PROBLEMA AKTIFITAS PEMBELAJARAN Oleh : Ali Ahmad Yenuri Abstrak : Problema Aktifitas Pembelajaran Dalam Pendidikan Modern, Makalah ini menggunakan dua perspektif yaitu perpektif psikologis dan Filosofis. Kedua perspektif tersebut digunakan untuk menganalisa problemaproblema yang terjadi seputar permasalahan dominasi teori pembelajaran barat dalam pendidikan modern, kelebihan dan kekurangan teori pembelajaran barat, penerapan teori pembelajaran barat dalam pendidikan keagamaan, dan analisa problema beserta alternatif jalan keluarnya. Keywords : Teori Behavioristik, Teori Humanistik, Teori Kognitif, Teori Psikologi Gestalt, positivis-empirik dan Teoantroposentris – Integralistik. PENDAHULUAN Manusia modern adalah sebuah masyarakat yang berdimensi satu (one dimensional man); artinya seluruh sisi kehidupannya hanya diarahkan pada satu tujuan, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, sistem itu tidak lain adalah kapitalisme. Pengerahan pada satu tujuan ini berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak menyetujui dan tidak sesuai dengan sistem tersebut. Masyarakat modern tersebut bersifat represif dan totaliter (menindas dan bersifat menyeluruh), kondisi demikian merasuki segenap wilayah kehidupan manusia, baik pada wilayah sosial-ekonomi, sosial-politik maupun sosial-budaya dan pendidikan.1 Kenyataannya, negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, secara latah dan tanpa merasa segan justru mengimpor dan mengadopsi konsep dan sistem pendidikan yang dikembangkan di Barat, sistem pendidikan yang hanya memikirkan kebebasan tanpa mementingkan tanggung jawab dan mengabaikan usaha memperkokoh kehidupan akhlak dan agama.2 Oleh karena itu tulisan ini berusaha mencoba mengurai kembali problematika aktifitas pembelajaran dalam pendidikan modern dalam dua perspektif, yaitu perspektif psikologis dan perspektif filosofis. DOMINASI TEORI PEMBELAJARAN BARAT DALAM PENDIDIKAN MODERN Teori pembelajaran barat sudah mendominasi dan besar pengaruhnya dalam ranah politik sosial budaya maupun dalam pendidikan. Dalam mempengaruhi atau mendominasi pendidikan 1 M. Sastrapratedja (ed.), Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 123-124. 2 Fadhil al-Jamil, Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam, terj. HM. Arifin (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), hlm. 39. 89 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 dipandang dari psikologis, setidak-tidaknya ada 4 pandangan mengenai teori pembelajaran, Teori pembelajaran tersebut antara lain: 1. Teori Behavioristik Behavioristik adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. 3 Menurut pandangan aliran ini bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan kontrol instrumental dari lingkungan. Guru mengkondisikan sedemikian sehingga siswa pembelajar atau siswa mau belajar. Dengan demikian dilaksanakan dengan kondisioning, pembiasaan, peniruan. Hadiah dan hukuman sering ditawarkan dalam pembelajaran. Kedaulatan guru dalam pembelajaran demikian relatif tinggi, sementara kedaulatan siswa sebaliknya, sangat rendah. 4 Sebagaimana telah diketahui bahwa pembelajaran menurut faham di atas adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal dengan teori conditioning.5 Teori pembelajaran ini dikemukakan oleh ahli psikologi behavioristik, mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan dari lingkungan. Dengan demikian tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya.6 Teori ini merupakan teori yang menekankan pada kegiatan organisme yang diamati sebagaimana terwujud pada gerakan bagian-bagian tubuh atau pada tingkah laku. Teori prilaku ini menegaskan bahwa dalam mempelajari individu yang seharusnya dilakukan adalah menguji dan mengamati perilakunya dan bukan mengamati kegiatan bagian dalam tubuhnya. 7 Teori tingkah laku mula-mula dikembangkan Pavlov, Watson, Gutri dan Skinner. Di dalam tradisi behavioristik berkembang keyakinan bahwa perkembangan ialah perilaku yang dapat diamati yang dipelajari melalui pengalaman dan lingkungan.8 2. Teori Humanistik Pandangan yang berasal dari psikologi humanistik ini merupakan antitesa pandangan behavioristik. Dalam pandangan teori ini, pembelajaran dapat dilakukan sendiri oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran dengan teori ini menjadikan siswa senantiasa menemukan 3 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 38. Ali Imran, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Dunia Pustaka jaya, 1996), hlm. 2. 5 Ibid., Ali Imran, Belajar dan Pembelajaran… hlm. 5. 6 Tajdab, Ilmu Jiwa Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994) hlm. 60. 7 Soyomuhti Nurani, Teori-Teori Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2001), hlm. 40. 8 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hlm 54. 4 90 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 sendiri mengenai sesuatu tanpa banyak campur tangan dari guru. Peranan guru dalam pembelajaran yakni mengajar dan belajar demikian relatif rendah. Kedaulatan siswa dalam pembelajaran relatif tinggi, sehingga menjadikan kedaulatan guru relatif rendah.9 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa teori pembelajaran ini merupakan antitesa dari teori pembelajaran behavioristik. Jika dalam pembelajaran behavioristik belajar merupakan kontrol instrumental yang dilakukan oleh lingkungan maka dalam pandangan psikologi humanistik justru sebaliknya. Bahwa pembelajaran dilakukan dengan cara memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada individu.1 Psikologi humanistik berkeyakinan bahwa anak termasuk makhluk yang unik, beragam, berbeda satu sama lain. Keberagaman yang ada pada diri anak, hendaknya dikukuhkan. Dengan demikian seorang pendidik atau guru bukanlah bertugas untuk membentuk anak menjadi manusia sesuai yang dikehendaki, melainkan memantapkan visi yang telah ada pada anak itu sendiri. Untuk itu seorang pendidik pertama kali membantu anak untuk memahami diri sendiri dan tidak memaksakan pemahamannya sendiri mengenai siswa. Dalam proses pembelajaran psikologi humanistis mengatakan bahwa jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi baru itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam pembelajaran bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil.1 Pandangan teori ini mengungkapkan bahwa belajar bukan sekedar membangun kualitas kognitif saja, melainkan sebuah proses yang terjadi dalam individu yang melibatkan seluruh aspek domain yang ada baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran merupakan titik tekan pada pentingnya emosi, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki tiap siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Teori ini melahirkan berbagai teori yang tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan dengan pengalaman mereka sendiri. Menurut teori ini pendidik diharapkan dapat membantu 9 Ibid., Ali Imran, Belajar dan Pembelajaran… hlm. 4. 0 Ibid., Ali Imran, Belajar dan Pembelajaran… hlm. 11. 1 1 Wiji suwarna, Dasar-dasar ilmu pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm72. 1 91 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 dalam mengembangkan diri siswa untuk mengenal diri sendiri sebagai manusia yang unik sekaligus membantu siswa dalam mewujudkan potensi-potensi dalam diri mereka. 3. Teori Kognitif Pandangan dari psikologi kognitif ini merupakan konvergensi dari pandangan behavioristik dan humanistik. Dengan demikian dalam pandangan teori kognitif pembelajaran merupakan perpaduan dari usaha pribadi dengan kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang cocok dalam pandangan ini adalah eksperimentasi. Yang mana dihasilkan bahwa dalam pandangan psikologi behavioristik tanggung jawab siswa dalam belajar rendah sedangkan tanggung jawab guru tinggi. Sebaliknya dalam pandangan humanistik tanggung jawab guru rendah sedangkan tanggung jawab siswa tinggi. Sementara dalam pandangan kognitif tanggung jawab guru dan siswa sama-sama sedang.1 2 Menurut psikologi kognitif memandang bahwa pembelajaran sebagai usaha untuk mengerti tentang sesuatu. Usaha untuk mengerti tentang sesuatu tersebut dilakukan secara aktif oleh pembelajar. Keaktifan tersebut dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan maslah, mencermati lingkungan, mempraktekkan, mengabaikan dan respon-respon lainnya guna mencapai tujuan. Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dipunyai sebelumnya sangat menentukan terhadap perolehan belajar: yang harus dipelajari yang berhasil di ingat dan yang mudah dilupakan.1 Salah satu teori pembelajaran yang berasal dari psikologi kognitif ini teori pemrosesan informasi. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan oleh otak manusia sendiri dimulai pengamatan (pengindraan) atas informasi yang berada dalam lingkungan manusia, penyimpanan, penyimbolan/ pengkodean/ penyandian terhadap informasi-informasi yang tersimpan, dan setelah membentuk pengertian kemudian dikeluarkan lagi oleh pembelajar. 4. Teori Psikologi Gestalt 1 1 Ibid., Wiji suwarna, Dasar-dasar ilmu pendidikan2 ..hlm.5. Ibid., Wiji suwarna, Dasar-dasar ilmu pendidikan3 ..hlm. 11. 92 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 Selain ketiga pandangan di atas ada pandangan dari teori gestalt bahwa pembelajaran adalan usaha yang bersifat totalitas dari individu, oleh karena totalitas lebih bermakna dibandingkan dengan sebagian-sebagian. Menurut teori gestalt pembelajaran terdiri atas stimulus respon yang sederhana tanpa adanya pengulangan ide atau proses berfikir. Sehingga setiap pengalaman itu senantiasa berstruktur. Setiap respon yang diberikan seseorang terhadap suatu simultan sebenarnya tidak tertuju kepada suatu bagian melainkan tertuju kepada sesuatu yang bersifat kompleks.1 Aliran ini berpendirian bahwa keseluruhan lebih dan lain dari pada bagian-bagiannya, bahwa manusia adalah organisme yang aktif berusaha mencapai tujuan, bahwa individu bertindak atas pengaruh di dalam dan di luar individu. Jika seseorang belajar ia mendapatkan 5 insight.1 Insight itu diperoleh bila ia melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi itu sehingga hubungan menjadi jelas baginya dan dengan demikian memecahkan masalah itu.1 6 Ditinjau dari perspektif filosofis ada 4 hal yang menjadi latar belakang, kenapa teori pembelajaran dalam pendidikan modern lebih didominasi barat? Pertama, Jika kita belajar tentang sejarah perkembangan ilmu, mau tidak mau kita kembali menengok perkembangan ilmu di dunia barat, karena mereka memang memiliki landasan pengembangan ilmu yang lebih sistematik dan terdokumentasi secara cermat daripada dunia timur. Perkembangan ilmu di dunia barat berakar pada tradisi Yunani yang berlandaskan Logos, Ethos, dan Pathos.1 7 Kedua, Belum pernah terjadi suatu zaman seperti sekarang, ketika manusia sangat sadar akan kekuasaannya atas realitas. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang semakin cepat, sains yang bersifat positivis-empirik telah membuktikan kehebatannya sehingga memaksa Negara-negara berkembang dalam hal ini negara islam membawanya sebagai paradigma baru. Thomas Kuhn menjelaskan konsep paradigma yaitu : bahwa dalam masa tertentu, ilmu sosial dikuasai oleh suatu paradigma, kemudian paradigma itu merosot, dan digantikan oleh paradigma baru. Itulah sebabnya perkembangan ilmu sosial, terjadi secara revolusi.1 1 Ibid., Wiji suwarna, Dasar-dasar ilmu pendidikan4 ..hlm. 15. 5 Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), hlm.18. 1 6 Nasution, Didaktik metodik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 42. 1 Logos membimbing ilmuwan untuk mengambil 7keputusan yang lebih mendasarkan diri pada pemikiran yang bersifat rasional, dapat dinalar (rasionable). Ethos mengajarkan para ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu. Dan pathos menyangkut komponen atau unsur rasa dalam diri manusia sebagai makhluk yang mencintai aspek keindahan sehingga hidup ini tidak monoton dan kaku, selalu terbuka peluang untuk mengadakan improvisasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, lihat lebih jauh..Rizal Mustansir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 7. 1 8 Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas (Jakarta : Departemen Agama RI, 2003) hlm. 1 1 93 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 Ketiga, Menurut Whitehead atas sejarah, agama pada zaman modern telah kehilangan genggaman pengaruhnya atas dunia. Menurut Whitehead ada alasan pokok yang menyebabkan kemerosotan tersebut. Alasannya adalah stagnasi yang menimpa kehidupan beragama. Stagnasi ini terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensif kaum agamawan dalam menghadapi perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi.1 9 Keempat, Pengaruh Aufklarung (pencerahan) yang menghendaki agar manusia dibebaskan dari absolutisme negara/agama dan mengharapkan kebebasan, terutama kebebasan ekonomi, dapat menghasilkan kebahagian yang sebesar-besarnya. (Kapitalisme-Liberalisme).2 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI PEMBELAJARAN BARAT Teori behavioristik mempunyai kelebihan dan kelemahan, dari segi kelebihannya teori ini sangat cocok dan tepat bila diterapkan ketika para peserta didik tidak aktif atau kurang memiliki bahan materi karena kekurangan bacaan. Di samping itu dengan teori ini mampu memotivasi siswa dengan adanya pemberian reward dan punishment sehingga pembelajaran menjadi aktif. Apabila prilaku baik siswa diberi reward maka prilaku tersebut cenderung dipertahankan bahkan ditingkatkan sedang siswa yang melakukan kesalahan akan mendapatkan hukuman dari guru. supaya siswa tidak mengulangi perbuatan tercelanya. Sedangkan kelemahan Teori behavioristik cenderung menjadi siswa untuk tidak kreatif dan tidak produktif. Sebab yang paling aktif adalah guru dengan demikian kreatifitas dan keaktifan murid menjadi rendah. Teori humanistik dalam pembelajaran kelebihannya adalah mampu menjadikan siswa aktif, kreatif, dan produktif sehingga di setiap pembelajaran guru berfungsi sebagai fasilitator dan mengarahkan kepada peserta didik sehingga peserta didik tidak larut dalam keasyikan ketika mereka salah ada sang guru dalam memberikan pengarahan. Sedangkan kelemahannya teori pembelajaran humanistik menjadikan guru hanya sebagai orang yang kesekian karena guru tidak lagi menjadi sumber pembelajaran satu-satunya dan akhirnya guru tidak mendapatkan perannya sebagai pendidik. Teori kognitif dalam pembelajaran yang merupakan perpaduan dari teori behavioristik dan humanistik ini kelebihannya mampu menciptakan pembelajaran yang seimbang dan keaktifan dalam proses pembelajarannya yang akhirnya kelas menjadi aktif kedua-duanya antara guru dan murid sehingga pembelajaran lancar dan tertib. Namun kelemahan dari teori ini adalah dalam mendapatkan hasil dari proses pembelajaran kalau dari teori behavioristik guru yang aktif dan 1 9 J. Sudarminta, Filsafat Proses : Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta : Kanisius, 1994) hlm. 87 2 0 Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung : CV. Ilmu, 1974) hlm. 118. 94 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 menjadikan murid kurang maksimal sedangkan teori humanistik menjadikan murid lebih aktif dari pada guru yang akhirnya guru dikesampingkan namun dari teori ini menjadikan keduanya sedangsedang yaitu antara keaktifan guru dan murid tidak ada yang dominan dan akhirnya hasil pembelajaran juga agak maksimal yaitu sedang-sedang. Teori gestalt dalam pembelajaran kelebihannya adalah mampu menjadikan hasil pembelajaran lebih sempurna dan menyeluruh sedangkan kekurangannya dari teori pembelajaran ini adalah tingkat pemahaman hasil yang sampai rumit dan terperinci kurang dihasilkan dalam pembelajaran. Ditinjau dari Perspektif filosofis teori pembelajaran barat modern mempunyai beberapa kelebihan, yaitu : 1. Mempunyai landasan epistemologi positivis logis yang kuat, ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran merupakan a never ending process, bukan sesuatu yang mandeg dalam kebekuan normatif dan dogmatis. 2 2. Pengaruh dari epistemologi dan pandangan terhadap realitas (metafisik) tersebut telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang pesat. Sehingga dalam hal ini Roger Bacon mengungkapkan, “Knowledge is power”.2 Walaupun teori pembelajaran barat telah mampu memproduksi teknologi dan sains begitu pesat, namun Implikasi atas cara pandang, kultur dan pola berpikir yang hanya membenarkan kenyataan empiris tersebut sangat mempengaruhi dan menentukan sistem pendidikan yang mereka kembangkan, sebuah sistem pendidikan yang mengacu pada paradigma liberalisme. Dengan begitu, maka lahirlah sebuah generasi yang mengagungkan kebebasan, lepas dari dataran etis, norma dan agama. Ini artinya, pengembangan sains dan teknologi melalui sistem pendidikan yang begitu pesat di Barat, juga diiringi dengan munculnya generasi yang justru merendahkan martabat kemanusiannya sendiri (dehumanisasi). PENERAPAN TEORI PEMBELAJARAN BARAT DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN 2 2 Ibid., Rizal Mustansir, Filsafat Ilmu ..hlm. 72 Ibid., Rizal Mustansir, Filsafat Ilmu ..hlm. 71 1 2 95 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 Ada baiknya kita bersifat sintesis kritis, mengambil yang baik secara kritis di antara metodologi-metodologi yang ditawarkan barat, tetapi membuang berbagai pemikiran yang menyimpang dari pemikiran keagamaan. Kenapa demikian? Ilmu pendidikan berbeda dengan Sains dan teknologi yang bersifat eksak dan pasti, ilmu pendidikan hasil temuan manusia bersifat relatif, karena pendidikan manusia itu tergantung kepada sistemnya. Produk karakter manusia seperti apa yang akan dihasilkan tergantung kepada sistem dan lingkungan yang membentuknya. Jadi ilmu pendidikan dan psikologi yang dihasilkan tentu akan tergantung bagaimana sistem dan nilai-nilai yang dianut oleh sistem tersebut. Dengan kata lain kita tidak bisa mengadopsi begitu saja teori pendidikan dan psikologi dari barat. Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. 2 Dengan lain ungkapan, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktek kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat perlu dikoreksi dan diluruskan.2 4 Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya di sebut “Syariat”. Kitab suci Al-Quran yang diturunkan merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta Grand Theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekular. Analisa Problema dan Alternatif Jalan Keluarnya Ditinjau dari perspektif filosofis, ada tiga problema yang mendasar dari teori barat modern, yaitu dari aspek metafisik, epistemologi dan etik. Pondasi metafisik sangat penting bagi sebuah bangunan epistemologi. Karena pondasi ini sangat berpengaruh bagi bangunan epistemologi, sistem klasifikasi, maupun metodologi yang digunakannya. Keraguan atau penolakan dari banyak ilmuwan Barat terhadap dunia metafisik telah menyebabkan pembatasan lingkup sains pada objek-objek inderawi atau substansi-substansi meterial belaka (materialism – sekularisme). Sains kemudian hanya berkutat dengan entitas-entitas yang bisa diobservasi 2 3 Konotasi penyebutan “agama” dapat berarti macam-macam. Bisa berupa kelembagaan agama, ritus-ritus agama, dogma agama, tradisi agama dan begitu seterusnya. Namun yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, moralitas, dan etika yang dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya Islam 2 4 Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, New York : Harper Tourchbooks, 1996, 1-2 96 3 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 (observable entities). Sains yang bersifat positivis-empirik akhirnya menghasilkan pandangan etika yang bebas dari nilai (free of value). Bagaimanakah solusi yang terbaik dalam hal ini perspektif filsafat Pendidikan Islam? Solusi terbaik dalam hal ini menurut Amin Abdullah adalah menggunakan pendekatan Teoantroposentris – Integralistik. 2 Teoantroposentris adalah pandangan yang 5 mengakui perpaduan antara dua macam sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Integralistik adalah Perubahan gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharûriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hâjiyyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selebihnya adalah hak manusia untuk memikirkan dinamika internal ilmu. Selain ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness). Beberapa contoh dibawah ini akan memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat diambil dari ilmu Ekonomi Syariah, yang sudah nyata ada praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha argrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil (al-mudhârabah), dan kerjasama (al-musyârakah). Disitu terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non agama, atau bahkan anti-agama. PENUTUP 2 5 Amin Abdullah, Makalah “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum Dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik Ke arah Teoantroposentrik-Integralistik) dalam Seminar : Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan di IAIN Sunan Kalijaga, 12 September 2002. 97 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 Pembelajaran barat yang telah berhasil mengembangkan sains dan teknologi ternyata menyisakan lubang yang menggangga, lubang yang melupakan eksistensi manusia akan kemanusiaannya (dehumanisasi). Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia seakan-akan berbalik untuk menghantam penciptanya sendiri, yaitu manusia. Oleh karena itu, diperlukan usaha mensinergikan ilmu dan agama, karena agama mencoba mengembalikan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Agama akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan. Dengan berbagai problematika manusia modern yang disebabkan kegagalan teori barat, kini sudah saatnya memunculkan landasan epistemologi integral yang tidak mendikotomikan antara ilmu dan agama dengan epistemologi teoantrophosentris-integralistik. DAFTAR PUSTAKA 98 MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015 Abdullah, Amin . Makalah “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum Dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik Ke arah TeoantroposentrikIntegralistik) dalam Seminar : Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan di IAIN Sunan Kalijaga, 12 September 2002. Ali, Muhammad. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 1996. Arifin, Anwar. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta : Departemen Agama RI. 2003. Desmita, Wiji. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2005. Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan . Bandung : CV. Ilmu, 1974. Hamalik, Oemar. Proses Belajar Mengajar . Jakarta: Bumi Aksara. 2001. Imran, Ali. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dunia Pustaka jaya. 1996. Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, New York : Harper Tourchbooks, 1996. Sudarminta, J. Filsafat Proses : Sebuah Pengantar Yogyakarta : Kanisius, 1994. Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead. al-Jamil, Fadhil. Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam, terj. HM. Arifin Jakarta: Golden Trayon Press.1992. Sastrapratedja, M. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat Jakarta: Gramedia, 1983. Mustansir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Nasution, Didaktik metodik. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Nurani, Soyomuhti. Teori-Teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2001. Suwarna, Dasar-dasar ilmu pendidikan.Yogyakarta: Ar-Ruzz. 2006. Tajdab, Ilmu Jiwa Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama. 1994. 99