Manajemen Sumber Daya Manusia di Iran Monir Tayeb Pengantar Dengan minimnya laporan studi tentang kebijakan dan praktek HRM di Iran, bab ini berfokus pada faktor makro eksternal utama yang membentuk konteks organisasi Iran. Hal ini juga membahas implikasinya terhadap kebijakan dan praktek HRM pada level yang lebih kecil. Studi telah dilakukan pada beberapa waktu yang berbeda digunakan untuk memberi gambaran atas HRM di Iran. Istilah HRM belum begitu berakar di Iran, oleh karena itu, dalam bab ini istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan fungsi personil yang luas. Bab ini merinci faktor-faktor yang merupakan karakter dan konteks nasional dari Iran (seperti geografi, ekologi, lembaga-lembaga politik dan ekonomi, perdagangan luar negeri, agama dan sejarah). Kemudian menyoroti hal utama terkait nilai dan sikap di Iran. Kemudian diikuti dengan pembahasan tentang HRM di Iran dan, akhirnya, kesimpulan. Konteks Nasional di Iran Iran terletak di Timur Tengah, berada hampir di bagian tengah Asia, adalah negara terbesar ketujuh di dunia jika dilihat dari luas daratan (1.648.000 km persegi). Negara ini terletak di antara Laut Kaspia di utara dan Teluk Persia di selatan. Berbatasan darat dengan Irak, Turki, Afghanistan, Pakistan dan bekas republik Uni Soviet yakni Turkmenistan, Armenia dan Azerbaijan. Negara-negara tetangga ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya Iran selama berabad-abad. Komposisi etnis bangsa saat ini adalah: Persia 51 persen, Azerbaijan 24 persen, Gilaki dan Mazandarani 8 persen, Kurdi 7 persen, 3 Arab persen, Lur 2 persen, Baloch 2 persen, Turkmen 2 persen , dan lain-lain 1 persen. Penduduknya diperkirakan lebih dari 66 juta pada tahun 1998, dengan komposisi 44 persen berusia di bawah 14 tahun dan sekitar 4 persen diatas 65 tahun. Tingkat melek huruf sekitar 72 persen, dengan tingkat yang lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan serta melek huruf di pria sedikit lebih tinggi daripada di wanita. Kondisi iklim dan fisik lain dari lingkungan di mana masyarakat hidup memiliki hubungan dengan budaya yang koheren dalam kelompok (Tayeb, 1996). Sebagian suku Arian yang ribuan tahun yang lalu bermigrasi dari Asia Tengah dan kemudian menetap di Iran menghadapi musim yang keras seperti gurun garam dan sedikitnya sungai. Itu bukanlah kecelakaan sejarah yang membuat mereka menjadi bangsa yang agresif, berperang dengan banyak negara, menaklukkan 1 tanahnya dan membangun Kekaisaran Persia yang memerintah wilayah yang luas selama berabad-abad. Di masa lalu, sebagian besar warga Iran hidup dengan bertani, beberapa ribu desa-desa kecil menggantungkan hidup mereka dari hasil pertanian. Desa-desa ini tersebar tanpa terhubungkan dengan jalan. Mereka terisolasi, mandiri, hidup dengan sistem tertutup. Di mana ada sumber air kecil disitu juga ada sebuah desa kecil. kehidupan pertaniannya sulit karena iklim yang relatif kering dari dataran tinggi Iran. Bani-Asadi (1984) menjelaskan bahwa kondisi ini secara bertahap membawa kualitas kesabaran dan penerimaan atas kesulitan kepada penduduk Iran. Iran telah melalui banyak perubahan dalam konteks sosial, ekonomi dan politik sampai pada abad ke-20, belum lagi 24 abad sebelum sejarahnya dicatat. Ada dua revolusi, salah satunya runtuhnya dinasti Ghajar di awal abad, dan yang lainnya, pada akhir tahun 1970, berubah rezim negara itu dari monarki ke republik. Kuartal akhir pada abad tersebut ekonomi telah mengalami perubahan luar biasa beberapa kali yakni: boom (keberlimpahan) minyak, perang berdarah selama delapan tahun, dan sanksi internasional. Perubahan ini juga berlaku secara nasional (skala besar), meluas, privatisasi (sektor swasta) dan pada bagian struktural. Budaya nasional dan lembaga sosial lainnya juga mengalami perubahan yang luar biasa. Ada berbagai elemen pada lingkungan diatas yang meninggalkan jejak sebagai organisasi Iran dan manajemennya, dan itulah yang menjadikan iran seperti sekarang. Revolusi Islam Revolusi Islam tahun 1979 adalah puncak dari bertahun-tahun tumbuh dengan ketidakpuasan atas pemerintahan otokratis dari Shah dan 'kroni', yang telah meninggalkan sebagian besar orang, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan pinggiran kota-kota besar, miskin dan tidak puas tetapi telah diperkaya beberapa yang dipilih. Setelah lebih dari 2.500 tahun monarki absolut, Iran kemudian berubah menjadi republik Islam, dengan presiden terpilih dan legislatif. Revolusi Islam juga memiliki implikasi yang mendalam lainnya bagi ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan. Islam, perlu dicatat, telah menjadi agama utama Iran selama hampir 1.400 tahun dan telah mempengaruhi serta dipengaruhi oleh budaya Iran. Sepanjang sejarah, pengaruh Islam telah surut selama rezim Shah, yang ayahnya telah mengsekularisasikan masyarakat. Revolusi ditandai dengan periode lain kenaikan Islam, yang tidak hanya mengubah struktur politik, ekonomi dan budaya masyarakat tetapi juga kehidupan pribadi dan hubungan rakyatnya. Islam, tidak seperti agama-agama lainnya, memiliki keyakinan yang mencakup segala dan mengatur setiap aspek kehidupan, baik duniawi dan spiritual. Sebagai contoh, segera setelah rezim baru didirikan, semua bank dinasionalisasi dan partisipasi asing di sektor keuangan dihentikan. Kemudian, pada tahun 1984, hukum yang telah dirancang untuk membuat sektor 2 perbankan mengacu pada aturan Islam (syariah), yakni dengan menggantikan pembayaran bunga dengan skema keuntungan dan pembagian risiko. Semua organisasi dan lembaga, seperti angkatan bersenjata, universitas dan lembaga pendidikan lainnya, perusahaan sektor publik dan swasta, media, seni dan budaya, yang diperlukan harus menyesuaikan diri dengan hukum dan peraturan Islam. Perempuan harus mengikuti kode berpakaian Islam yang ketat di tempat kerja, dan juga di tempat lain. Sebuah kebijakan pemisahan jenis kelamin dalam doa (ibadah), upacara pernikahan, angkutan umum, sekolah, acara olahraga, acara televisi kuis, antrian di toko-toko, dan sebagainya. Meskipun banyak komentator asing masih berkata bahwa Iran terobsesi dengan revolusi dan radikalisme, bagaimanapun, Iran telah berkembang. Realitas sosial, politik dan ekonomi telah menyebabkan radikalisme dan revolusioner mereda. Sebuah era baru rasionalisme telah tiba di Iran (Rouhani, 1998). Perekonomi Perekonomian, meskipun kapitalis, namun dijalankan pada model proteksionis dan statis yang ketat. Banyak industri dan perusahaan pada sejumlah besar negara kapitalis biasanya akan dikelola oleh swasta, namun di Iran, Industri dan perusahaan dimiliki dan dikelola oleh negara. Diperkirakan bahwa pemerintah memiliki 80 persen kepemilikan sektor ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mencoba untuk mengurangi subsidi dan kontrol harga pada komoditas dan produk makanan tertentu namun proses ini berjalan lambat. Upaya juga dilakukan untuk mereformasi ekonomi dan memulai proses privatisasi (kepemilikan sektor swasta) pada awal 1990-an, namun program ini tersendat. Pada akhir 1990-an privatisasi kembali di pertanyakan namun tidak bisa dipraktekan. Sama seperti negara berkembang lainnya, kebijakan proteksi Iran adalah sebagai bagian dari reaksi terhadap peristiwa politik. Iran tidak pernah kehilangan kemerdekaannya sepanjang sejarahnya, tapi kekuatan asing seperti Amerika Serikat dan Inggris telah mempengaruhi kebijakan luar negeri dan dalam negerinya, terutama pada abad kedua puluh. Ayah dari Shah, pendiri dinasti Pahlevi, berkuasa dengan bantuan Inggris. Kemudian, selama Perang Dunia Kedua, karena dukungannya bagi Hitler, Sekutu, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris, memaksanya untuk turun tahta, dan mendukung anaknya, yang memerintah negara itu di bawah perlindungan Amerika dan Inggris. Sebuah kudeta pada tahun 1953, telah memposisikannya sebagai penguasa di negara tersebut, dengan bantuan Inggris dan Amerika. Kemudian, pada 1960-an dan awal 1970-an Amerika Serikat memaksa Syah melalui Revolusi Putih untuk membuatnya menjadi otokrat yang lebih dapat diterima (lihat contohnya pada Goode, 1997). Hal ini dan beberapa hal lainnya telah menciptakan kebutuhan dan keinginan orang atas kemerdekaan politik yang nyata serta kemandirian ekonomi. Konstitusi Republik Islam Iran membagi sistem ekonomi negara menjadi tiga bagian konstituen: public, koperasi dan swasta. Sektor publik mencakup semua industri besar dan generatif seperti 3 perdagangan luar negeri, pertambangan, perbankan, asuransi, pembangkit listrik, jaringan besar distribusi air, radio dan televisi, telekomunikasi, penerbangan, pelayaran dan kereta api. Sektor koperasi meliputi perusahaan, manufaktur dan organisasi distributif didirikan di kota-kota dan desa-desa atas dasar pedoman Islam. Sektor swasta termasuk bagian-bagian dari pertanian, peternakan, industri, perdagangan dan jasa-jasa lainnya yang melengkapi kegiatan ekonomi sektor publik dan koperasi. Selama delapan tahun perang Iran-Irak, banyak kegiatan swasta dan koperasi jatuh di bawah pengelolaan pemerintah. Tapi sejak itu, kegiatan sektor swasta telah berkembang secara bertahap. Ada juga ekonomi underground (tidak terstruktur), yang ukurannya diperkirakan sekitar 25 persen dari GNP (Coville, 1994). Konstitusi Republik Islam Iran membagi sistem ekonomi negara menjadi tiga bagian konstituen: public, koperasi dan swasta. Sektor publik mencakup semua industri besar dan generatif seperti perdagangan luar negeri, pertambangan, perbankan, asuransi, pembangkit listrik, jaringan besar distribusi air, radio dan televisi, telekomunikasi, penerbangan, pelayaran dan kereta api. Sektor koperasi meliputi perusahaan, manufaktur dan organisasi distributif didirikan di kota-kota dan desa-desa atas dasar pedoman Islam. Sektor swasta termasuk bagianbagian dari pertanian, peternakan, industri, perdagangan dan jasa-jasa lainnya yang melengkapi kegiatan ekonomi sektor publik dan koperasi. Selama delapan tahun perang Iran-Irak, banyak kegiatan swasta dan koperasi jatuh di bawah pengelolaan pemerintah. Tapi sejak itu, kegiatan sektor swasta telah berkembang secara bertahap. Ada juga ekonomi underground (tidak terstruktur), yang ukurannya diperkirakan sekitar 25 persen dari GNP (Coville, 1994). Iran adalah produsen minyak terbesar kedua OPEC dan menyumbang sekitar 5 persen dari produksi minyak global. Negara ini memiliki 9 persen dari cadangan minyak dunia dan 15 persen dari cadangan gas. Minyak mentah membentuk 85 persen dari ekspor negara tersebut dan sisanya dari ekspor karpet, buah-buahan, kacang-kacangan, kulit, besi dan baja. Impor utamanya adalah mesin, perlengkapan militer, logam, bahan makanan, obat-obatan, pelayanan teknis dan produk minyak sulingan. Tingkat pertumbuhan PDB pada tahun 1996 adalah 3,6 persen. Perekonomi secara besar-besaran babak belur oleh perang antara Iran dan salah satu tetangganya, Irak pada 1980-an, yang berlangsung selama delapan tahun dan telah menguras sumber daya (baik alam dan manusia), serta membawa proses pembangunan perekonomian dan industrialisasi berhenti. Perang mengganggu ekspor minyak dan membuat banyak instalasi minyak dan infrastruktur negara dan industri lainnya menjadi reruntuhan. Total kerugian diperkirakan sekitar $ 400 juta di samping $ 90 BN biaya dari kegiatan militer. Negara ini sekarang perlahan-lahan pulih dari akibat perang ini (Mazarei, 1996). Perdagangan luar Negeri Revolusi 1979 telah membawa perubahan dalam hubungan antara Iran dan negara-negara besar Barat. Akibatnya, terhentinya investasi asing yang sebelumnya memberikan momentum untuk pertumbuhan ekonomi. Kemudian, satu alasan dan lainnya, sanksi yang menumpuk telah 4 memperburuk hubungan sudah tidak enak, dan yang pada gilirannya memiliki implikasi serius bagi perekonomian Iran pada umumnya dan sektor bisnis pada khususnya. Investasi asing langsung dari negara-negara non-Barat, khususnya di Asia Tenggara, merupakan yang pertama mengalir, setelah akhir perang dengan Irak pada akhir 1980-an dan meningkat secara bertahap sejak saat itu. Pada akhir 1990-an upaya dilakukan, oleh semua pihak yang bersangkutan, untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara Barat. Akibatnya, beberapa perusahaan Eropa telah mulai mengembangkan kepentingan bisnis di negara ini. Namun, karena perjuangan politik internal antara berbagai faksi dan kegelisahan tertentu atas hubungan Iran dan Amerika Serikat dan Uni Eropa, kemajuannya sangat lambat terjadi. Selain itu, ada undang-undang yangmenghambat investasi asing, yakni dengan memungkinkan hanya 49 persen saham non-Iran dalam usaha apapun dan tidak ada hak untuk memiliki properti. Hukum perburuhan yang ketat juga menghambat investasi. Negara ini telah 'menjadi objek kepentingan dari industri minyak dan gas internasional' (Corzine, 1998: 4). Iran sekarang sepenuhnya membuka pintu bagi investasi asing di berbagai sektor, dan secara signifikan di bidang minyak dan gas vitalnya, namun hanya melalui kontrak 'Buy-Back (membeli kembali)' saja. Kontrak 'Buy-back' merupakan dasar dari rencana Iran untuk membuka industri energi bagi investasi asing sebagai kompromi untuk mengatasi batasan konstitusional negara atas 'pemilikan' asing pada setiap cadangan minyak dan gas. Di bawah skema tersebut, perusahaan asing akan membiayai proyek-proyek tertentu. Pembayaran, termasuk tingkat pengembalian investasi yang disepakati, akan berlangsung selama jangka waktu tertentu dari hasil (output) di lapangan. Development mungkin akan sekitar tiga tahun, dengan periode yang sama untuk cost recovery. Pada waktu perusahaan asing akan mengelola 'sendiri' minyak atau gas yang dihasilkan, namun tetap berjalan pada aturan dalam kerangka konstitusional Iran. Posisi geografis Iran, yang terletak di antara Laut Kaspia dan Teluk Persia, juga terbukti menjadi perantara. Negara ini telah memulai upaya bersama untuk membangun dirinya sebagai rute transit untuk minyak dari wilayah Laut Kaspia. Prospek untuk bisa mengintegrasikan operasi Caspian dengan proyek-proyek di negara ini mungkin sangat menarik bagi perusahaanperusahaan besar. perusahaan kecil juga merasakan kesempatan tersebut. Monument Oil and Gas dari Inggris dan Saga Petroleum dari Norwegia bermaksud untuk bergabung dengan Iran dalam rencana bisnis mereka (Financial Times, 1 Juli 1998) namun penulis belum menemukan fakta bahwa hal ini sebenarnya telah terjadi atau tidak. Lembaga Pengembangan Budaya Jantung budaya Iran terletak pada agama utamanya yakni Islam, yang diimani lebih dari 98 persen dari populasi. Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk dicatat bahwa Islam, meskipun memiliki prinsip-prinsip tertentu yang diikuti oleh orang-orang percaya yang tinggal di berbagai belahan dunia, namun juga bisa diwarnai oleh budaya lokal, sebagian karena 5 interpretasi lokal dari beberapa prinsip dan sebagiannya lagi karena pertimbangan politik dan non-religius. Akibatnya, ada perbedaan dalam aspek sekuler dan religius dari kehidupan sosial di antara negara-negara Muslim. Arab Saudi, misalnya, berpegang teguh pada Hukum Suci (syariat) di banyak bidang kehidupan, sementara Turki telah beralih ke hukum sekuler untuk administrasi urusan ekonomi dan sosialnya. Baru-baru ini di Turki, anggota baru parlemen terpilih dilarang mengambil tempat karena dia memakai tutup kepala (nikap) - tindakan Islam yang sdianggap sebagai politik tidak diinginkan. Bagi umat Islam, Islam bukan lembaga buatan manusia; Quran berisi kata-kata Allah, mengungkapkan setiap suku kata dari Muhamad 1.400 tahun yang lalu. Perbuatan penganutnya karena itu tidak dapat dipisahkan dari perintah Allah. Islam dilihat oleh beberapa non-Muslim sebagai agama fatalis. Tapi Al-Quran secara khusus menegaskan bahwa manusia dapat memilih dan campur tangan dalam nasib mereka, dan bahwa mereka bertanggung jawab atas konsekuensi dari perbuatan mereka. Namun, mereka tidak dibiarkan sendirian untuk menjalani kehidupan mereka. Allah telah melengkapi mereka dengan Al-Quran dan tradisi Nabi Muhammad, yang dalam pandangan Islam, adalah salah satu sumber yang paling penting dalam membimbing dan digunakan untuk mengarahkan tindakan dan keyakinan mereka. Islam meresapi nilai-nilai masyarakat dan asumsinya juga. Takut dan percaya pada Tuhan saja, kesalehan dan berpuasa, kesopanan, kejujuran, membantu orang miskin dan lemah, menghormati usia dan senioritas, keramahan, loyalitas, ketaatan pada pemimpin dan meminta arahan kepada senior, orientasi atas keluarga, menghindari ketidakpastian, dan fatalisme namun bertanggung jawab atas tindakan seseorang, adalah salah satu akar Islam dalam budaya Iran. Islam juga menegaskan bahwa sifat hubungan antara manusia harus egaliter, dan mendesak para pemimpin untuk berkonsultasi dengan pengikut mereka dalam menjalankan urusan mereka. Islam bukanlah satu-satunya sumber karakter nasional Iran. Bani-Asadi (1984) menunjukkan, budaya Iran adalah campuran dari tiga budaya yang berbeda yang telah hidup berdampingan selama berabad-abad: budaya Persia Kuno, sekitar 6.000 tahun sejarah; budaya Islam, sekitar 1.400 tahun sejarah; dan budaya Barat, dengan lebih dari 200 tahun sejarah. Sepanjang sejarahnya yang panjang, bangsa telah mengalami berkali-kali hal tidak menyenangkan dan keras seperti rezim otoriter, represi, perang, dominasi dan invasi oleh kekuatan asing dan hilangnya wilayah. Beberapa peristiwa ini telah membuat skeptisisme yang mendalam dan ketidakpercayaan dalam jiwa nasional dan kebutuhan untuk berlindung pada keamanan yang ditawarkan oleh agama dan dalam kenyamanan rumah dan keluarga, yang merupakan satu-satunya hal selain Allah yang dapat dipercaya. Cara rakyat Iran mengatasi diktator internal dan musuh eksternal dan penjajah dengan melalui perlawanan dan perjuangan atau 'adaptasi palsu' (Bazargan, 1958). Meskipun adaptasi aneh ini memungkinkan Iran untuk hidup dengan otokrasi dan korupsi dari raja-raja dan penguasa atau penindasan selama berabad-abad, pemerintah membuat orang-orang tidak percaya 6 kepada gubernur dan tidak mau mematuhi aturan dan hukum yang dibuat oleh anggota parlemen. Mereka yang melakukannya dianggap sebagai pahlawan yang berjuang melawan kekejaman dan ketidakadilan. Semua ini, dapat menyebabkan budaya keengganan untuk melaksanakan perintah. Perlawanan kepada Barat Kontak budaya, ekonomi dan militer Iran dengan Barat dimulai dari Kekaisaran Persia dan perang dengan orang Yunani (di bawah Persia Achaemenid) dan Roma (di bawah Persia Sassania). Pada masa yang lebih baru, Prancis terutama sejak zaman Napoleon I, telah menjadi sumber utama pengaruh Barat terhadap Iran. Pada abad ke-20, ayah dari Shah, pendiri dinasti Pahlavi, berperan penting dalam pemodelan lembaga sipil tertentu, seperti sistem hukum, pendidikan, layanan sipil, dan angkatan bersenjata dengan pola Perancis. Modernisasi telah disamakan dengan Westernisasi. Insinyur dan penasihat Barat dibawa untuk membangun dan memodernisasi infrastruktur negara seperti jaringan kereta api dan jembatan gantung. Pria dan wanita dipaksa, kadang-kadang brutal oleh angkatan bersenjata dan polisi, untuk mengubah pakaian tradisional mereka dan memakai pakaian Barat yang kontemporer. Sebagai bagian dari proses sekularisasi serta Westernisasi masyarakat: perempuan harus meninggalkan pakaian tradisional mereka (jilbab) dan laki-laki harus memakai dasi. Kesenian Barat, dari teater ke bioskop dan musik klasik dan kemudian pop, telah diperkenalkan ke negara itu dalam cara yang terbatas sebelum dinasti Pahlevi, meresap ke kehidupan budaya, terutama di kota-kota dan daerah perkotaan lainnya, di samping kesenian tradisional. Selama masa pemerintahan Shah sendiri, pengaruh Amerika dalam urusan negara meningkat dan sampai batas tertentu menggantikan budaya Eropa. Paparan jangka panjang atas budaya Barat, meskipun ada perbedaan budaya antara berbagai negara-negara di Barat, bisa dibilang telah memperkenalkan Iran atas nilai industri tertentu dan ide-ide seperti pertumbuhan ekonomi, keamanan, individualisme, demokrasi, dan kenyamanan dan kenikmatan. Namun, apa yang Shah dan ayahnya tidak lakukan yakni mendorong praktek demokrasi dan menghormati kebebasan individu dan hak asasi manusia. Titik akhir di sini adalah sumber utama budaya Iran telah dipengaruhi dari waktu ke waktu dan pada tingkat yang berbeda dari masyarakat. Sedangkan, misalnya, salah satu yang bisa diamati dari sikap individualistik dan perilaku di antara karyawan dalam kaitannya dengan tempat kerja mereka, mirip dengan apa yang penulis temukan di perusahaan Inggris dan india tertentu (Tayeb, 1988), di keluarga dan di kelompok tertentu. Adapun pada dimensi waktu, di sejarah yang panjang, bangsa telah melalui baik pasang surut dan perubahan pikiran kolektif yakni dari kerajaan yang kuat dan bangga kemudian menjadi dihina, untuk waktu yang singkat selama Perang Dunia Kedua, Iran telah diduduki dan dikuasai oleh pasukan Sekutu; dari mengambil banyak nilai-nilai Barat dan mode kemudian menjadi menolak sesuatu yang datang langsung dari Barat, dari yang paling dekat ke sekularisme kemudian menjadi benar-benar berpedoman pada ajaran dan praktik keagamaan. 7 Kebudayaan Iran dan nilai-nilai serta sikap yang berhubungan dengan pekerjaan Latifi (1997), dalam studi teks tradisional dan modern Islam, mengidentifikasi karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan yakni sebagai berikut: kesetaraan di hadapan Allah; tanggung jawab individu dalam kerangka kerjasama dengan orang lain; pandangan bahwa orangorang dalam posisi berkuasa harus memperlakukan bawahan dengan ramah, seolah-olah mereka adalah saudara mereka sendiri; fatalisme tetapi juga pengakuan atas pilihan pribadi; dorongan konsultasi di semua tingkat pengambilan keputusan, dari lingkungan keluarga ke masyarakat luas ke lingkup negara secara keseluruhan. Nilai-nilai ini kemudian disesuaikan kembali dengan dimensi Hofstede (Hofstede, 1980; Hofstede dan Bond, 1988), ia menyimpulkan bahwa tradisi Islam akan menempatkan Iran secara luas pada kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan individualisme; maskulinitas dibandingkan dimensi feminitas; dan lebih berorientasi jangka panjang dari skala orientasi waktu. Sarjana lain telah mengidentifikasi lebih lanjut nilai-nilai Islam yang memiliki akar dalam Quran dan ajaran Muhammad dan penerusnya. Ali (1988), misalnya, dalam sebuah studi dari nilai-nilai siswa Muslim di Amerika Serikat, mengembangkan 53 penyataan yang ia kelompokkan menjadi dua set nilai-nilai: etika kerja dan individualisme / kemandirian. Dia berargumen bahwa dalam Islam bekerja adalah kewajiban dan kemandirian merupakan sumber kesuksesan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa meskipun loyalitas seseorang berkisar atas diri sendiri dan keluarganya, loyalitas kerja ke salah satu atasan diperlukan bagi suatu organisasi untuk bertahan hidup. Sherif (1975) mengidentifikasi kesabaran, disiplin diri, penampilan yang baik, berpantang, bisa mengatasi masalah, ketulusan, kejujuran, pelayanan dan kepercayaan merupakan nilai-nilai Islam yang utama. Demikian pula, Endot (1995), mengidentifikasikan 11 nilai-nilai Islam yang memiliki konsekuensi bagi organisasi dan juga dimasukkan dalam model yang dianjurkan oleh pemerintah Malaysia sebagai bagian dari kebijakan Islamisasinya. Endot (1995: 436) mengidentifikasi sebelas nilai-nilai dasar Islam yang mengarah ke 'bangsa terhormat': kepercayaan, tanggung jawab, ketulusan, disiplin, dedikasi, ketekunan, kebersihan, kerjasama, perilaku yang baik, rasa terima kasih dan moderasi. Manajemen Sumber Daya Manusia di Iran Penting untuk dicatat bahwa HRM di Iran belum menjadi subjek penelitian akademis dan dalam sepengetahuan penulis, penelitian HRM di perusahaan patungan internasional di Iran, yang dilakukan oleh salah satu murid penelitiannya, Pari Namazie (2000 ), adalah studi akademis pertama tentang HRM yang diketahui dari Iran. Namazie menemukan bahwa, persepsi Iran dan peran HRM sangat berbeda dari negaranegara maju. Negara-negara maju di barat melihat HRM sebagai fungsi strategis, berusaha untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan penggunaan sumber daya manusia. Di Iran peran HRM 8 lebih mendasar. Tayeb (2000) menunjukkan, HRM di negara ini benar-benar manajemen 'tua' dengan warna lokal terutama di bagian perekrutan dan pelatihan. Selain itu, pertimbangan sosial-politik tertentu mungkin lebih ketat diutamakan pada badan usaha. Misalnya, di sektor publik, yang mencakup lebih dari 80 persen dari perekonomian, staf perempuan di posisi manajerial menjadi berlebihan jumlahnya setelah tahun-tahun awal revolusi dan sejumlah besar veteran perang direkrut setelah perang delapan tahun antara Iran dan Irak, sebagai ukuran kesejahteraan sosial. Perusahaan swasta, di sisi lain, tidak harus mengikuti kebijakan tersebut dan karena itu memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya manusia. Nilai-Nilai Islam dan Manajemen Sumber Daya Manusia Dari pembahasan atas nilai-nilai Islam, kita bisa berspekulasi bagaimana pelaksanaan HRM di negara Muslim seperti Iran. Namun, harus diingat bahwa tidak mudah untuk mengisolasi efek Islam di HRM pada lembaga sosial-budaya lainnya, seperti pendidikan, pada politik seperti kekuatan serikat buruh dan kebijakan pemerintah atas ekonomi dan industri. Namun demikian, mengingat besarnya kegunaan Islam dan pengaruhnya pada berbagai bidang serta kehidupan spiritual di negara Muslim seperti Iran, adalah mungkin untuk membedakan pola-pola tertentu di tempat kerja yang kompatibel dengan asal-usul Islam. Diterjemahkan ke dalam perilaku kerja, nilai-nilai Islam tertentu seperti menghormati usia dan senioritas, loyalitas, ketaatan pada pemimpin dan meminta arahan kepada senior, berarti ada jarak kekuasaan yang cukup jauh antara atasan dan bawahan. Pada saat yang sama Islam mendorong para pemimpin untuk berkonsultasi dengan pengikut mereka, hal ini mendorong gaya pengambilan keputusan secara konsultatif. Disiplin diri, dapat dipercaya, jujur, tekad, loyalitas, dan berpantang harusnya mendorong manajer untuk mempercayai penilaian dan integritas bawahan mereka, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pelimpahan wewenang kepada karyawan di bawah secara hirarki serta mendorong gaya manajemen partisipatif. Hal ini juga bisa mengurangi kebutuhan untuk mekanisme kontrol eksternal, seperti jam masuk dan keluar sebagai sarana untuk memantau pekerja secara manual. Kerjasama, kesabaran, dan hubungan seperti keluarga antara mereka, harusnya mendorong kerjasama dan saling mendukung dalam suatu organisasi dan kepedulian bagi masyarakat luar. Hal ini, tentu saja, sebagai gambaran spekulatif dari manajemen yang dapat ditarik dari dasar ideal Islam (Tayeb, 1997). Sejauh mana dasar ini benar-benar diterjemahkan ke dalam praktek adalah hal yang berbeda. Apakah mereka sifatnya terbuka untuk interpretasi, dan tempat kerja bisa menginterpretasikan hal tersebut, mengingat hal ini bisa bervariasi baik dari konstituennya, kepentingannya maupun tujuannya. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, Iran telah mengalami banyak kesulitan dan permusuhan selama berabad-abad. Pengalaman dan ketidakpercayaan mereka terhadap orang lain bisa memiliki implikasi dalam pengelolaan organisasi di zaman modern. Dari sudut pandang 9 karyawan, tempat kerja tidak termasuk dalam kelompok mereka, seperti yang terjadi, misalnya, di Jepang. Komitmen mereka untuk perusahaan gampang goyah dan tidak terbuka untuk negosiasi. Sebagai konsekuensi, korupsi di berbagai institusi dan organisasi, terutama di sektor publik sangat endemik (menjamur). Selain itu kesediaan karyawan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan menjalankan organisasi, terutama di level menengah dan ke bawah, hampir tidak ada. Di sisi manajemen, ada ketidakpercayaan yang mendalam kepada bawahannya. Akibatnya, organisasi cenderung terpusat, dengan kekuasaan terkonsentrasi di tangan beberapa manajer senior yang terpercaya. Dalam sebuah studi dari 14 organisasi di Iran saat pra-revolusi, Tayeb (1979) menemukan bahwa beberapa manajer yang telah dididik di universitas-universitas Amerika dan Eropa menyadari manfaat dari desentralisasi pengambilan keputusan dalam organisasi sebagai respon yang tepat untuk mengubah lingkungan mereka, tetapi mereka enggan untuk melakukan pendekatan seperti ini di perusahaan mereka sendiri. Mereka tidak percaya pada kemampuan dan niat bawahan mereka dalam melaksanakan tugas mereka dengan baik. Para manajer ini berpendapat bahwa mereka akan memperoleh manfaat jika mereka memperketat kontrol mereka atas karyawan dan membuat keputusan pentingnya sendiri. Beberapa memilih untuk menunjuk teman-teman dekat mereka sendiri dan kerabat untuk melaksanakan hal penting, sehingga bisa memastikan penanganan yang tepat dari tugas organisasi yang diberikan. Dalam pasca-revolusioner Iran, Bani-Asadi (1984), Mortazavi dan Karimi (1990) dan Mortazavi dan Saheli (1992) menemukan bahwa organisasi terutama dicirikan oleh budaya paternalistik. Mortazavi dan Saheli juga menemukan hubungan erat antara perilaku paternalistik ini pada manajer dan kepuasan kerja dari bawahan mereka (lihat juga Mortazavi et al., 1996). Latifi (1997) juga mengamati sampel kecil dari manajer Iran di tempat kerja selama beberapa periode waktu dan menemukan bahwa karyawan Iran melihat manajer mereka sebagai saudara simpatik atau ayah dan ibu yang penuh kasih. Selain itu, hubungan kekeluargaan seperti ini tampaknya telah diperluas mencakup peran 'sosial' dari manajer. Manajer sering terlibat dalam kehidupan pribadi dan masalah keluarga bawahannya. Beberapa dari mereka yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka akan memberikan waktu dan kesempatan untuk pelajar dan mahasiswa yang ingin melakukan proyek penelitian atau memperoleh pengalaman kerja sebagai bagian dari program organisasi mereka . Mereka melihat hal ini sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap masyarakat dan untuk manajer generasi berikutnya. Latifi juga menemukan bahwa manajer lebih suka tatap muka, komunikasi verbal dengan bawahan mereka,yang cukup sesuai dengan budaya paternalistik dan kolektivis Iran. Temuan tersebut mengkonfirmasi pernyataan Hofstede (1991: 67), yaitu hubungan majikan dan karyawan dalam masyarakat kolektivis dilihat dalam bentuk moral, seperti jaringan keluarga. Lebih jauh dia berpendapat bahwa kekuasaan yang tinggi mendukung pola perilaku paternalistik orangorang yang tinggal di negara-negara dengan jarak kekuasaan yang tinggi. Di negara-negara ini, orang tua, guru atau manajer seharusnya tahu segala hal dan diharapkan untuk mengambil semua 10 inisiatif baik di rumah, di kelas atau di organisasi. Manajer dilihat sebagai pembuat keputusan otokratis dan paternalistically (Hofstede, 1980). Iran, meskipun tidak berada di antara negaranegara jarak kekuasaan yang sangat tinggi, namun masih dikatakan relatif tinggi jika dibandingkan dengan banyak negara lain menurut studi Hofstede (1980). Latifi (1997) juga melaporkan bahwa salah satu tugas dari manajer Iran adalah untuk mengembangkan bawahan mereka. Tugas ini termasuk sebagai komponen dalam peran pemimpin. Manajer seringkali melakukan tugas-tugas seorang mentor, pelatih, guru, atau penasihat. Bukti penelitian menunjukkan bahwa banyak manajer melakukan peran seperti itu terlepas dari negara mana mereka bekerja (lihat misalnya Kanter, 1983; Kotter, 1985; Orth et al., 1987). Tapi tampaknya, Latifi (1997) menunjukkan, peran ini sangat penting bagi manajer yang bekerja di negara-negara kurang berkembang, seperti Iran, di mana tingkat pendidikan dan keterampilan tenaga kerja tidak terlalu tinggi. Selain itu, peran ini juga cocok dengan budaya paternalistik Iran, di mana manajer diharapkan menjadi seperti ayah / ibu bagi bawahan mereka. Pelatihan Manajemen dan Pendidikan Sebagian besar organisasi Iran dijalankan oleh orang-orang dengan sedikit atau tanpa kualifikasi manajerial, tidak selayaknya seperti manajernya dididik dengan gelar MBA dan gelar bisnis lainnya dari dalam dan luar negeri. Sebuah studi oleh Amirshahi (tidak dipublikasikan naskahnya) menemukan bahwa lebih dari 700 eksekutif berpendidikan universitas dan manajer senior yang disurvei, hanya 13,7 persen memiliki gelar manajemen. Bahkan mungkin perusahaan tidak menerima jenis pendidikan yang akan diperlukan untuk beroperasi dengan sukses dalam ekonomi Iran saat ini (Latifi, 1997). Penelitian Latifi ini meneliti kesenjangan antara kebutuhan profesional dan keterampilan dari manajer Iran dan apa yang diajarkan di universitas dan sekolah bisnis. Program MBA, misalnya, umumnya mencontoh orang-orang Amerika dan Inggris, yang terutama dirancang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka sendiri. Kesesuaian program tersebut dengan manajer yang bekerja di bidang ekonomi yang didominasi oleh sektor publik agaklah meragukan. Bahkan, manajer yang berpartisipasi dalam studi Latifi ini menganggap program tersebut tidak relevan. Belajar dari Perusahaan Asing Manajer di seluruh dunia berusaha untuk belajar dari rekan-rekan mereka yang lebih sukses di dalam dan di luar negeri. Dalam hal ini, kemampuan beradaptasi dengan karakteristik sosial budaya dan politik ekonomi memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan proses pembelajaran lintas batas. Jepang, misalnya, yang sangat sukses dalam mengimpor teknik manajemen tertentu dari US dan ide-ide dan mengadaptasikannya sesuai dengan spesifikasi lokal mereka sendiri. Praktek-praktek seperti lingkaran kualitas yang diperkenalkan oleh Amerika ke 11 Jepang seperti Deming dan Juran bisa dibilang membantu membawa keajaiban produksi pada pasca-perang Jepang. Tahu bahwa ide-ide mereka tentang total kualitas manajemen membangkitkan sedikit minat di Amerika Serikat, mereka menemukan lahan subur di tempat lain (Hodgson, 1987). Dapat dikatakan bahwa pada kasus Jepang lahan subur ini berupa budaya yang bisa menerima dan menggunakan ide-ide dari US. Salah satu prasyarat untuk keberhasilan pelaksanaan lingkaran kualitas, misalnya, adalah tingkat tingginya komitmen karyawan bagi perusahaan dan tujuannya – dimana ini adalah karakteristik yang terdapat pada sebagian besar karyawan Jepang. Tapi upaya serupa yang dilakukan oleh Iran untuk mengadopsi model AS pada tahun 1950-an dan 1960-an adalah bencana. Dapat dikatakan bahwa budaya kerja di Iran dalam batas tertentu bertanggung jawab atas kegagalan ini. Praktek seperti pengambilan keputusan partisipatif, lingkaran kualitas, total kualitas manajemen dan kerja sama tim multi-skill, kesediaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok dan melaksanakan keputusan tersebut serta komitmen yang kuat untuk tempat kerja menjadi bagian dari karyawan tersebut. Mereka juga memiliki tingkat keyakinan tertentu dan kepercayaan serta kemauan untuk mendelegasikan wewenangnya kepada anggota tim, menjadi bagian dari manajer. Organisasi di Iran tidak menjadi lahan subur untuk praktek manajemen seperti di Jepang. Dimana manajer-manajer Jepang berhasil menggunakannya teknik tersebut di Jepang beberapa dekade yang lalu. Namun dengan pelatihan yang tepat dan kesediaan dari kedua belah pihak, manajer dan karyawan dapat mengatasi kesulitan lokal terserbut. Tetapi program karyawan dan pelatihan manajemen berbiaya mahal, kecuali ada manfaat yang jelas bagi perusahaan maka mereka mungkin tidak ingin memulai program tersebut. Dalam ekonomi proteksionis seperti di Iran, perusahaan domestik memiliki captive market dan terlindung dari kekakuan persaingan dengan perusahaan asing berpengalaman. Akibatnya, hanya sedikit bahkan tidak ada insentif bagi mereka untuk mengimpor teknik manajemen asing yang sukses dan melatih tenaga kerja mereka untuk melaksanakannya. Selain itu, dalam pasar yang terlindung, yang belum ditembus langsung oleh sejumlah investor asing yang signifikan, menghilangkan perusahaan Iran paparan 'praktik terbaik' terbaru yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang sukses beroperasi di kebun belakang mereka. Untungnya, Iran, seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam beberapa tahun terakhir membuka pasar untuk investasi asing langsung, terutama dalam bentuk 'buy back' kontrak dan usaha patungan, yang secara aktif mendorong investasi asing langsung. Pada waktunya perkembangan lebih lanjut tidak diragukan lagi akan memiliki manfaat manajerial serta ekonomi untuk negara. Kesimpulan Masalah tingkat mikro dan makro seperti undang-undang tenaga kerja dan serikat pekerja di Iran dan dampaknya terhadap kebijakan khusus dan praktek HRM, praktek HRM pada sektor 12 tertentu, seperti di sektor minyak, keberadaan dan peran badan-badan profesional (setara dengan UK IPD), basis program pendidikan kejuruan dan komposisi tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin dan pengaruhnya pada HRM tidak dibahas dalam bab ini. Alasannya adalah bahwa informasi yang up-to-date tidak tersedia dan upaya untuk memperoleh informasi tersebut terbukti sia-sia. Asal-usul budaya nasional ditelusuri melalui kondisi ekologi dan lembaga budaya tertentu seperti sejarah dan agama. Dikatakan bahwa berbagai faktor telah memberikan kontribusi terhadap budaya bangsa, di tingkat kelembagaan yang berbeda dan juga selama periode waktu tertentu dengan berbagai tingkat intensitas yang berbeda pula. Implikasi dari budaya nasional Iran terhadap nilai-nilai dan sikap yang dimiliki oleh karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan dan manajemen organisasi, terutama HRM, telah dibahas dalam konteks ekonomi politik negara saat ini. Lingkungan di mana manajer Iran beroperasi sangatlah stabil dan politis. Ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan direkonstruksi setelah revolusi model Islam pada tahun 1979, yang menembus baik kehidupan pribadi dan publik masyarakat dan organisasi. Selain itu, manajer dibatasi oleh masalah-masalah tertentu seperti kekurang terampilan, infrastruktur yang tidak memadai dan sulitnya akses ke teknologi canggih, yang pada gilirannya menghalangi mereka dari profesionalisme yang mereka butuhkan dan membatasi ruang lingkup mereka untuk unggul dan berinovasi. Selain itu karakteristik budaya tertentu, seperti skeptisisme dan ketidakpercayaan pada orang lain, berkembang selama ratusan tahun dan dipengaruhi oleh berbagai peristiwa sejarah, telah mengakibatkan organisasi menjadi terpusat dengan ruang lingkup yang terbatas untuk partisipasi dan tukar menukar ide. Dengan peningkatan hubungan antara Iran dan mitra Barat-nya, serta peningkatan investasi asing langsung, perekonomian mungkin membutuhkan suntik persaingan, keterampilan manajerial dan teknologi canggih. 13