METODE DETEKSI UNTUK PENGUJIAN RESPON

advertisement
METODE DETEKSI UNTUK PENGUJIAN RESPON
KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP
INFEKSI CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV)
ENDANG OPRIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Metode Deteksi untuk
Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi
chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)” adalah benar merupakan hasil karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, 5 Februari 2009
Endang Opriana
A451060081
ABSTRACT
ENDANG OPRIANA. Detection Methods for Evaluastion of Response of
Chillipepper Genotypes to chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) Infection
Survey SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and SRIANI SUJIPRIHATI.
Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) are considered one of the major
constraints to chilli production In Indonesia. Preliminary surveys in several
provinces in 2005 indicated that ChiVMV were causing disease incidence up to
100%. The use of resistance varieties has become the major focus for controlling
ChiVMV. To support breeding activities in developing chillipepper varieties
resistace to ChiVMV, rapid and accurate detection method is required. The
research was conducted involving three activities: 1) survey to chillipepper
growing area to collect field isolates of ChiVMV; 2) evaluation of detection
method for ChiVMV, i.e: ELISA, DIBA, and RT-PCR; 3) evaluation of
chillipepper genotypes for resistence to ChiVMV.
It was evidenced from the survey that ChiVMV infection has spread
widely in chillipepper growing area. Thirteen isolates of ChiVMV were collected
and 5 of them showing different symptom types were selected for further studies.
Three detection methods tested using 5 different ChiVMV isolates showed
variability results in term of their sensitifity. I-ELISA was able to detect ChiVMV
at the level of 1: 10.000 (b/w) of leaf extraction; whereas DIBA has less sensitifity
with detection level of 1 : 1.000 of leaf extract. However, DIBA requires less
amount of antiserum and shorter detection time than I-ELISA. Specific DNA
fragment of ChiVMV i.e. 800 bp in size was successfully amplified using RTPCR. Evaluation of genotypes showed that IPB C1, PBC 521, IPB C10 with
highly resistance response and IPB C8, IPB C17, IPB C 14 and Keriting Sumatera
with resistence response might be useful for further breeding activities to develop
ChiVMV resistance varieties. It was further proved that IPB C99 showed high
signal in DIBA when inoculated with the most virulent ChiVMV isolates (CKB)
and less virulent isolates (BL) while IPB C521 showed very weak signal in
inoculated leaves in DIBA when inoculated with the most virulent ChiVMV
isolates (CKB). Its proved that plant response to virus infection definately related
to plant genotipes and virulence level of pathogen.
Key words: ChiVMV, chillipepper, survey, detection, resistance
RINGKASAN
ENDANG OPRIANA. Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan
Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli veinal mottle potyvirus
(ChiVMV). Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan SRIANI
SUJIPRIHATI.
Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) telah menjadi salah satu kendala
produksi cabai di Indonesia. Survei yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2005
melaporkan kejadian penyakit ChiVMV di lapangan mencapai 100%. Metode
pengendalian ChiVMV telah diarahkan dengan penggunaan tanaman tahan. Untuk
mendukung kegiatan pemulian tanaman dalam mengembangkan varietas cabai
tahan ChiVMV, ketersedian metode deteksi yang cepat dan akurat sangat
dibutuhkan. Tiga kegiatan telah dilaksanakan penelitian ini yaitu 1)
mengumpulkan isolat ChiVMV dari beberapa sentra tanaman cabai; 2)
mengevaluasi metode deteksi yang sesuai untuk ChiVMV yaitu I-ELISA, DIBA
dan RT-PCR; 3) menguji respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap
infeksi ChiVMV.
Hasil survei yang telah dilakukan menunjukan bahwa infeksi ChiVMV telah
menyebar semakin luas dilapangan. Dari 13 isolat ChiVMV yang berhasil
diperbanyak di rumah kaca selanjutnya 5 isolat yang mewakli masing-masing
lokasi survei dan memilki karakteristik gejala yang berbeda dipilih untuk
pengujian lebih lanjut. Tiga metode deteksi yang dipilih untuk menguji 5 isolat
ChiVMV menunjukkan tingkat sensitifitas yang berbeda. I-ELISA mampu
mendeteksi ChiVMV hingga taraf pengenceran 1 : 10.000 sedangkan metode
DIBA mampu mendeteksi hingga taraf pengenceran 1 : 1.000. Meskipun
demikian metode DIBA hanya menggunakan anti serum dalam jumlah yang lebih
sedikit dan waktu deteksi yang lebih singkat dari pada I-ELISA. Deteksi ChiVMV
dengan RT-PCR berhasil mengamplifikasi fragmen DNA spesifik ChiVMV
berukuran 800 bp. Evaluasi beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV
menunjukkan bahwa IPB C1, PBC 521, IPB C10 memberikan respon sangat
tahan, sedangkan IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera memberikan
respon tahan. Ketujuh genotipe cabai tersebut berpotensi digunakan dalam
kegiatan pemulian tanaman untuk mendapatkan genotipe cabai tahan ChiVMV.
Lebih lanjut diketahui bahwa genotipe IPB C99 yang telah diinokulasi dengan
isolat virulen (CKB) dan isolat lemah (BL) tetap menunjukkan signal yang kuat
pada membran nitroselulosa, sedangkan genotipe IPB C521 hanya menunjukkan
signal pada daun yang diinokulasi. Hal tersebut membuktikan bahwa respon
tanaman terhadap infeksi ChiVMV tergantung pada genotipe tanaman dan tingkat
virulensi virus.
Kata kunci : ChiVMV, cabai, survei, deteksi, ketahanan
ď›™Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
METODE DETEKSI UNTUK PENGUJIAN RESPON
KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP
INFEKSI CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS (ChiVMV)
ENDANG OPRIANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Proteksi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Giyanto, M.Si
Judul Tesis
Nama
NIM
: Metode Deteksi untuk Pengujian
Respon Ketahanan
Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli veinal
mottle potyvirus (ChiVMV)
: Endang Opriana
: A451060081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 5 Februari 2009
Tanggal lulus: 6 Februari 2009
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah tiada terkira penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT.
Rabb yang memberi segala kemudahan sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini. Tesis yang berjudul Metode Deteksi untuk
Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Infeksi chilli
veinal mottle potyvirus (ChiVMV) merupakan tugas akhir untuk memperoleh
gelar Magister sains pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Penelitian dan penulisan tesis ini dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Hendrastuti
Hidayat, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. Terimakasih dan
penghargaan sedalam-dalamnya penulis sampaikan atas segala kesabaran, arahan
dan bimbingan yang diberikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah mendanai penelitian ini
sebagai bentuk kerjasama kemitraan penelitian pertanian dengan perguruan tinggi
(KKP3T).
Terimakasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua
Departeman Proteksi Tanaman, Ketua PS Entomologi-Fitopatologi atas kesedian
menerima penulis untuk studi di IPB. Dosen-dosen di Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan Universitas Sriwijaya Dr. Suparman, SHK, Ir. Harman Hamidson, MP,
Dr. Chandra Irsan, M.Si, dan Dr. Abdul Mazid, M.Si yang telah memberikan
dukungan dan kepercayaan selama ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat, ucapan terimakasih juga disampaikan
kepada Kepala Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman
atas izin penggunaan bahan dan alat serta rumah kaca Cikabayan. Kepada Kepala
Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan
Hortikultura atas bantuan bahan genetik dan fasilitas. Kepada Mbak Tuti Susanti
Legiastuti, Pak Edi, dan Pak Saefudin atas bantuan pengetahuan teknis yang
diberikan selama penelitian dilaksanakan; asisten peneliti di Labdik Pemuliaan
Tanaman Mbak Cici atas bantuan pemilihan genotipe cabai.
Yang terakhir namun bukan berarti terakhir di hati, ucapan terimakasih ini
diberikan kepada Ibunda Pujiyati dan Ayahanda Syobirin Sulaiman yang tak
pernah berhenti memberikan dorongan, semangat, mendoakan dan harapan terbaik
kepada penulis selama ini. Kepada saudara dan kerabat Mbak Sri, Titin, Firman
dan Putri, Bik cik Yanti dan Ma’ Icat untuk cinta, semangat dan doa. Terimakasih
terhangat kepada sahabat terbaik kak Evan Herawan, S.Pi atas segala bantuan,
sokongan dan pengorbanan waktu selama ini. Terimakasih untuk energi yang
cukup membuat kuat saat lelah dan semangat untuk selalu berharap. Kepada para
sahabat dan rekan sejawat Mbak Ipah, Mbak Milah, Mimi, Devi, Mas Khamdan,
Pak Rai, Pak Irwan, Pak Jumsu, Bu Ifa, Dila, Dida dan Lara.
Semoga karya tulis ini kelak dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan
dan masyarakat.
Bogor, Februari 2009
Endang Opriana
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii
DARTAR GAMBAR .................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang ......................................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Hipotesis Penelitian ..............................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Kemaknaan Tanaman Cabai ................................................................
Arti Ekonomi Cabai .............................................................................
.
Budidaya dan Keragaman Genotipe Cabai ..........................................
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ....................................................
Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Cabai .............................
Sifat-sifat Umum chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) …............
Biologi, Ekologi dan Keragaman Genetik ChiVMV ……...................
Gejala ChiVMV ...................................................................................
Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman .............................
Serologi ..........................................................................................
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
..............................................................................................
KOLEKSI ISOLAT LAPANG CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS
(ChiVMV) DAN METODE DETEKSI ChiVMV
Abstrak ................................................................................................
Pendahuluan ........................................................................................
Bahan dan Metode ..............................................................................
Tempat dan Waktu ........................................................................
Bahan .............................................................................................
Metode ...........................................................................................
Survei dan Pengambilan Sampel .............................................
Perbanyakan Isolat Virus .........................................................
Diagnosis ChiVMV dengan DAS-ELISA ................................
Deteksi ChiVMV dengan I-ELISA, DIBA dan RT-PCR
Indirect Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(I-ELISA) .........................................................................
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA) .........................
RT-PCR ...........................................................................
Hasil dan Pembahasan ................................................................
Simpulan ……………………………………………………….
Daftar Pustaka ………………………………………………….
1
3
3
5
5
5
6
7
8
8
10
11
12
13
14
14
16
16
16
16
16
17
18
19
20
21
23
34
35
UJI KETAHANAN GENOTIPE-GENOTIPE CABAI (Capsicum sp.)
TERHADAP ChiVMV
Abstrak .................................................................................................
Pendahuluan .........................................................................................
Bahan dan Metode ...............................................................................
Waktu dan Tempat .....................................................................
Bahan ..........................................................................................
Metode ........................................................................................
Penyemaian Benih …………………………………….....
Inokulasi ChiVMV pada Genotipe-genotipe Cabai …......
Evaluasi Ketahanan Cabai Terhadap Infeksi ChiVMV.......
Hasil dan Pembahasan ................................................................
Simpulan ……………………………………………………….
Daftar Pustaka ………………………………………………….
37
37
39
39
39
40
40
41
41
42
48
48
RESPON BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP INFEKSI DUA
ISOLAT ChiVMV
Abstrak .................................................................................................
Pendahuluan .........................................................................................
Bahan dan Metode ...............................................................................
Waktu dan Tempat ......................................................................
Bahan ..........................................................................................
Metode ........................................................................................
Penyemaian Benih …………………………………….....
Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai ……………….
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA) ...........................
Hasil dan Pembahasan ................................................................
Simpulan ……………………………………………………….
Daftar Pustaka ………………………………………………….
51
51
53
53
53
53
53
53
54
56
61
62
PEMBAHASAN UMUM .............................................................................
63
SIMPULAN UMUM ….................... ............................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
68
DAFTAR TABEL
Halaman
3.1 Deteksi ChiVMV menggunakan metode DAS ELISA pada sampel
tanaman cabai asal Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan..............................................
26
3.2 Deteksi beberapa virus pada sampel tanaman cabai ........................
27
3.3 Isolat-isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca....
28
3.4 Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi ChiVMV pada
berbagai tingkat pengenceran menggunakan metode I-ELISA .......
31
4.1 Daftar genotipe yang dipakai dalam uji ketahanan terhadap
infeksi ChiVMV...............................................................................
40
4.2. Pengelompokan tingkat ketahanan genotipe cabai terhadap
infeksi ChiVMV...............................................................................
41
4.3 Tipe gejala pada 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan
ChiVMV...........................................................................................
42
4.4 Respon 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV ........
47
5.1 Genotipe-genotipe cabai yang digunakan dalam uji respon
tanaman terhadap isolat ChiVMV....................................................
54
5.2. Penentuan indeks penyakit pada tanaman cabai merah yang
terinfeksi beberapa isolat ChiVMV .................................................
54
5.3 Kejadian penyakit, indeks penyakit dan masa inkubasi tiga
genotipe cabai setelah diinokulasi dengan lima isolat ChiVMV .....
56
5.4 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C99 yang diinokulasi
oleh isolat CKB dan BL ...................................................................
58
5.5 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C17 yang diinokulasi
oleh isolat CKB dan BL ...................................................................
59
5.6 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C521 yang diinokulasi
oleh isolat CKB dan BL ..................................................................
59
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.1 Tahap penelitian : Metode deteksi untuk pengujian respon
ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi chilli
veinal mottle potyvirus (ChiVMV) .................................................
4
3.1 Keadaan pertanaman cabai di lokasi survei dan pengambilan sampel
24
3.2 Gejala ChiVMV pada tanaman paprika C. annuum var. Grossum ..
29
3.3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman cabai terinfeksi beberapa
isolat ChiVMV menggunakan primer ChiVMV-F1 dan
ChiVMV-R.......................................................................................
30
3.4 Reaksi perubahan warna pada plat mikrotiter hasil I-ELISA pada
berbagai tingkat pengenceran (1 : 10 hingga 1 : 106) menggunakan
lima isolat ChiVMV.........................................................................
32
3.5 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai
tingkat pengenceran sap menggunakan lima isolat ChiVMV..........
33
4.1 Tipe gejala yang muncul pada beberapa genotipe cabai pada
14 HSI ..............................................................................................
44
5.1 Posisi letak daun yang diambil untuk dideteksi dengan metode
DIBA ................................................................................................
54
5.2 Penentuan intensitas signal reaksi DIBA pada membran
Nitroselulosa ....................................................................................
55
5.3 Gejala yang muncul pada genotipe cabai (14 HSI) yang diinokulasi
ChiVMV isolat Cikabayan (CKB) dan Malang (BL) ......................
57
5.4 Hasil deteksi isolat CKB pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB
C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA .........................
60
5.5 Hasil deteksi isolat BL pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB
C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA .........................
61
PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Cabai (Capsicum spp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura penting
di Indonesia. Selain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat
potensial secara ekonomi. Menurut data Direktorat Jendral Bina Produksi
Hortikultura, luas panen tanaman cabai adalah luas panen terbesar di antara
tanaman sayuran lainnya yaitu berturut-turut 204.747 ribu hektar untuk tahun
2006 dan 204.048 ribu hektar pada tahun 2007(Biro Pusat Statistik 2007; DBPH
2007).
Produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data dari
Balai Penelitian Sayuran (2007), produksi cabai besar nasional hanya mencapai
6.30 ton/ha sedangkan untuk cabai rawit hanya 4.67 ton/ha. Jumlah tersebut
belum dapat mengimbangi potensi produksinya yang dapat mencapai 20 ton/ha
(Duriat, 1996). Banyak faktor-faktor pembatas yang dihadapi petani dalam
berusahatani cabai. Beberapa diantaranya adalah harga yang sangat berfluktuasi,
penggunaan benih yang bermutu rendah, memerlukan modal yang besar, dan
banyaknya gangguan serangan hama dan infeksi penyakit mulai dari persemaian
sampai panen. Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas yang mengalami
gangguan oleh hama dan penyakit terbanyak. Dilaporkan oleh Ellen et al. (1993),
jenis penyakit yang menyerang ada sebanyak 26 macam yang disebabkan oleh
virus, bakteri dan cendawan serta 13 jenis hama serangga.
Menurut Duriat (2003), para pakar virologi seperti Neinhaus (1981) dan
Kalloo (1994) telah mencatat sekitar 13 – 35 jenis virus yang menyerang tanaman
cabai di daerah tropis dan subtropis. Prevalensi penyakit virus dari waktu ke
waktu mengalami perubahan.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa)
Lembang melaporkan tiga virus utama yaitu cucumber mosaic virus (CMV),
potato virus Y (PVY) dan tobacco etch virus (TEV) berdasarkan hasil survei tahun
1986 dan 1990. Pada tahun 1992 dan 1995 urutan berubah menjadi CMV, chilli
veinal mottle potyvirus (ChiVMV) dan PVY (Setiawati 2003).
ChiVMV telah menjadi salah satu kendala utama dalam peningkatan
kualitas tanaman cabai di Asia Tenggara dan Afrika (Moury et al., 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Roff dan Ong (1992), kerugian akibat ChiVMV di
Malaysia dapat mencapai 60% serta menurunkan kualitas buah. Hasil survei yang
telah dilakukan oleh Taufik et al. (2006) menunjukkan kejadian penyakit
ChiVMV di Sulawesi Selatan dapat mencapai 100% sedangkan di Jawa Barat
mencapai 50%. Meskipun demikian masih sangat diperlukan survei lebih banyak
dan studi lebih lanjut yang mempelajari penyebaran ChiVMV di Indonesia
terutama di sentra-sentra produksi cabai, mengingat prevalensi ChiVMV yang
sangat tinggi di lapangan.
ChiVMV adalah kelompok Potyvirus yang menyebabkan gejala mosaik
berupa belang hijau gelap dan hijau terang pada tulang daun. Pada gejala lanjut,
daun tanaman mengeriting dan kerdil (CABI 2000). ChiVMV juga dapat
menimbulkan gejala yang bervariasi pada daun tanaman cabai yang terinfeksi
tergantung pada kultivar cabai yang ditanam serta waktu infeksi (Chiemsombat
dan Kittipakorn 1996). Gejala pada daun cabai dapat berupa bercak berwarna
hijau tua yang tidak beraturan (belang) dan penebalan tulang daun, permukaan
daun tidak rata, daun menjadi lebih kecil dan kadang diikuti dengan malformasi
daun serta tanaman menjadi kerdil (Siriwong et al. 1995). Gejala mosaik berupa
belang yang tampak pada daun disebabkan karena terjadinya penurunan nitrogen
yang terdapat selama sintesis virus dan penurunan tingkat karbohidrat yang kronis
di dalam jaringan tumbuhan (Matthews, 2002).
ChiVMV termasuk jenis virus yang sulit dikendalikan sebab virus ini
ditularkan oleh serangga vektor yaitu Aphid spp. secara non persisten. Karenanya
penyebaran virus ini di lapangan terjadi dalam waktu yang cepat dimana virus
ditularkan melalui stilet kutu daun yang mengandung virus dari tanaman sakit dan
menularkannya ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam.
Selama ini pengendalian terhadap virus masih terbatas pada penggunaan pestisida.
Pengendalian ini tidak efektif untuk mengendalikan ChiVMV yang ditularkan
secara non persisten oleh kutudaun. Penggunaan tanaman merupakan salah satu
strategi pengendalian sesuai untuk ChiVMV karena metode ini aman bagi
lingkungan, murah dan efektif (Grube et al. 2003).
Terbatasnya pengetahuan tentang keberadaan virus di lapangan dan sulitnya
membedakan virus yang memiliki gejala yang sama di lapangan menyebabkan
dibutuhkan ketersediaan metode deteksi yang cepat dan akurat. Untuk mendeteksi
penyakit yang disebabkan oleh virus dapat digunakan berbagai metode. Metode
yang umum digunakan antara lain metode serologi seperti Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dan Dot Immunobinding Assay (DIBA), atau
metode molekuler seperti hibridisasi asam nukleat dan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) (Matthews 1991; Foster dan Taylor 1998; Hull 2002).
Metode deteksi yang memadai merupakan salah satu komponen penting
dalam upaya mencari strategi pengendalian penyakit. Ketersediaan metode deteksi
yang akurat dan sensitif terutama diperlukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman
yang ditujukan untuk pengembangan galur-galur tahan penyakit. Pengendalian
penyakit cabai yang disebabkan oleh ChiVMV telah diarahkan melalui perakitan
varietas tahan. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan
bahwa IPB C495, CCA 321, VC211a-3-1-1-1, IPB C122 dan ICPN 7#3
memberikan respon sangat tahan terhadap ChiVMV dengan kejadian penyakit
0% sedangkan Bara dan Tit Super memberikan respon tahan terhadap infeksi
ChiVMV dengan kejadian penyakit 16-22% (Millah 2007; Latifah 2007; Riyanto
2007). Meskipun demikian eksplorasi ketahanan galur-galur cabai tahan ChiVMV
masih perlu terus dilakukan pada berbagai genotipe cabai.
Tujuan Penelitian
Kegiatan dan tahapan penelitian seperti terdapat pada Gambar 1.1 diarahkan untuk
tujuan-tujuan :
1. Mengumpulkan isolat ChiVMV melalui survei ke beberapa daerah sentra
penanaman cabai di Indonesia yaitu di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.
2. Mengetahui metode deteksi yang tepat untuk ChiVMV.
3. Mempelajari respon beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV.
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat isolat ChiVMV yang memiliki virulensi yang berbeda
2. Genotipe cabai yang diuji terhadap isolat ChiVMV memiliki respon
ketahanan yang berbeda-beda
Survei ChiVMV dan koleksi
isolat ChiVMV dari lapang
Hasil: Sebaran ChiVMV dan
Isolat ChiVMV dari berbagai
lokasi
Evaluasi metode deteksi
ChiVMV dengan ELISA, DIBA
dan RT-PCR
Hasil: Metode deteksi yang
tepat untuk evaluasi ketahanan
genotipe cabai
Respon beberapa genotipe cabai
terhadap infeksi 2 isolat ChiVMV
Evaluasi ketahanan beberapa
genotipe cabai terhadap ChiVMV
Hasil: Isolat ChiVMV dengan
tipe gejala berbeda pada isolat
yang sama.
Hasil: Genotipe cabai dengan
respon ketahanan yang berbeda
Gambar 1.1 Tahap penelitian: Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan
beberapa genotipe cabai terhadap infeksi chilli veinal mottle
potyvirus (ChiVMV).
TINJAUAN PUSTAKA
Kemaknaan Tanaman Cabai
Arti Ekonomi Cabai
Cabai merah (C annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup
penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor.
Selain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat potensial
secara ekonomis. Pemanfaatan cabai sebagai bumbu masak, bahan baku berbagai
industri makanan, minuman dan obat-obatan, serta pemasarannya dalam bentuk
segar dan olahan menjadikan komoditas tersebut penting untuk diusahakan
(Durita & Muharam, 2003).
Di Indonesia cabai merah sudah dikembangkan sebagai tanaman
perdagangan dosmestik, dan diusahakan secara intensif di beberapa daerah sentra
produksi baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Produksi cabai merah tahun 1998
dapat mencapai 452,990 ton terdiri dari 287.576 ton di P. Jawa dan 165.414 ton
hasil dari luar Jawa. Daerah sentra produksi di luar Jawa seperti D.I Aceh, Jambi,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bali. Sedang di luar daerah tersebut
tanaman cabai merah dibudidayakan hanya sekedar permintaan pasar lokal (Duriat
& Muharam, 2003).
Budidaya dan Keragaman Genotipe Cabai
Cabai (Capsicum spp.) merupakan tanaman hortikultura yang dapat ditanam
di segala musim. Genus Capsicum berasal dari dunia baru yang terdiri atas
beberapa spesies, spesies C. annuum dari Meksiko dan spesies lain (C. frutescens,
C. baccatum, C. chinense, dan C. pubescens) berasal dari Amerika Selatan. Oleh
pedagang Portugis dan Spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16,
dan selanjutnya spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia Tenggara
(Pickersgill 1971; Siemonsma & Piluek 1994).
Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima spesies di
antaranya telah dibudidayakan, yaitu C. annuum, C. chinense, C. frutescens, C.
pubescens, dan C. baccatum (Pickersgill, 1988). Klasifikasi spesies-spesies ini
didasarkan pada karakter morfologi, terutama morfologi bunga, dapat dilakukan
persilangan antarspesies, dan biji hibrida antarspesies fertil (Heiser & Smith,
1953). C. annuum berbunga tunggal dengan petal berwarna putih bersih. C.
chinense berbunga dua atau lebih per ruas ketiak daun dengan warna bunga putih
kehijauan dan penyempitan kelopak yang mencolok. C. frutescens membentuk 1-3
bunga per ruas ketiak daun, warna bunga putih kehijauan tanpa penyempitan pada
kelopak. C. baccatum mempunyai bercak kuning pada petal yang berwarna putih,
dan C. pubescens mempunyai petal ungu dan biji hitam (Pickersgill, 1988).
Penelitian persilangan interspesifik menunjukkan bahwa C. frutescens, C.
pubescens, dan C. chinense dapat disilangkan dengan C. annuum dan
menghasilkan biji yang fertil.
Secara umum cabai merah dapat ditanam di lahan basah (sawah) dan lahan
kering (tegalan) dan dapat dibudidayakan di saat musim hujan dan kering. Cabai
merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian
sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 67, tektur tanah remah (Anonim, 1994).
Pemuliaan cabai pertama dilakukan di Amerika tropis untuk kultivar cabai
manis (Siemonsma & Piluek, 1994). Informasi keragaman genetik merupakan
dasar untuk mengembangkan strategi pemuliaan tanaman (Pickersgill, 1997).
Dalam kasus pembentukan hibrida baru yang tahan terhadap hama dan penyakit,
informasi keragaman genetik dapat digunakan untuk seleksi plasma nutfah dan
pengambilan contoh yang efisien (Prince et al. 1995).
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai
Cukup banyak kendala yang dihadapi petani dalah membudidayakan cabai
di lapangan. Salah satu kendala utama rendahnya produksi cabai di Indonesia
adalah adanya gangguan dari hama dan penyakit (Semangun 2000). Prabaningrum
dan Moekasan (1996) melaporkan berbagai hama yang dapat menyerang tanaman
cabai antara lain kutu daun (Myzus persicae Sulz), Thrips (Thrips parvispinus
Karny), lalat buah (Beactrocera dorsalis Hendel), ulat gerayak (Spodoptera litura
Fabricius),
(ulat
daun
(Helicoverpa
armigera
Hubner),
dan
tungau
(Polyphagotarsonemus latus Banks). Ditlinhorti (2006) mencatat beberapa
penyakit penting pada cabai antara lain layu bakteri (Ralstonia solanacearum),
bercak
daun
serkospora
(Cercospora
capsici),
penyakit
patah
batang
(Cchoanephora cucubitarum), penyakit busuk buah (Colletotrichum capsici),
CMV, ChiVMV, PVY dan TMV.
Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Cabai
Tindakan pengendalian dilakukan apabila populasi
dan atau tingkat
serangan hama dan penyakit dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis, atau
hasil analisis data pengamatan rutin sudah mencapai ambang pengendalian.
Beberapa tindakan pengendalian yang umum dipilih dan digunakan petani cabai
dalam mengendaliakan hama dan penyakit pada cabai antara lain dengan
pengendalian
teknik
budidaya
cabai,
pengendalian
fisik
dan mekanik,
pengendalian biologi, dan aplikasi pestisida. Dari semua teknik pengendalian
tersebut yang paling sering digunakan adalah pengendalian dengan pestisida,
namun sayangnya penggunaan pestisida di Indonesia masih belum tepat sasaran,
tepat dosis, tepat jenis, tepat cara dan tepat waktu. Sehingga seringkali terjadi
kegagalan dalam pengendalian (Setiawan & Muharram 2003).
Untuk penyakit pada cabai yang disebabkan oleh virus, usaha pengendalian
penyakit virus (khususnya dengan pestisida) terutama ditujukan kepada serangga
vektornya, karena sampai saat ini tidak ada pestisida yang terdaftar dan diizinkan
oleh Menteri Pertanian yang dapat mematikan virus (Deptan, 2006).
Dalam mengendalikan serangga vektor virus pada tanaman cabai petani
masih mengandalkan
penggunaan pestisida kimia sintetis, namun bila
pemakaiannya tidak bijaksana dikhawatirkan menimbulkan residu pestisida pada
produk buah cabai relatif tinggi, biaya produksi meningkat, bahaya terhadap
kesehatan pekerja, juga menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Di era pasar
bebas saat ini produk cabai yang tidak ramah lingkungan sulit bersaing karena
konsumennya lebih memilih produk pertanian yang bermutu baik dan aman
dikonsumsi (Duriat dan Muharam, 2003).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa penggunaan pestisida dalam
mengendalikan serangga vektor virus seringkali tidak efektif, terutama untuk kutu
daun yang menularkan virus secara non persisten karena jenis vektor tersebut
hanya memiliki masa makan akuisisi yang singkat dan virus dengan waktu yang
singkat sudah dapat di tularkan ke tanaman yang sehat. Dengan demikian
meskipun serangga vektor sudah diaplikasikan dengan pestisida, namun terkadang
virus yang ada di stilet telah lebih dulu ditularkan ke tanaman sehat melalui
periode makan yang singkat (Matthews, 2002).
Dalam pengendalian penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV pada cabai
harus diarahkan pada pengembangan varietas tahan. Namun saat ini belum ada
varietas cabai yang tahan terhadap ChiVMV (Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
2005). Walaupun demikian, melalui korespondensi dengan Asian Vegetable
Research Development Center (AVRDC) di Taiwan, diketahui bahwa ada
beberapa galur cabai yang tahan terhadap isolat virus tertentu.
Sifat-sifat Umum ChiVMV
Biologi, Ekologi dan Keragaman Genetik ChiVMV
ChiVMV adalah salah satu anggota dari kelompok Potyvirus. Asam
nukleatnya tersusun dalam untaian RNA utas tunggal positif (ssRNA[+]),
berbentuk benang lentur dengan panjang 750 nm dan diameter 12 nm dan tidak
terbungkus. Namun pada beberapa jenis tumbuhan dan dalam konsentrasi
magnesium yang tinggi, partikel ChiVMV dapat menjadi lebih kaku
(International Taxonomy on Comittee of Viruses, 2002).
ChiVMV pertama kali dilaporkan menginfeksi tanaman cabai di Malaysia
pada tahun 1947 oleh Burnett, selanjutnya berkembang hingga ke Korea, Taiwan,
Thailand, beberapa kawasan di Amerika dan Afrika Selatan sejak tahun 1979
(Ong et al 1979) Selanjutnya ChiVMV telah menjadi salah satu kendala utama
dalam peningkatan kualitas tanaman cabai di Asia Tenggara dan Afrika (Moury et
al., 2005).
ChiVMV memiliki titik panas inaktivasi (TIV) pada suhu 60oC. Di atas suhu
tersebut, partikel virus akan mengalami lisis. Masa penyimpanan virus in vitro
adalah 7 hari. Seperti kebanyakan anggota kelompok potyvirus yang lain,
ChiVMV memiliki struktur khusus yang merupakan ciri infeksi dari grup
potyvirus. Struktur khusus ini disebut badan inklusi yang keberadaannya biasanya
menyertai partikel virus pada jaringan tanaman. Badan inklusi ini banyak
ditemukan
dalam sitoplasma maupun dalam inti. Pada potyvirus, badan
inklusinya berbentuk cakra dan dapat terlihat jelas pada pengamatan melalui
mikroskop elektron (Bos, 1990).
ChiVMV adalah jenis virus yang sulit dikendalikan karena ia ditularkan
secara non persisten di lapangan oleh serangga vektor kutu daun
Aphis
craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, Myzus persicae, Toxoptera citricidus,
Hysteroneura setarieae, Rhopalosiphum maidis, Aphis craccivora, A. gossypii, A.
spiraecola, Myzus persicae, Toxoptera citricidus, Hysteroneura setarieae, dan
Rhopalosiphum maydis.
Selain itu virus juga dapat ditularkan dengan cara
inokulasi mekanis pada tanaman sehat dan melalui penyambungan, namun virus
tidak dapat ditularkan melalui benih (Plant Virus Online, 1996).
Periode makan serangga pada tanaman yang sakit (periode akuisisi) yang
optimum untuk virus non persisten adalah 30-60 detik, perpanjangan periode
makan akuisisi tidak meningkatkan efisiensi penularan. Virus dapat ditularkan
segera setelah periode makan akuisisi, daya tular menurun setelah beberapa menit
dan akan berhenti dalam waktu kurang dari 1 jam. Untuk meningkatkan efektifitas
penularan, serangga vektor biasanya dipuasakan selama satu jam sebelum periode
makan akuisisi. Makan akuisisi merupakan periode makan pada tanaman sumber
inokulum (Matthews, 2002).
Kutu daun A. craccivora mendapatkan makanan dengan cara menusukkan
stylet pada permukaan daun kemudian menghisap cairan tanaman. Bagian mulut
kutu daun terdiri dari 2 bagian stilet yang lentur. Pada awal proses makan, kutu
daun mensekresikan saliva. Kemudian stylet segera menusuk epidermis daun
kemudian makan dalam waktu tertentu. Penetrasi biasanya berlanjut ke bagian
daun yang
lebih dalam dan membentuk tumpukan saliva selama penetrasi
tersebut. Stilet berpindah diantara sel sampai mencapai floem. Proses ini
membutuhkan waktu beberapa menit atau jam. Sekresi saliva ini menularkan
ChiVMV yang ada pada saliva aphid ke tanaman.
Tanaman yang menjadi kisaran inang ChiVMV di lapangan meliputi C.
annuum, C. frutescens, Nicandra physalodes, Nicotiana megalosiphon, Physalis
floridana, dan N. tabacum. Namun, kondisi lingkungan dan faktor fisiologis
tanaman dapat mempengaruhi infeksi ChiVMV pada tanaman. Faktor-faktor
tersebut mencakup umur tanaman, keragaman genetik tanaman inang, posisi daun
pada tanaman, nutrisi tanaman, ketersediaan air, suhu, intensitas cahaya, musim
dan panjang hari (Bos, 1990).
Gejala ChiVMV
Gejala infeksi virus ChiVMV pada tanaman cabai sangat bervariasi,
tergantung pada strain virus yang menginfeksi dan kultivar tanaman. Untuk
infeksi virus yang berasal dari kelompok Potyvirus seperti ChiVMV, gejala
khusus yang diperlihatkan tanaman yang terinfeksi ChiVMV di lapangan adalah
mosaik berupa belang hijau gelap dan hijau terang pada tulang daun. Gejala akan
tampak jelas pada daun muda dan daun kecil. Tanaman yang terinfeksi menjadi
kerdil dan memiliki garis hijau gelap pada batang dan cabangnya. Beberapa bunga
rontok sebelum sempat menjadi buah. Kadang-kadang tanaman masih dapat
memproduksi buah namun dalam jumlah yang sangat sedikit dan permukaan
buah yang agak belang (Matthews, 2002). Infeksi ChiVMV pada fase
pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta
produksi buahnya lebih sedikit dan lebih kecil (Shah & Khalid 2001).
Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman
Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada tanaman. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain
beberapa virus dapat menimbulkan gejala yang sama pada tanaman yang sama,
satu virus dapat menghasilkan variasi gejala tergantung strain virusnya, campuran
beberapa virus atau strain virus dapat mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus
dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi
lingkungan dan iklim juga berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull
2002).
Sangat diperlukan metode deteksi yang tepat dalam mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada suatu tanaman. Deteksi dan identifikasi virus dapat
dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan
karakter biologi dapat dengan tanaman indikator, penularan, dan berdasarkan
bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler
dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan
sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta
PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1998; Hull 2002).
Serologi
Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai
banyak kegunaan antara lain untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit
tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi
virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan
kekerabatan antar virus (Agrios 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi
sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang
digunakan untuk deteksi serologi antara lain ISEM, immunoflourescent staining
(Hampton et al. 1990), presipitasi dalam tabung, aglutinasi kloroplas, flokulasi
lateks, gel double-diffusion test, DIBA, immunoblotting atau western blotting,
dan ELISA (Harlow & Lane 1999).
Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus
tumbuhan diantaranya yaitu metode DIBA yang digunakan untuk mendeteksi
ZYMV (Somowiyarjo et al. 1989). Kemudian Abouzid et al. (2002)
menggunakan ELISA dan western blotting untuk mendeteksi beberapa protein
selubung virus dari genus Begomovirus. Bentuk partikel TYLCV telah berhasil
dideteksi dan diidentifikasi oleh Attathom et al. (1990) dengan menggunakan
metode ISEM. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah
berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al. (1997) untuk mengetahui dinamika
pergerakan bean dwarf mosaic geminivirus (BDMV) dari sel ke sel pada
Phaseolus vulgaris. Pengujian presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi
antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997)
untuk mendeteksi wheat streak mosaic tritimovirus (WSMV).
Metode ELISA merupakan metode serologi yang dapat digunakan untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi virus tumbuhan. Dalam metode ini antiserum
dikonjugasikan dengan enzim, sehingga bila ditambahkan substrat enzim maka
kompleks antigen-antibodi dalam jumlah yang sedikit saja dapat tervisualisasi.
Hasil yang diperoleh dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer
(ELISA reader). Keuntungan uji ELISA adalah kepekaannya yang sangat tinggi,
dapat menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat, penggunaan antiserum
yang sedikit, dan hasilnya dapat diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif, serta
prosedur pengujian yang mudah. Karena keuntungan tersebut, ELISA dengan
cepat menggantikan semua teknik seri diagnostik yang lain (Agrios 1997).
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Dewasa ini karakterisasi maupun identifikasi virus tumbuhan selain
menggunakan teknik serologi, telah banyak dikembangkan teknik molekuler
melalui analisis sidik jari DNA. Identifikasi virus banyak mengunakan teknik
Polymerase chain reaction (PCR). Teknik PCR dapat mengatasi masalah
konsentrasi virus yang rendah, walaupun sampel yang digunakan sedikit dan dapat
berupa bahan segar, beku ataupun kering (Rojas et al. 1993; Wyatt dan Brown
1998). Pengujian dengan teknik PCR memerlukan sepasang primer yang spesifik
yang akan menginduksi pembentukan dan perbanyakan asam nukleat atau untai
DNA dengan bantuan enzim taq polymerase dalam mesin PCR atau thermocycler.
Pemilihan primer yang tepat sangat menentukan keberhasilan identifikasi suatu
jenis virus (Rojas et al. 1993).
PCR adalah suatu metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah besar
fragmen DNA spesifik dengan panjang dan sekuens yang telah ditentukan dari
sejumlah kecil temlate kompleks. PCR merupakan suatu teknik sangat kuat dan
sensitif yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti biologi molekuler,
diagnostik, genetika populasi, dan analisis forensik. Teknik DNA rekombinan
telah memberikan perubahan yang revolusioner dalam ilmu genetika karena
memungkinkan dilakukannya
isolasi dan karakterisasi gen-gen, mempelajari
secara rinci fungsi dan ekspresi selama proses perkembangan terjadi, atas sebagai
suatu respon
terhadap faktor lingkungan. Banyak metode kloning yang terlibat
dapat diakselerasi dan bahkan dielak dengan menggunakan PCR, dan aplikasi
baru dari teknik ini sekarang telah memungkinkan melakukan study yang dahulu
tidak bisa dilakukan (Nasir, 2002).
Polymerase chain reaction mulai berkembang pesat sekitar tahun 1987.
Proses PCR pada dasarnya terdiri atas tiga tahap reaksi dengan kondisi suhu yang
berbeda secara berlang dalam beberapa siklus tertentu, yaitu denaturasi, annealing
(penempelan primer) dan ekstensi primer (sintesis DNA). Dengan reaksi
amplikasi DNA secara simultan, maka jumlah DNA sasaran akhir telah dilipatgandakan secara eksponensial (McPherson, Oliver & Gurr, 1992).
Febrianti (2004) melakukan teknik PCR untuk mendeteksi CMV pada
tanaman lada menggunakan sepasang primer CMV-R dan CMV-F yang dibuat
berdasarkan sekuen CMV-B2 (RNA2) diperoleh ukuran pita 940 bp. Metode PCR
untuk mendeteksi PYMV dengan menggunakan sepasang primer berhasil
mengamplifikasi ukuran pita DNA 450 bp 11 (5’-primer BADNA 2 dan 3’-MYS)
dan 700 bp (primer Badna-T dan SCBV R1) (Lockhart et al. 1997; de Silva et al.
2002).
III. KOLEKSI ISOLAT LAPANG CHILLI VEINAL MOTTLE
POTYVIRUS (ChiVMV) DAN METODE DETEKSI ChiVMV
ABSTRAK
Infeksi penyakit yang disebabkan oleh virus dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi yang cukup tinggi di lapangan. Hal ini disebabkan karena virus dapat
menurunkan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Salah satu virus utama pada
tanaman cabai yang dapat menimbulkan kerugian hasil panen pada tanaman cabai
di Indonesia adalah ChiVMV. Dengan metode purposive sampling, dilakukan
survei ChiVMV di beberapa daerah pertanaman cabai di Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.
Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV
yang sangat luas. Sebanyak 28.8 % sampel survei memberikan reaksi positif
terhadap pengujian ChiVMV. Jumlah tanaman terinfeksi ChiVMV tertinggi
adalah di Solok dan Tanah Datar (Sumatera Barat) yaitu 100% dan terendah di
Megamendung (Jawa Barat), Kali Malang dan Mendem (Jawa Timur), serta
Kurnia Ujung, Sukamaju, dan Golf (Kalimantan Selatan) yaitu 0%. Sebanyak tiga
belas isolat ChiVMV berhasil dikumpulkan dari lima wilayah survei. Isolat
tersebut kemudian diperbanyak dan dipelihara pada cabai paprika (Capsicum
annuum var. Grosum). Selanjutnya lima isolat ChiVMV (CKB, KRD, TD, BL dan
PANG) dipilih untuk digunakan dalam kajian lebih lanjut.
Hasil deteksi ChiVMV dengan I-ELISA dapat mendeteksi ChiVMV hingga
tingkat pengenceran 1 : 10.000, sedangkan deteksi dengan DIBA dapat
mendeteksi ChiVMV sampai batas pengenceran 1 : 1000 dengan efisiensi waktu
yang lebih singkat dan penggunaan antiserum yang lebih sedikit. Sementara uji
molekular dengan RT-PCR berhasil mendapatkan produk DNA spesifik
berukuran 800 bp.
Kata kunci: Survei, ChiVMV, Capsicum
PENDAHULUAN
Chilli veinal mottle potyvirus adalah salah satu virus yang banyak
menginfeksi pertanaman cabai. Penyakit ini pertama kali dilaporkan menginfeksi
pertanaman cabai di Malaysia (Burnett, 1947). Pada perkembangan selanjutnya,
ChiVMV telah menjadi masalah serius di Korea, Taiwan, Thailand, Indonesia,
Papua New Guinea, Australia, Filipina,China, Bangladesh, India, Nepal, Sri
Lanka, Afrika Barat, Afrika Timur (Ang 1995; Taufik 1995; Hameed et al. 1995;
Davis et al. 2002; Womdin et al. 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh AVRDC (2000) membuktikan bahwa
ChiVMV merupakan salah satu dari lima penyakit utama pada tanaman cabai
selain cucumber mosaic virus (CMV), layu bakteri, hawar Phytophthora, dan
antraknosa. Hasil survei yang dilakukan oleh Green (2004) di 16 negara Asia
melaporkan bahwa ChiVMV dapat menginfeksi pertanaman cabai hingga 30%,
mampu mereduksi hasil panen pada paprika hingga 95% dan pada cabai rawit
hingga 74%. Infeksi virus ini sangat cepat menyebar luas dilapangan karena
ditularkan oleh beberapa spesies kutudaun secara non persisten (Ong et al. 1979).
Infeksi ChiVMV pada tanaman cabai menyebabkan gejala bervariasi. Gejala
pada daun cabai dapat berupa bercak berwarna hijau tua yang tidak beraturan
(belang), penebalan tulang daun, permukaan daun tidak rata, seringkali daun
menjadi lebih kecil dan diikuti dengan malformasi daun (Siriwong et al. 1995;
Kittipakorn 1991). Infeksi ChiVMV pada fase pertumbuhan awal mengurangi
ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buah yang lebih sedikit
dan lebih kecil (Shah & Khalid 2001).
Beberapa penelitian tentang ChiVMV di Indonesia pada cabai telah
dilakukan. Duriat (1993) dan Taufik (2005) melakukan survei dan karakterisasi
isolat-isolat ChiVMV. Millah
(2007), Riyanto
(2007), dan Latifah
(2007)
melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengembangan galur
cabai tahan ChiVMV. Namun demikian penelitian tersebut masih perlu
ditindaklanjuti. Survei dan laporan keberadaan ChiVMV di Indonesia masih
belum mencukupi karena lokasi survei masih mencakup daerah tertentu saja.
Selain itu informasi tentang kejadian penyakit ChiVMV di lapangan mungkin
berubah-ubah setiap tahun.
Penelitian tentang keberadaan virus ini menjadi
penting untuk dilakukan secara berkala.
Untuk dapat mengetahui keberadaan virus dalam tanaman terinfeksi dengan
tepat diperlukan tindakan deteksi dan identifikasi. Teknik dasar yang sejak lama
dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus tanaman biasanya
dilakukan melalui pengamatan partikel dengan mikroskop elektron, pengamatan
gejala, uji kisaran inang dan cara penularan virus. Perkembangan metode deteksi
virus saat ini sudah sangat maju antara lain menggunakan teknik serologi seperti
ELISA (Enzim Linked Immunosorbent Assay) dan
DIBA (Dot Blot
Immunobinding Assay) yang dikembangkan pada akhir 1970-an (Hull 2002).
Teknik serologi ini telah digunakan secara luas dan berkembang pesat untuk
mendeteksi dan mempelajari virus tumbuhan. Deteksi dan identifikasi virus
tumbuhan juga dapat dilakukan dengan beberapa teknik molekular seperti
hibridisasi asam nukleat, ekstraksi dsDNA/dsRNA, dan PCR/RT-PCR (Matthews
2002).
TUJUAN PENELITIAN
Survei dilakukan ke beberapa daerah sentra pertanaman cabai di Sumatera
Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan untuk
mengumpulkan
isolat-isolat
ChiVMV.
Penelitian
juga
bertujuan
untuk
mengevaluasi beberapa metode deteksi, yaitu I-ELISA, DIBA dan RT-PCR untuk
mengetahui metode deteksi yang paling sesuai untuk ChiVMV.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Survei dan pengambilan sampel tanaman cabai dilakukan
di beberapa
daerah sentra penanaman cabai di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sampel tanaman sakit dibawa untuk
dilakukan diagnosis virus di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman. Perbanyakan sumber inokulum dilakukan di rumah kaca
Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan.
Survei dan Pengambilan Sampel dari Lapang
Survei dilakukan untuk melihat kondisi tanaman di lapangan sekaligus
mengumpulkan sampel tanaman cabai yang diduga terinfeksi ChiVMV. Lokasi
survei dilakukan pada beberapa tempat yang merupakan sentra cabai di Sumatera
Barat (Tanah Datar, Solok, Agam), Jawa Barat (Mega Mendung), Jawa Tengah
(Brebes), Jawa Timur (Malang), Kalimantan Selatan (Panggong, Nusa Indah).
Pengambilan sampel di daerah Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan dilakukan
masing-masing oleh Ir. Jumsu Trisno M.Si (Staf pengajar Universitas Andalas)
dan Dr. Ir. Noor Aidawati M.Si (Staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat)
sedangkan pengambilan sampel di lokasi survei di Jawa dilakukan langsung oleh
penulis. Pada setiap lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan metode
purposive sampling, metode ini dilakukan dengan mengambil sampel secara acak
dengan hanya mengambil bagian tanaman yang menunjukkan gejala khas
ChiVMV. Deskripsi gejala pada tanaman diamati menurut gejala umum yang
muncul akibat infeksi ChiVMV seperti belang, keriting, ujung daun meruncing
dan kerdil. Sampel tanaman tersebut kemudian diuji dengan metode DAS ELISA
dengan menggunakan antiserum ChiVMV, CMV, PVY, PMMV dan ToMV.
Sampel yang terinfeksi hanya oleh ChiVMV selanjutnya ditularkan ke tanaman
paprika (Capsicum annuum var Grosum) untuk perbanyakan isolat virus.
Perbanyakan Isolat Virus
Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum
Tanaman untuk perbanyakan virus yang digunakan adalah bibit tanaman
paprika C. annuum var. Grosum kultivar Yolo Wonder. Benih disemai pada tanah
steril dan ditumbuhkan sampai membentuk 4 - 5 daun (berumur 3 minggu). Bibit
yang sudah siap dipindahkan ke polybag dan ditempatkan pada ruang kedap
serangga untuk menghindari serangan hama terutama serangga vektor virus.
Metode inokulasi Virus Secara Mekanis
Inokulasi dilakukan secara mekanis menggunakan cairan perasan tanaman
(sap) sakit. Sap dibuat dari daun tanaman yang terinfeksi ChiVMV tunggal. Daun
tersebut digerus sampai halus dengan menggunakan mortar setelah sebelumnya
ditambahkan bufer fosfat (0.01M; pH 7.0) dengan perbandingan 1:10 (b:v). Daun
tanaman yang akan diinokulasi sebelumnya ditaburi dengan carborundum (600
mesh). Sap kemudian dioleskan pada daun dengan menggunakan kapas steril
dimulai dari bagian pangkal daun ke ujung secara searah dengan tidak mengulangi
pada daerah yang sama. Setelah pengolesan sap selesai, daun tanaman uji disiram
dengan air mengalir untuk membersihkan sisa-sisa sap yang masih melekat.
Pengawetan Isolat ChiVMV
Isolat-isolat virus yang telah dikumpulkan dan diperbanyak di rumah kaca
sebagian disimpan dalam bentuk awetan kering agar dapat disimpan dalam waktu
lama dan menghindari hilangnya isolat mengingat banyak faktor yang
mempengaruhi sumber inokulum virus di rumah kaca. Penyimpanan isolat-isolat
virus ini dilakukan dengan metode dehidrasi sesuai dengan prosedur Djikstra dan
Jager (1998). Daun yang positif terinfeksi ChiVMV dicacah dengan silet bebas
virus. Bagian bawah cawan petri diisi dengan kalsium klorida (CaCl2) dengan
perbandingan 1 : 20 (b/b) selanjutnya dilapisi dengan kertas merang atau kertas
saring kemudian bahan yang telah dicacah sebelumnya disebarkan di atas kertas
saring. Cawan petri kemudian ditutup dan direkat dengan parafilm sehingga
menjadi kedap udara. Isolat awetan tersebut disimpan di dalam kulkas bersuhu
4oC untuk pengeringan selama satu minggu. Selanjutnya dipindahkan ke dalam
tabung plastik bertutup yang 1/3 bagian tabung tersebut telah diisi dengan CaCl2.
pada bagian atas ditutup dengan kapas steril. Setelah tabung ditutup dengan
parafilm lalu disimpan pada suhu 4oC. Untuk reaktivasi isolat virus yang telah
disimpan atau jika isolat yang disimpan tersebut akan digunakan untuk inokulasi,
maka ditambahkan 1.9 ml bufer/0.1 g bahan kering yang kira-kira setara dengan
perbandingan 1 : 5 (b/v) bahan segar.
Diagnosis ChiVMV menggunakan Metode Double Antibody Sandwich
Enzyme Linked Immunosorbent Assay ( DAS-ELISA)
Deteksi ChiVMV terhadap sampel tanaman hasil survei dan ChiVMV hasil
penularan dilakukan dengan metode DAS ELISA menurut petunjuk dari DSMZ
(Clark, M.F & A.N. Adams, 1977) .
Tahapan uji tersebut diawali dengan tahap coating, yaitu sumuran plat
mikrotiter di isi dengan 100 µl antiserum CMV atau ChiVMV yang telah
disuspensikan ke dalam bufer coating; dilanjutkan dengan inkubasi platmikrotiter
pada suhu 30oC-47oC selama 2 jam atau pada suhu 4oC semalam (overnight).
Keesokan harinya plat dicuci dengan PBST (phosphate buffer saline tween-20) [8
g NaCL, 02 g KH2PO4, 1,15 g Na2HPO4, 0,2 g KCL, 0,2 g NaN3, 0,5 ml Tween
20, pH 7,4] sebanyak 5-7 kali. Daun tanaman bergejala digerus dalam GEB
(general extract buffer) [1,3 g Na2SO3, 20 g PVP- 40, 0,2 g NaN3, 2 g powdered
egg albumin, 20 g Tween-20, pH 7,4] yang ditambahkan merkaptoetanol 1%
dengan perbandingan 1 : 10 (w:v).
Sap tanaman diambil sebanyak 100 µl
kemudian dimasukkan kedalam sumuran platmikrotiter. Plat mikrotiter diinkubasi
selama 2 jam pada suhu 37oC. Platmikrotiter kemudian dicuci 5-7 kali dengan
PBST. Selanjutnya enzim konjugat yang dilarutkan dalam ECL bufer (bovine
serum albumin 2 g, PVP-40 20 g, NaN3 0,2 g) sebanyak 100 µl dimasukkan ke
dalam sumuran dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 jam, kemudian dibilas 57 kali dengan PBST. PNP (P-nitrophenyl-phosphate) yang telah dilarutkan dalam
PNP bufer (0.1 g MgCl2, 0.2 g NaN3, 97 ml dietanolamin), dimasukkan sebanyak
100 µl kedalam sumuran plat mikrotiter dan diinkubasikan selama 30-60 menit
pada suhu ruang.
Setelah waktu inkubasi tersebut akan terjadi perubahan warna pada cairan
didalam sumuran plat mikrotiter, yaitu warna kuning, yang menandakan reaksi
positif. Reaksi segera dihentikan dengan penambahan 3M NaOH, selanjutnya nilai
absorbansi reaksi dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer Microplate
reader BIO-RAD Model 550 pada panjang gelombang 405 nm. Pengujian
dinyatakan positif jika nilai absorban sampel uji dua kali nilai absorban kontrol
negatif.
Deteksi
ChiVMV
menggunakan
Metode
Indirect-Enzyme
Linked
Immunosorbent Assay (I-ELISA)
Metode I-ELISA dilakukan berdasarkan metode Stack dan Macmillan
(2005). Sampel tanaman terinfeksi ChiVMV digerus dalam
bufer coating
(sodium carbonate 0,16 g, sodium bicarbonate 0,29 g, sodium azide 0,02 g,
polyvinylpyrrolidone 2 g yang dilarutkan dalam 100 ml dH2O, pH 9,6) dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Pada penelitian ini pengenceran sampel tanaman
dilakukan dari 1 : 10 hingga 1: 106. Selanjutnya sampel tersebut dimasukkan ke
dalam masing-masing sumuran pada plat mikrotiter ELISA sebanyak 100 µl
dengan berbagai konsentrasi tergantung uji yang dilakukan dan diinkubasi pada
suhu 4 oC selama semalam. Selanjutnya masing-masing sumuran dicuci sebanyak
6 kali dengan PBST dan kemudian diisi dengan 100 µl antibodi yang telah
dilarutkan dalam bufer ECI (bovine serum albumin 0,2 g, polyvinylpyrrolidone 2
g, sodium azide 0,02 g dan dilarutkan dalam 100 ml PBST, pH 7,4) dengan
berbagai konsentrasi tergantung uji yang dilakukan.
Larutan antibodi tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2
jam. Selanjutnya masing-masing sumuran dicuci kembali dan kemudian diisi
dengan 100 µl konjugat (goat anti rabbit-IgG, Sigma, USA) yang dilarutkan
dalam bufer ECI dengan perbandingan 1:1.000. Larutan konjugat tersebut
kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam. Setelah dicuci, sumuran
diisi dengan 100 µl substrat p-nitrophenyl phosphate (PNP) yang dilarutkan dalam
bufer PNP (Magnesium chloride hexahydrate 0,025 g, sodium azide 0,05 g,
diethanolamine 24,25 ml dan dilarutkan dalam 200 ml dH2O, pH 9,8). Setelah
diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit dilakukan pengamatan secara
kuantitatif dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.
Reaksi dihentikan dengan cara menambahkan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 µl
ke dalam masing-masing sumuran. Kontrol negatif yang digunakan adalah
tanaman sehat dan bufer .
Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA)
Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997).
Sebelum digunakan membran nitroselulosa (HybondTM-P, Amersham Biosciences
UK) direndam dalam metanol 100% selama 10 detik dan dikering anginkan.
Jaringan daun tanaman terinfeksi ChiVMV digerus dalam tris buffer saline (TBS)
dengan perbandingan 1:10 (b/v) (TBS: Tris-HCl 0,02 M dan NaCl 0,15M, pH
7,5). Selanjutnya cairan perasan tanaman tersebut diteteskan ke membran
nitroselulosa sebanyak 10 µl setiap sampel dengan berbagai konsentrasi
tergantung uji yang dilakukan. Setelah tetesan sampel kering, membran direndam
di dalam 10 ml larutan blocking non fat milk 2% dalam TBS yang mengandung
Triton X-100 dengan konsentrasi akhir 2%. Membran kemudian diinkubasi pada
suhu ruang sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam dengan
menggunakan EYELA multi shaker MMS. Membran kemudian dicuci 5 kali
dengan dH2O, tiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan
kecepatan 100 rpm. Selanjutnya membran direndam dalam 5 ml TBS yang
mengandung antibodi 5 µl ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan
kemudian membran diinkubasi semalam pada suhu kamar sambil digoyang
dengan kecepatan 50 rpm. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan
Tween 0,05% dalam TBS (TBST). Selanjutnya membran direndam dalam 5 ml
TBS yang mengandung konjugat
5 µl (goat anti rabbit-IgG, Sigma, USA)
ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran
diinkubasi selama 60 menit
sambil digoyang dengan
kecepatan 50 rpm.
Selanjutnya membran dicuci kembali dengan TBST.
Membran kemudian
direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer substrat (Tris-HCl 0,1 M, NaCl 0,1
M dan MgCl2 5 mM) yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT) 66 µl dan
bromo chloro indolil phosphate (BCIP) 30 µl. Bila reaksi positif akan terjadi
perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah
ditetesi cairan perasan tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam
membran dengan dH2O
Metode Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Reverse Transcription –
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Tahapan metode deteksi ChiVMV menggunakan metode RT-PCR terdiri
atas tahapan ekstraksi RNA total, transkripsi balik, dan amplifikasi cDNA.
Ekstraksi RNA Total
Metode ekstraksi RNA dilakukan mengikuti metode Qiagen dengan
menggunakan Qiagen plant RNA isolation kit.. Daun tanaman cabai yang sakit
(0,1 g) digerus menggunakan pistil dan mortar steril yang didalamnya telah diisi
dengan nitrogen cair hingga menjadi bubuk. Sebanyak 450 µl bufer RLC yang
telah ditambahkan 4,5 µl merkaptoetanol dimasukkan ke dalam hasil gerusan
yang telah menjadi bubuk. Sap yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung
mikro1,5 ml kemudian dipanaskan di waterbath 56
o
C selama 10 menit.
Selanjutnya sap dipindahkan ke dalam kolom ungu dan disentrifugasi dengan
kecepatan 13000 rpm selama 2 menit pada suhu ruang. Supernatan yang terbentuk
dipindahkan ke tabung yang baru berukuran 2 ml. Hal ini dilakukan dengan tanpa
menyentuh pelet di dasar tabung. Selanjutnya sebanyak 0.5 volume etanol 96%
ditambahkan ke dalam tabung yang telah diisi supernatan dan dicampurkan
dengan menggunakan pipet.
Proses selanjutnya, sebanyak 200 µl supernatan diambil dan dipindahkan ke
kolom merah jambu. RNA akan tertahan di kolom tersebut
disentrifugasi dengan kecepatan
dan selanjutnya
10.000 rpm selama 30 detik. Kolom merah
jambu dipindahkan ke collection tube baru lalu ditambahkan bufer RW 700 µl,
kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000 rpm selama 30 detik. Selanjutnya kolom
merah jambu dipindahkan lagi ke collection tube baru dan ditambahkan 500 µl
bufer RPE lalu disentrifugasi lagi 10.000 rpm selama 30 detik dan diulangi lagi 2
menit. Untuk memastikan bahwa kolom merah jambu bebas etanol, selanjutnya
kolom dipindahkan lagi ke collection tube baru dan disentrifugasi lagi 8000 rpm
selama 1 menit. Kolom dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml baru dan
ditambahkan 40 µl water free nuclease ke permukaan saringan dalam kolom
sehingga pelet tergenang lalu didiamkan 10 menit. Selanjutnya tabung mikro
disentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Hasil ekstraksi disimpan pada suhu 80oC sampai akan digunakan.
Transkripsi Balik (Reverse Transcription)
Reaksi transkripsi balik ( 25 µl) terdiri atas 9 µl water free nuclease, 2.5 µl
bufer RT 10x, 5 µl dNTP 10 mM, 1.5µl oligo d(T) 10 µM, 1 µl RNAseH
Inhibitor, 1 µl MmLV RT, 5 µl RNA sampel ditambahkan kedalam tabung
mikro. Tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp
PCR System 9700) dengan kondisi RT; 25oC selama 5 menit, 37oC selama 90
menit dan 70oC selama 15 menit. Hasil akhir dari RT adalah produk cDNA yang
akan digunakan pada reaksi selanjutnya yaitu PCR.
Amplifikasi cDNA
Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan pasangan primer yaitu
ChiVMV-F1 (5’-TGAGGATCCTGGTGYATHGARAAYGG-3’) dan ChiVMVR (5’- gcgggatcctttttttttttttttttt-3’). Reaksi amplifikasi (50 µl) terdiri atas 30.6 µl
water free nuclease, 5 µl thermo buffer 10x + Mg
2+
(RBC), 4 µl dNTP, 4 µl
primer ChiVMV F1, 4 µl primer ChiVMV R, 0.4 µl taq polymerase, 2 µl cDNA
hasil RT. Semua bahan tersebut diisi ke dalam tabung mikro. Selanjutnya tabung
mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR System
9700). Amplifikasi ChiVMV dilakukan sebanyak 35 siklus mengikuti metode
Reddy (1995) melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan utas DNA pada suhu 94
o
C selama 2 menit, penempelan primer pada DNA 55 oC selama 1 menit dan
sintesis DNA pada suhu 72 oC selama 90 detik. Khusus untuk siklus terakhir
ditambah tahapan sintesis selama 15 menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu
4 oC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei dan Pengambilan Sampel dari Lapang
Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa terdapat variasi pola
tanam dan kultivar tanaman cabai yang digunakan (Gambar 3.1). Pada lokasi
pengamatan di Malang, tanaman cabai ditanam secara monokultur pada areal
tanam yang beragam, namun ada juga yang ditanam secara tumpangsari bersamasama dengan bawang (Allium cepa L), kubis (Brassica oleraceae L), atau jagung
(Zea mays L) seperti di desa Kali Malang, dan Wates. Jenis dan kultivar cabai
yang umumnya ditanam oleh petani di Malang antara lain Cabai besar (Hot
Beauty) dan keriting lokal. Pada semua lokasi survei, pola penanaman dilakukan
dengan bedengan dan sebagian areal ditutupi mulsa plastik. Untuk lokasi survei di
daerah Brebes, tanaman cabai umumnya ditanam dengan pola monokultur dengan
sistem bedengan yang sekelilingnya dibuat parit yang digenangi air. Air tersebut
juga digunakan untuk menyiram tanaman. Namun ada juga lahan tanaman cabai
yang ditumpangsari dengan tanaman bawang dan kadang-kadang dengan jagung,
tomat (Solanum lycopersicum L), terong (Solanum melongena L), kacang kedelai
(Glycine max (L.) Merr), kacang hijau (Phaseolus radiatus L) dan kacang tanah
(Arachis hypogaea L). Kultivar yang umum ditanam di Brebes adalah cabai besar
(Tit Segitiga dan Randu) dan cabai keriting (TM 999). Selain itu sebagian petani
telah mengenal sistem pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
dengan menanam tanaman penghalang disekeliling tanaman utama. Saat survei di
Brebes dilakukan, gejala ChiVMV tidak ditemukan pada beberapa wilayah
pertanaman cabai terutama di Wanacala dan Wanasari. Namun lahan tersebut
terserang belalang kembara (Locusta migratoria) dan ulat gerayak (Spodoptera
litura L), sehingga ada beberapa area tanam yang tanamannya tidak sempat
berdaun serta kerdil.
Hasil survei lapang yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penyebaran
ChiVMV sangat luas di lapangan. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa ChiVMV
hampir selalu berada di pertanaman yang diamati meskipun dengan jumlah infeksi
yang berbeda-beda. Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh keadaan iklim, pola
tanam serta jenis kultivar yang ditanam. Pada pertanaman cabai dengan pola
monokultur dalam areal yang luas, serangan virus terlihat lebih parah
dibandingkan pada lahan cabai yang ditanam bersama-sama dengan tanaman
lainnya. Hull (2002) menyatakan bahwa untuk mengurangi kejadian penyakit
virus, dapat dilakukan dengan menanam secara intercropping atau menanam
komoditi bersama-sama dengan tanaman sela, misalnya menanam cabai dengan
kacang kedelai atau dengan jagung. Selain itu diperhatikan pemilihan jenis
tanaman serta waktu tanam yang sesuai. Pemilihan jenis tanaman yang tahan akan
mengurangi resiko meluasnya penyebaran virus dan penurunan hasil produksi.
A
B
C
D
Gambar 3.1 Keadaan pertanaman cabai di lokasi survei dan pengambilan sampel.
(A).Tanah Datar, Sumatera Barat; (B). Mega Mendung, Jawa Barat;
(C). Brebes, Jawa Tengah; (D). Mendem, Jawa Timur.
Pemilihan waktu tanam yang tepat sangat penting, terutama dalam
hubungannya dengan ketersediaan air, curah hujan serta gangguan hama dan
penyakit. Air diperlukan oleh tanaman cabai sejak awal pertumbuhan tanaman
sampai periode pembungaan dan pembuahan. Kekurangan air pada masa
pertumbuhan vegetatif dan pada masa pembentukan bunga menyebabkan tanaman
cabai tumbuh kerdil dan menurunkan hasil buah, bahkan dapat gagal panen
(Welles 1990). Tetapi lahan yang terlalu lembab juga menyebabkan pertumbuhan
tanaman cabai terhambat. Curah hujan yang tinggi pada saat pembentukan bunga
dan buah dapat menggugurkan bunga dan menyebabkan pembusukan buah
(Sumarni 1996). Sementara
pemilihan waktu tanam yang serentak akan
mengurangi terbentuknya sumber inokulum virus yang bertahan di lapangan
karena selalu tersedianya sumber infeksi di lapangan.
Diagnosis Sampel dari Lapang dengan DAS-ELISA
Hasil DAS-ELISA pada 135 sampel bergejala yang dikumpulkan dari 22
lokasi survei menunjukkan 28,88 % sampel terinfeksi ChiVMV. Proporsi jumlah
jumlah sampel yang bereaksi positif terhadap antiserum ChiVMVmenunjukkan
hasil yang beragam pada lokasi survei (Tabel 3.1).
Persentase sampel yang memberikan reaksi positif untuk masing-masing
lokasi survei secara berturut-turut adalah 72,72%, 0%, 55%, 20%, dan 33,33%
(Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan).
Hasil survei yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa ChiVMV dapat
menginfeksi tanaman cabai secara tunggal maupun bersama-sama dengan virus
lainnya.
Tabel 3.1 Deteksi ChiVMV menggunakan metode DAS ELISA pada sampel
tanaman cabai asal Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Kalimantan Selatan.
Asal sampel
(Propinsi/ Desa)
Sumatera Barat
Agam
Solok
Tanah Datar
Lumpo Selatan
Jawa Barat
Mega Mendung
Jawa Timur
Mbokor
Kali Malang
Karang Juwet
Mendem
Belung
Nongko Sewu
Wates
Sampel yang memberikan
reaksi positif terhadap
ChiVMV (%) 1
1/2 (50.00)
4/4 (100)
1/1 (100)
2/4 (50.00)
0/5 (0)
8/15 (53.33)
0/12 (0)
2/8 (25.00)
0/10 (0)
4/20 (20.00)
0/8 (0)
3/12 (25.00)
Jawa Tengah
Kemukten
Kersana
Keradenan
Sitanggal
2/4 (50.00)
3/5 (60.00)
3/6 (50.00
3/5 (60.00)
Kalimantan Selatan
Nusa Indah
Panggong
Kurnia Ujung
Sukamaju
Golf
2/2 (50.00)
1/2 (50.00)
0/1 (0)
0/3 (0)
0/1 (0)
Pola Tanam/ Genotipe
Cabai
Monokultur/ Hot Beauty
Monokultur/ Hot Beauty
Tumpangsari/ Huang Dong
Monokultur/ Hot King
Tumpangsari/ Rawit lokal
Tumpangsari/ Hot Beauty
Monokultur/ Hot Beauty
Tumpangsari/Keriting
lokal
Monokultur/Tit Segitiga
Tumpangsari/Randu
Tumpangsari/Tit Segitiga
Monokultur/Tit Segitiga
-
1
Nilai ditentukan berdasarkan hasil deteksi dengan DAS ELISA, yaitu dengan membandingkan
jumlah sampel tanaman bereaksi positif terhadap jumlah sampel total.
- Tidak ada informasi
Hasil penelitian Taufik (2005) melaporkan bahwa ChiVMV seringkali
ditemukan berada bersama-sama dengan CMV di lapangan. Walaupun demikian
deteksi DAS ELISA dengan menggunakan antiserum CMV, ChiVMV, PVY,
TMV dan PMMV menunjukkan bahwa infeksi virus yang dominan di lokasi
survei adalah ChiVMV dan PVY (Tabel 3.2).
Tabel 3.2 Deteksi beberapa virus pada sampel tanaman cabai
Lokasi
(Propinsi / Desa)
Sumatera Barat
Agam
Solok
Tanah Datar
Lumpo Selatan
Jawa Barat
Mega Mendung
Jawa Timur
Mbokor
Kali Malang
Karang Juwet
Mendem
Belung
Nongko Sewu
Wates
Jawa Tengah
Kemukten
Kersana
Keradenan
Sitanggal
Wanacala
Kalimantan
Selatan
Nusa Indah
Panggong
Kurnia Ujung
Sukamaju
Golf
Total
Sampel
CMV
ChiVMV
PVY
TMV
PMMV
2
4
1
4
1
0
0
0
1
4
1
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
1
0
3
0
0
15
12
8
10
20
8
12
0
0
0
4
0
1
0
8
0
2
0
4
0
3
2
4
1
8
13
2
5
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
4
0
0
4
5
6
5
1
0
0
0
0
0
2
3
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1
1
3
1
0
0
0
0
0
2
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah sampel yang terinfeksi*
* CMV = cucumber mosaic virus; ChiVMV = chilli veinal mottle potyvirus; PVY = potato virus
Y; TMV = tobacco mosaic virus; PMMV = pepper mottle mosaic virus.
Perbanyakan Isolat ChiVMV
Dari hasil deteksi dengan DAS ELISA, sampel-sampel yang positif
terinfeksi ChiVMV dengan gejala tunggal kemudian diperbanyak di rumah kaca.
Terdapat 13 isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca pada
tanaman paprika (C. annuum var. Grossum). Dari ketigabelas isolat tersebut
selanjutnya dipilih 5 isolat yang mewakili masing-masing daerah lokasi survei.
Karakteristik gejala masing- masing isolat bervariasi pada tanaman paprika
sumber inokulum ChiVMV mulai dari gejala belang ringan sampai belang berat
dengan maformasi daun (Gambar 3.2 dan Tabel 3.3).
Tabel 3.3 Isolat-isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca
Asal Isolat ChiVMV
Solok 1, Sumatera Barat
Solok 2, Sumatera Barat
Tanah Datar, Sumatera Barat
Agam, Sumatera Barat
Cikabayan, Jawa Barat
Belung, Jawa Timur
Wates, Jawa Timur
Kemukten, Jawa Tengah
Kode
Gejala pada tanaman perbanyakan
Isolat
virus*
SOSKM 1
SOSKM 2
TD
AGAM
CKB
BL
WK
KMT
Kersana, Jawa Tengah
KRS
Keradenan, Jawa Tengah
KRD
Sitanggal, Jawa Tengah
Panggong, Kalimantan Selatan
STG
PANG
Nusa Indah, Kalimantan Selatan
NI
Belang sedang, malformasi daun
ringan
Belang sedang, malformasi daun
sedang
Belang berat, malformasi daun
berat
Belang ringan, tidak terjadi
malformasi daun
Belang berat, ujung daun
meruncing, dan kerdil
Belang sedang, malformasi daun
sedang
Belang ringan, tidak terjadi
malformasi daun
Belang ringan, malformasi daun
ringan
Belang sedang, daun muda kaku
ke atas
Belang berat, ujung daun
meruncing
Belang berat, tanaman kerdil
Belang sedang, malformasi daun
ringan
Belang sedang, malformasi daun
sedang
* Isolat-isolat tersebut diperbanyak pada tanaman paprika C. annuum var Grossum
Hasil survei yang telah dilakukan sebelumnya oleh Taufik (2005) hanya
berhasil mengumpulkan enam isolat ChiVMV dari hasil survei lapang di Jawa
Barat, Sumatera Barat dan Jambi. Diharapkan isolat-isolat ChiVMV yang berhasil
dikoleksi ini dapat melengkapi koleksi isolat-isolat ChiVMV asal Indonesia yang
telah dikumpulkan sebelumnya. Selain itu masih diperlukan karakterisasi lebih
lanjut untuk mengetahui sifat dan keragaman antar isolat tersebut.
SOSKM
CKB
BL
KRD
PANG
TD
Gambar 3.2 Gejala ChiVMV pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum).
SOSKM adalah
isolat asal Solok; CKB adalah isolat asal
Cikabayan; BL adalah isolat asal Belung; KRD adalah isolat asal
Keradenan; PANG isolat asal Panggong; TD adalah isolat asal Tanah
Datar.
Deteksi ChiVMV dengan RT-PCR
Menggunakan hasil ekstraksi total RNA dari isolat ChiVMV yang telah
diperbanyak pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum) didapatkan cDNA
pada reaksi reverse transcriptase. Selanjutnya cDNA yang terbentuk langsung
digunakan sebagai cetakan dalam reaksi PCR dengan menggunakan pasangan
primer ChiVMV –F1 dan ChiVMV-R. Hasil amplifikasi menggunakan pasangan
primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R tersebut setelah dielektroforesis pada gel
agarosa 1,2 % menghasilkan produk yang berukuran 800 pasang basa (bp)
(Gambar 3.7). Hasil RT-PCR ini menunjukkan bahwa metode RT-PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi ChiVMV penyebab gejala belang pada tanaman
cabai. Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Moury et al. (2005)
telah berhasil mendapatkan pita DNA spesifik ChiVMV dengan menggunakan
pasangan primer 5’-GGIAA(A/G)GC(G/A/T/C)CC (G/A/T/C)TA(C/T)AT-3’ dan
5’-CGCGCTAATGACATATCGGT-3’.
M
1
2
3
4
5
6
800 bp
500 bp
Gambar 3.3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman cabai terinfeksi beberapa
isolat ChiVMV menggunakan primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R.
(M) Marker 100 base pairs (bp); (1). Tanaman sehat; (2) Isolat BL,
Malang; (3) Isolat CKB, Cikabayan; (4) Isolat KRD, Keradenan; (5)
Isolat PANG, Panggong; (6) Isolat TD, Tanah Datar
Deteksi ChiVMV dengan I-ELISA
Hasil deteksi sampel terinfeksi ChiVMV dengan metode I-ELISA dilakukan
dengan perlakuan pengenceran bertingkat pada sap tanaman uji. Pembacaan nilai
absorbansi pada 405 nm menunjukkan hasil yang beragam antara isolat ChiVMV
yang berbeda. Meskipun demikian rata-rata nilai absorbansi cukup homogen pada
tingkat pengenceran 1 : 10 sampai 1 : 1.000. Pada kisaran tingkat pengenceran
tersebut, reaksi positif sangat jelas terlihat, yaitu ditunjukkan dengan nilai
absorbansi yang tinggi (Tabel 3.4).
Tabel 3.4 Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi ChiVMV pada berbagai
tingkat pengenceran menggunakan metode I-ELISA*.
Pengenceran
cairan perasan
tanaman terinfeksi
**
1: 10
BL
CKB
KRD
PANG
TD
3.317
2.318
3.229
2.503
3.122
0.281
0.285
1 : 100
3.273
3.290
3.182
2.589
3.183
-
-
1: 1.000
3.277
3.377
3.182
1.809
3.208
-
-
1 : 10.000
1.734
3.130
2.104
0.736
1.421
-
-
1 : 100.000
0.374
0.471
0.438
0.347
0.345
-
-
1 : 1.000.000
0.282
0.316
0.298
0.280
0.283
-
-
Sampel uji***
Kontrol Bufer
negatif
*
Sampel dinyatakan positif bila nilai absorbansinya lebih dari dua kali nilai absorbansi kontrol
negatif yaitu sampel tanaman sehat
** Perbandingan antara sampel dengan bufer (b / v )
*** Sampel uji terdiri dari tanaman cabai yang terinfeksi ChiVMV isolat Malang (BL), Cikabayan
(CKB), Keradenan (KRD), Panggong (PANG), dan Tanah Datar (TD)
Batas sensitifitas pengujian dengan metode I-ELISA adalah pada tingkat
pengenceran 1 : 1.000. Pada tingkat pengenceran 1 : 10.000 sampai 1 : 1.000.000
terjadi penurunan nilai absorbansi. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode
deteksi dengan I-ELISA masih dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
ChiVMV hingga tingkat pengenceran sampel 1 : 10.000 (Tabel 3.4).
Pengamatan secara visual terhadap perubahan warna yang terjadi pada plat
mikrotiter ELISA menunjukkan perbedaan intensitas warna kuning (Gambar 3.4).
Intensitas warna kuning tersebut sangat kuat pada tingkat pengenceran 1 : 10 dan
semakin berkurang warnanya dengan semakin tingginya tingkat pengenceran.
Kelima isolat yang digunakan pada tingkat pengenceran ini pada semua sumuran
plat menunjukkan tidak terjadi perubahan warna pada pengenceran 1: 100.000 dan
1 : 1.000.000. Hal tersebut menguatkan kesimpulan bahwa antiserum yang
digunakan tidak dapat lagi mendeteksi sampel yang terinfeksi ChiVMV pada
tingkat pengenceran 1 : 100.000 dan 1 : 1.000.000.
BL
1: 10 1 : 102 1: 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106
KRD
TD
CKB
PANG
B
K(+)
K(-)
Gambar 3.4 Reaksi perubahan warna pada plat mikrotiter hasil I-ELISA pada
berbagai tingkat pengenceran (1 : 10 hingga 1 : 106) menggunakan
lima isolat ChiVMV: Malang (BL), Keradenan (KRD), Tanah Datar
(TD), Cikabayan (CKB), Panggong (PANG), Bufer (B), Kontrol
positif K(+) dan Kontrol sehat K(-).
Deteksi ChiVMV dengan Metode DIBA
Pada deteksi ChiVMV dengan menggunakan metode DIBA, diperoleh
reaksi positif pada semua isolat ChiVMV pada tingkat pengenceran 1 : 10 sampai
1 : 1.000. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada
membran (Gambar 3.5). Semua sampel menunjukkan reaksi positif dengan signal
kuat pada tingkat pengenceran 1 : 10 namun semakin melemah pada tingkat
pengenceran berikutnya. Secara umum, sampel yang diuji sudah tidak lagi
menunjukkan signal positif pada tingkat pengenceran 1 : 1.000 kecuali sampel BL
(Malang) dan TD (Tanah Datar) yang masih menunjukkan signal positif sampai
pengenceran 1:10.000. Hal tersebut menunjukkan bahwa batas sensitifitas deteksi
ChiVMV dengan metode DIBA adalah pada tingkat pengenceran 1 : 1: 1.000.
Adanya perbedaan antar sampel yang diuji yaitu ChiVMV dari berbagai lokasi,
dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut Hull (2002), hal tersebut dapat
terjadi karena terdapat perbedaan tingkat konsentrasi virus yang terkandung di
dalam inangnya. Semakin tinggi konsentrasi virus pada tanaman maka akan
memberikan reaksi yang sangat kuat pada membran begitu juga sebaliknya
semakin rendah konsentrasi virus pada tanaman uji maka akan memberikan reaksi
lemah pada membran.
Tingkat
Pengenceran
A
B
Isolat
C
D
E
1 : 10
1 : 102
1 : 103
1 : 104
1 : 105
1 : 106
K (+)
Bufer
K (-)
Gambar 3.5 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai
tingkat pengenceran sap menggunakan lima isolat ChiVMV. (A)
Isolat BL, Malang; (B) Isolat CKB Cikabayan; (C) Isolat KRD,
Keradenan; (D) Isolat Pang, Panggong; (E) Isolat TD, Tanah Datar.
Batas sensitifitas metode DIBA lebih rendah dibandingkan metode IELISA. Walaupun demikian metode DIBA memerlukan antiserum yang lebih
sedikit dibandingkan metode I-ELISA untuk pengujian jumlah sampel yang sama.
Selain itu, pelaksanaan pengujian dengan metode DIBA relatif lebih cepat.
Metode DIBA dapat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan deteksi yang
melibatkan jumlah sampel yang banyak, misalnya pada kegiatan seleksi atau
skrining plasma nutfah dalam rangka perakitan varietas tahan ChiVMV.
SIMPULAN
1. Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV yang
semakin luas di lapangan. Virus tersebut ditemukan hampir disetiap
pertanaman cabai yang diamati meskipun dengan jumlah tanaman terinfeksi
yang berbeda-beda.
2. Dari hasil perbanyakan isolat virus di rumah kaca, didapatkan 14 isolat virus.
Selanjutnya dipilih lima isolat utama yang mewakili masing-masing lokasi
survei. Kelima isolat ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk mengetahui
karakteristiknya lebih lengkap.
3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa deteksi ChiVMV dengan I-ELISA
mampu mendeteksi ChiVMV hingga tingkat pengenceran 1 : 10.000,
sedangkan deteksi dengan DIBA mampu mendeteksi ChiVMV sampai batas
pengenceran 1 : 1.000, sementara uji molekular dengan RT-PCR berhasil
mendapatkan produk DNA spesifik berukuran 800 bp.
DAFTAR PUSTAKA
Ang OC. 1995. Symptomatic variants of ChiVMV in Malaysia. Proceeding of
the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari. AVRDC
AVRDC. 2000. AVRDC 1999 Progress Report. Asian Vegetable Research and
Development Center, Shanhua, Taiwan.
Baloch HB, Baloch LS, Rustamani MA, Hussain T, Talpur MA, Rao SA. 1994.
Insect pests associated with Capsicum annuum (Linn.) during summer
season at Tandojam. Proceeding, 14th Pak. Congress of Zoology, Karachi
(Pakistan), 1-3 April 1994.
Brunt, A., K. Crabtree, A. Gibbs. 1990. Viruses of tropical plants. CAB
International, Wallingford, UK. 707 pp.
Burnett, F. dalam Brunt, AA, Crabtree K, Dallwitz MJ, Gibbs AJ, Watson L,
Zuchrer EJ. 2003. Plant Virus Online: Description and List from the VIDE
Database. Version 20th 1996. (Online). [http://biology.anu.edu.au/Groups
/MES/vide/html] diakses tgl 20 April 2008.
Caranta, C., A. Palloix, K. Gebre-Selassie, V. Lefebvre, B. Moury, and A.M.
Daubeze. 1996. A complementation of two genes originating from
susceptible Capsicum annuum lines confers a new and complete resistance
to pepper veinal mottle virus. Phytopathology 86: 739–743.
Davis RI, Thomas JE, McMichael LA, Dietzgen RG, Callaghan B, James AP,
Gunua TG, Rahamma S. 2002. Plant virus surveys on the island of New
Guinea and adjacent regions of northern Australia. Australasian Plant
Pathology 31(4) 385 – 390 (Abstrak). [http://www.publish.csiro.au/paper
/AP02047.htm]. (14 Mei 2008).
Fraser RSS. 1992. The genetics of plant virus interaction implication for plant
breeding. Euphytica 63. Hlm 175-185.
Green SK. 2004. Pepper line resistant to chilli veinal mottle virus. (Online).
[http://www.avrdc.org/aarnet_proceedings.html]. diakses 14 Juni 2008.
Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.
Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological
procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a
single wheat curl mite. Plant Dis 81:250-253.
Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London.
Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005.
Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle
virus and Chili veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232.
http://www.apsnet.org/phyto/pdfs /2005/PHYTO-95-0227.pdf [13 Mar
2007].
Ong, C.A. 1984. Reducing the spread of chilli veinal mottle virus using reflective
surfaces. MARDI Research Bulletin 12: 200–204.
Ong, C.A., G. Varghese, and W.P. Ting. 1979. Aetiological investigations on a
veinal mottle virus of chilli (Capsicum annuum L.) newly recorded from
Peninsular Malaysia. MARDI Research Bulletin 7: 78–88.
Stack, Macmillan. 2005. Brycella serology. Brunet Publication. FAO/WHO
Collaborating Centre for Reference and Research on Brucellosis, Central
Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, Surrey Kt15 3NB, United
Kingdom. http://www.moag.gov.ilbrunetpublic_sub4_p1.html [25 Desember
2008].
Sulyo Y, Duriat AS. 1996. Field evaluation of pepper accession for resistance to
viruses. Proceeding of the AVNET II Final Workshop Philippines. AVRDCTainan. Taiwan: Hlm132-137
Womdim NR, Swai I S, Chadha ML, Selassie GK, Marchoux G. 2001.
Occurrence of Chili veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania.
Plant Dis. 85:801.
IV. EVALUASI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE
CABAI TERHADAP CHILLI VEINAL MOTTLE
POTYVIRUS (ChiVMV)
Abstrak
Hasil survei terhadap infeksi ChiVMV di beberapa daerah sentra
pertanaman cabai menunjukkan kejadian penyakit yang cukup tinggi. Karena itu
diperlukan pengendalian yang tepat dan cepat agar infeksi penyakit ini tidak
semakin parah dilapangan. Salah satu metode pengendalian terhadap virus yang
cukup aman dan dianjurkan adalah penanaman genotipe cabai yang tahan
ChiVMV. Sayangnya genotipe-genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV
belum banyak diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mengevaluasi ketahanan beberapa genotipe cabai.
Percobaan untuk mengetahui respon ketahanan beberapa genotipe cabai
terhadap infeksi ChiVMV telah dilakukan mencakup satu set populasi yang terdiri
atas 29 genotipe cabai yang berasal dari spesies Capsicum annuum, C. pubescens,
dan C. frutescens. Masing-masing genotipe cabai tersebut diinokulasi dengan
ChiVMV isolat Cikabayan. Deteksi infeksi virus dilakukan menggunakan Double
Anti Sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS ELISA) dan respon
ketahanan tanaman ditentukan berdasarkan kejadian penyakit.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa genotipe IPB C1, PBC 521, dan IPB
C10 memberikan respon sangat tahan terhadap infeksi ChiVMV sedangkan IPB
C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera memberikan respon tahan. Ketujuh
genotipe cabai tersebut dapat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber
ketahanan terhadap ChiVMV.
Kata kunci: Capsicum, ChiVMV, ketahanan
PENDAHULUAN
Salah satu virus penting yang banyak dilaporkan menginfeksi pertanaman
cabai di Indonesia adalah chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) yang dapat
menyebabkan kehilangan daya hasil yang tinggi. Green dan Huang
(1989)
melaporkan kehilangan hasil ditingkat petani mencapai 50% di 16 negara Asia. Di
Malaysia, ChiVMV dapat mereduksi hasil sampai 65% serta menurunkan kualitas
buah (Ong et al. 1980 dalam Ong 1995). Taufik et al.
(2005) melaporkan
kehilangan hasil akibat infeksi ChiVMV dapat mencapai 100%. Oleh karena itu
diperlukan strategi pengendalian yang dapat mengatasi masalah penularan
ChiVMV di lapangan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengendalian penyakit karena
infeksi virus, diantaranya : (1) tanaman yang terinfeksi tidak dapat disembuhkan
dan dapat menjadi sumber inokulum untuk tanaman di sekitarnya; (2) kebanyakan
penularan virus di alam terjadi melalui kutu daun dan bersifat non persisten; (3)
virus umumnya memiliki kisaran inang yang luas (Matthews 1991) selain itu
penyebaran virus ke seluruh areal pertanaman dapat berlangsung dalam waktu
singkat; dan (4) virus umumnya memiliki keragaman genetik yang tinggi serta
mekanisme replikasi dan patogenesisnya sangat kompleks yang ditunjukkan oleh
banyaknya strain virus tersebut yang dapat menimbulkan gejala atau keparahan
penyakit yang berbeda-beda. Dengan demikian pengendalian penyakit virus di
lapangan sulit dilakukan secara efektif karena target pengendalian menjadi lebih
luas dan sulit (Hull 2002).
Saat ini salah satu cara pengendalian
yang dapat menjadi solusi
permasalahan tersebut adalah penggunaan varietas cabai tahan ChiVMV (Dolores,
1998). Keuntungan pengendalian dengan menggunakan genotipe tahan selain
memberikan kepastian pengendalian virus yang lebih baik, metode ini merupakan
teknik yang paling murah, mudah, aman, tidak mencemari lingkungan, serta
mampu menekan replikasi virus pada tanaman sehingga kerugian hasil yang
terjadi dapat dikurangi (Frasser 1992). Namun demikian, karena virus umumnya
memiliki kisaran inang yang sangat luas, maka penggunaan kultivar tahan bisa
efektif jika dibarengi dengan metode pengendalian hama penyakit terpadu (PHT),
seperti pembersihan gulma inang virus dan pengendalian serangga vektor (Russel
1981).
Penelitian untuk mengetahui respon ketahanan tanaman cabai terhadap
infeksi ChiVMV telah beberapa kali dilakukan sebelumnya. Pada tahun 2005,
Taufik et al. menguji ketahanan sembilan kultivar cabai terhadap infeksi ChiVMV
dan infeksi ganda ChiVMV dengan cucumber mosaic cucumovirus (CMV).
Namun hasil evaluasi tersebut belum menemukan kultivar yang tahan terhadap
infeksi CMV dan ChiVMV. Subekti et al. (2005) mengevaluasi ketahanan 5
kultivar cabai serta pengaruh komponen hasil tanaman terhadap infeksi ChiVMV
dan belum menemukan kultivar yang menunjukkan respon tahan terhadap infeksi
ChiVMV. Barulah pada tahun 2007, hasil evaluasi ketahanan berikutnya
menemukan beberapa genotipe atau kultivar yang memiliki potensi untuk
digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap ChiVMV (Millah et al. 2007;
Latifah et al. 2008)
Saat ini genotipe-genotipe cabai yang tahan terhadap infeksi ChiVMV dan
memiliki daya produksi yang baik masih sedikit sekali diketahui sehingga perlu
terus-menerus dilakukan pengujian untuk menemukan sumber ketahanan baru
terhadap ChiVMV. Selain itu evaluasi ketahanan terhadap virus harus terus
menerus dilakukan mengingat virus termasuk patogen yang terus membentuk
strain-strain baru yang mampu mematahkan ketahanan tanaman yang telah
dilepas.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan dua puluh sembilan
genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV di rumah kaca.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman
IPB, Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB dan di
rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. Pemilihan genotipe dan
penyemaian dilakukan pada bulan April-Juni 2008, dan evaluasi respon ketahanan
tanaman terhadap infeksi ChiVMV dilakukan pada bulan September 2008.
Bahan
Isolat virus yang digunakan adalah ChiVMV isolat Cikabayan koleksi
Laboratorium Virologi Tumbuhan hasil survey Taufik et al. (2005).
Bahan
tanaman yang digunakan dalam uji ketahanan adalah 29 genotipe cabai dengan
jumlah ulangan antara 20-25 tanaman (Tabel 4.1). Genotipe cabai yang diuji
tersebut adalah koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB dan benih-benih lokal
komersial.
Tabel 4.1 Daftar genotipe yang dipakai dalam uji ketahanan terhadap infeksi
ChiVMV
Tipe
No
Genotipe cabai
Spesies
Asal benih
buah
1 IPB C1
C. annuum
Besar
PSPT C-17
2 IPB C13
C. annuum
Besar
PSPT/AVRDC
3 IPB C14
C. annuum
Besar
AVRDC
4 IPB C15
C. annuum
Besar
PSPT/AVRDC
5 IPB C17
C. annuum
Besar
PSPT/AVRDC
6 IPB C24
C. annuum
Besar
PSPT/AVRDC
7 IPB C48
C. annuum
Besar
AVRDC
8 PBC 521
C. annuum
Besar
PSPT/AVRDC
9 Tanjung
C. annuum
Besar
Lokal/ Bandung
10 IPB C6
C. annuum
Keriting Lokal/ Bogor
11 IPB C73
C. annuum
Keriting Panah Merah
12 Tegar
C. annuum
Keriting Komersial/ Surya Bumi
13 Keriting Sumatera C. annuum
Keriting Komersial/ Surya Mentari
14 Tornado
C. annuum
Keriting Komersial/ Sang Hyang Seri
15 Andalas
C. annuum
Keriting Komersial/ Mutiara Bumi
16 IPB C8
C. annuum
Rawit
AVRDC
17 IPB C10
C. annuum
Rawit
AVRDC
18 IPB C60
C. annuum
Rawit
PSPT/AVRDC
19 Tegak
C. frutescens
Rawit
Komersil/ Sinar Bumi
20 Toro
C. frutescens
Rawit
Komersil/ Surya Mentari
21 Taring
C. frutescens
Rawit
Komersil/ Mega Bintang
22 IPB C20
C. pubescens
Hias
AVRDC
23 IPB C21
C. annuum
Hias
AVRDC
24 IPB C33
C. annuum
Hias
AVRDC
25 IPB C55
C. annuum
Hias
AVRDC
26 IPB C81
C. annuum
Hias
Hias Liar
27 IPB C99
C. annuum
Hias
AVRDC
28 Beauty Bell
C. annuum
Paprika Komersil/Known You Seed
29 Polaris
C. annuum
Paprika Komersil/Known You Seed
Metode
Penyemaian Benih
Benih cabai disemai pada baki semai yang telah diisi dengan media tanam
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan masing-masing 1:1
(v/v). Media tanam tersebut sebelumnya disterilisasi pada 150oC selama 5 jam.
Tanaman kemudian dipelihara di rumah kaca kedap serangga dengan
pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian serangga hama.
Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai
Inokulasi dilakukan sebanyak dua kali pada semua genotipe tanaman uji.
Inokulasi pertama dilakukan ketika daun pertama telah membuka penuh (3
minggu), dan inokulasi kedua dilakukan satu minggu setelah inokulasi pertama.
Inokulasi dilakukan secara mekanis seperti diuraikan pada Bab III.
Evaluasi Ketahanan Cabai Terhadap Infeksi ChiVMV
Evaluasi ketahanan tanaman cabai dilakukan dengan mendeteksi infeksi
ChiVMV menggunakan pengujian DAS-ELISA. Deteksi dilakukan dua kali,
dimana uji ELISA pertama dilakukan 1 minggu setelah inokulasi pertama,
sedangkan uji ELISA kedua dilakukan 1 minggu setelah ELISA pertama atau dua
minggu setelah inokulasi pertama. Pengujian dengan ELISA dilakukan mengikuti
petunjuk dari DSMZ-Plant Virus Collection (Braunschweig, Germany) seperti
diuraikan pada Bab III.
Hasil deteksi digunakan untuk menggolongkan tipe ketahanan genotipe
cabai kedalam kelompok sangat tahan, tahan, agak rentan, rentan dan sangat
rentan. Ketahanan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV ditentukan
berdasarkan kriteria Dolores (1996) yang telah dimodifikasi (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Pengelompokan tingkat ketahanan genotipe cabai terhadap infeksi
ChiVMV.
.
Kejadian Penyakit (%)
Tingkat Ketahanan
x ≤ 10
Sangat tahan
10 < x ≤ 30
Tahan
30 < x ≤ 50
Agak rentan
50 < x ≤ 70
Rentan
x > 70
Sangat rentan
Kejadian penyakit dihitung menggunakan rumus :
KP =
n
x100%
N
Keterangan:
KP : kejadian penyakit
n : jumlah tanaman positif ELISA
N : jumlah tanaman yang diinokulasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Gejala
Pengamatan pada 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV
menunjukkan adanya keragaman gejala yaitu mulai dari tidak ada gejala sampai
belang berat diikuti dengan malformasi daun (Tabel 4.3 dan Gambar 4.1).
Tabel 4.3 Tipe gejala pada 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV
Jenis gejala (*)
Genotipe cabai
Tidak bergejala
IPB C17, IPB C521, IPB C14, IPB
C1, IPB C8, IPB C10, Taring,
Keriting Sumatera
Belang ringan
IPB C48, IPB C15, IPB C21, IPB
C73, IPB C6, Tegak, IPB C81,
Andalas
Belang sedang dengan malformasi daun
Tanjung, IPB C20, Tegar, Tornado,
IPB C99, IPB C60, Toro
Belang berat dengan malformasi daun
dan kerdil
IPB C13, IPB C24, IPB C55, IPB
C33, Polaris, Beauty Bell
*) Pengamatan dilakukan pada 14 HSI
Pada genotipe yang diamati, rata-rata perkembangan gejala mulai terlihat
jelas pada 14 HSI. Namun ada satu genotipe, yaitu IPB C48 dengan tipe gejala
yang jelas muncul pada 7 HSI namun mulai berkurang pada 14 HSI. Hal ini dapat
terjadi karena konsentrasi virus di dalam tanaman yang tidak berkembang juga
dapat disebabkan karena ketahanan yang dimiliki oleh tanaman itu sendiri yang
mampu mengurangi munculnya gejala sehingga infeksi tidak berkembang.
Goodman
et
al.
(1986)
menyatakan
bahwa
kemampuan
virus
untuk
bermultiplikasi dan menimbulkan gejala berbeda-beda pada setiap tanaman, dalam
hal ini tergantung pada kultivar dan umur tanaman serta kondisi lingkungan yang
mendukung perkembangan penyakit.
Pada gejala belang sedang yang diikuti dengan malformasi daun, gejala
terlihat sangat jelas terutama pada genotipe Keriting Tegar dan IPB C99. Pada
cabai keriting genotipe Tegar, meskipun gejala hanya muncul pada beberapa
tanaman namun jenis gejala yang ditampakkan sangat jelas yaitu ujung daun yang
meruncing dengan belang hijau tua yang sangat jelas pada daerah tulang daun,
sedangkan pada genotipe IPB C20 malformasi tampak berupa perubahan daun
menjadi kaku ke atas.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Latifah et al. (2007)
menunjukkan bahwa tingkat ketahanan tinggi dimiliki oleh genotipe jenis rawit
dibandingkan dengan genotipe yang berasal dari jenis yang berbeda. Sementara
pada penelitian ini diperoleh tiga genotipe cabai dengan tipe buah jenis besar yang
menunjukkan respon ketahanan yang tinggi (IPB C1, IPB C17 dan IPB C521).
Hal ini menunjukkan bahwa seleksi ketahanan terhadap ChiVMV harus
melibatkan jumlah plasma nutfah yang banyak dan beragam karena sifat
ketahanan mungkin didapatkan dari berbagai jenis atau berbagai genotipe cabai.
Goodman et al. (1986) menyatakan bahwa genom tanaman memiliki reseptor
yang akan mengenali virus yang masuk ke dalam sel tanaman dan akan memicu
munculnya induksi ketahanan. Dalam hal ini kemampuan setiap tanaman berbeda,
tergantung pada kultivar dan umur tanaman, serta kondisi lingkungan yang
mendukung perkembangan penyakit. Selain itu Hull (2002) menyatakan bahwa
respon tanaman terhadap patogen dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu tanaman
yang rentan, patogen yang virulen, kondisi lingkungan yang mendukung proses
perkembangan patogen serta waktu interaksi patogen dengan tanaman.
Adanya keragaman gejala yang muncul pada beragam tipe cabai tersebut
menunjukkan bahwa respon penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya genotipe tanaman dan fase pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan 5
minggu atau 7 hari setelah inokulasi (HSI) gejala yang ditunjukkan hanya belang
ringan, namun pada 14 HSI, gejala semakin bertambah berat seiring dengan
pertumbuhan tanaman. Pada fase ini replikasi virus sudah menyebar dengan cepat
dan konsentrasi virus sudah tinggi sehingga ketika tanaman rentan yang terinfeksi,
tanaman tidak mempu menahan laju replikasi virus yang ditunjukkan dengan
perkembangan gejala yang semakin parah dari belang berat sampai malformasi
daun. Pada tahap lanjut, tanaman akan menjadi kerdil dan terjadi kegagalan fungsi
reproduksi. Chiemsombat dan Kittipakorn (1996) menyatakan bahwa keparahan
penyakit pada tanaman tergantung pada kultivar dan waktu infeksi. Karena itulah
pentingnya pemilihan jenis tanaman dan waktu tanam yang sesuai ketika akan
menanam. Kebanyakan petani hanya memilih berdasarkan nilai ekonomi dan daya
produksinya.
IPB C 8
IPBC 521
A
A
IPBC 21
Andalas
B
B
Tanjung
IPBC 20
C
C
IPB C33
IPB C24
D
D
Gambar 4.1 Tipe gejala yang muncul pada beberapa genotipe cabai pada 14 HSI:
(A) Tidak bergejala; (B) Belang ringan; (C) Belang sedang dengan
malformasi daun; (D) Belang berat dengan malformasi daun.
Evaluasi Ketahanan dan Kejadian Penyakit ChiVMV Berdasarkan Hasil
ELISA
Dari hasil pengujian ketahanan tanaman berdasarkan ELISA, tiga genotipe
menunjukkan respon sangat tahan yaitu IPB C521, IPB C1, dan IPB C10, dengan
kejadian penyakit 0-5%; sedangkan IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting
Sumatera menunjukkan respon tahan dengan kejadian penyakit berkisar 13-26 %
(Tabel 4.4).
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga menunjukkan
bahwa PBC 521 sangat tahan terhadap infeksi ChiVMV dengan kejadian penyakit
0% (Latifah 2007; Millah 2007). Pada pengujian ini, deteksi dilakukan dua kali,
dimana uji ELISA pertama dilakukan 1 minggu setelah inokulasi pertama,
sedangkan uji ELISA kedua dilakukan 1 minggu setelah ELISA pertama atau dua
minggu setelah inokulasi pertama. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
apakah pada 7 HSI virus telah berhasil menginvasi sel tanaman; sedangkan
deteksi kedua bertujuan sebagai konfirmasi invasi virus pada sel tanaman.
Pada pengamatan masa inkubasi, gejala awal infeksi ChiVMV muncul pada
5-18 HSI dimana munculnya gejala bervariasi pada masing-masing genotipe.
Genotipe yang paling cepat masa inkubasinya antara lain IPB C99, IPB C33, IPB
C21 dengan masa inkubasi antara 5-9 HSI pertama. Pada cabai paprika Beuty Bell
dan Polaris, gejala baru muncul pada 14 HSI namun gejala yang tampak langsung
terlihat jelas pada semua unit tanaman. Untuk masa inkubasi yang paling lama
muncul pada genotipe IPB C1, Andalas, Taring, keriting Sumatera, IPB C14, IPB
C17, dan IPB C8 dengan masa inkubasi 10-18 HSI. Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin tahan suatu genotipe maka semakin lama masa inkubasi virus.
Tabel 4. 4 Respon 29 genotipe cabai yang diinokulasi dengan ChiVMV
Genotipe Cabai
Cabai Besar
IPB C1
IPB C13
IPB C14
IPB C15
IPB C17
IPB C24
IPB C48
PBC 521
Tanjung
Cabai Keriting
IPB C6
IPB C73
Tegar
Keriting Sumatera
Tornado
Andalas
Cabai Rawit
IPB C8
IPB C10
IPB C60
Tegak
Toro
Taring
Cabai Hias
IPB C20
IPB C21
IPB C33
IPB C55
IPB C81
IPB C99
Cabai Paprika
Beauty Bell
Polaris
Masa
Inkubasi (HSI)*
Kejadian
Penyakit (%)**
Respon
Ketahanan
7
10
7
10
12
1/20 (5,00)
22/23 (95,65)
3/23 (13,04)
14/23 (60,87)
5/23 (21,74)
21/23 (91,30)
9/19 (47,37)
0/23 (0,00)
14/23 (60,87)
Sangat tahan
Sangat rentan
Tahan
Rentan
Tahan
Sangat rentan
Agak rentan
Sangat tahan
Rentan
12
12
10
10
10
15/23 (65,22)
18/23 (78,26)
8/23 (34,78)
6/23 (26,09)
15/17 (88,24)
23/23 (100,00)
Rentan
Sangat rentan
Agak rentan
Tahan
Sangat rentan
Sangat rentan
0
14
12
14
14
4/23 (17,39)
0/23 (0,00)
7/23 (30,43)
18/19 (94,74)
6/17 (35,29)
10/23 (43,48)
Tahan
Sangat tahan
Agak rentan
Sangat rentan
Agak rentan
Agak rentan
7
7
7
10
7
7
22/23 (95,65)
23/23 (100,00)
23/23 (100,00)
19/23 (82,61)
22/23 (95,65)
21/23 (92,30)
Sangat rentan
Sangat rentan
Sangat rentan
Sangat rentan
Sangat rentan
Sangat rentan
7
7
17/20 (85,00)
23/23 (100,00)
Sangat rentan
Sangat rentan
*HSI = Hari setelah inokulasi
**KP= Jumlah tanaman positif ELISA/ Total tanaman yang diuji x 100%
= Tanaman tidak menunjukkan gejala sampai akhir pengamatan
Masa inkubasi merupakan indikator seberapa cepat virus bereplikasi dan
menyebar dari titik inokulasi ke bagian tanaman yang lainnya (Matthews 1991).
Tanaman yang tahan memiliki masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan
tanaman yang rentan. Tanaman yang tahan terhadap virus mampu menghambat
replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan gejala,
sehingga konsentrasi virus di dalam tanaman menjadi rendah (Russell 1981;
Greenleaf 1986; Agrios 1997). Sebaliknya tanaman yang rentan adalah tanaman
yang tidak mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman
yang dicirikan dengan konsentrasi virus yang tinggi dan masa inkubasi atau
munculnya gejala yang cepat. Matthews (1991) selanjutnya menyatakan bahwa
mekanisme ketahanan dalam tanaman dapat berupa penghambatan dalam
penyebaran virus dari: 1) sel yang terinfeksi ke sel sekitarnya (penyebaran antar
sel), 2) sel parenkima ke jaringan pengangkut (penyebaran antar jaringan), dan 3)
jaringan pengangkut ke sel parenkima daun baru (penyebaran antar organ
tanaman).
Untuk mengetahui kejadian penyakit tidak bisa hanya dilakukan dengan
pengamatan secara visual. Dalam hal ini diperlukan konfirmasi lebih lanjut antara
lain dengan uji ELISA. Berdasarkan kriteria respon ketahanan tanaman terhadap
infeksi ChiVMV ditemukan beberapa genotipe yang menghasilkan kejadian
penyakit 0% (Tabel 4.4). Berdasarkan kriteris Dolores (Tabel 4.2), kelompok
tersebut digolongkan memiliki respon sangat tahan. Lebih lanjut pada pengamatan
kejadian penyakit, beberapa sampel tanaman tidak menunjukkan gejala pada
pengamatan gejala 7 HSI dan 14 HSI, namun setelah dikonfirmasi dengan ELISA
menunjukkan bahwa tanaman tersebut positif terinfeksi ChiVMV. Fenomena
tersebut disebut sebagai infeksi virus cryptic (Antoniw et al. 1990). Suatu
kejadian dimana infeksi virus tidak menunjukkan gejala namun masih dapat
menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi. Pada penelitian ini, fenomena itu
ditunjukkan pada genotipe Taring, IPB C6, IPB C15, IPB C60, dan IPB C73.
Kelima genotipe tersebut tidak menampakkan gejala ChiVMV pada pengamatan
gejala di rumah kaca, namun berdasarkan hasil analisis ELISA kelimanya
menunjukkan kejadian penyakit yang cukup tinggi, yaitu 30,43% - 78,26%.
Tujuh genotipe yaitu IPB C521, IPB C1, dan IPB C10 yang memberikan
respon sangat tahan dan genotipe IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting
Sumatera yang menunjukkan respon tahan pada penelitian ini dapat berpotensi
untuk digunakan sebagai tetua tahan pada perakitan varietas cabai tahan ChiVMV
di bidang pemuliaan tanaman.
SIMPULAN
1. Genotipe yang memiliki respon sangat tahan terhadap infeksi ChiVMV
adalah IPB C521, IPB C1, dan IPB C10. Respon tahan ditunjukkan oleh
genotipe IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan Keriting Sumatera. Ketujuh
genotipe tersebut dapat berpotensi digunakan sebagai sumber ketahanan
dalam program pemulian tanaman.
2. Fenomena virus cryptic ditemukan pada genotipe Taring, IPB C6, IPB
C15, IPB C60, dan IPB C73. Kelima genotipe tersebut tidak
menampakkan gejala ChiVMV pada pengamatan gejala di rumah kaca,
namun berdasarkan hasil analisis ELISA kelimanya menunjukkan kejadian
penyakit yang cukup tinggi, antara 30,43 -78,26%. Oleh karena itu perlu
ditentukan metode deteksi yang tepat untuk memastikan respon tanaman
terhadap infeksi ChiVMV.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press
Antoniw JF, White RF, Zie W. 1990. Cryptic viruses of beet and other plant.
Dalam: Fraser RSS (editor) Recognition and response in plant-viruse
interactions, Springer Verlag, Heideberg. pp 273-286.
Chiemsombat P, Kittipakorn K. 1996. Determination isolates of CMV and
CVMV and screening of pepper cultivars for virus resistance. Proceeding
of the AVNET II Midterm Workshop AVRDC, ADB and PCARRD.
Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzymelinked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal of
General Virology 34:475-785.
Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Di dalam: Proceeding if The
AVNET II Final WORKSHOP. Tainan:AVRDC. Hlm. 334 - 342.
Fraser RSS. 1992. The genetics of plant virus interaction implication for plant
breeding. Euphytica 63:175-185.
Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1989. The Biochemistry and Physiology of
Plant Disease. Columbia: University of Missoury Press.
Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. Di dalam: Basset MJ, editor. Breeding
vegetable crops. Connecticut: The AVI Pub.Co.hlm.67 – 134.
Green KS, Huang 1989. Progress report of virology. Shanhua: AVRDC.
Horison C, Rustikawati, Sudarsono. 2003. Screening of 69 hot pepper for
resistance against cucumber mosaic virus by mechanical inoculation,
Capsicum and eggplant Newsletter. 22:111-114.
Hull R. 2002. Matthews Plant Virology. 4th , ed. San Diego: Academic Press.
International Committee on Taxonomy of Viruses. 2002. Chilli veinal mottle
virus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTVdB/57010016.htm [14
Mei 2007].
Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (capsicum annuum l.)
terhadap chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Matthews, R.E.F 1991. Plant Virology. 3
Inc. London.
rd
ed. San Diego: Academic Press,
Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London.
Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi
Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005.
Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle
virus and Chili veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232.
http://www.apsnet.org/phyto/pdfs /2005/PHYTO-95-0227.pdf [13 Mar
2007].
Riyanto A. 2007. Analisis silang setengah dialel cabai (Capsicum annuum L.)
untuk karakter hortikultura dan ketahanan terhadap Cucumber mosaic
virus dan Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana.
IPB.
Russel GE. 1981. Plant Breeding for Pests and Disease Resistance. Studies in the
Agricultural and Food Scieance. Butterworth, London. 465p.
Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi cucumber
mosaic virus dan chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman. Hayati 13:53-57.
Taufik M. 2005. Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus :
karakterisasi isolat cabai dan strategi pengendaliannya [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, IPB.
Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi cucumber mosaic virus
dan chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan
beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152.
Ong CA. 1995. Symptomotic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the
AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
V. RESPON BEBERAPA GENOTIPE CABAI TERHADAP
INFEKSI DUA ISOLAT ChiVMV
ABSTRAK
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan perpindahan dan
replikasi virus di dalam tanaman, antara lain tingkat virulensi virus dan tingkat
ketahanan tanaman yang diinfeksi. Infeksi dua isolat ChiVMV dengan
menggunakan genotipe-genotipe yang diketahui memiliki sifat ketahanan yang
berbeda telah dilakukan. Pada penelitian ini dipilih genotipe yang menunjukkan
respon sangat tahan (IPB C521), tahan (IPB C17), dan sangat rentan (IPB C99)
terhadap ChiVMV. Dua isolat ChiVMV yang digunakan adalah CKB dan BL
yang berturut-turut menunjukkan gejala sangat parah dan lemah pada tanaman
paprika. Kejadian penyakit dan masa inkubasi berdasarkan pengamatan gejala
menunjukkan bahwa IPB C99 merupakan genotipe yang sangat rentan karena
menunjukkan gejala yang jelas pada semua tanaman uji ketika diinfeksi CKB dan
BL. Sebaliknya genotipe IPB C521 tidak menunjukkan gejala hingga akhir
pengamatan. Masa inkubasi ketiga genotipe cabai berbeda untuk masing-masing
isolat ChiVMV. Genotipe yang diinokulasi dengan isolat CKB menunjukkan
masa inkubasi yang relatif lebih singkat yaitu 7-9 HSI dibandingkan dengan
genotipe cabai yang diinokulasi oleh isolat BL yaitu 9-14 HSI. Penentuan titer
virus berdasarkan deteksi serologi DIBA menunjukkan bahwa infeksi ChiVMV
isolat CKB memberikan signal positif yang kuat hingga taraf pengenceran 1 : 106
dengan skor titer virus yang tinggi (5-6). Hal ini menunjukkan bahwa isolat CKB
memiliki kemampuan replikasi lebih baik dari pada isolat BL dalam menginfeksi
tanaman cabai.
Kata kunci : Replikasi,Translokasi, ChiVMV, DIBA
PENDAHULUAN
Virus masuk ke dalam jaringan tumbuhan antara lain melalui luka yang
dibuat secara mekanik atau oleh vektor atau masuk ke dalam ovule bersama
tepung sari yang terinfeksi. Namun virus tidak selalu berhasil masuk dan
menginfeksi jaringan tanaman. lnfeksi tanaman oleh virus hanya terjadi jika virus
mampu memperbanyak diri di dalam sel awal yang terinfeksi dan mampu pindah
dari sel yang satu ke sel yang lain sehingga menyebar secara sistemik di dalam
jaringan tanaman (Mathews 1991). Banyak faktor yang mempengaruhi berhasil
atau tidaknya perpindahan dan replikasi virus diantaranya adalah virulensi virus
dan tingkat ketahanan tanaman yang diinfeksi.
Respon tanaman terhadap infeksi patogen, termasuk virus umumnya
dikelompokkan atas respon imun, tahan, toleran, dan rentan. Fraser (1998)
melaporkan bahwa ketahanan yang imun dicirikan oleh ketidakmampuan virus
untuk bermultiplikasi sehingga gejala tidak terjadi. Tanaman yang tahan terhadap
virus adalah tanaman yang mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di
dalam tanaman atau perkembangan gejala (Russell 1981). Ketahanan ini dapat
diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus
dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel yang lain (Greenleaf
1986; Matthews 1991). Tanaman yang toleran terhadap virus adalah tanaman
yang rentan terhadap infeksi virus tetapi memiliki kemampuan bertahan terhadap
keberadaan
dan
multiplikasi
patogen
yang
dapat
ditunjukkan
dengan
berkurangnya gejala penyakit dan mampu membatasi kehilangan hasil (Keller et
al. 2000). Lapidot et al. (1987) juga menyatakan bahwa kultivar toleran memiliki
kemampuan tanaman untuk sembuh dari infeksi namun tidak mampu membatasi
multiplikasi virus. Selanjutnya Keller
et al. (2000) mendefinisikan tanaman
rentan sebagai tanaman yang tidak mampu mengatasi pengaruh invasi virus.
Respon inang yang rentan dicirikan oleh adanya gejala yang jelas dan replikasi
virus yang tinggi.
Genotipe cabai tahan ChiVMV telah terindentifikasi melalui penelitian
yang dilakukan oleh Millah (2007) dan Latifah (2007). Umumnya penetapan
respon ketahanan tersebut didasarkan pada penampakan gejala dan hasil uji
serologi (ELISA). Evaluasi lebih lanjut mengenai perkembangan ChiVMV pada
jaringan yang terinfeksi menarik untuk diteliti terutama untuk mengetahui
interaksi antara tanaman cabai dengan ChiVMV.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian dilakukan untuk mengetahui respon genotipe IPB C521, IPB
C17 dan IPB C99 terhadap infeksi isolat ChiVMV CKB (Cikabayan, Jawa Barat)
dan BL (Belung, Jawa Timur).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman
IPB, Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB dan di
rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. Penelitian berlangsung
pada bulan November hingga Desember 2008.
Bahan
Isolat ChiVMV yang digunakan adalah isolat CKB asal Cikabayan (Jawa
Barat) dan isolat BL asal Belung (Jawa Timur) hasil survei dan perbanyakan di
rumah kaca Cikabayan (Bab III). Bahan tanaman yang digunakan dalam uji
virulensi adalah 3 genotipe cabai dengan jumlah ulangan 10 tanaman (Tabel 5.1).
Genotipe cabai yang diuji tersebut adalah koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan
Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Metode
Penyemaian Benih
Benih cabai disemai pada baki semai yang telah diisi dengan media tanam
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan masing-masing 1:1
(v/v). Media tanam tersebut sebelumnya disterilisasi pada 150oC selama 5 jam.
Tanaman kemudian dipelihara di rumah kaca kedap serangga dengan
pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian serangga hama.
Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai
Inokulasi dilakukan sebanyak dua kali pada semua genotipe tanaman uji.
Inokulasi pertama dilakukan ketika daun pertama telah membuka penuh (3
minggu), dan inokulasi kedua dilakukan satu minggu setelah inokulasi pertama.
Inokulasi dilakukan secara mekanis seperti diuraikan pada Bab III. Satu minggu
setelah inokulasi kedua dilakukan, daun-daun cabai dipanen dan dikelompokkan
menjadi tiga bagian untuk masing-masing ulangan tanaman yaitu : daun pucuk,
daun muda bergejala dan daun inokulasi (Gambar 5.1) untuk digunakan pada
kegiatan deteksi menggunakan metode DIBA.
Tabel 5.1 Genotipe-genotipe cabai yang digunakan dalam uji respon tanaman
terhadap isolat ChiVMV
No
Genotipe Cabai
1
2
3
IPB C17
PBC 521
IPB C99
Tipe
Buah
Besar
Besar
Hias
Tingkat
Ketahanan
Tahan
Sangat Tahan
Sangat Rentan
Asal Benih
PSPT/AVRDC
PSPT/AVRDC
AVRDC
Respon Tanaman terhadap Infeksi Dua Isolat ChiVMV
Evaluasi terhadap respon ketiga genotipe cabai yang diuji dilakukan
berdasarkan beberapa peubah. Peubah yang diamati adalah indeks penyakit, masa
inkubasi dan skor DIBA untuk menduga titer virus. Indeks penyakit diamati 2
minggu setelah inokulasi kedua berdasarkan jenis gejala (Tabel 5.2). Skor DIBA
ditentukan berdasarkan intensitas signal reaksi pada membran nitroselulosa
(Gambar 5.2).
Tabel 5.2. Penentuan indeks penyakit pada tanaman cabai merah yang terinfeksi
beberapa isolat ChiVMV
Indeks
Gejala
Penyakit
0
Tidak ada gejala
1
Belang ringan
2
Belang sedang, tidak ada malformasi daun
3
Belang sedang, permukaan daun tidak rata dan atau malformasi daun
4
Belang berat, permukaan daun tidak rata dan atau malformasi daun
Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA)
Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997).
Masing-masing daun diambil dari tiga letak daun yang berbeda yaitu: daun pucuk,
daun muda bergejala, dan daun inokulasi (Gambar 5.1). Daun-daun tersebut
ditimbang 0.1 gr dan digerus dalam tris buffer saline (TBS) dengan perbandingan
1:10 (b/v) (TBS: Tris-HCl 0,02 M dan NaCl 0,15M, pH 7,5). Pada penelitian ini
pengenceran sampel tanaman dilakukan dengan pengenceran bertingkat dari 1 : 10
hingga 1: 106. Tahapan dalam metode deteksi DIBA seperti diuraikan pada Bab
III. Setelah deteksi selesai dilakukan intensitas signal DIBA untuk masing-masing
sampel ditentukan mengikuti kriteria yang telah ditetapkan (Gambar 5.2).
A
B
C
Gambar 5.1
Posisi letak daun yang diambil untuk dideteksi dengan metode
DIBA. (A) daun pucuk; (B) daun muda bergejala; (C) daun inokulasi
Signal pada membran
Skor
6
5
4
3
2
1
Gambar 5.2 Penentuan intensitas signal reaksi DIBA pada membran nitroselulosa
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan gejala pada tiga genotipe cabai yang diinokulasi dengan dua
isolat ChiVMV yaitu asal Jawa Barat (CKB) dan Jawa Timur (BL) menunjukkan
respon yang berbeda untuk masing-masing isolat (Tabel 5.3 dan Gambar 5.3).
Tabel 5.3 Kejadian penyakit, indeks penyakit dan masa inkubasi tiga genotipe
cabai setelah diinokulasi dengan lima isolat ChiVMV.
Isolat ChiVMV pada Genotipe Cabai
CKB (Cikabayan, Jawa Barat)
IPB C99
IPB C17
IPB C521
BL (Belung, Jawa Timur)
IPB C99
IPB C17
IPB C521
Kejadian
penyakit1
Rata-rata
Indeks
Penyakit2
Masa
Inkubasi
(Hari)
10/10
4/10
0/10
3,7
0,4
0
7- 9
7- 9
-
10/10
2/10
0/10
3,2
0,2
0
9-14
9-14
-
1
Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan jumlah tanaman yang menunjukkan gejala
dibandingkan dengan jumlah tanaman yang diinokulasi
2
Indeks penyakit ditentukan berdasarkan nilai skoring pada pengamatan gejala secara visual
- Tidak diketahui
Respon genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV dievaluasi berdasarkan
kejadian penyakit, indeks penyakit, dan masa inkubasi. Genotipe IPB C521 tidak
menunjukkan gejala hingga akhir pengamatan. Genotipe IPB C99 dan IPB C17
memberikan respon berbeda bila diinokulasi dengan isolat ChiVMV yang
berbeda. Indeks penyakit pada kedua genotipe tersebut tidak jauh berbeda untuk
perlakuan dua isolat ChiVMV yang berbeda. Walaupun demikian, pada kedua
genotipe tersebut masa inkubasi ChiVMV isolat CKB relatif lebih singkat
dibandingkan masa inkubasi isolat BL. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon
tanaman berkaitan dengan strain virus dan genotipe tanaman. Virus yang memiliki
daya virulensi tinggi, mampu melakukan replikasi dengan cepat di dalam sel
tanaman (Goodman et al. 1986; Russel 1981 ). Hal tersebut ditunjukkan dengan
masa inkubasi yang singkat dan keparahan gejala yang tinggi.
CKB
1
2
3
1
2
3
BL
Gambar 5.3 Gejala yang muncul pada genotipe cabai (14 HSI) yang diinokulasi
ChiVMV isolat Cikabayan (CKB) dan Malang (BL): (1) IPB C99;
(2) IPB C17; (3) IPB C521
Pengamatan pada genotipe rentan (IPB C99) menunjukkan bahwa isolat
ChiVMV CKB asal Cikabayan (Jawa Barat) memiliki tingkat virulensi yang
tinggi dimana masa inkubasi pada tanaman singkat yaitu kurang dari 9 hari,
sedangkan keparahan gejala yang ditimbulkannya tergolong sangat tinggi.
Walaupun demikian, gejala infeksi isolat CKB pada genotipe sangat tahan (IPB
C521) tidak dapat terlihat secara visual. Sekali lagi kejadian tersebut
menunjukkan bahwa keberhasilan infeksi dan munculnya gejala ditentukan oleh
banyak faktor, diantaranya virulensi virus dan ketahanan tanaman inang.
Hasil deteksi dengan metode DIBA menggunakan sampel daun yang
berbeda umurnya memberikan gambaran proses replikasi dan penyebaran virus
dalam jaringan tanaman. Genotipe IPB C99 menunjukkan signal positif yang
sangat kuat (skor 5-6) pada membran ketika diinokulasi dengan isolat CKB
maupun BL. Signal positif ditunjukkan pada tiga bagian daun yang diambil yaitu
daun pucuk, daun muda bergejala dan daun inokulasi. Pada genotipe tersebut,
signal positif masih terdeteksi pada taraf pengenceran 1 : 106 untuk isolat CKB
tetapi hanya terdeteksi pada taraf pengenceran 1 : 103 untuk isolat BL (Gambar 5.4
dan 5.5).
Respon genotipe IPB C17 dan IPB C521 sangat berbeda bila dibandingkan
dengan genotipe IPB C99. Intensitas signal DIBA tidak terlalu jelas (skor 2) dan
hanya nampak untuk sampel daun yang diinokulasi dan daun muda. Hasil
pengujian DIBA pada genotipe IPB C17 dan IPB C521 menunjukkan bahwa virus
mungkin masuk pada luka tempat inokulasi namun virus tidak dapat bereplikasi
dan berpindah ke bagian tanaman yang lainnya sehingga hanya terlokalisasi pada
daun yang diinokulasi. Lemahnya signal yang ditampakkan pada membran
tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang diinokulasi oleh kedua isolat
ChiVMV memiliki tingkat ketahanan yang tinggi sehingga dapat menahan laju
replikasi dan translokasi virus di dalam tanaman seperti yang diuraikan oleh
Russel (1981). Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu
menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan
gejala. Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk
membatasi perkembangan virus dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar
ke sel-sel yang lain (Greenleaf 1986; Matthews 1991). Matthews (1991) juga
menyatakan bahwa mekanisme ketahanan dalam tanaman dapat berupa
penghambatan dalam penyebaran virus dari: 1) sel yang terinfeksi ke sel
sekitarnya (penyebaran antar sel), 2) sel parenkima ke jaringan pengangkut
(penyebaran antar jaringan), dan 3) jaringan pengangkut ke sel parenkima daun
baru (penyebaran antar organ tanaman).
Tabel 5.4 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C99 yang diinokulasi oleh
isolat CKB dan BL*)
Isolat virus dan
Genotipe cabai
CKB
Pucuk
Muda bergejala
Inokulasi
BL
Pucuk
Muda bergejala
Inokulasi
*)
Tingkat Pengenceran
1 : 10
1 : 102
1 : 103
1 : 104
1 : 105
1 : 106
6
6
6
3
4
2
3
3
2
2
2
1
2
1
1
2
1
1
5
5
6
3
4
4
2
3
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Skor DIBA dengan kisaran 1 sampai 6 ditentukan berdasarkan kriteria intensitas signal pada
membran nitroselulosa
Tabel 5.5 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C17 yang diinokulasi oleh
isolat CKB dan BL*)
Isolat virus dan
Genotipe cabai
CKB
Pucuk
Muda bergejala
Inokulasi
BL
Pucuk
Muda bergejala
Inokulasi
*)
Tingkat Pengenceran
1 : 10
1 : 102
1 : 103
1 : 104
1 : 105
1 : 106
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Skor DIBA dengan kisaran 1 sampai 6 ditentukan berdasarkan kriteria intensitas signal pada
membran nitroselulosa
Tabel 5.6 Rata-rata skor DIBA pada genotipe IPB C521 yang diinokulasi oleh
isolat CKB dan BL*)
Isolat virus dan
Genotipe cabai
CKB
Pucuk
Muda bergejala
Inokulasi
BL
Pucuk
Muda bergejala
Inokulasi
*)
Tingkat Pengenceran
1 : 10
1 : 102
1 : 103
1 : 104
1 : 105
1 : 106
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
6
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Skor DIBA dengan kisaran 1 sampai 6 ditentukan berdasarkan kriteria intensitas signal pada
membran nitroselulosa
*C99
1 : 10
A
B
C
1: 100
A
B
C
1: 1000
A
B
C
1: 10000
1: 100000
1: 1000000
C17
C521
K(+)
A
B
C
A
B
C
A
B
C
K (-), Buffer
Gambar 5.4 Hasil deteksi isolat CKB pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB
C521 dengan menggunakan metode deteksi DIBA. (A) Daun pucuk;
(B) Daun muda bergejala; (C) Daun Inokulasi. * = Genotipe cabai
*C99
1 : 10
A
B
C
1: 100
A
B
C
1: 1000
A
B
C
1: 10000
1: 100000
1: 1000000
C17
C521
K(+)
A
B
C
A
B
C
A
B
C
K (-), Buffer
Gambar 5.5 Hasil deteksi isolat BL pada genotipe IPB C99, IPB C17, IPB C521
dengan menggunakan metode deteksi DIBA. (A) Daun pucuk; (B)
Daun muda bergejala; (C). Daun Inokulasi. * = Genotipe cabai
SIMPULAN
1. Pada tiga genotipe cabai uji (IPB C99, IPB C17, IPB C521) masa inkubasi
isolat CKB asal Bogor, Jawa Barat
relatif lebih singkat (7 – 9 hari)
dibandingkan isolat BL asal Malang, Jawa Timur (9 – 14 hari).
2. Indeks penyakit yang disebabkan oleh dua isolat ChiVMV (CKB dan BL)
pada masing-masing genotipe tanaman uji tidak tampak berbeda.
3. Berdasarkan intensitas signal DIBA pada membran nitroselulosa dapat
diketahui bahwa kemampuan virus untuk bereplikasi dan menyebar secara
sistemik ditentukan oleh respon tanaman inang.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of
Plant Disease. Columbia: University of Missouri Press.
Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. Di dalam: Bassett MJ, editor. Breeding
Vegetable Crops. Connecticut: AVI Pub. Co. Inc. hlm 67-134.
Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed. ke-4. San Diego: Academic Press.
Keller B, Feuillet, Messmer. 2000. Genetic of disease resistance. Di dalam :
Slusarenko A, Fraser RSS and van Loon LC (editors), Mechanism of
Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publishers, hlm.101-160.
Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum l.)
terhadap chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Lapidot M, Paran I, Ben-Joseph R, Ben-Harush S, Pilowsky M, Cohen S, Shifriss
C. 1997. Tolerance to cucumber mosaic virus in pepper: Development of
advanced breeding lines and evaluation of virus level. Plant Dis. 81.185188.
Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi
Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological
procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a
single wheat curl mite. Plant Dis 81:250-253.
Matthews REF. 1991. Plant Virology. Ed. Ke-3. New York: Academic Press Inc.
83 hlm.
Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London.
Russel GE. 1981. Plant Breeding for Pest and Disease Resistance. Studies in the
Agricultural and Food Sciences. London: Butterworths. 465 hlm.
Suastika G, Tomaru K, Kurihara J, Natsuki KT. 1996. A cucumber mosaic
cucumovirus isolate from banana mosaic disease in Indonesia. Di dalam:
Biological Control in Sustainable Tropical Agriculture. Nodai Centre for
International Programme. Tokyo University of Agriculture. JSPS-DGHE
Program. Hlm. 60-68
VI. PEMBAHASAN UMUM
Hasil survei lapang yang telah dilakukan membuktikan penyebaran
ChiVMV sangat luas di lapangan. Diagnosis dengan DAS-ELISA menunjukkan
bahwa ChiVMV hampir selalu berada di pertanaman yang diamati meskipun
dengan persentase infeksi penyakit yang berbeda-beda. Sebanyak 135 sampel
bergejala yang dikumpulkan dari 22 lokasi survei menunjukkan 28,88 % sampel
terinfeksi ChiVMV. Distribusi infeksi penyakit pada setiap lokasi survei
menunjukkan hasil yang beragam. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah sampel
yang bereaksi positif dengan antiserum ChiVMV. Persentase sampel yang
memberikan reaksi positif pada masing-masing lokasi survei yaitu: Sumatera
Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan secara
berturut-turut adalah 100%, 0%, 60%, 53,33%, dan 50%. Selain ChiVMV berhasil
juga dideteksi beberapa jenis virus lainnya, yaitu PVY, TMV, CMV dan PMMV.
Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan gangguan OPTK, khususnya
infeksi virus, pada tanaman cabai cukup kompleks.
Sebanyak 135 sampel yang berhasil dikumpulkan dari 22 lokasi survei
selanjutnya didiagnosis dengan metode DAS ELISA. Sampel-sampel yang
memberikan reaksi positif terhadap ChiVMV secara tunggal kemudian
diperbanyak di rumah kaca. Terdapat 13 isolat ChiVMV yang berhasil
diperbanyak di rumah kaca pada tanaman paprika C. annuum var. Grossum. Dari
ketigabelas isolat tersebut selanjutnya dipilih 5 isolat dengan karakterisasi gejala
berbeda yang mewakili masing-masing daerah lokasi survei yaitu isolat CKB
(Cikabayan, Jawa Barat), KRD (Keradenan, Jawa Tengah), TD (Tanah Datar,
Sumatera Barat), BL (Belung, Jawa Timur), PANG (Panggong, Kalimantan
Selatan). Perbedaan gejala yang ditunjukkan oleh kelima isolat tersebut
merupakan suatu tanda adanya keragaman diantara isolat-isolat ChiVMV. Dalam
penelitian ini tidak dilakukan kajian keragaman isolat-isolat ChiVMV tersebut.
Walaupun demikian dari penampakan gejala pada tanaman paprika dan respon
genotipe cabai terhadap infeksi dua isolat ChiVMV (CKB dan BL) tampaknya
menunjukkan bahwa isolat ChiVMV asal Cikabayan (CKB) dapat digolongkan
sebagai isolat yang cukup virulen.
Untuk mendeteksi keberadaan virus pada suatu tanaman dapat dilakukan
melalui metode serologi seperti enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan
dot immunobinding assay (DIBA). Selain menggunakan metode serologi, deteksi
virus tanaman dapat juga dilakukan melalui teknik molekular misalnya dengan
RT-PCR (Rizos et al. 1992; Choi et al. 1999; Nakahara et al. 1999). Tiga metode
deteksi (I-ELISA, DIBA, RT-PCR) yang dievaluasi dalam penelitian ini
memberikan dasar untuk pemilihan metode deteksi ChiVMV yang akan
digunakan.
Serologi merupakan metode yang umum digunakan untuk mendeteksi
bakteri dan virus. Prinsip pengujian tersebut adalah reaksi in vitro antara antigen
dan antibodi. Pengujian cara ini sangat tergantung kepada ketersediaan sejumlah
antibodi yang spesifik untuk patogen sasaran. ELISA sebagai salah satu metode
serologi untuk mendeteksi virus tumbuhan sering digunakan karena memiliki
beberapa kelebihan, diantaranya dapat diandalkan sebagai teknik untuk
mendeteksi sampel dari lapangan, mudah dilakukan, sensitif, akurat, hasil dapat
dikuantifikasikan, dapat dibakukan dengan kit, dan dapat digunakan untuk
menguji sampel dalam jumlah besar. Namun metode ini juga memiliki kelemahan
antara lain: membutuhkan antiserum yang banyak, tidak dapat digunakan untuk
mendeteksi langsung sampel di lapangan, dan tidak mampu untuk mendeteksi
adanya variasi strain patogen yang ada di lapang yang berkembang dengan sangat
cepat dan bersifat spesifik lokasi (Rochapen and Lee 1991).
Selain ELISA, deteksi serologi yang sering digunakan adalah dengan
metode dot blot immunobinding assay (DIBA). Metode DIBA lebih mudah dan
cepat untuk dilakukan serta memerlukan biaya yang relatif lebih murah
dibandingkan dengan metode I-ELISA. Selain memiliki tingkat sensivitas yang
tinggi, metode ini mudah diaplikasikan di lapangan dengan peralatan yang
sederhana. Menurut Somowiyarjo et al. (1997) metode DIBA dapat dimanfaatkan
sebagai sarana diagnosis penyakit tumbuhan yang efektif, karena ekstrak sampel
tanaman dapat bertahan pada membran nitroselulosa dalam jangka waktu 42 hari
pada suhu ruang.
Deteksi virus tanaman yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah
melalui teknik molekular misalnya PCR (Rizos et al. 1992; Choi et al. 1999;
Nakahara et al. 1999). Teknik deteksi RT-PCR merupakan pengembangan dari
metode PCR dengan penambahan enzim reverse transcriptase yang dapat
merubah RNA menjadi cDNA. PCR merupakan teknik yang memiliki kepekaan
yang tinggi dan cepat, serta dapat digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk
untuk mengidentifikasi patogen tanaman. Teknik PCR merupakan teknik yang
memiliki tingkat sensitifitas dan akurasi yang tinggi. Selain itu penggunaan teknik
PCR untuk alat deteksi dapat memberikan hasil dengan lebih singkat (Henson dan
French 1993). Namun metode deteksi dengan RT-PCR memiliki beberapa
kelemahan, antara lain mahal, membutuhkan banyak peralatan, tergantung sekuen
primer yang digunakan serta optimasi reaksi PCR. Disamping itu, amplifikasi
DNA dengan teknik PCR sangat tergantung pada kualitas DNA hasil ekstraksi
yang digunakan, sedikit kontaminasi dapat menyebabkan pita DNA tidak
teramplifikasi (Moury et al. 2005).
Pengujian ketahanan tanaman berdasarkan I-ELISA menunjukkan respon
yang beragam pada 29 genotipe cabai uji. Respon ketahanan yang berbeda-beda
diantara genotipe diduga disebabkan interaksi spesifik antara genotipe cabai
dengan virus. Menurut Agrios (1997), interaksi antara inang dan patogen dapat
bersifat compatible atau incompatible. Pada tanaman inang yang tahan terjadi
interaksi incompatible antara tanaman dan patogen yang menyebabkan patogen
tidak mampu menginfeksi dan penyakit tidak berkembang. Sebaliknya interaksi
compatible terjadi pada tanaman inang yang rentan. Tiga genotipe cabai yang
memberikan respon sangat tahan (IPB C521, IPB C1, dan IPB C10) dan 4
genotipe cabai yang memberikan respon tahan (IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan
Keriting Sumatera) pada penelitian ini berpotensi untuk digunakan sebagai tetua
tahan pada perakitan varietas cabai tahan ChiVMV dalam kegiatan pemuliaan
tanaman untuk mendapatkan varietas cabai yang memiliki sifat tahan ChiVMV
dan berproduksi tinggi.
Pengujian
respon
tanaman
terhadap
infeksi
dua
isolat
ChiVMV
membuktikan bahwa tiap genotipe cabai memberikan respon yang berbeda
terhadap isolat ChiVMV yang berbeda. Genotipe IPB C99 yang bersifat sangat
rentan menunjukkan reaksi positif (signal) yang kuat meskipun diinfeksi oleh
isolat ChiVMV yang kurang virulen (Isolat BL, Jawa Timur) selain itu
berdasarkan kemunculan gejala, IPB C99 menunjukkan masa inkubasi yang
singkat yaitu antara 7 sampai 9 HSI. Reaksi positif pada membran terlihat jelas
pada tiga posisi daun yang berbeda yang menunjukkan bahwa pada genotipe yang
sangat rentan, virus melakukan replikasi dan translokasi dengan cepat sehingga
dalam waktu singkat virus telah berada pada semua bagian tanaman. Sebaliknya,
genotipe IPB C521 yang bersifat sangat tahan menunjukkan signal yang lemah
walaupun diinfeksi oleh isolat ChiVMV yang paling virulen (isolat CKB, Jawa
Barat). Hal tersebut antara lain ditandai dengan masa inkubasi virus yang lama
yaitu antara 9 sampai 14 HSI. Pengujian dengan DIBA menunjukkan signal
positif hanya pada daun yang diinokulasi. Hal tersebut membuktikan bahwa pada
tanaman yang memiliki respon sangat tahan, virus hanya terlokalisasi pada daun
yang diinokulasi dan tidak dapat melakukan replikasi dan translokasi dengan
cepat seperti pada tanaman rentan. Perbedaan masa inkubasi yang terjadi
berkaitan dengan sistem ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dan tingkat
virulensi virus yang menginfeksi. Respon inang yang rentan dicirikan oleh
terjadinya masa inkubasi yang singkat dan adanya gejala yang jelas karena
replikasi virus yang tinggi (Goodman et al. 1986). Virus yang memiliki daya
virulensi tinggi, mampu melakukan replikasi dengan cepat di dalam sel tanaman
(Goodman et al. 1986; Russel 1981 ). Hal tersebut ditunjukkan dengan masa
inkubasi yang singkat dan keparahan gejala yang tinggi.
SIMPULAN UMUM
Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV
yang semakin luas di lapangan. Virus tersebut ditemukan hampir disetiap
pertanaman cabai yang diamati meskipun dengan jumlah tanaman terinfeksi yang
berbeda-beda. Metode I-ELISA, DIBA dan RT-PCR terbukti dapat digunakan
sebagai metode deteksi ChiVMV. Pemilihan metode deteksi yang akan digunakan
dapat disesuaikan dengan tujuan kegiatan. Metode DIBA sangat sesuai untuk
digunakan dalam kegiatan skrining genotipe dalam rangka kegiatan pemuliaan
tanaman untuk mendapatkan varietas tahan ChiVMV. Metode DIBA mampu
mendeteksi ChiVMV sampai batas pengenceran 1 : 1000.
Berdasarkan evaluasi respon ketahanan terhadap ChiVMV didapatkan tujuh
genotipe cabai (IPB C521, IPB C1, dan IPB C10 IPB C8, IPB C17, IPB C14 dan
Keriting Sumatera) yang berpotensi untuk digunakan sebagai sumber ketahanan
dalam program pemuliaan tanaman. Respon ketahanan tanaman ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya genotipe tanaman dan virulensi patogen. Pada
penelitian ini terbukti bahwa virus dapat terlokalisasi pada genotipe tanaman yang
tahan dan virus dapat menyebar secara sistemik dengan cepat pada genotipe
tanaman rentan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. Pedoman Teknologi Budidaya Tanaman Cabe. Direktorat Bina
Produksi Hortikultura, Jakarta.
Abouzid AM, Freitas-Astua J, Purcifull DE, Polston JE, Beckham KA, Crawford
WE, Petersen MA, Peyser B, Patte C, Hiebert E. 2002. Serological studies
using polyclonal antisera prepared against the viral coat protein of four
Begomovirus expressed in Escherichia coli. Plant Dis 86:1109-1114.
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.
Attathom S, Chiemsombat P, Sutabutra T, and Pongpanitanond R. 1990.
Characterization of nucleic acid of Tomato yellow leaf curl virus.
Kasetsart J Nat Sci 24:1-5.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2005.
Kultivar-kultivar Cabai Indonesia. Lembang, Bandung.
Biro Pusat Statistik, 2007. Produksi Tanaman Sayuran dan Buah Buahan di
Indonesia. Jakarta.
Ditjen Hort] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2007a.
Perkembangan
luas
panen
sayuran
tahun
2003-2007.
http://www.deptan.go.id. [28 Desember 2008].
Bos, L.
1990.
Pengantar Virologi Tumbuhan.
Triharso, penerjemah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction
to Plant Virology.
[CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2005. Chilli veinal mottle
virus. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. London: CABI Publish.
Chiemsombat P, Kittipakorn K. 1995. Management of pepper viruses in Thailand.
Di dalam: Shanmugasundaram S, Cabangbang V, editor. Management of
Major Viruses of Pepper. Proceeding on the AVNET II Midterm Workshop
organized by AVRDC, ADB and PCARRD; Los Banos, 21 – 25 Februari
1995. Shanhua, Tainan, Taiwan: Asian Vegetable Research and
Development Center. Publ. no. 95-438. hlm 193-199.
Departemen Pertanian. 2007. Produksi Cabai di Indonesia http://www. deptan.
go.id /bkp/dewan/Labul/Sept.htm [14 Mei 2007].
Duriat, et al, 1996. Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.
Duriat dan Muharam, 2003. Pengenalan Penyakit Penting Pada Cabai dan
Pengendaliannya Berdasarkan Epidemologi Terapan. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Lembang, Bandung.
Henson, J.M., French, R 1993. The Polimerase chain reaction and plant disease
diagnoses. Annu Rev. Pythopathol.
Foster GD, Taylor SC. 1998. Plant Virology Protocols. From virus isolation to
transgenic resistance. New Jersey: Humana Press.
Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1989. The Biochemistry and Physiology of
Plant Disease. Columbia: University of Missoury Press.
Harlow, Lane D. 1999. Using Antibodies. A Laboratorium Manual. New York:
Cold Springer Harbor Laboratory Press.
Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.
International Committee on Taxonomy of Viruses. 2002. Chilli veinal mottle
virus.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTVdB/57010016.htm [14
Mei 2007].
Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum l.)
terhadap chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Mathews, D.M., K. Riley, and J.A. Dodds. 1997. Comparison of detection
methods for citrus tristeza virus in field trees during months of nonoptimal
titer. Plant Dis. 81: 525-529
Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. Academic Press. London
Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi
Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005.
Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle virus
and Chili veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232.
http://www.apsnet.org/phyto/pdfs /2005/PHYTO-95-0227.pdf
[13 Mar
2007].
Prabaningrum L, Moekasan TK. 1996. Hama-hama tanaman cabai merah dan
pengendaliannya. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A,
Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai
Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian: Hlm 48-63.
Pickersgill, B. 1997. Genetic resources and breeding of Capsicum spp. Euphytica
96: 129-133.
Pickersgill, B. 1971. Relationships between weedy and cultivated forms in some
species of chilli peppers (genus Capsicum). Evolution 25: 683-691.
Pickersgill, B. 1988. The genus Capsicum: A multidisciplinary approach to the
taxonomy of cultivated and wild plants. Biol. Zentralbl. 107: 381-389.
Prince, J.P., V.K. Lackney, C. Angeles, J.R. Blauth, M.M. Kyle. 1995. A survey
of DNA polymorphism within the genus Capsicum and the fingerprinting of
the pepper cultivars. Genome 38 (2): 224-231.
Roff M , Ong CA. 1992. Epidemiology of aphid-borne virus disease of chilli in
Malaysia and their management. Proceedings of the conference on Chilli
Pepper production in the Tropics, Kuala Lumpur, 13-14. 1992. MARDIAVRDC, p.130-140.
Riyanto A. 2007. Analisis silang setengah dialel cabai (Capsicum annuum L.)
untuk karakter hortikultura dan ketahanan terhadap Cucumber mosaic virus
dan Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. IPB.
Rojas ME, McLaughlin WA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1993. Use of the generate
primers in the polymerase chain reaction to detect whitefly extract, saliva,
hemolymph, and honeydew. Phytopathol 89: 239-246.
Russel GE. 1981. Plant Breeding for Pests and Disease Resistance. Studies in the
Agricultural and Food Scieance. Butterworth, London. 465p.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Setiawati dan Muharam, 2003. Buku Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman
Terpadu Cabai Merah (Pengenalan dan Pengendalian Hama-Hama Penting
pada Tanaman Cabai Merah). Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Lembang-Bandung.
Siemonsma, J.S, Piluek, K. 1994. Capsicum L. Plant Resources of South East
Asia 8 (Vegetables). PROSEA, Bogor, Indonesia. p. 136-140.
Siriwong P, Kittipakorn K, Ikegami M. 1995. Characterization of chilli veinbanding motle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44.
hlm 718-727
Soh A.C., YAP T.C, Graham, K.M., 1977. Inheritance of resistance to Pepper
Veinal Mottle Virus in Chilli. Phytopathology 67:115-117.
Somowiyarjo S, Sumardiyono YB, Suharno. 1997. Pemanfaatan membrane
nitroselulosa untuk pengiriman antigen uji dalam deteksi TMV dengan
DIBA. J Perlind Tan Indo 1:1-5.
Sudarshana MR, Wang HL, Lucas WJ, Gilbertson RL. 1997. Dynamics of Bean
dwarf mosaic geminivirus cell-to-cell and long distance movement in
Phaseolus vulgaris revealed, using the green fluorescent protein. MPMI
4:277-291.
Taufik M. 2005. Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus :
karakterisasi isolat cabai dan strategi pengendaliannya [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
.
Download