LAPORAN SEJARAH SENI RUPA INDONESIA NAMA : JENIASTUTI NIM : 1311744022 Mengutip Sejarah Hari Sabtu, 24 Mei 2014 para Mahasiswa Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang mengikuti mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia mengadakan kunjungan ke beberapa Candi yang berada di daerah Magelang Jawa Tengah. Diantaranya candi Gunung Wukir, candi Lumbung, candi Pendem dan candi Asu. Perjalanan di awali dengan penuh semangat, kegembiraan tergores di setiap senyum Mahasiswa. Pagi itu bersama para dosen pembimbing diantaranya Pak Heri dan Pak Indro serta pendamping pak Heri yaitu Pak Parto. Candi yang pertama kali kami kunjungi adalah candi Gunung Wukir, candi yang berada ditengah-tengah rindainya alam. Memberikan nuansa kesejukan disetiap perjalanan, serta melewati padatnya penduduk di pedesaan. Pena-NYA melukis medan yang harus kami lewati, lumayan dengan beberapa tanjakan yang ada. Hilir sawah menambah semangat kami untuk mencapai puncak Gunung Wukir. Seperti itulah nyata sebuah wisata candi yang memiliki daya tarik alami, tanpa perubahan. Ada esensi yang berbeda bagi setiap sudut pandang orang. Disanalah kita mampu membaca ilmu yang tersirat. Sebelum saya sampai puncak, sebelumnya yang terbayang adalah sebuah candi yang memiliki tata letak serta bentuk yang hampir mirip dengan candi Prambanan, Borobudur pada umumnya. Ternyata tidak, pertama saya langsung berfikir sepertinya candi ini penataannya acak ibarat sebuah prosedur yang tidak di tata secara sistematis. Mungkin bagi orang yang awam akan lebih berfikir, semua itu hanya batu biasa yang tak merambah ruang sejarah. Didekat pintu masuk gerbang terdapat bebatuan yang terlihat dengan tatanan acak, terlihat batu dengan bentuk lubang persegi seperti bekas berdirinya penyangga. Dahulu sebuah candi merupakan tempat yang begitu sakral, seperti tempat peribadatan yang harus di jaga kesuciannya. Seperti itulah dahulu, batu yang bentuk lubangnya persegi tersebut merupakan bekas penyangga atap yang terbuat dari kayu. Sebuah bangunan yang ada tergantung tempat dimana benda tersebut di datangkan. Di dalam kebudayaan India tergantung dia ada yang diibaratkan pada penunjang akar pohon beringin yang jatuh pada tempat yang lebih subur. Tidak seperti di daerah Vietnam, Kamboja serta Thailand yang kalah indah dengan kebudayaan di Indonesia dimana kebudayaan India yang datang ke Indonesia. Gambar 1. Bekas Penyangga (Foto: Jeni, 2014) Bebatuan yang ada memang penataannya asal. Di Indonesia menyebutnya dengan Hindu Amalaka, seperti buah Hindu awalnya diatur tatanannya tidak tertata namun asal aja. Candi dahulu ibarat sebuah tempat tinggal serta tempat ibadah. Tempat tinggal para Biksu Biksuni karena termakan usia maka menjadi lapuk. Sedikit berbeda dengan di India yang menggunakan kuil-kuil yang mirip dengan candi. Dia merupakan gua yang bagian dalamnya di pahat yang dikenal dengan korokan. Bagi para Biksu Biksuni yang hendak menempati, mereka harus memahat sendiri, hal tersebut untuk menguji keyakinan mereka apakah mereka yakin dengan keputusan yang mereka pilih. Semakin lama kuil korokan ini semakin kuat tidak hanya bertahun-tahun namun hingga berabad- abad lamanya. Karena penduduknya yang semakin banyak.Namun hal tersebut merupakan tahap awal, tidak ada profil seperti yang ada pada candi Borobudur. Tetapi abad selanjutnya sudah menjadi full profil. Pada abad ke-8 sebuah candi ketika dilihat sudah memiliki full profil. Karena dapat kita amati pada setiap profil sudut tersebut bentuknya jika tidak membulat dia melengkung ke dalam. Bahkan bentuk sudutnya yang berbentuk frontal sifatnya. Terdapat pula Lingga dan Yonni, dahulu benda ini ada tiangnya yang terbuat dari kayu sedangkan bagian atasnya beratap ada batu-batu yang berlubang. Sebagian atapnya sekarang tidak ditemukan karena kemungkinan terbuat dari rumbia atau daun tebu. Seperti candi Boko, di Pendopo dimana sebuah kata dalam masyarakat jawa yang merupakan bagian dalam dari candi. Dari sanalah kita mendapatkan kata pendapa. Pada masa Mataram awal, candi-candinya masih kecil-kecil dimana masa itu masih banyak para konsultan dari India sehingga Silvasastranya masih di pegang teguh oleh mereka. Sebenarnya masih ada tiga situs candi yang ada, namun mereka di timbun karena pihak pemerintah yang tidak mempunyai dana. Di setiap candi yang memiliki sumuran, lempengannya kalau tidak terbuat dari emas atau platina. Sebuah candi yang berkaitan dengan Hindu dia memiliki stupa. Hal ini seperti yang digunakan oleh para sejahrawan. Awalnya dahulu candi sering disebut dengan temple, sedangkan di India disebut dengan Ratsh mendapatkan kata rata yang di adopsi dalam bahasa jawa kita kenal dengan kereta. Berbeda dengan Budha yang menggunakan istilah roda, roda di sana adalah darma bukan roda sebenarnya. Lingga dan Yonni tersebut merupakan tempat yang digunakan oleh Syiwa ketika di racun. Kemudian dia menggunakan tanaman nila yang berwarna biru yang berasal dari daun Tom. Agar racunnya tidak menyebar, maka dia memotong lehernya, sejak saat itu dia mendapatkan julukan sang nila kanta. Hal inilah yang menyebabkan leher Syiwa berwarna kebiru-biruan seperti yang kita lihat pada umumnya. Air yang berada dalam Yonni dahulu merupakan air yang dilewatkan ke tubuh Syiwa sehingga banyak orang yang menganggap bahwa bertuah mata airnya. Candi-candi sebenarnya dapat mengalirkan air, seperti pada candi Perwara yang memiliki kala, kala merupakan wajah raksasa yang menganga, orang menafsirkan bahwa kala adalah waktu, maka bagi mereka yang menyia-nyiakan waktu dengan percuma sangat sia-sia hidup mereka pula. Candi disini lebih sederhana karena berada ditingkat kabupaten, tidak seperti pada Prambanan, Plaosan, Borobudur dan lain-lain. Gambar 2. Lingga dan Yonni (Foto : Jeni 2014) Di dalam Candi inipun ada sosok Nandi yang merupakan sapi kendaraan Syiwa jenis Brahman. Sapi ini merupakan Sinkretisme antara sapi India dengan sapi lokal yaitu banteng bisanya berwarna putih polos dan besar. Kemudian di resepsi, di adaptasi sehingga unsur lokalnya semakin kuat. Namun pengaruh India masih begitu kuat. Batu Nandi ini tidak ada bagian yang di perhalus. Hal ini merupakan salah satu simbol Kesyiwaan. Gambar 3. Nandi (Foto : Jeni 2014) Pada zaman dahulu sebuah tempat tinggal pintu masuk dibuat agak rendah, hal tersebut mempunyai tujuan ketika kita hendak masuk memiliki arti merendah serta menghormat.Perjalanan selanjutnya adalah ke Candi Lumbung yang awalnya berada di tengah-tengah sungai Apu kemudian dipindahkan batunya satu per satu oleh para pemerintah. Penataannya sudah cukup rapi dibandingkan candi Gunung Wukir tadi. Pemahatnya pun sudah memilki tingkat kreativitas yang lebih karena dapat dilihat dari segi pahatan ornamen pada dinding candi tersebut.Tak lepas dari tiga kompleks seni, candi Asu yang berasal dari kata Aswa. Candi ini pun sudah memilki pahatan ornamen yang sudah rapi, sayangnya terdapat beberapa tempat dudukan patung yang kosong karena patungnya hilang. Dalam candi ini terdapat sumur kosong yang cukup dalam berada ditengahtengah segaris dengan pintu masuk candi. Tujuan terakhir candi yang kami kunjungi adalah candi Pendem, awalnya candi ini tertimbun tanah, waktu itu ada salah seorang warga yang sedang berladang. Ketika hendak mencangkul dia dia menemukan ada batu yang keras. Akhirnya dia melaporkan kepada pihak Belanda dan pihak Belanda memerintahkan para warga untuk menggalinya. Candi ini di gali pada tahun 1928. Diantara tiga candi (Lumbung, Asu, dan Pendem) dikenal dengan kompleks seni yang memiliki selisih umur begitu berdekatan dalam proses berdirinya. Candi Pendem tadinya merupakan tempat penyimpanan barang-barang persenjataan, namun semua perlengkapan itu sudah di bawa oleh orang-orang Belanda. Dari empat candi tersebut, sudah tidak ada keutuhan, beberapa batu sudah hilang karena batu batu yang ada pada candi itu mempunyai daya jual yang tinggi. Dari candi Lumbung, Asu dan Pendem pun memiliki pahatan ornamen yang semuanya mirip dengan motif kinara-kinari serta bentuk bunga yang begitu sama. Profil-profil sudut candipun sudah cukup tertata mempunyai tingkatan seperti pada candi umumnya. Begitupun dengan silvasastranya yang masih kuat di pegang teguh oleh para pemahatnya. Menyenangkan ketika kita memahami ruang sejarah yang ada di sekitar kita. Semoga para Antropolog Indonesia dapat menemukan lebih banyak lagi berbagai peninggalan sejarah yang ada di Bumi Indonesia ini. Mereka bukan untuk ditinggalkan, dibiarkan begitu saja. Tetapi mereka harus didekati, serta kita pelajari.