STUDI EKSPRESI E-CADHERIN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS (Rattus norvegicus) FIBROSIS GINJAL PASCA INDUKSI STREPTOKINASE Expression of E-cadherin and Histopathological Kidney in Rats (Rattus norvegicus) Renal Fibrosis Post Induced Streptokinase Pascara Fajar Lukito, Aulanni’am, Djoko Winarso Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya [email protected] ABSTRAK Streptokinase adalah protein ekstraseluler dengan berat mokelul 46 kDa dan diproduksi oleh semua strain Streptococcus β-haemolytic. Streptokinase memiliki sifat nephrotoxic sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ ginjal yaitu terjadinya kondisi fibrosis ginjal. Fibrosis ginjal adalah keadaan patologis dimana terdapat akumulasi dari matriks ekstraseluler yang dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal. Fibrosis ginjal ditandai dengan adanya kerusakan pada selsel epitel jaringan ginjal, kemunculan sel fibroblas serta penurunan ekspresi E-cadherin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat penurunan ekspresi E-cadherin dan gambaran histopatologi sel epitel glomerulus dan sel epitel tubulus ginjal pada tikus (Rattus norvegicus) pasca induksi streptokinase. Pada penelitian ini terdapat 4 kelompok perlakuan yaitu kontrol (A), 1x induksi Streptokinase (B), 2x induksi Streptokinase (C) dan 3x induksi Streptokinase (D). Induksi pada tikus dilakukan secara intravena pada vena coccygea, dengan dosis Streptokinase 6000 IU/ekor tikus. Interval waktu pemberian induksi pada kelompok perlakuan C dan D yang mendapat induksi lebih dari satu kali adalah 5 hari. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah ekspresi E-cadherin yang diamati dengan metode imunohistokimia dan gambaran histopatologi epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal tikus. Ekspresi E-cadherin menurun signifikan (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Hasil gambaran histopatologis ginjal tikus pasca induksi Streptokinase menunjukkan adanya kerusakan pada sel-sel epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal serta kemunculan sel fibroblas pada gambaran histopatologi ginjal tikus pasca induksi Streptokinase. Kata kunci : E-cadherin, Streptokinase , fibrosis ginjal, histopatologi ginjal. 1 ABSTRACT Streptokinase is an extracellular protein with molecular weight of 46 kDa that produced by all strain Streptococcus β-haemolytic. Streptokinase had nephrotoxic that caused renal fibrosis. Renal fibrosis is an pathologic condition of excessive accumulation of extracellular matrix on renal that can lead to the chronic kidney disease. Renal fibrosis are characterized by renal epithelial cells damaged, the presence of fibroblast cells and the decrease expression of Ecadherin.The purpose of this research was to determine the decrease expression of E-chaderin and histopathology of kidney on rats (Rattus norvegicus) post induced by Streptokinase. In this research, rats were divided into 4 groups : control (A), group that induced 1x by Streptokinase (B), group that induced 2x by Streptokinase (C), group that induced 3x by Streptokinase (D). Inducing of streptokinase on rats conducted by intravenous injection on coccygeal veins with dose of 6000 IU/rats. Group C and D were induced within 5 days interval. The E-cadherin were observed by immunohistochemistry method and the histopathology of kidney were confirmed microscopically. The expression of E-cadherin decreased significantly (p<0,05) between group. The image of histopathological kidney on rats post induced streptokinase showed the renal epithelial cells damaged and presence of fibroblast cells. Keywords: E-cadherin, Streptokinase, Renal Fibrosis, Histopathological Kidney kembali pada kondisi normal (Slattery, 2005). Dalam rangka penemuan tindakan kuratif dari penyakit ginjal kronik diperlukanlah hewan model fibrosis ginjal. Adanya hewan model fibrosis ginjal akan sangat membantu saat dilakukan penelitian mengenai tindakan kuratif untuk penyakit fibrosis ginjal. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan penyiapan hewan tikus model fibrosis ginjal dengan menggunakan induksi Cyclosporine-A. Namun penggunaan Cyclosporine-A masih memiliki beberapa kekurangan antara lain kondisi hewan model fibrosis ginjal hasil induksi Cyclosporine-A membutuhkan waktu induksi yang lama yaitu 28 hari sehingga diperlukan alternatif lain untuk menginduksi hewan model fibrosis ginjal (Wati dkk., 2013). Streptokinase adalah protein ekstraseluler dengan berat molekul 46 kDa dan diproduksi oleh semua strain Streptococcus β-haemolytic (Pardede, 2009). Streptokinase dikenal sebagai agen trombolitik karena kemampuannya untuk PENDAHULUAN Fibrosis ginjal adalah keadaan patologis pada ginjal berupa akumulasi dari matriks ekstra seluler akibat rusaknya sel epitel glomerulus dan tubulus ginjal (Chatziantoniou, 2005). Fibrosis ginjal merupakan penyebab utama dari penyakit ginjal kronik (Cho, 2010). Penyakit ginjal kronik merupakan tahap akhir kerusakan ginjal yang bersifat progesif dan ireversibel (Slattery, 2005). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit ginjal kronik menyebabkan kematian 850.000 penduduk setiap tahunnya (Suhardjono, 2007). Tingginya angka kematian tersebut dikarenakan belum ditemukan solusi untuk mengatasi penyakit ini sehingga diperlukan tindakan kuratif yang akurat. Penanganan kerusakan ginjal yang masih memungkinkan untuk sembuh secara efektif dan tepat adalah pada fase awal yaitu pada tahap fibrosis ginjal. Kondisi fibrosis ginjal masih pada tahap kerusakan yang bersifat reversibel sehingga jaringan ginjal masih dapat 2 melisiskan penggumpalan darah, oleh karena kemampuannya mengubah plasminogen menjadi plasmin (Sulyok, 2004). Akan tetapi aktivitas plasminogen ini memiliki efek toksik terhadap ginjal yang lebih lanjut dapat menyebabkan fibrosis ginjal. Aktivitas plasminogen akan menginduksi peningkatan TGF-β yang memiliki sifat profibrotik dan proinflamatori penyebab utama fibrosis ginjal (Pardede, 2009). Sitokin TGF-β yang terekspresi tinggi akan menyebabkan menurunnya protein E-cadherin. E-cadherin adalah senyawa glikoprotein yang memegang peranan penting dalam agregasi sel. E-cadherin ditemukan pada wilayah intercellular space antar sel. Ekspresi e-cadherin terdapat pada sel intestinal, ginjal dan pada hampir semua sel-sel epitel. Penurunan ekspresi E-cadherin akan menyebabkan EMT (Epithelial to Mesenchymal Transition) sehingga terjadi peningkatan matriks ekstra seluler yang akan memicu terjadinya fibrosis ginjal (Tian, et al., 2011). Sel epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal akan mengalami perubahan dan kerusakan akibat terjadinya Epithelial to Mesenchymal Transition. Fibrosis ginjal juga ditandai dengan glomeluronefritis dan tubulo interstisial fibrosis yang diawali dengan kerusakan pada sel epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal (Creely, 1992), Penelitian yang dilakukan sejauh ini belum memberikan informasi mengenai kerusakan ginjal dari normal menjadi fibrosis ginjal pasca induksi Streptokinase. Oleh karena itu pengukuran level E-cadherin dan perbandingan tingkat keparahan kerusakan sel epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal melalui pengamatan gambaran histopatologi pada ginjal tikus (Rattus norvegicus) pasca injeksi Streptokinase sangat penting diketahui. Tikus diadaptasi terhadap lingkungan selama tujuh hari dengan pemberian makanan berupa ransum basal pada semua tikus. Tikus yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan umur 10 minggu dan berat badan antara 150-250 gram yang telah mendapatkan persetujuan Komisi Layak Etik UB dengan No. 132-KEP-UB. Preparasi dan Induksi Streptokinase Streptokinase 1.500.000 IU dilarutkan dengan ringer laktat sebanyak 2 ml kemudian dihomogenkan (stok 1). Diambil 1ml dari stok 1 dan dilarutkan dengan ringer laktat sampai 5 ml (stok 2). Selanjutnya diambil 1ml dari larutan dari stok 2 akhir diambil sejumlah 40 µl (stok 3). Stok 3 mengandung 6000 IU Streptokinase. Kemudian ditambahkan ringer laktat sampai 100µl. Induksi dilakukan secara intravena pada vena coccygea. Induksi pertama dilakukan pada hari pertama pada tikus kelompok B, C, dan D. Induksi kedua dilakukan 5 hari berikutnya atau pada hari ke 6 pada tikus kelompok C dan D. Induksi ketiga dilakukan 5 hari berikutnya atau pada hari ke 11 pada tikus kelompok D (lampiran2). Teknik Imunohistokimia dan Pengamatan Histopatologi Ginjal Teknik Imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi E-cadherin. Gambaran epitel glomerulus dan epitel tubulus diamati secara kualitatif menggunakan mikroskop Olympus BX51 dengan perbesaran 400x. Analisa Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan analisa kuantitatif untuk ekspresi E-cadherin dengan uji ANOVA, apabila terdapat perbedaan antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji BNJ α = 0,05 (Kusriningrum, 2008). MATERI DAN METODE Persiapan Hewan Coba 3 Analisis kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisa gambaran histopatologi epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal. Ekspresi E-cadherin Ginjal Tikus Hasil Induksi Streptokinase Ekspresi E-cadherin pada ginjal tikus (Rattus norvegicus) kontrol dan fibrosis ginjal pasca induksi Streptokinase ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1.1 Ekspresi E-cadherin pada Ginjal Tikus Perlakuan (Perbesaran 400x) Keterangan : A= ginjal tikus kontrol; B= ginjal tikus pasca induksi 1x 6000 IU Streptokinase; C= ginjal tikus pasca induksi 2x 6000 IU Streptokinase; D= ginjal tikus pasca induksi 3x 6000 IU; (↑) ekspresi Ecadherin Tabel 1.1 Ekspresi E-cadherin pada Ginjal Tikus Perlakuan Perlakuan Rata-rata Ekspresi E-cadherin (%) Penurunan Area E-cadherin Terhadap Tikus Kontrolat (%) (a) Tikus Kontrol (b) Tikus induksi 1x 6000 IU (c) Tikus induksi 2x 6000 IU (d) Tikus induksi 3x 6000 IU 4,82 ± 0,548d 3,09 ± 0,328c 1,788 ± 0,209b 0,794 ± 0,094a 0 35,892 62,904 83,526 Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan (p<0,05) 4 Ekspresi E-cadherin pada jaringan ginjal ditunjukkan dengan adanya warna coklat. Warna coklat tervisualisasi pada areal sel epitel glomerulus dan sel epitel tubulus ginjal. Areal Ekspresi E-cadherin ditunjukkan dengan tanda panah (↑) pada Gambar 1.1. Rata-rata Area Ekspresi E-cadherin didapatkan dari perhitungan rata-rata 5 lapang pandang dengan perbesaran 400x melalui program Axio Vixion. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa E-cadherin terekspresi lebih banyak pada jaringan ginjal kelompok tikus kontrol sehat (4,82 ± 0,548) dibanding dengan kelompok tikus yang diinduksi Streptokinase. Ekspresi paling sedikit ditunjukkan pada kelompok tikus yang di induksi 3 x 6000 IU Streptokinase yaitu 0,794 ± 0,0094. Sedangkan untuk kelompok tikus yang di induksi 2 x 6000 IU dan kelompok tikus yang di induksi 1 x 6000 IU masing-masing menunjukkan rata-rata area ekspresi E-cadherin sebesar 1,788 ± 0,209 dan 3,09 ± 0,328. Persentase area pada kelompok kontrol digunakan sebagai acuan untuk menentukan adanya penurunan atau peningkatan terjadi akibat pengaruh perlakuan. Ekspresi E-cadherin pada kelompok B menunjukkan adanya penurunan E-cadherin sebesar 35,892%, pada kelompok C menunjukkan adanya penurunan E-cadherin sebesar 62,904% dan pada kelompok D menunjukkan adanya penurunan E-cadherin sebesar 83,526%. Perhitungan uji statistik secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil penelitian menunjukkan ada penurunan E-cadherin di jaringan ginjal pada kelompok B, C dan D (kelompok tikus pasca induksi Streptokinase) dibandingan dengan kelompok A (kontrol). Hal ini disebabkan Streptokinase memiliki sifat nefrotoksik dan dapat memodulasi terjadinya EMT yang ditandai dengan penurunan Ecadherin pada jaringan ginjal. Hasil uji statistik (One Way ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan yang dilanjutkan dengan uji BNJ yang menunjukkan hasil berbeda nyata antar kelompok perlakuan (p<0,05). Perbedaan ekspresi E-cadherin tersebut dikarenakan adanya variasi pemberian dosis Streptokinase. Kelompok D yang mendapat dosis 3x 6000 IU Streptokinase memiliki sifat nefrotoksik yang lebih besar dibanding kelompok C dan B sehingga akan menunjukkan ekspresi E-cadherin yang paling rendah. Hasil ini menunjukkan induksi Streptokinase yang diberikan dalam variasi dosis yang berbeda yaitu 1x 6000 IU, 2x 6000 IU dan 3x 6000 IU mampu menurunkan E-cadherin pada jaringan ginjal. Induksi Streptokinase secara intravena dapat menyebabkan penurunan Ecadherin melalui jalur aktivasi plasminogen menjadi plasmin. Plasmin sejatinya berperan dalam fibrinolisis namun juga dapat mengakibatkan pelepasan vasoaktif bradikinin yang akan terdeposisi pada ginjal (Pardede, 2009). Hal ini mengakibatkan inflamasi dan peningkatan migrasi makrofag menuju jaringan ginjal. Keberadaan makrofag akan mengaktivasi sel intrinsik ginjal untuk mensekresi sitokin inflamasi yaitu TGF-β (Hu, 2008). Peningkatan TGF β akan memodulasi ekspresi miRNA spesifik yaitu penurunan level miRNA-192/215, mikro RNA yang berperan meregulasi protein E-cadherin (Wang, 2010). Ecadherin akan berkurang dan kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya kemampuan adhesi antar sel epitel di dalam jaringan ginjal. Akibatnya akan terjadi kerenggangan antar sel epitel dan hal tersebut akan memfasilitasi terjadinya EMT (Epithelial to Mesenchymal Transition). EMT akan menyebabkan kemunculan sel fibroblas, kerusakan sel epitel jaringan ginjal, perluasan matriks ekstraseluler dan terjadinya fibrosis ginjal (Cho, 2010). 5 E-chaderin adalah kelompok senyawa senyawa glikoprotein transmembran yang memegan peranan penting dalam adhesi sel, E-cadherin ditemukan pada junction antar sel berbagai jenis sel, antara lain sel intestinal, hepar, ginjal, pada hampir semua sel epitel dan pada sel endotel kapiler (Takeichi, 1991). Menurut Tian et al., (2011), penurunan Echaderin dapat menyebabkan terjadinya fibrosis melalui mekanisme EMT yang berujung pada kemunculan fibroblas dan fibrosis ginjal. Saat ginjal berada dalam kondisi normal atau fisiologis, E-cadherin akan menunjukkan ekspresi yang lebih tinggi sehingga mampu mempertahankan kondisi sel-sel epitel ginjal dari perubahan dan kerusakan akibat induksi Streptokinase. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bossche, (2011) bahwa E- cadherin terdapat pada epitel yang berperan dalam menciptakan adhesi sel yang kuat dengan sel sekitarnya serta menjaga integritas dari membran sel. Menurunnya E-cadherin akan mengakibatkan perlekatan antar sel epitel jaringan ginjal menjadi renggang, sehingga kondisi sel menjadi tidak stabil dan memungkinkan terjadinya mekanisme EMT. Dalam kondisi fisiologis, E-cadherin akan membentuk kompleks dengan β-catenin dan menjadikan antar sel memiliki ikatan dan integritas yang kuat. Ikatan E-cadherin dan β-catenin akan meningkatkan kerapatan antar sel dan mempertahankannya dari mekanisme EMT Penurunan E-cadherin berkaitan dengan dengan translokasi dari βcatenin, sehingga menyebabkan hilang polaritas dan integritas dari sel epitel tersebut (Aresu, 2008). Penurunan E-cadherin terjadi saat kemunculan TGF β berlebih akan menekan ekspresi dari miRNA 192/215. miRNA 192/215 merupakan mikro RNA yang terdapat di dalam inti sel ginjal yang berperan meregulasi E-cadherin. Menurut penelitan yang dilakukan Wang, (2010), dijelaskan bahwa terdapat penurunan ekspresi dari miRNA 192/215 akibat kemunculan TGF β. Pada penelitian tersebut diberikan injeksi TGF β pada tikus dan hasilnya telah terjadi penurunan ekspresi Ecadherin. miRNA 192/215 meregulasi Ecadherin melalui ZEB2, protein yang berperan dalam transkripsi E-cadherin. Keberadaan Streptokinase yang mampu menginduksi kemunculan TGF β akan menekan miRNA 192/215 sehingga regulasi E-cadherin akan berkurang dan berakibat pada meningkatnya fibrogenesis. Dalam hal ini semakin banyak Streptokinase yang terakumulasi akan memberikan dampak berupa peningkatan fibrogenesis via menurunnya E-cadherin dan menyebabkan terjadinya fibrosis ginjal. Histopatologi Epitel Glomerulus dan Epitel Tubulus Ginjal Tikus Hasil Induksi Streptokinase Hasil histopatologi epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal tikus kontrol dan pasca induksi Streptokinase adalah sebagai berikut : 6 Gambar 2 Histopatologi Ginjal Tikus Perlakuan (Perbesaran 400x). Keterangan: (A) ginjal tikus kontrol; (B) ginjal tikus induksi streptokinase dosis 6000 IU 1x; (C) ginjal tikus induksi streptokinase dosis 6000 IU 2x; (D) ginjal tikus induksi streptokinase dosis 6000 IU 3x; (↑) Kondisi sel epitel glomerulus ginjal; (↑) Kondisi sel epitel tubulus ginjal; (↑) sel fibroblas; (↑) Kondisi capsula bowman Gambar insert : (A1) epitel capsula bowman normal; (A2) epitel glomerulus normal; (A3) epitel tubulus normal; (B1)epitel capsula bowman tidak tampak (B2) epitel glomerulus mengalami sklerosis (B3) epitel tubulus mengalami perubahan dan inti sel mulai menghilang; (C1) epitel capsula bowman tidak tampak; (C2) epitel glomerulus mengalami sklerosis; (C3) epitel tubulus mengalami perubahan dan inti sel menghilang; (D1) epitel capsula bowman tidak tampak; (D2) epitel glomerulus mengalami sklerosis; (D3) epitel tubulus mengalami perubahan dan inti sel menghilang Hasil histopatologi tersebut menunjukkan ada perbedaan gambaran histopatologis epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal antara tikus kontrol dengan tikus yang diinduksi Streptokinase. Pada kelompok tikus kontrol (A) yang tidak mendapat induksi Streptokinase menunjukkan gambaran histopatologi sel epitel glomerulus meliputi endotel dan podosit, ditunjukkan tanda panah merah(↑) yang masih normal, kompak dan masih memiliki inti sel. Kondisi sel podosit normal dan tidak mengalami penebalan. Capsula bowman, ditunjukkan tanda panah biru(↑), tersusun atas sel epitel selapis pipih, terlihat jelas dengan susunan yang masih utuh dan kokoh. Sel epitel tubulus, ditunjukkan tanda panah kuning(↑) terlihat normal dengan bentuk epitel selapis kubus, tersusun rapat dan teratur dengan inti sel tampak. Kerusakan histopatologi pada sel epitel glomerulus dan sel epitel tubulus 7 ginjal terjadi pada tikus yang telah diinduksi Streptokinase. Pada kelompok tikus induksi 1x 6000 IU Streptokinase (B) kerusakan ditunjukkan pada bagian glomerulus ginjal ditunjukkan tanda panah merah(↑) yang sel endotel dan podositnya mengalami penebalan yang menandakan glomerulosklerosis. Pada bagian capsula bowman, tanda panah biru(↑) sulit diidentifikasi kondisi sel epitelnya akibat penebalan pada bagian lumen glomerulus. Pada bagian epitel tubulus terlihat inti sel epitel yang hilang dan batas antar sel epitel sudah tidak tampak lagi. Sel epitel tubulus ditunjukkan tanda panah kuning(↑) ginjal terlihat mengalami atropi pada sel epitel tersebut dimana sel tampak menyusut dan mengecil. Pada kelompok tikus induksi 2x 6000 IU Streptokinase (C) dan 3x 6000 IU Streptokinase (D) terlihat bahwa semakin banyak penebalan yang dialami oleh sel endotel dan sel podosit, ditunjukkan tanda panah merah(↑). Bagian capsula bowman, tanda panah biru(↑) tidak terlihat jelas karena telah mengalami sklerosis. Pada bagian tubulus ginjal, ditunjukkan tanda panah kuning(↑), tampak kerusakan yang semakin parah, tubulus kehilangan bentuk normalnya, serta semakin banyak tubulus yang mengalami atropi dan kehilangan inti selnya. Pada gambaran histopatologi ginjal kelompok tikus induksi 3x 6000 Streptokinase terlihat jelas adanya sel fibroblas diantara tubulus yang rusak, yang ditunjukkan tanda panah hitam(↑). Sel fibroblas memiliki bentuk runcing, pipih, tampak memanjang dengan juluran sitoplasma, memiliki inti sel yang lonjong. Sel fibroblas ini merupakan diferensiasi dari sel epitel ginjal melalui mekanisme EMT (Kalluri et al., 2009). Induksi Streptokinase menyebabkan penurunan E-cadherin dan terjadinya mekanisme EMT hingga menjadi fibrosis ginjal. Penurunan E-cadherin akan menyebabkan hilangnya kemampuan adhesi diantara sel-sel epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal, sehingga kemampuan untuk mempertahankan kedudukan dan kestabilan sel akan menurun, hal ini akan menyebabkan terjadinya EMT dan hasilnya akan muncul sel fibroblas. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kerenggangan antar sel epitel ginjal. Dalam perkembangannya sel fibroblas akan mensintesis terbentuknya matriks ekstraseluler dan mengakibatkan terjadinya fibrosis ginjal. Terjadinya EMT pada jaringan ginjal diawali dengan menurunnya E-cadherin yang akan menyebabkan hilangnya kemampuan adhesi antar sel epitel ginjal. Kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya kerenggangan antar sel epitel dan degradasi membran basal sehingga sel epitel akan kehilangan polaritas dan integritas selnya. Akibatnya sel epitel akan mengalami diferensiasi menjadi sel mesenkim. Fibrosis ginjal terjadi oleh karena sel mesenkim akan berubah menjadi sel fibroblas, selanjutnya fibroblas akan menghasilkan matriks ekstra seluler di interstisiel ginjal. Akumulasi dari matriks ekstra seluler inilah yang menyebabkan kondisi patologis fibrosis ginjal (Kalluri, 2009). Kondisi fibrosis ginjal akan semakin parah seiring dengan peningkatan jumlah induksi Streptokinase yang diberikan. Hal ini disebabkan semakin tinggi dosis pemberian Streptokinase, kejadian EMT akan semakin termodulasi sehingga sel-sel fibroblas yang menyebabkan kondisi fibrosis ginjal akan semakin terakumulasi. EMT pada fibrosis ginjal terjadi pada sel-sel epitel glomelurus meliputi capsula bowman, sel podosit, sel endotel serta pada sel epitel tubulus ginjal. Mekanisme EMT berawal dari terjadinya degradasi pada bagian basal membran dari sel epitel. Kondisi tersebut memicu terbentuknya sel mesenkim yang merupakan sel progentor yang dapat berubah 8 menjadi berbagai macam sel. Dalam kondisi fibrosis ginjal, sel mesenkim akan berubah menjadi sel fibroblas (Kalluri, 2009). Akibatnya jumlah sel epitel akan semakin berkurang dan menyebabkan susunan sel-sel epitel ginjal menjadi renggang dan terlihat sel epitel yang hilang. Penebalan yang terjadi pada epitel glomerulus merupakan efek dari proliferasi sel mesangial dan akumulasi matriks ekstraseluler yang tersusun atas serat jaringan ikat, substansi jaringan dan cairan jaringan sehingga menimbulkan hialinosis serta sklerosis pada glomerulus (Cho, 2010). Kejadian ini akan menyebabkan penebalan pada glomerulus dan lumen akan semakin menyempit sehingga terjadi glomerulosklerosis. Fibrosis ginjal akan disertai dengan kerusakan sel epitel glomerulus dan sel epitel tubulus ginjal, kemunculan sel fibroblas dan akumulasi dari matriks ekstraseluler (Cho, 2010). Zeisberg (2008) menyatakan fibrosis ginjal dapat dilihat dengan adanya perubahan struktur tubulus ginjal, penebalan pada glomerulus, peningkatan matrik ekstraselular dan kemunculan sel fibroblas. Hasil penelitian menunjukkan induksi Streptokinase terbukti dapat menginisiasi kejadian fibrosis ginjal dengan ditemukannya kerusakan berupa penebalan pada sel epitel glomerulus dan perubahan sel epitel tubulus ginjal serta kemunculan sel fibroblas melalui mekanisme EMT. Tingkat keparahan dan perubahan pada histopatologi ginjal tersebut juga dipengaruhi oleh dosis Streptokinase yang diinduksikan. Semakin tinggi dosis Streptokinase akan semakin memodulasi terjadinya mekanisme EMT yang menyebabkan fibrosis ginjal. Kelompok tikus yang diinduksi 3x 6000 IU Streptokinase menunjukkan ekspresi Ecadherin yang paling sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok tikus yang diinduksi 1x 6000 IU dan 2x 6000 Streptokinase. Induksi Streptokinase dapat menyebabkan kerusakan sel epitel glomerulus dan epitel tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus) fibrosis ginjal. Kelompok tikus yang diinduksi 3x 6000 IU Streptokinase menunjukkan kemunculan sel fibroblas dan kerusakan yang paling parah dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok tikus yang diinduksi 1x 6000 IU dan 2x 6000 Streptokinase. Saran Perlu diadakan penelitian mengenai terapi fibrosis ginjal pada tikus (Rattus norvegicus) hasil induksi Streptokinase. Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada seluruh staf Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya atas dukungan, bantuan, dan kerjasama yang luar biasa untuk penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aresu, L., and M.P. Rastaldi. 2008. Dog as model for down expresion of Ecadherin and B-catenin in tubular epithelial cells in renal fibrosis. Renal Research Laboratory. Italy. Armitage, D. 2004. Rattus norvegicus. Animal Diversity Web. University of Michigan of Zoology. Chatziantoniou, C. 2005. Insights into the mechanisms of renal fibrosis: is it possible to achieve regression? Am J Physiol Renal Physiol. 2005 Aug; 289(2): F227-34. Kesimpulan Induksi Streptokinase dapat menurunkan ekspresi E-cadherin pada ginjal tikus (Rattus norvegicus) fibrosis ginjal. 9 Chen, J.K., K. Nagai, D. Plieth, M. Tan, T.C. Lee, D. W. Threadqill, E. G. Neilson, and R.C. Harris. 2012. EGFR Signaling Promotes TGFbDependent Renal Fibrosis. J Am Soc Nephrol 23:215–224, 2012. doi: 10.1681/ASN.2011070645. Cho, M. H. 2010. Renal Fibrosis. Korean J Pediatr 2010. Daegu: Kyungpok National University School of Medicine. Hlm 735-740. Creely, J.J., J.S. Dimari, A.M. Howe, and M.A Haralson. 1992. Effects of TGF B on collagen synthesis by nor.mal rat kidney epithelial cells. Am J Pathol 140 : 45-55. Gartner, L.P., L. H. James and M.S. Judi. 2012. Biologi Sel dan Histologi, Edisi ke-6, Bina Rupa Aksara, Tangerang. Junquera, L. C., C. Jose, and R. O. Kelley. 1998. Histologi Dasar. EGC. Jakarta. Kalluri R. 2009. Epithelial-mesenchymal transition and its implication for fibrosis. J Clin Invest.112 (12): 1776-84 Liu,Y. 2008. Novel actions of tissue-type plasminogen activator in chronic kidney disease. Frontiers in Bioscience 13: 5174-5186. Miller, S.D., J.C Russel, H.E. MacInes, J. Abdelkrim, and R.M. Fewster. 2010. Multiple peternity in wild population of invasive Rattus species. New Zealand Journal of Ecology 34(3): 360-362. Pardede, S.O. 2009. Struktur Sel Streptokokus dan Patogenesis Glomeluronefritis Akut Pascarastreptokokus. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Sarro, E., O. Tornavaca, M. Plana, A. Meseguer and E. Itarte . 2008. Phosphoinositide 3-kinase inhibitors protect mouse kidney cells from cyclosporine-induced cell death. Kidney Int. 73. pp: 7785. Suhardjono. 2007. The Development of A Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program in Indonesia. di dalam Peritoneal Dialysis International, Vol 28. Canada: International Society for Peritoneal Dyalisis. pp: 59-62. Sulyok, E. 2004. Acute proliferative glomerulonephritis. Pada Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric Nephrology. Edisi ke 5. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins pp: 601-613. Wang, B. 2010. E-cadherin Expression is Regulated by miR-192/215 by a Mechanism of the TGF B. Diabetes July 2010 vol 59 no 7. Pp: 17941802. Wati, I. P., Aulanni’am dan M. Chanif. 2013. Aktivitas Protease dan Gambaran Histologi Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) Pasca Induksi Cyclosporine-A. Kimia Studentjournal, Vol. 1, No. 2, pp.: 257-263. Universitas Brawijaya Malang. 10