Refleksi Kritis dari Lapangan - Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan

advertisement
M. Mushthafa, Jembatan untuk Pendidikan Kontekstual | 175-181
Jembatan untuk Pendidikan Kontekstual:
Refleksi Kritis dari Lapangan
M. Mushthafa
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika),
Guluk-Guluk, Sumenep.
Judul buku : Mendidik Pemenang Bukan
Pecundang
Penulis
: Dhitta Puti Sarasvati &
J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan
: Pertama, April 2016
Tebal
: xvi + 324 halaman
Salah satu kritik mendasar terhadap dunia pendidikan saat ini
adalah kenyataan bahwa pendidikan, yakni sistem persekolahan,
dipandang masih belum mampu menjawab tantangan zaman.
Lulusan sekolah masih banyak gagap menghadapi kenyataan
hidup di masyarakat saat mereka terjun dan bergelut langsung
dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pertanda yang dapat dikemukakan terkait dengan
problem krisis sosial-ekologis yang dihadapi umat manusia
saat ini. Dalam pandangan sejumlah pihak, sekolah dipandang
belum cukup mampu untuk menanamkan kepekaan ekologis
atau melek ekologis (ecological literacy) terhadap para siswa di
sekolah sehingga siswa gagal memberi tanggapan kritis atas
krisis sosial-ekologis yang dihadapi umat manusia.
Di sisi yang lain, kesenjangan praktik pendidikan di sekolah
dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan zaman juga terasa
kurang terjembatani oleh dunia akademis, yakni pendidikan
tinggi yang mengelola jurusan keguruan dan ilmu pendidikan.
Buku berjudul Mendidik Pemenang Bukan Pecundang yang
176-181 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
ditulis oleh dua orang praktisi pendidikan ini kiranya dapat
menjadi jembatan untuk menghidupkan kembali pendidikan
kritis dan pendidikan kontekstual. Pendidikan kritis dan
pendidikan kontekstual yang dimaksudkan di sini adalah model
pendidikan yang mampu menanamkan kepekaan kepada para
peserta didiknya atas situasi masyarakat yang bergerak cepat
dan praktik pendidikan yang mampu menjawab tantangan
zaman di masa mendatang.
Dhitta Puti Sarasvati, penulis buku ini, adalah lulusan Teknik
Mesin ITB dan Pendidikan Matematika Universitas Bristol (UK)
yang saat ini mengajar di Fakultas Pendidikan, Sampoerna
University, setelah sebelumnya menjadi guru honorer dan juga
aktif di Ikatan Guru Indonesia (IGI). Sedangkan J. Sumardianta,
penulis lainnya, mengajar di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta.
Pada bagian pengantar, dijelaskan bahwa “buku ini ditulis
bagi para pendidik, calon pendidik, dan orangtua untuk
mempersiapkan generasi muda menghadapi dunia nyata” (hlm.
xiv). Generasi seperti apa yang diharapkan dapat lahir dari
sekolah ideal oleh penulis buku ini? Dari judulnya, pembaca bisa
menjawab: generasi pemenang, bukan generasi pecundang.
Penulis buku ini menjelaskan makna “pemenang” pada
tulisan pertama dengan membuat pembedaan antara generasi
muda tipe pengemudi (driver) dan penumpang (passenger).
Dengan mengutip Rhenald Kasali, dijelaskan bahwa generasi
pemenang memiliki sejumlah ciri, misalnya visioner, proaktif dan
siap memelopori perubahan, siap turun tangan, mampu melihat
solusi dalam tiap masalah, suka bekerja keras, menjadi trend setter,
dan sebagainya. Sementara itu, generasi penumpang yang juga
diidentikkan dengan pecundang digambarkan bermental pasif,
kurang mandiri, cepat menyerah, mudah mengeluh dan frustrasi,
sulit mencari alternatif jalan keluar, dan sebagainya (hlm. 5-8).
Sesuai dengan karakternya yang merupakan kumpulan
tulisan, maka dalam buku ini tidak ada uraian yang sifatnya
sistematis untuk menjawab cara sekolah membentuk generasi
pemenang itu. Pembaca harus menyimpulkan sendiri bagaimana
generasi pemenang itu dibentuk oleh sekolah. Dalam menjelaskan
M. Mushthafa, Jembatan untuk Pendidikan Kontekstual | 177-181
masalah ini, buku ini memberi jawaban secara teoretis maupun
praktis. Maksudnya, ada jawaban yang digali dari gagasan atau
teori, ada pula yang dijawab melalui pemaparan praktik yang
baik (good practice) di lapangan.
Misalnya, buku ini mengutip pendapat Prof. Soedjatmoko
bahwa jantung sekolah berkualitas ada tiga, yakni perpustakaan,
laboratorium, dan interaksi (hlm. 17-18). Perpustakaan merupakan
sumber informasi yang untuk konteks saat ini sebenarnya tak
dapat digantikan sepenuhnya dengan internet. Perpustakaan
dalam bentuknya yang konvensional yang memuat buku-buku,
majalah, dan semacamnya, pada tingkat mendasar mendorong
siswa di sekolah untuk memiliki kemampuan mencari dan
mengolah informasi. Tanpa kemahiran dasar ini, internet yang
menyediakan informasi tak terbatas akan jauh berkurang
nilainya. Internet hanya akan menjadi gudang data belaka.
Malahan jika siswa—atau bahkan juga guru—langsung masuk
ke dunia internet tanpa dasar kemampuan melek informasi yang
cukup maka bisa saja ia terperangkap pada mentalitas instan.
Jika perpustakaan berfungsi sebagai penyedia informasi,
laboratorium adalah tempat siswa melakukan praktik,
bereksplorasi, bereksprimen, dan meneliti. Tentu saja,
laboratorium yang dimaksudkan di sini bukanlah laboratorium
dalam arti sempit. Laboratorium dapat berupa alam terbuka,
pasar tradisional, dan sebagainya. Satu hal yang digarisbawahi
buku ini adalah bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sangatlah
beruntung karena memiliki kondisi alam dan kondisi sosial
budaya yang sangat kaya yang sebenarnya dapat menjadi
laboratorium yang luar biasa maknanya bila mampu
dimanfaatkan secara baik oleh guru dan siswa.
Interaksi adalah unsur penting yang ketiga pada ciri sekolah
berkualitas. Interaksi adalah roh yang menjadikan para pelaku di
sekolah bersatu dalam semangat belajar dan meraih kehidupan
yang lebih baik. Interaksi, atau juga disebut relasi, meliputi
jalinan mendalam antara guru dan murid, guru dan orangtua,
murid dan orangtua, termasuk juga relasi masyarakat sekolah
dan pengetahuan.
178-181 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
Jalinan antara para pelaku, terutama antara guru dan murid,
akan memberikan sentuhan yang mengilhamkan perubahan
baik pada tataran kognitif maupun sikap. Jalinan yang baik
akan mengikat para pemangku kepentingan di sekolah pada
misi mendasar sekolah sebagai salah satu motor penggerak
peradaban.
Namun demikian, dalam iklim pembelajaran yang penuh
beban administrasi dan berlangsung begitu formal, interaksi
yang hangat di sekolah tidak mudah kita temukan. Justru
terkadang interaksi yang hangat ini ditemukan di sekolahsekolah pinggiran. Puti dalam buku ini memberi contoh
sebuah sekolah di Garut, Jawa Barat, yang pada setiap Jum’at
sore menggelar acara kumpul-kumpul secara guyub antara
guru, perwakilan murid, orangtua, dan masyarakat, untuk
membicarakan perbaikan mutu sekolah.
Selain tiga hal pokok yang menjadi jantung pendidikan
berkualitas tersebut, buku ini juga menyinggung tujuan
pendidikan dan pembelajaran, termasuk orientasi belajar. Pada
tingkat yang sederhana, proses pembelajaran diorientasikan
untuk membekali pengetahuan dan keterampilan pada siswa.
Pada tingkat lainnya, proses pendidikan juga diorientasikan
untuk menanamkan kecintaan siswa pada ilmu. Selain itu,
proses pendidikan juga dilakukan untuk membentuk sikap
siswa menghadapi tantangan zaman, termasuk hidup bersama
dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Demikan juga,
belajar perlu diorientasikan agar mendorong siswa menjadi
manusia yang terus-menerus berusaha agar lebih bermartabat,
lebih kritis, lebih toleran, dan menjadi lebih baik (hlm. 90-95).
Ada satu bagian dalam buku ini yang cukup menarik yang
menggambarkan orientasi pembelajaran. Puti yang lulusan
perguruan tinggi terkemuka dan sebelumnya juga menempuh
pendidikan yang baik di lembaga unggulan merasakan bahwa
ternyata keseluruhan proses pendidikan formal yang diikutinya
tidak cukup berhasil mengenalkan dan menanamkan kepekaan
atas realitas sosial masyarakat yang timpang. Pengalaman Puti
sebagai guru honorer di sebuah sekolah pinggiran di Bandung
M. Mushthafa, Jembatan untuk Pendidikan Kontekstual | 179-181
membuka dan menggugah kesadarannya bahwa masih banyak
masyarakat Indonesia yang belum dapat menikmati pendidikan
berkualitas. Kesadaran akan realitas sosial yang timpang ini
justru baru muncul saat Puti bekerja sebagai guru dan pendidik
(hlm. 29).
Dari kenyataan ini terlihat betapa orientasi dan proses
pendidikan di negeri ini tampaknya memang masih belum
berhasil mengarah pada model pendidikan kritis dan pendidikan
kontekstual sebagaimana yang menjadi semangat pemaparan
buku ini.
Namun demikian, buku ini juga beusaha mengangkat
praktik-praktik pendidikan yang sederhana tapi mencerahkan
untuk keluar dari keterbatasan sistem persekolahan yang ada
saat ini. Misalnya, Puti bertutur tentang Komunitas Sahabat
Kota (KSK) di Bandung yang merupakan organisasi nirlaba
yang menghimpun sejumlah anak muda lokal di Bandung
untuk membantu mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak
dengan memanfaatkan berbagai potensi setempat.
Komunitas yang lahir pada tahun 2007 ini percaya bahwa
anak-anak belajar paling baik dari lingkungan hidup mereka.
Untuk itu, komunitas ini mengajar anak-anak untuk menjelajahi
kota tempat mereka tinggal dan belajar dari sana. Misalnya,
mereka diajak untuk membuat peta hijau, yakni peta yang
berkaitan dengan berbagai potensi dan masalah lingkungan
hidup. Dari komunitas ini, pembaca bisa melihat upaya-upaya
kreatif untuk mendorong anak-anak peka terhadap lingkungan
dan menjadikan lingkungan sebagai pengilham dan sekaligus
sumber belajar (hlm. 257).
Sebagai bagian dari refleksi dari lapangan, buku ini berhasil
keluar dari model pendekatan yang semata terfokus pada unsur
mikro dalam proses pendidikan di sekolah dan menghindar
dari pembicaraan terkait kebijakan pengurus publik. Buku ini
tidak saja mengangkat isu-isu yang bersifat mikro dan personal,
tapi juga secara kritis mengupas beberapa kebijakan pemerintah
di bidang pendidikan. Misalnya, terkait wajib belajar yang
dicanangkan pemerintah, buku ini mengingatkan bahwa wajib
180-181 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
belajar itu yang terpenting adalah soal penerapannya, yakni
bahwa kebijakan ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Menurut Puti, kebijakan wajib belajar terutama bukan soal
apakah 12 tahun atau 9 tahun, tapi lebih pada soal yang mendasar,
yakni terkait dengan ketersediaan layanan pendidikan yang bisa
diakses oleh seluruh warga, kualitas layanan pendidikan yang
baik, dan perubahan paradigma bahwa pendidikan adalah hak
setiap warga negara (hlm. 104-109).
Dalam buku ini, Puti juga mengkritik penerapan kebijakan
pendidikan inklusi yang cenderung hanya sekadar menerima
murid yang berkebutuhan khusus tanpa persiapan yang cukup.
Akibatnya, murid yang berkebutuhan khusus tersebut menjadi
terlantar di sekolah (hlm. 35-36).
Terkait berbagai hal ideal yang dibicarakan tentang dunia
pendidikan, baik yang dikupas langsung dalam buku ini maupun
yang dibicarakan masyarakat umum, buku ini mengingatkan
bahwa, bagaimanapun, gagasan-gagasan besar tentang hal
ideal dalam dunia pendidikan harus diikuti dengan kerja-kerja
konkret untuk mengurus detail yang memungkinkan gagasangagasan besar tersebut dapat terwujud (hlm. 119).
Buku ini berhasil mengisi ruang kosong yang ada di
antara dunia akademis dalam bidang kajian pendidikan dan
praktik pendidikan yang berlangsung di masyarakat. Dengan
menghadirkan potret kerja-kerja pendidikan di lapangan
yang dibarengi dengan refleksi kritis dan juga perbandingan
dengan praktik pendidikan di tempat yang lain, dan kadang
juga disorot dengan perspektif teori, buku ini berupaya untuk
mengembalikan watak kritis dan kontekstual kerja pendidikan.
Dengan cara ini, buku ini tampaknya cukup mampu untuk
menjadi pemantik awal sebagai jembatan di antara dunia praktik
dan dunia teoretis, khususnya dunia teoretis yang berkembang
di lingkungan akademis di perguruan tinggi ilmu kependidikan,
menuju pendidikan yang kritis dan kontekstual. Tentu saja,
sebagai sebuah jembatan, buku ini tak akan banyak bernilai jika
faktanya catatan-catatan dari lapangan seperti yang ada dalam
buku ini tidak mendapat tempat di dunia akademis.
M. Mushthafa, Jembatan untuk Pendidikan Kontekstual | 181-181
Kehadiran buku ini pada gilirannya juga menyiratkan
satu pesan yang kuat bagi dunia akademis bahwa kerja-kerja
akademis haruslah terus dijaga ketersambungannya dengan
realitas masyarakat melalui refleksi atas aksi-aksi di lapangan.
Dengan demikian, membekali kemampuan refleksi kepada
para mahasiswa kependidikan atau siapa pun yang akan terjun
mengabdi di dunia pendidikan sangatlah penting, karena
refleksi dari lapangan ini akan menjadi sumbangan yang sangat
berharga bagi dunia pendidikan.
Dari sudut pandang dunia pesantren, buku ini memberi
tantangan agar para pegiat pendidikan di pesantren juga mampu
merefleksikan praksis yang mereka lakukan di lapangan. Kiranya
sangat banyak hal menarik di dunia pendidikan pesantren yang
penting untuk direfleksikan dan diangkat untuk dibagikan
dengan khalayak luas. Kita mengenal sebuah buku yang sudah
menjadi klasik yang ditulis oleh KH Saifuddin Zuhri, Guruku
Orang-Orang dari Pesantren, yang menuturkan secara renyah dan
cukup reflektif dunia pendidikan pesantren yang khas.
Buku ini menghidupkan kembali visi mendasar pendidikan
sebagai landasan perubahan individu dan masyarakat ke arah
yang lebih baik dengan landasan sikap kritis dan kemampuan
berpikir kontekstual. Untuk ke sana, buku ini di antaranya
memaparkan praktik-praktik inspiratif dan juga gagasangagasan kritis untuk menegaskan visi mendasar pendidikan
tersebut.
Download