57 Urgensi Filsafat Penelitian Tindakan Kelas Dalam Upaya

advertisement
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Urgensi Filsafat Penelitian Tindakan Kelas Dalam Upaya Peningkatan Kualitas
Belajar Siswa
Darma Kesuma
H.Y. Suyitno
Pendahuluan
Ada sebagian orang yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber
kebenaran, biasanya mereka tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian
juga sebaliknya ada sebagian orang yang memalingkan muka dari ilmu, mereka adalah
orang yang tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban
sebagaimana kita rasakan dan alami sekarang ini. Pendidikan sebagai salah satu komponen
kehidupan yang asasi, telah berperan dalam menghasilkan kemampuan manusia dalam
menemukan, mencari dan mengembangkan ilmu. Bahkan dengan pendidikan, telah jauh
mengembangkan peradaban yang melebihi kapasitas manusia untuk menguasai dunia.
Perkembangan ilmu yang demikian puncak, mendorong manusia untuk menguasainya,
dan siapa yang tidak memilikinya maka dia akan jadi obyek manusia cerdas. Kehidupan
demikian rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran. Adalah ketakaburan
yang tidak berdasar, apabila menganggap bahwa ilmu adalah alpa dan omega dari
kebenaran. Banyak sumber kebenaran selain ilmu, yaitu agama, filsafat, seni, dan lainlain pengetahuan. Einstein mengatakan: ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu
adalah lumpuh”. Dengan demikian, kebenaran sangat bergantung pada pendekatan yang
digunakan dan dasar pengetahuan yang mendasarinya. Dengan demikian, jika kita akan
menganalisis suatu permasalahan, maka harus ditetapkan terlebih dahulu sumber dan
dasar pemikiran kita, agar orang lain memahami peta dan paradigma pemikiran yang kita
gunakan. Sebagai salah satu kegiatan pendidikan, yang merupakan aplikasi keilmuan,
maka proses pendidikan tidak lagi natural (alami), tetapi menjadi suatu bidang/lapangan
kajian keilmuan, sehingga pendidikan seolah-olah sudah lepas dari tanggung jawab hakiki
orang tua, tetapi lebih banyak pada tanggung jawab guru di sekolah. Apabila konteks
pendidikan menjadi kajian keilmuan, maka tanggung jawab kita adalah mendasarkan
telaahan dan pengembangan pendidikan berbasis keilmuan. Banyak kegiatan pendidikan
yang belum dianalisis berdasar pada keilmuan, sehingga pendidikan kurang berkembang
sebagaimana harapan. Untuk memahami hakikat ilmu pendidikan, maka kita harus
memahami landasan filosofisnya, yaitu filsafat ilmu pendidikan (MI. Soelaeman (1982).
Salah satu fakta empirik dalam proses pendidikan, adalah adanya komunikasi pendidikan
antara guru dan siswa di kelas. Komunikasi yang dibangun merupakan pendekatan dan
implementasi dari berbagai pendekatan keilmuan. Oleh karena itu, penelitian tindakan
kelas menjadi penting, karena merupakan upaya menemukan model dan prosedur
baru yang lebih efisien dan efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Model-model
pembelajaran yang berbasis pada landasan yang kokoh, baik filosofi maupun keilmuannya,
akan memperkuat dan mendorong kinerja guru secara profesional dan menghasilkan
kualitas belajar siswa lebih unggul.
57
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Pengertian
PTK (Penelitian Tindakan Kelas) atau Classroom Action Research berkembang di
beberapa Negara maju, antara lain Inggris, Amerika, Australia, dan Canada. Penelitian
ini mampu menawarkan cara dan prosedur baru untuk memperbaiki dan meningkatkan
profesionalisme guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. McNiff (1992;1) dalam
bukunya menjelaskan bahwa PTK sebagai bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh
guru sendiri, hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk pengembangan kurikulum,
pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan lain sebagainya.
Dengan PTK, guru dapat meneliti sendiri terhadap praktek pembelajaran yang
dilakukannya di kelas, guru dapat melakukan penelitian terhadap siswa dilihat dari
interaksinya dalam proses pembelajaran. Dalam PTK, guru dan dosen secara kolaboratif
dapat melakukan penelitian terhadap proses dan atau produk pembelajaran secara reflektif
di kelas. Dengan demikian, PTK merupakan upaya memperbaiki kinerja guru itu sendiri
dalam praktek-praktek pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
Salah satu pendekatan yang mendasari bagaimana PTK dilakukan dengan benar adalah
pendekatan filosofis. Dalam pendekatan ini, ada tiga aspek yang menjadi kajian sebuah
pendekatan filsafiah, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Ontologis keilmuan membahas dan menelaah tentang obyek kajian yang menjadi
pembahasannya. Epistemologis keilmuan membahas dan menelaah tentang metodologi
telaahan untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan aksiologis keilmuan membahas
tentang nilai kegunaan dari hasil kajian dan metodologinya (Suriasumantri, 1982, Power,
1982).
Berkaitan dengan landasan berfikir tersebut, ada hal yang perlu difahami sebagaimana
pendapat Bruce Joyce dan Marsha Weil (1980) dan Jawad Dahlan (1984), bahwa
sesungguhnya tidak ada satu model mengajar pun yang paling cocok untuk semua situasi;
dan sebaliknya tidak ada satu situasi mengajar pun yang paling cocok dihampiri oleh
semua model mengajar. Oleh karena itu, peningkatan kualitas belajar bukan hanya milik
satu model pembelajaran, tetapi PTK bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan kualitas
hasil belajar.
Kualitas belajar adalah kriteria peringkat hasil belajar seseorang yang diakibatkan dari
proses perubahan individu terhadap objek yang dipelajarinya. Jika anak memiliki rata-rata
nilai hasil belajar 8 atau B, dapat dikatakan sebagai anak yang memiliki kualitas belajar
tinggi. Kualitas belajar ini dapat meningkat apabila ada upaya guru menggunakan model
belajar yang tepat dengan situasi dan kondisi belajar serta karakteristik gaya belajar anak.
Penelitian tindakan kelas, berupaya mencari model belajar yang tepat untuk semua anak
dan memahami model-model belajar anak yang dapat meningkatkan kualitas belajarnya.
Rasional dan Skop
1. Rasional
Pertanyaan petama yang diajukan adalah mengapa harus ada studi filsafat PTK? Setiap
mengkaji suatu permasalahan yang berkaitan dengan bidang kemanusiaan, akan banyak
58
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
melibatkan aspek-aspek yang bukan hanya bersifat fisik belaka, tetapi ada aspek psikhis
dan aspek ruhaniah. Aspek psikhis bisa ditelaah secara ilmiah, sedangkan aspek ruh
ditelaah oleh agama maupun filsafat. Kajian yang demikian menjadi penting, karena
dalam PTK bukan hanya mempelajari pengaruh tindakan guru dalam pembelajaran, tetapi
menyangkut aspek potensi yang ada dalam diri anak, dan sikap kepribadian guru yang
tampil di depan siswanya yang ikut mempengaruhi proses komunikasi pembelajaran.
PTK sebagai penelitian yang bersifat reflektif, melakukan tindakan-tindakan tertentu
agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan prktek-praktek pembelajaran di kelas
secara lebih professional. Oleh karena itu, PTK terkait erat dengan permasalahan praktek
pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Apabila praktek yang dilakukan hanya
bertumpu pada tindakan-tindakan yang tanpa nilai dan tidak berorientasi pada keunggulan
martabat manusia, maka PTK menjadi tidak memiliki nilai dan arti dalam pendidikan di
sekolah.
Kajian obyek PTK secara material, adalah bagaimana peserta didik dapat difahami
sebagai subyek yang ikut menentukan proses pembelajaran dan tercapai atau tidaknya
tujuan yang ditetapkan. Secara formal, PTK lebih memfokuskan pada situasi komunikasi/
pergaulan pendidikan di kelas dengan berbagai tindakan guru untuk mempengaruhi siswa
untuk memahami pesan komunikasinya. Situasi pendidikan berbeda dengan situasi
bermain sandiwara, yang sudah diketahui apa yang akan terjadi setelah permainan selesai,
karena semua direkayasa dan semua pemain tahu harus melakukan apa, berkata apa, dan
kapan peserta mengakhiri permainannya. Tidak ada pengaruh berarti dalam kehidupan
sandiwara. Situasi ini berbeda dengan situasi pendidikan, yang mencoba merekayasa
persiapannya, teknologinya, system penilaiannya, dan tehnik pengembangannya, tetapi
tidak mengetahui apa yang terjadi pada siswa, apa mereka ada perubahan atau belum?
Dengan demikian, dibutuhkan berbagai pendekatan yang tepat untuk dapat memprediksi
perilaku-perilaku peserta didik dan juga guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran
yang mendidik. Oleh karena itu, diperlukan refleksi dalam setiap tindakan yang berbasis
analisis keilmuan, baik pada aspek psikologisnya, sosiologisnya, antropologisnya, aspek
metodologisnya, aspek politisnya, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Mengapa PTK diperlukan oleh guru? Masih banyak guru yang dibawah standar kompetensi
professional dalam melakukan proses pembelajaran, sehingga banyak tindakan guru
yang sia-sia karena tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui tindakan
apa yang keliru dalam pembelajaran, mengapa siswa tidak bergairah dalam belajar, dan
mengapa tujuan pembelajaran tidak tercapai, diperlukan PTK sebagai salah satu upaya
yang dapat memperbaiki kinerja guru di kelasnya dalam rangka meningkatkan kualitas
belajar anak.
2. Skop Pembahasan
a. Dasar Ontologi Ilmu
Aktivitas pembelajaran sebagai obyek empiris merupakan abstraksi yang disederhanakan.
Penyederhanaan ini merupakan pembatasan dari seluruh kegiatan proses pendidikan
yang begitu kompleks. Ilmu tidak bermaksud “memotret” atau “mereproduksi” suatu
kejadian tertentu dan mengabstraksikannya dalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan
untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan memba- tasi diri pada hal-hal yang asasi.
59
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Dengan perkataan lain ilmu bermaksud memeras hakikat obyek empiris tertentu, untuk
mendapatkan inti sari yang berupa pengetahuan mengenai obyek tertentu.
Pengetahuan manusia dapat dikategorikan ke dalam pengetahuan ke alaman, pengetahuan
sosial, humaniora, dan agama. Pengetahuan ke alaman memiliki tatanan yang baku, pasti
dan sistematik. Contoh; kejadian hujan akan selalu didahului oleh adanya awan, angin, dan
turun hujan. Tidak pernah terjadi dalam alam ini, air hujan turun lebih dulu, baru berawan
dan angin. Hal ini sangat berbeda dengan pengetahuan social yang relatif tatanannya
kurang baku. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian yang dapat memberikan
sumbangan keilmuan yang mendekati kebenaran obyektif.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, ilmu membuat beberapa andaian (asumsi)
mengenai obyek-obyek empiris. Pernyataan asumtif ini akan memberi arah dan
landasan bagi kegiatan penelaahan. Jujun S (1982) menyatakan bahwa secara rinci ilmu
mempunyai tiga asumsi menganai obyek empiris, yaitu (1) menganggap obyek-obyek
tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpanya dalam hal bentuk, struktur,
sifat dan sebagainya. Berdasarkan asumsi ini melahirkan konsep klasifikasi, kemudian
muncul taxonomi. Menurut Linnaeus (1707 – 1778) dalam Jujun S (1982) konsep
taxonomi, melahirkan konsep komparatif dan kuantitatif. (2) Asumsi bahwa suatu benda
tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan berupaya
mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam suatu keadaan tertentu. Hal ini tidak mungkin
dilakukan bila obyeknya selalu berubah-ubah tiap waktu. Walau demikian kita tidak bisa
menuntut adanya kelestrian yang absolute, sebab alam mengikuti perjalanan waktu dan
tiap benda akan mengalami perubahan. (3) Asumsi determinisme, meng- anggap tiap
gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai
pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama. Sebagai
contoh; setiap benda yang terbakar akan mengeluarkan asap, sate yang dibakar akan
mengelaurkan bau yang merangsang, dan lain sebaginya. Namun ilmu tidak menuntut
adanya hubungan sebab akibat dalam setiap kejadian, seperti tidak harus kalau ada awan
pasti ada hujan.
Determinisme dalam pengertian ilmu, mempunyai konotasi yng bersifat peluang
(probabilistik), dan statistika merupakan metode yang menyatakan adanya hubungan
probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Oleh karena itu dasar dari
statistika adalah teori probabilistik.
Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), memiliki karakteristik objek
studi yang menggabungkan data-data kuantitatif dan kualitatif. Prinsip-prinsip analisis
kuantitatif, menekankan fakta-fakta empiris dengan menggunakan proses induktif,
misalnya menalaah efektivitas hasil belajar siswa dengan pengukuran hasil belajar,
yang menghasilkan inferensi tingkat efektivitas. Analisis kualitatif, memiliki fokus pada
bagaimana tindakan-tindakan guru dan aktivitas siswa dapat diamati dan difahami melalui
proses hermeneutik/verstehen yang memaknai tingkat kualiti tindakan guru dan siswa
dalam proses pembelajaran.
Objek kajian PTK adalah situasi dan kondisi kelas yang memiliki karakteristik multi
dimensional, dapat diimplementasikan dalam upaya peningkatan kualitas hasil belajar
siswa yang memiliki individual differencies, yaitu bagaimana guru dapat meningkatkan
pemahaman siswa dalam mempelajari berbagai ilmu dengan mengenali perbedaan
karakteristik setiap bidang kajian. Siswa akan menyenangi objek kajian suatu bidang studi
60
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
(misalnya IPA/Ilmu Pengetahuan Alam)) yang mempelajari sifat-sifat air, udara, benda
padat, dan lain sebagainya dengan cara belajar yang menyenangkan. Model pembelajaran
role playing, tidak hanya diterapkan dalam konteks sosial dan sejarah, tetapi peran sebagai
seorang ilmuwan (misalnya sebagai ahli sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi,
sejarah, filsafat, dan lain sebagainya) dapat diperankan oleh siswa, dengan memberikan
pemahaman tentang karakteristik objek studi masing-masing, sehingga siswa akan merasa
senang dan bangga dengan perannya. Suasana ini akan mendorong minat anak untuk
mengembangkan curriocity terhadap keilmuan yang dipelajarinya. Apabila anak senang
dan berminat dalam mempelajari objek studi keilmuan yang menjadi orientasi hidupnya,
akan mendorong kualiti hasil belajarnya.
b. Dasar Epistemologi Ilmu
Teori ilmu pengetahuan yang disebut dengan epistemology, membahas secara mendalam
tentang segenap proses yang menjadi kajian untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu
diperoleh melalui proses tertentu yang disebut dengan metode keilmuan. Ilmu disebut
juga dengan ilmu pengetahuan, memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
jenis pengetahuan lain. Penelitian Tindakan Kelas, bukan cabang ilmu, tetapi suatu
aplikasi dari metode penelitian untuk mengungkap fakta yang berkaitan dengan praktek
pembelajaran di kelas.
Karakteristik ilmu adalah empirik, deskriptif, analitik dan asumtif. (Jujun S, 1982,
Bleakley, 2004, Moleong, 1989, dan Novak, 1979). Sedangkan filsafat menurut Power
(1982), memiliki karakteristik kajian yangbersifat komprehensif, kontemplatif, normative
dan radikal. Oleh karena perbedaan karakteristik antara ilmu dengan filsafat, maka ilmu
lebih berkonsentrasi pada obyeknya yang lebih spesifik, empirik dan obyektif. Berdasarkan
karakteristik ilmu tersebut, maka metode ilmiah yang digunakan ada dua aliran, yaitu
rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme dalam Power (1982), menyatakan bahwa ide tentang kebenaran sebenarnya
sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut, namun tidak menciptakan
dan tidak mempelajari lewat pengalaman. Idea kebenaran diperoleh melalui berfi- kir
secara rasional, dan kebenaran yang diperoleh bersifat koheren.
Empirisme, menurut Suriasumantri (1982) sebagai aliran dalam ilmu pengetahuan yang
menyatakan bahwa kebenaran hanya bisa diperoleh lewat pengalaman empirik yang
terukur. Permasalahan yang muncul bahwa kebenaran yang menampakan diri dalam
fakta belum bias dijadikan dasar kebenaran, sebab masih membutuhkan pemaknaan dan
tafsir dari subyek yang menelaah dan mempelajarinya. Selaras dengan sifat keilmuan
yang logis, maka gabungan dari pendekatan rasional dan empiric menghasilkan metode
ilmiah yang kuat.
PTK/CAR, melakukan prosedur penelitian yang didasarkan atas koridor dan prinsip-prinsip
penelitian ilmiah, yang berupaya memperoleh penjelasan, prediksi dan kontrol terhadap
hasil kinerja dalam kegiatan pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional (2002).
Siswa akan mencoba merasakan dan belajar tentang kondisi dan situasi pembelajaran
dengan prosedur yang sistematis, sehingga akan bermakna dalam memahamkan anak
untuk mencari kebenaran dengan prosedur yang ilmiah. Dalam pembelajaran, guru tidak
harus menjejalkan atau memaksa anak untuk faham, tetapi dalam prosesnya anak akan
mengetahui bagaimana langkah-langkah yang dilakukan guru secara sistematis dalam
61
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
mengungkap fakta-fakta empirik berdasarkan rumus-rumus, dalil, teori, dan logika yang
standar berbasis pada keilmuan. Dengan demikian, langkah-langkah PTK yang standard
akan mampu membelajarkan siswa dengan efektif yang menghasilkan kualitas hasil
belajar yang cemerlang.
Dasar Axiologi Ilmu
Setelah membicarakan tentang apa obyek ilmu, dan bagaimana kita bisa memperoleh
ilmu yang benar, maka pada muaranya mau diapakan ilmu itu, untuk apa ilmu itu atau
apa kegunaan ilmu itu. Dasar axiology ilmu menurut Jujun S (1982) menginginkan
bahwa ilmu memiliki nilai manfaat bagi kehidupan manusia, sebagaimana ditemukannya
listrik untuk kesejahteran manusia, ditemukannya matematika dan angka nol oleh filosof
India, penemuan kompas, mesiu dan mesin cetak oleh para ilmuwan Cina, semua untuk
kebermanfaatan kehidupan manusia. Sifat ilmu adalah netral, ilmu tidak mengenal baik
dan buruk, dan sipemilik pengetahuan itu sendiri yang harus memiliki sikap. Jalan mana
yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang esar itu, terletak pada system
nilai si pemilik pengetahuan tersebut. Dengan demikian netralitas ilmu terletak pada
epistemologinya, jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih, tanpa berpihak kepada
salah satu selain kepada kebenaran yang nyata. Pada tataran axiologis, seorang ilmuwan
harus mampu menentukan sikap sebagai wujud tingkat moralitas dalam menggunakan
ilmu sebagai aturan dalam kehidupan (Suriasumantri, 1982).
Selaras dengan prinsip aksiologis, peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai
seorang yang konsisten dalam menunaikan nilai-nilai keilmuan, dan mampu
mengimplementasikan dalam aktivitas sehari-hari sebagai seorang guru yang ilmuwan,
dan sebagai ilmuwan yang menjadi guru. Bagaimana seorang guru dapat konsisten
dengan prinsip moral dari ilmu yang diajarkan? Dapat dijelaskan dan diberikan contoh
yang konkrit kepada anak tentang bagaimana prinsip-prinsip kerja alat bantu pengungkit,
contoh proses kerja minuman beralkohol yang membahayakan tubuh manusia, memberi
contoh cara kerja yang sistematis dalam memecahkan masalah kesehatan lingkungan
sekolah dan manfaatnya bagi kesehatan bersama.
Demikian pula guru dapat memberi teladan dalam sikap hati-hati dan konsisten
terhadap prinsip-prinsip keilmuan yang melandasinya, seperti langkah-langkah dalam
pembelajaran dari mulai membuka pembelajaran, mengelaborasi dan mengeksplorasi
curriocity anak, memberikan prinsip-prinsip konsep keilmuan, refleksi dan internalisasi
nilai-nilai, evaluasi untuk feedback dan pengembangannya, dan menutup pembelajaran
dengan memberi penguatan dan motivasi untuk belajar di rumah secara lebih baik.
Aplikasi Konsep Terhadap PTK
Dalam uraian di atas, sepintas telah disinggung tentang PTK sebagai salah satu upaya
untuk mengenali dan memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas. Marilah kita coba
telaah tentang: Obyek PTK, Metode, dan Kegunaannya. Obyek PTK telah disinggung di
atas, yaitu ada obyek material, dan obyek formal. Obyek materialnya adalah wujud subyek
didik secara faktual sebagai manusia yang memiliki potensi dan eksistensi. Sedangkan
secara formal, obyek studi PTK adalah situasi komunikasi yang memiliki kualitas-kualitas
yang penuh makna antara dua pribadi atau lebih (MI. Soelaeman, 1982).
62
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Telaahan tentang objek PTK (CAR), diimplementasikan dalam pemahaman guru terhadap
subjek didik yang memiliki berbagai karakteristik individual dan memerlukan pelayanan
yang berbeda dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pemahaman dan perlakuan
yang dapat diterima oleh siswa, akan mendorong minat dan bakat siswa berkembang
seoptimal mungkin dan menghasilkan kualitas belajar yang lebih baik (Colin Mars, 2008).
Banyak faktor yang harus dibenahi oleh seorang guru, dari mulai perencanaan, penciptaan
situasi yang kondusif dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, pembelajaran yang
efektif, inovatif dan menyenangkan, melakukan evaluasi untuk feedback/umpan balik
pembelajaran, melakukan refleksi terhadap seluruh aktivitas, seluruhnya menciptakan
pembelajaran yang berkualitas, yaitu pembelajaran yang bermakna bagi proses kehidupan
anak (Colin Mars, 2008).
Secara metodologis, memberi kesempatan kepada peneliti untuk mengungkap tentang
fakta yang sebenarnya yang secara obyektif dikemukakan oleh lebih satu orang, sehingga
tingkat obyektivitasnya lebih terjamin. Permasalahannya kembali kepada pemilik
pengetahuan, apakah memiliki sikap netralitas dan obyektif terhadap obyek telaahannya.
Prosedur yang ditempuh guru dalam PTK/CAR, akan dapat diamati oleh seluruh siswa
di dalam kelas, dan terjadinya pembuktian fakta baik secara etic dan emic dapat pula
difahami siswa melalui refleksi yang terbuka. Hal ini secara langsung ataupun tidak
langsung, siswa belajar bagaimana proses menemukan kebenaran dalam belajar, yang
diharapkan mampu meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
Sedangkan dari aspek axiologisnya, bahwa PTK telah banyak membantu para guru untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara professional. Kualitas
pembelajaran dapat diukur dari aspek penguasaan materi pelajaran, penggunaan multi
media yang memotivasi siswa bergairah untuk belajar, hubungan kewibawaan yang
dimiliki guru di dalam kelas, nilai-nilai yang dijadikan sebagai acuan dalam menciptakan
iklim belajar, suasana belajar dalam kelas, kelengkapan alat peraga dan fasilitas belajar,
serta sikap dan kepribadian guru yang ditampilkan di depan siswa.
Berdasarkan pengalaman dalam membimbing mahasiswa yang melakukan penelitian
tindakan kelas, membuktikan PTK dapat meningkatkan efektivitas hasil belajar siswa
sampai 75%. Makna dari aksiologis PTK, membuktikan telah mampu meningkatkan
kegunaan secara efektif dalam upaya mendorong kualitas hasil belajar di sekolah.
Kebermaknaan lain dari aspek aksiologis PTK adalah mendorong kinerja guru untuk
melakukan pembelajaran secara bermakna dan memberi pemahaman kepada guru untuk
selalu bekerja secara cermat, tekun, berbasis pada nilai moral kebenaran, dan konsistensi
dalam pengembangan profesi, yaitu komitmen dalam upaya peningkatan pendidikan di
masa depan yang lebih baik.
Demikian pula anak, akan belajar melalui aktivitas eksploratif dalam PTK yang dilakukan
guru, dan akan menggunakannya sebagai pola eksploratif dalam belajar yang akan
membantu dalam meningkatkan kualitas belajarnya.
63
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Rujukan
Bleakley, A. (2004), Education Research in The Postmodern, Peninsula Medical School,
University of Plymoyth (link reinstated August 2006), http:/www.edu.plymouth.
ac.uk/resined/postmodernism/pmhome.htm
Dahlan, MD.,(1984) Model-Model Mengajar, Bandung, CV.Diponegoro
Dunkin, Michael J., and Biddle, Bruce J., (1974), The Study of Teaching, New York,
Holt, Rinehart and Winston
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikti, (1992), Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kurikulum Pendidikan Prajabatan Tenaga Kependidikan dan Strategi
Pengembangannya, Jakarta, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan
Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional, (2002), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta,
Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan
___________, (2003), Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta Penjelasannya, Jakarta, Balai
Pustaka
___________, (2005), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta, Departemen Pendidikan
Nasional
___________, (2002), Pedoman Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta, Departemen
Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Direktorat Profesi Pendidik, (2007), Peningkatan Kualifikasi Guru, Jakarta, Direktorat
Jenderal PMPTK, Departemen Pendidikan Nasional
Joyce, Bruce., Weil Marsha, (1980), Models of Teaching, New Jersey, Prentice-Hall Inc
Kelompok Kerja Pemasyarakatan Kebijaksanaan Meteri Pendidikan dan Kebudayaan,
(1993), Sistem Pengadaan, pemanfaatan, dan Pembinaan Guru, , Jakarta,
Depdikbud
Langeveld, M.J., (1970), Pedagogik Teoritis Sistematis, Penerjemah Simanjuntak,
Bandung, CV. Jemmars
Mars, Colin, (2008), Becoming A Teacher, Knowledge, Skill, and Issues, (4th-ed),
Australia, Pearson Education Australia, A Division Pearson Australia
Miles, B Matthew, Huberman, Michael., (1992), Analisis Data Kualitatif, Penterjemah:
Tjetjep Rohendi Rohidi, Universitas Pendidikan Press, Jakarta.
Moleong, J. Lexy., (1989), Metodologi Penelitian Kualitatif, Remadja Karya, CV.
Bandung.
Novak, Joseph D., (1979) A Theory of Education, Jthaca, Carnell Universuity Press
Phenix, H Philip, ( 1964), Realm of Meaning, A Philosophy of The Curriculum for
General Education, New York, McGraw Hill, Boock Coy.
64
Falsafah Pendidikan
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Power, Edward J., (1982) Philosophy of Education, Studies in Philosopies, Schooling
and Education Policies, New Jersey, Prentice-Hall, Inc.
Soelaeman, MI., (1982), Menjadi Guru; Suatu Pengantar Kepada Dunia Guru, Jurusan
Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Bandung, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Bandung.
Sumaatmaja, Nursid., (2005), Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan
Hidup, Bandung, CV. Alfabeta
Suriasumantri, Jujun S., (1982), Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia
Yelon. L Stephen, Weinstein.W Grace.,(1977), A Teachers World, Psychology in The
Cassroom, Auckland Bogota, Guatemala, Hamburg, Johannesburg, etc.,
McGraw-Hill International Book Company.
65
Download