1 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN

advertisement
1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
EFIKASI-DIRI ORANG TUA DALAM PENGASUHAN ANAK
TUNAGRAHITA
Oleh
NURUL FADHILAH RUHANI
ULY GUSNIARTI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
EFIKASI-DIRI ORANG TUA DALAM PENGASUHAN ANAK
TUNAGRAHITA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing
(Uly Gusniarti, S.Psi, M.Si)
3
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
EFIKASI-DIRI ORANG TUA DALAM PENGASUHAN ANAK
TUNAGRAHITA
Nurul Fadhilah Ruhani
Uly Gusniarti
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosional dengan efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Hipotesis
dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional
dengan efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Semakin tinggi
kecerdasan emosional maka semakin tinggi efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan anak
tunagrahita. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin rendah
pula tingkat efikasi-diri.
Subjek dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak tunagrahita
yang bersekolah di SLB bagian C. Di SLB Negeri I Sleman dan SLB B-C Wiyata
Dharma III Ngaglik. Metode pengumpulan data dengan menggunakan skala efikasi-diri
yang mengacu pada teori Bandura (1997) dan skala kecerdasan emosional yang mengacu
pada teori Goleman (2005).
Metode analisis data menggunakan korelasi product moment dari Pearson yang
dilakukan dengan menggunakan fasilitas program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil
analisis data menunjukkan korelasi sebesar r = 0,482 dengan p = 0,000 atau (p < 0,01)
yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan
efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Jadi hipotesis diterima.
Kata kunci: Kecerdasan emosional, efikasi-diri dalam pengasuhan, orang tua, SLB,
tunagrahita.
4
PENGANTAR
Latar Belakang
Kelahiran
merupakan
saat
yang
ditunggu-tunggu
dan
sangat
menggembirakan bagi orangtua. Anak adalah buah hati yang sangat didambakan
kehadirannya dan nantinya diharapkan sebagai penerus generasi oleh orangtua.
Keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan utama bagi anak seyogyanya
mampu menjadi peletak dasar dalam pembentukan karakter yang baik sebagai
landasan pengembangan kepribadian anak yang akan membentuk karakter bangsa
di kemudian hari.
Orang tua mempunyai kewajiban untuk merawat, membesarkan, dan
mendidik anak. Mereka mempunyai tugas mempersiapkan anaknya agar dapat
hidup dengan layak dan berguna bagi masyarakat. Ketika anak yang dilahirkan
ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan atau dengan kata lain mengalami
cacat mental, tentunya untuk mewujudkan hal di atas bukanlah hal yang yang
mudah untuk dilakukan. Menurut Mangunsong (1998) anak tunagrahita
mempunyai karakteristik psikologis dan tingkah laku, yaitu mempunyai masalah
dalam pemusatan perhatian, mengalami kesulitan dalam mengingat informasi,
mengalami kesulitan dalam self regulation atau mengatur tingkah lakunya sendiri,
perkembangan bahasa yang terlambat, terhambat dalam prestasi akademik,
mempunyai hambatan dalam perkembangan sosial, dan mempunyai masalah
dalam motivasi.
Salah satu permasalahan yang dihadapi orang tua anak tunagrahita adalah
dalam hal pengasuhan terhadap anak. Orang tua menghadapi kendala dalam upaya
5
pengasuhan, pendidikan, pengarahan, dan pembinaan terhadap kondisi anak.
Banyak orang tua yang mempunyai anak tunagrahita mengeluh tentang
pengasuhan anaknya. Ada suatu kasus yang diceritakan oleh seorang ibu (R) yang
mempunyai anak tunagrahita berusia 7 tahun. Menurutnya anaknya kurang
menunjukkan adanya kemajuan dalam perkembangannya, bahkan sering
memperlihatkan perilaku yang negatif seperti memukul, meludahi teman, dan
tantrum. Ibu (R) mengalami kesulitan dalam menghadapi anaknya ketika perilaku
negatifnya muncul dan merasa khawatir dengan perkembangannya (http://pikiranrakyat.com/index.php?mib=beritadetail &id=7805.16/03/08).
Hasil wawancara peneliti dengan seorang ibu (M) yang mempunyai anak
tunagrahita juga menunjukkan kasus yang hampir sama. Anaknya yang berusia 9
tahun seringkali memaksakan kehendaknya bila meminta sesuatu dan harus selalu
dipenuhi. Tidak jarang anaknya mengamuk apabila keinginannya tidak segera
dituruti. Hal ini membuat Ibu (M) merasa kewalahan dalam mengasuh anaknya.
Kasus lain juga terjadi pada Ibu (I), anaknya yang berusia 8,5 tahun diketahui
mengalami cacat mental atau tunagrahita ketika masuk SD, kemudian anaknya di
sekolahkan ke SLB. Menurut Ibu (I) anaknya sulit untuk diatur dan cenderung
tidak mau menuruti orang tua, Ibu (I) bingung harus melakukan apa ketika
anaknya tersebut sulit untuk diberi pengertian.
Orang tua cenderung kurang memiliki keyakinan dalam mengasuh anak
tunagrahita, dalam psikologi dapat dikatakan orang tua mempunyai efikasi-diri
yang cenderung rendah. Menurut Bandura (Rizvi, dkk, 1997) keyakinan dan
kepercayaan menopang kemampuan dan memberikan landasan bagi seseorang
6
untuk berusaha dengan tekun, ulet, menumbuhkan motivasi yang kuat dan
keberanian menghadapi hambatan.
Efikasi-diri adalah proses kognitif yang mempengaruhi motivasi seseorang
berperilaku. Seberapa baik seseorang dapat menentukan atau memastikan
terpenuhinya motif mengarah pada tindakan yang diharapkan sesuai situasi yang
dihadapi, menurut Bandura (Rizvi, dkk, 1997). Efikasi-diri yang tinggi terhadap
pengasuhan anak tunagrahita dapat membuat orang tua merasa lebih mampu
dalam mengasuh anaknya. Sehingga dapat lebih baik lagi dalam mengasuh
anaknya dan berpengaruh baik pula terhadap perkembangan anak. Sebaliknya,
apabila efikasi-diri orang tua terhadap pengasuhan anak tunagrahita rendah maka
hal tersebut tidak akan membantu dalam mengatasi permasalahan-permasalahan
dalam pengasuhan.
Efikasi-diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Bandura (Freist &
Freist, 1998) faktor tersebut adalah: pengalaman keberhasilan (mastery
experiences), pengalaman orang lain (vicarious experiences), persuasi sosial
(social persuation), serta keadaan fisiologis dan emosional (physiological and
emotional states). Seseorang dapat mengukur tingkat keyakinan mereka dengan
pengalaman emosi yang mereka alami.
Emosi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap efikasidiri. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak
(Goleman, 2005). Emosi juga merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan
dalam diri individu. Menurut Mayer (Goleman, 2005) orang cenderung menganut
7
gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri,
tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Orang yang sadar diri peka akan
suasana hatinya dan mempunyai kejernihan pikiran tentang emosi sehingga dapat
mengatur emosi. Orang yang tenggelam dalam perasaan adalah orang yang
merasa dikuasai oleh emosi yang tak berdaya untuk melepaskan diri, orang
tersebut tidak peka akan perasaanya sehingga larut dalam perasaannya itu
akibatnya orang tersebut merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan
emosionalnya. Sedangkan orang yang pasrah, mereka sebenarnya sering kali peka
akan apa yang mereka rasakan tetapi mereka juga cenderung menerima begitu
saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Dengan
melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan
emosional.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2005). Dengan mempunyai
kecerdasan emosi orangtua dapat termotivasi untuk mempunyai keyakinan
terhadap pengasuhan anak tunagrahita, sehingga kecerdasan emosi yang dimiliki
oleh orangtua dapat bermanfaat bagi orang tua dalam pengasuhan anak
tunagrahita sehari-hari.
Berdasarkan pada uraian di atas, penulis ingin mengetahui seberapa jauh
hubungan antara kecerdasan emosional dengan efikasi-diri orang tua dalam
pengasuhan anak tunagrahita.
8
TINJAUAN PUSTAKA
A. Efikasi-diri dalam Pengasuhan Anak Tunagrahita
1. Pengertian Efikasi-diri
Menurut Bandura (Freist & Freist, 1998) efikasi-diri didefinisikan
sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam mengerjakan
tugas, aktivitas ataupun usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Baron
dan Byrne (1997) mendefinisikan efikasi-diri sebagai evaluasi seseorang
mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas,
mencapai tujuan dan mengatasi hambatan.
Brehm dan Kassin (Effendy, 2005) mendefinisikan efikasi-diri sebagai
keyakinan seseorang bahwa ia mampu melakukan tindakan spesifik yang
diperlukan untuk memperoleh hasil yang diinginkan dalam suatu situasi.
Sedangkan Myers (Effendy, 2005) mengartikan efikasi-diri sebagai perasaan
yang dimiliki oleh individu bahwa dirinya adalah orang yang pandai dan
mampu melakukan tindakan-tindakan yang tepat.
2. Pengasuhan Anak Tunagrahita
Pengasuhan atau parenting menurut Morris (Brooks, 2003) secara
umum diartikan sebagai rangkaian dari tindakan-tindakan dan interaksiinteraksi pada pihak orang tua untuk mendukung perkembangan anak.
Parenting dapat diartikan bagaimana orang tua memperlakukan anak,
mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam
mencapai proses kedewasaan, bahkan pada upaya pembentukan norma-norma
yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya (Casmini, 2007). Menurut
9
Steinberg (2005) pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai
dengan kondisi psikologis, dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati,
mengandalkan diri sendiri, kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan
kebahagiaan.
Pengasuhan yang baik dapat pula diterapkan untuk anak tunagrahita
atau keterbelakangan mental. Menurut AAMR (American Association on
Mental
Retardation)
menjelaskan
bahwa
keterbelakangan
mental
menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi, yang menyangkut fungsi
intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan
pada dua atau lebih dari ketrampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri
sendiri, ketrampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu
luang (Mangunsong,1998). Keadaan ini tampak sebelum usia 18 tahun. Orang
tua yang memiliki anak tunagrahita dapat berperan dalam pengasuhan untuk
membantu perkembangan anak.
3. Aspek-Aspek Efikasi-diri terhadap Pengasuhan Anak Tunagrahita
Bandura (1997) membagi efikasi-diri menjadi tiga dimensi, yaitu :
a. Dimensi tingkat (magnitude)
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, dimana individu
merasa mampu melakukannya. Dapat diartikan pula suatu tingkat ketika
seseorang meyakini usaha atau tindakan yang dapat ia lakukan.
10
b. Dimensi kekuatan (strength)
Dimensi ini dikaitkan dengan kekuatan penilaian tentang kecakapan
individu. Mengacu pada derajat kemampuan individu terhadap keyakinan
akan harapan yang dibuatnya.
c. Dimensi generalisasi (generality)
Dimensi ini berhubungan dengan luas bidang perilaku. Efikasi-diri
seseorang tidak terbatas hanya situasi spesifik saja. Mengacu pada variasi
situasi dimana penilaian tentang Efikasi-diri dapat diungkapkan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi-diri dalam Pengasuhan anak
Tunagrahita
Bandura (Freist & Freist, 1998) mengemukakan bahwa faktor yang
mempengaruhi efikasi-diri dapat berasal dari empat sumber, yaitu :
1.
Pengalaman keberhasilan (mastery experiences)
Sumber ini dipercaya sebagai sumber yang berpengaruh karena
berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung individu dalam menuntaskan
suatu tugas. Pengalaman keberhasilan akan meningkatkan penilaian terhadap
efikasi-diri, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkan penilaian
terhadap efikasi-diri seseorang.
2. Pengalaman orang lain (vicarious experiences)
Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan
individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan efikasidiri seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Pengalaman tentang
keberhasilan diperoleh melalui pengamatan terhadap orang lain.
11
3. Persuasi sosial (social persuation)
Sumber ini mengacu pada penyampaian informasi secara verbal oleh
seseorang yang berpengaruh. Persuasi sosial ini biasanya digunakan untuk
meyakinkan individu bahwa dirinya cukup mampu melakukan suatu tugas,
sehingga kemudian mendorong individu untuk melakukan tugasnya sebaik
mungkin.
4. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional states)
Emosi yang kuat umumnya mempengaruhi tindakan seseorang. Seseorang
yang mengalami rasa takut, kecemasan, dan stres akan gagal dalam
menyelesaikan tugas. Reaksi emosi yang kuat pada sebuah tugas membuat
isyarat tentang antisipasi terhadap keberhasilan atau kegagalan. Ketika
individu mengalami pikiran negatif dan ketakutan mengenai kemampuan
mereka, hal tersebut dapat menurunkan efikasi-diri dan memicu stres,
sehingga apa yang mereka takutkan dapat benar-benar terjadi. Proses gejala
emosi yang mempengaruhi tingkat efikasi-diri membuat kecerdasan emosional
menjadi penting peranannya. Kemampuan seperti memotivasi diri, mengelola
emosi, mengatasi efek stres dan kondisi suasana hati yang buruk menjadi cara
yang relevan untuk meningkatkan efikasi-diri.
Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Emosi
Menurut Goleman (2005) emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk
12
bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar
dan dalam diri individu. Menurut Mayer (Goleman, 2005) orang cenderung
menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka,
yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat
keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional
agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di
jalani menjadi sia-sia.
2. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey & Mayer (Arbadiati & Kurniati, 2007) kecerdasan
emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,
meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional dengan
kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Lebih lanjut Goleman (2005) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa.
Patton (Casmini, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan,
13
membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Sedangkan Cooper
dan Sawaf (Efendi, 2005), menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan
kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai sebuah sumber energi manusia,
informasi, hubungan, dan pengaruh.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengenali emosi diri dan orang
lain, mengelola emosi diri, memotivasi diri, dan kemampuan berhubungan
dengan orang lain.
3. Aspek- aspek kecerdasan emosi
Salovey (Goleman, 2005) membagi kecerdasan emosional menjadi lima
wilayah, antara lain:
1.
Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
berfungsi untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu dan
mencermati perasaan- perasaan yang muncul.
2.
Mengelola emosi
Merupakan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar.
14
3.
Memotivasi diri sendiri
Menata emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat
penting untuk memberi perhatian, memotivasi dan menguasai diri.
4.
Mengenali emosi orang lain
Disebut juga dengan empati, merupakan kemampuan yang
bergantung pada kesadaran diri, dan merupakan ketrampilan dasar dalam
bergaul.
5.
Membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan
keterampilan
yang
dalam
membina
menunjang
hubungan
popularitas,
merupakan
kepemimpinan
suatu
dan
keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2005). Keterampilan dalam
berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan
membina hubungan.
C. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Efikasi-diri Orang tua
dalam Pengasuhan Anak Tunagrahita
Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki
seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa
(Goleman, 2005). Kecerdasan emosional sangat diperlukan bagi orang tua
yang mempunyai anak tunagrahita, karena kecacatan yang dialami oleh anak
menambah beban emosi orang tua dalam membesarkan anaknya tersebut. Hal
yang paling sulit dikendalikan dalam hidup adalah emosi-emosi negatif yang
menyerang pikiran dan suasana hati (Safaria, 2005). Emosi dapat
15
meruntuhkan kekuatan dan semangat hidup untuk berjuang membesarkan
anak tunagrahita.
Menurut Davis (2008) kecerdasan dalam mengenali emosi diri sangat
penting karena emosi memberikan informasi untuk setiap pertimbangan.
Orang tua yang cerdas secara emosional akan dengan mudah memahami dan
mengidentifikasi secara tepat respon emosional yang muncul dalam dirinya,
dengan kemampuan ini orang tua tersebut akan mampu dan mempunyai
keyakinan dalam membuat keputusan.
Kemampuan mengelola emosi dapat meningkatkan efikasi-diri atau
keyakinan diri orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Kemampuan
dalam mengelola emosi dapat membuat seseorang lebih mampu berpikir
rasional pada saat-saat emosi berada di puncak (Safaria, 2005). Ketika orang
tua yang mempunyai anak tunagrahita mengalami emosi-emosi negatif dalam
dirinya seperti stres, marah, atau sedih yang berkaitan dengan pengasuhan
anaknya tersebut sehari-hari, orang tua memerlukan kemampuan untuk
mengelola emosi-emosi tersebut.
Selain kemampuan mengelola emosi, untuk meningkatkan efikasi-diri
maka perlu disertai dengan memotivasi diri. Menurut Safaria (2005) orang
yang mempunyai kecerdasan emosi adalah orang yang mampu memotivasi
diri sendiri, membangkitkan semangat, menghidupkan energi positif dalam
diri saat berhadapan dengan hambatan-hambatan. Ketika menghadapi keadaan
yang sulit, orang yang mempunyai kemampuan memotivasi diri mampu
membangkitkan optimisme dalam dirinya. Menurut Goleman (2005)
16
optimisme
merupakan
motivator
utama,
optimisme
didasari
oleh
pendayagunaan diri yaitu keyakinan bahwa orang mempunyai penguasaan
akan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya dan dapat menghadapi tantangan
saat tantangan itu datang. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Goleman,
Bandura (Goleman, 2005) juga mengemukakan bahwa keyakinan seseorang
akan kemampuannya berpengaruh besar terhadap kemampuan itu.
Peningkatan keyakinan diri seseorang dapat juga terbentuk melalui
membina hubungan dengan orang lain. Dalam interaksi yang dilakukan antara
orang tua yang mempunyai anak tunagrahita dengan orang disekitarnya
biasanya terkandung emosi-emosi yang menyertainya, sehingga orang tua
dapat terpengaruh dengan emosi-emosi orang lain. Menurut Goleman (2005)
emosi itu menular. Mempengaruhi kondisi emosi orang lain agar menjadi
lebih baik atau lebih buruk merupakan hal yang alamiah. Tidak menutup
kemungkinan bahwa emosi-emosi positif yang dibawa orang lain berkaitan
dengan keyakinan dalam mengasuh anak tunagrahita dapat mempengaruhi
orang tua yang mempunyai anak tunagrahita.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional sangat
berperan penting dalam kehidupan orang tua yang mempunyai anak
tunagrahita, khususnya dalam pengasuhan anak tunagrahita. Kecerdasan
emosi dapat berpengaruh terhadap keyakinan diri orang tua dalam
menghadapi berbagai kesulitan mengasuh anak tunagrahita. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kecerdasan emosional mempunyai pengaruh yang positif
terhadap efikasi-diri khususnya dalam pengasuhan anak tunagrahita.
17
Hipotesis
Ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan efikasidiri orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Semakin tinggi kecerdasan
emosional maka semakin tinggi efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan anak
tunagrahita.
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah para orang
tua yang mempunyai anak tunagrahita dan tinggal di Yogyakarta.
Memiliki karakteristik :
-
Anak bersekolah di SLB bagian C
-
Anak tinggal bersama orang tua
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Pengumpulan data dengan
menggunakan skala yang terdiri dari skala efikasi-diri orang tua dalam
pengasuhan anak tunagrahita dan skala kecerdasan emosional.
1. Skala Efikasi-diri Orang Tua dalam Pengasuhan Anak Tunagrahita
Skala ini disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi yang
dikemukakan oleh Bandura (1997) yang terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi
tingkat (magnitude), dimensi kekuatan (strength), dan dimensi generalisasi
(generality). Skala ini disusun sebanyak 65 aitem dan menggunakan empat
alternatif jawaban, subjek mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan skor
satu, dua, tiga, dan empat untuk setiap aitem. Semakin tinggi skor yang
18
diperoleh maka semakin tinggi efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan anak
tunagrahita. Skala ini mempunyai koefisien reliabitas 0,911 dan validitas yang
bergerak antara 0,316 sampai 0,713.
2. Skala Kecerdasan Emosional
Skala ini disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan
emosional yang dikemukakan Goleman (2005) meliputi mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan
membina hubungan dengan orang lain. Skala ini disusun sebanyak 35 aitem
dan menggunakan empat alternatif jawaban, subjek mempunyai kemungkinan
untuk mendapatkan skor satu, dua, tiga, dan empat untuk setiap aitem.
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi kecerdasan
emosionalnya. Skala ini mempunyai koefisien reliabilitas 0,888 dan validitas
yang bergerak antara 0,304 sampai 0,582.
Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode statistik. Teknik statistik yang digunakan untuk melihat hubungan
antara kecerdasan emosional dan efikasi-diri orangtua dalam pengasuhan anak
tunagrahita adalah uji korelasi product moment dari Pearson yang dilakukan
dengan program SPSS 12.0 for windows.
D. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan efikasi-diri
orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Hal ini diketahui dari uji
19
korelasi product moment dari Pearson, yang menunjukkan koefisien korelasi
(r) sebesar 0,482 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal tersebut sejalan dengan yang
diungkapkan Bandura (Freist dan Freist, 1998) bahwa faktor yang
mempengaruhi
efikasi-diri
adalah
pengalaman
keberhasilan
(mastery
experiences), pengalaman orang lain (vicarious experiences), persuasi sosial
(social persuation), dan keadaan fisiologis dan emosional (physiological and
emotional states). Dimana kecerdasan emosional mempunyai peranan penting
dalam proses gejala emosi yang mempengaruhi tingkat efikasi-diri.
Kemampuan dalam kecerdasan emosional seperti memotivasi diri, mengelola
emosi, mengatasi efek stres dan kondisi suasana hati yang buruk menjadi cara
yang relevan untuk meningkatkan efikasi-diri.
Kecerdasan emosional sangat diperlukan oleh orang tua yang
mempunyai anak tunagrahita, karena dapat membantu mengendalikan beban
emosi yang disebabkan oleh kondisi anak yang mengalami kecacatan.
Menurut Safaria (2005) hal yang paling sulit dikendalikan dalam hidup adalah
emosi-emosi negatif yang menyerang pikiran dan suasana hati. Jika emosiemosi negatif mampu dikendalikan maka dapat meningkatkan kekuatan,
semangat, serta keyakinan untuk berjuang mengasuh anak tunagrahita.
Berdasarkan dari hasil kategorisasi kecerdasan emosional dengan
efikasi-diri subjek memiliki kecerdasan emosional dalam kategori tinggi.
Hasil rerata empirik dari keseluruhan subjek dalam variabel kecerdasan
emosional sebesar 94,40. Tingkat efikasi-diri subjek penelitian dapat
digolongkan dalam kategori tinggi. Hal ini dapat dilihat dari prosentase norma
20
kategori yang mencapai 52 %. Nilai R Square antara kecerdasan emosional
dengan efikasi-diri adalah sebesar 0,232. Hal ini menunjukkan bahwa
sumbangan efektifnya adalah 23,2 %.
Berdasarkan dari penelitian dapat diketahui bahwa kecerdasan
emosional dapat membantu orang tua yang mempunyai anak tunagrahita
meningkatkan efikasi-dirinya. Kemampuan dalam kecerdasan emosional
seperti kemampuan dalam mengenali emosi diri sendiri, kemampuan
mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan membina
hubungan dengan orang lain, serta kemampuan mengenali emosi orang lain.
Berdasarkan dari uji analisis regresi antara aspek kecerdasan
emosional denganefikasi-diri. Diperoleh bahwa aspek mengenali emosi diri
mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan efikasi-diri. Hal ini
ditunjukkan dengan r = 0,454 dengan p = 0,001, p<0,05. Sumbangan efektif
mengenali emosi diri terhadap efikasi-diri diketahui sebesar 20,6 %.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian menunjukkan adanya
hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan efikasidiri orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita. Hal ini berarti semakin
tinggi kecerdasan emosional maka efikasi-diri orang tua dalam pengasuhan
anak tunagrahita akan mengalami peningkatan. Begitu pula sebaliknya
semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin rendah pula efikasi-diri
orang tua dalam pengasuhan anak tunagrahita.
21
Saran-Saran
1. Bagi Orang tua
Orang tua anak tunagrahita yang telah mempunyai kecerdasan emosi yang
tinggi diharapkan dapat terus mempertahankannya. Bagi orang tua anak
tunagrahita yang belum memiliki kecerdasan emosi yang tinggi diharapkan terus
berusaha untuk belajar mengembangkan kemampuan diri. Dengan hal tersebut
dapat meningkatkan kecerdasan emosional orang tua, sehingga berpengaruh pula
terhadap keyakinan diri orang tua atau efikasi-diri orang tua dalam mengasuh
anak tunagrahita menjadi meningkat
2. Bagi Pihak Sekolah
Disarankan untuk memberikan informasi tentang pentingnya keyakinan diri
yang dapat membantu kecerdasan emosional agar dapat mengasuh anak dengan
baik. Selain itu sekolah juga bisa memberikan kursus parenting kepada orang tua,
serta pihak sekolah dapat melibatkan para orang tua sebagai teacher assistant. Hal
lain yang dapat dilakukan pihak sekolah adalah menjadi jembatan terbentuknya
perkumpulan para orang tua siswa, dengan begitu para orang tua dapat
berinteraksi dan saling membantu.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Saran bagi penelitian selanjutnya yang berminat dengan tema yang sama
diharapkan dapat memberikan treatmen kepada subjek penelitian. Selain itu dapat
mempertimbangkan variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap efikasi-diri.
Skala penelitian sebaiknya tidak dibawa pulang subjek penelitian agar peneliti
dapat memantau proses selama mengisi skala.
22
DAFTAR PUSTAKA
Arbadiati, C.W dan Kurniati, N.M. 2007. Hubungan antara Kecerdasan Emosi
dengan Kecenderungan Problem Focus Coping pada Sales. Proceeding
PESAT Gunadarma. Vol.24. 24-27.
Bandura, A. 1997. Self Efficacy The Exercise of Control. New York: W. H.
Freeman and Company
Baron, RA. & Byrne, D. 1997. Social Psychology. Massachussetts: Allyn &
Bacon Co.
Brooks, J.B. 2003. The Process of Parenting. Sixth Edition. New York: McGraw
Hill.
Casmini. 2007. Emotional Parenting: Dasar-dasar Pengasuhan Kecerdasan
Emosi Anak. Yogyakarta: P-Idea.
Daryati, E. 2007. Keterlibatan Orang Tua Pada Pengasuhan Anak DS.
http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id= 7805.16/03/08)
Davis, M. 2006. Tes Emotional Quotient Anda. Jakarta: PT. Mitra Media.
Efendi, A. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, &
Successful Intellligence atas IQ. Bandung: Alfabeta.
Effendy, Z. 2005. Pengaruh Pelatihan Kewirausahaan terhadap Peningkatan
Efikasi Diri Berwirausaha pada Remaja Akhir. Skripsi (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.
Freist, J. & Freist, G. J. 1998. Theories of Personality. Fourth edition. Boston :
McGraw Hill Companies, Inc.
Goleman, D. 2005. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakata: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Mangunsong, F. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta:
LPSP3 UI.
Rizvi, dkk.1997. Pusat Kendali dan Efikasi Diri Prediktor terhadap Prokrastinasi
Akademik Mahasiswa. Jurnal Psikologika. No 3. 51-66.
Safaria, T. 2005. Autisme: Pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi orang
tua. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Steinberg, L. 2005. 10 Prinsip Dasar Pengasuhan yang Prima: Agar Anda Tidak
Menjadi Orang Tua Yang Gagal. Bandung: Kaifa.
Download