PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PPAT SEBAGAI

advertisement
RESUME
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PPAT SEBAGAI TERGUGAT
DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
(Study Kasus Atas Putusan Pengadilan Negeri Sorong
No.73/PDT.G/2014/PN.SON).
Disusun Oleh :
DEWI KARTIKA
NIM : 12214003
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FALKUTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2015
1
1.
Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan hal yang sangat kompleks karena menyangkut
banyak segi kehidupan masyarakat. Setiap orang hidup membutuhkan tanah,
baik sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha. dan mengakibatkan
semakin meningkat pula kebutuhan atas tanah.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak
atas tanah diperlukan adanya persyaratan Formil terhadap obyek jual beli
hak atas tanah bersangkutan, dan juga terkait dengan prosedur peralihan
hak. Prosedur jual beli hak atas tanah telah di tetapkan menurut ketentuan
yang berlaku UUPA dan Peraturan Pemerinatah Nomor 24 Tahun 1997
tentang pendaftaran tanah.
Menurut ketentuan tersebut diatas jual beli tanah harus dilakukan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta
tanah. untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli
tanah tersebut, maka proses jual beli hanya dapat dilakukan di atas tanah
yang di miliki berdasarkan hak-hak atas tanah, artinya obyek tanah yang
telah disahkan atau buktikan dengan bukti pemilikan hak atas tanah yang di
terbitkan oleh instansi yang berwenang. dengan demikian dapat diketahui
bahwa penjual adalah sebagai orang atau pihak yang berhak dan sah
menurut hukum untuk menjual tanah tersebut kepada pembeli.
Akta PPAT merupakan akta otentik yang pada hakekatnya memuat
kebenaran formil dan materil. PPAT berkewajiban untuk membuat akta
sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan, serta sebelum proses
pembuatan akta PPAT mempunyai kewajiban untuk melakukan pengecekan
sertifikat suatu bidang hak atas tanah di kantor pertanahan. selain itu, PPAT
mempunyai kewajiban untuk membacakan akta sehingga isi akta dapat
dimengerti oleh para pihak. PPAT juga harus memberikan akses terhadap
informasi, termasuk akses terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. oleh karena itu para
pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui isi akta PPAT
yang akan ditandatanganinya.
2
Eksistensi kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik khusus berkenaan dengan akta pertanahan dapat
dikritisi. pemicu kritik tersebut adalah ketiadaan suatu dasar hukum
kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang diatur dalam bentuk undangundang. hal ini berdasar pada peraturan jabatan PPAT yang selama ini
hanya diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 24 PP Nomor 24 Tahun 1997 Juncto Pasal 1 angka 1 PP
Nomor 37 Tahun 1998, dinyatakan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu mengenai hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
2.
Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah yang disebut pejabat pembuat
akta tanah yang biasa disingkat PPAT adalah : pejabat umum yang
diberikan kewenangan membuat akta-akta otentik perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Dalam PP No. 37/1998 ini juga memuat PPAT sementara dan PPAT
khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dan membuat akta di daerah
yang belum cukup PPAT dalam hal ini yang ditunjuk adalah camat.
PPAT khusus adalah pejabat badan pertanahan nasional yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu. sedangkan menurut Undang-undang nomor 4 tahun
1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah. yang disebut dengan PPAT adalah pejabat umum yang
diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak
tanggungan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
3
Dari pengertian PPAT di atas, maka dapat dilihat betapa pentingnya
fungsi dan peranan PPAT dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam hal
pertanahan baik pemindahan hak atas tanah, pemberian hak baru atau hak
lainnya yang berhubungan dengan hak atas tanah.
3.
Tugas, Wewenang dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) mengenai Tugas dari PPAT adalah sebagai berikut :
1.
Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum untuk
mengajukan permohonan ijin pemindahan hak dan permohonan
penegasan konversi serta pendaftaran hak atas tanah.
2.
Membuat akta mengenai perbuatan hukum yang berhubungan dengan
hak atas tanah dan hak tanggungan (akta jual beli, tukar menukar dan
lain-lain).
Sedangkan mengenai wewenang dari PPAT adalah sebagai berikut:
1
Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, mengenai :
a. jual beli.
b. tukar menukar.
c. hibah.
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. pembagian hak bersama.
f. pemberian HGB / hak pakai atas tanah hak milik.
g. pemberian hak tanggungan.
h. pemberian kuasa membebanan hak tanggungan.
2.
PPAT dapat membuat akta mengenai perbuatan hukum mengenai hak
atas tanah (antara lain termasuk hak guna usaha dan tanah bekas hak
milik adat) atau hak-hak atas tanah yang menurut sifatnya dapat
dialihkan atau dibebani hak tanggungan atau membuat surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
3.
PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang disebutkan secara khusus dalam penunjukkannya.
4
Untuk kewajiban dari PPAT sesuai dengan Pasal 45 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1/2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Nomor 37/1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi Pancasila UUD 45 dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT.
3. Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada
Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
pelayanan pajak bumi dan bangunan setempat paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya.
4. Menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
a. PPAT yang berhenti menjabat menyerahkan kepada PPAT di daerah
kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
b. PPAT sementara yang berhenti sebagai PPAT sementara kepada
PPAT sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
c. PPAT khusus yang berhenti sebagai PPAT khusus kepada PPAT
khusus
yang
menggantikannya
atau
kepada
Kepala
Kantor
Pertanahan.
d. Membebaskan uang jasa pada orang yang tidak mampu yang
dibuktikan secara sah.
5. Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti
atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam
kerja kantor pertanahan setempat.
6. Berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Pengangkatan PPAT.
7. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan
teraan cap/stempel jabatannya
kepada Kepala Kantor wilayah,
Bupati/Wali Kota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor
Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang
5
bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah
jabatan.
8. Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan.
9. Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan.
Apabila akta PPAT telah dapat menjawab pertanyaan mengenai telah
terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang Kantor Pertanahan masih
memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan terpenuhinya kecakapan
dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut bertangung jawab atau
setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang seharusnya menjadi
tanggung jawab PPAT (misal kuasa menjual atau persetujuan suami / istri).
Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan
beranjak dari sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen,
maka sebaiknya terdapat pembagian fungsi dan tanggung jawab antar
PPAT dan petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung jawab :
1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi
pelaksanaan
pendaftaran
peralihan
hak
atau
pembebanan
hak
pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak.
2. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan
kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya
sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap
yang dikenal atau diperkenalkan.
3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan
tindakan hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan
kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data
keterangan para penghadap serta menjamin otensitas akta dan
bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur.
Keberadaan PPAT untuk mendampingi dan menunjang kegiatan dari
BPN yang suatu lembaga/intansi Pemerintah non depertemen menggantikan
6
direktorat jendral agraria dibidang ketertiban administrasi pertanahan, antara
lain untuk mengantur perdataan dengan mendaftar (Meregister) Tanah-tanah
di bumi pertiwi indonesia ini terutama yang belum terdaftar dengan
menerbitkan sertifikat hak atas tanah guna mencapai terwujudnya Cita-cita
Bangsa dan Negara sebagaimana bunyi Undang-undang dasar 1945 dan
amandemennya Pasal 33 :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal di atur dalam undangundang.
Akta PPAT tidak termasuk sebagaimana dimaksud pada Pasal 1338
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tertulis sebagai berikut :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena
Alasan-alasan yang oleh Undang-undang di nyatakan cukup untuk
itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Karena akta PPAT tidak mengandung asas kebebasan berkontrak
sebagai salah satu contoh pembelian tanah secara angsuran dalam akta
PPAT tidak memungkinkan dan hal ini menjadi permasalahan bagi
7
pelaksanaan kredit pemilikan rumah (KPR) karena UUPA berdasarkan pada
hukum Adat, hanya mengenal jual beli secara tunai dan kontan.
Mengenai apa yang di maksud dengan perjanjian dapat ditemui dalam
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : perbuatan hukum yang
dengan
mengindahkan
ketentuan
Undang-undang,
timbul
karena
kesepakatan dari dua belah pihak atau lebih yang saling mengikat diri
dengan tujuan menimbulkan, beralih, berubah, atau berakhirnya suatu hak
kebendaan.
Dr Herlien Budiono, SH menyatakan bahwa :
agar suatu perbuatan digolongkan pada perjanjian, maka perbuatan hukum
tersebut harus memenuhi adanya unsur-unsur sebagai berikut :
1. Kata sepakat di antara dua pihak atau lebih.
2. Kata sepakat yang tercapai bergantung pada para pihak.
3. Kemauan para pihak untuk timbulnya akibat hukum.
4. Untuk kepentingan yang satu atas beban pihak yang lain atau timbal balik
5. Dengan mengindahkan persyaratan Perundang-undangan.
4.
Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dalam ketentuan Pasal 1 PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT ditetapkan
tiga macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang di beri
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun.
2. PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu.
8
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan
PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan
kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
5.
Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena :
a. Permintaan sendiri.
b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan Kepala BPN RI atau pejabat
yang di tunjuk.
c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT. Yang termasuk pelanggaran ringan, antara lain :
1. Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak
melaksanakan tugasnya kembali.
3. Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta-akta yang
dibutanya.
4. Merangkap jabatan sebagai advokat, pegawai negeri, pegawai Badan
Usaha Milik Negara/Daerah, lain-lain jabatan yang dilarang peraturan
perundang-undangan.
5. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI.
PPAT yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya diterbitkan
Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN RI. Pemberhentian PPAT ini
ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi.
Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari
jabatannya karena :
9
a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT. Yang termasuk pelanggaran berat, antara lain :
1.
Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan.
2.
Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.
3.
Melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya.
4.
Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.
5.
Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lain-lainnya
yang di luar dan/atau daerah kerjanya
6.
Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT.
7.
Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh
PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang
melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan
perundang-undangan tidak hadir di hadapannya.
8.
Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih
dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan
tidak berhak melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang
dibuatnya.
9.
PPAT tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun
pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan
hukum sesuai akta yang dibuatnya.
10. PPAT tidak membuat akta di hadapan para pihak yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya.
11. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian
sementara atau dalam keadaan cuti
12. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI.
b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling
10
lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
6.
Perlindungan Hukum Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah
Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT
Aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam ranah peraturan
Perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lebih bersifat intern atau
administratif. Pranata yang dilanggar oleh seorang PPAT adalah ukuran
standar profesionalisme yang seharusnya wajib ditaati oleh semua PPAT
sebagai pengemban kewenangan Negara dalam pembuatan akta otentik
dibidang pertanahan. diranah ini perlindungan terhadap PPAT dari Putusanputusan administratif, bertujuan untuk memberikan jaminan bagi seorang
PPAT untuk dapat membela diri dan mempertahankan haknya atas
pekerjaan sebagai seorang PPAT.
Sebagai badan atau pejabat tata usaha Negara. (BPN dan Majelis
Kehormatan)
dalam
menjatuhkan
sanksi
terhadap
PPAT
wajib
mengeluarkan atau membuat suatu keputusan (KTUN). dan apabila PPAT
tidak puas atas keputusan tersebut, keputusan tersebut akan menjadi
sengketa tata usaha negara. dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan
oleh PPAT, yaitu langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagai Pengadilan atau pemeriksaan tingkat pertama. menurut
Philipus M. Hadjon, bahwa adanya sarana keberatan
(Inspraak)
merupakan sarana perlindungan hukum preventif. mengatur sanksi
administratif tersebut dengan maksud memberikan rasa keadilan dan
perlindungan hukum kepada PPAT untuk mengajukan pembelaan diri atas
sanksi administratif yang diterimanya.
Sedangkan
aspek
perlindungan
hukum
bagi
PPAT
yang
bersinggungan dengan pranata hukum pidana dan perdata lebih bersifat
ekstern, artinya bahwa PPAT selaku Pejabat Umum kepadanya melekat
Hak-hak istimewa sebagai konsekuensi predikat kepejabatan yang
dimilikinya. istilah hak istimewa dalam bidang hukum adalah hak khusus
11
atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu
Negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah
dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. hak-hak istimewa
yang dimiliki PPAT, menjadi pembeda perlakuan (Treatment) terhadap
masyarakat biasa. Bentuk-bentuk perlakuan itu berkaitan dengan suatu
prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT, yakni berkaitan
dengan perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses
penyidikan dan persidangan, yang harus diindahkan.
7.
Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT.
Pelayanan kepentingan umum merupakan Hakekat tugas bidang
Pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya
rasa kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. dalam bidang
tertentu, tugas itu oleh Undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada
PPAT, yakni tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan
Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah,
dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, sehingga
masyarakat juga harus percaya bahwa akta PPAT yang dibuat tersebut
memberikan kepastian hukum bagi warganya.
Dengan demikian konsekuensi logis terhadap adanya kepercayaan
tersebut, haruslah dijamin adanya pengawasan agar tugas PPAT selalu
sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan agar
terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang
diberikan.
Berpijak pada penalaran Argumentum Peranalogian (Analogi),
pendapat Paulus Effendie Lotulung dapat diterapkan pada pejabat umum
lainnya, dalam hal ini PPAT. Dengan demikian diperlukan adanya
mekanisme pengawasan, baik yang bersifat preventif maupun represif,
terhadap pelaksanaan tugas jabatan PPAT. Perangkat hukum pengaturan
mekanisme tersebut dijalankan atas dasar Peraturan Jabatan PPAT, yakni
12
pada Pasal 33 PP No. 37 Tahun 1998, yang tata caranya atau
pelaksanaannya diatur dalam Pasal 65-68 Perka BPN 1/2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT.
8.
Prosedur Khusus dalam Penegakan Hukum Terhadap PPAT.
Di samping aspek perlindungan hukum secara intern berupa
pembinaan dan pengawasan sebagaimana uraian diatas, maka diperlukan
pula perhatian terhadap aspek perlindungan hukum secara ekstern, yakni
yang bersinggungan dengan ranah pidana dan perdata. PPAT dalam
menjalankan tugas jabatannya rentan terjerat hukum, disamping itu aspek
pelindungan hukum terhadap PPAT merupakan perimbangan atau Balance
terhadap aspek pengawasan yang cukup ketat bagi PPAT dalam
menjalankan tugas jabatannya, sehingga aspek perlindungan hukum secara
ekstern ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi jabatan PPAT.
Konsep perlindungan hukum terhadap PPAT tidak dapat dipisahkan
dari konsep perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan konsepsi
tersebut sebagai kerangka pikir dengan mendasarkan pada Pancasila,
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa prinsip perlindungan hukum di
Indonesia adalah pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada prinsip Negara Hukum yang berlandaskan
Pancasila.
Ditinjau dari sudut peraturan Perundang-undangan terkait ke-PPATan. Salah satu konsekuensi logis dari prinsip Negara Hukum adalah
penerapan Asas Legalitas, dengan kata lain, dalam unsur Negara Hukum
Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya
dengan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang sampai saat ini belum
ada ketentuan yang mengatur, karena perlindungan hukum harus dimaknai
sebagai
perlindungan
dengan
menggunakan
sarana
hukum
atau
perlindungan yang diberikan oleh hukum, artinya pengaturan mengenai
dasar hukumnya harus jelas tertuang dalam hukum positif.
13
Berpijak pada uraian diatas maka Prosedur secara Normatif dalam hal
PPAT yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan
Pasal 112 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sedangkan penyitaan
terhadap akta asli PPAT (minuta) dan warkahnya hanya dapat dilakukan
dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Kitab Undang-undang Hukun Perdata.
- Pasal 112 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan seseorang
yang dipanggil oleh penyidik guna kepentingan pemeriksaan wajib
datang kepada penyidik. Bagi saksi yang tidak datang kepada penyidik
tanpa alasan yang sah dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 224
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman pidana paling
lama 9 bulan.
- Pasal 43 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut
Undang-undang untuk merahasiakan (dalam hal ini PPAT), sepanjang
tidak menyangkut rahasia Negara, hanya dapat dilakukan atas
persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri
setempat, kecuali Undang-undang menentukan lain.
Berdasarkan uraian di atas, disamping menunjukkan beberapa
perbedaan, juga menunjukkan bahwa Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT
memiliki peranan yang Sama-sama penting, yakni terdapat kesamaan
urgensi dan kualifikasi, antara lain :
1. Berwenang membuat alat bukti dengan kekuatan bukti sempurna berupa
akta otentik
2. Dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum
3. Diwajibkan merahasiakan isi akta, sebagaimana ditentukan dalam
rumusan sumpah jabatan.
Berpijak pada adanya kesamaan kedudukan, kualifikasi dan kewajiban
bagi Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT, maka perlu dipersamakan juga
bentuk perlakuan bagi keduanya. dengan demikian pengaturan secara
normatif
dalam
suatu
peraturan
14
organis
tentang
ketentuan
yang
mengharuskan izin pemeriksaan dalam proses peradilan bagi seorang PPAT,
dalam hal dipanggil sebagai saksi maupun tersangka patut dipersamakan,
yakni di atur dalam Peraturan Jabatan PPAT.
Beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pelaksanaaan tugas dan
jabatan seorang PPAT, antara lain:
1. PPAT yang diajukan dan dipanggil sebagai saksi di Pengadilan
menyangkut akta yang dibuatnya dijadikan alat bukti dalam suatu
perkara.
2. PPAT yang dijadikan tergugat atau turut tergugat di Pengadilan
menyangkut akta yang dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak
Penggugat, berkaitan dengan Perkara Perdata.
3. PPAT sebagai terdakwa dalam Perkara Pidana.
4. Penyitaan terhadap bundel akta yang ada pada PPAT.
Berpijak pada uraian di atas Penulis berpendapat, PPAT sebagai
Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya diberikan
perlindungan hukum, berkaitan dengan :
1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk
ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan
persidangan.
2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta
3. Menjaga Minuta Akta PPAT dan warkah pendukung akta yang
dilekatkan pada minuta akta atau Protokol PPAT dalam penyimpanan
PPAT.
9.
Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pembahasan mengenai perlakuan dalam hal pemanggilan dan
pemeriksaan pada proses penyidikan dan persidangan terhadap PPAT telah
dijabarkan pada uraian diatas, dimana dalam hal seorang PPAT dipanggil
sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112 KUHAP.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai “hak istimewa” yang diatur
secara implisit oleh Peraturan Perundang-undangan bagi jabatan tertentu
15
salah satunya jabatan PPAT yakni kewajiban ingkar (Verschoningsplicht)
dan hak ingkar (Verschoningsrecht) dari orang PPAT.
Berdasarkan uraian sub bab di atas Penulis berpendapat bahwa,
walaupun perlindungan hukum berupa keharusan bagi penyidik, penuntut
umum dan hakim memperoleh persetujuan Majelis Kehormatan Daerah
untuk memanggil PPAT dalam rangka proses peradilan tidak diatur secara
eksplisit dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kePPAT-an tidaklah menghilangkan hak istimewa lainnya yakni “Kewajiban
Ingkar dan Hak Ingkar”, oleh karena itu jabatan PPAT sebagai Pajabat
Umum dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi.
Dalam praktek sering terjadi apabila terjadi perselisihan diantara para
pihak penjual maupun pembeli, seringkali seorang PPAT dilibatkan sebagai
saksi dimuka Pengadilan dalam proses perkara dimana oleh salah satu pihak
atau lebih menggunakan suatu akta PPAT sebagai alat bukti, atau bahkan
dilibatkan sebagai tergugat dua, tiga atau empat dalam perkara perdata
dimuka Pengadilan. Sedangkan apabila seorang PPAT dilibatkan sebagai
tergugat, pada umumnya didasari karena PPAT bersangkutan yang membuat
aktanya, dan tidak ada kaitannya dengan apa yang menjadi materi pokok
dari perjanjian yang menjadi materi perkara itu.
Berkaitan dengan hal tersebut ada sebagian dari para PPAT yang
menganut pendirian, bahwa apabila PPAT dipanggil oleh pihak Pengadilan
sebagai saksi dalam perkara dimana aktanya dipergunakan sebagai alat bukti
tidak perlu bahkan dikatakan tidak ada kewajiban untuk hadir, mengingat
adanya sumpah rahasia jabatannya (kewajiban ingkar). Menurut Liliana
Tedjosaputro, salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipegang
teguh oleh para profesional adalah menyimpan atau memegang rahasia
jabatan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari confidential profession (jabatan
kepercayaan) yang telah diberikan oleh masyarakat, khususnya klien.
Rahasia ini tetap dijaga, meskipun hubungan profesional dengan kliennya
telah berakhir.
16
Menurut Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip oleh Liliani
Tedjosaputro, menyatakan bahwa rahasia jabatan (beroepgeheim) dari
seorang Advokat bukanlah sekedar ketentuan etik semata, melainkan
persoalan beroepgeheim tersebut juga merupakan suatu ketentuan hukum
yang dapat ditegakkan pada Pengadilan. Hal ini berkaitan dengan Hak
Ingkar (Verschoningsrecht) dari seorang Advokat yang bersumber pada
Pasal 170 KUHAP yang memberikan kebebasan untuk bersaksi bagi mereka
yang karena jabatannya, harkat, martabat dan pekerjaannya harus
menyimpan rahasia.
Menurut pendapat Van Bemmelen yang dikutip oleh G.H.S. Lumban
Tobing mengatakan bahwa ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan
Kewajiban
Ingkar
(Verschoningsplicht)
dan
Hak
Ingkar
(Verschoningsrecht) yakni :
1. Hubungan keluarga yang sangat dekat
2. Bahaya dikenakan hukuman pidana (gevaar voor strafrechtelijke
veroordeling).
3. Kedudukan pekerjaan dan rahasia jabatan.
Secara normatif atau eksplisit Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta
peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lainnya belum mengatur
secara tegas mengenai perlindungan hukum kepada PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus
penegakan hukum terhadap PPAT. Secara implisit jabatan PPAT memiliki
suatu hak istimewa berupa Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak
Ingkar (Verschoningrecht) yang diakui sebagai suatu imunitas hukum untuk
kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di tingkat penyidikan,
penuntutan dan persidangan baik perkara perdata maupun pidana bagi
jabatan-jabatan tertentu, salah satunya Jabatan PPAT, hak istimewa tersebut
secara materil didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat
(1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
17
Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998, Pasal 322ayat (1) KUHP; dan Pasal
1909 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan secara formil berdasarkan Pasal 170
KUHAP untuk proses acara pidana dan Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat
(1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata.
10.
Macam-macam Bentuk Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah adalah memindahkan atau beralihnya
penguasaan tanah yang semula milik seseorang atau kelompok masyarakat
kemasyarakat lainnya. peralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara
menukar atau memindahkan tanah. penguasaan yuridis dilandasi hak yang
dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasakan secara fisik tanah yang dihaki. tetapi ada
juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk
menguasaan tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan
fisiknya dilakukan pihak lain.
Peralihan hak atas tanah tersebut terjadi karena hukum artinya dengan
meninggalnya seseorang pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis
hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya. jadi ahli waris disini
memperoleh peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah karena suatu peristiwa hukum yang
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subjek hukum.
Sedangkan suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak atas
tanah tersebut dipindahkan atau dipindah tangankan oleh pemegang hak
selaku subjek hukum atau hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan
hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut
memperoleh hak atas tanah yang di alihkan.
Di dalam perkembangan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 PP No.
24 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan :
1. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
18
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Mentri kepala
pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik,
yang dilakukan di antara perorangan Warga Negara Indonesia yang
dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang
menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenaranya dianggap
cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.
Senada dengan Effendi Perangin, menurut Maria S.W. Sumardjono, sifat
jual beli menurut hukum adat adalah :
a. Tunai
Penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah (Penjual) dilakukan
bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain (Pembeli).
dengan perbuatan jual beli tersebut, maka seketika itu juga terjadi
peralihan hak atas tanah. harga yang dibayarkan pada saat penyerahan
hak tidak harus lunas atau penuh atau hal ini tidak mengurangi sifat
tunai tadi. kalau ada selisih atau sisa dari harga, maka hal ini dianggap
sebagai hutang pembeli kepada penjual yang tunduk pada hukum
utang piutang.
b. Riil
Artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan
perbuatan yang nyata-nyata menunjukan tujuaan jual beli tersebut,
misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya
perjanjian dihadapan kepala desa.
c. Terang
Artinya untuk perbuatan hukum tersebut haruslah dilakukan
dihadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak
melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Sebagai perbandingan, berikut ini diuraikan tentang jual beli tanah
menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Pengertian jual beli dimuat dalam Pasal
19
1457 BW, yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk
membayar harga yang telah diperjanjikan. Selanjutnya dalam Pasal 1458
BW, dinyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah
pihak, seketika setelahnya para pihak mencapai kesepakatan tentang
kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar.
11.
Akibat Hukum Terhadap Akta-Akta Berdasarkan Putusan Pengadilan.
Mengenai kewajiban, larangan dan pengecualian diatur dalam Bab IX
Pembinaan dan Pengawasan PP Nomor 37 tahun 1998. Pasal 65 mengatur
mengenai Pembinaan dan Pengawasan Seorang PPAT. Akta PPAT yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat
dilihat dan ditentukan dari :
1. Isi dalam pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta
yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal, sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuatan sebagai akta di bawah tangan, dan
pasal lainnya
Dengan demikian kedudukan akta PPAT mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan merupakan nilai dari sebuah
pembuktian yang tidak dapat dituntut ganti rugi dalam bentuk apapun.
demikian juga dengan akta yang batal demi hukum maka akta tesebut
dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. jika demikian bahwa
tuntuan biaya ganti rugi, dan bunga sebagai akibat seperti itu, tapi karena
ada hubungan hukum antara PPAT dan para pihak yang menghadap PPAT.
hubungan hukum merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur dalam
hukum. demikian juga apabila suatu akta yang telah dibuat oleh PPAT jika
menimbulkan masalah dan harus diperkarakan di pengadilan karena adanya
20
para pihak yang merasa di rugikan, sehingga mengajukan tuntutan atau
gugatan ke pengadilan.
Terhadap hasil putusan pengadilan yang memeriksa suatu perkara
yang didasarkan pada akta yang telah di buat oleh seorang PPAT, maka para
pihak harus tunduk pada hasil yang diputuskan pengadilan. Termasuk
diantaranya terhadap akta yang dibatalkan dimuka pengadilan atau yang
hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan, yang semua itu diantaranya
disebabkan kelalaian dari seorang PPAT yang membuat akta yang tidak
didasarkan pada persyaratan bentuk yang harus berdasarkan undang-undang.
a. Penelitian Putusan
Untuk Membahas Permasalahan yang di kemukakan Bahwa Akta Jual
beli Nomor : 405/2014 tanggal 24 April 2014 adalah cacat hukum atau batal
demi hukum, Berdasarkan atas Putusan Pengadilan Negeri Sorong
No.73/PDT.G/2014/PN.SON.
Kronologis Hukum sebagai berikut :
Pihak-pihak Perkara :
Rieke Adeleida Sompie disebut sebagai Penggugat
Melawan
1. Fredi Sundah disebut sebagai Tergugat I
2. Kisyono disebut sebagai Tergugat II
3. Irnawati Nazar, SH disebut sebagai Tergugat III
Penggugat dan Tergugat I Pernah menjalani kehidupan sebagai suami
isteri sejak Tahun 1998 sesuai dengan Akta Perkawinan Nomor : 474.2/114
Tanggal 16 Oktober 1989, dan pada Tahun 2012 hubungan suami isteri
tersebut telah putus akibat perceraian berdasarkan keputusan Pengadilan
Negeri Sorong Nomor : 06/PDT.G/2012/PN.SRG Tanggal 02 Mei 2012.
Dari hasil perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I, keduanya
telah mengumpulkan harta bersama berupa : sebidang tanah dan bangunan
di atas sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, dan surat
ukur/gambar situasi Nomor : 41/RU/K/2001, Tanggal 20 Juni 2001, seluas
21
322 M2 (tiga ratus dua puluh dua meter persegi), atas nama Tergugat I, yang
terletak di jalan maleo, RT.003/RW.008, Kelurahan Remu Utara,
Kecamatan Sorong, Kota Sorong, dengan batas-batas sebagai berikut :
-
Sebelah timur berbatasan dengan
: Jalan Maleo
-
Sebelah selatan berbatasan dengan
: Lorong
-
Sebelah barat berbatasan dengan
: Bpk Rumahurbo
-
Sebelah utara berbatasan dengan
: Lorong.
oleh karena tanah dan bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor :
335/Remu Utara, dan surat ukur/gambar situasi Nomor : 41/RU/K/2001,
Tanggal 20 Juni 2001, seluas 322 M2 (tiga ratus dua puluh dua meter
persegi). Adalah merupakan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat I,
maka setelah hubungan suami isteri antara Penggugat dan Tergugat I putus
akibat
perceraian
sesuai
keputusan
Pengadilan
Sorong
Nomor
:
06/PDT.G/2012/PN.SRG Tanggal 02 Mei 2012, dengan demikian tanah dan
bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, seluas 322
M2 (tiga ratus dua puluh dua meter persegi) adalah merupakan harta bersama
yang harus dibagi bersama antara Penggugat dan Tergugat I. Nilai Tanah
dan banguan tersebut untuk saat ini dapat dihargakan sebesar Rp.
2.000.000.000,- (dua millar rupiah), yang terdiri dari nilai tanah Rp.
1.350.000.000.- (satu millar tiga ratus lima puluh juta rupiah), dan nilai
bangunan sebesar Rp. 650.000.000.- (enam ratus lima puluh juta rupiah).
Kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat telah di tuangkan dalam
surat pernyataan yang dibuat oleh Tergugat I sehingga sambil menunggu
proses yang dilakukan oleh Tergugat I untuk membagi harta bersama,
apakah nantinya akan dibagi ataukah akan serahkan kepada anak-anaknya.
Hubungan Tergugat I dan Tergugat II adalah teman Bisnis usaha mie
ayam dan bakso, hubungan mereka cukup baik dan mereka pun saling
membantu bila salah satunya kekurangan dana usaha. untuk memperbesar
usahanya Tergugat I meminjam uang kepada Tergugat II namun Tergugat II
tidak mempunyai Uang sejumlah Tergugat I minta. dan Tergugat II pun
mencari solusi untuk mendapatkan uang tersebut, dengan jalan meminjam
22
uang dibank, dari situ permasalahan datang pada bulan mei 2014 Penggugat
dikagetkan oleh informasi yang disampaikan oleh Tergugat I. bahwa tanah
dan bangunan sesuai sertifikat hak milik nomor : 335/Remu Utara tersebut,
Tergugat I telah ditipu oleh tergugat II yaitu temannya sendiri yang katanya
telah membantu Tergugat I meminjamkan uang sebesar Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) untuk modal usaha, dan menjebak Tergugat I untuk
menanda tangani akta jual beli dihadapan Tergugat III, karena Tergugat II
membutuhkan uang dan tergugat I belum dapat mengembalikan uang yang
di pinjaman tersebut, sehingga untuk membantu Tergugat II akhirnya
Tergugat I menanda tangani akta jual beli secara fikti agar supaya Tergugat
II mendapat pinjaman bank.
Dan Tergugat I telah menanda tangani akta jual beli Nomor :
405/2014 Tertanggal 24 April 2014 yang katanya fikti terhadap tanah dan
bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/ Remu Utara, seluas 322
M2 (dua ratus dua puluh dua meter persegi) yang adalah merupakan harta
bersama yang belum dibagi setelah terjadi perceraian. kepada Tergugat II
apakah itu disengaja ataupun karena dijebak, yang pasti tanah dan bangunan
sesuai sertifikat aquo sebagiannya adalah milik dari Penggugat maka
perbuatan Tergugat I adalah merupakan perbuatan melawan hukum.
Bahwa sebenarnya Tergugat II telah diberitahu oleh Tergugat I perihal
tanah dan bangunan yang telah bersertifikat itu adalah harta bersama antara
Pengugat dan Tergugat I, hal ini Penggugat ketahui setelah menelusuri
permasalahan jual beli tanah dan bangunan yang telah bersertifikat aquo
kepada Tergugat III, dan disana Penggugat telah melihat akta jual beli
Nomor : 405/2014 Tanggal 24 April 2014 antara Tergugat I dan Tergugat II,
Sertifikat Hak Milik Nomor : 335/Remu Utara, keputusan perceraian antara
Tergugat I dan Penggugat dengan Nomor : 06/PDT.G/2012/PN.SRG
Tanggal 02 Mei 2012 serta satu lembar kertas putih kosong yang telah
ditandatangani oleh Tergugat I di atas materai Rp.6000.- (enam ribu rupiah).
Berdasarkan uraian Permasalahan diatas tersebut, Para Penggugat Memohon
kepada Majelis Hakim untuk :
23
DALAM EKSEPSI :
1. Menerima dan mengabulkan eksepsi Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi Untuk seluruhnya
2. Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak
jelas/kabur (Obscuur Libel) dan kurang pihak (Plurium Litis Consortium)
DALAM POKOK PERKARA :
- Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak
dapat diterima.
DALAM REKONVENSI :
- Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi tidak
dapat diterima.
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI :
Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp. 2.691.000,- ( dua juta enam ratus sembilan puluh
satu ribu rupiah).
b. Pembahasan
Hasil Putusan No.73/PDT.G/2014/PN.SON Akta Jual Beli Nomor :
405/2014 Tanggal 24 April 2014 dibuat oleh Notaris Irnawati Nazar, SH.
yang berisikan akta jual beli antara Fredy Sundah dan Kisyono tidak sah dan
Batal demi Hukum.
Dan memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
dan menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III untuk membayar
segala biaya perkara adalah suatu putusan yang sudah tepat dan adil dan
hendaknya para pihak yang terlibat dalam Permasalahan tersebut dapat
melaksanakan isi dari putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Adapun yang menjadi analisa hukum disini adalah bahwa yang
menjadi pokok persoalan gugatan Penggugat adalah akta jual beli tanah
tersebut yang diakui oleh Penggugat sebagai harta bersama, yang dilakukan
jual beli oleh Tergugat I kepada Tergugat II dan dilakukan dihadapan
24
Tergugat III, tanpa seijin Penggugat. dikarenakan harta tersebut adalah harta
bersama antara Penggugat dan Tergugat I maka pelaksanaan jual beli yang
dilaksanakan secara sepihak tersebut adalah tidak sah dan peralihan hak
tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Setiap permasalahan tanah mengenai jual beli, PPAT dipanggil untuk
menjadi saksi di Pengadilan. PPAT tidak bertanggung jawab atas data-data
palsu yang disampaikan kepadanya tanpa
sepengetahuannya. Apabila
PPAT atau PPAT sementara tahu kalau para pihak menyampaikan data-data
yang palsu kepadanya, dapat dikenakan Pasal 55 dan Pasal 263 Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), sanksi administratif, dan
kemungkinan dituntut ganti rugi secara perdata. Akibat hukum dari datadata yang disampaikan
kepada PPAT palsu, adalah dapat dibatalkan.
demikian pula sertifikat tanah yang diterbitkan berdasarkan akta jual beli
yang tidak sah, tentunya tidak sah pula sehingga dapat dibatalkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PPAT belum melaksanakan
ketentuan dari Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah,
yaitu mengecek atau memeriksa kesesuaian sertifikat terlebih dahulu ke
Kantor Pertanahan karena hal tersebut menjadi syarat pembuatan akta jual
beli tanah. Akta yang dibuat PPAT dan PPAT Sementara merupakan salah
satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah. Maka, PPAT
dan PPAT Sementara berkewajiban untuk memeriksa persyaratan jual beli
tanah untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, yakni syarat
materiil dan syarat formil. Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya
jual beli tanah tersebut.
Mengenai kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai alat bukti
yang sah di dalam proses pemeriksaan sengketa perdata, dan bukti surat
yang akan dibahas adalah :
1. Akta yang diajukan sebagai alat bukti yaitu Akta Jual Beli antara
Tergugat I dan Tergugat II.
25
2. Bahwa akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan dikarenakan adanya unsur-unsur/ syarat sahnya
jual beli di dalam pembuatan akta tidak terpenuhi, dalam hal ini tidak
adanya persetujuan dari Tergugat sebagai istri sah dari Penggugat I.
Akta PPAT termasuk akta otentik yang merupakan bukti sempurna,
karena akta otentik tersebut mempunyai beberapa kekuatan pembuatan,
yaitu:
a. Kekuatan Pembuktian lahir : Kekuatan pembuktian yang didasarkan
atas lahir atau apa yang tampak pada lahirnya. akta pempunyai
kekuatan hukum yang tetap sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan Pembuktian Formil : kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda
tangan di dalam akta itu. pembuktian ini memberikan tentang
peristiwa, bahwa pejabat dan para pihak telah menyatakan dan
melakukan seperti apa yang dimuat di dalam akta.
c. Kekuatan pembuatan materiil : Kekuatan pembuktian yang
didasarkan benar tidaknya isi pernyataan di dalam akta iu, yang
mana memberikan kepastian tentang materi suatu akta, serta
memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak
menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat di dalam akta.
Terhadap Akta yang dinyatakan oleh hakim hanya mempunyai
kekuatan hukum di bawah tangan PPAT dapat dimintakan pertangggung
jawaban secara perdata dan tuntutan itu adalah berdasarkan perbuatan
hukum, artinya walaupun PPAT hanya mengkonstantir keinginan daripada
para pihak yang menghadap bukan berarti PPAT tidak pernah atau tidak
mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuanketentuan hukum, karena dalam prakteknya hal tersebut banyak terjadi.
Suatu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh PPAT yang
menimbulkan kerugian para pihak dapat dijerat berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata, adapun tujuan dari Pasal 1365 KUHPerdata ini sebenarnya
adalah untuk mengembalikan kerugian pada keadaan semula, setidak-
26
tidaknya pada keadaan yang mungkin dapat dicapai sekiranya tidak tejadi
perbuatan melawan hukum, maka akan diusahakan pengembalian secara
nyata yang kiranya lebih sesuai daripada pembayaran ganti rugi dalam
bentuk uang, karena pembayaran dalam bentuk uang hanyalah nilai yang
ekuivalen saja.
dan terhadap akta PPAT yang diperkarakan di pengadilan, maka
PPAT harus tunduk pada keputusan pengadilan baik putusan itu sifatnya
menguatkan akta tersebut atau akta tersebut dinyatakan batal demi hukum.
dengan kata lain bahwa putusan pengadilan atas akta yang dibuat oleh
PPAT, sangat menentukan mengenai pertanggung jawaban dari PPAT
tersebut terhadap para pihak yang merasa dirugikan.
c. Hambatan-hambatan yang Timbul pada Tanggung Jawab PPAT dalam
Proses Sengketa dan Cara Mengatasinya.
Akta yang di buat oleh PPAT merupakan alat bukti yang otentik apabila
akta tersebut dibuat sesuai dengan prosedur yang ada dan sesuai dengan
ketentuan bahwa :
1. Tanggung jawab seorang PPAT terhadap akta yang telah dibuatnya tetap
ada, meskipun akta tersebut telah dinyatakan oleh Hakim hanya
mempunyai kekuatan bukti di bawah tangan atau, dinyatakan batal demi
hukum.
2. Tanggung jawab terhadap para pihak, maupun terhadap diri sendiri yang
mungkin karena kelalaian dalam membuat akta sehingga terjadi
kesalahan, di dalam penulisan, atau pembuatan Akta Otentik.
Setelah dilakukan penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tidak
terdapat hambatan yang berarti di dalam tanggungjawab PPAT terhadap
akta yang telah dikeluarkannya jika terjadi sengketa terhadap akta tersebut
di pengadilan.
12.
Kesimpulan
27
1. Secara normatif atau eksplisit Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta
peraturan Perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lainnya belum
mengatur secara tegas mengenai perlindungan hukum kepada PPAT
dalam melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus
penegakan hukum terhadap PPAT. secara implisit jabatan PPAT
memiliki
suatu
hak
istimewa
berupa
Kewajiban
Ingkar
(Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningrecht) yang diakui
sebagai suatu imunitas hukum untuk kewajiban member keterangan
sebagai saksi di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan baik
perkara
perdata
maupun
pidana
bagi
jabatan-jabatan
tertentu,
salahsatunya Jabatan PPAT, hak istimewa tersebut secara materil
didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat (1)
Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998; Pasal 322ayat (1) KUHP; dan Pasal
1909 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan secara formil berdasarkan Pasal
170 KUHAP untuk proses acara pidana; dan Pasal 277 ayat (1) HIR Jo.
146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata.
2. Akibat hukum akta PPAT yang diperkarakan di pengadilan, maka PPAT
harus tunduk pada keputusan pengadilan baik putusan itu sifat nya
menguatkan akta tersebut atau akta tersebut dinyatakan batal demi
hukum. dengan kata lain bahwa putusan pengadilan atas akta yang
dibuat oleh PPAT, sangat menentukan mengenai pertanggung jawaban
dari PPAT tersebut terhadap para pihak yang merasa dirugikan.
28
Download