempurnaan risalahnya, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an sūrah al-A’rāf/7: 157 berikut: “Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'rūf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. Inilah kesempurnaan risalahnya, maka sesungguhnya nabi Muhammad merupakan utusan Tuhan. Dan dengan lisannya, ia menjelaskan mengenai segala sesuatu yang mengarah kepada yang ma‟rūf dan melarang dari segala sesuatu yang membawa kepada kemungkaran, menghalalkan segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan mengharamkan segala sesuatu yang mendatangkan keburukan.21 Oleh karena itu, Ibn Taimiyah menganggap tersesat kaum yang tidak percaya terhadap wahyu dan tidak memerlukan para nabi dalam memberikan kemaslahatan bagi manusia. Menurut golongan yang tidak percaya akan wahyu dan para nabi mengatakan bahwa diutusnya para nabi kepada umat manusia menyebabkan kehancuran bagi manusia karena mengajarkan ajaran yang 20 21 h. 46 Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 91 Ibnu Taimiya, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Jakarta: Pustakan Panjimas, 1988, 76 bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut yang menyebabkan adanya rasa benci antara manusia bahkan hingga menimbulkan perang agama.22 Namun sebelum al-Qur’an menjelaskan mengenai perbedaan antara perbuatan baik dan buruk dalam sūrah an-Nisā ayat 79. Ada ayat 78 dari sūrah anNisā yang menjelaskan bahwa semuanya berasal dari Tuhan, sebagai berikut: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” Firman Tuhan di atas menjelaskan bahwa semuanya berasal dari Tuhan. Lalu bagaimana Ibn Taimiyah menjelaskan hal ini setelah ia membedakan antara asal mula kebaikan dan keburukan yang ada pada diri manusia.23 Menurut Ahl al-Sunnah persoalan ayat di atas yang mengatakan semuanya berasal dari Tuhan baik itu kebaikan maupun keburukan tidak berlaku dalam 22 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 2014, h. 14 Yasya Akhiro, “ Penafsiran Ibnu Taimiyah Tentang Hasanah dan Sayyi‟ah dalam Surat anNisa Ayat 79: Studi Terhadap Kitab al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 5 23 77 perbuatan manusia. Kebaikan dan keburukan yang berasal dari Tuhan merupakan kebaikan dan keburukan dalam arti balasan atas setiap perbuatan manusia. Hal tersebut sejalan dengan firman Tuhan setelah ayat ini yang mengatakan bahwa jika kamu memperoleh kebaikan, kamu berkata bahwa kebaikan ini berasal dari Tuhan. Dan jika kamu mendapatkan keburukan, kamu berkata keburukan berasal dari dirimu.24 Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah melakukan sebuah keburukan dan tidak menghendaki sesuatu yang buruk, Tuhan hanya menghendaki sesuatu yang baik. Dan telah tersesat bagi kelompok yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu. Mereka tidak membedakan antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain antara kebaikan dengan keburukan, sehingga bagi mereka sah-sah saja jika Tuhan memerintahkan hamba-Nya pada semua hal yang buruk. Karena semua itu merupakan kehendak dan ciptaannya. Kedua pendapat di atas merupakan pendapat yang salah menurut Ibn Taimiyah.25 Menurut Ibn Taimiyah jika Tuhan menciptakan segala sesuatu, maka semua ciptaan-Nya memiliki hikmah termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di dunia ini. Jika Tuhan melakukan sebuah keburukan maka keburukan tersebut merupakan hikmah dan kasih sayang-Nya untuk mengarahkan manusia kepada jalan yang benar, sehingga keburukan yang digambarkan bukan seperti keburukan yang ada pada perbuatan manusia. Hikmah dan kasih sayang-Nya tidak dapat 24 25 Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 27 Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 76 78 diketahui oleh makhluk-Nya hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu keburukan yang Tuhan telah lakukan kepada semua yang diciptakan-Nya merupakan kebaikan bukan keburukan.26 Demikian pemikiran Ibn Taimiyah mengenai kehendak Tuhan yang dipaparkan di atas bahwa Tuhan hanya melakukan hal yang menimbulkan kebaikan seperti halnya perintah Tuhan yang mengarahkan manusia agar berjalan di jalan yang menghasilkan maslahat dalam hidup. Keburukan yang ada di dunia ini bukanlah berasal dari Tuhan akan tetapi berasal dari manusia itu sendiri, sehingga keburukan yang terjadi di dunia ini tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Dalam hal ini pandangan Ibn Taimiyah mengenai kehendak Tuhan lebih identik dengan pemikiran Mu’tazilah mengenai irādah Tuhan. Pemikiran yang selanjutnya mengenai irādah Tuhan bahwa jika Tuhan melakukan keburukan maka keburukan tersebut merupakan hikmah dan kasih sayang-Nya terhadap makhluk ciptaannya. Jadi, keburukan yang dilakukan Tuhan bukan seperti keburukan yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini pendapat Ibn Taimiyah identik dengan pendapat Asy’ariyah bahwa Tuhan menghendaki segala sesuatu yang ada di dunia ini baik itu berupa kebaikan maupun berupa keburukan. Kesimpulannya, Ibn Taimiyah bukan menolak pendapat kedua golongan tersebut akan tetapi mengambil kebenaran di antara kedua pandangan aliran di atas. Irādah Tuhan menurut Ibn Taimiyah terdiri dari dua macam yaitu al-irādah al-Kauniyyah dan al-irādah al-dīn. Al-irādah al-Kaunniyah ini merupakan kehendak Tuhan yang memiliki hubungan dengan alam semesta. Al-irādah ini 26 Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 80 79 telah ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan sejak Ia menciptakannya. Semua yang ada di alam semesta ini termasuk ke dalam irādah-Nya, dan tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang dapat keluar dari irādah ini. Dalam al-Qur’an dinyatakan mengenai contoh dari al-irādah Kauniyyah ini, sebagaimana yang dijelaskan dalam sūrah Hūd/11: 34 berikut: “Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihat ku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, Sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhan mu, dan kepada-Nya kamu dikembalikan".27 Ayat di atas ini jelas bahwa seseorang dari kamu jika dikehendaki Tuhan agar menjadi sesat, niscaya segala sesuatu yang telah kamu lakukan dan perbuat tidak akan bisa memberikan manfaat apapun untuk mu. Yang kedua, al-irādah al-dīn. Al-irādah al-dīn ini merupakan kehendak Allah dalam masalah agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an sūrah an-Nisā/4: 26-27 sebagai berikut: 27 Ibnu Taimiyah, Al Furqon Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan. Penerjemah: Abdurrahman Masykur (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989), h. 133 80 “Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan Shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”.28 Perbedaan di antara keduanya yaitu al-irādah al-kauniyah bersifat umum meliputi segala peristiwa yang telah terjadi di dunia baik itu berupa kebaikan maupun keburukan, keimanan dan kekafiran, atau ketaatan dan kemaksiatan. Jadi, al-irādah al-kauniyah merupakan ucapan kaum Muslim yang menyatakan bahwa jika Tuhan telah berkehendak maka akan terjadi dan jika Tuhan tidak menghendaki maka tidak akan terjadi. Sedangkan irādah al-dīn bersifat khusus yang berkaitan dengan hal-hal yang Tuhan cintai dan ridhai atau yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadits. Kedua irādah di atas terdapat dalam diri seorang hamba yang taat. Adapun orang kafir dan yang berbuat maksiat hanya mengikuti irādah al-kauniyyah saja dan tidak mengikuti irādah al-dīn. Karena ketaatan seorang hamba merupakan kehendak Tuhan baik irādah al-kauniyyah maupun irādah al-dīn.29 C. Hakikat Perbuatan Manusia Hakikat perbuatan manusia pada umumnya terdiri dari dua pendapat yang berbeda antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya. Pendapat yang pertama, perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia dan 28 29 Ibnu Taimiyah, Al Furqon Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan, h. 132 Ibnu Taimiyah, Syarh Aqidah al-Wasithiyah, h. 44 81 bukanlah perbuatan Tuhan. Pendapat yang kedua, perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan karena manusia tidak memiliki daya dan upaya dalam menciptakan perbuatannya sendiri. Oleh karena itu kehendak yang ada di dalam diri manusia merupakan kehendak mutlak Tuhan. Dua pendapat di atas merupakan pandangan dari dua aliran teologi Islam yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Menurut aliran Mu’tazilah perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia. pendapatnya ini dikuatkan dengan beberapa contoh yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia dan bukanlah perbuatan Tuhan. Pertama, ketika manusia melakukan kebaikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya maka manusia yang mendapatkan perlakuan baik dari manusia yang memberikan kebaikan akan berterima kasih kepadanya. Jika manusia melakukan keburukan atau kejahatan kepada manusia yang lain, maka manusia yang mendapat kejahatan tersebut akan merasa tidak senang dengan tindakan buruknya itu. Terima kasih dan ketidaksenangan seseorang tersebut ditujukan kepada manusia bukan kepada Tuhan. Namun jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan Tuhan, maka manusia yang merasakan perbuatannya itu akan menyampaikan perasaannya kepada Tuhan bukan manusia. kedua, jika manusia ingin melakukan sesuatu maka sesuatu itu akan terjadi. Namun jika manusia tersebut tidak menginginkan sesuatu tersebut niscaya sesuatu tersebut tidak akan pernah terjadi. Jika kehendak yang dilakukan manusia merupakan kehendak Tuhan, maka sesuatu tersebut akan terjadi walaupun manusia itu tidak menginginkan sesuatu tersebut dan sebaliknya. 82 Ketiga, dalam diri manusia mempunyai dua macam perbuatan yaitu perbuatan baik dan perbuatan buruk. Jika perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan, maka Tuhan akan melakukan kedua perbuatan tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang mustahil bagi Tuhan, Tuhan dalam pandangan golongan ini tidak mungkin berbuat zalim kepada hamba-Nya.30 Ini semua merupakan gambaran yang ditujukan oleh golongan Mu’tazilah untuk memperkokoh argumennya mengenai hakikat perbuatan manusia. Menurut Asy’ariyah perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan walaupun Asy’ariyah menjelaskannya dengan teori kasb (perolehan), akan tetapi pendapatnya tersebut identik dengan pendapat golongan yang mengatakan bahwa manusia terpaksa atas perbuatannya. Asy’ariyah dinyatakan memiliki pandangan bahwa perbuatan manusia hakikatnya perbuatan Tuhan, sebagaimana yang ia nyatakan dalam beberapa penjelasan mengenai perbuatan manusia. Pertama, argumen Asy’ariyah tentang diciptakannya kasb oleh Tuhan yang dijelaskan dalam firman-Nya yaitu “Allah menciptakanmu beserta perbuatan-perbuatan mu”. Dengan begitu kasb dan perbuatan manusia dapat terwujud karena kehendak Tuhan. Kedua, pendapatnya mengenai perbuatan involunter yang terdiri dari dua unsur yaitu penggerak dan yang digerakan. Penggerak adalah pembuat gerak sebenarnya yaitu Tuhan, sedangkan yang bergerak adalah manusia karena manusia memiliki tempat yang bersifat jasmani (tubuh) dan Tuhan tidak mungkin memiliki sifat jasmani. Hal ini dapat 30 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, h. 105 83 digambarkan sebagai dalang yang menggerakkan wayang-wayangnya dalam pementasan seni.31 Pandangan Ibn Taimiyah mengenai hakikat perbuatan manusia tidak terlalu condong ke dalam pandangan aliran Mu’tazilah dan tidak pula ke dalam pandangan aliran Asy’ariyah. Ia hanya mengikuti pendapat yang menurutnya benar di antara kedua aliran tersebut. Pertama, Ia setuju dengan Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia, akan tetapi ia tidak setuju terhadap pendapat Mu’tazilah yang meniadakan penciptaan Tuhan terhadap perbuatan manusia. Kedua, ia setuju dengan pendapat Asy’ariyah bahwa Tuhan merupakan pencipta perbuatan manusia, akan tetapi tidak sependapat mengenai peniadaan hakikat manusia dalam perbuatannya. Jadi, menurut Ibn Taimiyah perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan dari manusia itu sendiri tapi perbuatan itu tidak akan ada tanpa adanya kehendak dan pencipta perbuatan tersebut yaitu Tuhan.32 Dalam al-Qur’an ada ayat yang menjelas mengenai hakikat perbuatan manusia sesuai dengan pandangan Ibn Taimiyah pada sūrah al-Fātihah/1: 5 sebagai berikut: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". 31 32 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, h. 108 Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h, 89 84 Dalam firman-Nya di atas dijelaskan bahwa perbuatan menyembah bagi manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi penyembahan itu tidak akan pernah terjadi jika Tuhan tidak menciptakannya. Penyembahan yang dilakukan oleh manusia itu terjadi karena perbuatan tersebut merupakan ciptaan Tuhan.33 Demikian bahwa semua perbuatan manusia terjadi karena pilihan dan kehendak yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, namun perbuatan yang ada dalam diri manusia terjadi karena kehendak dan ciptaan Tuhan. Tuhanlah yang telah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia merupakan pelaku dari perbuatannya. Dengan pilihan dan kehendak yang manusia miliki, manusia tidak terpaksa dalam melakukan perbuatannya.34 Jadi dalam persoalan perbuatan manusia ini, Ibn Taimiyah mengemukakan beberapa hal. Pertama, Tuhan menciptakan segala sesuatu termasuk manusia beserta dengan perbuatannya. Kedua, manusia merupakan pelaku sebenarnya bagi perbuatan-perbuatannya. Manusia juga mempunyai kemampuan dan kehendak, sehingga manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukannya. Ketiga, Tuhan meridhai setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia dan tidak meridhai perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia.35 Berdasarkan uraian-uraian di atas mengenai perbuatan manusia menurut Ibn Taimiyah dengan dua aliran dalam teolog yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah dapat digambarkan sebagai berikut: 33 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 152 Ibnu Taimiyah, Syarah Aqīdah Wāsithiyah, h. 70 35 Muhammaddin, “Aliran Kalam Salafiyah”, Jurnal Imu Agama Vol. 16, No. 1 (2015): h. 90 34 85 Tabel 1.1 Perbandingan Pemikiran Ibn Taimiyah dengan Para Teolog Islam Hakikat Perbuatan Manusia Mu’tazilah Asy’ariyah Ibn Taimiyah Perbuatan manusia pada Perbuatan manusia pada Perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan hakikatnya perbuatan manusia merupakan hakikatnya perbuatan Tuhan merupakan perbuatan manusia, akan tetapi perbuatan manusia merupakan Tuhan ciptaan yang telah dikehendakinya Hubungan Kehendak Tuhan dengan Perbuatan Manusia Mu’tazilah Asy’ariyah Kehendak Tuhan hanya Kehendak hanya dengan dalam manusia, berhubungan berhubungan kebaikan Ibn Taimiyah Tuhan Kehendak Tuhan hanya dengan berhubungan saja kebaikan dan keburukan kebaikan saja sedangkan perbuatan yang ada di dunia ini keburukan yang ada di adapun termasuk perbuatan baik dunia ini berasal dari diri keburukan yang terjadi dan buruk yang ada dalam manusia. bukanlah kepada berasal dari diri manusia, karena setiap Tuhan Tuhan akan tetapi berasal yang ada di dunia ini keburukan, adapun jika melakukan maka hal 86 dari manusia itu sendiri merupakan kehendak-Nya tersebut mengandung hikmah dan kasih sayang-Nya untuk mengarahkan manusia kepada jalan yang di ridhai-Nya. Jadi, adanya kebaikan dan keburukan di dunia ini merupakan kehendak Tuhan. Namun keburukan dilakukan tidak yang oleh sama Tuhan dengan keburukan yang dilakukan oleh manusia. Kebebasan Manusia dalam Perbuatannya Mu’tazilah Manusia kebebasan kemerdekaan perbuatannya. Asy’ariyah Ibn Taimiyah diberikan Manusia tidak diberikan Manusia dan kebebasan diberi dalam kebebasan dalam perbuatannya akan tetapi menjalankan untuk segala manusia melakukan segala perintah Tuhan dengan sesuatunya terpaksa. dengan adanya pilihan perbuatannya. dalam Manusia 87 yang memilih berbeda dengan manusia dipaksa yang dalam perbuatannya. D. Kritik Terhadap Jabariyah dan Qadariyah Ibnu Taimiyah memberikan pesan kepada Ahl Sunnah wa al-Jama’ah untuk mengambil jalan tengah di antara dua pandangan teolog yaitu Jabariyah dan Qadariyah dalam menyelesaikan persoalan perbuatan manusia. Pertama, pendapat aliran Jabariyah yang mengatakan bahwa segala perbuatan dan perilaku hambaNya merupakan paksaan baik itu berupa gerakan maupun detak urat nadinya, karena semuanya merupakan perbuatan Tuhan. Sehingga setiap yang diperbuat hamba-Nya merupakan hal yang majazi bukan yang hakiki. Adapun pandangan aliran Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia adalah orang yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tanpa adanya campur tangan dari Tuhan.36 Pandangan aliran Qadariyah dalam persoalan perbuatan manusia yang menyatakan bahwa manusia diberi kebebasan dalam menciptakan perbuatannya, Ibn Taimiyah mengkritik bahwa aliran Qadariyah ini adalah aliran yang salah. Karena telah menyatakan adanya pencipta lain selain Tuhan. Ibn Taimiyah juga mengkritik pandangannya bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan manusia dan Tuhan tidak ikut campur di dalam penciptaan perbuatan manusia. Kritiknya 36 Ibnu Taimiyah, Syarh al-„Aqidah Wasithiyah, h. 71 88 mengenai hal tersebut adalah bahwa aliran Qadariyah menyakini adanya penciptaan yang telah disanggupi oleh makhluk selain Tuhan yaitu manusia. Jadi menurut Ibn Taimiyah, aliran Qadariyah merupakan aliran yang telah menyimpang dari ketetapan takdir Tuhan sebagai pencipta perbuatan hambaNya.37 Aliran Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dipaksa dalam perbuatannya dan menyatakan bahwasannya perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan sehingga manusia bersifat majazi dalam perbuatannya bukan hakiki. Ibn Taimiyah mengkritik pandangan di atas, karena perbuatan manusia yang sesungguhnya murni dari manusia bukan dari Tuhan. Sehingga perbuatan manusia pada hakikatnya perbuatan manusia dan perbuatan manusia tidak bersifat majazi akan tetapi hakiki.38 Ibn Taimiyah juga mengkritik persoalan mengenai masalah irādah Tuhan yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Pertama, Ibn Taimiyah menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan perbuatan manusia terwujud disebabkan oleh kehendak mutlak Tuhan. Menurut Ibn Taimiyah, dengan mengakui bahwasannya kehendak mutlak Tuhan itu ada, tanpa mengetahui bahwa Tuhan suka atau tidak dalam perbuatan buruk. Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa golongan Jabariyah menganggap Tuhan menyukai segala maksiat dan keburukan yang ada di dunia ini. Kedua, Ibn Taimiyah juga mengkritik aliran Qadariyah karena telah menyamakan antara perbuatan Tuhan 37 Abdurrahman bin Hasan, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah, Solo: Pustaka Rayyan, 2007, h. 44 38 Abdurrahman bin Hasan, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah, h. 81 89 dengan perbuatan manusia.39 Bagi Ibnu Taimiyah tidak ada yang boleh menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam segala hal, karena semua makhluk ciptaannya tidak ada yang dapat menandingi-Nya. Oleh karena itu, Perbuatan Tuhan berbeda dengan perbuatan yang dilakukan oleh makhluk-Nya termasuk dengan keburukan yang dilakukan-Nya berbeda dengan keburukan yang dilakukan oleh hamba-Nya.40 39 40 Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 90 Ibnu Taimiyah, al-Furqān bayna al-Haq wa al-bāthil, (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 19 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah dalam persoalan perbuatan manusia yang terdiri dari hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, kebebasan manusia dalam berbuat semuanya ia jelaskan berdasarkan al-Qur‟an dan al-Hadits. Pemikirannya mengenai tiga persoalan perbuatan manusia di atas tidak sama dengan pemikiran dari golongan Mu‟tazilah dan golongan Asy‟ariyah. Ibn Taimiyah mengambil pendapat dari mereka yang merupakan kebenaran menurutnya dan menjauhkan pendapat mereka yang tidak benar. Jadi, pemikiran Ibn Taimiyah dalam persoalan perbuatan manusia ini mengambil jalan penengah di antara kedua golongan yaitu Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Dari seluruh penjelasan mengenai perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn Taimiyah serta hubungan kekuasaan Tuhan dengan perbuatan manusia dalam skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia memilih jalan tengah di antara perbedaan pendapat yang ada pada aliran teolog Islam yang terkemuka yakni Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah, di antaranya: Pertama, kebaikan menurut Ibn Taimiyah adalah menjalankan perintah dari Tuhan dan menjauhkan diri dari larangan-Nya. Meninggalkan larangan serta mengerjakan perintah, keduanya merupakan sesuatu yang berwujud. Hal tersebut dapat dilihat ketika manusia meninggalkan larangan tersebut karena mengetahui jika mengerjakannya akan mendapat dosa dan siksa. Sebaliknya, jika manusia mengetahui 90 91 bahwa yang diperintah oleh Tuhan maka ia akan mengerjakan perinta tersebut. Berbeda dengan pendapat aliran Mu‟tazilah yang menyatakan bahwa baik dan buruk dapat dilihat dari esensi zatnya sendiri, sedangkan Asy‟ariyah menyatakan bahwa baik dan buruk dapat dilihat setelah datangnya syari‟at. Kedua, Perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi yang menciptakan dan menghendaki perbuatan manusia itu terjadi hanya Allah SWT. Hal tersebut merupakan kesimpulan pemikiran Ibn Taimiyah mengenai hakikat perbuatan manusia yang diambil di antara dua pendapat aliran teolog yakni Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Ibn Taimiyah setuju dengan pendapat aliran Mu‟tazilah bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya perbuatan manusia, akan tetapi tidak sependapat dengannya mengenai manusia sebagai pencipta perbuatannya. sedangkan pendapat Ibn Taimiyah yang sama dengan aliran Asy‟ariyah bahwa Tuhan merupakan pencipta dari perbuatan manusia dan tidak setuju dengan pandangan Asy‟ariyah bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan. Irādah Tuhan menurut Ibn Taimiyah bahwa hubungan Tuhan dengan perbuatan manusia hanya pada kebaikan saja sedangkan keburukan yang terjadi di dunia ini merupakan perbuatan dari hamba-Nya. Adapun jika Tuhan melakukan keburukan pada hamba-Nya, maka keburukan tersebut merupakan hikmah dan kasih sayang-Nya untuk mengarahkan manusia ke jalan yang diridhai oleh Tuhan dengan cara bertaubat kepada Tuhan. Masalah irādah Tuhan dalam pandangan Ibn Taimiyah juga mengambil pendapat yang dianggapnya benar dari dua pendapat yang dikemukakan oleh aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Menurut Mu‟tazilah kehendak Tuhan yang berhubungan dengan perbuatan manusia hanya berupa kebaikan saja, 92 sedangkan Asy‟ariyah kehendak Tuhan meliputi kebaikan dan keburukan yang telah ada di dunia ini. Menurut Mu‟tazilah manusia diberikan kebebasan dalam semua perbuatannya, sedangkan Asy‟ariyah mengatakan bahwa manusia terpaksa dalam perbuatannya atau tidak memiliki kehendak dalam berbuat karena hanya ada kehendak Tuhan saja dalam perbuatannya. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa manusia tidak diberikan kebebasan dalam melakukan perbuatannya secara mutlak, akan tetapi manusia memiliki pilihan, kehendak, keinginan, dan kemauan dalam menjalankan segala yang diperintahkan Allah. Namun semua perbuatan manusia di atas merupakan ciptaan Tuhan. B. Saran Pada akhir pembahasan skripsi ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran, sebagai berikut: 1. Untuk tidak sepenuhnya menyalahkan Tuhan dalam penciptaan perbuatan manusia baik itu kebaikan maupun keburukan. Dan manusia hanya dianjurkan untuk melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat baginya bukan melaksanakan sesuatu yang membawa dirinya dalam kemudharatan. 2. Tidak semua penelitian mengenai pemikiran kalam lebih cenderung sama dengan pemikiran dua aliran kalam terkenal yaitu Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah). Oleh karena itu, perlu adanya 93 penelitian lebih lanjut mengenai persoalan kalam terutama pemikiran Ibn Taimiyah. 3. Dapat memperluas khazanah keilmuan terutama dalam persoalan kalam yaitu perbuatan manusia. 94 DAFTAR PUSTAKA A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT Al-Husan Zikra, 2001. A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Abu Zahirah, Muhammad, Tārīkh al-Madzāhib al-Islāmiyah, Arab Saudi: Dār al-Fikr, t.t. Aceh, Abubakar, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), Jakarta: Tintamas. 1966. Akhiro, Yasya, “ Penafsiran Ibnu Taimiyah Tentang Hasanah dan Sayyi‟ah dalam Surat an-Nisa Ayat 79: Studi Terhadap Kitab al-Hasanah wa al-Sayyi’ah”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). al-Asy‟ari, Abu al-Hasan, Ajaran-Ajaran Asy’ari. Penerjemah: Afif Mohammad dan A. Solihin Rasyidi, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman Institut Teknologi Bandung, 1986. al-Asy‟ari, Abu Hasan, Kitāb al-Luma’, T.tp.: T.pn., 1955. al-Jamal, Muhammad, Biografi 10 Imam Besar, Penerjemah: M. Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, Penerjemah: Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2014. Anwar, Rosihon, Akidah Akhlak, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008. Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. as-Sayid al-Julaynid, Muhammad, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy, Jami‟ah Kairoh: Daar Ulum, 1981. Asy Syarbashiy, Ahmad, Pesan-Pesan Rahasia dalam Al-Qur’an (Peradaban Qur’ani), Jakarta: Mirqat, 2016. 95 Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam Al-Qur‟an: Analisis Konseptual Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang Bertema Kebaikan dan Keburukan”, Mimbar, 4 Juni 2004. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001. Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf. Penerjemah: Masturi Ilham dan Asmu‟I Taman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. Hakim, Abdul, “Filsafat Etika Ibnu Miskawaih”, Ilmu Ushuluddin, Vol. 13, No. 2 (Juli 2014). Hasan, Abdurrahman, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah, Solo: Pustaka Rayyan, 2007. Hatta, Mawardy, “Aliran Mu‟tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1 (Januari 2013). Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi’ah, (Kairo: Dar al-Kutub, t.t). _______, Baik dan Buruk (al-Hasanah wa al-Sayyi’ah). Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005. _______, al-Furqān bayna al-Haq wa al-bāthil, (T.tp.: T.pn., t.t.). _______, Al Furqon Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan. Penerjemah: Abdurrahman Masykur (Jakarta: Pustakan Panjimas, 1989). _______, Menuju Umat Amar Ma’rūf Nahi Mungkar. Penerjemah: A.H. Hasan, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988. _______, Pedoman Islam Bernegara. Penerjemah: K.H. Firdaus A.N., Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989. _______, Syarah Aqidah Wasithiyah; Penjelasan Prinsip-Prinsip Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Matan Akidah Wasithiyah Karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Penerjemah: Arif Munandar (Solo: Al-Qowam, 2014). 96 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al-Asy’ari, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997. Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Al-Qur’an. Penerjemah: Mansuruddin Djoely., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Madkūr, Ibrāhīm, Fil Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbīqoh, Kairo: Dār alMā‟arif, 1119. Mahmud, Ali Abdul Halim, Akhlak Mulia. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2004). Mansur, M. Laily, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Mufid, Fathul, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy‟ari dan al-Maturidi”, Fikrah, Vol.I, No. 2 Juli-Desember 2013. Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa Nihal. Penerjemah Asywadie Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.t). Muhammaddin, “Aliran Kalam Salafiyah”, Jurnal Ilmu Agama Vol. 16, No. 1 (2015). Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 2014. _______, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015. Nusaibah, “Sayyi‟ah dalam Al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikir Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015). 97 Sobur, A. Kadir, “Teologi „Poros Tengah‟ Satu Kajian Terhadap Af‟al al-Ibâd dalam Pemikiran Kalam Al-Asy‟ari,” Media Akademika Forum Ilmu dan Budaya Islam Vol. 17, No. 3 (Juli 2002). Sou‟yb, Joesoef, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, 1982. Syafrial N, “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, Tajdid, Vol. 18, No. 1 (Juli 2015). The Encyclopedia of Islam vol. III, (Leiden: E. J. Brill, 1979). Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. _______, Ensiklopedia Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008. Untung, Syamsul Hadi, dan Nofriyanto, “ Al-Imâm Ibn Taimiyah wa Arauhu fi AlQadaya al-Aqâidiyyah”, Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 14, No. 1 (Maret 2016). Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenada media Group, 2014. Zulfata, “Model Pemikiran Ketuhanan Reformis Menurut Ibnu Taimiyah dan Johanes Calvin”, (Makalah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri ArRaniry Banda Aceh, 2013).