BAB IX HUKUM ISLAM Kompetensi Dasar Setelah membaca dan mengikuti kuliah pada bab ini, taruna diharapkan dapat : 1. Menjelaskan pengertian hukum Islam 2. Menjelaskan pengertian ilmu fiqih 3. Menjelaskan pengertian hukum fiqih 4. Menjelaskan ruang lingkup hukum Islam 5. Menjelaskan tujuan hukum Islam 6. Menjelaskan ciri-ciri hukum Islam 7. Menjelaskan sumber hukum Islam dan acuannya 8. Menjelaskan Al Quran sebagai sumber hukum Islam dan karakternya 9. Menjelaskan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan acuannya 10. Menjelaskan Ijtihad dan macam-macamnya 11. Menjelaskan fungsi dan tujuan ukum Islam dalam kehidupan masyarakat A. Pengertian-Pengertian Dasar Secara umum, hukum dapat didevinisikan sebagai peraturan yang dibuat oleh penguasa atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat; undang-undang, untuk mengatur pergaulan hidup manusia; patokan atau kaidah mengenai suatu peristiwa; keputusan yang ditetapkan oleh hakim. Yang disebut penguasa dalam kaitannya dengan hukum adalah Tuhan, Utusannya (Nabi dan Rasul), para penguasa yang berwujud manusia seperti sulthan, khalifah, dan Raja dalam Negara yang system pemerintahannya monarchi. Presiden, Perdana Mentri, MPR, DPR, dalam system pemerintahan republic memeliki wewenang menciptakan hukum atau perundang-undangan. Para ulama mujtahid berhak menemukan sesuatu hukum tertentu melalui ijtihad terhadap benda, hal, atau peristiwa dari segi halal, haram, makruh, sunnah, atau mubahnya. Hukum Islam juga dapat didevinisikan sebagai aturan, patokan, kaidah undangundang yang berasal dari Islam untuk kehidupan manusia secara menyeluruh. Hukum ini hanya berlaku di dalam Islam, meskipun hukum Islam ini memuat sikap dan ketentuan hukum tentang sesuatu di luar Islam, contohnya adalah “wajib melindungi keselamatan kafir dhimmi, orang non muslim yang tidak memusuhi Islam berada di wilayah kekuasaan Islam (ad-daar al-Islam). Dalam literatur Islam ada dua macam dasar hukum Islam, yaitu : a. Syariah Syariah, arti dasarnya adalah menuju air. Air adalah simbol kehidupan, artinya setiap manusia memerlukan syariah untuk melangsungkan kehidupannya. Syariah mengatakan bahwa ‘Wa laa taqrabuu az-ziina innahuu kaana faahisyatan wa saa a sabiila (Janganlah kamu sekalian dekat-dekat dengan perzinaan karena (zina) itu sejelek-jeleknya cara hidup, – QS. Al-Isra’/17: 32). Pelarangan zina dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup. Jika zina tidak dilarang, orang melakukan semua, pasti semua terkena penyakit yang mematikan Hukum Islam - 129 - - 130 - Hukum Islam seperti firus HIV-AIDS. Jika firus ini mewabah secara universal, dalam tempo yang singkat tentu manusia habis binasa karena tidak bisa melakukan regenerasi biologis. Syariah juga diartikan peraturan dari Allah dan Rasulullah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, mausia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan alam semesta. Contoh hubungan antara manusia dengan Tuhan adalah shalat, berdoa, berzikir. Dalam berdoa umpamanya, manusia mengadu akan kesulitan hidupnya, mengharapkan belas kasihan-Nya, memohon tidak terkena nasib sial. Kegiatan ini dilakukan di malam hari, di tempat yang sunyi, sambil menangis karena berbagai perasaan yang semuanya dalam kadar maksimal. Contoh syariah mengenai hubungan antara sesama manusia adalah sillaturrahim dan tolong-menolong dalam urusan kebaikan dan ketakwaan atas dasar pelaksanaan perintah “. . .Ta’aawanuu ‘ala al-birri wa at-taqwaa . . (Tolong-menolonglah kamu dalam urusan kebaikan dan ketakwaan . . QS. Al-Maidah/5: 2). Contoh syariah hubungan manusia dengan alam semesta adalah larangan berbuat kerusakan di muka bumi: “Walaa tufsiduu fi al-ardli ba’da ishlaahihaa . .(janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di bumi ini sesudah tertata dengan baik . . . QS. Al-A’raf/7: 56). Syariah merupakan aturan yang mutlak benar tidak bisa dan tidak boleh diubah, dan diterima manusia atas dasar iman untuk dilaksanakan. Sekali Allah berfirman “Qul Huwallaahu Ahad” Selamanya demikian, tidak boleh ditambah umpama Qul Huwallaahu Ta’aala Aghad) atau dikurangi umpama Huwallaahu Ahad, dan tidak boleh pula diganti terjemahannya dalam bahasa apa pun umpama “Katakan olehmu Hai Muhammad bahwa Dia itu Esa” sebagai firman Allah. Ungkapan ini hanya boleh dikatakan firman Allah yang artinya “Katakanlah olehmu Hai Muhammad bahwa Dia itu Esa”. b. Fiqih Kata ‘fiqih’ berasal dari kata ‘faqaha’ yang berarti paham atau mengerti. Kumpulan pemahaman sistematis terhadap peraturan-peraturan Allah disebut Ilmu Fiqih. Bagaimana sebenarnya korelasi antara syariah dengan ilmu fiqih ? Pada abad I-II H, syariah identik dengan fiqih, identik pula dengan ad-din, yakni agama itu sendiri. Pengertian semacam ini dapat dirujuk pada firman Allah sebagai berikut: Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” …. (QS. AtTaubah : 122) Potongan ayat “liyatafaqqahuu fi ad-diin” inilah yang menunjukkan fiqih identik dengan agama. Atas dasar perkembangan ilmu, pada abad akhir II H dan seterusnya Ilmu fikih merupakan salah satu bagian dari syariah, sejajar dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu Hukum Islam - 131 - kalam, hadits, tafsir, dan ilmu akhlak. Ilmu fiqih mengkhususkan pada aturan perilaku manusia dipandang dari salah satu lima putusan hukum (ahkaam al-khamsah), yaitu: wajib, sunnah, mubah atau halal, haram, dan makruh. Setelah seseorang mengaku memeluk Islam dengan inisiasi atau credo, yaitu mengucapkan syahadad, kapan pun ia tidak terlepas dari kontrol hukum yang lima: haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah tersebut. Dia tidak pernah netral atau berada di luar kawasan Islam. Dalam sehari semalam, seorang muslim pasti keluar masuk pada salah satu putusan hukum yang lima itu. Sebaiknya, dan mestinya begitu, ia senantiasa berada di bilik pelaksanaan wajib dan sunnah. Sekuat mungkin jangan berada dalam bilik haram dan makruh, artinya jangan berbuat sesuatu yang hukumnya haram atau makruh. Banyak Ulama’ Mu’tazilah yang mengatakan bahwa orang yang senantiasa gemar berbuat yang makruh juga menjadi dosa alias haram. Karenanya akan merugi besar kalau seseorang terlalu lama berada di bilik hukum haram karena akibatnya adalah dosa yang berlanjut pada azab atau siksaan: siksa dunia, siksa kubur, dan siksa akhirat. Sebaliknya tentu akan beruntung besar jika seseorang tidak mau memasuki bilik haram karena kompensasinya ia memperoleh pahala yang berlanjut pada kenikmatan dan surga. Sementara itu, sebuah pertanyaan yang layak untuk disisipkan adalah bagaimana menerapkan term (istilah) Hukum Islam di Indonesia ? Karena Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Pancasila, dalam arti bukan Negara agama maupun Negara sekuler, di samping Negara ini memiliki jiwa ‘Bhinneka Tunggal Eka’, maka di Negara ini memerlakukan berbagai macam hukum perundang-undangan, yaitu ada hukum Islam, hukum positif, dan hukum adat. Syariah dimasukkan dalam hukum Islam. Tetapi, di sisi lain, terapan istilah ‘syariah’ dipadankan dengan istilah ‘Islamic law’ dengan menggunakan istilah asing (Inggris) menghindari istilah ‘hukum Islam’ dan istilah ‘fiqih’ dipadankan dengan istilah ‘Islamic jurisprudence’. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, kalau kita sedang membahas rukun wudlu, rukun shalat, dan rukun puasa, kita tidak membahas syariah, melainkan sedang membahas ilmu fikih atau Islamic jurisprudence. Kalau kita sedang mencari tahu apa kandungan ayat 183 dari surat al-Baqarah, yaitu tentang perintah puasa Ramadlan, kita sedang berbahasan di ranah syariah. B. Ciri-Ciri Hukum Islam Sekurang-kurangnya ada empat macam ciri hukum Islam, yaitu: 1. 2. 3. 4. Hukum Islam merupakan bagian dan sumber dari ajaran agama Islam Hukum Islam berkaitan dengan bagian lain dalam Islam, yaitu aqidah dan akhlak Hukum Islam memiliki istilah kunci, yaitu syariah dan fiqih Hukum Islam terdiri atas dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah; Ibadah merupakan aturan hubungan antara manusia dengan Allah. Aturan itu karena bersal dari Allah dan Rasulullah, maka bersifat tetap. Manusia tinggal melaksanakan saja (taken for granted). Jika Allah menetapkan bahwa puasa sebulan penuh itu harus dikerjakan pada bulan Ramadlan, bulan ke 9 dalam system kalender Islam, manusia tidak boleh menggantikan berpuasa di bulan selain bulan Ramadlan. Muamalah merupakan aturan hubungan antara manusia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan alam semesta. Secara prinsip muamalah diserahkan kepada manusia, - 132 - Hukum Islam upamanya kita boleh memilih dengan apa mencari nafaqah atau ma’isyah (mata pencaharian, penghidupan), apakah dengan cara berdagang, menjadi pegawai negeri, menjadi karyawan, atau menjadi petani. C. Struktur Sumber Hukum Islam Karena pembuat hukum di dalam Islam itu Tuhan, utusannya (Rasul), dan manusia, dalam hal ini para ulama mujtahid, maka hukum Islam harus ditata dalam urutan tingkatan otoritatif, mulai tingkatan yang paling atas hingga yang paling bawah, yang paling kuat mengikat hingga yang longgar. Tata urutan hukum Islam dapat disusun sebagai berikut: 1. Al Quran 2. As-Sunnah 3. Hasil ijtihad ulama, seperti: qiyas, ijma’, dan maslahah mursalah. 4. Pelaksanaan dalam praktik, yaitu dalam bentuk putusan hukum atas perbuatan manusia. Misalnya, si A dinyatakan mencuri dalam peridangan oleh hakim, kemudian dihukumi haram perbuatan itu dan dijatuhi hukuman potong tangan. 5. Macam-macam perbuatan hati mencakup perbuatan: hati, pikiran, dan perasaan. Misalnya, berprasangka buruk telah terjadi perbuatan hukum. Sebagian besar dugaan (dhan) yang belum dinyatakan dalam bentuk kata-kata adalah dosa. Hanya saja, hakim yang memutusi perbuatannya juga hatinya sendiri, dan tentunya Tuhan. Macam-macam perbuatan anggota badan seperti perbuatan: tangan, hidung, kaki, telinga, lisan, dan kemaluan. Semua perbuatan ini mengandung konsekuensi hukum. Karena itu kita, setiap umat Islam harus tetap hati-hati agar perbuatan apa saja dalam diri kita tidak terjerumus pada putusan hukum haram, atau dijatuhi hukuman tertentu yang memberatkan. 6. Mendahulukan yang wajib dari pada yang hak atau yang halal. Dalam waktu yang bersamaan, A harus melaksanakan Jum’atan atau menuruti istrinya makan siang di restoran kegemarannya. Dalam persoalan ini, A harus melaksanakan jumatan terlebih dahulu, setelah selesai baru mengajak istrinya makan di restoran kegemarannya tersebut. D. Ruang Lingkup Hukum Islam Ruang lingkup hukum Islam amat luas wilayahnya, seluas seluruh bidang kehidupan, tidak ada aspek kehidupan sekecil apa pun yang berada di luar wilayah hukum. Atas dasar perkembangan ilmu tentang hukum, maka hukum Islam ini secara garis besar digolongkan menjadi: 1. Hukum perdata, meliputi: a. Mengatur masalah munakahat (perkawinan yang secara garis besar antara lain mengenai nikah, thalaq, dan rujuu’ ) b. Mengatur masalah mawaaris (waris-mewaris) c. Mengatur masalah mu’amalah, yaitu tentang kebendaan, hak-ahak atas benda, dan tata hubungan antara manusia dengan manusia dan alam semesta 2. Hukum pidana, meliputi: a. Jinayat, yaitu aturan perbuatan yang diancam dengan hukuman atau pidana b. al-Ahkam as-sulthaniyyah, yaitu aturan tentang kenegaraan Hukum Islam - 133 - c. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk dan negara lain d. Mukhashamaat, mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara E. Tujuan Hukum Islam Tujuan diberlakukannya hukum Islam itu adalah untuk mengatur kehidupan manusia agar bisa hidup tenang, tenteram, dan bebas dari ancaman orang lain. Secara terinci, menurut Abu Ishaq Al Shatibi tujuan hukum Islam itu mencakup lima hal, yaitu: 1. Memelihara agama. Kaum muslimin diwajibkan shalat umpamanya, hikmah yang terkandung di dalamnya ternyata cukup banyak, antara lain keagamaannya menjadi baik. Sebaliknya meninggalkan shalat menjadi kafir. Kata Rasul, orang Islam yang tidak shalat adalah penghancur agama: “ash-Shalaatu ‘imaad ad-diin, faman aqaamaha faqad aqqma ad-diin, wa tarakahaa faqad hada ad-diin” Balasan kafir kelak adalah neraka saqar. Demikian Firman Allah: Artinya: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (QS.al-Mudatstsir: 42-43). Saqar adalah api yang menyala-nyala. Orang yang dimasukkan ke neraka saqar selalu diseret atas wajahnya (QS. Al-Qamar : 4). 2. Memelihara jiwa. Ditegakkannya hukum pidana, antara lain jinayat, harapannya adalah tidak ada korban kekerasan, apalagi pembunuhan. 3. Memelihara akal. Dilarangnya meminum-minuman keras seperti cong yang, ciu, jenewer, tuak, arak, irengan, vodka, manson, wiski, brandi, termasuk yang berbentuk tablet, cairan untuk disuntikkan atau kapsul seperti koplo, sabu-sabu, ganja, meriyuana, ekstasi, dan lainnya yang memabukkan adalah melindungi supaya syaraf-syaraf otak dan akalnya tetap sehat. 4. Memelihara keturunan. Ditegakkannya keharaman zina umpamanya, antara lain untuk merencanakan keturunan yang sehat, terhormat, dan bermartabat. 5. Memelihara harta. Ditegakkannya hukum mawaris, umpamanya, hak-hak kepemilikan terhadap sesuatu benda dilindungi hukum, sehingga orang lain tidak seenaknya atau tidak boleh merampas dari pemiliknya yang syah. F. Sumber Hukum Islam Adapun sumber hukum Islam ada tiga macam, yaitu Al Quran, As-Sunnah, dan ijtihad. Pernyataan ini didasarkan atas sebuah Hadits Rasulullah dalam dialognya dengan Muaz bin Jabbal sebagai berikut: Rasulullah Muaz Rasulullah Muaz : “Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap suatu perkara yang datang kepadamu ?” : “Saya akan memutuskannya dengan kitabullah” : “Kalau engkau tidak mendapatinya dalam kitabullah ?” : “Saya akan memutuskannya berdasar sunnah Rasul” - 134 - Hukum Islam Rasulullah Muaz Rasulullah : “Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak ada ?” : “Akan mendasarkan pada pendapatku dan saya tidak akan lengah” : “Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq-Nya sesuai dengan apa yang diridai oleh-Nya dan Rasulnya”. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sumber hukum Islam yang dipakai harus berurutan tidak boleh dibolak-balik. Al Quran terlebih dahulu, baru kemudian Al Hadits/As Sunnah dan yang terkhir solusinya Ar Ra’yu (Ijtihad Ulama) yang tetap berpedoman pada Al Quran dan As Sunnah. G. Al Quran sebagai Sumber Hukum 1. Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara Malaikat Jibril untuk pedoman hidup manusia secara utuh, termasuk di dalamnya mengenai hukum. 2. Azas-azas hukum Islam yang tercantum dalam Al Quran adalah sebagai berikut: a. Meniadakan yang berat, demikian firman Allah yang menunjukkan pernyataan ini: Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim”. (QS. Al-Hajj : 78). b. Menyedikitkan beban. Ayat berikut dipahami bahwa Allah tidak memperbanyak beban kepada manusia kecuali sekedar ia mampu: Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286). c. Berangsur-angsur dalam meberikan hukum sesuai dengan kebutuhan yang sedang dihadapi umat. Contohnya demikian. Ayat yang pertama turun mengenai perintah untuk membaca. Ayat-ayat selanjutnya selama 13 tahun berkisar penegakan tauhid, dan ini umumnya disebut ayat-ayat Makiyyah. Mulai tahun ke 14 masa turunnya Alquran membicarakan hukum-hukum kemasyarakatan secara komplit, seperti tentang perang, hutang-piutang, perkawinan, kepidanaan, keperdataan, kenegaraan, dan ini umumnya disebut ayat-ayat Madaniyyah. 3. Kandungan Hukum dalam Al Quran. Secara garis besar, kandungan hukum yang terdapat di dalam Al Quran ada dua macam, yaitu: Hukum Islam - 135 - a. Hukum ibadah: thaharah, shalat, puasa, haji, zakat, sumpah, mengurus jenazah, ‘aqiqah, udlhiyyah, doa, zikir, dan nazar. b. Hukum-hukum muamalah seperti hukuman, jinayat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, perundang-undangan, perekonomian, dan kenegaraan. H. As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Poin-poin yang perlu dijelaskan dalam membahas as-sunnah sebagai sumber hukum antara lain adalah sebagai berikut: 1. as-Sunnah dapat disamakan dengan Hadits, ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan (aqwaliyyah), perbuatan (af’aliyyah), maupun ketetapannya (taqriiriyyah). Contoh perkataan adalah “Shuumuu tashihhuu” (Berpuasalah kamu sekalian niscaya kamu sehat). Contoh perbuatan adalah cara Nabi shalat, cara nabi, berwudlu, cara Nabi makan, minum, dan tidur. Contoh ketetapan Nabi adalah ketika Chalid bin Walid merayakan kemenangannya dalam perang Muktah, ia memasak daging mencawakatau biawak. Rasulullah diberi daging itu. Beliau menolak, tetapi tidak melarang Chalid bin Walid dan pasukannya memakan masakan daging biawak tersebut. Dengan demikian daging biawak halal hukumnya untuk dimakan. Jadi, yang dimaksud taqriir adalah perkataan tau perbuatan sahabat di hadapan Nabi atau diketahui oleh beliau dan beliau tidak melarangnya. 2. Menurut ulama’ Fiqih, as-Sunnah sebagai sumber hukum hanya yang berkaitan dengan hukum saja. Karena itulah cara Nabi minum, tidur, batuk, berobat dari sakit, berhubungan seksual, tidak mengandung konsekuensi hukum dan hanya bersifat manusiawi. Akan tetapi, menurut ulama’ Ahli Hadits, Rasulullah adalah sumber suri teladan yang baik (uswatun hasanah). Yang tidak perlu dicontoh hanya yang bersifat ‘aradl basyariyyah (sesuatu yang secara alami menimpa manusia), seperti: batuk, mengeluarkan BAB dan BAK, kentut, bentuk rambut, dan postur tubuh. 3. Acuan bahwa As-Sunnah sebagai acuan hukum adalah firman Allah sebagai berikut: Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS.al-Hasyr : 7) 4. Hadits yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum hanya yang shahih dan hasan saja. Dengan demikian hadis dha’if (lemah) dan hadis maudluu’ (palsu) tidak boleh digunakan sebagai sumber hukum, apa pun alasannya. 5. Fungsi Hadis di samping memperjelas apa yang terdapat di dalam Al Quran juga menghasilkan hukum yang mandiri, contoh cara menghilangkan najis mughaladhah, yaitu apa saja yang terkena air liur anjing. Dalam hal ini Al Quran tidak mengaturnya. Adapun contoh Hadits sebagai penjelas Al Quran antara lain tentang shalat dan zakat. Dalam Al Quran secara berulang-ulang hanya memerintahkan shalat dan membayar “aqiimuu asshalah wa atuu az-zakaah. . .” (dirikanlah shalat dan bayarlah zakat . . ). Teknik dan prosedur pelaksanaan shalat maupun zakat bagi umat Islam sepenuhnya dicontohkan oleh Rasulullah. - 136 - Hukum Islam I. Ijtihad sebagai Sumber Hukum Hal-hal yang perlu dijelaskan dalam sub bab ini adalah pengertian ijtihad itu sendiri, pelaku ijtihad, dan metode atau hasil ijtihad. Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan kekuatan akal dari seorang ulama’ atau sekelompok ulama’ untuk menemukan sesuatu hukum atas sesuatu. Ijtihad hanya terjadi pada bidang muamalah, ibadah ghairu mahdhah, dan tidak ditentukan secara eksplisit baik dalam Al Quran maupun Hadits. Itulah sebabnya metode maupun hasil ijtihad bisa beraneka macam. Ulama’ yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal dan memiliki otoritas (menjadi panutan masyarakat luas) di kalangan umat Islam di zamannya, bahkan generasi sesudahnya antara lain: Imam Malik (714-798 M), Imam Abu Hanifah (699-767 M), Imam Syafi’i (767-854 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855 M). Adapun hasil keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: Ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. a. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid tentang hukum seseuatu peristiwa atau hal yang belum ditetapkan hukumnya dalam Al Quran maupun Hadits. Contohnya adalah : 1) Keputusan MUI [terdiri atas sejumlah personil yang tergabung dalam komisi fatwa] memutuskan ajino moto haram hukumnya, memberikan label halal pada produkproduk tertentu dalam hal makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika (MMOK). 2) Sekelompok Ulama’ Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa merokok hukumnya haram karena memandang merokok itu merugikan kesehatan si perokok atau orangorang yang berada di sekitarnya. 3) Ulama Tarjih Muhammadiyah yang terdiri atas sejumlah personil dari perwakilanperwakilan wilayah menetapkan bahwa dalam menetapkan hilal Ramadlan maupun Idul fitri dan Idul Adha menggunakan metode hisab hakiki, sedang ulama’ dari Nahdlatul ‘Ulama’ menetapkan hilal satu Ramadlan maupun hilal untuk lebaran menggunakan metode rukyah, melihat dengan mata telanjang terbitnya bulan. b. Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam Al Quran atau Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang lain yang telah ditetapkan dalam Al Quran maupun Hadits karena ada kesamaan sesuatu (‘illat, qarinah). Qiyas merupakan istinbathul hukmi ciptaan Imam Syafi’i. Contoh-contoh keputusan hukum atas dasar qiyas adalah ; 1) Dalam teks atau nash (QS. al-Maidah/5 : 90) disebutkan bahwa khamer itu haram karena memabukkan. Di luar teks atau nash ada minuman yang disebut Cong yang, vodka, wiski, irengan, ketan hitam, ciu, jenewer, tuak, dan manson, atau bentuk tablet dan kapsul seperti pil koplo, ekstasi, sabu-sabu, tau masih dalam bentuk alami seperti ganja, meriyuana, opium). Antara Khamer dan aneka minuman, tablet, kapsul, atau cairan untuk disuntikkan yang disebutkan ini dihukumi haram. Ketetapan haram ini karena ada kesamaannya dengan khamer, yaitu memabukkan. 2) Meng-qadla’ Shalat yang ditinggalkan karena bepergian. Dalam Teks Al Quran maupun Hadits tidak disebutkan tentang qadla’ shalat. Yang ditentukan untuk qadla’ antara lain adalah puasa Ramadlan (QS. al-Baqarah/2 : 184). Di antara keduanya ada kesamaannya, yaitu sama-sama rukun Islam. Di Indonesia, dari kelompok NU, atau umumnya penganut mazhab Syafi’iyyah melaksanakan ketentuan hukum meng-qadla’ Hukum Islam - 137 - shalat. Muhammadiyah tidak melaksanakan ketentuan ini. Dalam keadaan apa pun selagi akal masih waras, shalat harus dilaksanakan sesuai kemampuan sebagaimana dijelaskan menurut syara’. Jika seseorang tertidur pulas dan begitu bangun sudah jam 6.30, di saat itu pula ia harus melaksanakan shalat subuh dengan tidak menamakan qadla’ tetapi adaa’. Perbedaan ini tidak perlu diperpanjang lebar karena tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Yang penting adalah melaksanakan shalatnya itu dengan harapan Allah menerimanya sebagai amal ibadah yang bernilai amal shalat. c. Istihsan adalah meninggalkan hukum sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan syara’ karena ada dalil lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Contohnya adalah perintah melakukan shalat Jum’at berlaku secara umum bagi setiap orang Islam (QS.alJum’ah/62:9). Kemudian ada Hadits yang mengecualikan untuk tidak melakukan shalat Jum’at, yaitu: wanita, anak-anak, orang sakit, dan manula (manusia usia lanjut) yang telah tidak mampu berjalan. Maka bagi mereka, tidak perlu melakukan shalat jumatan di masjid secara berjamaah. Mereka bisa shalat jumat dua rakaat di rumah atau shalat luhur empat rakaat di rumah. d. Maslahah mursalah adalah menetapkan sesuatu hukum yang tidak disebutkan baik dalam Al Quran maupun Hadits karena secara umum dipandang baik, pantas, atau memiliki nilai kemaslahatan yang luas. Contohnya adalah pakaian yang digunakan untuk shalat terkena darah dari seekor nyamuk. Darah adalah najis, tetapi karena terlalu sedikit, maka tidak mengapa (ma’fu) untuk shalat. Adanya KUA di Indonesia, ini dimaksudkan untuk kemaslahatan keluarga. J. Tujuan Hukum Islam Bagi Kehidupan Masyarakat Sekurang-kurangnya ada empat macam tujuan yang ditetapkan bagi kehidupan masyarakat, yaitu: 1. Ketertiban umum. Dapat dibayangkan seandaianya hukum rimba yang berlaku pada suatu masyarakat. Tentu, masyarakat tersebut sangat semrawut. Dapat pula dibayangkan jika tidak ada hukum yang mengatur mengenai berlalu-lintas, tentu akan terjadi kecelakaan lalu lintas yang teramat sering dan korban jiwa berjatuhan. Itulah pentingnya hukum yang mengatur ketenteraman masyarakat maupun hukum lalu-lintas harus ditegakkan. 2. Melindungi orang-orang yang teraniaya. Dapat dibayangkan seandainya tidak ada hukum yang diindahkan, orang-orang yang kuat tentu akan semakin merampas hak-hak orang lemah. Orang teraniaya semakin banyak dan tidak ada yang melindunginya. Kehidupan tentu akan menjadi kacau-balau dan anarchis karena hukum rimba yang akan berlaku, siapa yang kuat itulah yang menang dan yang akan binasa. 3. Mencapai ketenteraman dan kebahagian bersama dunia-akhirat. Dapat dibayangkan jika setiap warga masyarakat mengindahkan hukum atau menegakkan supremasi hukum, tentu mereka berada dalam suasana tenteram dan leluasa untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Beribadah dalam kondisi yang demikian tentu merasa nikmat dalam kehidupan dunia ini guna mencita-citakan kebahagiaan akhirat kelak sesudah mati. 4. Setiap muslim harus mentaati dan melaksanakan hukum Islam sebaik-baiknya demi kebahagiaan mereka sendiri. Dapat dibayangkan bahwa, jika seseorang merasa kuat kemudian ia berbuat aniaya terhadap orang lain, tentu suatu saat ia akan dibalas justru di saat-saat ia sudah lemah, atau lengah, atau dianiaya orang lainnya lagi yang lebih kuat. Nasihat seorang bijak patut direnungkan “Jangan mencubit orang lain kalau kamu merasa - 138 - Hukum Islam sakit jika dicubit”. Jadi kalau masing-masing warga masyarakat taat hukum tentu mereka sendiri yang akan memperoleh keuntungan. ~~~ o0o ~~~ Latihan 1. Jelaskan apa yang disebut hukum Islam (syariah dan fiqih) ! 2. Sebut dan jelaskan ciri hukum Islam ! 3. Ada dua macam ruang lingkup hukum Islam, yaitu hukum perdata dan hukum pidana. Hukum perdata ada tiga macam, sebut dan jelaskan masing-masingnya! Hukum Pidana ada empat macam, sebut dan jelaskan masing-masingnya ! 4. Ada lima macam tujuan hukum Islam untuk diterapkan kepada setiap muslim atau masyarakat Islam, sebut dan jelaskan masing-masingnya ! 5. Ada tiga macam sumber hukum Islam, sebutkan dan jelaskan masing-masingnya ! 6. Ada empat macam asas hukum Islam sebagaimana dijelaskan oleh Alquran, sebut dan jelaskan masing-masingnya ! 7. Hadis yang bagaimana yang absah dijadikan sebagai sumber hukum Islam dan Hadis apa saja yang tidak boleh dijadikan dasar dalam beragama ? 8. Jelaskan perbedaan antara Ualama’ Fiqih dan Ulama’ Hadis dalam menyikapi terhadap Hadis ! 9. Sekurang-kurangnya ada 4 pola ijtihad, sebut dan jelaskan masing-masingnya ! 10. Kapan seseorang mulai terkena beban hukum Islam ? 11. Jelaskan tujuan hukum bagi kehidupan masyarakat ! 12. Jelaskan apa yang disebut qiyas dan berilah contoh-contoh keputusan hukum atas dasar qiyas ! 13. Apa yang disebut ijma’ dan berilah contoh-contoh keputusan hukum atas dasar ijma’ 14. Apa yang disebut istihsan dan berilah contoh-contoh keputusan hukum atas dasar Istihsan ! 15. Apa yang disebut mashlahah mursalah dan berilah contoh-contoh putusan hukum atas dasar mashlahah musrsalah ! 16. Pak Ahmad Muhammad al-Humaidi telah melaksanakan supit. Umurnya 25 tahun. Apakah dia otomatis terkena hukum Islam ? Jelaskan secara argumentatif jawaban saudara ! 17. Pak Hamdun berusia 45 tahun. Ia berakal sehat, telah bersyahadad, fisiknya sehat, ia menikah ketika masih berusia 25 tahun. Kini ia telah memiliki tiga orang anak. Ia mengaku konsisten dalam keislamannya. Bisakah ia keluar dari kontrol hukum Islam? Jelaskan jawaban saudara secara argumentatif ! Hukum Islam - 139 - DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’aan Al-Kariim ‘Abd al-Baqi, Ahmad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaadz al-Qur’aan al-Kariim, Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.th.]. Daud Ali, Mohammad, Pendidikan Agama Islam di Perguran Tinggi , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005 ‘Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1990. Fyzee, Asaf A.A., Outlines of Mohammedan Law, London: Oxford University Press, 1988. Hasbullah, Bakry, Suatu Tinjauan Mengenai Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: [Makalah tak diterbitkan], 1982. Ismail, Syuhudi, Pengantar Imu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Khalaf, ‘Abd al-Wahhaab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (terj.) Jakarta: Rajawali Press, 1982. Qardlawi, Yusuf, Membumikan Syariat Islam, Surabaya: Aneka Ilmu, 1997. Raulya, Idris, Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1999 “Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta”, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2002. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1993.