BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di bawah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di bawah pemerintahan Barack Obama, Amerika Serikat mengalami banyak
perubahan terhadap praktek politik Amerika Serikat baik di level domestik dan internasional.
Secara khusus, Obama mengumumkan adanya perubahan arah kebijakan luar negeri Amerika
Serikat terhadap Iran. Setelah selama ini berada dalam pola hubungan yang konfliktual,
Obama bermaksud untuk mengubah status quo dengan memulai kembali hubungan
diplomatik dengan Iran. Melalui kebijakan dual-track strategy, pemerintah Amerika Serikat
mengupayakan normalisasi hubungan dengan Iran sekaligus membangun kerja sama untuk
menyelesaikan isu nuklir Iran. Implementasi dari kebijakan dual-track strategy ini akan
menjadi fokus bahasan penulis dengan menyoroti dinamika politik domestik Amerika Serikat
sekaligus politik internasional dan kaitannya terhadap proses negosiasi kesepakatan nuklir
Iran.
Dalam proses implementasinya, kebijakan dual-track strategy ini mendapat banyak
tentangan dari kongres Amerika Serikat. Munculnya hambatan di level domestik ini tidak
lepas dari masa lalu hubungan Amerika Serikat dan Iran. Paska terjadinya peristiwa
penyanderaan terhadap 52 warga sipil Amerika Serikat di Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Tehran, Iran dan Amerika Serikat kehilangan hubungan kerjasama yang telah terbina sejak
dulu. Sebelumnya, Amerika Serikat memiliki kedekatan khusus dengan Iran yang kala itu
berada di bawah pemerintahan Syah Reza Pahlevi. Berubahnya Iran menjadi negara teokrasi
membawa kelompok Islamis yang sebelumnya termarjinalisasi ke dalam kursi pemerintahan.
Berbeda dengan pemerintah Syah Reza yang menunjukkan sikap pro-Amerika, di bawah
pemerintahan Ayatollah Khomeini, Iran menunjukkan sikap yang sebaliknya. Amerika
Serikat dianggap telah terlalu banyak mencampuri urusan domestik Iran serta mengikis nilainilai keislaman di Iran. Sikap anti-Amerika inilah yang kemudian mendorong peristiwa
penyekapan pada 4 November 1979.1 Menyikapi insiden ini, Presiden Carter tidak hanya
menjatuhkan sanksi ekonomi yang meliputi dibekukannya aset-aset Iran di Amerika Serikat
dan embargo dagang terhadap impor langsung dan tidak langsung produk barang dan jasa
1
D.R. Farber, Taken Hostage: The Iran Hostage Crisis and America's First Encounter with Radical
Islam, Princeton University Press, New Jersey, 2005, p. 136.
Iran ke Amerika namun juga mengambil kebijakan untuk memutus hubungan diplomatik
Amerika Serikat dengan Iran.2
Paska kurang lebih 35 tahun sejak insiden penyanderaan yang dilakukan Iran,
hubungan Amerika Serikat dengan Iran tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Hubungan
kedua negara ini semakin diperparah dengan retorika Presiden Bush yang memberikan
branding ‘the axis of evil’ terhadap Iran. Besarnya pengaruh kelompok neo-konservatif dalam
era pemerintahan Presiden Bush berdampak pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang
cenderung asertif, agresif, serta militeristik, khususnya dalam menyikapi isu terorisme
termasuk dalam kebijakan luar negerinya terhadap Iran.
Naiknya Barack Obama menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat pada Desember
2008 dibarengi dengan wacana perubahan pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Secara umum, Obama menggambarkan kebijakan luar negeri Amerika akan lebih
mengutamakan prinsip multilateralis serta mengedepankan equality among nations dalam
menjalin hubungan dengan negara-negara lain.3 Dalam konteks hubungan bilateral dengan
Iran, Presiden Obama menjanjikan adanya perubahan dengan mengupayakan terbukanya jalur
diplomatik dan kerja sama dengan negara ini melalui proses engagement. Hillary Clinton
menggambarkan strategi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dibawah Obama melalui
konsep smart power yang dijabarkannya sebagai kombinasi dari hard power dan soft power.4
Salah satu implementasi dari smart power ini dapat dilihat dari kebijakan dual-track yang
diadopsi pemerintahan Obama sebagai strategi pendekatan terhadap Iran. Dalam konsep
dual-track policy, diplomasi dan sanksi menjadi dua alat utama dalam politik luar negeri
Amerika Serikat terhadap Iran.5 Menurut Amerika Serikat, dual-track policy ini menjadi
strategi ideal dalam upayanya untuk melakukan engagement terhadap Iran. Jalur diplomasi
menjadi platform utama untuk membawa Iran ke meja negosiasi, sedangkan sanksi akan
menjadi alternatif Amerika Serikat untuk mendorong Iran ke meja negosiasi dan memastikan
komitmen Iran untuk memulai hubungan baru dengan Amerika Serikat.
2
M. Aghazadeh, “A Historical Overview of Sanctions on Iran and Iran’s Nuclear
Program,” Journal of Academic Studies, Vol. 14, No. 56, 2013, p. 137.
3
“Barack Obama’s Speech on Race”, The New York Times (daring), 18 Maret 2008,
<http://www.nytimes.com/2008/03/18/us/politics/18text-obama.html>, diakses pada 19 November 2015.
4
M. Nurruzzaman, “President Obama’s Middle East Policy, 2009-2013,” Insight Turkey, Vol. 17, No. 2, 2015
p. 178.
5
T.A. Parsi, Single Roll of The Dice: Obama’s Diplomacy With Iran, Yale University Press, London, 2012, p.
49.
Keputusan Obama untuk melakukan engagement terhadap Iran menjadi salah satu
poin yang membedakan Obama dari pendahulu-pendahulunya. Melihat lamanya konflik
antara Amerika Serikat dan Iran ini telah berjalan, hostility diantaranya dapat dikatakan telah
mengakar kuat. Hal ini terlihat dari skeptisme publik Amerika Serikat terhadap wacana
engagement terhadap Iran. Dari polling yang dilakukan oleh CNN dan Opinion Research
Center (ORC), sebanyak 59% dari 1.012 sampel mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap
wacana ini.6 Polling lain menunjukkan sebanyak 49% sampel melihat Iran sebagai ancaman
serius bagi keamanan Amerika Serikat dan Internasional.7 Skeptisme masyarakat ini dapat
dipahami sebagai hostility yang telah mengakar kuat sebagai dampak dari konflik
berkepanjangan yang melingkupi hubungan Amerika Serikat dan Iran. Minimnya dukungan
publik Amerika Serikat terhadap rencana kebijakan luar negeri Amerika Serikat ini membuat
penulis tertarik untuk lebih lanjut menyoroti proses implementasi dari strategi dual-track
policy ini.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berangkat dari latar belakang yang telah dijabarkan, penulis akan menyoroti proses
implementasi dual-track policy Amerika Serikat dan melihat kaitan antara politik domestik
Amerika Serikat terhadap arah kebijakan luar negerinya. Pertanyaan penelitian yang akan
diangkat di dalam skripsi ini adalah “Bagaimana politik domestik Amerika Serikat
memengaruhi implementasi dual-track policy pemerintahan Obama dalam perundingan Iran
Nuclear Deal?” Untuk itu, penulis akan lebih menyoroti dinamika politik domestik Amerika
Serikat terkait kebijakan dual-track policy.
1.3 Landasan Konseptual
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis akan menguraikan proses negosiasi
yang berkaitan dengan implementasi dual-track policy Amerika Serikat terhadap Iran. Lebih
lanjut, penulis akan berfokus untuk menyoroti dinamika negosiasi dari sisi Amerika Serikat.
Untuk melihat kaitan antara politik domestik dan kebijakan luar negeri, penulis menggunakan
konsep two-level games. Konsep two-level games yang dicetuskan oleh Robert D. Putnam ini
menjelaskan bahwa dalam diplomasi, proses negosiasi tidak hanya terjadi di level
internasional namun juga di level domestik. Diplomasi sendiri didefinisikan sebagai process
6
J. Agiesta, “Poll: Americans Skeptical Iran will Stick to Nuclear Deal”, CNN (daring), 13 September 2015, <
http://www.cnn.com/2015/09/13/politics/iran-nuclear-deal-poll/>, diakses pada 19 November 2015.
7
Agiesta, 13 September 2015.
of strategic interaction in which actors simultaneously try to take account of and, if possible,
influence the expected reactions of other actors, both home and abroad. 8 Poin pertama dari
pemaparan Putnam adalah pemetaan proses negosiasi ke dalam dua level, yaitu level I yang
menggambarkan proses di taraf internasional dan level II yang menggambarkan proses
negosiasi di level domestik. Seorang pengambil kebijakan, menurut Putnam, harus mampu
memenuhi ekspektasi dan kepentingan di dua level sekaligus.9 Dalam ranah internasional,
pengambil kebijakan berperan sebagai representasi negara bertugas untuk memenuhi
kepentingan nasional negaranya dan merespon situasi internasional. Poin keberhasilan di
level ini dilihat dari tercapai atau tidaknya sebuah kesepakatan internasional. Sedangkan di
ranah domestik, pengambil kebijakan merupakan perwakilan dari konsituennya dan
membawa kepentingan publik. Berhasil atau tidaknya ratifikasi dari kesepakatan yang telah
dicapai di level I menjadi poin penentu keberhasilan diplomasi secara keseluruhan. Oleh
karena itu, adanya kesesuaian antara kepentingan di dua level ini menjadi faktor krusial yang
menentukan keberhasilan kebijakan luar negeri negara tersebut. Dalam konteks implementasi
dual-track policy Amerika Serikat, proses di level I merujuk pada proses negosiasi antara
Amerika Serikat dan koalisinya yang beranggotakan Rusia, Prancis, Inggris, Cina dan Jerman
(P5+1) dengan Iran. Tim negosiator Amerika Serikat sendiri sempat dipimpin oleh William J.
Burns, Susan Rice, dan Wendy Sherman. Burns memimpin tim negosiator dalam proses
negosiasi fuel-swap dengan Iran.10 Sedangkan Susan Rice merupakan negosiator utama
dalam negosiasi terkait ditetapkannya sanksi multilateral dengan Dewan Keamanan PBB.11
Wendy Sherman dibawah komando Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry,
memimpin tim negosiator dalam rangkaian panjang negosiasi nuklir Iran. 12 Proses negosiasi
inilah yang kemudian berakhir dengan disepakatinya Joint Comprehensive Plan of Action
antara koalisi P5+1 dan Iran.
Pada level II, proses negosiasi yang terjadi dalam dimensi politik domestik melibatkan
kongres Amerika Serikat, administrasi Obama, serta kelompok kepentingan di Amerika
Serikat. Dalam studi kasus yang diangkat, kelompok kepentingan yang kerap kali terlibat
8
A. Moravcsik, “Introduction: Integrating International and Domestic Theories of International Bargaining,”
dalam P.B. Evans, H.K. Jacobson, R.D. Putnam (ed.), Double-Edged Diplomacy: International Bargaining and
Domestic Politics, University of California Press, California, 1993, p. 15.
9
R.D. Putnam, “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games,” International
Organization, Vol. 82, No. 03, 1988, p. 434.
10
Parsi, p. 98.
11
Parsi, p. 110.
12
A. Shah, “Who Made The Iran Deals Happen? Here Are Some Of The People Behind The Scenes,” Public
Radio International (daring), 14 Juli 2015, <http://www.pri.org/stories/2015-07-14/who-made-iran-dealhappen-here-are-some-people-behind-scenes>, diakses pada 26 Maret 2016.
dalam proses negosiasi di level domestik Amerika Serikat merujuk pada kelompok-kelompok
Yahudi-Amerika seperti the American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) dan the
Israel Project (TIP).
Poin kedua adalah win-sets, yang digambarkan Putnam sebagai poin penghubung antara
proses negosiasi di level I dan II. Win-sets merupakan himpunan dari opsi-opsi yang mungkin
akan disetujui oleh konstituen di level II.13 Dalam negosiasi di level I, win-sets berfungsi
sebagai panduan bagi negosiator.14 Segala kesepakatan yang tercapai di level I harus berada
dalam jangkauan win-sets masing-masing negara yang terlibat negosiasi. Terciptanya
kesepakatan di level I yang berada di luar jangkauan win-sets akan menimbulkan
kemungkinan terjadinya defection, baik yang terjadi secara voluntary maupun involuntary.
Voluntary defection mengacu pada ketidakmampuan negarawan untuk memenuhi atau
mengimplementasikan kesepakatan internasional karena kegagalan ratifikasi di level
domestik. Sedangkan involuntary defection merujuk pada keadaan yang menggambarkan
pengambil kebijakan di level domestik mengesampingkan atau menggagalkan hasil
kesepakatan yang telah dicapai di level I.15 Karena itu, besar kecilnya jangkauan win-sets
sangat berpengaruh terhadap peluang tercapainya konsesi baik di level I maupun level II.
Lebih lanjut, Putnam memaparkan tiga determinan penting yang memengaruhi jangkauan
win-sets, yaitu preferensi, koalisi dan distribusi kekuasaan di level II; institusi politik di level
II; dan strategi negosiator di level I.16
Dalam konsep two-level games, kebijakan yang tengah dinegosiasikan diasumsikan
sebagai alternatif dari status quo sehingga koalisi yang terbentuk di level II akan didasarkan
pada perhitungan untung-rugi terhadap kebijakan alternatif ini (the cost of no-agreement).
Berdasar asumsi ini, kemungkinan pola konflik yang muncul adalah konflik homogen atau
konflik heterogen. Dalam konflik homogen, pihak yang terlibat dalam negosiasi tidak
memeliki preferensi yang berseberangan sedangkan dalam konflik heterogen, pihak yang
berkonflik memiliki preferensi yang bertentangan. Konflik heterogen, yang mengacu pada
konflik faksional, akan memiliki alternatif penyelesaian yang lebih banyak daripada konflik
homogen yang tentu saja berpengaruh terhadap jangkauan win-sets. Dalam studi kasus yang
diangkat, kebijakan yang tengah dinegosiasikan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah reengagement serta tercapainya kesepakatan mengenai program nuklir Iran. Koalisi yang
13
Putnam, p. 437.
Putnam, p. 437.
15
Moravcsik, p. 28.
16
Putnam, p. 442.
14
terbentuk kemudian berdasar pada pro dan kontra terhadap wacana kebijakan. Koalisi
tersebut dapat disimplifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok liberal yang
cenderung mendukung kebijakan ini dan kelompok konservatif yang bersikukuh untuk tetap
menjatuhkan sanksi terhadap Iran dan menolak adanya kesepakatan dengan negara ini.
Distribusi kekuasaan antara dua faksi ini turut memengaruhi jangkauan win-sets. Dalam
sistem politik Amerika Serikat, terdapat dua partai dominan yaitu Partai Republikan dan
Partai Demokrat. Parta Republikan yang berasal dari golongan konservatif menduduki
mayoritas kursi di Dewan Perwakilan dan Senat Amerika Serikat. Sementara itu, politisi dari
Partai Demokrat lebih memiliki kendali dalam pemerintahan mengingat Barack Obama
sendiri berasal dari golongan liberal ini. Distribusi kekuasaan antara golongan konservatif
dan liberal ini memengaruhi proses tarik menarik kepentingan antara kongres dan
pemerintah. Dalam negosiasi mengenai wacana re-engagement terhadap Iran, kongres yang
mayoritas diduduki oleh kelompok konservatif kerap kali mengambil oposisi terhadap
pemerintahan Obama. Proses negosiasi yang terjadi diantara keduanya inilah yang nantinya
akan memengaruhi jangkauan win-sets yang dibawa negosiator Amerika Serikat ke
perundingan internasional.
Determinan kedua yaitu institusi politik di level II mengacu pada kondisi pemerintahan
suatu negara, Bentuk pemerintahan negara akan berpengaruh terhadap mekanisme
pengambilan kebijakan di negara tersebut yang tentu saja memengaruhi proses ratifikasi
kebijakan. Semakin besar otonomi yang dimiliki pengambil kebijakan terhadap konstituennya
berpengaruh terhadap semakin luasnya jangkauan win-sets. Pada negara yang menganut
sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat, pemerintah memiliki hambatan domestik yang
cukup ketat. Proses pengambilan kebijakan harus melalui persetujuan dua kamar dalam
kongres, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan sehingga proses ratifikasi akan menjadi lebih
rumit. Selain kedua determinan yang disebutkan oleh Putnam, Andrew Moravcsik
memaparkan bahwa pemerintah dapat memanipulasi win-sets di level II untuk meningkatkan
probabilitas keberhasilan. Manipulasi yang dimaksud Moravcsik adalah bahwa pengambil
kebijakan dapat memanfaatkan wewenang yang ia miliki di level domestik untuk
memengaruhi tingkat penerimaan masyarakat akan suatu isu.
Terdapat 3 strategi yang dapat diterapkan, yaitu dengan mengskploitasi kekuasaan
otonom yang dimiliki, dengan memanfaatkan propaganda dan agenda-setting, dan
mengadopsi strategi-strategi untuk memodifikasi win-sets.17 Salah satu contoh penerapannya
dapat dilihat dari strategi agenda-setting yang dimainkan oleh Israel dan AIPAC. Israel
melalui perdana menterinya, Benjamin Netanyahu, kerap kali mengeluarkan statemenstatemen yang menyerang kebijakan Amerika Serikat terhadap Iran ke media. Tidak hanya
melalui media, Netanyahu juga beberapa kali bertemu langsung dengan anggota kongres
untuk menyampaikan keberatannya atas opsi diplomasi Obama. Selain Netanyahu, organisasi
Yahudi-Amerika, AIPAC, memanfaatkan basis masanya yang besar di Amerika Serikat
untuk mendorong kongres agar menekan pemerintah Amerika Serikat untuk memilih opsi
sanksi terhadap Iran.
Besar kecilnya jangkauan win-sets tidak berbanding lurus dengan peluang keberhasilan
negosiasi, yang lebih menentukan adalah strategi yang digunakan oleh negosiator untuk
mengelola win-sets yang dimiliki. Jika win-sets yang dimiliki lawan lebih besar, negosiator
berasumsi bahwa lawannya akan lebih fleksibel untuk melakukan konsesi. sehingga
negosiator akan lebih leluasa untuk menggali alternatif-alternatif dalam negosiasi. Dalam
proses negosiasi di level I, negosiator memiliki dua opsi strategi, yaitu memanfaatkan winsets lawan atau memanipulasi win-sets yang ia miliki. Opsi yang biasanya lazim digunakan
ialah tying hands strategy. Pada strategi ini, negosiator memanfaatkan sempitnya jangkauan
win-sets yang dimilikinya untuk mendorong lawan negosiasi untuk berkonsesi.18 Dengan
memanfaatkan tekanan dari kongres, Obama berusaha mendorong Iran untuk berkonsesi.
Dalam perundingan nuklir Iran pada Maret 2015, Obama mengeluarkan statemen bahwa
pihaknya akan untuk meninggalkan meja negosiasi jika kedua belah pihak tidak kunjung
mencapai kesepakatan. Statemen ini disampaikan Obama untuk mendorong terciptanya
kesepakatan awal antara koalisi P5+1 dan Iran.
1.4 Argumen Pokok
Asumsi dasar dari gagasan two-level games adalah bagaimana Putnam melihat negara
bukan sebagai sebuah entitas tunggal melainkan sebagai kesatuan dari kelompok-kelompok
di dalamnya. Berdasar pemikiran ini, kebijakan luar negeri yang diambil negara tidak hanya
dipandang sebagai langkah negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya namun juga
sebagai hasil dari proses negosiasi kelompok-kelompok di level domestik. Oleh karena itu,
17
18
Moravcsik, pp. 24-27.
Moravcsik, p. 28.
menurut Putnam, dimensi politik internasional dan politik domestik secara simultan
mempengaruhi kebijakan luar negeri negara.
Sesuai dengan pemaparan Putnam, preferensi, koalisi, distribusi kekuasaan serta
institusi politik mempengaruhi jangkauan win-sets di level II. Selama proses implementasi
dual-track strategy, hambatan dominan yang dimiliki pemerintah adalah oposisi yang
ditunjukkan oleh kongres di level domestik. Adanya perbedaan preferensi serta kuatnya
koalisi oposisi ini berpengaruh terhadap jangkauan win-sets yang dimiliki pemerintah. Pada
masa pemerintahan pertama, hambatan win-sets pemerintah didominasi oleh tenggat waktu
yang ditetapkan oleh kongres. Baik dalam proses negosiasi kesepakatan fuel swap dengan
Iran maupun proses negosiasi sanksi multilateral dengan Dewan Keamanan PBB, pemerintah
selalu disulitkan oleh tenggat waktu dari kongres. Selain dihambat oleh win-sets
domestiknya, kegagalan diplomasi pada pemerintahan pertama Obama juga dipengaruhi oleh
win-sets yang dimiliki Iran. Instabilitas politik domestik Iran membuat pemerintah Iran tidak
dapat leluasa untuk mengambil kebijakan.
Memasuki periode pemerintahan kedua, pemerintah Amerika Serikat dihadapkan
pada oposisi kongres yang semakin menguat. Dikuasainya kursi kepemimpinan Senat dan
Dewan Perwakilan oleh Republikan. Perubahan distribusi kekuasaan ini membuat kongres
menjadi semakin agresif dalam upayanya untuk menggagalkan proses negosiasi kesepakatan
nuklir Iran. Tidak hanya menetapkan tenggat waktu bagi diplomasi, kongres turut menuntut
untuk dihentikannya segala aktivitas nuklir Iran. Dua tuntutan kongres ini semakin
mengetatkan ruang gerak negosiator Amerika Serikat pada perundingan di level I. Meski
semakin disulitkan oleh keterbatasan win-sets, pemerintah Amerika Serikat diuntungkan oleh
sikap kooperatif Iran selama proses negosiasi. Faktor-faktor inilah yang dominan
mempengaruhi proses negosiasi kesepakatan nuklir Iran.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam menjawab permasalahan dalam skripsi
ini adalah metode desk study dengan memanfaatkan sumber-sumber data yang telah ada
sebelumnya. Peneliti menggunakan data-data kualitatif baik sumber primer maupun
sekunder. Data-data kualitatif yang akan digunakan diantaranya adalah transkrip wawancara
dan pidato dari Presiden Obama, jajaran administrasinya, dan anggota-anggota kongres
Amerika Serikat mengenai kebijakan dual-track Amerika Serikat terhadap Iran serta sumbersumber seperti buku, jurnal, laporan terbitan pemerintah, laporan berkala terbitan organisasi
yang bersangkutan serta artikel baik cetak maupun daring yang menyajikan informasi
mengenai proses negosiasi, baik yang terjadi dalam politik domestik maupun politik
internasional.
Penelitian akan melihat bagaimana dinamika politik domestik Amerika Serikat
berpengaruh terhadap proses implementasi dual-track strategy Amerika Serikat terhadap Iran
dalam negosiasi kesepakatan nuklir Iran. Dalam melihat dinamika implementasi dual-track
strategy, penulis akan lebih berfokus untuk menyoroti konteks politik domestik Amerika
Serikat. Tetapi juga tidak mengesampingkan pertimbangan dan posisi Iran serta faktor-faktor
lain yang sekiranya memengaruhi hubungan kedua negara ini. Data-data yang didapat akan
dikaitkan dengan konsep two-level games dengan menyoroti proses negosiasi serta
mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting selama proses negosiasi. Penulis akan
menyoroti dinamika implementasi dual-track strategy Amerika Serikat sejak pemerintahan
Obama di periode pertama dan kedua. Dengan memfokuskan penulisan terhadap proses
perundingan nuklir, penulis akan membatasi pembahasan sejak proses formulai kebijakan
dual-track strategy di tahun 2008 hingga Oktober 2015 saat hasil dari kesepakatan nuklir Iran
resmi diimplementasikan.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri
latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen pokok, metode penelitian,
serta sistematika penulisan. Bab II memaparkan mengenai konteks historis hubungan
Amerika Serikat dengan Iran sekaligus menjelaskan tentang kebijakan dual-track Amerika
Serikat terhadap Iran. Bab III memaparkan mengenai dinamika proses negosiasi yang terjadi
dalam implementasi strategi dual-track policy Amerika Serikat pada pemerintahan pertama
Obama tahun 2008-2012. Bab IV memaparkan dinamika proses negosiasi sebagai kelanjutan
dari implementasi strategi dual-track policy Amerika Serikat pada pemerintahan kedua
Obama tahun 2012 hingga Oktober 2015. Bab V sebagai penutup berisi kesimpulan dari
penjelasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya.
Download