S_PKIM_055807_BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti pipa air
melengkung (syphon). Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit dimana
kadar glukosa di dalam darah tinggi dikarenakan tubuh tidak dapat menghasilkan
atau menggunakan insulin secara cukup (Lawrence dalam Nugroho, 2006). Insulin
merupakan salah satu hormon di dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel β
pulau langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan
protein regulator yang berfungsi untuk mengontrol kadar gula (glukosa) di dalam
tubuh. DM merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi
(hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut.
Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta
metabolisme glukosa yang terganggu.
Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula
darah puasa >126 mg/dL dan pada saat tes >200 mg/dL. Kadar gula darah
sepanjang hari bervariasi karena akan meningkat setelah makan dan kembali
normal dalam waktu dua jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari
setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.
Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada dua jam setelah
makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya.
6
7
Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif
(bertahap) setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif
bergerak. Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum merangsang
pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula
darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara
perlahan.
Berdasarkan
sekresi
insulin
endogen
untuk
mencegah
munculnya
ketoasidosis, diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu Diabetes
mellitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau
tipe 1, dan Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin
dependent diabetes mellitus) atau tipe 2 (Rowland dan Bellush dalam Nugroho,
2006).
Diabetes mellitus (DM) tipe 1 disebabkan oleh degenerasi sel β Langerhans
pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, atau secara genetik yang
mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal
tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan
adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu
yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak atau awal remaja.
Penurunan berat badan merupakan ciri khas dari penderita DM tipe 1 yang tidak
terkontrol. Gejala yang sering mengiringi DM 1 yaitu poliuria, polidipsia, dan
polifagia.
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan kelompok penyakit dengan
karakteristik terjadinya resistensi insulin yang dapat mengakibatkan gangguan
8
sel β Langerhans pankreas dalam mensekresi insulin. DM tipe 2 cenderung terjadi
pada individu usia lanjut dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres
yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Secara patofisiologi, DM tipe 2
disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap
insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) Penurunan
kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap
beban glukosa.
Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan kegemukan akibat pola gaya
hidup yang tidak sehat. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan
mensekresi
insulin
lebih
banyak
sehingga
kadar
insulin
meningkat
(hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor
insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri dengan cara menurunkan jumlah
reseptor. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih
lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin.
Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan
penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah
(hiperglikemia). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami
adaptasi diri sehingga respon untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif
dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin (Nugroho, 2006).
2.2.
Struktur dan Karakteristik DNA Mitokondria
Mitokondria adalah salah satu organel sel yang berfungsi melakukan
oksidasi. Energi yang dilepas dari hasil oksidasi tersebut digunakan untuk
9
mensintests ATP. Jumlah mitikondria dalam sebuah sel tergantung pada
kubutuhannya
ubutuhannya akan energi (Coffee, 1998). Mitokondria
kondria ditemukan dalam jumlah
banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi, yaitu sel-sel
sel
kontraktil
seperti sperma pada bagian ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah
seperti epithelium, akar rambut, dan epidermis kulit (Ngili, 2003)..
Struktur mitokondria
okondria terdiri dari empat sub-bagian,
sub bagian, yaitu membran luar,
ruang antar membran, membran dalam, dan matriks. Membran luar berfungsi
untuk membatasi mitokondria dari sitoplasma sel, sedangkan
edangkan membran dalam
yang membentuk
uk lipatan-lipatan
lipatan
yang disebut krista
rista berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses fosforilasi oksidatif. Mitokondria merupakan organel khas
yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lainnya. Secara lengkap
struktur mitokondria ditunjukkan oleh Gambar 2.1.
ATP Sintase
ruang inter-membran
Matriks
kista
Riboson
granula
membran dalam
DNA
Membran luar
Gambar 2.1 Struktur mitokondria.
(www.wikipedia.com)
Mitokondria memiliki materi genetiknya sendiri yang disebut DNA
mitokondria (mtDNA). mtDNA berukuran 16.569 pasang basa dan terdapat dalam
matriks mitokondria, berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri
10
dari untai heavy (H) dan light (L). Dinamakan seperti ini karena untai H memiliki
berat molekul yang lebih besar dari untai L, disebabkan oleh banyaknya
kandungan basa purin.
mtDNA terdiri dari daerah pengkode (coding region) dan daerah yang tidak
mengkode (non-coding region). MtDNA mengandung 37 gen pengkode untuk
2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida yang merupakan subunit kompleks enzim
yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif, yaitu: subunit 1, 2, 3, 4, 4L, 5, dan 6 dari
kompleks I, subunit b (sitokrom b) dari kompleks III, subunit I, II, dan III dari
kompleks IV (sitokrom oksidase) serta subunit 6 dan 8 dari kompleks V. Secara
lengkap organisasi genom mitokondria manusia dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2.
Organisasi genom mitokondria manusia. Gambar tersebut
memperlihatkan dua rantai mtDNA dengan gen yang mengkode: 12 S
rNRA dan 16S Rrna, 22 tRNA, protein (CO: subunit sitokrom c
oksidase; B cyt: sitokrom b; ND: subunit NADH dehidrogenase;
ATPase6 dan ATPase8). OH dan OL menandakan titik awal replikasi
dari rantai H dan L. Pada gambar juga terlihat beberapa macam mutasi
yang berhubungan dengan penyakit. (www.mitomap.org)
11
Kebanyakan gen pada mtDNA ditranskripsi dari untai H, yaitu 2 rRNA,
14 dari 22 tRNA dan 12 polipeptida. mtDNA tidak memiliki intron dan semua gen
pengkode terletak berdampingan, sedangkan protein lainnya yang juga berfungsi
dalam fosforilasi oksidatif seperti enzim-enzim metabolisme, DNA dan RNA
polimerase, protein ribosom dan faktor perbaikan mtDNA semuanya dikode oleh
gen inti, disintesis dalam sitosol dan kemudian diimpor ke organel.
mtDNA berbeda dengan DNA inti, walapun keduanya berada dalam satu
sel. Hal ini disebabkan karena mtDNA memiliki keunikan tersendiri dibandingkan
dengan DNA inti. Beberapa keunikan mtDNA diantaranya adalah pola
pewarisannya bersifat maternal (diturunkan melalui garis keturunan ibu), jumlah
kopinya yang banyak dan laju mutasinya yang sangat tinggi.
mtDNA memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi, ditandai laju mutasinya
yang tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini dikarenakan mtDNA tidak
memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan
terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya
reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen sebagai produk
samping. Selain itu, DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA
polimerase γ yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses
perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini
menyebabkan
mtDNA
tidak
memiliki
sistem
perbaikan
yang
dapat
menghilangkan kesalahan replikasi. Replikasi mtDNA yang tidak akurat ini akan
menyebabkan mutasi mudah terjadi (www.wikipedia.org, 2008).
12
2.3. Displacement Loop (D-loop) mtDNA
D-loop mtDNA berukuran 1122 pb, dimulai dari nukleotida 16024 hingga
576 dan terletak diantara gen tRNApro dan tRNAphe. D-loop memiliki dua
daerah dengan laju polimorfisme yang tinggi sehingga urutannya sangat bervariasi
antar individu, yaitu Hypervariabel I (HVI) yang terletak pada urutan nukleotida
16024-16383 dan Hypervariabel II (HVII) yang terletak pada nukleotida 57-372.
Dua daerah ini memiliki laju mutasi yang lebih tinggi dari daerah pengkode. Oleh
karena sifatnya yang polimorfik, daerah ini sangat beragam antar individu tetapi
sama untuk kerabat yang satu garis keturunan ibu. Laju mutasi sejauh ini
diketahui 1:33 generasi, jadi perubahan urutan nukleotida hanya akan terjadi
setiap 33 generasi. Oleh karena itu, daerah ini sering dianalisis dan sangat penting
untuk digunakan dalam proses identifikasi individu.
D-loop mengandung daerah pengontrol karena mempunyai origin of
replication untuk untai H (OH) dan promotor transkripsi untuk untai H dan L (PL
dan PH). Selain itu, D-loop juga mengandung tiga daerah lestari yang disebut
dengan conserved sequence block (CSB) I, II, III. Daerah yang lestari ini diduga
memiliki peranan penting dalam replikasi mtDNA (www.wikipedia.org , 2008).
D-loop sebagai daerah non-coding dari mtDNA memiliki beberapa urutan
nukleotida penting yakni sebagai promotor dalam replikasi rantai berat. D-loop
juga merupakan hotspot untuk mutasi gen dalam susunan sel normal maupun sel
kanker. Oleh karena itu untuk mempelajari pengaruh genetik pada berbagai jenis
penyakit para ahli biasanya mengidentifikasi mutasi yang terjadi pada daerah Dloop daripada daerah lainnya dari mtDNA (Zhao, 2004).
13
2.4. Keterkaitan Antara Mitokondria dan Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin untuk
mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn dalam Fachreza, 2009).
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan akibat dari lemahnya kemampuan pankreas
dalam mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi insulin,
yang mana menjadi penyebab menurunnya sensitivitas insulin (Jacquie et al.
dalam Fachreza, 2009). Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di
permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin, reseptor insulin akan
memberikan signal pada glukosa transporter untuk memungkinkan lewatnya gula
(glukosa) yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke dalam sel. Di dalam
mitokondria, gula tersebut kemudian akan digunakan untuk menghasilkan energi
atau tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan fungsi setiap sel tubuh (Hartono
dalam Fachreza, 2009).
Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin terlihat pada Gambar 2.3.
Insulin yang diproduksi pada sel beta pankreas akan menempati reseptornya, yang
kemudian akan memberikan sinyal transduksi pada transporter glukosa untuk
dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang terdapat dalam
darah akan masuk ke dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita
diabetes tipe 2 dapat disebabkan oleh kerusakan transduksi sinyal (Rimbawan dan
Siagian dalam Fachreza, 2009). Kerusakan ini dapat dimulai dari insulin abnormal
sampai kerusakan reseptor insulin pada pengangkut glukosa. Hubungan langsung
antara penurunan sensitivitas insulin dan kegemukan telah diketahui dengan baik,
14
dan kegemukan adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe
2. Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, sehinga dapat
menyebabkan terjadinya penurunan sensitivitas insulin.
glukosa
reseptor
Insulin
Aktif
Tidak
Aktif
transduksi sinyal
Proses glikolisis
Gambar 2.3. Mediasi insulin dalam proses uptake glukosa.
(www. Lucablightblue.blogspot.com)
Selain disebabkan oleh faktor lingkungan (eksternal), kerusakan transduksi
sinyal dapat disebabkan oleh terjadinya disfungsi mitokondri (mutasi DNA
mitokondria).
Disfungsi
mitokondria
ini
disebabkan
oleh
penumpukan
mutasi-mutasi yang terjadi di mtDNA yang telah jauh berada diluar ambang batas
toleransi yang terjadi pada daerah D-loop mtDNA.
Seperti diketahui bahwa
D-loop merupakan titik awal untuk proses replikasi dan transkripsi yang terjadi
pada mtDNA. Pada daerah tersebut banyak sekali terdapat protein-protein
penyandi baik yang berasal dari mitokondria maupun inti yang berguna untuk
berlangsungnya kedua proses tersebut. Terjadinya mutasi-mutasi pada daerah
D-loop mtDNA dapat mengubah ikatan DNA pada daerah tersebut, sehingga
dapat mempengaruhi interaksi antara protein-protein pengontrol proses transkripsi
dan replikasi dengan rantai DNA sendiri. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
15
kesalahan
dalam
proses
replikasi
maupun
transkripsi
(Poulton, 2002).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Poulton,et al. (1998) ditemukan
bahwa mutasi yang paling banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2 adalah
mutasi T16189C yang terdapat pada daerah HVI.
Data pada penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa variasi T16189C
dapat mengakibatkan terjadinya modest reduction pada pengkopian mtDNA jika
dibandingkan dengan DNA inti, yang mungkin mempengaruhi proses rantai
respirasi pada sel β.
T16189C
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadinya mutasi
cendrung dapat
memnyebabkan
terjadinya mutasi
lain
yang
berhungunggan dengan penyakit diabetes mellitus (Poulton,1998).
2.5. Polimerase Chain Reaction (PCR)
Polimerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi polimerisasi berantai
merupakan proses pengamplifikasian (pengkopian) fragmen DNA yang dengan
cara in vitro (Gumilar, 2006). Pada prinsipnya teknik PCR terdiri dari tiga tahapan
reaksi yang berbeda, yaitu: denaturasi, annealing (penempelan primer) dan
polimerisasi (perpanjangan rantai). Pada proses tersebut digunakan enzim yang
tahan terhadap suhu tinggi yaitu DNA polimerase salah satunya adalah Taq DNA
polimerase. Enzim tersebut diisolasi dari bakteri yang hidup pada lingkungan
yang panas, oleh sebab itu Taq DNA polimerase dapat tahan pada suhu 95ºC.
Siklus PCR diawali oleh denaturasi untai ganda DNA pada suhu 94ºC.
Tahapan ini berfungsi untuk mengubah DNA untai ganda menjadi untai tunggal.
Selanjutnya adalah tahapan annealing (penempelan primer) pada DNA untrai
16
tunggal yang dilakukan pada suhu sekitar 50ºC, dan tepatnya ditentukan oleh
urutan dan panjangnya primer. Proses ini diperlukan penentuan suhu dengan teliti.
Hal ini disebabkan karena jika suhu annealing terlalu tinggi, maka dapat
mengakibatkan produk DNA yang dihasilkan
ada dalam jumlah yang kecil,
sedangkan jika suhu annealing terlalu rendah, maka dapat menyebabkan
terjadinya penempelan yang tidak spesifik. Setelah terjadi proses penempelan
primer, suhu ditingkatkan hingga mencapai 72ºC. hal ini berfungsi untuk proses
polimerisasi rantai DNA. Pada tahapan polimerisasi diperlukan primer, buffer,
enzim DNA polimerase, dan campuran dNTP untuk proses pemanjangan rantai
(Gumilar, dkk., 2008).
Ketiga proses tersebut akan berulang sesuai dengan siklus yang kita
inginkan. Jumlah siklus yang akan dilakukan dapat ditentukan berdasarkan
banyaknya copy DNA yang diinginkan. Secara kasar, jumlah copy DNA yang
akan diperoleh dalam n siklus adalah 2n.
Beberapa komponen yang harus ada agar proses PCR dapat berlangsung
adalah templat DNA, primer, deoksinukleotida (dNTP), enzim polimerase (Taq),
dan buffer, Mg2+. Templat merupakan DNA target yang kita harapkan yang
umumnya berjumlah sedikit (secara teori cukup satu molekul). Sumber templat
dapat berupa darah, sperma, jaringan, koloni bakteri, phage plaques, dan lain-lain.
Primer yang diperlukan untuk PCR berupa DNA untai tunggal yang umumnya
memiliki panjang antara 18-30 nukleotida dengan jumlah kandungan G dan C
yang relatif sama.
17
Primer
disiapkan
berdasarkan
urutan
nukleotida
target,
dengan
menggunakan mesin DNA synthesizer. Tetapi bila urutan tersebut belum
diketahui, namun telah diketahui urutan asam amino fragmen proteinnya, maka
disusun degenerate primer yang didasarkan pada kodon-kodon dari asam amino
tersebut.
Deoksinukleotida (dNTP) berperan sebagai sumber monomer dalam proses
polimerisasi fragmen yang teramplifikasi. dNTP terdiri atas dATP, dGTP, dCTP,
dan dTTP. Enzim polimerase merupakan katalis yang membantu proses
perpanjangan primer yang menempel pada templat DNA.
2.6. Elektroforesis Gel Agarosa
Elektroforesis merupakan proses pemisahan berdasarkan perbedaan migrasi
molekul pada suatu medan listrik (Dinda, 2008). Kecepatan migrasi molekul yang
bergerak pada medan listrik dipengaruhi oleh muatan, bentuk dan ukuran dari
molekul tersebut. Hal inilah yang dijadikan sebagai dasar penggunaan
elektroforesis untuk pemisahan makromolekul seperti protein dan asam nukleat.
Pada proses pemisahan protein atau asam nukleat yang memiliki ukuran
molekul yang kecil, gel yang biasa dipergunakan adalah gel poliakrilamida.
Sedangkan untuk proses pemisahan asam nukleat yang ukuran molekulnya lebih
besar digunakan gel agarosa yang berasal dari ekstrak rumput laut yang sudah
dimurnikan.
Elektroforesis gel agarosa dapat memisahkan molekul DNA berdasarkan
pada perbedaan ukurannya melalui migrasi DNA pada suatu media yang
18
dipengaruhi oleh medan listrik dengan ukuran dari beberapa ratus hingga 20.000
pasang basa (bp) (Widyasari dan Suhandono, 2007). Laju migrasi molekul DNA
pada proses elektroforesis gel agarosa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah konsentrasi gel agarosa yang digunakan, ukuran molekul, serta
voltase yang diterapkan (Gumilar, dkk., 2008).
Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik akan
bermigrasi melalui matriks gel menuju kutub positif (anoda). Makin besar ukuran
molekulnya, makin rendah laju migrasinya. Berat molekul suatu fragmen DNA
dapat diperkirakan dengan membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi
fragmen-fragmen molekul DNA standar (DNA marker) yang telah diketahui
ukurannya. Deteksi DNA selanjutnya dilakukan di bawah paparan sinar ultraviolet
setelah terlebih dahulu gel dalam pembuatannya ditambahkan larutan etidium
bromida. Cara lain untuk melihat visualisasi DNA adalah gel direndam di dalam
larutan etidium bromida sebelum dipaparkan di atas sinar ultraviolet.
Beberapa komponen dalam elektroforesis gel agarosa antara lain adalah
sampel DNA, agarosa, EtBr, loading buffer, running buffer, marker, dan lampu
UV (Gumilar, dkk., 2008).
2.7. Sekuensing
Sekuensing DNA merupakan suatu proses mengurutkan atau mensekuens
DNA yang terdapat dalam makhluk hidup agar dapat dibaca dengan mudah.
Terdapat dua metode untuk sekuensing DNA, yaitu metode terminasi rantai oleh
19
F. Sanger dan A.R. Coulson dan metode degradasi kimia yang ditemukan oleh A.
Maxam dan W. Gilbert.
Metode degradasi kimia (chemical degradation method) dikembangkan oleh
Maxam dan Gilbert pada tahun 1977, sedangkan metode terminasi rantai
ditemukan oleh F. Sanger dan A.R. Coulson pada tahun 1980. Kedua metode
tersebut awalnya sama-sama populer, tetapi dalam perkembangan berikutnya
metode terminasi rantai lebih disukai. Alasan utama adalah metode ini lebih
mudah di automasi. Metode degradasi kimia juga memiliki kelemahan lain karena
menggunakan bahan kimia yang beracun dan berbahaya bagi kesehatan peneliti
yang menggunakan metode tersebut.
Prinsip dasar dari metode dideoksi Sanger adalah terjadinya terminasi rantai
nukleotida sebagai akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP) (Gumilar, dkk;
2007). Sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi atau terminasi rantai
dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi dNTP
sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. Namun, pada masing-masing
reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP sehingga kadang-kadang polimerisasi
akan terhenti di tempat-tempat tertentu sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan.
Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA yang ukurannya
bervariasi tetapi ujung 3’nya selalu berakhir dengan basa yang sama.
Enzim polimerase tidak bisa membedakan antara dNTP dan ddNTP.
Penggabungan ddNTP ke dalam untai nukleotida yang baru disintesis akan
menghentikan sintesis DNA, karena ddNTP tidak memiliki ujung 3′ hidroksil
yang diperlukan untuk mensintesis nukleotida berikutnya. Untuk memulai
20
percobaan sekuensing terminasi rantai, suatu primer oligonukleotida ditempelkan
ke DNA templat. Primer diperlukan karena DNA polimerase tidak dapat memulai
sintesis DNA pada suatu molekul yang seluruhnya untai tunggal. Harus ada
daerah untai ganda pendek untuk memberikan ujung 3′ dimana enzim dapat
menambahkan nukleotida yang baru. Primer juga memiliki peranan penting untuk
menentukan daerah mana pada molekul templat yang akan disekuensing.
Kebanyakan percobaan sekuensing digunakan suatu primer yang universal.
Primer ini komplemen dengan bagian dari DNA vektor yang langsung
bersambungan dengan DNA yang baru. Primer universal yang sama memberikan
sekuens dari setiap bagian DNA yang telah diligasikan ke vektor. Jika DNA yang
disisipkan ke vektor lebih panjang dari 750 pasang basa maka hanya sebagian dari
sekuen yang akan diperoleh.
Download