BOKS BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH 1. Latar Belakang Keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 32 dan UU No.33 Tahun 2004 menandai era baru penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Era baru penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengembangkan ekonomi sesuai dengan kekhasan lokal yang dimilikinya. Setelah berjalan hampir lima tahun sejak efektif dilaksanakan pada tahun 2001, otonomi daerah sejauh ini lebih diterjemahkan oleh pemerintah daerah untuk menggali potensi-potensi penerimaan daerah. Implementasi otonomi daerah banyak dimaknai sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam pengertian jangka pendek. Oleh karena itu, banyak sekali peraturan-peraturan daerah (perda) dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanya untuk meningkatkan PAD, terutama perda pajak dan retribusi daerah yang seringkali mengabaikan prisip-prinsip dan dasr filosofi pajak dan retribusi. Yang kemudian banyak terjadi adalah perbenturan antar perda “perang perda” baik antara satu perda dengan perda lainnya, perda suatu daerah dengan daerah lainnya, perda daerah dengan perda provinsi. Keberadaan berbagai macam perda, terutama perda pajak dan perda tentang retribusi seringkali justru tidak kondusif bagi aktivitas investasi dan ekonomi daerah serta kontraproduktif terhadap tujuan otonomi daerah dalam mengembangkan kemadirian perekonomian. Berbagai pajak, retribusi dan berbagai pungutan yang seringkali tumpang tindih dan banyak membebani pelaku ekonomi menyebabkan ketidakpastian bagi iklim investasi di daerah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi daerah, faktor kepastian hukum menempati urutan pertama (39 persen), faktor perda (25 persen), faktor aparatur (22 persen) serta faktor keuangan daerah (14 persen). Apabila faktor-faktor tersebut dijabarkan dalam indikator yang lebih spesifik, keberadaan perdaperda “bermasalah” diindikasikan sebagai faktor yang paling banyak mempengaruhi daya tarik investasi statu daerah. Berdasarkan survei KPPOD, Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang kondusif bagi investasi (dengan Kota Semarang pada urutan pertama dan Kabupaten Tegal pada urutan keempat). Meskipun Demikian, investasi tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ada beberapa persoalan mendasar yang patut diperhatikan. Pertama, perlu adanya pemahaman bersama bahwa kemandirian kabupaten/ kota hanya bisa dibangun secara kuat kalau kabupaten/ kota tersebut berbasis pada kekuatan ekonomi yang bersifat sustain. Kedua, sesuai dengan survei KPPOD, berkaitan dengan kepastian peraturan dan pelaksanaannya. Ketiga, perlu 22 BOKS kajian Perda secara komprehensif. Identifikasi terhadap Perda-perda yang tidak konsisten, overlapping maupun yang terlalu banyak. Dengan melihat bahwa Jawa Tengah dianggap sebagai provinsi yang proinvestasi di satu sisi, akan tetapi investasi tidak juga menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan melihat keberadaan perdaperda yang justru diperkirakan menghambat pertumbuhan ekonomi, studi pemetaan perda beserta potensinya dalam menghambat perekonomian daerah menjadi urgen untuk dilakukan. Penelitian ini akan mengidentifikasi perda-perda yang memiliki potensi menghambat investasi dan perekonomian. 2. Tujuan Penelitian Dan Lingkup Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis Perda-perda yang telah diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah 2. Memformulasikan alternatif penyelesaian masalah dan rekomendasi kebijakan atas Perda-perda yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi tersebut 3. Metode Penelitian 3.1. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan persepsi para stakeholder mengenai perda-perda yang berkaitan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Data primer diperoleh dengan melalukan interview maupun FGD dengan pihak-pihak terkait. Data sekunder adalah dokumen perda yang diterbitkan oleh Kabupaten/ Kota pasca otonomi daerah (tahun 2001) sampai entri perda terakhir. ������������������������ Dan data PAD kabupaten, perkembangan kredit investasi. 3.2. Sampel Objek penelitian studi ini mencakup perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setelah otonomi daerah (Perda tahun 2001 dan setelahnya). Sedangkan, Kabupaten/ Kota yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 14 Kabupaten/ Kota, yaitu 5 Kabupaten/ Kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi selama 2001-2004, 5 Kabupaten/ Kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan terendah selama 2001-2004 dan 4 Kabupaten/ Kota yang pro investasi tahun 2005. Kabupaten/ kota tersebut adalah; (1) Kab. Cilacap, (2) Kota Tegal, (3) Kota Surakarta, (4) Kab. Brebes, (5) Kab. Tegal, (6) Kota Semarang, (7) Kab. Purbalingga, (8) Kab. Sragen, (9) Kab. Kudus, (10) Kab. Kebumen, (11) Kab. Wonogiri, (12) Kab. Batang, (13) Kab. Banjarnegara dan (14) Kab. ��������� Wonosobo. 23 BOKS 3.3. TEKNIK ANALISIS GAMBAR 2 TEKNIK ANALISIS ANALISI PERDA di 14 Kab/Kota 7 Kriteria Perda yang Kondusif Terhadap Iklim Usaha 1. Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Akibat terhadap lalu lintas distribusi barang dan jasa baik yang bersifat tarif maupun non tarif 3. Mengakibatkan pungutan berganda dengan pajak pusat dan pajak daerah lainnya. 4. Besaran tarif berada dalam batas kewajaran sehingga tidak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. 5. Unsur diskriminatf. 6. Kepastian standar pelayanan. 7. Regulasi/keharusan kemitraan dengan pengusaha lokal. OUTPUT Matrik Perda 1. Peta Perda bermasalah. 2. Jalur Pengaruh Regulasi (Perda) Pertumbuhan Ekonomi. Interview/FGD: Pemprov, Pemda/Pemkot, Kadid Provinsi/Kab/Kota 4. HASIL PENELITIAN 4.1. ANALISIS DISTRIBUSI SAMPEL Secara keseluruhan perda yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 173 perda dari 14 kabupaten/ kota, yang terdiri dari kategori perda retribusi sebesar 66,47 persen, kategori perda pajak 21,97 persen, kategori perda perijinan 9,25 persen dan kategori perda lainnya sebesar 2,31 persen. 24 BOKS TABEL 2 REKAPITULASI DISTRIBUSI SAMPEL PERDA MENURUT KATEGORI DAN KABUPATEN/KOTA No Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Pajak Kab. Cilacap Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Wonosobo Kab. Wonogiri Kab. Sragen Kota Tegal Kab. Tegal Kab. Brebes Kab. Kudus Kab. Batang Kota Semarang Kota Surakarta JUMLAH 5 5 1 4 4 1 1 1 6 7 3 38 Kategori Perda Retribusi Perizinan 14 5 7 11 18 4 5 6 10 11 5 6 4 9 1 5 1 8 1 115 16 Jumlah Lainnya 1 1 1 1 4 25 7 16 19 14 6 14 11 7 12 11 11 8 12 173 Sumber: Data Sekunder, diolah: Perda Pajak Daerah Dari sampel Perda yang diambil dari 14 Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah, diperoleh 11 jenis perda pajak. Hal ini berarti terdapat 4 jenis pajak yang diatur dalam perda, tidak secara eksplisit termasuk dalam jenis Perda menurut ketentuan pasal 2 ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2000. Kesebelas jenis pajak daerah tersebut terdistribusi di 11 kabupaten/kota sedangkan 3 kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Purbalingga, Kota Tegal, Kabupaten Wonogiri, tidak menerbitkan perda tentang pajak daerah yang menjadi sampel dalam penelitian ini. TABEL 3 JENIS PAJAK DALAM PERDA SAMPEL No. Jenis Pajak Keterangan 1 Pajak Hotel Tercantum 2 Pajak Restoran Tercantum 3 Pajak Hiburan Tercantum 4 Pajak Reklame Tercantum 5 Pajak Penerangan jalan Tercantum 6 Pajak Pengambilan Bahan Galian gol. � C Tercantum 7 Pajak Parkir Tercantum 8 Pajak Televisi 9 Pajak Pemanfaaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 10 Pajak atas Jasa Kepelabuhanan Tidak tercantum Tidak tercantum (Termasuk pajak Provinsi) Tidak tercantum 11 Pajak Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Tidak tercantum Sumber: Data Sekunder, diolah. 25 BOKS GAMBAR 3 DISTRIBUSI PERDA SAMPEL TENTANG PAJAK DAERAH MENURUT JENIS PAJAK 5 Pengelolaan & pengusahaan sarang burung 1 Jasa kepelabuhanan 1 Pemanfaatan air bawah tanah 1 Televisi 5 Parkir 3 Pengambilan bahan galian g olongan C Penerangan jalan 6 Reklame 2 Hiburan 2 Restoran 6 Hotel 6 0 1 2 3 4 5 Sumber: Data Sekunder, diolah. GAMBAR 4 REKAPITULASI PERDA TENTANG PAJAK DAERAH 1 Kab. Kudus Kab. Sragen 4 Kab. Wonosobo 4 Kab. Wonogiri 0 1 Kab. Kebumen 7 Kota Semarang 6 Kab. Batang Kab. Tegal 1 Kab. Brebes 1 3 Kota Surakarta Kota Tegal 0 Kab. Purbalingga 0 Kab. Banjarnegara 5 Kab. Cilacap 5 0 Sumber: Data Sekunder, diolah. 26 2 4 6 8 6 7 BOKS Perda Retribusi Daerah Keseluruhan perda retribusi yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 115 perda, yang terdiri dari perda retribusi perijinan tertentu (69 perda - 60 persen), Perda retribusi jasa umum (12 Perda - 10 persen) dan Perda retribusi jasa usaha (34 Perda - 30 persen). Proporsi sampel Perda retribusi tersebut paling banyak adalah Perda Kabupaten Kebumen (18 Perda - 15,65 persen), Kabupaten Cilacap (14 Perda - 12,17 persen) dan Kabupaten Banjarnegara dan Kota Tegal (masing-masing 11 Perda - 9,57 persen). GAMBAR 5 DISTRIBUSI SAMPEL PERDA RETRIBUSI MENURUT GOLONGAN RETRIBUSI Retribusi Jasa Umum 10% Retribusi Jasa Usaha 30% Retribusi Perijinan Tertentu 60% Sumber: Data Sekunder, diolah. TABEL 4 PERDA TENTANG RETRIBUSI DAERAH MENURUT GOLONGAN RETRIBUSI DAN KABUPATEN/KOTA Jumlah dan Proporsi (%) No. Kabupaten Jasa Umum 1 Kab. Cilacap 1 2 Kab. Banjarnegara 2 3 Kab. Purbalingga 0 0.87 Jasa Usaha Jasa Usaha Retribusi Jumlah Persentase (%) 5 4.35 8 6.96 14 12.17 1.74 4 3.48 5 4.35 11 9.57 0.00 0 0.00 7 6.09 7 6.09 4 Kota Tegal 0 0.00 4 3.48 7 6.09 11 9.57 5 Kota Surakarta 3 2.61 3 2.61 2 1.74 8 6.96 6 Kab. Brebes 1 0.87 3 2.61 2 1.74 6 5.22 7 Kab. Tegal 0 0.00 0 0.00 5 4.35 5 4.35 8 Kab. Batang 0 0.00 1 0.87 4 3.48 5 4.35 9 Kota Semarang 0 0.00 1 0.87 0 0.00 1 0.87 10 Kab. Kebumen 3 2.61 7 6.09 8 6.96 18 15.65 11 Kab. Wonogiri 0 0.00 0 0.00 6 5.22 6 5.22 12 Kab. Wonosobo 1 0.87 3 2.61 0 0.00 4 3.48 13 Kab. Sragen 1 0.87 2 1.74 7 6.09 10 8.70 14 Kab. Kudus 0 0.00 1 0.87 8 6.96 9 7.83 12 10.43 34 29.57 69 60.00 115 100.00 JUMLAH Sumber: Data Sekunder, diolah. 27 BOKS Perda Perizinan Pada beberapa daerah yang menjadi fokus penelitian, ditemukan perda yang mengatur tentang perijinan. Digolongkan ke dalam perda perijinan karena perda ini tidak mengkategorikan perijinan sebagai retribusi, meskipun beberapa kabupaten/kota mencantumkan jenis-jenis perijinan ini ke dalam retribusi perijinan. Pada Perda yang dikategorikan ke dalam Perda perijinan ini meskipun ditemukan ketentuan mengenai biaya perijinan, namun tidak ditemukan nama, obyek, subyek, dan golongan retribusi. Meskipun demikian beberapa Perda tentang perijinan tersebut, mencantumkan UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak daerah dan retribusi daerah sebagai salah satu payung hukumnya. Perda Lainnya Perda yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah yang bukan perda pajak dan atau retribusi dan juga tidak masuk dalam kategori perijinan. Namun demikian keberadaan Perda ini, dinilai mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi. ��������������������������������������������������������������� Dari keseluruhan sampel Perda hanya ditemukan empat Perda yang masik kategori Perda lainnya. Keempat Perda tersebut adalah Perda pada kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes, kabupaten Tegal dan kabupaten Wonosobo. 4.2. Temuan Beberapa temuan dari penelitian ini adalah 1. Temuan berkaitan dengan kriteria ”Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi a. Banyak perda yang mengatur mengenai pajak dan retribusi daerah yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam perundang-undangan di atasnya. Meskipun dalam perundang-undangan yang menjadi payung hukumya memungkinkan bagi daerah untuk menetapkan pajak/retribusidaerah selain yang telah ditetapkan dalam UU No. 34 tahun 2000 b. Dalam beberapa perda ditemukan ketidaksesuaian prinsip dan sasaran retribusi, terutama retribusi perijinan tertentu. c. Beberapa perda belum mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terbaru sehingga secara yuridis perlu disesuaiakan 2. Temuan berkaitan dengan kriteria ” efek terhadap lalu lintas distribusi barang dan jasa baik yang bersifat tarif maupun non tarif. Secara umum tidak ditemukan permasalahan yang menyebabkan hambatan terhadap distribusi barang dari perda-perda yang dikaji dalam penelitian ini. Potensi hambatan terhadap distribusi barang muncul karena adanya peraturan yang secara langsung mangatur lalu lintas transportasi dan menyebabkan hambatan terhadap distribusi barang. 3. Temuan berkaitan dengan kriteria ”pungutan berganda dengan pajak pusat dan pajak daerah lainnya” a. Pungutan berganda terjadi bila suatu pungutan (baik pajak maupun retribusi) dikenakan pada satu objek yang sama. Secara umum, potensi pungutan berganda terjadi terutama berganda dengan pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPn, PPh, PBB). Sementara, potensi pungutan berganda dengan sesama perda kabupaten/ kota yang bersangkutan kecil karena tidak mungkin pemerintah daerah membuat perda (dokumen legal) pajak/ retribusi dengan objek yang sama. Meskipun demikian, 28 BOKS yang banyak terjadi adalah adanya beban yang berlipat-lipat yang harus ditanggung oleh pelaku usaha sebagai subjek. Berbagai macam pungutan (baik retribusi, pajak, maupun pungutan lainnya) yang ditarik dalam waktu persamaan dapat memberatkan pelaku usaha. b. Terdapat perda-perda yang tumpang-tindih terutama perda yang mengatur tentang retribusi daerah. Dikatakan tumpang tindih karena terdapat pungutan yang lebih dari satu kali pada objek yang sama. ���� Hal ini bisa menciptakan ekonomi biaya tinggi 4. Temuan berkaitan dengan kriteria ”besaran tarif”. Terdapat perda-perda yang dasar penentuan pungutannya tidak jelas. Misalnya dalam penentuan koefisien indeks bangunan dalam IMB, atau penentuan tarif izin usaha yang besarnya didasarkan atas besarnya skal usaha. Hal ini tidak sesuai prinsip dan sasaran dalam menentukan besarnya tarif. Perda demikian selain diskriminatif juga akan menciptakan ekonomi biaya tinggi 5. Temuan berkaitan dengan kriteria ”unsur diskriminatif”. Dasar filosfi pengenaan retribusi adalah pembayaran atas pelayanan pemerintah yang bersifat langsung, maka orientasinya adalah pelayanan. Oleh karena itu, retribusi tidak boleh diskriminatif dan mempunyai dasar yang jelas dan konsisten, serta jelas pula standar pelayanannya. Dalam studi ini banyak ditemui pungutan retribusi yang diskriminatif terutama berkaitan dengan retribusi perijinan tertentu akibat besarnya tarif tidak mencerminkan prinsip dan sasaran yang ditetapkan dalam PP 66 tahun 2001. 6. Temuan berkaitan dengan kriteria ’kepastian standar pelayanan’. Secara umum seluruh perda yang dikaji terutama perda perijinan tertentu tidak menentukan standar pelayanan minimum (SPM) dan sudah barang tentu tidak menyebutkan sanksi apapun jika SPM tersebut tidak dipenuhi. Berapa jangka waktu ijin keluar tidak ditemukan dalam perda-perda perijinan. 7. Pengusaha kebanyakan tidak mengetahui perda-perda mana yang menghambat investasi, kecuali perdaperda yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Adanya ������������������������������������������������������������������������������������� berbagai masalah tersebut, akan menciptakan ketidakpastian pemaknaan terhadap aturan, ketidakpastian interpretasi dan ketidakpastian implementasi. Muaranya, ketidakpastian tersebut akan mencipatakan peluang-peluang yang sifatnya negosiatif dalam pelayanan dan pungutan. Sementara ketidakpastian pelayanan juga akan berakibat lambatnya respons pengusaha atas peluang investasi dan pasar yang tersedia. Dengan demikian jelas pula kiranya, ketidakpastian ini akan menciptakan biaya-biaya tinggi berupa pengeluaran yang tidak pasti jumlah dan besarnya, dan yang lebih penting lagi dari sisi pengusaha adalah opportunity cost yang hilang karena keterlambatan respon atas peluang pasar yang ada. (Merupakan executive summary hasil penelitian Kantor Bank Indonesia Semarang bekerjasama dengan LSKE Fakultas Ekonomi UNDIP Semarang) 29