9-politisasi birokrasi dalam pengembangan karir

advertisement
50 Media Bina Ilmiah
ISSN No. 1978-3787
POLITISASI BIROKRASI DALAM PENGEMBANGAN KARIR
PEGAWAI NEGERI SIPIL DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh :
Nyoman Suartika
Dosen pada Universitas 45 Mataram
Abstrak: Politisasi birokrasi bukanlah fenomena baru di Indonesia, jauh-jauh hari sebelum otonomi
daerah diimplementasikan, kita semua dapat melihat, mencermati, merasakan dan bahkan pada kalangan
birokrat menjadi pelaku bahwa pada masa pemerintahan orde baru memanfaatkan struktur birokrasi dari
pusat hingga daerah sebagai pondasi dalam mempertahankan rezim. Begitu kuatnya tekanan dan tarikan
politik menyeret birokrasi sehingga intervensi-intervensi politik terus membayangi birokrasi pada zaman
pemerintahan orde baru. Para birokrat yang merupakan pegawai negeri sipil yang idealnya tidak boleh
memiliki afiliasi politik dan bersikap netral, justru dikondisikan sebagai agen-agen partai ditengah-tengah
masyarakat. Pada waktu itu birokrasi dipersepsikan oleh masyarakat sebagai satu paket yang tidak bisa
dipisahkan dari Golkar, partai penguasa, padahal birokrasi merupakan entitas yang terpisah dari sebuah
rezim. Birokrasi memang menjadi sumber daya politik yang dianggap bisa ikut membantu dalam meraih
dan mempertahankan sebuah kekuasaan. Pada era otonomi daerah saat inipun politisasi birokrasi masih
tampak jelas bahkan sangat kental dengan kekuatan partai politik guna mencapai tujuan menduduki
jabatan-jabatan tertentu, dan yang lebih dasyat lagi setelah menjadi pimpinan daerah dengan alasan
kebutuhan organisasi dan karir pegawai melakukan mutasi jabatan dengan menempatkan pegawai dalam
jabatan tertentu atau sebaliknya membebas tugaskan pegawai dalam jabatan tertentu/menonjobkan
dengan mengabaikan peraturan kepegawaian yang berlaku.
Kata Kunci: Politisasi Birokrasi, Karir Pegawai Negeri Sipil
PENDAHULUAN
Ketika otonomi daerah diimplementasikan,
sistim politik yang tadinya memberikan episentrum
yang besar kepada pusat, tetapi saat ini sistim
politik konsentrasinya terbelah kedaerah-daerah
yang meliputi Provinsi, Kabupaten/Kota. Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemelihan Gubernur, Bupati dan Walikota Pasal 1
ayat 1 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota yang selanjutnya disebut
Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikotasecara langsung dan demokratis. Pasal ini
memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa
secara politik arena perebutan kekuasaan di daerah
telah menjadi domain mutlak orang-orang daerah,
bukan lagi menjadi domain pusat, sebagaimana
pada masa Orde Baru.
Ketika domain politik daerah mutlak
sepenuhnya diberikan kepada orang-orang daerah,
maka akan ada pergeseran orientasi politik.
Pergeseran orientasi politik ini mempunyai
implikasi yang mengarah pada adanya patologi
politik, yakni pemanfaatan birokrasi daerah untuk
kepentingan politik kelompok atau golongan.
Birokrasi dihadapkan pada kenyataan baru, bila
pada orde baru, birokrasi diseragamkan, entah itu
keseragaman dalam orientasi kerja, orientasi
pandangan, orientasi etika kerja dan oreintasi
politik secara nasional, maka setelah otonomi
daerah, birokrasi dihadapkan orientasi lokal yang
sifatnya sangat dinamis seiring munculnya elit-elit
lokal pasca implementasi Otonomi Daerah, dan ini
memberi pilihan terhadap para pejabat yang
menjalankan birokrasi. Masalah politisasi birokrasi
adalah persoalan klasik, hanya saja kini persoalan
ini digeser menjadi persoalan lokal seiring
implementasi otonomi daerah. Pengelolaan sebuah
pemerintahan idealnya memang harus dipisahkan
dari ruang-ruang politik yang mencampurinya,
walaupun sebuah pemerintahan dihasilkan dari
proses politik, apalagi ketika sudah menyeret
birokrasi ke dalam kubu-kubu politik yang
membuat birokrasi menjadi kontra produktif dari
patron tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Implikasi ini harus segera ditanggulangi,
khususnya bagaimana mencari sistem yang
memperkecil peluang pemanfaatan birokrasi ke
____________________________________________
Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
dalam arena politik dalam ruang implementasi
Otonomi Daerah.
Pegawai Negeri Sipil yang bekerja pada suatu
instansi pemerintah sebagai abdi masyarakat perlu
meningkatkan pengabdiannya dan kesetiaannya
kepada Bangsa dan Negara. Upaya meningkatkan
kinerja Pegawai Negeri Sipil selalu dilakukan di
setiap instansi. Diperlukan pegawai yang terampil
dan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan
dibidangnya,
untuk
itu
perlu
diadakan
pengembangan bagi pegawai sebagai salah satu
usaha untuk meningkatkan kualitas kerja dalam
organisasi pemerintahan.
Keberhasilan instansi tidak sepenuhnya
bergantung pada manajer dan manajemen instansi,
tetapi juga pada tingkat keterlibatan pegawai
terhadap aktivitas dan pencapaian tujuan instansi.
Sumber daya manusia yang potensial dan
berkualitas merupakan modal dasar organisasi
yang akan mampu mengantarkan organisasi dalam
mencapai tujuannya dengan sukses.
Keberhasilan suatu instansi dalam mencapai
tujuannya tidak hanya ditentukan oleh bentuk
susunan atau struktur instansi yang lengkap,
melainkan juga dipengaruhi oleh faktor
penempatan individu dalam posisi yang tepat
sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimilikinya (the right man on the right place),
yang mana di antara semua individu tersebut
merupakan suatu bentuk mitra kerja yang dapat
menentukan berhasil atau tidaknya suatu aktivitas
dalam instansi.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut
diatas, maka tinjauan masalah yang diangkat dalam
penulisan sebagai berikut: (1) Terjadinya politisasi
birokrasi pada era otonomi daerah ? (2)
Bagaimanakah pengembangan karir pegawai
negeri sipil pada era otonomi daerah ?
METODE PENELITIAN
Penulisan ini mengangkat masalah “Politisasi
Birokrasi dalam Pengembangan Karir PNS Daerah
di Era Otonomi Daerah” mempergunakan metode
deskriptif dengan analisis kualitatif, agar dapat
memahami fenomena sosial yang tengah terjadi
dengan maksud untuk menentukan, menjelaskan,
dan memperoleh gambaran yang mendalam
tentang politisasi birokrasi dan pengembangan
karir di era otonomi daerah.
Metode deskriptif terbatas pada usaha
mengungkapkan suatu masalah dan keadaan atau
suatu peristiwa sebagimana adanya sehingga
bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta (fact
finding). Hasil penelitian ditekankan pada
Media Bina Ilmiah 51
pemberian gambaran secara obyektif tentang
keadaan yang sebenarnya dari obyek yang
diselidiki (Nawawi, 1989).
Bogdan
dan
Taylor
secara
singkat
menyatakan
bahwa
“Qulitative
research
methodologies refer to research procedures which
produce descriptive data: peoples own written or
spoken words and observable behavior” (dalam
Islamy, 2001).
Selanjutnya Islamy (2001) mengungkapkan,
metode kualitatif akan mengumpulkan dan
menganalisa bukti empirik (data) secara sistimatis
agar dapat memahami dan menjelaskan kehidupan
sosial yang dikaji dengan baik dan mendalam.
Metode kualitatif adalah merupakan proses
penelitian yang bertujuan mengumpulkan dan
menganalisis data deskriptif yang berupa tulisan,
ungkapan-ungkapan dan perilaku manusia yang
dapat diamati.
Metode kualitatif bersifat terbuka artinya
masalah penelitian bersifat fleksibel dan subject to
change, sesuai dengan proses kerja yang terjadi di
lapangan. Sehingga penulisan inipun ikut berubah
menyesuaikan diri dengan masalah yang berubah
(Moleong, 2001).
POLITISASI BIROKRASI
OTONOMI DAERAH
PADA
ERA
Patologi politik dan patologi birokrasi
merujuk pada pengertian dasarnya mengenai
Patologi, yakni sebuah gejala penyakit yang
terjadi,
dimana
sebagai
akibatnya
akan
mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah
sistem. Penulis memberikan pengertian patologi
politik sebagai sebuah gejala atau penyakit yang
akan menggangu pada sistem politik dan
berdampak pada terciptanya patologi birokrasi,
yakni tergangunya (abnormal) sistem birokrasi.
Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah
Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan
2 dimana pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada
pemerintahan daerah sepenunya merupakan
domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan
Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang
kuat menyangkut kewenangan daerah dalam
mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat
jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai
otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan
formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya
yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan
wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola
apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola
pembinaan manajemen dan kaitannya dalam
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
52 Media Bina Ilmiah
menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian
yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian
hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan,
asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas
akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas,
tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas
tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah
menggunakan pendekatan politis dalam rangka
membangun jaringan dan memetakan konsolidasi
birokrasi sebagai cara membangun kekuatan
politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung
siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka
membentuk formatur pejabat daerah.
Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan
menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah
Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik
menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat
publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu
sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian
dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir
tersendiri bagi para pejabat publik, karena
menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang
sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung
menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat
dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala
Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses
calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang
didukungnya menang, asas timbal balik akan
dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan
yang diinginkan akan diberikan dengan instan
sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala
calon yang didukung kalah, maka secara karir akan
terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil
daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU
Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan
integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan,
pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi.
PENGEMBANGAN KARIR PNS PADA ERA
OTONOMI DAERAH
Karir merupakan bagian dari upaya
pengelolaan sumber daya manusia dan erat sekali
dengan persepsi, dan komitmen organisasi Hidayat
( 2002:44). Simamora (2004 : 412) berpendapat
bahwa kata karir dapat dipandang dari beberapa
perspektif yang berbeda, antara lain dari perspektif
yang obyektif dan subyektif. Dipandang dari
perspektif yang obyektif, karir merupakan uruturutan posisi yang diduduki oleh seseorang selama
hidupnya, sedangkan dari perspektif yang
subyektif, karir merupakan perubahan nilai-nilai,
sikap, dan motivasi yang terjadi karena seseorang
ISSN No. 1978-3787
menjadi semakin tua. Kedua perspektif
tersebut,obyektif dan subyektif terfokus pada
individu. Kedua perspektif tadi menganggap
bahwa setiap individu memiliki beberapa tingkat
pengendalian terhadap nasib mereka sehingga
individu tersebut dapat mengubah peluang untuk
memaksimalkan keberhasilan dan kepuasan yang
berasal dari karir mereka. Konon tiga di antara
lima manusia karir mendambakan karir mereka
menanjak terus dengan pesat. Penghasilan makin
besar, kedudukan social ekonomi makin tinggi dan
mantap, batin makin puas karena berhasil
mewujudkan jati diri Anoraga ( 2001:59 ).
Menurut Hidayat (2002:46) keputusan promosi dan
rotasi yang dibuat oleh manajemen merupakan
imbalan dari program pengembangan karir.
Penyelenggaraan
pendidikan
hendaknya
dilakukan seefektif mungkin. Artinya pengaturan
sistem penyelenggaraan pendidikan sedemikian
rupa sehingga dapat meningkatkan produktivitas
kerja. Pendidikan merupakan basis yang sangat
penting untuk membentuk manusia-manusia
profesional. Yang kemudian di terapkan dalam
bentuk aplikasi pekerjaan sehari-hari yang
membutuhkan suasana dan lingkungan kerja yang
mendukung. Bila ilmu yang di peroleh belum di
aplikasikan sama artinya belum memiliki
ketrampilan. Oleh karena itu, butuh sebuah
pengalaman untuk mendukung aplikasi dari ilmu
yang telah di peroleh. Data empiris dalam
organisasi-organisasi usaha menunjukkan bahwa
orang berpendidikan tinggi di tambah dukungan
program-program pelatihan manajemen umumnya
dapat
menyeimbangkan
kemampuan
enterpreunership serta kemampuan manajerialnya
Kinardi (2005 : 43). Dengan demikian pendidikan,
pengalaman serta pelatihan merupakan sebuah
faktor – faktor yang saling terkait dalam
memperoleh sebuah pengetahuan sekaligus
menggalinya untuk bisa memberikan kontribusinya
dengan seoptimal mungkin.
Flippo dalam Ginting (2003:7) berpendapat
bahwa karyawan yang mempunyai persepsi positif
terhadap pengembangan karirnya dalam instansi,
cenderung mempunyai kepuasan dan motivasi
kerja yang tinggi untuk mendukung pencapaian
tujuan instansi yang telah ditetapkan. Jika instansi
memberikan kesempatan pengembangan karir pada
karyawan, maka akan timbul dari diri karyawan
tersebut untuk lebih meningkatkan karirnya dengan
cara berprestasi di tempatnya bekerja, dan
memberikan kepuasan kerja sehingga akan timbul
komitmen karyawan yang tinggi.
____________________________________________
Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
Promosi ke setiap jenjang karir yang lebih
tinggi bukanlah hak pegawai, melainkan
merupakan penghargaan dari perusahaan kepada
pegawai yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Promosi dapat
dilaksanakan apabila : (a) tersedia formasi, (b)
memenuhi
persyaratan
berdasarkan
hasil
assessment, (c) memenuhi persyaratan nilai kerja
individu (NKI), dan (d) memenuhi persyaratan
lainnya sesuai peraturan yang berlaku.
Penjelasan mengenai birokrasi diawali dengan
melihat birokrasi sebagai sebuah organisasi.
Berikut ini dijabarkan beberapa teori yang
menjelaskan pengertian mengenai organisasi ini.
Pemahaman tentang teori organisasi dapat dibagi
berdasarkan masa dimana teori itu lahir .
Pertama, teori organisasi klasik. Teori klasik
ini muncul dan berkembang pada tahun 1930an,
dimana kemudian ia menjadi perspektif teori
organisasi yang dominant pada masa tersebut.
Teori klasik ini mengajarkan pokok-pokok ajaran
sebagai berikut;
1. Organisasi ada untuk memperoleh angka
produksi
dengan
tujuan-tujuan
ekonominya.
2. Untuk
mengorganisasikan
produksi
dengan cara terbaik diketahui dengan
melakukan penelitian yang sistematik dan
ilmiah.
3. Produksi
dimaksimalkan
dengan
spesialisasi serta pembagian kerja.
Individu manusia dan organisasi bekerja
harus sesuai dengan prinsip rasionalitas
dan efisiensi.
Inti ajaran di atas menunjukkan adanya
refleksi dari nilai sosial yang ada pada saat
tersebut, di mana hak-hak manusia dalam suatu
organisasi belum dihargai dengan baik. Individu
manusia pada masa tersebut masih dianggap
sebagai bagian dari produksi yang setaraf dengan
mesin yang memang menjadi bagian produksi
juga.
Dengan demikian konsep teori organisasi
klasik dapat dimengerti dalam konteksnya dengan
nilai sosial yang ada pada saat itu. Teori fenomenal
Max Weber tentang birokrasi lahir pada masa ini,
di mana teori tersebut tetap bertahan sampai masa
kontemporer, bahkan menjadi penjelasan yang
dominan. Uraian tentang penjelasan Weber
mengenai birokrasi sebagai organisasi dijelaskan
tersendiri pada bagian berikutnya dari bab ini
secara lebih panjang lebar, dengan mengingat
bahwa terlepas dari berbagai kritik dan analisis
banyak ilmuwan politik terhadap pemikiran politik
Media Bina Ilmiah 53
Weber tentang birokrasi, namun sejauh ini
pemikiran Weber tentang birokrasi dapat
dikatakan sangat luas dan selalu menjadi rujukan
berbagai macam aliran dalam memahami
birokrasi.
Kedua, berikutnya adalah pengertian tentang
organisasi dalam penjelasan aliran neoklasik.
Bahwasanya aliran neoklasik ini menjadi aliran
gerakan yang berinisiatif dan mencoba untuk
melepaskan diri dari pandangan mekanistis yang
dianggap oleh pendukung aliran neoklasik ini
terlalu sederhana dari ajaran teori organisasi klasik
dalam memahami tentang organisasi. Aliran ini
kemudian dalam perkembangannya dianggap
mampu untuk mengajukan isu dan teori yang
dapat dipergunakan sebagai landasan dan pedoman
bagi pengikutnya. Salah satu tema utama dalam
aliran ini ini adalah upaya untuk membuka
organisasi dari ketertutupannya selama ini.
Ketiga, berikutnya adalah teori organisasi
struktural modern. Teori ini berjaya pada tahun
1960-1970an. Antara lain yang menjadi pokok
ajaran ini dalam teori ini menjelaskan bahwa
organisasi merupakan institusi yang rasional yang
bercitacita untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam organisasi. Perilaku organisasi
yang rasional dapat dicapai dengan baik melalui
suatu sistem aturan yang jelas dan otoritas yang
formal dalam organisasi tersebut. Struktur
organisasi dikatakan baik jika dirancang sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai yang memang
sudah menjadi kesepakatan, kondisi lingkungan
dimana organisasi itu berada, pelayanan yang
dihasilkan organisasi, serta teknologi yang
digunakan dalam pelayanan tersebut, hingga
kesemuanya mendukung terciptanya sebuah
struktur organisasi secara keseluruhan. Sementara
spesialisasi dan pembagian kerja dalam organisasi
akan mampu untu mendorong peningkatan
kualitas dan kuantitas pelayanan oleh organisasi.
Selanjutnya aliran sistem yang melihat suatu
organisasi sebagai sebuah tatanan yang kompleks
dan dinamis dari unsur-unsur yang saling terkait.
Unsur-unsur tersebut meliputi unsur input, proses,
output serta saluran feedback dan lingkungan di
mana sebuah sistem tersebut berada. Perubahan
dalam suatu unsur dalam sistem akan
mempengaruhi terhadap keadaan unsur yang lain
dalam sistem tersebut.
Keterjalinan dan
keterikatan yang terjadi antara unsur-unsur
didalam sebuah sistem tersebut merupakan
sesuatu ikatan yang kompleks namun dapat
berkembang secara dinamis. Terdapat dua tema
utama dalam aliran organisasi sebagai suatu
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
54 Media Bina Ilmiah
sistem yaitu penerapan teori general system
dalam organisasi, serta penggunaan teknik dan
metode kuantitatif guna mengetahui hubungan
yang kompleks antara variabel-variabel organisasi
untuk mencapai keputusan yang maksimal.
Kelima, aliran kekuasan dan politik. Aliran
ini dalam memahami organisasi bukanlah sebagai
sesuatu yang tidak realistis dan tidak kehabisan
akan nilai praksis dari organisasi tersebuut.
Organisasi dalam aliran ini dipandang sebagai
sistem koalisi atau perkumpulan antar individu
dalam suatu masyarakat namun kompleks. Setiap
kegiatan
dalam
organisasi
mempunyai
kepentingan, kepercayaan, nilai serta perspektif
sendiri menurut persepsi yang berlaku secara intern
dalam organisasi tersebut. Sementara sumberdaya
yang dipunyai oleh organisasi jumlahnya terbatas.
Selain itu dalam organisasi terdapat juga
spesialisasi dan pembagian kerja yang berakibat
pada munculnya kesatuan-kesatuan kecil dengan
tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Keadaan
tersebut menjadikan adanya konflik-konflik dalam
organisasi, yang menggunakan kekuasaan,
pengaruh, kegiatan politik sebagai kekuatan dalam
pertarungan antar individu maupun kelompok
didalamnya. Tujuan organisasi dalam aliran ini
merupakan hasil bargaining dan maneuvering,
antara individu dan koalisi yang ada dalam
organisasi. Koalisi yang ada tersebut cenderung
menjadi sarana yang dapat dengan mudah berganti,
dan melampaui batas vertikal maupun horinsontal.
Dengan demikian tujuan organisasi menurut aliran
ini akan berkembang sesuai dengan berubahnya
keseimbangan kekuasaan di antara koalisi yang ada
didalamnya.
Keenam, aliran kebudayaan. Aliran ini
melihat organisasi dengan memfokuskan analisis
pada organisasi dan orang-orang yang berada
didalamnya. Aliran ini menekankan bahwa suatu
kebudayaan yang hidup pada organisasi dianggap
tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan yang
hidup dalam masyarakat dimana organisasi itu
berada. Oleh karena itu banyak perilaku
organisasi dan keputusan organisasi yang
ditentukan oleh pola dasar asumsi yang telah
hidup lama dalam organisasi tersebut. Pola dasar
asumsi ini sangat mengakar dan sudah diterima
sebagai kenyataan dalam organisasi. Dengan
demikian kebudayaan dalam organisasi mampu
untuk secara kuat mengontrol perilaku organisasi.
Namun juga pada akhirnya kebudayaan tersebut
seringkali juga menghambat gerak organisasi
untuk berubah dan berkembang secara dinamis.
Penjelasan aliran ini tentang kuatnya pengaruh
ISSN No. 1978-3787
kebudayaan tidak berarti menjadikan aliran ini
mengabaikan
preferensi
pribadi
anggota
organisasi, meskipun tetap dianggap bahwa
preferensi pribadi dalam organisasi tetap
dikendalikan oleh nilai, norma, dan asumsi yang
hidup dalam organisasi. Kebudayaan yang hidup
dalam organisasi dapat berbeda antar organisasi
satu dengan organisasi lainnya, karena jelas
masing-masing kebudayaan tidak selalu muncul
dan berkembang dalam waktu yang bersamaan.
Sementara
faktor
yang
mempengaruhi
terbentuknya juga sangat beragam, misalnya
budaya masyarakat setempat dimana organisasi itu
berada, suasana pasar secara luas, gaya
kepemimpinan dan sebagainya.
Birokrasi menurut Martin Albrow digunakan
sejak tahun 1745 oleh Vincent de Gounnay untuk
menerangkan pemerintahan Prusia. Birokrasi lahir
tepat pada waktunya, tatkala pemeliharaan
ketertiban dan ketenteraman dan kemudian upaya
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
menempati prioritas pertama. Penerangan konsep
ini berlangsung secara luas dan berkembang di
negara industri di Eropa dan Amerika. Birokrasi
yang secara etimologis berarti ‘kekuasaan di
belakang meja’ atau meminjam definisi Lance
Castle adalah “orang-orang digaji yang berfungsi
dalam pemerintahan”. Dalam kacamata awam
birokrasi adalah aparat pemerintah (pegawai
negeri), yang dalam jargon Korpri sebagai abdi
negara (yang melayani negara) bukan sebagai abdi
rakyat (civil servant) yang melayani masyarakat.
Birokrasi juga dapat diartikan sebagai government
by bureaus, yaitu pemerintahan biro oleh personil
yang diangkat oleh penguasa. Kadangkala
birokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang
kaku, macet, dan segala tuduhan yang negatif
terhadap instansi yang berkuasa (red tape).
Rasanya kurang afdol kalau kita membahas
birokrasi tanpa menyinggung Weber. Walaupun
sesungguhnya Weber secara eksplisit tidak
mendefinisikan birokrasi. Birokrasi rasional oleh
Weber dibebankan dengan birokrasi patrimonial.
Pada pengertian pertama, birokrasi yang dimaksud
memisahkan secara tajam antara kantor dan si
pemegang jabatan, kondisi yang tepat untuk
pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan
otoritas yang disusun secara sistematis antara
kedudukan, serta hak dan kewajiban yang diatur
dengan tugas. Sedangkan birokrasi patrimonial,
kedudukan dan tingkah laku seluruh hirarki
sebagian besar bergantung pada hubungan
personal-kekeluargaan
atau
patront-client.
Birokrasi yang paling rasional terlebih dahulu
____________________________________________
Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
mempersyaratkan proposisi-proposisi menurut
legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan
mereka.
2. Ada hirarki jabatan jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu
kontrak
5. Mereka dipilih dengan kualifikasi profesional.
6. Memiliki gaji dan pensiun.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerja pokoknya.
8. Terdapat struktur karir dan promosi atas dasar
merit sistem dan keunggulan.
Apa yang dikemukakan Weber tentang
birokrasi
rasional
merupakan
lembaga
administratif belaka. Secara fungsional birokrasi
dalam suatu negara diperlukan dan berguna
memperlancar urusan-urusan pemerintahan dan
pelayanan publik. Birokrasi mendapat konotasi
positif.
Sedangkan menurut pandangan Marx, The
bureaucracy had eventually become a caste which
claimed to posess, through higher education, the
monopoly of the interpretation of the state’s
interests. Style birokrasi pada masa Orde Baru
mirip dengan sinyalemen Marx di atas, yang
memonopoli interpretasi atas kebenaran, ideologi,
dan simbol-simbol negara. Meminjam istilah Karl
D.Jackson model birokrasi Orde Baru disebut
bureaucratic polity yang salah satu cirinya adalah
bahwa suasana politik menentukan diri dan
otonom vis a vis lingkungan domestik. Politik
terwujud sebagai persaingan antara lingkaran
birokrat-birokrat tingkat tinggi berpangkat tinggi
dan perwira-perwira militer. Kepolitikan birokrasi
ini menurut Crouch dicirikan oleh 3 hal:
1. lembaga politik yang dominan adalah birokrasi.
2. Parlemen, parpol, kelompok kepentingan
berada dalam keadaan lemah tanpa mampu
mengontrol birokrasi.
3. Massa di luar birokrasi secara politik adalah
pasif.
Apa yang dikemukakan oleh Jackson dan
Crouch di atas, tidak terlepas dari strategi Soeharto
dalam mempertahankan kekuasaan selama 32
tahun dengan jalan mengkooptasi kekuatan
nonnegara berada dalam kontrol dirinya melalui
legitimasi UU, pengebirian UUD 45, Keppres,
serta mengucilkan dan menjebloskan kelompok
oposan. Sehingga monopoli kekuasaan berada di
tangannya. Kekuasaan Soeharto dan birokrasi
selama 32 tahun tanpa terkontrol, hasilnya adalah
Media Bina Ilmiah 55
kasus mega KKN serta, mental aparat yang
bobrok.
PEMBAHASAN
Menurut Webber (1948), bahwa birokrasi
merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan
legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi
didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara
individu, membantu mengarahkan hubungan intra
personal di antara anggota organisasi guna
menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat
disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan
legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting
sebagai pemegang kunci berjalannya sistem
birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang
kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep
manajerial yang objektif berdasarkan kemampuankemampuan
individu
dan
cenderung
mengendalikan birokrasi dengan frame politis,
maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada
poros yang semestinya.
Pada akhirnya, akan terjadi patologi birokrasi
seperti yang diuangkapkan oleh webber, yang
menekankan pada adanya dominasi kekuasaan
yang berlebihan dalam menjalankan sistem
birokrasi (penyalahgunaan wewenang). Artinya,
bila kepala daerah dalam mengelola birokrasi
menggunakan pendekatan kekuasaan yang
membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur
perangkat-perangkat,
jabatan,
fungsi
dan
kewenangan
berdasarkan
kalkulasi
dalam
melanggengkan
kekuasaannya
daripada
melanggengkan pola kerja yang berorientasi
terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka
birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya
dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang
syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi.
Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah
ada ditangan kepala daerah terpilih. Dalam hal ini,
bagaimana kepala daerah terpilih dituntut untuk
bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi
dukung mendukung dalam tubuh birokrasi
menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan
kelompok yang tidak mendukung dan menyokong
kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh.
Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan
dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan disharmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan
berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan
masyarakat ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari
implikasi-implikasi negatif implementasi Otonomi
Daerah ini adalah bagaimana memutus mata rantai
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
56 Media Bina Ilmiah
keterkaitan birokrasi dan para aparaturnya ke
dalam ranah politik. seperti yang sudah penulis
gambarkan diatas, bahwa persoalan tarikan politik
ke dalam struktur birokrasi adalah masalah klasik,
dan persoalannya hanya terletak pada pergeseran
domain politik dari pusat ke daerah, maka
pendekatan sebagai jalan memutus mata rantai
tersebut adalah menggunakan pendekatan sistem
politik. bagi penulis, Otonomi Daerah tidak terlalu
identik dengan perubahan sistem politik.
Demokratisasi secara liberal yang terjadi ditingkat
nasional tidak serta merta memberikan keharusan
dan syarat mutlak bagi pelaksanaan otonomi
daerah, karena fokus otonomi daerah adalah
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat, pemerataan, efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Walaupun pelaksanaan otonomi Daerah harus
memperhatikan prinsip demokrasi, ternyata tidak
ada korelasi posistif antara Pemilihan Kepala
Daerah Langsung dengan kualitas pelayanan
publik di daerah, justru yang terjadi adalah
kecenderungan adanya patologi politik yang
berakibat pada patologi birokrasi yang penulis
paparkan diatas. Ini adalah persoalan teknis
pelaksanaan prinsip demokrasi, artinya bagaimana
otonomi daerah ini bisa membangun teknis
pelaksanaan demokrasi, tapi disisi lain menutup
ruang bagi birokrasi untuk bermain dalam wilayah
politik.
Untuk menghasilkan seorang kepala daerah
yang berkualitas, menyerap aspirasi masyarakat,
cepat dan tanggap dalam menyelesaikan tugas dan
persoalan yang ada di daerah, diperlukan sistem
yang mempunyai korelasi posistif. Bila selama ini
kita menganggap Pemilihan Kepala Daerah
langsung merupakan formula yang baik untuk
menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan
menghasilkan aparatur birokrasi yang berkualitas,
ternyata dengan fakta-fakta yang terjadi tidak
menunjukan korelasi seperti itu. Pendekatan sistem
politik dan prinsip demokrasi ini mengacu pada
bagaimana teknis berdemokrasi yang bisa
meminimalkan
kecenderungan-kecendendungan
yang bersifat negatif. Wacana-wacana yang selama
ini muncul sebagai respon adanya patologi politik
dan patologi birokrasi yang penulis paparkan
memang sudah bermunculan, diantaranya adalah
mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
Wacana ini harus dipikirkan kembali, sebagai
jalan memutus mata rantai keterikatan birokrasi
dalam wilayah politik. Dengan mekanisme ini,
otonomi daerah juga tidak akan kehilangan ruhnya
ISSN No. 1978-3787
sebagai bagian dalam memantapkan demokrasi di
tingkat lokal, sekaligus juga meminimalisasi
politik High Cost, atau politik berbiaya tinggi
sebagai konskwensi logis pelaksanaan Pemilukada.
Kemudian pendekatan yang kedua adalah
pembatasan kewenangan kepala daerah. Bila dalam
UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab
V Pasal 130 ayat 1 dan 2 kepala daerah diberi
kewenangan
yang
besar
dalam
rangka
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian,
maka
untuk
menghindari
penyalahgunaan
wewenang ini dari tarik ulur kepentingan politis,
kewenangan ini harus dipangkas. Kewenangan
dalam rangka pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian harus diserahkan kepada otoritas
Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini otoritas
Menteri Dalam Negeri tidak hanya sebagai
instrumen pembinaan dan pengawasan manajemen
pegawai negeri sipil daerah, tetapi juga diberi
kewenangan pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian.
Kemudian pendekatan yang ketiga adalah
penguatan sistem birokrasi yang bisa bertahan dari
intevensi politik. Pendekatan ini bisa dirumuskan
kedalam sistem kerja, sistem hirarki dan
pemisahan otoritas antara jabatan politik (kepala
daerah) dan jabatan karir melalui aturan, hukum
dan perundang-undangan.
Penerapan sistem merit (merit system) yaitu
adanya kesesuaian antara kecakapan yang dimiliki
seorang
pegawai
dengan
jabatan
yang
dipercayakan
kepadanya,
meliputi
tingkat
pendidikan formal, tingkat pendidikan non
formal/diklatpim, pendidikan dan latihan teknis,
tingkat pengalaman kerja, dan tingkat penguasaan
tugas dan pekerjaan. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sistem merit (merit
system) dalam kebijakan promosi jabatan di daerah
meliputi regulasi, kontrol eksternal dan komitmen
pelaku.
Setiap kali dibuka pendaftaran calon Pegawai
Negeri
Sipil
(PNS),
pelamarnya
selalu
membeludak. Ini dapat dimengerti mengingat
profesi yang satu ini masih menjadi lahan yang
selalu diperebutkan meski dengan gaji yang kata
sebagian orang cukup pas-pasan akan tetapi dinilai
memiliki masa depan yang cukup terjamin. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan jika setiap kali
dibuka pendaftaran, orang pun berjubel bak semut
untuk membentuk konsentrasi massa. Dan bahkan,
begitu besarnya animo masyarakat untuk melamar
pekerjaan ini sehingga tidak jarang berbagai
masalah yang muncul baik sebelum maupun
setelah pengumuman hasil tes CPNS seperti mulai
____________________________________________
Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
dari munculnya dugaan kasus suap menyuap dalam
bentuk uang pelicin untuk lulus seleksi, maraknya
praktik percaloan dan beredarnya surat sakti,
penundaan pelaksanaan ujian seleksi selama
beberapa waktu, beredarnya isu terjadinya
kebocoran soal tes. Dan adanya kelulusan ganda
sampai kepada persoalan munculnya masalah
terhadap LJK (Lembar Jawaban Komputer) dan
skoring.
Timbulnya setumpuk masalah dalam seleksi
penerimaan CPNS tentu saja tidak lepas dari
kinerja birokrasi sebagai lembaga yang dinilai
memiliki tanggung jawab yang besar dalam
mengelola proses rekrutmen CPNS. Apalagi,
dalam masyarakat yang sifatnya heterogen yang
terdiri dari aneka warna kepentingan dan
kebutuhan yang seringkali membuat seseorang
ingin memaksakan keinginannya di atas
kepentingan masyarakat luas. Kondisi seperti
inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang
secara luas di tengah masyarakat dan menjadi salah
satu pemicu munculnya berbagai bentuk penyakit
dan masalah lain yang dihadapi oleh birokrasi.
Seperti:
Pertama,
bertahannya
birokrasi
patrimonial. Dalam hal ini, promosi pegawai tidak
lagi didasarkan pada keahlian dan kompetensi yang
dimiliki oleh individu melainkan lebih diarahkan
pada hubungan kekeluargaan, ikatan darah,
perkawinan, keluarga, daerah, golongan dan lain
sebagainya. Anggapan seperti ini pernah juga
dikemukakan oleh salah seorang sarjana asing,
Richard Robinson (1986) yang pada dasarnya
berkesimpulan bahwa fenomena korupsi yang
terjadi di negeri ini awalnya berakar pada
bertahannya jenis birokrasi patrimonial. Dan yang
lebih parah lagi, apabila birokrasi yang tidak sehat
itu dianggap sebagai personifikasi negara yang
memiliki hak monopoli semua bentuk kekuasaan,
sehingga dengan demikian birokrasi memonopoli
kekuasaan baik sebagai pelaksana maupun
pengontrol kegiatan pembangunan. Akibatnya,
tidak menutup kemungkinan terjadi transaksi
koruptif di dalamnya yang melibatkan para
birokrat untuk menjual kebijakan negara demi
kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompok.
Padahal menurut Max Weber bahwa salah satu ciri
birokrasi yang ideal adalah setiap pejabat sama
sekali tidak diperbolehkan untuk melaksanakan
tugas yang terkait dengan jabatannya dan sumber
daya instansinya untuk kepentingan pribadi dan
keluarganya.
Akhirnya, tantangan lain yang muncul dalam
birokrasi adalah prosedur kerja yang tidak efisien
dan efektif. Itulah sebabnya, mengapa sering
Media Bina Ilmiah 57
muncul kesan yang kurang baik terhadap kinerja
birokrasi yang sering dihubungkan dengan
mekanisme kerja dan kegiatan administrasi yang
cenderung lamban dan berbelit-belit (Red Tape).
Akibatnya, mereka yang berurusan dengan
birokrasi dengan prosedur kerja seperti ini harus
menghabiskan biaya, tenaga dan waktu yang cukup
banyak untuk sesuatu urusan yang sebenarnya
sangat sederhana, efisien dan dengan biaya yang
murah. Dan yang lebih aneh lagi, jika muncul pula
sebagian birokrat yang bermental arogan, sok tahu,
tidak disiplin, memiliki etos kerja yang lemah, dan
suka mengaburkan masalah.
Salah satu upaya yang harus dilakukan oleh
birokrasi publik untuk meminimalisir segala
bentuk penyimpangan dalam rangka proses
penerimaan CPNS adalah dengan cara menerapkan
merit system.
Suatu model Perekrutan yang mana calon
yang lulus seleksi benar-benar didasarkan prestasi,
kompetensi, keahlian maupun pengalaman calon
sehingga dengan demikian tipe rekrutmen yang
bersifat spoil system (sistem pemanjaan) yang
lebih ditekankan pada hubungan patrimonial dapat
dieliminasi. Dengan menerapkan tipe merit system,
ini berarti bahwa calon yang lulus dalam seleksi
dijamin memiliki kualitas yang baik yang dapat
mendukung kinerja birokrasi untuk lebih optimal
di masa yang akan datang. Selain itu, untuk
mencapai tujuan ini, ada juga beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam rangka melakukan
reformasi dalam tubuh birokrasi, antara lain:
Pertama, Transparansi. Di tengah semakin
derasnya arus tuntutan masyarakat terhadap
terwujudnya tata pemerintahan yang baik, maka
prinsip keterbukaan harus ikut mewarnai
mekanisme perekrutan CPNS. Ini dilakukan
sebagai upaya untuk menciptakan suatu kinerja
birokrasi yang bersifat terbuka dan transparan
dalam menyampaikan informasi dan data yang
akurat kepada masyarakat tentang mekanisme
seleksi mulai dari masa pendaftaran hingga
pengumuman hasil ujian sehingga dengan
demikian masyarakat dapat memberikan penilaian
yang lebih objektif dan rasional terhadap kinerja
birokrasi.
Kedua, Akuntabilitas publik. Mengingat
seleksi penerimaan CPNS berkaitan erat dengan
kepentingan masyarakat luas, maka adalah wajar
jika seluruh tindakan, perilaku dan aktivitas serta
segala kebijakan dalam birokrasi harus pula
dipertanggungjawabkan
kepada
publik.
Sebaliknya, masyarakat harus lebih proaktif untuk
bertindak dalam melakukan kontrol terhadap
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
58 Media Bina Ilmiah
birokrasi sehingga seluruh tugas dan tanggung
jawab yang dilakukan oleh para birokrat baik yang
bersifat
administratif
maupun
fungsional
senantiasa diorientasikan pada komitmen dan
keberpihakan bagi kepentingan publik.
Ketiga, pelayanan yang profesional. Kualitas
pelayanan birokrasi kepada masyarakat sangat
dipengaruhi berbagai faktor seperti: kualitas
kepemimpinan
dalam
birokrasi,
prosedur
pelayanan sifatnya harus efisien, sederhana, mudah
dijangkau di semua lapisan masyarakat, tepat, jelas
dan aman.
Di samping itu, untuk lebih mengoptimalkan
pelayanannya kepada publik, khususnya dalam
kaitannya dengan proses rekrutmen CPNS, maka
posisi birokrasi harus netral sebagai mesin
pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas
administrasi dan operasional secara proporsional,
rasional, objektif. Ini sangat penting untuk
dilakukan sebagai upaya untuk mencegah jangan
sampai birokrasi menjadi arena pertarungan dari
berbagai bentuk intervensi dan konflik kepentingan
di antara individu atau kelompok yang pada
akhirnya menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja
secara
sehat,
efektif,
profesional
dan
mandiri.Keempat, kehadiran lembaga independen.
ISSN No. 1978-3787
tarikan politik dalam memperebutkan kursi kepala
daerah.
Keadaan seperti ini memang merupakan buah
dari sistem otonomi daerah yang memberi ruang
sangat besar bagi konsolidasi demokratisasi di
daerah. Dinamika dan warna-warni politik semakin
ramai ditingkat lokal. Hiruk-pikuk demokrasi di
tingkat lokal ini ternyata menyeret birokrasi daerah
kedalam wilayah politik. fenomena ini haruslah
menjadi kajian bersama dalam menciptakan sistem
yang memutus mata rantai terseretnya birokrasi
daerah dalam wilayah politik lokal.
Birokrasi yang profesional adalah birokrasi
yang memandang politisi dan partai politik secara
objektif. Karena bagaimanapun, sepatutnya
pegawai negeri sipil berkomitmen penuh untuk
mengabdi pada masyarakat (Edgar Gladden, 1956)
tanpa diganggu oleh proses politik. Birokrasi yang
netral akan menjadikan pemerintahan lebih stabil
dan mampu meningkatkan daya kinerja dan
pelayanan publik sebuah daerah. Sebenarnya
menghilangkan pengaruh politik dari birokrasi
sama sekali adalah hal yang tidak mungkin (Guy
Peters, 2001; Dag Jacobsen, 2006). Maka yang
diperlukan adalah penguatan sistem birokrasi yang
tahan terhadap pengaruh dan intervensi politik
yang negatif (Tri Widodo, 2011).
PENUTUP
Implementasi
Otonomi
Daerah
pada
hakekatnya adalah memberi ruang kepada daerah
dalam mengelola urusan rumah tangganya sendiri
secara otonom dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai tulang punggung utama terciptanya
Otonomi daerah yang berkualitas, pengelolaan
birokrasi daerah yang profesional adalah kunci
bagi terciptanya tujuan-tujuan implementasi
otonomi daerah. Tapi proses politik yang
mengiringi implementasi otonomi daerah ternyata
tidak melepaskan birokrasi dari tarikan-tarikan
politik sebagaimana yang terjadi pada masa orde
baru. Masalah ini tentunya akan sangat kontra
produktif bagi kinerja pelayanan publik. Gejala ini
haruslah
menjadi
cermin
dalam rangka
menyempurnakan sistem dan landasan hukum
yang baik bagi pelaksanaan otonomi daerah.
Sistem yang dimaksud adalah sistem politik yang
bisa meminimalisasi tarikan-tarikan kepentingan
yang menyeret birokrasi daerah dalam situasi
politik lokal. Kemudian yang kedua adalah
menyempurnakan
landasan
hukum
yang
mempunyai korelasi terciptanya independensi
birokrasi dan para birokrat di daerah dari tarikan-
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 ahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota
Menjadi Undang-Undang.
Martin Albrow, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
LIPI Press, 2006: Netralitas Birokrasi dalam
Pilkada Langsung di Indonesia 2005
(Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai
Kartanegara).
Prijono Tjiptoherijanto: Mewujudkan Netralitas
PNS Dalam Era Otonomi Daerah,
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
____________________________________________
Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
Media Bina Ilmiah 59
Albrow. 1989. Birokrasi. alih bahasa M. Rusli
Karim dan Totok Daryanto. Tara
Wacana. Yogyakarta.
Blau, Peter M dan Meyer, Marshal W. 1991.
Birokrasi Dalam Masyarakat Modern.
UI Press. Jakarta.
Mas’oed, Mohtar. 1994. Politik Birokrasi dan
Pembangunan.
Pustaka
Pelajar.
Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 1991. Beberapa Kebijaksanaan
Birokrasi.
Widya
Mandala.
Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di
Indonesia. RajaGrafindo Persada.
Jakarta.
Tjokrowinato, Moeljarto. 2001. Birokrasi dalam
Polemik. Pustaka Peajar. Yogyakarta.
Wrong, Denis. 2003. Max Weber Suatu Khazanah.
Ikon Teralitera. Yogyakarta.
_____________________________________
http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
Download