BAB - eLisa UGM

advertisement
UNIVERSITAS GADJAH
MADA
PROGRAM STUDI
FISIKA FMIPA
Bahan Ajar 7:
Teori Atom
(Minggu ke 11)
FISIKA DASAR II
Semester 2/3 sks/MFF 1012
Oleh
Muhammad Farchani Rosyid
Dengan dana BOPTN P3-UGM tahun
anggaran 2013
Nopember 2013
BAB 7: TEORI ATOM
Seorang filsuf Yunani kuno yang bernama Thales (kira-kira 624-546 SM)
melontarkan pertanyaan ”Dari bahan apa sajakah alam semesta ini dibangun?”. Dijawab
sendiri olehnya : ‘Air’. Suatu jawaban yang sangat sederhana. Jauh lebih sederhana
dibandingkan dengan pertanyaanya sendiri. Thales di kemudian hari ditasbihkan sebagai
filsuf pertama justru karena lontaran pertanyaan tersebut, bukan karena jawaban atas
pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan hebat yang mampu menggerakkan sekian banyak orang
untuk berusaha dengan tenaga dan dana untuk menjawabnya. Ya … sebab sekian banyak
orang tertarik dan tergerak untuk mencari jawaban yang layak atas pertanyaan itu. Dari
Demokritus dan Aristoteles, kemudian Jabir dan Dalton, sampai Thomson, Rutherford dan
Bohr. Dan bahkan sampai detik ini, pertanyaan itu masih terus bergaung, memanggil
jawaban memuaskan yang tiada kunjung datang. Berbagai fasilitas laboratorium dari kamar
gelembung sampai akselerator yang harganya trilyunan rupiah dibangun guna mencari
jawaban atas pertanyaan itu.
Yang diketahui orang sekarang ini adalah teori tentang struktur materi (bahan) yang
sesungguhnya telah mulai dikembangkan sejak zaman Yunani Kuno. Ya ... kira-kira 2500
tahun silam di Miletos, wilayah Ionia. Konon para filsuf selangkah lebih maju
dibandingkan para pendeta kaum pagan. Tetapi dari semua filsuf yang bersemangat itu
Thales-lah yang paling dikenang. Sejarah panjang dan berliku pengetahuan tentang struktur
materi, berangkat dari pertanyaan yang diajukan oleh Thales ”Dari bahan apa sajakah alam
semesta ini dibangun?”. Pertanyaan ini sama maknanya dengan teka-teki : apakah yang
terjadi seandainya suatu bahan dipotong-potong terus? Akankah kegiatan potongmemotong itu akan terhenti, yakni sampai diperolehnya potongan paling kecil sehingga
potongan terkecil ini tak dapat dipotong-potong lagi? Ataukah sebaliknya, akankah
pemotongan itu dapat dilakukan terus-menerus tiada henti? Dua pandangan yang saling
berseberangan ini dikemukakan orang pada waktu itu dalam nuansa filsafati yang cukup
kental, jadi sangat spekulatif. Karena hanya pengaruh superioritas seorang filsuf yang lebih
populer banyak orang cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa pemotongan
semacam itu dapat dilakukan terus-menerus tanpa henti. Nama yang perlu disebut
selanjutnya adalah Leukippos dan muridnya Demokritus. Mereka berpendapat bahwa alam
ini tidak sinambung melainkan terdiri atas ruang-ruang kosong. Demokritus selanjutnya
mengatakan bahwa materi tersusun atas partikel-partikel kecil yang disebut atom (atom
berarti tidak dapat dipotong). Tetapi pendapat ini dipadamkan selama berabad-abad oleh
karisma seorang Aristoteles yang lebih mendukung teori lama yang dikenal sebagai teori
“empat unsur“.
Setelah senyap beberapa lama pada abad kesembilan Masehi, seorang ilmuwan
muslim menguraikan metode analisa penyusun suatu senyawa dan cara melakukan sintesa
berbagai bahan.
Baru di tangan para ahli kimia, teori tentang struktur materi dikembangkan secara
ilmiah kealaman (bukan semata-mata filsafati). John Dalton pada tahun 1803 melalui
teorinya tentang atom menghidupkan kembali keyakinan akan adanya bagian paling kecil
dari materi yang ia namakan juga dengan atom. Lebih jauh ilmu Kimia telah berhasil
mengembalikan materi yang beraneka ragam jenisnya menjadi atom-atom dari unsur-unsur
yang hanya beberapa saja macamnya. Namun hanya sampai di sinilah ilmu kimia mampu
menyelidiki struktur materi.
Ilmu fisikalah yang membawa penyelidikan struktur materi lebih jauh hingga
ditemukannya partikel-partikel elementer. Hal ini dikarenakan dalam kajian-kajian dan
penyelidikannya ilmu fisika mampu membedah atom lebih jauh ke dalam dengan
melibatkan tenaga yang jauh lebih tinggi. Melalui hari-hari panjang yang penuh dengan
kerja keras, para fisikawan akhirnya mampu menunjukkan bahwa yang dikenal oleh Dalton
dan para kimiawan semasanya sebagai atom sesungguhnya bukanlah partikel yang sudah
tidak dapat dibagi-bagi lagi. Fisikawan mendapatkan bahwa atom tersusun atas inti atom
dan elektron-elektron yang beredar di sekitarnya. Sementara inti atom ternyata bukanlah
batas bagi usaha pencarian penyusun materi terkecil. Inti atom kemudian diketahui tersusun
atas nukleon-nukleon. Sekarang diketahui bahwa nukleon-nukleon itu merupakan
perpaduan dari partikel-pertikel yang lebih kecil lagi yang disebut quark. Dan seterusnya.
1. Penemuan Elektron
Aspek kelistrikan atom telah dikenal sejak elektrolisis dikembangkan oleh Faraday,
yaitu dikenalnya ion-ion pada suatu larutan. Dia berhasil menunjukkan bahwa satu satuan
kelistrikan terkait dengan sebuah atom.
Pada akhir abad ke-19 orang mengenal elektron melalui pengamatan pada tabung
lucutan. Pada tekanan yang cukup rendah suatu gas dalam tabung akan mengalalmi lucutan
bilamana pada kedua elektrodanya dipasang suatu tegangan tertentu. Dari katoda (elektroda
negatif) akan memancar suatu sinar yang berarah menuju anoda (elektroda positif). Karena
memancar dari katoda dan bergerak (baca : tertarik) ke arah anoda, mestinya sinar ini
bermuatan negatif. Sinar ini disebut sebagai sejenis partikel bermuatan negatif yang
akhirnya dikenal sebagai elektron. Sementara itu, pada tahun 1896 Henri Becquerel
menemukan gejala radioaktivitas, yakni adanya radiasi bermuatan yang memancar dari
uranium. Lalu dari manakah datangnya partikel-partikel
bermuatan itu? Jawaban yang cukup beralasan adalah bahwa
partikel-partikel datang dari dalam atom-atom. Tetapi, kalau
memang betul bahwa partikel-partikel itu berasal dari dalam
atom, maka atom-atom tentu tersusun oleh partikel-partikel itu.
Dua gejala alamiah itu, tampaknya telah cukup membuat para
ilmuwan berpikir kembali tentang atom, benarkah atom
merupakan bagian dari zat yang paling kecil sehingga tidak
dapat dibagi lagi?
Pada tahun 1897 J.J. Thomson berhasil mengukur
nisbah (rasio) antara muatan dan massa elektron sebagai
Gambar 7.1 J.J. Thomson
e
= −1,7588196×1011 C/kg
me
dengan e merupakan muatan elektron dan m massa elektron. Setelah Thomson, A. Milikan
pada tahun 1915 menyusun suatu eksperimen dengan tujuan untuk mengukur muatan
elektron. Dari eksperimen ini Milikan memperoleh
muatan elektron = − e = −1,60217733 ×10−19 coulomb.
Dengan demikian maka massa elektron segera dapat dihitung,
me = 9,1093897 × 10-31 kg.
Yang diperoleh Milikan dari erksperimen yang dilakukan olehnya bukan hanya nilai
muatan elektron itu saja, namun ia juga mendapatkan satu hal lagi yang tak kalah
pentingnya dari nilai muatan elektron. Sebagaimana telah disinggung pada bab 3 buku ini,
Milikan memeperoleh kenyataan bahwa nilai muatan elektron merupakan catu (paket)
muatan keunsuran (elementer), yaitu paket muatan terkecil yang dapat dipunyai oleh setiap
benda. Jadi, tidak ada materi yang memiliki muatan yang senilai dengan hasil kali antara
suatu bilangan tengahan dengan nilai muatan −e = −1,60217733×10-19 coulomb ataupun e =
1,60217733 ×10−19 coulomb (Hal ini benar sepanjang anda tidak membuka tabel partikelpartikel elementer. Di sana anda temukan adanya partikel keunsuran yang memiliki muatan
senilai (2/3)e) Dengan demikian, setiap benda bermuatan akan mempunyai muatan yang
nilainya merupakan perkalian antara sebuah bilangan bulat dikalikan dengan ± 1,60217733
×10−19 C.
2. Model Atom Thomson
Atom merupakan sistem netral secara kelistrikan,
artinya muatan netto sebuah atom adalah nol. Karena
elektron telah diketahui bermuatan negatif, maka secara
akal sehat mestinya bagian lain dari atom selain elektron
harus bermuatan positif sedemikian rupa sehingga syarat
kenetralan itu tetap terpenuhi. Syarat kenetralan ini selalu
dipertimbangkan dalam penyusunan suatu teori atom.
Model atom pertama diusulkan oleh J.J. Thomson pada
tahun 1898. Dalam pandangan Thomson, atom tersusun
atas beberapa elektron yang tersebar dalam sebuah bola
bermuatan positif. Kerapatan muatan positif bola tersebut
Gambar 7.2 Model Atom sama (seragam) di seluruh bagiannya. Bola bermuatan
positif ini cukup lunak sehingga elektron dan partikel lain
Thomson
dapat menembus dan bergerak di dalamnya. Elektronelektron tersebut tersebar merata ke seluruh bola positif. Interaksi elektromagnetik dijalin
antara elektron dan bola positif sedemikian rupa sehingga elektron tidak akan lari dari bola
positif itu tanpa sebab. Nilai muatan positif yang dimaksud tergantung dari jumlah elektron
yang dipunyai oleh atom yang bersangkutan. Jumlah elektron ini ditentukan oleh jenis
unsur. Jadi, nilai muatan positif sama dengan jumlah elektron dikalikan dengan
+1,60217733 × 10-19 C (Lihat Gambar 7.2). Model atom ini dikenal sebagai model atom
kue kismis. Kalau elektron diandaikan kismisnya, bagaimana distribusi (penyebaran)
elektron dalam bola positif itu? Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan
melongok ke bagian dalam atom. Itu betul! Tetapi, bagaimana caranya?
Pada tahun 1911, Hans Geiger dan Ernest Marsden, di bawah arahan Ernest
Rutherford, membombardir (menembaki) atom-atom emas dengan partikel alpha dalam
rangka untuk melihat bagian dalam atom emas (lihat gambar 7.3). Partikel  adalah partikel
bermuatan positif yang bertenaga tinggi dan dipancarkan oleh bahan radioaktif. Massa
ZnS
mikroskop
diafragma
Sumber 

Lembaran emas
Gambar 7.3 Hamburan partikel alpha memendarkan lempeng Seng
Sulfida (ZnS) yang pada gilirannya dapat dilihat dengan mikroskop.
partikel  empat kali massa atom hidrogen, sedang muatannya dua kali e. Dengan adanya
muatan positif dalam atom, diharapkan partikel  akan terbelokkan. Dengan menggunakan
detektor partikel alpha sejauh mana pembelokan tersebut terjadi dapat diketahui. Nah,
begitulah cara melihat ke dalam atom. Bagaimana hasilnya?
Lintasan partikel 
r
Gambar 7.4 Partikel  menembus bola Thomson
Jika model atom Thomson memang benar, maka partikel α yang dapat menembus
masuk ke dalam bola positif itu akan mengalami gaya tolak sebesar
F=
−
qQr
,
40 R 3
(7.1)
ketika partikel alpha itu berada sejauh r dari titik pusat bola positif, dengan q muatan
partikel α dan Q muatan positif bola Thomson. Terlihat bahwa gaya tolak ini sebanding
dengan jarak radial partikel α dari pusat bola positif. Semakin dekat ke pusat, semakin
lemah gaya tolak ini. Sebaliknya di luar bola, gaya tolak ini berbanding terbalik dengan
kuadrat jarak partikel α terhadap pusat bola :
F=
qQ
.
40 r 2
(7.2)
Sekali lagi, jika model Atom Thomson ini benar, partikel-partikel α yang menembus
atom itu tidak akan mengalami deflaksi (pembelokan) yang ekstrim. Tidak akan ada
partikel yang terbelokkan sehingga sudut hamburan () melebihi 90º. Harapannya adalah
sebagaimana menembaki selembar kertas tisu dengan senapan. Tidak mungkin ada peluru
yang dipentalkan oleh kertas itu kembali ke senapan. Tetapi apa kenyataanya? Negatif!
Ternyata, walaupun ada partikel alpha yang dibelokkan dengan sudut hambur sangat kecil,
namun terdapat pula partikel α yang disimpangkan melebihi sudut 90º. Bahkan ada yang
disimpangkan sampai 180º. Dengan demikian maka model atom Thomson sudah selesai di
sini.
3. Model Atom Rutherford
Dari kajian terhadap berbagai hasil
eksperimen hamburan sinar alpha yang telah
dilakukan, maka sampailah Rutherford pada
pemikiran bahwa tidak seharusnya sesuatu yang
bermuatan positif dalam atom berupa bola lunak
sebagaimana yang diusulkan oleh Thomson.
Massa dan muatan positif atom seharusnya tidak
tersebar merata pada seluruh atom, melainkan
terkonsentrasi pada wilayah yang sangat terbatas
berdiameter sekitar 10-14 m di pusat atom. Hal ini
mendorong Rutherford untuk mengusulkan
sebuah model atomnya sendiri. Model atom
Rutherford disebut pula model atom inti. Sama
Gambar 7.5 Model Atom Rutherford
dengan model sebelumnya, model atom inipun
juga melibatkan elektron-elektron sebagai
partikel-partikel penyusunnya. Jadi, konsep elektron masih dipakai. Tidak dibuang sama
sekali. Bedanya, Rutherford masih perlu menghadirkan sebuah “partikel” lagi, yakni
partikel bermuatan positif sebagai penyumbang muatan positif dan sebagai ganti bola
Thomson. “Partikel” ini disebut inti atom (nukleus). Inti atom bersifat pejal, keras, dan
masif. Tidak seperti bola Thomson, inti atom tidak dapat ditembus oleh partikel seperti
elektron dan lain-lain. Inti atom mempnyai massa yang relatif besar sehingga massa
elektron dapat diabaikan terhadapnya. Inti atom sangatlah kecil dibandingkan dengan atom.
Yang terakhir ini mengakibatkan sebagian besar dari atom merupakan ruang kosong.
Menurut Rutherford, inti atom diselubungi oleh “awan” elektron. Elektron-elektron itu
bergerak memutari inti atom. Besarnya muatan positif inti mengikuti jumlah elektron. Jadi,
dalam angan-angan Rutherford, atom merupakan miniatur dari sistem tata surya kita. Inti
atom sebagai matahari sedang elektron-elektron sebagai planet-planetnya. Model atom
Rutherford diilustrasikan oleh Gambar 7.5.
Tetapi banyak fisikawan berkeberatan terhadap model atom ini. Mereka beralasan
dengan menggunakan elektromag-netika klasik. Elektron yang berinteraksi secara
elektromagnetik dengan inti atom dan bergerak dipercepat (dengan percepatan
sentripetalnya) akan memancarkan radiasi elektromagnetik. Ini berarti bahwa elektronelektron itu secara terus-menerus akan kehilangan energi. Ini berarti pula bahwa elektron
itu semakin lama semakin lambat. Jika elektron-elektron itu semakin lambat, maka jari-jari
lintasannya akan semakin menyusut. Dan pada akhirnya, elektron-elektron itu akan segera
jatuh ke inti atom. Jadi, atom tidak memiliki kesetabilan. Kalau ini terjadi, maka
seharusnya sudah sejak dahulu dunia ini hancur.
Sebelum beranjak ke model atom berikutnya, kita bicarakan lebih dahulu perihal
jari-jari inti. Jari-jari inti atom berbeda dari satu unsur ke unsur lain. Dari eksperimen
diketahui bahwa jari-jari inti tergantung pada nomor massa (A) unsur tersebut. Nomor
massa suatu unsur adalah bilangan bulat yang paling dekat dengan massa atom unsur itu.
Sedangkan nomor atom (Z) suatu unsur adalah jumlah elektron yang dimiliki oleh setiap
atom unsur itu. Berdasarkan hasil eksperimen jari-jari inti sebuah atom dengan nomor
massa A secara penghampiran diberikan oleh
Rn = r0A1/3,
(7.3)
dengan R0 suatu tetapan dengan nilai sekitar 1,20 × 10-15 meter.
Contoh: Perkirakanlah jari-jari inti sebuah atom uranium dengan nomor massa 235!
Jawab : Inti atom uranium berjari-jari Rn = (1,20 × 10-15 meter)(235)1/3 = 7,40 ×10-15
meter.
Contoh: Hitunglah secara penghampiran tenaga kinetik minimum partikel  yang
ditembakkan pada sebuah atom suatu unsur dengan nomor massa A dan nomor atom Z agar
partikel alpha itu mampu menyentuh permukaan inti atom itu, bila atom tersebut cukup
masif!
Jawab :Andaikan Ek0 tenaga kinetik partikel alpha itu tepat ketika ditembakkan. Sebagai
bola bermuatan listrik, inti atom menebarkan potensial di sekitarnya, sehingga pada jarak r
dari pusat inti terdapat potensial sebesar
Ze
.
40 r
Bila partikel alpha berada pada jarak r dari inti atom itu, maka tenaga potensialnya adalah
V(r) =
1
Ep(r) = (2e)V(r) =
2 Ze 2
.
4 0 r
1
Bila gravitasi bumi dan berbagai bentuk interaksi lain selain gaya Coulomb dianggap tidak
berpengaruh, maka tenaga mekanik total partikel alpha, yakni E = Ek + Ep, bersifat tetap.
Bila sumber pertikel alpha boleh dianggap berada pada jarak yang cukup jauh, maka tenaga
mekanik total partikel alpha adalah Ek0. Partikel alpha itu mampu menyentuh permukaan
inti atom paling tidak bila tenaga kinetiknya bernilai nol pada saat menyentuh permukaan
inti. Jadi,
Ek0 = 0 + Ep(Rn) =
2 Ze 2
.
4 0 Rn
1
Karena Rn = R0A1/3, maka
Ek0 =
2 Ze 2
.
4 0 R0 A1 / 3
1
4. Model Atom Rutherford dan Bohr
Inilah momen yang menandai awal pendobrakan terhadap pandangan-pandangan
klasik. Niels Bohr tampil membela model atom Rutherford dengan mengajukan beberapa
postulatnya. Sejalan dengan berkembangnya teori atom, secara terpisah ilmu spektroskopi
pun mencapai tingkat kemajuan yang sangat menggembirakan. Semula tidak disadari
adanya keterkaitan yang sangat erat antara spektroskopi dengan usaha manusia memahami
bangunan atom. Dua dunia yang sekilas tampak berbeda ini ternyata, memiliki hilir yang
sama. J.R. Rydberg, J. Balmer dan lain-lainnya telah sebegitu jauh mengembangkan ilmu
ini.
Gambar 7.6 memperlihatkan sketsa peralatan yang lazim dipergunakan dalam
pengamatan spektrum unsur-unsur. Yang dimaksud dengan sumber dalam gambar itu
adalah sumber radiasi elektromagnetik dari uap/gas unsur-unsur yang akan diamati
Sumber
kolimator
prisma
Plat fotografik
Gambar 7.6
spektrumnya. Radiasi dari sumber tersebut lalu dilewatkan kolimator yang berupa celah
sempit sehingga diperoleh berkas yang tajam dan sejajar. Setelah melewati kolimator
berkas radiasi elektromagnetik itu dijatuhkan pada permukaan prisma sehingga akan
mengalami dispersi (penguraian). Pada akhirnya plat fotografik digunakan untuk
menangkap spektrum unsur-unsur yang diamati itu. Dalam kenyataan prisma dapat diganti
dengan peranti apapun (kekisi difraksi, misalnya) yang mampu menguraikan radiasi
elektromagnetik atas komponen-komponennya.
Ada tiga jenis spektrum, yaitu spektrum kontinyu, spektrum pancaran dan
spektrum serapan. Jenis spektrum yang akan terlihat pada plat fotogarfik pada
spektroskopi (Gambar 7.7) bergantung pada cara menyiapkan sumber radiasi. Bila sumber
berupa bola lampu tanpa ada perlakuan khusus, maka akan dihasikan radiasi kontinyu. Bila
sumbar radiasi berupa gas yang bersuhu tinggi, maka akan dihasilkan spektrum pancaran.
Selanjutnya, bila sumber radiasi berupa cahaya bola lampu yang dilewatkan pada gas yang
bersuhu rendah, maka akan dihasilkan spektrum serapan. Pola garis-garis spektrum (baik
serapan maupun pancaran) tergantung dari gas unsur apa yang digunakan. Oleh karena itu,
spektrum suatu unsur merupakan karakter unsur itu. Jadi, spektrum merupakan sesuatu
yang khas bagi unsur itu. Spektrum unsur hidrogen memiliki pola yang berbeda dari polapola spektrum Helium. Pola-pola spektrum unsur helium berbeda dari pola-pola spektrum
unsur Karbon dan lain sebagainya. Gambar 7.8 memperlihatkan sebagian spektrum
pancaran hidrogen, Helium dan Karbon.
Gambar 7.7 Spektrum serapan Hidrogen, Helium, Karbon.
Contoh: Spektrum suatu unsur boleh dikatakan sebagai sidik jari bagi unsur itu.
Keberadaan suatu unsur di suatu benda dapat dipelajari dari spektrum radiasi yang
dipancarkan oleh bahan-bahan itu. Sebagai contoh adalah penentuan kandungan unsurunsur yang ada di berbagai benda angkasa terutama pada bintang-bintang. Dengan cara
mempelajari spektrum radiasi yang dipancarkan oleh benda-benda angkasa dan
mencocokkannya dengan spektrum unsur-unsur yang telah dikenal, kita dapat mengetahui
komposisi unsur-unsur yang ada di dalam benda angkasa itu. Ternyata, unsur Helium,
misalnya, pertama kali ditemukan terdapat dalam matahari sebelum benar-benar ditemukan
di bumi. Nama “Helium“ berasal dari istilah Yunani “Helios“ yang berarti matahari. Dari
garis-garis spektrum pula para astrofisikawan dapat menentukan rapat massa unsur-unsur
yang ada di suatu bintang serta mengukur temperatur benda-benda angkasa. Garis-garis
spektrum pancaran dapat pula memberi informasi kepada kita tentang medan magnet
Gambar 7.8 Deret Balmer atom hidrogen
sebuah bintang. Ketebalan garis-garis spektrum suatu bintang menandakan keberadaan
angin bintang (stellar wind). Jika garis-garis spektrum bintang itu bergeser bolak-balik,
maka bisa jadi bintang itu mengorbit sebuah bintang lain. Spektrum suatu bintang juga
dapat memberi informasi kepada kita untuk memperkirakan massa dan ukuran suatu sistem
tatasurya.
Di antara yang telah didapatkan oleh ilmu spektroskopi adalah deret-deret spektrum
garis atom Hidrogen dan pola-pola keteraturannya yang mereka sajikan dalam bentuk
hubungan empiris antara deret satu dengan deret yang lain. Hubungan empiris ini
dituangkan oleh Rydberg dalam bentuk persamaan sebagai berikut
1
 1
 RH  2  2  ,

n 
 n'
1
(7.4)
dengan RH tetapan Rydberg untuk hidrogen yang memiliki nilai sebesar 10972160 m-1 dan
λ panjang gelombang garis spektrum. Untuk n’ = 2 diperoleh deret Balmer, dalam hal mana
n bernilai labih dari atau sama dengan 3. Untuk n’ = 3 diperoleh deret Paschen. Untuk n’= 1
dan n ≥ 2 diperoleh deret Lyman. Untuk n’= 4 dan n ≥ 5 diperoleh deret Bracket.
Niels Bohr-lah orang pertama yang menyadari keterkaitan antara hal-hal yang telah
diperoleh dalam spektroskopi dengan struktur atom. Kemudian dia merenovasi bangunan
teori atom Rutherford. Maka jadilah teori atom Bohr-Rutherford. Berikut adalah
postulat-postulat Bohr tentang atom :
1. Sebuah elektron dalam sebuah atom bergerak memutari inti pada suatu orbit (lintasan)
yang berbentuk lingkaran. Elektron itu mengalami gaya tarik Coulomb dan memenuhi
teori mekanika klasik.
2. Tetapi, lintasan-lintasan yang dimugkinkan bagi sebuah elektron tidaklah sembarang
lintasan (seperti yang diijinkan oleh mekanika klasik). Lintasan yang dimungkinkan
bagi sebuah elektron adalah lintasan-lintasan pada mana momentum sudut elektron
merupakan perkalian antara bilangan bulat positif n dengan h/2 :
Ln =
nh
= nħ,
2
(7.5)
dengan Ln momentum sudut elektron, n bilangan asli dan h tetapan Planck senilai 6,63
× 10-34 J.s serta ħ = h/2.
3. Tenaga elektron dalam memutari inti tidak berubah. Jadi, dalam memutari int,i
elektron tidak kehilangan tenaga dalam bentuk radiasi elektromagnetik.
4. Radiasi elektromagnetik dipancarkan jika elektron diganggu dari geraknya pada suatu
orbit sehingga elektron itu pindah ke orbit lain. Misalnya Ei adalah tenaga elektron
pada orbit awal. Lalu elektron itu diberi tenaga dari luar (dipanasi, misalnya)
sehingga tenaganya bertambah menjadi Ef dengan meloncat ke suatu orbit dengan
tenaga Ef. Dalam hal ini dikatakan bahwa elektron itu dieksitasi. Tetapi elektron itu
cenderung untuk kembali ke lintasan semula dengan memancarkan radiasi
elektromagnetik dengan frekuensi :
V=
E f  Ei
.
(7.6)
h
Postulat pertama Bohr didasarkan pada keberadaan inti sebagai “matahari” dalam
“tata surya atom” dan elektron-elektron sebagai “planet-planet” dalam “tata surya” itu.
Postulat kedua menyatakan kuantisasi momentum sudut elektron-elektron dalam
peredaran mereka mengelilingi inti atom. Kuantisasi ini pada gilirannya mengimbas
kuantisasi tenaga, yakni bahwa elektron-elektron dalam suatu atom tidak dapat
mengambil orbit dengan tenaga yang bernilai sembarang. Hanya orbit dengan tenagatenaga tertentu saja yang diijinkan. Jadi, orbit adalah sesuatu yang disediakan oleh atom,
bukan dimiliki oleh elektron itu sendiri secara pribadi. Dan atom hanya menyediakan orbitorbit tertentu saja bagi elektron-elektron.
Orbit-orbit yang cenderung ditempati oleh elektron-elektron pada saat tidak ada
usikan disebut orbit stationer. Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa elektron
berada pada keadaan dasar (ground state). Karena orbit elektron tidak sembarangan, maka
tenaga elektron dalam atom pun tidak boleh sembarangan, dikatakan elektron itu
mempunyai aras-aras tenaga. Aras-aras tenaga atom sering disebut pula sebagai kulit-kulit
atom. Nanti akan ditunjukkan bahwa tenaga suatu aras (tingkat) tenaga berkaitan dengan
bilangan bulat positif n yang disebut bilangan kuantum utama. Bahwa tenaga yang
dimiliki oleh elektron-elektron dalam atom bersifat diskret dibuktikan oleh eksperimen
Franck-Hertz (lihat bab selanjutnya).
Postulat ketiga dengan sendirinya menjawab keraguan orang akan stabilitas atom.
Dengan postulat ketiga itu atom Bohr terhindar dari ketakutan akan keruntuhannya. Tetapi
ini merupakan pemikiran radikal dan tidak mudah menjelaskannya pada segenap ilmuwan
kala itu.
5. Atom Hidrogen menurut Bohr
Atom hidrogen menyediakan “try-out“ bagi model atom Bohr. Pengetahuan yang cukup
mapan tentang atom hidrogen yang didapat dari “try-out” itu menjadi penting terkait
dengan berbagai alasan berikut ini :
1. Secara teoretis atom hidrogen merupakan sistem atomik dengan permasalahan
matematik yang dapat diselesaikan secara eksak (tanpa penghampiran).
2. Banyak pengetahuan yang diperoleh dari atom hidrogen, yang hanya memiliki satu
elektron, dapat pula diterapkan ataupun diperluas untuk ion-ion dengan satu
elektron seperti He+ dan Li++.
3. Atom Hidrogen merupakan sistem ideal untuk menguji teori secara tepat dan untuk
meningkatkan pemahaman menyeluruh tentang bangunan atom.
4. Bilangan kuantum yang digunakan untuk menandai aras-aras (level-level) tenaga
atom hidrogen dapat pula digunakan untuk menggambarkan aras-aras tenaga atomatom kompleks yang memiliki banyak elektron dan hal itu tentu saja
memungkinkan kita dapat memahami tabel periodik unsur-unsur.
5. Gagasan mendasar tentang bangunan atom harus dapat dimengerti dengan baik
terlebih dahulu sebelum menghadapi kerumitan bangunan suatu molekul dan
struktur elektronik zat padat.
Oleh karena itulah dalam bab ini kita bicarakan bagaimana model Bohr mampu
menjelaskan hasil-hasil ekperimen spektroskopi hidrogen.
Atom hidrogen diketahui tersusun atas sebuah elektron dan sebuah proton sebagai
intinya. Berdasarkan postulat pertama, elektron itu mengalami gaya Coulomb sebagai gaya
sentripetal. Bila elektron mengorbit inti atom pada jarak r, maka mudah untuk dipahami
bahwa
e2
4 0 r 2
=m
v2
.
r
(7.7)
Oleh sebab itu, kecepatan orbit elektron mentaati persamaan
v 
2
e2
4 0 mr
.
(7.8)
Dengan demikian, tenaga mekanik (non relativistik) elektron keseluruhan diberikan oleh
Etotal
= Ekinetik + Epotensial
= ½ mv2 + V
e2
=
8 0 r
Etotal
=

e2
4 0 r
atau
e2
.
(7.9)
8 0 r
Tanda negatif menunjukkan bahwa elektron tersebut terikat. Menurut postulat kedua,
karena L = mvr, maka
mvr =
nh
2
atau
n2h2
.
v 
4 2 m 2 r 2
2
(7.10)
Berdasarkan persamaan (7.8), diperoleh
e2
n2h2
=
4 0 mr
4 2 m 2 r 2
atau
 0h2n2
r
 a0 n 2 ,
2
me 
(7.11)
dengan
a0 
 0h2
 0,05 nanometer.
me2
Tetapan a0 disebut jejari Bohr. Megingat r tergantung pada bilangan kuantum n, maka
selanjutnya ditulis sebagai rn dan dibaca sebagai jari-jari orbit nomor n. Oleh karena itu,
n = 1, 2,…
rn  a 0 n 2
(7.12)
Dari persamaan (7.10) didapatkan
vn 
nh
.
2ma0 n 2
n = 1, 2,… (7.13)
Dan berdasarkan persamaan (7.9) didapatkan tenaga
elektron menurut
En  
e2
13,6eV

,
2
8e0 a 0 n
n2
n = 1, 2,…
(7.14)
Persamaan (7.14) memberi petunjuk kepada kita
bahwa tenaga elektron pada suatu orbit tergantung
pada bilangan bulat positif n, yakni nomor orbit.
Bilangan bulat positif ini menandai aras-aras
Gambar 7.9 Aras-aras tenaga
(tingkatan-tingkatan) tenaga elektron dalam atom
atom hidrogen
Hidrogen. Gambar 7.9 memperlihatkan aras-aras
tenaga atom hidrogen.
Jika sebuah elektron berpindah dari sebuah aras n ke aras lainnya, katakanlah n’,
maka elektron itu akan memperoleh tambahan tenaga sebesar
E  E n'  E n  
1 
 1
 2  2
8 0 a 0  n'
n 
e2
atau
E 
1 
1
 2.
2

8 0 a 0  n
n' 
e2
(7.15)
Bila ∆E bernilai negatif berarti bahwa elektron itu memancarkan tenaga dalam bentuk
radiasi elektromagnetik dengan frekuensi
E
e2
1
 1
v

 2.
2

h
8 0 a 0 h  n'
n 
Juga, karena v 
c

maka
1

1


v
, sehingga
c

E
e2
1
 1

 2.
2

h
8 0 a 0 hc  n'
n 
(7.16)
(7.17)
Bila dihitung,
e2
 10972160 m-1.
8 0 a 0 hc
Nilai ini sama dengan konstanta Rydberg dalam ilmu spektroskopi. Jadi, diperoleh kembali
persamaan empiris Rydberg (persamaan (7.4)). Menakjubkan bukan? Gambar 7.10
memperlihatkan deret-deret garis spektrum atom hidrogen dan locatan-loncatan atau
transisi-transisi elektron yang terkait dengan garis-garis spektrum itu.
Sampai di sini, teori Atom Bohr mampu memberi penjelasan yang sangat
memuaskan perihal sepktrum atom hidrogen. Perkembangan selajutnya dalam dunia
spektroskopi menuntut modifikasi teori atom Bohr ini. Perkembangan tersebut ialah
ditemukannya struktur halus. Dengan meningkatnya resolusi spektrometer, sebuah garis
spektrum yang semula dianggap sebagai satu panjang gelombang, ternyata tersusun atas
beberapa garis spektrum yang berbeda panjang gelombangnya. Inilah yang disebut struktur
halus. Jumlah garis-garis penyusun ini sangat teratur. Jika hanya bersandar pada teori atom
Bohr-Rutherford saja tidaklah cukup untuk menerangkan struktur halus tersebut.
Modifikasi pertama dilakukan oleh Sommerfeld dengan memasukkan koreksi relativistik.
Namun hal ini kurang memuaskan. Penjelasan yang cukup memuaskan diberikan oleh teori
baru yang dikenal sebagai mekanika kuantum.
Gambar 7.10
Deret-deret
garis spektrum
atom
hidrogen
dikaitkan
dengan
loncatanlincatan
elektron dari/ke
arasaras tenaga
atom hidrogen.
7.6 Efek Zeeman Dan Momentum Sudut Orbital
Pada tahun 1896 Pieter Zeeman menemukan dalam eksperimennya bahwa garisgaris spektrum atom terpecah menjadi beberapa garis manakala sampel gas yang dipelajari
diletakkan dalam pengaruh medan
121,5 nm
121,5 nm
magnetik. Sebagai contoh adalah
garis spektrum atom Hidrogen
dalam deret Lyman dengan
panjang gelombang 121,5 nm.
Garis ini terkait dengan transisi
dari kulit n = 2 ke kulit n = 1.
Garis spektrum ini pecah menjadi
tiga garis (lihat Gambar 7.11).
B=0
B≠0
Jarak pemisah antara garis-garis
pecahan itu ternyata berbanding
Gambar 7.11
lurus dengan besarnya medan magnetik yang ditebarkan. Gejala pecahnya garis-garis
spektrum menjadi tiga garis akibat adanya pengaruh medan magnet semacam itu disebut
efek Zeeman normal. Sedangkan efek Zeeman anomali adalah pecahnya garis-garis
spektrum menjadi beberapa garis (jumlahnya tidak sama dengan tiga). Sekarang,
bagaimnakah teori atom Bohr dapat menjelaskan gejala ini? Sebuah elektron yang
mengelilingi inti atom pada kulit nomor n, menurut postulat kedua Bohr, memiliki
momentum sudut senilai
Ln =
nh
= nħ.
2
(7.18)
Dalam bab 3 buku ini telah dijelaskan bahwa benda-benda bermuatan yang bergerak dalam
lintasan tertutup selalu merupakan dwikutub magnetik dengan momen dwikutub magnetik
sebanding dengan momentum sudutnya. Oleh karena itu, elektron yang bergerak
mengelilingi inti atom pada kulit nomor n tentu juga merupakan dwikutub magnetik dengan
momen dwikutub senilai
Ln = 
e
en
Ln = 
2me
2me
(7.19)
Arah momen dwikutub elektron berlawanan dengan arah momentum sudut elektron karena
muatan elektron yang negatif. Menurut elektromagnetikat, sebuah dwikutub magnetik
dengan momen  yang berada dalam medan magnetik B memiliki tenaga sebesar
E = − •B.
(7.20)
Jadi, untuk elektron yang bergerak dalam atom pada kulit nomor n di bawah pengaruh
medan magnetik luar B akan memiliki tambahan tenaga sebesar
En = ± LnB = ±
eB
n.
2me
Tanda plus-minus tergantung pada arah medan magnet yang dipakai dan orientasi atom.
Jadi, timbul kenaikan maupun penurunan nilai tenaga pada masing-masing kulit atom.
Tetapi, apakah ini sudah menyelesaikan masalah? Tentu saja belum. Kalau tiap aras tenaga
berubah nilai tenaganya, maka kemungkinan-kemungkinan transisi elektron tetap sama.
Yang mungkin terjadi hanyalah pergeseran garis spektrum saja. Bila garis spektrum
dipahami sebagai akibat loncatan elektron dari satu aras tenaga ke aras tenaga yang lain,
maka kemungkinan pecahnya garis-garais spektrum sehingga muncul garis-garis baru,
hanya dimungkinkan kalau ada aras-aras tenaga baru akibat pendedahan medan magnet itu.
Maka munculah gagasan subkulit kulit atom yang dilegitimasi nantinya oleh Schroedinger
dan Heisenberg melalui mekanika kuantum. Pada prinsipnya, masing-masing kulit atom
tersusun atas subkulit-subkulit. Tenaga elektron yang menghuni masing-masing subkulit
pada kulit yang sama bernilai sama bila tidak ada pengaruh luar. Jumlah subkulit yang
dimiliki oleh masing-masing kulit terbatas. Kulit dengan bilangan kuantum n memiliki n
lapis subkulit. Masing-masing subkulit ini diberi lebel dari 0 sampai n − 1 dan diberi
lambang l. Jadi, l = 0,1,2,…, n − 1. Bilangan kuantum l ini disebut bilangan kuantum
orbital. Bilangan kuantum orbital terkait dengan momentum sudut orbital masing-masing
elektron yang menempati subkulit. Bila sebuah elektron menempati subkulit dengan
bilangan kuantum l, maka elektron itu memiliki momentum sudut orbital sebesar
|Ll| =  l (l  1) .
(7.21)
Subkulit dengan l = 0 oleh para fisikawan spketroskopi disebut subkulit s (sharp), subkulit
dengan l = 1 disebut subkulit p (principal), subkulit l = 2 disebut subkulit d (diffuse),
subkulit dengan l = 3 disebut subkulit f (fundamental), dlsb. Jadi, keberadaan sebuah
elektron dalam atom dapat dipahami melalui tiga atribut, yakni bilangan kuantum utama
(n), bilangan kuantum orbital (l) dan bilangan kuantum magnetik (ml). Bila suatu atom
diletakkan dalam suatu kondisi tertentu, masing-masing aras-aras tenaga akan pecah
menjadi beberapa subaras dengan nilai tenaga yang berbeda. Tetapi, ternyata hal ini belum
cukup untuk menjelaskan efek Zeeman. Kemudian, oleh para fisikawan masing-masing
subkulit masih diasumsikan tersusun atas struktur yang lebih kecil lagi, yakni subsubkulit.
Jumlah subsubkulit masing-masing subkulit juga terbatas dan tergantung dari bilangan
kuantum orbital. Untuk subkulit dengan bilangan kuantum orbital l, jumlah subsubkulit
yang dimilikinya adalah 2l + 1. Bilangan kuantum yang digunakan untuk melabeli
subsubkulit suatu kulit disebut bilangan kuantum magnetik dan diberi lambang ml.
Bilangan ml memiliki kisaran nilai dari −l sampai dengan l. Bilangan kuantum magnetik
terkait dengan komponen momentum sudut orbital ke arah sumbu-z, yakni Lz. Bila suatu
elektron berada pada subsubkulit ml, maka komponen momentum sudut orbital elektron itu
diberikan oleh
(ml = −l, −l + 1, ..., l − 1, l).
(7.22)
Lz = ml  ,
Bila atom itu diletakkan dalam medan megnetik konstant yang berarah ke sumbu-z positif,
maka elektron yang berada pada subsubkulit ml akan mendapatkan tambahan tenaga
sebesar
E = − L•B = − ( 
e
LzB
2me
e
=
B mlħ.
2me
e
Ll) • B
2me
=
(7.23)
Tanpa medan magnet
Dengan medan
magnet
n = 2, l = 1 ml = 1
n = 2, l = 1, ml = − 1, 0, 1
n = 2, l = 1 ml = 0
Jadi, masing-masing subkulit
pecah menjadi beberapa aras
tenaga.
Untuk
subkulit
dengan bilangan kuantum
orbital l, maka terdapat 2l + 1
aras pecahan. Beda tenaga
antara aras-aras baru yang
terbentuk adalah
n = 2, l = 1 ml = −1
e
Bħ.
2me
Penjelasan semacam ini
ternyata sangat mencukupi
bagi efek Zeeman normal.
Sebagai contoh adalah garis
n = 1, l = 0 ml = 0
spektrum pada deret Lyman
n = 1, l = 0 ml = 0
di atas. Sebuah elektron yang
tereksitasi ke kulit dengan n = 2 dan l = 1, kemungkinan memiliki tiga nilai bilangan
kuantum magnetik yakni : ml = − 1, 0, 1. Oleh karena itu, terdapat tiga kemungkinan
transisi dari keadaan dengan n = 2 dan l = 1 ke keadaan dengan n = 1 (lihat gambar 7.15).
Tiga transisi itu terkait dengan tiga garis spektrum. Tetapi bagaimana dengan efek Zeeman
anomali? Terlihat bahwa model di atas belum mencukupi. Lalu, atribut apalagi yang
dibutuhkan? Masihkah atribut ini terkait dengan momentum sudut dan momen dwikutub
magnetik? Jawabnya positif!. Tetapi, momentum sudut apalagi? Gagasan radikal
dibutuhkan lagi dalam hal ini. Gagasan itu adalah gagasan momentum sudut intrisik
elektron atau spin elektron, yakni momentum sudut yang selalu dimiliki oleh elektron
dalam keadaan apapun dan momentum sudut ini tidak terkait dengan posisi dan momentum
linier elektron. Bilangan kuantum yang terkait dengan spin ini adalah dilambangkan dengan
s yang nilainya selalu ½ untuk elektron. Terkait dengan bilangan ini adalah bilangan
magnetik spin dan dilambangkan dengan ms. Hanya ada dua nilai bagi ms, yakni −½ dan ½.
Besar momentum sudut spin elektron adalah
Gambar 7.13
|s| = s(s  1) =
3
.
4
(7.24)
Komponen momentum sudut spin elektron ke arah sumbu-z diberikan oleh
sz = msħ = ±½ħ.
(7.25)
Bila elektron memiliki komponen spin ½ħ maka elektron itu dikatakan berada pada
keadaan spin up. Di lain pihak, bila elektron memiliki komponen spin −½ħ maka elektron
itu dikatakan berada pada keadaan spin down. Dengan memperkenalkan konsep spin ini
efek Zeeman anomali dan beberapa masalah lain dapat dijelaskan dengan tuntas. Tetapi
masalah itu belum menjadi bahasan buku ini. Maaf.
7.7 Penerapan Fisika Atom : Laser
Sekarang ini, istilah laser sudah begitu familier (sangat dikenal) bagi kita. Berbagai
peranti yang kita manfaatkan keseharian banyak melibatkan laser, dari CD player, laser
pointer sampai mainan anak-anak. Tetapi apakah sesungguhnya sinar laser itu dan
bagaimana cara menghasilkannya? Teori dasar tentang laser sesungguhnya telah diusulkan
sejak tahun 1920-an oleh Albert Einstein, akan tetapi realisasinya baru setelah tahun 1950
oleh fisikawan bernama C.H. Townes dan A. M. Prokorov serta N. Basov.
Sebuah atom dikatakan tereksitasi ke aras tenaga yang lebih tinggi jika elektronelektron atom itu (karena menyerap tenaga/radiasi) meloncat ke aras-aras tenaga atom yang
lebih tinggi. Secara umum, sebuah atom dikatakan melakukan transisi dari suatu aras
tenaga ke aras tenaga yang lain jika elektron-elektronnya mengalami transisi antar aras
tenaga dalam atom itu.
Paling tidak ada tiga macam interaksi antara foton (radiasi elektromagnetik).
Sebuah atom dalam keadaan tereksitasi di suatu aras tenaga, berpindah ke aras tenaga yang
lebih rendah dengan jalan memancarkan sebuah foton. Tenaga foton yang dipancarkan ini,
sesuai dengan postulat Bohr, memiliki tenaga sebesar selisih tenaga yang dimiliki oleh
kedua aras tenaga itu. Peristiwa ini dikenal sebagai pancaran spontan dan dapat dituliskan
sebagai
atom* → atom + foton,
dengan tanda asterik menunjukkan bahwa atom tersebut dalam keadaan tereksitasi dari
keadaan dasarnya.
Interaksi kedua adalah serapan terimbas. Sebuah atom yang berada pada aras dasar
(keadaan dasar) menyerap foton dengan tenaga yang mencukupi (sesuai) dan melompat ke
aras tenaga yang lebih tinggi (keadaan tereksitasi). Interaksi ini dilambangkan dengan
persamaan
atom + foton → atom*.
Interaksi yang ketiga adalah pancaran terangsang (terimbas). Pada proses ini
sebuah atom yang berada pada keadaan tereksitasi di suatu aras tenaga meloncat atau
melakukan transisi ke aras tenaga yang lebih rendah dengan memancarkan foton karena
terangsang oleh sebuah foton yang memiliki tenaga sebesar selisih tenaga dua aras tenaga
itu. Kenyataan penting yang perlu dicatat dalam hal ini adalah bahwa foton yang
dipancarkan oleh atom sebagai hasil perangsangan itu memiliki tenaga yang sama, fase
yang sama dan arah pancaran yang sama dengan foton yang merangsangnya. Jadi, hasil
pancaran terangsang adalah dua buah foton dengan tenaga yang sama, fase yang sama dan
arah pancaran yang sama.
Seandainya sekarang ada sekian banyak atom yang berada pada keadaan tereksitasi
di suatu aras tenaga yang sama dan andaikan pula bahwa sebuah foton datang dan
menyebabkan pancaran terangsang pada sebuah atom. Maka proses pertama ini tentu
menghasilkan dua foton dengan tenaga yang sama, fase yang sama dan arah pancaran yang
sama. Masing-masing foton itu pada gilirannya akan menyebabkan (merangsang) dua atom
lain mengalami pancaran terangsang. Hasilnya dalah empat foton dengan tenaga yang
sama, fase yang sama dan arah pancaran yang sama. Proses serupa akan terjadi dan dapat
berlangsung terus sehingga karena foton yang dihasilkan memiliki fase yang sama dan
tenaga (tentu saja juga ferkuensi yang sama) maka foton-foton itu akan saling menguatkan
(superposisi konstruktif). Hasil penguatan ini adalah berkas cahaya yang memiliki
intensitas sangat tinggi dan sangat terarah sehingga membawa daya yang cukup tinggi atau
sering disebut laser. Istilah laser sendiri adalah singkatan dari Light Amplification by
Stimulated Emision of Radiation.
Tetapi pada kenyataannya laser bekerja tidak sesederhana itu. Ada dua kesulitan
untuk menerapkan rancangan di atas : (1) Cukup sulit untuk mempertahankan atom-atom
dalam keadaan tereksitasi sampai datangnya foton perangsang. (2) Foton-foton perangsang
dimungkinkan segera diserap oleh atom-atom yang berada pada keadaan dasar.
Untuk
mengatasi
kesulitan
pertama
orang
dapat
memilih
atom-atom
aras berumur pendek
yang memiliki tiga aras tenaga yang
salah satunya bersifat metastabil. Atomatom pada mulanya di“pompa“ sehingga
aras metastabil
naik ke aras tenaga tertinggi dengan
menggunakan pulsa listrik ataupun flash
lamp. Atom-atom yang berada pada
laser
keadaan tereksitasi itu akan segera turun
ke keadaan metastabil dengan cara
pancaran spontan. Atom-atom yang
aras berumur pendek
berada pada aras metastabil akan berada
di sana dalam waktu yang relatif
panjang. Atom-atom tersebut akhirnya
dirangasang untuk melakukan transisi
aras dasar
sambil memancarkan laser.
Untuk mengatasi kesulitan kedua,
Gambar 7.14
atom-atom dengan tiga aras itu ternnyata
tidak cukup. Untuk itu diperlukan atomatom dengan empat aras tenaga dengan aras tambahan yang berada tepat di atas aras dasar
memiliki umur yang cukup pendek (artinya atom-atom yang berada pada aras itu akan
segera turun ke aras dasar).
Daftar Pustaka
1. Baiquni, A. 1987. Fisika Modern, Edisi pertama, PN Balai Pustaka. Jakarta.
2. Blatt, F.D., 1983, Principles of Physics, second edition, Allyn and Bacon Inc., Boston.
3. Brehm, J.J. dan Mullin, W.J. 1989. Introduction to The Structure of Matter, Edisi
pertama. John Wiley & Son. New York.
4. Eisberg, R.M. 1961. Fundamentals of Modern Physics, Edisi pertama. John Wiley &
Son. Toronto.
5. Halliday, D., Resnick, R., & Walker, J., 1997, Fundamental of Physics, fifth edition,
John Wiley & Sons, Inc., New York.
6. Haken, H., Wolf, H.C. 1984. Atomic and Quantum Physics. Springer-Verlag. Berlin.
7. Hewitt, P.G., 2002, Conceptual Physics, ninth edition, Addison Wesley, New York.
8. Krane, K.S., 1983, Modern Physics, John Wiley & Sons, New York.
9. Serway, R. A. dan Beichner, R.J., 2000, Phyisics for Scientists and Engineers with
Modern Physics, Saunders College Publishing, New York.
Download