Jurnal komunikasi, ISSN 1907-898X Volume 6, Nomor 2, April 2012 Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 Noveri Faikar Urfan Alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta; Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta Abstract Pandji Poestaka is a newspaper founded by the Netherland Indies colonial government, that is Commisie voor de Volkslectuur (Commission of the People Reading), or better known as Balai Poestaka. This study attempts to examine how the representation of natives in the colonial period in Pandji Poestaka ads 1940-1941. Using semiotics, this study shows that Pandji Poestaka ads has presented natives representation in the dichotomous class stratification. The native aristocracy (priyayi) and the underprivileged (wong cilik). Priyayi look represented the image of modernity: educated, wealthy, and civilized. Meanwhile, wong cilik has been overwritten by inferior image representation: traditional, blue-collar workers, and lazy. These representations, seen as part of the colonial strategy to maintain its position in the Netherland Indies. By representing social class among the natives, colonialism tried to keep the gap class. Colonialism also took advantage of the mass media (Pandji Poestaka) as an ideological state apparatus to continue, maintain power, and institutionalize the ideology of colonial rule. Keywords: Pandji Poestaka, native, representation, class inequality, colonial ideology. Abstrak Pandji Poestaka adalah surat kabar yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Commisie voor de Volkslectuur (Commision of the People Reading), dikenal lebih luas sebagai Balai Poestaka. Kajian ini mencoba menjelaskan bagaimana representasi pribumi selama masa penjajahan dalam iklan Pandji Poestaka tahun 1940-1941. Menggunakan analisis semiotika, kajian ini menunjukkan bahwa iklan di Pandji Poestaka merepresentasikan dikotomi stratifikasi kelas: para aristokrat (priyayi) dan rakyat jelata (wong cilik). Priyayi direpresentasikan memiliki semua citra modernitas: berpendidikan, kaya raya, dan beradab. Sementara wong cilik digambarkan sebagai kelompok inferior: tradisional, pekerja kerah biru, dan pemalas. Representasi ini, dilihat sebagai bagian dari strategi penjajah untuk mempertahankan posisinya di Hindia Belanda. Dengan merepresentasikan kelas sosial para pribumi, penjajah mencoba untuk merawat kesenjangan kelas. Para penjajah juga memanfaatkan Pandji Poestaka sebagai alat ideologis untuk melanjutkan, mengelola kekuasaan, dan melakukan institusionalisasi ideologi dan peraturan-peraturan kolonial. Kata Kunci: Pandji Poestaka, pribumi, representasi, kesenjangan kelas, idiologi kolonial. 105 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 Pendahuluan mereka telah mewakili dirinya, yakni Pada masa kolonialisme Hindia-Belanda rasional, beradab dan lebih maju. banyak iklan-iklan di berbagai terbitan Melihat persoalan di atas, agaknya media massa, yang secara tak langsung menarik untuk membahas bagaimana telah iklan mengundang persepsi tentang di masa kolonialisme Hindia- inferioritas pribumi. Contohnya, iklan Belanda telah menjadi bagian dari strategi Shell Waterwitte Petroleum, dalam koran kolonial dalam mewacanakan pribumi. Sin Po, 19 Juli 1923 (Riyanto dalam Mengingat iklan adalah salah satu sarana Susanto, 2003: 51). Dalam iklan ini komunikasi yang sangat strategis untuk digambarkan seorang pribumi dengan menghadirkan pakaian lurik ala Madura, dengan mata terutama tentang bangsa kolonial yang terbelalak dan kaget karena ia hampir superior dan berhak memerintah, dan tidak bisa membedakan antara air dan pribumi minyak bahan bakar, “wa!.. saya kira itu menerima kepemimpinan moral maupun ajer”, begitu bunyi headline iklan itu. politik bangsa kolonial. yang berbagai inferior persepsi, dan harus Di luar fungsi iklan sebagai sarana Dalam persoalan inilah, penulis pemasaran, entah dengan maksud yang tertarik untuk melakukan kajian tentang disengaja atau tidak, tampilan visual iklan bagaimana itu telah menggiring pembacanya pada direpresentasikan dan diwacanakan dalam ruang imaji tertentu tentang masyarakat iklan surat kabar pada masa penjajahan pribumi. Bukan lain adalah gambaran Hindia-Belanda. Objek kajian yang dipilih tentang mereka yang naif dan terbelakang, adalah iklan surat kabar Pandji Poestaka yang belum mampu membedakan mana yang terbit pada tahun 1940-1942. Surat air dan mana minyak. kabar Pandji Poestaka sengaja dipilih Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa iklan di masa Hindia-Belanda, telah menjadi salah satu bagian dari strategi kolonial pribumi karena kedekatannya dengan kepentingan kolonialisme di Hindia Belanda. Pandji Poestaka sebenarnya membentuk adalah terbitan yang dikeluarkan oleh persepsi tentang pribumi. Persepsi itu Commisie voor de Volkslectuur (Komisi dengan melalui Bacaan Rakyat), sebuah badan penerbitan pencitraan yang mengarah pada dua sisi yang didirikan oleh pemerintah kolonial rasial yang saling berseberangan. Pribumi pada tahun 1908, yang kemudian lazim selalu disebut dengan nama Balai Poestaka sengaja dicitrakan tradisional, dalam masyarakat dibentuk sebagai dan (Lombard, 2008: 192). Pada masanya, terbelakang. Sedangkan bangsa kolonial Balai Poestaka adalah penerbit yang akan menempati citra yang menurut menghasilkan banyak bahan bacaan, serta 106 irasional, masyarakat naif, Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 berkembang dan menghasilkan banyak Poestaka (mingguan, sejak 1922). Tidak sastrawan dalam jauh berbeda dengan bacaan-bacaan lain, perkembangan sastra Indonesia modern, surat kabar ini juga tak lepas dari seperti H. B. Jassin, Marah Roesli, dan kepentingan pemerintah kolonial dan Sutan Takdir Alisjahbana. dikenai aturan pokok yaitu tidak boleh yang berpengaruh Pada awal kemunculannya, Balai merusak kewibaan pemerintah kolonial. Poestaka didirikan untuk membendung Dalam surat kabar inilah tampilan menjamurnya berbagai penerbitan yang visual iklan banyak ditemukan, iklan-iklan tak terkendali waktu itu. Balai Poestaka itu banyak menawarkan berbagai nacam menjadi penerbit penyedia bahan bacaan produk komersial yang mulai menjamur resmi seiring berjalannya proses industrialisasi yang diakui oleh pemerintah kolonial. Penerbit ini sekaligus menjadi di sarana politik etis guna menumbuhkan industrialisasi kegemaran membaca dan memajukan pesatnya laju produksi barang dan jasa, pengetahuan yang pada gilirannya membutuhkan jasa pribumi sesuai dengan Hindia-Belanda. ini, Melajunya proses ditandai dengan kemajuan zaman (Pradopo, 2002: 101- iklan 103). pemasaran untuk menjangkau konsumen Terlepas kehadiran dari Balai maksud Poestaka itu, tidak sebagau sarana komunikasi secara luas. bisa Selain tujuannya sebagai sarana dilepaskan dari kepentingan pemerintah komunikasi pemasaran, iklan juga bisa kolonial. dikatakan sebagai sebuah artefak budaya Kepentingan pemerintah kolonial itu, salah satunya terwujud dalam yang penetapan aturan umum yang ketat pada semangat dan persoalan pada zamannya terbitan Pemerintah (Riyanto dalam Susanto, 2003: 22). Sebab kolonial memberi aturan bahwa bacaan- itu, mengkaji iklan juga membutuhkan bacaan terbitan Balai Poestaka tidak boleh pengetahuan yang mendalam tentang sampai berbau politik, apalagi merusak konteks zaman dan keadaan ketika teks kewibawaan iklan itu dihadirkan. Pengetahuan tentang Balai Poestaka. pemerintahan kolonial memberikan gambaran tentang (Teeuw, 1995: 57-60). Selain itu, penerbit konteks ini juga selalu berusaha menyebarkan gambaran tentang teks itu secara lebih suatu utuh, lengkap dengan macam-macam ideologi ortodoks yang secara implisit menguntungkan orang Eropa. Di luar terbitan berupa buku-buku ini berguna untuk memberi persoalan yang melingkari kehadiran teks iklan itu sendiri. bacaan dan karya sastra, Balai Poestaka Selanjutnya, iklan juga punya arti juga menerbitkan surat kabar, yaitu Sri penting di mana kemunculannya telah Poestaka (bulanan, sejak 1919) dan Pandji memancing hadirnya persoalan tentang 107 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 representasi. Representasi menjadi isu yang menarik, sebab identitas-identitas dilibatkan di dalamnya dihadirkan di Metode Penelitian tengah dan berbagai Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis semiotika, dengan mengombinasikan perangkat kepentingan, bahkan relasi kekuasaan analisis dari tokoh semiotika Ferdinand de yang Saussure, ikut kehadiran melatarbelakangi tersebut. Sebagai proses hasilnya Roland antropologi Barthes, struktural dan ahli Claude Levi representasi bisa menghadirkan gambaran Strauss. Dari pemikiran Saussure, analisis tentang siapa yang dominan dan siapa semiotika akan yang terpinggirkan, serta wacana apa saja kerangka analisis yang ikut mempengaruhinya (Hartley, hubungan kehadiran (in presentia) untuk 2010: 66-67). memperoleh makna sebenarnya dalam disandarkan pada sintagma, yakni Persoalan representasi dalam iklan iklan (Budiman, 2011: 27-28). Setelah di masa Hindia-Belanda akhirnya menjadi melakukan analisis sintagma, analisis penting semiotika untuk dikaji secara serius, akan mengingat identitas masyarakat pribumi mengetengahkan telah yakni dipertaruhkan pada ajang hubungan dilanjutkan aspek dengan paradigmatik, ketidakhadiran (in kepentingan kekuasaan kolonial waktu absentia), itu. Pribumi banyak diwacanakan sebagai konotasi-konotasi sosok yang lemah dan tak berdaya di berhubungan bawah bayang-bayang represif praktik (ideologi) seperti yang diketengahkan oleh kolonialisme. Sebab itulah diperlukan Roland Barthes. pembacaan yang kritis dan mendalam untuk Oleh dikaitkan dengan sehingga akan dengan adanya karena mitos objek kajian guna membongkar wacana-wacana dalam penelitian ini adalah iklan, maka objek iklan di masa kolonial, yang notabene kajian ini akan diperlakukan dengan telah menyudutkan kaum pribumi dalam mengangkat dimensi-dimensi khusus di ruang imajinasi yang inferior. dalamnya. Dalam analisis sintagma, iklan Studi ini akan menjawab dua pertanyaan: pertama, dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana berdasarkan empat dimensi yang ada representasi pribumi Indonesia di Masa dalam iklan itu sendiri, yakni anchorage Kolonial dalam iklan surat kabar Pandji (penambat), Poestaka terbitan 1940-1941; dan kedua, montage (tata panorama), dan narrative bagaimana (penceritaan) (Tolson, 1996: 28-43). nilai-nilai tersembunyi (mitos/ideologi) dalam iklan surat kabar Pandji Poestaka? argument Setelah sintagma, melakukan makna-makna (proposisi), analisis sebenarnya dalam iklan yang diteliti, kemudian akan 108 Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 ditempatkan dalam hubungan Sistem oposisi biner nantinya akan sangat paradigmatik untuk dikaitkan dengan berguna untuk menemukan struktur dan konotasi-konotasi. pemahaman yang tepat dalam memahami Proses hubungan akan mitos pada objek penelitian (iklan Pandji membawa teks iklan yang diteliti pada Poestaka). Setelah menguraikan mitos hubungannya dengan mitos (ideologi). dalam struktur oposisi biner, selanjutnya Dalam mitos, akan diterangkan pula bagaimana mitos oleh tersebut bermain, atau dikonstruksi secara konotasi tersebut, berikutnya melakukan penelitian penggunaan ini analisis akan perangkat terbantu kategorisasi historis yang melibatkan berbagai oposisi biner (binary opposition) yang pengetahuan, kepentingan dan tentunya diperkenalkan oleh Claude Levi Strauss. ideologi. Iklan-Iklan Pandji Poestaka 1940-1941 Gambar 1. Lampu Philips, 6 Januari 1940 Gambar 2. Lampu Philips, 3 Februari 1940 109 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 Gambar 3. Kaldu Maggi Bouillon, 24 Januari 1940 Gambar 4. Iklan Maggi Bouillon, 24 Februari 1940 110 Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 Gambar 5. Blue Band Margarine 15 Oktober 1941 Konotasi Iklan Tabel Konotasi No Jenis Iklan Konotasi yang Muncul Orang Jawa. Pencerahan. Pengetahuan. Modernisasi” 1 Lampu Philips 2 Kaldu Maggi Orang Jawa. Bahan instan. Tradisional. Pekerja kasar. 3 Blue Band Margarine Pribumi. Berpendidikan. Industrialisasi 111 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 iklan lampu Philips dan Blue Band. Dalam Mitos Iklan Pandji Poestaka Untuk mempermudah terlihatnya temuan dalam penelitian semiotika ini, penggunaan model oposisi biner Levi Strauss dalam menyimpulkan mitos, akan membantu penulis untuk menemukan bagaimana representasi atas dua iklan ini, sangatlah terlihat bahwa pribumi telah bersanding dengan berbagai macam atribut elit dan modern (pada zamannya) seperti lampu listrik, koran, sekolah. Sementara pribumi dicitrakan dalam iklan Pandji Poestaka. Relasi oposisisi biner dalam mitos Iklan Pandji Poestaka adalah sebagai secara itu, pribumi berkebalikan jelata dari pribumi priyayi. Pribumi jelata dengan sifat-sifat: tradisional, belum beradab, miskin, bodoh dan pekerja kasar, kiranya berikut: Skema mitos pribumi dalam iklan Pandji Poestaka cukup kuat direpresentasiakn oleh iklan kaldu Maggi Bouillon, di mana dalam Kolonial : Pribumi iklan ini atribut-atribut tradisionalitas Pribumi priyayi : Pribumi jelata banyak muncul, seperti dinding anyaman Modern : Tradisional bambu, alat masak tradisional, dan sosok Beradab : Belum Beradab pria pekerja. Kaya : Miskin Elit : Pekerja Kasar Rajin : Malas Pintar : Bodoh Dalam hubungan kelas yang dikotomis ini, iklan Pandji Poestaka boleh dikatakan telah memanfaatkan jurang kelas sosial di kalangan pribumi untuk memasarkan produk-produknya. Untuk Dalam skema ini, tampak jelas bahwa iklan Pandji merepresentasikan Poestaka pribumi telah dalam kategori oposisi kelas dengan sifat-sifat yang dikotomik. Iklan Pandji Poestaka merepresentasikan pribumi priayi sebagai masyarakat yang telah modern, beradab, kaya, elit, dan pintar. Sedangkan pribumi jelata direpresentasikan secara oposisif sebagai tradisional, tidak beradab, miskin, pekerja kasar, dan bodoh. Citra atas priyayi pribumi yang modern, beradab, kaya, dan seterusnya, kiranya cukup kuat direpresentasikan oleh iklan Pandji Poestaka, khususnya dalam 112 memasarkan produk-produk elit seperti lampu dan mentega pelapis roti, iklan Pandji Poestaka memanfaatkan figur sosok priyayi yang modern dan terdidik. Sementara dalam memasarkan produk sederhana, seperti kaldu, iklan Pandji Poestaka memanfaatkan figur pribumi jelata dengan dilingkupi tampilan atribut-atribut sosok yang tradisional seperti tikar, anyaman bambu dan alatalat masak tradisional. Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 Representasi Kesenjangan Kelas di sendiri dianggap sebagai “liyan” dalam Masa Hindia Belanda kategori kolonial, maka upaya melihat Setelah menguraikan secara persoalan ini harus pula didudukkan singkat oposisi biner di atas, dalam secara menjelaskan mitos pribumi, alangkah pemaksaan klaim “inferior”, ditindihkan baiknya jika penulis akan mendudukkan secara semena-mena oleh kolonial kepada juga bagaimana persoalan dikotomi kelas pribumi. yang muncul dari representasi iklan surat diskursif terkait bagaimana Pada awal abad 19 misalnya, kabar Pandji Poestaka ke dalam dua Dennys konteks yang agaknya tepat dan relevan. mencatat bahwa ungkapan “kemalasan Konteks pertama wacana adalah kolonialisme Lombard (2008: 154-155) bagaimana pribumi” sudah menjadi pendapat umum beroperasi, di Hindia Belanda, melalui istilah-istilah: sedangkan konteks kedua adalah relevansi luij historis tentang kesenjangan kelas di masa (ketidaktekunan pribumi). Belum lagi Hindia Belanda. Penjelasan ini, agaknya sebutan-sebutan umum yang terdengar akan berguna untuk memberi dukungan diskriminatif pada kaum pekerja kasar atas pribumi skema mitos di atas, agar ijverloosheijt (malas), dengan baboe panggilan ketepatannya bisa terjustifikasi dalam (pengasuh), coeli (tukang angkut), atau konteks yang tepat dan relevan. djongos Dalam kajian kritis seputar wacana kolonialisme, misalnya diungkapkan oleh kolonialisme tidak rumah tangga). Stereotip diskriminatif ini, pada dasarnya yang menguatkan pandangan bahwa dalam Loomba, praktik kolonialisme di Hindia Belanda, seperti Ania (pembantu cukup hanya masyarakat pribumi hampir selalu didudukkan dalam persoalan perebutan - ditempatkan dalam bingkai rasial yang paksa- aset-aset produksi dan pelanggaran diskriminatif. hak asasi secara fisik. Akan tetapi, seperti Selain Lombard, Syaid Hussein yang diungkapkan pula oleh Edward Said, Alatas, pun dalam tulisannya “The Mith of bahwa kolonialisme juga bergerak dalam the diskursus tentang pemaksaan klaim di bagaimana mitos atau stereotip “malas” mana selalu yang ditancapkan oleh kolonial kepada ditempatkan dalam kategori “liyan” yang pribumi. Dennys Lombard menegaskan inferior di bawah superioritas hal serupa, mitos kemalasan tersebut pada masyarakat terjajah kaum kolonial (Gandhi, 1998: 101-102). Ketika berbicara Lazy dasarnya konteks Native”, didasari mengungkapkan oleh penetrasi kepentingan ekonomi Hindia Belanda kolonialisme di Hindia Belanda, maka sejak abad persoalan kelas sosial di mana pribumi perkebunan 19 dan dengan meluasnya pemanfaatan kaum 113 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 pribumi sebagai tenaga kerja (Lombard, tidak 2008: 154). menikmatinya, sebab listrik pada waktu sembarang orang bisa Jika diingat kembali pada gambar- itu hanya dipasok secara terbatas. Data di gambar dalam iklan Pandji Poestaka, tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa khususnya pada iklan Maggi kaldu dan Madura terdapat Sembilan juta Bouillon, agaknya akan tampak citra atas rumah, 50.000 di antaranya dihuni oleh inferioritas pribumi dalam iklan tersebut. orang Di mana atribut-atribut yang berdekatan perusahaan listrik memasok 200.000 dengan konotasi tentang tradisionalitas jaringan listrik, yang tentu sebagian besar dan kemiskinan jamak ditemui, seperti masuk ke kantong-kantong rumah elit perabot anyaman Eropa, priyayi, kantor, hotel, perusahaan, bambu (gedhek), dan tikar. Hal ini tampak fasilitas umum dan sebagainya (Maier makin menguatkan kecurigaan bahwa dalam Nordholt, 1997: 85). iklan masak Pandji mewacanakan tradisional, Poestaka bahwa telah pribumi ikut adalah kaum lemah dan inferior. Eropa, sementara perusahaan- Dari pemaparan ini, tampak jelas bahwa lampu listrik sebagai barang industri modern hanyalah dinikmati dan Sejak diterapkannya sistem politik diakses oleh segelintir orang yang etis pada awal abad 20, arus modernisasi memiliki kedudukan elit. Tidak hanya terus menguat di Hindia Belanda. Sejak Philips, barang-barang modern produksi saat itu, barang-barang produksi modern, Belanda juga ikut meramikan konsumsi seperti mobil, kaum elit, seperti minuman bermerk kereta api, lampu listrik, dan berbagai Ovomaltine, pasta gigi Colgate, margarin barang Palmboon dan Blue band (Maier dalam mesin-mesin dan jasa produksi, modern kian bermunculan. Akan tetapi, akses kepada Nordholt, barang-barang tersebut, produksi modern ini juga bisa dipandang tampaknya hanya bisa dinikmati oleh sebagai atribut sosial yang meneguhkan segelintir dan keunggulan status sosial pemakainya. Priyayi) sebagai pemegang tahta kelas Sebab ekslusivitas akses pada barang- tertinggi di masyarakat. Jika diingat barang industri tersebut pada kalangan kembali pada iklan Pandji Poestaka dalam elit, adalah bukti bahwa kesenjangan kelas penelitian ini, contohnya adalah iklan di masa Hindia Belanda begitu kentara. Lampu elit Philips, modern (golongan agaknya Eropa 1997: 85). Barang-barang kesenjangan Tidak hanya itu, dalam akses akses pada barang produksi modern pendidikan di masa Hindia Belanda, tersebut akan tampak cukup jelas. pertimbangan atas stratifikasi kelas sosial Lampu listrik sendiri, di masa Hindia Belanda adalah barang elit yang sangatlah berpengaruh. Pendidikan (sekolah) pada masa Hindia Belanda umumnya hanya diakses secara terbatas 114 Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 oleh kalangan elit pribumi (priyayi) dan visi jangka panjang pemerintah kolonial Eropa. Apabila diingat kembali tentang untuk mendudukkan Hindia di bawah tanda-tanda dalam iklan Pandji Poestaka pemerintahan Belanda dengan sistem seperti iklan Philips di mana terdapat pemerintahan tidak langsung (indirect gambaran seorang pembaca surat kabar rule), di mana administrasi pribumi di dan di iklan Blue Band yang terdapat Hindia siswa sekolah, sebenarnya hal ini adalah kepegawaian representasi Bineland Bestuur) di bawah komando dari elitisme pendidikan waktu itu yang hanya dinikmati oleh akan dikelola oleh pribumi korps (Inlandsche pemerintahan kolonial Belanda. segelintir kelompok elit. Dalam rangka upaya inilah, Data dari sensus penduduk di kemudian pemerintah kolonial Hindia tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa Belanda membuka akses pendidikan bagi hanya terdapat 6% penduduk yang bisa golongan pribumi. Akan tetapi, dalam membaca dan menulis, dan tidak ada praktiknya, pendidikan di Hindia Belanda alasan menguatkan masih sangat diskriminatif, di mana dari adanya jumlah peningkatan sampai saat golongan pribumi hanya golongan elit iklan Philips dan Blue Band di surat kabar priyayi yang dekat dengan pemerintah Pandji Poestaka 1940-1941 terbit (Maier kolonial saja yang kemudian berhasil dalam Nordholt, 1997: 94-95). Rendahnya mendapatkan akses pendidikan waktu itu, tingkat melek huruf di Hindia Belanda ini, sementara sebenarnya diakibatkan oleh kebijakan dipinggirkan (Riyanto dalam Susanto, pemerintah kolonial yang diskriminatif 2003: 32). Pada akhirnya, hal ini juga dan cenderung memelihara kesenjangan makin kelas. diskriminasi kelas sosial di masa itu, di signifikan yang Pendidikan pada masa itu, boleh dikata adalah pemerintah bagian Hindia dari strategi jelata memperpanjang kesenjangan antara tetap saja rantai kaum elit dengan rakyat jelata terlihat sangat jelas. untuk Bila kita coba menengok kembali pekerja iklan-iklan yang ditampilkan dalam surat birokrasi kolonial kabar Pandji Poestaka dalam penelitian 13). Daripada ini, di mana pada dasarnya terdapat citra pemerintah mendatangkan tenaga ahli yang dikotomis antara kelas sosial rakyat dari Belanda, akan lebih efisien jika jelata (dalam iklan kaldu Maggi) dan masyarakat akses priyayi (iklan Blue Band dan Philips), bersekolah agar bisa diarahkan sebagai maka bisa dikatakan bahwa iklan tersebut pekerja administrasi di bawah pemerintah sebenarnya kolonial. Upaya ini juga sekaligus sebagai adanya kesenjangan kelas sosial di masa meningkatkan Belanda mana rakyat jumlah administratif bagi (Sutherland, 1983: pribumi diberi turut merepresentasikan 115 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 itu. Agaknya, tidaklah iklan cukup Pandji Poestaka kekuasaan. hanya Superstruktur atau lembaga ini, disebut sebagai saluran komunikasi pemasaran oleh Althusser (1992: 50-53) sebagai barang, akan tetapi iklan tersebut juga ideological ikut memelihara kesenjangan kelas pada ideologis zamannya. sebagai agen struktural untuk memelihara Ini ditempatkan mempertahankan sangat tampak dari persoalan akses barang industri modern state apparatus negara), yang (aparat difungsikan dan melegitimasi dominasi ideologis. dan pendidikan; akses istimewa selalu Aparat ideologis tersebut, berada di tangan para elit (Eropa dan contohnya priyayi), sementara rakyat jelata selalu seperti ditempatkan dalam kategori inferior dan persidangan. tidak berdaya. ideologis adalah sekolah, institusi agama, Dalam konteks seperti ini, iklan di adalah: kepolisian, media lembaga represif militer, penjara, Sedangkan massa, budaya lembaga populer dan masa kolonial tampaknya tak sekedar sebagainya. Althusser memandang bahwa berfungsi dalam aras utama sebagai relasi ketidakadilan yang disebabkan oleh praktik komunikasi pemasaran barang cara-cara produksi telah diamankan oleh dan jasa. Akan tetapi, ia pun menjadi agen superstruktur dari aparatus represif dan ideologis mempertahankan aparatus agar represif untuk kesenjangan kelas kekuasaan ideologis. Melalui aparatus kekuasaan dipelihara melalui kolonial terjaga. Realitas ini agaknya bisa cara-cara paksaan, sementara dengan dijelaskan dengan memakai pandangan aparatus ideologis, kekuasaan dipelihara seorang kritikus Karl Marx, yakni Louis secara halus (Strinati, 2007: 172). Althusser. Dalam pandangannya, Berdasarkan perspektif ini, Althusser menganggap bahwa pandangan- agaknya persoalan relasi antara iklan, pandangan determinisme ekonomis dalam kelas dan ideologi kolonial bisa dijelaskan. marxisme klasik, sudah tidak memadai Iklan surat kabar Pandji Poestaka adalah lagi untuk menjelaskan persoalan kelas aparatus ideologi negara, sebab Pandji yang kian kompleks (Harland, 2006: 71). Poestaka Sebab, persoalan ketidakadilan memang pemerintah Hindia didirikan Belanda oleh sendiri. kelas tidak lagi cukup dijelaskan dengan Melalui iklan Pandji Poestaka sebagai hanya menganggapnya dalam konteks aparat ideologi negara, kekuasaan kolonial relasi pekerja dan pemilik modal. Akan kemudian coba terus dikukuhkan dengan tetapi, bagaimana kapitalisme beroprasi representasi perbedaan kelas-kelas sosial. dan mempertahankan kesenjangan kelas, Dengan menempatkan telah didukung oleh adanya superstruktur sebagai aparatus yang kolonial mempunyai posisi tawar yang mengamankan keberlangsungan moda produksi dan cara-cara kapitalisme 116 media negara, massa pemerintah Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 kuat untuk mempengaruhi cara pandang Representasi tentang priyayi muncul dari massa secara ideologis. iklan-iklan berjenis kebutuhan elit (pada menerus zaman itu), seperti lampu listrik dan sebagai makanan kaleng Blue Band Margarine. modern, terdidik, dan seterusnya, di saat Sementara representasi wong cilikatau bersamaan rakyat jelata ditemukan dalam iklan kaldu Dengan terus merepresentasikan priyayi pula, tradisionalitas citra dan tentang kemiskinan dengan kemasan sederhana. ditindihkan kepada rakyat jelata, dengan Pribumi direpresentasikan oleh begitu kolonialisme menjaga kesenjangan iklan Pandji Poestaka dalam kategori kelas di Hindia Belanda. Kesenjangan kelas sosial yang dikotomis. Pribumi kelas ini, begitu menguntungkan kolonial, priyayi sebab mereka telah menduduki hirarki pemerintah kolonial dicitrakan sebagai kelas tertinggi bersama kalangan elit-elit golongan modern, elit, terdidik, sementara lokal golongan wong cilik atau rakyat jelata (priyayi). kolonialisme Dengan tetap bertahan begitu, sebab kedudukan tinggi dalam kelas sosial akhirnya berbanding lurus yang terkenal direpresentasikan dekat dengan dengan citra-citra tradisional dan pekerja kasar dan miskin. dengan Praktik representasi ini, bisa kepemilikan aset-aset produksi, sehingga dipandang sebagai strategi kolonial dalam motif ekonomi kapitalisme tetap berjalan. mempertahankan Akhirnya, begitulah kesenjangan kelas sosial dipertahankan represntasi. di masa melalui Iklan pengaruh dan kedudukannya sebagai penguasa Hindia kolonial Belanda. Dengan merepresentasikan kelas praktik sosial di kalangan pribumi, kolonialisme kolonial berusaha merepresentasikan priyayi yang dekat tersebut. dengan kolonial sebagai modern dan menguntungkan bangsa kolonial, sebab terdidik, sedang pada saat bersamaan, mereka telah menduduki hirarki tertinggi wong cilik dicitrakan sebagai kaum yang dalam kelas sosial bersama golongan elit hidup dalam hirarki kelas terbawah, priayi. tradisional, dan miskin. menjaga kesenjangan Kesenjangan Pemerintah kelas kolonial kelas terus Hindia Belanda tampak memanfaatkan media massa sebagai aparatus ideologi negara. Penutup Analisis semiotika atas representasi pribumi dalam iklan Pandji Poestaka 1940-1941, memperlihatkan dua citra dikotomis, yakni citra pribumi priyayi dan pribumi jelata (wong cilik). Di mana media massa surat kabar Pandji Poestaka (iklan) dimanfaatkan untuk terus menjaga dan melembagakan cara pandang massa terhadap pandangan kelas. Melalui iklan tersebut, citra priyayi 117 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 yang dekat dengan kolonial terus dijaga dengan merepresentasikan mereka dengan citra modern, terdidik, kaya, sementara wong cilik terus dipinggirkan Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture dalam citra-citra tradisional, miskin, dan Overseas: pekerja kasar. Hindia Belanda, 1900-1942. (Terj: Eksploitasi terhadap wong cilik, berjalan beriringan dengan praktik representasi melalui media massa (Pandji Poestaka). Hal menutupi adanya pelanggaran dilakukan Hindia ini berguna kebobrokan kemanusiaan oleh untuk yang atau telah pemerintah kolonial dengan adanya Belanda eksploitasi, kerja paksa, serta berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia Praktik Kolonial di J. Soegiarto & Suma R. Rusdiarti). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Harland, Richard. Superstrukturalisme. 2006. (Terj: Iwan Hernawan). Yogyakarta: Jalasutra. Hartley, John. 2010. Communication, Cultural & Media Studies: Konsep Kunci. (Terj: Kartika Wijayanti). Yogyakarta: Jalasutra. Kartodirjo, Sartono. 1987. Perkembangan selama kolonialisme dijalankan. Peradaban Priyayi. Yogyakarta: UGM Press. Daftar Pustaka Barthes, Roland. Loomba, Mithologies. 1972. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. (Trans: Annette Lavers). London: (Terj: Granada Publishing. Yogyakarta: Bentang. Barthes, Roland. 2010. Membedah MitosMitos Budaya Massa. Ikramullah (Terj: Mahyuddin). Yogyakarta: Jalasutra. Konsep, Isu, dan Hartono Hadikusumo). Lombard, Dennys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-Batas Pembaratan . Jakarta: Gramedia. Lombard, Dennys. 2008. Nusa Jawa Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual, Problem Ikonisitas, Yogyakarta: Jalasutra. Easthope, Antony & Kate McGowan. 1992. Silang Budaya II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia. Nordholt, Henk Outward Schulte (ed). Appearences: 1997. Dressing A Cultural and Cultural Theory State and Society in Indonesia. Reader. Leiden: KITLV Press. Buckingham: University Press. 118 Ania. Open Noveri Faikar Urfan, Representasi Pribumi dalam Iklan Surat Kabar Pandji Poestaka 1940-1941 Pandji Poestaka 1940-1941. Terarsip di Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya http://niod.x- Sebuah cago.com/maleise_kranten/papers. Sunarto). Jakarta: Sinar Harapan. do. Akses 23 Maret 2012. Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Riyanto, Bedjo. dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. dan Kesustraan Indonesia Baru. Jilid 1. Perubahan Massyarakat di Jawa Cetakan Masa Pembangunan. Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang. Rohman, Mujibur. ke 3. Jakarta, Tolson, Andew. 1996. Mediation Text and Wacana 2010. Kolonial (Terj: Teeuw, A. 1995. Pokok dan Tokoh dalam Iklan 2000. Birokrasi. Susanto, Budhi Sj (ed). 2003. Identitas Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Elit dan Kritik Discourse in Media Studies. London: Arnold. Poskolonialisme. Jurnal Sosiologi Reflektif: Vol 4, No 2. April 2010. Samuel, Hanneman. 2010. Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia, Dari Kolonialisme Belanda hingga Modernisme Amerika. Jakarta: Kepik Ungu. Strinati, Dominique. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Mukhid). Polpuler. (Terj: Yogyakarta: Abdul Penerbit Jejak. 119 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012 120