DIAM ITU MUSIK *) A.J. Tjahjoanggoro Musik tidak harus selalu identik dengan bunyi atau suara. Dalam hening pun ada musik. Dalam komposisi musik sering ada pula ’jeda’ yang dinotasikan angka dengan simbol ’0’. Tak jarang pula dalam pembawaan lagu, notasi ’0’ diterjang dengan bunyi/suara. Namun sebaliknya notasi ’. . .’ seringkali pula dijeda (hilang suara) sebelum selesai ketukannya. Tentu sedikit banyak penyimpangan musikalitas ini akan mengganggu cita rasa seni musik dalam lagu tersebut. Bayangkan pula saat mengheningkan cipta yang biasanya dilakukan pada saat upacara peringatan Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Para peserta tunduk sejenak beberapa saat ketika inspektur upacara mengawali instruksi ’Mengheningkan cipta, mulai!’ hingga diakhiri dengan ucapan ’Mengheningkan cipta, selesai!’ Namun ada kalanya saat mengheningkan cipta, diiringi dengan instrumentalia atau nyanyian senandung koor. Sejauh iringan instrumentalia atau nyanyian senandung koor sayupsayup menunjang, suasana hening akan tercipta dan merasuk sukma. Dalam kehidupan membiara atau acara rekoleksi/retret dan semacamnya, suasana hening (silentium) mutlak diperlukan agar bisikan TUHAN terdengar jelas di lubuk hati yang terdalam seiring dengan proses wiweka (discernment) untuk menemukan dan menyelami kehendak Tuhan yang tersembunyi. Dalam bermusik pun tidak menutup kemungkinan lagu dibawakan dengan a capella (tanpa iringan instrumen musik). Pada awal mulanya lagu-lagu gregorian sebagai cikal bakal musik gereja dinyanyikan hanya dengan komposisi satu suara, tanpa birama dan tanpa iringan. Artinya, musik gereja dihadirkan dengan kesahajaan hati penuh rasa sembah dan bakti. Ada pepatah dalam bahasa latin yang sudah dikenal banyak umat yaitu ’qui bene cantat bis orat’. Bagi siapa yang bernyanyi dengan baik (benar, indah dan suci) sama halnya dengan berdoa dua kali. Dalam arti, musik gereja menghantarkan umat untuk lebih dekat dengan Tuhan. Namun tidak berarti semua tata ibadat harus dinyanyikan atau diiringi dengan musik. Dalam tata ibadat katolik khususnya Tata Perayaan Ekaristi (TPE), tidak setiap lagu rohani kristiani tepat untuk dibawakan jika belum memenuhi persyaratan kaidah musik liturgi katolik yang dapat dipertanggungjawakan secara biblis, teologis dan pastoral. Romo Suryanugraha, OSC (Pimpinan ILSKI – Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia, Bandung) mengemukakan prinsip dalam memilih nyanyian untuk Misa bahwa: (1) nyanyian perlu dipilih dan disertakan untuk mengiringi Misa, (2) fungsi nyanyian itu sendiri dimengerti secara benar, tidak sekedar mengisi kekosongan atau menghiasi antara bagian Misa. Lagu yang seyogyanya dibawakan oleh segenap umat dalam Misa adalah: (a) lagu proprium (Pembukaan, Komuni), (b) lagu mazmur tanggapan, (c) lagu ordinarium (Kyrie, Gloria, Credo, Agnus Dei) dan (d) lagu aklamasi (Bait Pengantar Injil, Sanctus, Aklamasi Anamnesis, Amin Meriah, Doksologi “Bapa Kami “). *) Artikel ini merupakan sumbangsih atas nama komunitas Sasana Widya Musik Gereja MAGNIFICAT Surabaya untuk diusulkan dimuat pada Tabloid JUBILEUM. 2 Sementara itu nyanyian tambahan seperti Persiapan Persembahan, Madah/Doa Syukur sesudah Komuni, Penutup/Perarakan ke luar dan Litani bersifat fakultatif (boleh dinyanyikan oleh koor saja atau hening tanpa nyanyian). Lagu persiapan persembahan dinyanyikan atau diiringi dengan musik instrumentalia bila ada perarakan. Jika tidak ada perarakan, imam bersama umat dapat melakukan ritual persembahan di altar dengan khidmat. Demikian pula halnya lagu sesudah komuni seyogyanya ditiadakan untuk memberikan kesempatan kepada umat agar dapat berdoa secara pribadi dan mempersiapkan diri untuk menerima berkat perutusan dari imam. Lagu penutupan/perarakan ke luar bisa diganti dengan iringan meriah mengiringi perarakan imam dan para petugas misa. Selepas perarakan diharapkan tercipta kembali suasana hening agar umat dapat mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan secara pribadi. Semoga ungkapan peribahasa ’Silentium est aureum — Silence is golden’ dalam bermusik di gereja teristimewa dalam Perayaan Ekaristi sungguh terwujud sehingga diharapkan imam bersama umat dapat menemukan misteri kehendak Allah yang tersembunyi secara pribadi dan abadi dalam perutusan kasih. Amin. Denpasar, 31 Oktober 2009 Salam Magnificat, A.J. Tjahjoanggoro