INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM ORDINARIUM PADA PERAYAAN MISA GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAM WURUK MEDAN: ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H CHRISMES ELISABET MANIK NIM: 070707009 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013 INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM ORDINARIUM PADA PERAYAAN MISA GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAM WURUK MEDAN: ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H CHRISMES ELISABET MANIK NIM: 070707009 Pembimbing I Pembimbing II Dra. Rithaony Hutajulu, M.A NIP. 1963 1116 1990 032001 Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. NIP. 1956 082 8198 601 2001 Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Ilmu Etnomusikologi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013 i BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katolik merupakan salah satu agama Kristen yang ada, berkembang, dan diakui keberadaannya di Negara Indonesia. Masuk dan berkembangnya agama ini ke Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku pada abad XV-XVI. Kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku adalah untuk mencari pusat rempah-rempah sehingga Portugis mampu melakukan monopoli perdagangan. Dalam pelayaran itu para rohaniawan juga turut serta untuk pemeliharaan rohani para pelaut, pedagang, dan serdadu-serdadu selama perjalanan. Salah satu rohaniawannya yaitu Santo Fransiskus Xaverius, ia mendatangi pulau Ambon, Halmahera, Molotai dan Ternate pada tahun 15461547. Disana ia memulai karya misi, menyebarkan injil dan membaptis beberapa ribu penduduk menjadi Katolik sehingga menjadi “Tonggak sejarah Katolik” di Indonesia (Boelaars, 2005:61). Diawal perkembangannya di Nusantara, agama Katolik dalam beberapa era1 banyak mengalami kendala karena situasi politik yang tengah ricuh baik dari dalam maupun luar Indonesia. Berbagai tekanan, hukuman mati, dan pengusiran terhadap imam2 Katolik kerap terjadi bila ketahuan mengajarkan agama dan 1 Era VOC (1619-1799), Era Hindia Belanda( 1808-1811), Masa pastor Van Lith (1896-1911), Era Perjuangan Kemerdekaan, dan Era Kemerdekaan. http://sejarahindonesiasma.wordpress.com/2012/10/ 2 Imam adalah pemimpin upacara-upacara gereja atau yang mempersembahkan korban Misa; Paus, Uskup, Pastor. 1 mengadakan misa kudus3. Menjelang era kemerdekaan, agama Katolik di Indonesia mengarah pada perubahan yang positif, karena kebebasan beragama mulai diakui oleh pemerintah. Pada 29 Juni 1967 diangkatlah kardinal4 I Indonesia, kemudian uskup5 Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Tahun 1970 Paus6 Paulus VI berkunjung ke Indonesia, beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II kembali mengunjungi Indonesia; diantaranya kota Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Maumere (Flores) dan Dili (Timor Timur) (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah Gereja Katolik di Indonesia). Sejak berkembangnya agama Katolik di Maluku, agama ini mulai menyebar kedaerah-daerah lain di Nusantara, termasuk ke tanah Batak. Sekitar tahun 1934, tujuh puluh satu tahun setelah Nommensen datang menabur injil di Pearaja Tarutung, agama Katolik masuk ke daerah Tapanuli dibawa oleh pastorpastor muda dan mereka menanam benih-benih Katolik dengan waktu relatif singkat. Karya misi itu terus dilakukan sampai tahun 1942 sewaktu tentara Jepang merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua misionaris7. Sesudah 3 Misa Kudus Perayaan Ekaristi yang dengannya umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus berupa roti dan anggur serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. 4 Kardinal merupakan pejabat senior dalam Gereja Roma Katolik sebagai penasehat Paus, berada dibawah Paus dan dipilih langsung oleh Paus. Tugas utamanya ialah memilih paus baru bila terjadi kekosongan kekuasaan; karena meninggal, sakit, atau pengunduran paus yg cukup lama 5 Uskup merupakan pimpinan agama Katolik yang bertugas mengatur umat yang dipimpinnya dan gereja dalam suatu wilayah keuskupan (sebuah wilayah administratif). Uskup merupkan bagian hierarki dalam Gereja Roma Katolik, setelah Sri Paus, Kardinal, kemudian Uskup. 6 Kepala agama Katolik, yang memiliki otoritas tertinggi Gereja, yang bertahta di Vatikan (Roma) 7 Misionaris merupakan orang yang dikirim ke suatu tempat untuk menyebarkan agama Kristen atau Katolik. Pada tahun 1941 Jepang telah menghancurkan armada kapal Amerika Serikat dengan membom pelabuhan Pearl Harbour, kemudian kekaisaran Jepang menghancurkan Kekaisaran Belanda di tahun 1942 dengan menguasai kepulaan Indonesia dan seluruh kekayaannya. Sehingga 2 penjajahan Jepang dan pergolakan kemerdekaan, para misionaris masih sempat melanjutkan karya misi sehingga agama Katolik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli. Pada awal misinya, para misionaris bergerak dari Balige dalam garis besar bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta di arah barat dan selanjutnya menuju daerah Pakkat dan Parlilitan, 3. Ke Selatan menuju pegunungan di sekitar Rura Silindung. Untuk menghindari konflik dengan gereja Protestan para misionaris sengaja tidak mau langsung ke Tarutung sebagai pusat Protestan. Namun belakangan muncul undang-undang gereja untuk memasuki daerah tersebut, dan para misionarispun menjalankan tugasnya (Kurris, 2006:11). Dengan berkembangnya agama Katolik di tanah Batak dan di berbagai daerah-daerah Nusantara, jumlah orang Katolik pun semakin bertambah. Maka mulailah didirikan: gereja-gereja, seminari menegah8, sekolah pendidikan guru (kweekschool), sekolah-sekolah Katolik, rumah sakit, biara dan lainnya. Semakin berkembangnya gereja Katolik di berbagai daerah, pola tata peribadatan pun mulai menjadi formal. Tata peribadatan Katolik di semua daerah umumnya sama karena mengikuti tata peribadatan pusat dari Vatikan Roma yang terdiri dari: 1) Misa. Misa merupakan suatu ibadat dimana dalam ibadat ini Tubuh dan Darah Kristus yang dilambangkan dalam rupa roti dan anggur menjadi suatu persembahan yang sangat sakral. Perayaan misa hanya dapat misionaris yang berkebangsaan Belanda ditanah air pada masa penjajahan Jepang banyak yang ditahan dan diasingkan ketempat terpencil (Kurris, 2006:123). 8 Sekolah untuk para calon pastor yang setingkat dengan SMA. Seminari Tinggi, sekolah lanjutan dari seminari menengah yang setingkat dengan universitas. 3 dibawakan oleh imam seperti paus, uskup, maupun pastor. Berbeda dengan Ibadat Sabda. Ibadat Sabda merupakan suatu perayaan ibadat yang lebih sederhana dari ibadat misa. Hanya dalam ibadat ini, Tubuh dan Darah Kristus yang dilambangkan dalam rupa roti dan anggur tidak dapat dipersembahkan karena tidak dipimpin oleh imam. Ibadat Sabda ini biasanya dibawakan oleh frater9 maupun kaum awam yang disebut prodiakon10. (Hotma, 2009:2). 2) Office, adalah ibadat Harian yang diselenggarakan hanya di biara-biara dan katedral-katedral setiap harinya. Ada delapan office yang diselenggarakan setiap hari, yakni: matins (sebelum matahari terbit), lauds (terbit matahari), prime (jam 06.00 pagi), terce (jam 09.00), sext (jam 12.00), nones (jam 15.00), vesparae (matahari terbenam), dan compline (sebelum tidur) (Rhoderick, 1998: 17). Perayaan misa umumnya dilakukan pada hari Minggu maupun pada harihari lain yang merupakan perayaan besar dalam gereja. Berhimpun pada hari Minggu untuk merayakan perayaan ekaristi/misa kudus merupakan sebuah kebiasaan orang Kristen yang mengikuti tradisi para rasul yang berpangkal pada hari kebangkitan Kristus sendiri. Tradisi ini menjadi suatu kebiasaan bagi umat Katolik sampai sekarang. 9 Frater adalah seseorang yang masih sekolah di sekolah Pastoral dan dididik untuk menjadi seorang Pastor 10 Prodiakon adalah orang awam yang ditugaskan oleh Uskup untuk membantu menerimakan Tubuh Tuhan (komuni) yang berupa roti dalam Perayaan Ekaristi. 4 Tata peribadatan misa (Cunha, 2012: 19) terbagi dalam empat bagian utama yakni, Ritus11 Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup. Dimana setiap bagian terdiri atas berbagai unsur-unsur, yaitu: 1) Ritus Pembuka, diawali dengan perarakan masuk para petugas liturgi, prodiakon12, misdinar13, serta imam, diiringi dengan nyanyian pembukaan, penandaan tanda salib, salam, kata pengantar, tobat, nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami (Kyrie, ordinarium), madah Kemuliaan (Gloria, ordinarium), dan doa pembuka (colecta). 2) Liturgi Sabda terdiri dari tiga bacaan yang diambil dari Kitab Suci, mazmur tanggapan14, alleluia15 atau bait pengantar injil, homili16, credo/ syahadat, dan doa umat. 3) Liturgi Ekaristi terdiri dari persiapan persembahan, Doa Syukur Agung, dan upacara komuni. 4) Ritus Penutup terdiri dari pengumuman, pemberkatan, pengutusan dan diakhiri dengan perarakan keluar. 11 Ritus merupakan tata cara dalam upacara keagamaan. Umumnya Gereja Roma Katolik mempertahankan ritus dari Tradisi Suci dan Kitab Suci 12 Prodiakon adalah orang awam yang ditugaskan oleh Uskup untuk membantu menerimakan Tubuh Tuhan (komuni) yang berupa roti dalam Perayaan Ekaristi 13 Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar) adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat. 14 Mazmur tanggapan merupakan tanggapan umat atas sabda Allah. Tanggapan ini berupa katakata yang diambil dari kitab Mazmur, yang telah dipilih oleh para ahli liturgi secara seksama. Mazmur umumnya dinyanyikan dengan dua cara yakni, cara responsorial dengan ayat ulangan, artinya pemazmur secara solois menyanyikan ayat ulangan yang dinyanyikan kembali oleh umat dan setiap syair yang dinyanyikan oleh pemazmur direspon umat dengan nyanyian ayat ulangan tersebut. Atau jika tidak dinyanyikan maka mazmur tanggapan dibawakan dengan cara dibaca (lihat Puji Syukur no.801). 15 Alleluia/Bait Pengantar Injil dinyanyikan oleh solis atau kor dan diikuti oleh umat. Nyanyian ini berupa ayat ulangan. Lih buku lagu Puji Syukur No951 dst. 16 Homili (renungan; khotbah; penjelasan tentang kitab suci. 5 Setiap misa yang dirayakan harus berdasarkan tahun liturgi gereja, dimana setiap tahunnya liturgi gereja selalu berbeda-beda. Dalam perayaan misa terdapat bagian-bagian liturgi yang selalu berubah disebut proprium dan terdapat bagian yang tetap disebut ordinarium. Bagian proprium yang berubah sesuai dengan tahun liturgi, disusun dalam cantus planus Gregorian17 yaitu introitus (nyanyian pembukaan), gradual (nyanyian sesudah bacaan kitab suci), alleluia (nyanyian sebelum bacaan injil) atau tractus18, offerterium (lagu persembahan), dan communium (lagu perjamuan). Bagian-bagian yang tidak berubah disebut ordinarium (nyanyian tetap) yaitu: Kyrie eleison (Tuhan Kasihanilah kami), Gloria in excelcis deo (Kemuliaan bagi Allah di surga), Credo (Aku percaya), Sanctus (Kudus), dan Agnus dei (Anak Domba Allah) (Karl-Edmund 1999: 94). Sejak beberapa abad lamanya baik proprium maupun ordinarium nyanyian ini disusun dalam bentuk Gregorian chant yang menjadi bentuk musik sakral/suci yang selalu digunakan dalam gereja Roma Katolik. Bentuk musik Gregorian chant terdiri dari delapan modus gerejawi, dimana setiap lagu disusun dari salah satu modus gerejawi tertentu. Modus 1, 3, 5, dan 7 merupakan modus-modus asli yang sering disebut Doria, Frigia, Lidia, dan Miksolidia. Modus 2, 4, 6, dan 8 adalah versi plagal dari modus-modus asli. Hubungan antara teks dengan musik dalam Gregorian chant, memperlihatkan melisma-melisma panjang yang menggunakan 10-20 nada dalam satu suku kata (Rhoderik, 2002:18). Namun bentuk Gregorian chant ini cukup sulit dinyanyikan, hanya dinyanyikan oleh 17 Cantus Planus Gregorian adalah suatu tradisi musik gerejawi yang sangat tinggi sifatnya, mulamula muncul pada abad pertengahan dimana pada masa itu musik gregorian adalah musik yang tinggi dalam gereja (Rhoderick J. McNeill, dalam “Sejarah musik 1”. 1994. Hlm 17) 18 Tractus adalah nyanyian Alleluia sebelum pembacaan Injil. Tractus ini dipakai selama Masa Prapaskah, atau sequentia digunakan selama hari-hari raya tertentu dan Masa Paskah. 6 kelompok penyanyi khusus (schola cantorum)19 dan bukan oleh umat. Sementara dalam liturgi, partisipasi umat terhadap perayaan misa merupakan bagian pokok yang tak boleh diabaikan. Sehingga pada saat itu umat hanya terlibat secara pasif dalam perayaan misa. Semenjak para uskup bersinode20 dan membentuk rapat pada tahun 19621965, yang melahirkan dokumen-dokumen yang dikenal dengan Konsili Vatikan II21, terjadi pembaruan yang segar pada gereja. Salah satu hasilnya ialah gereja mulai terbuka terhadap tradisi-tradisi dan budaya-budaya lokal. Hal ini disadari karena gereja berdiri di berbagai daerah, suku, dan bangsa sehingga perlu adanya keterbukaan terhadap nilai kekayaan budaya dan tradisi dari daerah, suku dan bangsa tersebut. Sejauh unsur-unsur dari kebudayaan itu tidak bertolak belakang dengan ajaran pokok agama Katolik. Adanya hubungan antara agama dan kebudayaan dirasakan gereja sebagai cerminan dan proses terbentuknya interaksi budaya manusia sehingga terciptalah keselarasan, dan ini dipandang menjadi awal dari tahap proses inkulturasi. Tujuan dari inkulturasi itu sendiri ialah untuk membawa umat agar dapat mengungkapkan perayaan liturgi gereja dalam tata cara dan suasana yang selaras dengan budaya umat yang beribadat sehingga umat dapat terlibat dan aktif di dalamnya. 19 Schola Cantorum merupakan suatu kelompok penyanyi dan guru musik yang resmi, yang didirikan pada abad ke-8 atau dapat dikatakan sekolah Paduan Suara. (McNeill:2002, 15) 20 Sinode adalah sidang atau rapat antara pemimpin-pemimpin agama Kristen. 21 Konsili Ekumenis Vatikan Kedua atau Vatikan II (1962-1965), adalah sebuah Konsili Ekumenis ke-21 dari Gereja Katolik Roma yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1965. Pembukaan Konsili ini dihadiri oleh hingga 2540 orang uskup Gereja Katolik Roma sedunia (atau juga disebut para Bapa Konsili), 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan para undangan yang bukan Katolik. 7 Hal ini khususnya sangat dirasakan di Indonesia sebagai bangsa yang beradat-istiadat juga kaya akan tradisi dan kebudayaan. Inkulturasi mendapatkan tempat dan bentuknya dalam gereja, baik dari bahasa, bangunan gereja, pakaian, dan musik liturgi. Dalam musik liturgi misalnya pemakaian bahasa lagu-lagu liturgi baik ordinarium maupun proprium dengan menggunakan bahasa Indonesia maupun lokal/daerah. Usaha-usaha pengembangan inkulturasi musik liturgi di berbagai daerah di Indonesia terus dikembangkan oleh berbagai pihak bahkan sebelum Konsili Vatikan II antara lain di Flores Barat (Manggarai) oleh Mgr. (dibaca: Monsinyur) Van Bekkum, SVD dengan mengumpulkan para pemusik untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Di Timor, Nusa Tenggara Timur oleh Pastor Vincent Lechovic, SVD yang melakukan hal serupa dengan menerbitkan buku “Tsi Taneb Uis Neno” lagu-lagu berbahasa Dawan, kemudian di Jawa Tengah uskup pribumi I Semarang, Mgr A. Soegijapranata, SJ menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang dipakai dalam dan diluar perayaan liturgi. Setelah Konsili Vatikan II perkembangan inkulturasi musik liturgi semakin didorong dan dikembangkan dari berbagai pihak, salah satunya melalui PML (Pusat Musik Liturgi) di Yogyakarta yang dibentuk oleh Romo22 KarlEdmun Prier, SJ dan Bapak Paul Widyawan (http://juntim- juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html). Inkulturasi dalam Gereja Katolik di Sumatera Utara, terus diusahakan dan didukung, baik oleh gereja maupun berbagai pihak-pihak lainnya. Uskup Agung Alfred Gonti Pius Datubara (mantan uskup Keuskupan Agung Medan), 22 Romo sebutan untuk seorang Imam dalam gereja Katolik yang umum dipanggil di Pulau Jawa, yang sama dengan Pastor. Kata Pastor berasal dari bahasa Latin artinya gembala, pemimpin umat. Sedangkan Romo dari bahasa Jawa artinya Bapa. 8 mengatakan dalam khotbahnya, “Gereja mesti terus melestarikan budaya yang sesuai dengan nilai injil, hal ini sesuai dengan ajaran agama Katolik. Tarian Tortor dan musik Gondang merupakan warisan budaya Batak Toba, berasal dari Tuhan yang dipakai sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan”. Sama halnya dengan Uskup Agung Anicetus. B. Sinaga (selaku uskup Keagungan Medan saat ini) mengatakan, “Sejak awal kekayaan warisan budaya Batak telah banyak membentuk liturgi gereja Katolik di Sumatera Utara, dan telah memberi warna penuh terhadap kehidupan rohani umat”. Dalam hal ini, gereja Katolik sudah menekankan pada inkulturasi dan inilah yang akan dilanjutkan. Melihat hal ini inkulturasi dirasakan berpengaruh terhadap liturgi dan bahkan membawa perubahan terhadap banyak gereja-gereja di Sumatera Utara, termasuk di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk, Medan. Keanekaragaman umatnya yang terdiri dari berbagai suku dan golongan tentunya mempengaruhi pandangan gereja terhadap musik liturgi didalamnya. Penulis melihat di setiap perayaan Misa Gereja Santo Antonius Hayam Wuruk Medan, bagian ordinarium yang seringkali digunakan ialah menggunakan ordinarium musik lokal dibanding dengan Gregorian chant, meskipun beberapa kali penulis melihat adanya penggunaan ordinarium Gregorian chant. Ordinarium musik lokal yang umum digunakan dalam perayaan misa antar lain: ordinarium Misa Dolo-dolo dengan bernuansa Flores, ordinarium Misa Senja dengan bernuansa Timor, ordinarium Misa Keuskupan Agung Medan dengan bernuansa Batak Toba, dan ordinarium Misa Syukur dengan bernuansa Flores. Dari semua ordinarium yang memasukkan unsur musik tradisi, penulis melihat hal yang berbeda dan 9 terlihat istimewa dalam perayaan misa yang menggunakan ordinarium dengan gaya Batak Toba. Beberapa kali dalam perayaan besar gereja, penulis melihat ordinarium ini diiringi dengan ansambel gondang hasapi. Dalam setiap perayaan misa selalu diiringi dengan alat musik organ, namun kebanyakan pada perayaan besar gereja penulis melihat penggunaan ansambel gondang digunakan untuk lebih memeriahkan perayaan. Melalui musik liturgi ini penulis melihat gereja terbuka menerima dan mengadaptasi unsur-unsur tradisi, adat, maupun budaya dari masyarakat setempat. Merriam (1964:7) dalam bukunya The Antropology of Music mendefinisikan Etnomusikologi sebagai studi musik didalam kebudayaan. Etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan musik-musik yang masih hidup termasuk di dalamnya instrument-instrumen dan tari yang terdapat di dalam tradisi lisan. Sehingga menjadi subyek dan sasaran utama dalam penelitian Etnomusikologi. Dengan melihat hal ini usaha memasukkan unsur-unsur musik dari budaya setempat kedalam perayaan misa gereja Katolik yang dikenal dengan inkulturasi merupakan salah satu kajian yang sesuai dengan Etnomusikologi. Dengan melihat kekhasan gereja Katolik yang terbuka terhadap kearifan lokal, tradisi, serta budaya, penulis berusaha mengungkapkan proses serta hasil inkulturasi musik liturgi yang menggunakan unsur-unsur musik tradisi Batak Toba dalam perayaan misa. Dengan cara mengkaji struktur melodis dan tekstual dalam keempat nyanyian ordinarium bernuansa Batak Toba dalam Gereja Katolik Santo Antonius. Dan dengan alasan di atas penulis berkeinginan membuat tulisan ilmiah dengan judul: INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM 10 ORDINARIUM PADA PERAYAAN MISA GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAMWURUK MEDAN: ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL. 1.2 Pokok Permasalahan Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan masalah yaitu: 1. Bagaimana bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa gereja Katolik? 2. Bagaimana bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa gereja Katolik Hayam-wuruk Medan yang mengalami inkulturasi dalam musik Batak Toba dengan menganalisis struktur musikal dan tekstualnya. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Di dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan dan manfaat yang ingin penulis capai, disesuaikan dengan latar belakang serta pokok permasalahan yang sudah ada. Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan inkulturasi ordinarium yang bernuansa Batak Toba pada perayaan misa Gereja Katolik Hayam-wuruk Medan. 2. Untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi setelah adanya inkulturasi. 3. Untuk mendeskripsikan jalannya tata ibadat perayaan Misa Gereja Katolik Santo Antonius Medan. 11 1.3.2 Manfaat Penelitian Terdapat beberapa manfaat yang penting dari penelitian ini: 1. Memperluas wacana dan pengetahuan tentang tata peribadatan, liturgi, dan musik liturgi dalam Gereja Katolik. Sehingga membawa pengembangan pemahaman tentang musik Gereja khususnya bagi umat Katolik di Santo Antonius Medan. 2. Melihat proses perkembangan inkulturasi sebagai usaha Gereja setelah Konsili Vatikan II. 3. Menambah kajian maupun referensi tentang inkulturasi musik liturgi khususnya bagi Etnomusikologi maupun bagi kaum awam. 1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret ( Badudu-Zain: 1996). Dalam proposal ini, konsep yang akan penulis uraikan terdiri dari: (a)Ordinarium, (b) Misa /Ekaristi (c) Inkulturasi, dan (d) Liturgi. Berikut, penulis akan membuat pengertiannya: a Ordinarium adalah nyanyian tetap, artinya dalam misa bagian ini harus dinyanyikan. Ordinarium merupakan nyanyian ibadat yang hanya dapat dinyanyikan saat misa tidak demikian dalam perayaan ibadadat Sabda. Nyanyian ini terdiri dari: Kyrie eleison (Tuhan kasihanilah Kami), Gloria in exelcis Deo (Kemuliaan bagi Allah di surga), Credo (Aku percaya), Sanctus (Kudus), dan Agnus Dei (Anak Domba Allah). Namun terdapat 12 pula bagian nyanyian yang selalu berubah yakni proprium. Bagian proprium ini berubah sesuai dengan kalender tahun Liturgi Gereja. Nyanyian ini terdiri atas: introitus (nyanyian pembukaan), gradual (nyanyian sesudah bacaan kitab suci), offertorium (lagu persembahan), communion (lagu perjamuan) (Karl-Edmund Prier SJ: 1999). b Misa kudus/Ekaristi merupakan perayaan kurban dimana umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus dalam bentuk roti dan anggur23 serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Hanya imam saja yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Ekaristi dipandang sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi/Misa dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya (http://id.wikipedia.org). c Inkulturasi. Istilah inkulturasi berasal dari diskusi teologis pada bidang Misiologi. Sebagai istilah, inkulturasi ini digunakan dalam Kongregasi Jendral Yesuit24 pada tahun 1974/1975 dan secara resmi digunakan pertama kalinya dalam dokumen resmi pada tahun 1977 ketika ada sinode para uskup. Paus Yohanes Paulus II sudah terbiasa menggunakan istilah 23 Roti bundar kecil disebut hosti, yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi. Anggur yang harus terbuat dari buah anggur. Roti dan anggur inilah yang digunakan dalam ritus Ekaristi. 24 Sebuah pertemuan besar dimana perwakilan Jesuit (imam Katolik) dari seluruh dunia akan hadir untuk membahas agenda-agenda penting (http://www.ignatiusloyola.net/2007/10/kongregasijendral-ke-35-serikat-yesus.html). 13 inkulturasi ini25. Inkulturasi biasanya mengarah pada kontekstualisasi atau pempribumian. Kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara. Paus Yohanes Paulus II menunjuk makna inkulturasi secara mendalam dengan berkata: “Inkulturasi berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia” (Redemptoris Misio no.52). Hal inilah yang membuat Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang arti pluralisme gereja dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia, penyesuaian menjadi pusat perhatian dalam dunia modern ini. Tentunya hal ini bukan sekedar basa-basi saja, namun bertujuan supaya iman sungguh berakar dan meresapi sebuah kehidupan orang perorangan dan masyarakat, maka iman itu sedapatnya harus menyatu dengan kebudayaan supaya dapat diekspresikan selaras dengannya. Konsili Vatikan II menegaskan, gereja Katolik tidak menolak apa yang baik dan berguna pada agama. Tidak menjauhi namun diajak agar umat Katolik familiar dan dekat kepada tradisi religius serta kebudayaan setempat, inilah salah satu usaha ke arah inkulturasi. 25 Diberbagai dokumennya seperti dalam Ensiklik Slavorum Apostoli, Anjuran Apostolik Catechesi Trandendae dan Ensiklik Redemptoris Missio (RM). 14 d Liturgi. Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani, leitourgia. Secara harafiah kata ini berarti suatu karya yang dibaktikan kepada bangsa. Dalam perkembangannya, ketika kata ini diadopsi oleh bangsa-bangsa lain, kata leitourgia memiliki arti yang lebih luas, yaitu pelayanan ibadat. Dalam Kitab Suci, kata leitourgia berarti pelayanan imam, namun berkembang dan digunakan untuk menggambarkan makna keimaman Yesus. Imamat Yesus merupakan pelayanan yang sangat agung. Dalam perkembangan sejarah gereja, kata liturgi digunakan untuk menunjukkan aktivitas ibadat atau doa Kristiani. Di sini istilah liturgi sudah mulai dibatasi, hanya mencakup perayaan ibadat yang dilakukan oleh imam baik paus, uskup dan pastor. Di kalangan umat, liturgi biasa dipahami sebagai upacara atau upacara publik gereja. Dalam hal ini berbicara mengenai liturgi adalah tentang urutan upacara, para petugas, peralatan yang harus ada, dan sebagainya. e Analisis struktur musikal dan tekstual. Malm mengemukakan bahwa setiap susunan bunyi, dapat dianggap dan dipelajari sebagai musik, bila susunan bunyi tersebut merupakan kombinasi antara elemen-elemen nada, ritem, dan dinamika. Ditinjau dari pendapat Malm, maka ke empat nyanyian tetap/ordinarium ini dapat dianggap musik karena didalamnya terdapat elemen-elemen musik. Sedangkan tekstual adalah hal-hal yang berkaitan dengan kata-kata yang terdapat pada musik. Merriam mengatakan bahwa teks merupakan bagian integral dari musik. Teks dapat menggambarkan perilaku manusia, dan teks juga merupakan 15 perilaku bahasa, tetapi bahasa yang digunakan pada musik berbeda dengan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Berkenaan dengan pendapat Malm, maka analisis tekstual pada nyanyian ordinarium adalah dengan menterjemahkan teks nyanyian ordinarium dari bahasa Latin ke bahasa Indonesia, serta mengungkap makna yang terkandung didalamnya. 1.4.2 Teori Teori merupakan alat yang terpenting dalam ilmu pengetahuan. Tanpa ada teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuaan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan antara lain: 1. Untuk melihat Sistem upacara keagamaan, maka penulis menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2002:377) secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah: (i)tempat upacara keagamaan dilakukan; (ii)saatsaat upacara keagamaan dijalankan; (iii) benda-benda dan alat upacara; (iv) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid, dan sebagainya. Aspek kedua adalah aspek mengenai saat-saat beribadah, hari- 16 hari keramat dan suci, dan sebagianya. Aspek ketiga adalah tentang bendabenda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta, biksu, syaman, dukun, dan lain-lain. Upacara-upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu(i) bersaji; (ii) berkorban; (iii) berdoa; (iv) makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa; (v) menari tarian suci; (vi)menyanyi nyanyian suci; (vii) berprosesi atau berpawai; (viii) memainkan seni drama suci; (ix) berpuasa; (x) intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk; (xi) bertapa; (xii) bersemedi. 2. Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Seperti yang dikemukakan oleh W.P Malm (1977:9). “Bila suatu not dipakai untuk masing-masing suku kata dari teks nyanyian tersebut disebut dengan silabis, dan jika suatu suku kata mempunyai beberapa buah not disebut dengan melismatis”. Dalam hal ini penulis juga membahas makna yang terkandung di dalamnya serta keterkaitan antara teks dan musik. Pendekatan teori yang penulis gunakan dalam mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks ordinarium ini menggunakan teori Semantik. Semantik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu: semantikos yang berarti ‘Memberikan tanda’ dan berasal dari kata sema yang berarti ‘tanda’. 17 Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pembelajaran tentang makna. 3. Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dalam musik liturgi khususnya dalam ordinarium setelah adanya proses inkulturasi penulis menggunakan teori dari Alan P Merriam (1964:303). Dalam tulisannya tentang Music and Culture is Dynamic di buku The Antropology of Music yang mengatakan “Culture change begins with the processes of innovation. Type of innovation is variation, invention, tentation, dan culture borrowing”. Alan P Merriam mengemukakan bahwa perubahan bisa berasal dari lingkungan kebudayaan internal, dan juga bisa berasal dari luar kebudayaan eksternal. Perubahan yang timbul dari dalam dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, disebut dengan inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan sebuah tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus menerus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi lain dan perubahan yang terjadi tidak dapat dielakkan. (1964: 305). 18 4. Teori Tangga nada (weighted scale) yang harus diperhatikan dalam menganalisis melodi, penulis mengacu pada teori Malm, (1977:7-9) yaitu ada delapan unsur melodi yang dapat digunakan untuk menganalisis, seperti: (1) tangga nada; (2) nada dasar; (3) wilayah nada; (4) jumlah nadanada; (5) jumlah interval; (6) pola-pola kadensa; (7) formula-formula melodik; (8) kontur. Analisis musik yang dilakukan adalah pada ke empat nyanyian ordinarium Batak Toba yaitu: Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan bagi Allah, Kudus, dan Anak Domba Allah. Sedangkan Aku percaya (credo), termasuk dalam ordinarium, tidak dibahas dan dianalisis karena bagian ini sangat sering dilafalkan saja. 1.5 Metode Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan informasi dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yatu rasional, empiris, dan sistematis. Kata metode secara harafiah dapat diartikan sebagai cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Ada juga yang mengatakan metode dalam penelitian sebagai alat dalam melakukan penelitian, yaitu dari pengumpulan data, penganalisisan data sampai dengan menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian (Triswanto, 2010:15). Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode yang sesuai terhadap permasalahan yang dikaji yaitu, metode kualitatif yaitu metode penelitian yang biasanya memerlukan data kata-kata tertulis, peristiwa, dan 19 perilaku yang dapat diamati. Kelebihan metode kualitatif adalah mempunyai fleksibilitas yang tingi bagi peneliti ketika menentukan langkah-langkah penelitian (Alwasilah, 2003:97). Kecenderungan Etnomusikologi menggunakan metode penelitian kualitatif karena motede atau cara kerja keilmuan yang menekankan pada makna budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat. Penelitian kualitatif digunakan untuk memepelajari karakteristik yang diteliti, baik orang maupun kelompok sehingga keberlakuan hasil penelitian tersebut hanya untuk orang atau kelompok yang sedang diteliti tersebut. Metode Observasi. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, obserasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur. Dalam hal ini penulis menggunakan metode Observasi Partisipasi. Metode ini adalah pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data-data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan di mana peneliti terlibat didalamnya. Selain itu penelitian ini menggunakan metode deskriptif serta metode perbandingan (comparative method). Metode perbandingan merupakan metode yang digunakan pada awal penyelidikan sebelum sasaran yang dibandingkan dapat dimengerti. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan imajinatif namun memiliki informasi yang akurat (Hood, 1995). Sedangkan metode deskriptif adalah metode yang menggambarkan sebuah peristiwa, benda, dan keadaan dengan sejelas-jelasnya tanpa memengaruhi objek yang ditelitinya (Sugeng D Triswanto, 2010: 17). 20 1.5.1 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988:111). Dalam hal ini penulis mendapatkan data-data yang terdapat pada buku antara lain: Sejarah Musik 1 oleh Rhoderick J.McNeill, Sejarah musik oleh Karl Edmund Prier dan Dieter Mack, The Antropology of Music oleh Alan P Merriam, Etnomusikologi oleh Alan P Merriam yang diterjemahkan oleh Sentosa dan Rizaldi Siagian dengan editor R. Supanggah, Teknik Menulis Karya Ilmiah oleh Bambang Dwiloka dan Rati Riana, Trik Menulis Skripsi dan Menghadapi Presentasi oleh Sugeng D. Triswanto, Prosedur Penelitian oleh Suharsimi Arikunto, Analisis Data Penelitian Kualitatif oleh B. Bungin dan lainnya. Selain buku tersebut penulis mencari sumber lain berupa buku yang sangat berkaitan dengan pokok pembahasan yaitu, Inkulturasi Musik Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ, Mencintai Liturgi oleh Frans Sugiyono, Pedoman Umum Misale Romanum oleh Komisi Liturgi KWI, Ekaristi oleh Bosco da Cunha, Gereja Katolik memasuki Tapanuli oleh R. Kurris, Puji Syukur Nyanyian Doa dan Gerejawi oleh Komisi Liturgi KWI, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia oleh Huub. J.W.M Boelaars. Selain buku-buku penulis juga mencari data dalam skripsi-skripsi yaitu, Fungsi dan Peranan Gondang dalam Penerimaan Sakramen Krisma di Gereja Katolik Santo Diego Martoba Paroki Pasar Merah Medan; Sebuah Kajian Deskriptif oleh Hotma Uli Manalu. Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia Pasca 21 Konsili Vatikan II oleh Rikalufi W. Wardhani. Pengaruh Konsili Vatikan II terhadap Inkulturasi Musik Liturgi dalam Ofisi di Biara Ordo Kapusin Santo Fransiskus Asisi Pematang Siantar oleh Dussel S. Banjarnahor. Dan beberapa artikel-artikel yang representatif dari website seperti, blogspot.com, ucanews.com, wikipedia.org, majalahhidupkatolik.com, dan www.reginacaeli.org. 1.5.2 Pengumpulan Data di Lapangan 1.5.2.1 Observasi Observasi disebut pengamatan atau peninjauan secara cermat. Pengamatan adalah pemusatan perhatian terhadap sebuah objek dengan menggunakan semua kemampuan pancaindera (Arikunto, 1998:164). Biasanya observasi dapat dilakukan dengan cara melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasakan. Observasi yang dilakukan penulis ialah observasi partisipasi. Selama melakukan pengumpulan data dilapangan penulis melakukan pengamatan setiap hari Minggu dengan ikut merayakan perayaan misa di Gereja Santo Antonius. Beberapa kali penulis berusaha untuk datang lebih awal untuk melihat situasi dan keadaan disekitar gereja. Observasi awal yang dilakukan penulis yaitu memfokuskan pada tata peribadatan/runtutan perayaan misa, para petugas liturgi, misdinar (remaja putra atau putri yang melayani imam dalam upacara gereja Katolik; pelayanan misa), imam, dan perayaan liturgi yang dirayakan. Selama perayaan ibadat, penulis mulai memperhatikan setiap bagian dari lagu ordinarium, baik pada perayaan misa pertama (07.00- 09.00), misa kedua (pukul 09.00-11.00) maupun pada misa Sore (pukul 17.00-19.00). Dan disetiap perayaan misa penulis 22 membawa kertas acara tata ibadat misa sebagai bahan dan data yang mendukung penulisan ini. 1.5.2.2 Wawancara Wawancara adalah tanya-jawab dengan seseorang untuk mendapatkan keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah. Seperti percakapan biasa, wawancara adalah pertukaran informasi, opini, atau pengalaman dari satu narasumber dan pewawancara. Sebagai narasumber dari penelitian ini penulis memilih pastor paroki sebagai narasumber yang paling representative sekaligus pimpinan gereja yang tertinggi di Gereja Santo Antonius. Penulis juga mewawancarai beberapa pastor yang pernah memimpin misa di Hayam Wuruk, pengurus Gereja, dan umat yang beribadat di Gereja tersebut. Sehingga hasil dari wawancara ini dapat mendukung dan memperkuat penulisan skripsi ini. 1.5.2.3. Rekaman Pada pelaksanaan kegiatan penelitian ini, penulis menggunakan satu unit kamera digital Fuji dan satu unit alat rekam video Handycam Sony. Dalam pelaksanaan ini penulis merekam lagu-lagu ordinarium Batak Toba, kemudian mengdokumentasikan dalam bentuk foto instrument musik yang dipergunakan dalam mengiringi lagu ordinarium tersebut. Penulis juga mendokumentasikan para penyanyi, dan pemain musiknya. Pengambilan data dengan rekaman ini dilakukan penulis dengan merekonstrusi kembali ordinarium Batak Toba yang dilakukan oleh kaum Biarawan di Biara Kapusin Jalan Medan Pematang Siantar pada tanggal 20 Desember 2011. 23 1.5.3 Analisis Data di Laboratorium Keseluruhan hasil wawancara dan rekaman audio visual yang diperoleh dari penelitian di lapangan, kemudian diolah dalam kerja laboratorium. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk transkripsi nada dari lagu serta penganalisaan teksnya. Penulis akan melihat perbandingan ordinarium Gregorian Chant dan ordinarium Batak Toba terutama pada pola melodis dan tekstualnya. 1.6 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di Gereja Katolik Santo Antonius dari Padua, Jalan Hayam Wuruk No 1. Lokasi gereja ini terletak di Kelurahan Petisah Hulu, Kecamatan Medan Baru (20153) Medan, Sumatera Utara. Gereja Santo Antonius ini merupakan gereja paroki, yang dipimpin oleh Pastor Paroki Carolus Sembiring O.F.M Cap, dibawah Keuskupan Agung Medan yang dipimpin oleh Uskup Agung Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M Cap. Penulis melihat beberapa keistimewaan pada Gereja Santo Antonius ini diantaranya, kuantitas perayaan misa pada hari Minggu yang diadakan sebanyak tiga kali. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk memang merupakan gereja paroki, artinya pusat gereja dari suatu wilayah tertentu, namun perayaan misa yang dilakukan adalah yang paling banyak jadwal ibadatnya dibandingkan dengan dibeberapa paroki lain di daerah Medan. Selain hari Minggu, hari Sabtu sore perayaan misa juga berlangsung di Gereja Santo Antonius. Dari sini terlihat bahwa jumlah umatnya lebih besar dari beberapa paroki lainnya di Medan. Selain itu keragaman umat dalam gereja ini nampak terlihat. Terdapat beberapa etnisetnis di Sumatera Utara menjadi umat dan ikut merayakan misa di Gereja Santo 24 Antonius. Penulis juga melihat bahwa perhatian gereja terhadap tradisi dan budaya setempat sungguh diapresiasi dengan semangat melakukan beberapa usaha-usaha inkulturasi disetiap perayaan besar gereja. Dengan beberapa alasan inilah penulis tertarik untuk membuat tulisan karya ilmiah dan melakukan penelitian. 25 BAB II SEJARAH GEREJA KATOLIK INDONESIA DAN TATA PERIBADATAN 2.1 Sejarah Gereja Katolik di Indonesia Awal karya misi Katolik di Nusantara dimulai sejak pertengahan abad VII26, dimana di pantai barat Sumatera Utara sudah terdapat pemeluk Kristen. Pada abad XIII dan XIV beberapa misionaris Fransiskan27 singgah di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan ketika berlayar menuju Cina. Namun penyebaran misinya tidak bertahan lama. Kemudian pada tahun 151128 Portugis singgah di Malaka dibawah pimpinan Vasco da Gamma. Portugis menaklukan Malaka, daerah Goa dan tempat-tempat lain serta melakukan monopoli perdagangan. Dari Malaka mereka bertolak melakukan pelayaran ke tempat asal rempah-rempah ke daerah Timur. Selama dalam perjalanan pelayaran para kaum rohaniawan juga turut serta untuk pemeliharaan rohani para pelaut, pedagang, serta serdadu-serdadu. Tahun 1512 kapal Portugis berlayar di Pulau Banda Maluku. Para pedagang Portugis berhasil melakukan perdagangan dengan baik dengan masyarakat Maluku, dan kaum rohaniawan juga turut menyebarkan misi di daerah ini. Namun situasi 26 Sumber KWI (Konfrensi Wali gereja Indonesia), yang ditegaskan kembali dengan fakta dari Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita- berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”, yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Berdasarkan berita dari Abu Salih al-Armini dapat diambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di pantai Barat Sumatera Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria 27 Biarawan atau biarawati dalam Gereja Katolik yang menggabungkan diri pada Lembaga Hidup Bakti (tarekat), yang didirikan oleh pendiri tarekatnya. Ordo Fransiskan pendiri tarekatnya yakni Fransiskus, sehingga cara hidup kaum biarawan mengikuti jejaknya. 28 Kedatangan Portugis merupakan “semangat menjelajah” dunia yang tumbuh di Eropa pasca ditemukannya benua Amerika oleh Coloumbus dan Amerigo Vespuci serta perang Salib di Eropa yang mengarah pada konflik terhadap Spanyol dan Portugis yang menghasilkan Perjanjian Saragosa 26 keagamaan di Maluku saat itu sedang rumit. Pulau Tidore dan Ternate hampir seluruhnya menganut agama Islam dibawah pimpinan masing-masing sultannya. Sementara di pulau-pulau lain seperti Ambon, Seram, Buru dan lain-lain masih menganut kepercayaan para leluhur mereka. Walaupun situasi sedang rumit, ternyata ada seorang Kepala Kampung yang disebut mamoia atau mamuia datang dan mau dibaptis. Awalnya mamuia ini hanya meminta bantuan dan perlindungan kepada kaum missioner karena sering diganggu oleh kampung disekitarnya. Dia kemudian dibantu dan dilindungi di tempat kaum missioner dan diterima dengan baik. Selama dalam perlindungan dia melihat kehidupan para missioner, dia tertarik dan berkeinginan untuk dibaptis. Setelah dia menyatakan diri menjadi Katolik, orang-orang kampungnya pun ikut dibaptis. Namun ancaman tetap ada dari luar daerah kampung sekitar yang berakhir dengan terjadinya pembunuhan terhadap seorang misionaris Simon Vaz. Karya misi ini kemudian dilanjutkan oleh Santo Fransiskus Xaverius yang datang mengunjungi kepulauan Maluku: Ambon, Ternate, Halmahera, dan Molotai pada tahun 1546-1547. Fransiskus banyak memberikan perhatian kepada kaum kecil di Maluku, membuka sekolah-sekolah bagi kaum pribumi sehingga banyak penduduk kampung menaruh perhatian, peduli, dan mulai santun padanya. Dari sinilah banyak penduduk yang berkeinginan untuk dibaptis oleh Santo Fransiskus Xaverius. Karya Fransiskus ini kemudian dilanjutkan oleh sejumlah missioner lain. Menjelang akhir abad XVI terdapat sekitar 30.000 umat katolik diantara jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 150.000 di Maluku. Itulah 27 sebabnya sejarah mengatakan permulaan Katolik di Indonesia dibawah bendera Portugis di Maluku (Boelaars, 2005: 61). Penguasaan VOC di sejumlah wilayah Nusantara memperburuk karya misi. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Beberapa kebijakan dibuat oleh VOC untuk membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Daerah yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara telah berubah sehingga mayoritas agamanya adalah Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Perancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda (Wikipedia.Org/Wiki/Agama_di_Indonesia). Pada tahun 1806 Raja Louis Napoleon29 mengumumkan undang-undang kebebasan beragama di Negeri Belanda. Berkenaan dengan ini Gereja Katolik di Nusantara pun dapat berkembang lagi. Batavia dijadikan sebagai pusat misi dan pada tahun 1807 dibentuklah Prefektur Apostolik30 Batavia yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua imam praja31 dari Belanda tiba pada tahun 1808 sebagai misionaris pertama yang kemudian disusul oleh sejumlah imam praja lainnya. Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi 29 Pangeran Prancis yang dijadikan Raja Negeri Belanda Prefektur apostolik adalah daerah misi di mana Gereja Katolik belum berkembang 31 “Imam praja” adalah sebutan lain untuk “Imam diosesan”. Imam diosesan adalah Imam yang karena tahbisannya di-inkardinasikan (mengikatkan diri) pada Dioses atau Keuskupan tertentu seumur hidup. Imam diosesan disebut pula imam keuskupan. 30 28 Vikariat Apostolik32. Sementara jumlah imam praja semakin berkurang, para imam Jesuit33 pun (Serikat Jesuit) terus berdatangan sejak tahun 1859. Pada akhir abad XIX tanggung jawab evangelisasi/ penginjilan di Nusantara secara kanonik/menurut Undang-undang gereja dialihkan dari para imam praja kepada para imam Jesuit . Di awal abad XX tampak semakin jelas bahwa satu vikariat apostolik Batavia, yang mencakup seluruh Nusantara, terlampau luas. Wilayah dan tanggung jawab terhadap wilayah ini perlu dibagi-bagi. Sejak tahun 1902 beberapa daerah sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia ke dalam beberapa wilayah independen (vikariat apostolik maupun prefektur apostolik), yaitu Maluku dan Irian (1902), Kalimantan (1905), Sumatera (1911), Nusa Tenggara (1913/14), Sulawesi (1919). Vikariat Apostolik Batavia hanya meliputi Jawa saja (http://keuskupanbandung.org/main/post/376). Untuk menjaga perkembangan dan kepentingan bersama maka para waligereja membentuk suatu perwakilan tetap di Batavia pada tahun 1924. Inilah cikal bakal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Kantor Waligereja (Kawali). Pada tahun 1925 diadakan konferensi para waligereja I. Pembagian wilayah terus berlanjut hingga seluruh Nusantara terbagi dalam wilayah-wilayah misi yang ditangani oleh sejumlah serikat religius (SJ, MSC, OFMCap, SVD, SCJ, 32 Vikariat apostolik adalah bentuk yurisdiksi teritorial Gereja Katolik di daerah yang belum dibentuk keuskupan. status wilayah yang lebih berkembang dibandingkan dengan status prefektur apostolik tetapi masih di bawah status keuskupan. 33 Imam Jesuit adalah anggota Serikat Yesus, yaitu sebuah ordo religious dalam Gereja Katolik yang beranggotakan sekitar 19 ribu orang (laki-laki) yang tersebar di 6 benua dan 124 negara di berbagai penjuru dunia. Anggota Serikat Yesus ini terdiri dari para imam, bruder ataupun skolastik (frater) yang sedang belajar dalam proses pendidikan imam. 29 SSCC, OCarm, CM, OSC, OFM, MSF). Pada tahun 1932 terdapat sekitar 300 ribu umat Katolik. 2.1.1 Sejarah Gereja Katolik di Jawa Misi Katolik di Jawa berpusat di Muntilan, Jawa Tengah. Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ dan Petrus Hoevenaars yang datang pada bulan Oktober tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba empat orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono. Romo Van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool (1900) dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) tahun1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah mantan siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun kemudian, pada 1905 Paus Pius X membentuk Prefektur Apostolik Kalimantan 30 dan pelayanannya diserahkan kepada Ordo Kapusin (OFMCap). Sumatera menjadi Prefektur Apostolik pada tahun 1911 dan diserahkan kepada Ordo Kapusin juga. Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil didirikan pada 1913 dan diserahkan kepada Serikat Sabda Allah (SVD). Prefektur Apostolik Celebes berdiri pada tahun 1919 dan diserahkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC). Selanjutnya di Jawa sendiri perkembangan besar terjadi dengan pembagian tugas baru. Pada 1923 imam-imam Ordo Karmel (O.Carm) diberi tugas membina daerah misi Malang, Prefektur Apostolik didirikan pada tahun 1927 di Malang. Daerah Surabaya diserahkan kepada imam-imam Lazaris (C.M.) pada tahun 1923 dan berkembang menjadi Prefektur Apostolik pada 1928. Imam-imam misionaris Hati Kudus (MSC) juga mengembangkan daerah Purwokerto di Jawa Tengah, dan Prefektur Apostolik didirikan di Purwokerto pada tahun 1932. Bersamaan dengan itu, Bandung menjadi Prefektur Apostolik setelah diserahkan dan dibina oleh Ordo Salib Suci (OSC). Daerah Semarang dijadikan Vikariat Apostolik pada tahun 1940. Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Soegijapranata, SJ. 2.1.2 Sejarah Gereja Katolik di Sumatera Utara Kota Tarutung yang terletak diantara pantai selatan Danau Toba dan Lautan Hindia merupakan kota yang cukup penting dalam peranan agama Kristen di Sumatera Utara. Kota Tarutung ini menjadi terkenal sebagai pusat Huria 31 Kristen Batak Protestan (HKBP) yakni di Rura Silindung, Pearaja. Datangnya agama ini dibawa oleh seorang Pendeta Nommensen pada tahun 1863 khususnya ke daerah Batak. Tujuh puluh satu tahun kemudian pada akhir tahun 1934, Gereja Katolik memperoleh izin memasuki Tapanuli. Kelompok Ordo Kapusin mulai bergerak dari kota Balige. Kelompok biarawan ini masih muda-muda dan berhasil menanam gereja Katolik sampai pelosok-pelosok Tapanuli. Namun pada tahun 1942 tentara Jepang merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua misionaris-misionaris sehingga karya misipun terhenti. Setelah penjajahan Jepang dan Pergelokan kemerdekaan berakhir, para misionaris dibebaskan dan memulai kembali karya misi Katolik yang sempat terhenti. Gereja Katolik; di Sumatera Utara R.K. menjadi sebutan untuk menyatakan Roma Katolik; menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli. Pada awal misi Katolik, para misionaris dari Balige dalam garis besar bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta dan Parlilitan, dan 3. Ke selatan menuju pegunungan di sekitar Rura Silindung. Untuk menghindari konflik dengan Gereja Protestan, Roma Katolik dengan sengaja tidak mau langsung ke kota Tarutung. Akan tetapi, tidak lama kemudian muncul undang-undang untuk memasuki daerah pusat Protestan itu, maka para misionarispun menjalankan tugasnya. Pada tahun 1854, Pastor Kaspar de Hessele seorang imam diosesan, keturunan Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia mulai melayani umat katolik yang tersebar di seluruh Jawa Timur, kepulauan Maluku, sampai daerah Minahasa. Kemudian atas restu Pemimpin Gereja Batavia 32 ia bertolak ke tanah Batak lewat kota Padang yang belum dikuasai oleh Belanda. Namun sayang, selama dalam perjalanan ia menderita sakit, dan meninggal dalam perjalanan. Sembilan tahun kemudian muncullah Pendeta Nommensen, dan tujuh puluh satu tahun setelah kedatangan Pendeta Nommensen, misionaris-misionaris Katolik baru diperbolehkan memasuki Tapanuli. Pada tahun 1934, Pater Sybrand Van Rossum atau Pastor Parosum yang berusia 31 tahun datang ke Balige. Di kota ini ia tidak diterima dengan hangat, banyak situasi perlawanan yang ia hadapi yakni: Pemerintah Kolonial dan pegawai-pegawainya, Zending Protestan dan Pendeta-pendetanya, sebagian besar rakyat yang mendiami Toba, Humbang, dan Rura Silindung. Namun ia merupakan seorang yang optimis, ramah, humoris, cepat tanggap dan bereaksi cepat, sehingga ia mampu menghadapi masalah yang ada. Beberapa bulan kemudian ia diterima dan banyak yang mulai datang padanya. Pastor ini banyak bergaul dengan masyarakat Batak sehingga ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Batak, dan ia semakin diterima di Balige. Kemudian ia pergi ke kota Tarutung, bergaul dengan masyarakat disana sambil menyatakan karya misi Katolik. Situasi dan kondisi mulai membaik, situsi di Balige mulai menyenangkan, rumah untuk penampungan Pastorpun sudah dibangun. Pastor Diego van den Biggelaar pun ikut bergabung dengan Pastor Panrossum. Mereka berdua memasuki Balige, Tarutung seluruh wilayah pelosok yakni, Samosir, Huta 33 Simbolon, Hutaraja, sehingga ia mendapat julukan Ompu Bornok Simbolon34. Lama bergaul dengan orang Batak membuat Pastor Panrossum mengerti dan fasih dengan bahasa Batak, ia menggunakan peribahasa dalam bahasa Batak disetiap khotbahnya sehingga dapat dimengerti oleh umatnya. Selain itu ia sangat menghargai dan mengerti akan tradisi, kebiasaan serta adat-istiadatnya Batak, sehingga Pastor ini sangat mengena di hati semua masyarakat baik yang Katolik maupun Protestan. Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1942-1945, dimana terjadi Perang Dunia II, wilayah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara tampak mulai melemah. Asia mulai bangkit, Jepang maju dengan cepat, dan gerakan-gerakan Nasionalis mulai mengancam. Akan tetapi, pada 8 Desember 1941, dunia digoncangkan dengan pengboman yang dilakukan Jepang yang menghancurkan kapal-kapal Amerika Serikat di Pearl Harbour, makin meluas ke wilayah Pasifik. Tiga minggu kemudian, tepat 28 Desember Lapangan terbang Polonia dibom; lebih dari 30 orang tewas. Pada bulan Januari 1942, Menado, Tarakan, dan Balikpapan direbut oleh Jepang dimana mereka sangat memerlukan sumber-sumber minyak untuk berperang. Dalam situasi demikian di pastoran Balige, para pastor, bruder, suster35 duduk bersama guna membicarakan hari depan gereja. Mereka sadar bahwa sebentar lagi mereka akan ditangkap, namun siapakah yang akan melanjutkan karya mereka? Setelah delapan tahun berkarya, telah membaptis 18.000 orang 34 Ompu Bornok berarti: Opa Basah. Ompu yang diucapkan Opung, merupakan sapaan akrab bagi yang dituakan. Karena Pastor itu begitu giat bergerak sehingga basah keringatan maka ia dijuluki Ompu Bornok. 35 Sejak tahun 1939, suster-suster FCJM atau Kongregasi Suster Fransiskan Putri Hati Kudus Yesus dan Maria telah membuka biara dan balai pengobatan di kota Balige dekat Gereja. 34 menjadi Katolik didaerah Batak. Seluruh kaum Eropa yang berada di tanah Batak ditangkap dan ditahan. Mereka diasingkan di kampung Belawan, namun anakanak dan perempuan diasingkan di tempat lain. Akhir tahun 1942, kekuatan Jerman di Eropa mengalami pukulan dahsyat yang pertama dalam pertempuran Stalingard, sedangkan di Asia pada waktu yang sama angkatan laut Jepang berhasil diberhentikan di Guadal-canal. Akhir tahun 1943, ribuan buruh dan petani dari pelbagai tempat di Indonesia, termasuk juga dari Tapanuli, dikumpulkan sebagai romusha. Keadaan tentara Jepang makin terdesak, keadaan semakin memuncak. Tanggal 6 Agustus 1945, kota Hiroshima telah dibom dan hancur, menyusul tiga hari kemudian kota Nagasaki. Tidak ada yang mendengar kabar kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, apalagi tentang Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dan pada tanggal 24 Agustus, barulah diketahui bahwa kemerdekaan sudah didapat, para tahanan dibebaskan dan bisa kembali pada keluarga dan anak-anak mereka. Setelah penyerahan kedaulatan, para pastor mulai menjelajahi Sibolga dan Pulau Nias; mengenai daerah Toba para pejabat Republik Indonesia memberi nasehat untuk menunggu waktu sampai situasi di daerah Batak mulai aman dan terkendali. Kemudian tanggal 22 Maret 1950, keadaan sudah mulai membaik di daerah Tarutung dan para misionaris pun mulai kembali mengunjungi seluruh daerah Tapanuli. Sampai tahun 1965 umat semakin berkembang dan bertambah. Perkembangan terus terjadi sampai tahun 1981. Sekarang ini, jumlah pastorpastor sudah memadai, dan perayaan misa kudus/ekaristi di setiap gereja pada 35 hari Minggu dapat dilaksanakan, meski di beberapa stasi-stasi kecil belum dapat setiap Minggu merayakan misa. 2.1.3 Sejarah Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan. Gereja Santo Antonius awalnya merupakan gereja stasi dibawah paroki Gereja Katolik Santa Maria Tak Bernoda Asal (sering disebut Gereja Katedral, yang beralamat di Jalan Pemuda No. 1 Medan). Kemudian menjadi gereja paroki, pada bulan Maret 1915, dengan jumlah gereja stasi empat gereja36 dan dilayani oleh imam dari OFM Capusin37, dibawah Keuskupan Agung Medan. Pada tahun 2007 tepatnya pada tanggal 3 Juni, telah berdiri bangunan gereja yang baru, dibangun tepat didepan bangunan gereja yang lama dan diresmikan oleh Uskup Agung Mgr. (dibaca Monsinyur) A.G. Pius Datubara, OFM Cap dan Pastor Paroki Redemptus Simamora OFM Cap. Keadaan umat setiap tahun semakin banyak dan berkembang, yang terdiri atas empat stasi dengan 35 lingkungan. Secara garis besar keadaan umat terbagi kedalam empat stasi paroki Santo Antonius yakni, 1. Gereja Katolik Stasi Santo Yosep sebagian besar berada di wilayah jalan dokter Mansur , 2. Gereja Katolik Stasi Santo Fransiskus Xaverius sebagian besar berada di wilayah Sunggal, 3. Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga sebagian besar berada di wilayah Sei Agul, 4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih sebagian besar berada di wilayah Karya Kasih. Keadaan umat Gereja Santo Antonius Hayamwuruk keadaan umatnya sangat beragam: Batak Toba, Karo, Simalungun, Jawa, Cina, 36 1. Gereja Katolik Stasi Santo Yosep. Jalan Dr. Mansyur, Medan, 2. Gereja Katolik Stasi Santo Fransiskus Xaverius, Sunggal 3. Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga, Sei Agul 4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih 37 Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum = Ordo Saudara-Saudara Dina Kapusin 36 Nias, dan India. Selain umat yang resmi bergabung dengan Gereja Santo Antonius banyak juga umat diluar wilayah paroki beribadat di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk. Struktur Organisasi Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan. Pastor Paroki Dewan Pastoral Paroki Ketua Lingkungan Gambar 1. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan bagian luar Gambar 2. Panti Imam. 37 Gambar 3. Tempat jalannya Perarakan Masuk. 2.2 Tata Ibadat Misa Gereja Katolik Peribadatan misa terbagi atas empat bagian pokok yaitu, Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup. 2.2.1 Ritus Pembuka Ritus pembuka merupakan awal untuk memulai ibadat perayaan Misa. Bagian ini terdiri atas: perarakan masuk, tanda salib, salam, pengantar, tobat, nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami/ Kyrie eleison , madah Kemuliaan /Gloria, dan doa pembuka. Unsur-unsur inilah yang mengawali ibadat Misa. Mengawali Misa pada Gereja Santo Antonius Hayamwuruk dimulai dengan dipukulnya gong. Seluruh umat akan berdiri dan bernyanyi yang dipimpin oleh dirigen umat untuk menyambut perarakan masuk imam dan para petugas liturgi. Perarakan masuk imam dan petugas liturgi dimulai melalui pintu utama lalu memasuki gereja. Mereka memasuki gereja berjalan menuju altar dengan diiringi nyanyian pembukaan. Seorang misdinar yang memegang dupa berada pada barisan depan perarakan, akan mendupai jalannya perarakan masuk ini. Dalam perayaan 38 meriah38 selain dengan nyanyian, perarakan masuk juga dapat diiringi dengan tarian39. Bila imam dan para petugas liturgi telah sampai di depan panti imam, semuanya akan membungkuk menghormati altar. Dimana penghormatan terhadap altar merupakan tanda Tuhan hadir. Kemudian imam menuju altar dan para petugas liturgi menuju pada tempat yang telah disediakan. Sesuai dengan perayaan, imam juga dapat mendupai salib dan altar. Gambar 4. Altar Setelah imam berada di altar dan nyanyian sudah berakhir, imam mebuat tanda salib dengan berkata “Atas nama Bapa dan Putera dan Roh kudus” yang diikuti oleh seluruh umat dan dijawab dengan “Amin”. Kemudian imam membuka tangannya sambil berkata “Tuhan Sertamu” dan umat menjawab “Dan sertamu juga”. Hal ini merupakan sapaan, salam imam terhadap umat yang menunjukkan bahwa Tuhan hadir ditengah-tengah mereka. Setelah menyampaikan salam, imam 38 Perayaan Paskah, Natal, hari Minggu dan perayaan-perayaan besar gereja lainnya Dalam perayaan-perayaan besar dalam Gereja biasanya dilakukan perayaan Misa yang lebih meriah. Rasa sukacita tersebut diungkapkan melalui tarian yang makna dan fungsinya telah disesuaikan dengan budaya Gereja 39 39 memberikan pengantar singkat tentang Misa yang akan dirayakan sehingga membawa pemahaman pada umat. Memasuki ibadat selanjutnya imam mengajak umat untuk merenungkan, menyesali, segala perbuatan dosa dan mengajak untuk bertobat. Sikap pertobatan umat dinyatakan dengan sikap tubuh yang berlutut dan dengan mengucapkan rumusan doa tobat, kemudian disambung dengan nyanyian Tuhan Kasihanilah kami. Sifat nyanyian ini ialah seruan kepada Tuhan untuk memohon belas kasihNya. Oleh karena itu, nyanyian Tuhan Kasihanilah biasanya dilagukan oleh seluruh umat. Setelah menyatakan pertobatan madah Kemuliaan (Gloria) dinyanyikan. Kemuliaan merupakan pujian meriah kepada Allah karena telah memberikan pengampunan, menurunkan rahmat, berkat, dan kedamaian bagi manusia. Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada perayaan-perayaan meriah, dan pada hari Minggu di luar masa Adven dan masa Prapaskah. Karena Kemuliaan merupakan madah pujian meriah oleh karena itu sikap tubuh untuk mengapresiasinya adalah berdiri. Madah ini dibawakan secara bersama-sama dengan umat, atau silih berganti antara umat dengan paduan suara, atau oleh paduan suara saja. Ritus pembuka berakhir dengan doa pembuka. Doa pembuka merupakan doa persiapan untuk masuk ke Liturgi Sabda, dan merupakan akhir dan sekaligus puncak dari Ritus ini. Doa pembuka adalah doa predidensial. Artinya doa pemimpin. Hanya pemimpin saja yang membawakan doa ini atas nama umat. Doa pembuka dapat dilagukan (umumnya pada pesta dan hari raya besar Gereja) atau 40 dapat dilafalkan. Sikap yang layak pada saat Doa pembuka adalah berdiri. Usai berdoa umat duduk kembali untuk mendengarkan Sabda Allah dan Imam duduk di kursi tepat di depan altar. Semua bagian dalam Ritus Pembuka ini umumnya dipersiapkan demikian karena mempunyai ciri khas dalam liturgi sebagai pembuka, pengantar, dan persiapan. Bagian ini juga bertujuan mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka sehingga dapat mendengarkan sabda Allah dengan hikmat, layak, dan penuh perhatian40. 2.2.2 Liturgi Sabda Unsur-unsur dalam liturgi Sabda ini terdiri dari: bacaan I, mazmur tanggapan, bacaan II, alleluia atau bait pengantar injil, injil, aklamasi sesudah injil, homili, syahadat, dan doa umat. Liturgi Sabda adalah pewartaan Sabda Allah dan nyanyian mazmur tanggapan kepada seluruh umat yang berasal dari Alkitab. Sedangkan homili, syahadat, dan doa umat merupakan pendalaman terhadap liturgi Sabda. Setelah doa pembuka berakhir umat duduk kembali untuk mendengarkan sabda Tuhan. Kemudian dua orang lektor dan seorang pemazmur menuju panti imam, memberi hormat dengan membungkuk ke altar, dan menuju mimbar sabda tempat berlangsungnya liturgi Sabda. Ketiga petugas liturgi ini adalah petugas untuk bacaan I41, pemazmur, dan bacaan II. Bacaan I dibawakan oleh lektor dari mimbar sabda. Lektor merupakan seorang umat yang telah dipilih sebelumnya, dan telah mempersiapkan diri dengan baik. Setelah selesai bacaan I, lektor 40 41 Buku PUMR(Pedoman Umum Missale Romanum) No. 46 Bacaan I diambil dari Perjanjian Lama, Kitab Para Nabi. 41 mengakhiri dengan berkata “Demikianlah Sabda Tuhan” dan umat menjawab “Syukur kepada Allah”. Gambar 5. Mimbar Sabda Lektor bacaan I kemudian turun dari mimbar sabda dan dilanjutkan dengan mazmur tanggapan. Mazmur tanggapan merupakan ayat Alkitab dari kitab Mazmur yang dilagukan secara responsorial42 oleh seorang solis/pemazur dan diikuti oleh umat. Mazmur tanggapan terdiri dari kalimat ulangan dan ayat, setiap mazmur memiliki ayat ulangan dengan lebih kurang tiga bait ayat-ayat mazmur. Mazmur tangapan dilagukan sesuai dengan pola yang disediakan dalam mazmur yang bersangkutan. Untuk itu, pemazmur harus mempersiapkan diri dengan baik, yakni: mengenal pola lagu43, berlatih dan menjiwai. Selama pemazmur berada di mimbar sabda dua orang misdinar44 akan mendampingi di sisi-sisinya dengan lilin 42 Mazmur responsorial, ketika jemaat mengulangi salah satu ayat dari mazmur sebagai refrain atau respons terhadap ayat-ayat lain yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi solo. 43 Lih. Buku Nyanyian Puji Syukur no 801 dan seterusnya 44 Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar) adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat. 42 menyala. Setelah selesai mazmur tanggapan dilanjutkan dengan bacaan II. Sama dengan Bacaan I, Bacaan II dibacakan seorang lektor namun dibawakan oleh lektor yang berbeda dari lektor yang membawakan bacaan I. Sebelum memasuki bacaan Injil, pemazmur kembali bermazur untuk menyanyikan bait pengantar Injil. Bait pengantar Injil/Alleluia ini dibawakan dengan cara dinyanyikan yang berstruktur sama dengan mazmur tanggapan: ulangan - ayat singkat - ulangan. Pemazmur menyanyikan ayat ulangan, diikuti oleh umat dengan melagukan ayat ulangan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan ayat singkat oleh pemazmur, dan dijawab kembali oleh umat dengan ayat ulangan. Ulangan yang dinyanyikan pada umumnya adalah kata “Alleluia”45. Selama pemazmur berada di mimbar sabda dua orang misdinar46 akan mendampingi di sisi-sisinya dengan lilin menyala. Bait Pengantar Injil/Alleluia merupakan nyanyian penyambutan injil berupa ringkasan atau kutipan dari injil yang akan dibawakan. Waktu dinyanyikan Bait Pengantar Injil/Alleluia, seluruh umat berdiri sebagai tanda siap sedia mendengarkan sabda Kristus. Setelah selesai menyanyikan alleluia, ketiga petugas liturgi turun dari panti imam dan kembali ketempat duduk semula. Kemudian Imam menuju mimbar sabda dan membacakan injil dari Kitab Suci. Pembacaan injil merupakan puncak dari Liturgi Sabda. Untuk menunjukkan kepuncakkan ini, liturgi memiliki tata cara yang semarak yang menyangkut sikap tubuh, tata gerak, dan musik, yakni: 45 Lihat buku nyanyian Puji Syukur No 951-964, 967, kecuali masa Prapaskah lih Puji Syukur No 965-966. 46 Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar) adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat. 43 1. Aklamasi sebelum pembacaan Injil dengan cara dilagukan 2. Salam pembuka untuk mengawali pewartaan dengan cara dilagukan 3. Dimeriahkan dengan adanya pendupaan 4. Di mimbar diiringi dengan lilin menyala dan selama pembacaan Injil umat berdiri 5. Tanda Salib oleh Imam pada buku Injil dan umat membuat tanda salib pada dahi, bibir, dan dada. 6. Dimeriahkan dengan sebuah aklamasi sesudah Injil dengan cara dilagukan. Setelah pembacaan Injil selesai umat duduk kembali dan mendengarkan homili. Homili adalah khotbah, injil dijelaskan kepada jemaat dengan cara yang selaras dengan daya tangkap serta cara hidup umat sesuai dengan konteks perayaan yang sedang berlangsung. Setelah mendengarkan homili, umat bersamasama memperbarui peneguhan imannya dalam rumusan syahadat Aku Percaya/ (Credo). Cara membawakan Syahadat dapat dilagukan atau diucapkan oleh imam bersama dengan umat pada hari Minggu dan hari Raya. Jika syahadat dilagukan, dinyanyikan lebih dahulu oleh imam selanjutnya diikuti oleh seluruh umat. Dan bila tidak dinyanyikan, dibuka oleh imam dan selanjutnya diucapkan/dilafalkan oleh seluruh umat secara bersama-sama. Syahadat Aku Percaya (Credo) merupakan bagian dari ordinarium namun cara membawakannya dalam perayaan misa gereja Santo Antonius hampir tiap misa diucapkan saja. Liturgi Sabda berakhir dengan doa umat. Doa ini dibuka dengan ajakan singkat oleh imam disusul dengan rangkaian doa yang dibawakan oleh dua orang petugas liturgi dari mimbar sabda. Setiap kali petugas mengakhiri rangkaian 44 doanya, diakhiri dengan berseru “Marilah kita berdoa” lalu dijawab oleh umat “Ya Tuhan yang Esa kabulkanlah doa kami” atau menggunakan rumusan yang lain. Doa ini ditutup oleh Imam dengan merangkum seluruh doa dalam doa yang singkat. 2.2.3 Liturgi Ekaristi Pada dasarnya Ekaristi berarti doa syukur dimana dalam misa terjadi penyucian dari perbuatan Tuhan sendiri. Unsur-unsur dari liturgi Ekaristi yaitu: Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung, dan Komuni. Pada awal Liturgi Ekaristi¸ bahan persembahan berupa roti dan anggur yang nantinya menjadi Tubuh dan Darah Kristus, dibawa ke altar. Pada altar ditata korporale47, purifikatorium48, Misale49, dan piala50, kecuali kalau piala disiapkan pada meja di samping altar. 47 Korporal, berasal dari bahasa Latin “corporale”, adalah sehelai kain lenan putih berbentuk bujursangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya; seringkali pinggiran korporale dihiasi dengan renda. Korporale adalah yang terpenting dari antara kain-kain suci. Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan, korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas piala. 48 Purifikatorium adalah kain yang terbuat dari linen, yang digunakan untuk menyeka bibir piala, untuk pembersihan nampan, untuk mengeringkan cawan dan untuk mengeringkan tangan para imam atau diakon. Purifikatorium ini dibawa di atas piala pada saat membawa persembahan ke altar, dan ada di sebelah korporal. 49 Buku bacaan untuk perayaan Ekaristi 50 Piala adalah cawan yang menjadi tempat anggur untuk dikonsekrasikan, dimana sesudah konsekrasi menjadi tempat untuk Darah Mahasuci Kristus. Melihat fungsinya, maka Piala harus dibuat dari logam mulia. Piala melambangkan cawan yang dipergunakan Tuhan kita pada Perjamuan Malam Terakhir di mana Ia untuk pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya. 45 Gambar 6. Perlengkapan Persembahan Ritus dahulu umatlah yang membawa roti dan anggur ke altar yang kemudian diterima oleh imam, namun sekarang tidak lagi karena telah disimpan dalam tabernakel51. Gambar 7. Tabernakel 51 Sebuah lemari atau kotak penyimpanan, khusus untuk menyimpan Sakramen yang telah disucikan: tubuh, darah, jiwa dan keilahian Yesus Kristus, dalam bentuk roti dan anggur, yang digunakan dalam ritus komuni suci. 46 Selain roti dan anggur, bahan persembahan dapat berupa uang sering disebut kolekte atau bahan persembahan lain dalam bentuk buah-buahan, hasil panen, dan lainnya juga turut dipersembahkan. Namun persembahan ini tidak diletakkan di altar, melainkan disuatu tempat lain yang pantas. Kolekte melambangkan partisipasi umat dalam menyatakan tanggung jawab terhadap keperluan ibadat, keperluan gereja, keperluan umat, dan juga keperluan sosial. Perarakan mengantar bahan persembahan berupa uang/kolekte ke altar diiringi dengan nyanyian persiapan persembahan. Bahan persembahan ini diterima oleh imam dan ditempatkan oleh misdinar ditempat yang pantas. Imam kemudian mengucapkan rumus-rumus doa yang telah ditentukan untuk memberkati roti dan anggur yang telah disiapkan di altar. Selanjutnya bahan-bahan persembahan di altar, kolekte, salib, dan altar sendiri didupai oleh Imam. Pendupaan melambangkan persembahan dan doa Gereja yang naik ke hadirat Allah seperti kepulan asap dupa. Sesudah itu umat pun dapat didupai oleh imam; kemudian imam sendiri didupai oleh misdinar. Imam didupai karena pelayanan kudus yang ia sandang sedangkan umat didupai karena martabat luhur yang diperoleh lewat pembabtisan. Dalam setiap perayaan misa dupa digunakan dalam: 1. Selama perarakan masuk imam dan para petugas liturgi. 2. Pada permulaan perayaan misa untuk menghormati salib dan altar. 3. Waktu ada perarakan dan pewartaan injil. 4. Sesudah roti dan anggur disiapkan di altar, bahan persembahan, salib dan altar didupai; imam serta seluruh umat. 47 Gambar 8 Wiruk Gambar 9 Dupa. Dupa merupakan pasangan dari wiruk Cara mendupai yaitu dengan menggunakan alat wiruk52, yang terdiri dari turibulum, yaitu tempat untuk menaruh bara api dan navikula, yaitu tempat untuk menaruh dupa atau ratus. Pendupaan dilakukan dengan mengayunkan dupa (turibulum: tempat bara api) kedepan dan kebelakang sebanyak tiga kali. Pendupaan dilakukan pada: Sakramen mahakudus, relikwi salib suci, patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik, bahan persembahan, salib altar, Injil, lilin paskah, imam, dan umat beriman. Setelah pendupaan imam kemudian membasuh tangannya disisi altar. Ritus ini melambangkan bahwa imam dalam merayakan misa harus dengan hati yang bersih. Imam kembali ke altar menghadap umat, ia mengajak umat berdoa dengan berkata “Supaya persembahan kita diterima oleh Allah yang Mahakuasa”. Kemudian Imam membuka tangan dan mengatupkannya kembali sambil berkata: “Berdoalah 52 Wiruk adalah alat terbuat dari kuningan untuk mendupai Sakramen Mahakudus, Altar, salib, bahan persembahan, dan umat yang mengikuti upacara liturgi. Alat pendupaan ini secara lengkap terdiri dari tempat dupa, sendok kecil untuk mengambil dupa, tempat pembakaran yang berisi bara arang, dan tiang menggantungkan wiruk. 48 saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan pada Allah, Bapa yang Mahakuasa”. Dan umat menjawab “Semoga persembahan ini diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah yang kudus”. Doa Syukur Agung merupakan puncak dan pusat seluruh Perayaan liturgi Ekaristi. Imam mengajak umat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dengan berdoa dan bersyukur. Dengan demikian seluruh umat yang hadir diikutsertakan dalam doa ini. Bagian-bagian yang penting dalam Doa Syukur Agung ialah: Ucapan syukur, Aklamasi, Epiklesis, Kisah Instutusi dan konsekrasi, Anamnesis, Persembahan, Permohonan, Dokxologi Penutup. Bagian-bagian ini imamlah yang memimpin dan membawakan atas nama umat. Doa Syukur Agung dibuka dengan ritus yang amat meriah dengan dialog pembuka sebagai berikut: I = Imam, U = Umat I : Tuhan sertamu U:Dan sertamu juga I : Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan U: Sudah kami arahkan. I : Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita U: Sudah layak dan sepantasnya. Lewat ayat dialog ini, imam mengajak umat memusatkan hati dan pikiran hanya kepada Tuhan dan untuk bersyukur pada-Nya. Kemudian dilanjutkan dengan prefasi. Dimana seluruh Doa Syukur Agung dinyataakan dalam prefasi. Prefasi adalah suatu doa pujian dan syukur meriah, yang merupakan bagian 49 pertama dari rangkaian Doa Syukur Agung dalam liturgi Ekaristi. Inti dari suatu prefasi dalam perayaan Ekaristi adalah ucapan syukur atas karya penebusan. Prefasi ditutup dengan sebuah aklamasi (seruan) Kudus oleh umat. Nyanyian Kudus/Sanctus merupakan seruan kegembiraan, sorak-sorai dan harus dinyanyikan oleh umat oleh karena itu sikap tubuh adalah berdiri. Setelah nyanyian Kudus/ Sanctus, umat berlutut untuk memasuki Doa Syukur Agung. Dalam rumusan doa ini, Imam akan berkata “Terimalah dan Makanlah: Inilah Tubuhku yang diserahkan bagimu” sambil mengangkat Roti suci/Hosti keatas agar umat dapat melihat. Saat hosti diangkat keatas, umat mengatupkan kedua tangannya keatas kepala dengan sikap tubuh menyembah. Kemudian imam mengangkat Piala yang berisikan anggur, dan berkata “Terimalah dan Minumah: Inilah Piala Darahku, Darah Perjanjian Baru dan Kekal, yang Ditumpahkan Bagimu dan Bagi Semua Orang Demi Pengampunan Dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.” Saat Piala diangkat keatas umat mengatupkan kedua tangannya keatas kepala dengan sikap tubuh menyembah. Doa Syukur Agung diakhiri dengan doa rumusan tertentu oleh imam sendiri. Dan dilanjutkan dengan Doa Bapa Kami. Gambar 10. Hosti 50 Kemudian imam mengambil sebuah roti suci/hosti dan dicampurkan kedalam anggur yang diartikan sebagai tanda persatuan antara umat dan seluruh Gereja. Pemecahan dan pencampuran roti diiringi dengan nyanyian Anak Domba Allah/Agnus Dei. Setelah selesai menyanyikan Anak Domba Allah kemudian umat berlutut, imam mengangkat hosti keatas seraya berkata dengan rumusan doa ”Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuannya.” Umatpun menjawab sambil meletakkan tangan kanan ke dada “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh”. Dengan demikian Imam dapat membagi-bagikan hosti kepada umat. Imam turun dari panti imam untuk membagi-bagikan hosti, dan umat datang satu persatu dengan barisan yang teratur untuk menerima hosti. Setelah umat menerima hosti, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing dan melakukan doa pribadi dalam suasana hening. Selama penerimaan komuni, dapat dinyanyikan beberapa lagu komuni. Setelah seluruh umat datang kepada imam untuk menyambut komuni, maka imam akan kembali ke panti imam. Imam akan membersihkan patena dan piala dan mengembalikan barang-barang persembahan ketempat semula yang dibantu oleh misdinar. Dan liturgi Ekaristi berakhir dengan doa penutup yang dibawakan oleh Imam. 2.2.4 Ritus Penutup Ritus penutup merupakan bagian penghujung dari perayaan misa. Bagianbagian ini terdiri atas: pengumuman, pemberkatan, pengutusan, dan perarakan. Pengumuman berisikan informasi-informasi 51 yang berguna bagi umat. Pengumuman ini disampaikan oleh seorang lektor bukan oleh imam. Pengumuman dibacakan bukan melalui mimbar sabda melainkan dari tempat yang telah ditentukan. Selama pengumuman dibacakan imam duduk kembali ke kursinya. Selesai pengumuman, Imam bangkit berdiri di depan altar menghadap umat. Demikian juga dengan umat sikap tubuh selama menerima berkat adalah berdiri. imam akan memberikan berkat sambil membuka tangan dan berkata: I: Tuhan sertamu U: Dan sertamu juga I: Semoga saudara sekalian diberkati oleh Allah yang Mahakuasa. Bapa, Putra, dan Roh Kudus. U: Amin Kemudian imam juga memberikan pengutusan kepada umat dengan berkata, I: Saudara-saudari sekalian Perayaan Misa telah selesai. U: Syukur kepada Allah I: Marilah pergi. Kita diutus. U: Amin Dengan demikian misa sudah berakhir. Imam dan seluruh petugas liturgi turun dari panti imam. Berbaris menghadap altar sambil membungkuk untuk menghormati altar. Kemudian perarakan berjalan perlahan-lahan keluar gereja diiringi dengan nyanyian penutup. 52 BAB III INKULTURASI MUSIK BATAK TOBA DALAM ORDINARIUM PADA GEREJA KATOLIK SANTO ANTONIUS HAYAM WURUK MEDAN 3.1 Inkulturasi Inkulturasi merupakan sebuah istilah budaya yang ternyata belum begitu lama. Apabila satu budaya berjumpa dengan budaya yang lain, maka akan terjadi interaksi antara budaya tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam proses dan hasil yang terbentuk, diantaranya, akulturasi, asimilasi, adaptasi, enkulturasi, fusi/peleburan, reaksi/penolakan, dan inkulturasi. Dalam pembahasan ini maka lebih difokuskan pada istilah inkulturasi (Prier, 1999: 5). Inkulturasi berbeda dengan proses budaya yang lainnya. Inkulturasi merupakan sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani terutama dalam Gereja Katolik Roma. Inkulturasi musik liturgi terjadi pada abad keempat dimana Uskup Ambrosius di Milano menciptakan himne-himne berdasarkan bentuk musik yang diperoleh dari Eropa Timur; selanjutnya abad X-XI suku-suku Frankonia, Germania di Eropa Utara menerapkan lagu Gregorian dengan cara mereka sendiri, sehingga tercipta organum sebagai awal polifoni yang kemudian berkembang menjadi musik bermutu tinggi (Sekolah Notre Dame, Ars Antiqua, Ars Nova). 3.1.1 Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia Dalam Gereja Katolik sendiri sejak abad XVI inkulturasi mengalami masalah dan kurang dikembangkan, karena sedang marak-maraknya Eropanisasi. Dimana budaya Eropa lebih unggul dibanding dengan budaya asli, sehingga 53 menaklukkan budaya-budaya lokal yang ada. Gereja memang pada waktu itu sama sekali tidak menghargai unsur budaya setempat. Perubahan memang mulai nampak pada abad XIX, Gereja mulai sadar dan mulai memberi perhatian pada budaya-budaya lokal dan mulai mengubah cara pandang dan berpikir. Setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), banyak usaha untuk melaksanakan hasil konsili di berbagai daerah. Salah satu hasil konsili yang disambut baik oleh umat dan para Imam adalah keterbukaan Gereja terhadap tradisi-tradisi dan budaya lokal, terutama dalam Sacrosanctum Consilium (SC)53. “Konsili memberi kedudukan pada musik dan nyanyian sebagai bagian yang penting dan integral dari liturgi (SC 112). Konsili memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah misi, untuk membentuk sikap religius umat setempat dan dalam menyesuaikan liturgi dengan sifat dan perangai umat setempat (SC 119). Oleh karena itu, alat-alat musik lain (selain organ pipa) dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman (SC 120). Nyanyian Gregorian dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun jenisjenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi (SC 116)”. Gereja terdiri dari berbagai daerah, suku dan bangsa sehingga Gereja mesti membuka diri terhadap kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah, suku dan bangsa tersebut. Atas dorongan Konsili Vatikan II, usaha inkulturasi 53 Sacrosanctum Consilium atau Konstitusi tentang Liturgi Suci, adalah salah satu dokumen yang paling signifikan yang dibuat oleh Konsili Vatikan Kedua. Dokumen ini mendorong perubahan tata-liturgi Gereja agar benar-benar menjadi ungkapan iman Gereja keseluruhan. Liturgi yang dikembangkan dokumen ini mendorong peran serta aktif seluruh jemaat. Tekanannya pada "perayaan" bukan sekedar "upacara". Konstitusi ini disetujui oleh para Uskup dalam pemungutan suara 2.147 berbanding 4, dan diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 4 Desember 1963. 54 musik liturgi di Indonesia mendapat bentuknya. Langkah-langkah konkret yang langsung dirasakan adalah digunakannya lagu-lagu dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Namun untuk mendapatkan lagu-lagu seperti itu tidaklah mudah mengingat bahwa tradisi musik Gereja di Indonesia sangat banyak dipengaruhi dan didominasi oleh lagu-lagu yang berasal dari tradisi liturgi Barat, seperti lagulagu gregorian dan lagu-lagu rohani abad XIX. Namun atas usaha dari berbagai pihak, seperti yang sudah dituliskan di atas, muncullah lagu-lagu inkulturatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang digunakan dalam liturgi. Usaha tersebut terus dikembangkan dan dikelola agar inkulturasi musik liturgi Indonesia bisa tercapai. Salah satu pihak yang terus menerus mengusahakan hal tersebut adalah Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. Pendiri Pusat Musik Liturgi ini adalah Karl Edmund Prier SJ, dan Paul Widyawan. Pusat Musik Liturgi merupakan salah satu lembaga musik di Indonesia yang mengabdi untuk musik Indonesia dan pengembangannya. Pada tahun 2011, PML telah berusia 40 tahun. Dalam waktu 40 tahun Pusat Musik Liturgi telah menghasilkan banyak lagu, buku dan kaset/CD (Compact Disc) yang bertujuan untuk memajukan musik nusantara pada umumnya, dan khususnya mengabdi pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi. Pusat Musik Liturgi tidak hanya menangani musik Gereja/Liturgi berupa buku umat, buku kor, buku iringan organ, buku imam, dan kaset/CD, tetapi juga menerbitkan buku dan CD musik umum seperti lagu tradisional seri Nusantara Bernyanyi dan buku-buku kor yang diarensemen oleh Paul Widyawan, serta buku-buku teori musik umum berupa: Kamus Musik, Sejarah Musik, 55 Menjadi Dirigen, Menjadi Organis, Ilmu Harmoni, Ilmu Bentuk, Ilmu Melodi, Musik Populer, Teori Musik Umum, Tuntunan Karawitan, dan lain sebagainya (http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html). Di Indonesia, usaha untuk menggali kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah setempat dan menyelaraskannya dengan liturgi Gereja sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Konsili Vatikan II. Sebelum Konsili Vatikan II, sudah ada ide untuk pembaruan liturgi dan musik liturgi di Indonesia. Usaha itu dimulai oleh Mgr. (dibaca Monsinyur) Van Bekkum SVD di Flores Barat (Manggarai) yang mengumpulkan para pemusik untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Selain itu, Pater Vincent Lechovic SVD di Timor, NTT, juga mengambil langkah serupa dan berhasil menerbitkan buku lagu “Tsi Taneb Uis Neno” yang berisi lagu-lagu berbahasa Dawan pada tahun 1957. Di Jawa, Mgr. A. Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama Semarang mendirikan panitia untuk menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang bermutu yang kemudian dipakai dalam liturgi dan di luar liturgi. Kekayaan tradisi dan kebudayaan Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan bahasa yang menambah kekayaan tradisi dan kebudayaan. Salah satu kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia adalah tradisi musik. Hampir setiap daerah/suku memiliki tradisi musik sendiri. Kekayaan tradisi musik tersebut bisa menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengembangkan musik inkulturasi liturgi di Indonesia sesuai dengan cita-rasa kedaerahan masing-masing. Untuk itulah Team Pusat Musik Liturgi selalu berusaha untuk mempelajari dan meneliti 56 tradisi musik di Indonesia, baik musik tradisional yang terdapat di berbagai daerah, maupun musik inkulturasi liturgi yang telah tercipta. Pusat Musik Liturgi berusaha mengenali tradisi musik yang ada di Indonesia, terutama tradisi musik yang ada di berbagai daerah. Lembaga ini giat mengadakan eksperimen untuk penelitian, mempelajari dan memperbaiki musik dari berbagai daerah dan musik Gereja sehingga bisa menjadi musik Gereja yang khas Indonesia. Oleh karena itu, setiap hari team Pusat Musik Liturgi bergaul dengan lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah, dan juga lagu-lagu inkulturasi Indonesia. Langkah awal yang dilakukan lembaga ini dalam menggali, mempelajari dan meneliti musik dan lagu tradisional dan inkulturasi Indonesia ialah mengumpulkan bahan-bahan berupa naskah atau rekaman musik atau nyanyian dari berbagai daerah. Kunjungan dilakukan ke daerah-daerah di Indonesia untuk mengumpulkan bahan-bahan, mendengar secara langsung suatu musik atau nyanyian tradisional yang dimiliki sebuah daerah serta berkontak langsung dengan orang-orang yang berada di daerah tersebut. Cara lain yang dilakukan adalah dengan menyebarkan angket ke berbagai daerah. Bahkan juga mengundang para pakar musik dari daerah-daerah untuk mempelajari, meneliti, dan memainkan bersama musik tradisional mereka. Romo Prier menjelaskan proses tersebut dalam sebuah bukunya: “Kami pergi ke suatu daerah, merekam sejumlah lagu dan tari tradisional. Kemudian kami kumpulkan sejumlah pakar budaya (pemain alat musik tradisional, penari, penyanyi, ketua adat dan sebagainya) untuk mendiskusikan tangga nada, pola irama, jenisjenis lagu dan sebagainya. Selalu dengan bertanya: mengapa harus demikian? Apa artinya/maksudnya? Kadang-kadang data-data ini dikonfrontasikan pula dengan tulisan dalam buku etnomusikologi. 57 Hasil dikusi kami dokumentasikan, motif lagu dan irama yang khas dinotasikan dan dipakai untuk langkah berikutnya”. Selain itu, secara berkala team PML mencoba lagu-lagu kreasi baru yang dikirim oleh pencipta-pencipta lagu liturgi dari berbagai daerah, kemudian menanggapi lagu-lagu baru tersebut. Lagu-lagu baru tersebut dipelajari, dinilai, dan diperbaiki bila perlu. Kemudian team PML memberi tanggapan, masukan dan catatan perbaikan kepada pengarang. 3.1.2 Proses Inkulturasi Proses Inkulturasi bukanlah proses budaya yang cepat dan mudah, namun merupakan proses yang terus-menerus tanpa henti. Hal ini terus diupayakan dan dikembangkan sampai iman berakar kuat dalam Gereja. Menurut Roest Crollius dalam Huub J. Boelaars, proses inkulturasi ini memiliki tahapan-tahapan, meliputi tiga tahap, yaitu : tahap terjemahan (translation), tahap penyesuaian (assimilation), dan tahap kreasi baru/perubahan (transformation). A. Tahap Terjemahan Tahap terjemahan merupakan tahap awal di mana Gereja melalui para misionaris asing, terjadi interaksi kebudayaan baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Penerjemahan-penerjemahan dilakukan, meskipun diadakan penyesuaianpenyesuaian yang lebih ringan. Masuk Kristen sering berimplikasi harus merelakan melepas kebudayaannya sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya berbeda). Para 58 misionaris dan umat Kristiani setempat mengasimilasikan unsur-unsur budaya yang saling menyesuaikan. B. Tahap Asimilasi Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan khususnya ketika para imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan sendirinya semakin berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada tahap ini proses inkulturasi yang sesungguhnya mulai, di mana para pelaku utama adalah mereka yang berasal dari budaya setempat. Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol, dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di sini dibutuhkan kecermatan memadai demi mencegah “setiap bentuk sinkretisme dan partikularisme yang keliru”, sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis berikut: a. Metode Tiga Langkah. Dalam mengambil alih manifestasimanifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi, perlulah: (1) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; (2) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (3) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani. Sebuah contoh untuk menjelaskan metode 59 tiga langkah ini, ialah perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui dan Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa 25 Desember itu sebenarnya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga). Dalam ketiga langkah ini tentunya membutuhkan data dan telaah Sosiologis-Antropologis dan Teologis. Data-data ini tentunya menyangkut apa makna asli dari manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokohtokoh dan para ahli adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh 60 nilai-nilai asli itu masih menjiwai hidup masyarakat setempat, bagaimana melestarikannya dan membuatnya tetap relevan di tengah arus perubahan dan perkembangan teknologis yang semakin cepat. C. Tahap Transformasi Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru pada kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi, tahap transformasi. Pada tahap ini akan terbentuk sebuah komunitas Kristiani baru; sebuah “communio” yang memiliki kekhasan yang terus menerus berkembang tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang bersangkutan sendiri, maupun Gereja Katolik semesta. Proses inkulturasi merupakan suatu keunggulan dan peluang yang cukup unik khusus di Indonesia. Kesatuan 13.000 pulau dengan bahasa yang berbeda-beda, dengan alat musik yang beragam dan juga adat-istiadat serta tradisi yang bermacam-macam merupakan ciri khas Indonesia, yang bhineka namun juga tunggal ika. 61 3.2 Musik Batak Toba Batak Toba adalah salah satu dari suku Batak di Sumatera Utara. Kebudayaan suku ini termasuk Proto-Melayu, artinya sudah ada sebelum zaman Hindu. Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata “Gondang”: 1. Satu jenis musik tradisi Batak toba. 2. Komposisi/Repertoar yang ditemukan dalam jenis musik tersebut (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip dsb); dan 3. Alat musik “kendang”. Terdapat dua ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah; dan Gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumahm (http://xeanexiero.blogspot.com/2007/05/alat-alatmusik-sumatera-utara.html). Ensambel gondang sabangunan ini terdiri dari satu buah sarune bolon (Aeropon, double-reed), taganing (drum-chime), empat buah gong dan satu buah hesek. Sarune Bolon adalah salah satu alat musik tiup Batak Toba, dan masih satu bangsa dengan Serunai. Sarune bolon adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed ganda (double reed) sama dengan sarune etek namun sarune etek memiliki reed tunggal. Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada yang dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa (circular breathing). Marsiulak hosa (circular breathing) artinya, seorang pemain sarune dapat melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan 62 mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup sarune (http://id.wikipedia.org/wiki/Sarune). Gambar 11. Sarune Bolon Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Sarune Teknik ini dikenal hampir pada semua etnis Batak. Tetapi penamaan untuk itu berbeda-beda, seperti di Karo disebut pulunama. Sarune ini terbuat dari kayu dan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu (1) pangkal ujung sebagai resonator, (2) batangnya, yang sekaligus juga sebagai tempat lobang nada, dan (3) pangkal ujung penghasil bunyi dari lidah (reed) yang terbuat dari daun kelapa hijau yang dilipat sedemikian rupa yang diletakkan dalam sebuah pipa kecil dari logam, dan ditempelkan ke bagian badan sarune tersebut (zairifblog.blogspot.com/.../sarunebatak-toba.html). Taganing adalah drum set melodis (drum-chime), yaitu terdiri dari lima buah gendang yang digantungkan dalam sebuah rak. Bentuknya sama dengan gordang, hanya ukurannya bermacam-macam. Yang paling besar adalah gendang paling kanan, dan semakin ke kiri ukurannya semakin kecil. Nadanya juga demikian, semakin ke kiri semakin tinggi nadanya. Taganing ini dimainkan oleh 63 satu atau 2 orang dengan menggunakan dua buah stik. Dibanding dengan gordang yang relatif konstan, maka taganing adalah melodis. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok membranophone (https://id.wikipedia.org/wiki/Taganing). Gambar 12. Satu set Taganing Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Taganing_02.jpg Gordang biasanya dimainkan secara bersamaan dengan taganing. Gordang diletakkan disebelah kanan pemain (pargocci). Secara pintas gordang taganing adalah dianggap satu set karena bentuknya juga hampir sama, hanya saja dibedakan ukuran, letaknya juga dalam ensambel adalah dalam satu rak (hanger) yang sama. Gordang adalah gendang yang paling besar yang terdapat pada masyarakat Batak Toba, yaitu gendang yang diletakkan pada sebelah kanan pemain di rak gendang tersebut. Gordang ini biasanya dimainkan oleh satu orang pemain dengan menggunakan dua buah stik. Gordang adalah merupakan bagian dari gendang yang lain (taganing). Gendang Toba adalah salah satunya gendang yang melodis yang terdapat di Indonesia. Oleh karena lebih bersifat melodis dari perkusif, maka gondang ini menurut klasifikasi Horn von Bostel dan Curt Sach 64 diklasifikasikan lebih khusus lagi yang disebut dengan drum-chime. Gordang merupakan gendang satu sisi berbentuk konis dengan tinggi lebih kurang 80 – 120 cm dengan diameter bagian atas (membran) lebih kurang 30–35 cm, dan dia meter bagian bawah lebih kurang 29 cm. Gordang ini terbuat dari kayu nangka yang dilobangi bagian dalamnya, kemudian ditutuip dengan kulit lembu pada sisi atas, dan sisi bawah sebagai pasak untuk mengencangkan tali (lacing) yang terbuat dari rotan (rattan). Bagian yang dipukul dari gendang ini bukan hanya bagian membrannya, tetapi juga bagian sisinya untuk menghasilkan ritem tertentu secara berulang-ulang. Ritemnya lebih bersifat konstan(https://id.wikipedia.org/wiki/Taganing). Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. a Oloan. Oloan adalah salah satu gung berpencu yang terdapat pada Batak Toba. Oloan dimainkan secara bersamaan dengan tiga buah gung yang lain dalam satu ensambel, sehingga jumlahnya empat buah, yang juga dimainkan oleh empat orang pemain. Keempat gung ini biasa disebut dengan ogung, namun masing-masing penamaan ogung ini dibedakan berdasarkan peranannya di dalam ensambel musik. Oloan ini terbuat dari bahan metal/perunggu dengan sistem cetak. Sekarang ini bahan gung ini sudah banyak terbuat dari bahan besi plat yang dibentuk sedemikian rupa. Untuk membedakannya dengan suara ogung lainnya maka tuning yang dilakukan adalah dengan menempelkan getah puli (sejenis pohon enau) dibagian dalam gung tersebut. Semakin banyak getah puli tersebut, maka semakin rendahlah suara gung tersebut. Gung oloan berukuran garis 65 menengah lebih kurang 32,5 cm, tinggi 7 cm, dan bendulan (pencu) di tengah dengan diameter lebih kurang 10 cm. Oloan dipukul pencunya dengan stick yang terbuat dari kayu dan pangkal ujungnya dilapisi dengan kain atau karet. Gung oloan selalu diikuti oleh gung ihutan dengan ritem yang sama, namun tidak akan pernah jatuh pada ritem yang sama (canon ritmik) (http://www.scribd.com/doc/42601265/Toba). b Ihutan Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa ihutan juga adalah merupakan gung berpencu yang digunakan dalam satu ensambel dengan tiga gung lainnya. Yang membedakannya dengan gong lainnya adalah ukurannya, bunyi, dan teknik permainannya. Ihutan berukuran dengan garis menengah (diameter) lebih kecil sedikit dari oloan, yaitu 31 cm, tinggi (tebal) 8 cm, dan diameter pencu lebih kurang 11 cm. Ritemnya konstan dan bersahut-sahutan dengan gong oloan (litany), sehingga bunyi sahut-sahutan antara dua gong ini secara onomatopea disebut polol-polol. Gong ini juga dimainkan dengan mnggunakan satu stick yang terbuat dari kayu yang dibungkus dengan kain atau karet. Dimainkan oleh satu orang pemain (http://www.scribd.com/doc/42601265/Toba). c Panggora. Panggora juga adalah satu buah gong yang berpencu yang dimainkan oleh satu orang. Bunyi dari gung ini adalah pok. Bunyi ini timbul adalah karena gong ini dimainkan dengan memukul pencunya dengan stick sambil berdiri dan sisi gong tersebut dimute dengan tangan. Gong ini adalah gong yang paling besar diantara keempat gong yang ada. Ukurannya adalah garis menengah 37 cm, tinggi (tebal) 6 cm dan diameter 66 pencunya lebih kurang 13 cm (www.scribd.com/doc/39043649/ALATmusik). d Doal juga adalah gong berpencu yang dimainkan secara bersahut-sahutan dengan panggora dengan bunyi secara onomatopeanya adalah kel sehingga apabila dimainkan secara bersamaan dengan gong panggora akan kedengaran pok–kel-pok, pok–kel-pok dan seterusnya dengan ritem yang tidak berubah-ubah sampai kompisisi sebuah gondang (lagu) habis. Hesek adalah instrumen musik pembawa tempo utama dalam ensambel musik gondang sabangunan. Hesek ini merupakan alat musik perkusi konkusi. Hesek ini terbuat dari bahan metal yang terdiri dari dua buah dengan bentuk sama, yaitu seperti cymbal, namun ukurannya relative jauh lebih kecil dengan diameter lebih kurang 10-15 cm, dan dua buah alat tersebut dihubungkan dengan tali. Namun sekarang ini alat musik ini terkadang digunakan sebuah besi saja, bahkan kadang-kadang dari botol saja. Gambar 13. Hesek Sebagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ensambel gondang hasapi merupakan ensambel musik Batak Toba yang lebih kecil dari gondang sabangunan yang 67 dimainkan didalam rumah biasanya untuk ritual rumah tangga. Ansambel gondang hasapi terdiri dari: hasapi (long neck lute), sulim (aeropon, side-blown flute), sarune etek (aerophone, single reed), garranttung (xylophone),dan hesek. Tradisi gondang hasapi ini diwariskan oleh pemain gondang hasapi yang dimulai oleh Tilhang Gultom yang mempelopori Opera Batak. Pemain gondang hasapi yang terkenal diantaranya Sarikawan Sitohang, Marsius Sitohang, Kalabius Simbolon, Osner Gultom dan Maningar Sitorius. Para musisi ini juga memainkan Gondang sabangunan (http://www.last.fm/music/Gondang+Hasapi). Hasapi (chordophone) biasanya digunakan dua buah, satu hasapi ende, yaitu hasapi sebagai pembawa melodi dan satu lagi hasapi doal, yaitu hasapi sebagai pembawa tempo. Hasapi adalah salah alat musik Batak Toba yang dikelompokkan ke alat musik dawai atau senar, dalam bahasa Indonesia sering disebut Kecapi batak. Gambar 14. Hasapi 68 Jenis-jenis Hasapi terdiri dari : a) Hasapi ende (pluked lute dua senar) adalah instrumen pembawa melodi dan merupakan instrumen yang dianggap paling utama dalam ensambel gondang hasapi. b) Hasapi doal (pluked flude dua senar), instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende. Tune atau sistem dari kedua senarnya adalah dengan interval mayor yang dimainkan dengan cara mamiltik (memetik) (id.wikipedia.org/wiki/Hasapi). Garantung (baca : garattung) adalah jenis pukul yang terbuat dari wilahan kayu (xylophone) yang terbuat dari kayu ingol dan dosi. Garantung terdiri dari tujuh bilahan yang digantungkan di atas sebuah kotak yang sekaligus sebagai resonatornya. Masing-masing wilahan mempunyai nada masing-masing, yaitu 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 4 (fa), 5 (so), 6 (la), dan 7 (si). Antara wilahan yang satu dengan wilahan yang lainnya dihubungkan dan digantungkan dengan tali. Gambar 15. Garranttung Kotak resonator sendiri juga mempunyai tangkai, yang juga sekaligus merupakan bagian yang turut dipukul sebagai ritem dasar, dan wilahan sebagai 69 melodi. Garantung Alat musik ini dimainkan dengan menggunakan dua buah stik untuk tangan kiri dan tangan kanan. Sementara tangan kiri berfungsi juga sebagai pembawa melodi dan pembawa ritem, yaitu tangan kiri memukul bagian tangkai garantung dan wilahan sekaligus dalam memainkan sebuah lagu. Alat musik ini dapat dimainkan secara solo (tunggal), namun dapat juga dimainkan dalam satu ensambel(http://xeanexiero.blogspot.com/2007/05/alat-alat-musik-sumaterautara.html). Sulim (Aerophone : side blown flute) adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu seperti seruling atau suling. Sulim ini panjangnya berbeda beda tergantung nada dasar yang mau dihasilkan. Sulim ini mempunyai enam lobang nada dengan jarak antara satu lobang nada dengan lobang nada lainnya dilakukan berdasarkan pengukuran-pengukuran tradisional. Namun secara melodi yang dihasilkan suling ini meskipun dapat juga memainkan lagu-lagu minor, tetapi lebih cenderung memainkan tangga nada mayor (major scale) dengan nada diatonis(http://musikfitria.blogspot.com/2013/03/alat-alat-musik-sumatera utara.html) Gambar 16. Sulim Toba 70 Sulim Toba. Perbedaan sulim ini dengan suling-suling lainnya adalah, suara yang dihasilkan adalah selalu bervibrasi. Hal ini dikarenakan adanya satu lobang yang dibuat khusus untuk menghasilkan vibrasi ini, yaitu satu lobang yang dibuat antara lobang nada dengan lobang tiupan dengan diameter lebih kurang satu sentimeter, dan lobang tersebut ditutupi dengan membran dari bahan plastik, sehingga suara yang dihasilkan adalah bervibrasi. Uning-uningan adalah satu ensambel yang menggunakan instrumen yang dianggap lebih kecil dari dua ensambel musik diatas. Ensambel ini menggunakan alat musik sebagai pembawa melodi garantung (sejenis xylophone), dipukul dengan menggunakan dua buah stik. Stik ini tidak saja dipukul ke wilayahwilayah, tetapi juga sebagai pembawa tempo dengan memukul stik yang satu kebagian tangkai garantung tersebut. Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen. Dalam hal ini musik Batak Toba yang digunakan dalam mengiringi ordinarium dalam perayaan misa adalah ansambel gondang hasapi. Namun di dalam hasil pentraskripsian yang ditampilkan hanya instrumen sulim dan garranttung. Penulis sengaja memilih kedua instrumen ini karena secara representative dapat mewakili ansambel gondang hasapi dari segi melodis. Sedangkan dalam analisisnya penulis akan menganalisis struktur melodis dan tekstual pada keempat ordinarium yaitu: Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan, Kudus, dan Anak Domba Allah serta hubungan nyanyian dengan ansambel 71 gondang hasapi. Sebenarnya ordinarium terdiri dari lima buah lagu yaitu: Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus, dan Anak Domba Allah. Namun “Aku Percaya” sangat jarang sekali dinyanyikan dikarenakan teksnya terlalu panjang dan memakan waktu yang lama untuk melagukannya, sehingga perayaan misa menjadi tidak efisien bagi umat. Aku percaya lebih sering dilafalkan saja. 3.3 Ordinarium Dalam musik liturgi Gereja pada umumnya mengenal dua jenis lagu dalam Misa, yakni lagu Ordinarium dan lagu Proprium. Ordinarium merupakan nyanyian yang menunjuk pada bagian yang selalu sama atau tetap dalam Perayaan Ekaristi. Yang termasuk kelompok ordinarium adalah: Tuhan Kasihanilah Kami (Kyrie eleison), Kemuliaan (Gloria in Excelsis Deo), Kudus (Sanctus), dan Anak Domba Allah (Agnus Dei). Oleh karena ordinarium merupakan nyanyian yang selalu sama/tetap dalam setiap perayaan Misa/Ekaristi, maka syair dalam ordinarium tidak dapat digubah. Dalam buku nyanyian Puji Syukur54 ada empat macam ordinarium Gregorian, berdasarkan masa penggunaannya. Ada yang khusus untuk Masa Adven dan Prapaskah55 dan Paskah56. Ada Ordinarium De Angelis57 yang dapat digunakan untuk masa selain Adven, Prapaskah dan Paskah. Yang terakhir, ada Ordinarium khusus untuk Misa Arwah58. 54 Puji Syukur merupakan buku liturgi resmi atau buku doa dan nyanyian Gerejawi umat Katolik di Indonesia. Buku ini merupakan satu dari dua buku doa dan nyanyian yang luas dipakai di Indonesia. Satunya adalah Madah Bakti. Buku Puji Syukur digunakan pada saat perayaan misa dan juga sebagai pedoman atau sarana berdoa di rumah. 55 Buku Puji syukur No. 339 dst 56 Buku Puji syukur No. 340 dst 57 Buku Puji syukur No. 342 dst 58 Buku Puji syukur No. 344 dst 72 Sedangkan nyanyian-nyanyian, seperti: nyanyian pembuka, mazmur tanggapan, alleluia, nyanyian persiapan persembahan, komuni, dan nyanyian penutup disebut dengan Proprium. Nyanyian proprium menunjuk pada bagian yang khusus, tematis, dan selalu berubah. Nyanyian proprium akan berubah seturut dengan penanggalan Liturgi Gereja. 3.3.1 Pengaruh Inkulturasi Terhadap Ordinarium Sebelum Konsili Vatikan II, musik Gregorian dan polifoni suci merupakan nyanyian khas Liturgi Romawi yang digunakan dalam perayaam misa. Mozart, Schubert, Haydn banyak meciptakan motet, te deum, himne, nyanyian misa dalam bentuk Gregorian Chant dan polifoni suci yang dipergunakan dalam perayaan misa. Karya musik ini sungguh sangat indah dan menjadikan suasana yang sakral, agung, dan indah perayaan misa. Namun kebanyakan karya-karya ini dinyanyikan oleh paduan suara yang terlatih sehingga tidak bisa dinyanyikan oleh semua umat. Gereja melihat bahwa Gregorian chant merupakan tradisi suci musik Gereja, namun tentunya partisipasi umat dalam perayaan misa tetap menjadi bagian yang utama. Setelah Konsili Vatikan II, Gereja mulai membuka diri terhadap kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah, suku dan bangsa. Inkulturasi mulai berkembang dalam Liturgi Gereja khususnya dalam musik liturgi. Lagu-lagu bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah mulai dipergunakan dalam perayaan ibadat, namun belum banyak jumlahnya. Ordinarium atau sering disebut Nyanyian tetap, yang merupakan nyanyian yang selalu dinyanyikan dalam setiap perayaan misa, sebelumnya hanya ada 73 dalam bentuk ordinarium Gregorian chant. Namun setelah Konsili Vatikan II, ordinarium inkuturatif mulai banyak yang diciptakan, yakni ordinarium Misa Dolo-Dolo gaya Flores diciptakan oleh Mateus Wari Weruin (1974), ordinarium Misa Sunda, ordinarium Misa Senja gaya Timor diciptakan oleh Martin Runi (1980), ordinarium Misa Raya II diciptakan oleh Karl-Edmund Prier, S.J (1968), ordinarium Misa Manado diciptakan oleh M. Rarun (1974), ordinarium Misa Batak Toba, Misa Karo diciptakan oleh Team Musik Liturgi Keuskupan Agung Medan. 3.3.2 Ordinarium dalam Perayaan Misa di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan Gereja Santo Antonius Hayamwuruk merupakan gereja paroki yang memiliki beragam umat. Meskipun keadaan umatnya yang plural namun kesatuan tetap terjalin diantara sesama umat. Gereja memandang keragaman suku, bahasa, serta tradisi sebagai bagian yang penting untuk dipahami, dengan memahami berbagai hal tersebut kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah setempat dapat digali dan diselaraskan dengan liturgi Gereja sehingga umat bisa beribadat selaras dan sejiwa dengan budaya dan tradisinya. Demikian pula dalam musik liturgi, nyanyian tetap/ordinarium yang dinyanyikan dalam perayaan Misa di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk ini beragam setiap minggunya. Dari ordinarium Gregorian chant sampai inkulturatif. Ordinarium Gregorian chant yang dinyanyikan ialah Misa De angelis59, 59 Buku Puji syukur No. 342 dst, hal 300. 74 sedangkan ordinarium inkulturatif yang dinyanyikan ialah Misa Raya II60, Misa Manado61, Misa Dolo-dolo62, Misa Senja63, Misa syukur64, dan Misa Batak Toba65. Dalam merayakan hari besar Gereja, umumnya perayaan Misa dilaksanakan dengan meriah. Ordinarium Batak Toba beserta ansambel gondang sering digunakan dalam perayaan Misa untuk memeriahkannya. Demikian pula dengan Paduan Suara yang selalu ikut berpartisipasi didalamnya. Hal ini sering diamati Penulis, baik selama melakukan penelitian maupun diluar masa penelitian. Proses inkulturasi memang terus berjalan, untuk melihat perbandingan transformasi yang terjadi dari proses inkulturasi, berikut ordinarium Gregorian chant dan ordinarium inkulturatif Batak Toba: 60 Buku Puji syukur No. 349 dst, hal 309. Buku Puji syukur No. 355 dst, hal 317. 62 Buku Puji syukur No. 357 dst, hal 320. 63 Buku Puji syukur No. 359 dst, hal 323. 64 Buku Puji syukur No. 361 dst, hal 325. 65 Buku Puji syukur No. 1038 dst, hal 813. 61 75 Ordinarium Gregorian Chant 1) Kyrie eleison (Tuhan Kasihanilah Kami) Sumber http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis1_kyrie_VIII.htm 76 2) Gloria (Kemuliaan) Sumber : http://et-clamor-meus-ad-te-veniat.blogspot.com/2007/01/gloria-in-excelsis-deo.html 77 78 3. Sanctus (Kudus) Sumber : http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis3_sanctus_VIII.htm 4. Agnus Dei (Anak Domba Allah) Sumber : http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis4_agnus_VIII.htm 79 Ordinarium Inkulturatif Batak Toba 1. Tuhan Kasihanilah Kami 2. Kemuliaan 80 3. Kudus 81 4. Anak Domba Allah Dengan melihat transkripsi diatas dapat dilihat perbandingan antara ordinarium Gregorian Chant dengan ordinarium Batak Toba yang telah mengalami inkulturasi. Perubahan-perubahan yang terjadi diantaranya, dari segi bahasa, pemakaian bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Latin sebagai bahasa yang lebih mudah dipahami. Dari segi melodis, irama dan bentuk melodis ordinarium Batak Toba sangat berbeda dengan Gregorian chant. 82 BAB IV TRANSKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL ORDINARIUM BERGAYA BATAK TOBA 4.1 Proses Transkripsi dan Analisis Proses memindahkan, mengalihkan, menotasikan bunyi yang didengar menjadi sebuah simbol visual yang dapat dipahami disebut transkripsi. Dalam menganalisis musik, trankripsi sangat diperlukan sebagai salah satu upaya mendeskripsikan musik itu sendiri. Dalam proses pentranskripsian ini, terdapat empat buah lagu yang akan ditranskripsikan, baik dari nyanyiannya maupun instrumen. Dalam tahap transkripsi struktur musikal dan tekstual Ordinarium, penulis menggunakan pendekatan dari Bruno Netll (1964:98) yang terdiri dari: 1) Proses pentranskripsian dapat dilakukan dengan cara menganalisis dan mendeskripsikan suatu musik dari apa yang didengar, dan 2) Proses pentranskripsian dapat dilakukan dengan cara menuliskan yang kita dengar di atas kertas lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Dalam pentranskripsian struktur musikal dan tekstual Ordinarium, penulis menggunakan tahap kedua. Hal ini dirasakan sesuai dengan metode penulis dan mendukung proses transkripsi karena menghasilkan hasil yang lebih rinci dan mendetail, sedangkan tahap transkripsi pertama tidak dilakukan penulis karena pendengaran dan daya ingat yang terbatas sehingga terkesan menghasilkan transkripsi yang sederhana dan sekedar saja. Dan lagi Bruno Netll (1964:98) mengungkapkan bahwa seandainya telinga manusia dapat merasakan dan mendengar semua isi akustik sebuah ungkapan musik maka tahap pertama 83 tentunya menjadi pilihan utama. Namun daya ingat manusia tidak persis sama terhadap yang didengar sepuluh detik yang lalu, untuk menjadi sebuah bentuk notasi yang penting dalam sebuah penelitian musik. Sebelum mendeskripsikan struktur musikal dan tekstual Ordinarium, pertama-tama penulis melakukan pentranskripsian; yaitu menotasikan bunyibunyi musikal kedalam bentuk simbol yang bisa dilihat dan dipahami. Terdapat empat lagu yang ditranskripsi baik dari nyanyian dan instrumen yang mengiringi, yaitu: Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan, Kudus, dan Anak Domba Allah. Keempat lagu ini sebelumnya telah direkam penulis dengan cara merekonstruksinya kembali yang dilakukan oleh beberapa biarawan Kapusin Santo Fransiskus Asisi Pematang Siantar. Metode yang digunakan penulis dalam proses transkripsi keempat lagu ordinarium ini yaitu: 1) Mendengarkan secara berulang-ulang hasil video rekaman lagu ordinarium yang telah direkam dari lapangan. 2) Setelah mendengar berulang-ulang, kemudian menuliskannya kedalam notasi musik barat. Bila terdapat kesalahan nada maupun ritem maka kembali mendengar berulang-ulang video musik tersebut sampai mendapat hasil yang sesuai dengan yang didengar. Penotasian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan dari program musik dalam komputer yaitu Sibelius. Transkripsi dari keempat lagu ordinarium Inkulturasi Musik Batak Toba pada perayaan Misa Gereja Katolik Santo Antonius Hayam Wuruk Medan dapat dilihat dalam Lampiran. 84 4.2 Model Notasi Berdasarkan beberapa pertimbangan dalam menentukan model notasi untuk menuliskan musik atau nyanyian pada ordinarium ini maka penulis menggunakan bentuk notasi barat. Pentranskripsian keempat lagu ordinarium ini menggunakan sistem notasi barat, meskipun instrumen musik yang ditranskrip mewakili instrumen musik tradisi batak toba yaitu, sulim dan garanttung, namun kedua instrument tersebut sudah mendekati sistem notasi barat, notasi balok. Hal ini digunakan penulis, karena: 1) Sistem notasi balok sudah dikenal secara umum dalam bidang musikologi. 2) Sistem notasi balok memiliki garis paranada yang dapat menggambarkan tinggi rendahnya suatu nada atau suara sehingga hasilnya akan terlihat seperti grafik. 3) Secara ritmis sistem notasi balok mampu membagi setiap nilai ketukan. Dalam proses pentranskripsian penulis membuat atau menggunakan garis dan paranada dan simbol-simbol dibawah ini: 1) Dalam notasi balok, sistem tangga nada bergaris lima digunakan sebagai dasar. Dalam garis paranada inilah dituliskan tandatanda mengenai not, tempo, ketukan, dinamika, dan instrumen yang digunakan. Durasi not dilambangkan dengan nilai yang berbeda-beda, sedangkan tinggi nada dilambangkan pada posisi not secara vertikal pada garis paranada. Not-not yang melambangkan tinggi nada diluar jangkauan kelima garis paranada dapat digambarkan dengan menggunakan garis bantu yang diletakkan diatas atau dibawah paranada. 85 2) Simbol ini merupakan tanda kunci. Tanda kunci berada di awal paranada, yang menunjukkan tinggi nada yang diwakili oleh garis dan spasi pada paranada tersebut. Simbol ini menunjukkan tanda kunci G, artinya garis kedua dari bawah melambangkan nada G pertama. 3) Simbol ini merupakan tanda diam. Artinya tidak mengeluarkan bunyi/suara. Bernilai 4 (empat) ketuk dengan nama tanda diam penuh. 4) Simbol ini merupakan tanda diam yang bernilai 1 (satu) ketuk. Dengan nama tanda diam ¼ . 5) Simbol ini juga merupakan tanda diam yang bernilai1/4 ketuk. Dengan nama tanda diam 1/16. 6) Simbol ini merupakan tanda mula utama yakni tanda mula kress. Tanda mula kress ini diletakkan pada garis f menunjukkan bahwa nada tersebut dinaikkan ½ laras dalam semua oktaf (dimainkan sebagai nada fis). Sehingga menunjukkan karya musik ini bersangkutan dengan tangga nada G mayor atau E minor. 86 7) Simbol ini menyatakan garis paranada dalam kunci G bertangga nada G mayor, disertai dengan birama 4/4. Birama menunjukkan ritme lagu; ketukan lagu. Angka birama yang bagian atas menunjukkan jumlah ketukan per birama, sedangkan angka yang bagian bawah menunjukkan nilai not perketukan. Tanda birama 4/4 menunjukkan terdapat empat ketukan dalam birama dan masing-masing ketukan bernilai not seperempat. 8) Simbol ini merupakan tanda mula kress yang diletakkan pada garis nada f dan c yang menunjukkan bahwa kedua nada ini dinaikkan ½ laras dalam semua oktaf (dimainkan fis dan cis). Sehingga karya musik ini bersangkutan dengan tangga nada D mayor atau B minor. 9) Simbol ini menyatakan garis paranada dalam kunci G bertangga nada D mayor, disertai dengan birama 2/4. Tanda birama 2/4 menunjukkan terdapat dua ketukan dalam birama dan masing-masing ketukan bernilai not seperempat. 10) Simbol ini merupaka mula kress yang diletakkan pada garis nada f, c, g, dan d yang menunjukkan bahwa keempat nada ini dinaikkan ½ laras dalam semua oktaf (dimainkan fis, cis, gis, dan dis). 87 Sehingga karya musik ini berkaitan dengan tangga nada E mayor dan Cis minor. 11) Simbol ini menyatakan garis paranada dengan kunci G bertangga nada E mayor, disertai dengan birama 4/4. Tanda birama 4/4 menunjukkan terdapat empat ketukan dalam birama dan masing-masing ketukan bernilai not seperempat. 12) Simbol ini merupakan not 1/16, dengan nilai not ¼ ketuk. Keempat not 1/16 ini bila digabung akan bernilai satu ketuk. 13) Simbol ini merupakan not 1/8, dengan nilai not 1/2 ketuk. kedua not ini bila digabungkan maka bernilai satu ketuk. 14) Simbol ini merupakan not ¼, dengan nilai not 1 ketuk. 15) Simbol ini merupakan not ¼ dengan not 1/8. Dengan nilai not 1 ½ ketuk. Kedua not ini digabungkan dengan menggunakan tie (garis lengkung perpanjangan), yakni menggabungkan dua not pada titinada yang sama. Satu tie hanya dapat mengikat dua not saja. 88 16) Simbol ini merupakan not ¼ yang bernilai 1 ketuk, dengan menggunakan simbol tremolo. Tremolo artinya getar; bergetar; cara main dengan menggetarkan nada. Not ¼ ini menggunakan dua tremolo. 17) Simbol ini merupakan not ¼ yang bernilai 1 ketuk, dengan menggunakan simbol tremolo. Not ini menggunakan empat tremolo. 18) Simbol ini merupakan not ¼ yang bernilai 1 ketuk, dengan menggunakan simbol buzz roll; drone (z on stem). 19) Simbol ini merupakan not ¼ dengan menggunakan staccato. Artinya dimainkan dengan putus-putus tapi jelas. Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami maknamaknanya. 4.3 Analisis Musikal Dalam mendeskripsikan ordinarium yakni, nyanyian Tuhan Kasihani Kami, Kemuliaan, Kudus, dan Anak Domba Allah penulis mengacu pada teori weighted scale Malm. Malm (1977:7-9) mengatakan ada delapan unsur melodi yang dapat digunakan untuk menganalisis melodi yaitu seperti : (1) tangga nada ; 89 (2) nada dasar ; (3) wilayah nada ; (4) jumlah nada-nada ; (5) jumlah interval ; (6) pola-pola kadensa ; (7) formula-formula melodik ; dan (8) kontur. Penganalisisan kedelapan unsur-unsur tersebut penulis uraikan sebagai berikut: 1) Dalam menganalisis struktur tangga nada, penulis mengurutkan nada-nada terendah sampai tertinggi. Pengertian tangga nada disini tidak sama dengan teori musik barat yang mempunyai struktur interval baku. Penulis hanya mengurutkan nada-nada yang dipakai dalam melodi ordinarium dari nada terndah sampai tertinggi. 2) Untuk menentukan nada dasar penulis menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl dalam “Theory and Method Ethnomusicology” yang mengatakan: “(1)Patokan yang paling umum adalah melihat nada-nada apa yang paling sering digunakan dan nada mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut. (2)Kadangkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada-nada dasar, biarpun jarang dipakai. (3)Nada yang dipakai akhir (awal) komposisi, dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas tersebut. (4)Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun ditengah dapat dianggap penting. (5)Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai patokan. Umpanya sebuah posisi yang digunakan oktaf (nada pertamatersebut boleh dianggap lebih penting). (6)Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa dipakai sebagai patokan tonalitas. (7)Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokanpatokan diatas. Untuk sistem tonalitas tersebut, cara terbaik tampaknya adalah pengalaman lama dan akrab dengan musik tersebut.” (1964:127, terjemahan Marc Perlman, M.A) 90 in 3) Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. 4) untuk melihat frekwensi pemakaian nada-nadanya, Penulis mencacah setiap nada yang muncul sehingga terlihat nada-nada yang sering dan jarang digunakan. 5) Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik ataupun turun (Manoff, 1991:71). 6) Dalam menganalisis formula melodi yang meliputi bentuk, frasa dan motif, penulis mengacu pada teori William P. Malm. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu: a Repetitive yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang. b Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian. c Stropic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. d Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpanganpenyimpangan melodi. e Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. 91 7) Pola Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa yang dijabarkan penulis dalam tiap nyanyian adalah nada-nada terakhir dari tiap bentuk. 8) Dalam mendeskripsikan kontur atau garis melodi dalam sebuah nyanyian penulis mengacu pada teori Malm (Irawan 1997:85) membedakan beberapa jenis kontur, yaitu: a Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. b Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. c Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya. d Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. e Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 92 f Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. g Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan. Dengan melihat acuan diatas penulis menganalisis keempat nyanyian ordinarium sebagai berikut: 4.3.1 Analisis Musikal Nyanyian Tuhan Kasihani kami Dalam menganalisis nyanyian (termasuk nyanyian lain) ini, penulis melampirkan sebagian hasil transkripsi sebagai sampel. Untuk melihat keseluruhan hasil transkripsinya penulis melampirkan pada lampiran. A 1 Keterangan: Huruf kapital melambangkan Angka romawi melambangkan : Bentuk : Frasa 93 Dari hasil transkripsi di atas dapat dilihat bahwa nyanyian ini diawali dengan instrument sulim yang kemudian diikuti oleh garranttung. Kedua instrumen mengawali nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami dengan membawa pola melodi nyanyian tersebut. Pola melodi dari kedua instrumen ini menggunakan melodi nyanyian yang disertai dengan beberapa improvisasi. Tangga nada yang terdapat dalam nyanyian ini diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi yaitu, D-G-A-B-C-D’. Nada yang terendah adalah nada D dan yang tertinggi adalah D’. Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl yang telah disebutkan diatas. Untuk mengaplikasikan pendapat tersebut maka terlebih dahulu nada-nada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya. Tabel 4.1 Distribusi Nada pada Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami Nada Jumlah D 0 0 1 1 2 G 10 0 0 0 10 A 16 12 5 5 38 B 8 12 0 0 20 C 2 6 0 4 12 D’ 0 0 0 2 2 94 Sesuai dengan data dalam tabel diatas, maka yang menjadi tonalitas berdasarkan ketujuh cara yang ditawarkan Netll tersebut adalah: a Nada yang paling sering digunakan adalah nada A dan nada yang paling jarang dipakai adalah nada D b Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada A c Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada A dan nada yang paling akhir D d Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada D, nada yang menduduki posisi pertengahan adalah nada A. e Nada yang memiliki oktafnya adalah nada D f Tekanan ritmis A g Melalui pengalaman – Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami adalah A. Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range) pada nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami adalah dari nada D sampai D’. Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik 95 tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi pemakaian nada dari nyanyian Tuhan Kasihani Kami. Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada A sangat mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 38 kali. Dan yang paling sedikit pemakain nadanya adalah nada D, yakni 4 kali. Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik ataupun turun (Manoff, 1991:71). Berikut ini adalah tabel interval dari keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Tuhan Kasihanilah kami Tabel 4.2 Interval Nada Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami No Interval Jumlah Interval Nyanyian Instrument Tuhan Kasihanilah sulim Kami 21 21 Instrumen Garantung 1 Prime Murni (1P) 2 Sekunder Mayor (2M) Sekunder Minor (2m) Ters mayor (3M) Ters minor (3m) Kwart Murni (4p) Naik 25 43 36 Turun 18 27 22 Naik 12 18 14 Turun 6 11 8 Naik - 1 2 Turun - 6 5 Naik - - 1 Turun 4 5 5 Naik - 2 1 Turun 4 3 2 Kwint Murni (5p) Naik - 1 - Turun - - - 3 4 5 6 7 96 75 Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering muncul adalah interval sekunder Mayor (2M) sebanyak 43 kali. Formula melodi yang dibahas meliputi bentuk, frasa dan motif. Dalam hal ini penulis mengacu pada teori William P. Malm. a Bentuk. Bentuk nyanyian Tuhan kasihanilah kami ini cenderung mengalami pengulangan atau Repettive. Bila dirumuskan terdiri dari A, B, A, dan A’. Bentuk A mengalami satu kali pengembangan menjadi A’, dan bentuk A’ ini merupakan bagian penutup lagu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran transkripsi lagu. b Frasa Pada nyanyian ini terdiri dari enam frasa. Frasa pertama dan ketiga mengalami pengulangan, dan frasa kelima merupakan pengulangan dari frasa pertama. Dan bagian akhir ditutup dengan frasa pertama namun terdapat pengembangan pada nada-nada akhirnya. Sehingga kelihatan bentuk nyanyian ini cederung repetitive. 97 c 1. 3. Motif 2. 4. Terdapat empat motif yang membentuk nyanyian Tuhan Kasihanilah kami. Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap bentuk. 1. 2. Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85) membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami adalah pendulous. Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi ataupun sebaliknya. Bentuk ini dikenal dengan bentuk pendulous. 4.3.1.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Seperti 98 yang dikemukakan oleh W. P Malm (1977:9). “Bila suatu not dipakai untuk masing-masing suku kata dari teks nyanyian tersebut disebut dengan silabis, dan jika suatu suku kata mempunyai beberapa buah not disebut dengan melismatis”. Berikut ini penulis uraikan hubungan teks dengan melodi pada nyanyian Tuhan Kasihani kami: Melismatis: Sillabis: Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma-melisma pendek dalam nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis sebanyak 12 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata. Jarak interval nada-nada yang digunakan pada melisma-melisma tersebut 2M, 2m, 1P. Artinya wilayah nada-nadanya (range) sederhana, hanya pada interval sekunda mayor dan minor. Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 6 motif, dimana setiap suku katanya menggunakan nada yang sama karena bentuk nyanyian ini yang repetitive. Dari hasil pencacahan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan melismatis terlihat mendominasi. 99 Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian Tuhan Kasihani Kami menggunakan tangga nada heksatonik, dengan nada dasar A, nyanyian ini cenderung mayor, dengan garis melodi (kontur) cenderung pendulous, dan bentuk nyanyian repetitive/pengulangan. Dari segi tekstual nyanyian ini banyak menggunakan melisma-melisma pendek yang menggunakan 2-5 suku kata dalam tiap nada, pada interval sekunda mayor dan minor serta dalam range (wilayah nada) yang sederhana. 4.3.2 Analisis Musikal Nyanyian Kemuliaan A 1 A B 2 Tangga nada nyanyian Kemuliaan ini terdiri dari Sembilan nada. Diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi, yakni A-Cis-D-E-Fis-G-A-B-D’. Nada terendah adalah nada A dan tertinggi nada D’. 100 Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl Untuk mengaplikasikan pendapat tersebut pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ini, maka terlebih dahulu nadanada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya. Tabel 4.3 Daftar distribusi nada Nyanyian Kemuliaan Nada Jumlah A 0 1 0 1 0 2 4 Cis 0 3 2 0 0 0 5 D 5 8 2 2 1 3 21 E 4 23 7 17 1 5 57 Fis 4 34 9 17 7 3 7 G 1 26 5 7 0 0 39 A 6 14 0 14 6 7 47 B 0 3 3 6 2 2 20 D’ 0 1 0 8 0 0 9 a Nada yang paling sering dipakai adalah nada Fis dan nada yang paling jarang dipakai adalah nada A. b Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada A. c Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada Fis dan nada yang paling akhir nada A d Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada A dan nada yang menduduki posisi pertengahan adalah nada Fis e Nada yang memiliki oktafnya adalah nada D 101 f Tekanan ritmis Fis g Melalui pengalaman Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat pada nyanyian Kemuliaan adalah Fis Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range) Kemuliaan adalah dari nada A sampai D’. Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi pemakaian nada dari nyanyian Kemuliaan. Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada Fis sangat mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 74 kali. Dan yang paling sedikit pemakain nadanya adalah nada Cis, yakni 5 kali. 102 Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik ataupun turun (Manoff, 1991:71). Berikut ini adalah tabel interval dari keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Kemuliaan. Tabel 4.4 Interval Nada Kemuliaan No Interval Jumlah Interval Instrumen Sulim 66 Nyanyian kemuliaan 38 Instrumen Garantung 344 1 Prime Murni (1P) 2 Sekunder Mayor (2M) Naik 51 79 51 Turun 73 91 75 Sekunder Minor (2m) Naik 15 36 19 Turun 52 35 31 Ters mayor (3M) Naik 2 3 1 Turun - 4 1 Ters Minor (3m) Naik 19 19 18 Turun 12 16 14 Kwart Murni (4P) Naik 7 7 6 Turun 2 3 2 Kwint Murni (5P) Naik 2 5 3 Turun 1 - - Sekta Mayor (6M) Naik 1 - 2 Turun 1 4 1 Oktaf murni (8P) Naik - 1 - Turun - - - 3 4 5 6 7 8 9 103 Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering muncul adalah interval sekunder mayor (2M) sebanyak 124. Formula melodi yang akan dibahas meliputi bentuk, frasa dan motif. Dalam hal ini penulis mengacu pada teori William P. Malm. a Bentuk. Bentuk nyanyian Kemuliaan ini Progresive, yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. Bila dirumuskan terdiri dari A, B, C, D, E, E’, F, F’, G, H, I, I’, I, J, dan K . Dari formula ini terlihat bentuk nyanyiannya terus berubah, walau terdapat beberapa bentuk yang mengalami pengembangan yakni bentuk E, F dan I. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada hasil transkripsi lagu. b Frasa 104 Terdapat duapuluh delapan frasa dalam nyanyian Kemuliaan. c Motif 105 Terdapat duapuluh motif yang membentuk nyanyian Kemuliaan. Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap bentuk. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 106 13. 14. 15. 16. Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85) membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian Kemuliaan ialah conjuct. Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun, bentuk melodi ini disebut dengan istilah conjuct. 4.3.2.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Kemuliaan Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Mengacu pada W. P Malm (1977:9) tentang hubungan teks dengan melodi yang telah disebut diatas, maka penulis menguraikan hubungan teks dengan melodi pada nyanyian Kemuliaan. Melismatis: Silabis: 107 Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma pendek dan panjang dalam nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis sebanyak 24 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata. Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 29 motif. Dari hasil pencacahan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan silabis terlihat mendominasi. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian Kemuliaan menggunakan sembilan nada, dengan nada dasar Fis, nyanyian ini cenderung mayor, garis melodi (kontur) cenderung bergerak melangkah disebut conjuct, dan bentuk nyanyian progressive yakni bentuknya yang selalu berubahubah. Dari segi tekstual nyanyian ini lebih cenderung silabis, dimana satu suku kata dalam tiap nada. 108 4.3.3 Analisis Musikal Nyanyian Kudus A 1 B 2 C 3 Tangga nada nyanyian Kudus ini terdiri dari enam nada. Diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi yakni, G-A-B-C-D-E. Nada terendah adalah nada G dan tertinggi nada E. Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl Untuk mengaplikasikan pendapat tersebut pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ini, maka terlebih dahulu nadanada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya. 109 Tabel 4.5 Distribusi Nada Nyanyian Kudus Nada Jumlah G 1 3 2 0 6 A 11 3 4 0 18 B 16 16 3 2 37 C 10 2 0 0 12 D 3 2 3 0 8 E 3 0 0 0 3 Nyanyian Kudus 1. Nada yang paling sering digunakan adalah nada B dan nada yang paling jarang dipakai adalah nada E. 2. Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada B 3. Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada B dan nada yang paling akhir adalah nada G. 4. Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada G dan nada yang menduduki posisi pertengahan adalah nada B 5. Nada yang memiliki oktafnya tidak ada 6. Tekanan ritmis B 7. Melalui pengalaman – Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat pada nyanyian Kemuliaan adalah B. 110 Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range) Kudus adalah dari nada G sampai E. Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi pemakaian nada dari nyanyian Kudus Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada B sangat mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 73 kali. Dan yang paling sedikit pemakain nadanya adalah nada E, yakni 3 kali. Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik ataupun turun (Manoff, 199: 71). Berikut ini adalah tabel interval dari keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Kudus. 111 Tabel 4.6 Interval nada Nyanyian Kudus No Jumlah Interval Interval Nyanyian Kudus Instrumen Sulim Instrumen Garantung 1 Prime Murni 12 22 118 2 Sekunder Mayor (2M) Naik 19 14 26 Turun 24 27 35 Sekunder Minor (2m) Naik 6 6 8 Turun 12 8 14 Ters mayor (3M) Naik - 6 - Turun 2 1 2 Ters Minor (3m) Naik 4 8 4 Turun - 5 1 Kwart Murni (4P) Naik 1 1 1 Turun - - - Kwint Murni (5P) Naik - - 1 Turun - - - Naik - 1 - Turun - - - 3 4 5 6 7 8 Sekta Mayor Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering muncul adalah interval sekunda mayor (2M) sebanyak 43 kali. Formula melodi yang akan dibahas meliputi bentuk, frasa dan motif. Dalam hal ini penulis mengacu pada teori William P. Malm. 112 a Bentuk. Bentuk nyanyian Kudus ini cenderung, Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian. Bila dirumuskan terdiri dari A, B, A, C, D, C’, E, F, dan C’. Dari formula bentuk nyanyian ini terlihat bentuk A dan C cenderung diulang dan bentuk C mengalami satu kali pengembangan dan mengalami pengulangan serta menjadi bagian penutup dari lagu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada hasil transkripsi lagu. b Frasa Pada nyanyian ini terdiri dari sepuluh frasa. c Motif Terdapat enam motif yang membentuk nyanyian Kudus. 113 Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap bentuk. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85) membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian Kudus ialah conjuct. Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun, bentuk melodi ini disebut dengan istilah conjuct. 4.3.3.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Kudus Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Mengacu pada teori W. P Malm (1977:9). Berikut ini penulis uraikan hubungan teks dengan melodi pada nyanyian Kudus. Melismatis: 114 Silabis: Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma-melisma pendek dalam nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis sebanyak 11 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata. Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 8 motif. Dari hasil pencacahan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan melismatis terlihat mendominasi. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian Kudus menggunakan tangga nada heksatonik, dengan nada dasar B, nyanyian ini cenderung mayor, garis melodi (kontur) cenderung conjuct, dan bentuk nyanyian ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian. Dari segi tekstual nyanyian ini banyak menggunakan melisma-melisma pendek yang menggunakan 2-5 suku kata dalam tiap nada. 115 4.3.4 Analisis Musikal Nyanyian Anak Domba Allah A 1 A 2 B 3 B 4 Tangga nada nyanyian Anak Domba Allah ini terdiri dari enam nada. Diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi yakni, B-E-Fis-Gis-A-B. Dengan nada terendah B dan nada tertinggi B’. 116 Untuk menentukan nada dasar pada nyanyian ini, penulis menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Nettl Untuk mengaplikasikan pendapat tersebut pada nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ini, maka terlebih dahulu nadanada nyanyian ini disusun kedalam tabel keseluruhan jumlah nadanya. Tabel 4.7 Distribusi Nada Nyanyian Anak Domba Allah Nada Jumlah B 0 0 0 2 2 E 15 0 3 1 19 Fis 27 6 0 3 36 Gis 27 0 0 0 27 A 21 3 0 3 27 B 3 6 0 3 12 a Nyanyian Anak Domba Allah 1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada Fis dan nada yang paling jarang dipakai adalah nada B 2. Nada yang memiliki nilai ritmis yang besar adalah nada Fis 3. Nada yang dipakai sebagai nada awal adalah nada Fis dan nada yang paling akhir adalah nada E. 4. Nada yang menduduki posisi paling rendah adalah nada B dan nada yang menduduki posisi pertengahan adalah nada Fis 5. Nada yang memiliki oktafnya tidak ada 6. Tekanan ritmis A 117 7. Melalui pengalaman – Berdasarkan kriteria yang diajukan Netll tersebut dapat ditarik kesimpulan dari tabel yang merupakan hasil dari pencacahan, bahwa nada dasar yang terdapat pada nyanyian Anak Domba Allah adalah Fis Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang paling rendah dengan nada yang paling tinggi dalam satu komposisi lagu. Wilayah nada (range) Anak Domba Allah adalah dari nada B sampai B. Dalam menganalisis sebuah komposisi musik, frekuensi nada yang muncul merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya jumlah nada yang sering digunakan akan menjadi sebuah gambaran tentang komposisi musik tersebut sehingga menjadi ciri khas tersendiri. Berikut uraian tentang frekuensi pemakaian nada dari nyanyian Anak Domba Allah Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa pemakaian nada Fis sangat mendominasi dalam nyanyian ini, yakni sebanyak 36 kali. Dan yang paling sedikit pemakain nadanya adalah nada B, yakni 14 kali. 118 Interval adalah jarak nada yang satu dengan nada yang lainnya naik ataupun turun (Manoff, 1991:71). Berikut ini adalah tabel interval dari keseluruhan nada-nada yang dipakai dalam nyanyian Table 4.8 Interval nada Anak Domba Allah No Interval Jumlah Interval Nyanyian Anak Instrumen Domba Allah Sulim 31 79 Instrumen Garantung 137 1 Prime Murni (1P) 2 Sekunder Mayor (2M) Naik 36 47 46 Turun 19 50 26 Sekunder Minor (2m) Naik 12 18 14 Turun 8 15 9 Ters mayor (3M) Naik - 9 2 Turun 6 9 7 Ters minor (3m) Naik - 2 - Turun - 4 2 Kwart Murni (4p) Naik - 1 1 Turun 2 2 2 Kwint Murni (5p) Naik - 1 1 Turun - 1 2 Oktaf murni (8P) Naik - 1 - Turun - - - 3 4 5 6 7 8 Dengan melihat tabel di atas, maka dapat disimpulkan interval yang sering muncul adalah interval sekunder mayor sebanyak 55 kali. 119 a Bentuk Bentuk nyanyian Anak Domba Allah ini Stropic, yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. Bila dirumuskan terdiri dari A, B, A, B, A dan B’. Bentuk B mengalami pengembangan menjadi B’, dan bentuk B’ ini merupakan bagian penutup lagu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada hasil transkripsi lagu. b Frasa Pada nyanyian ini terdiri dari duabelas frasa. c Motif 120 Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa yang dijabarkan penulis dalam nyanyian ini adalah nada-nada terakhir dari tiap bentuk. 1. 3. 2. 4. 5. 6. 7. Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm ( Irawan 1997:85) membedakan beberapa jenis kontur. Dari beberapa istilah yang dikemukakan Malm, maka penulis melihat kantur yang terdapat pada nyanyian pendulous. Pergerakan melodi dari nyanyian ini cenderung bergerak dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi ataupun sebaliknya, atau lebih dikenal dengan bentuk pendulous. 4.3.4.1 Hubungan Teks dengan Melodi Nyanyian Anak Domba Allah Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks. Mengacu 121 teori yang dikemukakan oleh W. P Malm (1977:9). Berikut ini penulis uraikan hubungan teks dengan melodi pada nyanyian Anak Domba Allah. Melismatis: Silabis Sampel di atas merupakan melismatis dan silabis yang timbul akibat hubungan melodi dengan teks. Terdapat beberapa melisma-melisma pendek dalam nyanyian ini. Setelah melakukan pencacahan, terdapat penggunaan melismatis sebanyak 11 motif dengan menggunakan 2-5 nada dalam satu suku kata. Sedangkan penggunaan silabis sebanyak 15 motif, dimana setiap suku katanya menggunakan nada yang sama dalam pergerakan melodinya. Dari hasil pencacahan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan silabis terlihat mendominasi. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan dari segi musikal nyanyian Anak Domba Allah menggunakan tangga nada heksatonic, dengan nada dasar Fis, nyanyian ini cenderung mayor, pergerakan melodi (kontur) cenderung pendulous, dan bentuk nyanyian stropic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. Dari segi tekstual nyanyian ini cenderung menggunakan silabis dimana tiap satu kata terdapat satu nada. 122 4.4 Analisis Tekstual Dalam analisis tekstual keempat nyanyian ordinarium, penulis membahas tentang terjemahan teksnya serta makna yang terkandung di dalamnya. 4.4.1 Terjemahan Teks Tuhan Kasihanilah Kami Kyrie eleison Tuhan kasihanilah kami Christe eleison Kristus kasihanilah kami Kyrie eleison Tuhan kasihanilah kami 4.4.1.1 Makna Teks Tuhan Kasihanilah Kami Dalam tata peribadatan Misa, nyanyian Tuhan Kasihanilah kami ditempatkan pada awal perayaan setelah pernyataan tobat. Sebagai bagian dari pernyataan tobat, nyanyian ini bersifat seruan. Seruan “Tuhan, kasihanilah kami” merupakan seruan memohon kepada Tuhan dan memohon belas kasih-Nya. Nyanyian ini dibawakan dengan cara bergantian antara umat dengan Imam (pemimpin upacara) atau antara umat dengan solis dan dapat dinyanyikan secara bersama-sama. Sehingga bentuk nyanyian ini cenderung repetitive/pengulangan. 4.4.2 Terjemahan Teks Kemuliaan Gloria in excelcis Deo, et in terra pax hominibusbonae voluntatis Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya. Laudamus te, benedicimus te, adoramus te, glorificamus te Kami memuji Engkau, kami memberkati Engkau, kami menyembah Engkau, kami memuliakan Engkau. Gratias agimus tibi propter magnam gloriam tuam 123 Kami berterima kasih kepada-Mu atas kemuliaan-Mu yang agung Domine Deus, Rex coelestis, Pater omnipotens, Domine Fili unigenite,Jesu christe,Domine Deus, Agnus Dei, Filius Patris Tuhan Allah, Raja Surgawi, Allah Bapa Yang Mahakuasa, Anak yang tunggal, Yesus Kristus, Domba Allah, Putra dari Bapa Qui tollis peccata mundi Miserere nobis, suscipe deprecationem nostrum Yang menghapus dosa-dosa dunia, kasihanilah kami, kabulkanlah doa kami Qui sede ad dexteram Patris, Miserere nobis Yang duduk di sebelah kanan Allah Bapa, kasihanilah kami Quoniam tu solus sanctus, tu solus Dominus, tu solus altissimo, Jesu Christe Karena hanya Engkaulah yang suci, hanya Engkaulah Tuhan, hanya Engkaulah yang Maha Tinggi, Yesus Kristus Cum Sancto Spiritu in Gloria Dei Patris.Amen Bersama Roh Kudus dalam kemuliaan Allah Bapa. Amin 4.4.2.1 Makna Teks Kemuliaan Kemuliaan merupakan nyanyian pujian yang meriah, dinyanyikan oleh seluruh umat secara bersama-sama, atau bergantian dengan umat dan paduan suara, atau hanya paduan suara saja. Menurut sejarah Gereja, Kemuliaan merupakan komposisi paling tua di dalam tradisi gereja. Kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman Kristen kuno. Lewat madah ini Gereja yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Tuhan serta memohon belas kasih-Nya. Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Nyanyian Kemuliaan dibuka oleh imam atau oleh solis atau hanya oleh koor. 124 Kalau tidak dilagukan, madah kemuliaan ini dilafalkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan. Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya pesta, pada perayaan-perayaan meriah, dan pada hari Minggu di luar masa Adven dan Prapaskah. 4.4.3 Terjemahan Teks Kudus Sanctus, sanctus, sanctus, Dominus Deus Sabaoth. Pleni sunt coeli et terra gloria ejus Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah Yang Mahatinggi. Di surga dan di bumi penuhlah kemuliaan-Mu Osanna in excelsis Hosanna di tempat yang mahatinggi Benedictus qui venit in nomine Domini. Osanna in excelsis Diberkatilah Ia yang dating atas nama Tuhan. Hosanna di tempat yang mahatinggi 4.4.3.1 Makna Teks Kudus Nyanyian kudus merupakan sebuah aklamasi, berasal dari bahasa Latin, acclamatio (baca : aklamatsio), yaitu seruan sekelompok orang untuk menanggapi seruan orang lain (mendukung/menyetujui), atau untuk menghormati seseorang. Namun dalam pengertian liturgi, aklamasi merupakan tanggapan atau jawaban umat terhadap salam atau ajakan seorang imam pemimpin Perayaan Ekaristi. Contoh aklamasi: “amin”, “dan serta-Mu juga”, “sekarang dan selama-lamanya”, “syukur kepada Allah”. Sebagai aklamasi, nyanyian ini merupakan seruan kegembiraan yang diungkapkan dengan sorak-sorai, semangat, dan dianjurkan untuk selalu 125 dilagukan. Nyanyian ini dinyanikan oleh imam, seluruh umat dan paduan suara. Menurut Kitab Suci, seruan “Kudus” adalah adegan surgawi dimana Nabi Yesaya melihat Allah duduk diatas singgasana yang mulia, dan para Seraphim berdiri dihadapan-Nya sambil bernyanyi: “Kudus, kudus, kudus, Tuhan segala Tuhan. Seluruh bumi penuh dengan kemuliaan-Nya”. Nyanyian ini merupakan bagian yang penting dalam Doa Syukur Agung, suatu doa syukur dan pengudusan, dimana dalam doa ini umat diajak untuk mengarahkan hati kepada Tuhan agar seluruh umat menjadi satu dengan Kristus dalam mempersembahkan kurban Tubuh dan Darahnya yang berupa wujud Roti dan Anggur. 4.4.4 Terjemahan Teks Anak Domba Allah Agnus Dei, qui tollis peccata mundi, Miserere nobis Domba Allah, yang menghapus dosa-dosa dunia, kasihanilah kami Agnus Dei, qui tollis peccata mundi, dona nobis pacem Domba Allah, yang menghapus dosa-dosa dunia, berilah kami damai sejahtera. 4.4.4.1 Makna Teks Anak Domba Allah Nyanyian ini dinyanyikan untuk mengiringi “pemecahan roti” atau hosti oleh imam di meja altar. Saat imam memecah-mecah roti dan memasukkan sepotong kecil dari roti kedalam piala yang berisi anggur, maka secara bersamaan dinyanyikan Anak Domba Allah bersama umat, solis, dan paduan suara. Pada mulanya ritus “pemecahan roti” sangat rumit dan memakan waktu yang lama. Maka biasanya ritus ini diiringi oleh pelbagai macam nyanyian. Paus Sergius I (687-701) memasukkan nyanyian Anak Domba Allah untuk mengiringi ritus pemecahan roti. Teks ini didasarkan pada kata-kata Santo Yohanes 126 Pembabtis ketika ia memperkenalkan Yesus kepada beberapa orang dari muridmurid-Nya. Kemudian ritus “pemecahan roti” ini menjadi singkat maka Anak Domba Allah dinyanyikan hanya tiga kali. Anak Domba Allah merupakan Yesus sendiri yang merupakan satu-satunya kurban untuk penebusan dosa-dosa manusia. 127 BAB V PENUTUP 5.1 RINGKASAN Inkulturasi dalam gereja Katolik memang telah ada dan berlangsung prosesnya sebelum Konsili Vatikan II, namun hal ini terlihat belum menjadi fokus penting dan perhatian gereja. Selama proses dan perjalanannya, inkulturasi membawa perubahan dan dampak terhadap berbagai hal, sehingga dalam Konsili Vatikan II ini menjadi sebuah pembahasan yang penting untuk dikaji dan diperhatikan oleh gereja. Setelah Konsili Vatikan II, berbagai dokumen-dokumen tentang inkullturasi dihasilkan dan inkulturasi diusahakan dalam gereja secara lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Keterbukaan gereja terhadap tradisi-tradisi dan budaya-budaya lokal, disadari karena gereja berdiri di berbagai daerah, suku, bahasa dan bangsa. Sehingga perlu adanya keterbukaan terhadap nilai kekayaan budaya dan tradisi dari daerah, suku, bahasa dan bangsa tersebut. Sejauh unsur-unsur dari kebudayaan itu tidak bertolak belakang dengan ajaran pokok agama Katolik. Inkulturasi mendapatkan tempat dan bentuknya dalam gereja, baik dari bahasa, bangunan gereja, pakaian, musik liturgi dan sebagainya. Sebelum adanya inkulturasi, setiap perayaan misa musik liturgi yang digunakan adalah gregorian chant ataupun polifoni suci. Hal ini memang merupakan musik liturgi yang diresmikan gereja Katolik dalam tiap misa. Namun bagi kebanyakan umat, gregorian chant atau polifoni suci kurang bisa dipahami, dimengerti, diapresiasi, serta berpartisipasi di dalamnya. Terkendala oleh 128 beberapa hal, baik dari segi bahasa yang digunakan, maupun bentuk musik yang cukup sulit dinyanyikan. Itulah sebabnya gereja mulai terbuka terhadap tradisi serta budaya setempat, demi kepentingan umat, sehingga inkulturasi dirasakan penting di berbagai daerah misi gereja. Penggunaan unsur-unsur musik tradisi/ lokal mulai digunakan, disesuaikan dan dikreasikan dalam musik Liturgi sehingga tercipta kreasi baru yang luhur, yang lebih dikenal dan dimengerti oleh umat setempat. Salah satu hasil konsili yang menyatakan keterbukaan gereja terhadap tradisi-tradisi dan budaya lokal, terdapat dalam Sacrosanctum Consilium (SC). “Konsili memberi kedudukan pada musik dan nyanyian sebagai bagian yang penting dan integral dari liturgi (SC 112). Konsili memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah misi, untuk membentuk sikap religius umat setempat dan dalam menyesuaikan liturgi dengan sifat dan perangai umat setempat (SC 119). Oleh karena itu, alat-alat musik lain (selain organ pipa) dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman (SC 120). Nyanyian Gregorian dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun jenisjenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi (SC 116)”. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan, inkulturasi musik liturgi dalam bentuk-bentuk musik tradisi/lokal sangat diapresiasi dan dihargai. Terlihat dalam pemakaian ordinarium yang bernuansa Batak Toba dengan memakai ansambel gondang hasapi dalam perayaan misa menunjukkan kesungguhan gereja terhadap inkulturasi. Makna inkulturasi dalam liturgi gereja ialah membuat umat berpartisipasi secara lebih penuh ke dalam perayaan misa. Prinsip dasar 129 inkulturasi bukan untuk kepentingan budaya tetapi untuk kepentingan liturgi, sehingga umat yang datang ke gereja bisa berpartisipasi secara lebih. Lebih dalam pengertian, lebih bersemangat dan lebih berdaya guna untuk hidupnya. Hal inilah yang membuat Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang arti pluralisme gereja dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia. Inkulturasi pada dasarnya merupakan cara mewartakan iman di tengah budaya plural. Yaitu, pewartaan iman yang masuk ke dalam berbagai budaya. Tentunya hal ini bukan sekedar basa-basi saja, namun bertujuan supaya iman sungguh berakar dan meresapi sebuah kehidupan orang perorangan dan masyarakat, maka iman itu sedapatnya harus menyatu dengan kebudayaan supaya dapat diekspresikan selaras dengannya. 5.2 Kesimpulan Bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa gereja Katolik pada awalnya adalah Gregorian chant. Bentuk musik ini bersifat monofonik tanpa iringan alat musik, karena pada saat itu alat musik dipakai sebagai ritual penyembahan berhala sehingga gereja tidak mengijinkan alat musik masuk ke dalam peribadatan. Gregorian chant selalu menggunakan teks-teks bahasa Latin dan bersifat restitatif. Musik Gregorian chant disusun berdasarkan modus gerejawi yang terdiri dari: Doris (D), Frigris (E), Lydis (F), Mixolydis (G). Jadi, tidak mengenal mayor-minor seperti dalam musik tonal. Tidak mengenal metrum (3/4, 6/8, 4/4), melainkan berdasarkan suatu sistem ritmik tertentu (iramanya bebas). 130 Setelah proses inkulturasi sebagai hasil Konsili Vatikan II banyak nyanyian ordinarium yang sengaja diciptakan dengan menggunakan unsur-unsur musik tradisi/lokal. Salah satunya ordinarium yang menggunakan unsur-unsur musik Batak Toba yang digunakan dalam Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan Dari hasil analisis struktur musikal terhadap ke empat nyanyian ordinarium dapat dilihat keseluruhan unsur-unsur musik yang terdapat di dalamnya. Dari segi tangga nada nyanyian ordinarium memang cenderung heksatonik kecuali nyanyian Kemuliaan. Hal ini memang berbeda dengan musik Batak Toba yang lebih cenderung pentatonik. Namun dari segi frekwensi pemakaian nada-nadanya, penulis melihat terdapat kemiripan terhadap nada-nada pentatonis Batak Toba. Kemiripan ini terlihat pada nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami yang menggunakan nada-nada, G-A-B-C-D, nyanyian Kemuliaan yang menggunakan nada-nada D-E-Fis-G-A, nyanyian Kudus yang menggunakan G-AB-C-D, dan nyanyian Anak Domba Allah menggunakan nada-nada E-Fis-Gis-AB. Kontur nyanyian ordinarium yang cenderung melangkah/conjuct dalam nyanyian Kemuliaan dan Kudus dan pendulous pada nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami dan Anak Domba Allah. Dari segi bentuk nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami cenderung repetitive, nyanyian Kemuliaan cenderung progressive, nyanyian Kudus cenderung iratif, dan nyanyian Anak Domba Allah stropic. Meskipun dari segi tangga nada tidak memiliki kemiripan, namun aransemen gondang hasapi membuat keempat nyanyian ordinarium terasa bernuansa Batak Toba. Untuk melihat adanya hubungan nyanyian dengan 131 ansambel gondang hasapi, penulis melakukan pentraskripsian pada instrumen sulim dan garranttung. Penulis melakukan pentranskripsian pada kedua instrumen ini karena merupakan instrumen yang representative dari gondang hasapi. Instrumen sulim dan garrantung dianggap representative karena mampu mengikuti pola-pola melodis dari keempat nyanyian ordinarium dengan melakukan improvisai-improvisasi sehingga terasa nuansa musik Batak Tobanya. Keempat nyanyian ordinarium ini tidak dapat diketahui secara pasti mengikuti pola musik atau repertoar gondang apa, namun Penulis melihat dalam setiap Misa bila menggunakan ansambel gondang maka ordinarium yang digunakan adalah ordinarium yang dianalisis penulis. Penulis mendapatkan keempat nyanyian ordinarium dari Buku Doa dan Nyanyian Gerejawi Puji Syukur yang digunakan oleh Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan. Dari segi tekstual, penterjemahan teks nyanyian ordinarium dari bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia memudahkan umat untuk dapat memahami isi dan makna dari keempat nyanyian ordinarium. Pemahaman dan pendalaman terhadap nyanyian menciptakan apresiasi, partisipasi, serta pemaknaan bagi umat Katolik Santo Antonius Hayamwuruk Medan. Dengan pengkajian struktur musikal dan tekstual dari keempat nyanyian ordinarium ini, maka penulis menyimpulkan dengan demikian hal ini bisa diterima oleh umat katolik di Santo Antonius Hayamwuruk, karena dekat dengan budaya dan tradisi setempat. 132 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Alwasilah, Chaedar. A. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Badudu, S.J., & Mohammad Zain, Sutan. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusataka Sinar Harapan. Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Banjarnahor, Dussel. S. 2012. Pengaruh Konsili Vatikan II Terhadap Inkulturasi Musik Liturgi Dalam Ofisi di Biara Ordo Kapusin Santo Fransiskus Asisi Pematangsiantar. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Boelaars, Huub. J.W.M. 2005. Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cunha, Bosco da. 2012. Ekaristi Memahami Misa Kudus Demi Penghayatan yang Utuh. Obor: Jakarta. Dwiloka, Bambang & Riana, Rati. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Arikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Manalu, Hotma Uli. 2009. Fungsi dan Peranan Gondang dalam Penerimaan Sakramen Krisma di Gereja Katolik Santo Diego Martoba Paroki Pasar Merah Medan; Sebuah Kajian Deskriptif. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall. Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Penerbit: Ghalic Indonesia Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi (ed). Jakarta: Rineka Cipta Komisi Liturgi KWI. 2002. Pedoman Umum Misale Romanun Baru. Flores: Nusa Indah 133 Komisi Liturgi KWI. 1992. Puji Syukur Buku Doa dan Nyanyian Gerejawi. Obor: Jakarta Konsili Vatikan II. 1963. Sacrosanctum Consilium. Vatikan, Roma. Kurris, R. 2006. Pelangi di Bukit Barisan Gereja Katolik Memasuki Tapanuli. Yogyakarta: Kansius. Martasudjita, E. & Kristianto, J. 2007. Memilih Nyanyian Liturgi, Panduan untuk Petugas. Yogyakarta: Kanisius. McNeil, Rhoderick. 2002. Sejarah Musik 1. Jakarta: Gunung Mulia Merriam, Alan P. 1964. The Antrhopology of Music. USA: Nortwestern University Merriam, Allan P. 1995. Beberapa Definisis tentang Musicology Comparatif dan Etnomusikologi: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis. Supanggah (Editor). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe. Prier, Karl-Edmund. 1991. Sejarah Musik Jilid 1. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi Prier, Karl-Edmund. 1993. Sejarah Musik Jilid 2. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi Prier, Karl-Edmund. 1999. Inkulturasi Musik Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi Prasetyantha, Y.B. (Ed.). 2008. Ekaristi dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius. Sugiyono, Frans. 2010. Mencintai Liturgi. Yogyakarta: Kanisius Tanjung, Bahdin Nur & Arial, H. 2005. Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Triswanto, Sugeng. D. 2010. Trik Menulis Skripsi & Menghadapi Presentasi Bebas Stress. Yogyakarta: Tugu Publisher. 134 Wardhani, Rikalufi W. 2003. Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia Pasca Konsili Vatikan II. Skripsi. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negri. Daftar Website http://m.hidupkatolik.com/index.php/2012/11/14/inkulturasi-tidak-gampang http://indonesia.ucanews.com/2009/12/21/indonesia-budaya-batak-memperkayagereja-katolik-sumatera/ http://id.wikipedia.org/wiki/Misa http://m.hidupkatolik.com/index.php/2013/03/05/karl-edmund-prier-sj-tetap-setiamencipta-lagu. http://Sejarah_Gereja_Katolik_di_Indonesia.htm http://directory.ucanews.com/country/indonesia/13 http://Agama_di_Indonesia.htm http://www.reginacaeli.org/index.php?option=com_content&task=view&id=577& Itemid=1 http://sejarahindonesiasma.wordpress.com/2012/10/ http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah Gereja Katolik di Indonesia http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html http://id.wikipedia.org http://www.ignatiusloyola.net/2007/10/kongregasi-jendral-ke-35-serikatyesus.html Wikipedia.Org/Wiki/Agama_di_Indonesia http://keuskupanbandung.org/main/post/376 http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html http://xeanexiero.blogspot.com/2007/05/alat-alat-musik-sumatera-utara.html alansondheim.org http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis1_kyrie_ VIII.htm http://et-clamor-meus-ad-te-veniat.blogspot.com/2007/01/gloria-in-excelsisdeo.html http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis3_sanctu s_VIII.htm http://www.mscperu.org/gregoriano/gpartiduras/gregoriano_notas/angelis4_agnus _VIII.htm 135 DAFTAR INFORMAN 1. Nama : Kornelius Sipayung OFM Cap Usia : Tahun Alamat : Jl Medan Km 6,5 Pematang Siantar Pekerjaan: Biarawan (Kepala Biara Santo Fransiskus Pematangsiantar) 2. Nama Usia : Karolus Sembiring OFM Cap : 51 Tahun Alamat : Jl Hayamwuruk No 1 Medan Pekerjaan: Biarawan (Pastor Paroki Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan) 3. Beberapa Frater/Biarawan Kapusin Pematangsiantar Tingkat Akhir 136 LAMPIRAN A. Transkripsi Keempat NyanyianOrdinarium Batak Toba A 1 A 2 137 B B 3 B B 4 A 5 A’ 6 Keterangan: Huruf kapital melambangkan : Bentuk Angka romawi melambangkan : Frasa 138 A 1 A B 2 C B 4 3 139 C 5 C D 6 D E 7 8 E 9 140 E’ E 10 E’ 11 F E’ 12 F F 13 Keterangan: Huruf kapital melambangkan : Bentuk Angka romawi melambangkan: Frasa 141 F’ F 14 F’ F’ 15 F’ G G 16 G G 17 Keterangan: Huruf kapital melambangkan : Bentuk Angka romawi melambangkan 142 : Frasa G G 18 19 G H 20 H H 21 H I 22 143 I I’ 23 I’ I 24 I J K 25 K K 26 144 K K 27 K 145 A 1 B 2 Keterangan: Huruf kapital melambangkan Angka romawi melambangkan A 3 : Bentuk : Frasa 146 C 4 C D 5 D 6 C’ E 7 8 C’ F 9 147 C’ 10 Keterangan: Huruf kapital melambangkan Angka romawi melambangkan : Bentuk : Frasa 148 A 1 A B 2 Keterangan: Huruf kapital melambangkan Angka romawi melambangkan 3 : Bentuk : Frasa 149 B 4 A 5 A B 6 7 B 8 150 A 9 10 B’ 11 B’ 12 Keterangan: Huruf kapital melambangkan : Bentuk Angka romawi melambangkan: Frasa 151