Stigma Keluarga terhadap Penderita Skizofrenia

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Stigma Keluarga terhadap Penderita Skizofrenia
Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya dengan
Pendekatan Sunrise Model
*Risna,
Mudatsir, Hajjul Kamil, Syarifah Rauzatul Jannah, Teuku Tahlil
Magister Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda
Aceh 23111, Indonesia
*Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Penelitin ini bertujuan untuk menganalisis stigma keluarga terhadap penderita
skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model
konseptual Madeleine Leininger. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Informan dalam penelitian ini adalah keluarga dengan
penderita skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Simpang Tiga Kabupaten Pidie
Provinsi Aceh, teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
yaitu 6 informan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan tehnik
observasi dan wawancara mendalam yaitu mengeksplorasi persepsi keluarga
mengenai stigma terhadap penderita skizofrenia dengan pendekatan aspek
budaya Madeleine Leininger. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan dua
pendekatan. Pertama, pendekatan statistik deskriptif digunakan untuk
menggambarkan karakteristik informan. Kedua, analisis tematik digunakan
menganalisa data terkait persepsi keluarga terhadap penderita skizofrenia. Hasil
penelitian, informan memiliki stigma terhadap penderita skizofrenia. Proses
stigma terjadi mulai labeling, stereotip dan separation, kehilangan status (loss
Status) dan diskriminasi tidak terjadi karena dukungan dan sikap keluarga yang
positif. Aspek budaya yang dipertahankan yaitu pemahaman agama dapat
digunakan sebagai mekanisme yang memperkuat dalam merawat penderita
skizofrenia. Negosiasi budaya yaitu intervensi keperawatan untuk membantu
keluarga dalam hal pengobatan yang sesuai terhadap penderita skizofrenia.
Restrukturisasi budaya dilakukan pada perilaku keluarga yang tidak menerima
kondisi penderita dengan perilaku yang tidak wajar dan menelantarkan penderita
karena menganggap tidak produktif dan menambah masalah keluarga.
Diharapkan keluarga dapat memberikan dukungan secara positif pada penderita
skizofrenia agar terjadi pemulihan dan menghindari kekambuhan serta
meningkatkan kemandirian penderita dalam kehidupan sehari-hari.
Kata kunci: Stigma, Keluarga, Skizofrenia, Sosial Budaya, Sunrise Model
Pendahuluan
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat
terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi
Rumah Tangga (RT) yang pernah memasung Anggota Rumah Tangga (ART) dengan
gangguan jiwa berat 14,3% dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan
(18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah
(19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0%. Provinsi
dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas, 2013).
B121
Menurut Lestari dan Wardhani (2014), gangguan jiwa masih menjadi masalah serius
kesehatan mental di Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku
kebijakan kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama
kebijakan kesehatan nasional, namun dari angka yang didapatkan dari beberapa riset
nasional menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia masih banyak dan
cenderung mengalami peningkatan.
Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan jiwa yang ada di Provinsi Aceh. Di antaranya
faktor biologi, seperti bawaan lahir. Kemudian ada juga faktor konflik dan bencana tsunami
beberapa tahun silam. Hal ini juga dipengaruhi tidak adanya rumah rehabilitasi bagi
penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh. Padahal, rumah rehabilitasi ini semacam
tempat transisi bagi mereka sebelum berbaur dengan masyarakat setelah mereka
dinyatakan sembuh. Karena tidak adanya tempat rehabilitasi tersebut, tidak sedikit
penderita gangguan jiwa kambuh karena mereka langsung dikembalikan ke masyarakat.
Menjadi permasalahan yang serius ketika pihak keluarga tidak mau menerimanya, sehingga
jiwanya kembali terganggu (Riskesdas, 2013)
Menurut Riskesdas (2013) bahwa prevalensi gangguan jiwa berat atau skizofrenia di
Provinsi Aceh menurut kabupaten/kota (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20),
Kabupaten Pidie menjadi urutan ke-5 tertinggi yaitu sebanyak 3,4%. Hal ini menunjukkan
bahwa Kabupaten Pidie harus mendapat perhatian lanjut dalam mengidentifikasi serta
penanganan penderita gangguan jiwa. Kabupaten Pidie merupakan salah satu Kabupaten
yang ada di Propinsi Aceh dengan jarak ke ibu Kota Propinsi yaitu 112 Km. Berdasarkan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Pidie
adalah 234.698 jiwa. Laporan kesehatan Jiwa di Kabupaten Pidie yaitu berdasarkan laporan
terdata dari 26 Puskesmas dalam tahun 2016 jumlah penderita skizofrenia dan gangguan
psikotik kronik lain 877 orang, gangguan psikotik akut sebanyak 194 orang (Laporan Dinas
Kesehatan Kabupaten Pidie, 2016).
Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Simpang Tiga merupakan urutan ke-2 jumlah
penderita terbanyak di Kabupaten Pidie, dengan jumlah penderita gangguan jiwa berat
sebanyak 160 kasus yaitu dengan kategori perawatan minimal care 65 Kasus, partial care
25 kasus, total care 30 kasus dan sisa lainnya mendapat pelayanan rehabilitasi oleh
puskesmas. Dari keseluruhan kasus tersebut, menurut laporan ketua program kesehatan
jiwa puskesmas setempat bahwa terdapat 3 (tiga) keluarga penderita yang mendiskriminasi
penderita gangguan jiwa, 15 keluarga melakukan perawatan yang baik terhadap penderita
dan terdapat 1 (satu) keluarga yang kurang memperdulikan penderita (Laporan Puskesmas
Simpang Tiga, 2016).
Berbagai upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Pidie, namun permasalahan stigma terhadap penderita dengan gangguan jiwa tampaknya
masih merupakan isu penting yang menjadi sorotan. Stigma keluarga dan masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa seringkali menjadi hambatan dalam upaya menurunkan
prevalensi penderita gangguan jiwa di Kabupaten Pidie. (Laporan Dinas Kesehatan
Kabupaten Pidie, 2016)
Hal penting juga disampaikan oleh Ahmedani (2011) untuk mengenali bahwa sebagian
konseptualisasi stigma tidak fokus khusus pada kesehatan mental atau gangguan
penggunaan narkoba (Crocker et al., 1998 dan Goffman, 1963) menyebutkan bahwa stigma
relevan dalam konteks lain seperti terhadap individu dari berbagai latar belakang budaya
termasuk ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Dengan demikian, penting untuk
memberikan definisi dari gangguan mental, yang juga termasuk gangguan penggunaan
narkoba, sehingga dapat dipahami dalam kaitannya dengan stigma. Budaya sangat
berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap individu dengan kesehatan
mental. Disimpulkan bahwa pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada
individu dengan kesehatan mental (Ahmedani, 2011).
B122
Pengaruh budaya sangat diperhatikan terutama dalam melaksanakan proses keperawatan.
Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural Nursing
Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks
keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman
tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger
beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilainilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh
perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock (Tomey & Alligood, 2006).
Menurut Leininger culture and social structure dimension atau culture care merupakan
pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup agama dan
falsafah hidup, sosial dan keterikatan keluarga, politik dan legal, ekonomi, pendidikan,
teknologi dan nilai-nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk
mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda (Tomey & Alligood, 2006).
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu
beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Kebutaan budaya yang
dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan
yang diberikan (Tomey & Alligood, 2006).
Persepsi keluarga dengan penderita gangguan jiwa yang sudah kembali kerumahnya dari
rumah sakit masih menganggap kalau penderita adalah orang dengan gangguan jiwa, hal
ini akan berakibat buruk bagi penderita sehingga mengindikasikannya kambuh dan harus di
rawat kembali. Dampak negatif pada kesejahteraan psikologis yang mempengaruhi
keseimbangan dan kepuasan hidup (Daniel et al., 2015).
Berdasarkan penelitian Safliati (2011) mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa tidak
mungkin mampu mengatasi masalah kejiwaannya sendiri. Individu tersebut membutuhkan
peran orang lain disekitarnya, khususnya keluarganya. Keluarga merupakan tempat dimana
individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Sikap keluarga sangat
penting karena berpengaruh terhadap kekambuhan pada pasien gangguan jiwa.
Berdasarkan berbagai informasi di atas perlu kira dilakukan kajian mendalam mengenai
stigma keluarga terhadap penderita skizofrenia. Oleh karena itu penelitin ini bertujuan
untuk menganalisis stigma keluarga terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial
budaya dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger.
Bahan dan Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi -deskriptif. Penelitian
ini bertujuan: gambaran yang mendalam mengenai stigma keluarga terhadap penderita
skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model konseptual
Madeleine Leininger
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keluarga dengan penderita skizofrenia.
Jumlah sampel dalam penelitian adalah 6 orang informan dengan menggunakan teknik
purposive sampling dengan berdasarkan pertimbangan atau kriteria sebagai berikut:
Mampu menceritakan pengalamannya dengan baik dan bersedia menjadi partisipan, telah
bersama penderita minimal setahun, berusia 18 tahun ke atas, tidak sedang mengalami
gangguan kejiwaan atau disorientasi dan tidak mengalami penyakit fisik.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi dan
wawancara mendalam terhadap keluarga penderita gangguan jiwa serta percakapan secara
informan. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan di rumah penderita gangguan
jiwa. Proses wawancara peneliti hentikan apabila informasi yang dibutuhkan sudah
memadai.
B123
Instrumen yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah peneliti. Dalam proses
wawancara penulis menggunakan pedoman wawancara. Serta dibutuhkan alat bantu yaitu
alat tulis dan alat perekam. Hasil rekaman dari alat perekam dituliskan dalam bentuk
transkrip wawancara.
Analisa data dalam penelitian ini dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan statistik
deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik informan. Kedua, analisis tematik
digunakan menganalisa data terkait persepsi keluarga terhadap penderita gangguan jiwa
(skizofrenia) ditinjau dari aspek sosial budaya.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian mengenai karakteristik partisipan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Keluarga Dengan Penderita Skizofrenia (n= 6)
No
1
2
3
4
5
6
7
Katagori
Usia
a. Remaja Akhir: 17 – 25
b. Dewasa Awal: 26 – 35
c. Dewasa Akhir: 36 – 45
d. Lansia Akhir: 56 – 65
Pendidikan
a. Tinggi
: S1
b. Menengah : SMA
c. Rendah
: SD
Status Perkawinan
a. Menikah
b. Belum Menikah
Pekerjaan
a.
Pedagang
b. Guru Ngaji
c. Tani
d. Tidak Bekerja
Penghasilan keluarga
a. >1. 950.000
b. < 1.950.000
Lama Merawat Penderita
> 5 tahun
Hubungan dengan Penderita
a. Suami/Istri
b. Saudara Kandung
c. Keponakan
f
%
1
3
1
1
16.66
50
16.66
16.66
1
3
2
33
50
17
4
2
67
33
3
1
1
1
50
17
17
17
0
6
0
100
6
100
1
2
3
17
33
50
Budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap individu
dengan kesehatan mental. Disimpulkan bahwa pemahaman budaya terkait stigma sangat
berdampak pada individu dengan kesehatan mental. Pendidikan dan status bekonomi
keluarga sangat mendukung keberhasilan pengobatan penderita.
Pengaruh budaya sangat diperhatikan terutama dalam melaksanakan proses keperawatan.
Culture and social structure dimension atau culture care merupakan pengaruh dari faktorfaktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup agama dan falsafah hidup, sosial dan
keterikatan keluarga, politik dan legal, ekonomi, pendidikan, teknologi dan nilai-nilai budaya
yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku dalam konteks
lingkungan yang berbeda.
B124
Penelitian yang dilakukan terhadap informan sesuai dengan latar belakang budayanya.
Proses pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada Leininger’s Sunrise
models dalam teori keperawatan transcultural nursing Leininger yaitu (Tomey & Alligood,
2006) :
1. Faktor teknologi (technological factors)
Yaitu berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan keluarga, bagaimana persepsi
keluarga tentang penggunaaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan pada anggota keluarga dengan skizofrenia.
2. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (religious and Philosophical factors)
Faktor agama yang peneliti kaji tentang agama yang dianut, kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan, berikhtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus
asa, mempunyai konsep diri yang utuh, status pernikahan, persepsi dan cara pandang
keluarga terhadap kesehatan atau penyebab penyakit yang dialami penderita skizofrenia.
3. Faktor sosial dan keterikatan kekeluargaan (Kinship & Social factors)
Yaitu pada faktor sosial dan kekeluargaan yang peneliti kaji tentang nama lengkap dan
nama panggilan di dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin,
status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam anggota keluarga, hubungan pasien
dengan kepala keluarga, kebiasaan yang dilakukan rutin oleh keluarga misalnya arisan
keluarga, kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat.
4. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (Cultural values & Lifeways)
Yaitu hal-hal yang peneliti dapatkan berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan gaya hidup
yaitu kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, makan pantangan berkaitan
dengan kondisi sakit, dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari keluarga
dan penderita skizofrenia.
5. Faktor kebijakan dan peraturan Rumah Sakit (Political and Legal factors)
Peneliti mengkaji tentang kebijakan dan peraturan terkait pengobatan yang berlaku
terhadap penderita skizofrenia. Keragaman cara pengobatan yang dilakukan keluarga
terhadap penderita sangat berdampak terhadap kesembuhan. Keluarga lebih
mendahulukan pengobatan tradisional daripada mencari pelayanan kesehatan.
6. Faktor ekonomi (Economical factors)
Faktor ekonomi yang peneliti dapatkan antara lain pekerjaan informan dan penderita dan
sumber biaya pengobatan untuk penderita skizofrenia. Status ekonomi keluarga menjadi
factor dalam meningkatkan kondisi serta mempertahankan kesejahteraan keluarga.
7. Faktor pendidikan (Educational factors)
Peneliti mengkaji latar belakang pendidikan pasien meliputi tingkat pendidikan pasien
dan keluarga, serta jenis pendidikannnya.
Hal penting juga disampaikan oleh Ahmedani (2011) untuk mengenali bahwa sebagian
konseptualisasi stigma tidak fokus khusus pada kesehatan mental atau gangguan
penggunaan narkoba (Crocker et al., 1998; Goffman, 1963) menyebutkan bahwa stigma
relevan dalam konteks lain seperti terhadap individu dari berbagai latar belakang budaya
termasuk ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Dengan demikian, penting untuk
memberikan definisi dari gangguan mental, yang juga termasuk gangguan penggunaan
narkoba, sehingga dapat dipahami dalam kaitannya dengan stigma. Budaya sangat
berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap individu dengan kesehatan
mental. Disimpulkan bahwa pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada
individu dengan kesehatan mental (Ahmedani, 2011).
Stigma juga sebagai suatu kelompok perilaku atau keyakinan negatif yang memotivasi
masyarakat untuk merasa takut, menolak, menghindar, dan mendiskriminasi ODGJ.
Sedangkan bagi klien gangguan jiwa, stigma merupakan penghalang yang memisahkan
mereka dengan masyarakat dan menjauhkan mereka dari orang lain (Stuart, 2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan informan memiliki dispersepsi negatif terhadap penderita
skizofrenia namun tidak ada perlakuan negatif kepada penderita baik itu dengan keluhan
halusinasi, resiko perilaku kekerasan atau dengan menarik diri. Proses stigma terjadi mulai
B125
labeling, stereotip, separation saja, tidak sampai kehilangan status (loss status) dan
diskriminasi.
Proses stigma yang terjadi pada keluarga terhadap penderita skizofrenia tidak mengalami
kehilangan status (loss status) dan diskriminasi karena dukungan dan sikap keluarga yang
kaitannya pada pengkajian pemahaman agama dan falsafah hidup serta faktor sosial dan
keterikatan keluarga menjadi pengaruh kepada keluarga bahkan masyarakat untuk tidak
melakukan perlakuan yang tidak adil akibat stigmanya. Penderita tidak mengalami
penurunan atau kehilangan status dimana keadaan tersebut dapat merugikan kehidupan
sosial penderita. Penderita juga tidak memiliki batasan-batasan akses dalam kehidupan,
mereka masih memiliki kesempatan yang sama dengan anggota keluarga dan masyarakat
lainnya. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penderita tidak membuat keluarga
menyingkirkan (mendiskriminasi) penderita dari hubungan sosial dan masyarakat.
Pengalaman pribadi dalam merawat penderita, pengaruh orang lain yang dianggap penting,
pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta
emosional merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu
objek. Apabila individu mempunyai sikap yang positif terhadap stimulus maka ia akan
mempunyai sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui,
menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu tersebut
berada (Notoatmodjo, 2003).
Chang et al. (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka sikap yang ditunjukkannya kepada pasien gangguan jiwa pun
semakin positif. Meski tingkat informan rata-rata menengah, namun informan mengetahui
tentang kondisi penyakit yang diderita pasien adalah gangguan jiwa sehingga informan
memberikan sikap yang positif terhadap pasien. Menurut Valerie et al. (2011) mendukung
bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang mengenai gangguan jiwa maka level toleransi
orang tersebut terhadap pasien gangguan jiwa pun semakin tinggi.
Sebagian
keluarga penderita masih
menggunakan
cara-cara non
medis untuk
menangani penderita skizofrenia. Salah satunya dengan membawa penderita ke
pengobatan alternatif yaitu dukun. Anggapan lain yang masih ada dan dipertahankan
oleh masyarakat adalah memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia adalah aib,
sehingga harus disembunyikan. Keluarga lebih memilih untuk merahasiakan keberadaan
penderita skizofrenia dari pada membawanya kerumah sakit untuk diberikan terapi
penyembuhan.
Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa mereka
mengalami penyakit yang berhubungan dengan supranatural yaitu mereka akan segera
diberi pengobatan dengan memanggil dukun yang dapat mengusir roh jahat dari tubuh si
penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa memakan waktu sebentar ataupun lama.
Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada penderita
tersebut akan semakin parah tanpa pertolongan segera psikiater ataupun psikiatri.
Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib yaitu
dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari masyarakat. Mereka
tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut ke profesional tetapi
cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain ataupun
masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang terlambat dapat memperparah
keadaan gangguan jiwanya.
3
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak
langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita gangguan jiwa
enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga
mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang mengakibatkan penderita
B126
gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak
terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan.
Tidak ada penyembuhan bagi penderita skizofrenia. Penanganan bagi penderita skizofrenia
ditujukan untuk mengendalikan pola-pola perilaku yang ganjil seperti halusinasi dan
waham, dan mengurangi resiko kekambuhan yang berulang-ulang (Nevid et al., 2005).
Skizofrenia dapat ditangani simptom-simptomnya secara cukup efektif, namun
penyembuhan masih jauh dari mungkin. Penelitian yang sudah dilakukan menunjukan
bahwa perawatan yang sudah dilakukan di rumah sakit jiwa tidak banyak berguna untuk
menghasilkan efek perubahan yang berarti dan bertahan lama. Bukti menunjukan tingkat
perawatan kembali di rumah sakit jiwa atau hospitalisasi berkisar 40% - 50% setelah satu
tahun dan lebih dari 75% setelah dua tahun (Davison et al., 2010).
Kekambuhan yang terjadi pada penderita skizofrenia diakibatkan oleh salah satunya
hubungan keluarga yang kurang harmonis dan tidak adanya dukungan sosial (Amelia &
Anwar, 2013). Kurangnya kasih sayang dari orang terdekat, misal keluarga dan
masyarakat juga dapat menjadi penyebab kekambuhan pada penderita skizofrenia
semakin tinggi. Hal ini juga diungkapkan oleh Maslow yang mengatakan bahwa jika individu
gagal memenuhi salah satu kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan untuk dimiliki dan
dicintai maka individu tersebut tidak dapat naik ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi,
yakni kebutuhan akan harga diri yang didalamnya ada kepercayaan diri (Ariananda,
2015).
Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah. Namun kita
7
perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut
dengan harapan di masa yang akan
datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut memerlukan
pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat dan memerlukan
keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.
Tidak semua keluarga dari penderita skizofrenia memberikan perlakuan yang kurang baik
pada penderita skziofrenia. Terdapat beberapa keluarga yang memilih untuk
memperhatikan keadaan penderita skizofrenia dengan mengusahakan
pengobatan dan
membawanya ke rumah sakit jiwa. Selain mengusahakan pengobatan di rumah sakit
jiwa, pihak keluarga juga mengusahakan dirinya untuk memiliki kemampuan melakukan
aktivitas agar penderita menjadi mandiri.
Terdapat penderita skizofrenia yang dapat membangun kembali kehidupanya dengan
normal. Hal ini mampu dicapai oleh penderita skizofrenia yang mendapatkan perlakuan
positif, misalnya orang tua yang rutin mengantar ke rumah sakit jiwa. Bentuk dukungan
dari keluarga tersebut membuat penderita skizofrenia mampu membangun kepercayaan
dirinya untuk sembuh, bahkan mampu mandiri melakukan aktivitas sehari-hari.
Kesimpulan
Informan memiliki stigma terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya
dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger. Proses stigma terjadi mulai
4
labeling, stereotip, separation saja, tidak sampai
kehilangan status (loss status) dan
diskriminasi.
Budaya yang dipertahankan yaitu Pemahaman agama dapat digunakan sebagai mekanisme
yang memperkuat dalam merawat penderita skizofrenia. Membantu keluarga untuk
menghilangkan persepsi negatif yang mengatakan bahwa dalam pendekatan agama sangat
melarang menelantarkan, menyakiti dan menolak anggota keluarga yang mengalami
masalah kesehatan, seperti skizofrenia.
Negosiasi budaya yaitu intervensi keperawatan untuk membantu keluarga dalam hal
pengobatan yang sesuai terhadap penderita skizofrenia. Bukan perawatan hanya memenuhi
B127
kebutuhan dasar seperti makan dan tidur, tidak melakukan pengobatan lanjutan, tidak
mengontrol obat bahkan tidak memberi dukungan kepada penderita dengan alasan
penderita tidak mengganggu masyarakat.
Restrukturisasi budaya dilakukan pada perilaku keluarga yang melihat kondisi penderita bila
muncul gejala kekerasan akan melakukan pemasungan, merantai, mengucilkan bila tidak
menerima kondisi penderita dengan perilaku yang tidak wajar dan bahkan menelantarkan
penderita karena menganggap tidak produktif dan menambah masalah keluarga karena
kekambuhan. Membawa penderita ke pengobatan tradisional seperti ke dukun yang
seharusnya melakukan pengobatan terhadap penderita skizofrenia kepelayanan kesehatan
jiwa.
Daftar Pustaka
Ahmedani, B. K. (2011). Mental Health Stigma: Society, Individuals, and the Profession.
National Institutes of Health. J Soc Work Values Ethics. 8(2): 4-1-4-16
Amelia, D. & Anwar, Z. (2013). Relaps Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan. No. 01 Vol. 01. Hal 52-64
Ariananda, R. E. (2015) Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia. Skripsi.
Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Uiversitas Negeri Semarang
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2013).
Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2013). Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Claire, L., O’Reilly, J., Simon, B., Patrick, J., Kelly, Timothy, F. & Chen. (2015). Exploring
the relationship between mental health stigma, knowledge and provision of pharmacy
services for consumers with schizophrenia. Journal Social and Administration
Pharmacy, Autralia. University of Sydney
Daniel, P. G., Fernando, M. & Arjan, E. R. B. (2015). Internalized mental illness stigma and
subjective well-being: The mediathing role of psychological well-being. Journal
Psychiatry. Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved
Dinas kesehatan Kabupaten Pidie. (2016). Laporan Tahunan Kesehatan Jiwa, Bagian
penanganan program kesehatan jiwa
Kapungwe, A., S Cooper., J Mwanza., L Mwape., A Sikwese., R Kakuma., C Lund., AJ
Flisher. & MhaPP Research Programme Consortium. (2010). Mental illness – stigma
and discrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, Vol. 13 192-203
Lestari, W. & Wardhani, Y. F. (2014). Stigma Dan Penanganan Penderita Gangguan Jiwa
Berat Yang DiPasung. Naskah publikasi. Surabaya. Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Li, Y. S., Chang, L. Y., Chaiw, Y. S., Chih, Y., Lin, Ming, J. & Yang. (2005). Community
Attitude Toward The Mentally Ill : The Result of A National Survey Of The Thaiwanese
Population. International Journal of Social Psychiatry, vol 51 (2) 174-188
Paul, H.L., Louanne, W. D., Debbie, M. W., Amy, S. & Nicole, B., (2006). Stigma, Social
Function and Symptoms in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder : Associations
across 6 months. Elsevier Psychiatry Research, 149 89-95
Stuart, G. W., (2009). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart, Edisi
Indonesia pertama; Budi Anna Keliat dan jesika Pasaribu. Singapore . Elsevier
Tomey, M.A., & Alligood, M. R. (2006). Nursing Treorists and Their Work , St. Louis
Missouri, Mosby Elsevier.
Valerie, S., Jairus, R., Kenneth, F., Edward, T., Asbury & Jennifer, B. (2011). Public
Perception, Knowledge and Stigma towards People with Schizophrenia. Journal of
Public Mental Health, Vol.10 Iss: 1 pp.45-56
B128
Download