KINERJA SUSTAINABILITY DAN PENGUNGKAPAN ENVIRONMENTAL DALAM LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN Utpala Rani1 Universitas Tidar [email protected] Indra Wijaya Kusuma Universitas Gadjah Mada [email protected] Abstrak Internalisasi konsep sustainability menuntut perusahaan menghasilkan kinerja sosial, environmental, dan finansial secara simultan. Dalam hal ini, kinerja sustainability menunjukkan seberapa jauh perusahaan menginternalisasi aspek ekonomi, lingkungan, sosial, serta tata kelola dalam operasinya, serta memperhatikan dampak timbul―bagi perusahaan dan masyarakat, melalui implementasi praktik etikal terhadap karyawan, lingkungan, maupun konsumen. Penelitian ini menggunakan teori institusional, teori stakeholder, dan resource-based perspective untuk menguji hubungan kinerja sustainability dengan pengungkapan environmental. Selain terkait efek license to operate dari legitimasi perusahaan, keputusan pengungkapan informasi environmental merupakan upaya manajemen menjaga konfigurasi pool of unique resources yang membentuk keunggulan kompetitif. Dugaan bahwa ketersediaan sumberdaya slack dan faktor kepemilikan menjadi pendorong pencapaian kinerja sustainability terdukung. Penelitian ini juga mendokumentasi hubungan positif kinerja sustainability dengan pengungkapan informasi environmental. Meskipun pengujian tidak memberikan dukungan terhadap dugaan efek moderasian intensitas kompetisi terhadap hubungan kinerja sustainability dan pengungkapan informasi environmental, namun hubungan negatif intensitas kompetisi terhadap pengungkapan environmental mengindikasi bahwa kompetisi dikhawatirkan dapat menyebabkan spillover pengetahuan―misalnya mengenai inovasi riset dan teknologi. Abstract As firm internalizes sustainability, it is forced to create social, environmental, and financial performance simultaneously―known as sustainability performance. It refers to the extent to which firm internalizes economic, environmental, social, and good governance to its operation, while realizing the impacts on both firm and society. This study adopts institutional theory, stakeholder theory, and resource-based perspective to examine the association of sustainability performance to environmental disclosure. While related to firm’s licence to operate, management’s decision for disclosing environmental information is also a strategy to maintain the pool of unique resources’ configuration in order to create competitive advantage. Statistical tests support H1 dan H2. Although H3 is not supported, the result implies that competition intencity is a disincentive for environmental disclosure, since it may create knowledge spillover―especially related to firm’s innovation. Keywords: sustainability performance, environmental disclosure, annual report 1 Seminar Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. and call for paper 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 1. Latar Belakang Masalah Internalisasi konsep sustainability menuntut perusahaan mampu menghasilkan kinerja sosial, environmental, dan finansial secara simultan (Epstein et al 2015). Dalam hal ini, kinerja sustainability menunjukkan seberapa jauh perusahaan menginternalisasi aspek ekonomi, lingkungan, sosial, serta tata kelola dalam operasinya, serta memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi perusahaan dan masyarakat (Artiach et al 2010) melalui implementasi praktik etikal terhadap karyawan, lingkungan, maupun konsumen (Ameer dan Othman 2012). Perez-Batres et al (2011) berpendapat pengadopsian konsep sustainability oleh perusahaan berkaitan dengan upaya menjaga legitimasi institusional. Studi mereka menunjukkan bahwa mekanisme normatif (tanggung jawab terhadap berbagai elemen pemangku kepentingan) dan mimetic (menjadi sama dengan pihak lain) lebih mendominasi pola registrasi 394 perusahaan dari 12 negara Eropa Barat dan Amerika Latin dalam United Nation Global Compact. Meski mengadopsi konsep yang sama, inisiatif sustainability hanya akan menciptakan nilai jangka panjang apabila diintegrasikan dalam strategi organisasional (Porter dan Kramer 2006) maupun elemen sistem perusahaan (Lozano 2012). Jika demikian, boleh jadi perbedaan mekanisme pengadopsian konsep sustainability (normatif versus mimetic) akan menghasilkan luaran―yang berupa strategi maupun kinerja, yang berbeda pula. Misalnya, penciptaan kinerja sosial melalui charitable giving atau donasi (Chen et al 2008) boleh jadi cenderung dipilih Seminar and call for paper perusahaan yang mengadopsi konsep sustainability karena alasan mimetic―mengingat legitimasi yang dituju lebih bersifat jangka pendek. Sementara itu, penggunaan strategi community involvement (Brammer dan Milington 2003) boleh jadi diterapkan perusahaan yang mengadopsi konsep sustainability karena alasan normatif, karena mereka harus memperhatikan sejumlah faktor unik yang melekat pada perusahaan―antara lain karakteristik pemangku kepentingan, struktur organisasional, maupun tipe industri. Kinerja sustainability dapat menjadi salah satu sumber keunggulan kompetitif perusahaan karena dihasilkan melalui pengembangan kapabilitas organisasional yang berharga―misalnya inovasi yang berkelanjutan, pembelajaran organisasional, serta integrasi pemangku kepentingan yang berasosiasi dengan strategi lingkungan yang proaktif (Aragon-correa dan Sharma 2003). Dalam perspektif teori institusional, perusahaan mengadopsi perilaku tertentu untuk mendapatkan legitimasi sosial―yakni penerimaan lingkungan sosial terhadap keberadaan perusahaan, dari konstituen eksternal. Kegagalan memenuhi norma tersebut akan mengancam legitimasi, sumberdaya, bahkan survival perusahaan (Lourenco et al 2012). Oleh sebab itu, perusahaan akan mengupayakan beragam cara yang dipandang perlu untuk menjaga citra sebagai bisnis yang legitimat. Salah satu channel yang diduga memungkinkan perusahaan mendapatkan maupun mempertahankan legitimasi adalah pengungkapan. Sebagai gambaran kinerja 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 komprehensif perusahaan, kinerja sustainability merupakan elaborasi informasi keuangan dan non keuangan (lingkungan dan sosial). Menurut Luft (2009), informasi non keuangan dapat bersifat substitutif maupun komplementer bagi informasi keuangan untuk aktivitas akuntansi yang penting―misalnya forecasting dan evaluasi kinerja keuangan. Bahkan, informasi sosial dan lingkungan kini juga telah dimanfaatkan untuk memonitor serta menentukan reward manajemen―karena diyakini dapat menyediakan informasi mengenai perencanaan maupun pengambilan keputusan (Adams dan Frost 2008). Meski informasi non keuangan diduga dapat memberi manfaat lebih bagi para pemangku kepentingan serta memiliki efek legitimasi sosial, manajemen tidak selalu bersedia menyediakan informasi tersebut kepada publik. Telaah Berthelot et al (2003) terhadap sejumlah studi mengenai pengungkapan environmental mengindikasi inkonsistensi temuan. Studi tersebut menunjukkan aspek sukarela dari pengungkapan environmental lebih banyak disoroti dibandingkan aspek wajib. Hal ini tampaknya didorong dugaan bahwa perusahaan menjadikan pengungkapan environmental sebagai alat pencapaian legitimasi sosial, sehingga diskresi manajemen sangat berpengaruh pada luas, jumlah, maupun tipe pengungkapan yang dilakukan. Manajemen juga cenderung memberikan penekanan lebih pada aspek positif kinerja environmental, namun melakukan hal sebaliknya pada aspek negatif (Deegan dan Gordon 1996). Jika pengungkapan sebenarnya bertujuan Seminar and call for paper mengurangi asimetri informasi, maka pola pengungkapan yang demikian menuntut kehati-hatian interpretasi pengguna informasi. Penggunaan diskresi manajemen dalam pengungkapan environmental boleh jadi mengindikasi kerawanan yang terkandung dalam informasi environmental. Keengganan perusahaan mengungkapkan suatu informasi bisa disebabkan efek scrutiny yang dapat ditimbulkan. Walker dan Wan (2012) yang menunjukkan bahwa perilaku oportunistik manajemen dalam pengungkapan kinerja environmental berimbas negatif pada kinerja keuangan, terutama apabila kinerja yang diklaim hanya berupa green talk (tindakan simbolik) yang mengarah pada green washing (ketidakkonsistenan antara tindakan substantif―green walk dengan green talk). Green talk dapat menyebabkan terjadinya degradasi legitimasi yang berdampak pada penurunan level kinerja perusahaan. Apabila hal ini terjadi terus menerus, sustainability perusahaan akan menghadapi ancaman yang serius. Selain itu, kinerja environmental membutuhkan alokasi sumberdaya perusahaan yang relatif signifikan, misalnya untuk investasi teknologi (Cortazar et al 1998) maupun standardisasi (Henri dan Journeault 2008). Pengungkapan informasi environmental berpotensi memancing perhatian pemangku kepentingan untuk mengevaluasi dampak investasi environmental tersebut pada luaran kinerja perusahaan. Penelitian ini mengadopsi konsep teoretikal yang digunakan Lourenco et al (2012) yakni teori institusional, teori stakeholder, dan resource-based perspective untuk menguji 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 hubungan kinerja sustainability dengan pengungkapan environmental. Keputusan pengungkapan informasi environmental tidak saja terkait dengan efek license to operate dari legitimasi perusahaan, tetapi juga merupakan upaya manajemen menjaga konfigurasi pool of unique resources yang membentuk keunggulan kompetitif. Dalam hal ini, pengungkapan environmental memungkinkan perusahaan membentuk reputasi dari pencapaian kinerja sustainability. Reputasi merupakan salah satu keunggulan kompetitif yang sulit ditiru kompetitor (Barney 1991), dan dapat membangun legitimasi konstituen eksternal perusahaan. 2. Landasan Teori Kinerja sustainability Terminologi kinerja sustainability (sustainability performance) merujuk pada aplikasi konsep sustainable development pada level perusahaan (Lourenco et al 2012). Istilah ini menggambarkan kinerja yang dihasilkan oleh tiga pilar sustainable development―yakni aktivitas corporate social responsibility dan sistem pengelolaan environmental tanpa mengorbankan aspek kinerja finansial perusahaan (Wagner 2010). Konsep corporate sustainability muncul sebagai dampak pertumbuhan ekonomik, pemenuhan regulasi environmental, serta tekanan penciptaan social justice dan equity (Christofi et al 2012). Corporate sustainability dapat dipandang sebagai strategi bisnis dan investasi yang berusaha menggunakan praktik bisnis Seminar and call for paper terbaik untuk memenuhi dan menyeimbangkan kebutuhan pemangku kepentingan saat ini dan masa mendatang (Report of the United Nations World Commission on Environmental and Development 1987). Konsep tersebut mengimplikasi serangkaian tugas rumit untuk menyediakan luaran kompetitif dalam jangka pendek sembari melindungi, mempertahankan, serta meningkatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam untuk masa mendatang (Artiach et al 2010). Kinerja sustainability suatu perusahaan semestinya tidak bisa dipisahkan dari kekompetitifan. Menurut Wagner dan Schaltegger (2003), kemampuan perusahaan memperbaiki kinerja non ekonomik (environmental dan sosial) melalui inovasi maupun penerapan pendekatan teknologi serta produksi yang mendorong efisiensi sumberdaya dapat menjadi determinan pencapaian kinerja ekonomik yang lebih baik. Kuantifikasi kinerja sustainability memang cukup sulit, mengingat indikatornya yang cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, sejumlah peneliti menggunakan beberapa dimensi yang terkait dengan corporate sustainability, misalnya kinerja sosial (Wood 2010). Meski secara spesifik menelaah kinerja sosial, namun yang tampak pada rangkuman pengukuran Woods (2010) ternyata juga memasukkan aspek kinerja environmental (misalnya emisi racun dan estimasi kos kewajiban superfund site) maupun aspek hubungan dengan pemangku kepentingan (misalnya kepuasan pelanggan maupun kepuasan karyawan). Meski mewakili konsep sustainability, pengukuran 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 tersebut tidak menangkap esensi sustainability secara komprehensif. Artiach et al (2010) dan Lourenco et al (2012) mengaplikasikan Dow Jones Sustainability Index (DJSI) sebagai proksi kinerja sustainability yang memungkinkan untuk dikuantifikasi. Mengingat penelitian ini bertujuan mengeksplorasi praktik sustainability yang dilakukan perusahaan publik, peneliti memilih menggunakan sustainability index yang dikeluarkan oleh pihak ketiga untuk mengurangi potensi bias pengukuran karena subjektivitas. Indeks sustainability yang berlaku di Bursa Efek Indonesia bernama indeks SRIKEHATI yang dikeluarkan Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Hal utama yang membedakan indeks SRIKEHATI dengan indeks lain yang terdapat di BEI adalah penggunaan tata cara Sustainable and Responsible Investment (SRI) sebagai dasar penentuan indeks. SRI memiliki enam faktor sustainability fundamental, disamping faktor ekonomik, sebagai dasar penilaian kinerja perusahaan. Indeks SRI-KEHATI diluncurkan tanggal 8 Juni 2009 atas kerja sama PT BEI dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)―yang bergerak di bidang pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Indeks harga saham SRI-KEHATI diharapkan dapat menjadi barometer untuk menginvestasikan dana pada perusahaan dengan kesadaran terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (BEI 2009). Kriteria indeks SRI-KEHATI meliputi total aset (di atas Rp 1 trilyun); price earning Seminar and call for paper ratio (emiten memiliki PER positif); serta free float ratio (kepemilikan saham publik harus lebih besar atau sama dengan 10%). Pengukuran indeks ini melibatkan 25 emiten yang menjalankan praktik sustainability terbaik, meliputi environmental, community, corporate governance, human rights, business behavior, serta labor practices and decent work. Penyertaan perusahaan dalam indeks SRI-KEHATI mengindikasi adanya upaya serius manajemen untuk mengintegrasikan praktik sustainability development dalam strategi bisnis korporasi, yang memungkinkan perusahaan melaksanakan program tanggung jawab sosial dan lingkungan secara komprehensif dan berkelanjutan. Eksplorasi faktor pendorong kinerja sustainability Penyertaan aspek sustainability dalam penilaian pemangku kepentingan (termasuk pemegang saham) terhadap kinerja perusahaan mendorong adopsi konsep sustainability oleh sebagian besar entitas bisnis (Aust 2013) sehingga menciptakan isomorphic adoption (Caprar dan Neville 2012). Meski merujuk pada konsep yang sama, ternyata mekanisme adopsi yang digunakan perusahaan bisa berbeda. Mengacu pada perspektif legitimasi sosial, isomorphic adoption dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yakni normatif (kesadaran atas tanggungjawab terhadap beragam pemangku kepentingan), mimetic (meniru untuk tujuan menjadi sama dengan pihak lain), maupun koersif (menaati atau memenuhi regulasi). Studi Perez-Batres et al (2011) menunjukkan bahwa mekanisme normatif lebih mendominasi pola registrasi 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 394 perusahaan dari 12 negara Eropa Barat dan Amerika Latin dalam United Nation Global Compact yang bertujuan mendorong praktik sustainability oleh organisasi bisnis. Perbedaan mekanisme adopsi konsep sustainability boleh jadi menghasilkan luaran―misalnya strategi dan kinerja, yang berbeda pula. Hal tersebut dimungkinkan oleh perbedaan persepsi para pemangku kepentingan terhadap suatu strategi (Brammer dan Millington 2003, Chen et al 2008), maupun sumberdaya yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu strategi. Funk (2003) menyatakan implementasi konsep sustainability secara praktikal akan mengimplikasi peran sumberdaya intangible dan penciptaan nilai yang lebih komprehensif. Hal ini mengindikasi bahwa pencapaian kinerja yang sesuai atau mengonfirmasi pengadopsian konsep sustainability dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal maupun eksternal. Ketersediaan sumberdaya Salah satu aspek yang memungkinkan perusahaan mempertahankan eksistensi adalah keunggulan kompetitif―yang hanya akan tercipta bila kapabilitas internal organisasi yang terbedakan (distinctive) dapat diselaraskan dengan perubahan lingkungan eksternal (Hart 1995). Kompetensi pembeda tersebut akan menghasilkan keunggulan hanya jika didukung oleh ketersediaan sumberdaya (resources) yang tidak mudah diduplikasi oleh kompetitor (Hart 1995; Tang dan Liu 2010). Seminar and call for paper Pada kenyataannya, tidak semua sumberdaya yang diperlukan untuk membentuk bundle of unique resources tersedia di pasar. Hal ini mengharuskan perusahaan membangun atau menciptakan sumberdaya tersebut (Dierickx dan Cool 1989). Sumberdaya vital tidak hanya terbatas pada aset fisik dan finansial, tetapi juga mencakup keterampilan karyawan maupun proses organisasional (sosial) yang terdapat dalam perusahaan (Hart 1995). Keunggulan kompetitif merupakan luaran pengembangan kapabilitas organisasional yang berharga―misalnya inovasi yang berkelanjutan, pembelajaran organisasional, serta integrasi pemangku kepentingan yang berasosiasi dengan strategi lingkungan yang proaktif (Aragon-correa dan Sharma 2003). Kinerja sustainability secara implisit mensyaratkan ketersediaan sumberdaya yang melebihi “persyaratan minimal” untuk menghasilkan kinerja “biasa”. Kelebihan sumberdaya tersebut diperlukan perusahaan untuk berinvestasi pada proyek-proyek inovatif yang dapat meningkatkan efisiensi operasi, keefektifan mekanisme kerja, maupun meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Slack dapat diartikan sebagai sumberdaya potensial yang dapat dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan (George 2005). Keberadaan slack dalam organisasi dapat disebabkan oleh kelebihan kapasitas―artinya kepemilikan sumberdaya melebihi kebutuhan minimum yang diperlukan untuk menghasilkan level luaran organisasional tertentu (Nohria dan Gulati 1986) maupun kinerja keuangan yang baik (Voss et al 2008). 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Bourgeois (1981) mengungkapkan empat fungsi organizational slack menurut teori organisasi yakni sebagai inducement, resource of conflict resolution, buffer, dan facilitator of strategic behavior. Jika dikaitkan dengan penciptaan kinerja sustainability, sumberdaya slack dapat berfungsi sebagai fasilitator strategic behavior (misalnya proyek inovasi) maupun buffer atau tameng ketika terjadi perubahan lingkungan yang potensial mengganggu kinerja “normal” perusahaan. Tan dan Peng (2003) mengacu Singh (1986) membedakan slack organisasional menjadi dua, yakni absorbed slack―yaitu ekses kos yang terkait dengan operasi saat ini; serta unabsorbed slack―yakni sumberdaya yang belum dialokasikan untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, kinerja sustainability membutuhkan kelebihan sumberdaya yang “fleksibel” agar dapat diarahkan pada inisiatif sustainability yang menciptakan nilai tambah bagi pemangku kepentingan. Studi Tan dan Peng (2003) menunjukkan bahwa arah positif hubungan unabsorbed slack pada kinerja keuangan sesuai prediksi teori organisasi. Hubungan positif antara slack dengan kinerja keuangan juga dikonfirmasi oleh Daniel et al (2004). Seiring berkembangnya konsep CSR serta kinerja sosial dan environmental, sejumlah peneliti mulai menginvestigasi implikasi sumberdaya slack terhadap CSP (corporate social performance) perusahaan. Kinerja sosial perusahaan (CSP) merupakan konstruk yang menekankan tanggung jawab perusahaan terhadap berbagai pemangku kepentingan, misalnya karyawan maupun masyarakat, selain tanggung jawab Seminar and call for paper ekonomik kepada para pemegang saham (Turban dan Greening 1996). Seifert et al (2004) meneliti perilaku philanthropy perusahaan Fortune 1000, dan menemukan slack diskresioner (yang diwakili oleh arus kas) memiliki pengaruh signifikan terhadap pemberian donasi tunai untuk kepentian amal (charitable causes). Hal ini mendukung pandangan bahwa “doing well enables doing good”. Studi terhadap slack diskresioner juga dilakukan oleh Harrison dan Coombs (2012). Mereka mengeksplorasi keterkaitan slack, dalam hal ini available slack, dengan kecenderungan perusahaan membangun hubungan dengan masyarakat. Community building didefinisikan sebagai kapabilitas pengelolaan hubungan dengan pemangku kepentingan, yang didasari oleh pemikiran bahwa perusahaan harus membangun dan mendukung masyarakat tempat para karyawannya tinggal dan bekerja. Studi mereka menemukan adanya hubungan positif available slack dengan kinerja berbasis masyarakat (community-based performance). Hubungan positif tersebut dimoderasi oleh karakteristik tata kelola perusahaan. Penelitian Xu et al (2015) terhadap 1.299 perusahaan publik di China menunjukkan hanya unabsorbed slack yang berkontribusi positif terhadap CSP. Hubungan positif ini juga terjadi antara CSP dan kinerja keuangan. Temuan tersebut sejalan dengan Tang dan Peng (2003). Untuk menghasilkan kinerja keberlanjutan, perusahaan harus memiliki kinerja keuangan, kinerja sosial, dan kinerja lingkungan (Galdwin et al 1995; Goyal et al 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 2013). Merujuk pada temuan studi Tan dan Peng (2003) maupun Xu et al (2015), penelitian ini berfokus pada unabsorbed slack mengingat sifatnya yang uncommitted sehingga potensial digunakan untuk kegiatan eksplorasi (Voss et al 2008)―misalnya melalui inovasi. Implementasi inisiatif keberlanjutan (sustainability initiatives) sangat mungkin melibatkan proyek inovasi. Hal ini berimplikasi pada keharusan perusahaan memiliki sumberdaya yang “bebas”, sehingga dapat digunakan untuk aktivitas strategis yang meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian ini menduga terdapat hubungan positif antara unabsorbed slack dengan kinerja sustainability. Mengacu pada perspetif legitimasi sosial, jika kinerja sustainability mampu memberikan efek legitimasi bagi perusahaan, maka manajemen akan mendedikasikan kelebihan sumberdaya yang dimiliki untuk mecapai kinerja tersebut. Dugaan ini dirumuskan sebagai: H1a: Keberadaan unabsorbed slack berhubungan positif dengan kemampuan perusahaan menghasilkan kinerja sustainability. Kepemilikan Penggunaan sumberdaya slack pada stateowned enterprise atau BUMN dipengaruhi oleh sasaran yang telah ditetapkan pemerintah. Meski privatisasi BUMN menyebabkan kepemilikan pemerintah dalam perusahaan menjadi lebih kecil, konstrain sumberdaya yang dihadapi perusahaan cenderung tidak seketat Seminar and call for paper kompetitornya dari sektor swasta. Soft budget constraint tersebut memungkinkan BUMN tetap menjalankan operasi meski dalam posisi rugi (Stan et al 2014). Hal ini―menurut Aharoni (1981), dimungkinkan terjadi karena BUMN mengemban dua dimensi kinerja: sosial dan ekonomik. Dalam konteks Indonesia, BUMN terikat kewajiban melaksanakan program kemitraan dan bina lingkungan meski perusahaan hanya memiliki sumberdaya slack yang rendah, atau bahkan berada dalam posisi merugi. Adanya aspek sosial ini memungkinkan BUMN menggunakan unabsorbed slack untuk menghasilkan kinerja sustainability yang relatif lebih baik daripada perusahaan swasta. Dalam perspektif legitimasi sosial, hal ini mengimplikasi dugaan hubungan positif antara status kepemilikan pemerintah dengan kinerja sustainability. Penelitian ini menduga: H1b: Kepemilikan pemerintah berhubungan positif dengan kemampuan perusahaan menghasilkan kinerja sustainability. Konsentrasi kepemilikan diduga juga berimplikasi pada kemampuan manajemen menggunakan sumberdaya slack untuk menghasilkan inovasi yang mendukung kinerja sustainability. Kepemilikan publik yang rendah meningkatkan dominasi manajemen terhadap keputusan alokasi dan utilisasi sumberdaya, sebagaimana yang terjadi dalam perusahaan perseorangan atau privat (George 2005). Konsentrasi 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 kepemilikan umumnya menyebabkan penempatan wakil kelompok pemilik mayoritas dalam jajaran manajemen. Peng dan Yang (2014) menunjukkan konsentrasi kepemilikan berpengaruh negatif terhadap hubungan kinerja sosial-lingkungan dan kinerja keuangan jangka pendek. Hal ini mengindikasi bahwa konsentrasi kepemilikan dapat menyebabkan restriksi atau pembatasan penggunaan kelebihan sumberdaya untuk aktivitas inovatif. H1c: Konsentrasi kepemilikan berhubungan negatif dengan kemampuan perusahaan menghasilkan kinerja sustainability. Pengungkapan environmental Verrechia (2001) membedakan penelitian mengenai pengungkapan menjadi tiga, yakni 1. association-based disclosure―yaitu penelitian yang menginvestigasi hubungan antara pengungkapan eksogenus dan perubahan kumulatif pada tindakan individual investor. Penelitian tipe ini dikarakterisasi oleh hubungan pengungkapan dan perubahan harga maupun volume perdagangan; 2. discretionary-based disclosure―yaitu menginvestigasi penggunaan diskresi manajemen (perusahaan) dalam pengungkapan informasi, yang terkait dengan masalah adverse selection. Rasional utama yang mendasari adalah pengguna akan mengintepretasikan Seminar and call for paper informasi yang ditahan (tidak diungkapkan) sebagai hal yang unfavorable mengenai nilai atau kualitas. Hal ini berkonsekuensi pada pemberian “diskon” terhadap aspek yang dinilai tersebut; dan 3. efficiency-based disclosure―yakni penelitian mengenai pengaturan pengungkapan yang dipreferensikan dalam kondisi ketiadaan pengetahuan pendahulu mengenai informasi tersebut. Contoh sederhana tipe ini adalah penelitian terhadap pengungkapan “good news” dan “bad news”. Penelitian ini berfokus pada pengungkapan berbasis diskresioner yang dilakukan oleh perusahaan publik di Indonesia. Pengungkapan environmental perusahaan publik di Indonesia mayoritas dilakukan melalui laporan tahunan. Otoritas pasar modal Indonesia (Bapepam) mengatur kewajiban penyampaian laporan dalam peraturan nomor X.K.6 pada Keputusan Ketua Bapepam-LK nomor KEP431/BL/2012 tanggal 1 Agustus 2012. Dalam peraturan tersebut, informasi environmental termasuk dalam segmen tanggung jawab sosial perusahaan (butir h). Bahasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang disyaratkan meliputi kebijakan, jenis, program, dan biaya yang dikeluarkan terkait aspek (1) lingkungan hidup; (2) praktik ketenagakerjaan; (3) pengembangan sosial dan kemasyarakatan; dan (4) tanggung jawab produk. Perusahaan diijinkan menyampaikan informasi tersebut melalui laporan tahunan, maupun laporan tersendiri yang disampaikan kepada 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Bapepam-LK bersamaan dengan laporan tahunan. tetap menentukan detil pengungkapan yang dilakukan perusahaan. Adanya peraturan tersebut secara eksplisit menunjukkan sifat wajib atau mandatori untuk pengungkapan environmental. Namun, kenyataannya perusahaan publik yang melakukan pengungkapan sebagaimana “disyaratkan” oleh aturan tersebut tidak banyak. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2012 oleh USSIF2 menunjukkan bahwa perusahaan Indonesia lebih banyak melakukan pengungkapan pada kriteria sosial dibandingkan kriteria environmental maupun tatakelola (governance). Meskipun 60% dari 30 perusahaan yang menjadi partisipan studi tersebut memiliki sertifikasi ISO untuk environmental, pengungkapan yang dilakukan untuk item tersebut sangat terbatas. Hal ini boleh jadi terkait penjelasan dalam setiap aspek environmental (dan sosial) dalam peraturan tersebut mengimplikasi sifat sukarela untuk detil komponen yang harus dilaporkan pada setiap aspek3. Untuk tujuan pengujian, penelitian ini berpendapat pengungkapan environmental di Indonesia lebih bersifat sukarela mengingat diskresi manajemen Pengungkapan environmental dapat diartikan sebagai rangkaian komponen informasi yang berkaitan dengan aktivitas pengelolaan dan kinerja environmental, maupun dampak keuangan yang ditimbulkan oleh keputusan environmental tersebut, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa yang akan datang (Berthelot et al 2003). Cormier et al (2004) berpendapat luasan pengungkapan informasi environmental berkaitan dengan persepsi manajemen terhadap pemangku kepentingan yang membutuhkan akuntabilitas perusahaan. Menurut Hess (2008) pengungkapan sosial―termasuk informasi environmental, akan meningkatkan akuntabilitas, pengertian yang lebih besar dari pemangku kepentingan, dan terutama mendorong perusahaan praktik pengelolaan perusahaan yang konsisten dengan prinsip sustainable development. 2 Organisasi non-profit Amerika yang berfokus pada sustainable and responsible investment. Informasi inI diambil dari seksi Lesson Learned: The Emerging Markets Disclosure Project 2008-2012 pada situs resmi www.ussif.org 3 Penjelasan komponen yang perlu dilaporkan diawali dengan kata “seperti” dan diakhiri dengan kata “dan lain-lain”. Sebagai contoh, bunyi peraturan X.K.6 butir h poin (1) “…terkait aspek (a) lingkungan hidup, seperti penggunaan material dan energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, sistem pengelolaan limbah perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki, dan lain-lain;…” Seminar and call for paper Survei de Villier dan van Staden (2010) terhadap pemegang saham individual pada tiga negara (Australia, Inggris, dan Amerika Serikat) mengindikasi adanya respon positif terhadap pengungkapan informasi environmental. Secara khusus, responden menyatakan mereka membutuhkan pengungkapan berupa overview mengenai risiko dan dampak lingkungan, kebijakan environmental, kinerja dan pencapaian target environmental yang terukur, serta kisaran kos environmental. Bahkan, mayoritas responden menginginkan informasi tersebut diaudit. Menurut mereka, manajemen harus bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang disebabkan oleh operasi 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 perusahaan. Hasil survei tersebut setidaknya mendukung dugaan dampak legitimasi yang ditimbulkan oleh informasi environmental sebagaimana dikemukakan Marrewijk (2002), de Villiers dan van Staden (2006), serta Bronn dan Vidaver-Cohen (2009). Kinerja sustainability dan pengungkapan environmental Penelitian mengenai hubungan kinerja (environmental maupun finansial) dengan pengungkapan environmental menunjukkan temuan yang inkonsisten. Sejumlah studi mendokumentasikan arah negatif (misalnya Patten 2002), positif (misalnya Clarkson et al 2008; dan Clarkson et al 2011), bahkan tidak menemukan signifikansi yang mendukung dugaan hubungan antara kedua variabel tersebut (misalnya Ingram dan Frasier 1980). Hal ini boleh jadi disebabkan perbedaan teori yang mendasari dugaan penelitian. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan kinerja dengan pengungkapan environmental adalah perspektif legitimasi sosial. Menurut perspektif ini, perusahaan akan melakukan berbagai upaya yang dipandang penting untuk mempertahankan citra bisnis yang legitimat. Salah satu jalur yang dimanfaatkan untuk mendapatkan legitimasi publik adalah pengungkapan. Oleh karena itu, perusahaan boleh jadi mengubah intensitas maupun tipe pengungkapan ketika manajemen menghadapi atau mempersepsikan adanya pergeseran ancaman legitimasi (de Villiers dan van Staden 2006). Potensi scrutiny yang timbul akibat pengungkapan environmental akan Seminar and call for paper mendorong perusahaan mengurangi detil, sehingga informasi yang diungkap lebih bersifat umum. Hal ini sejalan dengan simpulan riviu Berthelot terhadap penelitian mengenai pengungkapan environmental periode tahun 1980 sampai awal era 2000-an yang secara umum mengindikasi bahwa pengungkapan environmental menjadi sarana perusahaan untuk mempertahankan legitimasi. Jika dikaitkan dengan sustainability perusahaan, penelitian ini menduga terdapat hubungan yang positif antara kinerja sustainability dengan pengungkapan environmental. Hal ini dimungkinkan karena pencapaian kinerja sustainability (yang ditunjukkan oleh masuknya perusahaan dalam indeks sustainability) secara tidak langsung menjadi indikasi adanya kinerja environmental yang baik. Jika kinerja environmental yang tercermin melalui kinerja sustainability memiliki dampak legitimasi bagi perusahaan, maka pencapaian kinerja sustainability berpengaruh positif pada pengungkapan informasi environmental. Dugaan ini dirumuskan sebagai: H2: Pencapaian kinerja sustainability berhubungan positif dengan luas pengungkapan informasi environmental. Pengungkapan environmental, kinerja sustainability, dan kompetisi Birt et al (2006) berpendapat intensitas kompetisi yang dihadapi perusahaan juga berpengaruh pada luas pengungkapan yang dilakukan. Menurut mereka, kompetisi yang 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 kuat justru memberikan insentif yang lebih besar bagi manajemen untuk melakukan pengungkapan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ancaman terhadap keunggulan kompetitif yang dihadapi oleh perusahaan yang beroperasi dalam industri dengan tingkat kompetisi tinggi akan lebih lebih rendah jika perusahaan melakukan pengungkapan. Selain mengurangi asimetri informasi sehingga memungkinkan penilaian yang lebih akurat terhadap perusahaan, manajemen juga diasumsikan mendapatkan manfaat dari pengungkapan yang dilakukan oleh pihak ketiga (misalnya analis) jika perusahaan kompetitor memilih untuk menahan pengungkapannya (Arya dan Mittendorf 2007). Pengungkapan informasi environmental yang terkait dengan pencapaian kinerja sustainability tidak selalu costless bagi perusahaan. Secara tidak langsung, pengungkapan tersebut akan mengalirkan informasi mengenai proyek inovatif―terutama yang berkaitan dengan aspek environmental, kepada kompetitor. Menurut Jansen (2010), strategi pelepasan informasi kepada publik berhubungan dengan appropriabilitas (kemungkinan atau peluang mendapatkankan profit) pendapatan dari suatu inovasi. Apabila inovasi tersebut memberikan manfaat penuh bagi inovator, besar kemungkinan kompetitor akan melakukan over-investment dalam kegiatan riset dan pengembangan untuk mensubstitusi inovasi tersebut. Hal ini disebut sebagai business-stealing effect. Namun sebaliknya, jika inovator tidak mendapatkan manfaat pendapatan optimal (penuh) dari suatu inovasi akibat pengadopsian inovasi oleh Seminar and call for paper kompetitor, maka akan terjadi free-rider effect. Trade-off kedua efek tersebut yang diindikasi menjelaskan keengganan sebagian perusahaan untuk mengungkapkan kualitas (dalam hal ini kemampuan menghasilkan kinerja environmental yang tersirat dalam kinerja sustainability) kepada publik meski terdapat regulasi yang mewajibkan hal tersebut (Board 2009). Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini menduga hubungan pencapaian kinerja sustainability dengan pengungkapan informasi environmental akan dipengaruhi oleh intensitas kompetisi yang dihadapi perusahaan. Hal ini berkaitan dengan efek legitimasi yang dihasilkan oleh kinerja sustainability dan pengungkapan environmental yang diterima perusahaan, serta manfaat ekonomis potensial yang dapat diperoleh perusahaan dari proyek inovasi terkait maupun informasi yang disampaikan kepada publik. Oleh karena itu, penelitian ini menduga: H3: Hubungan kinerja sustainability dan pengungkapan informasi environmental dipengaruhi intensitas kompetisi yang dihadapi perusahaan. MODEL TEORETIS DAN EMPIRIS Penelitian ini memodelkan hubungan variabel yang diuji sebagai berikut: 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Sementara untuk pengujian empiris, model atau persamaan yang digunakan adalah: digunakan Clarkson et al (2008) dan Clarkson et al (2011). KSt = α + β1Slackt-1 + β2Statet + β3Concentrationt + βicontrolit + ε PEt = α + β1KSt + βicontrol variableit + ε PEt = α + β1KSt + β2Competitiont + β3(KSxCompetition)t + βicontrolait + ε Keterangan: KSt : Kinerja sustainability, yang diukur dari frekuensi perusahaan masuk dalam indeks SRI-KEHATI tahun 2013 (tiga periode pengumuman). Slackt-1 : Ketersediaan sumberdaya, diukur dengan beberapa proksi unabsorbed slack menurut Tan dan Peng (2003) dengan data keuangan tahun 2012 Statet : Persentase kepemilikan pemerintah atas saham perusahaan tahun 2013 Concentrationt : Konsentrasi kepemilikan, diukur dari persentase kepemilikan publik terhadap saham perusahaan tahun 2013 Seminar Competitiont : Intensitas kompetisi yang dihadapi perusahaan tahun 2013, diukur menggunakan Herfindahl index (Krishnan 2005; Birt et al 2006) PE : Skor pengungkapan environmental, diukur dengan indeks yang and call for paper Control variable: Industri (diwakili kode industri di Bursa Efek Indonesia) dan leverage (diukur dari rasio utang terhadap ekuitas perusahaan tahun 2013) 3. Metodologi Penelitian a. Data Penelitian ini menggunakan data crosssection yang diperoleh dari situs resmi Bursa Efek Indonesia (berupa laporan tahunan, laporan keuangan, ringkasan kinerja, dan pengumuman Indeks LQ45) serta situs Yayasan SRI-KEHATI Indonesia (untuk pengumuman Indeks SRI-KEHATI). b. Sampel Penelitian ini mengadopsi kriteria dua indeks pasar untuk pemilihan sampel. Mengikuti kriteria Sustainable and Responsible Investment yang digunakan indeks SRI-KEHATI, penelitian ini menjadikan nilai aset dan nilai PER sebagai kriterian. Selain itu, mengingat penelitian ini mengangkat isu kebermanfaatan informasi dalam pengungkapan perusahaan, maka likuiditas perdagangan saham juga menjadi kriteria―sebagaimana yang digunakan indeks LQ45. Salah satu tujuan pelaporan dan pengungkapan adalah mengurangi asimetri informasi antara insiders dengan outsiders (Leuz dan Verrechia 2000). 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Asimetri informasi dapat menimbulkan adverse selection cost―yakni spread yang diciptakan oleh market maker sebagai kompensasi terhadap expected losses akibat adanya pelaku perdagangan yang memiliki informasi privat (Glosten dan Harris 1988; Affleck-Graves et al 2002). Menurut Leuz dan Verrechia (2000), adverse selection dapat termanifestasi sebagai penurunan likuiditas perdagangan saham pada pengaturan institusional riil. Jayaraman dan Milbourn (2012) berpendapat likuiditas saham dapat menjadi indikasi keinformatifan harga―yakni seberapa banyak informasi privat yang terkandung dalam harga saham. Dalam hal ini, intensitas perdagangan saham dapat menjadi tolok ukur likuditas suatu saham. Fact Book 2014 yang diterbitkan BEI menunjukkan perusahaan yang tercatat di BEI sampai dengan 31 Desember 2013 berjumlah 492 perusahaan. Berdasarkan kriteria purposive yang ditetapkan, penelitian ini memilih 107 perusahaan dari 30 industri sebagai sampel. c. 1) Kinerja sustainability (KS) Variabel ini diproksikan oleh kesertaan perusahaan dalam indeks SRI-KEHATI yang dikeluarkan BEI tahun 2013. Indeks ini diperbarui setiap enam bulan sekali, dengan masa pengumuman Februari dan Agustus. Dengan demikian, pengumuman yang digunakan adalah periode Agustus 2012, Februari 2013, dan Agustus 2013). Variabel KS diukur dengan frekuensi perusahaan masuk dalam indeks SRIKEHATI selama periode tersebut. Perusahaan yang dipilih menjadi sampel penelitian ini harus memenuhi kriteria purposive sebagai berikut: 1. total aset yang dilaporkan pada tahun 2013 berjumlah lebih dari satu trilyun Rupiah (mengacu pada kriterian SRI); 2) Ketersediaan sumberdaya (Slack) 2. memiliki price earnings ratio (PER) tahun 2013 yang bernilai positif (mengacu pada kriterian SRI); 3. saham perusahaan minimal diperdagangkan selama 240 hari atau diperdagangkan aktif selama 12 bulan (asumsi lima hari perdagangan per minggu, 20 hari per bulan); 4. volume perdagangan minimal 50.000 kali selama setahun (mengacu pada intensitas perdagangan sebagai indikator likuiditas saham). Seminar and call for paper Pengukuran variabel 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 Berkaitan dengan isu pengukuran, informasi mengenai slack dalam data publik dapat terjadi akibat tindakan manajerial, maupun ditimbulkan faktor lingkungan eksternal perusahaan (Bourgeois 1981). Menurut Tan dan Peng (2003), jika dikaitkan dengan operasi periode berjalan (current operation), unabsorbed slack―yang berkaitan dengan sumberdaya yang belum dialokasi (uncommitment resources)―lebih mudah dialihkan pemanfaatannya, dan hal ini melibatkan diskresi manajerial. Manajemen menciptakan slack melalui tindakan yang terencana. Penelitian ini menggunakan dua ukuran unabsorbed slack diuji Tan dan Peng MADIC 2015 (2003), yakni retained earnings dan depresiasi. Mengutip Cyert dan March (1963), Bourgeois (1981) menggunakan istilah “success breads slack”, yakni kinerja perusahaan yang efektif akan mendorong penciptaan profit. Dalam hal ini, retained earnings mencerminkan besaran profit atau “kelebihan” sumberdaya yang diperoleh dari hasil operasi, yang ditanamkan kembali dalam “pool of resources” perusahaan. Adapun besaran profit yang didstribusikan manajemen kepada pemegang saham akan tercermin dalam dividend payment (Bourgeois 1981). umumnya tetap mengoperasikan mesin atau memanfaatkan aktiva tetap yang telah terdepresiasi penuh, selama masih memungkinkan untuk digunakan. Dengan demikian, pendanaan dari depresiasi tersebut tidak terkait dengan produksi yang dihasilkan perusahaan pada periode kini. Oleh sebab itu, Tan dan Peng (2003) berpendapat biaya depresiasi (depreciation fund) merupakan salah satu sumber unabsorbed slack. Penelitian ini mengasumsikan kondisi perusahaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan China, mengingat Indonesia juga merupakan negara sedang berkembang. Nilai investasi untuk aktiva tetap baru yang relatif besar seringkali mendorong perusahaan tetap menggunakan aktiva tetap (misalnya mesin atau kendaraan) selama masih bisa beroperasi, meskipun umur ekonomisnya telah habis. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan akumulasi depresiasi sebagai proksi unabsorbed slack selain retained earnings. Penyisihan profit berupa retained earnings dapat dimanfaatkan perusahaan untuk mengantisipasi kondisi lingkungan yang turbulence, maupun menginisiasi inisiatif dan strategi baru yang menjaga sustainability perusahaan. Strategi baru tersebut dapat berupa sustainability initiatives yang memungkinkan perusahaan menghasilkan kinerja lingkungan dan sosial yang lebih baik, selain meningkatkan kinerja ekonomik pada periode selanjutnya. Manajemen juga menciptakan slack melalui item overhead, misalnya pos biaya administratif (Bourgeois 1981)―berupa dana depresiasi (Tan dan Peng 2003). Meski sebenarnya pendanaan ini diperuntukkan bagi investasi kapital, namun praktik yang terjadi di negara sedang berkembang seperti China, pendanaan ini justru dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai keperluan tak terduga (unanticipated needs). Menurut Tan dan Peng (2003), perusahaan di China Seminar and call for paper Variabel ini diukur menggunakan retained earnings maupun depreciation fund satu tahun sebelum periode amatan atau t-1 (Tan dan Peng 2003). Untuk penelitian ini, data diambil dari laporan keuangan perusahaan auditan tahun 2012. 3) Kepemilikan saham oleh pemerintah (State) 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 Variabel ini diukur dengan persentase saham perusahaan yang dimiliki pemerintah. Kepemilikan di atas 50% menunjukkan status perusahaan sebagai BUMN. MADIC 2015 4) Konsentrasi kepemilikan (Consentration) 7) Variabel kontrol Leuz dan Verrechia (2000) berpendapat kepemilikan saham oleh publik secara luas dapat mengindikasi konsentrasi dalam kepemilikan perusahaan. Penelitian ini menggunakan persentase kepemilikan publik terhadap saham perusahaan untuk mengukur konsentrasi kepemilikan. Porsi kepemilikan publik yang lebih besar mengindikasi konsentrasi kepemilikan yang makin kecil. Penelitian ini menggunakan industri (diproksikan dengan dua digit angka pada kode industri perusahaan yang berlaku di BEI), serta leverage―yang memproksikan kekuatan monitoring pihak eksternal yang memiliki klaim terhadap perusahaan. Adapun leverage diukur dengan debt to equity ratio. 4. Hasil dan Pembahasan 5) Intensitas kompetisi (Competition) Variabel ini diukur dengan indeks Herfindahl (Khrisnan 2005; Birt et al 2006). Intensitas kompetisi dihitung dari 1 – Indeks Herfindhal untuk setiap perusahaan. Herfindahl index dihitung sebagai jumlah kuadrat proporsi market share perusahaan, yang dinotasikan: Keterangan: Rij adalah revenue perusahaan i pada industri j; dan Rj adalah jumlah revenue perusahaan dalam industri j 6) Pengungkapan environmental (PE) Variabel ini diukur dengan skor item yang terdapat dalam indeks pengungkapan environmental berbasis rerangka Global Reporting Initiative (GRI) yang dikembangkan Clarkson et al (2008) dan digunakan Clarkson et al (2011). Indeks tersebut terdiri dari tujuh kategori umum, dan mencakup 45 item pengungkapan berbobot seimbang. Item pengungkapan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dalam lampiran. Seminar and call for paper Pengujian ini menggunakan data 107 amatan dari 107 perusahaan sampel penelitian. Dari jumlah tersebut, 17 perusahaan merupakan BUMN karena lebih dari 50% saham dimiliki oleh pemerintah RI. Selain itu, hanya 24 perusahaan atau sekitar 22% dari sampel yang pernah disertakan dalam Indeks SRI-KEHATI selama tahun 2013 (melalui tiga periode pengumuman yang berbeda). Total skor untuk pengungkapan environmental adalah 95, sementara rerata skor sampel 39. Hal ini mengindikasi laporan tahunan tidak sepenuhnya dimanfaatkan perusahaan publik di Indonesia untuk mengungkapkan informasi environmental. Peneliti menduga hal ini berkaitan dengan tren pengungkapan informasi environmental secara terpisah melalui Laporan CSR atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Reporting). Namun demikian, kondisi ini kemungkinan juga mengindikasi keengganan perusahaan publik mengungkapkan inisiatif environmental yang telah dilaksanakan. 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Tabel 1. Statistik Deskriptif Minimum Maximum Mean Std. Deviation KS 0 3 0.64 1.21 PE 1 91 39.56 36.34 RE Depreciation -1,837 milyar 66,289 milyar 5,579 milyar 11,797 milyar 1.578 milyar 97,275 milyar 3,104 milyar 10,142 milyar State 0.0000 Concentration 0.0669 Competition 0.9003 0.0941 0.2255 0.8524 0.4204 0.1623 1.00 0.8291 0.2225 106.00 2.7069 10.3117 0.0000 Leverage 0.0500 Untuk kepentingan pengujian statistikal, peneliti mengolah lanjut data beberapa variabel, yakni variabel yang dimaksud adalah RE ( dihitung dari retained earnings t-1 dibagi total aset t-1), DEP (logaritma data depresiasi t-1), dan Competition (kuadrat data intensitas kompetisi). Hasil pengujian setiap hipotesis disajikan dalam tabel 2, 3, dan 4 berikut ini. Tabel 2. Hasil Uji Hipotesis 1 Model 1: KSt = α + β1Slackt-1 + β2Statet + β3Concentrationt + βicontrol variableit + ε Koefisien Std. Error t Sig. Unab sob ed Slack Retained Earnings 0.361 0.126 2.865 0.005 Depreciation Fund 0.275 0.108 2.539 0.013 -0.212 0.652 -0.325 0.746 2.227 0.447 4.983 0.000 0.000 0.010 -0.039 0.969 -0.004 0.004 -1.014 0.313 Ownership Concentration State Variabel Kontrol Leverage Industri Adjusted R 2 0.290 F 8.210 Sign Seminar and call for 0.00 paper 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Pengujian statistikal memberikan dukungan terhadap H1a dan H1b. Koefisien retained earnings (0,361) dan koefisien depreciation fund (0,275) signifikan pada level 0,05. Hal ini mengindikasi slack resources―yang bersifat unabsorbed, mampu berperan sebagai enabler bagi perusahaan untuk menghasilkan kinerja sustainability. Sementara itu, koefisien kepemilikan pemerintah (2,227) juga signifikan pada level 0,05. Hasil tersebut mengindikasi bahwa kepemilikan pemerintah merupakan salah satu faktor yang mendorong manajemen menghasilkan kinerja sustainability yang bersifat komprehensif― finansial, environmental, dan sosial. Koefisien variabel kinerja sustainability yang positif (12,572) dan signifikan ada level 0,000 mengindikasi bahwa kemampuan perusahaan menghasilkan kinerja yang komprehensif akan mendorong manajemen melakukan pengungkapan informasi environmental secara luas. Hasil pengujian terhadap hipotesis 2 tampak pada tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis 2 Model 2: PEt = α + β1KSt + βicontrol variableit + ε Koefisien Std. Error KS t Sign. 12.572 2.334 5.386 0.000 -0.052 0.272 -0.192 0.848 -0.605 0.112 -5.403 0.000 Variabel Kontrol Leverage Industri Adjusted R 2 0.369 F Model 2 menguji pengaruh 21.631 kinerja Sign 0.00 sustainability terhadap pengungkapan informasi environmental perusahaan. Model 3 menguji efek moderasi kompetisi terhadap hubungan kinerja sustainability dengan pengungkapan informasi environmental. Hasil pengujian tidak memberikan dukungan terhadap dugaan efek moderasian intensitas kompetisi terhadap hubungan kinerja sustainability dan pengungkapan informasi environmental. Koefisien intensitas kompetisi (-41,146) signifikan pada level 0,05. Hal ini Seminar and call for paper mengindikasi kompetisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pengungkapan informasi environmental perusahaan. Meskipun perusahaan memiliki kinerja sustainability, intensitas kompetisi berpengaruh negatif pada luas pengungkapan informasi environmental. Selain itu, luas pengungkapan informasi environmental juga dipengaruhi oleh faktor industri. Hasil uji tampak pada tabel 4. 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis 3 Model 3: PEt = α + β1KSt + β2Competitiont + β3(KSxCompetition)t + βicontrol variableit + ε I Koefisien Std. Error II t Sign. Koefisien KS Competition 8.509 - 55.421 10.284 - 5.389 0.000 - 37.540 Std. Error 2.532 11.156 - III t Sign. Koefisien 3.361 0.001 6.508 3.365 0.001 - 41.146 Std. Error 5.450 14.175 - t Sign. 1.194 0.235 2.903 0.005 Interaksi: KS x Competition 3.346 8.061 0.415 0.679 Variabel Kontrol Leverage Industri Adjusted R2 F Sign Seminar and call for - 0.052 0.273 0.189 0.850 0.022 0.261 0.083 0.934 0.021 0.262 0.081 0.935 0.566 0.113 - 5.012 0.000 - 0.558 0.108 - 5.177 0.000 - 0.549 0.110 - 4.994 0.000 0.37 0.43 0.42 21.65 20.68 16.44 0.00 0.00 0.00 paper 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Seminar and call for paper 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Pengujian statistikal penelitian ini mendukung dugaan bahwa ketersediaan “kelebihan” sumberdaya dan kepemilikan merupakan faktor pendorong pencapaian kinerja sustainability. Slack atau “kelebihan” sumberdaya yang bersifat uncommitted (dalam bentuk unabsorbed slack)―dalam penelitian ini diwakili retained earnings dan depreciation fund, merupakan salah satu faktor yang memungkinkan manajemen melakukan perbaikan strategi sehingga mampu menghasilkan kinerja yang komprehensif. Temuan penelitian ini melengkapi temuan studi Harrison dan Combb (2012) maupun Xu et al (2015) yang mendokumentasikan dugaan bahwa unabsorbed slack berpengaruh positif pada pencapaian kinerja sosial perusahaan. Tan dan Peng (2003) mengindikasi retained earnings sebagai salah satu bentuk terkuat unabsorbed slack. Menurut mereka, manajemen memiliki diskresi terbesar terhadap pemanfaatan retained earnings. Bagi manajemen, keberadaan slack ini dapat memberikan ruang untuk melakukan inovasi―berupa pembaruan teknologi misalnya, yang berkontribusi pada perbaikan kinerja (misalnya menghasilkan efisiensi faktor produksi maupun memungkinkan pemenuhan regulasi sehingga mengurangi risiko pelanggaran). Depreciation fund sebenarnya merupakan slack yang terjadi akibat alokasi harga perolehan aktiva selama umur ekonomis. Ketika perusahaan mengoperasikan aktiva tetap (misalnya peralatan, mesin produksi, maupun kendaraan) yang telah habis umur ekonomisnya, namun tetap mengalokasikan depresiasi, maka biaya yang dialokasikan Seminar and call for paper tersebut tidak berhubungan dengan produksi saat ini (Tan dan Peng 2003). Kemampuan perusahaan menghasilkan kinerja sustainability juga terkait dengan aspek kepemilikan, karena dapat berpengaruh pada keputusan pengelolaan sumberdaya, terutama pemanfaatan “kelebihan” sumberdaya. Aspek kepemilikan ditengarai berdampak pada kemampuan perusahaan menghasilkan inovasi. Pada perusahaan murni swasta, konflik keagenan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas lebih dimungkinkan terjadi. Chin et al (2009) berpendapat konflik kepentingan antara pemilik pengendali dengan pemilik minoritas berdampak pada inovasi yang mampu dihasilkan perusahaan. Dengan sampel perusahaan elektronika di Taiwan, mereka mendokumentasi temuan bahwa level inovasi―diwakili oleh jumlah paten yang didaftarkan perusahaan, terkait dengan divergensi pengendalian maupun keberadaan pemilik dalam dewan direksi maupun penempatan pemilik sebagai CEO. Hal ini mengindikasi, masalah ekspropriasi boleh jadi menjadi penghalang bagi perusahaan menghasilkan kinerja sustainability akibat keengganan pemilik pengendali mengalihkan pemanfaatan sumberdaya untuk investasi kekayaan intelektual yang menghasilkan inovasi. Hal yang berbeda semestinya terjadi jika pemilik pengendali perusahaan adalah pemerintah. Perusahaan milik negara (stateowned enterprises) tidak semata-mata bertujuan maksimisasi profit (Bozec et al 2002). Perusahaan milik negara di Indonesia atau yang disebut Badan Usaha Milik 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Negara (BUMN) bahkan secara eksplisit memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Ketentuan ini diatur melalui SK Menteri BUMN nomor Kep-236/MBU/2003 yang selanjutnya diubah menjadi Peraturan Menteri Negara BUMN nomor Per-05/ MBU/ 2007 dan diperbarui dengan Per-08/MBU/ 2013. Penelitian ini menghasilkan temuan kepemilikan pemerintah berpengaruh positif pada kemampuan manajemen menghasilkan kinerja sustainability. Hal ini tampaknya terkait dengan adanya tanggung jawab PKBL yang diemban BUMN. Manajemen tidak semata berorientasi pada upaya peningkatan profit, tetapi juga mengusahakan pemenuhan tanggung jawab PKBL tersebut. Mengingat investasi BUMN dalam PKBL selalu dimonitor oleh pihak kementerian, perencanaan kegiatan yang diimplementasikan melalui program tersebut cenderung lebih komprehensif dan berkelanjutan. Sebagai agen pemerintah, BUMN relatif lebih berhati-hati menjalankan operasi, terutama dalam kaitannya dengan aspek environmental. Tentu saja ini berdampak pada kecenderungan BUMN masuk dalam indeks Sustainability and Responsible Investment (SRI). Penelitian ini juga mendokumentasi hubungan positif kinerja sustainability dengan pengungkapan informasi environmental. Pencapaian tersebut secara tidak langsung mengindikasi implementasi praktik inisiatif environmental yang baik dalam kegiatan operasi perusahaan. Manajemen akan mampu menyajikan Seminar and call for paper pengungkapan yang komprehensif apabila perusahaan memang menjalankan praktik tersebut secara nyata. Dengan demikian, perusahaan yang memiliki kinerja sustainability lebih dimungkinkan melakukan pengungkapan environmental secara luas. Pengujian dalam penelitian ini juga menunjukkan hubungan negatif antara intensitas kompetisi dengan pengungkapan informasi environmental. Meski temuan ini tidak dihipotesiskan, hubungan ini mengindikasi bahwa aspek kompetisi menjadi salah satu penyebab keengganan manajemen melakukan pengungkapan informasi secara luas. Hal ini boleh jadi didasari kekhawatiran jika pengungkapan tersebut justru akan menyebabkan spillover pengetahuan―misalnya mengenai inovasi riset dan teknologi yang telah diterapkan oleh perusahaan (Hughes dan Pae 2015). Jika inovasi tersebut memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan, aliran informasi mengenai hal tersebut boleh jadi dipandang manajemen sebagai ancaman. Bahkan, kinerja sustainability tidak menjadi insentif tambahan untuk mendorong pengungkapan luas oleh manajemen. Hal ini terindikasi dari insignifikansi efek interaksi kinerja sustainability dan kompetisi dalam pengujian statistikal. Jika dikaitkan dengan temuan hubungan negatif antara industri dan pengungkapan informasi environmental, hal ini dapat mengindikasi intensitas kompetisi dalam suatu industri maupun karakteristik industri tertentu akan berdampak pada pengungkapan yang dilakukan manajemen. Hubungan negatif kinerja (environmental 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 maupun finansial) dengan pengungkapan environmental―seperti pada studi Patten (2002), boleh jadi mengindikasi bahwa informasi environmental memiliki nilai strategis bagi perusahaan. Investasi dalam kapital intelektual yang berkaitan dengan praktik environmental yang bernilai signifikan boleh jadi menjadi pertimbangan tersendiri bagi manajemen. Pengungkapan informasi ini secara luas dikhawatirkan dapat meningkatkan rivalitas akibat imitasi strategi oleh kompetitor , ataupun litigasi dari para pemangku kepentingan maupun regulator. 5. Simpulan Penelitian ini mendokumentasikan dukungan terhadap dugaan hubungan positif antara sumberdaya slack dan kepemilikan pemerintah pada kinerja sustainability perusahaan. Meski kinerja sustainability dan intensitas kompetisi terindikasi sebagai faktor yang berpengaruh pada luas pengungkapan informasi environmental perusahaan, pengujian statistikal tidak mendukung peran moderasian intensitas kompetisi pada hubungan kinerja sustainability dan luas pengungkapan informasi environmental. Masuknya perusahaan dalam indeks Sustainability and Responsible Investment yang dikeluarkan oleh BEI bekerja sama dengan Yayasan KEHATI dapat mengindikasi orientasi manajemen pada pencapaian kinerja yang komprehensif. Separuh dari jumlah perusahaan yang masuk indeks SRI-KEHATI tahun 2013 merupakan BUMN. Hal ini boleh jadi terkait dengan peran ganda yang dijalankan perusahaan Seminar and call for paper pemerintah (state-owned enterprises), yang berperan sebagai revenue generating bagi negara sekaligus agen untuk layanan pemerintah kepada masyarakat. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kinerja sustainability (ekonomik, environmental, dan sosial) potensial meningkatkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat. Secara teoretikal, temuan studi ini berkontribusi terhadap penjelasan mengenai praktik pengungkapan informasi environmental melalui laporan tahunan yang dilakukan oleh perusahaan publik yang terdaftar di BEI. Penelitian ini mengidentifikasi dua enabler pencapaian kinerja sustainability―yakni sumberdaya slack yang bersifat uncommitted dan kepemilikan negara. Selain itu, penelitian ini juga mengindikasi bahwa kinerja sustainability dan intensitas kompetisi yang dihadapi perusahaan sebagai faktor yang memengaruhi luas pengungkapan informasi environmental perusahaan. 6. Saran Penelitian ini hanya berfokus pada unabsorbed slack, yakni kelebihan sumberdaya yang uncommitted sebagai enabler kinerja sustainability. Mengingat Tan dan Peng (2003) mengindikasi bahwa unabsorbed slack dan absorbed slack memiliki peran organisasional yang berbeda, penelitian lanjutan terhadap hubungan absorbed slack dan kinerja sustainability perlu dilakukan. Keterbatasan penelitian ini terkait dengan ketiadaan basis data yang acccessible untuk menjadi indikator kinerja sustainability 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 perusahaan, terutama yang berasal dari penilaian pihak independen (semacam KLD indeks). Penggunaan indeks sustainable and responsible investment, seperti SRIKEHATI, tidak memungkinkan peneliti melibatkan perusahaan yang memiliki total aset kurang dari satu trilyun. Hal tersebut membatasi kemampuan generalisasi temuan penelitian ini. Acknowledgement Artikel ini merupakan penelitian independent study yang penulis pertama lakukan dengan bimbingan penulis kedua. REFERENSI Aharoni, Y. 1981. Performance Evaluation of State-Owned Enterprises: A Process Perspective. Management Science 27:1340-1347. Aragón-Correa, J. A., dan S. Sharma. 2003. A Contingent Resource-Based View of Proactive Corporate Environmental Strategy. Academy of Management Review 28 (1):71-88. Adams, C. A., dan G. R. Frost. 2008. Integrating Sustainability Reporting into Management Practices. Accounting Forum 32. Affleck-Graves, J., C. M. Callahan, dan N. Chipalkatti. 2002. Earnings Predictability, Information Asymmetry, and Market Liquidity. Journal of Accounting Research 40 (3):561-583. Ameer, R., dan R. Othman. 2012. Sustainability Practices and Corporate Financial Performance: A Seminar and call for paper Study Based on the Top Global Corporations. Journal of Business Ethics 108:61-79. Aras, G. l., dan D. Crowther. 2009. Corporate Sustainability Reporting: A Study in Disingenuity? Journal of Business Ethics 87:279-288. Artiach, T., D. Lee, D. Nelson, dan J. Walker. 2010. The Determinants of Corporate Sustainability Performance. Accounting and Finance 50:31-51. Arya, A., dan B. Mittendorf. 2007. The Interaction among Disclosure, Competition between Firms, and Analyst Following. Journal of Accounting and Economics 43:321339. Aust, D. N. 2013. Enhancing Shareholder Value by Improving Sustainability Performance. Corporate Finance Review, 11-15. Barney, J. 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management 17:99-120. Berthelot, S., D. Cormier, dan M. Magnan. 2003. Environmental Disclosure Research: Review and Synthesis. Journal of Accounting Literature 22:1-44. Birt, J. L., C. M. Bilson, T. Smith, dan R. E. Whaley. 2006. Ownership, Competition, and Financial Disclosure. Australian Journal of Management 31:235-263. Board, O. 2009. Competition and Disclosure. The Journal of Industrial Economics 57:197-213. 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Bourgeois, L. J. 1981. On the Measurement of Organizational Slack. Academy of Management Review 6 (1):29-39. Bozec, R., G. Breton, dan L. Cote. 2002. The Performance of State-Owned Enterprises Revisited. Financial Accountability and Management 18 (4):383-407. Brammer, S., dan A. Millington. 2003. The Effect of Stakeholder Preferences, Organizational Structure and Industry Type on Corporate Community Involvement. Journal of Business Ethics 45:213-226. Brønn, P. S., dan D. Vidaver-Cohen. 2009. Corporate Motives for Social Initiative: Legitimacy, Sustainability, or the Bottom Line? Journal of Business Ethics 87:91-109. Caprar, D. V., dan B. A. Neville. 2012. "Norming" and "Conforming": Integrating Cultural and Institutional Explanations for Sustainability Adoption in Business. Journal of Business Ethics 110:231-245. Chen, J. C., D. M. Patten, dan R. W. Robert. 2008. Corporate Charitable Contributions: A Corporate Social Performance or Legitimacy Strategy. Journal of Business Ethics 82:131144. Chin, C.-L., Y.-J. Chen, G. Kleinman, dan P. Lee. 2009. Corporate Ownership Structure and Innovation: Evidence from Taiwan's Electronics Industry. Journal of Accounting , Auditing & Finance 24 (1):145-175. Christofi, A., P. Christofi, dan S. Sisaye. 2012. Corporate Sustainability: Historical Development and Seminar and call for paper Reproting Practices. Management Research Review 35:157-172. Clarkson, P. M., Y. Li, G. D. Richardson, dan V. P. Vaspari. 2008. Revisiting the Relation between Environmental Performance and Environmental Disclosure: An Empirical Analysis. Accounting, Organizations, and Society. 33: 303-327. Clarkson, P. M., M. B. Overell, dan L. Chapple. 2011. Environmental reporting and its relation to corporate environmental performance. ABACUS. 47: 27-60. Cormier, D., I. M. Gordon, dan M. Magnan. 2004. Corporate environmental disclosure: Contrasting management's perceptions with reality. Journal of Business Ethics 49:143-165. Cortazar, G., E. S. Schwartz, dan M. Salinas. 1998. Evaluating Environmental Investments: A Real Options Approach. Management Science 44:1059-1070. Daniel, F., F. T. Lohrke, C. J. Fornaciari, dan R. A. T. Jr. 2004. Slack Resources and Firm Performance: A Meta-Analysis. Journal of Business Research 57:565-574. Deegan, C., and B. Gordon. 1996. A Study of the Environmental Disclosure Practices of Australian Corporations. Accounting and Business Research 26:187-199. de Villiers, C., dan C. J. van Staden. 2010. Shareholders' Requirements for Corporate Environmental Disclosures: A Cross Country 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Comparison. The British Accounting Review 42:227-240. de Villers, C., dan C. J. van Staden. 2006. Can Less Environmental Disclosure Have A Legitimizing Effect: Evidence from Africa. Accounting, Organization, and Society 31:763781. Dierickx, I., dan K. Cool. 1989. Asset Stock Accumulation and Sustainability of Competitive Advantage. Management Science. 35: 1504-1511. Epstein, M. J., A. R. Buhovac, dan K. Yuthas. 2015. Managing Social, Environmental, and Financial Performance Simultaneously. Long Range Planning 48:35-45. Funk, K. 2003. Sustainability and Performance. MIT Sloan Management Review 44:65-70. Galdwin, T. N., J. J. Kennely, dan T.S. Krause. 1995. Shifting Paradigms for Sustainable Development: Implications for Management Theory and Research. Academy of Management Review 20:874-907. George, G. 2005. Slack Resources and the Performance of Privately Held Firms. Academy of Management Journal. 48: 661-676. Glosten, L. R., dan L. E. Harris. 1988. Estimating the Components of the Bid/ Ask Spread. Journal of Financial Economics 21:123-142. Goyal, P., Z. Rahman., dan A.A. Kazmi. 2013. Corporate Sustainability Performance and Firm Performance Research. Management Decision. 51: 361-379. Seminar and call for paper Hair, J. F., W. C. Black, B. J. Babin, dan R. E. Anderson. 2010. Multivariate Data Analysis: A Global Perspective. 7th ed. Upper Saddle River: New Jersey: Pearson Education, Inc. Hart, S. L. 1995. A Natural-Resource-Based View of the Firm. Academy of Management Review 20 (4):9861014. Harrison, J. S., dan J. E. Coombs. The Moderating Effects from Corporate Governance Characteristics on the Relationship Between Available Slack and Community-Based Firm Performance. Journal of Business Ethics. 107: 409-422. Henri, J. F., dan M. Journeault. 2008. Environmental Performance Indicators: An empirical Study of Canadian Manufacturing Firms. Journal of Environmental Management 87:165-176. Hess, D. 2008. The Three Pillars of Corporate Social Reporting As New Governance Regulation: Disclosure, Dialoque, and Development. Business Ethics Quarterly 18 (14):447-482. Hughes, J. S., dan S. Pae. 2015. Discretionary Disclosure, Spillovers, and Competition. Review of Accounting Studies 20:319-342. Ingram, R. W., dan K. B. Frazier. 1980. Environmental Performance and Corporate Disclosure. Journal of Accounting Research 18 (No. 2, Autumn):614-622. Jayaraman, S., dan T. T. Milbourn. 2012. The Role of Stock Liquidity in 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Executive Compensation. The Accounting Review 87 (2):537-563. Jansen, J. 2010. Strategic Information Disclosure and Competition for an Imperfectly Protected Innovation. The Journal of Industrial Economics 58:349 - 372. Keputusan Ketua Bapepam-LK nomor KEP431/BL/2012 Peraturan nomor X.K.6 Krishnan, R. 2005. The Effect of Changes in Regulation and Competition on Firms' Demand for Accounting Information. The Accounting Review 80 (No.1, January):269-287. Leuz, C., dan R. E. Verrecchia. 2000. The Economic Consequences of Increased Disclosure. Journal of Accounting Research 38:91-124. Lozano, R. 2012. Towards Better Embedding Sustainability into Companies’ Systems: An Analysis of Voluntary Corporate Initiatives. Journal of Cleaner Production 25:14-26. Lourenco, I. C., M. C. Branco, J. D. Curto, dan T. Eugenio. 2012. How Does the Market Value Corporate Sustainability Performance? Journal of Business Ethics 108:417-428. Luft, J. 2009. Commentary-Nonfinancial Information and Accounting: A Reconsideration of Benefits and Challenges. Accounting Horizons 23 (No. 3):307-325. Marrewijk, M. V. 2002. Concepts and Definitions of CSR and Corporate Sustainability: Between Agency and Communion. Journal of Business Ethics 44: 95-105. Seminar and call for paper Nohria, N., dan R. Gulati. 1996. Is Slack Good or Bad for Innovation? Academy of Management Journal 39 (5):1245-1264. Patten D. M. 2002. The Relation Between Environmental Performance and Environmental Disclosure. Accounting, Organizations, and Society. 27: 763-773. Peng, C. W., dan M. L. Yang. 2014. The Effect of Corporate Social Performance on Financial Performance the Moderating Effect of Ownership Concentration. Journal of Business Ethics 123:171-182. Peraturan Menteri Negara BUMN nomor Per-05/ MBU/ 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peraturan Menteri BUMN nomor Per08/MBU/ 2013 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Perez-Batres, L. A., V. V. Miller, dan M. J. Pisani. 2011. Institutionalizing Sustainability: An Empirical Study of Corporate Registration and Commitment to the United Nations Compact Guidelines. Journal of Cleaner Production 19:843-851. Porter, M., dan M. Kramer. 2006. Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility. Harvard Business Review (December):78-92. 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015 Report of the United Nations World Commission on Environmental and Development.1987. Verrecchia, R. E. 2001. Essays on Disclosure. Journal of Accounting and Economics 32:97-180. Seifert, B., S. A. Morris, dan B. R. Bartkus. 2004. Having, Giving, and Getting: Slack Resources , Corporate Philanthropy, and Firm Financial Performance. Business & Society 43:135-161. Voss, G. B., D. Sirdeshmukh, dan Z. G. Voss. 2008. Effect of Slack Resources and Environmental Threat on Product Exploration and Exploitation. Academy of Management Journal 51:147-164. Singh, J. V. 1986. Performance, Slack, and Risk Taking in Organizational Decision Making. the Academy of Management Journal 29:562-585. Wagner, M., dan S. Schaltegger. 2003. How Does Sustainability Performance Relate to Business Competitiveness. Greener Management International 44 (Winter):5-16. Stan, C. V., M. W. Peng, dan G. D. Bruton. 2014. Slack and the Performance of State-Owned Enterprises. Asia Pasific Journal of Management. 31: 473-495. SK Menteri BUMN nomor Kep236/MBU/2003 mengenai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Tan, J., dan M. W. Peng. 2003. Organizational Slack and Firm Performance During Economic Transitions: Two Studies From an Emerging Economy. Strategic Management Journal 24:1249-1263. Tang, Y. C., dan F.M. Liu. 2010. Does Firm Performance Reveal Its Own Causes? The Role of Bayesian Inference. Strategic Management Journal 31:39-57. Turban, D. B., dan D. W. Greening. 1996. Corporate Social Performance and Organizational Attractiveness to Prospective Employee. Academy of Management Journal 40:658-672. Seminar and call for paper Wagner, M. 2010. The Role of Corporate Sustainability Performance for Economic Performance: A FirmLevel Analysis of Moderation Effects. Ecological Economics 69:1553-1560. Walker, K., dan F. Wan. 2012. The Harm of Symbolic Actions and Greenwashing: Corporate Actions and Communications on Environmental Performance and Their Financial Implication. Journal of Business Ethics 109:227-242. Wood, D. J. 2010. Measuring Corporate Social Performance: A Review. International Journal of Management Reviews:50-84. Xu, E., H. Yang, J. M. Quan, dan Y. Lu. 2015. Organizational Slack and Corporate Social Performance: Empirical Evidence from China's Public Firms. Asia Pasific Journal of Management 32:181-198. 2015 Strategic Agility: Thrive in Turbulent Environment (Research and Practices) Hotel Grasia, Semarang 7 Oktober 2015 MADIC 2015