METODE DETEKSI UNTUK PENGUJIAN RESPON KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP INFEKSI CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV) ENDANG OPRIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)” adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 5 Februari 2009 Endang Opriana A451060081 ABSTRACT ENDANG OPRIANA. Detection Methods for Evaluastion of Response of Chillipepper Genotypes to chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) Infection Survey SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and SRIANI SUJIPRIHATI. Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) are considered one of the major constraints to chilli production In Indonesia. Preliminary surveys in several provinces in 2005 indicated that ChiVMV were causing disease incidence up to 100%. The use of resistance varieties has become the major focus for controlling ChiVMV. To support breeding activities in developing chillipepper varieties resistace to ChiVMV, rapid and accurate detection method is required. The research was conducted involving three activities: 1) survey to chillipepper growing area to collect field isolates of ChiVMV; 2) evaluation of detection method for ChiVMV, i.e: ELISA, DIBA, and RT-PCR; 3) evaluation of chillipepper genotypes for resistence to ChiVMV. It was evidenced from the survey that ChiVMV infection has spread widely in chillipepper growing area. Thirteen isolates of ChiVMV were collected and 5 of them showing different symptom types were selected for further studies. Three detection methods tested using 5 different ChiVMV isolates showed variability results in term of their sensitifity. I-ELISA was able to detect ChiVMV at the level of 1: 10.000 (b/w) of leaf extraction; whereas DIBA has less sensitifity with detection level of 1 : 1.000 of leaf extract. However, DIBA requires less amount of antiserum and shorter detection time than I-ELISA. Specific DNA fragment of ChiVMV i.e. 800 bp in size was successfully amplified using RTPCR. Evaluation of genotypes showed that IPB C1, PBC 521, IPB C10 with highly resistance response and IPB C8, IPB C17, IPB C 14 and Keriting Sumatera with resistence response might be useful for further breeding activities to develop ChiVMV resistance varieties. It was further proved that IPB C99 showed high signal in DIBA when inoculated with the most virulent ChiVMV isolates (CKB) and less virulent isolates (BL) while IPB C521 showed very weak signal in inoculated leaves in DIBA when inoculated with the most virulent ChiVMV isolates (CKB). Its proved that plant response to virus infection definately related to plant genotipes and virulence level of pathogen. Key words: ChiVMV, chillipepper, survey, detection, resistance RINGKASAN ENDANG OPRIANA. Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV). Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan SRIANI SUJIPRIHATI. Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) telah menjadi salah satu kendala produksi cabai di Indonesia. Survei yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2005 melaporkan kejadian penyakit ChiVMV di lapangan mencapai 100%. Metode pengendalian ChiVMV telah diarahkan dengan penggunaan tanaman tahan. Untuk mendukung kegiatan pemulian tanaman dalam mengembangkan varietas cabai tahan ChiVMV, ketersedian metode deteksi yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan. Tiga kegiatan telah dilaksanakan penelitian ini yaitu 1) mengumpulkan isolat ChiVMV dari beberapa sentra tanaman cabai; 2) mengevaluasi metode deteksi yang sesuai untuk ChiVMV yaitu I-ELISA, DIBA dan RT-PCR; 3) menguji respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV. Hasil survei yang telah dilakukan menunjukan bahwa infeksi ChiVMV telah menyebar semakin luas dilapangan. Dari 13 isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca selanjutnya 5 isolat yang mewakli masing-masing lokasi survei dan memilki karakteristik gejala yang berbeda dipilih untuk pengujian lebih lanjut. Tiga metode deteksi yang dipilih untuk menguji 5 isolat ChiVMV menunjukkan tingkat sensitifitas yang berbeda. I-ELISA mampu mendeteksi ChiVMV hingga taraf pengenceran 1 : 10.000 sedangkan metode DIBA mampu mendeteksi hingga taraf pengenceran 1 : 1.000. Meskipun demikian metode DIBA hanya menggunakan anti serum dalam jumlah yang lebih sedikit dan waktu deteksi yang lebih singkat dari pada I-ELISA. Deteksi ChiVMV dengan RT-PCR berhasil mengamplifikasi fragmen DNA spesifik ChiVMV berukuran 800 bp. Evaluasi beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV menunjukkan bahwa IPB C1, PBC 521, IPB C10 memberikan respon sangat tahan, sedangkan IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera memberikan respon tahan. Ketujuh genotipe cabai tersebut berpotensi digunakan dalam kegiatan pemulian tanaman untuk mendapatkan genotipe cabai tahan ChiVMV. Lebih lanjut diketahui bahwa genotipe IPB C99 yang telah diinokulasi dengan isolat virulen (CKB) dan isolat lemah (BL) tetap menunjukkan signal yang kuat pada membran nitroselulosa, sedangkan genotipe IPB C521 hanya menunjukkan signal pada daun yang diinokulasi. Hal tersebut membuktikan bahwa respon tanaman terhadap infeksi ChiVMV tergantung pada genotipe tanaman dan tingkat virulensi virus. Kata kunci : ChiVMV, cabai, survei, deteksi, ketahanan ď›™Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB METODE DETEKSI UNTUK PENGUJIAN RESPON KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP INFEKSI CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV) ENDANG OPRIANA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Proteksi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Giyanto, M.Si Judul Tesis Nama NIM : Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) : Endang Opriana : A451060081 Disetujui Komisi Pembimbing Diketahui Tanggal Ujian: 5 Februari 2009 Tanggal lulus: 6 Februari 2009 PRAKATA Syukur Alhamdulillah tiada terkira penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Rabb yang memberi segala kemudahan sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tesis yang berjudul Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister sains pada Sekolah Pascasarjana IPB. Penelitian dan penulisan tesis ini dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. Terimakasih dan penghargaan sedalam-dalamnya penulis sampaikan atas segala kesabaran, arahan dan bimbingan yang diberikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah mendanai penelitian ini sebagai bentuk kerjasama kemitraan penelitian pertanian dengan perguruan tinggi (KKP3T). Terimakasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Departeman Proteksi Tanaman, Ketua PS Entomologi-Fitopatologi atas kesedian menerima penulis untuk studi di IPB. Dosen-dosen di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sriwijaya Dr. Suparman, SHK, Ir. Harman Hamidson, MP, Dr. Chandra Irsan, M.Si, dan Dr. Abdul Mazid, M.Si yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan selama ini. Tanpa mengurangi rasa hormat, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman atas izin penggunaan bahan dan alat serta rumah kaca Cikabayan. Kepada Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura atas bantuan bahan genetik dan fasilitas. Kepada Mbak Tuti Susanti Legiastuti, Pak Edi, dan Pak Saefudin atas bantuan pengetahuan teknis yang diberikan selama penelitian dilaksanakan; asisten peneliti di Labdik Pemuliaan Tanaman Mbak Cici atas bantuan pemilihan genotipe cabai. Yang terakhir namun bukan berarti terakhir di hati, ucapan terimakasih ini diberikan kepada Ibunda Pujiyati dan Ayahanda Syobirin Sulaiman yang tak pernah berhenti memberikan dorongan, semangat, mendoakan dan harapan terbaik kepada penulis selama ini. Kepada saudara dan kerabat Mbak Sri, Titin, Firman dan Putri, Bik cik Yanti dan Ma’ Icat untuk cinta, semangat dan doa. Terimakasih terhangat kepada sahabat terbaik kak Evan Herawan, S.Pi atas segala bantuan, sokongan dan pengorbanan waktu selama ini. Terimakasih untuk energi yang cukup membuat kuat saat lelah dan semangat untuk selalu berharap. Kepada para sahabat dan rekan sejawat Mbak Ipah, Mbak Milah, Mimi, Devi, Mas Khamdan, Pak Rai, Pak Irwan, Pak Jumsu, Bu Ifa, Dila, Dida dan Lara. Semoga karya tulis ini kelak dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat. Bogor, Februari 2009 Endang Opriana DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii DARTAR GAMBAR .................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Hipotesis Penelitian .............................................................................. TINJAUAN PUSTAKA Kemaknaan Tanaman Cabai ................................................................ Arti Ekonomi Cabai ............................................................................. . Budidaya dan Keragaman Genotipe Cabai .......................................... Hama dan Penyakit Tanaman Cabai .................................................... Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ............................. Sifat-sifat Umum chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) …............ Biologi, Ekologi dan Keragaman Genetik ChiVMV ……................... Gejala ChiVMV ................................................................................... Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman ............................. Serologi .......................................................................................... Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) .............................................................................................. KOLEKSI ISOLAT LAPANG CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV) DAN METODE DETEKSI ChiVMV Abstrak ................................................................................................ Pendahuluan ........................................................................................ Bahan dan Metode .............................................................................. Tempat dan Waktu ........................................................................ Bahan ............................................................................................. Metode ........................................................................................... Survei dan Pengambilan Sampel ............................................. Perbanyakan Isolat Virus ......................................................... Diagnosis ChiVMV dengan DAS-ELISA ................................ Deteksi ChiVMV dengan I-ELISA, DIBA dan RT-PCR Indirect Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) ......................................................................... Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA) ......................... RT-PCR ........................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................ Simpulan ………………………………………………………. Daftar Pustaka …………………………………………………. 1 3 3 5 5 5 6 7 8 8 10 11 12 13 14 14 16 16 16 16 16 17 18 19 20 21 23 34 35 UJI KETAHANAN GENOTIPE-GENOTIPE CABAI (Capsicum sp.) TERHADAP ChiVMV Abstrak ................................................................................................. Pendahuluan ......................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................... Waktu dan Tempat ..................................................................... Bahan .......................................................................................... Metode ........................................................................................ Penyemaian Benih ……………………………………..... Inokulasi ChiVMV pada Genotipe-genotipe Cabai …...... Evaluasi Ketahanan Cabai Terhadap Infeksi ChiVMV....... Hasil dan Pembahasan ................................................................ Simpulan ………………………………………………………. Daftar Pustaka …………………………………………………. 37 37 39 39 39 40 40 41 41 42 48 48 RESPON BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP INFEKSI DUA ISOLAT ChiVMV Abstrak ................................................................................................. Pendahuluan ......................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................... Waktu dan Tempat ...................................................................... Bahan .......................................................................................... Metode ........................................................................................ Penyemaian Benih ……………………………………..... Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai ………………. Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA) ........................... Hasil dan Pembahasan ................................................................ Simpulan ………………………………………………………. Daftar Pustaka …………………………………………………. 51 51 53 53 53 53 53 53 54 56 61 62 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................. 63 SIMPULAN UMUM ….................... ............................................................ 67 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 68 DAFTAR TABEL Halaman 3.1 Deteksi ChiVMV menggunakan metode DAS ELISA pada sampel tanaman cabai asal Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan.............................................. 26 3.2 Deteksi beberapa virus pada sampel tanaman cabai ........................ 27 3.3 Isolat-isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca.... 28 3.4 Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi ChiVMV pada berbagai tingkat pengenceran menggunakan metode I-ELISA ....... 31 4.1 Daftar genotipe yang dipakai dalam uji ketahanan terhadap infeksi ChiVMV............................................................................... 40 4.2. Pengelompokan tingkat ketahanan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV............................................................................... 41 4.3 Tipe gejala pada 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV........................................................................................... 42 4.4 Respon 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV ........ 47 5.1 Genotipe-genotipe cabai yang digunakan dalam uji respon tanaman terhadap isolat ChiVMV.................................................... 54 5.2. Penentuan indeks penyakit pada tanaman cabai merah yang terinfeksi beberapa isolat ChiVMV ................................................. 54 5.3 Kejadian penyakit, indeks penyakit dan masa inkubasi tiga genotipe cabai setelah diinokulasi dengan lima isolat ChiVMV ..... 56 5.4 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C99 yang diinokulasi oleh isolat CKB dan BL ................................................................... 58 5.5 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C17 yang diinokulasi oleh isolat CKB dan BL ................................................................... 59 5.6 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C521 yang diinokulasi oleh isolat CKB dan BL .................................................................. 59 DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Tahap penelitian : Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) ................................................. 4 3.1 Keadaan pertanaman cabai di lokasi survei dan pengambilan sampel 24 3.2 Gejala ChiVMV pada tanaman paprika C. annuum var. Grossum .. 29 3.3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman cabai terinfeksi beberapa isolat ChiVMV menggunakan primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R....................................................................................... 30 3.4 Reaksi perubahan warna pada plat mikrotiter hasil I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran (1 : 10 hingga 1 : 106) menggunakan lima isolat ChiVMV......................................................................... 32 3.5 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai tingkat pengenceran sap menggunakan lima isolat ChiVMV.......... 33 4.1 Tipe gejala yang muncul pada beberapa genotipe cabai pada 14 HSI .............................................................................................. 44 5.1 Posisi letak daun yang diambil untuk dideteksi dengan metode DIBA ................................................................................................ 54 5.2 Penentuan intensitas signal reaksi DIBA pada membran Nitroselulosa .................................................................................... 55 5.3 Gejala yang muncul pada genotipe cabai (14 HSI) yang diinokulasi ChiVMV isolat Cikabayan (CKB) dan Malang (BL) ...................... 57 5.4 Hasil deteksi isolat CKB pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA ......................... 60 5.5 Hasil deteksi isolat BL pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA ......................... 61 PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Cabai (Capsicum spp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia. Selain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat potensial secara ekonomi. Menurut data Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura, luas panen tanaman cabai adalah luas panen terbesar di antara tanaman sayuran lainnya yaitu berturut-turut 204.747 ribu hektar untuk tahun 2006 dan 204.048 ribu hektar pada tahun 2007(Biro Pusat Statistik 2007; DBPH 2007). Produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data dari Balai Penelitian Sayuran (2007), produksi cabai besar nasional hanya mencapai 6.30 ton/ha sedangkan untuk cabai rawit hanya 4.67 ton/ha. Jumlah tersebut belum dapat mengimbangi potensi produksinya yang dapat mencapai 20 ton/ha (Duriat, 1996). Banyak faktor-faktor pembatas yang dihadapi petani dalam berusahatani cabai. Beberapa diantaranya adalah harga yang sangat berfluktuasi, penggunaan benih yang bermutu rendah, memerlukan modal yang besar, dan banyaknya gangguan serangan hama dan infeksi penyakit mulai dari persemaian sampai panen. Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas yang mengalami gangguan oleh hama dan penyakit terbanyak. Dilaporkan oleh Ellen et al. (1993), jenis penyakit yang menyerang ada sebanyak 26 macam yang disebabkan oleh virus, bakteri dan cendawan serta 13 jenis hama serangga. Menurut Duriat (2003), para pakar virologi seperti Neinhaus (1981) dan Kalloo (1994) telah mencatat sekitar 13 – 35 jenis virus yang menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan subtropis. Prevalensi penyakit virus dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang melaporkan tiga virus utama yaitu cucumber mosaic virus (CMV), potato virus Y (PVY) dan tobacco etch virus (TEV) berdasarkan hasil survei tahun 1986 dan 1990. Pada tahun 1992 dan 1995 urutan berubah menjadi CMV, chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) dan PVY (Setiawati 2003). ChiVMV telah menjadi salah satu kendala utama dalam peningkatan kualitas tanaman cabai di Asia Tenggara dan Afrika (Moury et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitian Roff dan Ong (1992), kerugian akibat ChiVMV di Malaysia dapat mencapai 60% serta menurunkan kualitas buah. Hasil survei yang telah dilakukan oleh Taufik et al. (2006) menunjukkan kejadian penyakit ChiVMV di Sulawesi Selatan dapat mencapai 100% sedangkan di Jawa Barat mencapai 50%. Meskipun demikian masih sangat diperlukan survei lebih banyak dan studi lebih lanjut yang mempelajari penyebaran ChiVMV di Indonesia terutama di sentra-sentra produksi cabai, mengingat prevalensi ChiVMV yang sangat tinggi di lapangan. ChiVMV adalah kelompok Potyvirus yang menyebabkan gejala mosaik berupa belang hijau gelap dan hijau terang pada tulang daun. Pada gejala lanjut, daun tanaman mengeriting dan kerdil (CABI 2000). ChiVMV juga dapat menimbulkan gejala yang bervariasi pada daun tanaman cabai yang terinfeksi tergantung pada kultivar cabai yang ditanam serta waktu infeksi (Chiemsombat dan Kittipakorn 1996). Gejala pada daun cabai dapat berupa bercak berwarna hijau tua yang tidak beraturan (belang) dan penebalan tulang daun, permukaan daun tidak rata, daun menjadi lebih kecil dan kadang diikuti dengan malformasi daun serta tanaman menjadi kerdil (Siriwong et al. 1995). Gejala mosaik berupa belang yang tampak pada daun disebabkan karena terjadinya penurunan nitrogen yang terdapat selama sintesis virus dan penurunan tingkat karbohidrat yang kronis di dalam jaringan tumbuhan (Matthews, 2002). ChiVMV termasuk jenis virus yang sulit dikendalikan sebab virus ini ditularkan oleh serangga vektor yaitu Aphid spp. secara non persisten. Karenanya penyebaran virus ini di lapangan terjadi dalam waktu yang cepat dimana virus ditularkan melalui stilet kutu daun yang mengandung virus dari tanaman sakit dan menularkannya ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam. Selama ini pengendalian terhadap virus masih terbatas pada penggunaan pestisida. Pengendalian ini tidak efektif untuk mengendalikan ChiVMV yang ditularkan secara non persisten oleh kutudaun. Penggunaan tanaman merupakan salah satu strategi pengendalian sesuai untuk ChiVMV karena metode ini aman bagi lingkungan, murah dan efektif (Grube et al. 2003). Terbatasnya pengetahuan tentang keberadaan virus di lapangan dan sulitnya membedakan virus yang memiliki gejala yang sama di lapangan menyebabkan dibutuhkan ketersediaan metode deteksi yang cepat dan akurat. Untuk mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh virus dapat digunakan berbagai metode. Metode yang umum digunakan antara lain metode serologi seperti Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Dot Immunobinding Assay (DIBA), atau metode molekuler seperti hibridisasi asam nukleat dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) (Matthews 1991; Foster dan Taylor 1998; Hull 2002). Metode deteksi yang memadai merupakan salah satu komponen penting dalam upaya mencari strategi pengendalian penyakit. Ketersediaan metode deteksi yang akurat dan sensitif terutama diperlukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman yang ditujukan untuk pengembangan galur-galur tahan penyakit. Pengendalian penyakit cabai yang disebabkan oleh ChiVMV telah diarahkan melalui perakitan varietas tahan. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa IPB C495, CCA 321, VC211a-3-1-1-1, IPB C122 dan ICPN 7#3 memberikan respon sangat tahan terhadap ChiVMV dengan kejadian penyakit 0% sedangkan Bara dan Tit Super memberikan respon tahan terhadap infeksi ChiVMV dengan kejadian penyakit 16-22% (Millah 2007; Latifah 2007; Riyanto 2007). Meskipun demikian eksplorasi ketahanan galur-galur cabai tahan ChiVMV masih perlu terus dilakukan pada berbagai genotipe cabai. Tujuan Penelitian Kegiatan dan tahapan penelitian seperti terdapat pada Gambar 1.1 diarahkan untuk tujuan-tujuan : 1. Mengumpulkan isolat ChiVMV melalui survei ke beberapa daerah sentra penanaman cabai di Indonesia yaitu di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. 2. Mengetahui metode deteksi yang tepat untuk ChiVMV. 3. Mempelajari respon beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV. Hipotesis Penelitian 1. Terdapat isolat ChiVMV yang memiliki virulensi yang berbeda 2. Genotipe cabai yang diuji terhadap isolat ChiVMV memiliki respon ketahanan yang berbeda-beda Survei ChiVMV dan koleksi isolat ChiVMV dari lapang Hasil: Sebaran ChiVMV dan Isolat ChiVMV dari berbagai lokasi Evaluasi metode deteksi ChiVMV dengan ELISA, DIBA dan RT-PCR Hasil: Metode deteksi yang tepat untuk evaluasi ketahanan genotipe cabai Respon beberapa genotipe cabai terhadap infeksi 2 isolat ChiVMV Evaluasi ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap ChiVMV Hasil: Isolat ChiVMV dengan tipe gejala berbeda pada isolat yang sama. Hasil: Genotipe cabai dengan respon ketahanan yang berbeda Gambar 1.1 Tahap penelitian: Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV). TINJAUAN PUSTAKA Kemaknaan Tanaman Cabai Arti Ekonomi Cabai Cabai merah (C annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Selain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat potensial secara ekonomis. Pemanfaatan cabai sebagai bumbu masak, bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan, serta pemasarannya dalam bentuk segar dan olahan menjadikan komoditas tersebut penting untuk diusahakan (Durita & Muharam, 2003). Di Indonesia cabai merah sudah dikembangkan sebagai tanaman perdagangan dosmestik, dan diusahakan secara intensif di beberapa daerah sentra produksi baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Produksi cabai merah tahun 1998 dapat mencapai 452,990 ton terdiri dari 287.576 ton di P. Jawa dan 165.414 ton hasil dari luar Jawa. Daerah sentra produksi di luar Jawa seperti D.I Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bali. Sedang di luar daerah tersebut tanaman cabai merah dibudidayakan hanya sekedar permintaan pasar lokal (Duriat & Muharam, 2003). Budidaya dan Keragaman Genotipe Cabai Cabai (Capsicum spp.) merupakan tanaman hortikultura yang dapat ditanam di segala musim. Genus Capsicum berasal dari dunia baru yang terdiri atas beberapa spesies, spesies C. annuum dari Meksiko dan spesies lain (C. frutescens, C. baccatum, C. chinense, dan C. pubescens) berasal dari Amerika Selatan. Oleh pedagang Portugis dan Spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan selanjutnya spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia Tenggara (Pickersgill 1971; Siemonsma & Piluek 1994). Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima spesies di antaranya telah dibudidayakan, yaitu C. annuum, C. chinense, C. frutescens, C. pubescens, dan C. baccatum (Pickersgill, 1988). Klasifikasi spesies-spesies ini didasarkan pada karakter morfologi, terutama morfologi bunga, dapat dilakukan persilangan antarspesies, dan biji hibrida antarspesies fertil (Heiser & Smith, 1953). C. annuum berbunga tunggal dengan petal berwarna putih bersih. C. chinense berbunga dua atau lebih per ruas ketiak daun dengan warna bunga putih kehijauan dan penyempitan kelopak yang mencolok. C. frutescens membentuk 1-3 bunga per ruas ketiak daun, warna bunga putih kehijauan tanpa penyempitan pada kelopak. C. baccatum mempunyai bercak kuning pada petal yang berwarna putih, dan C. pubescens mempunyai petal ungu dan biji hitam (Pickersgill, 1988). Penelitian persilangan interspesifik menunjukkan bahwa C. frutescens, C. pubescens, dan C. chinense dapat disilangkan dengan C. annuum dan menghasilkan biji yang fertil. Secara umum cabai merah dapat ditanam di lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegalan) dan dapat dibudidayakan di saat musim hujan dan kering. Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 67, tektur tanah remah (Anonim, 1994). Pemuliaan cabai pertama dilakukan di Amerika tropis untuk kultivar cabai manis (Siemonsma & Piluek, 1994). Informasi keragaman genetik merupakan dasar untuk mengembangkan strategi pemuliaan tanaman (Pickersgill, 1997). Dalam kasus pembentukan hibrida baru yang tahan terhadap hama dan penyakit, informasi keragaman genetik dapat digunakan untuk seleksi plasma nutfah dan pengambilan contoh yang efisien (Prince et al. 1995). Hama dan Penyakit Tanaman Cabai Cukup banyak kendala yang dihadapi petani dalah membudidayakan cabai di lapangan. Salah satu kendala utama rendahnya produksi cabai di Indonesia adalah adanya gangguan dari hama dan penyakit (Semangun 2000). Prabaningrum dan Moekasan (1996) melaporkan berbagai hama yang dapat menyerang tanaman cabai antara lain kutu daun (Myzus persicae Sulz), Thrips (Thrips parvispinus Karny), lalat buah (Beactrocera dorsalis Hendel), ulat gerayak (Spodoptera litura Fabricius), (ulat daun (Helicoverpa armigera Hubner), dan tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks). Ditlinhorti (2006) mencatat beberapa penyakit penting pada cabai antara lain layu bakteri (Ralstonia solanacearum), bercak daun serkospora (Cercospora capsici), penyakit patah batang (Cchoanephora cucubitarum), penyakit busuk buah (Colletotrichum capsici), CMV, ChiVMV, PVY dan TMV. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Cabai Tindakan pengendalian dilakukan apabila populasi dan atau tingkat serangan hama dan penyakit dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis, atau hasil analisis data pengamatan rutin sudah mencapai ambang pengendalian. Beberapa tindakan pengendalian yang umum dipilih dan digunakan petani cabai dalam mengendaliakan hama dan penyakit pada cabai antara lain dengan pengendalian teknik budidaya cabai, pengendalian fisik dan mekanik, pengendalian biologi, dan aplikasi pestisida. Dari semua teknik pengendalian tersebut yang paling sering digunakan adalah pengendalian dengan pestisida, namun sayangnya penggunaan pestisida di Indonesia masih belum tepat sasaran, tepat dosis, tepat jenis, tepat cara dan tepat waktu. Sehingga seringkali terjadi kegagalan dalam pengendalian (Setiawan & Muharram 2003). Untuk penyakit pada cabai yang disebabkan oleh virus, usaha pengendalian penyakit virus (khususnya dengan pestisida) terutama ditujukan kepada serangga vektornya, karena sampai saat ini tidak ada pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian yang dapat mematikan virus (Deptan, 2006). Dalam mengendalikan serangga vektor virus pada tanaman cabai petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sintetis, namun bila pemakaiannya tidak bijaksana dikhawatirkan menimbulkan residu pestisida pada produk buah cabai relatif tinggi, biaya produksi meningkat, bahaya terhadap kesehatan pekerja, juga menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Di era pasar bebas saat ini produk cabai yang tidak ramah lingkungan sulit bersaing karena konsumennya lebih memilih produk pertanian yang bermutu baik dan aman dikonsumsi (Duriat dan Muharam, 2003). Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa penggunaan pestisida dalam mengendalikan serangga vektor virus seringkali tidak efektif, terutama untuk kutu daun yang menularkan virus secara non persisten karena jenis vektor tersebut hanya memiliki masa makan akuisisi yang singkat dan virus dengan waktu yang singkat sudah dapat di tularkan ke tanaman yang sehat. Dengan demikian meskipun serangga vektor sudah diaplikasikan dengan pestisida, namun terkadang virus yang ada di stilet telah lebih dulu ditularkan ke tanaman sehat melalui periode makan yang singkat (Matthews, 2002). Dalam pengendalian penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV pada cabai harus diarahkan pada pengembangan varietas tahan. Namun saat ini belum ada varietas cabai yang tahan terhadap ChiVMV (Balai Penelitian Tanaman Sayuran, 2005). Walaupun demikian, melalui korespondensi dengan Asian Vegetable Research Development Center (AVRDC) di Taiwan, diketahui bahwa ada beberapa galur cabai yang tahan terhadap isolat virus tertentu. Sifat-sifat Umum ChiVMV Biologi, Ekologi dan Keragaman Genetik ChiVMV ChiVMV adalah salah satu anggota dari kelompok Potyvirus. Asam nukleatnya tersusun dalam untaian RNA utas tunggal positif (ssRNA[+]), berbentuk benang lentur dengan panjang 750 nm dan diameter 12 nm dan tidak terbungkus. Namun pada beberapa jenis tumbuhan dan dalam konsentrasi magnesium yang tinggi, partikel ChiVMV dapat menjadi lebih kaku (International Taxonomy on Comittee of Viruses, 2002). ChiVMV pertama kali dilaporkan menginfeksi tanaman cabai di Malaysia pada tahun 1947 oleh Burnett, selanjutnya berkembang hingga ke Korea, Taiwan, Thailand, beberapa kawasan di Amerika dan Afrika Selatan sejak tahun 1979 (Ong et al 1979) Selanjutnya ChiVMV telah menjadi salah satu kendala utama dalam peningkatan kualitas tanaman cabai di Asia Tenggara dan Afrika (Moury et al., 2005). ChiVMV memiliki titik panas inaktivasi (TIV) pada suhu 60oC. Di atas suhu tersebut, partikel virus akan mengalami lisis. Masa penyimpanan virus in vitro adalah 7 hari. Seperti kebanyakan anggota kelompok potyvirus yang lain, ChiVMV memiliki struktur khusus yang merupakan ciri infeksi dari grup potyvirus. Struktur khusus ini disebut badan inklusi yang keberadaannya biasanya menyertai partikel virus pada jaringan tanaman. Badan inklusi ini banyak ditemukan dalam sitoplasma maupun dalam inti. Pada potyvirus, badan inklusinya berbentuk cakra dan dapat terlihat jelas pada pengamatan melalui mikroskop elektron (Bos, 1990). ChiVMV adalah jenis virus yang sulit dikendalikan karena ia ditularkan secara non persisten di lapangan oleh serangga vektor kutu daun Aphis craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, Myzus persicae, Toxoptera citricidus, Hysteroneura setarieae, Rhopalosiphum maidis, Aphis craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, Myzus persicae, Toxoptera citricidus, Hysteroneura setarieae, dan Rhopalosiphum maydis. Selain itu virus juga dapat ditularkan dengan cara inokulasi mekanis pada tanaman sehat dan melalui penyambungan, namun virus tidak dapat ditularkan melalui benih (Plant Virus Online, 1996). Periode makan serangga pada tanaman yang sakit (periode akuisisi) yang optimum untuk virus non persisten adalah 30-60 detik, perpanjangan periode makan akuisisi tidak meningkatkan efisiensi penularan. Virus dapat ditularkan segera setelah periode makan akuisisi, daya tular menurun setelah beberapa menit dan akan berhenti dalam waktu kurang dari 1 jam. Untuk meningkatkan efektifitas penularan, serangga vektor biasanya dipuasakan selama satu jam sebelum periode makan akuisisi. Makan akuisisi merupakan periode makan pada tanaman sumber inokulum (Matthews, 2002). Kutu daun A. craccivora mendapatkan makanan dengan cara menusukkan stylet pada permukaan daun kemudian menghisap cairan tanaman. Bagian mulut kutu daun terdiri dari 2 bagian stilet yang lentur. Pada awal proses makan, kutu daun mensekresikan saliva. Kemudian stylet segera menusuk epidermis daun kemudian makan dalam waktu tertentu. Penetrasi biasanya berlanjut ke bagian daun yang lebih dalam dan membentuk tumpukan saliva selama penetrasi tersebut. Stilet berpindah diantara sel sampai mencapai floem. Proses ini membutuhkan waktu beberapa menit atau jam. Sekresi saliva ini menularkan ChiVMV yang ada pada saliva aphid ke tanaman. Tanaman yang menjadi kisaran inang ChiVMV di lapangan meliputi C. annuum, C. frutescens, Nicandra physalodes, Nicotiana megalosiphon, Physalis floridana, dan N. tabacum. Namun, kondisi lingkungan dan faktor fisiologis tanaman dapat mempengaruhi infeksi ChiVMV pada tanaman. Faktor-faktor tersebut mencakup umur tanaman, keragaman genetik tanaman inang, posisi daun pada tanaman, nutrisi tanaman, ketersediaan air, suhu, intensitas cahaya, musim dan panjang hari (Bos, 1990). Gejala ChiVMV Gejala infeksi virus ChiVMV pada tanaman cabai sangat bervariasi, tergantung pada strain virus yang menginfeksi dan kultivar tanaman. Untuk infeksi virus yang berasal dari kelompok Potyvirus seperti ChiVMV, gejala khusus yang diperlihatkan tanaman yang terinfeksi ChiVMV di lapangan adalah mosaik berupa belang hijau gelap dan hijau terang pada tulang daun. Gejala akan tampak jelas pada daun muda dan daun kecil. Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil dan memiliki garis hijau gelap pada batang dan cabangnya. Beberapa bunga rontok sebelum sempat menjadi buah. Kadang-kadang tanaman masih dapat memproduksi buah namun dalam jumlah yang sangat sedikit dan permukaan buah yang agak belang (Matthews, 2002). Infeksi ChiVMV pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buahnya lebih sedikit dan lebih kecil (Shah & Khalid 2001). Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada tanaman. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain beberapa virus dapat menimbulkan gejala yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull 2002). Sangat diperlukan metode deteksi yang tepat dalam mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada suatu tanaman. Deteksi dan identifikasi virus dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan karakter biologi dapat dengan tanaman indikator, penularan, dan berdasarkan bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1998; Hull 2002). Serologi Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai banyak kegunaan antara lain untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang digunakan untuk deteksi serologi antara lain ISEM, immunoflourescent staining (Hampton et al. 1990), presipitasi dalam tabung, aglutinasi kloroplas, flokulasi lateks, gel double-diffusion test, DIBA, immunoblotting atau western blotting, dan ELISA (Harlow & Lane 1999). Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu metode DIBA yang digunakan untuk mendeteksi ZYMV (Somowiyarjo et al. 1989). Kemudian Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western blotting untuk mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus. Bentuk partikel TYLCV telah berhasil dideteksi dan diidentifikasi oleh Attathom et al. (1990) dengan menggunakan metode ISEM. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al. (1997) untuk mengetahui dinamika pergerakan bean dwarf mosaic geminivirus (BDMV) dari sel ke sel pada Phaseolus vulgaris. Pengujian presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi wheat streak mosaic tritimovirus (WSMV). Metode ELISA merupakan metode serologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus tumbuhan. Dalam metode ini antiserum dikonjugasikan dengan enzim, sehingga bila ditambahkan substrat enzim maka kompleks antigen-antibodi dalam jumlah yang sedikit saja dapat tervisualisasi. Hasil yang diperoleh dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer (ELISA reader). Keuntungan uji ELISA adalah kepekaannya yang sangat tinggi, dapat menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat, penggunaan antiserum yang sedikit, dan hasilnya dapat diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif, serta prosedur pengujian yang mudah. Karena keuntungan tersebut, ELISA dengan cepat menggantikan semua teknik seri diagnostik yang lain (Agrios 1997). Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Dewasa ini karakterisasi maupun identifikasi virus tumbuhan selain menggunakan teknik serologi, telah banyak dikembangkan teknik molekuler melalui analisis sidik jari DNA. Identifikasi virus banyak mengunakan teknik Polymerase chain reaction (PCR). Teknik PCR dapat mengatasi masalah konsentrasi virus yang rendah, walaupun sampel yang digunakan sedikit dan dapat berupa bahan segar, beku ataupun kering (Rojas et al. 1993; Wyatt dan Brown 1998). Pengujian dengan teknik PCR memerlukan sepasang primer yang spesifik yang akan menginduksi pembentukan dan perbanyakan asam nukleat atau untai DNA dengan bantuan enzim taq polymerase dalam mesin PCR atau thermocycler. Pemilihan primer yang tepat sangat menentukan keberhasilan identifikasi suatu jenis virus (Rojas et al. 1993). PCR adalah suatu metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah besar fragmen DNA spesifik dengan panjang dan sekuens yang telah ditentukan dari sejumlah kecil temlate kompleks. PCR merupakan suatu teknik sangat kuat dan sensitif yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti biologi molekuler, diagnostik, genetika populasi, dan analisis forensik. Teknik DNA rekombinan telah memberikan perubahan yang revolusioner dalam ilmu genetika karena memungkinkan dilakukannya isolasi dan karakterisasi gen-gen, mempelajari secara rinci fungsi dan ekspresi selama proses perkembangan terjadi, atas sebagai suatu respon terhadap faktor lingkungan. Banyak metode kloning yang terlibat dapat diakselerasi dan bahkan dielak dengan menggunakan PCR, dan aplikasi baru dari teknik ini sekarang telah memungkinkan melakukan study yang dahulu tidak bisa dilakukan (Nasir, 2002). Polymerase chain reaction mulai berkembang pesat sekitar tahun 1987. Proses PCR pada dasarnya terdiri atas tiga tahap reaksi dengan kondisi suhu yang berbeda secara berlang dalam beberapa siklus tertentu, yaitu denaturasi, annealing (penempelan primer) dan ekstensi primer (sintesis DNA). Dengan reaksi amplikasi DNA secara simultan, maka jumlah DNA sasaran akhir telah dilipatgandakan secara eksponensial (McPherson, Oliver & Gurr, 1992). Febrianti (2004) melakukan teknik PCR untuk mendeteksi CMV pada tanaman lada menggunakan sepasang primer CMV-R dan CMV-F yang dibuat berdasarkan sekuen CMV-B2 (RNA2) diperoleh ukuran pita 940 bp. Metode PCR untuk mendeteksi PYMV dengan menggunakan sepasang primer berhasil mengamplifikasi ukuran pita DNA 450 bp 11 (5’-primer BADNA 2 dan 3’-MYS) dan 700 bp (primer Badna-T dan SCBV R1) (Lockhart et al. 1997; de Silva et al. 2002). III. KOLEKSI ISOLAT LAPANG CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV) DAN METODE DETEKSI ChiVMV ABSTRAK Infeksi penyakit yang disebabkan oleh virus dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi di lapangan. Hal ini disebabkan karena virus dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Salah satu virus utama pada tanaman cabai yang dapat menimbulkan kerugian hasil panen pada tanaman cabai di Indonesia adalah ChiVMV. Dengan metode purposive sampling, dilakukan survei ChiVMV di beberapa daerah pertanaman cabai di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV yang sangat luas. Sebanyak 28.8 % sampel survei memberikan reaksi positif terhadap pengujian ChiVMV. Jumlah tanaman terinfeksi ChiVMV tertinggi adalah di Solok dan Tanah Datar (Sumatera Barat) yaitu 100% dan terendah di Megamendung (Jawa Barat), Kali Malang dan Mendem (Jawa Timur), serta Kurnia Ujung, Sukamaju, dan Golf (Kalimantan Selatan) yaitu 0%. Sebanyak tiga belas isolat ChiVMV berhasil dikumpulkan dari lima wilayah survei. Isolat tersebut kemudian diperbanyak dan dipelihara pada cabai paprika (Capsicum annuum var. Grosum). Selanjutnya lima isolat ChiVMV (CKB, KRD, TD, BL dan PANG) dipilih untuk digunakan dalam kajian lebih lanjut. Hasil deteksi ChiVMV dengan I-ELISA dapat mendeteksi ChiVMV hingga tingkat pengenceran 1 : 10.000, sedangkan deteksi dengan DIBA dapat mendeteksi ChiVMV sampai batas pengenceran 1 : 1000 dengan efisiensi waktu yang lebih singkat dan penggunaan antiserum yang lebih sedikit. Sementara uji molekular dengan RT-PCR berhasil mendapatkan produk DNA spesifik berukuran 800 bp. Kata kunci: Survei, ChiVMV, Capsicum PENDAHULUAN Chilli veinal mottle potyvirus adalah salah satu virus yang banyak menginfeksi pertanaman cabai. Penyakit ini pertama kali dilaporkan menginfeksi pertanaman cabai di Malaysia (Burnett, 1947). Pada perkembangan selanjutnya, ChiVMV telah menjadi masalah serius di Korea, Taiwan, Thailand, Indonesia, Papua New Guinea, Australia, Filipina,China, Bangladesh, India, Nepal, Sri Lanka, Afrika Barat, Afrika Timur (Ang 1995; Taufik 1995; Hameed et al. 1995; Davis et al. 2002; Womdin et al. 2001). Penelitian yang dilakukan oleh AVRDC (2000) membuktikan bahwa ChiVMV merupakan salah satu dari lima penyakit utama pada tanaman cabai selain cucumber mosaic virus (CMV), layu bakteri, hawar Phytophthora, dan antraknosa. Hasil survei yang dilakukan oleh Green (2004) di 16 negara Asia melaporkan bahwa ChiVMV dapat menginfeksi pertanaman cabai hingga 30%, mampu mereduksi hasil panen pada paprika hingga 95% dan pada cabai rawit hingga 74%. Infeksi virus ini sangat cepat menyebar luas dilapangan karena ditularkan oleh beberapa spesies kutudaun secara non persisten (Ong et al. 1979). Infeksi ChiVMV pada tanaman cabai menyebabkan gejala bervariasi. Gejala pada daun cabai dapat berupa bercak berwarna hijau tua yang tidak beraturan (belang), penebalan tulang daun, permukaan daun tidak rata, seringkali daun menjadi lebih kecil dan diikuti dengan malformasi daun (Siriwong et al. 1995; Kittipakorn 1991). Infeksi ChiVMV pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buah yang lebih sedikit dan lebih kecil (Shah & Khalid 2001). Beberapa penelitian tentang ChiVMV di Indonesia pada cabai telah dilakukan. Duriat (1993) dan Taufik (2005) melakukan survei dan karakterisasi isolat-isolat ChiVMV. Millah (2007), Riyanto (2007), dan Latifah (2007) melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengembangan galur cabai tahan ChiVMV. Namun demikian penelitian tersebut masih perlu ditindaklanjuti. Survei dan laporan keberadaan ChiVMV di Indonesia masih belum mencukupi karena lokasi survei masih mencakup daerah tertentu saja. Selain itu informasi tentang kejadian penyakit ChiVMV di lapangan mungkin berubah-ubah setiap tahun. Penelitian tentang keberadaan virus ini menjadi penting untuk dilakukan secara berkala. Untuk dapat mengetahui keberadaan virus dalam tanaman terinfeksi dengan tepat diperlukan tindakan deteksi dan identifikasi. Teknik dasar yang sejak lama dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus tanaman biasanya dilakukan melalui pengamatan partikel dengan mikroskop elektron, pengamatan gejala, uji kisaran inang dan cara penularan virus. Perkembangan metode deteksi virus saat ini sudah sangat maju antara lain menggunakan teknik serologi seperti ELISA (Enzim Linked Immunosorbent Assay) dan DIBA (Dot Blot Immunobinding Assay) yang dikembangkan pada akhir 1970-an (Hull 2002). Teknik serologi ini telah digunakan secara luas dan berkembang pesat untuk mendeteksi dan mempelajari virus tumbuhan. Deteksi dan identifikasi virus tumbuhan juga dapat dilakukan dengan beberapa teknik molekular seperti hibridisasi asam nukleat, ekstraksi dsDNA/dsRNA, dan PCR/RT-PCR (Matthews 2002). TUJUAN PENELITIAN Survei dilakukan ke beberapa daerah sentra pertanaman cabai di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan untuk mengumpulkan isolat-isolat ChiVMV. Penelitian juga bertujuan untuk mengevaluasi beberapa metode deteksi, yaitu I-ELISA, DIBA dan RT-PCR untuk mengetahui metode deteksi yang paling sesuai untuk ChiVMV. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei dan pengambilan sampel tanaman cabai dilakukan di beberapa daerah sentra penanaman cabai di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sampel tanaman sakit dibawa untuk dilakukan diagnosis virus di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman. Perbanyakan sumber inokulum dilakukan di rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. Survei dan Pengambilan Sampel dari Lapang Survei dilakukan untuk melihat kondisi tanaman di lapangan sekaligus mengumpulkan sampel tanaman cabai yang diduga terinfeksi ChiVMV. Lokasi survei dilakukan pada beberapa tempat yang merupakan sentra cabai di Sumatera Barat (Tanah Datar, Solok, Agam), Jawa Barat (Mega Mendung), Jawa Tengah (Brebes), Jawa Timur (Malang), Kalimantan Selatan (Panggong, Nusa Indah). Pengambilan sampel di daerah Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan dilakukan masing-masing oleh Ir. Jumsu Trisno M.Si (Staf pengajar Universitas Andalas) dan Dr. Ir. Noor Aidawati M.Si (Staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat) sedangkan pengambilan sampel di lokasi survei di Jawa dilakukan langsung oleh penulis. Pada setiap lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, metode ini dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dengan hanya mengambil bagian tanaman yang menunjukkan gejala khas ChiVMV. Deskripsi gejala pada tanaman diamati menurut gejala umum yang muncul akibat infeksi ChiVMV seperti belang, keriting, ujung daun meruncing dan kerdil. Sampel tanaman tersebut kemudian diuji dengan metode DAS ELISA dengan menggunakan antiserum ChiVMV, CMV, PVY, PMMV dan ToMV. Sampel yang terinfeksi hanya oleh ChiVMV selanjutnya ditularkan ke tanaman paprika (Capsicum annuum var Grosum) untuk perbanyakan isolat virus. Perbanyakan Isolat Virus Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum Tanaman untuk perbanyakan virus yang digunakan adalah bibit tanaman paprika C. annuum var. Grosum kultivar Yolo Wonder. Benih disemai pada tanah steril dan ditumbuhkan sampai membentuk 4 - 5 daun (berumur 3 minggu). Bibit yang sudah siap dipindahkan ke polybag dan ditempatkan pada ruang kedap serangga untuk menghindari serangan hama terutama serangga vektor virus. Metode inokulasi Virus Secara Mekanis Inokulasi dilakukan secara mekanis menggunakan cairan perasan tanaman (sap) sakit. Sap dibuat dari daun tanaman yang terinfeksi ChiVMV tunggal. Daun tersebut digerus sampai halus dengan menggunakan mortar setelah sebelumnya ditambahkan bufer fosfat (0.01M; pH 7.0) dengan perbandingan 1:10 (b:v). Daun tanaman yang akan diinokulasi sebelumnya ditaburi dengan carborundum (600 mesh). Sap kemudian dioleskan pada daun dengan menggunakan kapas steril dimulai dari bagian pangkal daun ke ujung secara searah dengan tidak mengulangi pada daerah yang sama. Setelah pengolesan sap selesai, daun tanaman uji disiram dengan air mengalir untuk membersihkan sisa-sisa sap yang masih melekat. Pengawetan Isolat ChiVMV Isolat-isolat virus yang telah dikumpulkan dan diperbanyak di rumah kaca sebagian disimpan dalam bentuk awetan kering agar dapat disimpan dalam waktu lama dan menghindari hilangnya isolat mengingat banyak faktor yang mempengaruhi sumber inokulum virus di rumah kaca. Penyimpanan isolat-isolat virus ini dilakukan dengan metode dehidrasi sesuai dengan prosedur Djikstra dan Jager (1998). Daun yang positif terinfeksi ChiVMV dicacah dengan silet bebas virus. Bagian bawah cawan petri diisi dengan kalsium klorida (CaCl2) dengan perbandingan 1 : 20 (b/b) selanjutnya dilapisi dengan kertas merang atau kertas saring kemudian bahan yang telah dicacah sebelumnya disebarkan di atas kertas saring. Cawan petri kemudian ditutup dan direkat dengan parafilm sehingga menjadi kedap udara. Isolat awetan tersebut disimpan di dalam kulkas bersuhu 4oC untuk pengeringan selama satu minggu. Selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung plastik bertutup yang 1/3 bagian tabung tersebut telah diisi dengan CaCl2. pada bagian atas ditutup dengan kapas steril. Setelah tabung ditutup dengan parafilm lalu disimpan pada suhu 4oC. Untuk reaktivasi isolat virus yang telah disimpan atau jika isolat yang disimpan tersebut akan digunakan untuk inokulasi, maka ditambahkan 1.9 ml bufer/0.1 g bahan kering yang kira-kira setara dengan perbandingan 1 : 5 (b/v) bahan segar. Diagnosis ChiVMV menggunakan Metode Double Antibody Sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay ( DAS-ELISA) Deteksi ChiVMV terhadap sampel tanaman hasil survei dan ChiVMV hasil penularan dilakukan dengan metode DAS ELISA menurut petunjuk dari DSMZ (Clark, M.F & A.N. Adams, 1977) . Tahapan uji tersebut diawali dengan tahap coating, yaitu sumuran plat mikrotiter di isi dengan 100 µl antiserum CMV atau ChiVMV yang telah disuspensikan ke dalam bufer coating; dilanjutkan dengan inkubasi platmikrotiter pada suhu 30oC-47oC selama 2 jam atau pada suhu 4oC semalam (overnight). Keesokan harinya plat dicuci dengan PBST (phosphate buffer saline tween-20) [8 g NaCL, 02 g KH2PO4, 1,15 g Na2HPO4, 0,2 g KCL, 0,2 g NaN3, 0,5 ml Tween 20, pH 7,4] sebanyak 5-7 kali. Daun tanaman bergejala digerus dalam GEB (general extract buffer) [1,3 g Na2SO3, 20 g PVP- 40, 0,2 g NaN3, 2 g powdered egg albumin, 20 g Tween-20, pH 7,4] yang ditambahkan merkaptoetanol 1% dengan perbandingan 1 : 10 (w:v). Sap tanaman diambil sebanyak 100 µl kemudian dimasukkan kedalam sumuran platmikrotiter. Plat mikrotiter diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37oC. Platmikrotiter kemudian dicuci 5-7 kali dengan PBST. Selanjutnya enzim konjugat yang dilarutkan dalam ECL bufer (bovine serum albumin 2 g, PVP-40 20 g, NaN3 0,2 g) sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam sumuran dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 jam, kemudian dibilas 57 kali dengan PBST. PNP (P-nitrophenyl-phosphate) yang telah dilarutkan dalam PNP bufer (0.1 g MgCl2, 0.2 g NaN3, 97 ml dietanolamin), dimasukkan sebanyak 100 µl kedalam sumuran plat mikrotiter dan diinkubasikan selama 30-60 menit pada suhu ruang. Setelah waktu inkubasi tersebut akan terjadi perubahan warna pada cairan didalam sumuran plat mikrotiter, yaitu warna kuning, yang menandakan reaksi positif. Reaksi segera dihentikan dengan penambahan 3M NaOH, selanjutnya nilai absorbansi reaksi dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer Microplate reader BIO-RAD Model 550 pada panjang gelombang 405 nm. Pengujian dinyatakan positif jika nilai absorban sampel uji dua kali nilai absorban kontrol negatif. Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Indirect-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) Metode I-ELISA dilakukan berdasarkan metode Stack dan Macmillan (2005). Sampel tanaman terinfeksi ChiVMV digerus dalam bufer coating (sodium carbonate 0,16 g, sodium bicarbonate 0,29 g, sodium azide 0,02 g, polyvinylpyrrolidone 2 g yang dilarutkan dalam 100 ml dH2O, pH 9,6) dengan perbandingan 1:10 (b/v). Pada penelitian ini pengenceran sampel tanaman dilakukan dari 1 : 10 hingga 1: 106. Selanjutnya sampel tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing sumuran pada plat mikrotiter ELISA sebanyak 100 µl dengan berbagai konsentrasi tergantung uji yang dilakukan dan diinkubasi pada suhu 4 oC selama semalam. Selanjutnya masing-masing sumuran dicuci sebanyak 6 kali dengan PBST dan kemudian diisi dengan 100 µl antibodi yang telah dilarutkan dalam bufer ECI (bovine serum albumin 0,2 g, polyvinylpyrrolidone 2 g, sodium azide 0,02 g dan dilarutkan dalam 100 ml PBST, pH 7,4) dengan berbagai konsentrasi tergantung uji yang dilakukan. Larutan antibodi tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 jam. Selanjutnya masing-masing sumuran dicuci kembali dan kemudian diisi dengan 100 µl konjugat (goat anti rabbit-IgG, Sigma, USA) yang dilarutkan dalam bufer ECI dengan perbandingan 1:1.000. Larutan konjugat tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam. Setelah dicuci, sumuran diisi dengan 100 µl substrat p-nitrophenyl phosphate (PNP) yang dilarutkan dalam bufer PNP (Magnesium chloride hexahydrate 0,025 g, sodium azide 0,05 g, diethanolamine 24,25 ml dan dilarutkan dalam 200 ml dH2O, pH 9,8). Setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit dilakukan pengamatan secara kuantitatif dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Reaksi dihentikan dengan cara menambahkan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 µl ke dalam masing-masing sumuran. Kontrol negatif yang digunakan adalah tanaman sehat dan bufer . Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997). Sebelum digunakan membran nitroselulosa (HybondTM-P, Amersham Biosciences UK) direndam dalam metanol 100% selama 10 detik dan dikering anginkan. Jaringan daun tanaman terinfeksi ChiVMV digerus dalam tris buffer saline (TBS) dengan perbandingan 1:10 (b/v) (TBS: Tris-HCl 0,02 M dan NaCl 0,15M, pH 7,5). Selanjutnya cairan perasan tanaman tersebut diteteskan ke membran nitroselulosa sebanyak 10 µl setiap sampel dengan berbagai konsentrasi tergantung uji yang dilakukan. Setelah tetesan sampel kering, membran direndam di dalam 10 ml larutan blocking non fat milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan konsentrasi akhir 2%. Membran kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam dengan menggunakan EYELA multi shaker MMS. Membran kemudian dicuci 5 kali dengan dH2O, tiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Selanjutnya membran direndam dalam 5 ml TBS yang mengandung antibodi 5 µl ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran diinkubasi semalam pada suhu kamar sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan Tween 0,05% dalam TBS (TBST). Selanjutnya membran direndam dalam 5 ml TBS yang mengandung konjugat 5 µl (goat anti rabbit-IgG, Sigma, USA) ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Selanjutnya membran dicuci kembali dengan TBST. Membran kemudian direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer substrat (Tris-HCl 0,1 M, NaCl 0,1 M dan MgCl2 5 mM) yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT) 66 µl dan bromo chloro indolil phosphate (BCIP) 30 µl. Bila reaksi positif akan terjadi perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah ditetesi cairan perasan tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran dengan dH2O Metode Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Reverse Transcription – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Tahapan metode deteksi ChiVMV menggunakan metode RT-PCR terdiri atas tahapan ekstraksi RNA total, transkripsi balik, dan amplifikasi cDNA. Ekstraksi RNA Total Metode ekstraksi RNA dilakukan mengikuti metode Qiagen dengan menggunakan Qiagen plant RNA isolation kit.. Daun tanaman cabai yang sakit (0,1 g) digerus menggunakan pistil dan mortar steril yang didalamnya telah diisi dengan nitrogen cair hingga menjadi bubuk. Sebanyak 450 µl bufer RLC yang telah ditambahkan 4,5 µl merkaptoetanol dimasukkan ke dalam hasil gerusan yang telah menjadi bubuk. Sap yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung mikro1,5 ml kemudian dipanaskan di waterbath 56 o C selama 10 menit. Selanjutnya sap dipindahkan ke dalam kolom ungu dan disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama 2 menit pada suhu ruang. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke tabung yang baru berukuran 2 ml. Hal ini dilakukan dengan tanpa menyentuh pelet di dasar tabung. Selanjutnya sebanyak 0.5 volume etanol 96% ditambahkan ke dalam tabung yang telah diisi supernatan dan dicampurkan dengan menggunakan pipet. Proses selanjutnya, sebanyak 200 µl supernatan diambil dan dipindahkan ke kolom merah jambu. RNA akan tertahan di kolom tersebut disentrifugasi dengan kecepatan dan selanjutnya 10.000 rpm selama 30 detik. Kolom merah jambu dipindahkan ke collection tube baru lalu ditambahkan bufer RW 700 µl, kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000 rpm selama 30 detik. Selanjutnya kolom merah jambu dipindahkan lagi ke collection tube baru dan ditambahkan 500 µl bufer RPE lalu disentrifugasi lagi 10.000 rpm selama 30 detik dan diulangi lagi 2 menit. Untuk memastikan bahwa kolom merah jambu bebas etanol, selanjutnya kolom dipindahkan lagi ke collection tube baru dan disentrifugasi lagi 8000 rpm selama 1 menit. Kolom dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml baru dan ditambahkan 40 µl water free nuclease ke permukaan saringan dalam kolom sehingga pelet tergenang lalu didiamkan 10 menit. Selanjutnya tabung mikro disentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Hasil ekstraksi disimpan pada suhu 80oC sampai akan digunakan. Transkripsi Balik (Reverse Transcription) Reaksi transkripsi balik ( 25 µl) terdiri atas 9 µl water free nuclease, 2.5 µl bufer RT 10x, 5 µl dNTP 10 mM, 1.5µl oligo d(T) 10 µM, 1 µl RNAseH Inhibitor, 1 µl MmLV RT, 5 µl RNA sampel ditambahkan kedalam tabung mikro. Tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700) dengan kondisi RT; 25oC selama 5 menit, 37oC selama 90 menit dan 70oC selama 15 menit. Hasil akhir dari RT adalah produk cDNA yang akan digunakan pada reaksi selanjutnya yaitu PCR. Amplifikasi cDNA Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan pasangan primer yaitu ChiVMV-F1 (5’-TGAGGATCCTGGTGYATHGARAAYGG-3’) dan ChiVMVR (5’- gcgggatcctttttttttttttttttt-3’). Reaksi amplifikasi (50 µl) terdiri atas 30.6 µl water free nuclease, 5 µl thermo buffer 10x + Mg 2+ (RBC), 4 µl dNTP, 4 µl primer ChiVMV F1, 4 µl primer ChiVMV R, 0.4 µl taq polymerase, 2 µl cDNA hasil RT. Semua bahan tersebut diisi ke dalam tabung mikro. Selanjutnya tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700). Amplifikasi ChiVMV dilakukan sebanyak 35 siklus mengikuti metode Reddy (1995) melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan utas DNA pada suhu 94 o C selama 2 menit, penempelan primer pada DNA 55 oC selama 1 menit dan sintesis DNA pada suhu 72 oC selama 90 detik. Khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis selama 15 menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu 4 oC. HASIL DAN PEMBAHASAN Survei dan Pengambilan Sampel dari Lapang Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa terdapat variasi pola tanam dan kultivar tanaman cabai yang digunakan (Gambar 3.1). Pada lokasi pengamatan di Malang, tanaman cabai ditanam secara monokultur pada areal tanam yang beragam, namun ada juga yang ditanam secara tumpangsari bersamasama dengan bawang (Allium cepa L), kubis (Brassica oleraceae L), atau jagung (Zea mays L) seperti di desa Kali Malang, dan Wates. Jenis dan kultivar cabai yang umumnya ditanam oleh petani di Malang antara lain Cabai besar (Hot Beauty) dan keriting lokal. Pada semua lokasi survei, pola penanaman dilakukan dengan bedengan dan sebagian areal ditutupi mulsa plastik. Untuk lokasi survei di daerah Brebes, tanaman cabai umumnya ditanam dengan pola monokultur dengan sistem bedengan yang sekelilingnya dibuat parit yang digenangi air. Air tersebut juga digunakan untuk menyiram tanaman. Namun ada juga lahan tanaman cabai yang ditumpangsari dengan tanaman bawang dan kadang-kadang dengan jagung, tomat (Solanum lycopersicum L), terong (Solanum melongena L), kacang kedelai (Glycine max (L.) Merr), kacang hijau (Phaseolus radiatus L) dan kacang tanah (Arachis hypogaea L). Kultivar yang umum ditanam di Brebes adalah cabai besar (Tit Segitiga dan Randu) dan cabai keriting (TM 999). Selain itu sebagian petani telah mengenal sistem pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan menanam tanaman penghalang disekeliling tanaman utama. Saat survei di Brebes dilakukan, gejala ChiVMV tidak ditemukan pada beberapa wilayah pertanaman cabai terutama di Wanacala dan Wanasari. Namun lahan tersebut terserang belalang kembara (Locusta migratoria) dan ulat gerayak (Spodoptera litura L), sehingga ada beberapa area tanam yang tanamannya tidak sempat berdaun serta kerdil. Hasil survei lapang yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penyebaran ChiVMV sangat luas di lapangan. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa ChiVMV hampir selalu berada di pertanaman yang diamati meskipun dengan jumlah infeksi yang berbeda-beda. Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh keadaan iklim, pola tanam serta jenis kultivar yang ditanam. Pada pertanaman cabai dengan pola monokultur dalam areal yang luas, serangan virus terlihat lebih parah dibandingkan pada lahan cabai yang ditanam bersama-sama dengan tanaman lainnya. Hull (2002) menyatakan bahwa untuk mengurangi kejadian penyakit virus, dapat dilakukan dengan menanam secara intercropping atau menanam komoditi bersama-sama dengan tanaman sela, misalnya menanam cabai dengan kacang kedelai atau dengan jagung. Selain itu diperhatikan pemilihan jenis tanaman serta waktu tanam yang sesuai. Pemilihan jenis tanaman yang tahan akan mengurangi resiko meluasnya penyebaran virus dan penurunan hasil produksi. A B C D Gambar 3.1 Keadaan pertanaman cabai di lokasi survei dan pengambilan sampel. (A).Tanah Datar, Sumatera Barat; (B). Mega Mendung, Jawa Barat; (C). Brebes, Jawa Tengah; (D). Mendem, Jawa Timur. Pemilihan waktu tanam yang tepat sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan ketersediaan air, curah hujan serta gangguan hama dan penyakit. Air diperlukan oleh tanaman cabai sejak awal pertumbuhan tanaman sampai periode pembungaan dan pembuahan. Kekurangan air pada masa pertumbuhan vegetatif dan pada masa pembentukan bunga menyebabkan tanaman cabai tumbuh kerdil dan menurunkan hasil buah, bahkan dapat gagal panen (Welles 1990). Tetapi lahan yang terlalu lembab juga menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terhambat. Curah hujan yang tinggi pada saat pembentukan bunga dan buah dapat menggugurkan bunga dan menyebabkan pembusukan buah (Sumarni 1996). Sementara pemilihan waktu tanam yang serentak akan mengurangi terbentuknya sumber inokulum virus yang bertahan di lapangan karena selalu tersedianya sumber infeksi di lapangan. Diagnosis Sampel dari Lapang dengan DAS-ELISA Hasil DAS-ELISA pada 135 sampel bergejala yang dikumpulkan dari 22 lokasi survei menunjukkan 28,88 % sampel terinfeksi ChiVMV. Proporsi jumlah jumlah sampel yang bereaksi positif terhadap antiserum ChiVMVmenunjukkan hasil yang beragam pada lokasi survei (Tabel 3.1). Persentase sampel yang memberikan reaksi positif untuk masing-masing lokasi survei secara berturut-turut adalah 72,72%, 0%, 55%, 20%, dan 33,33% (Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan). Hasil survei yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa ChiVMV dapat menginfeksi tanaman cabai secara tunggal maupun bersama-sama dengan virus lainnya. Tabel 3.1 Deteksi ChiVMV menggunakan metode DAS ELISA pada sampel tanaman cabai asal Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Asal sampel (Propinsi/ Desa) Sumatera Barat Agam Solok Tanah Datar Lumpo Selatan Jawa Barat Mega Mendung Jawa Timur Mbokor Kali Malang Karang Juwet Mendem Belung Nongko Sewu Wates Sampel yang memberikan reaksi positif terhadap ChiVMV (%) 1 1/2 (50.00) 4/4 (100) 1/1 (100) 2/4 (50.00) 0/5 (0) 8/15 (53.33) 0/12 (0) 2/8 (25.00) 0/10 (0) 4/20 (20.00) 0/8 (0) 3/12 (25.00) Jawa Tengah Kemukten Kersana Keradenan Sitanggal 2/4 (50.00) 3/5 (60.00) 3/6 (50.00 3/5 (60.00) Kalimantan Selatan Nusa Indah Panggong Kurnia Ujung Sukamaju Golf 2/2 (50.00) 1/2 (50.00) 0/1 (0) 0/3 (0) 0/1 (0) Pola Tanam/ Genotipe Cabai Monokultur/ Hot Beauty Monokultur/ Hot Beauty Tumpangsari/ Huang Dong Monokultur/ Hot King Tumpangsari/ Rawit lokal Tumpangsari/ Hot Beauty Monokultur/ Hot Beauty Tumpangsari/Keriting lokal Monokultur/Tit Segitiga Tumpangsari/Randu Tumpangsari/Tit Segitiga Monokultur/Tit Segitiga - 1 Nilai ditentukan berdasarkan hasil deteksi dengan DAS ELISA, yaitu dengan membandingkan jumlah sampel tanaman bereaksi positif terhadap jumlah sampel total. - Tidak ada informasi Hasil penelitian Taufik (2005) melaporkan bahwa ChiVMV seringkali ditemukan berada bersama-sama dengan CMV di lapangan. Walaupun demikian deteksi DAS ELISA dengan menggunakan antiserum CMV, ChiVMV, PVY, TMV dan PMMV menunjukkan bahwa infeksi virus yang dominan di lokasi survei adalah ChiVMV dan PVY (Tabel 3.2). Tabel 3.2 Deteksi beberapa virus pada sampel tanaman cabai Lokasi (Propinsi / Desa) Sumatera Barat Agam Solok Tanah Datar Lumpo Selatan Jawa Barat Mega Mendung Jawa Timur Mbokor Kali Malang Karang Juwet Mendem Belung Nongko Sewu Wates Jawa Tengah Kemukten Kersana Keradenan Sitanggal Wanacala Kalimantan Selatan Nusa Indah Panggong Kurnia Ujung Sukamaju Golf Total Sampel CMV ChiVMV PVY TMV PMMV 2 4 1 4 1 0 0 0 1 4 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0 3 0 0 15 12 8 10 20 8 12 0 0 0 4 0 1 0 8 0 2 0 4 0 3 2 4 1 8 13 2 5 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 4 0 0 4 5 6 5 1 0 0 0 0 0 2 3 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 1 3 1 0 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah sampel yang terinfeksi* * CMV = cucumber mosaic virus; ChiVMV = chilli veinal mottle potyvirus; PVY = potato virus Y; TMV = tobacco mosaic virus; PMMV = pepper mottle mosaic virus. Perbanyakan Isolat ChiVMV Dari hasil deteksi dengan DAS ELISA, sampel-sampel yang positif terinfeksi ChiVMV dengan gejala tunggal kemudian diperbanyak di rumah kaca. Terdapat 13 isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum). Dari ketigabelas isolat tersebut selanjutnya dipilih 5 isolat yang mewakili masing-masing daerah lokasi survei. Karakteristik gejala masing- masing isolat bervariasi pada tanaman paprika sumber inokulum ChiVMV mulai dari gejala belang ringan sampai belang berat dengan maformasi daun (Gambar 3.2 dan Tabel 3.3). Tabel 3.3 Isolat-isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca Asal Isolat ChiVMV Solok 1, Sumatera Barat Solok 2, Sumatera Barat Tanah Datar, Sumatera Barat Agam, Sumatera Barat Cikabayan, Jawa Barat Belung, Jawa Timur Wates, Jawa Timur Kemukten, Jawa Tengah Kode Gejala pada tanaman perbanyakan Isolat virus* SOSKM 1 SOSKM 2 TD AGAM CKB BL WK KMT Kersana, Jawa Tengah KRS Keradenan, Jawa Tengah KRD Sitanggal, Jawa Tengah Panggong, Kalimantan Selatan STG PANG Nusa Indah, Kalimantan Selatan NI Belang sedang, malformasi daun ringan Belang sedang, malformasi daun sedang Belang berat, malformasi daun berat Belang ringan, tidak terjadi malformasi daun Belang berat, ujung daun meruncing, dan kerdil Belang sedang, malformasi daun sedang Belang ringan, tidak terjadi malformasi daun Belang ringan, malformasi daun ringan Belang sedang, daun muda kaku ke atas Belang berat, ujung daun meruncing Belang berat, tanaman kerdil Belang sedang, malformasi daun ringan Belang sedang, malformasi daun sedang * Isolat-isolat tersebut diperbanyak pada tanaman paprika C. annuum var Grossum Hasil survei yang telah dilakukan sebelumnya oleh Taufik (2005) hanya berhasil mengumpulkan enam isolat ChiVMV dari hasil survei lapang di Jawa Barat, Sumatera Barat dan Jambi. Diharapkan isolat-isolat ChiVMV yang berhasil dikoleksi ini dapat melengkapi koleksi isolat-isolat ChiVMV asal Indonesia yang telah dikumpulkan sebelumnya. Selain itu masih diperlukan karakterisasi lebih lanjut untuk mengetahui sifat dan keragaman antar isolat tersebut. SOSKM CKB BL KRD PANG TD Gambar 3.2 Gejala ChiVMV pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum). SOSKM adalah isolat asal Solok; CKB adalah isolat asal Cikabayan; BL adalah isolat asal Belung; KRD adalah isolat asal Keradenan; PANG isolat asal Panggong; TD adalah isolat asal Tanah Datar. Deteksi ChiVMV dengan RT-PCR Menggunakan hasil ekstraksi total RNA dari isolat ChiVMV yang telah diperbanyak pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum) didapatkan cDNA pada reaksi reverse transcriptase. Selanjutnya cDNA yang terbentuk langsung digunakan sebagai cetakan dalam reaksi PCR dengan menggunakan pasangan primer ChiVMV –F1 dan ChiVMV-R. Hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R tersebut setelah dielektroforesis pada gel agarosa 1,2 % menghasilkan produk yang berukuran 800 pasang basa (bp) (Gambar 3.7). Hasil RT-PCR ini menunjukkan bahwa metode RT-PCR dapat digunakan untuk mendeteksi ChiVMV penyebab gejala belang pada tanaman cabai. Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Moury et al. (2005) telah berhasil mendapatkan pita DNA spesifik ChiVMV dengan menggunakan pasangan primer 5’-GGIAA(A/G)GC(G/A/T/C)CC (G/A/T/C)TA(C/T)AT-3’ dan 5’-CGCGCTAATGACATATCGGT-3’. M 1 2 3 4 5 6 800 bp 500 bp Gambar 3.3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman cabai terinfeksi beberapa isolat ChiVMV menggunakan primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R. (M) Marker 100 base pairs (bp); (1). Tanaman sehat; (2) Isolat BL, Malang; (3) Isolat CKB, Cikabayan; (4) Isolat KRD, Keradenan; (5) Isolat PANG, Panggong; (6) Isolat TD, Tanah Datar Deteksi ChiVMV dengan I-ELISA Hasil deteksi sampel terinfeksi ChiVMV dengan metode I-ELISA dilakukan dengan perlakuan pengenceran bertingkat pada sap tanaman uji. Pembacaan nilai absorbansi pada 405 nm menunjukkan hasil yang beragam antara isolat ChiVMV yang berbeda. Meskipun demikian rata-rata nilai absorbansi cukup homogen pada tingkat pengenceran 1 : 10 sampai 1 : 1.000. Pada kisaran tingkat pengenceran tersebut, reaksi positif sangat jelas terlihat, yaitu ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang tinggi (Tabel 3.4). Tabel 3.4 Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi ChiVMV pada berbagai tingkat pengenceran menggunakan metode I-ELISA*. Pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi ** 1: 10 BL CKB KRD PANG TD 3.317 2.318 3.229 2.503 3.122 0.281 0.285 1 : 100 3.273 3.290 3.182 2.589 3.183 - - 1: 1.000 3.277 3.377 3.182 1.809 3.208 - - 1 : 10.000 1.734 3.130 2.104 0.736 1.421 - - 1 : 100.000 0.374 0.471 0.438 0.347 0.345 - - 1 : 1.000.000 0.282 0.316 0.298 0.280 0.283 - - Sampel uji*** Kontrol Bufer negatif * Sampel dinyatakan positif bila nilai absorbansinya lebih dari dua kali nilai absorbansi kontrol negatif yaitu sampel tanaman sehat ** Perbandingan antara sampel dengan bufer (b / v ) *** Sampel uji terdiri dari tanaman cabai yang terinfeksi ChiVMV isolat Malang (BL), Cikabayan (CKB), Keradenan (KRD), Panggong (PANG), dan Tanah Datar (TD) Batas sensitifitas pengujian dengan metode I-ELISA adalah pada tingkat pengenceran 1 : 1.000. Pada tingkat pengenceran 1 : 10.000 sampai 1 : 1.000.000 terjadi penurunan nilai absorbansi. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode deteksi dengan I-ELISA masih dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan ChiVMV hingga tingkat pengenceran sampel 1 : 10.000 (Tabel 3.4). Pengamatan secara visual terhadap perubahan warna yang terjadi pada plat mikrotiter ELISA menunjukkan perbedaan intensitas warna kuning (Gambar 3.4). Intensitas warna kuning tersebut sangat kuat pada tingkat pengenceran 1 : 10 dan semakin berkurang warnanya dengan semakin tingginya tingkat pengenceran. Kelima isolat yang digunakan pada tingkat pengenceran ini pada semua sumuran plat menunjukkan tidak terjadi perubahan warna pada pengenceran 1: 100.000 dan 1 : 1.000.000. Hal tersebut menguatkan kesimpulan bahwa antiserum yang digunakan tidak dapat lagi mendeteksi sampel yang terinfeksi ChiVMV pada tingkat pengenceran 1 : 100.000 dan 1 : 1.000.000. BL 1: 10 1 : 102 1: 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106 KRD TD CKB PANG B K(+) K(-) Gambar 3.4 Reaksi perubahan warna pada plat mikrotiter hasil I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran (1 : 10 hingga 1 : 106) menggunakan lima isolat ChiVMV: Malang (BL), Keradenan (KRD), Tanah Datar (TD), Cikabayan (CKB), Panggong (PANG), Bufer (B), Kontrol positif K(+) dan Kontrol sehat K(-). Deteksi ChiVMV dengan Metode DIBA Pada deteksi ChiVMV dengan menggunakan metode DIBA, diperoleh reaksi positif pada semua isolat ChiVMV pada tingkat pengenceran 1 : 10 sampai 1 : 1.000. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada membran (Gambar 3.5). Semua sampel menunjukkan reaksi positif dengan signal kuat pada tingkat pengenceran 1 : 10 namun semakin melemah pada tingkat pengenceran berikutnya. Secara umum, sampel yang diuji sudah tidak lagi menunjukkan signal positif pada tingkat pengenceran 1 : 1.000 kecuali sampel BL (Malang) dan TD (Tanah Datar) yang masih menunjukkan signal positif sampai pengenceran 1:10.000. Hal tersebut menunjukkan bahwa batas sensitifitas deteksi ChiVMV dengan metode DIBA adalah pada tingkat pengenceran 1 : 1: 1.000. Adanya perbedaan antar sampel yang diuji yaitu ChiVMV dari berbagai lokasi, dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut Hull (2002), hal tersebut dapat terjadi karena terdapat perbedaan tingkat konsentrasi virus yang terkandung di dalam inangnya. Semakin tinggi konsentrasi virus pada tanaman maka akan memberikan reaksi yang sangat kuat pada membran begitu juga sebaliknya semakin rendah konsentrasi virus pada tanaman uji maka akan memberikan reaksi lemah pada membran. Tingkat Pengenceran A B Isolat C D E 1 : 10 1 : 102 1 : 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106 K (+) Bufer K (-) Gambar 3.5 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai tingkat pengenceran sap menggunakan lima isolat ChiVMV. (A) Isolat BL, Malang; (B) Isolat CKB Cikabayan; (C) Isolat KRD, Keradenan; (D) Isolat Pang, Panggong; (E) Isolat TD, Tanah Datar. Batas sensitifitas metode DIBA lebih rendah dibandingkan metode IELISA. Walaupun demikian metode DIBA memerlukan antiserum yang lebih sedikit dibandingkan metode I-ELISA untuk pengujian jumlah sampel yang sama. Selain itu, pelaksanaan pengujian dengan metode DIBA relatif lebih cepat. Metode DIBA dapat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan deteksi yang melibatkan jumlah sampel yang banyak, misalnya pada kegiatan seleksi atau skrining plasma nutfah dalam rangka perakitan varietas tahan ChiVMV. SIMPULAN 1. Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV yang semakin luas di lapangan. Virus tersebut ditemukan hampir disetiap pertanaman cabai yang diamati meskipun dengan jumlah tanaman terinfeksi yang berbeda-beda. 2. Dari hasil perbanyakan isolat virus di rumah kaca, didapatkan 14 isolat virus. Selanjutnya dipilih lima isolat utama yang mewakili masing-masing lokasi survei. Kelima isolat ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk mengetahui karakteristiknya lebih lengkap. 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa deteksi ChiVMV dengan I-ELISA mampu mendeteksi ChiVMV hingga tingkat pengenceran 1 : 10.000, sedangkan deteksi dengan DIBA mampu mendeteksi ChiVMV sampai batas pengenceran 1 : 1.000, sementara uji molekular dengan RT-PCR berhasil mendapatkan produk DNA spesifik berukuran 800 bp. DAFTAR PUSTAKA Ang OC. 1995. Symptomatic variants of ChiVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari. AVRDC AVRDC. 2000. AVRDC 1999 Progress Report. Asian Vegetable Research and Development Center, Shanhua, Taiwan. Baloch HB, Baloch LS, Rustamani MA, Hussain T, Talpur MA, Rao SA. 1994. Insect pests associated with Capsicum annuum (Linn.) during summer season at Tandojam. Proceeding, 14th Pak. Congress of Zoology, Karachi (Pakistan), 1-3 April 1994. Brunt, A., K. Crabtree, A. Gibbs. 1990. Viruses of tropical plants. CAB International, Wallingford, UK. 707 pp. Burnett, F. dalam Brunt, AA, Crabtree K, Dallwitz MJ, Gibbs AJ, Watson L, Zuchrer EJ. 2003. Plant Virus Online: Description and List from the VIDE Database. Version 20th 1996. (Online). [http://biology.anu.edu.au/Groups /MES/vide/html] diakses tgl 20 April 2008. Caranta, C., A. Palloix, K. Gebre-Selassie, V. Lefebvre, B. Moury, and A.M. Daubeze. 1996. A complementation of two genes originating from susceptible Capsicum annuum lines confers a new and complete resistance to pepper veinal mottle virus. Phytopathology 86: 739–743. Davis RI, Thomas JE, McMichael LA, Dietzgen RG, Callaghan B, James AP, Gunua TG, Rahamma S. 2002. Plant virus surveys on the island of New Guinea and adjacent regions of northern Australia. Australasian Plant Pathology 31(4) 385 – 390 (Abstrak). [http://www.publish.csiro.au/paper /AP02047.htm]. (14 Mei 2008). Fraser RSS. 1992. The genetics of plant virus interaction implication for plant breeding. Euphytica 63. Hlm 175-185. Green SK. 2004. Pepper line resistant to chilli veinal mottle virus. (Online). [http://www.avrdc.org/aarnet_proceedings.html]. diakses 14 Juni 2008. Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press. Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite. Plant Dis 81:250-253. Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London. Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005. Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle virus and Chili veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232. http://www.apsnet.org/phyto/pdfs /2005/PHYTO-95-0227.pdf [13 Mar 2007]. Ong, C.A. 1984. Reducing the spread of chilli veinal mottle virus using reflective surfaces. MARDI Research Bulletin 12: 200–204. Ong, C.A., G. Varghese, and W.P. Ting. 1979. Aetiological investigations on a veinal mottle virus of chilli (Capsicum annuum L.) newly recorded from Peninsular Malaysia. MARDI Research Bulletin 7: 78–88. Stack, Macmillan. 2005. Brycella serology. Brunet Publication. FAO/WHO Collaborating Centre for Reference and Research on Brucellosis, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, Surrey Kt15 3NB, United Kingdom. http://www.moag.gov.ilbrunetpublic_sub4_p1.html [25 Desember 2008]. Sulyo Y, Duriat AS. 1996. Field evaluation of pepper accession for resistance to viruses. Proceeding of the AVNET II Final Workshop Philippines. AVRDCTainan. Taiwan: Hlm132-137 Womdim NR, Swai I S, Chadha ML, Selassie GK, Marchoux G. 2001. Occurrence of Chili veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania. Plant Dis. 85:801. IV. EVALUASI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV) Abstrak Hasil survei terhadap infeksi ChiVMV di beberapa daerah sentra pertanaman cabai menunjukkan kejadian penyakit yang cukup tinggi. Karena itu diperlukan pengendalian yang tepat dan cepat agar infeksi penyakit ini tidak semakin parah dilapangan. Salah satu metode pengendalian terhadap virus yang cukup aman dan dianjurkan adalah penanaman genotipe cabai yang tahan ChiVMV. Sayangnya genotipe-genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV belum banyak diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi ketahanan beberapa genotipe cabai. Percobaan untuk mengetahui respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV telah dilakukan mencakup satu set populasi yang terdiri atas 29 genotipe cabai yang berasal dari spesies Capsicum annuum, C. pubescens, dan C. frutescens. Masing-masing genotipe cabai tersebut diinokulasi dengan ChiVMV isolat Cikabayan. Deteksi infeksi virus dilakukan menggunakan Double Anti Sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS ELISA) dan respon ketahanan tanaman ditentukan berdasarkan kejadian penyakit. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa genotipe IPB C1, PBC 521, dan IPB C10 memberikan respon sangat tahan terhadap infeksi ChiVMV sedangkan IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera memberikan respon tahan. Ketujuh genotipe cabai tersebut dapat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber ketahanan terhadap ChiVMV. Kata kunci: Capsicum, ChiVMV, ketahanan PENDAHULUAN Salah satu virus penting yang banyak dilaporkan menginfeksi pertanaman cabai di Indonesia adalah chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) yang dapat menyebabkan kehilangan daya hasil yang tinggi. Green dan Huang (1989) melaporkan kehilangan hasil ditingkat petani mencapai 50% di 16 negara Asia. Di Malaysia, ChiVMV dapat mereduksi hasil sampai 65% serta menurunkan kualitas buah (Ong et al. 1980 dalam Ong 1995). Taufik et al. (2005) melaporkan kehilangan hasil akibat infeksi ChiVMV dapat mencapai 100%. Oleh karena itu diperlukan strategi pengendalian yang dapat mengatasi masalah penularan ChiVMV di lapangan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengendalian penyakit karena infeksi virus, diantaranya : (1) tanaman yang terinfeksi tidak dapat disembuhkan dan dapat menjadi sumber inokulum untuk tanaman di sekitarnya; (2) kebanyakan penularan virus di alam terjadi melalui kutu daun dan bersifat non persisten; (3) virus umumnya memiliki kisaran inang yang luas (Matthews 1991) selain itu penyebaran virus ke seluruh areal pertanaman dapat berlangsung dalam waktu singkat; dan (4) virus umumnya memiliki keragaman genetik yang tinggi serta mekanisme replikasi dan patogenesisnya sangat kompleks yang ditunjukkan oleh banyaknya strain virus tersebut yang dapat menimbulkan gejala atau keparahan penyakit yang berbeda-beda. Dengan demikian pengendalian penyakit virus di lapangan sulit dilakukan secara efektif karena target pengendalian menjadi lebih luas dan sulit (Hull 2002). Saat ini salah satu cara pengendalian yang dapat menjadi solusi permasalahan tersebut adalah penggunaan varietas cabai tahan ChiVMV (Dolores, 1998). Keuntungan pengendalian dengan menggunakan genotipe tahan selain memberikan kepastian pengendalian virus yang lebih baik, metode ini merupakan teknik yang paling murah, mudah, aman, tidak mencemari lingkungan, serta mampu menekan replikasi virus pada tanaman sehingga kerugian hasil yang terjadi dapat dikurangi (Frasser 1992). Namun demikian, karena virus umumnya memiliki kisaran inang yang sangat luas, maka penggunaan kultivar tahan bisa efektif jika dibarengi dengan metode pengendalian hama penyakit terpadu (PHT), seperti pembersihan gulma inang virus dan pengendalian serangga vektor (Russel 1981). Penelitian untuk mengetahui respon ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi ChiVMV telah beberapa kali dilakukan sebelumnya. Pada tahun 2005, Taufik et al. menguji ketahanan sembilan kultivar cabai terhadap infeksi ChiVMV dan infeksi ganda ChiVMV dengan cucumber mosaic cucumovirus (CMV). Namun hasil evaluasi tersebut belum menemukan kultivar yang tahan terhadap infeksi CMV dan ChiVMV. Subekti et al. (2005) mengevaluasi ketahanan 5 kultivar cabai serta pengaruh komponen hasil tanaman terhadap infeksi ChiVMV dan belum menemukan kultivar yang menunjukkan respon tahan terhadap infeksi ChiVMV. Barulah pada tahun 2007, hasil evaluasi ketahanan berikutnya menemukan beberapa genotipe atau kultivar yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap ChiVMV (Millah et al. 2007; Latifah et al. 2008) Saat ini genotipe-genotipe cabai yang tahan terhadap infeksi ChiVMV dan memiliki daya produksi yang baik masih sedikit sekali diketahui sehingga perlu terus-menerus dilakukan pengujian untuk menemukan sumber ketahanan baru terhadap ChiVMV. Selain itu evaluasi ketahanan terhadap virus harus terus menerus dilakukan mengingat virus termasuk patogen yang terus membentuk strain-strain baru yang mampu mematahkan ketahanan tanaman yang telah dilepas. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan dua puluh sembilan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV di rumah kaca. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman IPB, Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB dan di rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. Pemilihan genotipe dan penyemaian dilakukan pada bulan April-Juni 2008, dan evaluasi respon ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV dilakukan pada bulan September 2008. Bahan Isolat virus yang digunakan adalah ChiVMV isolat Cikabayan koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan hasil survey Taufik et al. (2005). Bahan tanaman yang digunakan dalam uji ketahanan adalah 29 genotipe cabai dengan jumlah ulangan antara 20-25 tanaman (Tabel 4.1). Genotipe cabai yang diuji tersebut adalah koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB dan benih-benih lokal komersial. Tabel 4.1 Daftar genotipe yang dipakai dalam uji ketahanan terhadap infeksi ChiVMV Tipe No Genotipe cabai Spesies Asal benih buah 1 IPB C1 C. annuum Besar PSPT C-17 2 IPB C13 C. annuum Besar PSPT/AVRDC 3 IPB C14 C. annuum Besar AVRDC 4 IPB C15 C. annuum Besar PSPT/AVRDC 5 IPB C17 C. annuum Besar PSPT/AVRDC 6 IPB C24 C. annuum Besar PSPT/AVRDC 7 IPB C48 C. annuum Besar AVRDC 8 PBC 521 C. annuum Besar PSPT/AVRDC 9 Tanjung C. annuum Besar Lokal/ Bandung 10 IPB C6 C. annuum Keriting Lokal/ Bogor 11 IPB C73 C. annuum Keriting Panah Merah 12 Tegar C. annuum Keriting Komersial/ Surya Bumi 13 Keriting Sumatera C. annuum Keriting Komersial/ Surya Mentari 14 Tornado C. annuum Keriting Komersial/ Sang Hyang Seri 15 Andalas C. annuum Keriting Komersial/ Mutiara Bumi 16 IPB C8 C. annuum Rawit AVRDC 17 IPB C10 C. annuum Rawit AVRDC 18 IPB C60 C. annuum Rawit PSPT/AVRDC 19 Tegak C. frutescens Rawit Komersil/ Sinar Bumi 20 Toro C. frutescens Rawit Komersil/ Surya Mentari 21 Taring C. frutescens Rawit Komersil/ Mega Bintang 22 IPB C20 C. pubescens Hias AVRDC 23 IPB C21 C. annuum Hias AVRDC 24 IPB C33 C. annuum Hias AVRDC 25 IPB C55 C. annuum Hias AVRDC 26 IPB C81 C. annuum Hias Hias Liar 27 IPB C99 C. annuum Hias AVRDC 28 Beauty Bell C. annuum Paprika Komersil/Known You Seed 29 Polaris C. annuum Paprika Komersil/Known You Seed Metode Penyemaian Benih Benih cabai disemai pada baki semai yang telah diisi dengan media tanam campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan masing-masing 1:1 (v/v). Media tanam tersebut sebelumnya disterilisasi pada 150oC selama 5 jam. Tanaman kemudian dipelihara di rumah kaca kedap serangga dengan pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian serangga hama. Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai Inokulasi dilakukan sebanyak dua kali pada semua genotipe tanaman uji. Inokulasi pertama dilakukan ketika daun pertama telah membuka penuh (3 minggu), dan inokulasi kedua dilakukan satu minggu setelah inokulasi pertama. Inokulasi dilakukan secara mekanis seperti diuraikan pada Bab III. Evaluasi Ketahanan Cabai Terhadap Infeksi ChiVMV Evaluasi ketahanan tanaman cabai dilakukan dengan mendeteksi infeksi ChiVMV menggunakan pengujian DAS-ELISA. Deteksi dilakukan dua kali, dimana uji ELISA pertama dilakukan 1 minggu setelah inokulasi pertama, sedangkan uji ELISA kedua dilakukan 1 minggu setelah ELISA pertama atau dua minggu setelah inokulasi pertama. Pengujian dengan ELISA dilakukan mengikuti petunjuk dari DSMZ-Plant Virus Collection (Braunschweig, Germany) seperti diuraikan pada Bab III. Hasil deteksi digunakan untuk menggolongkan tipe ketahanan genotipe cabai kedalam kelompok sangat tahan, tahan, agak rentan, rentan dan sangat rentan. Ketahanan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV ditentukan berdasarkan kriteria Dolores (1996) yang telah dimodifikasi (Tabel 4.2). Tabel 4.2 Pengelompokan tingkat ketahanan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV. . Kejadian Penyakit (%) Tingkat Ketahanan x ≤ 10 Sangat tahan 10 < x ≤ 30 Tahan 30 < x ≤ 50 Agak rentan 50 < x ≤ 70 Rentan x > 70 Sangat rentan Kejadian penyakit dihitung menggunakan rumus : KP = n x100% N Keterangan: KP : kejadian penyakit n : jumlah tanaman positif ELISA N : jumlah tanaman yang diinokulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Gejala Pengamatan pada 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV menunjukkan adanya keragaman gejala yaitu mulai dari tidak ada gejala sampai belang berat diikuti dengan malformasi daun (Tabel 4.3 dan Gambar 4.1). Tabel 4.3 Tipe gejala pada 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV Jenis gejala (*) Genotipe cabai Tidak bergejala IPB C17, IPB C521, IPB C14, IPB C1, IPB C8, IPB C10, Taring, Keriting Sumatera Belang ringan IPB C48, IPB C15, IPB C21, IPB C73, IPB C6, Tegak, IPB C81, Andalas Belang sedang dengan malformasi daun Tanjung, IPB C20, Tegar, Tornado, IPB C99, IPB C60, Toro Belang berat dengan malformasi daun dan kerdil IPB C13, IPB C24, IPB C55, IPB C33, Polaris, Beauty Bell *) Pengamatan dilakukan pada 14 HSI Pada genotipe yang diamati, rata-rata perkembangan gejala mulai terlihat jelas pada 14 HSI. Namun ada satu genotipe, yaitu IPB C48 dengan tipe gejala yang jelas muncul pada 7 HSI namun mulai berkurang pada 14 HSI. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi virus di dalam tanaman yang tidak berkembang juga dapat disebabkan karena ketahanan yang dimiliki oleh tanaman itu sendiri yang mampu mengurangi munculnya gejala sehingga infeksi tidak berkembang. Goodman et al. (1986) menyatakan bahwa kemampuan virus untuk bermultiplikasi dan menimbulkan gejala berbeda-beda pada setiap tanaman, dalam hal ini tergantung pada kultivar dan umur tanaman serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit. Pada gejala belang sedang yang diikuti dengan malformasi daun, gejala terlihat sangat jelas terutama pada genotipe Keriting Tegar dan IPB C99. Pada cabai keriting genotipe Tegar, meskipun gejala hanya muncul pada beberapa tanaman namun jenis gejala yang ditampakkan sangat jelas yaitu ujung daun yang meruncing dengan belang hijau tua yang sangat jelas pada daerah tulang daun, sedangkan pada genotipe IPB C20 malformasi tampak berupa perubahan daun menjadi kaku ke atas. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Latifah et al. (2007) menunjukkan bahwa tingkat ketahanan tinggi dimiliki oleh genotipe jenis rawit dibandingkan dengan genotipe yang berasal dari jenis yang berbeda. Sementara pada penelitian ini diperoleh tiga genotipe cabai dengan tipe buah jenis besar yang menunjukkan respon ketahanan yang tinggi (IPB C1, IPB C17 dan IPB C521). Hal ini menunjukkan bahwa seleksi ketahanan terhadap ChiVMV harus melibatkan jumlah plasma nutfah yang banyak dan beragam karena sifat ketahanan mungkin didapatkan dari berbagai jenis atau berbagai genotipe cabai. Goodman et al. (1986) menyatakan bahwa genom tanaman memiliki reseptor yang akan mengenali virus yang masuk ke dalam sel tanaman dan akan memicu munculnya induksi ketahanan. Dalam hal ini kemampuan setiap tanaman berbeda, tergantung pada kultivar dan umur tanaman, serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit. Selain itu Hull (2002) menyatakan bahwa respon tanaman terhadap patogen dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu tanaman yang rentan, patogen yang virulen, kondisi lingkungan yang mendukung proses perkembangan patogen serta waktu interaksi patogen dengan tanaman. Adanya keragaman gejala yang muncul pada beragam tipe cabai tersebut menunjukkan bahwa respon penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genotipe tanaman dan fase pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan 5 minggu atau 7 hari setelah inokulasi (HSI) gejala yang ditunjukkan hanya belang ringan, namun pada 14 HSI, gejala semakin bertambah berat seiring dengan pertumbuhan tanaman. Pada fase ini replikasi virus sudah menyebar dengan cepat dan konsentrasi virus sudah tinggi sehingga ketika tanaman rentan yang terinfeksi, tanaman tidak mempu menahan laju replikasi virus yang ditunjukkan dengan perkembangan gejala yang semakin parah dari belang berat sampai malformasi daun. Pada tahap lanjut, tanaman akan menjadi kerdil dan terjadi kegagalan fungsi reproduksi. Chiemsombat dan Kittipakorn (1996) menyatakan bahwa keparahan penyakit pada tanaman tergantung pada kultivar dan waktu infeksi. Karena itulah pentingnya pemilihan jenis tanaman dan waktu tanam yang sesuai ketika akan menanam. Kebanyakan petani hanya memilih berdasarkan nilai ekonomi dan daya produksinya. IPB C 8 IPBC 521 A A IPBC 21 Andalas B B Tanjung IPBC 20 C C IPB C33 IPB C24 D D Gambar 4.1 Tipe gejala yang muncul pada beberapa genotipe cabai pada 14 HSI: (A) Tidak bergejala; (B) Belang ringan; (C) Belang sedang dengan malformasi daun; (D) Belang berat dengan malformasi daun. Evaluasi Ketahanan dan Kejadian Penyakit ChiVMV Berdasarkan Hasil ELISA Dari hasil pengujian ketahanan tanaman berdasarkan ELISA, tiga genotipe menunjukkan respon sangat tahan yaitu IPB C521, IPB C1, dan IPB C10, dengan kejadian penyakit 0-5%; sedangkan IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera menunjukkan respon tahan dengan kejadian penyakit berkisar 13-26 % (Tabel 4.4). Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga menunjukkan bahwa PBC 521 sangat tahan terhadap infeksi ChiVMV dengan kejadian penyakit 0% (Latifah 2007; Millah 2007). Pada pengujian ini, deteksi dilakukan dua kali, dimana uji ELISA pertama dilakukan 1 minggu setelah inokulasi pertama, sedangkan uji ELISA kedua dilakukan 1 minggu setelah ELISA pertama atau dua minggu setelah inokulasi pertama. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah pada 7 HSI virus telah berhasil menginvasi sel tanaman; sedangkan deteksi kedua bertujuan sebagai konfirmasi invasi virus pada sel tanaman. Pada pengamatan masa inkubasi, gejala awal infeksi ChiVMV muncul pada 5-18 HSI dimana munculnya gejala bervariasi pada masing-masing genotipe. Genotipe yang paling cepat masa inkubasinya antara lain IPB C99, IPB C33, IPB C21 dengan masa inkubasi antara 5-9 HSI pertama. Pada cabai paprika Beuty Bell dan Polaris, gejala baru muncul pada 14 HSI namun gejala yang tampak langsung terlihat jelas pada semua unit tanaman. Untuk masa inkubasi yang paling lama muncul pada genotipe IPB C1, Andalas, Taring, keriting Sumatera, IPB C14, IPB C17, dan IPB C8 dengan masa inkubasi 10-18 HSI. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tahan suatu genotipe maka semakin lama masa inkubasi virus. Tabel 4. 4 Respon 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV Genotipe Cabai Cabai Besar IPB C1 IPB C13 IPB C14 IPB C15 IPB C17 IPB C24 IPB C48 PBC 521 Tanjung Cabai Keriting IPB C6 IPB C73 Tegar Keriting Sumatera Tornado Andalas Cabai Rawit IPB C8 IPB C10 IPB C60 Tegak Toro Taring Cabai Hias IPB C20 IPB C21 IPB C33 IPB C55 IPB C81 IPB C99 Cabai Paprika Beauty Bell Polaris Masa Inkubasi (HSI)* Kejadian Penyakit (%)** Respon Ketahanan 7 10 7 10 12 1/20 (5,00) 22/23 (95,65) 3/23 (13,04) 14/23 (60,87) 5/23 (21,74) 21/23 (91,30) 9/19 (47,37) 0/23 (0,00) 14/23 (60,87) Sangat tahan Sangat rentan Tahan Rentan Tahan Sangat rentan Agak rentan Sangat tahan Rentan 12 12 10 10 10 15/23 (65,22) 18/23 (78,26) 8/23 (34,78) 6/23 (26,09) 15/17 (88,24) 23/23 (100,00) Rentan Sangat rentan Agak rentan Tahan Sangat rentan Sangat rentan 0 14 12 14 14 4/23 (17,39) 0/23 (0,00) 7/23 (30,43) 18/19 (94,74) 6/17 (35,29) 10/23 (43,48) Tahan Sangat tahan Agak rentan Sangat rentan Agak rentan Agak rentan 7 7 7 10 7 7 22/23 (95,65) 23/23 (100,00) 23/23 (100,00) 19/23 (82,61) 22/23 (95,65) 21/23 (92,30) Sangat rentan Sangat rentan Sangat rentan Sangat rentan Sangat rentan Sangat rentan 7 7 17/20 (85,00) 23/23 (100,00) Sangat rentan Sangat rentan *HSI = Hari setelah inokulasi **KP= Jumlah tanaman positif ELISA/ Total tanaman yang diuji x 100% = Tanaman tidak menunjukkan gejala sampai akhir pengamatan Masa inkubasi merupakan indikator seberapa cepat virus bereplikasi dan menyebar dari titik inokulasi ke bagian tanaman yang lainnya (Matthews 1991). Tanaman yang tahan memiliki masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan tanaman yang rentan. Tanaman yang tahan terhadap virus mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan gejala, sehingga konsentrasi virus di dalam tanaman menjadi rendah (Russell 1981; Greenleaf 1986; Agrios 1997). Sebaliknya tanaman yang rentan adalah tanaman yang tidak mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman yang dicirikan dengan konsentrasi virus yang tinggi dan masa inkubasi atau munculnya gejala yang cepat. Matthews (1991) selanjutnya menyatakan bahwa mekanisme ketahanan dalam tanaman dapat berupa penghambatan dalam penyebaran virus dari: 1) sel yang terinfeksi ke sel sekitarnya (penyebaran antar sel), 2) sel parenkima ke jaringan pengangkut (penyebaran antar jaringan), dan 3) jaringan pengangkut ke sel parenkima daun baru (penyebaran antar organ tanaman). Untuk mengetahui kejadian penyakit tidak bisa hanya dilakukan dengan pengamatan secara visual. Dalam hal ini diperlukan konfirmasi lebih lanjut antara lain dengan uji ELISA. Berdasarkan kriteria respon ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV ditemukan beberapa genotipe yang menghasilkan kejadian penyakit 0% (Tabel 4.4). Berdasarkan kriteris Dolores (Tabel 4.2), kelompok tersebut digolongkan memiliki respon sangat tahan. Lebih lanjut pada pengamatan kejadian penyakit, beberapa sampel tanaman tidak menunjukkan gejala pada pengamatan gejala 7 HSI dan 14 HSI, namun setelah dikonfirmasi dengan ELISA menunjukkan bahwa tanaman tersebut positif terinfeksi ChiVMV. Fenomena tersebut disebut sebagai infeksi virus cryptic (Antoniw et al. 1990). Suatu kejadian dimana infeksi virus tidak menunjukkan gejala namun masih dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi. Pada penelitian ini, fenomena itu ditunjukkan pada genotipe Taring, IPB C6, IPB C15, IPB C60, dan IPB C73. Kelima genotipe tersebut tidak menampakkan gejala ChiVMV pada pengamatan gejala di rumah kaca, namun berdasarkan hasil analisis ELISA kelimanya menunjukkan kejadian penyakit yang cukup tinggi, yaitu 30,43% - 78,26%. Tujuh genotipe yaitu IPB C521, IPB C1, dan IPB C10 yang memberikan respon sangat tahan dan genotipe IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera yang menunjukkan respon tahan pada penelitian ini dapat berpotensi untuk digunakan sebagai tetua tahan pada perakitan varietas cabai tahan ChiVMV di bidang pemuliaan tanaman. SIMPULAN 1. Genotipe yang memiliki respon sangat tahan terhadap infeksi ChiVMV adalah IPB C521, IPB C1, dan IPB C10. Respon tahan ditunjukkan oleh genotipe IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera. Ketujuh genotipe tersebut dapat berpotensi digunakan sebagai sumber ketahanan dalam program pemulian tanaman. 2. Fenomena virus cryptic ditemukan pada genotipe Taring, IPB C6, IPB C15, IPB C60, dan IPB C73. Kelima genotipe tersebut tidak menampakkan gejala ChiVMV pada pengamatan gejala di rumah kaca, namun berdasarkan hasil analisis ELISA kelimanya menunjukkan kejadian penyakit yang cukup tinggi, antara 30,43 -78,26%. Oleh karena itu perlu ditentukan metode deteksi yang tepat untuk memastikan respon tanaman terhadap infeksi ChiVMV. DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1997. Plant pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press Antoniw JF, White RF, Zie W. 1990. Cryptic viruses of beet and other plant. Dalam: Fraser RSS (editor) Recognition and response in plant-viruse interactions, Springer Verlag, Heideberg. pp 273-286. Chiemsombat P, Kittipakorn K. 1996. Determination isolates of CMV and CVMV and screening of pepper cultivars for virus resistance. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop AVRDC, ADB and PCARRD. Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzymelinked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal of General Virology 34:475-785. Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Di dalam: Proceeding if The AVNET II Final WORKSHOP. Tainan:AVRDC. Hlm. 334 - 342. Fraser RSS. 1992. The genetics of plant virus interaction implication for plant breeding. Euphytica 63:175-185. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1989. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia: University of Missoury Press. Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. Di dalam: Basset MJ, editor. Breeding vegetable crops. Connecticut: The AVI Pub.Co.hlm.67 – 134. Green KS, Huang 1989. Progress report of virology. Shanhua: AVRDC. Horison C, Rustikawati, Sudarsono. 2003. Screening of 69 hot pepper for resistance against cucumber mosaic virus by mechanical inoculation, Capsicum and eggplant Newsletter. 22:111-114. Hull R. 2002. Matthews Plant Virology. 4th , ed. San Diego: Academic Press. International Committee on Taxonomy of Viruses. 2002. Chilli veinal mottle virus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTVdB/57010016.htm [14 Mei 2007]. Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (capsicum annuum l.) terhadap chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Matthews, R.E.F 1991. Plant Virology. 3 Inc. London. rd ed. San Diego: Academic Press, Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London. Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005. Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle virus and Chili veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232. http://www.apsnet.org/phyto/pdfs /2005/PHYTO-95-0227.pdf [13 Mar 2007]. Riyanto A. 2007. Analisis silang setengah dialel cabai (Capsicum annuum L.) untuk karakter hortikultura dan ketahanan terhadap Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. IPB. Russel GE. 1981. Plant Breeding for Pests and Disease Resistance. Studies in the Agricultural and Food Scieance. Butterworth, London. 465p. Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hayati 13:53-57. Taufik M. 2005. Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus : karakterisasi isolat cabai dan strategi pengendaliannya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Ong CA. 1995. Symptomotic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. V. RESPON BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP INFEKSI DUA ISOLAT ChiVMV ABSTRAK Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan perpindahan dan replikasi virus di dalam tanaman, antara lain tingkat virulensi virus dan tingkat ketahanan tanaman yang diinfeksi. Infeksi dua isolat ChiVMV dengan menggunakan genotipe-genotipe yang diketahui memiliki sifat ketahanan yang berbeda telah dilakukan. Pada penelitian ini dipilih genotipe yang menunjukkan respon sangat tahan (IPB C521), tahan (IPB C17), dan sangat rentan (IPB C99) terhadap ChiVMV. Dua isolat ChiVMV yang digunakan adalah CKB dan BL yang berturut-turut menunjukkan gejala sangat parah dan lemah pada tanaman paprika. Kejadian penyakit dan masa inkubasi berdasarkan pengamatan gejala menunjukkan bahwa IPB C99 merupakan genotipe yang sangat rentan karena menunjukkan gejala yang jelas pada semua tanaman uji ketika diinfeksi CKB dan BL. Sebaliknya genotipe IPB C521 tidak menunjukkan gejala hingga akhir pengamatan. Masa inkubasi ketiga genotipe cabai berbeda untuk masing-masing isolat ChiVMV. Genotipe yang diinokulasi dengan isolat CKB menunjukkan masa inkubasi yang relatif lebih singkat yaitu 7-9 HSI dibandingkan dengan genotipe cabai yang diinokulasi oleh isolat BL yaitu 9-14 HSI. Penentuan titer virus berdasarkan deteksi serologi DIBA menunjukkan bahwa infeksi ChiVMV isolat CKB memberikan signal positif yang kuat hingga taraf pengenceran 1 : 106 dengan skor titer virus yang tinggi (5-6). Hal ini menunjukkan bahwa isolat CKB memiliki kemampuan replikasi lebih baik dari pada isolat BL dalam menginfeksi tanaman cabai. Kata kunci : Replikasi,Translokasi, ChiVMV, DIBA PENDAHULUAN Virus masuk ke dalam jaringan tumbuhan antara lain melalui luka yang dibuat secara mekanik atau oleh vektor atau masuk ke dalam ovule bersama tepung sari yang terinfeksi. Namun virus tidak selalu berhasil masuk dan menginfeksi jaringan tanaman. lnfeksi tanaman oleh virus hanya terjadi jika virus mampu memperbanyak diri di dalam sel awal yang terinfeksi dan mampu pindah dari sel yang satu ke sel yang lain sehingga menyebar secara sistemik di dalam jaringan tanaman (Mathews 1991). Banyak faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya perpindahan dan replikasi virus diantaranya adalah virulensi virus dan tingkat ketahanan tanaman yang diinfeksi. Respon tanaman terhadap infeksi patogen, termasuk virus umumnya dikelompokkan atas respon imun, tahan, toleran, dan rentan. Fraser (1998) melaporkan bahwa ketahanan yang imun dicirikan oleh ketidakmampuan virus untuk bermultiplikasi sehingga gejala tidak terjadi. Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan gejala (Russell 1981). Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel yang lain (Greenleaf 1986; Matthews 1991). Tanaman yang toleran terhadap virus adalah tanaman yang rentan terhadap infeksi virus tetapi memiliki kemampuan bertahan terhadap keberadaan dan multiplikasi patogen yang dapat ditunjukkan dengan berkurangnya gejala penyakit dan mampu membatasi kehilangan hasil (Keller et al. 2000). Lapidot et al. (1987) juga menyatakan bahwa kultivar toleran memiliki kemampuan tanaman untuk sembuh dari infeksi namun tidak mampu membatasi multiplikasi virus. Selanjutnya Keller et al. (2000) mendefinisikan tanaman rentan sebagai tanaman yang tidak mampu mengatasi pengaruh invasi virus. Respon inang yang rentan dicirikan oleh adanya gejala yang jelas dan replikasi virus yang tinggi. Genotipe cabai tahan ChiVMV telah terindentifikasi melalui penelitian yang dilakukan oleh Millah (2007) dan Latifah (2007). Umumnya penetapan respon ketahanan tersebut didasarkan pada penampakan gejala dan hasil uji serologi (ELISA). Evaluasi lebih lanjut mengenai perkembangan ChiVMV pada jaringan yang terinfeksi menarik untuk diteliti terutama untuk mengetahui interaksi antara tanaman cabai dengan ChiVMV. TUJUAN PENELITIAN Penelitian dilakukan untuk mengetahui respon genotipe IPB C521, IPB C17 dan IPB C99 terhadap infeksi isolat ChiVMV CKB (Cikabayan, Jawa Barat) dan BL (Belung, Jawa Timur). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman IPB, Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB dan di rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. Penelitian berlangsung pada bulan November hingga Desember 2008. Bahan Isolat ChiVMV yang digunakan adalah isolat CKB asal Cikabayan (Jawa Barat) dan isolat BL asal Belung (Jawa Timur) hasil survei dan perbanyakan di rumah kaca Cikabayan (Bab III). Bahan tanaman yang digunakan dalam uji virulensi adalah 3 genotipe cabai dengan jumlah ulangan 10 tanaman (Tabel 5.1). Genotipe cabai yang diuji tersebut adalah koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Metode Penyemaian Benih Benih cabai disemai pada baki semai yang telah diisi dengan media tanam campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan masing-masing 1:1 (v/v). Media tanam tersebut sebelumnya disterilisasi pada 150oC selama 5 jam. Tanaman kemudian dipelihara di rumah kaca kedap serangga dengan pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian serangga hama. Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai Inokulasi dilakukan sebanyak dua kali pada semua genotipe tanaman uji. Inokulasi pertama dilakukan ketika daun pertama telah membuka penuh (3 minggu), dan inokulasi kedua dilakukan satu minggu setelah inokulasi pertama. Inokulasi dilakukan secara mekanis seperti diuraikan pada Bab III. Satu minggu setelah inokulasi kedua dilakukan, daun-daun cabai dipanen dan dikelompokkan menjadi tiga bagian untuk masing-masing ulangan tanaman yaitu : daun pucuk, daun muda bergejala dan daun inokulasi (Gambar 5.1) untuk digunakan pada kegiatan deteksi menggunakan metode DIBA. Tabel 5.1 Genotipe-genotipe cabai yang digunakan dalam uji respon tanaman terhadap isolat ChiVMV No Genotipe Cabai 1 2 3 IPB C17 PBC 521 IPB C99 Tipe Buah Besar Besar Hias Tingkat Ketahanan Tahan Sangat Tahan Sangat Rentan Asal Benih PSPT/AVRDC PSPT/AVRDC AVRDC Respon Tanaman terhadap Infeksi Dua Isolat ChiVMV Evaluasi terhadap respon ketiga genotipe cabai yang diuji dilakukan berdasarkan beberapa peubah. Peubah yang diamati adalah indeks penyakit, masa inkubasi dan skor DIBA untuk menduga titer virus. Indeks penyakit diamati 2 minggu setelah inokulasi kedua berdasarkan jenis gejala (Tabel 5.2). Skor DIBA ditentukan berdasarkan intensitas signal reaksi pada membran nitroselulosa (Gambar 5.2). Tabel 5.2. Penentuan indeks penyakit pada tanaman cabai merah yang terinfeksi beberapa isolat ChiVMV Indeks Gejala Penyakit 0 Tidak ada gejala 1 Belang ringan 2 Belang sedang, tidak ada malformasi daun 3 Belang sedang, permukaan daun tidak rata dan atau malformasi daun 4 Belang berat, permukaan daun tidak rata dan atau malformasi daun Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997). Masing-masing daun diambil dari tiga letak daun yang berbeda yaitu: daun pucuk, daun muda bergejala, dan daun inokulasi (Gambar 5.1). Daun-daun tersebut ditimbang 0.1 gr dan digerus dalam tris buffer saline (TBS) dengan perbandingan 1:10 (b/v) (TBS: Tris-HCl 0,02 M dan NaCl 0,15M, pH 7,5). Pada penelitian ini pengenceran sampel tanaman dilakukan dengan pengenceran bertingkat dari 1 : 10 hingga 1: 106. Tahapan dalam metode deteksi DIBA seperti diuraikan pada Bab III. Setelah deteksi selesai dilakukan intensitas signal DIBA untuk masing-masing sampel ditentukan mengikuti kriteria yang telah ditetapkan (Gambar 5.2). A B C Gambar 5.1 Posisi letak daun yang diambil untuk dideteksi dengan metode DIBA. (A) daun pucuk; (B) daun muda bergejala; (C) daun inokulasi Signal pada membran Skor 6 5 4 3 2 1 Gambar 5.2 Penentuan intensitas signal reaksi DIBA pada membran nitroselulosa HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan gejala pada tiga genotipe cabai yang diinokulasi dengan dua isolat ChiVMV yaitu asal Jawa Barat (CKB) dan Jawa Timur (BL) menunjukkan respon yang berbeda untuk masing-masing isolat (Tabel 5.3 dan Gambar 5.3). Tabel 5.3 Kejadian penyakit, indeks penyakit dan masa inkubasi tiga genotipe cabai setelah diinokulasi dengan lima isolat ChiVMV. Isolat ChiVMV pada Genotipe Cabai CKB (Cikabayan, Jawa Barat) IPB C99 IPB C17 IPB C521 BL (Belung, Jawa Timur) IPB C99 IPB C17 IPB C521 Kejadian penyakit1 Rata-rata Indeks Penyakit2 Masa Inkubasi (Hari) 10/10 4/10 0/10 3,7 0,4 0 7- 9 7- 9 - 10/10 2/10 0/10 3,2 0,2 0 9-14 9-14 - 1 Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan jumlah tanaman yang menunjukkan gejala dibandingkan dengan jumlah tanaman yang diinokulasi 2 Indeks penyakit ditentukan berdasarkan nilai skoring pada pengamatan gejala secara visual - Tidak diketahui Respon genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV dievaluasi berdasarkan kejadian penyakit, indeks penyakit, dan masa inkubasi. Genotipe IPB C521 tidak menunjukkan gejala hingga akhir pengamatan. Genotipe IPB C99 dan IPB C17 memberikan respon berbeda bila diinokulasi dengan isolat ChiVMV yang berbeda. Indeks penyakit pada kedua genotipe tersebut tidak jauh berbeda untuk perlakuan dua isolat ChiVMV yang berbeda. Walaupun demikian, pada kedua genotipe tersebut masa inkubasi ChiVMV isolat CKB relatif lebih singkat dibandingkan masa inkubasi isolat BL. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon tanaman berkaitan dengan strain virus dan genotipe tanaman. Virus yang memiliki daya virulensi tinggi, mampu melakukan replikasi dengan cepat di dalam sel tanaman (Goodman et al. 1986; Russel 1981 ). Hal tersebut ditunjukkan dengan masa inkubasi yang singkat dan keparahan gejala yang tinggi. CKB 1 2 3 1 2 3 BL Gambar 5.3 Gejala yang muncul pada genotipe cabai (14 HSI) yang diinokulasi ChiVMV isolat Cikabayan (CKB) dan Malang (BL): (1) IPB C99; (2) IPB C17; (3) IPB C521 Pengamatan pada genotipe rentan (IPB C99) menunjukkan bahwa isolat ChiVMV CKB asal Cikabayan (Jawa Barat) memiliki tingkat virulensi yang tinggi dimana masa inkubasi pada tanaman singkat yaitu kurang dari 9 hari, sedangkan keparahan gejala yang ditimbulkannya tergolong sangat tinggi. Walaupun demikian, gejala infeksi isolat CKB pada genotipe sangat tahan (IPB C521) tidak dapat terlihat secara visual. Sekali lagi kejadian tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan infeksi dan munculnya gejala ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya virulensi virus dan ketahanan tanaman inang. Hasil deteksi dengan metode DIBA menggunakan sampel daun yang berbeda umurnya memberikan gambaran proses replikasi dan penyebaran virus dalam jaringan tanaman. Genotipe IPB C99 menunjukkan signal positif yang sangat kuat (skor 5-6) pada membran ketika diinokulasi dengan isolat CKB maupun BL. Signal positif ditunjukkan pada tiga bagian daun yang diambil yaitu daun pucuk, daun muda bergejala dan daun inokulasi. Pada genotipe tersebut, signal positif masih terdeteksi pada taraf pengenceran 1 : 106 untuk isolat CKB tetapi hanya terdeteksi pada taraf pengenceran 1 : 103 untuk isolat BL (Gambar 5.4 dan 5.5). Respon genotipe IPB C17 dan IPB C521 sangat berbeda bila dibandingkan dengan genotipe IPB C99. Intensitas signal DIBA tidak terlalu jelas (skor 2) dan hanya nampak untuk sampel daun yang diinokulasi dan daun muda. Hasil pengujian DIBA pada genotipe IPB C17 dan IPB C521 menunjukkan bahwa virus mungkin masuk pada luka tempat inokulasi namun virus tidak dapat bereplikasi dan berpindah ke bagian tanaman yang lainnya sehingga hanya terlokalisasi pada daun yang diinokulasi. Lemahnya signal yang ditampakkan pada membran tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang diinokulasi oleh kedua isolat ChiVMV memiliki tingkat ketahanan yang tinggi sehingga dapat menahan laju replikasi dan translokasi virus di dalam tanaman seperti yang diuraikan oleh Russel (1981). Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan gejala. Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel yang lain (Greenleaf 1986; Matthews 1991). Matthews (1991) juga menyatakan bahwa mekanisme ketahanan dalam tanaman dapat berupa penghambatan dalam penyebaran virus dari: 1) sel yang terinfeksi ke sel sekitarnya (penyebaran antar sel), 2) sel parenkima ke jaringan pengangkut (penyebaran antar jaringan), dan 3) jaringan pengangkut ke sel parenkima daun baru (penyebaran antar organ tanaman). Tabel 5.4 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C99 yang diinokulasi oleh isolat CKB dan BL*) Isolat virus dan Genotipe cabai CKB Pucuk Muda bergejala Inokulasi BL Pucuk Muda bergejala Inokulasi *) Tingkat Pengenceran 1 : 10 1 : 102 1 : 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106 6 6 6 3 4 2 3 3 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 5 5 6 3 4 4 2 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Skor DIBA dengan kisaran 1 sampai 6 ditentukan berdasarkan kriteria intensitas signal pada membran nitroselulosa Tabel 5.5 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C17 yang diinokulasi oleh isolat CKB dan BL*) Isolat virus dan Genotipe cabai CKB Pucuk Muda bergejala Inokulasi BL Pucuk Muda bergejala Inokulasi *) Tingkat Pengenceran 1 : 10 1 : 102 1 : 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Skor DIBA dengan kisaran 1 sampai 6 ditentukan berdasarkan kriteria intensitas signal pada membran nitroselulosa Tabel 5.6 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C521 yang diinokulasi oleh isolat CKB dan BL*) Isolat virus dan Genotipe cabai CKB Pucuk Muda bergejala Inokulasi BL Pucuk Muda bergejala Inokulasi *) Tingkat Pengenceran 1 : 10 1 : 102 1 : 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 6 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Skor DIBA dengan kisaran 1 sampai 6 ditentukan berdasarkan kriteria intensitas signal pada membran nitroselulosa *C99 1 : 10 A B C 1: 100 A B C 1: 1000 A B C 1: 10000 1: 100000 1: 1000000 C17 C521 K(+) A B C A B C A B C K (-), Buffer Gambar 5.4 Hasil deteksi isolat CKB pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA. (A) Daun pucuk; (B) Daun muda bergejala; (C) Daun Inokulasi. * = Genotipe cabai *C99 1 : 10 A B C 1: 100 A B C 1: 1000 A B C 1: 10000 1: 100000 1: 1000000 C17 C521 K(+) A B C A B C A B C K (-), Buffer Gambar 5.5 Hasil deteksi isolat BL pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA. (A) Daun pucuk; (B) Daun muda bergejala; (C). Daun Inokulasi. * = Genotipe cabai SIMPULAN 1. Pada tiga genotipe cabai uji (IPB C99, IPB C17, IPB C521) masa inkubasi isolat CKB asal Bogor, Jawa Barat relatif lebih singkat (7 – 9 hari) dibandingkan isolat BL asal Malang, Jawa Timur (9 – 14 hari). 2. Indeks penyakit yang disebabkan oleh dua isolat ChiVMV (CKB dan BL) pada masing-masing genotipe tanaman uji tidak tampak berbeda. 3. Berdasarkan intensitas signal DIBA pada membran nitroselulosa dapat diketahui bahwa kemampuan virus untuk bereplikasi dan menyebar secara sistemik ditentukan oleh respon tanaman inang. DAFTAR PUSTAKA Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia: University of Missouri Press. Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. Di dalam: Bassett MJ, editor. Breeding Vegetable Crops. Connecticut: AVI Pub. Co. Inc. hlm 67-134. Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed. ke-4. San Diego: Academic Press. Keller B, Feuillet, Messmer. 2000. Genetic of disease resistance. Di dalam : Slusarenko A, Fraser RSS and van Loon LC (editors), Mechanism of Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publishers, hlm.101-160. Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum l.) terhadap chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Lapidot M, Paran I, Ben-Joseph R, Ben-Harush S, Pilowsky M, Cohen S, Shifriss C. 1997. Tolerance to cucumber mosaic virus in pepper: Development of advanced breeding lines and evaluation of virus level. Plant Dis. 81.185188. Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite. Plant Dis 81:250-253. Matthews REF. 1991. Plant Virology. Ed. Ke-3. New York: Academic Press Inc. 83 hlm. Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London. Russel GE. 1981. Plant Breeding for Pest and Disease Resistance. Studies in the Agricultural and Food Sciences. London: Butterworths. 465 hlm. Suastika G, Tomaru K, Kurihara J, Natsuki KT. 1996. A cucumber mosaic cucumovirus isolate from banana mosaic disease in Indonesia. Di dalam: Biological Control in Sustainable Tropical Agriculture. Nodai Centre for International Programme. Tokyo University of Agriculture. JSPS-DGHE Program. Hlm. 60-68 VI. PEMBAHASAN UMUM Hasil survei lapang yang telah dilakukan membuktikan penyebaran ChiVMV sangat luas di lapangan. Diagnosis dengan DAS-ELISA menunjukkan bahwa ChiVMV hampir selalu berada di pertanaman yang diamati meskipun dengan persentase infeksi penyakit yang berbeda-beda. Sebanyak 135 sampel bergejala yang dikumpulkan dari 22 lokasi survei menunjukkan 28,88 % sampel terinfeksi ChiVMV. Distribusi infeksi penyakit pada setiap lokasi survei menunjukkan hasil yang beragam. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah sampel yang bereaksi positif dengan antiserum ChiVMV. Persentase sampel yang memberikan reaksi positif pada masing-masing lokasi survei yaitu: Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan secara berturut-turut adalah 100%, 0%, 60%, 53,33%, dan 50%. Selain ChiVMV berhasil juga dideteksi beberapa jenis virus lainnya, yaitu PVY, TMV, CMV dan PMMV. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan gangguan OPTK, khususnya infeksi virus, pada tanaman cabai cukup kompleks. Sebanyak 135 sampel yang berhasil dikumpulkan dari 22 lokasi survei selanjutnya didiagnosis dengan metode DAS ELISA. Sampel-sampel yang memberikan reaksi positif terhadap ChiVMV secara tunggal kemudian diperbanyak di rumah kaca. Terdapat 13 isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca pada tanaman paprika C. annuum var. Grossum. Dari ketigabelas isolat tersebut selanjutnya dipilih 5 isolat dengan karakterisasi gejala berbeda yang mewakili masing-masing daerah lokasi survei yaitu isolat CKB (Cikabayan, Jawa Barat), KRD (Keradenan, Jawa Tengah), TD (Tanah Datar, Sumatera Barat), BL (Belung, Jawa Timur), PANG (Panggong, Kalimantan Selatan). Perbedaan gejala yang ditunjukkan oleh kelima isolat tersebut merupakan suatu tanda adanya keragaman diantara isolat-isolat ChiVMV. Dalam penelitian ini tidak dilakukan kajian keragaman isolat-isolat ChiVMV tersebut. Walaupun demikian dari penampakan gejala pada tanaman paprika dan respon genotipe cabai terhadap infeksi dua isolat ChiVMV (CKB dan BL) tampaknya menunjukkan bahwa isolat ChiVMV asal Cikabayan (CKB) dapat digolongkan sebagai isolat yang cukup virulen. Untuk mendeteksi keberadaan virus pada suatu tanaman dapat dilakukan melalui metode serologi seperti enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan dot immunobinding assay (DIBA). Selain menggunakan metode serologi, deteksi virus tanaman dapat juga dilakukan melalui teknik molekular misalnya dengan RT-PCR (Rizos et al. 1992; Choi et al. 1999; Nakahara et al. 1999). Tiga metode deteksi (I-ELISA, DIBA, RT-PCR) yang dievaluasi dalam penelitian ini memberikan dasar untuk pemilihan metode deteksi ChiVMV yang akan digunakan. Serologi merupakan metode yang umum digunakan untuk mendeteksi bakteri dan virus. Prinsip pengujian tersebut adalah reaksi in vitro antara antigen dan antibodi. Pengujian cara ini sangat tergantung kepada ketersediaan sejumlah antibodi yang spesifik untuk patogen sasaran. ELISA sebagai salah satu metode serologi untuk mendeteksi virus tumbuhan sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya dapat diandalkan sebagai teknik untuk mendeteksi sampel dari lapangan, mudah dilakukan, sensitif, akurat, hasil dapat dikuantifikasikan, dapat dibakukan dengan kit, dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah besar. Namun metode ini juga memiliki kelemahan antara lain: membutuhkan antiserum yang banyak, tidak dapat digunakan untuk mendeteksi langsung sampel di lapangan, dan tidak mampu untuk mendeteksi adanya variasi strain patogen yang ada di lapang yang berkembang dengan sangat cepat dan bersifat spesifik lokasi (Rochapen and Lee 1991). Selain ELISA, deteksi serologi yang sering digunakan adalah dengan metode dot blot immunobinding assay (DIBA). Metode DIBA lebih mudah dan cepat untuk dilakukan serta memerlukan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan metode I-ELISA. Selain memiliki tingkat sensivitas yang tinggi, metode ini mudah diaplikasikan di lapangan dengan peralatan yang sederhana. Menurut Somowiyarjo et al. (1997) metode DIBA dapat dimanfaatkan sebagai sarana diagnosis penyakit tumbuhan yang efektif, karena ekstrak sampel tanaman dapat bertahan pada membran nitroselulosa dalam jangka waktu 42 hari pada suhu ruang. Deteksi virus tanaman yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah melalui teknik molekular misalnya PCR (Rizos et al. 1992; Choi et al. 1999; Nakahara et al. 1999). Teknik deteksi RT-PCR merupakan pengembangan dari metode PCR dengan penambahan enzim reverse transcriptase yang dapat merubah RNA menjadi cDNA. PCR merupakan teknik yang memiliki kepekaan yang tinggi dan cepat, serta dapat digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk untuk mengidentifikasi patogen tanaman. Teknik PCR merupakan teknik yang memiliki tingkat sensitifitas dan akurasi yang tinggi. Selain itu penggunaan teknik PCR untuk alat deteksi dapat memberikan hasil dengan lebih singkat (Henson dan French 1993). Namun metode deteksi dengan RT-PCR memiliki beberapa kelemahan, antara lain mahal, membutuhkan banyak peralatan, tergantung sekuen primer yang digunakan serta optimasi reaksi PCR. Disamping itu, amplifikasi DNA dengan teknik PCR sangat tergantung pada kualitas DNA hasil ekstraksi yang digunakan, sedikit kontaminasi dapat menyebabkan pita DNA tidak teramplifikasi (Moury et al. 2005). Pengujian ketahanan tanaman berdasarkan I-ELISA menunjukkan respon yang beragam pada 29 genotipe cabai uji. Respon ketahanan yang berbeda-beda diantara genotipe diduga disebabkan interaksi spesifik antara genotipe cabai dengan virus. Menurut Agrios (1997), interaksi antara inang dan patogen dapat bersifat compatible atau incompatible. Pada tanaman inang yang tahan terjadi interaksi incompatible antara tanaman dan patogen yang menyebabkan patogen tidak mampu menginfeksi dan penyakit tidak berkembang. Sebaliknya interaksi compatible terjadi pada tanaman inang yang rentan. Tiga genotipe cabai yang memberikan respon sangat tahan (IPB C521, IPB C1, dan IPB C10) dan 4 genotipe cabai yang memberikan respon tahan (IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera) pada penelitian ini berpotensi untuk digunakan sebagai tetua tahan pada perakitan varietas cabai tahan ChiVMV dalam kegiatan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas cabai yang memiliki sifat tahan ChiVMV dan berproduksi tinggi. Pengujian respon tanaman terhadap infeksi dua isolat ChiVMV membuktikan bahwa tiap genotipe cabai memberikan respon yang berbeda terhadap isolat ChiVMV yang berbeda. Genotipe IPB C99 yang bersifat sangat rentan menunjukkan reaksi positif (signal) yang kuat meskipun diinfeksi oleh isolat ChiVMV yang kurang virulen (Isolat BL, Jawa Timur) selain itu berdasarkan kemunculan gejala, IPB C99 menunjukkan masa inkubasi yang singkat yaitu antara 7 sampai 9 HSI. Reaksi positif pada membran terlihat jelas pada tiga posisi daun yang berbeda yang menunjukkan bahwa pada genotipe yang sangat rentan, virus melakukan replikasi dan translokasi dengan cepat sehingga dalam waktu singkat virus telah berada pada semua bagian tanaman. Sebaliknya, genotipe IPB C521 yang bersifat sangat tahan menunjukkan signal yang lemah walaupun diinfeksi oleh isolat ChiVMV yang paling virulen (isolat CKB, Jawa Barat). Hal tersebut antara lain ditandai dengan masa inkubasi virus yang lama yaitu antara 9 sampai 14 HSI. Pengujian dengan DIBA menunjukkan signal positif hanya pada daun yang diinokulasi. Hal tersebut membuktikan bahwa pada tanaman yang memiliki respon sangat tahan, virus hanya terlokalisasi pada daun yang diinokulasi dan tidak dapat melakukan replikasi dan translokasi dengan cepat seperti pada tanaman rentan. Perbedaan masa inkubasi yang terjadi berkaitan dengan sistem ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dan tingkat virulensi virus yang menginfeksi. Respon inang yang rentan dicirikan oleh terjadinya masa inkubasi yang singkat dan adanya gejala yang jelas karena replikasi virus yang tinggi (Goodman et al. 1986). Virus yang memiliki daya virulensi tinggi, mampu melakukan replikasi dengan cepat di dalam sel tanaman (Goodman et al. 1986; Russel 1981 ). Hal tersebut ditunjukkan dengan masa inkubasi yang singkat dan keparahan gejala yang tinggi. SIMPULAN UMUM Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV yang semakin luas di lapangan. Virus tersebut ditemukan hampir disetiap pertanaman cabai yang diamati meskipun dengan jumlah tanaman terinfeksi yang berbeda-beda. Metode I-ELISA, DIBA dan RT-PCR terbukti dapat digunakan sebagai metode deteksi ChiVMV. Pemilihan metode deteksi yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan tujuan kegiatan. Metode DIBA sangat sesuai untuk digunakan dalam kegiatan skrining genotipe dalam rangka kegiatan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas tahan ChiVMV. Metode DIBA mampu mendeteksi ChiVMV sampai batas pengenceran 1 : 1000. Berdasarkan evaluasi respon ketahanan terhadap ChiVMV didapatkan tujuh genotipe cabai (IPB C521, IPB C1, dan IPB C10 IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera) yang berpotensi untuk digunakan sebagai sumber ketahanan dalam program pemuliaan tanaman. Respon ketahanan tanaman ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya genotipe tanaman dan virulensi patogen. Pada penelitian ini terbukti bahwa virus dapat terlokalisasi pada genotipe tanaman yang tahan dan virus dapat menyebar secara sistemik dengan cepat pada genotipe tanaman rentan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1994. Pedoman Teknologi Budidaya Tanaman Cabe. Direktorat Bina Produksi Hortikultura, Jakarta. Abouzid AM, Freitas-Astua J, Purcifull DE, Polston JE, Beckham KA, Crawford WE, Petersen MA, Peyser B, Patte C, Hiebert E. 2002. Serological studies using polyclonal antisera prepared against the viral coat protein of four Begomovirus expressed in Escherichia coli. Plant Dis 86:1109-1114. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press. Attathom S, Chiemsombat P, Sutabutra T, and Pongpanitanond R. 1990. Characterization of nucleic acid of Tomato yellow leaf curl virus. Kasetsart J Nat Sci 24:1-5. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Kultivar-kultivar Cabai Indonesia. Lembang, Bandung. Biro Pusat Statistik, 2007. Produksi Tanaman Sayuran dan Buah Buahan di Indonesia. Jakarta. Ditjen Hort] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2007a. Perkembangan luas panen sayuran tahun 2003-2007. http://www.deptan.go.id. [28 Desember 2008]. Bos, L. 1990. Pengantar Virologi Tumbuhan. Triharso, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant Virology. [CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2005. Chilli veinal mottle virus. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. London: CABI Publish. Chiemsombat P, Kittipakorn K. 1995. Management of pepper viruses in Thailand. Di dalam: Shanmugasundaram S, Cabangbang V, editor. Management of Major Viruses of Pepper. Proceeding on the AVNET II Midterm Workshop organized by AVRDC, ADB and PCARRD; Los Banos, 21 – 25 Februari 1995. Shanhua, Tainan, Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Center. Publ. no. 95-438. hlm 193-199. Departemen Pertanian. 2007. Produksi Cabai di Indonesia http://www. deptan. go.id /bkp/dewan/Labul/Sept.htm [14 Mei 2007]. Duriat, et al, 1996. Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung. Duriat dan Muharam, 2003. Pengenalan Penyakit Penting Pada Cabai dan Pengendaliannya Berdasarkan Epidemologi Terapan. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Lembang, Bandung. Henson, J.M., French, R 1993. The Polimerase chain reaction and plant disease diagnoses. Annu Rev. Pythopathol. Foster GD, Taylor SC. 1998. Plant Virology Protocols. From virus isolation to transgenic resistance. New Jersey: Humana Press. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1989. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia: University of Missoury Press. Harlow, Lane D. 1999. Using Antibodies. A Laboratorium Manual. New York: Cold Springer Harbor Laboratory Press. Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press. International Committee on Taxonomy of Viruses. 2002. Chilli veinal mottle virus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTVdB/57010016.htm [14 Mei 2007]. Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum l.) terhadap chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Mathews, D.M., K. Riley, and J.A. Dodds. 1997. Comparison of detection methods for citrus tristeza virus in field trees during months of nonoptimal titer. Plant Dis. 81: 525-529 Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005. Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle virus and Chili veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232. http://www.apsnet.org/phyto/pdfs /2005/PHYTO-95-0227.pdf [13 Mar 2007]. Prabaningrum L, Moekasan TK. 1996. Hama-hama tanaman cabai merah dan pengendaliannya. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: Hlm 48-63. Pickersgill, B. 1997. Genetic resources and breeding of Capsicum spp. Euphytica 96: 129-133. Pickersgill, B. 1971. Relationships between weedy and cultivated forms in some species of chilli peppers (genus Capsicum). Evolution 25: 683-691. Pickersgill, B. 1988. The genus Capsicum: A multidisciplinary approach to the taxonomy of cultivated and wild plants. Biol. Zentralbl. 107: 381-389. Prince, J.P., V.K. Lackney, C. Angeles, J.R. Blauth, M.M. Kyle. 1995. A survey of DNA polymorphism within the genus Capsicum and the fingerprinting of the pepper cultivars. Genome 38 (2): 224-231. Roff M , Ong CA. 1992. Epidemiology of aphid-borne virus disease of chilli in Malaysia and their management. Proceedings of the conference on Chilli Pepper production in the Tropics, Kuala Lumpur, 13-14. 1992. MARDIAVRDC, p.130-140. Riyanto A. 2007. Analisis silang setengah dialel cabai (Capsicum annuum L.) untuk karakter hortikultura dan ketahanan terhadap Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. IPB. Rojas ME, McLaughlin WA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1993. Use of the generate primers in the polymerase chain reaction to detect whitefly extract, saliva, hemolymph, and honeydew. Phytopathol 89: 239-246. Russel GE. 1981. Plant Breeding for Pests and Disease Resistance. Studies in the Agricultural and Food Scieance. Butterworth, London. 465p. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Setiawati dan Muharam, 2003. Buku Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Cabai Merah (Pengenalan dan Pengendalian Hama-Hama Penting pada Tanaman Cabai Merah). Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Lembang-Bandung. Siemonsma, J.S, Piluek, K. 1994. Capsicum L. Plant Resources of South East Asia 8 (Vegetables). PROSEA, Bogor, Indonesia. p. 136-140. Siriwong P, Kittipakorn K, Ikegami M. 1995. Characterization of chilli veinbanding motle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44. hlm 718-727 Soh A.C., YAP T.C, Graham, K.M., 1977. Inheritance of resistance to Pepper Veinal Mottle Virus in Chilli. Phytopathology 67:115-117. Somowiyarjo S, Sumardiyono YB, Suharno. 1997. Pemanfaatan membrane nitroselulosa untuk pengiriman antigen uji dalam deteksi TMV dengan DIBA. J Perlind Tan Indo 1:1-5. Sudarshana MR, Wang HL, Lucas WJ, Gilbertson RL. 1997. Dynamics of Bean dwarf mosaic geminivirus cell-to-cell and long distance movement in Phaseolus vulgaris revealed, using the green fluorescent protein. MPMI 4:277-291. Taufik M. 2005. Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus : karakterisasi isolat cabai dan strategi pengendaliannya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. .