27 UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAH REFORMASI

advertisement
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAH
REFORMASI HUKUM MENUJU PEMERINTAHAN DINAMIS
Laode Rudita *)
Abstrak
By the enactment of Law No. 30 of 2014 on Government Administration, Indonesia has
entered a new phase in the implementation of the government administrative system.
government administrations have tended convoluted, ineffective, inefficient, and
unaccountable, will be change to dynamic governance. This will have a significant
impact, especially in improving the quality of public services.
A.
hanya mencapai 5,70 dengan efektifitas
birokrasi hanya mencapai 5,38.1 Hal ini
dikuatkan dengan publikasi World-wide
Governance Indicator oleh World Bank
2013, yang menunjukkan bahwa sejak tahun
2006 sampai dengan tahun 2012 kinerja
pemerintahan Indonesia cenderung tidak
membaik. Bahkan berdasarkan indikator
efektivitas pemerintahan (government effectiveness), menempatkan Indonesia bersama
Vietnam pada posisi terendah dibandingkan dengan 7 (tujuh) nagara ekonomi
asia lainnya seperti Singapura, India,
Malaysia, Thailand, China, dan Filipina.2
Rendahnya efektifitas pemerintahan tersebut diukur dari rendahnya beberapa variable pendukungnya antara lain rendahnya
kualitas pelayanan publik, SDM aparatur
yang tidak kompeten dan tidak independen, rendahnya kualitas kebijakan, dan
rendahnya komitmen penerapan kebijakan.
Dengan kondisi ini maka keberlangsungan pemerintahan Indonesia masih
jauh dari harapan. Kondisi yang tidak
sebanding dengan tuntutan lingkungan
strategis, seperti perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, globalisasi,
serta harapan masyarakat terhadap kinerja
Pendahuluan
Tantangan global yang dihadapi saat
ini mulai dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang begitu
pesat, ekonomi bebas ASEAN 2015 yang
makin mendekat, sumber daya alam yang
makin terbatas, dan kompleksitas permasalahan lainnya yang makin sulit diatasi,
memaksa negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia harus bersiap diri menghadapinya. Lebih-lebih jika tantangan tersebut muncul diluar prediksi (unpredictable), bagaikan tamu yang tidak diundang, seringkali tuan rumah tidak siap
menyambutnya.
Berbagai penelitian menyimpulkan,
untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan pemerintahan yang mampu bergerak cepat, fleksible, dan dinamis dengan
batasan-batasan norma sebagai cermin dari
tata pemerintahan yang baik (good governance).
Dengan tata pemerintahan bercirikan dinamis ini, Negara akan mampu menghadapi
berbagai perubahan zaman baik yang
predictable maupun unpre-dictable karena
didukung oleh sistem proses dan SDM
yang adaptive.
Lalu bagaimana dengan Indonesia
saat ini? Indonesia Governance Index (IGI)
2012 menunjukan bahwa kinerja tatakelola
pemerintah secara nasional dari skala 10
1
Kemitraan, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan
Pemerintah yang Responsif (Laporan Eksekutif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta 2012, hal. 34
2
World bank, http://info.worldbank.org/governance/
wgi/index.aspx#reports, terakhir diakses pada September 2014.
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
27
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
pemerintah terus berkembang, sejalan
dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.3 Masyarakat menginginkan pelayanan real time dan on time, sementara
pelayanan cenderung berbelit-belit, memakan waktu, dan tidak akuntabel. Pemerintah sebagai unsur pelayanan publik
dituntut lebih kreatif, inovatif, dan cerdas
mengekspresikan mana yang harus dilakukan dengan skala prioritas, serta mampu
membedakan antara yang urgent dan
tidak.4 Dalam situasi ini, Pemerintah tidak
bisa tinggal diam melihat kesenjangan
antara kondisi dan tuntutan strategis
tersebut, karena hanya negara yang memiliki sistem administrasi negara yang efisien dan efektif dapat bersaing dengan
negara-negara lain.
Indonesia harus melakukan perubahan
sistem secara fundamental baik dilevel
mikro maupun makro. Pada level makro,
diperlukan perubahan sistem secara nasional yang salah satu langkahnya yaitu melalui reformasi hukum, yaitu reformasi
yang dilakukan disektor hukum yang
meliputi aspek regulasi, penegakan hukum, dan budaya hukum masyarakat. Perbaikan dibidang regulasi dilakukan dengan
melakukan harmonisasi berbagai peraturan
perundang-undangan dengan mengubah
atau mengganti perundang-undangan yang
overlapping, bertentangan satu dengan
yang lain, atau tidak lagi relevan diterapkan.
Dalam perbaikan ini, satu Undang-Undang yang paling esensial diperlukan adalah Undang-Undang No. 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintah (UU AP).
Rancangan UU AP yang baru saja
disetujui untuk menjadi Undang-Undang
oleh DPR RI pada tanggal 26 September
2014, sangat diperlukan untuk mewujudkan
pemerintahan dinamis. Adapun beberapa
alasan pentingnya UU AP antara lain:
pertama, menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahaan, UU
AP berfungsi sebagai manual book/pedoman pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya mengambil keputusan dan tindakan. Selama ini tidak ada
standar baku bagaimana pemerintah menjalankan kewenangannya, darimana sumber kewenangan tersebut, time frame-nya
dan bagaimana pertanggungjawabannya?
kapan seorang pejabat dapat melakukan
diskresi dan batasan-batasan apa diskresi
itu dilakukan juga tidak jelas. Tidak adanya
standarisasi dalam tata laksana pengambilan keputusan/tindakan administrasi pemerintahan ini mengakibatkan sulitnya mewujudkan kepastian hukum bagi peja-bat
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Kondisi ini berimplikasi pada lambatnya akselerasi pemerintahan karena
pejabat pemerintah seringkali tidak berani
bertindak cepat dalam mengatasi persoalan-persoalan yang memerlukan penyelesaian cepat. Jika tindakan cepat itu dilakukan, yang ada justru mereka rentan
untuk dikriminalisasi karena dianggab
menyalahgunakan wewenang.
Hal ini tidak sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum,5
dimana setiap kebijakan yang dilakukan
pemerintah harus berdasarkan hukum.
Segala tindakan penyelenggara Negara
dan warga Negara harus sesuai dengan
hukum yang berlaku.6 Hukum yang berlaku dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berdasarkan jenis
dan hierarkinya terdiri dari UUDNRI
Tahun 1945; Tap MPR; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Un-
3
Eko Prasojo, Memantapkan Reformasi Administrasi
Untuk Mewujudkan Pemerintahan Demokratis Dan Pembangunan Berkeadilan, Pidato yang disampaikan pada...
4
Muh.Jufri Dewa, Hukum Administrasi Negara
dalam perspektif pelayanan publik, Kendari: Unhalu Press,
2011, Hal. 65
5
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945
6
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional
(Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara 1945), Jakarta: Konstitusi Press, hal. 8
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
28
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
nalisasi maupun melindungi masyarakat
dari keputusan yang menimbulkan kerugian.
Ketiga, Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang baik (AAUP) sebagaimana telah
diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 28
tahun 1999 tentang penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,
dan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, masih
menjadi asas-asas yang bersifat umum
yang perlu dioperasionalkan terutama
dalam ranah administrasi pemerintah.
Tidak ada ukuran tegas kapan seorang pejabat pemerintah telah menerapkan AAUP
dan sebaliknya kapan ia me-langgarnya.
Untuk itu, konkritisasi AAUP tersebut
kedalam norma-norma hukum yang lebih
tegas dan kongkrit menjadi penting sehingga jelaslah bagaimana cara-cara pejabat pemerintah melaksanakan tugasnya
dalam mewujudkan tata pemerintahan
yang baik.
Dari berbagai pentingnya UU AP
tersebut, maka setidak-tidaknya UU ini
memiliki 3 (tiga) tujuan, antara lain:
dang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Propinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten;
Serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.7 Maka
kehadiran UU AP menjadi penting untuk
menjamin kepastian hukum dan meningkatkan akselerasi pemerintahan.
Kedua, UU ini menjadi ketentuan
Materiil Hukum Administrasi Pemerintah.
Jika ditinjau dari sejarah pembentukan
peraturan perundang-undangan, sadar atau
tidak, selama ini kita belum menerapkan
prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan dengan baik. Peraturan
Formil tentang bagaimana cara menegakkan hukum Materiil administasi pemerintah justru lahir lebih dahulu sejak 1986
melalui UU Nomor 5 tahun 1986 dengan
beberapa kali perubahannya. Sementara
itu, peraturan Materiil yang menjadi rambu-rambu pokok administrasi pemerintahannya, justru baru terbentuk dengan
UU AP. Suatu tahapan pemberlakuan
perUUan yang terbalik, anaknya lahir
duluan sebelum bapaknya lahir. Kondisi
ini mengakibatkan Hakim-Hakim peradilan TUN kesulitan dalam mengadili
sengketa administrasi pemerintahan, karena tidak ada ukuran pasti kapan hukum
administrasi itu dilanggar oleh pejabat
pemerintah. Akibatnya yang menjadi tolak
ukur adalah norma kebiasaan dan Yurisprudensi. Maka dengan lahirnya UU
ini, akan memudahkan hakim dalam memberikan keputusan terhadap ada tidaknya
penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan administrasi pemerintah baik
untuk melindungi Pejabat dari kirimi-
1. Meningkatkan kualitas dan akuntabilitas pemerintah;
2. Meningkatkan akselerasi pemerintah; dan
3. Mempererat hubungan warga
masyarakat dengan pemerintah.
Untuk membatasi ruang lingkup
pembahasan, berikut ini akan membahas
dan menguraikan tentang bagaimana UU
AP dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
1.
Meningkatkan kualitas dan akuntabilitas Pemerintah
Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa salah satu penyebab rendahnya
efektifitas pemerintahan Indonesia adalah
disebabkan oleh rendahnya kualitas kebijakan atau peraturan perundang-undangan
yang dibentuk. Banyaknya kebijakan/
7
Lihat Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor
11 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
29
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
peraturan perundang-undangan yang overlapping, disharmoni, saling bertentangan
antara yang satu dengan lainnya, dan tidak
lagi relevan untuk diterapkan, telah menjadi
sekelumit masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas kebijakan di Indonesia.
Pada dasarnya hampir setiap K/L
dan Pemda bertugas melakukan sinkronisasi
atau harmonisasi kebijakan/peraturan
perundang-undangan sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Bahkan DPR/
DPRD dalam fungsinya melakukan pengawasan, budgeting, dan legislasi juga
menyangkut harmonisasi. Namun persoalan
klasiknya adalah tidak adanya koordinasi
yang baik antar instansi tersebut, kewenangan yang tumpang tindih, ego sektoral,
dan faktor terkait lainnya semakin
memperkeruh suasana. Belum lagi kondisi
SDM pemerintah dimana pejabat fungsional yang fokus melakukan sinkronisasi
seperti legal drafter, peneliti, analis kebijakan jumlahnya masih terbatas. Dengan
situasi ini, dapat dikatakan bahwa institusi
yang sudah ada belum memiliki kapasitas
yang memadai untuk menyelesaikan
permasalahan disharmoni kebijakan/peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa solusi yang dapat
digunakan untuk mengatasi persoalan ini,
misalnya membentuk atau memakasimalkan
fungsi lembaga pemerintah yang spesialisasinya melakukan harmonisasi kebijakan/peraturan perundang-undangan, memanfaatkan teknologi informasi dengan
membentuk data based peraturan perundang-undangan yang terintegrasi baik
bidang maupun hirarkisnya, mengubah
tata cara perumusan peraturan perundangundangan yang lebih efektif, efisien, dinamis dan menjamin kualitasnya, dan
melibatkan masyarakat dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan.
Untuk membatasi pembahasan, tulisan ini tidak akan menguraikan satupersatu solusi tersebut tetapi akan ber-
fokus pada pertanyaan bagaimana UU AP
menjamin kualitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah? setidak-tidaknya ada 3
(tiga) langkah yang diterapkan untuk
menjamin kualitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah, antara lain: keputusan
dikeluarkan oleh Pejabat yang Berwenang; setiap keputusan harus menguraikan
dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis
pengambilan keputusan; serta setiap pengambilan keputusan atau tindakan harus
melibatkan masyarakat yang berkepentingan.
Suatu keputusan atau tindakan administrasi pemerintah dapat memiliki implikasi yang luas,8 baik bagi internal
instansi atau eksternal instansi, baik menyangkut individu atau kelompok. Implikasi ini amat ditentukan oleh cakupan
keputusan/tindakan tersebut. Dalam praktik, implikasi ini bisa bersifat menguntungkan atau merugikan subjeknya. Untuk
itu, setiap keputusan/tindakan harus dapat
dipertanggungjawabkan. Salah satu jaminan adanya pertangungjawaban tersebut
adalah bahwa setiap keputusan/tindakan
harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.9
Selama ini, akuntabilitas dari keputusan/tindakan administrasi pemerintah
Indonesia amat rendah diakibatkan oleh
tidak adanya ukuran pasti siapa yang
harus bertanggung jawab dengan terbitnya
suatu keputusan/tindakan. Ketika masyarakat atau individu merasa dirugikan dari
suatu keputusan administrasi pemerintah,
mereka seringkali kebingungan harus
menuntut kemana karena badan/pejabat
8
Keputusan Administrasi Pemerintah yang dimaksud
dalam UU AP adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan Tindakan Administrasi Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan. Lihat Pasal 1
butir 7 dan butir 8 UU AP
9
Lihat Pasal 8 UU AP
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
30
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
yang mengeluarkan keputusan saling lepar
tanggung jawab. Permasalahan ini sering
terjadi terutama disektor perizinan.
Selama ini yang menjadi pedoman
untuk menentukan akuntabilitas keputusan/tindakan administrasi pemerintah hanyalah teori/doktrin-doktrin, dan/atau yurisprudensi. Dengan lahirnya UU AP, secara tegas diatur bahwa untuk menentukana.
pertanggungjawaban atau sah-tidaknya suatu keputusan/tindakan administrasi pemerintah, ditentukan oleh tiga hal, yaitu :10
1. Kewenangan pejabat yang mengeluarkan keputusan/tindakan;
2. Prosedur mengeluarkan atau melaksanakan keputusan/tindakan;
dan
3.Substansi keputusan/tindakan tersebut.
1.
Kewenangan pejabat pemerintah
Sebelum UU AP berlaku, tidak ada
kepastian hukum dari mana sumber kewenangan administrasi pemerintah diperoleh. Jika peraturan perundang-undangan
tidak tegas mengaturnya, maka tidak jelas
dari mana kewenangan tersebut diperoleh?
Batasan-batasan apa kewenangan tersebut
digunakan? Dan bagaimana pertangungjawabannya? Hal ini mengakibatkan sulitnya mengukur dan menentukan akuntabilitas kebijakan pemerintah karena ada
ketidak pastian hukum dalam kewenangan.
Tidak mudah untuk menentukan apakah
suatu keputusan sah atau tidak, karena
persoalan kewenangan.
UU AP menentukan ada 3 (tiga)
cara pejabat pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu: Kewenangan yang diperoleh melalui Atribusi, Kewenangan yang
diperoleh melalui Delegasi, dan Mandat.
Untuk memperjelas 3 (tiga) cara
memperoleh kewenangan tersebut, bagan
di bawah ini akan menguraikan perbedaan
dan persamaannya.
SUMBER KEWENANGAN PEMERINTAH
ARTIBUSI
DELEGASI
MANDAT
Pemberian Kewe- Pelimpahan Kewe- Pelimpahan Kewenangan kepada Ba- nangan dari Badan nangan dari Badan
dan atau Pejabat atau Pejabat Peme- atau Pejabat PemePemerintahan oleh rintahan yang lebih rintahan yang lebih
UUDNRI 1945 atau tinggi kepada Badan tinggi kepada BaUU.
atau Pejabat Peme- dan atau Peabat
rintahan yang lebih Pemerintahan yang
rendah.
lebih rendah.
Syarat kewenangan: Syarat kewenangan: diperoleh apabila:
diatur dalam UUa. diberikan oleh Ba1. ditugaskan
oleh
DNRI 1945 dan/ dan /Pejabat Peme- Pejabat Pemerinatau UU; dan rintahan di lainnya; tahan di atasnya;
merupakan Web. ditetapkan berdas- dan
merupakan
wenang
baru arkan ketentuan- pe- pelaksanaan tugas
atau sebelumnya rauran perUUan; dan rutin.
tidak ada.
c. merupakan Wewea. Plh melaksanakan
nang pelimpahan tugas rutin pejabat
Kewenangan at- atau sebelumnya definitif berhalangan
ribusi tidak dapat telah ada.
sementara; dan
didelegasikan,
b. Plt melaksanakan
kecuali diatur di
tugas rutin pejabat
da-lam UUDNRI
definitif berhalangan
Tahun 1945 dan
tetap.
/atau UU.
3. Penerima Mandat
harus menyebutkan a.n Badan/
Pejabat yang memberikan Mandat.
Tanggungjawab Tanggung jawab Tanggung jawab
Kewenangan
Kewenangan be- tetap pada “pemberada
pada ralih/berada
pada beri” Mandat.
Badan/Pejabat
penerima Dele-gasi.
yang
bersangkutan.
UU AP mengatur dengan ketat sumber
kewenangan badan/pejabat pemerintah.
Jika melihat 3 jenis kewenangan tersebut,
maka pada dasarnya seluruh kewenangan
pemerintah harus tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Kewenangan yang
pertama kali muncul adalah kewenangan
atribusi yang diberikan oleh legislator
melalui Konstitusi atau UU. Kemudian
Konstitusi atau UU tersebut selanjutnya
mengatur apakah kewenangan atribusi itu
bisa didelegasikan atau tidak. Jika bisa
didelegasikan maka pelaksanaannya ditetapkan dalam PP, Perpres, atau Perda.
Pejabat penerima delegasi harus
menggunakan sendiri kewenangan yang
telah didelegasikan. Pendelegasian kembali kewenangan (sub delegasi) hanya bisa
10
Lihat Pasal 52 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 71
ayat (1) UU AP.
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
31
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
dilakukan kalau peraturan perUUan memungkinkan. Dengan ketentuan ini maka
tidak semua kewenangan atribusi dapat
didelegasikan, dan tidak semua kewenangan delegasi dapat disub-delegasikan.
Semua harus secara ketat diatur atau ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Jika peraturan perUUan memungkinkan untuk dilakukannya sub-delegasi, pelaksanannya harus mengikuti mekanisme
yang juga diatur UU, antara lain:
pada perubahan status hukum pada aspek
organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Walaupun hanya menyangkut tugas
sehari-hari dan tidak bersifat strategis,
pelaksanaan mandat bisa saja menimbulkan
permasalahan. Untuk itu, sebagaimana wewenang delegasi, Jika pelaksanaan Mandat
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Pejabat pemberi Mandat dapat menarik kembali Mandat yang
telah diberikan. Dalam hal ini, seorang
pejabat juga harus cermat dan tidak sembarang dalam memberikan mandat kepada
pejabat di bahwahnya. Pejabat dituntut untuk berhati-hati dalam memberikan mandat
karena pertanggungjawaban pelaksanaan
mandat tersebut tetap berada ditangannya.
Dengan jelasnya sumber kewenangan
dan tanggung jawab kewenangan tersebut,
maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dan sejauhmana kewenangan tersebut
dapat dilaksanakan? Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, UU AP
mengatur adanya batasan-batasan kewenangan dan larangan penyalahgunaan wewenang.
Wewenang Badan/Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh 3 (tiga) hal, yaitu:
 dituangkan dalam peraturan sebelum dilaksanakan,
 dilakukan dalam lingkungan pemerintah itu sendiri, dan
 paling banyak diberikan kepada
Badan/Pejabat Pemerintahan 1
(satu) tingkat di bawahnya.
Pengaturan yang begitu ketat ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan
memperjelas pertangungjawaban. Sehingga
dalam praktik akan meminimalisir saling
lempar tanggung jawab antar pejabat pemerintah. Jika kewenangan itu atribusi,
maka pertanggungjawabannya melekat pada
badan/pejabat yang memperoleh wewenang
tersebut. Begitu juga dengan kewenangan
delegasi, pertanggungjawabannya melekat
pada badan/pejabat yang menerima wewenang delegasi.
Berbeda halnya dengan Mandat, pada
dasarnya atasan pejabat dapat memberikan
mandat kepada bawahan kecuali peraturan
perundang-undangan melarang atau tidak
memungkinkan. Mandat diperoleh dari sumber kewenangan atribusi atau delegasi. Pertanggungjawaban pelaksanaan mandat tidak
beralih ke penerima mandat melainkan tetap
berada pada pemberi mandat. Oleh karena
itu, Mandat hanya dapat diberikan terkait
dengan pelaksanaan tugas rutin atau tugas
sehari-hari dan penerima mandat tidak
berwenang mengambil keputusan/tindakan
yang bersifat strategis yang berdampak
a. masa atau tenggang waktu wewenang (menyangkut batas waktu);
b. wilayah atau daerah berlakunya
wewenang (menyangkut teritorial); dan
c. cakupan bidang atau materi wewenang (menyangkut ling-kup
substansi).
Badan/Pejabat Pemerintahan yang
melewati atau keluar dari batas-batas kewenangan tersebut tidak dibenarkan mengambil keputusan/tindakan administrasi pemerintah. Jika pejabat melanggar batasan
tersebut maka terjadilah penyalahgunaan
wewenang. Penyalahgunaan wewenang ter-
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
32
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
sebut meliputi 3 (tiga) bentuk yaitu:
melampaui wewenang, mencampuradukkan
wewenang, atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Dikategorikan melampaui wewenang
apabila keputusan/tindakan yang dilakukan:
a.melampaui masa jabatan atau batas
waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
diuji terlebih dahulu pembatalannya oleh
atasan pejabat atau pengadilan. Bersama
dengan itu, atasan pejabat dan pengadilan
tersebut juga menentukan konsekuensi
hukum selanjutnya.
2.
Konflik Kepentingan
Selain kewenangan badan/pejabat
pemerintah, sah-tidaknya suatu keputusan/
tindakan administrasi pemerintah juga
ditentukan oleh prosedur yang dilalui dalam mengeluarkan keputusan. Dalam hal
ini, pejabat pemerintahan sesuai dengan
kewenangannya wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur (SOP) pembuatan keputusan. SOP tersebut tertuang dalam pedoman umum pembuatan keputusan pada
setiap unit kerja pemerintahan yang wajib
diumumkan kepada publik melalui media
cetak, media elektronik, dan media lainnya.
Untuk menjamin bahwa setiap keputusan dikeluarkan dengan prosedur yang
benar, maka dalam pengambilan keputusan tersebut juga tidak boleh ada konflik
kepentingan, yaitu kondisi dimana pejabat
pemerintahan memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri
dan/atau orang lain dalam penggunaan
wewenang sehingga dapat mempengaruhi
netralitas dan kualitas keputusan/tindakan
yang dibuat atau dilakukannya.
UU AP melarang pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik
kepentingan untuk menetapkan/ melakukan Keputusan/Tindakan administrasi. Jika pejabat sebagaimana dimaksud memiliki konflik kepentingan, maka keputusan/tindakan ditetapkan atau dilakukan
oleh Atasan Pejabat atau pejabat lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud terdiri atas:
Sedangkan kategori mencampuradukkan wewenang apabila suatu keputusan/tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang
diberikan; dan/atau bertentangan dengan
tujuan wewenang yang diberikan.
Sedangkan dikategorikan bertindak
sewenang-wenang apabila keputusan/tindakan yang dilakukan: tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan tetap.
Keputusan/tindakan yang dilakukan
dengan melampaui wewenang dan/atau
secara sewenang-wenang, akibat hukum
dari keputusan tersebut “tidak sah” setelah
diuji dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Keputusan/tindakan yang dilakukan dengan mencampuradukkan wewenang, akibat hukum dari
keputusan tersebut “dapat dibatalkan” setelah telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Keputusan yang “tidak sah” diartikan sebagai keputusan yang dianggap
tidak pernah ada karena dikeluarkan oleh
pejabat yang tidak berwenang. Sehingga
akibat yang ditimbulkan dari keluarnya
keputusan tersebut, harus dikembalikan ke
kondisi semula sebagaimana kondisi
sebelum keputusan dikeluarkan. Sedangkan keputusan yang “dapat dibatalkan”
diartikan sebagai keputusan yang perlu
a. Presiden bagi menteri/pimpinan
lembaga dan kepala daerah;
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
33
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
b. menteri/pimpinan lembaga bagi pejabat di lingkungannya;
c. kepala daerah bagi pejabat daerah;
dan
d. atasan langsung dari Pejabat Pemerintahan.
tusan atau tindakan yang ditetapkannya.
Bagaimana jika pejabat pemerintah
tidak mengindahkan ketentuan ini dan
pengambilan keputusan/tindakan administrasi pemerintah dilakukan dengan adanya
konflik kepentingan? Maka ada 2 (dua)
konsekuensi yang dikenakan: pertama,
pejabat yang mengeluarkan keputusan.
Pejabat yang bersangkutan dikenakan
sanksi administrasi berat. Sesuai dengan
Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) UU
AP, sanksi administrasi berat sebagaimana
dimaksud, yaitu:
a. pemberhentian tetap dengan atau
tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; atau
b. pemberhentian tetap dengan atau
tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta
dipublikasikan di media massa.
Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud terjadi apabila dalam menetapkan/
melakukan keputusan atau tindakan dilatarbelakangi adanya kepentingan pribadi
atau bisnis, hubungan dengan kerabat dan
keluarga, hubungan dengan wakil pihak
yang terlibat, hubungan dengan pihak yang
bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang
terlibat, hubungan dengan pihak yang
memberikan rekomendasi terhadap pihak
yang terlibat, atau hubungan dengan pihakpihak lain yang dilarang oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Selain itu, upaya untuk menghindari
terjadinya konflik kepentingan tersebut
juga perlu melibatkan peranan masyarakat. Dalam hal ini, warga masyarakat
berhak melaporkan atau memberikan keterangan adanya dugaan konflik kepentingan
dalam menetapkan/melakukan keputusan
atau tindakan administrasi. Laporan atau
keterangan masyarakat tersebut disampaikan kepada Atasan Pejabat yang mengeluarkan keputusan. Agar laporan tersebut
tidak bersifat fitnah, maka pelapor yang
bersangkutan perlu mencantumkan identitas jelas dan melampirkan bukti-bukti
terkait. Atasan Pejabat yang menerima
laporan, wajib memeriksa, meneliti, dan
menetapkan keputusan terhadap laporan
atau keterangan pelapor paling lama 5
(lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan atau keterangan tersebut.
Jika terbukti terdapat konflik kepentingan, maka atasan pejabat wajib menetapkan atau melakukan keputusan/tindakan
tersebut. Kemudian atasan pejabat yang
mengeluarkan keputusan menjamin dan
bertanggung jawab terhadap setiap kepu-
Kedua, terhadap keputusan/tindakan
yang dilakukan. Keputusan yang ditetapkan
atau dilakukan karena adanya konflik kepentingan dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan artinya keputusan tersebut perlu diuji
terlebih dahulu oleh pengadilan apakah
perlu dibatalkan atau tidak. Dengan pengujian oleh pengadilan tersebut, maka maka
akibat hukum kemudian dengan pembatalan juga akan ditentukan oleh pengadilan, apakah keputusan tersebut dicabut,
diubah, atau di...
3.
Dasar Dikeluarkannya Keputusan
Untuk memastikan bahwa substansi
setiap keputusan yang diterbitkan pemerintah sesuai dengan tujuan dikeluarkannya
keputusan, Pasal 55 UU AP menyebutkan
bahwa Setiap Keputusan harus diberi
alasan pertimbangan yuridis, sosiologis,
dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan. Pertimbangan yuridis
yaitu landasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum kewenangan badan/pejabat
yang mengeluarkan keputusan dan dasar
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
34
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
hukum substansi dikeluarkannya keputusan. Dengan pertimbangan ini maka setiap keputusan yang dikeluarkan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perun-dang-undangan atau kebijakan lainnya
dan dikeluarkan sesuai dengan kewenangan. Yang dimaksud dengan pertimbangan sosiologis yaitu landasan yang
menjadi dasar manfaat bagi masyarakat
dengan dikeluarkannya keputusan, apa
pengaruh dikeluarkannya keputusan tersebut bagi warga masyarakat atau individu.
Dengan pertimbangan ini, maka pada dasarnya setiap keputusan harus memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan
hanya memberikan manfaat bagi individu
atau golongan tertentu. Sedangkan yang
dimaksud dengan pertimbangan filosofis
yaitu landasan yang menjadi dasar kesesuaian antara keputusan dengan tujuan
penetapan keputusan tersebut. Dengan
adanya pertimbangan filosofis maka setiap
keputusan dikeluarkan harus memiliki
tujuan jelas yang ingin dicapai atau dituju,
bukan keputusan tanpa tujuan yang jelas
atau untuk melaksanakan kegiatan fiktif.
Ketentuan ini secara tidak langsung
menegaskan bahwa pejabat pemerintah
tidak dibenarkan untuk mengeluarkan
keputusan hanya semata-mata untuk memenuhi keinginan/kebutuhannya. Pejabat
pemerintah tidak dibenarkan mengeluarkan
keputusan dengan sembrono atau sematamata mengikuti hawa nafsunya. Ketentuan
ini memberikan batasan atau larangan
bagi keputusan yang dikeluarkan tanpa
alasan atau dasar yang jelas.
Jika suatu keputusan dikeluarkan
tanpa alasan yuridis, sosiologis, dan filosofis tersebut, atau tanpa alasan yang
terperinci, maka keputusan tersebut dapat
dicabut atau dibatalkan baik oleh pejabat
yang mengeluarkan keputusan, atasan
pejabat, ataupun perintah pengadilan.
Meningkatkan Akselerasi Pemerintahan
Kalau kita berurusan dengan pemerintah sering kita menghadapi permasalahan yang serupa, yaitu prosedur yang
terkesan lambat, berbelit-belit, dan menyita waktu. Untuk mengurus hal-hal kecil
atau sederhana saja, kita harus mengerahkan energi yang besar. Namun dengan
lahirnya UU AP, dengan penerapan konsisten maka keluhan-keluhan di lingkungan birokrasi ini seharusnya tidak terjadi
kembali. Pejabat pemerintah dapat mengeluarkan keputusan atau mengambil tindakan cepat dan segera walaupun peraturan
perundang-undangan tidak mengatur atau
memberikan pilihan. UU AP memberikan
batasan-batasan yang jelas mengenai tata
cara, syarat, dan akibat hukum penggunaan diskresi. Pengadministrasian dapat
dilakukan dengan cepat tanpa kehadiran
pejabat yang berwenang, pengambilan keputusan tidak lagi harus menggunakan
kertas dan tinta basah yang berlebihan,
karena relatif seluruhnya dapat dilakukan
dengan menggunakan teknologi informasi.
Sehingga tuntutan/permohonan warga masyarakat dapat ditindaklanjuti dengan segera.
1.
Diskresi
Melalui mekanisme yang standar dan
rambu-rambu yang jelas dalam penggunaan
diskresi, pejabat tidak perlu ragu mengambil
tindakan cepat meskipun ada kekosongan
hukum, perundang-undangan tidak mengatur dengan tegas/jelas, atau peraturan hanya
memberikan pilihan. Langkah-langkah kreatif dan inovatif untuk merespon tuntutan
masyarakat dapat dilakukan tanpa menyalahgunakan wewenang.
Selama ini, dalam praktek administrasi pemerintahan tidak ada ukuran jelas kapan seorang pejabat dapat melakukan diskresi dan kapan diskresi tidak
dapat dilakukan. Menurut Back Law Dictionary, diskresi diartikan sebagai the
power of free decision-making. An Indi-
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
35
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
vidual power to make desition without
anyone else’s advice or consent.11 Diskresi sering kali disamakan dengan freies
Ermessen yang diartikan sebagai kewenangan bebas.12 Akibatnya penggunaannya
justru disasalahgunakan (abuse), pejabat
seringkali memanfaatkan kekosongan
hukum untuk melanggengkan kekuasaannya.
Konsep freies Ermessen tidak sesuai untuk diterapkan di negara hukum yang memandang hukum sebagai panglima. Oleh
karenanya Diskresi tidak dapat digunakan
tanpa batas, UU AP memberikan batasanbatasan penggunaan diskresi yaitu: Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan yang berwenang. Setiap penggunaannya harus sesuai dengan tujuan,
AUPB, alasan2 objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan itikad
baik (tidak didasarkan pada kebebasan
bertindak). Diskresi meliputi pengambilan
keputusan dan/atau tindakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang memberikan suatu pilihan; tidak mengatur; tidak lengkap atau tidak jelas; dan
pengambilan keputusan dan/atau tindakan
karena adanya stagnasi pemerintahan guna
kepentingan yang lebih luas. Dengan pengaturan ketat seperti ini, maka menutup
kemungkinan penyalahgunaan kewenangan
dengan mengatas namakan diskresi.
2.
atau disampaikan dengan memanfaatkan
media elektronik. Untuk menyingkat waktu
dan menghindari penggunaan kertas yang
berlebihan, Keputusan berbentuk elektronis dapat menggantikan keputusan tertulis.
Kekuatan hukum antara keputusan berbentuk elektronis sama dengan keputusan
yang tertulis. Bahkan jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka yang berlaku adalah keputusan dalam
bentuk elektronis. Namun untuk menjamin kepastian hukum, jika terjadi permasalahan dimana terdapat perbedaan antara keputusan dalam bentuk elektronis
dan tertulis, maka yang berlaku adalah
yang tertulis. Dan kedepan tidak menutup
kemungkinan, keputusan yang mengakibatkan pembebanan keuangan negara
juga dapat diterbitkan dalam bentuk
elektronis.
Mempererat Hubungan Warga Masyarakat dengan Pemerintah
Dengan lahirnya UU AP, relasi antara pemerintah dan masyarakat akan
semakin kuat. Sesuai dengan prinsip
transparansi dalam good governance, Business process pengambilan keputusan dilakukan dengan transparan baik untuk
mencegah konflik kepentingan dan meningkatkan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan warga masyarakat wajib dilakukan baik sebelum maupun sesudah keputusan ditetapkan. Pejabat pemerintah wajib memberikan kesempatan kepada warga
masyarakat yang berkepentingan untuk
didengar pendapatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum keputusan yang menimbulkan pembebanan warga ditetapkan, pejabat
pemerintahan wajib melakukan sosialisasi
kepada pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait
Pemanfaatan ICT dalam menetapkan keputusan elektronik
Selain itu untuk mengatasi inefisiensi
administrasi pemerintahan, UU AP mendorong
pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintah. Proses administrasi akan lebih cepat, efektif, dan efisien,
tidak harus menunggu pejabat pemerintah
berada ditempatnya, keputusan dapat dibuat
11
Black’s Law Dictionary, Thomson West, Eight
Edition, 2004
12
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014, hal. 169
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
36
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
rokrasi. Pejebat pemerintah dituntut untuk
peka, responsif, dan proaktif terhadap
kebutuhan dan tuntutan warga masyarakat. Pejabat tidak untuk dilayani, melainkan melayani warga masyarakat. Mereka
harus segera merespon permohonan warga, karena jika tidak maka dianggap pejabat yang bersangkutan telah mengeluarkan keputusan menerima permohonan
warga tersebut. Pejabat yang bersangkutan
akan menanggung segala akibat hukum
dan resiko dari sifat pasifnya terhadap
permohonan warga.
Prinsip fiktif positif ini tidak hanya
berlaku terhadap permohonan warga masyarakat dibindang perizinan, pelayanan
publik, dan sebagainya, tetapi juga dalam
hal upaya administrasi. Yaitu terhadap keberatan dan/atau banding warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan dikelurkannya keputusan/tindakan pemerintah.
Dalam hal Badan/Pejabat Pemerintahan
tidak menyelesaikan keberatan dan/atau
banding yang diajukan warga masyarakat
yang merasa dirugikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka keberatan/
banding tersebut dianggap dikabulkan.
untuk didengar pendapatnya dan untuk
melakukan klarifikasi dengan pihak yang
terkait secara langsung.
Sesudah keputusan ditetapkan, Masyarakat tidak perlu bingung untuk menggunakan haknya menuntut/keberatan ketika
suatu keputusan/tindakan pemerintah dianggap merugikan, karena complain handling mechanism terhadap keputusan juga
tertata dengan time frame dan alur yang
jelas. Selama ini, tidak ada ketentuan yang
pasti mengatur dimana keberatan terhadap
keputusan harus diajukan, dan tidak ada
waktu yang jelas kapan dan berapa lama
keluhan/keberatan tersebut harus diselesaikan. Akibat tidak efektifnya upaya administrasi ini, mau-tidak mau warga masyarakat langsung mengajukan gugatan ke
pengadilan. Kondisi ini menunjukkan bahwa warga masyarakat seringkali dalam
posisi yang lemah ketika berhadapan dengan pemerintah. Dengan mekanisme dan
waktu-waktu yang jelas dalam upaya administrasi, akan mengoreksi hubungan
masyakarat dengan pemerintah menjadi
lebih seimbang.
Untuk meningkatkan akselerasi pemerintah, UU AP menganut prinsip fiktif
positif, dimana jika tidak ada keputusan
pemerintah atas suatu permohonan warga
masyarakat, maka dianggap sama dengan
adanya keputusan yang menerima permohonan warga tersebut. Hal ini berbeda
dengan UU PTUN yang menganut prinsip
fiktif negatif, yaitu jika tidak ada keputusan atas permohonan warga masyarakat,
maka dianggap permohonan tersebut ditolak. Dengan pengaturan ini, mengakibatkan pemerintah tidak peka dan
seringkali acuh terhadap permohonan/
tuntutan masyarakat.
Perubahan dari prinsip fiktif negatif
menjadi fiktif positif, secara tidak langsung akan memicu perubahan kultur bi-
Penutup
Undang-Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintah
yang baru saja ditetapkan pada tanggal 26
September 2014, menjadi landasan hukum
untuk mewujudkan tata administrasi pemerintahan yang baik. Sebagai pedoman
bagi pejabat pemerintah dalam menjalankan tugasnya, UU ini akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan kebijakan yang diterbitkan. Melalui mekanisme
dan rambu-rambu yang jelas dalam
penggunaan diskresi, pejabat dapat mengambil tindakan cepat meskipun ada kekosongan hukum atau perundang-undangan
tidak mengatur dengan tegas/jelas. Langkah-langkah kreatif dan inovatif untuk
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
37
Jurnal Hukum ‘Inkracht’, Volume I, Nomor 1, Nopember 2014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOROBUDUR
responsif terhadap tuntutan lingkungan
strategis.
merespon tuntutan masyarakat dapat dilakukan tanpa menyalahgunakan wewenang.
Untuk meningkatkan akselerasinya,
UU AP merubah prinsip fiktif negatif
yang selama ini diantu oleh UUPTUN
menjadi prinsip fiktif positif. Dengan
ketentuan ini, pejebat pemerintah dituntut
untuk peka, responsif, dan proaktif
terhadap permohonan dan tuntutan warga
masyarakat.
UU AP mendorong pemanfaatan
teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintah. Proses administrasi akan
lebih cepat, efektif, dan efisien, tidak harus menunggu pejabat pemerintah berada
ditempatnya, karena keputusan dapat dibuat atau disampaikan dengan memanfaatkan media elektronik. Keputusan
berbentuk elektronis dapat menggantikan
keputusan tertulis. Kekuatan hukum antara keduanya sama, bahkan jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka yang berlaku adalah keputusan berbentuk elektronis.
Relasi antara pemerintah dan masyarakat juga akan semakin kuat. Keterlibatan
masyarakat harus sudah dimulai sejak
dalam proses membuat keputusan. Masyarakat tidak lagi harus bingung untuk
menuntut kemana, karena complain handling mechanism terhadap keputusan yang
merugikan juga tertata dengan time frame
dan alur yang jelas. Kondisi ini akan
mengoreksi kedudukan masyakarat yang
selama ini lemah ketika berhadapan dengan pemerintah.
Berbagai perubahan ini dimaksudkan
tidak saja untuk memperbaiki struktur dan
proses administrasi, tetapi juga untuk
merubah budaya hukum, sikap mental dan
pola pikir aparatur sipil negara agar lebih
DAFTAR PUSTAKA
Black’s Law Dictionary, Thomson West,
Eight Edition, 2004
Eko Prasojo, Memantapkan Reformasi
Administrasi Untuk Mewujudkan
Pemerintahan Demokratis Dan
Pembangunan Berkeadilan, Pidato
yang disampaikan pada ….
Janedjri
M.
Gaffar,
Demokrasi
Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara 1945), Jakarta: KonstItusi
Press, 2011
Kemitraan, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintah yang Responsif (Laporan Eksekutif Indonesia Governance Index 2012),
Jakarta 2012
Muh.Jufri Dewa, Hukum Administrasi
Negara dalam perspektif pelayanan publik, Kendari: Unhalu Press,
2011
Ridwan, Hukum Administrasi Negara,
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014
World
bank,
http://info.worldbank.org/governa
nce/wgi/index.aspx#reports,
terakhir diakses pada September
2014.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintah
*) Laode Rudita
Dosen Program Doktor lmu Hukum Universitas Borobudur
38
Download