1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang tua pasti sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam pernikahannya karena anak merupakan anugerah yang sangat berarti bagi kedua orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang tuanya. Namun tidak semua anak yang lahir ke dunia dalam keadaan yang sama. Mereka terlahir dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Beberapa anak terlahir dengan kondisi yang sempurna, sementara yang lainnya terlahir dengan keterbatasan fisik maupun psikis. Menurut Hallahan & Kauffman (2006), anak-anak yang mengalami ketidakmampuan atau keterbatasan fisik ataupun psikis, baik yang bersifat bawaan atau terjadi ketika masa pertumbuhan disebut anak berkebutuhan khusus (ABK). Anak berkebutuhan khusus tersebut dapat mengalami gangguan seperti gangguan penglihatan (tunanetra), gangguan emosional atau perilaku, gangguan komunikasi, gangguan fisik (tunadaksa), kesulitan belajar (tunalaras), gangguan pendengaran (tunarungu), atau mengalami retardasi mental (tunagrahita). Anak tunagrahita dikelompokkan sebagai anak berkebutuhan khusus karena memiliki karakteristik adanya gangguan dalam bentuk fungsi intelektual dan kemampuan adaptasi sosial yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, yang telah tampak sejak masa anak-anak (Durand & Barlow, 2006). Klasifikasi tunagrahita menurut DSM-IV (1994 dalam Lumbantobing, 2006) dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu tunagahita ringan, tunagrahita sedang, tunagrahita berat, 1 2 dan tunagrahita sangat berat. Berdasarkan pembagian tingkatan-tingkatan intelegensi, untuk IQ pada tunagrahita ringan yaitu 50-70, tunagrahita sedang yaitu 35-49, tunagrahita berat yaitu 20-34 dan tunagrahita sangat berat <20 (Hallahan & Kauffman, 2006). World Health Organization memperkirakan bahwa prevalensi (WHO, 2008 dalam Dewi, 2011) tunagrahita di dunia sebesar 3% dan akan cenderung mengalami peningkatan sepanjang tahunnya. Jika populasi penduduk di dunia sekitar 6,5 milyar, maka dapat diperkirakan sebesar 195 juta jiwa menyandang tunagrahita, dan dari perkiraan WHO ini dapat dianalogikan bahwa semakin besar populasi penduduk suatu negara, maka semakin besar pula jumlah penyandang tunagrahita di negara tersebut. Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Diperkirakan bahwa 1-3% dari jumlah penduduk di Indonesia menderita tunagrahita (Maramis, 2009). Berdasarkan hasil Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2006 (Wahyuandre, 2009 dalam Dewi, 2011), ditemukan bahwa dari 222.192.572 penduduk Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2.810.212 jiwa adalah penyandang cacat, 601.947 anak (21,42%) diantaranya adalah anak cacat usia sekolah (5-18 tahun), dan angka paling besar ditempati oleh populasi anak dengan tunagrahita. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Bali jumlah kecacatan di SLB seluruh Bali baik dari tingkat SDLB sampai SMALB sebanyak 1697 orang, sebagian diantaranya adalah anak dengan tunagrahita. Sementara itu, hasil rekapitulasi jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial tahun 2010 oleh 3 Dinas Sosial Provinsi Bali menyebutkan jumlah penderita cacat mental sebanyak 6.101 orang. Berdasarkan data di atas, dapat dibayangkan besarnya jumlah penyandang tunagrahita di Indonesia, khususnya di Provinsi Bali. Menurut American Association on Mental Retardation (Dewi, 2011), besarnya jumlah penyandang tunagrahita tersebut akan berdampak pada munculnya masalah bagi masyarakat, keluarga, dan anak itu sendiri, termasuk secara tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. Besarnya jumlah penyandang tungrahita di suatu negara akan memicu meningkatnya beban negara tersebut karena mengurangi produktivitas penduduk. Keterbatasan anak tunagrahita dalam area fungsi adaptif, seperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, tinggal di rumah, keterampilan interpersonal atau sosial, keterampilan akademik, penunjukan diri, pekerjaan waktu senggang dan kesehatan serta keamanan (Napolion, 2010) menjadi alasan tingginya tingkat ketergantungan anak tunagrahita terhadap keluarga atau caregiver. Caregiver adalah seseorang dalam keluarga yang memberikan perawatan untuk anggota keluarga lain yang sakit atau yang tidak mampu (Oyebode, 2003 dalam Dewi, 2011). Salah satu anggota keluarga yang biasa menjadi caregiver adalah orang tua. Menurut Byrne, Cunningham & Sloper (1988; Harahap, 2005), keluarga atau caregiver adalah pihak yang sebaiknya mendapatkan informasi pertama mengenai diagnosa tunagrahita pada anggota keluarganya. Pemberian informasi tersebut akan melibatkan dua kelompok individu yang berasal dari dua dunia yang 4 sangat berbeda, yaitu pihak keluarga dan tenaga profesional. Setelah keluarga memperoleh informasi tersebut, maka keluarga selanjutnya akan mengalami suatu periode krisis. Periode krisis ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pertama, tahap penolakan atau penyangkalan, dimana orang tua atau pihak keluarga akan menyangkal dan berusaha mencari ahli kesehatan lain yang akan menyatakan bahwa anaknya normal, sampai orang tua akhirnya menyerah baik dengan terpaksa atau dengan sadar setelah pergi dari satu ahli kesehatan ke ahli kesehatan lain secara berganti-ganti. Kedua, tahap duka cita dan kesedihan yang mendalam, dimana disebabkan oleh karena kondisi anak yang tidak diharapkan, dan merasa seolah-olah mereka kehilangan sesuatu. Ketiga, tahap penerimaan, dimana orang tua menerima keadaan anak, baik secara sadar maupun secara terpaksa (Sembiring, 2002 dalam Dewi, 2011). Masing-masing orang tua akan memiliki respon yang unik dalam menyikapi kondisi yang menimpa anaknya. Respon pada masing-masing tahapan memerlukan waktu yang berbeda untuk setiap orang tua dan tidak semua orang tua yang memiliki anak tunagrahita melalui ketiga tahapan tersebut (Dewi, 2011). Respon orang tua atau keluarga terhadap setiap tahapan tersebut perlu dikaitkan dengan konsep keluarga sebagai sistem pendukung untuk individu. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka disfungsi apapun yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga atau bahkan keseluruhan keluarga (Achjar, 2010). Pada keluarga dengan anak tunagrahita, meningkatnya beban keluarga karena merawat anak tunagrahita akan mempengaruhi fungsi keluarga (Gulseren, dkk., 2010 dalam Dewi, 2011). 5 Hal tersebut secara tidak langsung akan memicu munculnya masalah psikososial pada keluarga. Salah satu masalah psikososial tersebut yaitu ansietas. Gangguan ansietas adalah kondisi tegang yang dialami oleh seseorang secara berlebihan atau tidak pada tempatnya dan ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009). Pada keluarga dengan anak tunagrahita, gangguan ansietas muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi dan waktu yang tidak singkat dalam perawatan, ketergantungan anak dengan keluarga/caregiver, dibutuhkan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi emosi anak, adanya stigma sosial tentang tunagrahita, serta ketidakmampuan keluarga dalam mengelola stres (Jarvelin, 2002 dalam Dewi, 2011; Tsai & Wang, 2008 dalam Dewi, 2011). Selain itu, beberapa keluarga dihinggapi oleh munculnya kecemasan tentang masa depan anaknya terkait adanya kemunduran produktivitas orang tua serta kekhawatiran bahwa anak tidak mampu berfungsi optimal secara ekonomis dikarenakan keterbatasannya (Hassall, Rose & McDonald, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Maes, Broekman, Dosen & Nauts, (2003 dalam Dewi, 2011) juga membuktikan bahwa masalah psikiatrik dan perilaku pada anak tunagrahita mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada keluarganya. Berdasarkan permasalahan tersebut, tentu diperlukan penatalaksanaan atau intervensi sedini mungkin untuk mengurangi ansietas keluarga khususnya orang tua dalam merawat anak tunagrahita karena orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam penanganan dini dan perawatan intensif untuk membantu kesembuhan anak retardasi mental (Heward, 2003 dalam Sari, 2013). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Miltiades dan Pruchno (2001 dalam 6 Dewi, 2011) yang menyatakan bahwa sebaiknya intervensi tidak hanya berfokus pada anak tunagrahita sebagai individu, namun juga melibatkan kebutuhan keluarga. Selama ini telah diupayakan berbagai intervensi untuk meningkatkan kemampuan orang tua dalam merawat anak tunagrahita dan mengatasi masalah psikososial yang muncul pada orang tua dari anak tunagrahita. Berbagai terapi generalis maupun terapi spesialis ansietas, sudah cukup baik dalam mengatasi ansietas keluarga. Namun, beberapa orang tua masih menunjukkan respon negatif terhadap terapi yang diberikan. Berpengaruh atau tidaknya suatu terapi terhadap masalah ansietas pada orang tua dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik eksternal maupun internal dari orang tua itu sendiri. Salah satu faktor yang mungkin dapat mempengaruhi tingkat ansietas orang tua tersebut adalah tingkat harga diri (self-esteem). Harga diri (self-esteem) adalah penilaian positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri individu. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga dapat menghargai secara negatif (Lerner dan Spanier,1980 dalam Ghufron dan Risnawita, 2012). Pada keluarga dengan anak tunagrahita, stigma sosial mengenai anak tunagrahita akan dirasakan oleh setiap anggota keluarga termasuk orang tua. Beberapa orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menyembunyikan anaknya (Napolion, 2010). Perasaan malu yang dialami orang tua cenderung menyebabkan orang tua merasakan harga diri yang menurun (Dsouza, 2001 dalam Sari, 2013). 7 Selain itu, orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga keluarga merasa tidak mampu, rendah diri, gagal, dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Bila ditinjau dari teori kognitif, evaluasi diri yang negatif menjadi faktor yang dapat mempengaruhi tingkat ansietas seseorang (Ghufron dan Risnawita, 2012) atau dengan kata lain, tingkat ansietas yang dimiliki seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat harga dirinya. Hal ini dikarenakan seseorang dengan harga diri tinggi tidak akan terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif, mampu menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum jelas, tidak akan terpaku pada dirinya sendiri atau tidak hanya memikirkan kesulitannya sendiri, serta akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesukaan sehingga tercipta tingkat ansietas dan perasaan tidak aman yang lebih rendah. Sedangkan, individu dengan harga diri rendah cenderung mudah mengakui kesalahan, mempunyai perasaan inferior, takut atau mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial, merasa tidak diperhatikan atau diasingkan, serta kurang mampu mengekspresikan diri (Coopersmith dalam Siregar, 2006). Penelitian sebelumnya yang terkait dengan harga diri dan masalah psikososial adalah penelitian oleh Juniartha (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara harga diri (self-esteem ) dengan tingkat stres narapidana wanita di Lapas Klas IIA Denpasar. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh 8 Sukmandari (2010) juga menyatakan ada hubungan antara harga diri dengan depresi pada penderita hipertensi di UPT Abiansemal I. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SLB C Negeri Denpasar (2013, 28 September), ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah siswa dengan tunagrahita ringan dalam 3 bulan terakhir yaitu dari Bulan Juli-Sepetember 2013. Pada Bulan Juli jumlah siswa dengan tunagrahita ringan sebanyak 180 siswa, Bulan Agustus 181 siswa, dan Bulan September 2013 adalah sebanyak 189 siswa. Dengan uraian pada Bulan September, yaitu: SDLB sebanyak 102 siswa, SMPLB 47 siswa, SMALB 37 siswa. Hasil wawancara oleh peneliti kepada Kepala SDLB C Negeri Denpasar (2013, 28 September), diperoleh informasi bahwa selama ini sekolah sudah memfasilitasi orang tua dalam mendapat informasi mengenai tunagrahita dengan menyediakan jasa konseling dengan guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut. Beberapa orang tua mulai menerima kondisi anaknya, namun beberapa orang tua masih mengeluh stres dalam merawat anaknya, selain itu orang tua mengeluh cemas dengan kondisi anaknya, khususnya mengenai masa depan anaknya. Sementara itu, hasil wawancara oleh peneliti terhadap sepuluh orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar (2014, 11 Februari) diperoleh bahwa seluruh orang tua menyatakan cemas dengan kondisi anaknya, terutama dengan masa depan anaknya dan penilaian negatif masyarakat mengenai anak tunagrahita. Pada saat studi pendahuluan kedua di SDLB C Negeri Denpasar (2014, 11 Februari), peneliti menemukan bahwa beberapa orang tua dari anak tungrahita yang sedang menunggu anaknya pulang sekolah tampak duduk 9 berkelompok sambil mengobrol dengan orang tua lainnya. Sedangkan, beberapa orang tua dari anak tunagrahita lainnya tampak memilih duduk menyendiri. Saat diwawancarai oleh peneliti beberapa orang tua tampak malu-malu atau bahkan tidak bersedia menceritakan kondisi anaknya sementara yang lain menunjukkan hal sebaliknya. Perbedaan karakteristik tersebut menurut Coopersmith (dalam Siregar, 2006) dapat dikaitkan dengan harga diri masing-masing orang tua. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik mengadakan penelitian tentang adanya hubungan antara tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan pertanyaan “Adakah hubungan antara tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. 10 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan penelitian dimaksudkan untuk mengetahui arah tujuan yang dicapai dengan penelitian yang dilakukan, maka dalam penelitian ini tujuannya adalah: a. Mengidentifikasi tingkat harga diri (self-esteem) orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. b. Mengidentifikasi tingkat ansietas orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. c. Menganalis hubungan tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan : 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa khususnya dalam lingkup keluarga terkait dengan hubungan tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua yang merawat anak tunagrahita. b. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan kerangka pemikiran pada penelitian yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan tingkat harga diri (self-esteem) dan tingkat ansietas. 11 1.4.2 Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat jiwa dalam menentukan intervensi yang tepat untuk mengurangi ansietas orang tua yang memiliki anak tunagrahita. b. Sebagai sumber informasi bagi lembaga pelayanan terkait dan sekolah luar biasa mengenai tingkat harga diri dan tingkat ansietas yang dialami keluarga khususnya orang tua selama merawat anak tunagrahita. c. Untuk menyusun program konseling, baik pada anak tunagrahita maupun keluarga