PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN TAIMIYAH

advertisement
PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA
MENURUT IBN TAIMIYAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Riana Cahaya Purnama
NIM: 1112033100048
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA
MENURUT IBN TAIMIYAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Riana Cahaya Purnama
NIM: 1112033100048
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN
TAIMIYAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 22 Februari 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
Jakarta, 22 Februari 2017
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
: Riana Cahaya Purnama
NIM
: 1112033100048
Jurusan
: Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas
: Ushuluddin
Tempat, Tanggal Lahir
: Bogor, 10 September 1994
Judul Skripsi
: Perbuatan Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibn Taimiyah
Dengan ini menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran kalam salah satu tokoh
yang berpengaruh dalam aliran Salaf yaitu Ibn Taimiyah terutama dalam persoalan
perbuatan manusia yang terdiri dari hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, dan
kebebasan manusia dalam perbuatannya. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta
mengelaborasi pikiran-pikiran Ibn Taimiyah yang berkenaan dengan perbuatan
manusia. Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam
penelitiannya tentang perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn Taimiyah
adalah library research dengan menggunakan data primer yang berasal dari salah
satu karya Ibn Taimiyah dan data sekunder yang menjadi penunjang bagi sumber data
primer. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mengenai
perbuatan manusia tidak terlalu identik dengan pendapat aliran Mu‟tazilah maupun
Asy‟ariyah. Namun pemikiran Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia
mengambil atau memilih pandangan yang benar dan meninggalkan pandangan yang
salah dari pandangan kedua aliran teologi Islam yakni Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah
mengenai perbuatan manusia. di antaranya: pertama, Ibn Taimiyah menyetujui
pendapat yang diungkapkan oleh aliran Asy‟ariyah bahwa perbuatan manusia
merupakan ciptaan Tuhan, akan tetapi Ibn Taimiyah tidak sependapat dengan aliran
ini mengenai peniadaan hakikat dari perbuatan manusia. Dan Ibn Taimiyah juga
menyetujui pendapat aliran Mu‟tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia
pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi ia tidak sependapat
dengan aliran Mu‟tazilah bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia.
Kedua, mengenai masalah irādah Tuhan Ibn Taimiyah menolak kedua pendapat
aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Ia menolak pendapat Asy‟ariyah yang mengatakan
bahwa kebaikan dan keburukan perbuatan manusia terwujud disebabkan oleh
kehendak mutlak Tuhan. Dan ia mengkritik aliran Mu‟tazilah karena telah
menyamakan antara perbuatan Tuhan dengan perbuatan manusia. Ketiga, manusia
menurut Ibn Taimiyah memiliki kehendak dan kekuasaan dalam melaksanakan segala
apa yang diperintahkan Tuhan kepada hamba-Nya.
Kata kunci: kalam, hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, kebebasan
manusia.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadiran Allah yang maha
Esa yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah pada nabi akhir zaman dan
kekasih Allah, Muhammad SAW, keluarga beserta sahabatnya juga umatnya yang
mengharap syafa’at darinya sampai hari kebangkitan nanti.
Dengan rahmat Allah SWT, penulis bersyukur karena telah menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
pada UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Skripsi yang penulis beri judul “Perbuatan
Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibn Taimiyyah”.
Selanjutnya dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan
kata terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Faqih, MA, pembimbing penulis. Terima
kasih atas bimbingan serta waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr Syamsuri, M.Ag, ketua Jurusan Aqidah dan Falsafat Islam Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag, Sekertaris Jurusan Aqidah dan Falsafat Islam
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
5. Din Wahid, MA. Ph.D, dosen pembimbing akademik yang senantiasa
membimbing, membantu, dan meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan, saran-saran, serta pengalaman yang luas dalam keilmuan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Para dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah.
7. Bapak dan Ibu tercinta, Eko Purnomo dan Nurhaenih yang tak pernah lelah
untuk mendoakan di setiap waktu, serta selalu memberikan motivasi dan
dukungan terhadap penulis.
8. Kakak dan Adikku tercinta, Taufik Hidayat, M.Pd, Sri Nurmalasari, SE,
Januar Syam, M.Pd, Lita Cahaya Purnama M.Pd., Eril Cahaya Purnama,
Lenny Ariani Purnomo, dan Laila Cynthia Purnomo, yang telah memberikan
semangat dan selalu menghibur penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
9. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan 2012, yang selalu
memberikan semangat serta mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsi
ini di setiap waktunya.
10. Teman-teman Forum Silaturrahim Pemuda Islam (FORSIPI) Griya Parung
Panjang, yang telah memberikan waktu luangnya untuk berdiskusi mengenai
penelitian dalam skripsi ini.
Segala bantuan dan motivasi yang mereka berikan kepada penulis dengan tulus,
semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda kepada mereka semua.
iii
Penulis masih menyadari bahwa masih adanya kekurangan dan keterbatasan
dalam menyusun skripsi ini, maka diharapkan saran dan kritik yang terbaik bagi
skripsi ini. Demikian, semoga skripsi ini bisa memberikan kontribusi yang
bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Ciputat, 22 Februari 2017
Riana Cahaya Purnama
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 8
D. Perumusan Masalah ........................................................................ 9
E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 9
F. Manfaat Penelitian .......................................................................... 10
G. Studi Kepustakaan .......................................................................... 10
H. Metode Penelitian ........................................................................... 12
I. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
PERBUATAN MANUSIA MENURUT PARA TEOLOG ISLAM
A. Pengertian Baik dan Buruk ..........................................................
B. Hubungan Kekuasaan Tuhan dengan Perbuatan Manusia ...........
C. Aliran Mu‟tazilah .........................................................................
a. Hakikat Perbuatan Manusia ...................................................
b. Kebebasan Manusia ...............................................................
D. Aliran Asy‟ariyah .........................................................................
a. Hakikat Perbuatan manusia....................................................
b. Kebebasan Manusia ...............................................................
BAB III
15
23
25
28
34
36
37
40
BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH DAN KARYA-KARYANYA
A. Latar Belakang Kehidupan........................................................... 46
B. Perjalanan Intelektual ................................................................... 49
C. Karya-karya Ibn Taimiyah yang Berkaitan dengan Aqidah ........ 57
BAB IV
PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBNU
TAIMIYAH
A. Perbuatan Manusia menurut Pandangan Ibn Taimiyah ............... 62
B. Kehendak Tuhan .......................................................................... 67
v
C. Hakikat Perbuatan Manusia ......................................................... 79
D. Kritik Terhadap Jabariyah dan Qadariyah ................................... 85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 87
B. Saran ............................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ viii
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Indonesia
Inggris
Arab
Indonesia
Inggris
‫ا‬
a
a
‫ط‬
ṭ
ṭ
‫ب‬
b
b
‫ظ‬
ẓ
ẓ
‫ت‬
t
t
‫ع‬
„
„
‫ث‬
ts
th
‫غ‬
gh
gh
‫ج‬
j
j
‫ف‬
f
f
‫ح‬
ḥ
ḥ
‫ق‬
q
q
‫خ‬
kh
kh
‫ك‬
k
k
‫د‬
d
d
‫ل‬
l
l
‫ذ‬
dz
dh
‫م‬
m
m
‫ر‬
r
r
‫ن‬
n
n
‫ز‬
z
z
‫و‬
w
w
‫س‬
s
s
‫ه‬
h
h
‫ش‬
sy
sh
‫ء‬
„
„
‫ص‬
ṣ
ṣ
‫ي‬
y
y
‫ض‬
ḍ
ḍ
‫ة‬
h
h
Vokal Panjang
Arab
Indonesia
Inggris
‫أ‬
ā
ā
‫إي‬
ī
ī
‫أو‬
ū
ū
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbuatan manusia itu terdiri dari perbuatan baik dan perbuatan buruk.
Perbuatan baik harus dilaksanakan agar mendapat hasil yang baik berupa pahala,
sedangkan perbuatan buruk harus ditinggalkan karena akan menghasilkan dosa
bagi manusia di akhirat nanti. Penjelasan di atas merupakan pemahaman dasar
yang kita ketahui sejak kecil mengenai perbuatan manusia yang telah diajarkan di
sekolah. Namun saat ini, pemahaman kita mengenai perbuatan manusia bertambah
dengan adanya perdebatan dari para ahli teologi Islam mengenai perbuatan
manusia seperti, Apakah perbuatan manusia itu ciptaan manusia sendiri atau
Tuhan? Apakah manusia diberikan kebebasan dalam perbuatannya atau tidak?
Banyak sekali ayat yang membahas mengenai manusia di dalam al-Qur‟an
salah satunya adalah pembahasan mengenai perbuatan manusia. Manusia adalah
makhluk yang tidak pernah lepas dari pengawasan serta penglihatan Tuhan
terhadap
segala
perbuatan
yang
dilakukannya.
Karena
segala
macam
perbuatannya akan dihitung di akhirat, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan
buruk. Tuhan telah memberikan ancaman dan janji terhadap manusia. Ancaman
dan janji-Nya adalah bahwa Tuhan akan memberikan ganjaran yang setimpal
terhadap perbuatan manusia. Apabila manusia melakukan perbuatan yang baik,
maka manusia tersebut akan diberikan ganjaran berupa pahala. Sedangkan
1
2
manusia yang melakukan perbuatan buruk, maka akan diberikan ganjaran berupa
siksaan api neraka.1
Dalam Islam, perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia dapat diketahui
berdasarkan wahyu yang telah Tuhan berikan kepada manusia sebagai pedoman
hidup. Perbuatan baik adalah perbuatan manusia yang sesuai dengan wahyu yang
Tuhan berikan kepada manusia, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan
yang menyimpang dari ajaran yang diajarkan nabi dan wahyu. Baik dan buruk
perbuatan manusia juga dapat kita temukan di dalam al-Qur‟an dan Hadits dengan
berbagi macam term.2 Beberapa term yang menjelaskan mengenai perbuatan baik
antara lain: al-birr, al-ma’rūf, dan al-khayr. Sedangkan term yang menjelaskan
mengenai perbuatan buruk antara lain: al-syarr, al-itsm, dan munkar. Namun dari
masing-masing term perbuatan baik dan term perbuatan buruk memiliki arti yang
spesifik salah satunya yang diangkat dan diperbincangkan oleh para teolog adalah
al-hasanah dan al-sayyi’ah.
Istilah lain yang ditunjukan dalam bentuk term al-birr dan al-itsm di dalam alQur‟an yang memiliki arti akhlak yang baik (kebajikan) dan perbuatan dosa pada
sūrah al-Māidah ayat 2 sebagai berikut:
              
    
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
1
Ahmad Asy Syarbashiy, Pesan-Pesan Rahasia dalam al-Qur’an (Peradaban Qur’ani),
Jakarta: Mirqat, 2016, h. 23
2
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015, h.
368
3
Istilah lain mengenai kebaikan dan keburukan dalam al-Qur‟an dengan bentuk
term al-khayr dan al-syarr yang mengandung arti kebahagiaan dan penderitaan
terdapat dalam sūrah Fushshilat ayat 49 sampai dengan ayat 50 sebagai berikut:
            

             
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka
dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika kami merasakan kepadanya
sesuatu rahmat dari kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini
adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang”.3
Istilah baik dan buruk dengan bentuk term al-ma’rūf dan al-munkar terdapat
dalam sūrah al-Imrān ayat 104. Al-ma’rūf merupakan segala perbuatan yang
mendekatkan kita kepada Allah. Sedangkan al-munkar adalah segala perbuatan
yang menjauhkan kita dari-Nya.
            
   
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'rūf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”.
Al-Hasanah adalah tindakan kebajikan atau amal saleh yang akan
menyelamatkan manusia di hari perhitungan (hisāb). Kata al-hasanah ini terkait
erat dengan sebutan akhlak dalam Islam, sedangkan sayyi’ah adalah keburukan,
kejahatan dan dosa. Perbuatan buruk ini tidak dapat menyelamatkan manusia di
hari akhir. Di dalam al-Qur‟an sayyi’ah tidak hanya memiliki makna keburukan,
3
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur’an. Penerjemah: Mansuruddin Djoely.,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 360
4
kejahatan, dan dosa saja, akan tetapi sayyi’ah memiliki makna bencana atau
musibah seperti terbunuh atau kalah dalam medan perang.4
Manusia merupakan salah satu objek kajian ilmu kalam yang menjadi bahan
pembicaraan para teolog Islam hingga saat ini. Pembicaraan para teolog Islam
mengenai manusia dalam ilmu kalam terdiri dari beberapa subtema di antaranya:
hakikat dan kebebasan manusia dalam perbuatannya, sumber pengetahuan
manusia, serta persepsinya tentang iman.5
Masalah perbuatan manusia yang dibahas dalam ilmu kalam oleh para teolog
terdiri dari tiga pendapat yang berbeda antara satu golongan dengan golongan
yang lainnya. Pendapat yang pertama, bahwa semua perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan dan tidak ada perbuatan bagi manusia. Oleh karena itu, manusia
tidak akan mendapat pujian, celaan, pahala, atau siksa. Pendapat yang kedua,
bahwa Tuhan dan manusia sama-sama berbuat. Oleh karena itu, pujian dan celaan
berlaku bagi keduanya. Pendapat yang ketiga, bahwa perbuatan manusia adalah
ciptaan manusia itu sendiri. Sehingga pujian, celaan, siksa atau pahala berlaku
bagi manusia.6 Ketiga pendapat di atas, dapat kita ketahui dari beberapa golongan
dalam Islam yang membahas mengenai kebebasan dan keterikatan manusia dalam
perbuatannya.
Mu‟tazilah merupakan salah satu aliran dalam Islam yang membahas
mengenai perbuatan manusia. Menurut Mu‟tazilah, manusia merupakan orang
yang menciptakan perbuatannya baik itu perbuatan yang baik maupun perbuatan
4
Nusaibah, “Sayyi‟ah dalam Al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikir
Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 2
5
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawârij ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, h. 105
6
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya
dengan Al-Asy’ari, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 102
5
yang buruk. Semua perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia akan
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Manusia yang melakukan perbuatan
yang baik akan mendapat ganjaran berupa pahala, sedangkan manusia yang
melakukan perbuatan buruk akan mendapat ganjaran berupa siksa atau dosa. Oleh
karena itu, Tuhan menurut aliran ini tidak menciptakan perbuatan manusia.
Karena di dalam perbuatan manusia terkandung dua unsur yakni sifat-sifat yang
baik dan sifat-sifat yang buruk. Jadi, keburukan yang ada di dunia ini bukan
berasal dari Tuhan termasuk perbuatan buruk yang ada dalam diri manusia.7
Namun, pendapat golongan ini mengenai perbuatan manusia ditolak oleh
golongan yang selanjutnya dalam Islam yaitu aliran Asy‟ariyah.
Asy‟ariyah menyelesaikan persoalan perbuatan manusia yang menjadi tema
dalam perbincangan para teolog Islam dengan menggunakan teori kasb
(perolehan). Perbuatan manusia terjadi karena adanya perolehan yang akan
menyebabkan perbuatan manusia muncul dalam dirinya dan perolehan tersebut
terjadi dengan perantara daya yang diciptakan oleh Tuhan, sehingga menurut
golongan ini daya manusia tidak efektif dalam menciptakan perbuatannya. Jadi,
perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan bukan manusia dan daya yang
digunakan untuk menciptakan perbuatan manusia berasal dari daya Tuhan.8 Selain
aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah yang membahas tentang persoalan perbuatan
manusia, Ibn Taimiyah merupakan salah satu tokoh yang membahas mengenai
perbuatan manusia.
Pandangan Ibn Taimiyah mengenai persoalan perbuatan manusia tidak
memihak seluruhnya ke dalam pandangan dua aliran di atas yaitu Mu‟tazilah dan
7
M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, h. 58
Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa Nihal. Penerjemah Asywadie
Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.t), h.97
8
6
Asy‟ariyah, akan tetapi ia memilih sebuah kebenaran dari pandangan kedua aliran
di atas mengenai perbuatan manusia dan meninggalkan segala hal yang
menurutnya tidak benar dalam pandangan keduanya mengenai perbuatan manusia.
Menurutnya, manusia memiliki kemauan, kehendak, dan kekuatan dalam
perbuatannya dan manusia merupakan pelaku yang sebenarnya atas perbuatannya.
Oleh karena itu, manusia diberi pertanggungjawaban atas segala apa yang telah
diperbuatnya. Kemauan, kekuatan, dan kehendak yang dimiliki oleh manusia
bukanlah manusia sendiri yang menciptakannya akan tetapi Tuhan lah yang
menciptakan kehendak, kekuatan, dan kekuasaan dalam diri manusia.9
Pandangan Ibn Taimiyah mengenai irādah Tuhan bahwa segala sesuatu di
dunia ini yang bersifat baik berasal dari Tuhan, sedangkan segala sesuatu yang
bersifat buruk berasal dari manusia itu sendiri. Tuhan tidak menyukai kerusakan,
tidak meridhai hamba-Nya untuk berbuat kafir, dan juga tidak memerintahkan
hamba-Nya untuk melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu, keburukan bukanlah
berasal dari Tuhan akan tetapi berasal dari diri manusia.10 Pembedaan antara
kebaikan dan keburukan yang dijelaskan oleh Ibn Taimiyah ini diperkuat dengan
dalil al-Qur‟an pada sūrah an-Nisā ayat 79. Jelas dalam ayat tersebut menjelaskan
bahwa adanya perbedaan antara kebaikan dan keburukan seperti yang dikatakan
oleh Ibn Taimiyah mengenai irādah Tuhan, akan tetapi dalam ayat sebelumnya
yaitu sūrah an-Nisā ayat 78 menjelaskan bahwa semuanya berasal dari Tuhan.
Bagaimana Ibn Taimiyah menjelaskan mengenai ayat tersebut.
Menurut Ibn Taimiyah jika Tuhan menciptakan segala sesuatu, maka semua
ciptaan-Nya memiliki hikmah termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di
9
Syafrial. N, “Corak Teologi Ibnu Taimiyyah,” Tajdid, vol. 18, no.1 (Juli 2015), h. 89
Syafrial. N, Corak Teologi Ibnu Taimiyyah, h. 90
10
7
dunia ini. Dan jika Tuhan melakukan sebuah keburukan maka keburukan tersebut
merupakan hikmah dan kasih sayang-Nya untuk mengarahkan manusia kepada
jalan yang benar, sehingga keburukan yang digambarkan bukan seperti keburukan
yang ada pada perbuatan manusia. Hikmah dan kasih sayang-Nya tidak dapat
diketahui oleh makhluk-Nya hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu
keburukan yang Tuhan telah lakukan kepada semua yang diciptakan-Nya
merupakan kebaikan bukan keburukan.11
Uraian di atas dapat kita temukan tiga hal pandangan Ibn Taimiyah mengenai
perbuatan
manusia.
Pertama,
Tuhan
adalah
pencipta
manusia
beserta
perbuatannya. Kedua, manusia merupakan pelaku sebenarnya dari segala
perbuatannya sehingga manusia harus bertanggung-jawab atas segala yang
diperbuatnya. Ketiga, Tuhan meridhai segala perbuatan yang baik dan tidak
meridhai segala perbuatan yang buruk.
Alasan penulis memilih judul ini adalah karena Ibn Taimiyah adalah sosok
monumental sepanjang sejarah. Ia adalah prototipe ulama pembaharu yang
memiliki pemahaman Islam yang orisinal dan mendalam. Dari uraian-uraian di
atas dan dengan semangat Rahmatan Lil ‘Alamin, selanjutnya penulis ingin sekali
mengangkat tema tersebut, yakni mengenai perbuatan manusia menurut
pandangan Ibn Taimiyah secara mendalam yang diperjelas dengan memberi judul
“Perbuatan Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibnu Taimiyyah”.
11
Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 80
8
B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis ingin memaparkan
permasalahan penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah, batasan
masalah, dan perumusan masalah sebagai berikut:
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan aliran Mu‟tazilah mengenai perbuatan
manusia?
2. Bagaimana pandangan aliran Asy‟ariyah mengenai perbuatan
manusia?
3. Apa yang dimaksud dengan teori kasb yang dikemukakan oleh
Asy‟ariyah dalam memecahkan persoalan perbuatan manusia?
4. Apakah ada hubungannya antara kehendak Tuhan dengan
perbuatan manusia menurut Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah?
5. Apakah kebaikan dan keburukan merupakan ciptaan Tuhan di
dunia ini menurut pandangan Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah?
b. Batasan Masalah
Untuk mendapatkan gambaran dan kerangka yang jelas mengenai
ruang lingkup penelitian, perlu kiranya diberi batasan-batasan yang
menyangkut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Dengan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis akan
9
membatasi pembahasan hanya pada perbuatan baik dan buruk manusia
menurut Ibn Taimiyah.
c. Perumusan Masalah
Adapun
permasalahan
pokok
dalam
penelitian
ini
dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Ibn Taimiyah mengenai perbuatan baik
dan buruk manusia?
2. Bagaimana hubungan kehendak Tuhan dengan perbuatan
manusia?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan skripsi ini
adalah:
1. Mengetahui, mempelajari, menggali, serta mengungkapkan secara
mendalam mengenai perbuatan manusia menurut pandangan Ibn
Taimiyah.
2. Mencoba memberikan gambaran mengenai perbuatan manusia
menurut Ibn Taimiyah.
3. Memenuhi tugas akhir proses pembelajaran di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin, yaitu berupa penulisan
karya ilmiah/skripsi yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai
10
dokumentasi almamater dan referensi kepada semua pihak,
khususnya para peneliti yang sesuai dengan pembahasan ini.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Penulis dapat memahami serta memperkaya dalam memperluas
khazanah keilmuan teoritis khususnya mengenai konsep
perbuatan manusia menurut pandangan Ibn Taimiyah.
2. Dapat memberikan kontribusi berupa bacaan perpustakaan di
lingkungan
sekitar
Universitas
Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Studi Kepustakaan
Penelitian terhadap sosok Ibn Taimiyah telah berlangsung sejak lama.
Gagasan-gagasan yang dibangun oleh Ibn Taimiyah dalam berbagai bidang
keilmuan sungguh menarik minat banyak orang, sehingga banyak dari para
peneliti yang ingin mengkaji pemikiran Ibn Taimiyah dalam penelitiannya.
Para peneliti yang membahas kajiannya terhadap sosok pemikiran Ibn
Taimiyah sejauh yang penulis ketahui, di antaranya adalah:
“Konsep Iman Menurut Ibn Taimiyah”, skripsi pada Jurusan Aqidah
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 atas nama
Idrus Habsyi. Dalam penelitiannya, Iman menurut Ibn Taimiyah adalah
pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan serta diwujudkan dengan
11
amal perbuatan secara zhahir, sehingga konsep iman menurut Ibn Taimiyah
bisa bertambah dan bisa berkurang.
“Konsep Mahabbah dalam Perspektif Ibn Taimiyah”, skripsi pada Jurusan
Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
atas nama Khairul Amri. Dalam penelitiannya, mahabbah dalam pandangan
Ibn Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban pada Tuhan dan
pada apa yang ada di sisi-Nya. Ibn Taimiyah memandang cinta kepada Tuhan
merupakan seagung-agungnya kewajiban keimanan, sebesar-besarnya pokok
keimanan, dan semulia-mulianya dasar keimanan dan dengan adanya cinta
kepada Tuhan menjadi pendorong untuk melakukan jihad dan amal kebajikan.
Dan Tuhan merupakan satu-satunya yang dicintai karena Dzat-Nya.
“Kritik Abdullah Al-Harari Terhadap Teologi Ibn Taimiyah”, skripsi pada
jurusan Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2016 atas nama Siti Robilah Hayati. Dalam penelitiannya, telah dijelaskan
kritik al-Harari terhadap teologi Ibn Taimiyah yang disebabkan oleh
perbedaan penalaran dan alur logika dalam memahami sifat-sifat Allah.
“Konsep Benar dan Salah dalam Pemikiran Hukum Ibn Taimiyah”,
disertasi Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1997 atas nama Muhammad Hasyim. Dalam penelitiannya
menjelaskan mengenai hakikat kebenaran dan kesalahan. kualitas kebenaran
yang ditunjukan dalam beberapa kriteria di antaranya; kualitas sumber atas
sandaran dan unsur keserasian. Setiap mujtahid memiliki otoritas memproduk
keputusan-keputusan melalui
ijtihadnya secara benar.
Ibn
Taimiyah
mengembangkan pemikiran hukum Islam selain dengan menggunakan metode
12
salaf, ia juga menggunakan teori-teori baru seperti; teori ijmā istiqrā‘i, teori
ta’lil dengan hikmah.
Buku karya dari Syaikh Said „Abdul Azhim dengan judul “Ibn Taimiyah
Tajdīd Salafī wa Da’wah Islāhiyyah”, dalam buku ini menjelaskan secara
lengkap perjalanan Ibn Taimiyyah, bagaimana kiprah dan prestasi dakwah
beliau, serta ciri khas metode pembaharuan dan reformasi yang diperjuangkan
terutama dalam masalah akidah dan fikih.
Dari buku dan judul skripsi serta disertasi yang telah disebutkan di atas,
ternyata pembahasan mengenai perbuatan baik dan buruk manusia menurut
Ibn Taimiyah secara khusus belum ada. Oleh karena itu, penulis tidak ragu
lagi dalam menulis penelitian ini.
F. Metodelogi Penelitian
Penelitian ini digolongkan kepada penelitian kualitatif yaitu dengan
menggali informasi melalui data berupa teks atau dokumen yang berhubungan
dengan judul penelitian yaitu perbuatan baik dan buruk manusia menurut Ibn
Taimiyah kemudian mendeskripsikan dan menganalisisnya.
Sumber data penelitian yang menjadi bahan rujukan oleh penulis dalam
penelitiannya diambil dari tulisan Ibn Taimiyah sendiri yang terdokumentasi
dalam bentuk kitab, baik dalam bahasan Arab maupun yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasan Indonesia. Al-hasanah wa al-sayyi’ah adalah
salah satu sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan
skripsi ini, sedangkan tulisan-tulisan tentang Ibn Taimiyah baik yang
terdokumentasi dalam buku, makalah, jurnal, artikel, dan majalah yang
13
mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber
sekunder yang menjadi penunjang sumber primer.
Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas terkait dengan masalah yang
akan diteliti yaitu perbuatan baik dan buruk menurut Ibn Taimiyah, sedangkan
analisis adalah menyelidiki setiap masalah untuk memperoleh pemahaman
yang lebih luas. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta mengelaborasi
pikiran-pikiran Ibn Taimiyah yang berkenaan dengan judul skripsi ini.
Kemudian menyajikan hasil penelitian melalui sumber-sumber pustaka primer
maupun sekunder dengan menggunakan karangan-karangan Ibn Taimiyah dan
yang berkaitan dengan pembahasan perbuatan manusia. Teknik pengumpulan
data penelitian ini, penulis dapatkan dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research).
Teknik penulisan penelitian skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang
ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu
buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun
ajaran 2012/2013.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan
diuraikan oleh penulis dalam penelitian ini, maka perlu penulis uraikan
susunan penulisan skripsi ini yang terdiri dari lima bab, sebagai berikut:
14
Bab satu merupakan pendahuluan yang mencakup lima pasal pembahasan
yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan, metodelogi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan penjelasan perbuatan manusia menurut pandangan
para teolog Islam yang terdiri dari pengertian baik dan buruk secara umum,
perbuatan manusia menurut pandangan para teolog Islam yang terdiri dari
aliran Asy‟ariyah, dan Mu‟tazilah mengenai hakikat perbuatan manusia,
kehendak Tuhan, dan kebebasan manusia dalam perbuatannya .
Bab ketiga merupakan penjelasan biografi tokoh yaitu Ibn Taimiyah yang
terdiri dari riwayat hidup secara ringkas, perjalanan intelektual, serta karyakarya dari Ibn Taimiyah yang berkaitan dengan aqidah.
Bab keempat merupakan pembahasan inti yaitu penjelasan perbuatan
manusia menurut pandangan Ibn Taimiyah, di dalamnya terkandung
permasalah yang diangkat oleh penulis dalam penulisan skripsi ini di
antaranya perbuatan manusia menurut Ibn Taimiyah, kehendak Tuhan, hakikat
perbuatan manusia, kritik Ibn Taimiyah terhadap Jabariyah dan Qadariyah.
Bab kelima merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang
memuat mengenai kesimpulan dari seluruh pembahasan dan ditutup dengan
saran-saran untuk berbagai pihak.
BAB II
PERBUATAN MANUSIA MENURUT PARA TEOLOG ISLAM
A. Pengertian Baik dan Buruk
Istilah baik dan buruk menurut Hadi Podo (2007: 99) dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, baik memiliki makna sesuatu yang elok, patut, dan teratur
sedangkan kebaikan merupakan sifat-sifat baik atau perbuatan baik. Istilah buruk
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 141) memiliki makna rusak dan
jelek, sedangkan istilah keburukan memiliki makna sifat-sifat buruk atau
perbuatan buruk. Istilah baik dan buruk menurut Mahmud Yunus (2007: 123)
dalam bahasa Arab disebut dengan khayr dan hasanah yang mengandung arti
“yang baik”, sedangan itsm dan sayyi’ah mengandung arti “dosa” menurut
Mahmud Yunus (2007: 34). Adapun baik dan buruk menurut Echols dan Shadily
(1994: 274) dalam An English-Indonesia Dictionary yang terbentuk dari term
good dan bad. Istilah baik dalam bahasa Inggris disebut sebagai good yang
mengandung arti kebaikan dan kebajikan, sedangkan buruk dalam istilah bahasa
Inggris disebut dengan bad yang mengandung arti dalam kesukaran, buruk, jelek,
susah, tidak enak, dan busuk (1994: 51). Jadi dapat kita simpulkan secara
etimologi, baik adalah hal yang mengandung keindahan, ketaatan, kebajikan
dalam diri kita yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan maupun sesama
manusia dalam menjalankan kehidupan. Sedangkan buruk merupakan kebalikan
dari segala sesuatu yang baik.
Secara umum, baik dan buruk memiliki makna yang beragam. Pertama,
perbuatan baik yang memiliki hubungan dengan kesempurnaan. Dalam hal ini
15
16
baik disebut baik jika segala sesuatu tindak lakunya dikerjakan secara sempurna.
Kedua, perbuatan baik adalah perbuatan yang menjadikan pelakunya merasa puas
dan senang di dalam semua tindakan yang dikerjakannya. Ketiga, perbuatan baik
adalah perbuatan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat memberikan rahmat
dari apa yang telah dilakukan. Sedangkan perbuatan buruk memiliki arti yang
sebaliknya dari perbuatan baik. Pertama, perbuatan buruk adalah perbuatan yang
tidak memiliki kesempurnaan di dalam mengerjakannya. Kedua, perbuatan buruk
adalah perbuatan yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak puas dalam
melakukannya. Ketiga, perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak memiliki
kebenaran dan tidak dapat memberikan rahmat. Bahkan pelakunya melakukan
sesuatu yang keji, tidak diterima oleh orang lain, dan tidak memiliki moral.1 Dari
beberapa pengertian baik dan buruk dapat disimpulkan bahwasanya perbuatan
baik adalah apabila sesuatu tersebut dapat memberikan kesenangan, kepuasan,
kenikmatan, kepantasan, kepatutan, dan kesempurnaan sesuai dengan apa yang
telah diharapkan. Sedangkan perbuatan buruk adalah apa yang dinilai sebaliknya
dari perbuatan baik.2 Adapun beberapa teolog dalam Islam yang mendefinisikan
perbuatan baik dan buruk menurut pandangannya sendiri, seperti: aliran
Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah
Seorang hakim yaitu Abdul Jabar yang menganut paham Mu‟tazilah memiliki
pendapat mengenai baik dan buruk yang digambarkan dalam bidang etika dan
estetika bahwa etika memiliki makna yang sebenarnya dari hasan dan qobīh atau
baik dan buruk, karena segala sesuatu yang terjadi baik itu perbuatan baik maupun
perbuatan buruk dapat dilihat langsung kebenarannya dan dapat diberi kesimpulan
1
2
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, h. 25
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, h. 362
17
bahwa sesuatu yang dilakukan itu baik atau sebaliknya dari kebaikan tersebut.
Sedangkan estetika adalah gambaran dari keindahan yang sebenarnya dalam
sebuah media dengan bentuk tulisan seperti buku. Dalam hal ini baik dan buruk
tidak memiliki makna yang hakiki lagi, karena merupakan gambaran dari
kebaikan yang sebenarnya. Ini merupakan pendapat dari salah satu tokoh aliran
Mu‟tazilah mengenai definisi baik dan buruk yang terkandung dalam kata alhasan dan al-qobīh yang memiliki arti etika bukan estetika.3
Mu‟tazilah mengatakan bahwa baik dan buruk adalah esensi dari setiap
perbuatan yakni merupakan zat bagi setiap perbuatan. Contohnya: mencuri pada
esensinya adalah buruk, sedangkan menolong pada esensinya adalah baik. Oleh
karena itu jujur, adil, bijaksana dan perbuatan lainnya adalah baik dari diri zatnya
sendiri dan mampu membuat kita menyatakan baik setiap kali menyaksikan halhal tersebut dengan akal kita. Sebaliknya, segala perbuatan yang buruk pada
esensinya adalah buruk sehingga kita mampu menyatakan buruk setiap kali
menyaksikan perbuatan buruk tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyifati
Tuhan dengan kebohongan karena kebohongan sepanjang esensinya adalah buruk
dan Tuhan tidak mungkin melakukan keburukan.4
Menurut Asy‟ariyah, pengertian baik dan buruk itu dipandang berdasarkan
syari‟at. Segala sesuatu yang diperintah oleh syari‟at merupakan kebaikan
sedangkan segala sesuatu yang dilarang oleh syari‟at merupakan keburukan. Jadi,
definisi baik dan buruk menurut Asy‟ariyah berdasarkan kepada syari‟at agama
bukan yang lainnya. Jika telah datang syari‟at dalam menentukan segala yang baik
dan buruk tanpa adanya ketetapan akal, maka sesuatu itu adalah baik. Seperti
h. 31
3
Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy,
4
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran ‘Itizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 68
18
halnya diperintahkan berbuat buruk dan dilarangnya berbuat baik sesuai syari‟at
maka hal tersebut merupakan kebaikan. Oleh karena itu, menurut aliran
Asy‟ariyah baik dan buruk tidak memiliki makna kecuali setelah datangnya
syari‟at yang terdiri dari perintah dan larangan-Nya.5
Pendapat Maturidiyah mengenai baik dan buruk lebih identik dengan
pandangan baik dan buruk menurut Mu‟tazilah dibandingkan dengan aliran
Asy‟ariyah. Aliran ini meyakini bahwasannya akal mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. 6
Definisi dari baik dan buruk juga telah dijelaskan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya dari Nuwas bin Sam‟an r.a.
bahwa Rasulullah Saw, Bersabda:
“Kebaikan adalah akhlak yang baik dan perbuatan dosa adalah segala sesuatu
yang mengganjal dalam dadamu dan kamu benci bila orang lain mengetahuinya”.7
Hadits di atas ini memberikan kita petunjuk bahwa kebaikan atau perbuatan
baik memiliki hubungan dengan etika yang dalam Islam dikenal dengan sebutan
akhlak. Karena definisi dari kata akhlak sendiri dirumuskan sebagai sebuah media
yang dapat menimbulkan hubungan baik antara Tuhan dengan manusia dan antara
manusia dengan manusia lainnya.8 Sedangkan keburukan atau perbuatan buruk
adalah perbuatan yang mengakibatkan manusia memiliki dosa atas tindakannya.
Karena, apabila seorang Muslim melakukan perbuatan yang membawanya kepada
5
Ibrāhīm madkūr, Fil Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbīqoh, Kairo: Dār alMā‟arif, 1119, h. 250
6
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy‟ari dan alMaturidi”, Fikrah, Vol.I, No. 2 (Juli-Desember 2013): h. 226
7
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,dkk.,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 220
8
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008, h. 205
19
dosa, maka hatinya akan terasa bagai dihimpit hingga tidak memiliki ruang dalam
hati. Kemudian kamu akan membencinya, jika seseorang di antara kamu
mengetahuinya.
Etika dan akhlak memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaan antara
etika dan akhlak adalah sama-sama membahas mengenai tingkah laku manusia
yang terdiri dari baik dan buruk. Dan perbedaan di antara keduanya adalah
membedakan sumber dalam mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan. Etika
mengetahui baik dan buruk melalui akal, sedangkan akhlak mengetahui baik dan
buruk berdasarkan ajaran yang diajarkan oleh Tuhan dan Rasul-Nya.9
Di dalam al-Qur‟an dan hadits akan selalu kita jumpai term-term yang
berhubungan dengan kebaikan dan keburukan. Term-term tersebut di antaranya
adalah al-hasanah dan al-sayyi’ah, al-khayr dan al-syarr, al-ma’rūf dan almungkar, al-birr dan al-fāhisyah atau al-itsm10 berikut penjelasannya:
1. Al-Hasanah dan al-Sayyi’ah
Al-hasanah adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan sesuatu
hal yang disukai dan dipandang baik, sedangkan al-sayyi’ah merupakan
istilah yang digunakan dalam menunjukan suatu hal yang berlawanan dari
term al-hasanah.11 Istilah al-hasanah dan al-sayyi’ah dalam al-Qur‟an
yang memiliki makna nikmat dan musibah sebagaimana yang tertera
dalam al-Qur‟an sūrah al-Imrān ayat 120 berikut:
9
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, h. 207
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam Al-Qur‟an: Analisis
Konseptual Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang Bertema Kebaikan dan Keburukan”, Mimbar, 4
Juni 2004, h. 22
11
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015, h. 101
10
20
         
  
           

“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati,
tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika
kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak
mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui
segala apa yang mereka kerjakan”.
Adapun ayat lain yang mengartikan istilah al-hasanah dan al-sayyi’ah
sebagai nikmat dan bencana terdapat pada sūrah al-A‟rāf ayat 168 sebagai
berikut;
    
 
  
“Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan
(bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran”.12
2. Al-Khayr dan al-Syarr
Istilah lain mengenai kebaikan dan keburukan dalam bentuk term alkhayr dan al-syarr yang mengandung arti kebahagiaan dan penderitaan
dalam al-Qur‟an tercantum pada sūrah Fushshilat ayat 49 sampai dengan
ayat 50 sebagai berikut:
           
             
 
12
Ibnu Taimiyah, Al-Hasanah dan Al-Sayyi’ah. Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005, h. 35
21
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa
malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika kami
merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari kami sesudah dia ditimpa
kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin
bahwa hari kiamat itu akan datang”.13
Penggunaan kalimat khayr dan syarr dalam bahasa Arab dan yang
dimaksud dengan keduanya adalah keputusan terhadap perbuatan yang
dipertimbangkan nilai serta perolehan yang akan didapatkan oleh pelaku
atas perbuatannya sendiri. Jika hasil perbuatan atau tindakan tersebut
bermanfaat bagi pelaku perbuatan, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan
ini termasuk ke dalam perbuatan baik bagi pelakunya. Jika nilai dari
perbuatan tersebut berbahaya atau membawa pelaku perbuatan kepada
musibah, maka dinyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah buruk. Oleh
karena itu, khayr merupakan hal yang menunjukan kepada perbuatan yang
bermanfaat dan menghindari segala perbuatan yang menghasilkan syarr
bagi pelakunya. 14
3. Al-Birr dan al-Itsm
Al-birr digunakan untuk menunjukan hal-hal yang memperluas atau
memperbanyak dalam mengerjakan perbuatan baik, sedangkan al-itsm
digunakan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan yang menghasilkan
dosa.15 Kata al-birr dan al-itsm yang memiliki arti akhlak yang baik
(kebajikan) dan perbuatan dosa di dalam al-Qur‟an pada sūrah al-Māidah
ayat 2 sebagai berikut:
13
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur’an. h. 360
Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy,
Jamiah Kairoh: Dar Ulum, 1981, h. 27
15
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h. 103
14
22
              
    
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”.
4. Al-Ma’rūf dan al-Munkar
Al-ma’rūf merupakan segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada
Tuhan, sedangkan al-munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan
kita dari-Nya. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur‟an sūrah alImrān ayat 104 berikut:
         
     
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'rūf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
5. Fāhisyah
Istilah fāhisyah dalam al-Qur‟an menunjukan segala bentuk
kecurangan dan keburukan yang melampaui batas. Sebagaimana tertera
dalam al-Qur‟an sūrah al-A‟rāf ayat 80 berikut:
          
  
23
“Dan kami juga telah mengutus Luth kepada kaumnya. Ingatlah
tatkala ia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
fāhisyah (homoseksual) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang
pun (di dunia ini) sebelum kamu?”.
B. Hubungan Kekuasaan Tuhan dengan Perbuatan Manusia
Perbedaan pandangan mengenai perbuatan manusia terjadi di antara beberapa
aliran dalam Islam seperti Jabariyah, Qadariyah, Mu‟tazilah dan Asyariyah dalam
menyelesaikan persoalan mengenai kehendak Tuhan serta hubungannya dengan
perbuatan manusia. Pendapat mereka mengenai perbuatan manusia terbagi
menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa kehendak Tuhan meliputi segala hal
yang baik saja dan tidak menyuruh terhadap segala perbuatan yang buruk bagi
manusia. Oleh karena itu, kehendak Tuhan dalam aliran ini sama dengan perintah
Tuhan. Tuhan memerintahkan segala sesuatu yang menghasilkan kebaikan bagi
manusia bukan keburukan. Karena Tuhan hanya melakukan suatu kebaikan saja,
Tuhan tidak mungkin menciptakan perbuatan manusia karena dalam perbuatan
manusia mengandung dua unsur perbuatan yaitu perbuatan baik dan buruk. Oleh
sebab itu manusia merupakan pencipta dari perbuatannya dan berkehendak atas
segala perbuatannya.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa kehendak Tuhan meliputi segala hal
yang baik dan buruk di dunia ini, karena kebaikan dan keburukan yang ada di
dunia ini merupakan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu tersebut
terjadi, maka akan terjadilah. Oleh karena itu, perbuatan manusia pada hakikatnya
adalah perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia sehingga manusia tidak
memiliki kebebasan dalam perbuatannya karena terikat dengan kehendak Tuhan.
24
Kedua pendapat di atas merupakan pendapat yang dikemukakan oleh aliran
Qadariyah dan aliran Jabariyah dalam persoalan mengenai perbuatan manusia.
Aliran pertama yang membahas mengenai perbuatan manusia adalah
Qadariyah. Pendapat aliran Qadariyah mengenai perbuatan manusia adalah bahwa
manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam berbuat, sehingga manusia
dapat
menentukan
perjalanan
hidupnya
sendiri.
Selain
kebebasan
dan
kemerdekaan dalam berbuat, manusia juga dapat mewujudkan perbuatanperbuatannya dengan kekuatannya sendiri bukan karena kekuatan dari Tuhan.
Kesimpulan dari aliran ini, bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia
itu sendiri bukan perbuatan Tuhan. Karena Tuhan tidak ikut campur dalam
penciptaan perbuatan manusia. Dengan pendapatnya ini, aliran Qadariyah dikenal
dengan nama free will and free act dalam istilah Inggrisnya.
Aliran kedua yang membahas mengenai perbuatan manusia adalah Jabariyah.
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Aliran ini
berpendapat sebaliknya dari pendapat aliran Qadariyah mengenai perbuatan
manusia. Pendapatnya, bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan dalam segala kehendak dan perbuatannya. Karena dalam paham ini
kehendak manusia adalah kehendak mutlak Tuhan. Kesimpulan pendapat aliran
Jabariyah bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, sehingga Tuhan
berkehendak pada setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Dalam bahasa
Inggris paham ini dikenal dengan nama fatalism atau predestination.16
Kedua aliran ini, menyatakan pendapatnya mengenai perbuatan manusia
dengan bersandar penuh pada al-Qur‟an. Beberapa ayat menyatakan bahwa
16
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, h. 33
25
manusia serta perbuatannya merupakan ciptaan Tuhan, sehingga perbuatan
manusia sepenuhnya adalah perbuatan Tuhan. Adapun ayat yang lain di dalam alQur‟an yang menyatakan bahwa manusia diberikan tanggung jawab atas segala
perbuatan yang telah dilakukannya, sehingga dapat digambarkan bahwa manusia
adalah pencipta dari perbuatannya sendiri.17
Perdebatan mengenai manusia dalam perbuatannya tidak hanya sampai pada
aliran Jabariyah dan Qadariyah saja, akan tetapi perbincangan mengenai
perbuatan manusia berlanjut kepada aliran yang selanjutnya dalam ilmu kalam
yaitu aliran Asy‟ariyah dan aliran Mu‟tazilah. Walaupun bila kita uraikan
pendapatnya, tidak jauh beda dengan pendapat aliran yang sebelumnya mengenai
manusia dalam perbuatannya. Pendapat aliran Mu‟tazilah mengenai perbuatan
manusia tidak jauh beda dengan pendapat aliran Qadariyah, sedangkan aliran
Asy‟ariyah walaupun dengan menggunakan teori kasb akan tetapi pendapatnya
tidak jauh berbeda dengan pendapat aliran Jabariyah.18
a. Aliran Mu’tazilah
Wāsil bin „Ata adalah orang yang membangun aliran ini. Ia adalah seorang
syaikh al-Mu’tazilah wa qadilmuha yaitu ketua dari aliran Mu‟tazilah. Ia lahir
di Madinah pada tahun 81 H dan meninggal dunia pada 131 H. Di Madinah, ia
belajar kepada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah. Setelah
belajar di Madinah, ia pindah ke Basrah dan mengikuti pengajian yang
dibimbing oleh Hasan al-Basri.19
17
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 125
M. Yafis, “Pemikiran Kalam K.H. Abdullah Syafi‟ie,” (Disertasi Fakultas Pascasarjana,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 104-105
19
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 44
18
26
Kaum Mu‟tazilah adalah aliran yang membawa persoalan teologi secara
berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya. Karena aliran ini, membawa
persoalan teologi secara mendalam dan bersifat filosofis. Oleh karena itu,
aliran ini dikenal dalam dunia Islam dengan sebutan kaum rasionalis Islam.20
Pemberian nama “Mu‟tazilah” pada aliran ini memiliki cerita yang
bervariasi. Menurut al-Syahrastani pemberian nama Mu‟tazilah bermula dari
peristiwa yang dilakukan oleh Wāsil bin „Ata yaitu menjauhkan diri dari
permasalahan dosa besar yang dibahas dalam pengajian yang diadakan oleh
Hasan al-Basri di Basrah. Sebagian aliran berpendapat bahwa pelaku dosa
besar itu kafir, dan sebagian lainnya berpendapat bahwa pelaku dosa besar
masih mukmin. Namun Wāsil mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukanlah
kafir atau mukmin, akan tetapi pelaku dosa besar memiliki posisi di antara
kafir dan mukmin yaitu fasiq. Oleh karena itu, Wāsil beserta teman-temannya
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri. Dengan demikian Wāsil beserta temantemannya disebut sebagai aliran Mu‟tazilah.
Menurut al-Bagdadi pemberian nama Mu‟tazilah bermula dengan diusirnya
Wāsil beserta teman-temannya oleh Hasan al-Basri dari Majlisnya karena
adanya pertikaian di antara mereka mengenai pelaku dosa besar. Wāsil dan
teman-temannya menjauhkan diri dari persoalan umat Islam yang dibahas oleh
Hasan mengenai pelaku dosa besar.21 Persoalan pemberian nama Mu‟tazilah
dari kata „itazala ya’tazilu adalah pemberian yang diberikan oleh orang dari
luar kelompok Mu‟tazilah. aliran Mu‟tazilah sendiri sebenarnya telah
memberikan nama untuk kelompoknya dengan sebuatan ahlu al-‘adl wa al20
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 2011, h. 40
21
Harun nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 38
27
tauhīd. Nama ini diambil dari lima prinsip pokok yang diajarkan aliran ini
yaitu al-‘adl dan al-tauhīd. Namun mereka tidak keberatan jika mereka ini
dikenal dengan sebutan aliran Mu‟tazilah dari pada Ahlu al-Adl wa alTauhīd.22
Kaum Mu‟tazilah ini memiliki lima doktrin pokok yang terkenal dengan
sebutan al-Ushūl al-Khomsah. Lima doktrin tersebut di antaranya adalah; alTauhīd (mengesakan Tuhan), al-Adl (keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’īd
(janji dan ancaman), al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua
tempat untuk pelaku dosa besar), Al-Amr bi al-ma’rūf wa al-Nahy ‘an almunkar (perintah melaksanakan perbuatan baik dan larangan untuk berbuat
kemungkaran).23 Yang menyusun semua prinsip-prinsip di dalam ajaran aliran
Mu‟tazilah adalah Abu al-Hasan Al-Khayyāt. Ia adalah seorang tokoh generasi
awal dari aliran Mu‟tazilah. Lima prinsip tersebut telah disetujui oleh semua
pengikut aliran ini.24
Banyak sekali persoalan-persoalan dalam teologi yang dibahas oleh aliran
ini. Seperti persoalan mengenai akal dan wahyu, fungsi wahyu, free will dan
predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan,
perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, serta konsep iman. Semua hal
tersebut tidak hanya dibahas oleh aliran Mu‟tazilah, akan tetapi aliran-aliran
yang lain dalam Islam juga membahas persoalan-persoalan tersebut. Namun
saat ini, persoalan yang ditulis dan dijelaskan hanyalah mengenai manusia dan
perbuatannya serta hubungan kehendak Tuhan terhadap perbuatan manusia.
22
Mawardy Hatta, “Aliran Mu‟tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam”, Ilmu
Ushuluddin Vol. 12, No. 1 (Januari 2013): h. 90
23
Mawardy Hatta, “Aliran Mu‟tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam”, h. 95-96
24
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001,
h. 18
28
1. Hakikat Perbuatan
Perbuatan manusia merupakan salah satu bagian dari lima prinsip
aliran ini yaitu al-adl (keadilan). Al-adl (keadilan) adalah prinsip yang
kedua dari lima prinsip dasar dalam ajaran Mu‟tazilah. Keadilan
dalam ajaran Mu‟tazilah membicarakan hubungan Tuhan dengan
perbuatan-perbuatan manusia termasuk perbuatan baik dan perbuatan
buruk.
Pendapat aliran Mu‟tazilah mengenai asal terbentuk atau
terciptanya perbuatan adalah dari diri manusia itu sendiri bukan
berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu, manusia menurut aliran ini
merupakan pencipta bagi perbuatannya. Jika Tuhan yang menciptakan
perbuatan manusia, maka manusia tidak akan diberikan siksaan
maupun pahala atas perbuatannya. Selain itu, jika perbuatan manusia
terjadi berdasarkan qada dan qadar Tuhan, maka Tuhan telah
meridhai manusia yang kafir itu menjadi kafir. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Tuhan. Jika Tuhan
yang menciptakan perbuatan manusia, maka tidak ada gunanya Tuhan
mengirim seorang rasul kepada manusia. Karena, manusia tidak
memiliki kebebasan dalam perbuatannya untuk mengikuti petunjukpetunjuk yang telah diberikan Rasul-Nya. Tuhan tidak mungkin
menciptakan perbuatan manusia dan menyiksa manusia atas perbuatan
yang telah Tuhan ciptakan. Dengan memaksa manusia yang baik
berbuat maksiat sehingga manusia tersebut mendapat siksa, dan
29
memberikan pahala kepada manusia yang telah berbuat zalim. Ini
merupakan hal yang mustahil dilakukan oleh Tuhan.
Untuk memperkuat pendapatnya bahwa perbuatan manusia pada
hakikatnya adalah perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Aliran
ini menunjukkan pembuktiannya dengan menggunakan argumenargumen
rasional
dan
ayat-ayat
rasionalnya diumpamakan
al-Qur‟an.
seseorang telah
Dalam
argumen
melakukan sebuah
perbuatan yang baik bagi orang lain, maka orang yang diberikan
kebaikannya tersebut akan berterima kasih kepada orang yang berbuat
baik. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang melakukan perbuatan
yang buruk maka orang lain pasti merasa tidak senang dengan
perbuatan yang dilakukannya. Dengan begitu rasa terima kasih dan
tidak senang manusia tersebut ditunjukkan kepada manusia itu sendiri.
Jika perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan maka rasa terima
kasih dan tidak senang manusia ditunjukkan kepada Tuhan dan bukan
manusia.25 Dalam al-Qur‟an yang memperkuat argumennya bahwa
perbuatan manusia pada hakikatnya bukanlah perbuatan Tuhan, akan
tetapi perbuatan manusia yang tertera dalam sūrah al-Sajdah ayat 7
sebagai berikut:
    
“ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaikbaiknya”.
25
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 105
30
Ayat di atas menjelaskan bahwa semua perbuatan Tuhan adalah
baik. Karena manusia memiliki perbuatan yang terdiri dari perbuatan
baik dan buruk dalam dirinya, maka perbuatan manusia bukanlah
perbuatan Tuhan.26 Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1
Hakikat Perbuatan Manusia Menurut Mu‟tazilah
Kebaikan
Tuhan
Keburukan
Manusia
Kebaikan
Perbuatan
Manusia pada
hakikatnya
bukan
perbuatan
Tuhan akan
tetapi
perbuatan
manusia
Menurutnya, Perbuatan manusia adalah murni perbuatan manusia
bukan perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, daya yang digunakan untuk
mewujudkan perbuatan manusia adalah daya yang berasal dari diri
manusia itu sendiri bukan Tuhan. Jadi, paham Mu‟tazilah ini
menyatakan bahwa kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan
manusia adalah daya dan kemampuan manusia.27
Mengenai irādah Tuhan, aliran ini mengatakan bahwa kehendak
Tuhan sama dengan perintah-Nya kepada manusia. Semua irādah
26
27
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 106
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 105
31
Tuhan wajib diperintahkan kepada manusia dan Tuhan berkehendak di
dalamnya, maka semua perintah yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia merupakan irādah Tuhan. Dengan demikian kehendak Tuhan
merupakan perintah dan setiap perintah yang diberikan oleh Tuhan
kepada manusia membawanya kepada kebaikan. Lalu bagaimana
dengan keburukan yang terjadi di alam ini seperti adanya berbagai
macam perbuatan kafir dan maksiat. Dalam hal ini, aliran Mu‟tazilah
mengatakan bahwa Tuhan tidak menginginkan kekafiran dan
kemaksiatan terjadi di alam ini karena Tuhan tidak menyuruh manusia
untuk melakukan kekafiran dan kemaksiatan. Seperti yang telah
disebutkan dalam firman-Nya pada sūrah al-A‟rāf ayat 28 dan sūrah
an-Nahl ayat 90 sebagai berikut:


      
“Katakanlah: Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan)
perbuatan yang keji”.
         

      
  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Oleh karena itu, segala keburukan dan kekafiran yang terjadi di
alam ini bukan termasuk kehendak Tuhan karena kehendak Tuhan
menolak segala keburukan dan kekafiran. Kafir dan maksiat yang
32
terjadi di dunia ini bukan berasal dari perbuatan dan kehendak Tuhan,
akan tetapi berasal dari perbuatan dan kehendak manusia.28
Aliran ini mengatakan bahwa irādah Tuhan hanya terkait pada
perbuatan-perbuatan yang baik saja. Hal tersebut dapat dilihat dari
pendirian aliran ini bahwa Tuhan hanya menghendaki tindak laku
kebaikan pada manusia itu supaya ada dan tindak laku keburukan pada
manusia itu tiada. Oleh karena itu, setiap manusia harus mematuhi
perintahnya seperti salat, zakat, mengesakan Tuhan, dan beriman
kepada Rasul. Karena setiap perintah yang Tuhan berikan kepada
manusia merupakan sesuatu yang selalu baik dan tidak mungkin
Tuhan memerintahkan manusia kepada suatu hal yang tidak baik.
Tuhan tidak menghendaki kedurhakaan, perbuatan syirik, dan
kekafiran. Hal tersebut dilakukan manusia bukan atas irādah Tuhan
akan tetapi disebabkan oleh kemauan bebas yang telah Tuhan
anugerahkan kepada manusia.29 Hubungan irādah Tuhan dengan
perbuatan manusia dapat digambarkan sebagai berikut:
28
Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyatu al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy,
h. 43
29
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran ‘Itizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam,
Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, 1982, h. 77
33
Gambar 1.2
Hubungan Irādah Tuhan dengan Perbuatan Manusia
Menurut Mu‟tazilah
Tuhan
Perbuatan
Manusia
Kebaikan
Perintah
Mu‟tazilah memperkuat pendapat-pendapatnya mengenai irādah
Tuhan dengan menggunakan dalil akal dan dalil naql. Pendapatnya
mengenai irādah Tuhan yang dibuktikannya dengan menggunakan
dalil akal adalah: Pertama, jika Tuhan telah menghendaki kekafiran
niscaya manusia tersebut akan kafir. Bayangkan jika Tuhan
menghendaki kekafiran pada seorang manusia, kemudian
Ia
memerintahkannya agar jangan menjadi kafir. Ini merupakan sesuatu
yang mustahil bagi Tuhan. Kedua, jika kekafiran seorang yang kafir
itu dikehendaki oleh Tuhan maka orang tersebut tidak akan
memperoleh siksa. Justru ia akan memperoleh pahala karena telah
mentaati kehendak Tuhan.30
30
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran ‘Itizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 79
34
Pengukuhan pendapatnya dengan menggunakan dalil naql
mengenai irādah Tuhan, sebagaimana tertera dalam Al-Qur‟an sūrah
al-Fushshilat ayat 46 berikut:
    
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhan mu Menganiaya hambahambaNya”.
Selain ayat di atas ada ayat lain yang menjelaskan bahwa Tuhan
tidak mungkin berbuat zalim kepada hamba-Nya yang tertera dalam
sūrah an-Nisā ayat 40, sebagai berikut;
  
         
    
“Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walau pun
sebesar Zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar Zarrah, niscaya Allah
akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang
besar”.31
Demikian ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan tidak mungkin
menyiksa hamba-Nya walaupun hanya sebesar biji Zarrah, bahkan
Tuhan melipatgandakan kebajikan yang diperbuat oleh hamba-Nya
walaupun hanya sebesar biji Zarrah.
2.
Kebebasan Manusia
Dalam sistem teologi aliran Mu‟tazilah manusia dipandang
mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, aliran ini
31
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Tentang Persamaan dan Perbedaan
dengan Al-Asy’ari, h. 102-103
35
menganut paham Qadariyah atau free will. Aliran ini memiliki tulisantulisan serta keterangan-keterangan yang mengandung paham bahwa
manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, sehingga manusia harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di akhirat kelak.32
Mereka menyatakan bahwa qodrat yang telah Tuhan berikan
kepada manusia tidak memiliki hubungan dengan irādah Tuhan. Jadi,
jika manusia melakukan sebuah perbuatan maka perbuatan tersebut
dilakukan atas kekuasaannya sendiri. Baik dan buruk berada di tangan
manusia bukan datang dari Tuhan. Segala daya dan upaya datangnya
dari manusia itu sendiri dan segala sesuatu perbuatan diciptakan
dengan kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu pendapat aliran
Mu‟tazilah mengenai kebebasan manusia dalam berbuat identik
dengan pendapat aliran Qadariyah.33
Manusia
menurut
pandangan
aliran
Mu‟tazilah
memiliki
kebebasan dalam perbuatannya. Karena perbuatannya terjadi, sesuai
dengan kehendak manusia itu sendiri. Jika manusia ingin melakukan
sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi. Sebaliknya, jika manusia tidak
ingin melakukan sesuatu maka sesuatu itu tidak akan terjadi. Apabila
Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, maka segala sesuatu
yang tidak diinginkan manusia akan diperbuatnya. Begitu pun
32
33
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 103
Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), Jakarta: Tintamas, 1966, h. 49
36
sebaliknya, sesuatu yang manusia inginkan tidak akan pernah terjadi
jika perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan.34
Menurut aliran Mu‟tazilah gerak yang berada dalam diri manusia
terdiri dari dua jenis gerak yaitu gerak secara sadar dan gerak secara
tidak sadar. Gerak secara sadar adalah gerak yang tunduk kepada
kemauan dan kebebasan manusia, sedangkan gerak secara tak sadar
adalah gerak yang terjadi di luar kemauan dan kebebasan manusia.
Seperti halnya dalam bidang hukum, ada namanya pembunuhan
secara sengaja dan pembunuhan secara tidak sengaja. Oleh karena itu,
aliran ini memiliki prinsip kemauan bebas manusia serta gerak secara
sadar yang telah dilakukannya merupakan ciptaan dari kodratnya
sendiri bukan dari Tuhan. Sebab inilah manusia diberikan beban untuk
bertanggung jawab atas semua perbuatannya.35
Dalil al-Qur‟an yang memperkuat pendapat aliran ini bahwa
manusia memiliki pilihan atau kebebasan dalam perbuatannya
terdapat dalam sūrah al-Kahf ayat 29 sebagai berikut:
 …      
“Barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan
barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir".
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diberikan kebebasan
dalam memilih di antara dua pilihan di atas yaitu pilihan untuk
beriman atau untuk tidak beriman (kafir). 36
34
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 105
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 83
36
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 84
35
37
b. Aliran Asy’ariyah
Nama Asy‟ariyah diberikan dalam aliran ini, karena Asy‟ariyah adalah
aliran yang mengikuti dan menganut ajaran imam Asy‟ari. Abu Musa al-Asy‟ari
adalah seorang tokoh yang mendirikan aliran ini. Ia lahir di Basrah pada tahun
260 H dan wafat pada tahun 324 H di Baghdad.37
Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dianut kaum
Mu‟tazilah, karena kaum Mu‟tazilah merupakan aliran yang membahas
persoalan teologi dengan mengandalkan kekuatan akal. Oleh karena itu, aliran
Asy‟ariyah ini menyelesaikan persoalan teologi tidak hanya dengan akal saja,
akan tetapi dengan al-Qur‟an dan hadits nabi Muhammad SAW.38 Aliran
Asy‟ariyah ini bisa disebut juga sebagai aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah
karena memiliki kesamaan di antara keduanya. Kesamaan di antara aliran
Asy‟ariyah dan Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah ialah sama-sama mengemukakan
dalil dan alasan dengan menggunakan dalil akal dan naql. Jadi aliran ini tidak
menganggap akal sebagai hakim atas nas-nas agama dalam menta‟wilkan dan
melampaui ketentuan arti lahirnya, akan tetapi sebagai penguat arti dari nash
agama.39
Sebenarnya penyebutan Ahl al-Sunnah telah dipakai sebelum lahirnya aliran
Asy‟ariyah yaitu aliran yang memecahkan suatu peristiwa dengan mengambil
sumber dari al-Qur‟an dan hadits.40 Aliran ini, telah ada sejak zaman sahabat
hingga Tābi‟īn yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits. Oleh karena itu,
37
A. Kadir Sobur, “Teologi „Poros Tengah‟ Satu Kajian Terhadap Af‟al al-Ibād dalam
Pemikiran Kalam Al-Asy‟ari,” Media Akademika Forum Ilmu dan Budaya Islam Vol. 17, No. 3
(Juli 2002): h. 200
38
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 62
39
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT Al-Husan Zikra, 2001, h. 111
40
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam,, h. 114
38
aliran Asy‟ariyah ini bukanlah aliran yang baru. Hal ini terjadi, karena pada
masa munculnya aliran Asy‟ariyah, nama Ahl al-Sunnah belum populer dan
terkenal di kalangan masyarakat.41
1. Hakikat Perbuatan
Asy‟ariyah menolak pendapat Mu‟tazilah yang mengatakan bahwa
Tuhan hanya menghendaki perbuatan baik saja, hal ini bertentangan dengan
kesepakatan kaum Muslimin yang meyakini apa yang dikehendaki Tuhan maka
akan terjadi dan apa yang tidak Tuhan kehendaki niscaya tidak akan terjadi.42
Dalam al-Qur‟an dijelaskan mengenai kehendak Tuhan sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Asy‟ariyah pada sūrah al-Insān ayat 30 berikut:
      
“Dan kamu tidak mampu menempuh jalan itu, kecuali bila dikehendaki
Allah.”
Tidak hanya ayat di atas saja yang menjelaskan bahwa kehendak Tuhan
meliputi segala yang ada di dunia ini, adapun beberapa ayat lain yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan niscaya akan
terwujud sebagaimana berikut: “Seandainya Aku kehendaki, niscaya Aku
berikan kepada setiap jiwa petunjuk untuknya” (QS. As-Sajdah: 13), “ Dan jika
Tuhan menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman” (QS.
Yūnus: 99), dan “Dan seandainya Allah kehendaki, maka tidaklah mereka
saling berbunuh-bunuhan” (QS. Al-Baqarah: 253). Maka telah dikabarkan
bahwa pembunuhan tidak akan terjadi jika Tuhan tidak menghendaki, akan
41
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam,, h. 115
Abu al-Hasan al-Asy‟ari, Ajaran-Ajaran Asy’ari. Penerjemah: Afif Mohammad dan H.A.
Solihin Rasyidi, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman Institut Teknologi Bandung, 1986, h. 6
42
39
tetapi bila telah dikehendaki maka akan dilakukannya. Ayat-ayat al-Qur‟an di
atas jelas menunjukkan bahwa jika Tuhan tidak menghendaki sesuatu, maka
sesuatu itu tidak akan terjadi.43 Termasuk perbuatan baik dan perbuatan buruk
yang dimiliki oleh manusia terwujud karena adanya kehendak dari Tuhan.
Gambar 1.3
Hakikat Perbuatan Manusia Menurut Asy‟ariyah
Tuhan
Baik
Buruk
Perbuatan manusia
pada hakikatnya
merupakan perbuatan
Tuhan
Manusia
Uraian di atas dapat menyimpulkan bahwa perbuatan manusia pada
hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan, menurut aliran Asy‟ariyah. Oleh
karena itu, aliran ini menolak pendapat yang dijelaskan oleh aliran Mu‟tazilah
bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Karena menurut
aliran Asy‟ariyah pendapat aliran Mu‟tazilah itu bertolak belakang dengan
Firman Tuhan dalam al-Qur‟an sūrah Hūd ayat 107 yaitu;
     
43
Abu Hasan al-Asy‟ari, Kitāb al-Luma’, T.tp.: T.pn., 1955, h. 58
40
“Sesungguhnya Tuhan mu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak
atau kemampuan dalam perbuatannya, karena segala perbuatannya berdasarkan
kepada kehendak Tuhan. Dengan demikian aliran ini mengatakan bahwa
perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan. Perbuatan baik maupun buruk,
keduanya merupakan ciptaan Tuhan. Hubungan kehendak Tuhan dengan
perbuatan manusia dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.4
Hubungan Kehendak Tuhan dengan Perbuatan Manusia Menurut Asy‟ariyah
Tuhan
Perbuatan
Manusia
Baik
Buruk
Halnya keimanan dan kekafiran merupakan ciptaan Tuhan, sehingga
manusia mengetahui bahwasanya keimanan itu baik dan kekafiran itu buruk.
Bagaimana semisalnya jika bukan Tuhan yang menciptakan keimanan dan
kekafiran, maka pastilah orang kafir akan menganggap kekafiran itu sebagai
sesuatu hal yang baik dan keimanan sebagai sesuatu yang buruk. Kesimpulan
yang dapat diambil dari uraian di atas aliran Asy‟ariyah ini berpendapat bahwa
hakikat perbuatan sebenarnya adalah perbuatan Tuhan bukan manusia, karena
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia. pada diri manusia akan tetapi
41
Tuhan lah yang menciptakan perbuatan manusia.44 Sedangkan daya yang
digunakan dalam perbuatan manusia adalah daya Tuhan dan bukan daya
manusia. Tuhan hanya memberikan satu daya untuk satu perbuatan yang telah
terjadi pada diri manusia dan untuk perbuatan yang lainnya dibutuhkan daya
yang lainnya pula.45
Iman Al-Asy‟ari menyebut perbuatan manusia dengan sebutan kasb.
Terjadinya kasb yang sebenarnya itu dengan perantaraan kekuatan yang
diciptakan pada orang yang memperoleh daya. Dengan demikian Al-Asy‟ari
berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diciptakan dengan dirinya sendiri,
akan tetapi diciptakan oleh Tuhan.46
2. Kebebasan Manusia
Dalam persoalan mengenai perbuatan manusia, aliran ini menyelesaikan
persoalan tersebut dengan menggunakan kasb. Kasb menurut paham Qadariyah
adalah perbuatan yang dilakukan atau yang dipilih oleh manusia itu sendiri.
Bukan ciptaan, kehendak dan keinginan Tuhan. Sedangkan menurut paham
Jabariyah,
manusia
tidak
memiliki
kemampuan
untuk
mewujudkan
perbuatannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Jadi paham ini
mengatakan bahwa segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada
hakikatnya berasal dari Tuhan.47
Teori kasb ini digunakan oleh Asy‟ari untuk memecahkan persoalan
mengenai perbuatan manusia. Aliran ini, menyaksikan mengenai perbedaan
44
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Tentang Persamaan dan Perbedaan
dengan Al-Asy’ari, h. 103
45
Abu Hasan al-Asy‟ari, Kitāb al-Luma’, h. 57
46
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir,
Penerjemah: Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2014, h. 324
47
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 338
42
pendapat antara aliran Jabariyah dan Qadariyah dalam persoalan perbuatan
manusia. Aliran Jabariyah mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan
perbuatan
manusia
dan
manusia
dipaksa
dalam
melakukan
segala
perbuatannya. Dalam hal ini, manusia tidak diberikan kebebasan dan
kemerdekaan dalam perbuatannya. Sedangkan aliran Qadariyah memiliki
pendapat yang sebaliknya dari aliran Jabariyah. Pendapat aliran Qadariyah,
bahwa manusia yang telah menciptakan perbuatannya sendiri dengan daya
yang telah diberikan Tuhan. Sehingga manusia memiliki kebebasan dan
kemerdekaan dalam berkehendak dan tidak ada unsur paksaan di dalamnya.
Melihat hal ini, Asy‟ariyah tidak memihak kepada aliran manapun mengenai
persoalan perbuatan manusia. Justru aliran ini mengemukakan pendapatnya
sendiri mengenai persoalan perbuatan manusia dengan memilih jalan tengah di
antara kedua aliran tersebut. Pendapat Asy‟ariyah mengenai perbuatan manusia
adalah bahwa manusia tidak dapat menciptakan perbuatannya sendiri, akan
tetapi manusia dapat melakukan kasb.48
Imam al-Asy‟ari menyatakan bahwa kasb merupakan suatu perbuatan
yang terjadi dengan adanya daya baru. Dan orang yang melakukan sebuah
perbuatan dengan daya yang lama disebut fâ’il atau khāliq. Jika perbuatan itu
dilakukan dengan daya yang baru maka orang tersebut disebut dengan
muktasib.49
Yang di maksud dengan teori kasb yang diajukan oleh aliran Asy‟ariyah
dalam menyelesaikan persoalan perbuatan manusia disebut sebagai hak guna
pakai. Pokok pikiran di dalam teori kasb yang diajukan oleh aliran ini di
48
A. Kadir Sobur, “Teologi ‘Poros Tengah’ Satu Kajian Terhadap Af’al al-Ibād dalam
Pemikiran Kalam Asy’ari”, h. 203
49
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 339
43
antaranya: ketika Tuhan menganugerahkan kodrat kepada manusia. Kodrat
tersebut merupakan milik mutlak bagi Tuhan, akan tetapi manusia memiliki
kebebasan dalam menggunakan kodrat yang telah Tuhan berikan dalam
perbuatannya.
Sehingga
manusia
diberikan
pertanggungjawaban
atas
perbuatannya. Namun hak guna pakai tersebut dapat dicabut dalam beberapa
waktu. Seperti halnya cerita nabi Ibrahim yang dibakar dengan api, akan tetapi
api yang membakar tubuhnya tidak panas melainkan sebaliknya menjadi dingin
dan tidak membakarnya.50
Contoh yang lainnya mengenai teori kasb ini. Misalkan anda ingin
melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Ciamis. Ketika anda hendak
melakukan perjalanan tersebut, anda pasti akan memilih transportasi apa yang
akan anda kenakan apakah dengan mobil bus atau dengan kereta api. Setelah
anda menetapkan pilihan anda dengan menggunakan kereta api. Lalu anda
melakukan perjalanan dengan kereta api. Di dalam perjalanan tersebut anda
melakukan kegiatan seperti melihat pemandangan alam, tidur, makan dan lain
sebagainya. Dan akhirnya anda tiba di tujuan. Kodrat yang telah mengantarkan
anda dari Jakarta menuju Ciamis adalah kodrat kereta api bukan kodrat anda.
Anda dan orang lain akan menganggap bahwa yang berangkat adalah diri anda
bukan kereta. Kebenarannya yang telah berangkat itu bukan anda akan tetapi
kereta apinya. Sekalipun begitu anda memiliki hak guna pakai dengan
membayar ongkos perjalanan kereta api tersebut, sehingga gerak kereta api
tersebut identik dengan gerak yang telah anda lakukan secara keseluruhan.
50
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 96
44
Tanpa sadar, anda dan orang di sekitar anda akan menganggap bahwa anda
yang telah berangkat bukan keretanya.51
Ayat al-Qur‟an yang menggambarkan mengenai kejadian di atas terdapat
dalam sūrah al-Anfal ayat 17 sebagai berikut;
             
 
    
“Maka yang sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar. (Allah berbuat
demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan
kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik”.
Kesimpulan dari pemikiran aliran Asy‟ariyah ini mengenai perbuatan
manusia bahwa manusia tidak mungkin menciptakan perbuatannya sendiri,
karena hanya Tuhan lah yang dapat menciptakan perbuatan manusia. Namun
manusia berkuasa dalam memperoleh daya yang diciptakan oleh Tuhan, akan
tetapi daya yang diperoleh manusia pada hakikatnya tidak menentukan
perbuatannya. Hal tersebut dapat digambarkan dalam contoh sebagai berikut:
ada dua orang yang akan mengangkat karung beras. Yang satu dapat
mengangkat
karung
beras
tersebut,
dan
yang
lainnya
tidak
dapat
mengangkatnya. Jika keduanya mengangkat satu karung beras tersebut secara
bersamaan, maka karung tersebut akan terangkat. Namun bukan berarti yang
tidak sanggup mengangkat karung tersebut tidak menyumbangkan tenaganya.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam satu perbuatan memiliki dua
pembuat yaitu Tuhan dan manusia, sehingga jelas terlihat berdasarkan contoh
51
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 97
45
di atas bahwa daya Tuhan lebih efektif dari pada daya manusia dalam
menciptakan perbuatan.
Asy‟ari menyetujui jika perbuatan manusia dan kasb adalah ciptaan
Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan merupakan pelaku sebenarnya dalam
menjadikan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan manusia merupakan
tempat berlakunya perbuatan Tuhan. Dalam hal ini manusia bagaikan wayang
yang dikendalikan oleh dalangnya (Tuhan) atau dengan kata lain Tuhan
merupakan penggerak dan manusia merupakan badan yang digerakan. Sebab
badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani, sedangkan
Tuhan mustahil memiliki tempat yang bersifat jasmani tersebut. Hal inilah
yang menyebabkannya memiliki pendapat yang sama dengan aliran Jabariyah.
Jadi menurut aliran Asy‟ariyah manusia tidak memiliki kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Karena Tuhan memiliki kehendak dalam perbuatan
manusia.
Mengenai kehendak Tuhan, Asy‟ari menegaskan bahwa Tuhan
menghendaki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Berikut ini adalah ayat yang
dipakai Asy‟ari dalam memperkuat pendapatnya yang tercantum dalam sūrah
al-Insān ayat 30 sebagai berikut;
     
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah”.
Dari ayat di atas jelas bahwa manusia tidak dapat menghendaki segala
sesuatu kecuali jika Tuhan telah menghendaki manusia akan sesuatu tersebut.
Manusia menurut aliran ini tidak memiliki kebebasan dalam kehendaknya
46
untuk berbuat karena kehendak yang berada di dalam diri manusia tak lain
adalah kehendak Tuhan.52
Kesimpulannya, Tuhan menghendaki adanya perbuatan baik dan adanya
perbuatan buruk. Karena keduanya merupakan ciptaan Tuhan yang telah
dikehendaki. Seperti hal ayat di atas yang menyatakan bahwa jika Tuhan
menghendaki sesuatu maka sesuatu tersebut akan terwujud. Sebaliknya jika
Tuhan tidak menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tidak akan terwujud.
Perbuatan baik dan buruk ada karena irādah Tuhan.
52
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 110
BAB III
BIOGRAFI DAN KARYA IBN TAIMIYAH
A. Riwayat Hidup Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah adalah seorang ulama besar yang terkenal dengan sebutan
Syaikh al-Islām, Mufti al-Umat. Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqīy al-Dīn
Abū al-Abbās Ahmad Ibn Syaikh al-Imām al-Allāmah Syīhāb al-Dīn Abī al-Mahāsīn
Abd al-Halīm Ibn Syaikh al-Imām al-Allāmah Syaikh al-Islām Majd al-Dīn Abī alBarakat Abd al-Salām Ibn Abī Muhammad Abd Allāh Ibn Abī al-Qāsim al-Khidr Ibn
Muhammad ibn al-Khidr ibn Alī Ibn Abd Allāh Ibn Taymiyah al-Harāni.1
Asal mula sebutan “Taimiyah” pada namanya berasal dari perjalanan yang
ditempuh oleh kakeknya yang bernama Muhammad al-Khidr ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji dengan melewati jalan Taima‟. Setelah melakukan ibadah
haji, Muhammad al-Khidr kembali ke rumah dan mendapati istrinya telah melahirkan
seorang anak perempuan. Anak perempuan itu diberi nama Taimiyah oleh
Muhammad al-Khidr untuk mengenang jalan yang telah dilaluinya ketika
melaksanakan ibadah haji, sedangkan keturunan Taimiyah disebut dengan Ibn
Taimiyah.2
Ahmad Taqīyuddîn atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ibn Taimiyah
adalah seorang putra dari keluarga Syria kelahiran Haran. Ibn Taimiyah dilahirkan
pada hari Senin tanggal 10 Robiul Awal 661 H atau 22 Januari 1263 M di Haran
1
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, h.
546
2
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008,
h. 296
47
48
sebelah timur laut Negara Turki, merupakan tempat yang menjadi pusat terpenting
agama-agama di dunia. Pada saat kelahirannya, terjadi penyerbuan tentara Mongol ke
negara-negara Islam di Timur Tengah yang dipimpin oleh Jendral Hulako setelah
kurang lebih dari tiga tahun. Karena situasi perang ini, Ibn Taimiyah dan ayahnya
menjadi buronan para tentara Mongol. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah dibesarkan oleh
ayahnya dengan berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya.3
Ibn Taimiyah dikenal sebagai orang yang sangat menghargai waktu. Ia adalah
orang yang memiliki rasa tidak puas terhadap berbagai bidang pengetahuan. Buku
merupakan temannya di setiap tempat dan waktu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah
memiliki perbedaan saat kecil dengan anak-anak yang lain pada masanya. Anak-anak
yang lainnya senang bermain-main, sedangkan Ibn Taimiyah tidak suka bermainmain karena ia lebih menyukai belajar dan menghafal kitab yang dapat memberikan
manfaat baginya. Sehingga tidak mengherankan jika ia telah menghasilkan fatwafatwa serta mengajar di usianya yang masih muda.4
Ayahnya bernama Syihāb al-Dīn Abd Halīm Ibn Abd al-Salām. Ia dilahirkan
di Haran pada tahun 627 H. Abd al-Halīm bin Abd al-Salām Syihābuddīn ini pertama
kali belajar mengenai mazhab Hanbali dari ayahnya yaitu Abdussalam. Selain dari
ayahnya, ia juga belajar kepada beberapa guru lainnya. Ia mendalami mazhab
Hanbali dan menguasainya,5 sehingga ia menjadi seorang ulama dalam madzhab
Hanbali. Selain ulama, ia merupakan seorang khatib dan imam besar di masjid Agung
3
Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara. Penerjemah: K.H. Firdaus A.N., Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1989, h. 243
4
Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf. Penerjemah: Masturi Ilham dan Asmu‟I Taman,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, h. 781
5
Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, Penerjemah: M. Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 204
49
Damaskus. Peranan Syihāb al-Dīn dalam ranah pendidikan adalah mengajar sebagai
dosen Tafsir dan Hadits serta menjadi direktur di lembaga pendidikan Islam madzhab
Hanbali. Ia wafat pada tahun 683 H di Damaskus.
Ibn Taimiyah tumbuh sebagai seorang pengajar tradisi Hanbali yang sangat
menekankan kajian-kajian literalis terhadap nash-nash agama. Corak kepribadiannya
yang digabungkan dalam kondisi umat Islam masa itu yaitu disintegrasi politik Islam,
yang melahirkan sikap tegar dalam setiap pemikiran Ibn Taimiyah. Karya-karya yang
dipandang radikal telah lahir dari tangan Ibn Taimiyah mengenai seluruh pondasi
pemikiran Islam yang menurutnya sudah tidak didasari oleh al-Qur‟an maupun
Hadits. 6
Ibn Taimiyah adalah orang selalu mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Namun ada satu Sunnah Nabi yang belum ia laksanakan yaitu menikah. Dalam
berbagai sumber yang membahas mengenai riwayat hidup Ibn Taimiyah, tidak ada
cerita bahwa ia telah menikah. Hal ini disebabkan, karena kesibukannya yang telah ia
lakukan sepanjang hidupnya dengan melakukan perdebatan satu ke perdebatan yang
lainnya, dari berperang di satu tempat ke tempat lainnya, dan masuk penjara beberapa
kali.
Ibn Taimiyah diberi hukuman ditahan dalam penjara oleh raja Naser karena
mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh Nabi
beserta para sahabatnya dan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang telah
diajarkan para ulama. Karena tuduhan inilah Ibn Taimiyah ditahan. Ia tidak hanya
6
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawārij ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi, h. 187
50
sekali saja merasakan hidup di tahanan, akan tetapi ia telah masuk penjara selama tiga
kali. Setelah ia merasakan siksaan batin yang amat pedih yang menyebabkan kondisi
badannya lemah dan termakan oleh usia. Ibn Taimiyah jatuh sakit di dalam penjara
dan tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Ia jatuh sakit selama 20
hari sampai akhirnya ia wafat pada tanggal 27 Syawal 728 H di dalam penjara.7
B. Perjalanan Intelektual
Di usianya yang ke-enam tahun, Ibn Taimiyah beserta kedua saudaranya
dibawa oleh ayahnya ke Damaskus untuk menghindar dari kejaran para tentara
Mongol. Di Damaskus, Ibn Taimiyah mendalami serta mempelajari berbagai macam
cabang pengetahuan keislaman dari para ulama yang berada di sana.8
Di usia tujuh tahun, Ibn Taimiyah mengawali perjalanan intelektualnya di
Damaskus. Di Damaskus ini, Ibn Taimiyah belajar di beberapa madrasah yang
diselenggarakan para penganut madzhab Hanbali. Madrasah-madrasah yang didirikan
oleh penganut madzhab Hanbali di antaranya adalah madrasah Jauziyah, madrasah
Umariyyah, serta madrasah Sukariyyah. Madrasah Sukariyyah ini dipimpin oleh
ayahnya sendiri dan di madrasah ini Ibn Taimiyah mengawali perjalanan
intelektualnya.9
Ibn Taimiyah mulai mempelajari agama dengan belajar membaca dan
menghafal al-Qur‟an. Selain membaca dan menghafal al-Qur‟an, Ibn Taimiyah
7
Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 245-246
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,
1992, h. 384
9
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawārij ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi, h. 186
8
51
membaca kitab-kitab Hadits. Ia mempelajari al-Kutub al-Sittah, Mu’jam al-Tabrānī,
dan Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal secara berulang-ulang. Semua Hadits yang
telah ia baca berulang-ulang tidak pernah dilupakan dalam ingatannya, sehingga
pengetahuan Ibn Taimiyah mengenai Hadits diakui banyak ulama. Selain belajar
mengenai Hadits, Ibn Taimiyah belajar mengenai Fiqh dan Ushul Fiqh pada ayahnya
dan belajar tata bahasa Arab dari Ibn al-Qāwi (seorang penulis kitab Iqd al-Farīd).10
Sumber pengetahuan Ibn Taimiyah didapatkan pertama kali oleh Ayahnya.
Selain ayahnya yang memberikan ilmu, adapun beberapa ulama yang menjadi guru
bagi Ibn Taimiyah di antaranya; Zainuddin al-Mukaddasi, Najmuddin Ibn „Askar, dan
ulama-ulama lainnya yang berada di Damaskus.11
Selain mencari ilmu di Damaskus, Ibn Taimiyah pernah menuntut ilmu
selama enam tahun di Bagdad. Guru-guru yang pernah mengajarnya antara lain:
pertama, Syams al-Dīn Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisī. Ia
adalah seorang ahli fiqh dan seorang hakim agung pertama dikalangan mazhab
Hanbali di Syiria. Kedua, Muhammad ibn Abd al-Qāwī ibn Badrān al-Maqsidī alMardawī. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqh, tata bahasa Arab, mufti (penasehat
hukum), serta pengarang terkenal pada zaman itu. Ketiga, Al-Manja‟ ibn Utsmān ibn
As‟ad al-Tanawwukhī. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqh, tafsir, dan tata bahasa
Arab. Keempat, Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Abī Sa‟d Asy-Syaybānī. Ia merupakan
seorang ahli hadits, tata bahasa, sekaligus sastrawan, sejarawan, dan kebudayaan.
Kelima, Zaynab binti Makkī al-Harrānī. Ia merupakan seorang ahli fiqh perempuan
10
11
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf, h. 546
Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 243
52
yang terkenal dengan pengetahuan dan kesalehannya. Keenam, Syams al-Dīn alAsfahānī al-Syâfi‟ī. Ia adalah seorang ahli atau pakar dalam bidang ushul fiqh dalam
mazhab Syafi‟i. Ketujuh, Abd al-Rahīm ibn Muhammad al-Baghdādī. Ia merupakan
seorang ahli di bidang Hadits dan Fiqh.
Ibn Taimiyah juga telah membaca beberapa karya dari para ahli tasawuf di
antaranya: kitab Risālat al-Qusyayriyyah yang merupakan karangan dari Imām alQusyasyari, kitab Qūt al-Qulūb fi Mu’āmalat al-Mahbūb merupakan kitab dari
karangan Abū Tālib al-Makkī, kitab Ihyā Ulūm al-Dīn merupakan kitab karangan dari
Imam al-Ghāzalī, kitab Awārif al-Ma’ārif merupakan karangan dari al-Suhrawardî,
dan kitab Fusūs al-Hikam karangan dari Ibn Arabī. Ia tidak hanya membacanya saja,
akan tetapi mengamalkannya jika tema-tema dalam tasawuf itu sesuai dengan alQur‟an dan as-Sunnah serta mengkritiknya apabila dianggapnya bertentangan dengan
al-Qur‟an dan al-Sunnah.12
Ketekunan dan kerajinannya dalam belajar membuat Ibn Taimiyah berpikir
dan menulis yang mengantarkannya sebagai sosok ulama yang memiliki pemikiran
yang luas dan mendalam. Ia merupakan ulama yang berani dan tidak pernah takut jika
apa yang dipandangnya benar. Lidah dan penanya menjadi senjata tajam untuk
mengkritik paham agama dalam berbagai bidang yakni bidang teologi, tasawuf,
filsafat, dan fiqh yang dianggapnya bid‟ah dan tidak sesuai dengan dalil-dalil alQur‟an maupun hadits. 13
12
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf, h. 547
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi, h. 186
13
53
Dari kecil Ibn Taimiyah terkenal rajin dalam menghadiri beberapa diskusidiskusi ilmiah di zamannya. Pada usia tujuh belas tahun, kegiatan ilmiahnya mulai
tampak. Pada umur Sembilan belas tahun, Ibn Taimiyah telah menyelesaikan
pendidikannya dan mulai mengarang dan memberi fatwa.
Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1282 M, Ia telah menjabat sebagai
seorang Professor dalam ilmu hukum madzhab Hanbali. Ia juga mengajar Tafsir alQur‟an di setiap hari Jum‟at secara mendalam dan menarik perhatian jama’ah secara
umum. Karena mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam berbagai bidang
keilmuan terutama mengenai penafsiran al-Qur‟an, ilmu hadits, ilmu fiqh , dan ilmu
ketuhanan atau ketauhidan beserta cabang-cabangnya, ia mempertahankan paham
ulama Salaf dan sahabat-sahabatnya yang pada saat itu jarang mendapat perhatian
baik dari ahli ulama maupun ahli fiqh pada masanya. Oleh karena kecerdasan dan
kepintaran yang dimilikinya, ia mampu menarik perhatian umat atas pemikirannya.
Ibn Taimiyah mendapat serangan dari para ulama yang membencinya dan menjadi
musuhnya. Serangan tersebut terjadi di setiap pengajian pada hari Jum‟at. Karena
pengajian tersebut merupakan pengajian terbuka dan bebas dalam melontarkan
pendapat-pendapat.14
Pada tahun 691 H/ November 1292, ia melakukan ibadah haji. Selain
melakukan ibadah haji, ia telah memperkenalkan dirinya pada ulama-ulama besar
yang berada di Mekkah. Setelah ia pulang dari Mekkah ke Damaskus pada 692 H/
Februari 1293, ia membawa sebuah karya yang ia tulis selama melakukan perjalanan
dalam ibadah haji. Karyanya itu dikenal dengan sebutan Manāsik al-Hadjdj, di
14
Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 90
54
dalamnya berisi celaan terhadap beberapa bid‟ah yang ada dalam pelaksanaan ibadah
haji.15 Selain ilmu dan amalnya, ia juga memiliki sifat-sifat yang baik dan berani
dalam mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Karena keberaniannya ini, ia mendapat
gelar Muhyis Sunnah padahal umurnya belum sampai 30 tahun.16
Pada Rabi‟ul Awal 699 H/1299 M, ia pergi ke Mesir untuk menerima
pertanyaan yang berasal dari Hammah mengenai sifat-sifat Tuhan. Kemudian ia
menjawab pertanyaan ini dalam bentuk fatwa dengan alasan-alasan yang cukup jelas.
Jawaban tersebut mengakibatkan para ahli ulama terutama Syafi‟ī marah dan ingin
menyerangnya, karena jawaban yang dikemukakannya tidak sejalan dengan
pemikiran para ulama yang sebelumnya. Hal ini mengakibatkan Ibn Taimiyah
kehilangan jabatannya sebagai seorang Professor. Namun Ibn Taimiyah tidak merasa
sedih dengan kehilangan jabatannya tersebut, karena baginya jabatan itu tidak
penting. Baginya yang terpenting adalah tidak kehilangan keyakinan dan pribadi.17
Namun tidak semuanya dari kalangan para ulama tidak menyetujui
jawabannya. Masih banyak dari kalangan para ulama yang mengakui bahwa Ibn
Taimiyah merupakan orang yang alim, bahkan orang yang tidak sepaham dengannya
menganggap ia sebagai orang yang alim. Salah satunya adalah Syekh Kamaluddīn ibn
Zamlakanī seorang penganut madzhab Syafi‟ī yang selalu mengomentari fatwa-fatwa
Ibn Taimiyah. Karena ia selalu menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang
15
The Encyclopedia of Islam vol. III, (Leiden: E. J. Brill, 1979), h. 951
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah,
Perkembangannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 279
17
Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 91
16
Ajaran,
dan
55
belum mereka ketahui dari guru-guru mereka. Demikian Ibn Taimiyah dipandang
oleh para ulama yang memiliki pemahaman yang berbeda sebagai orang yang alim. 18
Walaupun ia memiliki masalah kepada golongan Syafi‟ī di Mesir, tetapi ia
dipercayai untuk menerima tugas yang sangat berat yaitu ikut berpartisipasi dalam
perang Sabil atau perang Jihad melawan bangsa Mongol. Dalam peperangan ini, ia
mendapatkan kemenangan yang luar biasa dalam menghadapi bangsa Mongol yang
berada di Shakab. Selain melawan bangsa Mongol, ia juga melawan rakyat Djabal
Kasrawan dan menghancurkan golongan-golongan yang percaya terhadap kesaktian
Alī bin Abī Thālib pada tahun 1305 M.19
Namun setelah ia pulang dari perang, ia mendapatkan kabar bahwa telah
dilakukan lima pertemuan dengan para pembesar negara yang dipimpin oleh Kadhi
Syafi‟ī di dalam istana Sultan. Pertemuan itu membahas mengenai dirinya yang
berbahaya bagi agama dan kepentingan negara, sehingga Sultan memberi keputusan
untuk memenjarakan Ibn Taimiyah beserta kedua saudaranya selama setengah tahun.
Untuk kedua kalinya Ibn Taimiyah dipenjarakan karena karangannya mengenai keEsaan Tuhan yang menyebabkan ia dimusuhi oleh para pengikut Kadhi yang
berkuasa saat itu yaitu Syafi‟i. Ia masuk penjara selama setengah tahun di Mesir.
Namun kegiatannya dalam penjara tidak hanya menulis tentang pemikirannya saja,
akan tetapi ia memiliki kesempatan untuk mengajar di dalam penjara mengenai
agama Islam sesuai dengan pahamnya. Oleh karena itu, para penghuni penjara
merupakan pengikut setia baginya. Setelah keluar dari penjara, ia dicari kembali dan
18
19
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, h. 384
Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 91
56
dijebloskan ke dalam penjara selama delapan bulan di Alexandria. Sesudah keluar
dari penjara untuk ke sekian kalinya, ia kembali ke Kairo dan diberikan perintah oleh
Sultan an-Nasir untuk menyampaikan beberapa fatwa. Namun Ibn Taimiyah menolak
perintah tersebut. Karena Ibn Taimiyah telah menyadari hal tersebut merupakan
rencana untuk menjelek-jelekkan namanya dan memperbanyak musuhnya. Oleh
karena itu, ia menolak perintah Sultan. Walaupun Sultan an-Nasir menawarkan
jabaratan Professor kepadanya di sebuah perguruan tinggi yang dipimpin oleh putra
mahkotanya.
Dan terakhir, ia dipenjarakan di Damaskus atas perintah Sultan selama dua
tahun lebih di dalam istananya. Ia tidak merasa sedih selama di dalam penjara, karena
ia masih bisa menulis semua pemikirannya untuk orang yang memerlukannya. Di
antara kitab-kitabnya adalah Ma’āruf al-Wusūl, Raf al-Malam dan kitab al-Radd ala
al-Ikhna’i.20 Namun musuh-musuhnya telah mengetahui kegiatan yang dilakukan
oleh Ibn Taimiyah di dalam penjara, sehingga pada 9 Djumada II 728 H/ 21 April
1328 M adanya keputusan dari Sultan berupa larangan memberikan semua kitab,
tinta, dan kertas kepada Ibn Taimiyah. Hal tersebut membuat ia sedih dan jatuh sakit
selama 20 hari. Setelah 20 hari jatuh sakit, ia meninggal pada senin 20 Zulkaedah 728
H/27 September 1328 M.21
Walaupun Ibn Taimiyah telah wafat, akan tetapi banyak dari murid-muridnya
yang menyebarkan ilmu serta pendapat-pendapatnya. Di antara muridnya yang
terkenal adalah Imam Ibn Al-Qayyim al-Jauziyah. Ia adalah murid Ibn Taimiyah
20
21
The Encyclopedia of Islam vol. III, h. 953
Abubakar Aceh, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), h. 92-93
57
yang menimba ilmu banyak darinya dan telah menciptakan beberapa buku terkenal.
Murid Ibnu Taimiyah yang lainnya adalah Al-Hāfidz Al-Muhaqqīq Abū Abillah
Muhammad bin Ahmad Al-Muqaddisī Al-Hambali As-Shālihi. Ia juga merupakan
murid yang cukup lama belajar kepada Ibnu Taimiyah. Ia juga memiliki karya yang
bermanfaat yaitu Al-Uqūd Ad-Durriyyah min Manāqib Syaikhil Islām Ahmad bin
Taimiyah. Selanjutnya adalah Al-Hāfidz Sirajuddīn Abū Hafs Umar bin Alī Al-Azji
Al-Baghdādī. Ia merupakan murid dari Ibnu Taimiyah juga. Ia telah menulis buku
dengan judul “Al-A’lam Al-‘illiyah fi Manāqib Ibnu Taimiyah”. Selanjutnya, AlHāfidz Syamsuddīn Abū Abdillah Muhammad bin Utsmān Adz-Dzahābī AdDimasyqī. Ia adalah murid yang belajar kepada Ibnu Taimiyah hingga mendapat
ijazah. Ia menulis beberapa karya yang sangat bermanfaat, diantaranya: Tarīkh AlIslām, Siyar A’lam An-Nubala’, dan Mīzan Al-I’tidal fi Naqd Ar-Rijāl. Murid yang
lainnya adalah Al-Hāfidz Abū Al-Fath Ibnu Sayyid An-Nās Al-Ya‟murī Al-Misrī.
Kemudian, Al-Hāfidz Alamuddīn Al-Qasīm bin Muhammad Al-Barzāni. Ia adalah
seorang tokoh terbesar dalam bidang Hadits Syam. Kemudian, Abu Al-Hajjaj Yūsuf
bin Az-Zakī. Ia adalah seorang guru bagi para ulama Jarh wa Ta’dil. Selain sebagai
guru, ia merupakan seorang ahli hadits dan mengarang buku dengan judul “Tahdzīb
Al-Kamāl fi Asmāi Ar-Rijāl”.22 Masih banyak murid Ibnu Taimiyah yang lainnya
yang tidak dapat disebutkan secara rinci.
22
Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 216
58
Walaupun pemikiran Ibn Taimiyah di zamannya dianggap aneh oleh para
ulama bahkan ditolak. Akan tetapi di masa-masa selanjutnya, pemikirannya dipakai
oleh beberapa tokoh-tokoh terkenal.23
C. Karya-Karyanya
Karya Ibn Taimiyah ini memiliki beberapa ciri yang membedakannya dengan
karya-karya lainnya. Ciri-ciri karyanya di antaranya: pertama, karyanya banyak
menggunakan dalil al-Qur‟an, Hadits, dan pendapat Salaf yang telah diriwayatkan
oleh para sahabat dan para imam mujtahid dari berbagai tren pemikiran dalam
menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang dibicarakan. Kedua, penjelasan ide
pemikiran dalam karyanya tidak terlalu rumit dan membingungkan. Semuanya
dijelaskan dengan jelas baik dalam bahasa maupun pemahaman yang terkandung di
dalamnya. Ketiga, kedalaman pemikiran yang dituang olehnya dalam karyanya
mengandung renungan-renungan yang membuat pembaca dapat menguasai dan
membandingkan seluruh makna yang mungkin muncul dari kata-kata yang terdapat
dalam karyanya tersebut.24
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah tertulis pada semua karyanya dalam
bentuk buku. Ide serta pemikiran Ibn Taimiyah tidak akan pernah terputus justru
berkembang hingga saat ini, karena banyak sekali para peneliti yang ingin memahami
karyanya secara lebih mendalam. Karangan-karangannya yang dapat ditemukan oleh
penulis, terutama yang berkaitan dengan aqidah antara lain:
23
24
Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 385
Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 219
59
1. Muwāfaqah Sharīh al-Ma’qūl li Shahīh al-Manqūl. Kitab ini membahas
mengenai kedudukan nash al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan
akal dan logika.
2. Al-Jawāb al-shahīh Liman Baddala Dina al-Masīh. Kitab ini membahas
mengenai bantahan Ibn Taimiyah terhadap keyakinan orang-orang
Nasrani.
3. Majmû’ Fatāwa Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah. Kitab ini merupakan karya
monumental yang telah diciptakan oleh Ibn Taimiyah terdiri dari 30 Juz.
Kitab ini merupakan kitab kumpulan fatwa-fatwa yang ditulis oleh Ibn
Taimiyah dalam seluruh kajian atau disiplin ilmu keislaman.
4. Al-Īman. Kitab ini menjelaskan mengenai konsep iman dan hal-hal yang
berkaitan dengan iman. Dalam kitab ini juga Ibn Taimiyah mengkritik
beberapa aliran dalam teologi seperti Murjiah dan Mu‟tazilah mengenai
Iman.
5. Al-Iqtidâ’ al-Shirāth al-Mustaqīm. Kitab ini membahas mengenai bid‟ah
dan sunnah.
6. Al-Furqān baina al-Haqq wa al-Bāthil. Kitab ini menjelaskan mengenai
perbedaan antara yang haq dan yang bathil.
7. Al-Aqīdah al-Wāsithiyah. Kitab ini membahas mengenai aqidah dan
masalah yang membuat aqidah tersebut menjadi rusak. Selain membahas
mengenai masalah aqidah, kitab ini juga membahas mengenai ziarah
kubur, tawasul, dan lain sebagainya.
60
8. Al-Amr bil Ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar. Kitab ini membahas
mengenai kewajiban seorang muslim untuk melaksanakan amar ma’rūf
nahy mungkar, serta membahas bagaimana jalannya amar ma’rūf nahi
mungkar sesuai dengan pedoman kita yaitu al-Qur‟an dan Hadits.
9. Al-Hasanah wa Al-Sayyi’ah. Kitab ini membahas mengenai asal kebaikan
dan keburukan dalam diri manusia. Selain itu, kitab ini membahas
mengenai definisi dari al-Hasanah wa al-Sayyi’ah serta perbedaan
keduanya.
10. Qāidah Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah. Kitab ini membahas mengenai kritik
atas ahli bid‟ah yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam
dengan berdasarkan dalil Qur‟an dan Hadits.
11. Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirāthal Mustaqīm. Kitab ini membahas
mengenai bahaya meniru atau mengikuti kaum kafir dalam tradisi, adat
dan kebiasaan mereka, cara berpakaian, bahasa, hari-hari peringatan
mereka, dan lain sebagainya.
12. Minhāj al-Sunnah. Kitab ini adalah kitab yang diciptakan oleh Ibn
Taimiyah untuk membantu orang Muslim dalam menentukan manhajnya
yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah. Serta menjauhi kaum Muslim
dari golongan-golongan yang sesat.
13. Risālah al-Aqīdah al-Isfahāniyah. Kitab ini membahas mengenai tauhid
khususnya masalah keimanan dan makna iman menurut al-Isfahaniyah.
14. Al-Ubūdiyah. Kitab ini menjelaskan mengenai masalah hubungan manusia
dengan Tuhannya.
61
15. Risālah fi Aqīdah al-Asy’ariyah wa Aqīdah al-Maturidiyah. Kitab ini
membahas mengenai ajaran dalam aqidah Asy‟ariyah dan Maturudiyah.
16. Ulūm at-Tafsīr. Kitab ini membahas tentang ulumul Qur‟an.
Pemikiran Ibn Taimiyah dalam karya-karyanya banyak sekali digemari oleh
beberapa peneliti dalam menulis sebuah penelitian. Banyak karya Ibn Taimiyah yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar memudahkan kita dalam
memahami pemikirannya. Karya-karya Ibn Taimiyah yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia di antaranya:
1. Majmû’ Fatāwa Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah
2. Al-Hasanah wa Al-Sayyi’ah.
3. Al-Amr bil Ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar.
4. Al-Īman
5. Al-Aqīdah al-Wāsithiyah.
6. Qāidah Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah.
7. Mukhtarat Iqtidhā’ Ash-Shirāthal Mustaqīm
8. Minhāj al-Sunnah
Menurut beberapa sumber, karya Ibn Taimiyah terdiri dari 300 kitab yang
meliputi masalah tafsir, fiqh, retorika, serta fatwa-fatwa yang merupakan kumpulan
atas pertanyaan masyarakat pada zaman tersebut yang tidak ia jawab di depan hakim.
Selain itu, ia juga melakukan kritik atas berbagai masalah, seperti: tasawuf, filsafat,
ziarah kubur, tawwasul, dan lain sebagainya.25
25
Sahilun A. Nasir,
Perkembangannya, h. 281
Pemikiran
Kalam
(Teologi Islam) Sejarah,
Ajaran,
dan
62
Ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dalam karya-karyanya bersandar berdasarkan alQur‟an dan Hadits. Ia akan menyerang dan mengkritik semua pemikiran-pemikiran
para Mutakallim, Sufi, dan Failasuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran alQur‟an dan Hadits. Inilah yang membuat Ibn Taimiyah memiliki banyak musuh dan
banyak pengikutnya. Murid-murid yang ia didik merupakan murid-murid yang
terkemuka. Ajarannya telah meluas dari Mesir hingga ke Indonesia.26
26
Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 249
BAB IV
PERBUATAN BAIK DAN BURUK MANUSIA MENURUT IBN TAIMIYAH
A. Perbuatan Manusia Menurut Ibn Taimiyah
Perbuatan manusia merupakan persoalan yang sering diperdebatkan berbagai
aliran dalam ilmu kalam. Beberapa dari mereka memiliki pendapat bahwa
manusia merupakan pencipta bagi perbuatannya dan Tuhan tidak ikut campur di
dalamnya, sehingga manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya. Sebagian
lainnya memiliki pendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam
perbuatannya, sehingga Tuhan membantunya dalam melakukan setiap tindak
lakunya. Bagaimana perbuatan manusia menurut Ibn Taimiyah? Ibn Taimiyah
menyelesaikan persoalan kalam mengenai perbuatan manusia dengan mengambil
jalan tengah dari pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para teolog Islam
yakni Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Namun apakah jalan tengah yang diambil oleh
Ibn Taimiyah akan sama seperti jalan tengah yang di kemukakan oleh Imam
Asy’ari yang akhirnya terjerumus ke dalam paham yang mengatakan bahwa
manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya karena hanya Tuhan yang
berkehendak atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Jalan tengah yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah dapat dilihat dari
pemikirannya mengenai persoalan perbuatan manusia. Ibn Taimiyah menyetujui
pendapat yang diungkapkan oleh aliran Asy’ariyah bahwa perbuatan manusia
merupakan ciptaan Tuhan, akan tetapi Ibn Taimiyah tidak sependapat dengan
aliran ini mengenai peniadaan hakikat dari perbuatan manusia. Dan Ibn Taimiyah
63
64
juga menyetujui pendapat aliran Mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan
manusia pada hakikatnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi ia
tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak menciptakan
perbuatan manusia.1
Mengenai persoalan perbuatan manusia ini Ibn Taimiyah meyakini bahwa
manusia tidak dipaksa dalam berbuat dan tidak bebas secara mutlak dalam
perbuatannya. Ibn Taimiyah yakin bahwa yang menciptakan perbuatan manusia
adalah Tuhan. Ia menolak keyakinan dari aliran Asy’ariyah bahwa manusia
terpaksa dan tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya, sehingga
perbuatannya bersifat majazi bukan yang sebenarnya. Dan menolak keyakinan
Mu’tazilah bahwa manusia merupakan pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dan
kehendak Tuhan tidak ikut campur dalam penciptaan perbuatan manusia.2 Karena
dalam diri manusia terdiri dari perbuatan baik dan perbuatan buruk, sedangkan
kehendak Tuhan hanya kepada kebaikan saja.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ibn Taimiyah mengambil jalan tengah di
antara pandangan aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah mengenai perbuatan
manusia.3 Ibn Taimiyah adalah orang yang menolak pendapat Asy’ariyah yang
menyelesaikan persoalan perbuatan manusia dengan menggunakan teori kasb atau
perolehan. Jalan tengah yang telah dikemukakan oleh imam Asy’ari ini berbeda
dengan jalan tengah yang dimiliki Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia.
1
Syafrial N, “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 89
Syamsul Hadi Untung dan Nofriyanto, “ Al-Imām Ibn Taimiyah wa Arauhu fi Al-Qadaya alAqāidiyyah”, Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 14, No. 1 (Maret
2016): h. 132
3
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT al-Husna Zikra, 2001, h. 131
2
65
Menurut Ibn Taimiyah, manusia memiliki kehendak dan kekuasaan dalam
melaksanakan segala apa yang diperintahkan Tuhan kepada hamba-Nya. Jadi,
pendapat Ibn Taimiyah mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia
merupakan pelaku yang sebenarnya dalam perbuatannya dan memiliki kebebasan
dalam berkehendak, akan tetapi perbuatannya itu ada karena diciptakan oleh
Tuhan.4
Ibn Taimiyah merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh yang
besar dalam aliran Salaf. Aliran Salafiyah ini merupakan aliran yang membahas
berbagai persoalan dengan bersandar pada al-Qur’an dan Sunnah nabi dan hanya
menganut ajaran yang diajarkan oleh tiga generasi setalah nabi yaitu sahabat nabi,
tabi’in, tabi’in tabi’in. Aliran Salafiyah ini berbeda dengan aliran Ahl Sunnah wa
al-Jama’ah. Karena ajaran Salafiyah dikemukakan pertama kali oleh imam
Ahmad ibn Hanbal, sedangkan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah ajaran yang
dikemukan oleh imam Asy’ari. Oleh karena itu, walaupun dasar pendapat mereka
mengenai perbuatan manusia berdasarkan pada sumber yang sama yaitu alQur’an dan Hadits. Namun belum tentu keduanya memiliki pandangan yang
identik antara satu sama lainnya.
Di dalam karya Ibn Taimiyah yaitu Syarah Aqīdah Wāsithiyah, ia tidak
memilih pendapat dari aliran Mu’tazilah maupun Asy’ariyah. Namun ia
mengambil sisi kebenaran yang ada di antara kedua belah pihak dan
meninggalkan sisi kesalahan yang ada di dalam pendapat kedua aliran tersebut.
4
Zulfata, “Model Pemikiran Ketuhanan Reformis Menurut Ibnu Taimiyah dan Johanes
Calvin”, (Makalah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2013), h. 5
66
Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia terjadi dengan adanya
kehendak dan ciptaan Tuhan. Karena setiap apa yang telah Tuhan ciptakan
tidak mungkin tidak Ia kehendaki, sedangkan manusia memiliki pilihan dan
kehendak dalam perbuatannya. Manusia yang memilih dalam perbuatannya
berbeda dengan manusia yang terpaksa dalam melakukan suatu perbuatan.
Jadi perbuatan manusia terjadi karena adanya pilihan dan kehendak dalam
perbuatannya. Namun perbuatan tersebut terjadi karena kehendak dan ciptaan dari
Tuhan.5 Penjelasan selanjutnya dalam pandangannya mengenai perbuatan
manusia dalam Syarah Aqīdah Wāsithiyah sebagai berikut:
Segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa adanya kehendak dari Tuhan.
Tidak ada daya dan upaya melainkan hanya dengan pertolongan Tuhan.
Semua tindakan, perbuatan, gerak, dan diamnya manusia bergantung kepada
Tuhan bukan kepada manusia. Ia yang menjadikan orang Muslim itu Muslim
dan orang kafir itu kafir. Ia juga yang telah memperjalankan hamba-Nya baik
di darat maupun di laut. Dia yang memperjalankan, sedangkan manusia yang
berjalan. Tuhan yang menggerakkan dan manusia yang bergerak. Dia yang
menghidupkan, sedangkan manusia yang hidup. Dia yang mematikan dan
manusia yang mati. Demikian gerakan dan keyakinan manusia itu adalah
perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi yang menciptakan perbuatan
manusia itu adalah Tuhan. Tuhan hanya memegang masalah ilmu, qudrah,
irādah, masyi‟ah, dan penciptaannya. Sedangkan manusia hanya memegang
perbuatan, gerakan, dan diam itu sendiri di tangannya.6
Lantas dapat dilihat bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan dan di
waktu yang sama merupakan perbuatan manusia.
Perbuatan-perbuatan manusia muncul karena adanya keinginan dan
kemampuan dalam diri manusia, sedangkan keinginan dan kemauan tersebut
merupakan ciptaan dari Tuhan. Jika Tuhan berkehendak dalam mengambil
kemampuan yang ada pada diri manusia, maka manusia tersebut tidak akan dapat
5
Ibnu Taimiyah, Syarah Aqīdah Wāsithiyah; Penjelaasan Prinsip-Prinsip Akidah Ahlussunnah
wal Jama‟ah dalam Matan Akidah Wasithiyah Karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Penerjemah: Arif
Munandar (Solo: Al-Qowam, 2014), h. 70
6
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 151
67
berbuat. Dan seandainya manusia memiliki kemampuan yang telah Tuhan
ciptakan, akan tetapi manusia itu tidak ingin berbuat. Maka tidak akan ada
perbuatan yang muncul darinya. Jadi, manusia berbuat dengan keinginan dan
kemampuannya sendiri. Keinginan dan kemampuan manusia merupakan ciptaan
Tuhan, dan segala sesuatu yang diciptakan-Nya telah dikehendaki-Nya. Dalam
hal ini manusia tidak melakukan perbuatan secara paksa akan tetapi sesuai dengan
pilihannya sendiri.7
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan
dari Tuhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sūrah Ibrahīm/14: 35 berikut:
           
 
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhan ku, jadikanlah negeri ini
Mekkah, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
penyembah berhala-berhala”.
Ayat ini dikatakan bahwa Ibrahīm memohon pertolongan kepada Tuhan
untuk menjauhkan dirinya beserta anak cucunya dari penyembahan berhala,
hingga ia berhasil menghindari dirinya dari penyembahan berhala. Dalam ayat ini
menjauhi penyembahan berhala merupakan perbuatan manusia, sedangkan
perbuatan Tuhan dalam ayat ini adalah upaya menjauhkannya dari penyembahan
berhala. Jadi, manusia dalam hal ini tidak akan berbuat sesuatu kecuali setelah
adanya perbuatan dari Tuhan.8
7
8
Ibnu Taimiyah, Syarah Aqīdah Wāsithiyah, h. 70
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 168
68
Dalam terjemahan hadits juga dinyatakan bahwa manusia memiliki pilihan
dan kehendak dalam perbuatannya sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, beliau bersabda:
“Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Mu,
selalu ingat kepada-Mu, takut kepada-Mu, tunduk dan patuh kepada-Mu, dan
senantiasa khusyu‟ menghadap-Mu”.
Ucapannya yang telah diungkapkan di dalam hadits tersebut, bahwa ia
memohon kepada Tuhan untuk menjadikannya orang yang senantiasa bersyukur,
ingat, takut, tunduk dan patuh, serta khusyu‟ kepada Tuhan. Semua perbuatan
yang telah diungkapkan dalam hadits tersebut merupakan perbuatan yang bersifat
memilih dan perbuatan tersebut akan terjadi karena kehendak dan pilihan dari
hamba-Nya.
Lebih jelasnya Ibn Taimiyah mengatakan bahwa kebaikan itu bisa berupa
melakukan perintah dari Tuhan dan meninggalkan apa yang dilarang Tuhan
kepada manusia. Meninggalkan larangan merupakan sesuatu yang berwujud. Hal
itu dapat dilihat ketika manusia meninggalkan sebuah larangan serta mengetahui
jika mengerjakan larangan tersebut akan mendapat dosa dan akan disiksa di
akhirat kelak. Oleh karena itu, manusia akan mengendalikan dirinya untuk tidak
mengerjakan larangan-Nya di saat manusia menginginkannya. Hal ini merupakan
sesuatu yang berwujud. Sebaliknya, jika manusia mengetahui bahwa yang
69
diperintah oleh Tuhan merupakan kebaikan maka manusia itu akan mengerjakan
perintah tersebut. Semuanya merupakan sesuatu yang berwujud.9
B. Kehendak Tuhan
Hubungan antara irādah Tuhan dengan perbuatan manusia menurut
Mu’tazilah bahwa Tuhan hanya berkehendak kepada perbuatan baik yang ada di
dalam diri manusia. Tuhan Maha Indah dan menyukai keindahan. Tuhan
memberikan perintah bagi manusia dan manusia wajib menjalankan perintahNya. Tuhan tidak menghendaki manusia melakukan perbuatan yang buruk,
karena perbuatan yang buruk terjadi karena kemauan bebas yang dianugerahkan
Tuhan kepada manusia bukan karena irādah Tuhan.10 Kehendak Tuhan juga
berhubungan dengan prinsip kedua dari lima prinsip dalam ajaran Mu’tazilah
yang dijelaskan oleh al-Mas’ūdy dalam kitab Murūj al-Dzihab.
Menurut al-Mas’ūdy, keadilan adalah keadaan yang sesuai dengan
kenyataan. Ia mengatakan bahwa Tuhan tidak menyukai kerusakan, dan tidak
membenarkan perbuatan umatnya yang buruk. Akan tetapi Tuhan memberikan
manusia perintah untuk dikerjakan dan melarang manusia dengan kehendak
Tuhan yang menyebabkan manusia berlutut kepada-Nya. Dan Tuhan akan
memberikan
balasan
kepada
manusia
sesuai
dengan
perbuatan
yang
dikerjakannya. Jika manusia melakukan kebaikan maka akan diberikan pahala
dan di tempatkan dalam surga-Nya. Namun jika manusia melakukan perbuatan
9
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 87
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 77
10
70
yang dzolim, maka balasan Tuhan akan pedih bagi mereka.11 Keadilan Tuhan
dalam pandangan Mu’tazilah menentukan hukuman bagi perbuatan manusia yang
terkandung dalam janji dan ancamannya.
Asy’ariyah menolak pendapat yang diungkapkan oleh aliran Mu’tazilah.
Mereka tidak menyetujui pendapat aliran Mu’tazilah, karena bagi mereka tidak
mungkin ada dua pencipta dalam satu perbuatan. Asy’ariyah ini menolak
pandangan bahwa perbuatan baik diciptakan oleh Tuhan sedangkan perbuatan
buruk diciptakan oleh manusia atau seperti aliran Mu’tazilah yang beranggapan
bahwa Tuhan hanya menciptakan perbuatan yang baik saja. Kaum Mu’tazilah ini
beranggapan bahwa sesuatu yang buruk bukanlah termasuk ke dalam irādah-Nya,
karena bagi aliran ini irādah Tuhan hanyalah kepada hal-hal yang baik saja atau
kebaikan. Sedangkan menurut aliran Asy’ariyah, irādah Tuhan itu meliputi
kebaikan dan keburukan. Segala sesuatu yang telah dikehendaki oleh Tuhan akan
terwujud, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Tuhan tidak akan
terwujud di dunia ini. Kebaikan dan keburukan merupakan sesuatu yang telah ada
di dunia ini, karena kebaikan dan keburukan telah dikehendaki oleh Tuhan.12
Dalam al-Qur’an dijelaskan mengenai irādah Tuhan menurut aliran
Asy’ariyah bahwa jika Tuhan menghendaki sesuatu itu ada, maka sesuatu itu akan
ada. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sūrah as-Sajdah/32: 13 dan sûrah alA’rāf/7: 89 berikut:
11
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madzāhib al-Islâmiyah, Arab Saudi: Dār al-Fikr, t.t., h.
12
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Ajaran-Ajaran Asy‟ari. h. 5
121
71
      
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap
jiwa petunjuk”.
               
         
“Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah,
jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari
padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan
kami menghendaki-Nya”.13
Kesimpulan dari uraian di atas bahwa kehendak Tuhan memiliki hubungan
dalam penciptaan perbuatan manusia. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
hanya menghendaki perbuatan baik yang ada dalam diri manusia, sedangkan
Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menghendaki segala sesuatu yang ada di
dunia ini. Karena jika Tuhan telah menghendaki sesuatu maka sesuatu itu akan
menjadi ada seperti halnya Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan dalam
diri manusia. Lalu bagaimana dengan pemikiran Ibn Taimiyah mengenai
kehendak Tuhan? Apakah pendapatnya lebih cenderung kepada aliran Mu’tazilah
atau sebaliknya lebih identik dengan aliran Asy’ariyah?
Mengenai masalah irādah Tuhan Ibn Taimiyah menolak kedua pendapat
aliran di atas. Ia menolak pendapat Asy’ariyah yang mengatakan bahwa baik dan
buruk perbuatan manusia terwujud disebabkan oleh kehendak mutlak Tuhan. Dan
ia mengkritik aliran Mu’tazilah karena telah menyamakan antara perbuatan Tuhan
13
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Ajaran-Ajaran Asy‟ari, h. 6
72
dengan perbuatan manusia.14 Bagi Ibnu Taimiyah tidak ada yang boleh
menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam segala hal, karena semua
makhluk ciptaannya tidak ada yang dapat menandingi-Nya. Oleh karena itu,
Perbuatan Tuhan berbeda dengan perbuatan yang dilakukan oleh makhluk-Nya.15
Ibn Taimiyah menggambarkan mengenai kehendak Tuhan, sebagaimana
yang dijelaskan di dalam al-Qur’an sūrah an-Nisā/ 4 : 49 berikut:
          
   
        
“Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
keburukan yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukup lah Allah
menjadi saksi”.16
Firman Tuhan di atas menjelaskan bahwa manusialah yang melakukan
perbuatan buruk dan atas perbuatan buruknya tersebut manusia akan
mendapatkan hukuman. Sedangkan Tuhan adalah zat yang memberikan kebaikan
kepada
manusia
baik
berupa
amal
maupun
balasan.
Tuhan
yang
menganugerahkan nikmat yang besar kepada semua manusia. Tidak mungkin
kebaikan berasal dari diri manusia, karena selain ayat di atas adapun hadits yang
membedakan antara kebaikan dan keburukan yaitu:
14
Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 90
Ibnu Taimiyah, al-Furqān bayna al-Haq wa al-bāthil, (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 19
16
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, (Kairo: Dar al-Kutub, t.t), h. 15
15
73
“Wahai hamba-Ku, itulah perbuatanmu. Aku akan memberi balasan secara
sempurna. Barang siapa melakukan kebaikan hendaknya ia memuji Allah. Dan
barang siapa yang melakukan keburukan, tidak ada yang layak dicela selain
dirinya”.17
Adanya keburukan di alam ini, Ibn Taimiyah menegaskan bahwa keburukan
yang ada di alam ini tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Tuhan tidak menyukai
kerusakan, tidak meridhai hamba-Nya untuk berbuat kafir, dan juga tidak
memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu,
keburukan bukanlah berasal dari Tuhan akan tetapi berasal dari manusia.18 Dapat
disimpulkan setelah dilihat uraian kehendak Tuhan menurut Ibn Taimiyah di atas
memiliki pandangan yang sama dengan aliran Mu’tazilah.
Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak menyuruh kepada hamba-Nya
untuk berbuat maksiat dengan firman-Nya yang telah disebutkan di atas dalam
pandangan Ibn Taimiyah mengenai kehendak Tuhan pada sūrah al-Nisā ayat 49.
Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan hanya memberi perintah untuk
ditaati karena ketaatan tersebut merupakan kebaikan dan tidak memerintahkan
berbuat maksiat karena kemaksiatan adalah keburukan dan keburukan merupakan
qada manusia bagi dirinya sendiri. Dan mereka telah mengetahui bahwa kebaikan
dan keburukan yang disebutkan dalam ayat tersebut memiliki makna ketaatan dan
kemaksiatan, maka kebaikan berasal dari ciptaan Tuhan dan ketentuan-Nya
sedangkan keburukan berasal dari ciptaan manusia dan ketentuannya. Dan jika
mereka mengatakan bahwa Tuhan telah memerintahkan keburukan kepada
17
18
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 29
Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 90
74
hamba-Nya, maka Tuhan itu buruk dan melakukan keburukan padahal
sesungguhnya Tuhan maha suci dari segala keburukan tersebut.19
Ibn Taimiyah membagi keburukan menjadi dua macam yaitu keburukan pada
manusia dan keburukan yang ada di alam. Pertama, keburukan pada manusia
dalam pengertian tidak adanya segala sifat kesempurnaan dalam diri manusia dan
tidak ada tindakan yang baik dalam dirinya. Hal di atas dinyatakan karena tidak
ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kedua, keburukan pada alam yang
menyebabkan sebagian kaum mengatakan bahwa hal tersebut merupakan musibah
baginya dan sebagian lainnya memiliki manfaat baginya. Karena sebuah musibah
yang terjadi di alam ini tidak akan melanda secara terus menerus kepada manusia.
Hal ini merupakan sebuah hikmah yang merupakan ujian dan cobaan dari Tuhan
karena hanya bersifat sementara. Jadi, menurut Ibn Taimiyah Tuhan tidak hanya
menciptakan kebaikan saja di dunia ini akan tetapi Tuhan juga telah menciptakan
keburukan di dunia ini dengan kehendaknya. Namun harus dibedakan kebaikan
dan keburukan yang dilakukan oleh Tuhan tidak sama dengan kebaikan dan
keburukan yang dilakukan oleh manusia.
Tuhan mengirimkan seorang Rasul kepada umat manusia agar manusia dapat
mencapai tujuan hidup yaitu kemaslahatan. Oleh karena kemaslahatan umat ini,
Tuhan mengutus seorang Rasul untuk mengajarkan kepada manusia untuk
melakukan apa yang diperintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Karena
perintah Tuhan adalah perintah yang mengarahkan manusia kepada hal yang baik,
19
107
Muhammad as-Sayyid al-Julaynid, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy, h.
75
sedangkan larangan-Nya untuk menunjukkan dan menjauhkan manusia dari
segala sesuatu yang buruk.20 Firman Tuhan yang menjelaskan mengenai
kesempurnaan risalahnya, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an sūrah al-A’rāf/7:
157 berikut:
       
  
  
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'rūf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.
Inilah kesempurnaan risalahnya, maka sesungguhnya nabi Muhammad
merupakan utusan Tuhan. Dan dengan lisannya, ia menjelaskan mengenai segala
sesuatu yang mengarah kepada yang ma‟rūf dan melarang dari segala sesuatu
yang membawa kepada kemungkaran, menghalalkan segala sesuatu yang
mendatangkan kebaikan dan mengharamkan segala sesuatu yang mendatangkan
keburukan.21 Oleh karena itu, Ibn Taimiyah menganggap tersesat kaum yang
tidak percaya terhadap wahyu dan tidak memerlukan para nabi dalam
memberikan kemaslahatan bagi manusia. Menurut golongan yang tidak percaya
akan wahyu dan para nabi mengatakan bahwa diutusnya para nabi kepada umat
manusia menyebabkan kehancuran bagi manusia karena mengajarkan ajaran yang
20
21
h. 46
Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 91
Ibnu Taimiya, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Jakarta: Pustakan Panjimas, 1988,
76
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut yang menyebabkan
adanya rasa benci antara manusia bahkan hingga menimbulkan perang agama.22
Namun sebelum al-Qur’an menjelaskan mengenai perbedaan antara
perbuatan baik dan buruk dalam sūrah an-Nisā ayat 79. Ada ayat 78 dari sūrah anNisā yang menjelaskan bahwa semuanya berasal dari Tuhan, sebagai berikut:
           
            

              

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh
kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka
ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan
sedikit pun?”
Firman Tuhan di atas menjelaskan bahwa semuanya berasal dari Tuhan. Lalu
bagaimana Ibn Taimiyah menjelaskan hal ini setelah ia membedakan antara asal
mula kebaikan dan keburukan yang ada pada diri manusia.23
Menurut Ahl al-Sunnah persoalan ayat di atas yang mengatakan semuanya
berasal dari Tuhan baik itu kebaikan maupun keburukan tidak berlaku dalam
22
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 2014, h. 14
Yasya Akhiro, “ Penafsiran Ibnu Taimiyah Tentang Hasanah dan Sayyi‟ah dalam Surat anNisa Ayat 79: Studi Terhadap Kitab al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 5
23
77
perbuatan manusia. Kebaikan dan keburukan yang berasal dari Tuhan merupakan
kebaikan dan keburukan dalam arti balasan atas setiap perbuatan manusia. Hal
tersebut sejalan dengan firman Tuhan setelah ayat ini yang mengatakan bahwa
jika kamu memperoleh kebaikan, kamu berkata bahwa kebaikan ini berasal dari
Tuhan. Dan jika kamu mendapatkan keburukan, kamu berkata keburukan berasal
dari dirimu.24
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah melakukan sebuah
keburukan dan tidak menghendaki sesuatu yang buruk, Tuhan hanya
menghendaki sesuatu yang baik. Dan telah tersesat bagi kelompok yang
mengatakan
bahwa
Tuhan
menciptakan
segala
sesuatu.
Mereka
tidak
membedakan antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain antara kebaikan
dengan keburukan, sehingga bagi mereka sah-sah saja jika Tuhan memerintahkan
hamba-Nya pada semua hal yang buruk. Karena semua itu merupakan kehendak
dan ciptaannya. Kedua pendapat di atas merupakan pendapat yang salah menurut
Ibn Taimiyah.25
Menurut Ibn Taimiyah jika Tuhan menciptakan segala sesuatu, maka semua
ciptaan-Nya memiliki hikmah termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di
dunia ini. Jika Tuhan melakukan sebuah keburukan maka keburukan tersebut
merupakan hikmah dan kasih sayang-Nya untuk mengarahkan manusia kepada
jalan yang benar, sehingga keburukan yang digambarkan bukan seperti keburukan
yang ada pada perbuatan manusia. Hikmah dan kasih sayang-Nya tidak dapat
24
25
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 27
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 76
78
diketahui oleh makhluk-Nya hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu
keburukan yang Tuhan telah lakukan kepada semua yang diciptakan-Nya
merupakan kebaikan bukan keburukan.26 Demikian pemikiran Ibn Taimiyah
mengenai kehendak Tuhan yang dipaparkan di atas bahwa Tuhan hanya
melakukan hal yang menimbulkan kebaikan seperti halnya perintah Tuhan yang
mengarahkan manusia agar berjalan di jalan yang menghasilkan maslahat dalam
hidup. Keburukan yang ada di dunia ini bukanlah berasal dari Tuhan akan tetapi
berasal dari manusia itu sendiri, sehingga keburukan yang terjadi di dunia ini
tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Dalam hal ini pandangan Ibn Taimiyah
mengenai kehendak Tuhan lebih identik dengan pemikiran Mu’tazilah mengenai
irādah Tuhan. Pemikiran yang selanjutnya mengenai irādah Tuhan bahwa jika
Tuhan melakukan keburukan maka keburukan tersebut merupakan hikmah dan
kasih sayang-Nya terhadap makhluk ciptaannya. Jadi, keburukan yang dilakukan
Tuhan bukan seperti keburukan yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini
pendapat Ibn Taimiyah identik dengan pendapat Asy’ariyah bahwa Tuhan
menghendaki segala sesuatu yang ada di dunia ini baik itu berupa kebaikan
maupun berupa keburukan. Kesimpulannya, Ibn Taimiyah bukan menolak
pendapat kedua golongan tersebut akan tetapi mengambil kebenaran di antara
kedua pandangan aliran di atas.
Irādah Tuhan menurut Ibn Taimiyah terdiri dari dua macam yaitu al-irādah
al-Kauniyyah dan al-irādah al-dīn. Al-irādah al-Kaunniyah ini merupakan
kehendak Tuhan yang memiliki hubungan dengan alam semesta. Al-irādah ini
26
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah, h. 80
79
telah ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan sejak Ia menciptakannya. Semua yang
ada di alam semesta ini termasuk ke dalam irādah-Nya, dan tidak ada satu pun
ciptaan-Nya yang dapat keluar dari irādah ini.
Dalam al-Qur’an dinyatakan mengenai contoh dari al-irādah Kauniyyah ini,
sebagaimana yang dijelaskan dalam sūrah Hūd/11: 34 berikut:
             
  
 
    
“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihat ku jika aku hendak memberi
nasihat kepada kamu, Sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah
Tuhan mu, dan kepada-Nya kamu dikembalikan".27
Ayat di atas ini jelas bahwa seseorang dari kamu jika dikehendaki Tuhan
agar menjadi sesat, niscaya segala sesuatu yang telah kamu lakukan dan perbuat
tidak akan bisa memberikan manfaat apapun untuk mu.
Yang kedua, al-irādah al-dīn. Al-irādah al-dīn ini merupakan kehendak
Allah dalam masalah agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an sūrah
an-Nisā/4: 26-27 sebagai berikut:
           
           
     
27
Ibnu Taimiyah, Al Furqon Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan. Penerjemah:
Abdurrahman Masykur (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989), h. 133
80
“Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan
menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan
Shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang
yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya
(dari kebenaran)”.28
Perbedaan di antara keduanya yaitu al-irādah al-kauniyah bersifat umum
meliputi segala peristiwa yang telah terjadi di dunia baik itu berupa kebaikan
maupun keburukan, keimanan dan kekafiran, atau ketaatan dan kemaksiatan. Jadi,
al-irādah al-kauniyah merupakan ucapan kaum Muslim yang menyatakan bahwa
jika Tuhan telah berkehendak maka akan terjadi dan jika Tuhan tidak
menghendaki maka tidak akan terjadi. Sedangkan irādah al-dīn bersifat khusus
yang berkaitan dengan hal-hal yang Tuhan cintai dan ridhai atau yang
berhubungan dengan al-Qur’an dan hadits.
Kedua irādah di atas terdapat dalam diri seorang hamba yang taat. Adapun
orang kafir dan yang berbuat maksiat hanya mengikuti irādah al-kauniyyah saja
dan tidak mengikuti irādah al-dīn. Karena ketaatan seorang hamba merupakan
kehendak Tuhan baik irādah al-kauniyyah maupun irādah al-dīn.29
C. Hakikat Perbuatan Manusia
Hakikat perbuatan manusia pada umumnya terdiri dari dua pendapat yang
berbeda antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya. Pendapat yang
pertama, perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia dan
28
29
Ibnu Taimiyah, Al Furqon Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan, h. 132
Ibnu Taimiyah, Syarh Aqidah al-Wasithiyah, h. 44
81
bukanlah perbuatan Tuhan. Pendapat yang kedua, perbuatan manusia pada
hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan karena manusia tidak memiliki daya dan
upaya dalam menciptakan perbuatannya sendiri. Oleh karena itu kehendak yang
ada di dalam diri manusia merupakan kehendak mutlak Tuhan. Dua pendapat di
atas merupakan pandangan dari dua aliran teologi Islam yaitu Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
Menurut aliran Mu’tazilah perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan
perbuatan manusia. pendapatnya ini dikuatkan dengan beberapa contoh yang
menjelaskan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan
manusia dan bukanlah perbuatan Tuhan. Pertama, ketika manusia melakukan
kebaikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya maka manusia
yang mendapatkan perlakuan baik dari manusia yang memberikan kebaikan akan
berterima kasih kepadanya. Jika manusia melakukan keburukan atau kejahatan
kepada manusia yang lain, maka manusia yang mendapat kejahatan tersebut akan
merasa tidak senang dengan tindakan buruknya itu. Terima kasih dan
ketidaksenangan seseorang tersebut ditujukan kepada manusia bukan kepada
Tuhan. Namun jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan Tuhan, maka
manusia yang merasakan perbuatannya itu akan menyampaikan perasaannya
kepada Tuhan bukan manusia. kedua, jika manusia ingin melakukan sesuatu maka
sesuatu itu akan terjadi. Namun jika manusia tersebut tidak menginginkan sesuatu
tersebut niscaya sesuatu tersebut tidak akan pernah terjadi. Jika kehendak yang
dilakukan manusia merupakan kehendak Tuhan, maka sesuatu tersebut akan
terjadi walaupun manusia itu tidak menginginkan sesuatu tersebut dan sebaliknya.
82
Ketiga, dalam diri manusia mempunyai dua macam perbuatan yaitu perbuatan
baik dan perbuatan buruk. Jika perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan,
maka Tuhan akan melakukan kedua perbuatan tersebut. Hal ini merupakan
sesuatu yang mustahil bagi Tuhan, Tuhan dalam pandangan golongan ini tidak
mungkin berbuat zalim kepada hamba-Nya.30 Ini semua merupakan gambaran
yang ditujukan oleh golongan Mu’tazilah untuk memperkokoh argumennya
mengenai hakikat perbuatan manusia.
Menurut Asy’ariyah perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan
perbuatan Tuhan walaupun Asy’ariyah menjelaskannya dengan teori kasb
(perolehan), akan tetapi pendapatnya tersebut identik dengan pendapat golongan
yang mengatakan bahwa manusia terpaksa atas perbuatannya. Asy’ariyah
dinyatakan memiliki pandangan bahwa perbuatan manusia hakikatnya perbuatan
Tuhan, sebagaimana yang ia nyatakan dalam beberapa penjelasan mengenai
perbuatan manusia. Pertama, argumen Asy’ariyah tentang diciptakannya kasb
oleh Tuhan yang dijelaskan dalam firman-Nya yaitu “Allah menciptakanmu
beserta perbuatan-perbuatan mu”. Dengan begitu kasb dan perbuatan manusia
dapat terwujud karena kehendak Tuhan. Kedua, pendapatnya mengenai perbuatan
involunter yang terdiri dari dua unsur yaitu penggerak dan yang digerakan.
Penggerak adalah pembuat gerak sebenarnya yaitu Tuhan, sedangkan yang
bergerak adalah manusia karena manusia memiliki tempat yang bersifat jasmani
(tubuh) dan Tuhan tidak mungkin memiliki sifat jasmani. Hal ini dapat
30
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, h. 105
83
digambarkan sebagai dalang yang menggerakkan wayang-wayangnya dalam
pementasan seni.31
Pandangan Ibn Taimiyah mengenai hakikat perbuatan manusia tidak terlalu
condong ke dalam pandangan aliran Mu’tazilah dan tidak pula ke dalam
pandangan aliran Asy’ariyah. Ia hanya mengikuti pendapat yang menurutnya
benar di antara kedua aliran tersebut. Pertama,
Ia setuju dengan Mu’tazilah
bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia, akan
tetapi ia tidak setuju terhadap pendapat Mu’tazilah yang meniadakan penciptaan
Tuhan terhadap perbuatan manusia. Kedua, ia setuju dengan pendapat Asy’ariyah
bahwa Tuhan merupakan pencipta perbuatan manusia, akan tetapi tidak
sependapat mengenai peniadaan hakikat manusia dalam perbuatannya. Jadi,
menurut Ibn Taimiyah perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan
dari manusia itu sendiri tapi perbuatan itu tidak akan ada tanpa adanya kehendak
dan pencipta perbuatan tersebut yaitu Tuhan.32
Dalam al-Qur’an ada ayat yang menjelas mengenai hakikat perbuatan
manusia sesuai dengan pandangan Ibn Taimiyah pada sūrah al-Fātihah/1: 5
sebagai berikut:
     
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan".
31
32
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, h. 108
Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h, 89
84
Dalam firman-Nya di atas dijelaskan bahwa perbuatan menyembah bagi
manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi
penyembahan itu tidak akan pernah terjadi jika Tuhan tidak menciptakannya.
Penyembahan yang dilakukan oleh manusia itu terjadi karena perbuatan tersebut
merupakan ciptaan Tuhan.33 Demikian bahwa semua perbuatan manusia terjadi
karena pilihan dan kehendak yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, namun
perbuatan yang ada dalam diri manusia terjadi karena kehendak dan ciptaan
Tuhan. Tuhanlah yang telah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia
merupakan pelaku dari perbuatannya. Dengan pilihan dan kehendak yang
manusia miliki, manusia tidak terpaksa dalam melakukan perbuatannya.34
Jadi dalam persoalan perbuatan manusia ini, Ibn Taimiyah mengemukakan
beberapa hal. Pertama, Tuhan menciptakan segala sesuatu termasuk manusia
beserta dengan perbuatannya. Kedua, manusia merupakan pelaku sebenarnya bagi
perbuatan-perbuatannya. Manusia juga mempunyai kemampuan dan kehendak,
sehingga manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah
dilakukannya. Ketiga, Tuhan meridhai setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh
manusia dan tidak meridhai perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia.35
Berdasarkan uraian-uraian di atas mengenai perbuatan manusia menurut Ibn
Taimiyah dengan dua aliran dalam teolog yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah dapat
digambarkan sebagai berikut:
33
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, h. 152
Ibnu Taimiyah, Syarah Aqīdah Wāsithiyah, h. 70
35
Muhammaddin, “Aliran Kalam Salafiyah”, Jurnal Imu Agama Vol. 16, No. 1 (2015): h. 90
34
85
Tabel 1.1
Perbandingan Pemikiran Ibn Taimiyah dengan Para Teolog Islam
Hakikat Perbuatan Manusia
Mu’tazilah
Asy’ariyah
Ibn Taimiyah
Perbuatan manusia pada Perbuatan manusia pada Perbuatan manusia pada
hakikatnya
merupakan hakikatnya
perbuatan manusia
merupakan hakikatnya
perbuatan Tuhan
merupakan
perbuatan manusia, akan
tetapi perbuatan manusia
merupakan
Tuhan
ciptaan
yang
telah
dikehendakinya
Hubungan Kehendak Tuhan dengan Perbuatan Manusia
Mu’tazilah
Asy’ariyah
Kehendak Tuhan hanya Kehendak
hanya
dengan
dalam
manusia,
berhubungan berhubungan
kebaikan
Ibn Taimiyah
Tuhan Kehendak Tuhan hanya
dengan berhubungan
saja kebaikan dan keburukan kebaikan saja sedangkan
perbuatan yang ada di dunia ini keburukan yang ada di
adapun termasuk perbuatan baik dunia ini berasal dari diri
keburukan yang terjadi dan buruk yang ada dalam manusia.
bukanlah
kepada
berasal
dari diri manusia, karena setiap Tuhan
Tuhan akan tetapi berasal yang ada di dunia ini keburukan,
adapun
jika
melakukan
maka
hal
86
dari manusia itu sendiri
merupakan kehendak-Nya
tersebut
mengandung
hikmah
dan
kasih
sayang-Nya
untuk
mengarahkan
manusia
kepada jalan yang di
ridhai-Nya. Jadi, adanya
kebaikan dan keburukan
di dunia ini merupakan
kehendak Tuhan. Namun
keburukan
dilakukan
tidak
yang
oleh
sama
Tuhan
dengan
keburukan
yang
dilakukan oleh manusia.
Kebebasan Manusia dalam Perbuatannya
Mu’tazilah
Manusia
kebebasan
kemerdekaan
perbuatannya.
Asy’ariyah
Ibn Taimiyah
diberikan Manusia tidak diberikan Manusia
dan kebebasan
diberi
dalam kebebasan
dalam perbuatannya akan tetapi menjalankan
untuk
segala
manusia melakukan segala perintah Tuhan dengan
sesuatunya
terpaksa.
dengan adanya
pilihan
perbuatannya.
dalam
Manusia
87
yang memilih berbeda
dengan
manusia
dipaksa
yang
dalam
perbuatannya.
D. Kritik Terhadap Jabariyah dan Qadariyah
Ibnu Taimiyah memberikan pesan kepada Ahl Sunnah wa al-Jama’ah untuk
mengambil jalan tengah di antara dua pandangan teolog yaitu Jabariyah dan
Qadariyah dalam menyelesaikan persoalan perbuatan manusia. Pertama, pendapat
aliran Jabariyah yang mengatakan bahwa segala perbuatan dan perilaku hambaNya merupakan paksaan baik itu berupa gerakan maupun detak urat nadinya,
karena semuanya merupakan perbuatan Tuhan. Sehingga setiap yang diperbuat
hamba-Nya merupakan hal yang majazi bukan yang hakiki. Adapun pandangan
aliran Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia adalah orang yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya tanpa adanya campur tangan dari Tuhan.36
Pandangan aliran Qadariyah dalam persoalan perbuatan manusia yang
menyatakan bahwa manusia diberi kebebasan dalam menciptakan perbuatannya,
Ibn Taimiyah mengkritik bahwa aliran Qadariyah ini adalah aliran yang salah.
Karena telah menyatakan adanya pencipta lain selain Tuhan. Ibn Taimiyah juga
mengkritik pandangannya bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan manusia
dan Tuhan tidak ikut campur di dalam penciptaan perbuatan manusia. Kritiknya
36
Ibnu Taimiyah, Syarh al-„Aqidah Wasithiyah, h. 71
88
mengenai hal tersebut adalah bahwa aliran Qadariyah menyakini adanya
penciptaan yang telah disanggupi oleh makhluk selain Tuhan yaitu manusia. Jadi
menurut Ibn Taimiyah, aliran Qadariyah merupakan aliran yang telah
menyimpang dari ketetapan takdir Tuhan sebagai pencipta perbuatan hambaNya.37
Aliran Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dipaksa dalam
perbuatannya dan menyatakan bahwasannya perbuatan manusia merupakan
perbuatan Tuhan sehingga manusia bersifat majazi dalam perbuatannya bukan
hakiki. Ibn Taimiyah mengkritik pandangan di atas, karena perbuatan manusia
yang sesungguhnya murni dari manusia bukan dari Tuhan. Sehingga perbuatan
manusia pada hakikatnya perbuatan manusia dan perbuatan manusia tidak bersifat
majazi akan tetapi hakiki.38
Ibn Taimiyah juga mengkritik persoalan mengenai masalah irādah Tuhan
yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Pertama, Ibn Taimiyah menolak
pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan perbuatan
manusia terwujud disebabkan oleh kehendak mutlak Tuhan. Menurut Ibn
Taimiyah, dengan mengakui bahwasannya kehendak mutlak Tuhan itu ada, tanpa
mengetahui bahwa Tuhan suka atau tidak dalam perbuatan buruk. Maka dapat
diambil kesimpulan, bahwa golongan Jabariyah menganggap Tuhan menyukai
segala maksiat dan keburukan yang ada di dunia ini. Kedua, Ibn Taimiyah juga
mengkritik aliran Qadariyah karena telah menyamakan antara perbuatan Tuhan
37
Abdurrahman bin Hasan, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah, Solo: Pustaka Rayyan,
2007, h. 44
38
Abdurrahman bin Hasan, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah, h. 81
89
dengan perbuatan manusia.39 Bagi Ibnu Taimiyah tidak ada yang boleh
menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam segala hal, karena semua
makhluk ciptaannya tidak ada yang dapat menandingi-Nya. Oleh karena itu,
Perbuatan Tuhan berbeda dengan perbuatan yang dilakukan oleh makhluk-Nya
termasuk dengan keburukan yang dilakukan-Nya berbeda dengan keburukan yang
dilakukan oleh hamba-Nya.40
39
40
Syafrial N., “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, h. 90
Ibnu Taimiyah, al-Furqān bayna al-Haq wa al-bāthil, (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 19
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah dalam persoalan perbuatan manusia yang
terdiri dari hakikat perbuatan manusia, kehendak Tuhan, kebebasan manusia dalam
berbuat semuanya ia jelaskan berdasarkan al-Qur‟an dan al-Hadits. Pemikirannya
mengenai tiga persoalan perbuatan manusia di atas tidak sama dengan pemikiran dari
golongan Mu‟tazilah dan golongan Asy‟ariyah. Ibn Taimiyah mengambil pendapat
dari mereka yang merupakan kebenaran menurutnya dan menjauhkan pendapat
mereka yang tidak benar. Jadi, pemikiran Ibn Taimiyah dalam persoalan perbuatan
manusia ini mengambil jalan penengah di antara kedua golongan yaitu Mu‟tazilah
dan Asy‟ariyah.
Dari seluruh penjelasan mengenai perbuatan baik dan buruk manusia menurut
Ibn Taimiyah serta hubungan kekuasaan Tuhan dengan perbuatan manusia dalam
skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan Ibn Taimiyah mengenai
perbuatan manusia memilih jalan tengah di antara perbedaan pendapat yang ada pada
aliran teolog Islam yang terkemuka yakni Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah, di antaranya:
Pertama, kebaikan menurut Ibn Taimiyah adalah menjalankan perintah dari
Tuhan dan menjauhkan diri dari larangan-Nya. Meninggalkan larangan serta
mengerjakan perintah, keduanya merupakan sesuatu yang berwujud. Hal tersebut
dapat dilihat ketika manusia meninggalkan larangan tersebut karena mengetahui jika
mengerjakannya akan mendapat dosa dan siksa. Sebaliknya, jika manusia mengetahui
90
91
bahwa yang diperintah oleh Tuhan maka ia akan mengerjakan perinta tersebut.
Berbeda dengan pendapat aliran Mu‟tazilah yang menyatakan bahwa baik dan buruk
dapat dilihat dari esensi zatnya sendiri, sedangkan Asy‟ariyah menyatakan bahwa
baik dan buruk dapat dilihat setelah datangnya syari‟at.
Kedua, Perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia itu
sendiri, akan tetapi yang menciptakan dan menghendaki perbuatan manusia itu terjadi
hanya Allah SWT. Hal tersebut merupakan kesimpulan pemikiran Ibn Taimiyah
mengenai hakikat perbuatan manusia yang diambil di antara dua pendapat aliran
teolog yakni Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Ibn Taimiyah setuju dengan pendapat aliran
Mu‟tazilah bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya perbuatan manusia, akan tetapi
tidak sependapat dengannya mengenai manusia sebagai pencipta perbuatannya.
sedangkan pendapat Ibn Taimiyah yang sama dengan aliran Asy‟ariyah bahwa Tuhan
merupakan pencipta dari perbuatan manusia dan tidak setuju dengan pandangan
Asy‟ariyah bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan.
Irādah Tuhan menurut Ibn Taimiyah bahwa hubungan Tuhan dengan
perbuatan manusia hanya pada kebaikan saja sedangkan keburukan yang terjadi di
dunia ini merupakan perbuatan dari hamba-Nya. Adapun jika Tuhan melakukan
keburukan pada hamba-Nya, maka keburukan tersebut merupakan hikmah dan kasih
sayang-Nya untuk mengarahkan manusia ke jalan yang diridhai oleh Tuhan dengan
cara bertaubat kepada Tuhan. Masalah irādah Tuhan dalam pandangan Ibn Taimiyah
juga mengambil pendapat yang dianggapnya benar dari dua pendapat yang
dikemukakan oleh aliran Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Menurut Mu‟tazilah kehendak
Tuhan yang berhubungan dengan perbuatan manusia hanya berupa kebaikan saja,
92
sedangkan Asy‟ariyah kehendak Tuhan meliputi kebaikan dan keburukan yang telah
ada di dunia ini.
Menurut
Mu‟tazilah
manusia
diberikan
kebebasan
dalam
semua
perbuatannya, sedangkan Asy‟ariyah mengatakan bahwa manusia terpaksa dalam
perbuatannya atau tidak memiliki kehendak dalam berbuat karena hanya ada
kehendak Tuhan saja dalam perbuatannya. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa manusia
tidak diberikan kebebasan dalam melakukan perbuatannya secara mutlak, akan tetapi
manusia memiliki pilihan, kehendak, keinginan, dan kemauan dalam menjalankan
segala yang diperintahkan Allah. Namun semua perbuatan manusia di atas
merupakan ciptaan Tuhan.
B. Saran
Pada akhir pembahasan skripsi ini penulis ingin menyampaikan beberapa
saran, sebagai berikut:
1. Untuk tidak sepenuhnya menyalahkan Tuhan dalam penciptaan perbuatan
manusia baik itu kebaikan maupun keburukan. Dan manusia hanya
dianjurkan untuk melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat
baginya bukan melaksanakan sesuatu yang membawa dirinya dalam
kemudharatan.
2. Tidak semua penelitian mengenai pemikiran kalam lebih cenderung sama
dengan pemikiran dua aliran kalam terkenal yaitu Mu‟tazilah dan
Asy‟ariyah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah). Oleh karena itu, perlu adanya
93
penelitian lebih lanjut mengenai persoalan kalam terutama pemikiran Ibn
Taimiyah.
3. Dapat memperluas khazanah keilmuan terutama dalam persoalan kalam
yaitu perbuatan manusia.
94
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT Al-Husan Zikra, 2001.
A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Abu Zahirah, Muhammad, Tārīkh al-Madzāhib al-Islāmiyah, Arab Saudi: Dār al-Fikr, t.t.
Aceh, Abubakar, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), Jakarta: Tintamas. 1966.
Akhiro, Yasya, “ Penafsiran Ibnu Taimiyah Tentang Hasanah dan Sayyi‟ah dalam
Surat an-Nisa Ayat 79: Studi Terhadap Kitab al-Hasanah wa al-Sayyi’ah”,
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2008).
al-Asy‟ari, Abu al-Hasan, Ajaran-Ajaran Asy’ari. Penerjemah: Afif Mohammad dan
A. Solihin Rasyidi, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman Institut Teknologi
Bandung, 1986.
al-Asy‟ari, Abu Hasan, Kitāb al-Luma’, T.tp.: T.pn., 1955.
al-Jamal, Muhammad, Biografi 10 Imam Besar, Penerjemah: M. Khaled Muslih,
Imam Awaluddin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir,
Penerjemah: Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2014.
Anwar, Rosihon, Akidah Akhlak, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
as-Sayid al-Julaynid, Muhammad, Qodiyyah al-Khayr wa al-Syarr fi al-Fikri al-Islāmy,
Jami‟ah Kairoh: Daar Ulum, 1981.
Asy Syarbashiy, Ahmad, Pesan-Pesan Rahasia dalam Al-Qur’an (Peradaban
Qur’ani), Jakarta: Mirqat, 2016.
95
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam Al-Qur‟an: Analisis
Konseptual Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang Bertema Kebaikan dan
Keburukan”, Mimbar, 4 Juni 2004.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001.
Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf. Penerjemah: Masturi Ilham dan Asmu‟I
Taman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Hakim, Abdul, “Filsafat Etika Ibnu Miskawaih”, Ilmu Ushuluddin, Vol. 13, No. 2
(Juli 2014).
Hasan, Abdurrahman, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah, Solo: Pustaka
Rayyan, 2007.
Hatta, Mawardy, “Aliran Mu‟tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” Ilmu
Ushuluddin Vol. 12, No. 1 (Januari 2013).
Ibnu Taimiyah, al-Hasanah wa al-Sayyi’ah, (Kairo: Dar al-Kutub, t.t).
_______, Baik dan Buruk (al-Hasanah wa al-Sayyi’ah). Penerjemah: Fauzi Faisal
Bahreisy, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.
_______, al-Furqān bayna al-Haq wa al-bāthil, (T.tp.: T.pn., t.t.).
_______, Al Furqon Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan. Penerjemah:
Abdurrahman Masykur (Jakarta: Pustakan Panjimas, 1989).
_______, Menuju Umat Amar Ma’rūf Nahi Mungkar. Penerjemah: A.H. Hasan,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
_______, Pedoman Islam Bernegara. Penerjemah: K.H. Firdaus A.N., Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1989.
_______, Syarah Aqidah Wasithiyah; Penjelasan Prinsip-Prinsip Akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Matan Akidah Wasithiyah Karya Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah. Penerjemah: Arif Munandar (Solo: Al-Qowam, 2014).
96
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan
Perbedaannya dengan Al-Asy’ari, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997.
Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Al-Qur’an. Penerjemah: Mansuruddin
Djoely., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Madkūr, Ibrāhīm, Fil Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbīqoh, Kairo: Dār alMā‟arif, 1119.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Akhlak Mulia. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,dkk.,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004).
Mansur, M. Laily, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Mufid, Fathul, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy‟ari dan
al-Maturidi”, Fikrah, Vol.I, No. 2 Juli-Desember 2013.
Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa Nihal. Penerjemah
Asywadie Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.t).
Muhammaddin, “Aliran Kalam Salafiyah”, Jurnal Ilmu Agama Vol. 16, No. 1 (2015).
Nasharuddin, Akhlak: Ciri Manusia Paripurna, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang,
2014.
_______, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, Jakarta: UI
Press, 1986.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015.
Nusaibah, “Sayyi‟ah dalam Al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikir Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
97
Sobur, A. Kadir, “Teologi „Poros Tengah‟ Satu Kajian Terhadap Af‟al al-Ibâd dalam
Pemikiran Kalam Al-Asy‟ari,” Media Akademika Forum Ilmu dan Budaya
Islam Vol. 17, No. 3 (Juli 2002).
Sou‟yb, Joesoef, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam,
Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, 1982.
Syafrial N, “Corak Teologi Ibnu Taimiyah”, Tajdid, Vol. 18, No. 1 (Juli 2015).
The Encyclopedia of Islam vol. III, (Leiden: E. J. Brill, 1979).
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992.
_______, Ensiklopedia Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008.
Untung, Syamsul Hadi, dan Nofriyanto, “ Al-Imâm Ibn Taimiyah wa Arauhu fi AlQadaya al-Aqâidiyyah”, Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran
Islam, Vol. 14, No. 1 (Maret 2016).
Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya
Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenada media Group, 2014.
Zulfata, “Model Pemikiran Ketuhanan Reformis Menurut Ibnu Taimiyah dan
Johanes Calvin”, (Makalah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri ArRaniry Banda Aceh, 2013).
Download