PELAKSANAAN ANGGARAN Pelaksanaan anggaran yang merupakan salah satu tahap dari siklus anggaran, yaitu setelah tahap penyusunan dan penetapan anggaran sampai dengan tahap pertanggungjawaban anggaran. Kegiatan pelaksanaan anggaran yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh para pejabat instansi kementrian Negara/lembaga selaku pengguna anggaran/kuasa anggaran maupun di intansi kementrian keuangan selaku bendahara umum negara/kuasa bendahara umum Negara, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Gambaran Umum Pelaksanaan APBN Pelaksanaan anggaran merupakan bagian dari Siklus anggaran yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan. Siklus anggaran dimulai dari tahap penyusunan dan penetapan APBN : Pemerintah pusat menyampaikan pokokpokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya (misal tahun anggaran 2013) kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan (misal tahun 2012). Kemudian pemerintah pusat dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah pusat dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun anggran berikutnya. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah pusat bersama DPR membahas kebijaksanaan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran Kemeterian Negara/Lembaga (RKA-KL) tahun berikutnya. RKA-KL disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. RKA-KL tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun berikutnya. Pemerintah pusat mengajukan RUU tentang APBN, 1 disertai dengan nota keuangan dan dokumen–dokumen pendukungnya kepada DPR pada Bulan Agustus tahun sebelumnya. Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undangundang yang mengatur susunan dan kedudukan DPR. Dalam Pembahasan ini DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU tentang APBN. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran ybs dilaksanakan. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan pemerintah pusat,maka pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. Setelah APBN ditetapkan dengan UU, rincian pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Kemudian Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masingmasing kementerian negara/lembaga. Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Dalam dokumen pelaksanaan anggaran diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, dan rincian kegiatan anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan. Pada Dokumen pelaksanaan anggaran juga dilampirkan rencana kerja dan anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian negara/lembaga. Terhadap dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, BPK, Gubernur, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan terkait, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Pengajukan dana dengan menerbitkan surat perintah membayar (SPM) oleh masing-masing penanggungjawab kegiatan kepada BUN atau Kuasa Bendahara Umum Negara, yang 2 kemudian melaksanakan fungsi pembebanan kepada masingmasing Banggar serta fungsi pembayaran kepada yang berhak melalui jalur penyaluran dana yang ditetapkan dengan mekanisme giralisasi. Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan APBN adalah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan Surat Perintah Pencairan Dana (SPPD). Dalam Pelaksanaan APBN tahun anggaran berjalan, pemerintah pusat menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, kemudian disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran ybs, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah pusat. Mengenai penyesuaian APBN dengan perkembangan dan atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan pemerintah pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang besangkutan, apablia terjadi : a. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; d. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, pemerintah pusat mengajukan rancangan UU tentang perubahan APBN tahun anggaran ybs, untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran ybs berakhir. Demikian juga, dalam keadaan darurat pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Tahap pengawasan pelaksanaan APBN ini memang tidak diungkap secara nyata dalam UU 17/2003, namun dalam Keputusan Presiden Nomor 42/2002 jo. Keppres 72/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN terdapat di Bab IX yang mengatur pengawasan pelaksanaan APBN. Pada tahap ini pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh : 1) Atasan kepala kantor/satuan kerja kementerian negara/ lembaga menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan 3 APBN yang dilakukan kepala kantor/satuan kerja dalam lingkungannya. Atasan langsung bendahara melakukan pemeriksaaan kas bendahara sekurang-kurangnya tiga bulan sekali. 2) Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN yang dilakukan kantor/satuan kerja dalam lingkungan departemen/ lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Mengenai hasil pemeriksaan Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan. Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai pelaksanaan APBN. 3) Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula pengawasan yang dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung mupun tidak langsung. Pengawasan secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring berupa penyampaian laporan semester I kepada DPR selambat lambatnya satu bulan setelah berakhirnya semester I tahun anggaran yang bersangkutan atau sekitar Bulan Juli. Laporan tersebut harus pula mencantumkan prognosa untuk semester kedua dengan maksud agar DPR dapat mengantisipasi kemungkinan ada tidaknya APBN perubahan untuk tahun anggaran bersangkutan. Laporan semester I dan prognosa semester II tersebut dibahas dalam rapat kerja antara panitia anggaran dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penyampaian hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBN kepada DPR. Pemeriksaan yanag dilakukan BPK menyangkut tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan APBN. Pada tahap pertanggungjawaban, Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berupa laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas leporan keuangan yang dilampiri laporan keuangan badan layanan umum pada kementerian negara/lembaga masingmasing. Laporan keuangan kementerian negara/lembaga oleh menteri/ pimpinan lembaga disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kemudian Menteri Keuangan menyusun rekapitulasi laporan 4 keuangan seluruh instansi kementerian negara. Selain itu, Menteri Keuangan selaku BUN menyusun laporan arus kas, dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara. Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada Presiden dalam memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Presiden menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit atas laporan keuangan pemerintah harus diselesaikan selambatlambatnya dua bulan setelah laporan keuangan tersebut diterima oleh BPK dari pemerintah Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Mengenai bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Landasan Hukum Pelaksanaan Anggaran Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai peraturan, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan/ Keputusan Menteri Keuangan maupun Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan, yang antara lain terdiri dari : (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. (2) Peraturan Pemerintah Nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. 5 (3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. (5) Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 tahun 2010. (6) Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN. (8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.02/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran . (11) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2011; (12) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER66/PB/2005 Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-11/PB/2011. (13) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per22/PB/2011 tentang Tata Cara Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2011 Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan lembaga dan kewenangan kebendaharaan (comptable) yang berada pada Menteri Keuangan. Kewenangan administratif meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran. 6 Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai BUN bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku BUN adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan disini terbatas pada aspek rechmategheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaaan dan pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional. Rangkuman Mengingat begitu pentingnya APBN sebagai rencana kerja penyelenggara negara, maka proses penyusunan dan penetapan APBN, Pelaskanaan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun anggaran melalui serangkaian tahapan kegiatan yang saling berkaitan. Rangkaian tahapan kegiatan tersebut biasa disebut siklus anggaran APBN, yang meliputi tahap penyusunan & penetapan APBN, Pelaskanaan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN. APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang dan disetujui oleh DPR. Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara, yaitu UndangUndang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang- Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai peraturan, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan/ Keputusan Menteri Keuangan maupun Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan. Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan lembaga dan kewenangan kebendaharaan (comptable) yang berada pada Menteri Keuangan. 7 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Definisi APBN Adalah suatu daftar atau penjelasan terperinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara dalam jangka waktu satu tahun yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Landasan hukum penyusunan APBN adalah terdapat pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan : ” APBN di tetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang di usulkan pemerintah maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu”. Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Fungsi APBN Fungsi Alokasi Berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber negara untuk membiayai belanja negara. penerimaan Fungsi Distribusi Berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pemerataan kesejahteraan dapat terwujud jika pemanfaatan penerimaan negara dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi Stabilitas Berkaitan dengan pengaturan perekonomian nasional agar tetap seimbang, yaitu permintaan agregat (keseluruhan) sama dengan penawaran agregat. APBN bagi pemerintah sebagai instrumen pengendali perekonomian, baik dalam kondisi perekonomian yang stabil, depresi ataupun inflasi. 8 Tujuan penyusunan APBN Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR dan rakyat Meningkatkan koordinasi dalam lingkungan pemerintah Membantu pemeritah mencapai tujuan kebijakan fiskal Memungkinkan pemerintah memenuhi prioritas belanja negara Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik. Cara Penyusunan APBN Pemerintah menyusun RAPBN dalam bentuk nota keuangan, diajukan ke DPR. Oleh DPR RAPBN tersebut di sidangkan, jika RABN ditolak maka yang di gunakan adalah tahun lalu, jika RAPBN di terima maka di sahkan menjadi APBN. APBN tersebut selanjutnya di kembalikan pemerintah (presiden dan para menteri untuk di laksanakan). A. PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN INDONESIA Dari segi prencanaan pembangunan Indonesia, APBN adalah merupakan konsep perencanaan pembangunan yang memiliki jangka pendek, karena itulah APBN selalu disusun setiap tahun. Seperti namanya, maka secara garis besar APBN terdiri dari pospos seperti dibawah ini : - Dari sisi penerimaan, terdiri dari pos penerimaan dalam negeri dan Penerimaan pembangunan. - Dari sisi pengeluaran terdiri dari pos pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. APBN disusun agar pengalokasian dana pembangunan dapat berjalan dengan memperhatikan prinsip berimbang dan dinamis. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat tabungan pemerintah yang berasal dari selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, belum sepenuhnya menutupi kebutuhan biaya pembangunan Indonesia. Meskipun dari PELITA ke PELITA jumlah tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayan pembangunan terbesar, terus mengalami peningkatan 9 namun kontribusinya terhadap keseluruhan dana pembangunan yang dibutuhkan masih jauh yang diharapkan. Dengan kata lain ketergantungan dana pembangunan terhadap sumber lain, dalam hal ini pinjaman luar negeri, masih cukup besar. Namun demikian mulai tahun terakhir PELITA I, prosentase tabungan pemerintah sudah mulai besar dibanding pinjaman luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari peranan sektor migas yang saat itu sangat dominan, serta dengan dukungan beberapa kebijaksanaan pemerintah dalam masalah perpajakan dan upaya peningkatan penerimaan negara lainnya. Untuk menghindari terjadimya defisit anggaran pembangunan, Indonesia masih mengupayakan sumber daya dari luar negeri, dan meskipun IGGI (Inter Govermmental Group On Indonesia ) bukan lagi menjadi forum internasional yang secara formal membantu pembiayaan pembangunan di Indonesia, namun dengan lahirnya CGI (Consoltative Group On Indonesia) kebutuhan pinjaman luar negeri sebagai dana pembangunan masih dapat diharapkan. B. PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN Secara garis besar proses penyusunan anggaran pembangunan di Indonesia sebagai berikut : 1. 2. 3. Penyusunan anggaran biasanya menggunakan tahun fiskal dan bukan tahun masehi sehingga proses pembangunan oleh Departemen atau Lembaga pemerintah Non Departemen sudah dimulai pada tanggal 1 April tahun yang brsangkutan. Usulan rencana anggaran diajukan dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan (DUK) bagi anggaran rutin dan dalam bentuk Daftar Usulan Proyek (DUP) untuk anggaran pembangunan. Selanjutnya DUK dan DUP tersebut, antara bulan Agustus dan September akan diajukan dan disampaikan ke BAPPENAS dan Ditjen Anggaran – Departemen Keuangan. Selanjutnya DUK dan DUP tersebut akan di proses oleh BAPPENAS antara bulan Oktober hingga Nopember. Pada proses tersebut BAPPENAS akan menyesuaikan isi DUK dan DUP dengan perkiraan penerimaan dalam negeri dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Selanjutnya dalam bulan Desember akan ditentukan batas atas (plafon) anggaran untuk tahun anggaran yang bersangkutan dalam 10 4. 5. 6. 7. bentuk RAPBN (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pada bulan Januari, setelah RAPBN tersebut dilampiri/disertai keterangan dari pemerintah dengan NotaKeuangan, akan disampaikan oleh Presiden dihadapan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapat persetujuan seperti yang tersirat dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya RAPBN tersebut akan dibahas oleh DPR bersama-sama dengan Menteri atau Lembaga yang bersangkutan melalui Rapat Kerja Komisi APBN. Jika dalam pembahasan tersebut dicapai suatu kesepakatam (persetujuan) maka RAPBN untuk tahun anggaran ybs tersebut dsetujui, persetujuannya akan dituangkan dalam UU tentang APBN Tahun Anggaran. Selanjutnya Anggaran yang telah disetujui pemerintah tersebut akan dituangkan kembali dalam bentuk Daftar Isian Proyek (DIP) Departemen atau Lembaga Pemerintah yang bersangkutan. C. PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA Secara garis besar sumber penerimaan negara berasal dari : 1. Penerimaan dalam negeri Pertama, penerimaan dalam negeri, untuk tahun-tahun awal setelah masa pemerintahan Orde Baru masih cukup menggantungkan pada penerimaan dari ekspor minyak bumi dan gas alam. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Perbandingan Sumber Penerimaan Dalam Negeri PELITA I – III (dalam prosentase) Periode Penerimaan Dari Sektor Migas Penerimaan Dari Sektor Non Migas Penerimaan Bukan Pajak Penerimaan Total PELITA I 1969/70 – 1973/74 35,7% 59,3% 5,0% 100 % PELITA II 1974/75 – 1978/79 55,1 40,7 4,2 100 PELITA III 1979/80 – 1983/84 67,2 29,6 3,2 100 Namun dengan mulai tidak menentukannya harga minyak dunia maka mulai disadari bahwa ketergantungan penerimaan dari 11 sektor migas perlu dikurangi. Untuk keperluan itu, maka pemerintah menempuh beberapa kebijaksanaan diantaranya : Deregulasi Bidang Perbankan (1 Juni 1983), yakni dengan mengurangi peran bank sentral, serta lebih memberi hak kepada bank pemerintah maupun swasta untuk menentukkan suku bunga deposito dan pinjaman sendiri. Dampak dari deregulasi ini adalah meningkatkan tabungan masyarakat. Deregulasi Bidang Perpajakan (UU baru, 1 Januari 1984), untuk memperbaiki penerimaan negara. Kebijaksanaan – kebijaksanaan selanjutnya dapat menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan mantap. 2. Penerimaan Pembangunan Meskipun telah ditempuh berbagai upaya untuk meningkatkan tabungan pemerintah, namun karena laju pembangunan yang demikian cepat, maka dana tersebut masih perlu dilengkapi dengan dan ditunjang dengan dana yang berasal dari luar negeri (hutang bagi Indonesia) tersbut makin meningkat jumlahnya, namun selalu diupayakan suatu mekanisme pemanfaatan dengan perioritas sektor – sektor yang lebih produktif. Dengan demikian bantuan luar negeri tersebut dapat dikelola dengan baik (terutama dalam hal pengembalian cicilan pokok dan bunganya). D. PERKIRAAN PENGELUARAN NEGARA Secara garis besar, pengeluaran negara dikelompokkan menjadi 2 yakni : Pengeluaran Rutin Pengeluaran rutin negara, adalah pengeluaran yang dapat dikatakan selalu adalah dan telah terencana sebelumnya secara rutin, diantaranya : 1. Pengeluaran untuk belanja pegawai 2. Pengeluaran untuk belanja barang 3. Pengeluaran subsidi daerah otonom 4. Pengeluaran untuk membayar bunga dan cicilan hutang 5. Pengeluaran lainnya Pengeluaran pembangunan Secara garis besar, yang termasuk dalam pengeluaran pembangunan diantaranya adalah : 1. Pengeluaran pembangunan untuk berbagai departemen / lembaga negara, diantaranya untuk membiayai proyek – proyek pembangunan sektoral yang menjadi tanggung jawab masing – masing departemen / negara bersangkutan. 12 2. Pengeluaran pembangunan untuk anggaran pembangunan daerah (Dati I dan II) 3. Pengeluaran pembangunan lainnya. E. DASAR PERHITUNGAN PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA Untuk memperoleh hasil perkiraan penerimaan negara, ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan. Hal – hal tersebut adalah : 1. Penerimaan Dalam Negeri Dari Migas Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah : Produksi minyak rata-rata perhari Harga rata-rata ekspor minyak mentah 2. Penerimaan Dalam Negeri Diluar Migas Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah : Pajak penghasilan Pajak pertambahan nilai Bea masuk Cukai Pajak ekspor Pajak bumi dan banguan Bea materai Pajak lainnya Penerimaan bukan pajak 3. Penerimaan Pembangunan Terdiri dari penerimaan bantuan program dan bantuan proyek DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pelaksanaan APBN pada suatu tahun anggaran dimulai dengan penyusunan dan pengesahan dokumen pelaksanaan\ anggaran. Dokumen pelaksanaan anggaran yang selanjutnya disebut sebagai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) yang telah disetujui oleh DPR dan Keputusan Presiden mengenai Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku BUN. 13 Mulai Tahun Anggaran 2011, Pemerintah menerapkan sistem Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) yang mengakibatkan perubahan mendasar pada format dan isi DIPA Tahun Anggaran 2011. Perubahan tersebut lebih memberikan keleluasaan pada Kementerian Negara/Lembaga dalam mengelola anggarannya sehingga diharapkan pencapaian kinerja menjadi lebih optimal. DIPA tersebut memuat Fungsi, Subfungsi, Program, Hasil (Outcome), Indikator Kinerja Utama Program (IKU Program), Kegiatan, Indikator Kinerja Kegiatan (IKK), Keluaran (Output), Jenis Belanja, Alokasi Anggaran, Rencana Penarikan Dana, dan Perkiraan Penerimaan per bulan tiap-tiap satuan kerja pada Kementerian Negara/Lembaga Pengertian DIPA Menurut Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Pengesahan DIPA Tahun Anggaran 2011, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendahaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). DIPA berlaku untuk satu tahun anggaran dan memuat informasi satuan-satuan terukur yang berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran. Selain itu, DIPA berfungsi sebagai alat pengendali, pelaksanaan, pelaporan, pengawasan, dan sekaligus merupakan perangkat akuntansi pemerintah. Pagu dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Bahan Penyusunan DIPA Dokumen yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan DIPA, yaitu: 1. Keputusan Presiden mengenai Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) sebagai dasar alokasi anggaran. Keputusan Presiden mengenai Rincian ABPP merupakan dasar penyusunan DIPA untuk masing-masing Satuan Kerja pada suatu Kementerian Negara/Lembaga. Dalam Keputusan Presiden mengenai Rincian ABPP, Anggaran Belanja dirinci 14 untuk masing-masing Bagian Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga hingga Satuan Kerja dan jenis belanja. 2. RKAKL yang telah ditelaah dan ditetapkan oleh DJA. RKAKL hasil penelaahan Kementerian Negara /Lembaga dengan DJA dan telah ditetapkan menjadi dasar penyusunan DIPA untuk memastikan bahwa DIPA yang diajukan Kementerian Negara/Lembaga telah sesuai dengan RKAKL yang disepakati pada saat penelaahan dengan DJA 3. Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara (RDPBUN) yang telah ditelaah dan ditetapkan oleh Dirjen Anggaran. RDP-BUN merupakan rencana kerja dan anggaran BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan tranfer kepada daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri Keuangan selaku BUN. 4. Bagan Akun Standar (BAS). Penyusunan DIPA harus memperhatikan standar dalam Bagan Akun Standar untuk memastikan bahwa rencana kerja telah dituangkan sesuai dengan standar kode dan uraian yang diatur dalam ketentuan tentang akuntansi pemerintahan. 5. Daftar Nominatif Anggaran (DNA) DNA ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk Satuan Kerja yang DIPA-nya disahkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Penyusunan Rencana Penarikan Dana Pencantuman angka rencana penarikan dana pada Halaman III DIPA didasarkan pada rencana kerja bulanan satuan kerja sesuai dengan kebutuhan riil. Berkenaan dengan hal tersebut, kiranya perlu diperhatikan sebagai berikut: a) Untuk Belanja Pegawai, karena sifat penarikan cenderung tetap maka penyusunan rencana penarikan dapat dibuat secara prorata dibagi sebanyak bulan, dengan menempatkan pembayaran belanja pegawai bulan ke-13 pada bulan Juli. b) Untuk belanja selain belanja pegawai, pencantuman rencana penarikan sesuai rencana penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang meliputi rencana penarikan Uang Persediaan (UP) dan rencana penarikan Pembayaran Langsung (LS) setiap bulan 15 REVISI DIPA Ruang Lingkup Revisi (DIPA) meliputi: 1. Revisi DIPA berdasarkan perubahan SP-RKAKL adalah revisi anggaran yang memerlukan persetujuan DPR RI, Menteri Keuangan, dan/atau Direktur Jenderal Anggaran. 2. Revisi DIPA tanpa perubahan SP-RKAKL Revisi DIPA tanpa perubahan SP-RKAKL sebagai berikut: a. penerimaan hibah luar negeri/hibah dalam negeri setelah Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berjalan ditetapkan, yang diterima dalam bentuk uang dan dilaksanakan secara langsung oleh Kementerian Negara/Lembaga; b. penggunaan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP di atas pagu APBN untuk Satker BLU; c. pergeseran antar program dalam satu Banggar untuk memenuhi kebutuhan Biaya Operasional; d. pergeseran antar jenis belanja dalam satu Kegiatan; e. perubahan volume Keluaran berupa penambahan volume Keluaran dalam satu Keluaran dan/atau antarkeluaran dalam satu Kegiatan dan satu satuan kerja; f. pergeseran dalam satu provinsi/kabupaten/kota untuk Kegiatan dalam rangka tugas pembantuan dan urusan bersama, atau dalam satu provinsi untuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi; g. pergeseran antarprovinsi/kabupaten/kota untuk memenuhi Biaya Operasional yang dilaksanakan oleh unit organisasi di tingkat pusat maupun oleh instansi vertikalnya di daerah; h. perubahan rincian belanja sebagai akibat dari penyelesaian tunggakan tahun yang lalu sepanjang dalam Program yang sama, dananya masih tersedia, dan tidak mengurangi Sasaran Kinerja; i. pergeseran rincian anggaran untuk Satker BLU yang sumber dananya berasal dari PNBP; j. pergeseran antarkomponen dan antarkeluaran dalam satu Kegiatan; k. perubahan rencana penarikan dan perkiraan penerimaan; l. perubahan berupa pergantian/penambahan kantor bayar; m. perubahan/ralat karena kesalahan administrasi. 16 3. Revisi POK tanpa perubahan DIPA meliputi: a. pergeseran antar komponen untuk memenuhi kebutuhan Biaya Operasional; b. pergeseran antar komponen dalam satu Keluaran sepanjang tidak menambah jenis honorarium baru dan besaran honorarium yang sudah ada. Revisi POK Tanpa Perubahan DIPA 1. Pergeseran antarkomponen untuk memenuhi kebutuhan Biaya Operasional dilakukan dalam rangka menjamin penyelenggaraan satuan kerja untuk melaksanakan tugas dan fungsinya selama 1 (satu) tahun dan dapat dilakukan sepanjang tidak mengurangi Sasaran Kinerja satuan kerja. 2. Pergeseran antar komponen dalam satu Keluaran sepanjang tidak menambah jenis honorarium baru dan besaran honorarium yang sudah ada dapat dilakukan untuk mempercepat pencapaian volume Keluaran Kegiatan dan/atau penambahan volume Keluaran satuan kerja. 3. Pergeseran dimaksud dilakukan dengan cara mengubah ADK DIPA satuan kerja melalui aplikasi RKAKL-DIPA, mencetak POK dan KPA menetapkan perubahan POK. 17