naskah publikasi asertivitas wanita jawa ditinjau dari pendidikan

advertisement
2
NASKAH PUBLIKASI
ASERTIVITAS WANITA JAWA DITINJAU DARI
PENDIDIKAN, USIA DAN STATUS PEKERJAAN
Oleh:
GINA ARDIKA LAURA
RATNA SYIFA’A R
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2006
3
Pengantar
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beranekaragam
kebudayaan. Salah satu kebudayan yang paling menonjol di Indonesia adalah
kebudayaan Jawa yang terbilang cukup unik. Kebudayaan Jawa menganut sistem
patriarkhi yang memiliki pengelompokkan-pengelompokkan tertentu dalam
menentukan kedudukan dan peran seseorang. Pengelompokkan tersebut
menjadikan peran pria lebih dominan dari pada wanita. Misalnya dalam bidang
pendidikan, pada masyarakat jawa yang berhak memiliki pendidikan yang lebih
tinggi adalah kaum lelaki. Para wanita hanya dipandang sebagai kanca wingking,
dalam arti dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas segala urusan
dapur. R.A Kartini berkata bahwa ketika anak perempuan masuk sekolah
merupakan suatu pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan dinegeriku
(Toer,2003).
Koentjaraningrat
(dalam
Widyorini,2005)
mengungkapkan
bahwa
masyarakat Jawa mengutamakan tingakah laku dan adat sopan santun terhadap
sesama dan sangat berorientasi kolateral dan mereka harus mengembangkan sikap
tenggang rasa dan mengintensifkan solidaritas. Pada budaya Jawa laki-laki
diharapkan untuk bekerja serta memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Sementara
wanita tidak diprioritaskan untuk mendapatkan pendidikan yang cukup tinggi
karena dalam masyarakat Jawa telah tercipta suatu stereotype bahwa kaum wanita
itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena mereka pada akhirnya hanya bertugas
mengurus anak dan rumah tangga. Dengan adanya stereotype yang seperti itu para
4
wanita cenderung mematuhi aturan tersebut untuk menghindari kesan buruk dari
masyarakat. Mereka tidak berdaya untuk mengungkapkan keinginan mereka. Hal
tersebut dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan asertivitas mereka.
Robert Alberti dan Michael Emmons ( dalam Devito, 1995) memberikan
pengertian bahwa perilaku asertif adalah perilaku dimana seseorang bertindak
sesuai dengan apa yang diinginkannya, menyatakan perasaannya serta melakukan
haknya tanpa mengganggu hak orang lain. Dalam bersikap asertif, seseorang
dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan
perasaan, pendapat dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk
memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya. Asertivitas
dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, usia serta pekerjaan. Budaya yang
membeda-bedakan kedudukan antara pria dan wanitanya dapat
menjadikan
wanita tersebut tidak asertif.
Sekarang para wanita Jawa sudah mulai banyak yang mendapatkan
pendidikan yang tinggi. Masyarakat Jawa sudah mulai bisa menerima bahwa
wanita juga berhak memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria. Dengan
mulai berubahnya pola pikir masyarakat Jawa makin banyak pula wanita Jawa
yang mulai bekerja. Mereka sudah berani untuk bekerja dan berkarier. Bahkan ada
sebagian dari para wanita yang juga menggeluti bidang pekerjaan yang pada
umumnya digeluti oleh pria.
Walaupun begitu masih sering terdengar cerita bahwa wanita lebih
memilih berhenti bekerja atau berhenti kuliah, terutama setelah berkeluarga.
Berbagai macam alasan diungkapkan atas tindakan tersebut, salah satunya adalah
5
untuk menjalankan kodrat alam yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Hal itu juga
terjadi karena adanya stereotype yang ada dalam masyarakat bahwa wanita itu
hanya bertugas mengurus rumah serta anak.
Frith dan Synder (dalam Prabana,1997) berpendapat bahwa usia ikut
berpengaruh terhadap perkembangan asertivitas seseorang. Perilaku asertif
berkembang sepanjang hidup seseorang sejalan dengan bertambahnya usia
seseorang, maka bertambah pula pengalaman yang diperolehnya. Sepanjang
hidupnya manusia dapat belajar dari pengalaman yang dialaminya dan kita dapat
memperoleh berbagi macam hal positif disepanjang hidup kita.
Asertivitas
Eisler dan Frederiksen (dalam Rakos, 1991) juga mengatakan
bahwa asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan pendapat secara
langsung. Sementara itu Taubman (dalam Prabana, 1997) mengartikan
asertivitas sebagai suatu kemampuan untuk menyatakan perasaan, keinginan
dan kebutuhan, belajar bertindak atas dasar perasaan, keinginan dan kebutuhan
tersebut serta menghormati perasaan, keinginan dan kebutuhan orang-orang
disekitarnya.
James M Higgins (1982) didalam bukunya yang berjudul Human
Relations Concepts and skills mengatakan bahwa ketika seseorang berprilaku
asertif berarti dia mengungkapkan apa yang dia inginkan, mengungkapkan
ide-ide serta perasaannya secara langsung dan tulus serta dengan cara yang
dihormatinya sendiri dan menghargai hak orang lain.
6
Menurut Lazarus (Rakos, 1991) ciri-ciri prilaku asertif adalah sebagai
berikut:
a. Kemampuan untuk mengatakan “tidak”
b. Kemampuan untuk meminta bantuan kepada orang lain
c. Kemampuan untuk menyatakan perasaan, baik yang positif maupun
negatif
d. Kemampuan
untuk
memulai,
melanjutkan
dan
mengakhiri
suatu
pembicaraan dengan sukses.
Sedangkan Kanfer dan Goldstein (dalam Prabana, 1997) merumuskan
ciri-ciri individu yang asertif yaitu :
a. Dapat menguasai diri, bersikap bebas dan menyenangkan
b. Dapat merespon hal-hal yang sangat disukai dengan wajar
c. Dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya pada seseorang yang sangat
berarti dalam hidupnya
Rakos ( dalam Santosa, 1999) memandang bahwa kebudayaan
mempunyai peran besar dalam mendidik perilaku asertif. Biasanya ini
berhubungan dengan norma-norma yang ada. Koencoro, Suseno &
Reksosusilo ( dalam Santosa, 1999) menyatakan bahwa dalam budaya Jawa
yang menekankan prinsip kerukunan dan keselamatan sosial seorang anak
kecil telah dilatih untuk berafiliasi dan konformis. Lebih-lebih pada anak
wanita yang dituntut untuk bersikap pasif dan menerima apa adanya atau
pasrah. Harris (dalam Prabana, 1997) berpendapat bahwa perilaku asertif
seseorang dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanaknya. Pola asuh
7
yang diterapkan kepada anak dapat menentukan kualitas dari asertivitas anak
tersebut.
Faktor lain yang juga mempengaruhi asertivitas seseorang adalah jenis
pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Kiecolt dan Mc.Grath (dalam
Susanto, 1997) yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan berpengaruh
terhadap perkembangan asertivitas seseorang.
Frith dan Synder (dalam Prabana,1997) mengatakan faktor usia juga
berpengaruh terhadap perkembangan asertivitas seseorang. Asertivitas
seseorang itu berkembang sepanjang usia manusia. Buhrmester (dalam
Santosa,1999) mengatakan bahwa pada masa remaja dan dewasa perilaku
asertif menjadi lebih berkembang sedang pada usia tua tidak begitu jelas
perkembangan atau penurunannya. Jenis kelamin juga ikut mempengaruhi
asertivitas individu. Sarumpaet (dalam Santosa,1999)
menyatakan bahwa
seorang wanita biasanya lebih pemalu dari seorang pria, tidak suka
berkonfrontasi, kurang senang harus berterus terang jika ada masalah,
menyerah pada nasib dan mudah memaafkan. Pendidikan juga merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat asertif seseorang. Frith dan
Synder (dalam Prabana,1997) mengasumsikan bahwa latar belakang
pendidikan juga ikut mempengaruhi asertivitas. Kualitas wawasan seseorang
berkaitan dengan pendidikannya.
8
Pendidikan
Dalam GBHN (Idris,1982), pendidikan pada hakekatnya adalah usaha
sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tujuan dari pendidikan dapat
dikatakan membawa anak kearah tingkat kedewasaan. Artinya, membawa
anak agar dapat berdiri sendiri (mandiri) di dalam hidupnya di tengah-tengah
masyarakat (Suryosubroto, 1983).
Menurut
Philips
H.
Coombs
(dalam
Idrus,1982)
pendidikan
diklasifikasikan ke dalam tiga bagian yaitu: pendidikan informal, pendidikan
formal dan non formal. Pendidikan Informal adalah proses pendidikan yang
diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak
sadar. Pendidikan Formal adalah pendidikan di sekolah, yang teratur,
sistematis, mempunyai jenjang dan yang dibagi dalam waktu-waktu tertentu
yang berlangsung dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Pendidikan Non-Formal (Pendidikan Luar Sekolah) adalah semua bentuk
pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah, dan
berencana di luar kegiatan sekolah.
Peningkatan pendidikan bagi kaum wanita di Indonesia dari tahun ke
tahun mulai membaik, meskipun jumlah wanita terdidik masih belum
seimbang dengan laki-laki terdidik. Angka buta huruf bagi laki-laki hanya
12,11 % sedang perempuan 25,72 % (Tim Penelitian LSPPA, 1999).
9
Usia
Feldman (dalam Desmita, 2005) menetapkan sekitar usia 20 tahun
sebagai awal masa dewasa dan berlangsung sekitar usia 40 – 45 dan
pertengahan dewasa berlangsung sekitar usia 40 – 45 sampai sekitar usia 65
tahun, serta masa dewasa lanjut atau masa tua berlangsung sekitar usia 65
tahun sampai meninggal.
Menurut Perry ( dalam Santrock,2002) ketika individu memasuki usia
dewasa, pemikiran mereka lebih realistik. Schaie berpendapat bahwa pada usia
dewasa tengah seseorang bertanggung jawab kepada sistem kemasyarakatan
dan organisasi sosial sedangkan pada bagian akhir masa dewasa, orang dewasa
yang lebih tua memilih untuk memfokuskan tenaga mereka pada tugas dan
kegiatan yang bermakna bagi mereka (Santrock,2002).
Individu yang matang atau dewasa ditandai dengan integritas pribadi
yang mampu melakukan kontrol diri yang kuat, kemampuan mengungkapkan
rasa humor dan memiliki sifat menolong orang lain. Orang yang
berkepribadian matang selalu berpikir optimis bahwa semua masalah dapat
diselesaikan dan ada cara untuk menyelesaikannya. Kemampuan untuk
menyelesaikan masalah dengan baik dapat meningkatkan rasa percaya diri,
harga diri, konsep diri yang positif serta merasa mampu. Adanya rasa percaya
diri dapat menimbulkan sifat asertif pada individu. Buhrmester ( dalam
Santosa ,1999) mengatakan bahwa pada masa remaja dan dewasa perilaku
asertif menjadi lebih berkembang. Individu yang kepribadiannya tidak dewasa
tidak mmapu mengontrol emosi pribadi, tidak mampu bersikap objektif
10
terhadap suatu masalah, cenderung emosional, menyimpan dendam dan
mudah tersinggung ( Dariyo, 2003).
Status Pekerjaan
Status Pekerjaan adalah kondisi/kedudukan dalam hal mengerjakan
usaha atau tugas (Salim & Salim, 1991). Status pekerjaan tersebut terbagi dua
yaitu bekerja dan tidak bekerja. Dapat dikatakan bahwa pada masa sekarang
wanita berada pada posisi yang sejajar dengan lelaki dalam mengembangkan
potensi dan mengabdikan dirinya pada masyarakat dalam bentuk pemilihan
profesi atau pekerjaan (Sinambela, 1994). Menurut Titi Irawati S (Sinambela,
1994) wanita yang bekerja biasanya cara berpikirnya lebih luas sebab selalu
berhubungan
dengan
banyak
orang
serta
mampu
mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya.
Wanita yang tidak bekerja lebih mengutamakan fungsinya sebagai istri
dan ibu dalam rumah tangga. Wanita tidak bekerja merupakan salah satu peran
tradisional yang masih banyak dipilih oleh para wanita. Biasanya hal ini
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk dapat lebih berkonsentrasi pada
pemenuhan kebutuhan utama keluarga seperti mengurusi suami dan anak serta
mengelola rumah tangga. Hal tersebut lebih memuaskan bagi wanita yang
tidak bekerja dari pada berprestasi dalam dunia sosial (Sinambela, 1994).
Wanita Jawa
Kata “wanita berasal dari bahasa Sanskerta, artinya “yang diinginkan”,
yang dipuji”. Menurut Ruthven (Maharto-Tjirosubono, 1998), dalam
masyarakat patriakal, perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua, second
11
rate yang secara alamiah harus dikuasai laki-laki. Dalam budaya Jawa, wanita
itu terkonsep sebagai yang mengurus dapur, hanya bergantung pada suami
serta menegaskan bahwa wanita Jawa menduduki struktur bawah (Uyun,
2002).
Menurut tradisi Jawa, wanita dibatasi oleh tradisi keperempuanan ideal
yang mengutamakan nilai- nilai kepatuhan dan ketaatan. Nilai-nilai tradisional
Jawa dipengaruhi oleh ajaran Islam yang menginterpretasikan lelaki sebagai
pemimpin perempuan, sehingga oleh karenanya mengharuskan perempuan
untuk patuh pada suaminya.
Karakter wanita jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti
bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan
harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami
orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk
menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi dan setia/loyalitas tinggi
(Handayani & Novianto, 2004).
Masyarakat Jawa sendiri juga mengharapkan wanitanya selalu bersikap
dan berprilaku halus dan lembut ; tidak kasar dan tidak grusa-grusu; rela
menderita, mengalah dan setia (Handayani & Novianto, 2004). Masyarakat
Jawa juga menolak spontanitas dalam mengungkapkan diri karena dianggap
tidak etis (Widyorini,2005)
Kondisi wanita Jawa sebagian besar masih dibatasi oleh peran
tradisional sebagai isteri dan ibu, dan aktivitas utama mereka dilakukan dalam
lingkungan rumah tangga. Sebagai akibatnya, sebagian besar wanita hanya
12
punya sedikit kekuasaan untuk membuat keputusan, baik dalam hal-hal yang
berkiatan dengan urusan keluarga maupun untuk dirinya (Hakimi dkk, 2001).
Pendidikan, Usia, dan Status Pekerjaan Dalam Kaitan Dengan Asertivitas
Pada Wanita Jawa
Asertivitas tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,
diantaranya adalah usia, pendidikan dan pekerjaan. Menurut Frith dan Synder
(Prabana,1997) usia terlibat dalam menentukan kualitas asertif seseorang.
Setiap pertambahan usia maka pengalaman hidup serta pengetahuan
seseorangpun akan bertambah dan berkembang.
Faktor pendidikan pun ikut andil dalam mempengaruhi asertivitas
seseorang. Frith dan Synder (Prabana,1997) juga mengasumsikan bahwa latar
belakang pendidikan juga ikut mempengaruhi asertivitas. Pendidikan
memberikan kita ilmu pengetahuan serta wawasan yang akan berguna didalam
kehidupan kita. Pengetahuan dan wawasan yang kitu punya membantu untuk
melancarkan komunikasi dan hubungan interpersonal. Dengan mempunyai
pengetahuan dan wawasan yang luas dapat menambah rasa percaya diri
seseorang sehingga orang tersebut berani untuk mengungkapkan pendapat
serta ide-ide yang dia punya.
Pekerjaan juga ikut mempengaruhi asertivitas seseorang. Jenis
pekerjaan yang banyak melibatkan individu dengan orang lain, sehingga
banyak terjadi hubungan interpersonal akan terpengaruh positif terhadap
kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif. Pekerjaan yang melibatkan
13
orang banyak juga menjadikan seseorang untuk terlatih mengeluarkan
pendapat dan mengatakan tidak apabila dia memang tidak sesuai dengan
pendapat orang lain. Orang yang bekerja dan yang tidak bekerja akan
memiliki pengalaman yang berbeda dalam melakukan hubungan interpersonal.
Orang yang bekerja cenderung memiliki relasi yang banyak serta sering
terlibat dalam hubungan interpersonal yang banyak dibandingkan dengan yang
tidak bekerja. Bekerja juga dapat menambah wawasan seseorang. Dalam
budaya Jawa wanitanya dituntut untuk mengutamakan kepatuhan dan ketaatan
dan menolak spontanitas dalam mengungkapkan diri karena dianggap tidak
etis. Dengan adanya norma-norma yang seperti itu akan menghalangi wanita
Jawa untuk berprilaku asertif.
Metode Penelitian
Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
Variabel-variabel yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Tergantung
: Asertivitas
2. Variabel Bebas
: Usia, Pendidikan dan Status Pekerjaan
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variable-variabel penelitian adalah sebagai berikut :
1. Asertivitas merupakan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa
yang diinginkan, menyatakan perasaan dan pendapat sesuai kebutuhannya
(Alberti, Emmons dan Taubman). Ciri-ciri perilaku asertif menurut
14
Lazarus (Rakos, 1991) adalah kemampuan untuk berkata “tidak”,
kemampuan untuk meminta bantuan kepada orang lain, kemampuan untuk
menyatakan perasaan, baik yang positif maupun negatif serta kemampuan
untuk memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan dengan
sukses. Asertivitas diketahui dari skor yang diperoleh oleh subjek setelah
mengisi skala asertivitas. Semakin tinggi skor yang diperoleh semakin
tinggi pula asertivitasnya. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh
maka semakin rendah pula asertivitasnya.
2. Usia yaitu masa antara kelahiran dan tanggal sekarang (Salim & Salim,
1991). Usia diperoleh dengan cara mengurangi hari ketika diadakan
pengisian skala dengan hari kelahiran. Usia dewasa adalah dimana
individu dapat berfikir realistik (Perry dalam Santrock,2002). Pendidikan
adalah proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara
pengajaran, penyuluhan dan latihan, proses mendidik (Salim & Salim,
1991). Pendidikan Formal adalah pendidikan di sekolah, yang teratur,
sistematis, mempunyai jenjang dan yang dibagi dalam waktu-waktu
tertentu yang berlangsung dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan
tinggi (Philips H. Coombs dalam Idrus,1982). Status Pekerjaan adalah
kondisi/kedudukan dalam hal mengerjakan usaha atau tugas (Salim &
Salim, 1991). Status pekerjaan tersebut tergolong dalam dua bagian yaitu
status bekerja dan tidak bekerja. Data diperoleh dari identitas subjek yang
ada di angket skala asertivitas.
15
Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah para wanita
Jawa yang berdomisili di Dusun Sebaran, Godean, Sleman. Subjek berusia
diantara 21 – 55 tahun baik yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja.
Subjek berpendidikan SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi.
Metode pengumpulan
Dalam penelitian ini menggunakan skala asertivitas
yang disusun
oleh Rosalina (2001) dan dimodifikasi lagi oleh peneliti. Skala tersebut dibuat
berdasarkan aspek yang diungkapkan oleh Lazarus. Skala ini terdiri dari 44
aitem pernyataan, yang terdiri dari 24 aitem favorable dan 20 aitem
unfavorable. Aitem-aitem tersebut meliputi aspek kemampuan berbicara,
kemampuan berkata tidak, kemmpuan mengajukan permintaan serta
kemampuan mengungkapkan perasaan. Skala ini menggunakan skala Likert,
yang memberikan empat alternatif jawaban yaitu Sangat Sering (SS), Sering
(S), Jarang (J), Hampir Tidak Pernah (HTP), dan Tidak Pernah (TP).
Distribusi penyebaran aitem dari tiap-tiap aspek asertivitas dapat dilihat
pada table berikut ini :
Tabel 1
Sebaran nomor aitem-aitem skala asertivitas
Aspek
Favorable
Kemampuan untuk memulai 1,10,20,23,26,36,
pembicaraan,melanjutkan dan 39
mengakhiri
pembicaraan
dengan baik
Unfavorable
5, 14, 29, 31, 33,
35, 37
Jumlah
14
Kemampuan berkata tidak
2,4,6,7,24
11,15,27,32
9
Kemampuan meminta bantuan
pada orang lain
3,8,16,21,30,38
12,17,34,40,42
11
16
Kemampuan mengungkapkan
perasaan
Total
9,18,19,22,41,44
24
13,25,28,43
10
20
44
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis pada penilitian
ini adalah menggunakan metode statistik. Adapun statistik yang digunakan adalah
Anova tiga jalur dengan program SPSS 12,0 for windows.
Hasil Penelitian
Hasil analisis data dengan menggunakan anova tiga jalur pada komputer
SPSS versi12,0 diperoleh bahwa pada kelompok pendidikan diketahui F=4,019
; p=0,010 (p<0,05). Maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan
asertivitas ditinjau dari pendidikan diterima. Sedangkan pada kelompok usia
diketahui F=0,376 ; p=0,770 (p>0,05). Maka hipotesis yang menyatakan bahwa
ada perbedaan asertivitas ditinjau dari usia ditolak. Pada kelompok status
pekerjaan nilai F=0,160 ; p=0,690 (p>0,05). Maka hipotesis yang menyatakan
bahwa ada perbedaan asertivitas ditinjau dari status pekerjaan ditolak.
Pada kelompok perbandingan usia dan
pendidikan diketahui nilai
F=1,240 ; p=0,289, maka hipotesis yang menyatakan ada perbedaan asertivitas
ditinjau dari pendidikan dan usia ditolak. Untuk kelompok usia dan status
diketahui nilai F=0,200 ; p=0,896, maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada
17
perbedaan asertivitas ditinjau dari usis dan status pekerjaan ditolak. Untuk
kelompok pendidikan dan status pekerjaan nilai F=0,577 ; p=0,632, maka
hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan asertivitas ditinjau dari
pendidikan dan status pekerjaan ditolak. Pada kelompok usia, pendidikan dan
status pekerjaan diketahui nilai F=0,425 ; p=0,830, maka hipotesis yang
menyatakan bahwa ada perbedaan asertivitas ditinjau dari pendidikan, usia dan
status pekerjaan ditolak.
Hasil analisis menunjukan adanya perbedaan asertivitas wanita Jawa
ditinjau dari pendidikan. Wanita yang berpendidikan perguruan tinggi
asertivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan
SD,SMP,dan SMU. Pendidikan merupakan proses pengubahan cara berfikir
dan tingkah laku serta mengembangkan kemampuan. Menurut Frith dan Synder
(Prabana, 1997) latar belakang pendidikan seseorang akan mempengaruhi
asertivitasnya. Pendidikan memberikan pengaruh pada kualitas wawasan
seseorang. Wawasan serta pengetahuan yang dimiliki seseorang
dapat
memperlancar komunikasi dan hubungan interpersonal. Dengan memiliki
wawasan serta pengetahuan yang luas dapat menambah rasa percaya diri
sehingga timbul keberanian untuk mengungkapkan segala pendapat serta ideide yang dimiliki.
Dari hasil analisis juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan asertivitas
wanita Jawa ditinjau dari usia . Frith dan Synder (Prabana,1997) mengatakan
faktor usia juga berpengaruh terhadap perkembangan asertivitas seseorang.
Asertivitas seseorang itu diharapkan berkembang sepanjang usia manusia.
18
Tidak adanya perbedaan tersebut juga dapat disebabkan karena pada budaya
Jawa seorang wanita tidak boleh banyak ide, berpendapat dan harus menjadi
seorang penurut, bahkan tidak boleh terlalu pintar (Widyorini, 2005).
Masyarakat Jawa lebih mengutamakan kepatuhan dan kesopanan serta
menolak spontanitas dalam mengungkapkan diri karena dianggap tidak etis.
Sehingga walaupun individu tersebut telah masuk pada usia dewasa yang
mana diharapkan dapat lebih mengembangkan asertivitasnya tetapi karena
tidak mau dianggap tidak sopan atau tidak etis dalam masyarakat maka dapat
menyebabkan asertivitasnya tidak berkembang.
Pada kelompok status pekerjaan juga ditemukan bahwa tidak ada
perbedaan asertivitas antara wanita yang bekerja dan dengan yang tidak
bekerja. Menurut Titi Irawati S (Sinambela, 1994) wanita bekerja mampu
mengembangkan kemampuan, kreativitasnya dan cara berpikirnya lebih luas
serta mempunyai percaya diri lebih tinggi karena merasa dibutuhkan dan
berguna. Percaya diri yang tinggi akan mempengaruhi seseorang untuk
berprilaku asertif (Frith dan Synder dalam Prabana,1997). Namun ternyata
wanita yang bekerja belum tentu memiliki asertivitas yang tinggi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Kiecolt dan Mc.Grath (Susanto, 1997) dapat
diketahui bahwa perkembangan asertivitas seseorang dipengaruhi oleh jenis
pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang banyak melibatkan individu dengan orang
lainlah yang dapat meningkatkan asertivitas seseorang. Jenis pekerjaan yang
berhubungan dengan banyak orang membuat cara berpikir individu lebih luas
dan terbuka.
19
Wanita yang tidak bekerja juga bukan berarti asertivitasnya rendah.
Tidak jarang wanita yang tidak bekerja memiliki latar belakang pendidikannya
perguruan tinggi namun lebih memilih untuk peran reproduksi saja
(Widyorini,2005). Dengan latar belakang yang dimiliki tersebut, wanita yang
tidak bekerja asertivitasnya juga dapat berrkembang, karena menurut Frith dan
Synder (Prabana, 1997) latar belakang pendidikan juga mempengaruhi
asertivitas.
Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa tidak ada interaksi
asertivitas wanita Jawa ditinjau dari pendidikan, usia dan status pekerjaan. Hal
ini mungkin saja terjadi karena pendidikan, usia dan status pekerjaan
merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi asertivitas seseorang.
Sehingga apabila dibandingkan maka akan menimbulkan tidak adanya
perbedaan asertivitas, karena ketiga faktor tersebut dapat saja menghasilakn
tingkat asertivitas yang sama. Tidak adanya perbedaan tersebut juga dapat
terjadi karena pengaruh latar belakang budaya. Pada kebudayaan Jawa,
wanitanya diharuskan untuk mengutamakan nilai-nilai kepatuhan dan
ketaatan, sehingga wanita tidak bebas dalam mengambil keputusan, baik untuk
dirinya maupun keluarga (Hakimi dkk, 2001).
Kesimpulan
Dari hasil analisis data penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
asertivitas wanita Jawa ditinjau dari pendidikan. Dengan memiliki pendidikan
yang cukup tinggi dapat membuat asertivitas seseorang semakin meningkat.
20
Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki dapat memperluas wawasan serta
pengetahuan dan meningkatkan kepercayaan diri. Dengan berkembangnya zaman
tidak menutup kemungkinan bagi wanita Jawa untuk memperoleh pendidikan
yang tinggi.
Namun apabila ditinjau dari usia serta status pekerjaan ditemukan tidak
adanya perbedaan asertivitas pada wanita Jawa. Hal itu dapat terjadi karena untuk
berkembangnya asertivitas seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, bukan
saja dipengaruhi oleh faktor usia dan status pekerjaan. Oleh sebab itu
memungkinkan tidak adanya perbedaan asertivitas apabila ditinjau dari usia dan
status pekerjaan.
Saran
Berdasarkan proses dan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa hal yang
bisa dijadikan saran. Saran tersebut antara lain :
1. Saran bagi subjek penelitian
Bagi para wanita jawa diharapkan untuk menyadari bahwa pendidikan itu
penting, agar dapat mengembangkan asertivitasnya. Pada zaman sekarang
wanita telah diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan setinggi
mungkin.
2. Saran bagi masyarakat
Masyarakat agar dapat menyadari bahwa wanita juga berhak mendapat
pendidikan karena dengan pendidikan dapat memperluas pengetahuan
sehingga asertivitas dapat berkembang. Masyarakat juga harus memahami
21
bahwa di zaman sekarang ini para wanita juga berhak mengungkapkan
keinginan dirinya dan dengan keberanian mengungkapkan keinginan
tersebut bukan berarti para wanita itu tidak sopan atau tidak patuh.
Masyarakat juga harus dapat menerima bahwa didunia kerja para wanita
juga diberikan tempat untuk mengaplikasikan ilmunya. Sehingga tidak ada
salahnya apabila wanita itu bekerja. Masyarakat harus mulai berpikiran
terbuka dan harus mulai memahami bahwa wanita itu bukan hanya
berperan sebagai pengurus rumah saja.
3. Saran bagi penelitian selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengambil variabel yang lebih
spesifik lagi. Perlu diperhatikan juga keadaan subjek ketika mengisi alat
tes, diharapkan agar mereka mengisi dengan sungguh-sungguh.
Download