Modul Perilaku Konsumen [TM7]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PERILAKU
KONSUMEN
Jenis-Jenis Pembelajaran
Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
Ilmu Komunikasi
Advertising &
Marketing
Communications
07
Kode MK
Disusun Oleh
A41435EL
Sugihantoro, S.Sos, M.Ikom
Abstract
Kompetensi
Modul ini membahas mengenai jenis-
Setelah mempelajari modul ini
jenis pembelajaran.
diharapkan mahasiswa dapat
memahami jenis-jenis pembelajaran
dan aplikasinya dalam komunikasi
pemasaran.
Jenis-Jenis Pembelajaran
Dalam kehidupan manusia, proses belajar akan berjalan terus-menerus sepanjang
hidupnya. Experiential Learning Theory dalam McCarthy (2010:132), mendefinisikan belajar
sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman.
Pengetahuan merupakan hasil dari kombinasi mengelola dan mengubah pengalaman
Jenis-jenis pembelajaran dapat dijelaskan melalui berbagai teori yang berkembang
berkaitan dengan pembelajaran. Setidaknya terdapat 4 teori utama yang berkaitan dengan
pembelajaran. Secara rinci dapat dijelaskan berikut ini;
1) Teori Perilaku
Menurut teori ini belajar dapat berlangsung ketika individu mampu menghubunghubungkan stimulus dengan respons dan antara respons dengan stimulus. Terdapat
dua teori yang termasuk dalam teori behavioristik, yaitu teori classical conditioning
(pengkondisian klasik) dan operant conditioning (pengkondisian operan).
A) Teori Pengkondisian Klasik
Menurut Suryani (2008:133), teori ini berkembang oleh Ivan Pavlov, seorang
psikolog Rusia melalui eksperimen yang dilakukannya pada sejumlah anjing.
Dalam pengamatannya, Pavlov melihat bahwa jika anjing disajikan makanan
yang berupa tepung daging (dalam hal ini berfungsi sebagai stimulus alamiah
atau unconditioned stimulus (UCS), maka anjing akan memberikan respons
alamiah berupa keluarnya air liur (oleh Pavlov disebut unconditioned respons
(UCR). Dalam percobaannya Pavlov memasangkan antara conditioned stimulus
(stimulus yang sudah dikondisikan atau (CS) dengan unconditioned stimulus
(UCS). Dalam hal ini Pavlov memasangkan bel (sebagai CS) dengan tepung
daging (UCS). Jadi setelah dibunyikan tanda bel, tepung daging diberikan.
Hasilnya anjing memberikan respons berupa keluarnya air liur. Hal itu dilakukan
secara berulang-ulang hingga pada akhirnya, ketika Pavlov membunyikan bel
saja, tanpa diikuti daging, anjing sudah mengeluarkan air liur.
Dari percobaan yang dilakukan Pavlov, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Dalam belajar pengulangan terhadap apa yang dipelajari menjadi penting.
Semakin banyak latihan atau pengulangan dilakukan, hasil belajar akan
semakin lebih baik (prinsip ini disebut the law of exercises). Pengulangan
akan
meningkatkan
kekuatan
hubungan
antara
stimulus
yang
dikondisikan dengan stimulus alamiah. Yang menjadi perdebatan hingga
2015
2
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
saat ini adalah pada berapa kali pengulangan harus dilakukan agar
menghasilkan hasil belajar yang optimal.

Dalam belajar terjadi penggeneralisasian terhadap stimulus (stimulus
generalization).
Seringkali
dalam
belajar
subyek
yang
belajar
menyamakan stimuli yang mempunyai kemiripan.

Dalam belajar terjadi pendiskriminasian stimulus (stimulus discrimination),
stimulus yang hampir sama diangap sebagai hal yang berbeda.
Aplikasi Belajar Pengkondisian Klasik dalam Strategi Pemasaran.
Meskipun percobaan pengkondisian klasik dilakukan pada anjing, dan ini tentu
saja mengandung kelemahan karena manusia lebih kompleks, namun beberapa
konsep penting yang dikemukakan teori ini banyak yang dimanfaatkan untuk
kepentingan strategi pemasaran. Berikut akan dijelaskan aplikasi pengkondisian
klasik untuk kepentingan strategi pemasaran.
Dalam strategi promosi, khususnya periklanan, iklan perlu ditayangkan berulangulang agar konsumen memahami iklan tersebut seperti maksud yang
dikehendaki oleh pemasar. Namun
demikian berapa kali pengulangan harus
dilakukan agar memberikan hasil yang optimal dan efektif, frekuensi tidak dapat
ditentukan secara pasti. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain;
tayangan iklan lain terutama untuk kategori produk yang sama dan faktor
individual (fisik maupun psikologis) konsumen. Adanya iklan yang lain yang juga
ditayangkan berulang-ulang bisa menyebabkan terjadinya kelupaan pada
konsumen karena akan terjadi proses interferensi (akibat banyaknya informasi
yang masuk, sehingga terjadinya percampuran informasi yang masuk).

Generalisasi Stimulus
Dalam belajar, kemampuan individu untuk menggeneralisasikan stimulus juga
merupakan faktor yang menentukan selain pengulangan. Dalam generalisasi
stimulus ini individu akan memberikan responss yang samat terhadap
stimulus yang mirip. Sebagai contoh orang akan menganggap semua produk
elektronika keluaran Sony baik, karena mereka percaya pada beberapa
produk yang dikeluarkan Sony yang memang bermutu baik. Sehingga
apapun jenis produk elektronik yang dikeluarkan Sony dipandang sebagai
produk yang bermutu. Ketika konsumen akan mencari Pizza Hut, maka di
outlet
manapun dia akan menganggap bahwa kualitasnya sama karena
konsumen melakukan generalisasi.
2015
3
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Suryani (2008:136), beberapa aplikasi dari prinsip generalisasi
stimulus adalah sebagai berikut:
a) Perluasan lini, bentuk, dan kategori produk
Adanya generalisasi stimulus yang dapat terjadi pada konsumen, dapat
dimanfaatkan oleh produsen untuk melakukan perluasan lini produk,
membuat aneka bentuk lain untuk merek sejenis dan memperluas
kategori produk. Sebagai contoh Liefebuoy pada awalnya hanya membut
produk sabun mandi padat dengan satu jenis warna dan aroma,
kemudian dikembangkan lini produknya dengan menciptakan aneka
warna dan aneka aroma. Lebih lanjut kini juga memperluas bentuknya
dengan menambah yang bentuknya cair. Diharapkan bentuk cari ini akan
dipersepsikan oleh konsumen memiliki kualitas yang bagus untuk produk
sabun mandi dengan manfaat utama untuk kesehatan. Selain itu dengan
dipercaya mereknya sebagai ‘merek yang unggul dengan diferensiasi
kesehatan’ memperluas kategori produk shampoo Lifebuoy.
b) Family branding
Beberapa pemasar yang produknya memiliki merek yang merajai dan
memimpin pasar kini menciptakan produk –produk baru yang berbeda
dengan produk sebelumnya. Sebagai contoh ABC yang dulu hanya
memproduksi baterai, kini memperluas produknya dengan menciptakan
produk sirup, kecap, sambel, mie, dan lain-lain. Diharapkan dengan
memberi nama ABC pada semua produknya konsumen akan menilai
bahwa produk baru yang dikeluarkannya mempunyai mutunya sama
dengan produk-produk ABC sebelumnya.
c) Lisensi
Beberapa perusahaan untuk meyakinkan dan membentuk kepercayaan
mengenai produknya menggunakan lisensi untuk meraih pasar.
Menurut Suryani (2008:137), kebalikan dari generalisasi stimulus adalah
diskriminasi stimulus. Dalam belajar, konsumen juga melibatkan kemampuan
untuk membedakan antara stimulus- stimulus yang ada. Konsumen pada
hakekatnya juga mampu membedakan berbagai stimulus mirip. Adanya
kemampuan inilah maka perusahaan melakukan positioning dan berusaha
membedakan produknya dengan produk lain.
a) Positioning
Perusahaan yang memberikan stimulus yang memungkinkan konsumen
membedakan produknya dengan produk yang lain akan lebih cepat dalam
2015
4
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
membentuk pemahaman bahwa produk yang ditawarkannya benar-benar
berbeda. Jadi meskipun di pasar muncul produk-produk yang sama dari
aspek bentuk maupun merek dengan nama-nama yang mirip, konsumen
tetap mampu membedakannya. Sebagai contoh Nutri Sari, meskipun
banyak produk minuman serupa yang menggunakan merek dan kemasan
yang mirip, konsumen tetap mampu membedakan ketika akan membeli
sesuatu produk. Demikian juga dalam pembelian air mineral, meskipun
kemasan, warnanya hampir sama, tetapi konsumen memiliki persepsi
yang berbeda akan merek-merek yang ada.
b) Diferensiasi produk
Pada umumnya strategi diferensiasi produk dilakukan dengan tujuan agar
konsumen mampu membedakan produknya dengan produk atau merek
yang lain. Strategi ini perlu diterapkan agar produk yang sudah dikenal
tidak disamakan sebagai produk yang sama dengan yang dihasilkan oleh
pesaing. Sebagai contoh sabun detergen Rinso berusaha agar produknya
yang sudah sangat dikenal di masyarakat tetap dianggap sebagai produk
sabun detergen yang berbeda dengan merek-merek yang ada. Contoh
lain adalah produk Luwak White Coffee yang memiliki diferensiasi sebagai
kopi putih, walaupun akhirnya banyak pesaing yang bermunculan dengan
jenis kopi yang sama, namun karena munculnya sebagai yang pertama
dan berbeda, akhirnya mampu menjadi market leader.
Pesyaratan Menggunakan Classical Conditioning
Menurut Setiadi (2010:114), terdapat beberapa syarat untuk menerapkan
classical conditioning dalam mengiklankan suatu produk perlu dipenuhi agar
pengkondisian kepada konsumen berhasil. Persyaratan tersebut antara lain:

Seharusnya tidak ada stimulus lain yang dapat membayangi unconditioned
stimuli. Dengan
perkataan lain, primary stimuli harus menjadi pusat
perhatian.

Perangsang utama seharusnya sebelumnya tidak diasosiasikan dengan
merek produk lain.

Primary stimuli seharusnya tidak terlalu familier bagi masyarakat konsumen
akan menjadi jenuh dengan stimuli tertentu yang sangat sering tampil di
media massa. Hal ini sering disebut sebagai pengaruh sebelum pemaparan.
Penggunaan figur umum yang sudah sangat dikenal masyarakat sebenarnya
2015
5
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
akan kurang efektif untuk membangun asosiasi produk dengan figure umum
tersebut.
B) Pengkondisian Operan (Instrumental/Operant Conditioning)
Menurut Suryani (2008:138) teori ini dikembangkan oleh psikolog Amerika yang
bernam BF Skinner. Dalam belajar melalui pengkondisian operan perilaku yang
terbentuk dipengaruhi oleh konsekuensi dari perilaku yang dilakukan. Dengan
demikian dalam belajar terjadinya perubahan perilaku belajar sebagai akibat dari
konsekuensi-konsekuensi yang diterima individu. Konsumen akan berulang kali
membeli sabun mandi merek Olala karena setiap membeli sabun mandi merek
Olala mendapatkan hadiah gelas.
Teori ini jug berpandangan bahwa belajar terjadi melalui proses mencoba dan
mencoba dan kebiasaan akan terbentuk kalau ada konsekuensi positif (reward)
yang diterima. Dalam proses belajar menurut BF Skinner, pemberian
konsekuensi positif berupa hal-hal yang menyenangkan amatlah penting untuk
memperkokoh terjadinya perilaku yang sudah terbentuk. Jika dalam konsekuensi
positif tidak diberikan dalam jangka waktu yang lama, maka sangat mungkin
individu akan lupa terhadap apa yang telah dipelajarinya atau perilaku yang
sudah terbentuk akan menjadi hilang, sehingga dalam waktu yang panjang
proses belajar yang dilakukan memberikan hasil yang tidak memuaskan.
Sementara itu Setiadi (2010:115), memberikan penjelasan bahwa instrumental
conditioning memandang bahwa perilaku sebagai fungsi dari tindakan konsumen
(perilaku pembelian) dan penilaian konsumen terhadap derajat kepuasan yang
diperoleh dari tindakan kepuasan yang dialami konsumen akan menyebabkan
penguatan
dan
meningkatkan
kemungkinan
pembelian
kembali.
Dalam
instrumental conditioning juga diperlukan adanya hubungan antara rangsangan
dan tanggapan. Individu akan mementukan tanggapan kepada stimulus yang
memberikan kepuasan yang paling tinggi.
Penerapan Instrumental Conditioning pada Strategi Pemasaran
Menurut Setiadi (2010:123) implikasi manajerial dari instrumental conditioning
bisa digunakan dalam menyusun strategi pemasaran sebagai berikut:

Produk yang ditawarkan harus berkualitas.
Perilaku konsumen yang didasarkan pada teori instrumental conditioning
mengharuskan pemasaran menciptakan dan menawarkan produk benarbenar berkualtias, sehingga konsumen akan mempunyai responss positif.
Konsumen akan meresponss secara positif terhadap produk yang
2015
6
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ditawarkan apabila produk itu mampu memenuhi harapan dan dengan
demikian mampu memuaskannya.

Pesan iklan yang ditampilkan seharusnya berisi manfaat-manfaat produk.
Pemasar seharusnya menyadari bahwa konsumen akan memberikan
respons atas pengalamannya menggunakan produk. Agar konsumen
mengetahui manfaat produk yang ditawarkan, maka informasi yang
disampaikan harus berupa manfaat yang bisa diperoleh oleh konsumen.
Oleh karena itu, pesan iklan seharusnya berupa manfaat-manfaat produk
jika konsumen mengkonsumsi produk itu. Manfaat produk bisa berupa
manfaat
terhadap
kesehatan,
kelangsingan
tubuh,
kesegaran,
menyembuhkan penyakit, dan lain sebagainya.

Jangan sekali-kali pesan iklan tidak sesuai dengan kualitas produk yang
sebenarnya, karena konsumen akan belajar dari pengalamannya.
Jika ternyata apa yang disampaikan dalam iklan tidak sesuai dengan
harapannya terhadap produk, maka respons negatif akan muncul, dan
akhirnya probabilitas repurchasing akan menurun dengan cepat.
2) Teori Pembelajaran Kognitif
Berdasarkan uraian Xu (2011:37), studi kognitif mengeksplorasi proses kognitif yang
mengatur pilihan strategis. Melengkapi teori pilihan rasional, ilmu kognitif mencoba
untuk menjelaskan mengapa atau bagaimana ekonomi keputusan terjadi di dunia
yang tidak pasti dan subjektif (Kahneman, Slovic, & Tversky, 1982; Simon, 1957;
Smircich & Stubbart, 1985). Sebagai pemikiran mendorong pembentukan strategi,
kognisi manajerial terletak pada inti dari proses manajemen strategis (Stubbart,
1989). Manajer mengambil tindakan strategis sengaja untuk menanggapi perubahan
lingkungan.
Suryani (2008:142) menjelaskan bahwa
menurut teori ini pembelajaran kognitif
merupakan aktifitas mental. Manusia senantiasa dihadapkan pada suatu masalah
dalam hidupnya. Proses belajar terjadi sebagai upaya manusia untuk mengatasi
masalah. Dalam mengatasi masalah ini konsumen akan memproses informasi yang
melibatkan proses mental yang kompleks.
Kemampuan untuk mengolah informasi ini tergantung pada kemampuan kognitif
konsumen dan kompleksitas informasi yang akan diproses. Konsumen akan
mengolah informasi mengenai atribut produk, merek, perbandingan antar merek atau
hal-hal lain yang terkait. Kemampuan mengingat antar individu juga berbeda-beda.
Ada individu yang mudah mengingat hal-hal yang disajikan dalam bentuk verbal, dan
2015
7
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sebaliknya ada yang mudah untuk mengingat hal-hal yang sifatnya visual.
Sedangkan tingkat kompleksitas informasi akan mempengaruhi pengolahan
informasi yang dilakukan.
Selanjutnya Setiadi (2010:115) menjelaskan bahwa pembelajaran kognitif muncul
ketika seseorang menterjemahkan informasi yang ada di lingkungan dan
menciptakan pengetahuan atau arti yang baru. Sering arti baru tersebut
memodifikasi
struktur pengetahuan yang ada dalam ingatan mereka. Pada
dasarnya, konsumen berhubungan dengan informasi produk atau jasa melalui tiga
cara antara lain:

Konsumen dapat belajar tentang produk atau jasa melalui pengalaman
penggunaan pribadi secara langsung.

Pemasar menggunakan berbagai macam strategi seperti uji coba di toko atau
contoh gratis agar konsumen mendapat kesempatan mengalami sendiri
penggunaan
suatu
produk.
Misalnya
adalah
dealer
mobil
memberi
kesempatan kepada konsumennya untuk mengendari mobil yang ditaksir
berkeliling di sekitar tokonya. Toko pakaian menyediakan ruang uji coba
yang dilengkap cermin bagi konsumen yang hendak mencoba pakaian yang
akan dibeli. Gerai es krim menyediakan contoh gratis, dan toko mebel selalu
menyediakan tempat tidur yang terpasang rapi agar konsumen dapat
mencoba duduk atau tidur di atasnya.

Pembelajaran kognitif juga dapat muncul melalui pencerminan pengalaman
penggunaan produk, yaitu konsumen mendapatkan suatu pengetahuan
secara tidak langsung melalui pengamatan terhadap orang lain yang telah
menggunakan produk tersebut. Sebagian besar pengamatan pencerminan
terjadi secara tidak sengaja ketika konsumen memperhatikan orang lain
menggunakan suatu produk atau jasa (melihat orang menggunakan sepatu
roda). Pemasar dapat menciptakan pencerminan pengalaman penggunaan
produk bagi konsumen melalui strategi pemasaran seperti penggunaan
demonstrasi di pusat perbelanjaan, atau menggunakan atlet olahraga
terkenal yang mengenakan baju atau sepat tertentu. Merek dengan pangsa
pasar yang lebih tinggi memiliki keuntungan ketimbang merek yang kurang
popular,
karena
konsumen
cenderung
mengamati
orang
lain
yang
menggunakan merek populer. Akhirnya banyak pembelajaran kognitif muncul
ketika konsumen menterjemahkan informasi yang berkaitan dengan produk
dari media massa (periklanan, majalah, televisi dan sebagainya) atau dari
sumber-sumber personal seperti teman dan keluarga.
2015
8
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ukuran Pembelajaran Kognitif
Setiadi (2010:119) menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan utama terhadap
ukuran pembelajaran kognitif yaitu pengenalan (recognition) dan ingatan (recall).
Walaupun ukuran pengenalan memberi orang semacam isyarat untuk mendorong
ingatan, tidak demikian halnya dengan ukuran ingatan. Sebagai contoh, meminta
mahasiswa dalam suatu kelas perkuliahan untuk mendefinisikan konsep elaborasi
akan menggambarkan suatu ukuran tingkatan. Ukuran pengenalan melibatkan
tindakan meminta mahasiswa mengindentifikasikan definisi yang benar dari satu set
kemungkinan jawaban.
Tes pengenalan umumnya mencerminkan pembelajaran lebih besar daripada ukuran
ingatan walaupun ada pengecualian. Demikian pula halnya keterlupaan tampak
terjadi lebih lambat ketika diukur melalui pengenalan. Superioritas dari ukuran
pengenalan hubungan dengan isyarat pemerolehan kembali tambahan yang melekat
di dalam ukuran seperti ini.
Aplikasi Teori Pembelajaran Kognitif
Menurut Suryani (2008:142), karena konsumen memiliki kemampuan untuk
mengolah informasi, maka pemasar perlu menyediakan informasi yang lengkap,
akurat dan jelas kepada konsumen. Ketersediaan informasi yang berkualitas ini
penting bagi proses pembelajaran konsumen, sehingga konsumen dapat mengambil
keputusan.
3) Pembelajaran Observasional
Menurut Suryani (2008:143), pembelajaran observasional pertama kali diperkenalkan
oleh A. Bandura dan seringkali disebut sebagai belajar observasional. Teori ini
berpendapat bahwa;
1) Dalam belajar individu akan meramalkan konsekuensi dari perilaku yang
dilakukan dan melakukan berbagai perilaku.
2) Dalam belajar individu akan memperhatikan perilaku orang lain dan mengamati
konsekuensi dari perilaku yang yang dilakukannya.
3) Individu mempunyai kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri dan melalui
proses regulasi diri akan memberikan penghargaan maupun hukuman atas
perilakunya.
Peran model dalam belajar observasional sangat penting, karena pada hakekatnya
individu akan melakukan perilaku seperti yang dilakukan model. Jika model
melakukan suatu perilaku dan dari tindakannya tersebut, akan mendapatkan
penghargaan, atau akibat yang menyenangkan, maka individu akan berusaha untuk
2015
9
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menirunya. Sebaliknya individu akan cenderung tidak melakukan perilaku yang
memberikan konsekuensi negatif (hukuman).
Model akan meningkat efektifitasnya jika:
a) Model secara fisik menarik
b) Model berhasil
c) Model dapat dipercaya
d) Model memiliki kemiripan dengan pengamat
e) Model yang ditampilkan mampu mengatasi kesulitan dan kemudian berhasil.
Selanjutnya menurut Suryani (2008:144), Bandura menjelaskan terdapat empat
tahapan proses yang terjadi dalam belajar observasional, antara lain:
1. Proses perhatian
Proses ini terjadi ketika individu ditayangkan suatu stimuli. Individu akan
memperhatikan model secara cermat. Semakin menarik model, dan semakin
dipercaya serta mempunyai kemiripan dengan individu akan semakin tinggi
keinginan individu untuk memperhatikan.
2. Proses penyimpanan
Apa yang diperhatikan akan disimpan dalam ingatan individu. Tentunya
kemampuan untuk menyimpan ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Jika model
yang ada mempunyai atribut atau cirri yang menonjol dan berbeda, akan dapat
lebih mudah diingat oleh konsumen.
3. Produksi
Dalam hal ini individu menghasilkan atau melakukan perilaku seperti yang
dilakukan model. Individu akan berusaha untuk dapat menghasilkan perilaku
sesuai dengan yang dilakukan mode. Dalam proses ini individu akan
mengkoordinasikan proses kognitif untuk menghubung-hubungkan informasi
yang ada agar dapat menghasilkan perilaku yang tepat.
4. Motivasi
Motivasi merupakan hal yang penting untuk menghasilkan perilaku. Motivasi ini
akan semakin kuat jika dengan melakukan tindakan seperti yang dilakukan
model akan mendapatkan konsekuensi positif. Hadiah, rasa puas, penghargaan
akan meningkatkan motivasi individu untuk melakukan perilaku seperti yang
dilakukan model.
Aplikasi dalam Strategi Pemasaran
Menurut Suryani (2008:145), pemahaman terhadap pembelajaran ini penting bagi
pemasar dalam upaya mendorong agar konsumen belajar sehingga menyukai dan
menjadikan produknya sebagai pilihan dalam pembelian. Melalui iklan dengan model
2015
10
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang tepat, pemasar dapat mendorong konsumen yang potensial tertarik dan
mengikuti apa yang dilakukan oleh model. Adanya model yang mendapatkan
konsekuensi positif dari tindakan yang dilakukan akan ditiru oleh konsumen. Hal
yang juga penting dilakukan oleh pemasar adalah memilih model yang mempunyai
kemiripan dengan segmen yang dituju, yang mempunyai penampilan menarik dan
dapat dipercaya.
Faktor lain yang penting dilakukan oleh pemasar adala bahwa memberikan
penghargaan seperti hadiah, kupon untuk belanja, voucher kepada pembelanja yang
setiap atau mau mencoba produk yang ditawarkan merupakan hal yang penting.
4) Pembelajaran Pasif
Setiadi (2010:120), menguraikan satu teori pembelajaran yang belum dibahas
sebelumnya. Teori tersebut adalah pembelajaran pasif yang dikemukakan oleh
Krugman (1965), di mana televisi merupakan sarana pembelajaran yang pasif.
Artinya seluruh informasi yang ditayangkan di televisi merupakan informasi yang
datang menghampiri penonton/konsumen, dan bukan penonton yang mencari-cari
informasi/iklan di televisi. Kita tidak pernah mendengar orang berkata bahwa saya
mau mencari/melihat iklan merek produk tertentu di televisi, tetapi hampir bisa
dipastikan orang menonton televisi adalah karena ingin melihat acara intinya, dan
bukan menonton selingan iklan. Oleh karena itu, ketika konsumen melihat iklan di
televisi, dia berada dalam kondisi yang pasif.
Setiadi (2010:120), menjelaskan bahwa Krugman membuat hipotesis yang
menyatakan televisi adalah media low involvement yang menghasilkan pembelajaran
pasif. Krugman juga mempertanyakan mengapa media televisi mampu menghasilkan
daya ingat merek yang tinggi, tetapi menghasilkan sedikit perubahan dalam sikap
terhadap merek. Misalnya mengapa sebuah merek produk sangat dikenal oleh
masyarakat, akan tetapi perilaku mereka terhadap merek itu tidak berubah. Krugman
beralasan karena pada saat konsumen menerima stimulus (iklan) dia tidak
menghubungkan dengan kebutuhannya, kepercayaan terhadap mereknya, dan pada
pengalaman masa lalu.
Dengan perkataan lain, ketika menonton televisi melihat iklan obat sakit kepala, pada
saat itu dia tidak mengalai sakit kepala, atau misalnya ketika penonton televisi
melihat iklan shampoo, pada saat itu dia sedang tidak perlu keramas. Adapun daya
ingat yang melekat pada konsumen atas suatu merek tertentu karena konsumen
sering melihat iklan merek itu di televisi. Dengan demikian daya ingat yang melekat
pada benak konsumen dibangun dengan penayangan iklan yang secara berulangulang. Hal ini akan berbeda dengan perilaku pembelian yang tingkat keterlibatannya
2015
11
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tinggi.
Konsumen
akan
mencari
informasi
atau
iklan,
ketika
kebutuhan
mengevaluasinya dan menentukan pilihan. Jadi pencarian informasi didahului oleh
adanya kebutuhan.
***
2015
12
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Peter, J. Paul dan Jerry C.Olson. 2013. Perilaku Konsumen & Strategi Pemasaran. Edisi 9.
Salemba Empat. Jakarta.
Schiffman, Leon dan Leslie Lazar Kanuk. 2008. Perilaku Konsumen. Edisi Ketujuh. PT
Indeks. Jakarta.
Setiadi, Nugroho J. 2010. Perilaku Konsumen. Kencana. Jakarta.
Supranto, J dan Nandan Limakrisna. 2007. Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran.
Mitra Wacana Media. Jakarta.
Suryani, Tatik. 2008. Perilaku Konsumen: Implikasi pada Strategi Pemasaran. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Jurnal :
Gurau , Calin. (2012). A life-stage Analysis of Consumer Loyalty Profile: Comparing
Generation X and Millennial Consumers. Journal of Consumer Marketing 29/2. 103–
113.
McCarthty, Mary. (2010). Experiential Learning Theory: From Theory To Practice. J Journal
of Business & Economics Research; 8, 5; pp:131-139.
Salegna, Gary J, Stephen A. Goodwin. (2005). Consumer Loyalty to Service Providers: An
Integrated Conceptual Model. Journal of Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and
Complaining Behavior. 18. pg: 51-67.
Srichanyachon, Napaporn. (2011). Cognitive Learning Styles of EFL Students. Journal of
College Teaching and Learning; Feb 2011; 8, 2; pp 15-23.
Xu, Yang. (2011). A Social-Cognitive Perspective on Firm Innovation. Academy of Strategic
Management Journal, Volume 10, Number 2. pp:33-54.
2015
13
Perilaku Konsumen
Sugihantoro, S.Sos, M.IKom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download