inkulturasi musik batak toba dalam ordinarium pada perayaan misa

advertisement
INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM ORDINARIUM PADA
PERAYAAN MISA GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAM
WURUK MEDAN: ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
CHRISMES ELISABET MANIK
NIM: 070707009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM ORDINARIUM PADA PERAYAAN
MISA GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAM WURUK MEDAN: ANALISIS
STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
CHRISMES ELISABET MANIK
NIM: 070707009
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Rithaony Hutajulu, M.A
NIP. 1963 1116 1990 032001
Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.
NIP. 1956 082 8198 601 2001
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Ilmu
Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Katolik merupakan salah satu agama Kristen yang ada, berkembang, dan
diakui keberadaannya di Negara Indonesia. Masuk dan berkembangnya agama ini
ke Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku pada
abad XV-XVI. Kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku adalah untuk
mencari pusat rempah-rempah sehingga Portugis mampu melakukan monopoli
perdagangan. Dalam pelayaran itu para rohaniawan juga turut serta untuk
pemeliharaan rohani para pelaut, pedagang, dan serdadu-serdadu selama
perjalanan. Salah satu rohaniawannya yaitu Santo Fransiskus Xaverius, ia
mendatangi pulau Ambon, Halmahera, Molotai dan Ternate pada tahun 15461547. Disana ia memulai karya misi, menyebarkan injil dan membaptis beberapa
ribu penduduk menjadi Katolik sehingga menjadi “Tonggak sejarah Katolik” di
Indonesia (Boelaars, 2005:61).
Diawal perkembangannya di Nusantara, agama Katolik dalam beberapa
era1 banyak mengalami kendala karena situasi politik yang tengah ricuh baik dari
dalam maupun luar Indonesia. Berbagai tekanan, hukuman mati, dan pengusiran
terhadap imam2 Katolik kerap terjadi bila ketahuan mengajarkan agama dan
1
Era VOC (1619-1799), Era Hindia Belanda( 1808-1811), Masa pastor Van Lith (1896-1911), Era
Perjuangan Kemerdekaan, dan Era Kemerdekaan.
http://sejarahindonesiasma.wordpress.com/2012/10/
2
Imam adalah pemimpin upacara-upacara gereja atau yang mempersembahkan korban Misa; Paus,
Uskup, Pastor.
1
mengadakan misa kudus3. Menjelang era kemerdekaan, agama Katolik di
Indonesia mengarah pada perubahan yang positif, karena kebebasan beragama
mulai diakui oleh pemerintah. Pada 29 Juni 1967 diangkatlah kardinal4 I
Indonesia, kemudian uskup5 Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam Konsili
Vatikan II (1962-1965). Tahun 1970 Paus6 Paulus VI berkunjung ke Indonesia,
beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II
kembali mengunjungi Indonesia; diantaranya kota Jakarta, Medan (Sumatra
Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Maumere
(Flores) dan Dili (Timor Timur) (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah Gereja
Katolik di Indonesia).
Sejak berkembangnya agama Katolik di Maluku, agama ini mulai
menyebar kedaerah-daerah lain di Nusantara, termasuk ke tanah Batak. Sekitar
tahun 1934, tujuh puluh satu tahun setelah Nommensen datang menabur injil di
Pearaja Tarutung, agama Katolik masuk ke daerah Tapanuli dibawa oleh pastorpastor muda dan mereka menanam benih-benih Katolik dengan waktu relatif
singkat. Karya misi itu terus dilakukan sampai tahun 1942 sewaktu tentara Jepang
merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua misionaris7. Sesudah
3
Misa Kudus Perayaan Ekaristi yang dengannya umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan
Darah Yesus Kristus berupa roti dan anggur serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya.
4
Kardinal merupakan pejabat senior dalam Gereja Roma Katolik sebagai penasehat Paus, berada
dibawah Paus dan dipilih langsung oleh Paus. Tugas utamanya ialah memilih paus baru bila terjadi
kekosongan kekuasaan; karena meninggal, sakit, atau pengunduran paus yg cukup lama
5
Uskup merupakan pimpinan agama Katolik yang bertugas mengatur umat yang dipimpinnya dan
gereja dalam suatu wilayah keuskupan (sebuah wilayah administratif). Uskup merupkan bagian
hierarki dalam Gereja Roma Katolik, setelah Sri Paus, Kardinal, kemudian Uskup.
6
Kepala agama Katolik, yang memiliki otoritas tertinggi Gereja, yang bertahta di Vatikan (Roma)
7
Misionaris merupakan orang yang dikirim ke suatu tempat untuk menyebarkan agama Kristen
atau Katolik. Pada tahun 1941 Jepang telah menghancurkan armada kapal Amerika Serikat dengan
membom pelabuhan Pearl Harbour, kemudian kekaisaran Jepang menghancurkan Kekaisaran
Belanda di tahun 1942 dengan menguasai kepulaan Indonesia dan seluruh kekayaannya. Sehingga
2
penjajahan Jepang dan pergolakan kemerdekaan, para misionaris masih sempat
melanjutkan karya misi sehingga agama Katolik menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat Tapanuli.
Pada awal misinya, para misionaris bergerak dari Balige dalam garis besar
bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum
dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta di arah barat dan selanjutnya menuju
daerah Pakkat dan Parlilitan, 3. Ke Selatan menuju pegunungan di sekitar Rura
Silindung. Untuk menghindari konflik dengan gereja Protestan para misionaris
sengaja tidak mau langsung ke Tarutung sebagai pusat Protestan. Namun
belakangan muncul undang-undang gereja untuk memasuki daerah tersebut, dan
para misionarispun menjalankan tugasnya (Kurris, 2006:11).
Dengan berkembangnya agama Katolik di tanah Batak dan di berbagai
daerah-daerah Nusantara, jumlah orang Katolik pun semakin bertambah. Maka
mulailah didirikan: gereja-gereja, seminari menegah8, sekolah pendidikan guru
(kweekschool), sekolah-sekolah Katolik, rumah sakit, biara dan lainnya. Semakin
berkembangnya gereja Katolik di berbagai daerah, pola tata peribadatan pun mulai
menjadi formal. Tata peribadatan Katolik di semua daerah umumnya sama karena
mengikuti tata peribadatan pusat dari Vatikan Roma yang terdiri dari:
1) Misa. Misa merupakan suatu ibadat dimana dalam ibadat ini Tubuh dan
Darah Kristus yang dilambangkan dalam rupa roti dan anggur menjadi
suatu persembahan yang sangat sakral. Perayaan misa hanya dapat
misionaris yang berkebangsaan Belanda ditanah air pada masa penjajahan Jepang banyak yang
ditahan dan diasingkan ketempat terpencil (Kurris, 2006:123).
8
Sekolah untuk para calon pastor yang setingkat dengan SMA. Seminari Tinggi, sekolah lanjutan
dari seminari menengah yang setingkat dengan universitas.
3
dibawakan oleh imam seperti paus, uskup, maupun pastor. Berbeda
dengan Ibadat Sabda. Ibadat Sabda merupakan suatu perayaan ibadat
yang lebih sederhana dari ibadat misa. Hanya dalam ibadat ini, Tubuh dan
Darah Kristus yang dilambangkan dalam rupa roti dan anggur tidak dapat
dipersembahkan karena tidak dipimpin oleh imam. Ibadat Sabda ini
biasanya dibawakan oleh frater9 maupun kaum awam yang disebut
prodiakon10. (Hotma, 2009:2).
2) Office, adalah ibadat Harian yang diselenggarakan hanya di biara-biara
dan
katedral-katedral
setiap
harinya.
Ada
delapan
office
yang
diselenggarakan setiap hari, yakni: matins (sebelum matahari terbit), lauds
(terbit matahari), prime (jam 06.00 pagi), terce (jam 09.00), sext (jam
12.00), nones (jam 15.00), vesparae (matahari terbenam), dan compline
(sebelum tidur) (Rhoderick, 1998: 17).
Perayaan misa umumnya dilakukan pada hari Minggu maupun pada harihari lain yang merupakan perayaan besar dalam gereja. Berhimpun pada hari
Minggu untuk merayakan perayaan ekaristi/misa kudus merupakan sebuah
kebiasaan orang Kristen yang mengikuti tradisi para rasul yang berpangkal pada
hari kebangkitan Kristus sendiri. Tradisi ini menjadi suatu kebiasaan bagi umat
Katolik sampai sekarang.
9
Frater adalah seseorang yang masih sekolah di sekolah Pastoral dan dididik untuk menjadi
seorang Pastor
10
Prodiakon adalah orang awam yang ditugaskan oleh Uskup untuk membantu menerimakan
Tubuh Tuhan (komuni) yang berupa roti dalam Perayaan Ekaristi.
4
Tata peribadatan misa (Cunha, 2012: 19) terbagi dalam empat bagian
utama yakni, Ritus11 Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup.
Dimana setiap bagian terdiri atas berbagai unsur-unsur, yaitu:
1) Ritus Pembuka, diawali dengan perarakan masuk para petugas liturgi,
prodiakon12, misdinar13, serta imam, diiringi dengan nyanyian pembukaan,
penandaan tanda salib, salam, kata pengantar, tobat, nyanyian Tuhan
Kasihanilah Kami (Kyrie, ordinarium), madah Kemuliaan (Gloria,
ordinarium), dan doa pembuka (colecta).
2) Liturgi Sabda terdiri dari tiga bacaan yang diambil dari Kitab Suci,
mazmur tanggapan14, alleluia15 atau bait pengantar injil, homili16, credo/
syahadat, dan doa umat.
3) Liturgi Ekaristi terdiri dari persiapan persembahan, Doa Syukur Agung,
dan upacara komuni.
4) Ritus Penutup terdiri dari pengumuman, pemberkatan, pengutusan dan
diakhiri dengan perarakan keluar.
11
Ritus merupakan tata cara dalam upacara keagamaan. Umumnya Gereja Roma Katolik
mempertahankan ritus dari Tradisi Suci dan Kitab Suci
12
Prodiakon adalah orang awam yang ditugaskan oleh Uskup untuk membantu menerimakan
Tubuh Tuhan (komuni) yang berupa roti dalam Perayaan Ekaristi
13
Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar)
adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara
lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat.
14
Mazmur tanggapan merupakan tanggapan umat atas sabda Allah. Tanggapan ini berupa katakata yang diambil dari kitab Mazmur, yang telah dipilih oleh para ahli liturgi secara seksama.
Mazmur umumnya dinyanyikan dengan dua cara yakni, cara responsorial dengan ayat ulangan,
artinya pemazmur secara solois menyanyikan ayat ulangan yang dinyanyikan kembali oleh umat
dan setiap syair yang dinyanyikan oleh pemazmur direspon umat dengan nyanyian ayat ulangan
tersebut. Atau jika tidak dinyanyikan maka mazmur tanggapan dibawakan dengan cara dibaca
(lihat Puji Syukur no.801).
15
Alleluia/Bait Pengantar Injil dinyanyikan oleh solis atau kor dan diikuti oleh umat. Nyanyian ini
berupa ayat ulangan. Lih buku lagu Puji Syukur No951 dst.
16
Homili (renungan; khotbah; penjelasan tentang kitab suci.
5
Setiap misa yang dirayakan harus berdasarkan tahun liturgi gereja, dimana
setiap tahunnya liturgi gereja selalu berbeda-beda. Dalam perayaan misa terdapat
bagian-bagian liturgi yang selalu berubah disebut proprium dan terdapat bagian
yang tetap disebut ordinarium. Bagian proprium yang berubah sesuai dengan
tahun liturgi, disusun dalam cantus planus Gregorian17 yaitu introitus (nyanyian
pembukaan), gradual (nyanyian sesudah bacaan kitab suci), alleluia (nyanyian
sebelum bacaan injil) atau tractus18, offerterium (lagu persembahan), dan
communium (lagu perjamuan). Bagian-bagian yang tidak berubah disebut
ordinarium (nyanyian tetap) yaitu: Kyrie eleison (Tuhan Kasihanilah kami),
Gloria in excelcis deo (Kemuliaan bagi Allah di surga), Credo (Aku percaya),
Sanctus (Kudus), dan Agnus dei (Anak Domba Allah) (Karl-Edmund 1999: 94).
Sejak beberapa abad lamanya baik proprium maupun ordinarium nyanyian
ini disusun dalam bentuk Gregorian chant yang menjadi bentuk musik sakral/suci
yang selalu digunakan dalam gereja Roma Katolik. Bentuk musik Gregorian
chant terdiri dari delapan modus gerejawi, dimana setiap lagu disusun dari salah
satu modus gerejawi tertentu. Modus 1, 3, 5, dan 7 merupakan modus-modus asli
yang sering disebut Doria, Frigia, Lidia, dan Miksolidia. Modus 2, 4, 6, dan 8
adalah versi plagal dari modus-modus asli. Hubungan antara teks dengan musik
dalam Gregorian chant, memperlihatkan melisma-melisma panjang yang
menggunakan 10-20 nada dalam satu suku kata (Rhoderik, 2002:18). Namun
bentuk Gregorian chant ini cukup sulit dinyanyikan, hanya dinyanyikan oleh
17
Cantus Planus Gregorian adalah suatu tradisi musik gerejawi yang sangat tinggi sifatnya, mulamula muncul pada abad pertengahan dimana pada masa itu musik gregorian adalah musik yang
tinggi dalam gereja (Rhoderick J. McNeill, dalam “Sejarah musik 1”. 1994. Hlm 17)
18
Tractus adalah nyanyian Alleluia sebelum pembacaan Injil. Tractus ini dipakai selama Masa
Prapaskah, atau sequentia digunakan selama hari-hari raya tertentu dan Masa Paskah.
6
kelompok penyanyi khusus (schola cantorum)19 dan bukan oleh umat. Sementara
dalam liturgi, partisipasi umat terhadap perayaan misa merupakan bagian pokok
yang tak boleh diabaikan. Sehingga pada saat itu umat hanya terlibat secara pasif
dalam perayaan misa.
Semenjak para uskup bersinode20 dan membentuk rapat pada tahun 19621965, yang melahirkan dokumen-dokumen yang dikenal dengan Konsili Vatikan
II21, terjadi pembaruan yang segar pada gereja. Salah satu hasilnya ialah gereja
mulai terbuka terhadap tradisi-tradisi dan budaya-budaya lokal. Hal ini disadari
karena gereja berdiri di berbagai daerah, suku, dan bangsa sehingga perlu adanya
keterbukaan terhadap nilai kekayaan budaya dan tradisi dari daerah, suku dan
bangsa tersebut. Sejauh unsur-unsur dari kebudayaan itu tidak bertolak belakang
dengan ajaran pokok agama Katolik. Adanya hubungan antara agama dan
kebudayaan dirasakan gereja sebagai cerminan dan proses terbentuknya interaksi
budaya manusia sehingga terciptalah keselarasan, dan ini dipandang menjadi awal
dari tahap proses inkulturasi. Tujuan dari inkulturasi itu sendiri ialah untuk
membawa umat agar dapat mengungkapkan perayaan liturgi gereja dalam tata
cara dan suasana yang selaras dengan budaya umat yang beribadat sehingga umat
dapat terlibat dan aktif di dalamnya.
19
Schola Cantorum merupakan suatu kelompok penyanyi dan guru musik yang resmi, yang
didirikan pada abad ke-8 atau dapat dikatakan sekolah Paduan Suara. (McNeill:2002, 15)
20
Sinode adalah sidang atau rapat antara pemimpin-pemimpin agama Kristen.
21
Konsili Ekumenis Vatikan Kedua atau Vatikan II (1962-1965), adalah sebuah Konsili Ekumenis
ke-21 dari Gereja Katolik Roma yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962 dan
ditutup oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1965. Pembukaan Konsili ini dihadiri oleh hingga
2540 orang uskup Gereja Katolik Roma sedunia (atau juga disebut para Bapa Konsili), 29
pengamat dari 17 Gereja lain, dan para undangan yang bukan Katolik.
7
Hal ini khususnya sangat dirasakan di Indonesia sebagai bangsa yang
beradat-istiadat juga kaya akan tradisi dan kebudayaan. Inkulturasi mendapatkan
tempat dan bentuknya dalam gereja, baik dari bahasa, bangunan gereja, pakaian,
dan musik liturgi. Dalam musik liturgi misalnya pemakaian bahasa lagu-lagu
liturgi baik ordinarium maupun proprium dengan menggunakan bahasa Indonesia
maupun lokal/daerah. Usaha-usaha pengembangan inkulturasi musik liturgi di
berbagai daerah di Indonesia terus dikembangkan oleh berbagai pihak bahkan
sebelum Konsili Vatikan II antara lain di Flores Barat (Manggarai) oleh Mgr.
(dibaca: Monsinyur) Van Bekkum, SVD dengan mengumpulkan para pemusik
untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Di Timor, Nusa
Tenggara Timur oleh Pastor Vincent Lechovic, SVD yang melakukan hal serupa
dengan menerbitkan buku “Tsi Taneb Uis Neno” lagu-lagu berbahasa Dawan,
kemudian di Jawa Tengah uskup pribumi I Semarang, Mgr A. Soegijapranata, SJ
menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang dipakai dalam dan diluar perayaan
liturgi. Setelah Konsili Vatikan II perkembangan inkulturasi musik liturgi
semakin didorong dan dikembangkan dari berbagai pihak, salah satunya melalui
PML (Pusat Musik Liturgi) di Yogyakarta yang dibentuk oleh Romo22 KarlEdmun
Prier,
SJ
dan
Bapak
Paul
Widyawan
(http://juntim-
juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html).
Inkulturasi dalam Gereja Katolik di Sumatera Utara, terus diusahakan dan
didukung, baik oleh gereja maupun berbagai pihak-pihak lainnya. Uskup Agung
Alfred Gonti Pius Datubara (mantan uskup Keuskupan Agung Medan),
22
Romo sebutan untuk seorang Imam dalam gereja Katolik yang umum dipanggil di Pulau Jawa,
yang sama dengan Pastor. Kata Pastor berasal dari bahasa Latin artinya gembala, pemimpin umat.
Sedangkan Romo dari bahasa Jawa artinya Bapa.
8
mengatakan dalam khotbahnya, “Gereja mesti terus melestarikan budaya yang
sesuai dengan nilai injil, hal ini sesuai dengan ajaran agama Katolik. Tarian Tortor dan musik Gondang merupakan warisan budaya Batak Toba, berasal dari
Tuhan yang dipakai sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan”. Sama halnya
dengan Uskup Agung Anicetus. B. Sinaga (selaku uskup Keagungan Medan saat
ini) mengatakan, “Sejak awal kekayaan warisan budaya Batak telah banyak
membentuk liturgi gereja Katolik di Sumatera Utara, dan telah memberi warna
penuh terhadap kehidupan rohani umat”.
Dalam hal ini, gereja Katolik sudah menekankan pada inkulturasi dan
inilah yang akan dilanjutkan. Melihat hal ini inkulturasi dirasakan berpengaruh
terhadap liturgi dan bahkan membawa perubahan terhadap banyak gereja-gereja
di Sumatera Utara, termasuk di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk, Medan.
Keanekaragaman umatnya yang terdiri dari berbagai suku dan golongan tentunya
mempengaruhi pandangan gereja terhadap musik liturgi didalamnya. Penulis
melihat di setiap perayaan Misa Gereja Santo Antonius Hayam Wuruk Medan,
bagian ordinarium yang seringkali digunakan ialah menggunakan ordinarium
musik lokal dibanding dengan Gregorian chant, meskipun beberapa kali penulis
melihat adanya penggunaan ordinarium Gregorian chant. Ordinarium musik
lokal yang umum digunakan dalam perayaan misa antar lain: ordinarium Misa
Dolo-dolo dengan bernuansa Flores, ordinarium Misa Senja dengan bernuansa
Timor, ordinarium Misa Keuskupan Agung Medan dengan bernuansa Batak Toba,
dan ordinarium Misa Syukur dengan bernuansa Flores. Dari semua ordinarium
yang memasukkan unsur musik tradisi, penulis melihat hal yang berbeda dan
9
terlihat istimewa dalam perayaan misa yang menggunakan ordinarium dengan
gaya Batak Toba. Beberapa kali dalam perayaan besar gereja, penulis melihat
ordinarium ini diiringi dengan ansambel gondang hasapi. Dalam setiap perayaan
misa selalu diiringi dengan alat musik organ, namun kebanyakan pada perayaan
besar gereja penulis melihat penggunaan ansambel gondang digunakan untuk
lebih memeriahkan perayaan. Melalui musik liturgi ini penulis melihat gereja
terbuka menerima dan mengadaptasi unsur-unsur tradisi, adat, maupun budaya
dari masyarakat setempat.
Merriam
(1964:7)
dalam
bukunya
The
Antropology
of
Music
mendefinisikan Etnomusikologi sebagai studi musik didalam kebudayaan.
Etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan musik-musik yang masih hidup
termasuk di dalamnya instrument-instrumen dan tari yang terdapat di dalam
tradisi lisan. Sehingga menjadi subyek dan sasaran utama dalam penelitian
Etnomusikologi. Dengan melihat hal ini usaha memasukkan unsur-unsur musik
dari budaya setempat kedalam perayaan misa gereja Katolik yang dikenal dengan
inkulturasi merupakan salah satu kajian yang sesuai dengan Etnomusikologi.
Dengan melihat kekhasan gereja Katolik yang terbuka terhadap kearifan
lokal, tradisi, serta budaya, penulis berusaha mengungkapkan proses serta hasil
inkulturasi musik liturgi yang menggunakan unsur-unsur musik tradisi Batak
Toba dalam perayaan misa. Dengan cara mengkaji struktur melodis dan tekstual
dalam keempat nyanyian ordinarium bernuansa Batak Toba dalam Gereja Katolik
Santo Antonius. Dan dengan alasan di atas penulis berkeinginan membuat tulisan
ilmiah dengan judul: INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM
10
ORDINARIUM PADA PERAYAAN MISA GEREJA KATOLIK SANTO
ANTONIUS HAYAMWURUK MEDAN: ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL
DAN TEKSTUAL.
1.2 Pokok Permasalahan
Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka
di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan masalah yaitu:
1. Bagaimana bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa
gereja Katolik?
2. Bagaimana bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa
gereja Katolik Hayam-wuruk Medan yang mengalami inkulturasi
dalam musik Batak Toba dengan menganalisis struktur musikal
dan tekstualnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Di dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan dan manfaat yang ingin
penulis capai, disesuaikan dengan latar belakang serta pokok permasalahan yang
sudah ada. Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan inkulturasi ordinarium yang bernuansa Batak
Toba pada perayaan misa Gereja Katolik Hayam-wuruk Medan.
2. Untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi setelah adanya inkulturasi.
3. Untuk mendeskripsikan jalannya tata ibadat perayaan Misa Gereja Katolik
Santo Antonius Medan.
11
1.3.2 Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa manfaat yang penting dari penelitian ini:
1. Memperluas wacana dan pengetahuan tentang tata peribadatan, liturgi, dan
musik liturgi dalam Gereja Katolik. Sehingga membawa pengembangan
pemahaman tentang musik Gereja khususnya bagi umat Katolik di Santo
Antonius Medan.
2. Melihat proses perkembangan inkulturasi sebagai usaha Gereja setelah
Konsili Vatikan II.
3. Menambah kajian maupun referensi tentang inkulturasi musik liturgi
khususnya bagi Etnomusikologi maupun bagi kaum awam.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep merupakan rancangan ide
atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret ( Badudu-Zain: 1996).
Dalam proposal ini, konsep yang akan penulis uraikan terdiri dari: (a)Ordinarium,
(b) Misa /Ekaristi (c) Inkulturasi, dan (d) Liturgi. Berikut, penulis akan membuat
pengertiannya:
a
Ordinarium adalah nyanyian tetap, artinya dalam misa bagian ini harus
dinyanyikan. Ordinarium merupakan nyanyian ibadat yang hanya dapat
dinyanyikan saat misa tidak demikian dalam perayaan ibadadat Sabda.
Nyanyian ini terdiri dari: Kyrie eleison (Tuhan kasihanilah Kami), Gloria
in exelcis Deo (Kemuliaan bagi Allah di surga), Credo (Aku percaya),
Sanctus (Kudus), dan Agnus Dei (Anak Domba Allah). Namun terdapat
12
pula bagian nyanyian yang selalu berubah yakni proprium. Bagian
proprium ini berubah sesuai dengan kalender tahun Liturgi Gereja.
Nyanyian ini terdiri atas: introitus (nyanyian pembukaan), gradual
(nyanyian sesudah bacaan kitab suci), offertorium (lagu persembahan),
communion (lagu perjamuan) (Karl-Edmund Prier SJ: 1999).
b
Misa kudus/Ekaristi merupakan perayaan kurban dimana umat Katolik
mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus dalam bentuk
roti dan anggur23 serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Hanya
imam saja yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan
bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Ekaristi dipandang sebagai
sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Betapa pentingnya sakramen ini
sehingga partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi/Misa dipandang
sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta
dianjurkan untuk hari-hari lainnya (http://id.wikipedia.org).
c
Inkulturasi. Istilah inkulturasi berasal dari diskusi teologis pada bidang
Misiologi. Sebagai istilah, inkulturasi ini digunakan dalam Kongregasi
Jendral Yesuit24 pada tahun 1974/1975 dan secara resmi digunakan
pertama kalinya dalam dokumen resmi pada tahun 1977 ketika ada sinode
para uskup. Paus Yohanes Paulus II sudah terbiasa menggunakan istilah
23
Roti bundar kecil disebut hosti, yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi.
Anggur yang harus terbuat dari buah anggur. Roti dan anggur inilah yang digunakan dalam ritus
Ekaristi.
24
Sebuah pertemuan besar dimana perwakilan Jesuit (imam Katolik) dari seluruh dunia akan hadir
untuk membahas agenda-agenda penting (http://www.ignatiusloyola.net/2007/10/kongregasijendral-ke-35-serikat-yesus.html).
13
inkulturasi ini25. Inkulturasi biasanya mengarah pada kontekstualisasi
atau pempribumian. Kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu
dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu
dengan keseluruhan. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang
menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara. Paus
Yohanes Paulus II menunjuk makna inkulturasi secara mendalam dengan
berkata: “Inkulturasi berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan
otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam
kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan
umat manusia” (Redemptoris Misio no.52). Hal inilah yang membuat
Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang arti pluralisme gereja
dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia, penyesuaian
menjadi pusat perhatian dalam dunia modern ini. Tentunya hal ini bukan
sekedar basa-basi saja, namun bertujuan supaya iman sungguh berakar
dan meresapi sebuah kehidupan orang perorangan dan masyarakat, maka
iman itu sedapatnya harus menyatu dengan kebudayaan supaya dapat
diekspresikan selaras dengannya. Konsili Vatikan II menegaskan, gereja
Katolik tidak menolak apa yang baik dan berguna pada agama. Tidak
menjauhi namun diajak agar umat Katolik familiar dan dekat kepada
tradisi religius serta kebudayaan setempat, inilah salah satu usaha ke arah
inkulturasi.
25
Diberbagai dokumennya seperti dalam Ensiklik Slavorum Apostoli, Anjuran Apostolik Catechesi
Trandendae dan Ensiklik Redemptoris Missio (RM).
14
d
Liturgi. Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani, leitourgia. Secara
harafiah kata ini berarti suatu karya yang dibaktikan kepada bangsa.
Dalam perkembangannya, ketika kata ini diadopsi oleh bangsa-bangsa
lain, kata leitourgia memiliki arti yang lebih luas, yaitu pelayanan ibadat.
Dalam Kitab Suci, kata leitourgia berarti pelayanan imam, namun
berkembang dan digunakan untuk menggambarkan makna keimaman
Yesus. Imamat Yesus merupakan pelayanan yang sangat agung. Dalam
perkembangan sejarah gereja, kata liturgi digunakan untuk menunjukkan
aktivitas ibadat atau doa Kristiani. Di sini istilah liturgi sudah mulai
dibatasi, hanya mencakup perayaan ibadat yang dilakukan oleh imam
baik paus, uskup dan pastor. Di kalangan umat, liturgi biasa dipahami
sebagai upacara atau upacara publik gereja. Dalam hal ini berbicara
mengenai liturgi adalah tentang urutan upacara, para petugas, peralatan
yang harus ada, dan sebagainya.
e
Analisis struktur musikal dan tekstual. Malm mengemukakan bahwa
setiap susunan bunyi, dapat dianggap dan dipelajari sebagai musik, bila
susunan bunyi tersebut merupakan kombinasi antara elemen-elemen
nada, ritem, dan dinamika. Ditinjau dari pendapat Malm, maka ke empat
nyanyian tetap/ordinarium ini dapat dianggap musik karena didalamnya
terdapat elemen-elemen musik. Sedangkan tekstual adalah hal-hal yang
berkaitan dengan kata-kata yang terdapat pada musik. Merriam
mengatakan bahwa teks merupakan bagian integral dari musik. Teks
dapat menggambarkan perilaku manusia, dan teks juga merupakan
15
perilaku bahasa, tetapi bahasa yang digunakan pada musik berbeda
dengan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Berkenaan dengan
pendapat Malm, maka analisis tekstual pada nyanyian ordinarium adalah
dengan menterjemahkan teks nyanyian ordinarium dari bahasa Latin ke
bahasa Indonesia, serta mengungkap makna yang terkandung didalamnya.
1.4.2 Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dalam ilmu pengetahuan. Tanpa ada
teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada
ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar
keilmuaan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama
dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan antara lain:
1. Untuk melihat Sistem upacara keagamaan, maka penulis menggunakan
teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2002:377) secara
khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para
ahli antropologi ialah: (i)tempat upacara keagamaan dilakukan; (ii)saatsaat upacara keagamaan dijalankan; (iii) benda-benda dan alat upacara;
(iv) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Aspek pertama
berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan,
yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid, dan
sebagainya. Aspek kedua adalah aspek mengenai saat-saat beribadah, hari-
16
hari keramat dan suci, dan sebagianya. Aspek ketiga adalah tentang bendabenda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang
melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci,
seruling suci, genderang suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek
yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta, biksu,
syaman, dukun, dan lain-lain. Upacara-upacara itu sendiri banyak juga
unsurnya, yaitu(i) bersaji; (ii) berkorban; (iii) berdoa; (iv) makan bersama
makanan yang telah disucikan dengan doa; (v) menari tarian suci;
(vi)menyanyi nyanyian suci; (vii) berprosesi atau berpawai; (viii)
memainkan seni drama suci; (ix) berpuasa; (x) intoksikasi atau
mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan
trance, mabuk; (xi) bertapa; (xii) bersemedi.
2. Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat
penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks.
Seperti yang dikemukakan oleh W.P Malm (1977:9). “Bila suatu not
dipakai untuk masing-masing suku kata dari teks nyanyian tersebut disebut
dengan silabis, dan jika suatu suku kata mempunyai beberapa buah not
disebut dengan melismatis”. Dalam hal ini penulis juga membahas makna
yang terkandung di dalamnya serta keterkaitan antara teks dan musik.
Pendekatan teori yang penulis gunakan dalam mengungkapkan makna
yang terkandung dalam teks ordinarium ini menggunakan teori Semantik.
Semantik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu: semantikos yang berarti
‘Memberikan tanda’ dan berasal dari kata sema yang berarti ‘tanda’.
17
Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari makna yang
terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dalam
hal ini penulis lebih memfokuskan pembelajaran tentang makna.
3. Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dalam musik liturgi khususnya
dalam ordinarium setelah adanya proses inkulturasi penulis menggunakan
teori dari Alan P Merriam (1964:303). Dalam tulisannya tentang Music
and Culture is Dynamic di buku The Antropology of Music yang
mengatakan “Culture change begins with the processes of innovation.
Type of innovation is variation, invention, tentation, dan culture
borrowing”. Alan P Merriam mengemukakan bahwa perubahan bisa
berasal dari lingkungan kebudayaan internal, dan juga bisa berasal dari
luar kebudayaan eksternal. Perubahan yang timbul dari dalam dalam dan
dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, disebut dengan
inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup
budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan
merupakan sebuah tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan
dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan
fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa
setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus menerus
mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi lain dan perubahan yang
terjadi tidak dapat dielakkan. (1964: 305).
18
4. Teori Tangga nada (weighted scale) yang harus diperhatikan dalam
menganalisis melodi, penulis mengacu pada teori Malm, (1977:7-9) yaitu
ada delapan unsur melodi yang dapat digunakan untuk menganalisis,
seperti: (1) tangga nada; (2) nada dasar; (3) wilayah nada; (4) jumlah nadanada; (5) jumlah interval; (6) pola-pola kadensa; (7) formula-formula
melodik; (8) kontur. Analisis musik yang dilakukan adalah pada ke empat
nyanyian ordinarium Batak Toba yaitu: Tuhan Kasihanilah kami,
Kemuliaan bagi Allah, Kudus, dan Anak Domba Allah. Sedangkan Aku
percaya (credo), termasuk dalam ordinarium, tidak dibahas dan dianalisis
karena bagian ini sangat sering dilafalkan saja.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan informasi dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah
didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yatu rasional, empiris, dan sistematis. Kata
metode secara harafiah dapat diartikan sebagai cara kerja yang tersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Ada juga yang mengatakan metode dalam penelitian sebagai alat dalam
melakukan penelitian, yaitu dari pengumpulan data, penganalisisan data sampai
dengan menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian (Triswanto,
2010:15).
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode yang sesuai
terhadap permasalahan yang dikaji yaitu, metode kualitatif yaitu metode
penelitian yang biasanya memerlukan data kata-kata tertulis, peristiwa, dan
19
perilaku yang dapat diamati. Kelebihan metode kualitatif adalah mempunyai
fleksibilitas yang tingi bagi peneliti ketika menentukan langkah-langkah
penelitian (Alwasilah, 2003:97). Kecenderungan Etnomusikologi menggunakan
metode penelitian kualitatif karena motede atau cara kerja keilmuan yang
menekankan pada makna budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Penelitian kualitatif digunakan untuk memepelajari karakteristik yang diteliti, baik
orang maupun kelompok sehingga keberlakuan hasil penelitian tersebut hanya
untuk orang atau kelompok yang sedang diteliti tersebut.
Metode Observasi. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk
observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi
partisipasi, obserasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
Dalam hal ini penulis menggunakan metode Observasi Partisipasi. Metode ini
adalah pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data-data penelitian
melalui pengamatan dan pengindraan di mana peneliti terlibat didalamnya.
Selain itu penelitian ini menggunakan metode deskriptif serta metode
perbandingan (comparative method). Metode perbandingan merupakan metode
yang digunakan pada awal penyelidikan sebelum sasaran yang dibandingkan
dapat dimengerti. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan imajinatif
namun memiliki informasi yang akurat (Hood, 1995). Sedangkan metode
deskriptif adalah metode yang menggambarkan sebuah peristiwa, benda, dan
keadaan dengan sejelas-jelasnya tanpa memengaruhi objek yang ditelitinya
(Sugeng D Triswanto, 2010: 17).
20
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan
studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir,
1988:111). Dalam hal ini penulis mendapatkan data-data yang terdapat pada buku
antara lain: Sejarah Musik 1 oleh Rhoderick J.McNeill, Sejarah musik oleh Karl
Edmund Prier dan Dieter Mack, The Antropology of Music oleh Alan P Merriam,
Etnomusikologi oleh Alan P Merriam yang diterjemahkan oleh Sentosa dan
Rizaldi Siagian dengan editor R. Supanggah, Teknik Menulis Karya Ilmiah oleh
Bambang Dwiloka dan Rati Riana, Trik Menulis Skripsi dan Menghadapi
Presentasi oleh Sugeng D. Triswanto, Prosedur Penelitian oleh Suharsimi
Arikunto, Analisis Data Penelitian Kualitatif oleh B. Bungin dan lainnya. Selain
buku tersebut penulis mencari sumber lain berupa buku yang sangat berkaitan
dengan pokok pembahasan yaitu, Inkulturasi Musik Liturgi oleh Karl-Edmund
Prier SJ, Mencintai Liturgi oleh Frans Sugiyono, Pedoman Umum Misale
Romanum oleh Komisi Liturgi KWI, Ekaristi oleh Bosco da Cunha, Gereja
Katolik memasuki Tapanuli oleh R. Kurris, Puji Syukur Nyanyian Doa dan
Gerejawi oleh Komisi Liturgi KWI, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di
Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia oleh Huub. J.W.M Boelaars.
Selain buku-buku penulis juga mencari data dalam skripsi-skripsi yaitu,
Fungsi dan Peranan Gondang dalam Penerimaan Sakramen Krisma di Gereja
Katolik Santo Diego Martoba Paroki Pasar Merah Medan; Sebuah Kajian
Deskriptif oleh Hotma Uli Manalu. Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia Pasca
21
Konsili Vatikan II oleh Rikalufi W. Wardhani. Pengaruh Konsili Vatikan II
terhadap Inkulturasi Musik Liturgi dalam Ofisi di Biara Ordo Kapusin Santo
Fransiskus Asisi Pematang Siantar oleh Dussel S. Banjarnahor. Dan beberapa
artikel-artikel yang representatif dari website seperti, blogspot.com, ucanews.com,
wikipedia.org, majalahhidupkatolik.com, dan www.reginacaeli.org.
1.5.2 Pengumpulan Data di Lapangan
1.5.2.1 Observasi
Observasi disebut pengamatan atau peninjauan secara cermat. Pengamatan
adalah pemusatan perhatian terhadap sebuah objek dengan menggunakan semua
kemampuan pancaindera (Arikunto, 1998:164). Biasanya observasi dapat
dilakukan dengan cara melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasakan.
Observasi yang dilakukan penulis ialah observasi partisipasi. Selama melakukan
pengumpulan data dilapangan penulis melakukan pengamatan setiap hari Minggu
dengan ikut merayakan perayaan misa di Gereja Santo Antonius. Beberapa kali
penulis berusaha untuk datang lebih awal untuk melihat situasi dan keadaan
disekitar gereja. Observasi awal yang dilakukan penulis yaitu memfokuskan pada
tata peribadatan/runtutan perayaan misa, para petugas liturgi, misdinar (remaja
putra atau putri yang melayani imam dalam upacara gereja Katolik; pelayanan
misa), imam, dan perayaan liturgi yang dirayakan. Selama perayaan ibadat,
penulis mulai memperhatikan setiap bagian dari lagu ordinarium, baik pada
perayaan misa pertama (07.00- 09.00), misa kedua (pukul 09.00-11.00) maupun
pada misa Sore (pukul 17.00-19.00). Dan disetiap perayaan misa penulis
22
membawa kertas acara tata ibadat misa sebagai bahan dan data yang mendukung
penulisan ini.
1.5.2.2 Wawancara
Wawancara adalah tanya-jawab dengan seseorang untuk mendapatkan
keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah. Seperti percakapan
biasa, wawancara adalah pertukaran informasi, opini, atau pengalaman dari satu
narasumber dan pewawancara. Sebagai narasumber dari penelitian ini penulis
memilih pastor paroki sebagai narasumber yang paling representative sekaligus
pimpinan gereja yang tertinggi di Gereja Santo Antonius. Penulis juga
mewawancarai beberapa pastor yang pernah memimpin misa di Hayam Wuruk,
pengurus Gereja, dan umat yang beribadat di Gereja tersebut. Sehingga hasil dari
wawancara ini dapat mendukung dan memperkuat penulisan skripsi ini.
1.5.2.3. Rekaman
Pada pelaksanaan kegiatan penelitian ini, penulis menggunakan satu unit
kamera digital Fuji dan satu unit alat rekam video Handycam Sony. Dalam
pelaksanaan ini penulis merekam lagu-lagu ordinarium Batak Toba, kemudian
mengdokumentasikan dalam bentuk foto instrument musik yang dipergunakan
dalam mengiringi lagu ordinarium tersebut. Penulis juga mendokumentasikan
para penyanyi, dan pemain musiknya. Pengambilan data dengan rekaman ini
dilakukan penulis dengan merekonstrusi kembali ordinarium Batak Toba yang
dilakukan oleh kaum Biarawan di Biara Kapusin Jalan Medan Pematang Siantar
pada tanggal 20 Desember 2011.
23
1.5.3 Analisis Data di Laboratorium
Keseluruhan hasil wawancara dan rekaman audio visual yang diperoleh
dari penelitian di lapangan, kemudian diolah dalam kerja laboratorium. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk transkripsi nada dari lagu serta
penganalisaan teksnya. Penulis akan melihat perbandingan ordinarium Gregorian
Chant dan ordinarium Batak Toba terutama pada pola melodis dan tekstualnya.
1.6
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Gereja Katolik Santo Antonius dari Padua,
Jalan Hayam Wuruk No 1. Lokasi gereja ini terletak di Kelurahan Petisah Hulu,
Kecamatan Medan Baru (20153) Medan, Sumatera Utara. Gereja Santo Antonius
ini merupakan gereja paroki, yang dipimpin oleh Pastor Paroki Carolus
Sembiring O.F.M Cap, dibawah Keuskupan Agung Medan yang dipimpin oleh
Uskup Agung Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M Cap.
Penulis melihat beberapa keistimewaan pada Gereja Santo Antonius ini
diantaranya, kuantitas perayaan misa pada hari Minggu yang diadakan sebanyak
tiga kali.
Gereja Santo Antonius Hayamwuruk memang merupakan gereja
paroki, artinya pusat gereja dari suatu wilayah tertentu, namun perayaan misa
yang dilakukan adalah yang paling banyak jadwal ibadatnya dibandingkan dengan
dibeberapa paroki lain di daerah Medan. Selain hari Minggu, hari Sabtu sore
perayaan misa juga berlangsung di Gereja Santo Antonius. Dari sini terlihat
bahwa jumlah umatnya lebih besar dari beberapa paroki lainnya di Medan. Selain
itu keragaman umat dalam gereja ini nampak terlihat. Terdapat beberapa etnisetnis di Sumatera Utara menjadi umat dan ikut merayakan misa di Gereja Santo
24
Antonius. Penulis juga melihat bahwa perhatian gereja terhadap tradisi dan
budaya setempat sungguh diapresiasi dengan semangat melakukan beberapa
usaha-usaha inkulturasi disetiap perayaan besar gereja. Dengan beberapa alasan
inilah penulis tertarik untuk membuat tulisan karya ilmiah dan melakukan
penelitian.
25
BAB II
SEJARAH GEREJA KATOLIK INDONESIA DAN TATA PERIBADATAN
2.1 Sejarah Gereja Katolik di Indonesia
Awal karya misi Katolik di Nusantara dimulai sejak pertengahan abad
VII26, dimana di pantai barat Sumatera Utara sudah terdapat pemeluk Kristen.
Pada abad XIII dan XIV beberapa misionaris Fransiskan27 singgah di Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan ketika berlayar menuju Cina. Namun penyebaran misinya
tidak bertahan lama. Kemudian pada tahun 151128 Portugis singgah di Malaka
dibawah pimpinan Vasco da Gamma. Portugis menaklukan Malaka, daerah Goa
dan tempat-tempat lain serta melakukan monopoli perdagangan. Dari Malaka
mereka bertolak melakukan pelayaran ke tempat asal rempah-rempah ke daerah
Timur. Selama dalam perjalanan pelayaran para kaum rohaniawan juga turut serta
untuk pemeliharaan rohani para pelaut, pedagang, serta serdadu-serdadu. Tahun
1512 kapal Portugis berlayar di Pulau Banda Maluku. Para pedagang Portugis
berhasil melakukan perdagangan dengan baik dengan masyarakat Maluku, dan
kaum rohaniawan juga turut menyebarkan misi di daerah ini. Namun situasi
26
Sumber KWI (Konfrensi Wali gereja Indonesia), yang ditegaskan kembali dengan fakta dari
Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan
seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita- berita tentang
Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”, yang memuat berita
tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika
Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Berdasarkan berita dari Abu Salih al-Armini dapat
diambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam
Keuskupan Sibolga di pantai Barat Sumatera Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di
Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni
Maria
27
Biarawan atau biarawati dalam Gereja Katolik yang menggabungkan diri pada Lembaga Hidup
Bakti (tarekat), yang didirikan oleh pendiri tarekatnya. Ordo Fransiskan pendiri tarekatnya yakni
Fransiskus, sehingga cara hidup kaum biarawan mengikuti jejaknya.
28
Kedatangan Portugis merupakan “semangat menjelajah” dunia yang tumbuh di Eropa pasca
ditemukannya benua Amerika oleh Coloumbus dan Amerigo Vespuci serta perang Salib di Eropa
yang mengarah pada konflik terhadap Spanyol dan Portugis yang menghasilkan Perjanjian
Saragosa
26
keagamaan di Maluku saat itu sedang rumit. Pulau Tidore dan Ternate hampir
seluruhnya menganut agama Islam dibawah pimpinan masing-masing sultannya.
Sementara di pulau-pulau lain seperti Ambon, Seram, Buru dan lain-lain masih
menganut kepercayaan para leluhur mereka. Walaupun situasi sedang rumit,
ternyata ada seorang Kepala Kampung yang disebut mamoia atau mamuia datang
dan mau dibaptis. Awalnya mamuia ini hanya meminta bantuan dan perlindungan
kepada kaum missioner karena sering diganggu oleh kampung disekitarnya. Dia
kemudian dibantu dan dilindungi di tempat kaum missioner dan diterima dengan
baik. Selama dalam perlindungan dia melihat kehidupan para missioner, dia
tertarik dan berkeinginan untuk dibaptis. Setelah dia menyatakan diri menjadi
Katolik, orang-orang kampungnya pun ikut dibaptis. Namun ancaman tetap ada
dari luar daerah kampung sekitar yang berakhir dengan terjadinya pembunuhan
terhadap seorang misionaris Simon Vaz.
Karya misi ini kemudian dilanjutkan oleh Santo Fransiskus Xaverius yang
datang mengunjungi kepulauan Maluku: Ambon, Ternate, Halmahera, dan
Molotai pada tahun 1546-1547. Fransiskus banyak memberikan perhatian kepada
kaum kecil di Maluku, membuka sekolah-sekolah bagi kaum pribumi sehingga
banyak penduduk kampung menaruh perhatian, peduli, dan mulai santun padanya.
Dari sinilah banyak penduduk yang berkeinginan untuk dibaptis oleh Santo
Fransiskus Xaverius. Karya Fransiskus ini kemudian dilanjutkan oleh sejumlah
missioner lain. Menjelang akhir abad XVI terdapat sekitar 30.000 umat katolik
diantara jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 150.000 di Maluku. Itulah
27
sebabnya sejarah mengatakan permulaan Katolik di Indonesia dibawah bendera
Portugis di Maluku (Boelaars, 2005: 61).
Penguasaan VOC di sejumlah wilayah Nusantara memperburuk karya
misi. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma
yang ditangkap. Beberapa kebijakan dibuat oleh VOC untuk membatasi dan
melarang penyebaran agama Katolik. Daerah yang paling terdampak adalah umat
Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara telah berubah
sehingga mayoritas agamanya adalah Protestan. Meskipun demikian umat Katolik
masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama
mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir
ketika Belanda dikalahkan oleh Perancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun
1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi
Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia
Belanda (Wikipedia.Org/Wiki/Agama_di_Indonesia).
Pada tahun 1806 Raja Louis Napoleon29 mengumumkan undang-undang
kebebasan beragama di Negeri Belanda. Berkenaan dengan ini Gereja Katolik di
Nusantara pun dapat berkembang lagi. Batavia dijadikan sebagai pusat misi dan
pada tahun 1807 dibentuklah Prefektur Apostolik30 Batavia yang meliputi seluruh
wilayah Hindia Belanda. Dua imam praja31 dari Belanda tiba pada tahun 1808
sebagai misionaris pertama yang kemudian disusul oleh sejumlah imam praja
lainnya. Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi
29
Pangeran Prancis yang dijadikan Raja Negeri Belanda
Prefektur apostolik adalah daerah misi di mana Gereja Katolik belum berkembang
31
“Imam praja” adalah sebutan lain untuk “Imam diosesan”. Imam diosesan adalah Imam yang
karena tahbisannya di-inkardinasikan (mengikatkan diri) pada Dioses atau Keuskupan tertentu
seumur hidup. Imam diosesan disebut pula imam keuskupan.
30
28
Vikariat Apostolik32. Sementara jumlah imam praja semakin berkurang, para
imam Jesuit33 pun (Serikat Jesuit) terus berdatangan sejak tahun 1859. Pada akhir
abad XIX tanggung jawab evangelisasi/ penginjilan di Nusantara secara
kanonik/menurut Undang-undang gereja dialihkan dari para imam praja kepada
para imam Jesuit .
Di awal abad XX tampak semakin jelas bahwa satu vikariat apostolik
Batavia, yang mencakup seluruh Nusantara, terlampau luas. Wilayah dan
tanggung jawab terhadap wilayah ini perlu dibagi-bagi. Sejak tahun 1902
beberapa daerah sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia ke dalam
beberapa wilayah independen (vikariat apostolik maupun prefektur apostolik),
yaitu Maluku dan Irian (1902), Kalimantan (1905), Sumatera (1911), Nusa
Tenggara (1913/14), Sulawesi (1919). Vikariat Apostolik Batavia hanya meliputi
Jawa saja (http://keuskupanbandung.org/main/post/376).
Untuk menjaga perkembangan dan kepentingan bersama maka para
waligereja membentuk suatu perwakilan tetap di Batavia pada tahun 1924. Inilah
cikal bakal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Kantor Waligereja
(Kawali). Pada tahun 1925 diadakan konferensi para waligereja I. Pembagian
wilayah terus berlanjut hingga seluruh Nusantara terbagi dalam wilayah-wilayah
misi yang ditangani oleh sejumlah serikat religius (SJ, MSC, OFMCap, SVD, SCJ,
32
Vikariat apostolik adalah bentuk yurisdiksi teritorial Gereja Katolik di daerah yang belum
dibentuk keuskupan. status wilayah yang lebih berkembang dibandingkan dengan status prefektur
apostolik tetapi masih di bawah status keuskupan.
33
Imam Jesuit adalah anggota Serikat Yesus, yaitu sebuah ordo religious dalam Gereja Katolik
yang beranggotakan sekitar 19 ribu orang (laki-laki) yang tersebar di 6 benua dan 124 negara di
berbagai penjuru dunia. Anggota Serikat Yesus ini terdiri dari para imam, bruder ataupun skolastik
(frater) yang sedang belajar dalam proses pendidikan imam.
29
SSCC, OCarm, CM, OSC, OFM, MSF). Pada tahun 1932 terdapat sekitar 300 ribu
umat Katolik.
2.1.1 Sejarah Gereja Katolik di Jawa
Misi Katolik di Jawa berpusat di Muntilan, Jawa Tengah. Misi Katolik di
daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ dan Petrus Hoevenaars yang datang
pada bulan Oktober tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil
yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba empat orang kepala desa
dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi
pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama
orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang
terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi
tempat ziarah Sendangsono.
Romo Van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu
Normaalschool (1900) dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) tahun1904.
Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu
Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah mantan
siswa Muntilan.
Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal
babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo
mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur
Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada
imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun
kemudian, pada 1905 Paus Pius X membentuk Prefektur Apostolik Kalimantan
30
dan pelayanannya diserahkan kepada Ordo Kapusin (OFMCap). Sumatera
menjadi Prefektur Apostolik pada tahun 1911 dan diserahkan kepada Ordo
Kapusin juga. Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil didirikan pada 1913
dan diserahkan kepada Serikat Sabda Allah (SVD). Prefektur Apostolik Celebes
berdiri pada tahun 1919 dan diserahkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC).
Selanjutnya di Jawa sendiri perkembangan besar terjadi dengan pembagian
tugas baru. Pada 1923 imam-imam Ordo Karmel (O.Carm) diberi tugas membina
daerah misi Malang, Prefektur Apostolik didirikan pada tahun 1927 di Malang.
Daerah Surabaya diserahkan kepada imam-imam Lazaris (C.M.) pada tahun 1923
dan berkembang menjadi Prefektur Apostolik pada 1928. Imam-imam misionaris
Hati Kudus (MSC) juga mengembangkan daerah Purwokerto di Jawa Tengah, dan
Prefektur Apostolik didirikan di Purwokerto pada tahun 1932. Bersamaan dengan
itu, Bandung menjadi Prefektur Apostolik setelah diserahkan dan dibina oleh Ordo
Salib Suci (OSC). Daerah Semarang dijadikan Vikariat Apostolik pada tahun
1940.
Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam
calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada
tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan
Soegijapranata, SJ.
2.1.2 Sejarah Gereja Katolik di Sumatera Utara
Kota Tarutung yang terletak diantara pantai selatan Danau Toba dan
Lautan Hindia merupakan kota yang cukup penting dalam peranan agama Kristen
di Sumatera Utara. Kota Tarutung ini menjadi terkenal sebagai pusat Huria
31
Kristen Batak Protestan (HKBP) yakni di Rura Silindung, Pearaja. Datangnya
agama ini dibawa oleh seorang Pendeta Nommensen pada tahun 1863 khususnya
ke daerah Batak. Tujuh puluh satu tahun kemudian pada akhir tahun 1934, Gereja
Katolik memperoleh izin memasuki Tapanuli. Kelompok Ordo Kapusin mulai
bergerak dari kota Balige. Kelompok biarawan ini masih muda-muda dan berhasil
menanam gereja Katolik sampai pelosok-pelosok Tapanuli. Namun pada tahun
1942 tentara Jepang merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua
misionaris-misionaris sehingga karya misipun terhenti.
Setelah penjajahan Jepang dan Pergelokan kemerdekaan berakhir, para
misionaris dibebaskan dan memulai kembali karya misi Katolik yang sempat
terhenti. Gereja Katolik; di Sumatera Utara R.K. menjadi sebutan untuk
menyatakan Roma Katolik; menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
Tapanuli. Pada awal misi Katolik, para misionaris dari Balige dalam garis besar
bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum
dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta dan Parlilitan, dan 3. Ke selatan
menuju pegunungan di sekitar Rura Silindung.
Untuk menghindari konflik dengan Gereja Protestan, Roma Katolik
dengan sengaja tidak mau langsung ke kota Tarutung. Akan tetapi, tidak lama
kemudian muncul undang-undang untuk memasuki daerah pusat Protestan itu,
maka para misionarispun menjalankan tugasnya. Pada tahun 1854, Pastor Kaspar
de Hessele seorang imam diosesan, keturunan Belanda datang ke Hindia Belanda.
Ia mulai melayani umat katolik yang tersebar di seluruh Jawa Timur, kepulauan
Maluku, sampai daerah Minahasa. Kemudian atas restu Pemimpin Gereja Batavia
32
ia bertolak ke tanah Batak lewat kota Padang yang belum dikuasai oleh Belanda.
Namun sayang, selama dalam perjalanan ia menderita sakit, dan meninggal dalam
perjalanan. Sembilan tahun kemudian muncullah Pendeta Nommensen, dan tujuh
puluh satu tahun setelah kedatangan Pendeta Nommensen, misionaris-misionaris
Katolik baru diperbolehkan memasuki Tapanuli.
Pada tahun 1934, Pater Sybrand Van Rossum atau Pastor Parosum yang
berusia 31 tahun datang ke Balige. Di kota ini ia tidak diterima dengan hangat,
banyak situasi perlawanan yang ia hadapi yakni: Pemerintah Kolonial dan
pegawai-pegawainya, Zending Protestan dan Pendeta-pendetanya, sebagian besar
rakyat yang mendiami Toba, Humbang, dan Rura Silindung. Namun ia merupakan
seorang yang optimis, ramah, humoris, cepat tanggap dan bereaksi cepat, sehingga
ia mampu menghadapi masalah yang ada. Beberapa bulan kemudian ia diterima
dan banyak yang mulai datang padanya.
Pastor ini banyak bergaul dengan
masyarakat Batak sehingga ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan
Bahasa Batak, dan ia semakin diterima di Balige. Kemudian ia pergi ke kota
Tarutung, bergaul dengan masyarakat disana sambil menyatakan karya misi
Katolik.
Situasi dan kondisi mulai membaik, situsi di Balige mulai menyenangkan,
rumah untuk penampungan Pastorpun sudah dibangun. Pastor Diego van den
Biggelaar pun ikut bergabung dengan Pastor Panrossum. Mereka berdua
memasuki Balige, Tarutung seluruh wilayah pelosok yakni, Samosir, Huta
33
Simbolon, Hutaraja, sehingga ia mendapat julukan Ompu Bornok Simbolon34.
Lama bergaul dengan orang Batak membuat Pastor Panrossum mengerti dan fasih
dengan bahasa Batak, ia menggunakan peribahasa dalam bahasa Batak disetiap
khotbahnya sehingga dapat dimengerti oleh umatnya. Selain itu ia sangat
menghargai dan mengerti akan tradisi, kebiasaan serta adat-istiadatnya Batak,
sehingga Pastor ini sangat mengena di hati semua masyarakat baik yang Katolik
maupun Protestan.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1942-1945,
dimana terjadi Perang Dunia II, wilayah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara
tampak mulai melemah. Asia mulai bangkit, Jepang maju dengan cepat, dan
gerakan-gerakan Nasionalis mulai mengancam. Akan tetapi, pada 8 Desember
1941, dunia digoncangkan dengan pengboman yang dilakukan Jepang yang
menghancurkan kapal-kapal Amerika Serikat di Pearl Harbour, makin meluas ke
wilayah Pasifik. Tiga minggu kemudian, tepat 28 Desember Lapangan terbang
Polonia dibom; lebih dari 30 orang tewas. Pada bulan Januari 1942, Menado,
Tarakan, dan Balikpapan direbut oleh Jepang dimana mereka sangat memerlukan
sumber-sumber minyak untuk berperang.
Dalam situasi demikian di pastoran Balige, para pastor, bruder, suster35
duduk bersama guna membicarakan hari depan gereja. Mereka sadar bahwa
sebentar lagi mereka akan ditangkap, namun siapakah yang akan melanjutkan
karya mereka? Setelah delapan tahun berkarya, telah membaptis 18.000 orang
34
Ompu Bornok berarti: Opa Basah. Ompu yang diucapkan Opung, merupakan sapaan akrab bagi
yang dituakan. Karena Pastor itu begitu giat bergerak sehingga basah keringatan maka ia dijuluki
Ompu Bornok.
35
Sejak tahun 1939, suster-suster FCJM atau Kongregasi Suster Fransiskan Putri Hati Kudus
Yesus dan Maria telah membuka biara dan balai pengobatan di kota Balige dekat Gereja.
34
menjadi Katolik didaerah Batak. Seluruh kaum Eropa yang berada di tanah Batak
ditangkap dan ditahan. Mereka diasingkan di kampung Belawan, namun anakanak dan perempuan diasingkan di tempat lain. Akhir tahun 1942, kekuatan
Jerman di Eropa mengalami pukulan dahsyat yang pertama dalam pertempuran
Stalingard, sedangkan di Asia pada waktu yang sama angkatan laut Jepang
berhasil diberhentikan di Guadal-canal. Akhir tahun 1943, ribuan buruh dan
petani dari pelbagai tempat di Indonesia, termasuk juga dari Tapanuli,
dikumpulkan sebagai romusha. Keadaan tentara Jepang makin terdesak, keadaan
semakin memuncak. Tanggal 6 Agustus 1945, kota Hiroshima telah dibom dan
hancur, menyusul tiga hari kemudian kota Nagasaki. Tidak ada yang mendengar
kabar kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, apalagi tentang Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dan pada tanggal 24 Agustus, barulah
diketahui bahwa kemerdekaan sudah didapat, para tahanan dibebaskan dan bisa
kembali pada keluarga dan anak-anak mereka.
Setelah penyerahan kedaulatan, para pastor mulai menjelajahi Sibolga dan
Pulau Nias; mengenai daerah Toba para pejabat Republik Indonesia memberi
nasehat untuk menunggu waktu sampai situasi di daerah Batak mulai aman dan
terkendali. Kemudian tanggal 22 Maret 1950, keadaan sudah mulai membaik di
daerah Tarutung dan para misionaris pun mulai kembali mengunjungi seluruh
daerah Tapanuli. Sampai tahun 1965 umat semakin berkembang dan bertambah.
Perkembangan terus terjadi sampai tahun 1981. Sekarang ini, jumlah pastorpastor sudah memadai, dan perayaan misa kudus/ekaristi di setiap gereja pada
35
hari Minggu dapat dilaksanakan, meski di beberapa stasi-stasi kecil belum dapat
setiap Minggu merayakan misa.
2.1.3 Sejarah Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan.
Gereja Santo Antonius awalnya merupakan gereja stasi dibawah paroki
Gereja Katolik Santa Maria Tak Bernoda Asal (sering disebut Gereja Katedral,
yang beralamat di Jalan Pemuda No. 1 Medan). Kemudian menjadi gereja paroki,
pada bulan Maret 1915, dengan jumlah gereja stasi empat gereja36 dan dilayani
oleh imam dari OFM Capusin37, dibawah Keuskupan Agung Medan.
Pada tahun 2007 tepatnya pada tanggal 3 Juni, telah berdiri bangunan
gereja yang baru, dibangun tepat didepan bangunan gereja yang lama dan
diresmikan oleh Uskup Agung Mgr. (dibaca Monsinyur) A.G. Pius Datubara,
OFM Cap dan Pastor Paroki Redemptus Simamora OFM Cap.
Keadaan umat setiap tahun semakin banyak dan berkembang, yang terdiri
atas empat stasi dengan 35 lingkungan. Secara garis besar keadaan umat terbagi
kedalam empat stasi paroki Santo Antonius yakni, 1. Gereja Katolik Stasi Santo
Yosep sebagian besar berada di wilayah jalan dokter Mansur , 2. Gereja Katolik
Stasi Santo Fransiskus Xaverius sebagian besar berada di wilayah Sunggal, 3.
Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga sebagian besar berada di
wilayah Sei Agul, 4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih sebagian besar berada di
wilayah Karya Kasih. Keadaan umat Gereja Santo Antonius Hayamwuruk
keadaan umatnya sangat beragam: Batak Toba, Karo, Simalungun, Jawa, Cina,
36
1. Gereja Katolik Stasi Santo Yosep. Jalan Dr. Mansyur, Medan, 2. Gereja Katolik Stasi Santo
Fransiskus Xaverius, Sunggal 3. Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga, Sei Agul
4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih
37
Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum = Ordo Saudara-Saudara Dina Kapusin
36
Nias, dan India. Selain umat yang resmi bergabung dengan Gereja Santo Antonius
banyak juga umat diluar wilayah paroki beribadat di Gereja Santo Antonius
Hayamwuruk.
Struktur Organisasi Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan.
Pastor Paroki
Dewan Pastoral Paroki
Ketua Lingkungan
Gambar 1. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan bagian luar
Gambar 2. Panti Imam.
37
Gambar 3. Tempat jalannya Perarakan Masuk.
2.2 Tata Ibadat Misa Gereja Katolik
Peribadatan misa terbagi atas empat bagian pokok yaitu, Ritus Pembuka,
Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup.
2.2.1 Ritus Pembuka
Ritus pembuka merupakan awal untuk memulai ibadat perayaan Misa.
Bagian ini terdiri atas: perarakan masuk, tanda salib, salam, pengantar, tobat,
nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami/ Kyrie eleison , madah Kemuliaan /Gloria, dan
doa pembuka. Unsur-unsur inilah yang mengawali ibadat Misa. Mengawali Misa
pada Gereja Santo Antonius Hayamwuruk dimulai dengan dipukulnya gong.
Seluruh umat akan berdiri dan bernyanyi yang dipimpin oleh dirigen umat untuk
menyambut perarakan masuk imam dan para petugas liturgi. Perarakan masuk
imam dan petugas liturgi dimulai melalui pintu utama lalu memasuki gereja.
Mereka memasuki gereja berjalan menuju altar dengan diiringi nyanyian
pembukaan. Seorang misdinar yang memegang dupa berada pada barisan depan
perarakan, akan mendupai jalannya perarakan masuk ini. Dalam perayaan
38
meriah38 selain dengan nyanyian, perarakan masuk juga dapat diiringi dengan
tarian39.
Bila imam dan para petugas liturgi telah sampai di depan panti imam,
semuanya akan membungkuk menghormati altar. Dimana penghormatan terhadap
altar merupakan tanda Tuhan hadir. Kemudian imam menuju altar dan para
petugas liturgi menuju pada tempat yang telah disediakan. Sesuai dengan
perayaan, imam juga dapat mendupai salib dan altar.
Gambar 4. Altar
Setelah imam berada di altar dan nyanyian sudah berakhir, imam mebuat
tanda salib dengan berkata “Atas nama Bapa dan Putera dan Roh kudus” yang
diikuti oleh seluruh umat dan dijawab dengan “Amin”. Kemudian imam membuka
tangannya sambil berkata “Tuhan Sertamu” dan umat menjawab “Dan sertamu
juga”. Hal ini merupakan sapaan, salam imam terhadap umat yang menunjukkan
bahwa Tuhan hadir ditengah-tengah mereka. Setelah menyampaikan salam, imam
38
Perayaan Paskah, Natal, hari Minggu dan perayaan-perayaan besar gereja lainnya
Dalam perayaan-perayaan besar dalam Gereja biasanya dilakukan perayaan Misa yang lebih
meriah. Rasa sukacita tersebut diungkapkan melalui tarian yang makna dan fungsinya telah
disesuaikan dengan budaya Gereja
39
39
memberikan pengantar singkat tentang Misa yang akan dirayakan sehingga
membawa pemahaman pada umat.
Memasuki ibadat selanjutnya imam mengajak umat untuk merenungkan,
menyesali, segala perbuatan dosa dan mengajak untuk bertobat. Sikap pertobatan
umat dinyatakan dengan sikap tubuh yang berlutut dan dengan mengucapkan
rumusan doa tobat, kemudian disambung dengan nyanyian Tuhan Kasihanilah
kami. Sifat nyanyian ini ialah seruan kepada Tuhan untuk memohon belas kasihNya. Oleh karena itu, nyanyian Tuhan Kasihanilah biasanya dilagukan oleh
seluruh umat.
Setelah menyatakan pertobatan madah Kemuliaan (Gloria) dinyanyikan.
Kemuliaan merupakan pujian meriah kepada Allah karena telah memberikan
pengampunan, menurunkan rahmat, berkat, dan kedamaian bagi manusia.
Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada
perayaan-perayaan meriah, dan pada hari Minggu di luar masa Adven dan masa
Prapaskah. Karena Kemuliaan merupakan madah pujian meriah oleh karena itu
sikap tubuh untuk mengapresiasinya adalah berdiri. Madah ini dibawakan secara
bersama-sama dengan umat, atau silih berganti antara umat dengan paduan suara,
atau oleh paduan suara saja.
Ritus pembuka berakhir dengan doa pembuka. Doa pembuka merupakan
doa persiapan untuk masuk ke Liturgi Sabda, dan merupakan akhir dan sekaligus
puncak dari Ritus ini. Doa pembuka adalah doa predidensial. Artinya doa
pemimpin. Hanya pemimpin saja yang membawakan doa ini atas nama umat. Doa
pembuka dapat dilagukan (umumnya pada pesta dan hari raya besar Gereja) atau
40
dapat dilafalkan. Sikap yang layak pada saat Doa pembuka adalah berdiri. Usai
berdoa umat duduk kembali untuk mendengarkan Sabda Allah dan Imam duduk di
kursi tepat di depan altar.
Semua bagian dalam Ritus Pembuka ini umumnya dipersiapkan demikian
karena mempunyai ciri khas dalam liturgi sebagai pembuka, pengantar, dan
persiapan. Bagian ini juga bertujuan mempersatukan umat yang berhimpun dan
mempersiapkan mereka sehingga dapat mendengarkan sabda Allah dengan
hikmat, layak, dan penuh perhatian40.
2.2.2 Liturgi Sabda
Unsur-unsur dalam liturgi Sabda ini terdiri dari: bacaan I, mazmur
tanggapan, bacaan II, alleluia atau bait pengantar injil, injil, aklamasi sesudah
injil, homili, syahadat, dan doa umat. Liturgi Sabda adalah pewartaan Sabda Allah
dan nyanyian mazmur tanggapan kepada seluruh umat yang berasal dari Alkitab.
Sedangkan homili, syahadat, dan doa umat merupakan pendalaman terhadap
liturgi Sabda.
Setelah doa pembuka berakhir umat duduk kembali untuk mendengarkan
sabda Tuhan. Kemudian dua orang lektor dan seorang pemazmur menuju panti
imam, memberi hormat dengan membungkuk ke altar, dan menuju mimbar sabda
tempat berlangsungnya liturgi Sabda. Ketiga petugas liturgi ini adalah petugas
untuk bacaan I41, pemazmur, dan bacaan II. Bacaan I dibawakan oleh lektor dari
mimbar sabda. Lektor merupakan seorang umat yang telah dipilih sebelumnya,
dan telah mempersiapkan diri dengan baik. Setelah selesai bacaan I, lektor
40
41
Buku PUMR(Pedoman Umum Missale Romanum) No. 46
Bacaan I diambil dari Perjanjian Lama, Kitab Para Nabi.
41
mengakhiri dengan berkata “Demikianlah Sabda Tuhan” dan umat menjawab
“Syukur kepada Allah”.
Gambar 5. Mimbar Sabda
Lektor bacaan I kemudian turun dari mimbar sabda dan dilanjutkan dengan
mazmur tanggapan. Mazmur tanggapan merupakan ayat Alkitab dari kitab
Mazmur yang dilagukan secara responsorial42 oleh seorang solis/pemazur dan
diikuti oleh umat. Mazmur tanggapan terdiri dari kalimat ulangan dan ayat, setiap
mazmur memiliki ayat ulangan dengan lebih kurang tiga bait ayat-ayat mazmur.
Mazmur tangapan dilagukan sesuai dengan pola yang disediakan dalam mazmur
yang bersangkutan. Untuk itu, pemazmur harus mempersiapkan diri dengan baik,
yakni: mengenal pola lagu43, berlatih dan menjiwai. Selama pemazmur berada di
mimbar sabda dua orang misdinar44 akan mendampingi di sisi-sisinya dengan lilin
42
Mazmur responsorial, ketika jemaat mengulangi salah satu ayat dari mazmur sebagai refrain
atau respons terhadap ayat-ayat lain yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi solo.
43
Lih. Buku Nyanyian Puji Syukur no 801 dan seterusnya
44
Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar)
adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara
lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat.
42
menyala. Setelah selesai mazmur tanggapan dilanjutkan dengan bacaan II. Sama
dengan Bacaan I, Bacaan II dibacakan seorang lektor namun dibawakan oleh
lektor yang berbeda dari lektor yang membawakan bacaan I.
Sebelum memasuki bacaan Injil, pemazmur kembali bermazur untuk
menyanyikan bait pengantar Injil. Bait pengantar Injil/Alleluia ini dibawakan
dengan cara dinyanyikan yang berstruktur sama dengan mazmur tanggapan:
ulangan - ayat singkat - ulangan. Pemazmur menyanyikan ayat ulangan, diikuti
oleh umat dengan melagukan ayat ulangan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan
ayat singkat oleh pemazmur, dan dijawab kembali oleh umat dengan ayat ulangan.
Ulangan yang dinyanyikan pada umumnya adalah kata “Alleluia”45. Selama
pemazmur berada di mimbar sabda dua orang misdinar46 akan mendampingi di
sisi-sisinya dengan lilin menyala. Bait Pengantar Injil/Alleluia merupakan
nyanyian penyambutan injil berupa ringkasan atau kutipan dari injil yang akan
dibawakan. Waktu dinyanyikan Bait Pengantar Injil/Alleluia, seluruh umat berdiri
sebagai tanda siap sedia mendengarkan sabda Kristus. Setelah selesai
menyanyikan alleluia, ketiga petugas liturgi turun dari panti imam dan kembali
ketempat duduk semula. Kemudian Imam menuju mimbar sabda dan
membacakan injil dari Kitab Suci.
Pembacaan
injil
merupakan puncak dari Liturgi
Sabda.
Untuk
menunjukkan kepuncakkan ini, liturgi memiliki tata cara yang semarak yang
menyangkut sikap tubuh, tata gerak, dan musik, yakni:
45
Lihat buku nyanyian Puji Syukur No 951-964, 967, kecuali masa Prapaskah lih Puji Syukur No
965-966.
46
Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar)
adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara
lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat.
43
1. Aklamasi sebelum pembacaan Injil dengan cara dilagukan
2. Salam pembuka untuk mengawali pewartaan dengan cara dilagukan
3. Dimeriahkan dengan adanya pendupaan
4. Di mimbar diiringi dengan lilin menyala dan selama pembacaan Injil umat
berdiri
5. Tanda Salib oleh Imam pada buku Injil dan umat membuat tanda salib
pada dahi, bibir, dan dada.
6. Dimeriahkan dengan sebuah aklamasi sesudah Injil dengan cara dilagukan.
Setelah pembacaan Injil selesai umat duduk kembali dan mendengarkan
homili. Homili adalah khotbah, injil dijelaskan kepada jemaat dengan cara yang
selaras dengan daya tangkap serta cara hidup umat sesuai dengan konteks
perayaan yang sedang berlangsung. Setelah mendengarkan homili, umat bersamasama memperbarui peneguhan imannya dalam rumusan syahadat Aku Percaya/
(Credo). Cara membawakan Syahadat dapat dilagukan atau diucapkan oleh imam
bersama dengan umat pada hari Minggu dan hari Raya. Jika syahadat dilagukan,
dinyanyikan lebih dahulu oleh imam selanjutnya diikuti oleh seluruh umat. Dan
bila tidak dinyanyikan, dibuka oleh imam dan selanjutnya diucapkan/dilafalkan
oleh seluruh umat secara bersama-sama. Syahadat Aku Percaya (Credo)
merupakan bagian dari ordinarium namun cara membawakannya dalam perayaan
misa gereja Santo Antonius hampir tiap misa diucapkan saja.
Liturgi Sabda berakhir dengan doa umat. Doa ini dibuka dengan ajakan
singkat oleh imam disusul dengan rangkaian doa yang dibawakan oleh dua orang
petugas liturgi dari mimbar sabda. Setiap kali petugas mengakhiri rangkaian
44
doanya, diakhiri dengan berseru “Marilah kita berdoa” lalu dijawab oleh umat
“Ya Tuhan yang Esa kabulkanlah doa kami” atau menggunakan rumusan yang
lain. Doa ini ditutup oleh Imam dengan merangkum seluruh doa dalam doa yang
singkat.
2.2.3 Liturgi Ekaristi
Pada dasarnya Ekaristi berarti doa syukur dimana dalam misa terjadi
penyucian dari perbuatan Tuhan sendiri. Unsur-unsur dari liturgi Ekaristi yaitu:
Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung, dan Komuni. Pada awal Liturgi
Ekaristi¸ bahan persembahan berupa roti dan anggur yang nantinya menjadi
Tubuh dan Darah Kristus, dibawa ke altar. Pada altar ditata korporale47,
purifikatorium48, Misale49, dan piala50, kecuali kalau piala disiapkan pada meja di
samping altar.
47
Korporal, berasal dari bahasa Latin “corporale”, adalah sehelai kain lenan putih berbentuk
bujursangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya; seringkali pinggiran korporale dihiasi
dengan renda. Korporale adalah yang terpenting dari antara kain-kain suci. Dalam perayaan
Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti
dan anggur. Setelah selesai dipergunakan, korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat
menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas piala.
48
Purifikatorium adalah kain yang terbuat dari linen, yang digunakan untuk menyeka bibir piala,
untuk pembersihan nampan, untuk mengeringkan cawan dan untuk mengeringkan tangan para
imam atau diakon. Purifikatorium ini dibawa di atas piala pada saat membawa persembahan ke
altar, dan ada di sebelah korporal.
49
Buku bacaan untuk perayaan Ekaristi
50
Piala adalah cawan yang menjadi tempat anggur untuk dikonsekrasikan, dimana sesudah
konsekrasi menjadi tempat untuk Darah Mahasuci Kristus. Melihat fungsinya, maka Piala harus
dibuat dari logam mulia. Piala melambangkan cawan yang dipergunakan Tuhan kita pada
Perjamuan Malam Terakhir di mana Ia untuk pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya.
45
Gambar 6. Perlengkapan Persembahan
Ritus dahulu umatlah yang membawa roti dan anggur ke altar yang
kemudian diterima oleh imam, namun sekarang tidak lagi karena telah disimpan
dalam tabernakel51.
Gambar 7. Tabernakel
51
Sebuah lemari atau kotak penyimpanan, khusus untuk menyimpan Sakramen yang telah
disucikan: tubuh, darah, jiwa dan keilahian Yesus Kristus, dalam bentuk roti dan anggur, yang
digunakan dalam ritus komuni suci.
46
Selain roti dan anggur, bahan persembahan dapat berupa uang sering
disebut kolekte atau bahan persembahan lain dalam bentuk buah-buahan, hasil
panen, dan lainnya juga turut dipersembahkan. Namun persembahan ini tidak
diletakkan di altar, melainkan disuatu tempat lain yang pantas. Kolekte
melambangkan partisipasi umat dalam menyatakan tanggung jawab terhadap
keperluan ibadat, keperluan gereja, keperluan umat, dan juga keperluan sosial.
Perarakan mengantar bahan persembahan berupa uang/kolekte ke altar diiringi
dengan nyanyian persiapan persembahan. Bahan persembahan ini diterima oleh
imam dan ditempatkan oleh misdinar ditempat yang pantas. Imam kemudian
mengucapkan rumus-rumus doa yang telah ditentukan untuk memberkati roti dan
anggur yang telah disiapkan di altar.
Selanjutnya bahan-bahan persembahan di altar, kolekte, salib, dan altar
sendiri didupai oleh Imam. Pendupaan melambangkan persembahan dan doa
Gereja yang naik ke hadirat Allah seperti kepulan asap dupa. Sesudah itu umat
pun dapat didupai oleh imam; kemudian imam sendiri didupai oleh misdinar.
Imam didupai karena pelayanan kudus yang ia sandang sedangkan umat didupai
karena martabat luhur yang diperoleh lewat pembabtisan.
Dalam setiap perayaan misa dupa digunakan dalam:
1. Selama perarakan masuk imam dan para petugas liturgi.
2. Pada permulaan perayaan misa untuk menghormati salib dan altar.
3. Waktu ada perarakan dan pewartaan injil.
4. Sesudah roti dan anggur disiapkan di altar, bahan persembahan, salib dan
altar didupai; imam serta seluruh umat.
47
Gambar 8 Wiruk
Gambar 9 Dupa. Dupa merupakan pasangan
dari wiruk
Cara mendupai yaitu dengan menggunakan alat wiruk52, yang terdiri dari
turibulum, yaitu tempat untuk menaruh bara api dan navikula, yaitu tempat untuk
menaruh dupa atau ratus. Pendupaan dilakukan dengan mengayunkan dupa
(turibulum: tempat bara api) kedepan dan kebelakang sebanyak tiga kali.
Pendupaan dilakukan pada: Sakramen mahakudus, relikwi salib suci, patung
Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik, bahan persembahan, salib
altar, Injil, lilin paskah, imam, dan umat beriman. Setelah pendupaan imam
kemudian membasuh tangannya disisi altar.
Ritus ini melambangkan bahwa
imam dalam merayakan misa harus dengan hati yang bersih. Imam kembali ke
altar menghadap umat, ia mengajak umat berdoa dengan berkata “Supaya
persembahan kita diterima oleh Allah yang Mahakuasa”. Kemudian Imam
membuka tangan dan mengatupkannya kembali sambil berkata: “Berdoalah
52
Wiruk adalah alat terbuat dari kuningan untuk mendupai Sakramen Mahakudus, Altar, salib,
bahan persembahan, dan umat yang mengikuti upacara liturgi. Alat pendupaan ini secara lengkap
terdiri dari tempat dupa, sendok kecil untuk mengambil dupa, tempat pembakaran yang berisi bara
arang, dan tiang menggantungkan wiruk.
48
saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan pada
Allah, Bapa yang Mahakuasa”. Dan umat menjawab “Semoga persembahan ini
diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah
yang kudus”.
Doa Syukur Agung merupakan puncak dan pusat seluruh Perayaan liturgi
Ekaristi. Imam mengajak umat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dengan
berdoa dan bersyukur. Dengan demikian seluruh umat yang hadir diikutsertakan
dalam doa ini. Bagian-bagian yang penting dalam Doa Syukur Agung ialah:
Ucapan syukur, Aklamasi, Epiklesis, Kisah Instutusi dan konsekrasi, Anamnesis,
Persembahan, Permohonan, Dokxologi Penutup. Bagian-bagian ini imamlah yang
memimpin dan membawakan atas nama umat.
Doa Syukur Agung dibuka dengan ritus yang amat meriah dengan dialog
pembuka sebagai berikut: I = Imam, U = Umat
I : Tuhan sertamu
U:Dan sertamu juga
I : Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan
U: Sudah kami arahkan.
I : Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita
U: Sudah layak dan sepantasnya.
Lewat ayat dialog ini, imam mengajak umat memusatkan hati dan pikiran
hanya kepada Tuhan dan untuk bersyukur pada-Nya. Kemudian dilanjutkan
dengan prefasi. Dimana seluruh Doa Syukur Agung dinyataakan dalam prefasi.
Prefasi adalah suatu doa pujian dan syukur meriah, yang merupakan bagian
49
pertama dari rangkaian Doa Syukur Agung dalam liturgi Ekaristi. Inti dari suatu
prefasi dalam perayaan Ekaristi adalah ucapan syukur atas karya penebusan.
Prefasi ditutup dengan sebuah aklamasi (seruan) Kudus oleh umat.
Nyanyian Kudus/Sanctus merupakan seruan kegembiraan, sorak-sorai dan
harus dinyanyikan oleh umat oleh karena itu sikap tubuh adalah berdiri. Setelah
nyanyian Kudus/ Sanctus, umat berlutut untuk memasuki Doa Syukur Agung.
Dalam rumusan doa ini, Imam akan berkata “Terimalah dan Makanlah: Inilah
Tubuhku yang diserahkan bagimu” sambil mengangkat Roti suci/Hosti keatas
agar umat dapat melihat. Saat hosti diangkat keatas, umat mengatupkan kedua
tangannya keatas kepala dengan sikap tubuh menyembah. Kemudian imam
mengangkat Piala yang berisikan anggur, dan berkata “Terimalah dan Minumah:
Inilah Piala Darahku, Darah Perjanjian Baru dan Kekal, yang Ditumpahkan
Bagimu dan Bagi Semua Orang Demi Pengampunan Dosa. Lakukanlah ini untuk
mengenangkan Daku.” Saat Piala diangkat keatas umat mengatupkan kedua
tangannya keatas kepala dengan sikap tubuh menyembah. Doa Syukur Agung
diakhiri dengan doa rumusan tertentu oleh imam sendiri. Dan dilanjutkan dengan
Doa Bapa Kami.
Gambar 10. Hosti
50
Kemudian imam mengambil sebuah roti suci/hosti dan dicampurkan
kedalam anggur yang diartikan sebagai tanda persatuan antara umat dan seluruh
Gereja. Pemecahan dan pencampuran roti diiringi dengan nyanyian Anak Domba
Allah/Agnus Dei. Setelah selesai menyanyikan Anak Domba Allah kemudian
umat berlutut, imam mengangkat hosti keatas seraya berkata dengan rumusan doa
”Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang
diundang ke perjamuannya.” Umatpun menjawab sambil meletakkan tangan
kanan ke dada “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tapi
bersabdalah saja maka saya akan sembuh”. Dengan demikian Imam dapat
membagi-bagikan hosti kepada umat. Imam turun dari panti imam untuk
membagi-bagikan hosti, dan umat datang satu persatu dengan barisan yang teratur
untuk menerima hosti. Setelah umat menerima hosti, mereka kembali ke tempat
duduk masing-masing dan melakukan doa pribadi dalam suasana hening. Selama
penerimaan komuni, dapat dinyanyikan beberapa lagu komuni.
Setelah seluruh umat datang kepada imam untuk menyambut komuni,
maka imam akan kembali ke panti imam. Imam akan membersihkan patena dan
piala dan mengembalikan barang-barang persembahan ketempat semula yang
dibantu oleh misdinar. Dan liturgi Ekaristi berakhir dengan doa penutup yang
dibawakan oleh Imam.
2.2.4 Ritus Penutup
Ritus penutup merupakan bagian penghujung dari perayaan misa. Bagianbagian ini terdiri atas: pengumuman, pemberkatan, pengutusan, dan perarakan.
Pengumuman
berisikan
informasi-informasi
51
yang
berguna
bagi
umat.
Pengumuman ini disampaikan oleh seorang lektor bukan oleh imam.
Pengumuman dibacakan bukan melalui mimbar sabda melainkan dari tempat yang
telah ditentukan. Selama pengumuman dibacakan imam duduk kembali ke
kursinya.
Selesai pengumuman, Imam bangkit berdiri di depan altar menghadap
umat. Demikian juga dengan umat sikap tubuh selama menerima berkat adalah
berdiri. imam akan memberikan berkat sambil membuka tangan dan berkata:
I: Tuhan sertamu
U: Dan sertamu juga
I: Semoga saudara sekalian diberkati oleh Allah yang Mahakuasa. Bapa, Putra,
dan Roh Kudus.
U: Amin
Kemudian imam juga memberikan pengutusan kepada umat dengan berkata,
I: Saudara-saudari sekalian Perayaan Misa telah selesai.
U: Syukur kepada Allah
I: Marilah pergi. Kita diutus.
U: Amin
Dengan demikian misa sudah berakhir. Imam dan seluruh petugas liturgi
turun dari panti imam. Berbaris menghadap altar sambil membungkuk untuk
menghormati altar. Kemudian perarakan berjalan perlahan-lahan keluar gereja
diiringi dengan nyanyian penutup.
52
BAB III
INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM ORDINARIUM PADA
GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAM WURUK MEDAN
3.1 Inkulturasi
Inkulturasi merupakan sebuah istilah budaya yang ternyata belum begitu
lama. Apabila satu budaya berjumpa dengan budaya yang lain, maka akan terjadi
interaksi antara budaya tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam proses dan hasil yang
terbentuk, diantaranya, akulturasi, asimilasi, adaptasi, enkulturasi, fusi/peleburan,
reaksi/penolakan, dan inkulturasi. Dalam pembahasan ini maka lebih difokuskan
pada istilah inkulturasi (Prier, 1999: 5).
Inkulturasi berbeda dengan proses budaya yang lainnya. Inkulturasi
merupakan sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani terutama
dalam Gereja Katolik Roma. Inkulturasi musik liturgi terjadi pada abad keempat
dimana Uskup Ambrosius di Milano menciptakan himne-himne berdasarkan
bentuk musik yang diperoleh dari Eropa Timur; selanjutnya abad X-XI suku-suku
Frankonia, Germania di Eropa Utara menerapkan lagu Gregorian dengan cara
mereka sendiri, sehingga tercipta organum sebagai awal polifoni yang kemudian
berkembang menjadi musik bermutu tinggi (Sekolah Notre Dame, Ars Antiqua,
Ars Nova).
3.1.1 Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
Dalam Gereja Katolik sendiri sejak abad XVI inkulturasi mengalami
masalah dan kurang dikembangkan, karena sedang marak-maraknya Eropanisasi.
Dimana budaya Eropa lebih unggul dibanding dengan budaya asli, sehingga
53
menaklukkan budaya-budaya lokal yang ada. Gereja memang pada waktu itu
sama sekali tidak menghargai unsur budaya setempat. Perubahan memang mulai
nampak pada abad XIX, Gereja mulai sadar dan mulai memberi perhatian pada
budaya-budaya lokal dan mulai mengubah cara pandang dan berpikir.
Setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), banyak usaha untuk melaksanakan
hasil konsili di berbagai daerah. Salah satu hasil konsili yang disambut baik oleh
umat dan para Imam adalah keterbukaan Gereja terhadap tradisi-tradisi dan
budaya lokal, terutama dalam Sacrosanctum Consilium (SC)53.
“Konsili memberi kedudukan pada musik dan nyanyian sebagai
bagian yang penting dan integral dari liturgi (SC 112). Konsili
memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi
musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah
misi, untuk membentuk sikap religius umat setempat dan dalam
menyesuaikan liturgi dengan sifat dan perangai umat setempat (SC
119). Oleh karena itu, alat-alat musik lain (selain organ pipa) dapat
juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat
disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan
keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan
penghayatan umat beriman (SC 120). Nyanyian Gregorian
dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun jenisjenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak
dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa
upacara liturgi (SC 116)”.
Gereja terdiri dari berbagai daerah, suku dan bangsa sehingga Gereja mesti
membuka diri terhadap kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah,
suku dan bangsa tersebut. Atas dorongan Konsili Vatikan II, usaha inkulturasi
53
Sacrosanctum Consilium atau Konstitusi tentang Liturgi Suci, adalah salah satu dokumen yang
paling signifikan yang dibuat oleh Konsili Vatikan Kedua. Dokumen ini mendorong perubahan
tata-liturgi Gereja agar benar-benar menjadi ungkapan iman Gereja keseluruhan. Liturgi yang
dikembangkan dokumen ini mendorong peran serta aktif seluruh jemaat. Tekanannya pada
"perayaan" bukan sekedar "upacara". Konstitusi ini disetujui oleh para Uskup dalam pemungutan
suara 2.147 berbanding 4, dan diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 4 Desember 1963.
54
musik liturgi di Indonesia mendapat bentuknya. Langkah-langkah konkret yang
langsung dirasakan adalah digunakannya lagu-lagu dalam bahasa Indonesia atau
bahasa daerah. Namun untuk mendapatkan lagu-lagu seperti itu tidaklah mudah
mengingat bahwa tradisi musik Gereja di Indonesia sangat banyak dipengaruhi
dan didominasi oleh lagu-lagu yang berasal dari tradisi liturgi Barat, seperti lagulagu gregorian dan lagu-lagu rohani abad XIX. Namun atas usaha dari berbagai
pihak, seperti yang sudah dituliskan di atas, muncullah lagu-lagu inkulturatif
dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang digunakan dalam liturgi. Usaha
tersebut terus dikembangkan dan dikelola agar inkulturasi musik liturgi Indonesia
bisa tercapai.
Salah satu pihak yang terus menerus mengusahakan hal tersebut adalah
Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. Pendiri Pusat Musik Liturgi ini adalah
Karl Edmund Prier SJ, dan Paul Widyawan. Pusat Musik Liturgi merupakan salah
satu lembaga musik di Indonesia yang mengabdi untuk musik Indonesia dan
pengembangannya. Pada tahun 2011, PML telah berusia 40 tahun. Dalam waktu
40 tahun Pusat Musik Liturgi telah menghasilkan banyak lagu, buku dan kaset/CD
(Compact Disc) yang bertujuan untuk memajukan musik nusantara pada
umumnya, dan khususnya mengabdi pada musik liturgi, terutama dalam rangka
inkulturasi. Pusat Musik Liturgi tidak hanya menangani musik Gereja/Liturgi
berupa buku umat, buku kor, buku iringan organ, buku imam, dan kaset/CD, tetapi
juga menerbitkan buku dan CD musik umum seperti lagu tradisional seri
Nusantara Bernyanyi dan buku-buku kor yang diarensemen oleh Paul Widyawan,
serta buku-buku teori musik umum berupa: Kamus Musik, Sejarah Musik,
55
Menjadi Dirigen, Menjadi Organis, Ilmu Harmoni, Ilmu Bentuk, Ilmu Melodi,
Musik Populer, Teori Musik Umum, Tuntunan Karawitan, dan lain sebagainya
(http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html).
Di Indonesia, usaha untuk menggali kekayaan tradisi dan kebudayaan
daerah setempat dan menyelaraskannya dengan liturgi Gereja sebenarnya sudah
dimulai sejak sebelum Konsili Vatikan II. Sebelum Konsili Vatikan II, sudah ada
ide untuk pembaruan liturgi dan musik liturgi di Indonesia. Usaha itu dimulai oleh
Mgr. (dibaca Monsinyur) Van Bekkum SVD di Flores Barat (Manggarai) yang
mengumpulkan para pemusik untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu
daerah. Selain itu, Pater Vincent Lechovic SVD di Timor, NTT, juga mengambil
langkah serupa dan berhasil menerbitkan buku lagu “Tsi Taneb Uis Neno” yang
berisi lagu-lagu berbahasa Dawan pada tahun 1957. Di Jawa, Mgr. A.
Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama Semarang mendirikan panitia
untuk menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang bermutu yang kemudian dipakai
dalam liturgi dan di luar liturgi.
Kekayaan tradisi dan kebudayaan Indonesia yang terdiri atas beragam
suku dan bahasa yang menambah kekayaan tradisi dan kebudayaan. Salah satu
kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia adalah tradisi musik. Hampir setiap
daerah/suku memiliki tradisi musik sendiri. Kekayaan tradisi musik tersebut bisa
menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengembangkan musik inkulturasi
liturgi di Indonesia sesuai dengan cita-rasa kedaerahan masing-masing. Untuk
itulah Team Pusat Musik Liturgi selalu berusaha untuk mempelajari dan meneliti
56
tradisi musik di Indonesia, baik musik tradisional yang terdapat di berbagai
daerah, maupun musik inkulturasi liturgi yang telah tercipta.
Pusat Musik Liturgi berusaha mengenali tradisi musik yang ada di
Indonesia, terutama tradisi musik yang ada di berbagai daerah. Lembaga ini giat
mengadakan eksperimen untuk penelitian, mempelajari dan memperbaiki musik
dari berbagai daerah dan musik Gereja sehingga bisa menjadi musik Gereja yang
khas Indonesia. Oleh karena itu, setiap hari team Pusat Musik Liturgi bergaul
dengan lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah, dan juga lagu-lagu inkulturasi
Indonesia. Langkah awal yang dilakukan lembaga ini dalam menggali,
mempelajari dan meneliti musik dan lagu tradisional dan inkulturasi Indonesia
ialah mengumpulkan bahan-bahan berupa naskah atau rekaman musik atau
nyanyian dari berbagai daerah. Kunjungan dilakukan ke daerah-daerah di
Indonesia untuk mengumpulkan bahan-bahan, mendengar secara langsung suatu
musik atau nyanyian tradisional yang dimiliki sebuah daerah serta berkontak
langsung dengan orang-orang yang berada di daerah tersebut. Cara lain yang
dilakukan adalah dengan menyebarkan angket ke berbagai daerah. Bahkan juga
mengundang para pakar musik dari daerah-daerah untuk mempelajari, meneliti,
dan memainkan bersama musik tradisional mereka. Romo Prier menjelaskan
proses tersebut dalam sebuah bukunya:
“Kami pergi ke suatu daerah, merekam sejumlah lagu dan tari
tradisional. Kemudian kami kumpulkan sejumlah pakar budaya
(pemain alat musik tradisional, penari, penyanyi, ketua adat dan
sebagainya) untuk mendiskusikan tangga nada, pola irama, jenisjenis lagu dan sebagainya. Selalu dengan bertanya: mengapa harus
demikian? Apa artinya/maksudnya? Kadang-kadang data-data ini
dikonfrontasikan pula dengan tulisan dalam buku etnomusikologi.
57
Hasil dikusi kami dokumentasikan, motif lagu dan irama yang khas
dinotasikan dan dipakai untuk langkah berikutnya”.
Selain itu, secara berkala team PML mencoba lagu-lagu kreasi baru yang
dikirim oleh pencipta-pencipta lagu liturgi dari berbagai daerah, kemudian
menanggapi lagu-lagu baru tersebut. Lagu-lagu baru tersebut dipelajari, dinilai,
dan diperbaiki bila perlu. Kemudian team PML memberi tanggapan, masukan dan
catatan perbaikan kepada pengarang.
3.1.2 Proses Inkulturasi
Proses Inkulturasi bukanlah proses budaya yang cepat dan mudah, namun
merupakan proses yang terus-menerus tanpa henti. Hal ini terus diupayakan dan
dikembangkan sampai iman berakar kuat dalam Gereja. Menurut Roest Crollius
dalam Huub J. Boelaars, proses inkulturasi ini memiliki tahapan-tahapan,
meliputi tiga tahap, yaitu : tahap terjemahan (translation), tahap penyesuaian
(assimilation), dan tahap kreasi baru/perubahan (transformation).
A. Tahap Terjemahan
Tahap terjemahan merupakan tahap awal di mana Gereja melalui para
misionaris
asing,
terjadi
interaksi
kebudayaan
baru,
sambil
memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain.
Penerjemahan-penerjemahan dilakukan, meskipun diadakan penyesuaianpenyesuaian yang lebih ringan. Masuk Kristen sering berimplikasi harus
merelakan melepas kebudayaannya sendiri. Pada tahap pertama ini
berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya berbeda). Para
58
misionaris dan umat Kristiani setempat mengasimilasikan unsur-unsur
budaya yang saling menyesuaikan.
B. Tahap Asimilasi
Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan
khususnya ketika para imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan
sendirinya semakin berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada
tahap ini proses inkulturasi yang sesungguhnya mulai, di mana para pelaku
utama adalah mereka yang berasal dari budaya setempat. Gereja semakin
mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari
kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol,
dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di
sini dibutuhkan kecermatan memadai demi mencegah “setiap bentuk
sinkretisme dan partikularisme yang keliru”, sebagaimana sudah
dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis
berikut:
a. Metode Tiga Langkah. Dalam mengambil alih manifestasimanifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau
pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi, perlulah:
(1) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi
tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; (2) menerima yang
baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (3)
memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam
kepenuhan Kristiani. Sebuah contoh untuk menjelaskan metode
59
tiga langkah ini, ialah perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus
pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus
tidak diketahui dan Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu.
Diketahui bahwa 25 Desember itu sebenarnya dalam kekaisaran
Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu
Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah
kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari
sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan
Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya
adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari
besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja:
merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini
disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember
dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa
Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi
makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).
Dalam ketiga langkah ini tentunya membutuhkan data dan telaah
Sosiologis-Antropologis dan Teologis. Data-data ini tentunya
menyangkut apa makna asli dari manifestasi-manifestasi budaya
dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam kehidupan
Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan
sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokohtokoh dan para ahli adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh
60
nilai-nilai asli itu masih menjiwai hidup masyarakat setempat,
bagaimana melestarikannya dan membuatnya tetap relevan di
tengah arus perubahan dan perkembangan teknologis yang semakin
cepat.
C. Tahap Transformasi
Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman
Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi
orientasi baru pada kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam
proses inkulturasi, tahap transformasi. Pada tahap ini akan terbentuk
sebuah komunitas Kristiani baru; sebuah “communio” yang memiliki
kekhasan yang terus menerus berkembang tidak hanya pada bidang
pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat),
melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada bidang
sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman
Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang
bersangkutan sendiri, maupun Gereja Katolik semesta. Proses inkulturasi
merupakan suatu keunggulan dan peluang yang cukup unik khusus di
Indonesia. Kesatuan 13.000 pulau dengan bahasa yang berbeda-beda,
dengan alat musik yang beragam dan juga adat-istiadat serta tradisi yang
bermacam-macam merupakan ciri khas Indonesia, yang bhineka namun
juga tunggal ika.
61
3.2 Musik Batak Toba
Batak Toba adalah salah satu dari suku Batak di Sumatera Utara.
Kebudayaan suku ini termasuk Proto-Melayu, artinya sudah ada sebelum zaman
Hindu. Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga
arti untuk kata “Gondang”: 1. Satu jenis musik tradisi Batak toba. 2.
Komposisi/Repertoar yang ditemukan dalam jenis musik tersebut (misalnya
komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo, Gondang
Sibungajambu, Gondang Marhusip dsb); dan 3. Alat musik “kendang”. Terdapat
dua ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya
dimainkan diluar rumah dihalaman rumah; dan Gondang Hasapi yang biasanya
dimainkan dalam rumahm (http://xeanexiero.blogspot.com/2007/05/alat-alatmusik-sumatera-utara.html).
Ensambel gondang sabangunan ini terdiri dari satu buah sarune bolon
(Aeropon, double-reed), taganing (drum-chime), empat buah gong dan satu buah
hesek.
Sarune Bolon adalah salah satu alat musik tiup Batak Toba, dan masih
satu bangsa dengan Serunai. Sarune bolon adalah instrumen pembawa melodi
yang memiliki reed ganda (double reed) sama dengan sarune etek namun sarune
etek memiliki reed tunggal. Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone
yang memiliki lima lobang nada yang dimainkan dengan cara mangombus
marsiulak hosa (circular breathing). Marsiulak hosa (circular breathing) artinya,
seorang pemain sarune dapat melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan
62
mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari
meniup sarune (http://id.wikipedia.org/wiki/Sarune).
Gambar 11. Sarune Bolon
Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Sarune
Teknik ini dikenal hampir pada semua etnis Batak. Tetapi penamaan untuk
itu berbeda-beda, seperti di Karo disebut pulunama. Sarune ini terbuat dari kayu
dan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu (1) pangkal ujung sebagai resonator, (2)
batangnya, yang sekaligus juga sebagai tempat lobang nada, dan (3) pangkal
ujung penghasil bunyi dari lidah (reed) yang terbuat dari daun kelapa hijau yang
dilipat sedemikian rupa yang diletakkan dalam sebuah pipa kecil dari logam, dan
ditempelkan ke bagian badan sarune tersebut (zairifblog.blogspot.com/.../sarunebatak-toba.html).
Taganing adalah drum set melodis (drum-chime), yaitu terdiri dari lima
buah gendang yang digantungkan dalam sebuah rak. Bentuknya sama dengan
gordang, hanya ukurannya bermacam-macam. Yang paling besar adalah gendang
paling kanan, dan semakin ke kiri ukurannya semakin kecil. Nadanya juga
demikian, semakin ke kiri semakin tinggi nadanya. Taganing ini dimainkan oleh
63
satu atau 2 orang dengan menggunakan dua buah stik. Dibanding dengan gordang
yang relatif konstan, maka taganing adalah melodis. Klasifikasi instrumen ini
termasuk ke dalam kelompok membranophone (https://id.wikipedia.org/wiki/Taganing).
Gambar 12. Satu set Taganing
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Taganing_02.jpg
Gordang biasanya dimainkan secara bersamaan dengan taganing. Gordang
diletakkan disebelah kanan pemain (pargocci). Secara pintas gordang taganing
adalah dianggap satu set karena bentuknya juga hampir sama, hanya saja
dibedakan ukuran, letaknya juga dalam ensambel adalah dalam satu rak (hanger)
yang sama. Gordang adalah gendang yang paling besar yang terdapat pada
masyarakat Batak Toba, yaitu gendang yang diletakkan pada sebelah kanan
pemain di rak gendang tersebut. Gordang ini biasanya dimainkan oleh satu orang
pemain dengan menggunakan dua buah stik. Gordang adalah merupakan bagian
dari gendang yang lain (taganing). Gendang Toba adalah salah satunya gendang
yang melodis yang terdapat di Indonesia. Oleh karena lebih bersifat melodis dari
perkusif, maka gondang ini menurut klasifikasi Horn von Bostel dan Curt Sach
64
diklasifikasikan lebih khusus lagi yang disebut dengan drum-chime. Gordang
merupakan gendang satu sisi berbentuk konis dengan tinggi lebih kurang 80 – 120
cm dengan diameter bagian atas (membran) lebih kurang 30–35 cm, dan dia meter
bagian bawah lebih kurang 29 cm. Gordang ini terbuat dari kayu nangka yang
dilobangi bagian dalamnya, kemudian ditutuip dengan kulit lembu pada sisi atas,
dan sisi bawah sebagai pasak untuk mengencangkan tali (lacing) yang terbuat dari
rotan (rattan). Bagian yang dipukul dari gendang ini bukan hanya bagian
membrannya, tetapi juga bagian sisinya untuk menghasilkan ritem tertentu secara
berulang-ulang. Ritemnya lebih bersifat konstan(https://id.wikipedia.org/wiki/Taganing).
Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam
struktur irama.
a
Oloan. Oloan adalah salah satu gung berpencu yang terdapat pada Batak
Toba. Oloan dimainkan secara bersamaan dengan tiga buah gung yang lain
dalam satu ensambel, sehingga jumlahnya empat buah, yang juga
dimainkan oleh empat orang pemain. Keempat gung ini biasa disebut
dengan ogung, namun masing-masing penamaan ogung ini dibedakan
berdasarkan peranannya di dalam ensambel musik. Oloan ini terbuat dari
bahan metal/perunggu dengan sistem cetak. Sekarang ini bahan gung ini
sudah banyak terbuat dari bahan besi plat yang dibentuk sedemikian rupa.
Untuk membedakannya dengan suara ogung lainnya maka tuning yang
dilakukan adalah dengan menempelkan getah puli (sejenis pohon enau)
dibagian dalam gung tersebut. Semakin banyak getah puli tersebut, maka
semakin rendahlah suara gung tersebut. Gung oloan berukuran garis
65
menengah lebih kurang 32,5 cm, tinggi 7 cm, dan bendulan (pencu) di
tengah dengan diameter lebih kurang 10 cm. Oloan dipukul pencunya
dengan stick yang terbuat dari kayu dan pangkal ujungnya dilapisi dengan
kain atau karet. Gung oloan selalu diikuti oleh gung ihutan dengan ritem
yang sama, namun tidak akan pernah jatuh pada ritem yang sama (canon
ritmik) (http://www.scribd.com/doc/42601265/Toba).
b
Ihutan Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa ihutan juga adalah
merupakan gung berpencu yang digunakan dalam satu ensambel dengan
tiga gung lainnya. Yang membedakannya dengan gong lainnya adalah
ukurannya, bunyi, dan teknik permainannya. Ihutan berukuran dengan
garis menengah (diameter) lebih kecil sedikit dari oloan, yaitu 31 cm,
tinggi (tebal) 8 cm, dan diameter pencu lebih kurang 11 cm. Ritemnya
konstan dan bersahut-sahutan dengan gong oloan (litany), sehingga bunyi
sahut-sahutan antara dua gong ini secara onomatopea disebut polol-polol.
Gong ini juga dimainkan dengan mnggunakan satu stick yang terbuat dari
kayu yang dibungkus dengan kain atau karet. Dimainkan oleh satu orang
pemain (http://www.scribd.com/doc/42601265/Toba).
c
Panggora. Panggora juga adalah satu buah gong yang berpencu yang
dimainkan oleh satu orang. Bunyi dari gung ini adalah pok. Bunyi ini
timbul adalah karena gong ini dimainkan dengan memukul pencunya
dengan stick sambil berdiri dan sisi gong tersebut dimute dengan tangan.
Gong ini adalah gong yang paling besar diantara keempat gong yang ada.
Ukurannya adalah garis menengah 37 cm, tinggi (tebal) 6 cm dan diameter
66
pencunya lebih kurang 13 cm (www.scribd.com/doc/39043649/ALATmusik).
d
Doal juga adalah gong berpencu yang dimainkan secara bersahut-sahutan
dengan panggora dengan bunyi secara onomatopeanya adalah kel
sehingga apabila dimainkan secara bersamaan dengan gong panggora akan
kedengaran pok–kel-pok, pok–kel-pok dan seterusnya dengan ritem yang
tidak berubah-ubah sampai kompisisi sebuah gondang (lagu) habis. Hesek
adalah instrumen musik pembawa tempo utama dalam ensambel musik
gondang sabangunan. Hesek ini merupakan alat musik perkusi konkusi.
Hesek ini terbuat dari bahan metal yang terdiri dari dua buah dengan
bentuk sama, yaitu seperti cymbal, namun ukurannya relative jauh lebih kecil
dengan diameter lebih kurang 10-15 cm, dan dua buah alat tersebut dihubungkan
dengan tali. Namun sekarang ini alat musik ini terkadang digunakan sebuah besi
saja, bahkan kadang-kadang dari botol saja.
Gambar 13. Hesek
Sebagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam
konteks ansambel gondang hasapi. Ensambel gondang hasapi merupakan
ensambel musik Batak Toba yang lebih kecil dari gondang sabangunan yang
67
dimainkan didalam rumah biasanya untuk ritual rumah tangga. Ansambel
gondang hasapi terdiri dari: hasapi (long neck lute), sulim (aeropon, side-blown
flute), sarune etek (aerophone, single reed), garranttung (xylophone),dan hesek.
Tradisi gondang hasapi ini diwariskan oleh pemain gondang hasapi yang dimulai
oleh Tilhang Gultom yang mempelopori Opera Batak. Pemain gondang hasapi
yang terkenal diantaranya Sarikawan Sitohang, Marsius Sitohang, Kalabius
Simbolon, Osner Gultom dan Maningar Sitorius. Para musisi ini juga memainkan
Gondang sabangunan (http://www.last.fm/music/Gondang+Hasapi).
Hasapi (chordophone) biasanya digunakan dua buah, satu hasapi ende,
yaitu hasapi sebagai pembawa melodi dan satu lagi hasapi doal, yaitu hasapi
sebagai pembawa tempo. Hasapi adalah salah alat musik Batak Toba yang
dikelompokkan ke alat musik dawai atau senar, dalam bahasa Indonesia sering
disebut Kecapi batak.
Gambar 14. Hasapi
68
Jenis-jenis Hasapi terdiri dari :
a) Hasapi ende (pluked lute dua senar) adalah instrumen pembawa melodi dan
merupakan instrumen yang dianggap paling utama dalam ensambel gondang
hasapi.
b) Hasapi doal (pluked flude dua senar), instrumen ini sama dengan hasapi ende
namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem
konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.
Tune atau sistem dari kedua senarnya adalah dengan interval mayor yang
dimainkan dengan cara mamiltik (memetik) (id.wikipedia.org/wiki/Hasapi).
Garantung (baca : garattung) adalah jenis pukul yang terbuat dari wilahan
kayu (xylophone) yang terbuat dari kayu ingol dan dosi. Garantung terdiri dari
tujuh bilahan yang digantungkan di atas sebuah kotak yang sekaligus sebagai
resonatornya. Masing-masing wilahan mempunyai nada masing-masing, yaitu 1
(do), 2 (re), 3 (mi), 4 (fa), 5 (so), 6 (la), dan 7 (si). Antara wilahan yang satu
dengan wilahan yang lainnya dihubungkan dan digantungkan dengan tali.
Gambar 15. Garranttung
Kotak resonator sendiri juga mempunyai tangkai, yang juga sekaligus
merupakan bagian yang turut dipukul sebagai ritem dasar, dan wilahan sebagai
69
melodi. Garantung Alat musik ini dimainkan dengan menggunakan dua buah stik
untuk tangan kiri dan tangan kanan. Sementara tangan kiri berfungsi juga sebagai
pembawa melodi dan pembawa ritem, yaitu tangan kiri memukul bagian tangkai
garantung dan wilahan sekaligus dalam memainkan sebuah lagu. Alat musik ini
dapat dimainkan secara solo (tunggal), namun dapat juga dimainkan dalam satu
ensambel(http://xeanexiero.blogspot.com/2007/05/alat-alat-musik-sumaterautara.html).
Sulim (Aerophone : side blown flute) adalah alat musik tiup yang terbuat
dari bambu seperti seruling atau suling. Sulim ini panjangnya berbeda beda
tergantung nada dasar yang mau dihasilkan. Sulim ini mempunyai enam lobang
nada dengan jarak antara satu lobang nada dengan lobang nada lainnya dilakukan
berdasarkan pengukuran-pengukuran tradisional. Namun secara melodi yang
dihasilkan suling ini meskipun dapat juga memainkan lagu-lagu minor, tetapi
lebih cenderung memainkan tangga nada mayor (major scale) dengan nada
diatonis(http://musikfitria.blogspot.com/2013/03/alat-alat-musik-sumatera utara.html)
Gambar 16. Sulim Toba
70
Sulim Toba. Perbedaan sulim ini dengan suling-suling lainnya adalah,
suara yang dihasilkan adalah selalu bervibrasi. Hal ini dikarenakan adanya satu
lobang yang dibuat khusus untuk menghasilkan vibrasi ini, yaitu satu lobang yang
dibuat antara lobang nada dengan lobang tiupan dengan diameter lebih kurang
satu sentimeter, dan lobang tersebut ditutupi dengan membran dari bahan plastik,
sehingga suara yang dihasilkan adalah bervibrasi.
Uning-uningan adalah satu ensambel yang menggunakan instrumen yang
dianggap lebih kecil dari dua ensambel musik diatas. Ensambel ini menggunakan
alat musik sebagai pembawa melodi garantung (sejenis xylophone), dipukul
dengan menggunakan dua buah stik. Stik ini tidak saja dipukul ke wilayahwilayah, tetapi juga sebagai pembawa tempo dengan memukul stik yang satu
kebagian tangkai garantung tersebut.
Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama
dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada
diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen.
Dalam hal ini musik Batak Toba yang digunakan dalam mengiringi
ordinarium dalam perayaan misa adalah ansambel gondang hasapi. Namun di
dalam hasil pentraskripsian yang ditampilkan hanya instrumen sulim dan
garranttung. Penulis sengaja memilih kedua instrumen ini karena secara
representative dapat mewakili ansambel gondang hasapi dari segi melodis.
Sedangkan dalam analisisnya penulis akan menganalisis struktur melodis dan
tekstual pada keempat ordinarium yaitu: Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan,
Kudus, dan Anak Domba Allah serta hubungan nyanyian dengan ansambel
71
gondang hasapi. Sebenarnya ordinarium terdiri dari lima buah lagu yaitu: Tuhan
Kasihanilah kami, Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus, dan Anak Domba Allah.
Namun “Aku Percaya” sangat jarang sekali dinyanyikan dikarenakan teksnya
terlalu panjang dan memakan waktu yang lama untuk melagukannya, sehingga
perayaan misa menjadi tidak efisien bagi umat. Aku percaya lebih sering
dilafalkan saja.
3.3 Ordinarium
Dalam musik liturgi Gereja pada umumnya mengenal dua jenis lagu dalam
Misa, yakni lagu Ordinarium dan lagu Proprium. Ordinarium merupakan
nyanyian yang menunjuk pada bagian yang selalu sama atau tetap dalam Perayaan
Ekaristi. Yang termasuk kelompok ordinarium adalah: Tuhan Kasihanilah Kami
(Kyrie eleison), Kemuliaan (Gloria in Excelsis Deo), Kudus (Sanctus), dan Anak
Domba Allah (Agnus Dei). Oleh karena ordinarium merupakan nyanyian yang
selalu sama/tetap dalam setiap perayaan Misa/Ekaristi, maka syair dalam
ordinarium tidak dapat digubah. Dalam buku nyanyian Puji Syukur54 ada empat
macam ordinarium Gregorian, berdasarkan masa penggunaannya. Ada yang
khusus untuk Masa Adven dan Prapaskah55 dan Paskah56. Ada Ordinarium De
Angelis57 yang dapat digunakan untuk masa selain Adven, Prapaskah dan Paskah.
Yang terakhir, ada Ordinarium khusus untuk Misa Arwah58.
54
Puji Syukur merupakan buku liturgi resmi atau buku doa dan nyanyian Gerejawi umat Katolik di
Indonesia. Buku ini merupakan satu dari dua buku doa dan nyanyian yang luas dipakai di
Indonesia. Satunya adalah Madah Bakti. Buku Puji Syukur digunakan pada saat perayaan misa dan
juga sebagai pedoman atau sarana berdoa di rumah.
55
Buku Puji syukur No. 339 dst
56
Buku Puji syukur No. 340 dst
57
Buku Puji syukur No. 342 dst
58
Buku Puji syukur No. 344 dst
72
Sedangkan nyanyian-nyanyian, seperti: nyanyian pembuka, mazmur
tanggapan, alleluia, nyanyian persiapan persembahan, komuni, dan nyanyian
penutup disebut dengan Proprium. Nyanyian proprium menunjuk pada bagian
yang khusus, tematis, dan selalu berubah. Nyanyian proprium akan berubah
seturut dengan penanggalan Liturgi Gereja.
3.3.1 Pengaruh Inkulturasi Terhadap Ordinarium
Sebelum Konsili Vatikan II, musik Gregorian dan polifoni suci merupakan
nyanyian khas Liturgi Romawi yang digunakan dalam perayaam misa. Mozart,
Schubert, Haydn banyak meciptakan motet, te deum, himne, nyanyian misa dalam
bentuk Gregorian Chant dan polifoni suci yang dipergunakan dalam perayaan
misa. Karya musik ini sungguh sangat indah dan menjadikan suasana yang sakral,
agung, dan indah perayaan misa. Namun kebanyakan karya-karya ini dinyanyikan
oleh paduan suara yang terlatih sehingga tidak bisa dinyanyikan oleh semua umat.
Gereja melihat bahwa Gregorian chant merupakan tradisi suci musik Gereja,
namun tentunya partisipasi umat dalam perayaan misa tetap menjadi bagian yang
utama.
Setelah Konsili Vatikan II, Gereja mulai membuka diri terhadap
kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah, suku dan bangsa.
Inkulturasi mulai berkembang dalam Liturgi Gereja khususnya dalam musik
liturgi. Lagu-lagu bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah mulai dipergunakan
dalam perayaan ibadat, namun belum banyak jumlahnya.
Ordinarium atau sering disebut Nyanyian tetap, yang merupakan nyanyian
yang selalu dinyanyikan dalam setiap perayaan misa, sebelumnya hanya ada
73
dalam bentuk ordinarium Gregorian chant. Namun setelah Konsili Vatikan II,
ordinarium inkuturatif mulai banyak yang diciptakan, yakni ordinarium Misa
Dolo-Dolo gaya Flores diciptakan oleh Mateus Wari Weruin (1974), ordinarium
Misa Sunda, ordinarium Misa Senja gaya Timor diciptakan oleh Martin Runi
(1980), ordinarium Misa Raya II diciptakan oleh Karl-Edmund Prier, S.J (1968),
ordinarium Misa Manado diciptakan oleh M. Rarun (1974), ordinarium Misa
Batak Toba, Misa Karo diciptakan oleh Team Musik Liturgi Keuskupan Agung
Medan.
3.3.2 Ordinarium dalam Perayaan Misa di Gereja Santo Antonius
Hayamwuruk Medan
Gereja Santo Antonius Hayamwuruk merupakan gereja paroki yang
memiliki beragam umat. Meskipun keadaan umatnya yang plural namun kesatuan
tetap terjalin diantara sesama umat. Gereja memandang keragaman suku, bahasa,
serta tradisi sebagai bagian yang penting untuk dipahami, dengan memahami
berbagai hal tersebut kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah setempat dapat
digali dan diselaraskan dengan liturgi Gereja sehingga umat bisa beribadat selaras
dan sejiwa dengan budaya dan tradisinya.
Demikian pula dalam musik liturgi, nyanyian tetap/ordinarium yang
dinyanyikan dalam perayaan Misa di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk ini
beragam setiap minggunya. Dari ordinarium Gregorian chant sampai inkulturatif.
Ordinarium Gregorian chant yang dinyanyikan ialah Misa De angelis59,
59
Buku Puji syukur No. 342 dst, hal 300.
74
sedangkan ordinarium inkulturatif yang dinyanyikan ialah Misa Raya II60, Misa
Manado61, Misa Dolo-dolo62, Misa Senja63, Misa syukur64, dan Misa Batak
Toba65. Dalam merayakan hari besar Gereja, umumnya perayaan Misa
dilaksanakan dengan meriah. Ordinarium Batak Toba beserta ansambel gondang
sering digunakan dalam perayaan Misa untuk memeriahkannya. Demikian pula
dengan Paduan Suara yang selalu ikut berpartisipasi didalamnya. Hal ini sering
diamati Penulis, baik selama melakukan penelitian maupun diluar masa penelitian.
Proses inkulturasi memang terus berjalan, untuk melihat perbandingan
transformasi yang terjadi dari proses inkulturasi, berikut ordinarium Gregorian
chant dan ordinarium inkulturatif Batak Toba:
60
Buku Puji syukur No. 349 dst, hal 309.
Buku Puji syukur No. 355 dst, hal 317.
62
Buku Puji syukur No. 357 dst, hal 320.
63
Buku Puji syukur No. 359 dst, hal 323.
64
Buku Puji syukur No. 361 dst, hal 325.
65
Buku Puji syukur No. 1038 dst, hal 813.
61
75
Ordinarium Gregorian Chant
1) Kyrie eleison (Tuhan Kasihanilah Kami)
Sumber
http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis1_kyrie_VIII.htm
76
2) Gloria (Kemuliaan)
Sumber : http://et-clamor-meus-ad-te-veniat.blogspot.com/2007/01/gloria-in-excelsis-deo.html
77
78
3. Sanctus (Kudus)
Sumber :
http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis3_sanctus_VIII.htm
4. Agnus Dei (Anak Domba Allah)
Sumber :
http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis4_agnus_VIII.htm
79
Ordinarium Inkulturatif Batak Toba
1. Tuhan Kasihanilah Kami
2. Kemuliaan
80
3. Kudus
81
4. Anak Domba Allah
Dengan melihat transkripsi diatas dapat dilihat perbandingan antara
ordinarium Gregorian Chant dengan ordinarium Batak Toba yang telah
mengalami inkulturasi. Perubahan-perubahan yang terjadi diantaranya, dari segi
bahasa, pemakaian bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Latin
sebagai bahasa yang lebih mudah dipahami. Dari segi melodis, irama dan bentuk
melodis ordinarium Batak Toba sangat berbeda dengan Gregorian chant.
82
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN
TEKSTUAL ORDINARIUM BERGAYA BATAK TOBA
4.1 Proses Transkripsi dan Analisis
Proses memindahkan, mengalihkan, menotasikan bunyi yang didengar
menjadi sebuah simbol visual yang dapat dipahami disebut transkripsi. Dalam
menganalisis musik, trankripsi sangat diperlukan sebagai salah satu upaya
mendeskripsikan musik itu sendiri. Dalam proses pentranskripsian ini, terdapat
empat buah lagu yang akan ditranskripsikan, baik dari nyanyiannya maupun
instrumen. Dalam tahap transkripsi struktur musikal dan tekstual Ordinarium,
penulis menggunakan pendekatan dari Bruno Netll (1964:98) yang terdiri dari:
1) Proses pentranskripsian dapat dilakukan dengan cara menganalisis dan
mendeskripsikan suatu musik dari apa yang didengar, dan
2) Proses pentranskripsian dapat dilakukan dengan cara menuliskan yang
kita dengar di atas kertas lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Dalam pentranskripsian struktur musikal dan tekstual Ordinarium, penulis
menggunakan tahap kedua. Hal ini dirasakan sesuai dengan metode penulis dan
mendukung proses transkripsi karena menghasilkan hasil yang lebih rinci dan
mendetail, sedangkan tahap transkripsi pertama tidak dilakukan penulis karena
pendengaran dan daya ingat yang terbatas sehingga terkesan menghasilkan
transkripsi yang sederhana dan sekedar saja. Dan lagi Bruno Netll (1964:98)
mengungkapkan bahwa seandainya telinga manusia dapat merasakan dan
mendengar semua isi akustik sebuah ungkapan musik maka tahap pertama
83
tentunya menjadi pilihan utama. Namun daya ingat manusia tidak persis sama
terhadap yang didengar sepuluh detik yang lalu, untuk menjadi sebuah bentuk
notasi yang penting dalam sebuah penelitian musik.
Sebelum mendeskripsikan struktur musikal dan tekstual Ordinarium,
pertama-tama penulis melakukan pentranskripsian; yaitu menotasikan bunyibunyi musikal kedalam bentuk simbol yang bisa dilihat dan dipahami. Terdapat
empat lagu yang ditranskripsi baik dari nyanyian dan instrumen yang mengiringi,
yaitu: Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan, Kudus, dan Anak Domba Allah.
Keempat
lagu
ini
sebelumnya
telah
direkam
penulis
dengan
cara
merekonstruksinya kembali yang dilakukan oleh beberapa biarawan Kapusin
Santo Fransiskus Asisi Pematang Siantar.
Metode yang digunakan penulis dalam proses transkripsi keempat lagu
ordinarium ini yaitu:
1) Mendengarkan
secara
berulang-ulang
hasil
video
rekaman
lagu
ordinarium yang telah direkam dari lapangan.
2) Setelah mendengar berulang-ulang, kemudian menuliskannya kedalam
notasi musik barat. Bila terdapat kesalahan nada maupun ritem maka
kembali mendengar berulang-ulang video musik tersebut sampai mendapat
hasil yang sesuai dengan yang didengar. Penotasian ini dilakukan dengan
menggunakan bantuan dari program musik dalam komputer yaitu Sibelius.
Transkripsi dari keempat lagu ordinarium Inkulturasi Musik Batak Toba
pada perayaan Misa Gereja Katolik Santo Antonius Hayam Wuruk Medan dapat
dilihat dalam Lampiran.
84
4.2 Model Notasi
Berdasarkan beberapa pertimbangan dalam menentukan model notasi
untuk menuliskan musik atau nyanyian pada ordinarium ini maka penulis
menggunakan bentuk notasi barat. Pentranskripsian keempat lagu ordinarium ini
menggunakan sistem notasi barat, meskipun instrumen musik yang ditranskrip
mewakili instrumen musik tradisi batak toba yaitu, sulim dan garanttung, namun
kedua instrument tersebut sudah mendekati sistem notasi barat, notasi balok. Hal
ini digunakan penulis, karena:
1) Sistem notasi balok sudah dikenal secara umum dalam bidang musikologi.
2) Sistem notasi balok memiliki garis paranada yang dapat menggambarkan
tinggi rendahnya suatu nada atau suara sehingga hasilnya akan terlihat
seperti grafik.
3) Secara ritmis sistem notasi balok mampu membagi setiap nilai ketukan.
Dalam proses pentranskripsian penulis membuat atau menggunakan garis
dan paranada dan simbol-simbol dibawah ini:
1)
Dalam notasi balok, sistem tangga nada bergaris lima
digunakan sebagai dasar. Dalam garis paranada inilah dituliskan tandatanda mengenai not, tempo, ketukan, dinamika, dan instrumen yang
digunakan. Durasi not dilambangkan dengan nilai yang berbeda-beda,
sedangkan tinggi nada dilambangkan pada posisi not secara vertikal pada
garis paranada. Not-not yang melambangkan tinggi nada diluar jangkauan
kelima garis paranada dapat digambarkan dengan menggunakan garis
bantu yang diletakkan diatas atau dibawah paranada.
85
2)
Simbol ini merupakan tanda kunci. Tanda kunci berada
di awal paranada, yang menunjukkan tinggi nada yang diwakili oleh garis
dan spasi pada paranada tersebut. Simbol ini menunjukkan tanda kunci G,
artinya garis kedua dari bawah melambangkan nada G pertama.
3)
Simbol ini
merupakan tanda diam.
Artinya tidak
mengeluarkan bunyi/suara. Bernilai 4 (empat) ketuk dengan nama tanda
diam penuh.
4)
Simbol ini merupakan tanda diam yang bernilai 1 (satu)
ketuk. Dengan nama tanda diam ¼ .
5)
Simbol ini juga merupakan tanda diam yang
bernilai1/4 ketuk. Dengan nama tanda diam 1/16.
6)
Simbol ini merupakan tanda mula utama yakni tanda mula
kress. Tanda mula kress ini diletakkan pada garis f menunjukkan bahwa
nada tersebut dinaikkan ½ laras dalam semua oktaf (dimainkan sebagai
nada fis). Sehingga menunjukkan karya musik ini bersangkutan dengan
tangga nada G mayor atau E minor.
86
7)
Simbol ini menyatakan garis paranada dalam kunci G
bertangga nada G mayor, disertai dengan birama 4/4. Birama
menunjukkan ritme lagu; ketukan lagu. Angka birama yang bagian atas
menunjukkan jumlah ketukan per birama, sedangkan angka yang bagian
bawah menunjukkan nilai not perketukan. Tanda birama 4/4 menunjukkan
terdapat empat ketukan dalam birama dan masing-masing ketukan bernilai
not seperempat.
8)
Simbol ini merupakan tanda mula kress yang diletakkan
pada garis nada f dan c yang menunjukkan bahwa kedua nada ini
dinaikkan ½ laras dalam semua oktaf (dimainkan fis dan cis). Sehingga
karya musik ini bersangkutan dengan tangga nada D mayor atau B minor.
9)
Simbol ini menyatakan garis paranada dalam kunci G
bertangga nada D mayor, disertai dengan birama 2/4. Tanda birama 2/4
menunjukkan terdapat dua ketukan dalam birama dan masing-masing
ketukan bernilai not seperempat.
10)
Simbol ini merupaka mula kress yang diletakkan pada
garis nada f, c, g, dan d yang menunjukkan bahwa keempat nada ini
dinaikkan ½ laras dalam semua oktaf (dimainkan fis, cis, gis, dan dis).
87
Sehingga karya musik ini berkaitan dengan tangga nada E mayor dan Cis
minor.
11)
Simbol ini menyatakan garis paranada dengan kunci
G bertangga nada E mayor, disertai dengan birama 4/4. Tanda birama 4/4
menunjukkan terdapat empat ketukan dalam birama dan masing-masing
ketukan bernilai not seperempat.
12)
Simbol ini merupakan not 1/16, dengan nilai not
¼ ketuk. Keempat not 1/16 ini bila digabung akan bernilai satu ketuk.
13)
Simbol ini merupakan not 1/8, dengan nilai not 1/2
ketuk. kedua not ini bila digabungkan maka bernilai satu ketuk.
14)
Simbol ini merupakan not ¼, dengan nilai not 1 ketuk.
15)
Simbol ini merupakan not ¼ dengan not 1/8.
Dengan nilai not 1 ½ ketuk.
Kedua not ini digabungkan dengan
menggunakan tie (garis lengkung perpanjangan), yakni menggabungkan
dua not pada titinada yang sama. Satu tie hanya dapat mengikat dua not
saja.
88
16)
Simbol ini merupakan not ¼ yang bernilai 1 ketuk,
dengan menggunakan simbol tremolo. Tremolo artinya getar; bergetar;
cara main dengan
menggetarkan nada. Not ¼ ini menggunakan dua
tremolo.
17)
Simbol ini merupakan not ¼ yang bernilai 1 ketuk,
dengan menggunakan simbol tremolo. Not ini menggunakan empat
tremolo.
18)
Simbol ini merupakan not ¼ yang bernilai 1 ketuk,
dengan menggunakan simbol buzz roll; drone (z on stem).
19)
Simbol ini merupakan not ¼ dengan menggunakan
staccato. Artinya dimainkan dengan putus-putus tapi jelas.
Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam
lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami maknamaknanya.
4.3 Analisis Musikal
Dalam mendeskripsikan ordinarium yakni, nyanyian Tuhan Kasihani
Kami, Kemuliaan, Kudus, dan Anak Domba Allah penulis mengacu pada teori
weighted scale Malm. Malm (1977:7-9) mengatakan ada delapan unsur melodi
yang dapat digunakan untuk menganalisis melodi yaitu seperti : (1) tangga nada ;
89
(2) nada dasar ; (3) wilayah nada ; (4) jumlah nada-nada ; (5) jumlah interval ; (6)
pola-pola kadensa ; (7) formula-formula melodik ; dan (8) kontur.
Penganalisisan kedelapan unsur-unsur tersebut penulis uraikan sebagai
berikut:
1) Dalam menganalisis struktur tangga nada, penulis mengurutkan nada-nada
terendah sampai tertinggi. Pengertian tangga nada disini tidak sama
dengan teori musik barat yang mempunyai struktur interval baku. Penulis
hanya mengurutkan nada-nada yang dipakai dalam melodi ordinarium dari
nada terndah sampai tertinggi.
2) Untuk menentukan nada dasar penulis menggunakan pendekatan yang
dilakukan
oleh
Bruno
Nettl
dalam
“Theory
and
Method
Ethnomusicology” yang mengatakan:
“(1)Patokan yang paling umum adalah melihat nada-nada
apa yang paling sering digunakan dan nada mana yang
jarang dipakai dalam komposisi tersebut. (2)Kadangkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap
nada-nada dasar, biarpun jarang dipakai. (3)Nada yang
dipakai akhir (awal) komposisi, dianggap mempunyai
fungsi penting dalam tonalitas tersebut. (4)Nada yang
menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun
ditengah dapat dianggap penting. (5)Interval-interval yang
terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai
patokan. Umpanya sebuah posisi yang digunakan oktaf
(nada pertamatersebut boleh dianggap lebih penting).
(6)Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa
dipakai sebagai patokan tonalitas. (7)Harus diingat bahwa
barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem
tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokanpatokan diatas. Untuk sistem tonalitas tersebut, cara terbaik
tampaknya adalah pengalaman lama dan akrab dengan
musik tersebut.” (1964:127, terjemahan Marc Perlman,
M.A)
90
in
3) Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah
dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu.
4) untuk melihat frekwensi pemakaian nada-nadanya, Penulis mencacah
setiap nada yang muncul sehingga terlihat nada-nada yang sering dan
jarang digunakan.
5) Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik
ataupun turun (Manoff, 1991:71).
6) Dalam menganalisis formula melodi yang meliputi bentuk, frasa dan
motif,
penulis
mengacu
pada
teori
William
P.
Malm.
Malm
mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk,
yaitu:
a
Repetitive yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang.
b
Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam
keseluruhan nyanyian.
c
Stropic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan
teks nyanyian yang baru atau berbeda.
d
Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpanganpenyimpangan melodi.
e
Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
91
7) Pola Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola
kadensa yang dijabarkan penulis dalam tiap nyanyian adalah nada-nada
terakhir dari tiap bentuk.
8) Dalam mendeskripsikan kontur atau garis melodi dalam sebuah nyanyian
penulis mengacu pada teori Malm (Irawan 1997:85) membedakan
beberapa jenis kontur, yaitu:
a
Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik
dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
b
Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun
dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
c
Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung
dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian
kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
d
Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari
satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun.
e
Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari
nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
92
f
Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada
ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde
baik mayor maupun minor.
g
Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya
mempunyai batas-batasan.
Dengan melihat acuan diatas penulis menganalisis keempat nyanyian
ordinarium sebagai berikut:
4.3.1 Analisis Musikal Nyanyian Tuhan Kasihani kami
Dalam menganalisis nyanyian (termasuk nyanyian lain) ini, penulis
melampirkan sebagian hasil transkripsi sebagai sampel. Untuk melihat
keseluruhan hasil transkripsinya penulis melampirkan pada lampiran.
A
1
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan
Angka romawi melambangkan
: Bentuk
: Frasa
93
Dari hasil transkripsi di atas dapat dilihat bahwa nyanyian ini diawali
dengan instrument sulim yang kemudian diikuti oleh garranttung. Kedua
instrumen mengawali nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami dengan membawa pola
melodi nyanyian tersebut. Pola melodi dari kedua instrumen ini menggunakan
melodi nyanyian yang disertai dengan beberapa improvisasi.
Tangga nada yang terdapat dalam nyanyian ini diurutkan dari nada
terendah sampai tertinggi yaitu, D-G-A-B-C-D’. Nada yang terendah adalah nada
D dan yang tertinggi adalah D’.
Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan
pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl yang telah disebutkan diatas. Untuk
mengaplikasikan pendapat tersebut maka terlebih dahulu nada-nada nyanyian ini
disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya.
Tabel 4.1 Distribusi Nada pada Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami
Nada
Jumlah
D
0
0
1
1
2
G
10
0
0
0
10
A
16
12
5
5
38
B
8
12
0
0
20
C
2
6
0
4
12
D’
0
0
0
2
2
94
Sesuai dengan data dalam tabel diatas, maka yang menjadi tonalitas
berdasarkan ketujuh cara yang ditawarkan Netll tersebut adalah:
a
Nada yang paling sering digunakan adalah nada A dan nada yang paling
jarang dipakai adalah nada D
b
Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada A
c
Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada A dan nada yang paling
akhir D
d
Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada D, nada yang
menduduki posisi pertengahan adalah nada A.
e
Nada yang memiliki oktafnya adalah nada D
f
Tekanan ritmis A
g
Melalui pengalaman –
Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan
dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat
pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami adalah A.
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah
dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range)
pada nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami adalah dari nada D sampai D’.
Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang
sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik
95
tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi
pemakaian nada dari nyanyian Tuhan Kasihani Kami.
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada A sangat
mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 38 kali. Dan yang paling sedikit
pemakain nadanya adalah nada D, yakni 4 kali.
Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik
ataupun turun (Manoff, 1991:71). Berikut ini adalah tabel interval dari
keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Tuhan Kasihanilah kami
Tabel 4.2 Interval Nada Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami
No
Interval
Jumlah Interval
Nyanyian
Instrument
Tuhan
Kasihanilah sulim
Kami
21
21
Instrumen
Garantung
1
Prime Murni (1P)
2
Sekunder
Mayor
(2M)
Sekunder
Minor
(2m)
Ters
mayor
(3M)
Ters
minor
(3m)
Kwart
Murni
(4p)
Naik
25
43
36
Turun
18
27
22
Naik
12
18
14
Turun
6
11
8
Naik
-
1
2
Turun
-
6
5
Naik
-
-
1
Turun
4
5
5
Naik
-
2
1
Turun
4
3
2
Kwint
Murni
(5p)
Naik
-
1
-
Turun
-
-
-
3
4
5
6
7
96
75
Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering
muncul adalah interval sekunder Mayor (2M) sebanyak 43 kali.
Formula melodi yang dibahas meliputi bentuk, frasa dan motif. Dalam hal
ini penulis mengacu pada teori William P. Malm.
a
Bentuk. Bentuk nyanyian Tuhan kasihanilah kami ini cenderung
mengalami pengulangan atau Repettive. Bila dirumuskan terdiri dari A, B,
A, dan A’. Bentuk A mengalami satu kali pengembangan menjadi A’, dan
bentuk A’ ini merupakan bagian penutup lagu. Untuk lebih jelas dapat
dilihat pada lampiran transkripsi lagu.
b
Frasa
Pada nyanyian ini terdiri dari enam frasa. Frasa pertama dan ketiga
mengalami pengulangan, dan frasa kelima merupakan pengulangan dari frasa
pertama. Dan bagian akhir ditutup dengan frasa pertama namun terdapat
pengembangan pada nada-nada akhirnya. Sehingga kelihatan bentuk nyanyian ini
cederung repetitive.
97
c
1.
3.
Motif
2.
4.
Terdapat empat motif yang membentuk nyanyian Tuhan Kasihanilah kami.
Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa
yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap
bentuk.
1.
2.
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85)
membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan
Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian Tuhan
Kasihanilah Kami adalah pendulous. Pergerakan melodi dari nyanyian ini
cenderung bergerak dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah,
kemudian kembali lagi ke nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi
ataupun sebaliknya. Bentuk ini dikenal dengan bentuk pendulous.
4.3.1.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami
Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat
penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Seperti
98
yang dikemukakan oleh W. P Malm (1977:9). “Bila suatu not dipakai untuk
masing-masing suku kata dari teks nyanyian tersebut disebut dengan silabis, dan
jika suatu suku kata mempunyai beberapa buah not disebut dengan melismatis”.
Berikut ini penulis uraikan hubungan teks dengan melodi pada nyanyian Tuhan
Kasihani kami:
Melismatis:
Sillabis:
Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat
hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma-melisma pendek dalam
nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis
sebanyak 12 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata. Jarak
interval nada-nada yang digunakan pada melisma-melisma tersebut 2M, 2m, 1P.
Artinya wilayah nada-nadanya (range) sederhana, hanya pada interval sekunda
mayor dan minor. Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 6 motif, dimana setiap
suku katanya menggunakan nada yang sama karena bentuk nyanyian ini yang
repetitive. Dari hasil pencacahan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan
melismatis terlihat mendominasi.
99
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian
Tuhan Kasihani Kami menggunakan tangga nada heksatonik, dengan nada dasar
A, nyanyian ini cenderung mayor, dengan garis melodi (kontur) cenderung
pendulous, dan bentuk nyanyian repetitive/pengulangan. Dari segi tekstual
nyanyian ini banyak menggunakan melisma-melisma pendek yang menggunakan
2-5 suku kata dalam tiap nada, pada interval sekunda mayor dan minor serta
dalam range (wilayah nada) yang sederhana.
4.3.2 Analisis Musikal Nyanyian Kemuliaan
A
1
A
B
2
Tangga nada nyanyian Kemuliaan ini terdiri dari Sembilan nada.
Diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi, yakni A-Cis-D-E-Fis-G-A-B-D’.
Nada terendah adalah nada A dan tertinggi nada D’.
100
Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan
pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl Untuk mengaplikasikan pendapat
tersebut pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ini, maka terlebih dahulu nadanada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya.
Tabel 4.3 Daftar distribusi nada Nyanyian Kemuliaan
Nada
Jumlah
A
0
1
0
1
0
2
4
Cis
0
3
2
0
0
0
5
D
5
8
2
2
1
3
21
E
4
23
7
17
1
5
57
Fis
4
34
9
17
7
3
7
G
1
26
5
7
0
0
39
A
6
14
0
14
6
7
47
B
0
3
3
6
2
2
20
D’
0
1
0
8
0
0
9
a
Nada yang paling sering dipakai adalah nada Fis dan nada yang paling
jarang dipakai adalah nada A.
b
Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada A.
c
Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada Fis dan nada yang
paling akhir nada A
d
Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada A dan nada yang
menduduki posisi pertengahan adalah nada Fis
e
Nada yang memiliki oktafnya adalah nada D
101
f
Tekanan ritmis Fis
g
Melalui pengalaman Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan
dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat
pada nyanyian Kemuliaan adalah Fis
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah
dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range)
Kemuliaan adalah dari nada A sampai D’.
Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang
sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik
tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi
pemakaian nada dari nyanyian Kemuliaan.
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada Fis sangat
mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 74 kali. Dan yang paling sedikit
pemakain nadanya adalah nada Cis, yakni 5 kali.
102
Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik
ataupun turun (Manoff, 1991:71). Berikut ini adalah tabel interval dari
keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Kemuliaan.
Tabel 4.4 Interval Nada Kemuliaan
No
Interval
Jumlah Interval
Instrumen
Sulim
66
Nyanyian
kemuliaan
38
Instrumen
Garantung
344
1
Prime Murni (1P)
2
Sekunder
Mayor
(2M)
Naik
51
79
51
Turun
73
91
75
Sekunder
Minor
(2m)
Naik
15
36
19
Turun
52
35
31
Ters
mayor
(3M)
Naik
2
3
1
Turun
-
4
1
Ters
Minor
(3m)
Naik
19
19
18
Turun
12
16
14
Kwart
Murni
(4P)
Naik
7
7
6
Turun
2
3
2
Kwint
Murni
(5P)
Naik
2
5
3
Turun
1
-
-
Sekta
Mayor
(6M)
Naik
1
-
2
Turun
1
4
1
Oktaf
murni
(8P)
Naik
-
1
-
Turun
-
-
-
3
4
5
6
7
8
9
103
Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering
muncul adalah interval sekunder mayor (2M) sebanyak 124.
Formula melodi yang akan dibahas meliputi bentuk, frasa dan motif.
Dalam hal ini penulis mengacu pada teori William P. Malm.
a
Bentuk. Bentuk nyanyian Kemuliaan ini Progresive, yaitu bentuk
nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang
selalu baru. Bila dirumuskan terdiri dari A, B, C, D, E, E’, F, F’, G, H, I,
I’, I, J, dan K . Dari formula ini terlihat bentuk nyanyiannya terus berubah,
walau terdapat beberapa bentuk yang mengalami pengembangan yakni
bentuk E, F dan I. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada hasil transkripsi
lagu.
b
Frasa
104
Terdapat duapuluh delapan frasa dalam nyanyian Kemuliaan.
c
Motif
105
Terdapat duapuluh motif yang membentuk nyanyian Kemuliaan.
Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa
yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap
bentuk.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
106
13.
14.
15.
16.
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85)
membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan
Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian Kemuliaan ialah
conjuct. Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak melangkah dari
satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun, bentuk melodi ini disebut
dengan istilah conjuct.
4.3.2.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Kemuliaan
Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat
penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Mengacu
pada W. P Malm (1977:9) tentang hubungan teks dengan melodi yang telah
disebut diatas, maka penulis menguraikan hubungan teks dengan melodi pada
nyanyian Kemuliaan.
Melismatis:
Silabis:
107
Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat
hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma pendek dan panjang
dalam nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan
melismatis sebanyak 24 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku
kata. Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 29 motif. Dari hasil pencacahan
tersebut disimpulkan bahwa penggunaan silabis terlihat mendominasi.
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian
Kemuliaan menggunakan sembilan nada, dengan nada dasar Fis, nyanyian ini
cenderung mayor, garis melodi (kontur) cenderung bergerak melangkah disebut
conjuct, dan bentuk nyanyian progressive yakni bentuknya yang selalu berubahubah. Dari segi tekstual nyanyian ini lebih cenderung silabis, dimana satu suku
kata dalam tiap nada.
108
4.3.3 Analisis Musikal Nyanyian Kudus
A
1
B
2
C
3
Tangga nada nyanyian Kudus ini terdiri dari enam nada. Diurutkan dari
nada terendah sampai tertinggi yakni, G-A-B-C-D-E. Nada terendah adalah nada
G dan tertinggi nada E.
Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan
pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl Untuk mengaplikasikan pendapat
tersebut pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ini, maka terlebih dahulu nadanada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya.
109
Tabel 4.5 Distribusi Nada Nyanyian Kudus
Nada
Jumlah
G
1
3
2
0
6
A
11
3
4
0
18
B
16
16
3
2
37
C
10
2
0
0
12
D
3
2
3
0
8
E
3
0
0
0
3
Nyanyian Kudus
1. Nada yang paling sering digunakan adalah nada B dan nada yang paling
jarang dipakai adalah nada E.
2. Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada B
3. Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada B dan nada yang paling
akhir adalah nada G.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada G dan nada yang
menduduki posisi pertengahan adalah nada B
5. Nada yang memiliki oktafnya tidak ada
6. Tekanan ritmis B
7. Melalui pengalaman –
Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan
dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat
pada nyanyian Kemuliaan adalah B.
110
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah
dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range)
Kudus adalah dari nada G sampai E.
Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang
sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik
tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi
pemakaian nada dari nyanyian Kudus
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada B sangat
mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 73 kali. Dan yang paling sedikit
pemakain nadanya adalah nada E, yakni 3 kali.
Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik
ataupun turun (Manoff, 199: 71). Berikut ini adalah tabel interval dari keseluruhan
nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Kudus.
111
Tabel 4.6 Interval nada Nyanyian Kudus
No
Jumlah Interval
Interval
Nyanyian
Kudus
Instrumen
Sulim
Instrumen
Garantung
1
Prime Murni
12
22
118
2
Sekunder
Mayor
(2M)
Naik
19
14
26
Turun
24
27
35
Sekunder
Minor
(2m)
Naik
6
6
8
Turun
12
8
14
Ters
mayor
(3M)
Naik
-
6
-
Turun
2
1
2
Ters
Minor
(3m)
Naik
4
8
4
Turun
-
5
1
Kwart
Murni
(4P)
Naik
1
1
1
Turun
-
-
-
Kwint
Murni
(5P)
Naik
-
-
1
Turun
-
-
-
Naik
-
1
-
Turun
-
-
-
3
4
5
6
7
8
Sekta
Mayor
Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering
muncul adalah interval sekunda mayor (2M) sebanyak 43 kali.
Formula melodi yang akan dibahas meliputi bentuk, frasa dan motif.
Dalam hal ini penulis mengacu pada teori William P. Malm.
112
a
Bentuk. Bentuk nyanyian Kudus ini cenderung, Ireratif yaitu bentuk
nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan
pengulangan-pengulangan
di
dalam
keseluruhan
nyanyian.
Bila
dirumuskan terdiri dari A, B, A, C, D, C’, E, F, dan C’. Dari formula
bentuk nyanyian ini terlihat bentuk A dan C cenderung diulang dan bentuk
C mengalami satu kali pengembangan dan mengalami pengulangan serta
menjadi bagian penutup dari lagu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
hasil transkripsi lagu.
b
Frasa
Pada nyanyian ini terdiri dari sepuluh frasa.
c
Motif
Terdapat enam motif yang membentuk nyanyian Kudus.
113
Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa
yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap
bentuk.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85)
membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan
Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian Kudus ialah
conjuct. Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak melangkah dari
satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun, bentuk melodi ini disebut
dengan istilah conjuct.
4.3.3.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Kudus
Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat
penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Mengacu
pada teori W. P Malm (1977:9). Berikut ini penulis uraikan hubungan teks dengan
melodi pada nyanyian Kudus.
Melismatis:
114
Silabis:
Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat
hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma-melisma pendek dalam
nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis
sebanyak 11 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata.
Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 8 motif. Dari hasil pencacahan tersebut
disimpulkan bahwa penggunaan melismatis terlihat mendominasi.
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian
Kudus menggunakan tangga nada heksatonik, dengan nada dasar B, nyanyian ini
cenderung mayor, garis melodi (kontur) cenderung conjuct, dan bentuk nyanyian
ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian. Dari
segi tekstual nyanyian ini banyak menggunakan melisma-melisma pendek yang
menggunakan 2-5 suku kata dalam tiap nada.
115
4.3.4 Analisis Musikal Nyanyian Anak Domba Allah
A
1
A
2
B
3
B
4
Tangga nada nyanyian Anak Domba Allah ini terdiri dari enam nada.
Diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi yakni, B-E-Fis-Gis-A-B. Dengan
nada terendah B dan nada tertinggi B’.
116
Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan
pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl Untuk mengaplikasikan pendapat
tersebut pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ini, maka terlebih dahulu nadanada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya.
Tabel 4.7 Distribusi Nada Nyanyian Anak Domba Allah
Nada
Jumlah
B
0
0
0
2
2
E
15
0
3
1
19
Fis
27
6
0
3
36
Gis
27
0
0
0
27
A
21
3
0
3
27
B
3
6
0
3
12
a
Nyanyian Anak Domba Allah
1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada Fis dan nada yang paling jarang
dipakai adalah nada B
2. Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada Fis
3. Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada Fis dan nada yang paling
akhir adalah nada E.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada B dan nada yang
menduduki posisi pertengahan adalah nada Fis
5.
Nada yang memiliki oktafnya tidak ada
6. Tekanan ritmis A
117
7. Melalui pengalaman –
Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan
dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat
pada nyanyian Anak Domba Allah adalah Fis
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah
dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range)
Anak Domba Allah adalah dari nada B sampai B.
Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang
sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik
tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi
pemakaian nada dari nyanyian Anak Domba Allah
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada Fis sangat
mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 36 kali. Dan yang paling sedikit
pemakain nadanya adalah nada B, yakni 14 kali.
118
Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik
ataupun turun (Manoff, 1991:71). Berikut ini adalah tabel interval dari
keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian
Table 4.8 Interval nada Anak Domba Allah
No
Interval
Jumlah Interval
Nyanyian Anak Instrumen
Domba Allah
Sulim
31
79
Instrumen
Garantung
137
1
Prime Murni (1P)
2
Sekunder
Mayor
(2M)
Naik
36
47
46
Turun
19
50
26
Sekunder
Minor
(2m)
Naik
12
18
14
Turun
8
15
9
Ters
mayor
(3M)
Naik
-
9
2
Turun
6
9
7
Ters
minor
(3m)
Naik
-
2
-
Turun
-
4
2
Kwart
Murni
(4p)
Naik
-
1
1
Turun
2
2
2
Kwint
Murni
(5p)
Naik
-
1
1
Turun
-
1
2
Oktaf
murni
(8P)
Naik
-
1
-
Turun
-
-
-
3
4
5
6
7
8
Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering
muncul adalah interval sekunder mayor sebanyak 55 kali.
119
a
Bentuk
Bentuk nyanyian Anak Domba Allah ini Stropic, yaitu bentuk nyanyian
yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. Bila
dirumuskan terdiri dari A, B, A, B, A dan B’. Bentuk B mengalami
pengembangan menjadi B’, dan bentuk B’ ini merupakan bagian penutup lagu.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada hasil transkripsi lagu.
b Frasa
Pada nyanyian ini terdiri dari duabelas frasa.
c
Motif
120
Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa
yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap
bentuk.
1.
3.
2.
4.
5.
6.
7.
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85)
membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan
Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian pendulous.
Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak dari nada yang lebih
tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih
tinggi ataupun sebaliknya, atau lebih dikenal dengan bentuk pendulous.
4.3.4.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Anak Domba Allah
Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat
penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Mengacu
121
teori yang dikemukakan oleh W. P Malm (1977:9). Berikut ini penulis uraikan
hubungan teks dengan melodi pada nyanyian Anak Domba Allah.
Melismatis:
Silabis
Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat
hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma-melisma pendek dalam
nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis
sebanyak 11 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata.
Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 15 motif, dimana setiap suku katanya
menggunakan nada yang sama dalam pergerakan melodinya. Dari hasil
pencacahan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan silabis terlihat mendominasi.
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian
Anak Domba Allah menggunakan tangga nada heksatonic, dengan nada dasar Fis,
nyanyian ini cenderung mayor, pergerakan melodi (kontur) cenderung pendulous,
dan bentuk nyanyian stropic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi
menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. Dari segi tekstual nyanyian
ini cenderung menggunakan silabis dimana tiap satu kata terdapat satu nada.
122
4.4
Analisis Tekstual
Dalam analisis tekstual keempat nyanyian ordinarium, penulis membahas
tentang terjemahan teksnya serta makna yang terkandung di dalamnya.
4.4.1 Terjemahan Teks Tuhan Kasihanilah Kami
Kyrie eleison
Tuhan kasihanilah kami
Christe eleison
Kristus kasihanilah kami
Kyrie eleison
Tuhan kasihanilah kami
4.4.1.1 Makna Teks Tuhan Kasihanilah Kami
Dalam tata peribadatan Misa, nyanyian Tuhan Kasihanilah kami
ditempatkan pada awal perayaan setelah pernyataan tobat. Sebagai bagian dari
pernyataan tobat, nyanyian ini bersifat seruan. Seruan “Tuhan, kasihanilah kami”
merupakan seruan memohon kepada Tuhan dan memohon belas kasih-Nya.
Nyanyian ini dibawakan dengan cara bergantian antara umat dengan Imam
(pemimpin upacara) atau antara umat dengan solis dan dapat dinyanyikan secara
bersama-sama. Sehingga bentuk nyanyian ini cenderung repetitive/pengulangan.
4.4.2 Terjemahan Teks Kemuliaan
Gloria in excelcis Deo, et in terra pax hominibusbonae voluntatis
Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di
antara manusia yang berkenan kepada-Nya.
Laudamus te, benedicimus te, adoramus te, glorificamus te
Kami memuji Engkau, kami memberkati Engkau, kami menyembah Engkau,
kami memuliakan Engkau.
Gratias agimus tibi propter magnam gloriam tuam
123
Kami berterima kasih kepada-Mu atas kemuliaan-Mu yang agung
Domine Deus, Rex coelestis, Pater omnipotens, Domine Fili unigenite,Jesu
christe,Domine Deus, Agnus Dei, Filius Patris
Tuhan Allah, Raja Surgawi, Allah Bapa Yang Mahakuasa, Anak yang tunggal,
Yesus Kristus, Domba Allah, Putra dari Bapa
Qui tollis peccata mundi Miserere nobis, suscipe deprecationem nostrum
Yang menghapus dosa-dosa dunia, kasihanilah kami, kabulkanlah doa kami
Qui sede ad dexteram Patris, Miserere nobis
Yang duduk di sebelah kanan Allah Bapa, kasihanilah kami
Quoniam tu solus sanctus, tu solus Dominus, tu solus altissimo, Jesu Christe
Karena hanya Engkaulah yang suci, hanya Engkaulah Tuhan, hanya Engkaulah
yang Maha Tinggi, Yesus Kristus
Cum Sancto Spiritu in Gloria Dei Patris.Amen
Bersama Roh Kudus dalam kemuliaan Allah Bapa. Amin
4.4.2.1 Makna Teks Kemuliaan
Kemuliaan merupakan nyanyian pujian yang meriah, dinyanyikan oleh
seluruh umat secara bersama-sama, atau bergantian dengan umat dan paduan
suara, atau hanya paduan suara saja. Menurut sejarah Gereja, Kemuliaan
merupakan komposisi paling tua di dalam tradisi gereja.
Kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman Kristen kuno.
Lewat madah ini Gereja yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Tuhan
serta memohon belas kasih-Nya. Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks
lain. Nyanyian Kemuliaan dibuka oleh imam atau oleh solis atau hanya oleh koor.
124
Kalau tidak dilagukan, madah kemuliaan ini dilafalkan oleh seluruh umat
bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan. Kemuliaan
dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya pesta, pada perayaan-perayaan
meriah, dan pada hari Minggu di luar masa Adven dan Prapaskah.
4.4.3 Terjemahan Teks Kudus
Sanctus, sanctus, sanctus, Dominus Deus Sabaoth. Pleni sunt coeli et terra gloria
ejus
Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah Yang Mahatinggi. Di surga dan di bumi
penuhlah kemuliaan-Mu
Osanna in excelsis
Hosanna di tempat yang mahatinggi
Benedictus qui venit in nomine Domini. Osanna in excelsis
Diberkatilah Ia yang dating atas nama Tuhan. Hosanna di tempat yang mahatinggi
4.4.3.1 Makna Teks Kudus
Nyanyian kudus merupakan sebuah aklamasi, berasal dari bahasa Latin,
acclamatio (baca : aklamatsio), yaitu seruan sekelompok orang untuk menanggapi
seruan orang lain (mendukung/menyetujui), atau untuk menghormati seseorang.
Namun dalam pengertian liturgi, aklamasi merupakan tanggapan atau jawaban
umat terhadap salam atau ajakan seorang imam pemimpin Perayaan Ekaristi.
Contoh aklamasi: “amin”, “dan serta-Mu juga”, “sekarang dan selama-lamanya”,
“syukur kepada Allah”.
Sebagai aklamasi, nyanyian ini merupakan seruan kegembiraan yang
diungkapkan dengan sorak-sorai, semangat, dan dianjurkan untuk selalu
125
dilagukan. Nyanyian ini dinyanikan oleh imam, seluruh umat dan paduan suara.
Menurut Kitab Suci, seruan “Kudus” adalah adegan surgawi dimana Nabi Yesaya
melihat Allah duduk diatas singgasana yang mulia, dan para Seraphim berdiri
dihadapan-Nya sambil bernyanyi: “Kudus, kudus, kudus, Tuhan segala Tuhan.
Seluruh bumi penuh dengan kemuliaan-Nya”. Nyanyian ini merupakan bagian
yang penting dalam Doa Syukur Agung, suatu doa syukur dan pengudusan,
dimana dalam doa ini umat diajak untuk mengarahkan hati kepada Tuhan agar
seluruh umat menjadi satu dengan Kristus dalam mempersembahkan kurban
Tubuh dan Darahnya yang berupa wujud Roti dan Anggur.
4.4.4 Terjemahan Teks Anak Domba Allah
Agnus Dei, qui tollis peccata mundi, Miserere nobis
Domba Allah, yang menghapus dosa-dosa dunia, kasihanilah kami
Agnus Dei, qui tollis peccata mundi, dona nobis pacem
Domba Allah, yang menghapus dosa-dosa dunia, berilah kami damai sejahtera.
4.4.4.1 Makna Teks Anak Domba Allah
Nyanyian ini dinyanyikan untuk mengiringi “pemecahan roti” atau hosti
oleh imam di meja altar. Saat imam memecah-mecah roti dan memasukkan
sepotong kecil dari roti kedalam piala yang berisi anggur, maka secara bersamaan
dinyanyikan Anak Domba Allah bersama umat, solis, dan paduan suara.
Pada mulanya ritus “pemecahan roti” sangat rumit dan memakan waktu
yang lama. Maka biasanya ritus ini diiringi oleh pelbagai macam nyanyian. Paus
Sergius I (687-701) memasukkan nyanyian Anak Domba Allah untuk mengiringi
ritus pemecahan roti. Teks ini didasarkan pada kata-kata Santo Yohanes
126
Pembabtis ketika ia memperkenalkan Yesus kepada beberapa orang dari muridmurid-Nya. Kemudian ritus “pemecahan roti” ini menjadi singkat maka Anak
Domba Allah dinyanyikan hanya tiga kali. Anak Domba Allah merupakan Yesus
sendiri yang merupakan satu-satunya kurban untuk penebusan dosa-dosa manusia.
127
BAB V
PENUTUP
5.1 RINGKASAN
Inkulturasi dalam gereja Katolik memang telah ada dan berlangsung
prosesnya sebelum Konsili Vatikan II, namun hal ini terlihat belum menjadi fokus
penting dan perhatian gereja. Selama proses dan perjalanannya, inkulturasi
membawa perubahan dan dampak terhadap berbagai hal, sehingga dalam Konsili
Vatikan II ini menjadi sebuah pembahasan yang penting untuk dikaji dan
diperhatikan oleh gereja. Setelah Konsili Vatikan II, berbagai dokumen-dokumen
tentang inkullturasi dihasilkan dan inkulturasi diusahakan dalam gereja secara
lebih baik dan lebih bertanggung jawab.
Keterbukaan gereja terhadap tradisi-tradisi dan budaya-budaya lokal,
disadari karena gereja berdiri di berbagai daerah, suku, bahasa dan bangsa.
Sehingga perlu adanya keterbukaan terhadap nilai kekayaan budaya dan tradisi
dari daerah, suku, bahasa dan bangsa tersebut. Sejauh unsur-unsur dari
kebudayaan itu tidak bertolak belakang dengan ajaran pokok agama Katolik.
Inkulturasi mendapatkan tempat dan bentuknya dalam gereja, baik dari bahasa,
bangunan gereja, pakaian, musik liturgi dan sebagainya.
Sebelum adanya inkulturasi, setiap perayaan misa musik liturgi yang
digunakan adalah gregorian chant ataupun polifoni suci. Hal ini memang
merupakan musik liturgi yang diresmikan gereja Katolik dalam tiap misa. Namun
bagi kebanyakan umat, gregorian chant atau polifoni suci kurang bisa dipahami,
dimengerti, diapresiasi, serta berpartisipasi di dalamnya. Terkendala oleh
128
beberapa hal, baik dari segi bahasa yang digunakan, maupun bentuk musik yang
cukup sulit dinyanyikan. Itulah sebabnya gereja mulai terbuka terhadap tradisi
serta budaya setempat, demi kepentingan umat, sehingga inkulturasi dirasakan
penting di berbagai daerah misi gereja. Penggunaan unsur-unsur musik tradisi/
lokal mulai digunakan, disesuaikan dan dikreasikan dalam musik Liturgi sehingga
tercipta kreasi baru yang luhur, yang lebih dikenal dan dimengerti oleh umat
setempat. Salah satu hasil konsili yang menyatakan keterbukaan gereja terhadap
tradisi-tradisi dan budaya lokal, terdapat dalam Sacrosanctum Consilium (SC).
“Konsili memberi kedudukan pada musik dan nyanyian sebagai
bagian yang penting dan integral dari liturgi (SC 112). Konsili
memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi
musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah
misi, untuk membentuk sikap religius umat setempat dan dalam
menyesuaikan liturgi dengan sifat dan perangai umat setempat (SC
119). Oleh karena itu, alat-alat musik lain (selain organ pipa) dapat
juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat
disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan
keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan
penghayatan umat beriman (SC 120). Nyanyian Gregorian
dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun jenisjenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak
dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa
upacara liturgi (SC 116)”.
Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan, inkulturasi musik liturgi
dalam bentuk-bentuk musik tradisi/lokal sangat diapresiasi dan dihargai. Terlihat
dalam pemakaian ordinarium yang bernuansa Batak Toba dengan memakai
ansambel gondang hasapi dalam perayaan misa menunjukkan kesungguhan gereja
terhadap inkulturasi. Makna inkulturasi dalam liturgi gereja ialah membuat umat
berpartisipasi secara lebih penuh ke dalam perayaan misa. Prinsip dasar
129
inkulturasi bukan untuk kepentingan budaya tetapi untuk kepentingan liturgi,
sehingga umat yang datang ke gereja bisa berpartisipasi secara lebih. Lebih dalam
pengertian, lebih bersemangat dan lebih berdaya guna untuk hidupnya.
Hal inilah yang membuat Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang
arti pluralisme gereja dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia.
Inkulturasi pada dasarnya merupakan cara mewartakan iman di tengah budaya
plural. Yaitu, pewartaan iman yang masuk ke dalam berbagai budaya. Tentunya
hal ini bukan sekedar basa-basi saja, namun bertujuan supaya iman sungguh
berakar dan meresapi sebuah kehidupan orang perorangan dan masyarakat, maka
iman itu sedapatnya harus menyatu dengan kebudayaan supaya dapat
diekspresikan selaras dengannya.
5.2 Kesimpulan
Bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa gereja Katolik pada
awalnya adalah Gregorian chant. Bentuk musik ini bersifat monofonik tanpa
iringan alat musik, karena pada saat itu alat musik dipakai sebagai ritual
penyembahan berhala sehingga gereja tidak mengijinkan alat musik masuk ke
dalam peribadatan. Gregorian chant selalu menggunakan teks-teks bahasa Latin
dan bersifat restitatif. Musik Gregorian chant disusun berdasarkan modus
gerejawi yang terdiri dari: Doris (D), Frigris (E), Lydis (F), Mixolydis (G). Jadi,
tidak mengenal mayor-minor seperti dalam musik tonal. Tidak mengenal metrum
(3/4, 6/8, 4/4), melainkan berdasarkan suatu sistem ritmik tertentu (iramanya
bebas).
130
Setelah proses inkulturasi sebagai hasil Konsili Vatikan II banyak
nyanyian ordinarium yang sengaja diciptakan dengan menggunakan unsur-unsur
musik tradisi/lokal. Salah satunya ordinarium yang menggunakan unsur-unsur
musik Batak Toba yang digunakan dalam Gereja Santo Antonius Hayamwuruk
Medan
Dari hasil analisis struktur musikal terhadap ke empat nyanyian
ordinarium dapat dilihat keseluruhan unsur-unsur musik yang terdapat di
dalamnya. Dari segi tangga nada nyanyian ordinarium memang cenderung
heksatonik kecuali nyanyian Kemuliaan. Hal ini memang berbeda dengan musik
Batak Toba yang lebih cenderung pentatonik. Namun dari segi frekwensi
pemakaian nada-nadanya, penulis melihat terdapat kemiripan terhadap nada-nada
pentatonis Batak Toba. Kemiripan ini terlihat pada nyanyian Tuhan Kasihanilah
Kami yang menggunakan nada-nada, G-A-B-C-D, nyanyian Kemuliaan yang
menggunakan nada-nada D-E-Fis-G-A, nyanyian Kudus yang menggunakan G-AB-C-D, dan nyanyian Anak Domba Allah menggunakan nada-nada E-Fis-Gis-AB. Kontur nyanyian ordinarium yang cenderung melangkah/conjuct dalam
nyanyian Kemuliaan dan Kudus dan pendulous pada nyanyian Tuhan Kasihanilah
Kami dan Anak Domba Allah. Dari segi bentuk nyanyian Tuhan Kasihanilah
Kami cenderung repetitive, nyanyian Kemuliaan cenderung progressive, nyanyian
Kudus cenderung iratif, dan nyanyian Anak Domba Allah stropic.
Meskipun dari segi tangga nada tidak memiliki kemiripan, namun
aransemen gondang hasapi membuat keempat nyanyian ordinarium terasa
bernuansa Batak Toba. Untuk melihat adanya hubungan nyanyian dengan
131
ansambel gondang hasapi, penulis melakukan pentraskripsian pada instrumen
sulim dan garranttung. Penulis melakukan pentranskripsian pada kedua instrumen
ini karena merupakan instrumen yang representative dari gondang hasapi.
Instrumen sulim dan garrantung dianggap representative karena mampu
mengikuti pola-pola melodis dari keempat nyanyian ordinarium dengan
melakukan improvisai-improvisasi sehingga terasa nuansa musik Batak Tobanya.
Keempat nyanyian ordinarium ini tidak dapat diketahui secara pasti
mengikuti pola musik atau repertoar gondang apa, namun Penulis melihat dalam
setiap Misa bila menggunakan ansambel gondang maka ordinarium yang
digunakan adalah ordinarium yang dianalisis penulis. Penulis mendapatkan
keempat nyanyian ordinarium dari Buku Doa dan Nyanyian Gerejawi Puji Syukur
yang digunakan oleh Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan.
Dari segi tekstual, penterjemahan teks nyanyian ordinarium dari bahasa
Latin ke dalam bahasa Indonesia memudahkan umat untuk dapat memahami isi
dan makna dari keempat nyanyian ordinarium. Pemahaman dan pendalaman
terhadap nyanyian menciptakan apresiasi, partisipasi, serta pemaknaan bagi umat
Katolik Santo Antonius Hayamwuruk Medan.
Dengan pengkajian struktur musikal dan tekstual dari keempat nyanyian
ordinarium ini, maka penulis menyimpulkan dengan demikian hal ini bisa
diterima oleh umat katolik di Santo Antonius Hayamwuruk, karena dekat dengan
budaya dan tradisi setempat.
132
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Alwasilah, Chaedar. A. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya.
Badudu, S.J., & Mohammad Zain, Sutan. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusataka Sinar Harapan.
Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Banjarnahor, Dussel. S. 2012. Pengaruh Konsili Vatikan II Terhadap Inkulturasi
Musik Liturgi Dalam Ofisi di Biara Ordo Kapusin Santo Fransiskus Asisi
Pematangsiantar. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Boelaars, Huub. J.W.M. 2005. Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia
Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Cunha, Bosco da. 2012. Ekaristi Memahami Misa Kudus Demi Penghayatan yang
Utuh. Obor: Jakarta.
Dwiloka, Bambang & Riana, Rati. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah: Skripsi,
Tesis, Disertasi, Arikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Manalu, Hotma Uli. 2009. Fungsi dan Peranan Gondang dalam Penerimaan
Sakramen Krisma di Gereja Katolik Santo Diego Martoba Paroki Pasar
Merah Medan; Sebuah Kajian Deskriptif. Skripsi. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New
Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Penerbit: Ghalic Indonesia
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi (ed). Jakarta: Rineka Cipta
Komisi Liturgi KWI. 2002. Pedoman Umum Misale Romanun Baru. Flores:
Nusa Indah
133
Komisi Liturgi KWI. 1992. Puji Syukur Buku Doa dan Nyanyian Gerejawi. Obor:
Jakarta
Konsili Vatikan II. 1963. Sacrosanctum Consilium. Vatikan, Roma.
Kurris, R. 2006. Pelangi di Bukit Barisan Gereja Katolik Memasuki Tapanuli.
Yogyakarta: Kansius.
Martasudjita, E. & Kristianto, J. 2007. Memilih Nyanyian Liturgi, Panduan
untuk Petugas. Yogyakarta: Kanisius.
McNeil, Rhoderick. 2002. Sejarah Musik 1. Jakarta: Gunung Mulia
Merriam, Alan P. 1964. The Antrhopology of Music. USA: Nortwestern
University
Merriam, Allan P. 1995. Beberapa Definisis tentang Musicology Comparatif dan
Etnomusikologi: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis. Supanggah (Editor).
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free
Press of Glencoe.
Prier, Karl-Edmund. 1991. Sejarah Musik Jilid 1. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi
Prier, Karl-Edmund. 1993. Sejarah Musik Jilid 2. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi
Prier, Karl-Edmund. 1999. Inkulturasi Musik Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi
Prasetyantha, Y.B. (Ed.). 2008. Ekaristi dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiyono, Frans. 2010. Mencintai Liturgi. Yogyakarta: Kanisius
Tanjung, Bahdin Nur & Arial, H. 2005. Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Triswanto, Sugeng. D. 2010. Trik Menulis Skripsi & Menghadapi Presentasi
Bebas Stress. Yogyakarta: Tugu Publisher.
134
Wardhani, Rikalufi W. 2003. Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia Pasca Konsili
Vatikan II. Skripsi. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negri.
Daftar Website
http://m.hidupkatolik.com/index.php/2012/11/14/inkulturasi-tidak-gampang
http://indonesia.ucanews.com/2009/12/21/indonesia-budaya-batak-memperkayagereja-katolik-sumatera/
http://id.wikipedia.org/wiki/Misa
http://m.hidupkatolik.com/index.php/2013/03/05/karl-edmund-prier-sj-tetap-setiamencipta-lagu.
http://Sejarah_Gereja_Katolik_di_Indonesia.htm
http://directory.ucanews.com/country/indonesia/13
http://Agama_di_Indonesia.htm
http://www.reginacaeli.org/index.php?option=com_content&task=view&id=577&
Itemid=1
http://sejarahindonesiasma.wordpress.com/2012/10/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah Gereja Katolik di Indonesia
http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html
http://id.wikipedia.org
http://www.ignatiusloyola.net/2007/10/kongregasi-jendral-ke-35-serikatyesus.html
Wikipedia.Org/Wiki/Agama_di_Indonesia
http://keuskupanbandung.org/main/post/376
http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html
http://xeanexiero.blogspot.com/2007/05/alat-alat-musik-sumatera-utara.html
alansondheim.org
http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis1_kyrie_
VIII.htm
http://et-clamor-meus-ad-te-veniat.blogspot.com/2007/01/gloria-in-excelsisdeo.html
http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis3_sanctu
s_VIII.htm
http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis4_agnus
_VIII.htm
135
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Kornelius Sipayung OFM Cap
Usia
: Tahun
Alamat : Jl Medan Km 6,5 Pematang Siantar
Pekerjaan: Biarawan (Kepala Biara Santo Fransiskus Pematangsiantar)
2. Nama
Usia
: Karolus Sembiring OFM Cap
: 51 Tahun
Alamat : Jl Hayamwuruk No 1 Medan
Pekerjaan: Biarawan (Pastor Paroki Gereja Santo Antonius Hayamwuruk
Medan)
3. Beberapa Frater/Biarawan Kapusin Pematangsiantar Tingkat Akhir
136
LAMPIRAN
A. Transkripsi Keempat NyanyianOrdinarium Batak Toba
A
1
A
2
137
B
B
3
B
B
4
A
5
A’
6
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan : Bentuk
Angka romawi melambangkan : Frasa
138
A
1
A
B
2
C
B
4
3
139
C
5
C
D
6
D
E
7
8
E
9
140
E’
E
10
E’
11
F
E’
12
F
F
13
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan : Bentuk
Angka romawi melambangkan: Frasa
141
F’
F
14
F’
F’
15
F’
G
G
16
G
G
17
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan
: Bentuk Angka romawi melambangkan
142
: Frasa
G
G
18
19
G
H
20
H
H
21
H
I
22
143
I
I’
23
I’
I
24
I
J
K
25
K
K
26
144
K
K
27
K
145
A
1
B
2
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan
Angka romawi melambangkan
A
3
: Bentuk
: Frasa
146
C
4
C
D
5
D
6
C’
E
7
8
C’
F
9
147
C’
10
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan
Angka romawi melambangkan
: Bentuk
: Frasa
148
A
1
A
B
2
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan
Angka romawi melambangkan
3
: Bentuk
: Frasa
149
B
4
A
5
A
B
6
7
B
8
150
A
9
10
B’
11
B’
12
Keterangan:
Huruf kapital melambangkan : Bentuk
Angka romawi melambangkan: Frasa
151
Download