BAB I PENDAHULUAN Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental yang menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarga. Sebagai lingkungan yang terdekat, maka keluarga memiliki peran penting dalam merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Fenomena mengenai keluarga dan penderita skizofrenia ini yang menjadi latar belakang dan sekaligus sebagai permasalahan yang akan dilihat oleh peneliti, yaitu mengenai dukungan keluarga yang diberikan kepada penderita skizofrenia pasca perawatan. Setelah memaparkan latar belakang, pada bagian selanjutnya dibuat perumusan masalah dengan tujuan memberikan gambaran fokus penelitian mengenai masalah yang akan diteliti. Kemudian pada bagian akhir bab pendahuluan ini akan dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian ini sendiri. A. LATAR BELAKANG Menurut Townsend (1996) dalam Wardani (2009), gangguan jiwa merupakan respons maladaptif terhadap stressor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran, perasaan dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat, serta mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan fisik individu. Mengacu pada definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa merupakan salah satu masalah yang cukup serius terkait dengan dampak yang ditimbulkan bagi penderita gangguan jiwa itu sendiri. Dampak tersebut meliputi hambatan dalam melaksanakan peran sosial dan hambatan dalam pekerjaan yang secara langsung menyebabkan penurunan produktivitas. Dewasa ini, gangguan jiwa menjadi topik yang cukup banyak dibicarakan di antara kalangan ahli medis dalam bidang psikis atau mental, karena menimbang angka kasus yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Salah satunya ditunjukkan dengan data status kesehatan jiwa di Indonesia yang dilihat dari hasil riset badan penelitian pengembangan kesehatan oleh Departemen Kesehatan yang menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6 permil. Dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima di antaranya mengalami gangguan jiwa berat (Wardani, 2009). Kemudian, menurut data statistik Direktorat Kesehatan Jiwa pada tahun 2003, pasien gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia yaitu 70%. Kelompok skizofrenia juga menempati angka 90% untuk pasien di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia dan pada umumnya skizofrenia menyerang generasi muda untuk pertama kali antara umur 15-30 tahun dengan tidak memandang ras, kebudayaan, kelas sosial maupun jenis kelamin (Jalil, dalam Wardani, 2009). Skizofrenia yang menempati urutan pertama, bukan hanya sebagai gangguan jiwa terbesar di Indonesia, namun juga sebagai jenis penyakit terbanyak yang dijumpai di rumah sakit, dibandingkan dengan jenis penyakit fisik lainnya. Hal ini dibuktikan melalui data statistik yang ditampilkan oleh Prof. Ascobat Gani, dalam Seminar MDGs dan Kesehatan Jiwa (2010) berikut ini: Gambar 1.1. Daftar jumlah pasien jamkesmas terbanyak di rawat inap, kelas A tahun 2010. Dari gambar diagram di atas terlihat jelas bahwa kelompok penderita skizofrenia menempati urutan pertama terbanyak yang dirawat inap dibandingkan dengan jenis penyakit fisik lainnya, seperti demam berdarah, barah, ataupun diare. Skizofrenia sendiri adalah satu nama umum untuk sekelompok reaksi psikotis, dicirikan dengan pengunduran atau pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif, dan bergantung pada tipe dan adanya halusinasi, delusi, tingkah laku negativistis, dan kemunduran atau kerusakan yang progresif (Chaplin, 1989). Istilah skizofrenia (schizophrenia) ini diperkenalkan pada tahun 1911 oleh seorang ahli psikiatri bernama Eugene Bleuler. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, yakni “schizo” yang berarti terbelah atau retak dan “phrenia” yang memiliki arti pikiran (mind). Hal ini tidak berarti bahwa seseorang dengan skizofrenia terbelah ke dalam dua kepribadian, melainkan terjadi pemisahan kepribadian dari realitas. Skizofrenia berkembang secara bertahap, sehingga keluarga atau bahkan penderita tidak menyadari kelainan dalam dirinya dalam jangka waktu yang lama. Keadaan yang memburuk secara lambat ini disebut sebagai serangan bertahap (gradual-onset) atau skizofrenia tersembunyi (insidious schizophrenia). Gejala yang berkembang secara bertahap seperti ini, terkadang menyebabkan episode krisis skizofrenia yang akut. Kemudian dalam beberapa kasus, sebagian penderita penyakit ini akan berkembang menjadi apa yang disebut dengan skizofrenia kronis (Gerald, Neale & Kring, 2006). Gangguan skizofrenia dipandang oleh kebanyakan orang sebagai suatu gangguan jiwa yang sangat mengganggu kehidupan masyarakat yang hidup bersama penderita gangguan tersebut. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Ambarini dalam konferensi nasional “stres manajemen dalam berbagai setting”, di mana gangguan yang dirasakan penderita skizofrenia tidak hanya akan memberi dampak yang merugikan bagi penderita saja, namun juga kepada keluarga dan masyarakat. Beliau mengatakan bahwa dampak yang merugikan ini dikarenakan penderita skizofrenia sering mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi sosial, seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan ketrampilan interpersonal, perawatan diri, dan defisit fungsi kognitif (Suud, Aini, & Chaerudin, 2012). Keseriusan dampak yang ditimbulkan oleh individu yang menderita skizofrenia ini menegaskan bahwa penderita skizofrenia harus mendapatkan perawatan yang sesuai, sehingga dapat membantu dalam menjalankan kembali fungsi sosial seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Sesuai dengan hasil survei awal oleh peneliti pada yayasan rehabilitasi mental di Boyolali Jawa Tengah dan juga RSJD Surakarta, maka diketahui bahwa perawatan bagi para penderita skizofrenia ini sendiri terdiri dari pengobatan dan konseling penunjang. Penekanan yang juga cukup penting dalam perawatan untuk pasien skizofrenia adalah keterlibatan dari keluarga pasien itu sendiri. Keterlibatan keluarga dalam merawat anggota yang menderita skizofrenia ini, akan sangat dibutuhkan pada masa pasca perawatan. Masa pasca perawatan yang dimaksud adalah pada saat pasien skizofrenia keluar dari rumah sakit atau panti rehabilitasi mental dan kemudian tinggal bersama keluarga di rumah dan tetap melakukan kontrol rutin setiap bulan ke psikiater, pskiolog atau pihak medis yang bertanggung jawab. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang dan merupakan lingkungan terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari beberapa anggota. Hal ini juga ditegaskan dalam pengertian keluarga yang dikeluarkan oleh Depratemen Kesehatan Republik Indonesia, di mana keluarga merupakan unit terkecil yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat, di bawah suatu atap dalam keadaan salin ketergantungan. Salah satu pengertian keluarga dalam pandangan psikologis adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam satu rumah dan masing-masing anggota keluarga merasakan adanya hubungan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri (Soelaeman,dalam Shochib, 1998). Selain itu, menurut Scharff dan Scharff (1991) keluarga adalah suatu sistem yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik. Bentuk keluarga yang sering dijumpai adalah nuclear family atau keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah. Anggota-anggota atau sekumpulan orang dalam keluarga inilah yang berperan dalam memberi dukungan atau menerima dukungan antar sesama anggotanya. Definisi mengenai keluarga di atas tersebut, menegaskan bahwa hakikat keluarga adalah relasi yang terjalin antar individuindividu, yang merupakan komponen penting di dalamnya. Dalam relasi inilah terdapat saling keterkaitan antara satu anggota dengan anggota yang lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bila sesuatu hal atau masalah menimpa salah satu anggota keluarga dampaknya akan mengenai anggota keluarga yang lainnya. Hal ini kemudian menegaskan penjelasan sebelumnya, di mana keluarga juga ikut berperan penting dalam bertanggung jawab bersama untuk perawatan salah satu anggota keluarga yang bermasalah, dalam kasus di atas yaitu terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia pasca perawatan rumah sakit. Bagi banyak penderita skizofrenia, bagian yang penting dalam pengalaman kehidupan mereka adalah menjalani masa pemulihan mereka dan hidup semandiri mungkin di rumah mereka sendiri (Browne & Courtney, 2007). Namun pada kenyataannya, salah satu isu terpenting yang dihadapi banyak keluarga adalah permasalahan pengawasan terhadap anggota yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa setelah mengikuti perawatan beberapa waktu tertentu. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan setiap hari tekait pemberian obat dan jadwal kontrol rutin terhadap anggota yang merupakan seorang penderita skizofrenia dalam masa pasca perawatan. Dalam keluarga, yang menjadi prioritas adalah anggota penderita, sehingga terkadang membuat anggota keluarga lain yang merawat melupakan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Chafetz dan Barnes (1989) yang mengungkapkan mengenai sejumlah penelitian lain dalam membuktikan bahwa gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia dari salah satu anggota dalam keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain dalam ranah pekerjaan, waktu luang, kesehatan anggota keluarga, dan relasi antar anggota keluarga. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka peneliti melakukan wawancara awal terhadap salah satu anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) yang juga memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa anggota keluarga juga memiliki sejumlah kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi ketika seorang anggota atau kerabat yang menderita skizofrenia diperbolehkan kembali ke rumah. Mereka perlu mengetahui bagaimana harus bersikap serta mengatakan hal-hal atau harapan- harapan realistis terhadap penderita skizofrenia tersebut. Beberapa keluarga yang terlibat dalam komunitas tersebut juga mengatakan bahwa dalam merawat kerabatnya yang menderita skizofrenia, mereka harus berperan untuk membantu penderita semandiri mungkin dan menyesuaikan dengan segala ketidakmampuannya. Dengan demikian, hal yang sangat penting dalam merawat anggota penderita skizofrenia pasca perawatan adalah keluarga mampu memahami semua segi perawatan dan mengambil peran aktif dalam perencanaan cara penanganan yang tepat terhadap anggota yang menderita skizofrenia pasca perawatan rumah sakit. Salah satu upaya tersebut adalah dengan pemberian dukungan oleh keluarga itu sendiri. Dukungan sosial dari keluarga inilah akan memberikan sumbangsih bagi perawatan penderita skizofrenia untuk dapat pulih kembali dan dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang individu, sesuai dengan tugas perkembangannya. Dukungan sosial (social support) yang dimaksud, didefinisikan oleh Kuntjoro (2003), sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan partisipan di lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini, orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (dalam Smet, 1994) yang mendefinisikan dukungan sosial terdiri atas informasi yang membuat seseorang merasa yakin bahwa dirinya diterima, diurus dan disayangi. Dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Sementara itu, Hurlock (1996) merumuskan dukungan sosial keluarga sebagai suatu dukungan kesenangan, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang berupa informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diterima individu dari keluarga. Namun demikian dalam semua tahap kehidupan, semua dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sebagai akibatnya hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. Teori mengenai dukungan sosial juga diungkapkan oleh House (dalam smet, 1994) yang membedakan aspek-aspek dukungan keluarga dalam dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif. Dalam seluruh aspek inilah keluarga memegang peran penting dalam memberikan dukungan kepada setiap anggotanya. Dengan kata lain, dukungan keluarga merupakan praktek atau bentuk nyata dari dukungan sosial yang dilakukan atau yang terjadi dalam lingkungan yang paling kecil di tengah masyarakat yaitu lingkungan keluarga itu sendiri. Melihat beberapa fakta yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, bahwa penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat di sekitarnya, maka disadari bahwa keluarga patut memberikan perhatian lebih dalam bentuk dukungan yang diberikan kepada anggota yang mengalami gangguan jiwa tersebut. Hal ini juga tampak lebih jelas dialami oleh penderita skizofrenia, yang biasanya diberi stigma oleh masyarakat sebagai orang gila dan sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, seperti: perlakuan kekerasan, diasingkan, diisolasi atau dipasung. Fakta lain yang juga menunjukkan bahwa pentingnya peran dukungan keluarga terhadap penderita skizofrenia adalah dengan pemberian dukungan diharapkan menolong penderita skizofrenia untuk lebih dapat menjalankan fungsinya dalam keluarga ataupun masyarakat serta mengurangi kekambuhan pada penderita. Sebagai contoh pentingnya dukungan keluarga dapat terlihat jelas dari penelitian Purwanto (2010) yang menunjukkan salah satu penyebab kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah kurangnya dukungan dari keluarga yang tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana merawat salah satu anggota keluarga yang menderita skizofrenia pasca perawatan. Selain itu, ditegaskan kembali dalam hasil penelitian dari Wai Tong Chien (1998) dalam Stein & Wemmerus (2001) bahwa salah satu faktor yang cukup efektif untuk menolong merawat anak yang menderita skizofrenia adalah pemberian dukungan dari keluarga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan dukungan keluarga juga membantu mengurangi angka kekambuhan pada anggota yang menderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan. Dari beberapa uraian di atas yang dikemukakan oleh peneliti dapat dilihat bahwa peran dukungan keluarga bagi penderita gangguan jiwa, dalam hal ini penderita skizofrenia penting untuk mencegah kekambuhan pada penderita. Selain itu, dukungan sosial yang tinggi akan mempercepat penyelesaian masalah yang dihadapi individu termasuk penyakit yang dideritanya (Sarafino, 1998). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Moss (dalam Sarafino, 1998), bahwa orang-orang yang menderita penyakit kronik dapat beradaptasi secara lebih baik dengan kondisi kroniknya itu jika mereka memiliki anggota keluarga yang secara aktif berpartisipasi dalam menjalankan aturan penyembuhan (treatment regimens), mendorong mereka untuk menjadi mandiri (self-sufficient), serta menanggapi kebutuhan mereka dengan cara yang baik dan seksama. Sejalan dengan hasil penelitian dari Berglund, Vahlne dan Edman (2002) diketahui bahwa sikap dari keluarga dalam merawat penderita skizofrenia dengan cara yang positif menolong keluarga untuk mengurangi beban dan tekanan karena harus bertanggung jawab dalam merawat anggota tersebut. Selain itu, intervensi keluarga dalam merawat anggota penderita skizofrenia menunjukkan hasil yang baik, yakni kurangnya angka kekambuhan bagi penderita skizofrenia. Dengan demikian, penderita skizofrenia yang mendapatkan dukungan keluarga mempunyai kesempatan berkembang kearah positif secara maksimal, sehingga penderita skizofrenia akan bersikap positif, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya, karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal. Mengacu pada fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti menjadi tertarik untuk melihat bagaimana gambaran bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga terhadap anggota yang menderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja jenis dukungan sosial keluarga yang diberikan kepada anggota penderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan? 2. Bagaimana cara keluarga keluarga menerapkan dukungan sosial tersebut terhadap anggota yang menderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran mengenai penerapan dukungan sosial yang diberikan keluarga terhadap anggota penderita skizofrenia yang menjalani masa pasca perawatan. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan masukan dan manfaat yang berarti terhadap perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi klinis dan psikologi sosial terutama yang berkaitan dengan gambaran dukungan sosial keluarga terhadap penderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi keluarga penderita skizofrenia, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi terkait gambaran dukungan sosial sehingga keluarga terus mengupayakan pemberian dukungan sosial bagi anggota penderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan demi mempersiapkan penderita untuk kembali menjalankan peran serta fungsinya dalam keluarga ataupun masyarakat, serta mengurangi angka kekambuhan penderita. b. Bagi para medis dan perawat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya dukungan sosial keluarga kepada penderita skizofrenia. Dengan demikian, pihak medis dan perawat dapat mempertahankan pemberian pengertian dan pengarahan kepada keluarga terkait dukungan keluarga yang diberikan kepada penderita pada saat perawatan di RSJ atau panti rehabilitasi maupun dalam menjalani masa pasca perawatan. c. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai peran dukungan sosial yang dapat membantu kesembuhan pada penderita skizofrenia. d. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada pembaca tentang peran dukungan sosial keluarga yang dapat diberikan pada saat terlibat dalam perawatan anggota penderita skizofrenia pasca perawatan.