RESUME PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PPAT SEBAGAI TERGUGAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH (Study Kasus Atas Putusan Pengadilan Negeri Sorong No.73/PDT.G/2014/PN.SON). Disusun Oleh : DEWI KARTIKA NIM : 12214003 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FALKUTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015 1 1. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal yang sangat kompleks karena menyangkut banyak segi kehidupan masyarakat. Setiap orang hidup membutuhkan tanah, baik sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha. dan mengakibatkan semakin meningkat pula kebutuhan atas tanah. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas tanah diperlukan adanya persyaratan Formil terhadap obyek jual beli hak atas tanah bersangkutan, dan juga terkait dengan prosedur peralihan hak. Prosedur jual beli hak atas tanah telah di tetapkan menurut ketentuan yang berlaku UUPA dan Peraturan Pemerinatah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Menurut ketentuan tersebut diatas jual beli tanah harus dilakukan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta tanah. untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli tanah tersebut, maka proses jual beli hanya dapat dilakukan di atas tanah yang di miliki berdasarkan hak-hak atas tanah, artinya obyek tanah yang telah disahkan atau buktikan dengan bukti pemilikan hak atas tanah yang di terbitkan oleh instansi yang berwenang. dengan demikian dapat diketahui bahwa penjual adalah sebagai orang atau pihak yang berhak dan sah menurut hukum untuk menjual tanah tersebut kepada pembeli. Akta PPAT merupakan akta otentik yang pada hakekatnya memuat kebenaran formil dan materil. PPAT berkewajiban untuk membuat akta sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan, serta sebelum proses pembuatan akta PPAT mempunyai kewajiban untuk melakukan pengecekan sertifikat suatu bidang hak atas tanah di kantor pertanahan. selain itu, PPAT mempunyai kewajiban untuk membacakan akta sehingga isi akta dapat dimengerti oleh para pihak. PPAT juga harus memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap Peraturan Perundang-undangan yang terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. oleh karena itu para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui isi akta PPAT yang akan ditandatanganinya. 2 Eksistensi kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik khusus berkenaan dengan akta pertanahan dapat dikritisi. pemicu kritik tersebut adalah ketiadaan suatu dasar hukum kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang diatur dalam bentuk undangundang. hal ini berdasar pada peraturan jabatan PPAT yang selama ini hanya diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 24 PP Nomor 24 Tahun 1997 Juncto Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, dinyatakan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. 2. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah yang disebut pejabat pembuat akta tanah yang biasa disingkat PPAT adalah : pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta-akta otentik perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dalam PP No. 37/1998 ini juga memuat PPAT sementara dan PPAT khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dan membuat akta di daerah yang belum cukup PPAT dalam hal ini yang ditunjuk adalah camat. PPAT khusus adalah pejabat badan pertanahan nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. sedangkan menurut Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. yang disebut dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak tanggungan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 3 Dari pengertian PPAT di atas, maka dapat dilihat betapa pentingnya fungsi dan peranan PPAT dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam hal pertanahan baik pemindahan hak atas tanah, pemberian hak baru atau hak lainnya yang berhubungan dengan hak atas tanah. 3. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mengenai Tugas dari PPAT adalah sebagai berikut : 1. Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum untuk mengajukan permohonan ijin pemindahan hak dan permohonan penegasan konversi serta pendaftaran hak atas tanah. 2. Membuat akta mengenai perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah dan hak tanggungan (akta jual beli, tukar menukar dan lain-lain). Sedangkan mengenai wewenang dari PPAT adalah sebagai berikut: 1 Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, mengenai : a. jual beli. b. tukar menukar. c. hibah. d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. pembagian hak bersama. f. pemberian HGB / hak pakai atas tanah hak milik. g. pemberian hak tanggungan. h. pemberian kuasa membebanan hak tanggungan. 2. PPAT dapat membuat akta mengenai perbuatan hukum mengenai hak atas tanah (antara lain termasuk hak guna usaha dan tanah bekas hak milik adat) atau hak-hak atas tanah yang menurut sifatnya dapat dialihkan atau dibebani hak tanggungan atau membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan. 3. PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebutkan secara khusus dalam penunjukkannya. 4 Untuk kewajiban dari PPAT sesuai dengan Pasal 45 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Nomor 37/1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sebagai berikut: 1. Menjunjung tinggi Pancasila UUD 45 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT. 3. Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 4. Menyerahkan protokol PPAT dalam hal : a. PPAT yang berhenti menjabat menyerahkan kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan. b. PPAT sementara yang berhenti sebagai PPAT sementara kepada PPAT sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan. c. PPAT khusus yang berhenti sebagai PPAT khusus kepada PPAT khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan. d. Membebaskan uang jasa pada orang yang tidak mampu yang dibuktikan secara sah. 5. Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja kantor pertanahan setempat. 6. Berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Pengangkatan PPAT. 7. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor wilayah, Bupati/Wali Kota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang 5 bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan. 8. Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan. 9. Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan. Apabila akta PPAT telah dapat menjawab pertanyaan mengenai telah terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang Kantor Pertanahan masih memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan terpenuhinya kecakapan dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut bertangung jawab atau setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab PPAT (misal kuasa menjual atau persetujuan suami / istri). Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak dari sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung jawab : 1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak. 2. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap yang dikenal atau diperkenalkan. 3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan para penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur. Keberadaan PPAT untuk mendampingi dan menunjang kegiatan dari BPN yang suatu lembaga/intansi Pemerintah non depertemen menggantikan 6 direktorat jendral agraria dibidang ketertiban administrasi pertanahan, antara lain untuk mengantur perdataan dengan mendaftar (Meregister) Tanah-tanah di bumi pertiwi indonesia ini terutama yang belum terdaftar dengan menerbitkan sertifikat hak atas tanah guna mencapai terwujudnya Cita-cita Bangsa dan Negara sebagaimana bunyi Undang-undang dasar 1945 dan amandemennya Pasal 33 : 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal di atur dalam undangundang. Akta PPAT tidak termasuk sebagaimana dimaksud pada Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tertulis sebagai berikut : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena Alasan-alasan yang oleh Undang-undang di nyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Karena akta PPAT tidak mengandung asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu contoh pembelian tanah secara angsuran dalam akta PPAT tidak memungkinkan dan hal ini menjadi permasalahan bagi 7 pelaksanaan kredit pemilikan rumah (KPR) karena UUPA berdasarkan pada hukum Adat, hanya mengenal jual beli secara tunai dan kontan. Mengenai apa yang di maksud dengan perjanjian dapat ditemui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : perbuatan hukum yang dengan mengindahkan ketentuan Undang-undang, timbul karena kesepakatan dari dua belah pihak atau lebih yang saling mengikat diri dengan tujuan menimbulkan, beralih, berubah, atau berakhirnya suatu hak kebendaan. Dr Herlien Budiono, SH menyatakan bahwa : agar suatu perbuatan digolongkan pada perjanjian, maka perbuatan hukum tersebut harus memenuhi adanya unsur-unsur sebagai berikut : 1. Kata sepakat di antara dua pihak atau lebih. 2. Kata sepakat yang tercapai bergantung pada para pihak. 3. Kemauan para pihak untuk timbulnya akibat hukum. 4. Untuk kepentingan yang satu atas beban pihak yang lain atau timbal balik 5. Dengan mengindahkan persyaratan Perundang-undangan. 4. Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam ketentuan Pasal 1 PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT ditetapkan tiga macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang di beri kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. 2. PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. 3. PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. 8 PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 5. Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : a. Permintaan sendiri. b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Kepala BPN RI atau pejabat yang di tunjuk. c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Yang termasuk pelanggaran ringan, antara lain : 1. Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan. 2. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali. 3. Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta-akta yang dibutanya. 4. Merangkap jabatan sebagai advokat, pegawai negeri, pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah, lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan. 5. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI. PPAT yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya diterbitkan Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN RI. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi. Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena : 9 a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Yang termasuk pelanggaran berat, antara lain : 1. Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan. 2. Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan. 3. Melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya. 4. Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan. 5. Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lain-lainnya yang di luar dan/atau daerah kerjanya 6. Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT. 7. Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir di hadapannya. 8. Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya. 9. PPAT tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya. 10. PPAT tidak membuat akta di hadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya. 11. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti 12. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI. b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling 10 lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. 6. Perlindungan Hukum Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT Aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam ranah peraturan Perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lebih bersifat intern atau administratif. Pranata yang dilanggar oleh seorang PPAT adalah ukuran standar profesionalisme yang seharusnya wajib ditaati oleh semua PPAT sebagai pengemban kewenangan Negara dalam pembuatan akta otentik dibidang pertanahan. diranah ini perlindungan terhadap PPAT dari Putusanputusan administratif, bertujuan untuk memberikan jaminan bagi seorang PPAT untuk dapat membela diri dan mempertahankan haknya atas pekerjaan sebagai seorang PPAT. Sebagai badan atau pejabat tata usaha Negara. (BPN dan Majelis Kehormatan) dalam menjatuhkan sanksi terhadap PPAT wajib mengeluarkan atau membuat suatu keputusan (KTUN). dan apabila PPAT tidak puas atas keputusan tersebut, keputusan tersebut akan menjadi sengketa tata usaha negara. dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan oleh PPAT, yaitu langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan atau pemeriksaan tingkat pertama. menurut Philipus M. Hadjon, bahwa adanya sarana keberatan (Inspraak) merupakan sarana perlindungan hukum preventif. mengatur sanksi administratif tersebut dengan maksud memberikan rasa keadilan dan perlindungan hukum kepada PPAT untuk mengajukan pembelaan diri atas sanksi administratif yang diterimanya. Sedangkan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang bersinggungan dengan pranata hukum pidana dan perdata lebih bersifat ekstern, artinya bahwa PPAT selaku Pejabat Umum kepadanya melekat Hak-hak istimewa sebagai konsekuensi predikat kepejabatan yang dimilikinya. istilah hak istimewa dalam bidang hukum adalah hak khusus 11 atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu Negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. hak-hak istimewa yang dimiliki PPAT, menjadi pembeda perlakuan (Treatment) terhadap masyarakat biasa. Bentuk-bentuk perlakuan itu berkaitan dengan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT, yakni berkaitan dengan perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses penyidikan dan persidangan, yang harus diindahkan. 7. Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT. Pelayanan kepentingan umum merupakan Hakekat tugas bidang Pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. dalam bidang tertentu, tugas itu oleh Undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada PPAT, yakni tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, sehingga masyarakat juga harus percaya bahwa akta PPAT yang dibuat tersebut memberikan kepastian hukum bagi warganya. Dengan demikian konsekuensi logis terhadap adanya kepercayaan tersebut, haruslah dijamin adanya pengawasan agar tugas PPAT selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan agar terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan. Berpijak pada penalaran Argumentum Peranalogian (Analogi), pendapat Paulus Effendie Lotulung dapat diterapkan pada pejabat umum lainnya, dalam hal ini PPAT. Dengan demikian diperlukan adanya mekanisme pengawasan, baik yang bersifat preventif maupun represif, terhadap pelaksanaan tugas jabatan PPAT. Perangkat hukum pengaturan mekanisme tersebut dijalankan atas dasar Peraturan Jabatan PPAT, yakni 12 pada Pasal 33 PP No. 37 Tahun 1998, yang tata caranya atau pelaksanaannya diatur dalam Pasal 65-68 Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT. 8. Prosedur Khusus dalam Penegakan Hukum Terhadap PPAT. Di samping aspek perlindungan hukum secara intern berupa pembinaan dan pengawasan sebagaimana uraian diatas, maka diperlukan pula perhatian terhadap aspek perlindungan hukum secara ekstern, yakni yang bersinggungan dengan ranah pidana dan perdata. PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya rentan terjerat hukum, disamping itu aspek pelindungan hukum terhadap PPAT merupakan perimbangan atau Balance terhadap aspek pengawasan yang cukup ketat bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, sehingga aspek perlindungan hukum secara ekstern ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi jabatan PPAT. Konsep perlindungan hukum terhadap PPAT tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan konsepsi tersebut sebagai kerangka pikir dengan mendasarkan pada Pancasila, Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada prinsip Negara Hukum yang berlandaskan Pancasila. Ditinjau dari sudut peraturan Perundang-undangan terkait ke-PPATan. Salah satu konsekuensi logis dari prinsip Negara Hukum adalah penerapan Asas Legalitas, dengan kata lain, dalam unsur Negara Hukum Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur, karena perlindungan hukum harus dimaknai sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, artinya pengaturan mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang dalam hukum positif. 13 Berpijak pada uraian diatas maka Prosedur secara Normatif dalam hal PPAT yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sedangkan penyitaan terhadap akta asli PPAT (minuta) dan warkahnya hanya dapat dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat berdasarkan ketentuan Pasal 43 Kitab Undang-undang Hukun Perdata. - Pasal 112 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan seseorang yang dipanggil oleh penyidik guna kepentingan pemeriksaan wajib datang kepada penyidik. Bagi saksi yang tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman pidana paling lama 9 bulan. - Pasal 43 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut Undang-undang untuk merahasiakan (dalam hal ini PPAT), sepanjang tidak menyangkut rahasia Negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali Undang-undang menentukan lain. Berdasarkan uraian di atas, disamping menunjukkan beberapa perbedaan, juga menunjukkan bahwa Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT memiliki peranan yang Sama-sama penting, yakni terdapat kesamaan urgensi dan kualifikasi, antara lain : 1. Berwenang membuat alat bukti dengan kekuatan bukti sempurna berupa akta otentik 2. Dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum 3. Diwajibkan merahasiakan isi akta, sebagaimana ditentukan dalam rumusan sumpah jabatan. Berpijak pada adanya kesamaan kedudukan, kualifikasi dan kewajiban bagi Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT, maka perlu dipersamakan juga bentuk perlakuan bagi keduanya. dengan demikian pengaturan secara normatif dalam suatu peraturan 14 organis tentang ketentuan yang mengharuskan izin pemeriksaan dalam proses peradilan bagi seorang PPAT, dalam hal dipanggil sebagai saksi maupun tersangka patut dipersamakan, yakni di atur dalam Peraturan Jabatan PPAT. Beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pelaksanaaan tugas dan jabatan seorang PPAT, antara lain: 1. PPAT yang diajukan dan dipanggil sebagai saksi di Pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya dijadikan alat bukti dalam suatu perkara. 2. PPAT yang dijadikan tergugat atau turut tergugat di Pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak Penggugat, berkaitan dengan Perkara Perdata. 3. PPAT sebagai terdakwa dalam Perkara Pidana. 4. Penyitaan terhadap bundel akta yang ada pada PPAT. Berpijak pada uraian di atas Penulis berpendapat, PPAT sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya diberikan perlindungan hukum, berkaitan dengan : 1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan. 2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta 3. Menjaga Minuta Akta PPAT dan warkah pendukung akta yang dilekatkan pada minuta akta atau Protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT. 9. Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar Pejabat Pembuat Akta Tanah Pembahasan mengenai perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses penyidikan dan persidangan terhadap PPAT telah dijabarkan pada uraian diatas, dimana dalam hal seorang PPAT dipanggil sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112 KUHAP. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai “hak istimewa” yang diatur secara implisit oleh Peraturan Perundang-undangan bagi jabatan tertentu 15 salah satunya jabatan PPAT yakni kewajiban ingkar (Verschoningsplicht) dan hak ingkar (Verschoningsrecht) dari orang PPAT. Berdasarkan uraian sub bab di atas Penulis berpendapat bahwa, walaupun perlindungan hukum berupa keharusan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim memperoleh persetujuan Majelis Kehormatan Daerah untuk memanggil PPAT dalam rangka proses peradilan tidak diatur secara eksplisit dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kePPAT-an tidaklah menghilangkan hak istimewa lainnya yakni “Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar”, oleh karena itu jabatan PPAT sebagai Pajabat Umum dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi. Dalam praktek sering terjadi apabila terjadi perselisihan diantara para pihak penjual maupun pembeli, seringkali seorang PPAT dilibatkan sebagai saksi dimuka Pengadilan dalam proses perkara dimana oleh salah satu pihak atau lebih menggunakan suatu akta PPAT sebagai alat bukti, atau bahkan dilibatkan sebagai tergugat dua, tiga atau empat dalam perkara perdata dimuka Pengadilan. Sedangkan apabila seorang PPAT dilibatkan sebagai tergugat, pada umumnya didasari karena PPAT bersangkutan yang membuat aktanya, dan tidak ada kaitannya dengan apa yang menjadi materi pokok dari perjanjian yang menjadi materi perkara itu. Berkaitan dengan hal tersebut ada sebagian dari para PPAT yang menganut pendirian, bahwa apabila PPAT dipanggil oleh pihak Pengadilan sebagai saksi dalam perkara dimana aktanya dipergunakan sebagai alat bukti tidak perlu bahkan dikatakan tidak ada kewajiban untuk hadir, mengingat adanya sumpah rahasia jabatannya (kewajiban ingkar). Menurut Liliana Tedjosaputro, salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipegang teguh oleh para profesional adalah menyimpan atau memegang rahasia jabatan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari confidential profession (jabatan kepercayaan) yang telah diberikan oleh masyarakat, khususnya klien. Rahasia ini tetap dijaga, meskipun hubungan profesional dengan kliennya telah berakhir. 16 Menurut Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip oleh Liliani Tedjosaputro, menyatakan bahwa rahasia jabatan (beroepgeheim) dari seorang Advokat bukanlah sekedar ketentuan etik semata, melainkan persoalan beroepgeheim tersebut juga merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat ditegakkan pada Pengadilan. Hal ini berkaitan dengan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari seorang Advokat yang bersumber pada Pasal 170 KUHAP yang memberikan kebebasan untuk bersaksi bagi mereka yang karena jabatannya, harkat, martabat dan pekerjaannya harus menyimpan rahasia. Menurut pendapat Van Bemmelen yang dikutip oleh G.H.S. Lumban Tobing mengatakan bahwa ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) yakni : 1. Hubungan keluarga yang sangat dekat 2. Bahaya dikenakan hukuman pidana (gevaar voor strafrechtelijke veroordeling). 3. Kedudukan pekerjaan dan rahasia jabatan. Secara normatif atau eksplisit Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lainnya belum mengatur secara tegas mengenai perlindungan hukum kepada PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus penegakan hukum terhadap PPAT. Secara implisit jabatan PPAT memiliki suatu hak istimewa berupa Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningrecht) yang diakui sebagai suatu imunitas hukum untuk kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan baik perkara perdata maupun pidana bagi jabatan-jabatan tertentu, salah satunya Jabatan PPAT, hak istimewa tersebut secara materil didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan 17 Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998, Pasal 322ayat (1) KUHP; dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan secara formil berdasarkan Pasal 170 KUHAP untuk proses acara pidana dan Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata. 10. Macam-macam Bentuk Peralihan Hak Atas Tanah Peralihan hak atas tanah adalah memindahkan atau beralihnya penguasaan tanah yang semula milik seseorang atau kelompok masyarakat kemasyarakat lainnya. peralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara menukar atau memindahkan tanah. penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasakan secara fisik tanah yang dihaki. tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasaan tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Peralihan hak atas tanah tersebut terjadi karena hukum artinya dengan meninggalnya seseorang pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya. jadi ahli waris disini memperoleh peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah karena suatu peristiwa hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subjek hukum. Sedangkan suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindah tangankan oleh pemegang hak selaku subjek hukum atau hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang di alihkan. Di dalam perkembangan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan : 1. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak 18 melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 2. Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Mentri kepala pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenaranya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Senada dengan Effendi Perangin, menurut Maria S.W. Sumardjono, sifat jual beli menurut hukum adat adalah : a. Tunai Penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah (Penjual) dilakukan bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain (Pembeli). dengan perbuatan jual beli tersebut, maka seketika itu juga terjadi peralihan hak atas tanah. harga yang dibayarkan pada saat penyerahan hak tidak harus lunas atau penuh atau hal ini tidak mengurangi sifat tunai tadi. kalau ada selisih atau sisa dari harga, maka hal ini dianggap sebagai hutang pembeli kepada penjual yang tunduk pada hukum utang piutang. b. Riil Artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan yang nyata-nyata menunjukan tujuaan jual beli tersebut, misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian dihadapan kepala desa. c. Terang Artinya untuk perbuatan hukum tersebut haruslah dilakukan dihadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai perbandingan, berikut ini diuraikan tentang jual beli tanah menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Pengertian jual beli dimuat dalam Pasal 19 1457 BW, yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Selanjutnya dalam Pasal 1458 BW, dinyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya para pihak mencapai kesepakatan tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. 11. Akibat Hukum Terhadap Akta-Akta Berdasarkan Putusan Pengadilan. Mengenai kewajiban, larangan dan pengecualian diatur dalam Bab IX Pembinaan dan Pengawasan PP Nomor 37 tahun 1998. Pasal 65 mengatur mengenai Pembinaan dan Pengawasan Seorang PPAT. Akta PPAT yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari : 1. Isi dalam pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal, sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuatan sebagai akta di bawah tangan, dan pasal lainnya Dengan demikian kedudukan akta PPAT mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat dituntut ganti rugi dalam bentuk apapun. demikian juga dengan akta yang batal demi hukum maka akta tesebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. jika demikian bahwa tuntuan biaya ganti rugi, dan bunga sebagai akibat seperti itu, tapi karena ada hubungan hukum antara PPAT dan para pihak yang menghadap PPAT. hubungan hukum merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur dalam hukum. demikian juga apabila suatu akta yang telah dibuat oleh PPAT jika menimbulkan masalah dan harus diperkarakan di pengadilan karena adanya 20 para pihak yang merasa di rugikan, sehingga mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan. Terhadap hasil putusan pengadilan yang memeriksa suatu perkara yang didasarkan pada akta yang telah di buat oleh seorang PPAT, maka para pihak harus tunduk pada hasil yang diputuskan pengadilan. Termasuk diantaranya terhadap akta yang dibatalkan dimuka pengadilan atau yang hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan, yang semua itu diantaranya disebabkan kelalaian dari seorang PPAT yang membuat akta yang tidak didasarkan pada persyaratan bentuk yang harus berdasarkan undang-undang. a. Penelitian Putusan Untuk Membahas Permasalahan yang di kemukakan Bahwa Akta Jual beli Nomor : 405/2014 tanggal 24 April 2014 adalah cacat hukum atau batal demi hukum, Berdasarkan atas Putusan Pengadilan Negeri Sorong No.73/PDT.G/2014/PN.SON. Kronologis Hukum sebagai berikut : Pihak-pihak Perkara : Rieke Adeleida Sompie disebut sebagai Penggugat Melawan 1. Fredi Sundah disebut sebagai Tergugat I 2. Kisyono disebut sebagai Tergugat II 3. Irnawati Nazar, SH disebut sebagai Tergugat III Penggugat dan Tergugat I Pernah menjalani kehidupan sebagai suami isteri sejak Tahun 1998 sesuai dengan Akta Perkawinan Nomor : 474.2/114 Tanggal 16 Oktober 1989, dan pada Tahun 2012 hubungan suami isteri tersebut telah putus akibat perceraian berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Sorong Nomor : 06/PDT.G/2012/PN.SRG Tanggal 02 Mei 2012. Dari hasil perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I, keduanya telah mengumpulkan harta bersama berupa : sebidang tanah dan bangunan di atas sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, dan surat ukur/gambar situasi Nomor : 41/RU/K/2001, Tanggal 20 Juni 2001, seluas 21 322 M2 (tiga ratus dua puluh dua meter persegi), atas nama Tergugat I, yang terletak di jalan maleo, RT.003/RW.008, Kelurahan Remu Utara, Kecamatan Sorong, Kota Sorong, dengan batas-batas sebagai berikut : - Sebelah timur berbatasan dengan : Jalan Maleo - Sebelah selatan berbatasan dengan : Lorong - Sebelah barat berbatasan dengan : Bpk Rumahurbo - Sebelah utara berbatasan dengan : Lorong. oleh karena tanah dan bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, dan surat ukur/gambar situasi Nomor : 41/RU/K/2001, Tanggal 20 Juni 2001, seluas 322 M2 (tiga ratus dua puluh dua meter persegi). Adalah merupakan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat I, maka setelah hubungan suami isteri antara Penggugat dan Tergugat I putus akibat perceraian sesuai keputusan Pengadilan Sorong Nomor : 06/PDT.G/2012/PN.SRG Tanggal 02 Mei 2012, dengan demikian tanah dan bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, seluas 322 M2 (tiga ratus dua puluh dua meter persegi) adalah merupakan harta bersama yang harus dibagi bersama antara Penggugat dan Tergugat I. Nilai Tanah dan banguan tersebut untuk saat ini dapat dihargakan sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua millar rupiah), yang terdiri dari nilai tanah Rp. 1.350.000.000.- (satu millar tiga ratus lima puluh juta rupiah), dan nilai bangunan sebesar Rp. 650.000.000.- (enam ratus lima puluh juta rupiah). Kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat telah di tuangkan dalam surat pernyataan yang dibuat oleh Tergugat I sehingga sambil menunggu proses yang dilakukan oleh Tergugat I untuk membagi harta bersama, apakah nantinya akan dibagi ataukah akan serahkan kepada anak-anaknya. Hubungan Tergugat I dan Tergugat II adalah teman Bisnis usaha mie ayam dan bakso, hubungan mereka cukup baik dan mereka pun saling membantu bila salah satunya kekurangan dana usaha. untuk memperbesar usahanya Tergugat I meminjam uang kepada Tergugat II namun Tergugat II tidak mempunyai Uang sejumlah Tergugat I minta. dan Tergugat II pun mencari solusi untuk mendapatkan uang tersebut, dengan jalan meminjam 22 uang dibank, dari situ permasalahan datang pada bulan mei 2014 Penggugat dikagetkan oleh informasi yang disampaikan oleh Tergugat I. bahwa tanah dan bangunan sesuai sertifikat hak milik nomor : 335/Remu Utara tersebut, Tergugat I telah ditipu oleh tergugat II yaitu temannya sendiri yang katanya telah membantu Tergugat I meminjamkan uang sebesar Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) untuk modal usaha, dan menjebak Tergugat I untuk menanda tangani akta jual beli dihadapan Tergugat III, karena Tergugat II membutuhkan uang dan tergugat I belum dapat mengembalikan uang yang di pinjaman tersebut, sehingga untuk membantu Tergugat II akhirnya Tergugat I menanda tangani akta jual beli secara fikti agar supaya Tergugat II mendapat pinjaman bank. Dan Tergugat I telah menanda tangani akta jual beli Nomor : 405/2014 Tertanggal 24 April 2014 yang katanya fikti terhadap tanah dan bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/ Remu Utara, seluas 322 M2 (dua ratus dua puluh dua meter persegi) yang adalah merupakan harta bersama yang belum dibagi setelah terjadi perceraian. kepada Tergugat II apakah itu disengaja ataupun karena dijebak, yang pasti tanah dan bangunan sesuai sertifikat aquo sebagiannya adalah milik dari Penggugat maka perbuatan Tergugat I adalah merupakan perbuatan melawan hukum. Bahwa sebenarnya Tergugat II telah diberitahu oleh Tergugat I perihal tanah dan bangunan yang telah bersertifikat itu adalah harta bersama antara Pengugat dan Tergugat I, hal ini Penggugat ketahui setelah menelusuri permasalahan jual beli tanah dan bangunan yang telah bersertifikat aquo kepada Tergugat III, dan disana Penggugat telah melihat akta jual beli Nomor : 405/2014 Tanggal 24 April 2014 antara Tergugat I dan Tergugat II, Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, keputusan perceraian antara Tergugat I dan Penggugat dengan Nomor : 06/PDT.G/2012/PN.SRG Tanggal 02 Mei 2012 serta satu lembar kertas putih kosong yang telah ditandatangani oleh Tergugat I di atas materai Rp.6000.- (enam ribu rupiah). Berdasarkan uraian Permasalahan diatas tersebut, Para Penggugat Memohon kepada Majelis Hakim untuk : 23 DALAM EKSEPSI : 1. Menerima dan mengabulkan eksepsi Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi Untuk seluruhnya 2. Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak jelas/kabur (Obscuur Libel) dan kurang pihak (Plurium Litis Consortium) DALAM POKOK PERKARA : - Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak dapat diterima. DALAM REKONVENSI : - Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi tidak dapat diterima. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI : Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.691.000,- ( dua juta enam ratus sembilan puluh satu ribu rupiah). b. Pembahasan Hasil Putusan No.73/PDT.G/2014/PN.SON Akta Jual Beli Nomor : 405/2014 Tanggal 24 April 2014 dibuat oleh Notaris Irnawati Nazar, SH. yang berisikan akta jual beli antara Fredy Sundah dan Kisyono tidak sah dan Batal demi Hukum. Dan memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III untuk membayar segala biaya perkara adalah suatu putusan yang sudah tepat dan adil dan hendaknya para pihak yang terlibat dalam Permasalahan tersebut dapat melaksanakan isi dari putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Adapun yang menjadi analisa hukum disini adalah bahwa yang menjadi pokok persoalan gugatan Penggugat adalah akta jual beli tanah tersebut yang diakui oleh Penggugat sebagai harta bersama, yang dilakukan jual beli oleh Tergugat I kepada Tergugat II dan dilakukan dihadapan 24 Tergugat III, tanpa seijin Penggugat. dikarenakan harta tersebut adalah harta bersama antara Penggugat dan Tergugat I maka pelaksanaan jual beli yang dilaksanakan secara sepihak tersebut adalah tidak sah dan peralihan hak tersebut dinyatakan batal demi hukum. Setiap permasalahan tanah mengenai jual beli, PPAT dipanggil untuk menjadi saksi di Pengadilan. PPAT tidak bertanggung jawab atas data-data palsu yang disampaikan kepadanya tanpa sepengetahuannya. Apabila PPAT atau PPAT sementara tahu kalau para pihak menyampaikan data-data yang palsu kepadanya, dapat dikenakan Pasal 55 dan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sanksi administratif, dan kemungkinan dituntut ganti rugi secara perdata. Akibat hukum dari datadata yang disampaikan kepada PPAT palsu, adalah dapat dibatalkan. demikian pula sertifikat tanah yang diterbitkan berdasarkan akta jual beli yang tidak sah, tentunya tidak sah pula sehingga dapat dibatalkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PPAT belum melaksanakan ketentuan dari Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu mengecek atau memeriksa kesesuaian sertifikat terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan karena hal tersebut menjadi syarat pembuatan akta jual beli tanah. Akta yang dibuat PPAT dan PPAT Sementara merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah. Maka, PPAT dan PPAT Sementara berkewajiban untuk memeriksa persyaratan jual beli tanah untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, yakni syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut. Mengenai kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai alat bukti yang sah di dalam proses pemeriksaan sengketa perdata, dan bukti surat yang akan dibahas adalah : 1. Akta yang diajukan sebagai alat bukti yaitu Akta Jual Beli antara Tergugat I dan Tergugat II. 25 2. Bahwa akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dikarenakan adanya unsur-unsur/ syarat sahnya jual beli di dalam pembuatan akta tidak terpenuhi, dalam hal ini tidak adanya persetujuan dari Tergugat sebagai istri sah dari Penggugat I. Akta PPAT termasuk akta otentik yang merupakan bukti sempurna, karena akta otentik tersebut mempunyai beberapa kekuatan pembuatan, yaitu: a. Kekuatan Pembuktian lahir : Kekuatan pembuktian yang didasarkan atas lahir atau apa yang tampak pada lahirnya. akta pempunyai kekuatan hukum yang tetap sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. Kekuatan Pembuktian Formil : kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di dalam akta itu. pembuktian ini memberikan tentang peristiwa, bahwa pejabat dan para pihak telah menyatakan dan melakukan seperti apa yang dimuat di dalam akta. c. Kekuatan pembuatan materiil : Kekuatan pembuktian yang didasarkan benar tidaknya isi pernyataan di dalam akta iu, yang mana memberikan kepastian tentang materi suatu akta, serta memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat di dalam akta. Terhadap Akta yang dinyatakan oleh hakim hanya mempunyai kekuatan hukum di bawah tangan PPAT dapat dimintakan pertangggung jawaban secara perdata dan tuntutan itu adalah berdasarkan perbuatan hukum, artinya walaupun PPAT hanya mengkonstantir keinginan daripada para pihak yang menghadap bukan berarti PPAT tidak pernah atau tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuanketentuan hukum, karena dalam prakteknya hal tersebut banyak terjadi. Suatu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh PPAT yang menimbulkan kerugian para pihak dapat dijerat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, adapun tujuan dari Pasal 1365 KUHPerdata ini sebenarnya adalah untuk mengembalikan kerugian pada keadaan semula, setidak- 26 tidaknya pada keadaan yang mungkin dapat dicapai sekiranya tidak tejadi perbuatan melawan hukum, maka akan diusahakan pengembalian secara nyata yang kiranya lebih sesuai daripada pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang, karena pembayaran dalam bentuk uang hanyalah nilai yang ekuivalen saja. dan terhadap akta PPAT yang diperkarakan di pengadilan, maka PPAT harus tunduk pada keputusan pengadilan baik putusan itu sifatnya menguatkan akta tersebut atau akta tersebut dinyatakan batal demi hukum. dengan kata lain bahwa putusan pengadilan atas akta yang dibuat oleh PPAT, sangat menentukan mengenai pertanggung jawaban dari PPAT tersebut terhadap para pihak yang merasa dirugikan. c. Hambatan-hambatan yang Timbul pada Tanggung Jawab PPAT dalam Proses Sengketa dan Cara Mengatasinya. Akta yang di buat oleh PPAT merupakan alat bukti yang otentik apabila akta tersebut dibuat sesuai dengan prosedur yang ada dan sesuai dengan ketentuan bahwa : 1. Tanggung jawab seorang PPAT terhadap akta yang telah dibuatnya tetap ada, meskipun akta tersebut telah dinyatakan oleh Hakim hanya mempunyai kekuatan bukti di bawah tangan atau, dinyatakan batal demi hukum. 2. Tanggung jawab terhadap para pihak, maupun terhadap diri sendiri yang mungkin karena kelalaian dalam membuat akta sehingga terjadi kesalahan, di dalam penulisan, atau pembuatan Akta Otentik. Setelah dilakukan penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tidak terdapat hambatan yang berarti di dalam tanggungjawab PPAT terhadap akta yang telah dikeluarkannya jika terjadi sengketa terhadap akta tersebut di pengadilan. 12. Kesimpulan 27 1. Secara normatif atau eksplisit Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta peraturan Perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lainnya belum mengatur secara tegas mengenai perlindungan hukum kepada PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus penegakan hukum terhadap PPAT. secara implisit jabatan PPAT memiliki suatu hak istimewa berupa Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningrecht) yang diakui sebagai suatu imunitas hukum untuk kewajiban member keterangan sebagai saksi di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan baik perkara perdata maupun pidana bagi jabatan-jabatan tertentu, salahsatunya Jabatan PPAT, hak istimewa tersebut secara materil didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998; Pasal 322ayat (1) KUHP; dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan secara formil berdasarkan Pasal 170 KUHAP untuk proses acara pidana; dan Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata. 2. Akibat hukum akta PPAT yang diperkarakan di pengadilan, maka PPAT harus tunduk pada keputusan pengadilan baik putusan itu sifat nya menguatkan akta tersebut atau akta tersebut dinyatakan batal demi hukum. dengan kata lain bahwa putusan pengadilan atas akta yang dibuat oleh PPAT, sangat menentukan mengenai pertanggung jawaban dari PPAT tersebut terhadap para pihak yang merasa dirugikan. 28