dr Rudy H_hal70-75

advertisement
J Kedokter Trisakti
Mei-Agustus 2003, Vol.22 No.2
Landasan moral pengobatan paksa
pada penderita skizofrenia
Rudy Hartanto
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Coercive admission and treatment are common for mental disorders especially schizophrenia. They are
usually considered as incompetent for signing the informed consent. At least there are three problems that
should be considered : 1) Is the schizophrenic patient an autonomous moral agent? 2) Can coercive treatment
for schizophrenic patient be considered as paternalistic action by the doctor? 3) What kind of coercive paternalistic
intervention can be accepted as morally justified? A patient suffering from mental disorder does not necessarilly
become incompetent. It depends on the type and severity of the disorder. The involuntary and unintentional
conduct of the schizophrenic patient generally is considered as incompetence, but it fluctuates periodically. It is
important to analyze and evaluate the competence of the patient before judging as incompetence. Moral basis
for intervention of schizophrenic patients is based on harm and paternalism principles.
Key words: Paternalism, autonomy, coercive, moral justification, intervention, schizophrenic
ABSTRAK
Perawatan dan pengobatan paksa bukanlah hal yang baru bagi penderita-penderita gangguan jiwa, khususnya
skizofrenia. Pada umumnya mereka dianggap tidak kompeten untuk menandatangani surat persetujuan tindak
medik. Paling sedikit ada tiga hal yang perlu diingat: 1) Apakah penderita skizofrenia sebagai pelaku moral
yang otonom? 2) Apakah pengobatan paksa terhadap penderita skizofrenia dapat dipandang sebagai tindakan
paternalistik dari dokter? 3) Intervensi koersif paternalistik yang bagaimana yang secara moral dapat dibenarkan?
Para penderita gangguan jiwa, tidaklah selalu tidak memiliki kompetensi, tergantung dari jenis dan beratnya
gangguan. Tindakan penderita skizofrenia yang involunter dan tidak bertujuan, pada umumnya dianggap sebagai
bukti adanya inkompetensi, tetapi inkompetensi tersebut berfluktuasi dari waktu ke waktu. Analisis dan evaluasi
kompetensi penting dilakukan, sebelum penderita skizofrenia dinyatakan sebagai tidak kompeten. Landasan
moral pada intervensi penderita skizofrenia harus berdasarkan prinsip kerugian dan paternalisme.
Kata kunci : Paternalistik, otonomi, landasan moral, pengobatan paksa, skizofrenia
PENDAHULUAN
Problem kesehatan mental pada awalnya
kurang mendapat perhatian oleh karena tidak
langsung terkait sebagai penyebab kematian.
Perhatian terhadap problem kesehatan mental
meningkat setelah World Health Organization
(WHO) pada tahun 1993(1) melakukan penelitian
tentang beban yang ditimbulkan akibat penyakit
dengan mengukur banyaknya tahun suatu penyakit
dapat menimbulkan ketidakmampuan penyesuaian
diri hidup penderita (disability adjusted life years/
DALYs). Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa
70
ternyata gangguan mental mengakibatkan beban
cukup besar yaitu 8,1% dari global burden of
disease (GBD) melebihi beban yang diakibatkan
oleh penyakit tuberkulosis dan kanker. Dari 8,1%
GBD yang ditimbulkan oleh gangguan
neuropsikiatris, gangguan depresi memberikan
beban terbesar yaitu 17,3%, sedangkan gangguan
psikosis memberikan beban 6,8%.
Jumlah penderita skizofrenia di dunia pada
tahun 1985 terdapat sekitar 23 juta orang, dan pada
tahun 2000 jumlahnya sudah meningkat sebanyak
J Kedokter Trisakti
45%, dan tigaperempat dari jumlah itu, berada di
negara-negara sedang berkembang. (1)
PERTIMBANGAN ETIK
Kondisi etik pada pengobatan penderita
psikiatris berasal dari prinsip moral yang sesuai
dengan pengobatan penyakit yang bukan
psikiatris.(2) Konflik antara menghormati otonomi
penderita dengan bertindak paternalistik dalam
penanganan penderita, menjadi akar permasalahan
seluruh kajian bioetika.(3) Untuk penderita-penderita
yang bukan penderita psikiatris, permasalahan
tersebut secara teoritis dapat diatasi dengan
pendekatan informed consent, dengan asumsi
bahwa keduanya memiliki kesadaran dan kebebasan
untuk menentukan pilihannya. Pada kenyataannya,
pendekatan informed consent berbeda dengan apa
yang secara teoritis diharapkan. Bahwa surat
pernyataan persetujuan tindak medis sudah
ditandatangani oleh penderita atau walinya, itu
memang benar, namun masih perlu dipertanyakan
apakah penderita atau walinya telah memperoleh
informasi medis yang memadai dan dapat dipahami.
Hal ini masih perlu pembuktian mengingat kondisi
penderita yang berada dalam keadaan yang serba
tidak bebas. Persoalan lain adalah apakah wali
benar-benar mengerti apa yang sebenarnya
diinginkan penderita yang diwakilinya, dan apakah
ia tidak berada dalam konflik kepentingan. Akhirnya
informed consent sering terjebak ke dalam masalah
legal-formal belaka. Semula tujuan utamanya
adalah demi kepentingan penderita, namun berbalik
menjadi demi kepentingan si dokternya sendiri.
Tidak jarang informed consent dijadikan alat
pelindung bagi dokter agar terbebas dari tuntutan
hukum atas kesalahan diagnosis, terapi, atau
intervensi medis yang telah dilakukannya. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kajian yang cermat
sebelum menilai apakah informed consent tidak
cacat hukum.
Untuk penderita-penderita psikiatris,
khususnya yang skizofrenia, penyelesaian konflik
antara menghormati otonomi penderita dengan
bertindak paternalistik menjadi lebih kompleks oleh
karena adanya perbedaan mendasar antara menjadi
penderita medis dan menjadi penderita psikiatris,
serta perbedaan pengertian sakit dalam bidang fisik
Vol.22 No.2
dan mental.(4,5) Jika penderita-penderita medis nonpsikiatris secara volunter ingin mendapatkan
pertolongan medis karena menyadari bahwa dirinya
sakit dan perlu bantuan dokter, maka penderitapenderita skizofrenia justru sebaliknya. Mereka
tidak merasa sakit, apa lagi membutuhkan bantuan
dokter. Adalah dokter atau orang lain yang
menyatakan bahwa ia sakit, dan hal ini diakibatkan
oleh perilakunya yang tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh orang lain. Dari aspek etika
biomedis, praktek psikiatri di Indonesia perlu
memperhatikan prosedur informed consent yang
benar agar tidak cacat hukum. Profesi medis,
khususnya psikiater perlu meningkatkan
pemahaman eksistensial terhadap penderitapenderita gangguan jiwa, serta berdialog dengan
pakar bioetika dan hukum kedokteran.(6)
Inkompetensi penderita skizofrenia
Kesadaran akan harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk otonom yang harus dihormati
haknya untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi
dirinya, menuntut perlakuan lebih manusia terhadap
penderita-penderita yang psikotik. Dokter yang
merawat perlu memperhatikan adanya perbedaan
antara penderita psikiatri dengan yang non-psikiatri,
mengingat kondisi inkompeten yang berbeda pada
keduanya.
Penderita skizofrenia sudah tentu tidak dapat
dituntut untuk bertanggung-jawab atas tindakan
yang dilakukan, karena dilakukan secara involunter.
Dengan lain perkataan, penderita skizofrenia tidak
kompeten untuk bisa memahami tindakan yang
dilakukan. Namun kiranya perlu diperhatikan,
bahwa inkompetensi pada penderita skizofrenia
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan penderita
bukan gangguan jiwa. Penolakan terhadap
pengobatan yang diberikan merupakan bagian dari
penyakitnya dan penderita masih bisa memberikan
opini terhadap pengobatan yang diterimanya,
terlepas apakah opininya itu rasional atau tidak.
Ciri-ciri tersebut, dapat menimbulkan dilema etis
dalam hubungan dokter-penderita, oleh karena itu
diperlukan penilaian kompetensi yang lebih akurat.
Syarat kompetensi dapat diringkas menjadi
kemampuan menilai realita dengan baik.
Kemampuan menilai realita menggambarkan
seluruh proses kejiwaan yang terlibat dan tidak
71
Hartanto
tergantung pada data atau informasi yang diterima,
serta tidak tergantung pula pada perkembangan
intelektual seseorang. Dalam psikiatri, kemampuan
menilai realita digunakan untuk menilai apakah
seseorang itu menderita gangguan jiwa yang
psikotik, dan dinyatakan inkompeten untuk
menentukan pilihan yang rasional dan bermanfaat
bagi dirinya.
Penderita skizofrenia yang inkompeten, tidak
akan bisa menentukan pilihannya untuk menerima
atau menolak rencana terapi bagi dirinya. Oleh
karena itu diperlukan seorang wali yang bisa
mewakili kepentingan penderita. Apabila ternyata
wali penderita juga menolak rencana terapi, maka
akan terjadi masalah. Bila dokter yang mengobati
menerima penolakan wali, padahal menurut dokter
penderita sungguh-sungguh memerlukan terapi
tersebut, maka penderita akan terlantar
pengobatannya. Bila dokter tidak menerima
penolakan dari wali penderita, sikap dokter tersebut
sering diinterpretasikan masyarakat sebagai sikap
yang arogan dan dipertanyakan apakah dokter yang
paling tahu tentang apa yang terbaik bagi penderita
tersebut.
Pada awalnya, penderita skizofrenia secara
otomatis dinilai sebagai tidak kompeten. Baru pada
tahun 1970-an, tuntutan untuk menghormati
otonomi penderita gangguan jiwa mulai terdengar
semakin keras. Pandangan bahwa penderita
skizofrenia itu selalu dalam kondisi inkompeten
makin diragukan kebenarannya.
Tindakan pengobatan paksa penderita
skizofrenia
Besarnya beban yang harus dipikul
masyarakat, menggerakkan upaya-upaya
pencegahan dan penanganan gangguan mental,
khususnya skizofrenia. Walaupun upaya
pencegahan belum memuaskan, namun riset terakhir
menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia pada
dasarnya adalah gangguan biososial. Kualitas
lingkungan dan interaksi sosial penderita, sangat
erat berhubungan dengan risiko deteriorasi dan
kronisitas dari gangguan tersebut. Oleh karena itu,
dalam penanganan skizofrenia, di samping
pendekatan medis psikiatris, diperlukan pula
pendekatan kemasyarakatan dan keluarga. Isu
global tentang hak azasi manusia (HAM) terdengar
72
Pengobatan paksa penderita skizofrenia
dimana-mana dan perlu diperhatikan agar dalam
menangani penderita skizofrenia tidak terjadi
pelanggaran HAM seperti yang pernah terjadi di
masa lalu.
Menuduh orang-orang yang perilakunya tidak
sesuai dengan harapan masyarakat sebagai
“penderita gangguan jiwa” dan memaksa serta
menahan mereka di rumah sakit jiwa, memang bisa
dikategorikan sebagai tindakan kejahatan melawan
kemanusiaan (crime against humanity).(7) Namun
membiarkan penderita-penderita skizofrenia tanpa
pengobatan yang adekuat, serta melepas mereka dari
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) tanpa evaluasi medispsikiatris yang mengakibatkan mereka menjadi
gelandangan psikotik, adalah juga tindakan
dehumanis dan melanggar HAM.(8)
Intervensi medis yang koersif paternalistik,
tampaknya masih diperlukan dalam penanganan
penderita skizofrenia, mengingat adanya
ketidakmampuan dalam menentukan pilihan bebas
yang terbaik bagi dirinya, walaupun perlu pula
dicermati agar tidak terjadi pelanggaran HAM.(9)
Perlu dicari justifikasi moral terhadap tindakan
koersif paternalistik pada penderita skizofrenia.
Penderita-penderita psikiatris, khususnya yang
psikotik, pada umumnya dirawat secara involunter,
bahkan sering dengan paksaan (koersif), karena
dianggap berbahaya bagi dirinya atau orang lain.(10)
Mereka umumnya dianggap inkompeten untuk
menandatangani surat persetujuan tindak medis,
oleh karena itu diperlukan seorang wali, namun si
wali biasanya secara apriori menganggap
penderitanya berbahaya dan perlu dilakukan
tindakan pengamanan dengan memasukkannya ke
RSJ secara paksa.
Dari kajian sejarah, praktek psikiatri pernah
dipandang sebagai identik dengan kekuasaan dan
penahanan dalam bentuk mitos abad ke-18 yang
dikemas sebagai intervensi medis koersif
paternalistik.(11) Munculnya kesadaran manusia
akan eksistensinya sebagai pelaku moral yang
otonom, (12) serta bangkitnya gerakan yang
menentang praktek psikiatri ala abad ke-18 yang
memperlakukan penderita gangguan jiwa secara
tidak manusiawi, melahirkan tuntutan agar dalam
menangani penderita skizofrenia, tidak melanggar
HAM.
J Kedokter Trisakti
Penanganan penderita skizofrenia di Indonesia
menurut Rusdi Maslim masih membutuhkan
perhatian yang lebih besar.(13) Akibat pengaruh
kepercayaan tradisional, di beberapa daerah di
Indonesia masih ada penderita skizofrenia yang
dipasung untuk waktu yang lama tanpa pelayanan
medis yang memadai. Beberapa RSJ masih
menerapkan aturan untuk menggunakan pakaian
seragam bagi penderita-penderita mental yang
dirawat. Hak penderita untuk menerima atau
menolak terapi, serta hak penderita untuk bertindak
sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya, masih
belum terpenuhi. Demikian pula informed consent
bukan dari penderita, melainkan dari keluarganya.
Dalam konteks psikiatri, pengobatan paksa
terhadap penderita skizofrenia menampilkan paling
sedikit tiga permasalahan. Apakah penderita
skizofrenia masih dapat dikatakan sebagai pelaku
moral yang otonom? Apakah perawatan dan
pengobatan paksa yang sering dilakukan terhadap
penderita skizofrenia, dapat dipandang sebagai
suatu tindakan paternalistik dari pihak dokter?
Intervensi koersif paternalistik yang bagaimana
yang secara moral dapat dibenarkan?
PEMBAHASAN
Perawatan dan pengobatan paksa bukanlah hal
yang baru bagi penderita skizofrenia. Mereka serta
merta dianggap tidak kompeten untuk menandatangi
persetujuan tindak medis bagi dirinya. Orang tua
atau wali yang mewakili penderita, pada umumnya
justru sangat berkepentingan untuk menyingkirkan
penderita. Sebagai pelaku moral yang otonom,
manusia pada dasarnya memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihannya secara rasional, yaitu
memiliki kebebasan bertindak yang wajib
dipertanggungjawabkan. Secara umum dapat
diterima bahwa aturan hukum hanya bisa
diberlakukan bagi mereka yang mampu bertanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
Seseorang dinyatakan sebagai kompeten, bila
i) ia mampu membuat pilihan, ii) pilihan yang dibuat
cukup beralasan atau mampu menghasilkan pilihan
yang beralasan, iii) pilihannya didasarkan pada
alasan yang rasional, iv) ia mampu memahami
proses pengambilan keputusan, dan v) ia memiliki
pengertian yang aktual tentang proses pengambilan
Vol.22 No.2
keputusan itu.(14) Persoalan kompetensi penderita
biasanya akan muncul apabila penderita menolak
rencana terapi dari pihak dokter. Hal ini disebabkan
karena validitas persetujuan tindak medis sangat
ditentukan oleh kompetensi penderita. Penderita
skizofrenia dengan hendaya berat dalam menilai
realita, tidak akan mampu berpikir rasional, oleh
karena itu ia dapat dinyatakan sebagai inkompeten.
Namun perlu diingat, inkompetensi pada skizofrenia
adalah bagian dari gangguannya, yang akan
menghilang bila gangguannya membaik. Penderita
skizofrenia dengan tilikan (insight) yang buruk,
akan merasa bahwa ia tidak sakit, oleh karena itu
ia akan menolak pengobatan. Sementara dari pihak
dokter dan keluarganya tetap meyakini bahwa ia
sakit dan perlu pengobatan. Kondisi ini dapat
memunculkan tindakan intervensi medis yang
koersif paternalistik. Pada intervensi koersif, subyek
diintervensi agar ia tidak bertindak seperti
keinginannya sendiri dengan membatasi secara
selektif kesempatannya untuk bertindak. Tindakan
koersif prima facie ditolak, oleh karena itu
dibutuhkan justifikasi moral untuk pembenarannya.
Akar permasalahan dari kedua persoalan di
atas adalah adanya konflik kepentingan antara
menghormati otonomi penderita dengan proteksi
penderita. Pada umumnya wali penderita tidak
mengetahui banyak tentang terapi, oleh karena itu
jalan yang terbaik adalah melibatkan pihak ketiga
sebagai opini alternatif. Dalam hal ini, pihak ketiga
biasanya adalah seorang psikiater lain yang
memiliki keahlian khusus dalam bidang
psikofarmakologi. Keuntungan adanya opini
alternatif bagi penderita terletak dalam bidang medis
dan legal, yaitu diagnosis klinis yang ditegakkan
akan menjadi lebih baik, terapi yang diberikan akan
lebih akurat, otonomi penderita melalui wali, dapat
tersalurkan dengan lebih baik.
Penanganan terbaik bagi penderita skizofrenia
adalah kombinasi antara medikamentosa dengan
intervensi berbasis keluarga atau masyarakat.
Dengan penanganan seperti itu, bahkan penderita
skizofrenia yang berat dan sudah kronis, dapat
memperlihatkan perbaikan yang bermakna.
Perbaikan pada penderita skizofrenia terlihat pada
semakin membaiknya kemampuan untuk berpikir
rasional dan menentukan pilihan yang rasional bagi
dirinya. Dengan lain perkataan, penderita akan
73
Hartanto
semakin kompeten untuk menentukan pilihan
bebasnya.
Tindakan dan pengobatan koersif pada
umumnya ditolak karena melibatkan pelanggaran
terhadap integritas fisik dan mental penderita. Oleh
karena itu, tindakan dan pengobatan paksa pada
penderita skizofrenia membutuhkan justifikasi
moral. Untuk itu, penentuan tingkat kompetensi
penderita menjadi sangat penting. Bahwa penderita
skizofrenia dapat membahayakan dirinya atau orang
lain, juga menjadi salah satu pertimbangan yang
cukup penting. Dasar pembenaran moral bagi
tindakan dan pengobatan paksa terhadap penderita
skizofrenia, adalah dengan menerapkan dua
prinsip(15) yaitu prinsip kerugian (harm principle),
dan paternalisme. Prinsip kerugian mengacu pada
ajaran John Stuart Mill tentang kebebasan, yang
intinya menyatakan bahwa pada dasarnya manusia
tidak boleh dihalangi kebebasannya. Satu-satunya
alasan yang secara moral bisa dibenarkan untuk
membatasi kebebasan orang adalah apabila
tindakan orang itu dapat membahayakan orang lain.
Dalam kepustakaan, baik filsafat maupun psikiatri,
telah banyak dilakukan kajian yang mencoba
mengungkapkan hubungan antara gangguan jiwa
dengan tindak kekerasan. Penderita gangguan jiwa
yang disertai dengan waham paranoid, dapat merasa
sangat terancam, akibatnya ia dapat menyerang
orang lain dalam upaya mempertahankan dirinya.
Namun tidak semua penderita dengan waham
paranoid itu lalu menyerang orang lain. Dapat
disimpulkan bahwa penderita menyerang orang lain
atau tidak, sangat tergantung pada intensitas
wahamnya. Semakin intens, semakin besar
kemungkinan untuk menyerang orang lain. Dengan
lain perkataan, hal tersebut sangat terkait dengan
kemampuannya untuk menilai realita, dan ini juga
terkait dengan kompetensi untuk berpikir rasional.
Prinsip paternalisme digunakan untuk
pembenaran tindakan koersif bagi penderita yang
tidak membahayakan orang lain, melainkan dapat
membahayakan dirinya. Tilikan yang buruk pada
penderita skizofrenia, dapat mengakibatkan
penolakan terhadap pengobatan. Waham yang bizar,
dapat mengakibatkan penderita melakukan tindakan
yang merugikan dirinya. Dalam hal ini, tindakan
pengobatan paksa paternalistik, secara moral dapat
dibenarkan. Beratnya tingkat inkompetensi
74
Pengobatan paksa penderita skizofrenia
penderita menjadi dasar pembenaran tindakan
pengobatan paksa paternalistik. Semakin
inkompeten penderita, semakin bisa membahayakan
dirinya, semakin bisa dibenarkan.
KESIMPULAN
Gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, tidak
menghilangkan kehidupan personal orang itu. Oleh
karena itu, penderita skizofrenia tetap sebagai
pelaku moral yang otonom untuk menentukan
pilihan yang terbaik bagi dirinya apabila ia masih
kompeten untuk melakukan hal itu. Perlakuan dalam
penanganan penderita skizofrenia di masa lalu yang
tidak manusiawi dan mendapat tentangan yang
keras, sudah seharusnya ditinggalkan. Perlu
dilakukan pemeriksaan yang cermat terhadap
derajat inkompetensi pada semua penderita
gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Analisis dan
evaluasi kompetensi penderita perlu dilakukan
sebelum ia dinyatakan sebagai tidak kompeten.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Desjarlais R, Eisenberg L, Good B, Kleinman A.
Mental health problems and priorities in lowincome countries. New York: Oxford University
Press; 1995.
Devies T. Informed consent in psychiatric
research. B J Psychiatry 2000; 178: 397-8.
Engelhardt TH, Jr. The foundation of bioethics.
New York: Oxford University Press; 1986.
Szasz T. The myth of mental illness. In: Edwards
RB, editor. Ethics of Psychiatry. New York:
Promerheus Book; 1997. p. 27-31.
Veatch RM. The medical model. Its Nature and
Problems. In: Edwards R B, editor. Ethics of
Psychiatry. New York: Prometheus Book; 1997.
p. 108-27.
Hartanto R. Otonomi dan paternalisme dalam
konteks psikiatri. (disertasi). Jakarta: Universitas
Indonesia; 2000.
Szasz T. Involuntary civil commitment. A Crime
Against Humanity. In: Edwards RB, editor. Ethics
of Psychiatry. New York: Prometheus Book; 1997.
p. 437-44.
Appelbaum P S. Crazy in the street. In: Edwards
R B, editor. Ethics of Psychiatry. New York:
Prometheus Book; 1997. p. 537-48.
J Kedokter Trisakti
9.
Gosden R. Coersive psychiatry, human rights and
public participation. In: Martin B, editor.
Technology and public participation. Science and
Technology Studies. Australia; Wolongong: 1999.
p. 143-67.
10. Link BG, Andews H, Cullen FT. The violent and
illegal behavior of mental patients. Am Sociology
Rev 1992; 57: 275-92.
11. Bertens K. Filsafat barat abad XX. Perancis.
Jakarta: PT Gramedia; 1996.
12. Gauthier CC. Philosophical faundation of respect
Vol.22 No.2
for autonomy. Kennedy Institute of Ethics Journal
1993; 3(Pt 1): 21-37.
13. Maslim R. Ethical issues in mental health care.
Bioethics 2000. An International Exchange. 2000
August 14-16; Jogyakarta; 2000. p. 19-20.
14. Roth L H, Meisal A, Lidz C W. Test of competence
to consent to treatment. Am JPsychiatry 1977;
379-84.
15. Berghmans R LP. Autonomy and coersive
treatment in psychiatry. Amsterdam: Insitute voor
Gezondheitsethiek en Recht, UIA; 1997.
75
Download