1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan hukum tanah nasional adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana yang diamanatkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan kegiatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebaninya. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) merupakan pejabat umum yang menjadi mitra Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) selaku instansi yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendaftaran tanah. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan 2 rumah susun yang akan menjadi dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan perbuatan hukum itu. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.1 Perbuatan hukum yang dimaksud adalah mengenai (a) jual beli, (b) tukar menukar, (c) hibah, (d) pemasukan dalam perusahaan (inbreng), (e) pembagian hak bersama, (f) pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, (g) pemberian hak tanggungan, (h) pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.2 Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut maka oleh pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik atas 8 (delapan) macam perbuatan hukum yang dimaksud di atas.3 Keberadaan PPAT adalah sangat penting karena tugas dan kewenangannya untuk membuat alat bukti bahwa telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yaitu berupa akta otentik. Dengan demikian keotentikan suatu akta haruslah dibuat sesuai dengan syarat-syarat untuk sahnya suatu akta otentik. 1 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2 Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 3 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah berbunyi : “untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletask di dalam daerah kerjanya”. 3 Pelaksanaan kewenangan PPAT dewasa ini masih menimbulkan permasalahan hukum. Beberapa di antaranya yaitu mengenai pembuatan akta otentik yang menjadi tugas pokoknya. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Berbeda dengan apa yang ditentukan oleh Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh menteri. Merujuk kepada pengertian yang diberikan oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka sesungguhnya dalam pembuatan akta otentik oleh PPAT haruslah sesuai dengan bentuk yang diberikan undang-undang, bukan menggunakan bentuk yang ditetapkan oleh menteri. Kemudian dalam hal batas minimal usia dewasa atau cakap hukum (bekwamheid) bagi pihak yang berkepentingan untuk membuat akta otentik. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Berbeda pada praktik saat ini, PPAT menggunakan batas usia dewasa berdasarkan kepada Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan menyebutkan bahwa usia dewasa atau cakap hukum untuk dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang delapan belas tahun atau sudah kawin. 4 Beberapa permasalahan yang disebutkan di atas tidak terlepas dari Permasalahan yang mendasar mengenai pengaturan eksistensi PPAT dalam peraturan perundang-undangan. Awal mula eksistensi PPAT diatur dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah serta hak dan kewajibannya yang menegaskan bahwa setiap perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah harus dilakukan para pihak di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh menteri. Selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Penjabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa penjabat yang dimaksud adalah PPAT. Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik berkaitan dengan pertanahan dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah4, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah5 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah6. Semenjak tahun 1961, secara de facto dikenal suatu lembaga dengan sebutan PPAT. Eksistensi kedudukan PPAT dewasa ini sebagai pejabat umum 4 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 5 Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”. 6 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”. 5 yang berwenang untuk membuat akta otentik yang khusus berkenaan dengan akta pertanahan diragukan bahkan dikritisi. Pemicu atas keraguan dan kritik tersebut di antaranya adalah ketiadaan dasar hukum kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undangundang. Pengaturan jabatan PPAT hingga saat ini tidak pernah ada dan tidak pernah dibuat suatu undang-undang yang dapat dijadikan dasar hukum guna mengatur jabatan PPAT, demikian pula peraturan berupa undang-undang yang mengatur akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT. Sejauh ini pengaturan PPAT hanya ke dalam peraturan perundang-undangan berbentuk peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kritik berikutnya adalah dalam hal pembatasan kewenangan PPAT untuk membuat akta pertanahan dalam bentuk bebas diluar dari bentuk blanko akta yang telah ditentukan oleh Kepala BPN. Keterikatan PPAT untuk membuat akta pertanahan dengan cara mengisi blanko akta yang telah disediakan oleh BPN dianggap mengurangi hakihat dari kedudukan PPAT sebagai pejabat umum. Dengan ditegaskannya kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberi kewenangan yang relatif sama dengan notaris untuk membuat aktanya sendiri bukan terikat kepada blanko yang tentukan oleh BPN. Menurut kepustakaan hukum administrasi negara terdapat dua cara utama memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu melalui atribusi dan delegasi. Atribusi merupakan toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan 6 een bestuurs orgaan, (pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintahan), sedangkan yang dimaksud dengan delegasi adalah overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).7 Apabila dikaitkan dengan hukum administrasi negara tersebut, kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik di bidang pertanahan mutlak merupakan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT dan kewenangan itu tidak pernah menjadi kewenangan BPN. Semenjak Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 sebagai dasar hukum pertama kali pembentukan BPN berikut perubahan-perubahannya sampai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional, tidak ada satu pasal pun yang menegaskan bahwa PPAT lahir secara Atributif atau delegatif dari kewenangan BPN, melainkan PPAT lahir dari policy rules pemerintah secara langsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PPAT bukan subordinasi dari BPN. Selain itu juga Pasal 19 UUPA hanya memerintahkan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah tentang pendaftaran tanah dan tidak memerintahkan BPN untuk membuat ketentuanketentuan mengenai kewenangan PPAT. Sistem hukum nasional mengenal bahwa PPAT bukan satu-satunya pejabat umum melainkan notaris yang eksistensinya juga diakui merupakan 7 105. Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104- 7 sebuah profesi yang berstatus sebagai pejabat umum. Sebagai sebuah profesi yang berstatus sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) tidak tepat jika eksistensi PPAT hanya diatur dalam peraturan pemerintah, seperti halnya dengan jabatan Notaris yang juga berstatus sebagai pejabat umum, namun memperoleh kewenangan secara atribusi dari undang-undang, hal ini bisa dilihat eksistensi notaris telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan berbentuk undangundang yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Pengaturan eksistensi PPAT ke dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang menjadi penting guna mengukuhkan dan menjernihkan kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Hal ini dikarenakan pada praktiknya, kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik seringkali harus mengikuti setiap kebijakan pemerintah (Kepala BPN) yang cenderung berubah-ubah, padahal sebagai pejabat umum hubungan PPAT dengan pemerintah (Kepala BPN) adalah bersifat kemitraan bukan merupakan bawahan atau perpanjangan tangan pemerintah untuk membuat akta otentik di bidang pertanahan yang dalam pelaksanaan kewenangannya membuat akta otentik adalah bersifat mandiri dan independen. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri8, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan 8 Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa “PPAT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. 8 hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 19979 di sini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor Pertanahan, akan tetapi tugas PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.10 Secara garis besar Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya mengatur mengenai ketentuan umum, tugas pokok dan kewenangan PPAT, pengangkatan dan pemberhentian PPAT, daerah kerja PPAT, sumpah jabatan PPAT, pelaksanaan jabatan PPAT, pembinaan dan pengawasan serta beberapa ketentuan peralihan. Tidak ada di dalamnya mengatur tentang bagaimana tata cara pembuatan bentuk akta mulai dari awal akta/kepala akta, badan akta, dan akhir/penutup akta, tentang batas usia cakap hukum para pihak serta syarat-syarat sebagai saksi di dalam pembuatan akta otentik oleh PPAT. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah seandainya telah lengkap mengatur tentang pembuatan bentuk akta, mulai dari awal akta/kepala akta, badan akta, dan akhir/penutup akta, batas usia cakap hukum para pihak serta syarat-syarat sebagai saksi di dalam pembuatan akta otentik, tetap saja peraturan pemerintah ini akan berbenturan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menghendaki akta otentik 9 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. 10 Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hlm. 316. 9 dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang atau usia dewasa seseorang harus telah genap dua puluh satu tahun atau telah kawin agar berstatus cakap hukum dalam melakukan perbuatan hukum supaya bisa dituangkan dalam suatu akta otentik. Ketidaklengkapan materi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tersebut diisi dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, namun hal tersebut secara yuridis belum bisa menanggulangi permasalahan hukum yang terjadi dalam pelaksanaan jabatan PPAT sebagai pejabat umum pembuat akta otentik di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahannya, yaitu : 1. Apakah akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah telah memenuhi syarat sebagai akta otentik? 2. Apakah eksistensi jabatan PPAT untuk membuat akta otentik harus diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang? C. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis kemudian menemukan beberapa tesis yang memiliki sebagian unsur penelitian dengan kajian yang sama, yaitu : 10 1. “Tinjauan Yuridis Eksistensi Profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Institusi Hukum”.11 Fokus penelitian ini mengangkat rumusan masalah: a. Mengapa notaris sekaligus PPAT yang memiliki kualifikasi yang sama mendapatkan perlakuan hukum yang berbeda dalam pemeriksaan oleh pihak kepolisian? b. Bagaimanakah desain lembaga notaris baik yang dikembangkan oleh pemerintah maupun oleh Ikatan Notaris Indonesia? 2. “Kajian Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum Pembuat Akta Otentik Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”.12 Fokus penelitian ini mengangkat rumusan masalah : a. Bagaimana kekuatan status hukum dari akta pejabat pembuat akta tanah dalam hukum pembuktian? b. Bagaimana kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pembuat akta peralihan hak atas tanah? 3. “Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara”.13 Fokus penelitian ini mengangkat rumusan masalah : 11 Veraningsih Abd Hamid, “Tinjauan Yuridis Eksistensi Profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Institusi Hukum”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. 12 Fitrisia Paramitha Utami, “Kajian Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum Pembuat Akta Otentik Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014. 11 a. Bagaimanakah kedudukan hukum PPAT selaku pejabat umum di dalam sistem peradilan tata usaha Negara? b. Bagaimanakah kedudukan hukum terhadap akta PPAT dalam sistem peradilan tata usaha negara? Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan tersebut dan setelah membaca serta mengkaji tiga penelitian di atas, terdapat kesamaan unsur permasalahan yang juga diteliti oleh penulis, yaitu sama-sama menjadikan akta PPAT dan jabatan PPAT sebagai fokus kajian penelitian. Perbedaannya ialah, sejauh ini tidak ditemukan penelitian yang fokus mengkaji mengenai kebutuhan pengaturan jabatan PPAT ke dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undangundang. Dengan demikian apabila melihat perbandingannya dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis, penulis menyatakan dapat mempertanggungjawabkan keaslian penelitian ini dan menyatakan penelitian dengan judul “Kajian Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah” memenuhi kaedah keaslian penelitian. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah dipaparkan tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 13 Feby Delaniasari Sofyan, “Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007. 12 1. Untuk mengetahui dan menganalisis akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah kaitannya dengan pemenuhan syarat-syarat sebagai akta otentik. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi jabatan PPAT dalam membuat akta otentik terkait dengan keharusan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini terdiri atas dua aspek, yaitu : 1. Manfaat teoritis Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum agraria dalam bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan jabatan PPAT. 2. Manfaat praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian oleh pemerintah khususnya Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN dan PPAT serta lembaga atau instansi terkait lainnya untuk membenahi hukum pertanahan di Indonesia khususnya tentang pengaturan jabatan PPAT. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah 1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT merupakan jabatan yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah tersebut menegaskan bahwa semua perbuatan hukum yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau membebani hak atas tanah sebagai jaminan hutang harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan “penjabat” yang ditunjuk oleh Menteri. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 yang menentukan bahwa akta-akta pertanahan merupakan wewenang penjabat pembuat akta tanah. Perkembangan berikutnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Menurut peraturan pemerintah ini, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 yang berbunyi PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu. Pasal 7 Peraturan Pemerintah yang sama menyebutkan pula bahwa 14 peraturan jabatan PPAT diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah tersendiri. Sebagai realisasi dari hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang kemudian diubah dengan Peraturan Kepala BPN Nomor Nomor 23 Tahun 2009. Secara normatif, pengertian PPAT termuat Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Menurut pasal tersebut yang dimaksud PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Pengertian PPAT juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Jenis-Jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, ada tiga macam PPAT yaitu : 15 1) PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. PPAT yang dimaksud dalam ayat ini adalah lulusan program pendidikan spesialis notariat (saat ini Magister Kenotariatan) atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi. 2) PPAT Sementara, adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara ditunjuk oleh menteri untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu. Orang yang dapat diangkat sebagai PPAT sementara adalah camat Atau kepala desa. 3) PPAT Khusus, adalah pejabat BPN yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. Sama seperti PPAT sementara, PPAT khusus ditunjuk oleh menteri untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu. Orang yang dapat ditunjuk sebagai PPAT khusus adalah Kepala Kantor Pertanahan. 3. Tugas Pokok dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah 16 Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah : a) Jual beli; b) Tukar menukar c) Hibah; d) Pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e) Pembagian hak bersama; f) Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik; g) Pemberian hak tanggungan; h) Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT Khusus hanya berwenang 17 membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Praktiknya dalam kenyataan PPAT tidak hanya melakukan kegiatankegiatan yang bersumber dari pembuatan delapan macam akta yang menjadi kewenangannya tersebut, namun seringkali kantor PPAT mengurus hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kewenangan PPAT yaitu hal-hal yang timbul atas permintaan dari masyarakat, yang menyebabkan kantor PPAT membantu untuk menyelesaikannya. Jadi hanya semacam bantuan PPAT untuk membantu kepentingan masyarakat karena masyarakat tidak biasa atau tidak sempat untuk mengurusnya, misalnya :14 a) Pembuatan sertipikat untuk pertama kalinya, yang dalam bahasa teknis keagrariaan dikenal dengan istilah konversi hak-hak lama, b) Pembuatan sertipikat karena pemecahan sertipikat hak atas tanah, c) Pembuatan sertipikat karena penggabungan sertipikat hak atas tanah, d) Perpanjangan hak guna bangunan atau hak pakai, e) Pembaharuan hak guna bangunan atau hak pakai, f) Roya sertipikat yaitu pembersihan sertipikat dari catatan sedang dijaminkan, g) Proses turun waris sertipikat yaitu proses merubah data kepemilikan tanah yang terjadi akibat dari adanya kematian, 14 hlm. 3. Mustofa, 2014, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Penerbit Karya Media, Yogyakarta, 18 h) Peningkatan hak atas tanah, misalnya dari hak guna bangunan menjadi hak milik, atau dari hak pakai menjadi hak guna bangunan atau menjadi hak milik, i) Penurunan hak atas tanah, misalnya dari hak milik menjadi hak guna bangunan atau menjadi hak pakai, atau dari hak guna bangunan menjadi hak pakai, j) Dan lain-lain. 4. Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan untuk suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor pertanahan kabupaten/kotamadya, sedangkan untuk daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. Menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah : a) berkewarganegaraan Indonesia; b) berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; c) berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat; d) belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; e) sehat jasmani dan rohani; f) lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi; 19 g) lulus ujian yang Agraria/BPN. diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT berhenti menjabat karena : a) meninggal dunia; atau b) telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun, atau c) diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau d) diberhentikan oleh Menteri. e) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, atau diberhentikan oleh Menteri. Lebih lanjut Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menjelaskan sebagai berikut : (1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena : a) permintaan sendiri; b) tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk; c) melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; d) diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI. (2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena : a) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b) dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara 20 selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. B. Tinjauan Umum Tentang Akta 1. Pengertian Akta Akta adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani dibuat oleh seorang atau lebih pihak-pihak dengan maksud dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum. Ini berarti bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi, untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditandatangani. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta ternyata dari Pasal 1869 BW.15 Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta-akta tersebut. Oleh karena itu nama atau tanda tangan yang ditulis dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak berapa tampak ciri-ciri atau sifat-sifat si pembuat.16 2. Jenis-Jenis Akta 15 R. Soeroso, 2011, Perjanjian Di Bawah Tangan : Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6. 16 Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 151-152. 21 Sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi dua, yaitu surat yang merupakan akta dan yang bukan akta, sedangkan akta itu sendiri terbagi lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.17 a). Akta Otentik Secara Teoritis apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa, sebab ada surat yang tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya. Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat secara dibawah tangan.18 Secara normatif, apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 BW). Berdasarkan Pasal 1868 BW dapat disimpulkan bahwa akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi : 1. Akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk, procesverbaal acte) dan 2. Akta yang dibuat oleh para pihak (partijakte). Akta yang pertama merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya 17 18 R. Soeroso, 2011, Perjanjian…, Op.Cit., hlm. 7. Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum…, Op.Cit., hlm. 155. 22 diterangkan di dalam akta itu. Sebagai contoh akta pejabat ini misalnya ialah berita acara yang dibuat oleh polisi atau panitera pengganti di persidangan. Akta yang kedua, yaitu yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, adalah akta dengan mana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta dilakukannya. Partijakte ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh dapat disebutkan akta notaril tentang jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.19 Keistimewaan akta otentik adalah merupakan suatu alat bukti yang sempurna (vollegid bewijs tentang apa yang dimuat di dalamnya), artinya apabila seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, maka hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis dalam akta merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian.20 b). Akta Di Bawah Tangan Akta di bawah tangan (onderhands acte) adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.21 Apabila para pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui dan tidak menyangkal tandatangannya, tidak menyangkal isi dan apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan 19 Ibid., hlm. 157-158. R. Soeroso, 2011, Perjanjian…, Op.Cit. 21 Ibid., hlm. 8. 20 23 pembuktian yang sama dengan suatu akta otentik atau resmi.22 Pasal 1875 BW menyatakan bahwa : Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu. 3. Perbedaan Akta Otentik Dengan Akta Di Bawah Tangan Pokok-pokok perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut :23 Akta otentik (Pasal 1868 KUH Perdata) : a. Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan undangundang; b. Harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang; c. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan dan dasar hukumnya; 22 23 Ibid. Ibid., hlm. 8-9. 24 d. Kalau kebenarannya disangkal, maka si penyangkal harus membuktikan ketidakbenarannya. Adapun akta di bawah tangan : a. Tidak terikat bentuk formal , melainkan bebas; b. Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan; c. Apabila diakui oleh penandatangan atau tidak sangkal, akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sama halnya seperti akta otentik; d. Tetapi bila kebenarannya disangkal, maka pihak yang mengajukan sebagai bukti yang harus membuktikan kebenarannya (melalui bukti atau saksisaksi). 4. Fungsi Akta Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Di sini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah : Pasal 1610 BW tentang perjanjian pemborongan, Pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan Pasal 1851 BW tentang perdamaian. Untuk itu semuanya disyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan dengan akta otentik antara lain adalah : Pasal 1171 BW tentang pemberian 25 hipotik, Pasal 1682 BW tentang schenking dan Pasal 1945 BW tentang melakukan sumpah oleh orang lain.24 Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Dari defenisi yang telah diketengahkan di muka telah jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.25 5. Kekuatan Pembuktian Akta Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan antara kekuatan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian formil dan kekuatan pembuktian materil. Penjelasannya adalah sebagai berikut :26 1) kekuatan pembuktian lahir Kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya : yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya. 2) kekuatan pembuktian formil 24 Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum…, Op.Cit., hlm. 161-162. Ibid., hlm. 162. 26 Ibid., hlm. 162-163. 25 26 Kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan : “benarkah bahwa ada pernyataan?”. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh yang bertandatangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. 3) kekuatan pembuktian materil Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pertanyaan : “benarkah isi pernyataan di dalam akta itu?”. Jadi kekuatan pembuktian materil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang termuat dalam akta. C. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-undangan 1. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.27 Menurut Attamimi, peraturan perundangundangan adalah peraturan negara di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi. Kemudian dalam disertasinya Attamimi memberikan batasan mengenai peraturan perundang-undangan adalah semua aturan hukum 27 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 27 yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu, dengan prosedur tertentu, biasanya disertai sanksi dan berlaku umum serta mengikat rakyat.28 Reed Dickerson sebagaimana yang dikutip oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar mengemukakan peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan.29 Karena hal-hal yang diatur bersifat umum, maka peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak. Secara singkat lazim disebut bahwa ciri-ciri dari kaidah peraturan perundangundangan adalah abstrak-umum atau umum-abstrak.30 Lebih lanjut Bagir Manan dan Kuntana Magnar menjelaskan unsur-unsur yang termuat dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :31 a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschreven recht, written law); b. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku umum atau mengikat umum (algemeen); 28 Ni’matul Huda, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Nusa Media, Bandung, hlm. 11-12. 29 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 123. 30 Ibid. 31 Ibid., hlm. 125. 28 c. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Karena dimaksudkan sebagai ketentuan yang tidak berlaku pada peristiwa konkret tertentu atau individu tertentu, maka lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat umum. 2. Asas-Asas Berlakunya Peraturan Perundang-Undangan Untuk memahami asas-asas berlakunya peraturan perundang-undangan, dapat dimulai dari pengertian tentang asas hukum. Berikut dikemukakan pengertian asas hukum dari beberapa pandangan para ahli. Paul Scholten menjelaskan bahwa : “Asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum, sehingga ia atau sama sekali tidak atau terlalu banyak berbicara (of niets of veel te veel zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan tidak mungkin, karena untuk itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret”.32 32 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 302. Dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 19. 29 Selanjutnya Paul Scholten juga menguraikan (memberikan defenisi) asas hukum sebagai : “Grondgedachten, die in en achter ieder in wetsvoorschriften en rechtetlijke uitspraken belichaamd rechtssysteem liggen, waarvan de bijzondere bepalingen en beslissingen als uitwerkingen kunnen worden gedacht” (pikiranpikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masingmasing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusankeputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.33 Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa : “Asas hukum atau prinsip hukum bukan peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifatsifat umum dari peraturan yang konkret tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum ini dalam hukum positif”.34 Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita menyebutnya demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Selanjutnya Satjipto Rahardjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar 33 J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties (Grondbegrippen uit de rechtstheorie), Kluwer-Deventer1993, p. 85 dan Arief Sidharta (alih bahasa), 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 119-120. Dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan…, Op.Cit., hlm. 19. 34 Ibid., hlm. 20 30 kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.35 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa untuk berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dikenal beberapa asas, yaitu antara lain :36 a. Undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini dapat dibaca dalam Pasal 3 Algemene Bepalingen Van Wetgeving (A.B.) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut : “undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut”. Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana, yang berbunyi sebagai berikut : “tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana yang mendahulukan”. Artinya dari asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalm undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superior derogate lex inferiori). c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis). Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat 35 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 85. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7-11. 36 31 pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut. d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex priori). Yang dimaksud oleh asas ini adalah bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlaku belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Makna dari asas ini adalah sebagai berikut : 1) adanya kemungkinan bahwa isi undang-undang menyimpang dari undang-undang dasar dan 2) hakim atau siapapun juga tidak mempunyai hak uji materil terhadap undang-undang tersebut. Hak tersebut hanya dimiliki oleh pembuat undang-undang tersebut. f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spirituil dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstate). 3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan 32 metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur yang ditentukan.37 Berkaitan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Van der Vlies membaginya menjadi asas-asas formal dan asas-asas materil. Asas-Asas formal yang dikemukakan oleh Van der Vlies adalah sebagai berikut :38 a. Asas tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal, yaitu mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut. b. Asas organ/lembaga yang tepat. Asas ini memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. c. Asas perlunya pengaturan. Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan. d. Asas dapat dilaksanakan. Mengenai asas ini orang melihatnya sebagai usaha untuk dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan bersangkutan. Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. 37 Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 11. 38 Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 32. 33 e. Asas konsensus. Asas ini menunjukkan adanya kesepakatan rakyat dengan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Kemudian asas-asas materil dalam pembentukan peraturan perundangundangan menurut Van der Vlies adalah sebagai berikut : a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar. Asas ini ialah agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur dan susunannya. b. Asas tentang dapat dikenali. Asas ini yang dapat dikemukakan ialah, apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang, lebih-lebih oleh yang berkepentingan, maka ia akan kehilangan tujuannya sebagai peraturan. c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum. Asas ini menunjukkan pada tidak boleh adanya peraturan perundang-undangan yang ditujukan hanya kepada sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum terhadap anggotaanggota masyarakat. d. Asas kepastian hukum. Asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara berdasarkan atas hukum. e. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan 34 tertentu, sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum juga bagi masalah-masalah khusus. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Van der Vlies sebagaimana telah jelaskan di atas banyak memengaruhi rumusan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.39 Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut Pasal 5 tersebut meliputi : a. Kejelasan tujuan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.40 b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.41 c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini mempunyai maksud bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus 39 Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan…, Op.Cit., hlm. 24. Penjelasan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 41 Penjelasan Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 40 35 benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.42 d. Dapat dilaksanakan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.43 e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.44 f. Kejelasan rumusan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.45 g. Keterbukaan. Asas ini mempunyai maksud bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat 42 Penjelasan Pasal 5 huruf Penjelasan Pasal 5 huruf 44 Penjelasan Pasal 5 huruf 45 Penjelasan Pasal 5 huruf 43 c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 36 mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.46 A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut khususnya bagi negara Indonesia terdiri atas : cita hukum Indonesia, asas negara berdasarkan hukum dan asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi serta asas-asas lainnya.47 Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, di samping menganut asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, juga harus berlandaskan pula pada asas hukum umum, yang terdiri atas asas hukum umum negara berdasar atas hukum (rechtstaat), asas hukum umum pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, asas hukum negara berdasarkan kedaulatan rakyat.48 4. Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Secara teoritik, tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai Stufenbau des Recht atau The Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu Reine Rechtslehre atau The 46 Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 197. 48 Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan… Op.Cit. 47 37 Pure Theory of Law (teori murni tentang hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain command of the sovereign-kehendak yang berkuasa.49 Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior). Hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk hierarki, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat lagi ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).50 Teori hierarki atau jenjang tata hukum dari Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang telah lebih dahulu menulis teori yang oleh Jeliae disebut stairwell structure of legal order. Merkl mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das doppelte rechtsantlizt). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu bergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma- 49 50 Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 203. Ni’matul Huda, 2011, Teori & Pengujian… Op.Cit., hlm 24. 38 norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. Hierarki atau tata susunan sistem norma-norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma yang di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaknya sitem norma yang berada di bawahnya.51 Teori Hans Kelsen tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Nawiasky dalam teorinya mengenai Die Lehre von dem Stufenaubau der Rechtsordnung atau Die Stufenordnung der Rechtsnormen mengemukakan sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana norma yang berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma hukum suatu negara itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : 1) Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara), 2) Staatsgrundgesetz (aturan dasar), 3) Formell Gesetz (undang-undang formal), 4) Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom).52 Lebih lanjut Maria Farida Indrati Soeprapto menjelaskan bahwa dinamika norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal. Dinamika norma hukum 51 52 Ibid., hlm. 25-26. Ibid., hlm. 27-28. 39 yang vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Suatu norma hukum itu berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum di atasnya, norma hukum yang berada di atasnya berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar semua norma hukum di bawahnya. Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum yang di bawahnya lagi dan demikian seterusnya ke bawah. Berbeda dengan dinamika norma hukum yang vertikal, dalam dinamika norma hukum yang horizontal, suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke atas atau ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma hukum yang horizontal ini tidak membentuk suatu norma yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping karena adanya suatu analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa.53 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :54 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 53 54 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu… Op.Cit., hlm. 9-10. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 40 Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang yaitu : 1) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang, 3) pengesahan perjanjian internasional tertentu, 4) tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau 5) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.55 Materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang.56 d. Peraturan Pemerintah; Materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.57 Pengertian yang dimaksud dengan “menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan peraturan pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang atau untuk menjalankan undang-undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.58 e. Peraturan Presiden; Materi muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.59 f. Peraturan Daerah Provinsi; 55 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 57 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 58 Penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 59 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 56 41 Materi muatan peraturan daerah provinsi berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.60 g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Materi muatan peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.61 Berkaitan dengan kedudukan peraturan perundang-undangan lain di luar yang disebutkan dalam hierarki di atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan ketegasan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 62 Kemudian juga ditambahkan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.63 Sehubungan dengan hal tersebut yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan 60 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ibid. 62 Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 63 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 61 42 perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.64 BAB III METODE PENELITIAN A. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan tahap untuk mencari kembali sebuah kebenaran guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai objek suatu penelitian. Penelitian merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan karena dilakukan secara sistematis, metodologis dan analisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Penelitian ini menggunakan jenis bersifat penelitian deskriptif hukum (descriptive normatif research) dengan atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.65 64 Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14. 65 43 Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup :66 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematik hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; d. Perbandingan hukum; e. Sejarah hukum. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan dengan meneliti norma-norma hukum yang berlaku dengan pendekatan studi kepustakaan. Penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier, karena sepenuhnya menggunakan data sekunder (bahan kepustakaan) sehingga tidak diperlukan sampling, karena data sekunder sebagai sumber utamanya memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa digantikan dengan data jenis lainnya. Penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya.67 a) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang 66 Ibid., hlm. 14. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 120. 67 44 ditangani. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.68 Penelitian dalam level dogmatik hukum atau penelitian untuk keperluan praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan. Dalam pendekatan perundang-undangan harus perlu memahami hirarki dan asasasas dalam peraturan perundang-undangan. Di antaranya yaitu asas lex superior derogate legi inferiori, apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundangundangan yang secara hirarki lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus disisihkan.69 Asas lex spesialis derogate legi generali, asas ini merujuk kepada dua peraturan perundangundangan yang secara hirarkis mempunyai kedudukan yang sama, namun ruang lingkup materi muatan kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. 70 Asas lex posterior derogate legi priori, yang artinya peraturan perundang-undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu.71 b) Pendekatan Konsep (conceptual approach) Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep-konsep, pada penelitian ini adalah mengenai PPAT sebagai pejabat umum pembuat akta otentik di indonesia. Apabila dengan mendapatkan konsep yang jelas maka diharapkan 68 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 113. Ibid., hlm. 136-139. 70 Ibid., hlm. 139. 71 Ibid., hlm. 141. 69 45 penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu.72 c) Pendekatan Sejarah Hukum (historical approach) Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Di samping itu, melalui pendekatan demikian peneliti juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.73 Adanya pendekatan historis ini akan memudahkan dalam melakukan telaah terhadap perkembangan pengaturan tentang PPAT sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik. B. Cara dan Alat Pengumpulan Data 1. Cara Pengumpulan Data Terdapat beberapa cara dalam pengumpulan data yaitu studi kepustakaan, pengamatan (observasi), wawancara (interview) dan daftar pertanyaan (kuesioner).74 Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1) Data Sekunder Data sekunder merupakan jenis data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, dimana penulis melakukan penelitian yang sumber datanya 72 Johnny Ibrahim, 2007, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 300. 73 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian…, Op. Cit., hlm. 166. 74 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Cetakan kelima, Jakarta, hlm. 12. 46 berasal dari asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, pendapat ahli, yurisprudensi.75 Data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu dengan cara mencari dan menghimpun bahan hukum, mengklasifikasikan bahan hukum yang relevan terhadap fokus penelitian yang terdapat dalam literaturliteratur kepustakaan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu berupa bahan hukum yang dibagi sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pokok pembahasan. 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2) Peraturan Jabatan Notaris (stb. Tahun 1860 Nomor 3); 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Denga Tanah; 6) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 75 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian…, Op. Cit., hlm. 14. 47 8) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 9) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun; 11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah; 13) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah; 14) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah; 15) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah; 16) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik; 17) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; 48 18) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; 19) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 20) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan Nasional. 21) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional. 22) Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Pejabat Yang Dimaksudkan Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah; 23) Peraturan Menteri Negara Agraria/Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; 24) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 25) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 49 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 26) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain karya-karya tulis dari kalangan hukum, teori-teori dan pendapat para ahli, bahan pustaka atau buku literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti serta berbagai sumber dari internet. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa Belanda-Indonesia yang digunakan peneliti untuk menerjemahkan berbagai istilah dalam penelitian ini. 2) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.76 Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara wawancara (interview) kepada narasumber sebagai pelengkap data sekunder. 76 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, hlm. 51. 50 Wawancara adalah suatu cara untuk mencari data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung atau lisan kepada subyek penelitian. 2. Alat Pengumpulan Data 1) Data Sekunder Alat pengumpulan data sekunder berupa pedoman dokumentasi atau bahan-bahan tertulis77 yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum agar penulis mengetahui dan kemudian mendeskripsikan dokumen yang terkait dengan fokus penelitian. Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder maupun tersier dicari dan dikumpulkan pada Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia serta perpustakaan pribadi penulis. 2) Data Primer Alat pengumpulan data primer berupa pedoman wawancara. Wawancara tersebut dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung kepada narasumber dengan pertanyaan yang telah di susun dalam suatu daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan telebih dahulu. C. Lokasi Penelitian dan Narasumber 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta. Alasan Pengambilan lokasi ini karena mempertimbangkan bahwa lokasi ini dapat dijangkau dengan mudah 77 Vide Buku Panduan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2014, hlm. 35. 51 dan selain itu juga tersedianya data serta bahan penelitian yang lengkap sehingga dapat membantu penulis menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Data serta bahan yang diperlukan tersebut dicari dan dikumpulkan pada Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia serta perpustakaan pribadi penulis. 2. Narasumber Narasumber adalah orang yang terkait dengan rangkaian fakta yang akan diberitakan untuk kemudian dimintai keterangan dan pernyataan atau orang yang sangat memahami fakta dari aspek teoritis.78 Penelitian ini menggunakan narasumber yang berasal dari kalangan praktisi dan akademisi. Dari kalangan praktisi terdiri atas dua orang notaris-PPAT di wilayah Kota Yogyakarta yaitu Muhammad Firdaus Ibnu Pamungkas S.H. dan Nurhadi Darussalam S.H., M.Hum., serta satu orang notaris-PPAT di wilayah Kota Surabaya yaitu Dr. Habib Adjie S.H., M.Hum. Kemudian dari kalangan akademisi terdiri atas empat orang dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yaitu Prof. Dr. Nurhasan Ismail S.H., M.Si., Prof. Dr. Denny Indrayana S.H., LLM., Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie S.H, CN. dan Dr. Djoko Sukisno S.H., CN., serta satu orang dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yaitu Dr. Azmi Fendri S.H., M.Kn. D. Analisis Data 78 Burhan Ash-shofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 22. 52 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitik, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang diperoleh kemudian diseleksi menurut kualitas dan kebenarannya berdasarkan penting atau tidak kaitannya dengan permasalahan. Data tersebut kemudian disusun secara sistematis untuk selanjutnya dikaji dengan metode berfikir deduktif dan diuraikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli dan logika hukum dari penulis sehingga dapat ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah kaitannya dengan pemenuhan syarat-syarat sebagai akta otentik. Awal mula penggunaan blanko akta PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Bentuk Akta yang mulai berlaku pada tanggal 7 September 1961. Namun, baru 2 bentuk akta saja yang diberikan yaitu akta jual beli dan akta hibah, dan khusus mengenai hipotik dan creditverband menggunakan bentuk-bentuk lama yang disesuaikan, sedangkan selain bentuk-bentuk akta tersebut belum pernah diberikan oleh 53 pemerintah.79 Berdasarkan ketentuan Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 PMA Nomor 11 Tahun 1961 menyatakan bahwa : Pasal 1 : Akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah harus dibuat oleh Penjabat Pembuat Akta Tanah dengan mempergunakan pormulir-pormulir (daftar isian) yang contoh-contohnya terlampir pada peraturan ini. Pasal 2 : Pormulir-pormulir yang dimaksudkan dalam Pasal 1 di atas merupakan kertas yang berukuran : 2 x 210 x 295 mm (ukuran A3). Pasal 3 : (1) Untuk membuat akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 1, penjabat harus mempergunakan pormulir-pormulir yang tercetak, (2) Dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah, seorang pejabat dapat mempergunakan pormulir-pormulir yang distensil atau ditik, dengan ketentuan, bahwa kertas yang dipakai untuk mengekstensil atau mentik pormulir itu ialah kertas HVS 70/80 gram yang berukuran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 di atas. Perkembangan selanjutnya, penggunaan blanko akta PPAT tetap dipertahankan dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. PMNA tersebut menegaskan bahwa akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blanko yang telah disediakan atau dicetak oleh BPN atau instansi lain yang ditunjuk, tanpa menggunakan blanko, maka akta PPAT akan ditolak pendaftaran peralihan atau pembebanan haknya oleh kantor pertanahan. Pasal 96 PMNA Nomor 3 Tahun 199780 menyatakan 79 AP Parlindungan, 1983, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, hlm. 99. Pasal 96 berbunyi : “(1) Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 dan terdiri dari bentuk: 80 54 bahwa fungsi blanko akta PPAT sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Aturan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT dengan keberadaan blanko akta PPAT. Pengaturan blanko akta PPAT sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN memberikan kewenangan dan tanggung jawab pengadaan serta pendistribusian blanko akta berada di tangan BPN. Standarisasi akta PPAT dalam bentuk blanko yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan PPAT sementara dari kalangan camat yang tidak semuanya memahami ketentuan umum hukum perjanjian dan peraturan-peraturan dalam pelaksanaan UUPA. Para penjabat yang bukan dari kalangan notaris kebanyakan agak asing terhadap persyaratanpersyaratan untuk sahnya sebuah akta menurut Reglement Jabatan Notaris (S. 1860-3) di antaranya mengenai persoalan renvoi akta, tata caranya di mana dapat ditarik apakah harus ke samping atau ke bawah setiap tambahan, perubahan atau coretan, persoalan larangan pembuatan akta dalam hubungan kekeluargaan garis lurus tanpa batas dan garis ke samping sampai derajat ke empat, persoalan saksi siapa yang boleh dan yang tidak boleh, persoalan batas umur dalam komparisi, a. Akta Jual Beli (lampiran 16); b. Akta Tukar Menukar (lampiran 17); c. Akta Hibah (lampiran 18); d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (lampiran 19); e. Akta Pembagian Hak Bersama (lampiran 20); f. Akta Pemberian Hak Tanggungan (lampiran 21); g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik (lampiran 22); h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (lampiran 23). (2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disediakan. (3) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) tidak dapat dilakukan berdasarkan akta yang pembuatannya melanggar ketentuan pada ayat (2)”. 55 yang bagi notaris telah lazim diketahui kesemuanya sebagaimana yang tercantum dalam S.1860-3 (Reglement op het Notarisambt).81 Berdasarkan atas alasan tersebut, maka bagi camat selaku PPAT sementara yang kesulitan untuk membuat akta sendiri dapat mengacu kepada bentuk baku akta yang telah disediakan oleh pemerintah. Pembuatan blanko akta dilakukan oleh BPN Pusat dengan cara dicetak, setelah itu disebarkan keseluruh kantor wilayah yang ada di tiap-tiap provinsi di Indonesia, setelah itu disebarkan lagi ke kantor-kantor pertanahan yang ada sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh Kepala BPN, akan tetapi kebijakan yang dibuat oleh Kepala BPN tersebut dalam prakteknya tidak berjalan dengan baik, karena sesuai peraturan tersebut yang mempunyai kewenangan mencetak blangko akta hanyalah BPN Pusat saja dan harus membagikan ke seluruh Kanwil BPN di seluruh Indonesia lalu diteruskan ke kantor-kantor pertanahan setempat dan juga kantor pos, baru lah PPAT bisa mengambilnya ke kantor pertanahan atau membelinya ke kantor pos. Rentetan hal ini menimbulkan proses birokrasi yang cukup panjang dan juga akibat dari birokrasi yang cukup panjang tersebut terjadilah kelangkaan akta-akta PPAT yang mana membuat kerja PPAT menjadi terhambat karena tidak tersedianya blangko-blangko yang harus mereka pergunakan dalam rangka peralihan atau pembebanan hak atas tanah yang dibutuhkan oleh masyarakat.82 81 AP Parlindungan, 1983, Berbagai Aspek… Op.Cit., hlm. 97-99. Wawancara dengan Bapak Nurhadi Darussalam selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 2016. 82 56 Melihat kejadian keterhambatan pembuatan blangko akta yang sering terjadi, Kepala BPN mengeluakan suatu kebijakan yaitu Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012. Dasar terbitnya peraturan tersebut pertama adalah untuk meningkatkan pelayanan pembuatan akta tanah, di mana sebelum terbitnya peraturan tersebut, pernah terjadi kelangkaaan blangko akta, sehingga mengakibatkan keterhambatan dalam pembuatan akta guna memenuhi kebutuhan masyarakat.83 Setelah kewenangan pembuatan blangko akta ada ditangan PPAT, hampir tidak mungkin terjadinya kelangkaan blangko akta seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Pada saat terjadi kelangkaan blanko pun PPAT tidak diberikan kewenangan untuk membuat aktanya sendiri. BPN melalui suratnya nomor 6401887 tanggal 16 Juli 2002 juncto Nomor 640/1884 tanggal 31 juli 2003 telah memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN dalam mengahadapi keadaan mendesak seperti dalam menghadapi kelangkaan dan kekurangan blanko akta PPAT dengan membuat fotocopy blanko akta sebagai ganti blanko akta yang dicetak, dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau oleh Kantor Pertanahan/BPN Kota/Kabupaten setempat.84 Perkembangan berikutnya dewasa ini pembuatan akta PPAT dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997. 83 Vide Konsiderans Menimbang Huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. 84 Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris dan PPAT, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 104. 57 PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yang mulai berlaku sejak tanggal 2 januari 2013 tersebut memiliki substansi atau ketentuan yang mencakup :85 a. Penyiapan dan pembuatan akta PPAT dilakukan sendiri oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara, dan PPAT Khusus. Sebelum berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 blanko akta PPAT disiapkan dan diterbitkan oleh BPN, dan hal ini merupakan suatu terobosan BPN untuk mengatasi kelangkaan blanko akta PPAT yang selama ini menjadi masalah rutin yang dihadapi PPAT dan masyarakat yang membutuhkan serta menghilangkan beban negara dimana selama ini blanko akta PPAT dibebankan pada APBN; b. Akta PPAT selain berfungsi sebagai alat bukti, juga berfungsi sebagai syarat pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, sehingga akta PPAT yang dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang diatur dalam PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yang bisa dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Kantor pertanahan setempat akan menolak pendaftarannya jika akta PPAT dibuat tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang diatur dalam PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012; c. Masa peralihan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yaitu: sejak tanggal 2 Januari 2013 sampai dengan 31 Maret 2013, PPAT masih dapat menggunakan blanko akta PPAT yang disediakan oleh BPN sepanjang stock blanko PPAT masih tersedia di PPAT yang bersangkutan dan atau kantor pertanahan yang bersangkutan. Jika sejak berlakunya PERKABAN ini (2 Januari 2013) PPAT tidak lagi menggunakan blanko akta PPAT yang disediakan oleh BPN, maka PPAT yang bersangkutan wajib mengembalikan blanko akta PPAT kepada kantor pertanahan dengan membuat berita acara penyerahan selambat lambatnya tanggal 31 Maret 2013; d. Bentuk akta PPAT yang diatur dalam PERKABAN ini mencakup cover akta dan formulir akta (kepala akta, awal akta, komparisi, isi akta dan akhir akta). Terbitnya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tersebut menjadi kabar baik bagi para PPAT diseluruh Indonesia. Hal dikarenakan para PPAT tidak perlu lagi mengambil ke kantor pertanahan setempat ataupun membeli di kantor pos, selain itu kerja PPAT tidak terhambat lagi seperti dulu ketika ada masyarakat yang ingin 85 Pieter Latumeten, “Teknik Pembuatan Akta PPAT Tanpa Blanko Akta Versi PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012”, Makalah disampaikan dalam seminar PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yang diselenggarakan oleh PENGDA INI dan IPPAT Kabupaten Bandung Barat tanggal 20 Maret 2013, hlm. 1-2. 58 melakukan penerbitan suatu akta tanah untuk mendaftarkan tanahnya, tidak dapat langsung dilakukan penerbitan akta dikarenakan PPAT kehabisan akta dan belum mendapatkan stock akta lagi dari BPN sehingga tentunya mau tidak mau penerbitan akta ditunda sampai ada blangko akta yang telah didistribusikan kembali kepada PPAT barulah akta dapat dibuat. Setelah terbit PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tidak ada lagi kejadian seperti dulu lagi karena PPAT tidak perlu menunggu lagi blangko-blangko akta yang dibuat oleh BPN. Apabila dicermati substansi pengaturan dalam PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 maka sesungguhnya PPAT tidak membuat aktanya sendiri, melainkan tetap mengacu kepada PMNA Nomor 3 Tahun 1997 yaitu PPAT dalam membuat akta dilakukan dengan mengisi blanko yang telah ditetapkan oleh menteri. Perbedaannya adalah bahwa sebelum adanya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 blanko akta hanya bisa dicetak oleh BPN, sedangkan setelah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 blanko akta sudah dapat dicetak sendiri oleh PPAT. Terdapat perbedaan pengaturan tentang blangko akta PPAT sebelum dan sesudah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Berdasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, dalam Pasal 1 peraturan tersebut menyebutkan bahwa mengubah ketentuan-ketentuan peraturan sebelumnya mengenai blangko akta pertanahan, yang sebelumnya dicetak atau dibuat oleh BPN menjadi dilimpahkan kewenangan tersebut kepada masing- 59 masing PPAT secara langsung untuk dapat membuat blangko-blangko akta tersebut secara mandiri. PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tersebut dilampirkan ketentuanketentuan atau tata cara pengisian blangko akta yang akan dibuat masing-masing PPAT. Berikut beberapa perbedaan teknis yang ditentukan dalam pembuatan blangko akta antara lain :86 pertama mengenai kertas, sebelum dilimpahkan kewenangan pembuatan blangko akta ke tangan PPAT berdasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, kertas yang digunakan dalam pembuatan blangko akta ialah kertas cetak (buram) yang digunakan oleh BPN dalam mencetak blangko-blangko akta. Setelah diterbitkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 kertas yang digunakan oleh PPAT untuk membuat blangko-blangko akta ialah kertas HVS 80 s/d 100 gram, oleh karena itu PPAT harus membuat blangko akta minimal dengan kertas HVS 80 gram, tidak boleh di bawah ketentuan yang telah ditentukan oleh BPN. Kedua mengenai pencoretan (Renvoi), di dalam sebuah akta tanah sering sekali ditemui sebelumnya pencoretan-pencoretan didalam akta PPAT. Hal tersebut dikarenakan di dalam blangko akta yang dibuat BPN terdapat banyak klausul yang ditawarkan, sehingga diperbolehkan oleh BPN untuk mencoret halhal yang dianggap tidak perlu dicantumkan didalam akta, dan wajib disetujui oleh para pihak dengan ditandatangani dihalaman yang ada pencoretannya. Blangko akta yang sesuai dengan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 bukan tidak 86 Wawancara dengan Bapak Nurhadi Darussalam selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 2016. 60 diperbolehkan melakukan Pencoretan (renvoi), akan tetapi sebisa mungkin dihindari untuk melakukan pencoretan, karena akta yang akan digunakan dalam rangka peralihan atau pembebanan hak atas tanah dibuat oleh PPAT sendiri. Dengan demikian bisa meminimalisir adanya pencoretan dan bisa dilakukan pencoretan jika memang ada kesalahan-kesalahan dalam pembuatan akta. Ketiga mengenai warna blangko akta, terjadi perbedaan dari cover blangko akta, yaitu pada saat berlakunya PMNA Nomor 3 Tahun 1997 warna dari blangko akta yang dibuat oleh BPN beragam-ragam warnanya, seperti warna biru, kuning, pink dan sebagainya. Setelah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 untuk akta-akta yang dibuat oleh PPAT, semuanya merata berwarna putih, tidak boleh menggunakan warna lainnya. Keempat mengenai huruf, huruf yang digunakan dalam blangko akta sebelumnya yang dipakai oleh BPN adalah huruf Times New Roman, sedangkan menurut PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 huruf yang digunakan untuk blanko adalah jenis Bookman Old Style. Untuk ukuran huruf yang digunakan hampir sama dengan sebelumnya yaitu ukuran 28 untuk sampul akta dan ukuran 12 untuk bagian isi aktanya. Kelima mengenai sampul (Cover) akta, untuk bagian depan atau sampul akta, dahulu saat masih di cetak oleh BPN hanya terdapat nomor/kode blangko akta yang di isi oleh BPN saja tanpa ada hal lainnya, sedangkan pada sampul akta yang sekarang, bukan hanya terdapat nomor/kode blangko seperti yang dicetak oleh BPN dahulu, akan tetapi harus memuat nama dan kedudukan sebagai PPAT, 61 daerah kerja, Surat Keputusan (SK) Pengangkatan beserta tanggal, serta alamat kantor dari PPAT. Keenam mengenai sistem printing, pembuatan blangko akta dari BPN yang dahulu dibuat dengan sistem cetak melalui percetakan. Sejak dilimpahkannya kewenangan pembuatan blangko akta kepada PPAT, pembuatan blangko-blangko tersebut dibuat dengan cara melalui sistem printing di mana para PPAT bisa membuatnya sendiri tanpa harus melalui percetakan. Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada pembuatan blangko akta sebelum dan sesudah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 dapat digambarkan melalui tabel di bawah ini : TABEL 1 Perbedaan Blanko Akta PPAT Sebelum dan Sesudah Berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 Blanko akta sebelum berlakunya Blanko akta sesudah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 / PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 menurut PMNA Nomor 3 Tahun 1997 1. dibuat oleh BPN 1. dibuat oleh PPAT 2. kertas cetak 2. kertas HVS 80 s/d 100 gr 3. sering terjadinya renvoi 3. renvoi dapat diminimalkan 4. warna blanko akta beragam 4. warna blanko akta putih 5. menggunakan huruf times new 5. menggunakan huruf bookman old roman style 6. pada sampul hanya terdapat nomor 6. pada sampul terdapat kop surat akta 62 7. dicetak 7. diprint Jika ditelaah ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 199787 dengan ketentuan Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 199788, maka terlihat adanya kerancuan terhadap kewenangan PPAT dalam membuat akta otentik. Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menghendaki bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun di sisi lain Pasal 96 ayat (2) PMNA Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa pembuatan akta PPAT harus menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang disediakan. Hal yang perlu dikaji adalah pengertian kata “dibuat oleh PPAT” dengan kata “formulir”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan formulir adalah lembar isian atau surat isian,89 sedangkan yang dimaksud dengan membuat adalah menciptakan, melakukan, mengerjakan.90 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa formulir adalah lembaran yang diisi sesuai dengan maksud dan tujuannya yang sudah disediakan oleh pihak lain. Oleh karena itu mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Berdasarkan hal tersebut jika PPAT 87 Pasal 37 ayat (1) berbunyi : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 88 Pasal 96 ayat (2) berbunyi : “Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disediakan”. 89 Purwadaminta, 1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Gramedia, Jakarta, hlm. 279. 90 Ibid., hlm. 148. 63 masih mengisi formulir atau blanko membuktikan bahwa telah terjadi kesalahkaprahan dan penyesatan (misleading) dalam memahami dan menerapkan kewenangan PPAT sesuai tataran hukum yang benar.91 Dengan demikian sudah seharusnya pelaksanaan kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik tidak dilakukan dengan mengisi formulir atau blanko, melainkan membuat sendiri dengan memprodusir akta-akta yang menjadi kewenangannya. Adanya keharusan pembuatan akta PPAT dengan cara mengisi blanko merupakan perdebatan yang tidak kunjung selesai dari dulu, yaitu apakah akta yang dibuat oleh PPAT dengan cara mengisi blanko merupakan akta otentik atau bukan. Menurut Pasal 1868 BW bahwa akta otentik merupakan akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, maka atas dasar tersebut dikalangan praktisi (notaris-PPAT) masih meragukan bahkan ada juga yang tidak mengakui apakah akta yang dibuat oleh PPAT telah memenuhi kualifikasi sebagai akta otentik atau tidak karena hanya mengisi blanko serta bentuknya yang tidak ditentukan oleh undang-undang melainkan hanya melalui peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Keresahan yang lain dikalangan praktisi bahwa terkadang pihak BPN terkesan tidak konsisten dengan peraturannya, pada waktu dikeluarkannya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 para PPAT disuruh agar mencetak sendiri blanko akta yang diperlukan, namun kemudian tidak lama 91 Habib Adjie, 2007, Telaah Ulang : Kewenangan PPAT Untuk Membuat Akta, Bukan Mengisi Blanko/Formulir Akta, Renvoi, Jakarta, hlm. 71. 64 setelah itu keluar lagi surat edaran dari BPN yang isinya memerintahkan supaya PPAT menggunakan kembali blanko yang telah disediakan oleh BPN.92 Akta PPAT selama ini memang tidak ditentukan bentuknya oleh undangundang, melainkan hanya sebatas peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Akta PPAT ditentukan secara baku dan seragam oleh menteri dimulai dari pemberlakuan PMA Nomor 11 Tahun 1961, PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 38 ayat (2)93, PMNA Nomor 3 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 21 ayat (1)94. Walaupun demikian, akta-akta tersebut tetap dikualifikasikan sebagai akta otentik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 199895. Penjelasan Pasal 21 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh menteri. Meskipun bentuk akta PPAT tidak ditentukan secara langsung oleh undang-undang melainkan oleh peraturan pemerintah, namun karena kita menganut peraturan hukum yang berjenjang maka sesungguhnya akta PPAT telah dibuat berdasarkan undang-undang yaitu UUPA. Terhadap hal ini Nurhasan Ismail berpendapat bahwa :96 “Perintah untuk dibuatkan akta PPAT itu adalah oleh undang-undang, yaitu oleh Pasal 19 UUPA, kemudian jabarannya adalah ke dalam Peraturan 92 Wawancara dengan Bapak Muhammad Firdaus Ibnu Pamungkas selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta pada tanggal 12 November 2015. 93 Pasal 38 ayat (2) berbunyi : “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri”. 94 Pasal 21 ayat (1) berbunyi : “Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri”. 95 Pasal 3 ayat (1) berbunyi : “Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. 96 Wawancara dengan Bapak Nurhasan Ismail selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 Februari 2016. 65 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Kemudian oleh PP tersebut bentuknya diserahkan kepada menteri untuk menetapkan, itu artinya diperintah oleh undang-undang juga, secara berjenjang. Kita menganut peraturan itu berjenjang, perintah untuk membuat akta itu dalam setiap perjanjian peralihan oleh UUPA, bentuk aktanya diperintahkan ke PP, kemudian PP memerintahkan kepada PERMEN. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1868 BW, tanah itu khusus, lex specialis, tidak tunduk sepenuhnya kepada BW. Jadi tetap diperintahkan oleh undang-undang, berjenjang dari UUPA terus ke PP terus ke PERMEN, jangan dipahami bahwa undang-undang sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1868 BW itu harus ditekan dalam suatu undang-undang. Berbeda dengan notaris yang tunduk kepada KUH Perdata, wajar, notaris itu sebagai pejabat umum pembuat akta perjanjian pada umumnya, kalau mengenai tanah harus tunduk kepada UUPA. Pasal 19 UUPA sudah memerintahkan bahwa setiap peralihan harus didaftarkan dengan akta, kemudian oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 siapa? Yaitu PPAT, kemudian bentuk aktanya itu diserahkan kepada menteri, ya sudah. Jadi tidak harus di sana ditentukan oleh undang-undang, ya sudah ditentukan oleh UUPA, aktanya itu harus dibuat, setiap peralihan harus didaftarkan, untuk didaftarkan harus ada akta. Dengan demikian oleh karena tanah itu lex specialis ya harus tunduk kepada UUPA. Jadi sebenarnya sudah dipenuhi pengertian akta otentik dari Pasal 1868 BW tersebut. Terkait dengan keharusan pembuatan akta PPAT dengan menggunakan blanko, ya sekarang apa bedanya dengan kontrak yang dibuat oleh perbankan, bedanya apa? Ya tidak ada bedanya, ini standar, standarnya dibuat oleh pemerintah, yang satu standar dibuat oleh suatu badan bukan pemerintah, samakan? standar kontrak itukan sama, malah itu sepihak, kalau inikan masih dibuat oleh pemerintah tidak dibuat oleh salah satu pihak. Itu satu, sekarang yang leasing-leasing sepeda motor itu, apakah masyarakat juga menentukan apa yang diinginkan? tidakkan, sudah ditentukan oleh lessornya, oleh perusahaan yang meleasingkan itu. Ya ini lebih bagus, sudah ditetapkan oleh pemerintah, tidak oleh salah satu pihak.” Senada dengan hal tersebut di atas, pembuatan akta PPAT sebenarnya merupakan administrasi pertanahan yang dikehendaki oleh negara dan bukan merupakan syarat sahnya perbuatan hukum tertentu terhadap tanah. Jabatan PPAT yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 merupakan pelaksanaan UUPA yaitu Pasal 19. Pasal tersebut mengatakan bahwa setiap peralihan dibuat dengan akta, sehingga pembuatan akta PPAT itu merupakan pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA. Keberadaan blanko PPAT saat ini hanya 66 merupakan standarisasi saja, sama dengan akta pendirian perseroan terbatas, yang formatnya telah ditentukan oleh pemerintah. Hal demikian dimaksudkan agar standar dan adanya keseragaman sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, tidak terjadi multitafsir terhadap isi akta, jadi orang menafsirkannya sama sehingga tidak terjadi masalah dikemudian hari.97 Menurut Sudikno Mertokusumo undang-undang sebagai sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu undang-undang dalam arti materil dan undang-undang dalam arti formil. Undang-undang dalam arti materil merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. Contoh undang-undang dalam arti materil misalnya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya. Di Indonesia berdasarkan konstitusi yang disebut undangundang dalam arti formil ialah peraturan yang dibuat oleh Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa 97 Wawancara dengan Bapak Djoko Sukisno selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 23 Februari 2016. 67 pembentukan undang-undang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.98 Pasal 1868 BW menyatakan bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Menurut Siti Ismijati Jenie, frasa “undang-undang” yang disebutkan dalam pasal tersebut tidak bisa diartikan sebagai undang-undang an sich, melainkan harus ditafsirkan secara lebih luas yaitu sebagai peraturan perundang-undangan. Apabila melihat realitas saat ini dimana akta PPAT sebagai akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum namun bentuknya ditentukan oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri, maka hal tersebut sesungguhnya telah memenuhi unsur Pasal 1868 BW sebagai akta otentik karena peraturan pemerintah dan peraturan menteri juga merupakan peraturan perundang-undangan.99 Berdasarkan hal tersebut di atas, frasa “undang-undang” dalam Pasal 1868 BW tidak dapat diartikan sebagai undang-undang dalam arti formil, yaitu undangundang yang dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden, melainkan harus diartikan sebagai undang-undang dalam arti materil, yaitu tidak hanya sebagai undang-undang an sich akan tetapi lebih luas yang mencakup juga peraturan perundang-undangan lainnya. Atas dasar tersebut maka meskipun bentuk akta PPAT yang tidak ditentukan secara langsung oleh undang-undang, melainkan 98 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 87-89. 99 Wawancara dengan Ibu Siti Ismijati Jenie selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 22 Februari 2016. 68 berdasarkan peraturan pemerintah dan peraturan menteri telah sesuai dan memenuhi ketentuan syarat akta otentik menurut Pasal 1868 BW. Hal ini ditambah lagi dengan tidak adanya terjemahan atau penafsiran yang otentik dari pemerintah, karena KUH Perdata sebagai hukum peninggalan penjajahan Belanda yang sejauh ini hanya merupakan terjemahan dari beberapa ahli, sehingga masih membuka berbagai penafsiran dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUH Perdata. Mengenai pembuatan akta otentik maka ada persyaratan formal yang harus dipenuhi antara lain harus dibuat oleh pejabat umum yang khusus diangkat untuk itu dengan akta yang dibuat dalam bentuk tertentu, sehingga dapat dipastikan bahwa tindakan dalam pembuatan akta didasarkan atas hukum yang berlaku, aktanya dapat dijadikan sebagai dasar telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut secara sah dan dapat dijadikan alat pembuktian di depan hukum. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa syarat akta otentik, yaitu : 1. Dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.100 Hal ini sejalan dengan pendapat Irawan Soerodjo bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu : 1. Dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 2. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum, 3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.101 100 Philipus M. Hadjon, 2001, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, hlm. 3 dalam Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 43. 101 Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, hlm. 148. 69 Dasar hukum untuk menentukan suatu akta itu adalah akta otentik atau bukan adalah dengan menggunakan parameter ketentuan Pasal 1868 BW. Menurut pasal 1868 BW bahwa : eene authentieke acte is de zoodanige welke in den wettelijke vorm is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is geschied (suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat).102 Dengan demikian ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik, yaitu : a) akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum, b) akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, c) pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.103 Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a) Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Akta yang dibuat oleh (door) pejabat umum, disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian dari pejabat umum yang dilihat dan disaksikan pejabat umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) pejabat umum, dalam praktek 102 AB Massier dkk, 2000, Personen en Familierecht (Hukum Orang dan Keluarga), KITLV Uitgeverij, Leiden, hlm. 4-5. 103 Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 43-44. 70 disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan pejabat umum. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.104 Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka pejabat umum tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak pejabat umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran pejabat umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat pejabat umum atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan pejabat umum.105 Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti pejabat umum sebagai pelaku dari akta tersebut, pejabat umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan pejabat umum seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan pejabat umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi hukum pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara 104 105 Ibid., hlm 44. Ibid. 71 perdata. Penempatan pejabat umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan pejabat umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan institusi pejabat umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan pejabat umum di Indonesia. Berdasarkan tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka :106 (1). Para pihak datang kembali ke pejabat umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. (2). Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan, hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim. Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat pejabat umum, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada pejabat umum yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat 106 Ibid., hlm. 45-46. 72 dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta otentik tersebut. Berdasarkan kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh pejabat umum, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta otentik.107 b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk yang sudah ditentukan dalam undang-undang. Mengenai hal ini harus diartikan undangundang dalam arti formil yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 angka 3 undang-undang tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.108 Ketika kepada para notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang. Pengaturan pertama kali notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. Nomor 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga notaris lahir di Indonesia, berdasarkan asas konkordansi maka 107 Ibid. Ibid., hlm. 53-54. Lihat juga dalam Habib Adjie, Akta PPAT Bukan Akta Otentik, Majalah Renvoi, Edisi Oktober Tahun 2007, hlm. 84. 108 73 Reglement atau Staatsblad Tahun 1860 Nomor 3 tersebut adalah setara tingkatannya dengan undang-undang.109 Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris atau yang biasa disebut UUJN, keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.110 Berbeda dengan Akta Notaris yang bentuknya telah diatur oleh undangundang, akta PPAT sampai dengan saat ini belum diatur keberadaannya dalam suatu undang-undang melainkan hanya dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri.111 c) Pejabat umum oleh - atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. 109 Wawancara dengan Bapak Nurhadi Darussalam selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 2016. 110 Pasal 38 berbunyi : “(1) Setiap akta Notaris terdiri atas : a. awal akta atau kepala akta; b. badan akta; dan c. akhir atau penutup akta. (2) Awal akta atau kepala akta memuat : a. judul akta; b. nomor akta; c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup akta memuat: a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7); b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian. (5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.” 111 Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit. 74 Wewenang Notaris dan PPAT meliputi 4 (empat) hal, yaitu:112 (1) Berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu : Wewenang notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas, misalnya PPAT mempunyai wewenang terbatas, yaitu hanya membuat 8 (delapan) jenis akta saja. (2) Berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Pejabat umum notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan jual beli yang diikuti dengan akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjualnya kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu tentu notaris akan melihat (asli surat) dan meminta fotocopy atas indentitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta oleh Notaris dalam pembuatan akta notaris, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang yang namanya 112 Ibid., hlm. 54-62. 75 tersebut dalam KTP dan sertifikat bukan orang yang sama, artinya pemilik sertifikat bukan orang yang sesuai dengan KTP, hal ini bisa terjadi, karena banyak kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam sertifikat hanya tertulis nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas lain. Kejadian seperti ini bagi notaris tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari segi yang lain notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik) dianggap memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan identitas diri penghadap dan bukti kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata palsu, maka hal ini bukan tanggungjawab notaris, tanggungjawabnya diserahkan kepada para pihak yang menghadap. (3) Berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat. Pejabat umum notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat. Baik notaris dan PPAT mempunyai tempat kedudukan dan wilayah kerjanya masing-masing. Misalnya untuk notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi, misalnya notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau 76 kota lain dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan : a). Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukkanya, maka notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka notaris yang bersangkutan harus membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto. b). Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta. c). Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan notaris dalam wilayah jabatan satu provinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan peluang kepada notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar provinsi (Pasal 17 Huruf a UUJN), tapi untuk saling menghormati sesama notaris di kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada notaris. Adanya ketentuan tersebut bagi notaris yang mempunyai tempat kedudukan di 77 kota atau kabupaten dan wilayah kerja provinsi, sebenarnya telah menutup peluang untuk mengambil alih kewenangan PPAT oleh notaris, karena tempat kedudukan PPAT sesuai dengan tempat kedudukan Kantor Pertanahan Kota atau Kabupaten. (4) Berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Pejabat umum notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris dan PPAT yang sedang cuti atau diberhentikan sementara waktu tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta. Khusus untuk notaris, dalam Pasal 1 angka 2 UUJN dikenal adanya Pejabat Sementara Notaris, yaitu seseorang yang untuk sementara waktu menjabat sebagai notaris untuk menjalankan jabatan notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara. Ketentuan pasal ini rancu, bahwa seorang notaris melaksanakan tugas jabatannya, karena masih ada wewenang yang melekat pada dirinya, dengan karena masih ada wewenang, maka notaris yang bersangkutan dapat mengangkat notaris pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN), sedangkan notaris yang meninggal dunia, diberhentikan atau diberhentikan sementara waktu sudah tidak ada wewenang yang melekat pada dirinya, sehingga tidak perlu adanya pejabat sementara notaris. Untuk notaris yang meninggal dunia atau diberhentikan seharusnya protokol tersebut langsung diserahkan kepada notaris lain untuk memegang protokolnya, dan untuk notaris yang diberhentikan sementara, memang yang bersangkutan sedang tidak mempunyai kewenangan untuk 78 sementara waktu, yang suatu saat dapat diangkat kembali yang sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUJN. Berdasarkan analisis atas syarat akta otentik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1868 BW, maka dapat disimpulkan bahwa akta-akta tanah yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan akta otentik. Kendati oleh peraturan perundang-undangan telah diklaim bahwa akta PPAT sebagai akta otentik, namun karena tidak memenuhi syarat otentisitas suatu akta yang ditentukan bentuknya oleh undang-undang sebagaimana bunyi Pasal 1868 BW, maka akta PPAT tidak termasuk sebagai akta otentik. Kesimpulan senada juga disampaikan oleh Habib Adjie yang mengatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1868 BW, sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1868 BW, karena dibuat tidak berdasarkan undang-undang tetapi hanya mendasarkan pada aturan hukum setingkat peraturan pemerintah dan peraturan menteri, sehingga akta PPAT bukan sebagai akta otentik, melainkan sebagai perjanjian biasa setingkat dengan akta di bawah tangan.113 B. Eksistensi jabatan PPAT dalam membuat akta otentik terkait dengan keharusan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. 113 Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 274. 79 Jabatan PPAT telah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. PP Nomor 10 Tahun 1961 tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT melainkan hanya disebut dengan nama penjabat. Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 menyebutkan : Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam peraturan pemerintah ini disebut : penjabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. Penunjukan penjabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961. Dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Agraria tersebut menyatakan : (1) Yang dapat diangkat sebagai penjabat adalah : a. Notaris; b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah; c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang penjabat; d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria. (2) Permohonan untuk diangkat menjadi penjabat disampaikan kepada Menteri Agraria, dengan perantaraan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah. 80 Pertama kalinya penyebutan jabatan PPAT ke dalam undang-undang yaitu melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut menyatakan bahwa pemindahan hak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang didaftarkan pada kantor agraria kabupaten dan kotamadya. Pada penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan : sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta PPAT, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta PPAT. Pendaftaran peralihan hak dalam pewarian cukup didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris atau surat wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya undang-undang rumah susun yang baru, yaitu UndangUndang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun tidak ditemukan penyebutan PPAT dalam pasal-pasalnya. Penyebutan PPAT ada di pasal penjelasannya saja. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan bahwa proses jual beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, dilakukan melalui akta jual beli (AJB). Di dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa AJB dibuat dihadapan PPAT untuk SHM (sertipikat hak milik) Sarusun, dan notaris untuk SKBG (sertipikat kepemilikan bangunan gedung) Sarusun sebagai bukti peralihan hak. Perkembangan berikutnya untuk pertama kali keberadaan jabatan PPAT ditegaskan sebagai pejabat umum yaitu melalui Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang menyatakan bahwa : “pejabat pembuat akta tanah yang selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang 81 diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggunan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dalam Pasal 1 angka 5 juga menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah. Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa : “pejabat pembuat akta tanah sebagaimana disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah “pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”. Tugas pokok PPAT adalah membantu pelaksanaan pendaftaran tanah oleh BPN sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yaitu : (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran tanah dengan membuatkan akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah 82 susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah: a. Jual beli b. Tukar menukar; c. Hibah d. Pemasukan ke dalam perusahaan e. Pembagian hak bersama f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik g. Pemberian hak tanggungan; dan h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemerintah menurut Pasal 19 ayat (2) UUPA, yaitu : a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah tersebut, c. Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagi alat pembuktian yang kuat. Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Yaitu: 1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (opzet atau initial registration). Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.114 Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara 114 Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. 83 sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadis. Dalam Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi : a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; b. Pembuktian hak dan pembukuannya; c. Penerbitan sertipikat; d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen. 2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (bijhouding atau maintenance). Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.115 Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.116 Perubahan data yuridis menurut Pasal 94 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, berupa: 115 116 Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. 84 a. Peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya; b. Peralihan hak karena pewarisan; c. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perusahaan atau koperasi; d. Pembebanan hak tanggungan; e. Peralihan hak tanggungan; f. Hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan; g. Pembagian hak bersama; h. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan ketua pengadilan; i. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama; j. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.117 Perubahan data fisik menurut Pasal 94 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, berupa: a. Pemecahan Bidang tanah, b. Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah, c. Penggabungan dua atau lebih bidang tanah. Tugas PPAT yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah :118 a. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan 117 118 Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Urip Santoso, 2011, Pendaftaran…, Op.Cit., hlm. 345. 85 Kabupaten/Kota setempat mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan memperlihatkan setipikat asli. b. PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa surat setor bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. c. PPAT wajib menjelaskan kepada penerima hak dalam pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun mengenai surat pernyataan yang menyatakan bahwa: 1. Yang bersangkutan dengan pemindahan hak tesebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah Absentee (guntai) menurut ketentuan perundanundangan yang berlaku. 3. Yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada nomor 1 dan 2 tersebut tidak benar, maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebur menjadi objek landreform; dan 4. Yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukum apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada nomor 1 dan 2 tidak benar. d. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. e. PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran pemindahan dan pembebanan Hak tanggungan atas hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat selambatlambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan di atas menunjukan bahwa kedudukan PPAT adalah sebagai pejabat umum, namun dalam peraturan perundangundangan tersebut tidak dijelaskan pengertian apa yang dimaksud dengan pejabat umum. Menurut R. Soegondo Notodisoerjo mengatakan bahwa pejabat umum adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan 86 (gezag) dari pemerintah, di mana dalam jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.119 Istilah pejabat umum120 merupakan terjemahan dari istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 BW. Pasal 1 PJN menyebutkan bahwa :121 De notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelinggen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven, alles voorzoover hep opmaken dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorhebehouden is (notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain). Pasal 1868 BW menyebutkan :122 Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorn is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is gesschied (suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat). 119 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 44. 120 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusan nomor 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2015 menyebut pejabat umum sebagai public official. 121 GHS Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 31. 122 Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 15-16. Lebih lanjut beliau menjelaskan istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi pejabat umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. 87 Menurut kamus hukum salah satu arti dari ambtenaren adalah pejabat. Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika openbare ambtenaren diartikan sebagai pejabat publik. Khusus berkaitan dengan openbare amtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik.123 Menurut E.Utrecht, jabatan (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan pekerjaan tetap ialah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/ seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubah begitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban, walaupun pejabatnya berganti-ganti.124 Baru pertama kali semenjak diterbitkannya UUPA, dasar hukum yang secara spesifik mengatur tentang jabatan PPAT adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan "peraturan jabatan 123 124 Ibid., hlm. 16. E. Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, hlm. 159. 88 PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah". Bunyi pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP Nomor 37 Tahun 1998, yang kemudian disusul oleh peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pada konsideran menimbang Huruf b PP Nomor 37 Tahun 1998 dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan peraturan pemerintah tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran. Pembentukan PP Nomor 37 Tahun 1998 tersebut memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah. Peran PPAT dalam membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah itu disebutkan di dalam Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yaitu, "Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Kata-kata “dibantu” telah menimbulkan salah pengertian pada 89 sementara PPAT maupun BPN. PPAT seakan-akan adalah merupakan pembantu dalam arti bawahan kepala kantor pertanahan. Terhadap hal tersebut di atas Habib Adjie berpendapat bahwa PPAT sebagai pejabat umum berada sebagai subordinasi kepala kantor pertanahan yaitu hanya sebagai badan atau pejabat tata usaha negara.125 Tugas PPAT membantu kepala kantor pertanahan harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang menurut Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 ditugaskan kepada kepala kantor pertanahan. PPAT sebagai pejabat umum bersifat independen/imparsial/tidak memihak, akuntabilitasnya kepada masyarakat, negara, dan tuhan, dan kewenangan PPAT untuk membuat akta PPAT melekat pada jabatan PPAT itu sendiri, dan bukan kewenangan secara atribusi, delegasi atau mandat dari BPN.126 Oleh karena itu kepala kantor pertanahan, bahkan siapapun tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya membuat akta. Keberadaan PPAT harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan proses pendaftaran tanah, di mana BPN, PPAT, panitia adjudikasi dan pejabat lainnya yang terkait menjalankan kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dimana adanya keterkaitan serta saling mendukung antar kewenangannya tersebut demi tercapainya tujuan pendaftaran tanah. Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan tersebut di atas terlihat kedudukan jabatan PPAT sebagai suatu jabatan tersendiri dengan kewenangan yang melekat padanya sesuai peraturan perundang-undangan. 125 126 Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran… Op.Cit., hlm. 102. Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 102-103. 90 Menurut Jimly Asshiddiqie, harus dibedakan antara pertanggungjawaban fungsional PPAT dari pengertian pertanggungjawaban hukum dan pertanggungjawaban profesional PPAT. Dalam menjalankan fungsinya, PPAT tidak bertanggung jawab secara fungsional kepada siapapun, termasuk kepada pejabat pemerintah yang mengangkatnya. PPAT hanya bertanggung jawab secara hukum kepada hakim di pengadilan apabila ia disangka dan dituduh melakukan tindak pidana atau jika ia diminta bertanggung jawab secara professional menurut norma-norma etika profesinya sendiri melalui dewan kehormatan atau komisi etika yang dibentuk oleh organisasi profesinya sendiri.127 Surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian seorang PPAT hanya mempunyai sifat administratif. Secara administratif PPAT tetap bertanggung jawab kepada pemerintah yang mengangkatnya. Artinya jika ia tidak memenuhi syarat administratif, ia tidak dapat diangkat menjadi PPAT, sebaliknya jika ia gagal memenuhi bukti-bukti lain yang dapat dijadikan alasan pemberhentiannya dari jabatan PPAT, maka ia akan diberhentikan dari jabatan PPAT oleh pejabat pemerintah yang mengangkatnya sebagai PPAT. Oleh karena itu PPAT haruslah dikembangkan sebagai pejabat tersendiri yang bersifat independen khusus mengenai aktifitas pembuatan akta pengalihan dan pelepasan hak atas tanah serta pembebanan hak tanggungan atas tanah.128 Dengan demikian PPAT sebagai pejabat umum berkedudukan independen (mandiri), imparsial (tidak memihak), bukan bawahan atau subordinasi pihak lain yang mengangkatnya, mempunyai 127 Jimly Asshiddiqie, Independensi dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah, Majalah Media Notariat Edisi April-Juni Tahun 2003, hlm. 74. 128 Ibid., hlm. 75. 91 wewenang yang telah ditentukan berdasarkan aturan hukum yang mengatur jabatan tersebut, serta akutabilitasnya kepada masyarakat, negara dan Tuhan.129 Senada dengan apa yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie tersebut di atas, Azmi Fendri berpendapat bahwa salah satu cara yang mesti dilakukan untuk menjadikan PPAT sebagai pejabat yang independen yaitu harus diatur dalam undang-undang tersendiri, jadi tidak lagi diatur ke dalam PP. Hal ini dikarenakan PP Nomor 37 Tahun 1998 merupakan produk eksekutif (pemerintah). Ilmu perundang-undangan menjelaskan bahwa peraturan pemerintah dibuat untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, sedangkan PP Nomor 37 Tahun 1998 tidak ada melaksanakan ketentuan undang-undang manapun, PP Nomor 37 Tahun 1998 merupakan policy rules yang langsung dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi artinya keberadaan PP Nomor 37 Tahun 1998 tidak merujuk kepada peraturan yang ada di atasnya, melainkan murni atas kemauan pemerintah. Hal ini menimbulkan kesan bahwa PPAT berada di bawah eksekutif dalam hal ini BPN. Apabila ingin menjadikan PPAT sebagai pejabat yang independen memang harus diatur dalam undang-undang tersendiri, sehingga bisa bebas dari segala bentuk intervensi. Dengan demikian kalau sudah diatur dalam undang-undang maka PPAT akan mempunyai posisi hukum yang lebih kuat jika dibandingkan pada saat ini yang hanya diatur oleh PP. Kalau jabatan PPAT tetap masih diatur dalam PP maka PPAT akan sangat sulit untuk bisa menjadi pejabat yang independen. Selama ini PPAT tidak bisa keluar dari yang namanya intervensi daripada eksekutif dalam hal ini adalah BPN. Sebagai contoh di mana PPAT itu tidak 129 Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran… Op.Cit. 92 mempunyai independensi adalah pada saat membuat akta-akta tanah yang menjadi kewenangannya diatur semua oleh BPN, formatnya seperti ini, ukurannya seperti ini, sampai kepada hal-hal yang sifatnya teknis diatur oleh BPN. Apabila aturan tersebut tidak dilaksanakan oleh PPAT, maka akta PPAT tidak akan diproses di BPN karena dianggap tidak mematuhi apa yang sudah diedarkan oleh BPN yang kemudian diinstruksikan kepada semua BPN yang ada di daerah.130 PPAT sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah kewenangannya adalah membuat serta mengesahkan akta pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, kemudian setelah dibuatkan akta pemindahan hak tersebut dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten atau kota. Mekanisme tersebut memperlihatkan bahwa perbuatan atau tindakan hukum berupa pendaftaran tanah yang berasal dari pemindahan hak yang berupa jual beli harus didahului dengan pembuatan akta jual beli tanah dan disahkan oleh seorang pejabat yang disebut PPAT. PPAT merupakan pejabat umum yang membantu kepala kantor pertanahan kabupaten/kota yang berkaitan dengan sah atau tidaknya akta pemindahan hak atas tanah atau dengan kata lain PPAT dapat dikatakan sebagai pejabat yang melaksanakan urusan tugas pemerintahan yang berupa rangkaian proses pendaftaran hak atas tanah, karena tanpa adanya akta dari PPAT maka tanah yang bersangkutan itu tidak dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten atau kota. 130 Wawancara dengan Bapak Azmi Fendri selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tanggal 14 Maret 2016. 93 Berdasarkan uraian tersebut di atas timbul pertanyaan apakah PPAT merupakan pejabat tata usaha negara dan apakah akta PPAT dapat dijadikan objek sengketa di peradilan tata usaha negara. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijumpai adanya istilah-istilah misalnya badan atau pejabat tata usaha negara, keputusan tata usaha negara, sengketa tata usaha negara, dan sebagainya. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan yang dimaksud badan atau pejabat tata usaha negara yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Penjelasan Pasal 1 angka 1, bahwa urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat eksekutif, dan yang dimaksud dengan pemerintah adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakannya oleh para badan dan jabatan/pejabat tata usaha negara yang bukan pembuatan peraturan (wetgeving) dan mengadili (rechtspraak).131 Akan tetapi dalam praktik tidaklah gampang untuk menentukan secara limitatif pejabat atau badan tata usaha negara sebagai tergugat dalam sengketa tata usaha negara, karena di dalam praktiknya ada tugas-tugas eksekutif yang dilimpahkan pelaksanaanya kepada lembaga legislatif maupun yudikatif, malahan ada kalanya dilimpahkan kepada pihak lembaga swasta, hal ini terjadi karena sistem ketatanegaraan tidak mengenal pemisahan kekuasaan atau 131 Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Introduction to The Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 5. 94 separation of power sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu melainkan pendistribusian kekuasaan atau distribution of power.132 Menurut Indroharto bahwa apa dan siapa yang dimaksud dengan badan atau jabatan tata usaha negara itu menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, ukurannya ditentukan fungsi yang dilaksanakan oleh badan atau jabatan tata usaha negara pada saat tindakan hukum itu dilakukan. Apabila suatu tindakan hukum yang dilakukan pada saat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa dan siapa saja yang melaksanakan fungsi itu, pada saat itu dapat dianggap sebagai suatu badan atau jabatan tata usaha negara, dengan demikian ukuran yang digunakan adalah bersifat fungsional.133 Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 memberikan PPAT kewenangan untuk membuat dan mengesahkan akta peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang kemudian setelah dibuatkan akta tersebut barulah dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota. Rangkaian perbuatan atau tindakan hukum berupa pendaftaran tanah yang berasal misalnya dari jual beli, harus didahului oleh pembuatan akta jual beli tanah dan pengesahannya oleh PPAT, tanpa itu tanah yang bersangkutan tidak dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota. Dengan adanya fungsi yang demikian itu, maka kapasitas PPAT dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, yaitu 132 Darwan Prinst, 1993, Strategi Memenangkan Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 27. 133 Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 64. 95 menjalankan kegiatan urusan pemerintahan yang berupa rangkaian proses pendaftaran tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, semua itu merupakan kegiatan urusan pemerintahan. Hal tersebut tidak berarti secara langsung PPAT dan akta PPAT dapat atau bisa secara langsung digugat atau digunakan sebagai objek sengketa di peradilan tata usaha negara.134 Peradilan tata usaha negara merupakan peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa administrasi antar badan atau pejabat tata usaha negara dengan individu atau badan hukum perdata sehingga peradilan tata usaha negara berfungsi sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap tindakan pemerintah, sejalan dengan konsep negara hukum di mana kedudukan antara masyarakat dengan pemerintah adalah sejajar, karena itu di Indonesia sebagai negara hukum harus ada peradilan tata usaha negara maka didirikanlah peradilan tata usaha negara oleh pemerintah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sampai sekarang telah mengalami 2 (dua) kali perubahan yaitu, pertama diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya dilakukan perubahan yang kedua yaitu diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua 134 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi PPAT Menurut PP 10 Tahun 1961, Airlangga Press, Surabaya, hlm. 18. 96 Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Objek Sengketa di peradilan tata usaha negara adalah keputusan/penetapan tertulis atau yang disamakan dengan itu, yang dikeluarkan atau ditolak, yaitu dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha negara seperti tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa keputusan atau penetapan tata usaha negara yang dapat disengketakan di peradilan tata usaha negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, keputusan tertulis. Keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha negara haruslah dalam bentuk tertulis. Hal ini adalah untuk memudahkan dari segi pembuktian. Bentuk tertulis itu dapat juga berupa nota dinas atau memo dan keputusan itu haruslah bersifat:135 1. Konkret. Obyek yang akan diputuskan dalam surat keputusan tata usaha negara itu tidak bersifat abstrak tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, misalnya : penerbitan sertifikat tanah oleh BPN atas nama B; 2. Individual. Keputusan pejabat tata usaha negara itu tidak ditujukan kepada umum, tetapi untuk orang tertentu, baik nama atau alamat yang dituju, apabila yang dituju oleh keputusan tata usaha negara itu lebih dari seorang, maka nama tiap-tiap orang itu disebutkan dalam keputusan tata usaha negara tersebut, misalnya: nama-nama orang yang tanahnya terkena pelebaran jalan harus disebut satu per satu dalam lampiran surat keputusan; 3. Final. Keputusan tata usaha negara itu sudah dapat dilaksanakan dan tidak perlu meminta persetujuan atasan ataupun instansi lain. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan 135 Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum… Op.Cit., hlm. 137-138. 97 atasan/instansi lain belum bersifat final, karena belum dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak bersangkutan.136 Misalnya, pemberhentian A seorang Dosen Kopertis sebagai tenaga pengajar oleh Rektor PTS (Keputusan Rektor bagi Dosen Kopertis) yang bersangkutan itu belum final, karena masih memerlukan persetujuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, Keputusan yang bersifat negatif, yaitu pejabat atau badan tata usaha tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, sedangkan hal itu menjadi kewenangannya untuk dapat mengeluarkan keputusan, perbuatan tersebut sama dengan telah menolak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986. Apabila peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak mengatur jangka waktu, maka setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan yaitu sejak diterimanya permohonan tersebut itu, maka pejabat atau badan tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Ketiga, dibuat oleh pejabat atau badan tata usaha negara secara sepihak. Keputusan yang dapat menjadi obyek sengketa dalam peradilan tata usaha negara, haruslah dikeluarkan oleh pejabat atau Badan tata usaha negara secara sepihak walaupun sebelumnya ada permohonan. Keempat, menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum telah timbul, apabila dengan dikeluarkannya keputusan atau penetapan itu menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata. Seluruh elemen persyaratan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 harus terpenuhi secara kumulatif, barulah keputusan atau penetapan 136 Vide Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. 98 pejabat tata usaha negara tersebut menjadi kewenangan mengadili dari pengadilan tata usaha negara.137 Keputusan yang merupakan salah satu instrumen yuridis bagi pemerintahan untuk dapat melakukan suatu tindakan dan keputusan pemerintah secara teoritis telah dikenal dengan istilah Beschikking yang dapat diberikan batasan antara lain, beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan atas kewenangan dengan maksud terjadi perubahan hukum, dan tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintah dan dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan wewenang yang ada pada organ itu, dan perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan alat-alat pemerintah berdasarkan kekuasaan istimewa.138 Berangkat dari pengertian tentang batasan beschikking tersebut dapat diartikan beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan dua belah pihak, dan bersifat hukum publik diperoleh dari wewenang atau kekuasaan atau kekuasaan istimewa, dengan maksud terjadi perubahan dalam lapangan hubungan hukum. Karakteristik beschikking antara lain, bersifat hukum publik, seperti juga halnya setiap keputusan administrasi lainnya, beschikking selalu dikeluarkan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh suatu ketentuan hukum administrasi negara, dan bersifat sepihak, seperti suatu keputusan administrasi 137 Bambang Yunarko, Kedudukan Jabatan dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Sengketa Di Peradilan Tata Usaha Negara, Jurnal Perspektif Edisi September Tahun 2013, hlm. 189-190. 138 S.F. Marbun dan Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 75. 99 lainnya beschikking ternyata juga bersifat sepihak, sekalipun dikarenakan adanya permohonan, bersifat individual, konkret dan final, artinya individual adalah untuk orang tertentu, konkret artinya tidak abstrak dan final artinya sudah definitif sifatnya dan tidak memerlukan lagi persetujuan atasan atau instansi lain.139 Berdasarkan uraian di atas bahwa Akta PPAT bukan suatu akta yang dilahirkan berdasarkan perbuatan hukum publik akan tetapi di lahirkan berdasarkan hukum perdata, sehingga akta PPAT tidak dapat digolongkan sebagai suatu beschikking yang bersifat sepihak dan bersifat hukum publik sehingga akta PPAT bukan merupakan suatu beschikking, karenanya akta PPAT tidak dapat dijadikan obyek sengketa di peradilan tata usaha negara sekalipun PPAT berfungsi pada saat itu sebagai pejabat tata usaha negara. Andaikan dikatakan bahwa perbuatan mengesahkan akta tersebut merupakan produk hukum yang telah dituangkan dalam bentuk beschikking, akan tetapi beschikking yang demikian tetap sebagai perbuatan hukum perdata yang tidak bersifat sepihak dimana PPAT tidak bisa memaksakan para pihak yang terkait dalam keputusannya, maka disinilah letak karakter hukum perdatanya akta yang dibuat oleh PPAT, hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 2 Huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986.140 Hal ini senada dengan pendapat dari Logemann tentang konsep ambt (jabatan) bahwa jika dikaitkan dengan tindak pemerintahan, perbuatan hukum keperdataan 139 140 Bambang Yunarko, Kedudukan Jabatan… Op.Cit., hlm. 189. Ibid., hlm. 193. 100 yang dilakukan oleh organ administrasi negara tidak termasuk dalam lapangan hukum administrasi.141 Kedudukan jabatan PPAT dan aktanya sebagaimana tersebut di atas ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia :142 1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 27 Juli 2001 : bahwa akta-akta yang diterbitkan oleh PPAT adalah bukan keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Sub. 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa tata usaha negara, karena meskipun dibuat oleh PPAT sebagai pejabat tata usaha negara, namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak sebagai pejabat umum dalam bidang perdata. 2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Februari 2000 : PPAT adalah pejabat tata usaha negara karena melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, jo. Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Agraria nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi (akta jual beli) yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat keputusan tata usaha negara. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis PPAT dan akta PPAT, yaitu : 1. PPAT sebagai pejabat tata usaha negara, karena menjalankan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang pertanahan atau dalam bidang pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT sesuai aturan hukum yang berlaku. 2. Akta PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara, meskipun PPAT dikualifikasikan sebagai pejabat tata usaha negara. 141 142 Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum… Op.Cit., hlm. 23. Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 12-13. 101 3. Dalam kedudukan sebagai pejabat tata usaha negara, PPAT tetap bertindak sebagai pejabat umum dalam bidang hukum perdata. 4. Akta PPAT tidak memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara, karena akta PPAT bersifat bilateral (kontraktual), sedangkan keputusan tata usaha negara bersifat unilateral. Ketentuan-ketentuan yang selama ini mengatur jabatan PPAT dianggap belum cukup memadai, karena walaupun kedudukan, nama dan status PPAT sebagai pejabat umum tersebut telah disebutkan dengan tegas dalam undangundang tentang rumah susun maupun undang-undang tentang hak tanggungan, tetapi ketentuan mengenai peraturan jabatan PPAT hanya diatur dengan peraturan perundang-undangan setingkat peraturan pemerintah yang masih belum memadai untuk tugas dan peranan PPAT. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tersebut kurang tepat secara hukum. PP Nomor 37 Tahun 1998 sama sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang melainkan atas perintah Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.143 Jika merujuk kepada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan “peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Oleh karena itu sudah seharusnya suatu peraturan pemerintah dikeluarkan atas perintah dari suatu undang-undang bukan peraturan pemerintah. 143 Pasal 7 ayat (3) berbunyi : “Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah tersendiri”. 102 Kontoversi keberadaan jabatan PPAT yang hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan setingkat peraturan pemerintah menjadi permasalahan penting. Hal tersebut menjadi menarik menyusul keberadaan Pasal 15 ayat (2) Huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa "Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan". Penjelasan dari Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN tersebut hanya dinyatakan cukup jelas. Ketentuan tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari berbagai kalangan, khususnya pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah, DPR, Notaris dan PPAT, serta BPN sendiri maupun masyarakat secara luas. Pada akhirnya UndangUndang Jabatan Notaris menimbulkan pro dan kontra khususnya pada ketentuan yang berkaitan dengan pertanahan yang juga mengakibatkan banyak tafsir yang berbeda-beda. Apakah dengan lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 khususnya Pasal 15 Huruf f telah memberi kontribusi lebih bagi seorang notaris untuk ambil peran di bidang pertanahan secara menyeluruh. Sebuah paradigma baru bahwa selama ini pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan sebagai objek yang selama ini menjadi wewenang PPAT, akan bergeser kepada fungsi penuh seorang notaris yang sebelumnya hanya pada pembuatan akta autentik mengenai aspek keperdataan di luar bidang pertanahan.144 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri 144 Ady Kusnadi dkk, 2010, Masalah Hukum Jabatan Notaris Dalam Kegiatan Pertanahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 3. 103 yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menyusul diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, kedudukan PPAT pun kemudian dipermasalahkan karena dinyatakan telah melekat secara otomatis pada jabatan notaris berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f tersebut. Ketentuan tersebut menimbulkan konflik dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan PPAT sebagai pejabat yang diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah. Sistem perundang-undangan mengenal adanya hierarchie (kewerdaan atau urutan). Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi, ada yang mempunyai tingkatan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Kalau sampai terjadi konflik, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundangundangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang akan didahulukan. Ini merupakan asas yang dikenal dengan adagium yang berbunyi lex superior derogate legi inferiori.145 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, jika terjadi konflik hukum yang mengatur hal yang sama maka dapat diselesaikan dengan menggunakan asas hukum, yaitu: Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang145 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal… Op.Cit., hlm. 92. 104 undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama. Selain itu dapat juga menggunakan asas Lex superior derogate legi inferiori sebagaimana telah diijelaskan sebelumnya, yaitu jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan. Berdasarkan kedua asas hukum tersebut maka dapat menjadi dasar untuk mengesampingkan peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT kedudukannya lebih rendah dari UUJN karena bentuknya hanya peraturan pemerintah. Sesungguhnya antara jabatan PPAT dan jabatan notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, selama ini dua jabatan tersebut berada pada instansi pemerintahan yang berbeda termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya serta hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan jabatan tersebut, walaupun dua jabatan itu dapat disandang sekaligus oleh seseorang karena pada umumnya seorang notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam pun selalu menganggap bahwa kedua jabatan ini merupakan satu kesatuan. Pemisahan antara dua jabatan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, menyimpan akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 105 Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN sendiri mengakui keberadaan suatu jabatan tertentu yang telah ditetapkan dengan undangundang. Misalnya pembuatan akta yang pemindahan hak atas tanah dan/atau akta pembebanan hak tanggungan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang harus dibuat dengan akta PPAT. Jika dicermati bunyi akhir pasal tersebut, maka sesungguhnya pejabat lain yang berwenang pula untuk membuat akta otentik dikehendaki supaya pejabat atau orang lain tersebut ditetapkan dengan undang-undang, tentu saja hal ini akan menjadi masalah bagi PPAT yang juga berwenang untuk membuat akta otentik di bidang pertanahan namun hanya diatur melalui peraturan pemerintah. Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan notaris, pada huruf g melarang notaris merangkap jabatan sebagai PPAT di luar wilayah jabatan notaris. Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan antara jabatan notaris dan jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan jabatan notaris dengan jabatan PPAT dalam Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah otomatis melekat jabatan PPAT dalam jabatan notaris sekaligus, sehingga wilayah jabatan notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul larangan seperti itu. Memang jika dibaca secara selintas ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f maka akan terlihat bahwa pada jabatan notaris melekat juga jabatan PPAT sekaligus. Penjelasan pasal tersebut hanya menyatakan cukup jelas, sehingga jika dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f tidak 106 memberikan kepastian hukum karena tidak mampu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa saja yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut dan bagaimana kewenangan di bidang pertanahan itu dilaksanakan. Akibatnya Dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan menimbulkan penafsiran yang beragam terhadap ketentuan pasal tersebut, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pasalnya karena dianggap cukup jelas, termasuk bagaimana ketentuan itu dilaksanakan secara operasional. Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f tersebut didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden, atau setidaknya menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya, akta pengikatan jual beli, akta sewa menyewa. Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN, sampai saat ini tidak dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan perundangundangan lain yang mengatur hal yang sama. Akibat kondisi demikian, maka terjadi apa yang disebut dengan contra conseutudinem non obligat yaitu peraturan yang bertentangan tidak dapat mengikat.146 146 Farida Patittingi, Keberadaan Jabatan PPAT Bersumber Pada UUPA, Makalah di sampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan yang diselenggarakan PP IPPAT bekerjasama 107 PPAT sebagai jabatan yang memang sejak semula dimaksudkan untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum baik peralihan maupun pembebanan hak atas tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut. Eksistensi PPAT harus memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas sehingga akta yang dilahirkan dari pelaksanaan jabatan tersebut, tidak dipermasalahkan di kemudian hari dan tidak menimbulkan kerugian kepada masyarakat. Adanya permasahan yang timbul dari lemahnya dasar hukum jabatan PPAT sebagaimana yang telah dijelaskan di atas maka perlu adanya diambil langkah penyelesaian untuk mengakhirinya. Pengaturan keberadaan PPAT dapat disatukan dengan notaris karena peluang untuk hal tersebut terbuka menyusul diakomodasinya kewenangan pembuatan akta pertanahan oleh notaris melalui Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN. Hal tersebut juga diamini oleh Nurhasan Ismail bahwa dua jabatan (notaris-PPAT) yang melekat kepada satu orang tersebut agar disatukan saja supaya ke depan tidak ada lagi dualisme jabatan. Hal ini dikarenakan orang yang memegang jabatan tersebut sama, produknya juga sama, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum, sehingga dengan adanya penggabungan demikian maka masingmasing jabatan tersebut tidak ada lagi terkesan rebutan.147 Selain itu dengan adanya penyatuan kedua jabatan antara notaris dan PPAT, maka dualisme jabatan PPAT yang di satu sisi sebagai pejabat umum namun di sisi lain juga sebagai pejabat tata usaha negara dapat diakhiri, oleh karena kedua jabatan tersebut dengan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya tanggal 14 Juli 2012 di Jakarta, hlm. 9. 147 Wawancara dengan Bapak Nurhasan Ismail selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 Februari 2016. 108 memiliki ciri-ciri yang berbeda, ciri yang melekat kepada pejabat umum ialah mandiri dan independen dalam melaksanakan tugasnya, sedangkan ciri yang melekat pada pejabat tata usaha negara sebagai administrasi negara memiliki serangkaian hirarkis jabatan yang berarti tidak ada independensi dalam melaksanakan tugasnya. Di Belanda para notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang membuat akta untuk setiap perjanjian atau perbuatan hukum, termasuk akta hipotik dan akta-akta mengenai pertanahan. Memang sebelum berlakunya BW (yang di dalamnya mengatur hipotik) pejabat yang membuat akta pertanahan adalah pejabat balik nama (overschrijvingsambtenaar) berdasarkan stb. 1834 nomor 27. Penunjukan overschrijvingsambtenaar sebagai PPAT bersifat sementara karena pada waktu itu BW dan PJN belum dibentuk. Setelah BW dan PJN diterbitkan pada tahun 1848 dan 1860 maka pembuatan akta-akta tanah, termasuk akta hipotik dilakukan oleh notaris, namun karena pada waktu itu para notaris belum tersebar ke seluruh Hindia Belanda maka di beberapa daerah pembuatan akta tanah tetap dilakukan oleh overschrijvingsambtenaar. Pada dasarnya pelimpahan tugas kepada overschrijvingsambtenaar dalam pembuatan akta tanah hanya bersifat sementara dan untuk selanjutnya berdasarkan PJN ditentukan hanya menjadi kewenangan notaris selaku satu-satunya pejabat umum sebagaimana disebutkan Pasal 1868 BW dan Pasal 1 PJN.148 148 Pasal 1 PJN berbunyi “notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan 109 Dengan demikian penunjukan PPAT sebagai pembuat akta otentik di bidang pertanahan adalah bertentangan dengan Pasal 1868 BW dan Pasal 1 PJN. Oleh karena itu jika pemerintah hendak konsisten melaksanakan UUJN, maka jabatan PPAT seyogyanya dihapuskan dan kewenangan membuat akta-akta dibidang pertanahan diberikan kepada notaris. Konsekuensi yuridisnya adalah jabatan PPAT dihapuskan jika kewenangan membuat akta-akta pertanahan diserahkan kepada notaris sesuai Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN.149 Hal di atas dapat dibenarkan dengan menelaah ketentuan Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pemerintah yang dikeluarkan pertama kalinya untuk mengatur tentang pendaftaran tanah.150 Pasal tersebut tidak menggunakan frasa “pejabat” melainkan “penjabat”, karena dalam bahasa hukum kedua kata tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Dalam hukum administrasi negara dikenal ada dua kategori pejabat yaitu pejabat negara dan pejabat pemerintahan. Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat negara adalah anggota DPR, Presiden dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. 149 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 120-122. 150 Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 berbunyi “setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam peraturan ini disebut : penjabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.” 110 dan atas nama negara. Sedangkan yang dimaksud dengan pejabat pemerintahan adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat administrasi negara seperti menteri-menteri sebagai pembantu Presiden, beserta aparatur pemerintahan lainnya di lingkungan eksekutif.151 Berbeda dengan pengertian pejabat sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang dimaksud dengan penjabat adalah pemegang jabatan orang lain untuk sementara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV, cetakan ke-19 September 2015, halaman 554). Sebagai contohmya dapat dilihat ketentuan Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “apabila gubernur diberhentikan sementara dan tidak ada wakil gubernur, Presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul menteri”.152 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PP Nomor 10 Tahun 1961 tidak menghendaki dibuatnya jabatan baru dan tetap yang bernama PPAT, karena tugas penjabat sebagaimana dimaksud Pasal 19 peraturan pemerintah tersebut telah merupakan tugas notaris sebagai satu-satunya pejabat umum pembuat akta otentik. Kalangan notaris pun juga menghendaki agar pembuatan akta-akta tanah yang selama ini dilakukan oleh PPAT diberikan sepenuhnya kepada notaris dengan menghapus jabatan PPAT. Irawan Soerodjo mengatakan bahwa oleh karena jabatan PPAT tidak diatur secara eksplisit dalam UUPA dan Pasal 19 PP 151 Maliki Ibrahimafi, Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 2 April 2016. 152 Muhammad Yasin, Bahasa Hukum : Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian dan Penjabat, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 2 April 2016. 111 Nomor 10 Tahun 1961 juga tidak secara tegas menyebut PPAT, maka Menteri Agraria (pemerintah) tidak perlu membentuk lembaga jabatan baru yaitu PPAT. Alasannya, karena di samping bukan merupakan hal yang sangat perlu untuk dibentuk saat itu, pada dasarnya jabatan notaris dapat melakukan fungsi dan tugas pejabat sebagaimana dimaksud PP Nomor 10 Tahun 1961, yaitu membuat aktaakta dengan mengkonstatir perjanjian antara para pihak yang objeknya mengenai tanah.153 Ilmu perundang-undangan mengenal adanya dinamika norma hukum yang vertikal yaitu dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum diatasnya, norma hukum yang berada di atasnya berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar semua norma hukum yang dibawahnya. Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum di bawahnya, norma hukum di bawahnya selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum yang di bawahnya lagi, dan demikian seterusnya ke bawah.154 Keberadaan PPAT sebagai pejabat umum hanya diatur dalam peraturan pemerintah yang berkedudukan di bawah undang-undang. Lantas menjadi pertanyaan karena peraturan pemerintah merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang, maka eksistensi PP Nomor 37 Tahun 1998 tersebut 153 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, hlm. 159. Dalam Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta… Op.Cit., hlm. 122. 154 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu…, Op.Cit. 112 melaksanakan undang-undang apa, karena undang-undang yang secara khusus mengatur PPAT hingga saat ini belum ada, sedangkan eksistensi PP Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT merupakan pelaksana dari PP Nomor 24 Tahun 1997.155 Dengan demikian berdasarkan dinamika hukum yang vertikal dalam ilmu perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka pembentukan PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah merupakan langkah yang keliru. Sudah semestinya PP Nomor 37 Tahun 1998 dibentuk berdasarkan suatu norma yang memiliki jenjang lebih tinggi yaitu undang-undang, bukan berdasarkan peraturan pemerintah yang derajatnya setara. Adanya berbagai jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dalam suatu tata susunan yang hierarkis mengakibatkan pula adanya perbedaan dalam hal fungsi berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Fungsi peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang adalah sebagai berikut :156 a. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UndangUndang Dasar yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi yang pertama ini terlihat jelas dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, dalam pasal tersebut dinyatakan secara tegas masalah yang harus diatur dengan undang-undang. b. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang tubuh UUD 1945. Fungsi ini tersirat dalam penjelasan umum UUD 1945 155 156 Vide Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu…, Op.Cit., hlm. 113-115. 113 alinea IV yang menentukan bahwa “apabila kita hendak mengatur segala sesuatu yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari batang tubuh UUD 1945, kita harus mengaturnya dengan undang-undang”. c. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam TAP MPR yang tegas-tegas menyebutnya. Maksudnya adalah apabila sesuatu masalah disebut secara tegas dalam sesuatu TAP MPR untuk diatur dengan undang-undang, maka harus mengaturnya dengan undang-undang. d. Pengaturan di bidang materi konstitusi. Fungsi yang terakhir ini merupakan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa pengaturan di bidang materi konstitusi seperti peraturan mengenai organisasi dan susunan lembaga tinggi negara serta hubungan antara negara dan warga negara. Fungsi peraturan perundang-undangan yang berbentuk peraturan pemerintah adalah menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut :157 a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam suatu undang-undang. Apabila suatu masalah di dalam suatu undang-undang memerlukan pengaturan lebih lanjut meskipun tidak disebutkan secara tegas, maka peraturan pemerintah dapat mengaturnya lebih lanjut 157 Ibid., hlm. 115-116. 114 sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut undang-undang tersebut. Menurut Denny Indrayana, tidak ada aturan yang rijid atau baku mengenai materi yang bagaimana yang harus diatur dalam undang-undang atau peraturan pemerintah, namun pada umumnya materi yang diatur dalam peraturan pemerintah merupakan pelaksanaan dari suatu undang-undang yang mengatul halhal yang bersifat pokok.158 Hal senada juga disampaikan oleh Maria Farida Indrati Soeprapto yang menyatakan bahwa peraturan pemerintah adalah peraturan yang dibentuk sebagai peraturan yang menjalankan undang-undang, atau peraturan yang dibentuk agar ketentuan dalam undang-undang dapat berjalan. Peraturan pemerintah ini dibentuk oleh Presiden, dan berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang. Oleh karena itu, materi muatan peraturan pemerintah adalah keseluruhan materi muatan undang-undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan peraturan pemerintah adalah sama dengan materi muatan undang-undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya.159 Istilah “materi muatan undang-undang” diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun ke IX, Mei 1997, sebagai terjemahan dari het eigenaardig onderwerp der wet. UUD 1945 ditentukan mengenai siapa pembentuk undang-undang, yaitu DPR memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama 158 Wawancara dengan Bapak Denny Indrayana selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 Februari 2016. 159 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu…, Op.Cit., hlm. 131. 115 Presiden, tetapi apa yang menjadi materi muatan undang-undang tidak disebutkan.160 Para ahli umumnya berpendapat materi muatan undang-undang dalam arti formele wet atau formell Gezets tidak dapat ditentukan lingkup materinya, mengingat undang-undang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan bersifat mutlak, keluar tidak tergantung siapapun dan ke dalam tertinggi di atas segalanya. Dengan demikian menurut para ahli itu, semua materi dapat menjadi materi muatan undang-undang kecuali bila undang-undang tidak berkehendak mengaturnya atau menetapkannya.161 Seseorang dapat menjadi pejabat umum jika diangkat dan diberhentikan oleh negara dan diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk melayani masyarakat dalam bidang tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon, pejabat umum diangkat oleh Kepala Negara dan bukan oleh menteri. Pembentukan jabatan umum harus didasarkan pada undang-undang, karena peraturan pemerintah tidak boleh membentuk suatu jabatan umum tanpa delegasi undang-undang. Hal ini berkaitan dengan karakter hukum suatu akta yang dibuat oleh pejabat umum sebagai alat bukti otentik karena adanya publica fides. Kepercayaan umum (publica fides) tersebut dianggap ada karena pengangkatan seorang pejabat umum dilakukan oleh Kepala Negara.162 160 Ibid., hlm. 123. Ibid., hlm. 124. 162 Philipus M. Hadjon, Eksistensi dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Serta Figur Hukum Akta PPAT, Makalah Ceramah FH UNAIR Surabaya, tanggal 22 Februari 1996, hlm. 3. Dalam Husni Thamrin, 2011, Pembentukan Akta…, Op.Cit., hlm. 74. 161 116 Sehubungan dengan hal di atas, Husni Thamrin berpendapat bahwa pejabat umum yang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1868 BW hanyalah notaris. Pada jabatan notaris terpenuhi semua unsur yang ada dalam Pasal 1868 BW, sehingga akta-akta yang dibuat oleh notaris mempunyai kualitas sebagai akta otentik, kecuali jika terjadi pelanggaran atau kesalahan dalam membuat akta tersebut. Notaris menjalankan jabatannya berdasarkan undangundang dan bentuk aktanya juga telah ditentukan dan diatur dalam undangundang. Status notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh undang-undang sebagaimana terlihat dari bunyi Pasal 1 angka 1 UUJN. Sebagai pejabat umum, notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Notaris diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara, yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.163 Pengangkatan notaris oleh menteri berdasarkan UUJN secara eksplisit memang tidak dijelaskan atas nama Presiden. Meskipun demikian dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem presidensial, di mana menteri adalah pembantu Presiden di bidang tertentu, maka dapat dikatakan bahwa secara implisit pengangkatan notaris oleh menteri tersebut adalah atas nama Presiden selaku Kepala Negara. Dengan demikian tidak mengurangi kadar dan legalitas notaris selaku pejabat umum. Tindakan menteri untuk mengangkat notaris merupakan perbuatan yang tunduk pada hukum publik, sehingga keberadaan notaris selaku pejabat umum telah mendapat legalitas yang kuat. 163 Ibid., hlm. 75. 117 Idealnya apabila pemerintah sebagai perwujudan kedaulatan rakyat memang berkehendak menempatkan dan memberikan status openbare ambtenaren (pejabat umum) kepada PPAT maka keberadaannya harus diatur dalam undang-undang khusus yang mengatur PPAT. Kemudian dalam undangundang tersebut nanti diatur mengenai kedudukan hukum jabatan PPAT, bentuk akta PPAT, kewenangan, kewajiban dan larangan serta lain sebagainya. Apabila tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur jabatan PPAT maka akan sporadis terus seperti yang terjadi selama ini.164 Dengan demikian adanya suatu undang-undang mengenai jabatan PPAT, maka eksistensi PPAT dapat memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai pejabat umum (openbare ambtenaren) sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1868 BW. Jika hendak memberikan pengukuhan terhadap jabatan PPAT, maka diperlukan adanya undang-undang dalam arti formil sebagai landasannya, yaitu pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Hal ini dapat dilakukan melalui pengajuan rancangan undangundang (RUU) mengenai jabatan PPAT. Pengajuan RUU tersebut harus berdasarkan kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sekaligus juga harus didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan dikukuhkan eksistensinya seiring dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat yang semakin memahami pentingnya eksistensi jabatan PPAT tersebut. Sebagaimana bunyi Pasal 10 ayat (1) Huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan 164 Wawancara dengan Bapak Habib Adjie selaku notaris dan PPAT Kota Surabaya pada tanggal 4 Februari 2016.