BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi dikarenakan tubuh tidak dapat menghasilkan atau menggunakan insulin secara cukup (Lawrence dalam Nugroho, 2006). Insulin merupakan salah satu hormon di dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel β pulau langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan protein regulator yang berfungsi untuk mengontrol kadar gula (glukosa) di dalam tubuh. DM merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme glukosa yang terganggu. Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada saat tes >200 mg/dL. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi karena akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu dua jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada dua jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya. 6 7 Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif (bertahap) setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif bergerak. Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara perlahan. Berdasarkan sekresi insulin endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe 1, dan Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe 2 (Rowland dan Bellush dalam Nugroho, 2006). Diabetes mellitus (DM) tipe 1 disebabkan oleh degenerasi sel β Langerhans pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, atau secara genetik yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak atau awal remaja. Penurunan berat badan merupakan ciri khas dari penderita DM tipe 1 yang tidak terkontrol. Gejala yang sering mengiringi DM 1 yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan kelompok penyakit dengan karakteristik terjadinya resistensi insulin yang dapat mengakibatkan gangguan 8 sel β Langerhans pankreas dalam mensekresi insulin. DM tipe 2 cenderung terjadi pada individu usia lanjut dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Secara patofisiologi, DM tipe 2 disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan kegemukan akibat pola gaya hidup yang tidak sehat. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri dengan cara menurunkan jumlah reseptor. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami adaptasi diri sehingga respon untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin (Nugroho, 2006). 2.2. Struktur dan Karakteristik DNA Mitokondria Mitokondria adalah salah satu organel sel yang berfungsi melakukan oksidasi. Energi yang dilepas dari hasil oksidasi tersebut digunakan untuk 9 mensintests ATP. Jumlah mitikondria dalam sebuah sel tergantung pada kubutuhannya ubutuhannya akan energi (Coffee, 1998). Mitokondria kondria ditemukan dalam jumlah banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi, yaitu sel-sel sel kontraktil seperti sperma pada bagian ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah seperti epithelium, akar rambut, dan epidermis kulit (Ngili, 2003).. Struktur mitokondria okondria terdiri dari empat sub-bagian, sub bagian, yaitu membran luar, ruang antar membran, membran dalam, dan matriks. Membran luar berfungsi untuk membatasi mitokondria dari sitoplasma sel, sedangkan edangkan membran dalam yang membentuk uk lipatan-lipatan lipatan yang disebut krista rista berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fosforilasi oksidatif. Mitokondria merupakan organel khas yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lainnya. Secara lengkap struktur mitokondria ditunjukkan oleh Gambar 2.1. ATP Sintase ruang inter-membran Matriks kista Riboson granula membran dalam DNA Membran luar Gambar 2.1 Struktur mitokondria. (www.wikipedia.com) Mitokondria memiliki materi genetiknya sendiri yang disebut DNA mitokondria (mtDNA). mtDNA berukuran 16.569 pasang basa dan terdapat dalam matriks mitokondria, berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri 10 dari untai heavy (H) dan light (L). Dinamakan seperti ini karena untai H memiliki berat molekul yang lebih besar dari untai L, disebabkan oleh banyaknya kandungan basa purin. mtDNA terdiri dari daerah pengkode (coding region) dan daerah yang tidak mengkode (non-coding region). MtDNA mengandung 37 gen pengkode untuk 2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida yang merupakan subunit kompleks enzim yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif, yaitu: subunit 1, 2, 3, 4, 4L, 5, dan 6 dari kompleks I, subunit b (sitokrom b) dari kompleks III, subunit I, II, dan III dari kompleks IV (sitokrom oksidase) serta subunit 6 dan 8 dari kompleks V. Secara lengkap organisasi genom mitokondria manusia dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Organisasi genom mitokondria manusia. Gambar tersebut memperlihatkan dua rantai mtDNA dengan gen yang mengkode: 12 S rNRA dan 16S Rrna, 22 tRNA, protein (CO: subunit sitokrom c oksidase; B cyt: sitokrom b; ND: subunit NADH dehidrogenase; ATPase6 dan ATPase8). OH dan OL menandakan titik awal replikasi dari rantai H dan L. Pada gambar juga terlihat beberapa macam mutasi yang berhubungan dengan penyakit. (www.mitomap.org) 11 Kebanyakan gen pada mtDNA ditranskripsi dari untai H, yaitu 2 rRNA, 14 dari 22 tRNA dan 12 polipeptida. mtDNA tidak memiliki intron dan semua gen pengkode terletak berdampingan, sedangkan protein lainnya yang juga berfungsi dalam fosforilasi oksidatif seperti enzim-enzim metabolisme, DNA dan RNA polimerase, protein ribosom dan faktor perbaikan mtDNA semuanya dikode oleh gen inti, disintesis dalam sitosol dan kemudian diimpor ke organel. mtDNA berbeda dengan DNA inti, walapun keduanya berada dalam satu sel. Hal ini disebabkan karena mtDNA memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan DNA inti. Beberapa keunikan mtDNA diantaranya adalah pola pewarisannya bersifat maternal (diturunkan melalui garis keturunan ibu), jumlah kopinya yang banyak dan laju mutasinya yang sangat tinggi. mtDNA memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi, ditandai laju mutasinya yang tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini dikarenakan mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen sebagai produk samping. Selain itu, DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA polimerase γ yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan replikasi. Replikasi mtDNA yang tidak akurat ini akan menyebabkan mutasi mudah terjadi (www.wikipedia.org, 2008). 12 2.3. Displacement Loop (D-loop) mtDNA D-loop mtDNA berukuran 1122 pb, dimulai dari nukleotida 16024 hingga 576 dan terletak diantara gen tRNApro dan tRNAphe. D-loop memiliki dua daerah dengan laju polimorfisme yang tinggi sehingga urutannya sangat bervariasi antar individu, yaitu Hypervariabel I (HVI) yang terletak pada urutan nukleotida 16024-16383 dan Hypervariabel II (HVII) yang terletak pada nukleotida 57-372. Dua daerah ini memiliki laju mutasi yang lebih tinggi dari daerah pengkode. Oleh karena sifatnya yang polimorfik, daerah ini sangat beragam antar individu tetapi sama untuk kerabat yang satu garis keturunan ibu. Laju mutasi sejauh ini diketahui 1:33 generasi, jadi perubahan urutan nukleotida hanya akan terjadi setiap 33 generasi. Oleh karena itu, daerah ini sering dianalisis dan sangat penting untuk digunakan dalam proses identifikasi individu. D-loop mengandung daerah pengontrol karena mempunyai origin of replication untuk untai H (OH) dan promotor transkripsi untuk untai H dan L (PL dan PH). Selain itu, D-loop juga mengandung tiga daerah lestari yang disebut dengan conserved sequence block (CSB) I, II, III. Daerah yang lestari ini diduga memiliki peranan penting dalam replikasi mtDNA (www.wikipedia.org , 2008). D-loop sebagai daerah non-coding dari mtDNA memiliki beberapa urutan nukleotida penting yakni sebagai promotor dalam replikasi rantai berat. D-loop juga merupakan hotspot untuk mutasi gen dalam susunan sel normal maupun sel kanker. Oleh karena itu untuk mempelajari pengaruh genetik pada berbagai jenis penyakit para ahli biasanya mengidentifikasi mutasi yang terjadi pada daerah Dloop daripada daerah lainnya dari mtDNA (Zhao, 2004). 13 2.4. Keterkaitan Antara Mitokondria dan Diabetes Mellitus Tipe 2 Diabetes mellitus tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes mellitus (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin untuk mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn dalam Fachreza, 2009). Diabetes mellitus tipe 2 merupakan akibat dari lemahnya kemampuan pankreas dalam mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi insulin, yang mana menjadi penyebab menurunnya sensitivitas insulin (Jacquie et al. dalam Fachreza, 2009). Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin, reseptor insulin akan memberikan signal pada glukosa transporter untuk memungkinkan lewatnya gula (glukosa) yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke dalam sel. Di dalam mitokondria, gula tersebut kemudian akan digunakan untuk menghasilkan energi atau tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan fungsi setiap sel tubuh (Hartono dalam Fachreza, 2009). Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin terlihat pada Gambar 2.3. Insulin yang diproduksi pada sel beta pankreas akan menempati reseptornya, yang kemudian akan memberikan sinyal transduksi pada transporter glukosa untuk dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang terdapat dalam darah akan masuk ke dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita diabetes tipe 2 dapat disebabkan oleh kerusakan transduksi sinyal (Rimbawan dan Siagian dalam Fachreza, 2009). Kerusakan ini dapat dimulai dari insulin abnormal sampai kerusakan reseptor insulin pada pengangkut glukosa. Hubungan langsung antara penurunan sensitivitas insulin dan kegemukan telah diketahui dengan baik, 14 dan kegemukan adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe 2. Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, sehinga dapat menyebabkan terjadinya penurunan sensitivitas insulin. glukosa reseptor Insulin Aktif Tidak Aktif transduksi sinyal Proses glikolisis Gambar 2.3. Mediasi insulin dalam proses uptake glukosa. (www. Lucablightblue.blogspot.com) Selain disebabkan oleh faktor lingkungan (eksternal), kerusakan transduksi sinyal dapat disebabkan oleh terjadinya disfungsi mitokondri (mutasi DNA mitokondria). Disfungsi mitokondria ini disebabkan oleh penumpukan mutasi-mutasi yang terjadi di mtDNA yang telah jauh berada diluar ambang batas toleransi yang terjadi pada daerah D-loop mtDNA. Seperti diketahui bahwa D-loop merupakan titik awal untuk proses replikasi dan transkripsi yang terjadi pada mtDNA. Pada daerah tersebut banyak sekali terdapat protein-protein penyandi baik yang berasal dari mitokondria maupun inti yang berguna untuk berlangsungnya kedua proses tersebut. Terjadinya mutasi-mutasi pada daerah D-loop mtDNA dapat mengubah ikatan DNA pada daerah tersebut, sehingga dapat mempengaruhi interaksi antara protein-protein pengontrol proses transkripsi dan replikasi dengan rantai DNA sendiri. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya 15 kesalahan dalam proses replikasi maupun transkripsi (Poulton, 2002). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Poulton,et al. (1998) ditemukan bahwa mutasi yang paling banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2 adalah mutasi T16189C yang terdapat pada daerah HVI. Data pada penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa variasi T16189C dapat mengakibatkan terjadinya modest reduction pada pengkopian mtDNA jika dibandingkan dengan DNA inti, yang mungkin mempengaruhi proses rantai respirasi pada sel β. T16189C Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadinya mutasi cendrung dapat memnyebabkan terjadinya mutasi lain yang berhungunggan dengan penyakit diabetes mellitus (Poulton,1998). 2.5. Polimerase Chain Reaction (PCR) Polimerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi polimerisasi berantai merupakan proses pengamplifikasian (pengkopian) fragmen DNA yang dengan cara in vitro (Gumilar, 2006). Pada prinsipnya teknik PCR terdiri dari tiga tahapan reaksi yang berbeda, yaitu: denaturasi, annealing (penempelan primer) dan polimerisasi (perpanjangan rantai). Pada proses tersebut digunakan enzim yang tahan terhadap suhu tinggi yaitu DNA polimerase salah satunya adalah Taq DNA polimerase. Enzim tersebut diisolasi dari bakteri yang hidup pada lingkungan yang panas, oleh sebab itu Taq DNA polimerase dapat tahan pada suhu 95ºC. Siklus PCR diawali oleh denaturasi untai ganda DNA pada suhu 94ºC. Tahapan ini berfungsi untuk mengubah DNA untai ganda menjadi untai tunggal. Selanjutnya adalah tahapan annealing (penempelan primer) pada DNA untrai 16 tunggal yang dilakukan pada suhu sekitar 50ºC, dan tepatnya ditentukan oleh urutan dan panjangnya primer. Proses ini diperlukan penentuan suhu dengan teliti. Hal ini disebabkan karena jika suhu annealing terlalu tinggi, maka dapat mengakibatkan produk DNA yang dihasilkan ada dalam jumlah yang kecil, sedangkan jika suhu annealing terlalu rendah, maka dapat menyebabkan terjadinya penempelan yang tidak spesifik. Setelah terjadi proses penempelan primer, suhu ditingkatkan hingga mencapai 72ºC. hal ini berfungsi untuk proses polimerisasi rantai DNA. Pada tahapan polimerisasi diperlukan primer, buffer, enzim DNA polimerase, dan campuran dNTP untuk proses pemanjangan rantai (Gumilar, dkk., 2008). Ketiga proses tersebut akan berulang sesuai dengan siklus yang kita inginkan. Jumlah siklus yang akan dilakukan dapat ditentukan berdasarkan banyaknya copy DNA yang diinginkan. Secara kasar, jumlah copy DNA yang akan diperoleh dalam n siklus adalah 2n. Beberapa komponen yang harus ada agar proses PCR dapat berlangsung adalah templat DNA, primer, deoksinukleotida (dNTP), enzim polimerase (Taq), dan buffer, Mg2+. Templat merupakan DNA target yang kita harapkan yang umumnya berjumlah sedikit (secara teori cukup satu molekul). Sumber templat dapat berupa darah, sperma, jaringan, koloni bakteri, phage plaques, dan lain-lain. Primer yang diperlukan untuk PCR berupa DNA untai tunggal yang umumnya memiliki panjang antara 18-30 nukleotida dengan jumlah kandungan G dan C yang relatif sama. 17 Primer disiapkan berdasarkan urutan nukleotida target, dengan menggunakan mesin DNA synthesizer. Tetapi bila urutan tersebut belum diketahui, namun telah diketahui urutan asam amino fragmen proteinnya, maka disusun degenerate primer yang didasarkan pada kodon-kodon dari asam amino tersebut. Deoksinukleotida (dNTP) berperan sebagai sumber monomer dalam proses polimerisasi fragmen yang teramplifikasi. dNTP terdiri atas dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP. Enzim polimerase merupakan katalis yang membantu proses perpanjangan primer yang menempel pada templat DNA. 2.6. Elektroforesis Gel Agarosa Elektroforesis merupakan proses pemisahan berdasarkan perbedaan migrasi molekul pada suatu medan listrik (Dinda, 2008). Kecepatan migrasi molekul yang bergerak pada medan listrik dipengaruhi oleh muatan, bentuk dan ukuran dari molekul tersebut. Hal inilah yang dijadikan sebagai dasar penggunaan elektroforesis untuk pemisahan makromolekul seperti protein dan asam nukleat. Pada proses pemisahan protein atau asam nukleat yang memiliki ukuran molekul yang kecil, gel yang biasa dipergunakan adalah gel poliakrilamida. Sedangkan untuk proses pemisahan asam nukleat yang ukuran molekulnya lebih besar digunakan gel agarosa yang berasal dari ekstrak rumput laut yang sudah dimurnikan. Elektroforesis gel agarosa dapat memisahkan molekul DNA berdasarkan pada perbedaan ukurannya melalui migrasi DNA pada suatu media yang 18 dipengaruhi oleh medan listrik dengan ukuran dari beberapa ratus hingga 20.000 pasang basa (bp) (Widyasari dan Suhandono, 2007). Laju migrasi molekul DNA pada proses elektroforesis gel agarosa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah konsentrasi gel agarosa yang digunakan, ukuran molekul, serta voltase yang diterapkan (Gumilar, dkk., 2008). Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik akan bermigrasi melalui matriks gel menuju kutub positif (anoda). Makin besar ukuran molekulnya, makin rendah laju migrasinya. Berat molekul suatu fragmen DNA dapat diperkirakan dengan membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi fragmen-fragmen molekul DNA standar (DNA marker) yang telah diketahui ukurannya. Deteksi DNA selanjutnya dilakukan di bawah paparan sinar ultraviolet setelah terlebih dahulu gel dalam pembuatannya ditambahkan larutan etidium bromida. Cara lain untuk melihat visualisasi DNA adalah gel direndam di dalam larutan etidium bromida sebelum dipaparkan di atas sinar ultraviolet. Beberapa komponen dalam elektroforesis gel agarosa antara lain adalah sampel DNA, agarosa, EtBr, loading buffer, running buffer, marker, dan lampu UV (Gumilar, dkk., 2008). 2.7. Sekuensing Sekuensing DNA merupakan suatu proses mengurutkan atau mensekuens DNA yang terdapat dalam makhluk hidup agar dapat dibaca dengan mudah. Terdapat dua metode untuk sekuensing DNA, yaitu metode terminasi rantai oleh 19 F. Sanger dan A.R. Coulson dan metode degradasi kimia yang ditemukan oleh A. Maxam dan W. Gilbert. Metode degradasi kimia (chemical degradation method) dikembangkan oleh Maxam dan Gilbert pada tahun 1977, sedangkan metode terminasi rantai ditemukan oleh F. Sanger dan A.R. Coulson pada tahun 1980. Kedua metode tersebut awalnya sama-sama populer, tetapi dalam perkembangan berikutnya metode terminasi rantai lebih disukai. Alasan utama adalah metode ini lebih mudah di automasi. Metode degradasi kimia juga memiliki kelemahan lain karena menggunakan bahan kimia yang beracun dan berbahaya bagi kesehatan peneliti yang menggunakan metode tersebut. Prinsip dasar dari metode dideoksi Sanger adalah terjadinya terminasi rantai nukleotida sebagai akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP) (Gumilar, dkk; 2007). Sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi atau terminasi rantai dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi dNTP sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. Namun, pada masing-masing reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP sehingga kadang-kadang polimerisasi akan terhenti di tempat-tempat tertentu sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3’nya selalu berakhir dengan basa yang sama. Enzim polimerase tidak bisa membedakan antara dNTP dan ddNTP. Penggabungan ddNTP ke dalam untai nukleotida yang baru disintesis akan menghentikan sintesis DNA, karena ddNTP tidak memiliki ujung 3′ hidroksil yang diperlukan untuk mensintesis nukleotida berikutnya. Untuk memulai 20 percobaan sekuensing terminasi rantai, suatu primer oligonukleotida ditempelkan ke DNA templat. Primer diperlukan karena DNA polimerase tidak dapat memulai sintesis DNA pada suatu molekul yang seluruhnya untai tunggal. Harus ada daerah untai ganda pendek untuk memberikan ujung 3′ dimana enzim dapat menambahkan nukleotida yang baru. Primer juga memiliki peranan penting untuk menentukan daerah mana pada molekul templat yang akan disekuensing. Kebanyakan percobaan sekuensing digunakan suatu primer yang universal. Primer ini komplemen dengan bagian dari DNA vektor yang langsung bersambungan dengan DNA yang baru. Primer universal yang sama memberikan sekuens dari setiap bagian DNA yang telah diligasikan ke vektor. Jika DNA yang disisipkan ke vektor lebih panjang dari 750 pasang basa maka hanya sebagian dari sekuen yang akan diperoleh.