BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan hukum

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan hukum tanah nasional adalah meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Kepastian
hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah. Kegiatan
pendaftaran tanah sebagaimana yang diamanatkan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA) menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan kegiatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus berkesinambungan dan teratur yang meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak
tertentu yang membebaninya.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) merupakan
pejabat umum yang menjadi mitra Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya
disebut BPN) selaku instansi yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pendaftaran tanah. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
2
rumah susun yang akan menjadi dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan perbuatan hukum itu.
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun.1 Perbuatan hukum yang dimaksud adalah
mengenai (a) jual beli, (b) tukar menukar, (c) hibah, (d) pemasukan dalam
perusahaan (inbreng), (e) pembagian hak bersama, (f) pemberian hak guna
bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, (g) pemberian hak tanggungan, (h)
pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.2 Untuk melaksanakan tugas
pokok tersebut maka oleh pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998, PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik atas 8 (delapan)
macam perbuatan hukum yang dimaksud di atas.3 Keberadaan PPAT adalah
sangat penting karena tugas dan kewenangannya untuk membuat alat bukti bahwa
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun yaitu berupa akta otentik. Dengan demikian
keotentikan suatu akta haruslah dibuat sesuai dengan syarat-syarat untuk sahnya
suatu akta otentik.
1
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
2
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
3
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah berbunyi : “untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun yang terletask di dalam daerah kerjanya”.
3
Pelaksanaan kewenangan PPAT dewasa ini masih menimbulkan
permasalahan hukum. Beberapa di antaranya yaitu mengenai pembuatan akta
otentik yang menjadi tugas pokoknya. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “suatu akta otentik adalah
suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di
mana akta dibuatnya”. Berbeda dengan apa yang ditentukan oleh Pasal 21 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang menyatakan bahwa akta PPAT dibuat dengan bentuk yang
ditetapkan oleh menteri. Merujuk kepada pengertian yang diberikan oleh Pasal
1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka sesungguhnya dalam
pembuatan akta otentik oleh PPAT haruslah sesuai dengan bentuk yang diberikan
undang-undang, bukan menggunakan bentuk yang ditetapkan oleh menteri.
Kemudian dalam hal batas minimal usia dewasa atau cakap hukum
(bekwamheid) bagi pihak yang berkepentingan untuk membuat akta otentik. Pasal
330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak
lebih dahulu telah kawin”. Berbeda pada praktik saat ini, PPAT menggunakan
batas usia dewasa berdasarkan kepada Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam
Rangka Pelayanan Pertanahan menyebutkan bahwa usia dewasa atau cakap
hukum untuk dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan
pertanahan adalah paling kurang delapan belas tahun atau sudah kawin.
4
Beberapa permasalahan yang disebutkan di atas tidak terlepas dari
Permasalahan yang mendasar mengenai pengaturan eksistensi PPAT dalam
peraturan perundang-undangan. Awal mula eksistensi PPAT diatur dalam
ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah serta hak dan kewajibannya yang menegaskan bahwa setiap
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah harus dilakukan para pihak di
hadapan penjabat yang ditunjuk oleh menteri. Selanjutnya diatur dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Penjabat yang
dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa
penjabat yang dimaksud adalah PPAT. Seiring dengan perkembangan kehidupan
masyarakat, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat
akta otentik berkaitan dengan pertanahan dikukuhkan dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah4, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah5 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah6.
Semenjak tahun 1961, secara de facto dikenal suatu lembaga dengan
sebutan PPAT. Eksistensi kedudukan PPAT dewasa ini sebagai pejabat umum
4
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa “Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa
membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
5
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa “Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
tanah tertentu”.
6
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun”.
5
yang berwenang untuk membuat akta otentik yang khusus berkenaan dengan akta
pertanahan diragukan bahkan dikritisi. Pemicu atas keraguan dan kritik tersebut di
antaranya adalah ketiadaan dasar hukum kedudukan PPAT sebagai pejabat umum
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undangundang. Pengaturan jabatan PPAT hingga saat ini tidak pernah ada dan tidak
pernah dibuat suatu undang-undang yang dapat dijadikan dasar hukum guna
mengatur jabatan PPAT, demikian pula peraturan berupa undang-undang yang
mengatur akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT. Sejauh ini pengaturan
PPAT hanya ke dalam peraturan perundang-undangan berbentuk peraturan
pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kritik berikutnya adalah dalam hal pembatasan kewenangan PPAT untuk
membuat akta pertanahan dalam bentuk bebas diluar dari bentuk blanko akta yang
telah ditentukan oleh Kepala BPN. Keterikatan PPAT untuk membuat akta
pertanahan dengan cara mengisi blanko akta yang telah disediakan oleh BPN
dianggap mengurangi hakihat dari kedudukan PPAT sebagai pejabat umum.
Dengan ditegaskannya kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberi kewenangan yang relatif
sama dengan notaris untuk membuat aktanya sendiri bukan terikat kepada blanko
yang tentukan oleh BPN.
Menurut kepustakaan hukum administrasi negara terdapat dua cara utama
memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu melalui atribusi dan delegasi.
Atribusi merupakan toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan
6
een bestuurs orgaan, (pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintahan), sedangkan yang dimaksud dengan delegasi
adalah overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander,
(pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya).7
Apabila
dikaitkan
dengan
hukum
administrasi
negara
tersebut,
kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik di bidang pertanahan mutlak
merupakan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT dan kewenangan itu
tidak pernah menjadi kewenangan BPN. Semenjak Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 sebagai dasar hukum pertama kali pembentukan
BPN berikut perubahan-perubahannya sampai dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional,
tidak ada satu pasal pun yang menegaskan bahwa PPAT lahir secara Atributif atau
delegatif dari kewenangan BPN, melainkan PPAT lahir dari policy rules
pemerintah secara langsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PPAT
bukan subordinasi dari BPN. Selain itu juga Pasal 19 UUPA hanya
memerintahkan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah tentang
pendaftaran tanah dan tidak memerintahkan BPN untuk membuat ketentuanketentuan mengenai kewenangan PPAT.
Sistem hukum nasional mengenal bahwa PPAT bukan satu-satunya
pejabat umum melainkan notaris yang eksistensinya juga diakui merupakan
7
105.
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104-
7
sebuah profesi yang berstatus sebagai pejabat umum. Sebagai sebuah profesi yang
berstatus sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) tidak tepat jika eksistensi
PPAT hanya diatur dalam peraturan pemerintah, seperti halnya dengan jabatan
Notaris yang juga berstatus sebagai pejabat umum, namun memperoleh
kewenangan secara atribusi dari undang-undang, hal ini bisa dilihat eksistensi
notaris telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan berbentuk undangundang yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.
Pengaturan eksistensi PPAT ke dalam peraturan perundang-undangan
yang berbentuk undang-undang menjadi penting guna mengukuhkan dan
menjernihkan kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat
akta otentik. Hal ini dikarenakan pada praktiknya, kewenangan PPAT untuk
membuat akta otentik seringkali harus mengikuti setiap kebijakan pemerintah
(Kepala BPN) yang cenderung berubah-ubah, padahal sebagai pejabat umum
hubungan PPAT dengan pemerintah (Kepala BPN) adalah bersifat kemitraan
bukan merupakan bawahan atau perpanjangan tangan pemerintah untuk membuat
akta otentik di bidang pertanahan yang dalam pelaksanaan kewenangannya
membuat akta otentik adalah bersifat mandiri dan independen.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri8, tugasnya adalah
membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan
8
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa “PPAT
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”.
8
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
19979 di sini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor
Pertanahan,
akan
tetapi
tugas
PPAT
mempunyai
kemandirian
dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.10
Secara garis besar Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya mengatur
mengenai ketentuan
umum, tugas pokok dan kewenangan PPAT, pengangkatan dan pemberhentian
PPAT, daerah kerja PPAT, sumpah jabatan PPAT, pelaksanaan jabatan PPAT,
pembinaan dan pengawasan serta beberapa ketentuan peralihan. Tidak ada di
dalamnya mengatur tentang bagaimana tata cara pembuatan bentuk akta mulai
dari awal akta/kepala akta, badan akta, dan akhir/penutup akta, tentang batas usia
cakap hukum para pihak serta syarat-syarat sebagai saksi di dalam pembuatan akta
otentik oleh PPAT.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah seandainya telah lengkap mengatur tentang pembuatan
bentuk akta, mulai dari awal akta/kepala akta, badan akta, dan akhir/penutup akta,
batas usia cakap hukum para pihak serta syarat-syarat sebagai saksi di dalam
pembuatan akta otentik, tetap saja peraturan pemerintah ini akan berbenturan
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menghendaki akta otentik
9
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa “Dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain
yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini
dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
10
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hlm.
316.
9
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang atau usia dewasa seseorang
harus telah genap dua puluh satu tahun atau telah kawin agar berstatus cakap
hukum dalam melakukan perbuatan hukum supaya bisa dituangkan dalam suatu
akta otentik. Ketidaklengkapan materi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tersebut diisi dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, namun hal tersebut secara yuridis
belum bisa menanggulangi permasalahan hukum yang terjadi dalam pelaksanaan
jabatan PPAT sebagai pejabat umum pembuat akta otentik di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan
pokok-pokok permasalahannya, yaitu :
1. Apakah akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah telah memenuhi
syarat sebagai akta otentik?
2. Apakah eksistensi jabatan PPAT untuk membuat akta otentik harus diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang?
C. Keaslian Penelitian
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan
penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada. Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis kemudian menemukan
beberapa tesis yang memiliki sebagian unsur penelitian dengan kajian yang sama,
yaitu :
10
1. “Tinjauan Yuridis Eksistensi Profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sebagai Institusi Hukum”.11 Fokus penelitian ini mengangkat rumusan
masalah:
a. Mengapa notaris sekaligus PPAT yang memiliki kualifikasi yang sama
mendapatkan perlakuan hukum yang berbeda dalam pemeriksaan oleh
pihak kepolisian?
b. Bagaimanakah desain lembaga notaris baik yang dikembangkan oleh
pemerintah maupun oleh Ikatan Notaris Indonesia?
2. “Kajian Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum
Pembuat Akta Otentik Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”.12 Fokus penelitian
ini mengangkat rumusan masalah :
a. Bagaimana kekuatan status hukum dari akta pejabat pembuat akta tanah
dalam hukum pembuktian?
b. Bagaimana kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pembuat akta
peralihan hak atas tanah?
3. “Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum Dalam
Sistem Peradilan Tata Usaha Negara”.13 Fokus penelitian ini mengangkat
rumusan masalah :
11
Veraningsih Abd Hamid, “Tinjauan Yuridis Eksistensi Profesi Notaris dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sebagai Institusi Hukum”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010.
12
Fitrisia Paramitha Utami, “Kajian Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat
Umum Pembuat Akta Otentik Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”, Tesis, Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014.
11
a. Bagaimanakah kedudukan hukum PPAT selaku pejabat umum di dalam
sistem peradilan tata usaha Negara?
b. Bagaimanakah kedudukan hukum terhadap akta PPAT dalam sistem
peradilan tata usaha negara?
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan tersebut dan setelah membaca
serta mengkaji tiga penelitian di atas, terdapat kesamaan unsur permasalahan yang
juga diteliti oleh penulis, yaitu sama-sama menjadikan akta PPAT dan jabatan
PPAT sebagai fokus kajian penelitian. Perbedaannya ialah, sejauh ini tidak
ditemukan penelitian yang fokus mengkaji mengenai kebutuhan pengaturan
jabatan PPAT ke dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undangundang. Dengan demikian apabila melihat perbandingannya dengan penelitian
yang
akan
diteliti
oleh
penulis,
penulis
menyatakan
dapat
mempertanggungjawabkan keaslian penelitian ini dan menyatakan penelitian
dengan judul “Kajian Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah” memenuhi kaedah keaslian
penelitian.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah dipaparkan tersebut di
atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
13
Feby Delaniasari Sofyan, “Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat
Umum Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007.
12
1. Untuk mengetahui dan menganalisis akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan
Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah kaitannya dengan pemenuhan syarat-syarat
sebagai akta otentik.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi jabatan PPAT dalam membuat
akta otentik terkait dengan keharusan pengaturannya dalam peraturan
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini terdiri atas dua
aspek, yaitu :
1. Manfaat teoritis
Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum agraria dalam bidang
pertanahan khususnya yang berkaitan dengan jabatan PPAT.
2. Manfaat praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian oleh pemerintah
khususnya Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN dan PPAT serta lembaga
atau instansi terkait lainnya untuk membenahi hukum pertanahan di Indonesia
khususnya tentang pengaturan jabatan PPAT.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah
1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPAT merupakan jabatan yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah tersebut
menegaskan bahwa semua perbuatan hukum yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah atau membebani hak atas tanah sebagai jaminan hutang harus
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan “penjabat” yang
ditunjuk oleh Menteri. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 yang menentukan bahwa akta-akta
pertanahan merupakan wewenang penjabat pembuat akta tanah.
Perkembangan berikutnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Menurut peraturan pemerintah ini, kedudukan PPAT sebagai
pejabat umum ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 yang berbunyi PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu. Pasal 7 Peraturan Pemerintah yang sama menyebutkan pula bahwa
14
peraturan jabatan PPAT diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
tersendiri. Sebagai realisasi dari hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan Kepala BPN Nomor 1
Tahun 2006 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 yang kemudian diubah dengan Peraturan Kepala BPN Nomor Nomor
23 Tahun 2009.
Secara normatif, pengertian PPAT termuat Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Menurut pasal tersebut yang dimaksud PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Pengertian PPAT juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud PPAT adalah pejabat
umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Jenis-Jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah
Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, ada tiga macam PPAT yaitu :
15
1) PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun. PPAT yang dimaksud dalam ayat ini adalah
lulusan program pendidikan spesialis notariat (saat ini Magister Kenotariatan)
atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan tinggi.
2) PPAT Sementara, adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara ditunjuk oleh menteri untuk
melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam
pembuatan akta PPAT tertentu. Orang yang dapat diangkat sebagai PPAT
sementara adalah camat Atau kepala desa.
3) PPAT Khusus, adalah pejabat BPN yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam
rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. Sama seperti
PPAT sementara, PPAT khusus ditunjuk oleh menteri untuk melayani
masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan
akta PPAT tertentu. Orang yang dapat ditunjuk sebagai PPAT khusus adalah
Kepala Kantor Pertanahan.
3. Tugas Pokok dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah
16
Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum yang dimaksud adalah :
a) Jual beli;
b) Tukar menukar
c) Hibah;
d) Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e) Pembagian hak bersama;
f) Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;
g) Pemberian hak tanggungan;
h) Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut PPAT mempunyai kewenangan
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah
disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT Khusus hanya berwenang
17
membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam
penunjukannya.
Praktiknya dalam kenyataan PPAT tidak hanya melakukan kegiatankegiatan yang bersumber dari pembuatan delapan macam akta yang menjadi
kewenangannya tersebut, namun seringkali kantor PPAT mengurus hal-hal yang
tidak ada hubungannya dengan kewenangan PPAT yaitu hal-hal yang timbul atas
permintaan dari masyarakat, yang menyebabkan kantor PPAT membantu untuk
menyelesaikannya. Jadi hanya semacam bantuan PPAT untuk membantu
kepentingan masyarakat karena masyarakat tidak biasa atau tidak sempat untuk
mengurusnya, misalnya :14
a) Pembuatan sertipikat untuk pertama kalinya, yang dalam bahasa teknis
keagrariaan dikenal dengan istilah konversi hak-hak lama,
b) Pembuatan sertipikat karena pemecahan sertipikat hak atas tanah,
c) Pembuatan sertipikat karena penggabungan sertipikat hak atas tanah,
d) Perpanjangan hak guna bangunan atau hak pakai,
e) Pembaharuan hak guna bangunan atau hak pakai,
f) Roya sertipikat yaitu pembersihan sertipikat dari catatan sedang dijaminkan,
g) Proses turun waris sertipikat yaitu proses merubah data kepemilikan tanah
yang terjadi akibat dari adanya kematian,
14
hlm. 3.
Mustofa, 2014, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Penerbit Karya Media, Yogyakarta,
18
h) Peningkatan hak atas tanah, misalnya dari hak guna bangunan menjadi hak
milik, atau dari hak pakai menjadi hak guna bangunan atau menjadi hak
milik,
i) Penurunan hak atas tanah, misalnya dari hak milik menjadi hak guna
bangunan atau menjadi hak pakai, atau dari hak guna bangunan menjadi hak
pakai,
j) Dan lain-lain.
4. Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bertanggungjawab di
bidang agraria/pertanahan untuk suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah kerja kantor pertanahan kabupaten/kotamadya, sedangkan
untuk daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya
sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.
Menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, syarat
untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
a) berkewarganegaraan Indonesia;
b) berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
c) berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat
oleh Instansi Kepolisian setempat;
d) belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
e) sehat jasmani dan rohani;
f) lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan
khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
19
g) lulus ujian yang
Agraria/BPN.
diselenggarakan
oleh
Kantor
Menteri
Negara
Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT
berhenti menjabat karena :
a) meninggal dunia; atau
b) telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun, atau
c) diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai
Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d) diberhentikan oleh Menteri.
e) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT
apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
ayat (3) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, atau
diberhentikan oleh Menteri.
Lebih lanjut Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
menjelaskan sebagai berikut :
(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena :
a) permintaan sendiri;
b) tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang
ditunjuk;
c) melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT;
d) diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.
(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
b) dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara
20
selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Tinjauan Umum Tentang Akta
1. Pengertian Akta
Akta adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani dibuat oleh
seorang atau lebih pihak-pihak dengan maksud dapat digunakan sebagai alat bukti
dalam proses hukum. Ini berarti bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi,
untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditandatangani.
Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta ternyata dari Pasal
1869 BW.15
Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan
akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Jadi
fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk
mengindividualisir sebuah akta. Akta yang dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir
dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta-akta tersebut. Oleh karena itu nama
atau tanda tangan yang ditulis dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari
tulisan huruf balok itu tidak berapa tampak ciri-ciri atau sifat-sifat si pembuat.16
2. Jenis-Jenis Akta
15
R. Soeroso, 2011, Perjanjian Di Bawah Tangan : Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
16
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.
151-152.
21
Sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi dua, yaitu surat yang merupakan
akta dan yang bukan akta, sedangkan akta itu sendiri terbagi lagi dalam akta
otentik dan akta di bawah tangan.17
a). Akta Otentik
Secara Teoritis apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau
akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian.
Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu
tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa,
sebab ada surat yang tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti
seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya. Dikatakan secara
resmi karena tidak dibuat secara dibawah tangan.18 Secara normatif, apa yang
dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868
BW).
Berdasarkan Pasal 1868 BW dapat disimpulkan bahwa akta otentik dapat
dibagi lebih lanjut menjadi : 1. Akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk,
procesverbaal acte) dan 2. Akta yang dibuat oleh para pihak (partijakte). Akta
yang pertama merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa
yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya
17
18
R. Soeroso, 2011, Perjanjian…, Op.Cit., hlm. 7.
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum…, Op.Cit., hlm. 155.
22
diterangkan di dalam akta itu. Sebagai contoh akta pejabat ini misalnya ialah
berita acara yang dibuat oleh polisi atau panitera pengganti di persidangan. Akta
yang kedua, yaitu yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk
itu, adalah akta dengan mana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta
dilakukannya. Partijakte ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan. Sebagai contoh dapat disebutkan akta notaril tentang jual beli,
sewa menyewa dan sebagainya.19
Keistimewaan akta otentik adalah merupakan suatu alat bukti yang
sempurna (vollegid bewijs tentang apa yang dimuat di dalamnya), artinya apabila
seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, maka hakim
harus menerima dan menganggap apa yang tertulis dalam akta merupakan
peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh
memerintahkan penambahan pembuktian.20
b). Akta Di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan (onderhands acte) adalah akta yang dibuat tidak
oleh atau tanpa perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan
ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.21 Apabila
para pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui dan tidak
menyangkal tandatangannya, tidak menyangkal isi dan apa yang tertulis dalam
surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan
19
Ibid., hlm. 157-158.
R. Soeroso, 2011, Perjanjian…, Op.Cit.
21
Ibid., hlm. 8.
20
23
pembuktian yang sama dengan suatu akta otentik atau resmi.22 Pasal 1875 BW
menyatakan bahwa :
Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan
itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap
sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya
serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka,
bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula
berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu.
3. Perbedaan Akta Otentik Dengan Akta Di Bawah Tangan
Pokok-pokok perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan
adalah sebagai berikut :23
Akta otentik (Pasal 1868 KUH Perdata) :
a. Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan undangundang;
b. Harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang;
c. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama mengenai
waktu, tanggal pembuatan dan dasar hukumnya;
22
23
Ibid.
Ibid., hlm. 8-9.
24
d. Kalau kebenarannya disangkal, maka si penyangkal harus membuktikan
ketidakbenarannya.
Adapun akta di bawah tangan :
a. Tidak terikat bentuk formal , melainkan bebas;
b. Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan;
c. Apabila diakui oleh penandatangan atau tidak sangkal, akta tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sama halnya seperti akta
otentik;
d. Tetapi bila kebenarannya disangkal, maka pihak yang mengajukan sebagai
bukti yang harus membuktikan kebenarannya (melalui bukti atau saksisaksi).
4. Fungsi Akta
Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti
bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan
hukum, haruslah dibuat suatu akta. Di sini akta merupakan syarat formil untuk
adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang
harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah : Pasal 1610 BW
tentang perjanjian pemborongan, Pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang
piutang dengan bunga dan Pasal 1851 BW tentang perdamaian. Untuk itu
semuanya disyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan
dengan akta otentik antara lain adalah : Pasal 1171 BW tentang pemberian
25
hipotik, Pasal 1682 BW tentang schenking dan Pasal 1945 BW tentang melakukan
sumpah oleh orang lain.24
Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat
bukti (probationis causa). Dari defenisi yang telah diketengahkan di muka telah
jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian
dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak
membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat
bukti di kemudian hari.25
5. Kekuatan Pembuktian Akta
Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang
kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan antara kekuatan pembuktian
lahir,
kekuatan
pembuktian
formil
dan
kekuatan
pembuktian
materil.
Penjelasannya adalah sebagai berikut :26
1) kekuatan pembuktian lahir
Kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas
keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya : yaitu bahwa surat yang tampaknya
(dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang
tidak terbukti sebaliknya.
2) kekuatan pembuktian formil
24
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum…, Op.Cit., hlm. 161-162.
Ibid., hlm. 162.
26
Ibid., hlm. 162-163.
25
26
Kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan : “benarkah bahwa ada
pernyataan?”. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya
ada pertanyaan oleh yang bertandatangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian
formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak
menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.
3) kekuatan pembuktian materil
Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pertanyaan : “benarkah isi
pernyataan di dalam akta itu?”. Jadi kekuatan pembuktian materil ini memberi
kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa
pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang termuat dalam
akta.
C. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-undangan
1. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.27 Menurut Attamimi, peraturan perundangundangan adalah peraturan negara di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang
dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat atribusi
maupun bersifat delegasi. Kemudian dalam disertasinya Attamimi memberikan
batasan mengenai peraturan perundang-undangan adalah semua aturan hukum
27
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
27
yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu, dengan
prosedur tertentu, biasanya disertai sanksi dan berlaku umum serta mengikat
rakyat.28
Reed Dickerson sebagaimana yang dikutip oleh Bagir Manan dan Kuntana
Magnar mengemukakan peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan
tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuan-ketentuan
mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan.29 Karena hal-hal yang
diatur bersifat umum, maka peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak.
Secara singkat lazim disebut bahwa ciri-ciri dari kaidah peraturan perundangundangan adalah abstrak-umum atau umum-abstrak.30
Lebih lanjut Bagir Manan dan Kuntana Magnar menjelaskan unsur-unsur
yang termuat dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :31
a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, karena merupakan
keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum
lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschreven recht, written law);
b. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku
umum atau mengikat umum (algemeen);
28
Ni’matul Huda, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Nusa Media,
Bandung, hlm. 11-12.
29
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 123.
30
Ibid.
31
Ibid., hlm. 125.
28
c. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan
harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan
bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret
atau individu tertentu. Karena dimaksudkan sebagai ketentuan yang tidak
berlaku pada peristiwa konkret tertentu atau individu tertentu, maka lebih tepat
disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat
umum.
2. Asas-Asas Berlakunya Peraturan Perundang-Undangan
Untuk memahami asas-asas berlakunya peraturan perundang-undangan,
dapat dimulai dari pengertian tentang asas hukum. Berikut dikemukakan
pengertian asas hukum dari beberapa pandangan para ahli.
Paul Scholten menjelaskan bahwa :
“Asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel). Untuk dapat
dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum,
sehingga ia atau sama sekali tidak atau terlalu banyak berbicara (of niets of veel
te veel zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi
atau pengelompokan sebagai aturan tidak mungkin, karena untuk itu terlebih
dahulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret”.32
32
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 302. Dalam Yuliandri,
2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 19.
29
Selanjutnya Paul Scholten juga menguraikan (memberikan defenisi) asas
hukum sebagai :
“Grondgedachten, die in en achter ieder in wetsvoorschriften en rechtetlijke
uitspraken belichaamd rechtssysteem liggen, waarvan de bijzondere
bepalingen en beslissingen als uitwerkingen kunnen worden gedacht” (pikiranpikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masingmasing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusankeputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.33
Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa :
“Asas hukum atau prinsip hukum bukan peraturan hukum konkret, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang
dari peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem
hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifatsifat umum dari peraturan yang konkret tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah
mencari asas hukum ini dalam hukum positif”.34
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila
dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita
menyebutnya demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling
luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu
pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut
landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai lahirnya peraturan hukum, atau
merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Selanjutnya Satjipto Rahardjo
menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar
33
J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties (Grondbegrippen uit de rechtstheorie), Kluwer-Deventer1993, p. 85 dan Arief Sidharta (alih bahasa), 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 119-120. Dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan…, Op.Cit., hlm. 19.
34
Ibid., hlm. 20
30
kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu
mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.35
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa untuk
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dikenal beberapa asas, yaitu
antara lain :36
a. Undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini dapat dibaca dalam Pasal 3
Algemene Bepalingen Van Wetgeving (A.B.) yang terjemahannya berbunyi
sebagai berikut : “undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan
tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut”. Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana, yang berbunyi sebagai berikut : “tiada peristiwa dapat
dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana
yang mendahulukan”. Artinya dari asas ini adalah bahwa undang-undang hanya
boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalm undang-undang
tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superior derogate lex inferiori).
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis). Maksud dari asas ini
adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang
yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat
35
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 85.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perundang-Undangan dan
Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7-11.
36
31
pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas
atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang
berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex priori). Yang dimaksud oleh asas
ini adalah bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana
diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang
berlaku belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi
makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama
tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam).
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Makna dari asas ini adalah sebagai
berikut : 1) adanya kemungkinan bahwa isi undang-undang menyimpang dari
undang-undang dasar dan 2) hakim atau siapapun juga tidak mempunyai hak
uji materil terhadap undang-undang tersebut. Hak tersebut hanya dimiliki oleh
pembuat undang-undang tersebut.
f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spirituil dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstate).
3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah
asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi
peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan
32
metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur yang ditentukan.37 Berkaitan
dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Van der Vlies
membaginya menjadi asas-asas formal dan asas-asas materil. Asas-Asas formal
yang dikemukakan oleh Van der Vlies adalah sebagai berikut :38
a. Asas tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal, yaitu mengenai ketepatan
letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum
pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang akan
dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-undangan yang
akan dibentuk tersebut.
b. Asas organ/lembaga yang tepat. Asas ini memberikan penegasan tentang
perlunya
kejelasan
kewenangan
organ-organ/lembaga-lembaga
yang
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
c. Asas perlunya pengaturan. Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif
atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan
selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan.
d. Asas dapat dilaksanakan. Mengenai asas ini orang melihatnya sebagai usaha
untuk dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan bersangkutan.
Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat
ditegakkan.
37
Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
hlm. 11.
38
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, hlm. 32.
33
e. Asas konsensus. Asas ini menunjukkan adanya kesepakatan rakyat dengan
pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang
ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Kemudian asas-asas materil dalam pembentukan peraturan perundangundangan menurut Van der Vlies adalah sebagai berikut :
a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar. Asas ini ialah agar
peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat,
baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur dan susunannya.
b. Asas tentang dapat dikenali. Asas ini yang dapat dikemukakan ialah, apabila
suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap
orang, lebih-lebih oleh yang berkepentingan, maka ia akan kehilangan
tujuannya sebagai peraturan.
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum. Asas ini menunjukkan pada tidak
boleh adanya peraturan perundang-undangan yang ditujukan hanya kepada
sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya
ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum terhadap anggotaanggota masyarakat.
d. Asas kepastian hukum. Asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara
berdasarkan atas hukum.
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Asas ini bermaksud
memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan
34
tertentu, sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat juga
memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum juga bagi
masalah-masalah khusus.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Van der
Vlies sebagaimana telah jelaskan di atas banyak memengaruhi rumusan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.39 Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik menurut Pasal 5 tersebut meliputi :
a. Kejelasan tujuan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.40
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Asas ini mempunyai maksud
bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara
atau
pejabat
pembentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
berwenang. peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.41
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini mempunyai
maksud bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
39
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan…, Op.Cit., hlm. 24.
Penjelasan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
41
Penjelasan Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
40
35
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan.42
d. Dapat dilaksanakan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.43
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.44
f. Kejelasan rumusan. Asas ini mempunyai maksud bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.45
g. Keterbukaan. Asas ini mempunyai maksud bahwa dalam pembentukan
peraturan
perundang-undangan
mulai
dari
perencanaan,
penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
42
Penjelasan Pasal 5 huruf
Penjelasan Pasal 5 huruf
44
Penjelasan Pasal 5 huruf
45
Penjelasan Pasal 5 huruf
43
c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
36
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.46
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang patut khususnya bagi negara Indonesia
terdiri atas : cita hukum Indonesia, asas negara berdasarkan hukum dan asas
pemerintahan berdasar sistem konstitusi serta asas-asas lainnya.47 Mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan, di samping menganut asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, juga harus berlandaskan
pula pada asas hukum umum, yang terdiri atas asas hukum umum negara berdasar
atas hukum (rechtstaat), asas hukum umum pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi, asas hukum negara berdasarkan kedaulatan rakyat.48
4. Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Secara teoritik, tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan
dapat dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai Stufenbau des Recht atau
The Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu
susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari
kaidah yang lebih tinggi. Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Recht, harus
dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu Reine Rechtslehre atau The
46
Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 197.
48
Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan
Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas
Pembentukan… Op.Cit.
47
37
Pure Theory of Law (teori murni tentang hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain
command of the sovereign-kehendak yang berkuasa.49
Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas
yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi. Norma
yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi
(superior). Hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk hierarki,
di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
yang tidak dapat lagi ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu
norma dasar (grundnorm).50
Teori hierarki atau jenjang tata hukum dari Kelsen ini diilhami oleh
seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang telah lebih dahulu menulis
teori yang oleh Jeliae disebut stairwell structure of legal order. Merkl
mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das
doppelte rechtsantlizt). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar
pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia menjadi dasar dan menjadi
sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu
mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya
suatu norma hukum itu bergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.
Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-
49
50
Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 203.
Ni’matul Huda, 2011, Teori & Pengujian… Op.Cit., hlm 24.
38
norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. Hierarki atau
tata susunan sistem norma-norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat
bergantungnya norma-norma yang di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu
berubah, maka akan menjadi rusaknya sitem norma yang berada di bawahnya.51
Teori Hans Kelsen tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky.
Nawiasky dalam teorinya mengenai Die Lehre von dem Stufenaubau der
Rechtsordnung atau Die Stufenordnung der Rechtsnormen mengemukakan sesuai
dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana norma yang berlaku, berdasar dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu
norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Hans Nawiasky berpendapat
bahwa selain norma hukum suatu negara itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,
norma hukum suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky
mengelompokkan norma-norma hukum suatu negara itu menjadi empat kelompok
besar yang terdiri atas : 1) Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara),
2) Staatsgrundgesetz (aturan dasar), 3) Formell Gesetz (undang-undang formal),
4) Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom).52
Lebih lanjut Maria Farida Indrati Soeprapto menjelaskan bahwa dinamika
norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang
vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal. Dinamika norma hukum
51
52
Ibid., hlm. 25-26.
Ibid., hlm. 27-28.
39
yang vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah atau dari bawah
ke atas. Suatu norma hukum itu berlaku, berdasar dan bersumber pada norma
hukum di atasnya, norma hukum yang berada di atasnya berlaku, berdasar dan
bersumber pada norma hukum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma hukum yang menjadi dasar semua norma hukum di bawahnya.
Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma dasar itu
selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum yang di bawahnya lagi dan
demikian seterusnya ke bawah. Berbeda dengan dinamika norma hukum yang
vertikal, dalam dinamika norma hukum yang horizontal, suatu norma hukum itu
bergeraknya tidak ke atas atau ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma
hukum yang horizontal ini tidak membentuk suatu norma yang baru, tetapi norma
itu bergerak ke samping karena adanya suatu analogi, yaitu penarikan suatu norma
hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa.53
Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa Jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :54
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
53
54
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu… Op.Cit., hlm. 9-10.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
40
Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang yaitu : 1) pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, 2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan
undang-undang, 3) pengesahan perjanjian internasional tertentu, 4) tindak
lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau 5) pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.55 Materi muatan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang.56
d. Peraturan Pemerintah;
Materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undangundang
sebagaimana
mestinya.57
Pengertian
yang
dimaksud
dengan
“menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan
peraturan pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang atau untuk
menjalankan undang-undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang
dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.58
e. Peraturan Presiden;
Materi muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
undang-undang, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi
untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.59
f. Peraturan Daerah Provinsi;
55
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
57
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
58
Penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
59
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
56
41
Materi muatan peraturan daerah provinsi berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.60
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Materi muatan peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.61
Berkaitan dengan kedudukan peraturan perundang-undangan lain di luar
yang disebutkan dalam hierarki di atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
memberikan ketegasan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tetap diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 62 Kemudian
juga ditambahkan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.63 Sehubungan dengan hal
tersebut yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan
60
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Ibid.
62
Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
63
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
61
42
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.64
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan tahap untuk mencari kembali sebuah
kebenaran guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai objek
suatu penelitian. Penelitian merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan karena dilakukan secara sistematis, metodologis dan analisis untuk
mendapatkan suatu kesimpulan.
Penelitian
ini
menggunakan jenis
bersifat
penelitian
deskriptif
hukum
(descriptive
normatif
research)
dengan
atau penelitian
hukum
kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka.65
64
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 13-14.
65
43
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup :66
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;
d. Perbandingan hukum;
e. Sejarah hukum.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan dengan
meneliti norma-norma hukum yang berlaku dengan pendekatan studi kepustakaan.
Penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder,
yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier, karena sepenuhnya
menggunakan data sekunder (bahan kepustakaan) sehingga tidak diperlukan
sampling, karena data sekunder sebagai sumber utamanya memiliki bobot dan
kualitas tersendiri yang tidak bisa digantikan dengan data jenis lainnya. Penyajian
data dilakukan sekaligus dengan analisisnya.67
a) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
66
Ibid., hlm. 14.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 120.
67
44
ditangani. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan
isu yang dihadapi.68
Penelitian dalam level dogmatik hukum atau penelitian untuk keperluan
praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan.
Dalam pendekatan perundang-undangan harus perlu memahami hirarki dan asasasas dalam peraturan perundang-undangan. Di antaranya yaitu asas lex superior
derogate legi inferiori, apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundangundangan yang secara hirarki lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah harus disisihkan.69 Asas lex spesialis
derogate legi generali, asas ini merujuk kepada dua peraturan perundangundangan yang secara hirarkis mempunyai kedudukan yang sama, namun ruang
lingkup materi muatan kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu
yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. 70 Asas lex
posterior derogate legi priori, yang artinya peraturan perundang-undangan yang
terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu.71
b) Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep-konsep, pada
penelitian ini adalah mengenai PPAT sebagai pejabat umum pembuat akta otentik
di indonesia. Apabila dengan mendapatkan konsep yang jelas maka diharapkan
68
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 113.
Ibid., hlm. 136-139.
70
Ibid., hlm. 139.
71
Ibid., hlm. 141.
69
45
penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi pemahaman yang
kabur dan ambigu.72
c) Pendekatan Sejarah Hukum (historical approach)
Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga
hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk
memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Di samping itu,
melalui pendekatan demikian peneliti juga dapat memahami perubahan dan
perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.73 Adanya
pendekatan historis ini akan memudahkan dalam melakukan telaah terhadap
perkembangan pengaturan tentang PPAT sebagai pejabat umum dalam pembuatan
akta otentik.
B. Cara dan Alat Pengumpulan Data
1. Cara Pengumpulan Data
Terdapat beberapa cara dalam pengumpulan data yaitu studi kepustakaan,
pengamatan
(observasi),
wawancara
(interview)
dan
daftar
pertanyaan
(kuesioner).74 Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1) Data Sekunder
Data sekunder merupakan jenis data yang diperoleh secara tidak langsung
dari sumbernya, dimana penulis melakukan penelitian yang sumber datanya
72
Johnny Ibrahim, 2007, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, hlm. 300.
73
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian…, Op. Cit., hlm. 166.
74
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia
Indonesia, Cetakan kelima, Jakarta, hlm. 12.
46
berasal dari asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, pendapat ahli, yurisprudensi.75 Data sekunder
dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu
dengan cara mencari dan menghimpun bahan hukum, mengklasifikasikan bahan
hukum yang relevan terhadap fokus penelitian yang terdapat dalam literaturliteratur kepustakaan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu berupa bahan hukum yang
dibagi sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pokok pembahasan.
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Peraturan Jabatan Notaris (stb. Tahun 1860 Nomor 3);
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Denga Tanah;
6) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
75
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian…, Op. Cit., hlm. 14.
47
8) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara;
9) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun;
11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah;
13) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah;
14) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah;
15) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963
Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai
Hak Milik Atas Tanah;
16) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik;
17) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah;
48
18) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan;
19) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
20) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988
Tentang Badan Pertanahan Nasional.
21) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 Tentang
Badan Pertanahan Nasional.
22) Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Penunjukan
Pejabat Yang Dimaksudkan Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah;
23) Peraturan Menteri Negara Agraria/Keputusan Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah;
24) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah;
25) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006
49
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
26) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer antara lain karya-karya tulis dari kalangan
hukum, teori-teori dan pendapat para ahli, bahan pustaka atau buku
literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti serta berbagai
sumber dari internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa
Belanda-Indonesia yang digunakan peneliti untuk menerjemahkan
berbagai istilah dalam penelitian ini.
2) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.76
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
cara wawancara (interview) kepada narasumber sebagai pelengkap data sekunder.
76
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, hlm. 51.
50
Wawancara adalah suatu cara untuk mencari data dengan mengajukan pertanyaan
secara langsung atau lisan kepada subyek penelitian.
2. Alat Pengumpulan Data
1) Data Sekunder
Alat pengumpulan data sekunder berupa pedoman dokumentasi atau
bahan-bahan tertulis77 yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum agar penulis
mengetahui dan kemudian mendeskripsikan dokumen yang terkait dengan fokus
penelitian. Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder maupun
tersier dicari dan dikumpulkan pada Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah
Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia serta perpustakaan pribadi penulis.
2) Data Primer
Alat pengumpulan data primer berupa pedoman wawancara. Wawancara
tersebut dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung kepada narasumber
dengan pertanyaan yang telah di susun dalam suatu daftar pertanyaan yang telah
dipersiapkan telebih dahulu.
C. Lokasi Penelitian dan Narasumber
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta. Alasan Pengambilan lokasi
ini karena mempertimbangkan bahwa lokasi ini dapat dijangkau dengan mudah
77
Vide Buku Panduan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Tahun 2014, hlm. 35.
51
dan selain itu juga tersedianya data serta bahan penelitian yang lengkap sehingga
dapat membantu penulis menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian.
Data serta bahan yang diperlukan tersebut dicari dan dikumpulkan pada
Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia serta perpustakaan pribadi penulis.
2. Narasumber
Narasumber adalah orang yang terkait dengan rangkaian fakta yang akan
diberitakan untuk kemudian dimintai keterangan dan pernyataan atau orang yang
sangat memahami fakta dari aspek teoritis.78 Penelitian ini menggunakan
narasumber yang berasal dari kalangan praktisi dan akademisi. Dari kalangan
praktisi terdiri atas dua orang notaris-PPAT di wilayah Kota Yogyakarta yaitu
Muhammad Firdaus Ibnu Pamungkas S.H. dan Nurhadi Darussalam S.H.,
M.Hum., serta satu orang notaris-PPAT di wilayah Kota Surabaya yaitu Dr. Habib
Adjie S.H., M.Hum. Kemudian dari kalangan akademisi terdiri atas empat orang
dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yaitu Prof. Dr. Nurhasan Ismail
S.H., M.Si., Prof. Dr. Denny Indrayana S.H., LLM., Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie
S.H, CN. dan Dr. Djoko Sukisno S.H., CN., serta satu orang dosen Fakultas
Hukum Universitas Andalas yaitu Dr. Azmi Fendri S.H., M.Kn.
D. Analisis Data
78
Burhan Ash-shofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 22.
52
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif
analitik, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang diperoleh
kemudian diseleksi menurut kualitas dan kebenarannya berdasarkan penting atau
tidak kaitannya dengan permasalahan. Data tersebut kemudian disusun secara
sistematis untuk selanjutnya dikaji dengan metode berfikir deduktif dan diuraikan
dalam bentuk kalimat-kalimat yang kemudian dihubungkan dengan peraturan
perundang-undangan, pendapat para ahli dan logika hukum dari penulis sehingga
dapat ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah kaitannya
dengan pemenuhan syarat-syarat sebagai akta otentik.
Awal mula penggunaan blanko akta PPAT dimulai pada tahun 1961
melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Bentuk Akta
yang mulai berlaku pada tanggal 7 September 1961. Namun, baru 2 bentuk akta
saja yang diberikan yaitu akta jual beli dan akta hibah, dan khusus mengenai
hipotik dan creditverband menggunakan bentuk-bentuk lama yang disesuaikan,
sedangkan selain bentuk-bentuk akta tersebut belum pernah diberikan oleh
53
pemerintah.79 Berdasarkan ketentuan Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 PMA Nomor 11
Tahun 1961 menyatakan bahwa :
Pasal 1 :
Akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah harus dibuat oleh Penjabat Pembuat
Akta Tanah dengan mempergunakan pormulir-pormulir (daftar isian) yang
contoh-contohnya terlampir pada peraturan ini.
Pasal 2 :
Pormulir-pormulir yang dimaksudkan dalam Pasal 1 di atas merupakan kertas
yang berukuran : 2 x 210 x 295 mm (ukuran A3).
Pasal 3 :
(1) Untuk membuat akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 1, penjabat harus
mempergunakan pormulir-pormulir yang tercetak,
(2) Dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah, seorang pejabat
dapat mempergunakan pormulir-pormulir yang distensil atau ditik, dengan
ketentuan, bahwa kertas yang dipakai untuk mengekstensil atau mentik
pormulir itu ialah kertas HVS 70/80 gram yang berukuran sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 2 di atas.
Perkembangan selanjutnya, penggunaan blanko akta PPAT tetap
dipertahankan dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. PMNA tersebut menegaskan bahwa akta
PPAT harus dibuat dengan menggunakan blanko yang telah disediakan atau
dicetak oleh BPN atau instansi lain yang ditunjuk, tanpa menggunakan blanko,
maka akta PPAT akan ditolak pendaftaran peralihan atau pembebanan haknya
oleh kantor pertanahan. Pasal 96 PMNA Nomor 3 Tahun 199780 menyatakan
79
AP Parlindungan, 1983, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, hlm. 99.
Pasal 96 berbunyi : “(1) Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 dan terdiri dari bentuk:
80
54
bahwa fungsi blanko akta PPAT sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai
dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Aturan ini menimbulkan
ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT dengan keberadaan blanko akta
PPAT. Pengaturan blanko akta PPAT sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Kepala BPN memberikan kewenangan dan tanggung jawab pengadaan serta
pendistribusian blanko akta berada di tangan BPN.
Standarisasi akta PPAT dalam bentuk blanko yang dilakukan oleh
pemerintah sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan PPAT sementara dari
kalangan camat yang tidak semuanya memahami ketentuan umum hukum
perjanjian dan peraturan-peraturan dalam pelaksanaan UUPA. Para penjabat yang
bukan dari kalangan notaris kebanyakan agak asing terhadap persyaratanpersyaratan untuk sahnya sebuah akta menurut Reglement Jabatan Notaris (S.
1860-3) di antaranya mengenai persoalan renvoi akta, tata caranya di mana dapat
ditarik apakah harus ke samping atau ke bawah setiap tambahan, perubahan atau
coretan, persoalan larangan pembuatan akta dalam hubungan kekeluargaan garis
lurus tanpa batas dan garis ke samping sampai derajat ke empat, persoalan saksi
siapa yang boleh dan yang tidak boleh, persoalan batas umur dalam komparisi,
a. Akta Jual Beli (lampiran 16);
b. Akta Tukar Menukar (lampiran 17);
c. Akta Hibah (lampiran 18);
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (lampiran 19);
e. Akta Pembagian Hak Bersama (lampiran 20);
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan (lampiran 21);
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik (lampiran 22);
h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (lampiran 23).
(2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus dilakukan
dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
disediakan.
(3) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1)
dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
tidak dapat dilakukan berdasarkan akta yang pembuatannya melanggar ketentuan pada ayat (2)”.
55
yang bagi notaris telah lazim diketahui kesemuanya sebagaimana yang tercantum
dalam S.1860-3 (Reglement op het Notarisambt).81 Berdasarkan atas alasan
tersebut, maka bagi camat selaku PPAT sementara yang kesulitan untuk membuat
akta sendiri dapat mengacu kepada bentuk baku akta yang telah disediakan oleh
pemerintah.
Pembuatan blanko akta dilakukan oleh BPN Pusat dengan cara dicetak,
setelah itu disebarkan keseluruh kantor wilayah yang ada di tiap-tiap provinsi di
Indonesia, setelah itu disebarkan lagi ke kantor-kantor pertanahan yang ada sesuai
dengan peraturan yang dibuat oleh Kepala BPN, akan tetapi kebijakan yang dibuat
oleh Kepala BPN tersebut dalam prakteknya tidak berjalan dengan baik, karena
sesuai peraturan tersebut yang mempunyai kewenangan mencetak blangko akta
hanyalah BPN Pusat saja dan harus membagikan ke seluruh Kanwil BPN di
seluruh Indonesia lalu diteruskan ke kantor-kantor pertanahan setempat dan juga
kantor pos, baru lah PPAT bisa mengambilnya ke kantor pertanahan atau
membelinya ke kantor pos. Rentetan hal ini menimbulkan proses birokrasi yang
cukup panjang dan juga akibat dari birokrasi yang cukup panjang tersebut
terjadilah kelangkaan akta-akta PPAT yang mana membuat kerja PPAT menjadi
terhambat karena tidak tersedianya blangko-blangko yang harus mereka
pergunakan dalam rangka peralihan atau pembebanan hak atas tanah yang
dibutuhkan oleh masyarakat.82
81
AP Parlindungan, 1983, Berbagai Aspek… Op.Cit., hlm. 97-99.
Wawancara dengan Bapak Nurhadi Darussalam selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta
pada tanggal 18 Februari 2016.
82
56
Melihat kejadian keterhambatan pembuatan blangko akta yang sering
terjadi, Kepala BPN mengeluakan suatu kebijakan yaitu Peraturan Kepala BPN
Nomor 8 Tahun 2012. Dasar terbitnya peraturan tersebut pertama adalah untuk
meningkatkan pelayanan pembuatan akta tanah, di mana sebelum terbitnya
peraturan tersebut, pernah terjadi kelangkaaan blangko akta, sehingga
mengakibatkan keterhambatan dalam pembuatan akta guna memenuhi kebutuhan
masyarakat.83
Setelah kewenangan pembuatan blangko akta ada ditangan PPAT, hampir
tidak mungkin terjadinya kelangkaan blangko akta seperti yang pernah terjadi
sebelumnya. Pada saat terjadi kelangkaan blanko pun PPAT tidak diberikan
kewenangan untuk membuat aktanya sendiri. BPN melalui suratnya nomor 6401887 tanggal 16 Juli 2002 juncto Nomor 640/1884 tanggal 31 juli 2003 telah
memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN dalam mengahadapi keadaan
mendesak seperti dalam menghadapi kelangkaan dan kekurangan blanko akta
PPAT dengan membuat fotocopy blanko akta sebagai ganti blanko akta yang
dicetak, dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu
dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau oleh Kantor Pertanahan/BPN
Kota/Kabupaten setempat.84
Perkembangan berikutnya dewasa ini pembuatan akta PPAT dilakukan
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
Tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997.
83
Vide Konsiderans Menimbang Huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012.
84
Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris dan PPAT, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 104.
57
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yang mulai berlaku sejak tanggal 2 januari
2013 tersebut memiliki substansi atau ketentuan yang mencakup :85
a. Penyiapan dan pembuatan akta PPAT dilakukan sendiri oleh PPAT, PPAT
Pengganti, PPAT Sementara, dan PPAT Khusus. Sebelum berlakunya
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 blanko akta PPAT disiapkan dan
diterbitkan oleh BPN, dan hal ini merupakan suatu terobosan BPN untuk
mengatasi kelangkaan blanko akta PPAT yang selama ini menjadi masalah
rutin yang dihadapi PPAT dan masyarakat yang membutuhkan serta
menghilangkan beban negara dimana selama ini blanko akta PPAT
dibebankan pada APBN;
b. Akta PPAT selain berfungsi sebagai alat bukti, juga berfungsi sebagai syarat
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, sehingga akta PPAT yang
dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang diatur dalam
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yang bisa dijadikan dasar pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah. Kantor pertanahan setempat akan menolak
pendaftarannya jika akta PPAT dibuat tidak sesuai dengan bentuk dan tata
cara pengisian yang diatur dalam PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012;
c. Masa peralihan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 yaitu: sejak tanggal 2
Januari 2013 sampai dengan 31 Maret 2013, PPAT masih dapat
menggunakan blanko akta PPAT yang disediakan oleh BPN sepanjang stock
blanko PPAT masih tersedia di PPAT yang bersangkutan dan atau kantor
pertanahan yang bersangkutan. Jika sejak berlakunya PERKABAN ini (2
Januari 2013) PPAT tidak lagi menggunakan blanko akta PPAT yang
disediakan oleh BPN, maka PPAT yang bersangkutan wajib mengembalikan
blanko akta PPAT kepada kantor pertanahan dengan membuat berita acara
penyerahan selambat lambatnya tanggal 31 Maret 2013;
d. Bentuk akta PPAT yang diatur dalam PERKABAN ini mencakup cover akta
dan formulir akta (kepala akta, awal akta, komparisi, isi akta dan akhir akta).
Terbitnya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tersebut menjadi kabar baik
bagi para PPAT diseluruh Indonesia. Hal dikarenakan para PPAT tidak perlu lagi
mengambil ke kantor pertanahan setempat ataupun membeli di kantor pos, selain
itu kerja PPAT tidak terhambat lagi seperti dulu ketika ada masyarakat yang ingin
85
Pieter Latumeten, “Teknik Pembuatan Akta PPAT Tanpa Blanko Akta Versi PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012”, Makalah disampaikan dalam seminar PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
yang diselenggarakan oleh PENGDA INI dan IPPAT Kabupaten Bandung Barat tanggal 20 Maret
2013, hlm. 1-2.
58
melakukan penerbitan suatu akta tanah untuk mendaftarkan tanahnya, tidak dapat
langsung dilakukan penerbitan akta dikarenakan PPAT kehabisan akta dan belum
mendapatkan stock akta lagi dari BPN sehingga tentunya mau tidak mau
penerbitan akta ditunda sampai ada blangko akta yang telah didistribusikan
kembali kepada PPAT barulah akta dapat dibuat. Setelah terbit PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012 tidak ada lagi kejadian seperti dulu lagi karena PPAT tidak
perlu menunggu lagi blangko-blangko akta yang dibuat oleh BPN.
Apabila dicermati substansi pengaturan dalam PERKABAN Nomor 8
Tahun 2012 maka sesungguhnya PPAT tidak membuat aktanya sendiri, melainkan
tetap mengacu kepada PMNA Nomor 3 Tahun 1997 yaitu PPAT dalam membuat
akta dilakukan dengan mengisi blanko yang telah ditetapkan oleh menteri.
Perbedaannya adalah bahwa sebelum adanya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
blanko akta hanya bisa dicetak oleh BPN, sedangkan setelah berlakunya
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 blanko akta sudah dapat dicetak sendiri oleh
PPAT.
Terdapat perbedaan pengaturan tentang blangko akta PPAT sebelum dan
sesudah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012.
Berdasarkan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, dalam Pasal 1
peraturan tersebut menyebutkan bahwa mengubah ketentuan-ketentuan peraturan
sebelumnya mengenai blangko akta pertanahan, yang sebelumnya dicetak atau
dibuat oleh BPN menjadi dilimpahkan kewenangan tersebut kepada masing-
59
masing PPAT secara langsung untuk dapat membuat blangko-blangko akta
tersebut secara mandiri.
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tersebut dilampirkan ketentuanketentuan atau tata cara pengisian blangko akta yang akan dibuat masing-masing
PPAT. Berikut beberapa perbedaan teknis yang ditentukan dalam pembuatan
blangko akta antara lain :86 pertama mengenai kertas, sebelum dilimpahkan
kewenangan pembuatan blangko akta ke tangan PPAT berdasarkan PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012, kertas yang digunakan dalam pembuatan blangko akta ialah
kertas cetak (buram) yang digunakan oleh BPN dalam mencetak blangko-blangko
akta. Setelah diterbitkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 kertas yang
digunakan oleh PPAT untuk membuat blangko-blangko akta ialah kertas HVS 80
s/d 100 gram, oleh karena itu PPAT harus membuat blangko akta minimal dengan
kertas HVS 80 gram, tidak boleh di bawah ketentuan yang telah ditentukan oleh
BPN.
Kedua mengenai pencoretan (Renvoi), di dalam sebuah akta tanah sering
sekali ditemui sebelumnya pencoretan-pencoretan didalam akta PPAT. Hal
tersebut dikarenakan di dalam blangko akta yang dibuat BPN terdapat banyak
klausul yang ditawarkan, sehingga diperbolehkan oleh BPN untuk mencoret halhal yang dianggap tidak perlu dicantumkan didalam akta, dan wajib disetujui oleh
para pihak dengan ditandatangani dihalaman yang ada pencoretannya. Blangko
akta yang sesuai dengan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 bukan tidak
86
Wawancara dengan Bapak Nurhadi Darussalam selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta
pada tanggal 18 Februari 2016.
60
diperbolehkan melakukan Pencoretan (renvoi), akan tetapi sebisa mungkin
dihindari untuk melakukan pencoretan, karena akta yang akan digunakan dalam
rangka peralihan atau pembebanan hak atas tanah dibuat oleh PPAT sendiri.
Dengan demikian bisa meminimalisir adanya pencoretan dan bisa dilakukan
pencoretan jika memang ada kesalahan-kesalahan dalam pembuatan akta.
Ketiga mengenai warna blangko akta, terjadi perbedaan dari cover blangko
akta, yaitu pada saat berlakunya PMNA Nomor 3 Tahun 1997 warna dari blangko
akta yang dibuat oleh BPN beragam-ragam warnanya, seperti warna biru, kuning,
pink dan sebagainya. Setelah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
untuk akta-akta yang dibuat oleh PPAT, semuanya merata berwarna putih, tidak
boleh menggunakan warna lainnya.
Keempat mengenai huruf, huruf yang digunakan dalam blangko akta
sebelumnya yang dipakai oleh BPN adalah huruf Times New Roman, sedangkan
menurut PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 huruf yang digunakan untuk blanko
adalah jenis Bookman Old Style. Untuk ukuran huruf yang digunakan hampir
sama dengan sebelumnya yaitu ukuran 28 untuk sampul akta dan ukuran 12 untuk
bagian isi aktanya.
Kelima mengenai sampul (Cover) akta, untuk bagian depan atau sampul
akta, dahulu saat masih di cetak oleh BPN hanya terdapat nomor/kode blangko
akta yang di isi oleh BPN saja tanpa ada hal lainnya, sedangkan pada sampul akta
yang sekarang, bukan hanya terdapat nomor/kode blangko seperti yang dicetak
oleh BPN dahulu, akan tetapi harus memuat nama dan kedudukan sebagai PPAT,
61
daerah kerja, Surat Keputusan (SK) Pengangkatan beserta tanggal, serta alamat
kantor dari PPAT. Keenam mengenai sistem printing, pembuatan blangko akta
dari BPN yang dahulu dibuat dengan sistem cetak melalui percetakan. Sejak
dilimpahkannya kewenangan pembuatan blangko akta kepada PPAT, pembuatan
blangko-blangko tersebut dibuat dengan cara melalui sistem printing di mana para
PPAT bisa membuatnya sendiri tanpa harus melalui percetakan.
Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada pembuatan blangko akta sebelum
dan sesudah berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 dapat digambarkan
melalui tabel di bawah ini :
TABEL 1
Perbedaan Blanko Akta PPAT Sebelum dan Sesudah Berlakunya
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
Blanko akta sebelum berlakunya
Blanko akta sesudah berlakunya
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 /
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
menurut PMNA Nomor 3 Tahun 1997
1. dibuat oleh BPN
1. dibuat oleh PPAT
2. kertas cetak
2. kertas HVS 80 s/d 100 gr
3. sering terjadinya renvoi
3. renvoi dapat diminimalkan
4. warna blanko akta beragam
4. warna blanko akta putih
5. menggunakan huruf times new 5. menggunakan huruf bookman old
roman
style
6. pada sampul hanya terdapat nomor 6. pada sampul terdapat kop surat
akta
62
7. dicetak
7. diprint
Jika ditelaah ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 199787 dengan ketentuan Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 3 Tahun 199788, maka terlihat adanya kerancuan terhadap
kewenangan PPAT dalam membuat akta otentik. Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24
Tahun 1997 menghendaki bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun di sisi lain Pasal
96 ayat (2) PMNA Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa pembuatan akta
PPAT harus menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang disediakan. Hal
yang perlu dikaji adalah pengertian kata “dibuat oleh PPAT” dengan kata
“formulir”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan
formulir adalah lembar isian atau surat isian,89 sedangkan yang dimaksud dengan
membuat adalah menciptakan, melakukan, mengerjakan.90 Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa formulir adalah lembaran yang diisi sesuai dengan maksud dan
tujuannya yang sudah disediakan oleh pihak lain. Oleh karena itu mengisi
formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Berdasarkan hal tersebut jika PPAT
87
Pasal 37 ayat (1) berbunyi : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
88
Pasal 96 ayat (2) berbunyi : “Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat
(1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disediakan”.
89
Purwadaminta, 1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Gramedia, Jakarta, hlm.
279.
90
Ibid., hlm. 148.
63
masih mengisi formulir atau blanko membuktikan bahwa telah terjadi
kesalahkaprahan dan penyesatan (misleading) dalam memahami dan menerapkan
kewenangan PPAT sesuai tataran hukum yang benar.91 Dengan demikian sudah
seharusnya pelaksanaan kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik tidak
dilakukan dengan mengisi formulir atau blanko, melainkan membuat sendiri
dengan memprodusir akta-akta yang menjadi kewenangannya.
Adanya keharusan pembuatan akta PPAT dengan cara mengisi blanko
merupakan perdebatan yang tidak kunjung selesai dari dulu, yaitu apakah akta
yang dibuat oleh PPAT dengan cara mengisi blanko merupakan akta otentik atau
bukan. Menurut Pasal 1868 BW bahwa akta otentik merupakan akta yang
bentuknya ditentukan oleh undang-undang, maka atas dasar tersebut dikalangan
praktisi (notaris-PPAT) masih meragukan bahkan ada juga yang tidak mengakui
apakah akta yang dibuat oleh PPAT telah memenuhi kualifikasi sebagai akta
otentik atau tidak karena hanya mengisi blanko serta bentuknya yang tidak
ditentukan oleh undang-undang melainkan hanya melalui peraturan pemerintah
dan peraturan menteri. Keresahan yang lain dikalangan praktisi bahwa terkadang
pihak BPN terkesan tidak konsisten dengan peraturannya, pada waktu
dikeluarkannya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 para PPAT disuruh agar
mencetak sendiri blanko akta yang diperlukan, namun kemudian tidak lama
91
Habib Adjie, 2007, Telaah Ulang : Kewenangan PPAT Untuk Membuat Akta, Bukan
Mengisi Blanko/Formulir Akta, Renvoi, Jakarta, hlm. 71.
64
setelah itu keluar lagi surat edaran dari BPN yang isinya memerintahkan supaya
PPAT menggunakan kembali blanko yang telah disediakan oleh BPN.92
Akta PPAT selama ini memang tidak ditentukan bentuknya oleh undangundang, melainkan hanya sebatas peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Akta PPAT ditentukan secara baku dan seragam oleh menteri dimulai dari
pemberlakuan PMA Nomor 11 Tahun 1961, PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 38
ayat (2)93, PMNA Nomor 3 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 21
ayat (1)94. Walaupun demikian, akta-akta tersebut tetap dikualifikasikan sebagai
akta otentik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 199895.
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa untuk
memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan
bentuknya oleh menteri. Meskipun bentuk akta PPAT tidak ditentukan secara
langsung oleh undang-undang melainkan oleh peraturan pemerintah, namun
karena kita menganut peraturan hukum yang berjenjang maka sesungguhnya akta
PPAT telah dibuat berdasarkan undang-undang yaitu UUPA. Terhadap hal ini
Nurhasan Ismail berpendapat bahwa :96
“Perintah untuk dibuatkan akta PPAT itu adalah oleh undang-undang, yaitu
oleh Pasal 19 UUPA, kemudian jabarannya adalah ke dalam Peraturan
92
Wawancara dengan Bapak Muhammad Firdaus Ibnu Pamungkas selaku notaris dan PPAT
Kota Yogyakarta pada tanggal 12 November 2015.
93
Pasal 38 ayat (2) berbunyi : “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh
Menteri”.
94
Pasal 21 ayat (1) berbunyi : “Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh
Menteri”.
95
Pasal 3 ayat (1) berbunyi : “Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”.
96
Wawancara dengan Bapak Nurhasan Ismail selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 18 Februari 2016.
65
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998. Kemudian oleh PP tersebut bentuknya diserahkan kepada menteri untuk
menetapkan, itu artinya diperintah oleh undang-undang juga, secara berjenjang.
Kita menganut peraturan itu berjenjang, perintah untuk membuat akta itu dalam
setiap perjanjian peralihan oleh UUPA, bentuk aktanya diperintahkan ke PP,
kemudian PP memerintahkan kepada PERMEN. Jika dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 1868 BW, tanah itu khusus, lex specialis, tidak tunduk
sepenuhnya kepada BW. Jadi tetap diperintahkan oleh undang-undang,
berjenjang dari UUPA terus ke PP terus ke PERMEN, jangan dipahami bahwa
undang-undang sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1868 BW itu harus
ditekan dalam suatu undang-undang. Berbeda dengan notaris yang tunduk
kepada KUH Perdata, wajar, notaris itu sebagai pejabat umum pembuat akta
perjanjian pada umumnya, kalau mengenai tanah harus tunduk kepada UUPA.
Pasal 19 UUPA sudah memerintahkan bahwa setiap peralihan harus didaftarkan
dengan akta, kemudian oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
siapa? Yaitu PPAT, kemudian bentuk aktanya itu diserahkan kepada menteri,
ya sudah. Jadi tidak harus di sana ditentukan oleh undang-undang, ya sudah
ditentukan oleh UUPA, aktanya itu harus dibuat, setiap peralihan harus
didaftarkan, untuk didaftarkan harus ada akta. Dengan demikian oleh karena
tanah itu lex specialis ya harus tunduk kepada UUPA. Jadi sebenarnya sudah
dipenuhi pengertian akta otentik dari Pasal 1868 BW tersebut. Terkait dengan
keharusan pembuatan akta PPAT dengan menggunakan blanko, ya sekarang
apa bedanya dengan kontrak yang dibuat oleh perbankan, bedanya apa? Ya
tidak ada bedanya, ini standar, standarnya dibuat oleh pemerintah, yang satu
standar dibuat oleh suatu badan bukan pemerintah, samakan? standar kontrak
itukan sama, malah itu sepihak, kalau inikan masih dibuat oleh pemerintah
tidak dibuat oleh salah satu pihak. Itu satu, sekarang yang leasing-leasing
sepeda motor itu, apakah masyarakat juga menentukan apa yang diinginkan?
tidakkan, sudah ditentukan oleh lessornya, oleh perusahaan yang meleasingkan
itu. Ya ini lebih bagus, sudah ditetapkan oleh pemerintah, tidak oleh salah satu
pihak.”
Senada dengan hal tersebut di atas, pembuatan akta PPAT sebenarnya
merupakan administrasi pertanahan yang dikehendaki oleh negara dan bukan
merupakan syarat sahnya perbuatan hukum tertentu terhadap tanah. Jabatan PPAT
yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 merupakan
pelaksanaan UUPA yaitu Pasal 19. Pasal tersebut mengatakan bahwa setiap
peralihan dibuat dengan akta, sehingga pembuatan akta PPAT itu merupakan
pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA. Keberadaan blanko PPAT saat ini hanya
66
merupakan standarisasi saja, sama dengan akta pendirian perseroan terbatas, yang
formatnya telah ditentukan oleh pemerintah. Hal demikian dimaksudkan agar
standar dan adanya keseragaman sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas, tidak terjadi multitafsir terhadap isi akta, jadi orang
menafsirkannya sama sehingga tidak terjadi masalah dikemudian hari.97
Menurut Sudikno Mertokusumo undang-undang sebagai sumber hukum
dibagi menjadi dua, yaitu undang-undang dalam arti materil dan undang-undang
dalam arti formil. Undang-undang dalam arti materil merupakan keputusan atau
ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat
setiap orang secara umum. Contoh undang-undang dalam arti materil misalnya
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat,
undang-undang/peraturan
pemerintah
pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan
daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Undang-undang dalam arti
formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya
disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain
merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena
cara pembentukannya. Di Indonesia berdasarkan konstitusi yang disebut undangundang dalam arti formil ialah peraturan yang dibuat oleh Presiden dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa
97
Wawancara dengan Bapak Djoko Sukisno selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 23 Februari 2016.
67
pembentukan undang-undang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan bersama
Presiden.98
Pasal 1868 BW menyatakan bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Menurut
Siti Ismijati Jenie, frasa “undang-undang” yang disebutkan dalam pasal tersebut
tidak bisa diartikan sebagai undang-undang an sich, melainkan harus ditafsirkan
secara lebih luas yaitu sebagai peraturan perundang-undangan. Apabila melihat
realitas saat ini dimana akta PPAT sebagai akta otentik yang dibuat oleh pejabat
umum namun bentuknya ditentukan oleh peraturan pemerintah dan peraturan
menteri, maka hal tersebut sesungguhnya telah memenuhi unsur Pasal 1868 BW
sebagai akta otentik karena peraturan pemerintah dan peraturan menteri juga
merupakan peraturan perundang-undangan.99
Berdasarkan hal tersebut di atas, frasa “undang-undang” dalam Pasal 1868
BW tidak dapat diartikan sebagai undang-undang dalam arti formil, yaitu undangundang yang dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden, melainkan harus
diartikan sebagai undang-undang dalam arti materil, yaitu tidak hanya sebagai
undang-undang an sich akan tetapi lebih luas yang mencakup juga peraturan
perundang-undangan lainnya. Atas dasar tersebut maka meskipun bentuk akta
PPAT yang tidak ditentukan secara langsung oleh undang-undang, melainkan
98
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
hlm. 87-89.
99
Wawancara dengan Ibu Siti Ismijati Jenie selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 22 Februari 2016.
68
berdasarkan peraturan pemerintah dan peraturan menteri telah sesuai dan
memenuhi ketentuan syarat akta otentik menurut Pasal 1868 BW. Hal ini
ditambah lagi dengan tidak adanya terjemahan atau penafsiran yang otentik dari
pemerintah, karena KUH Perdata sebagai hukum peninggalan penjajahan Belanda
yang sejauh ini hanya merupakan terjemahan dari beberapa ahli, sehingga masih
membuka berbagai penafsiran dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUH
Perdata.
Mengenai pembuatan akta otentik maka ada persyaratan formal yang harus
dipenuhi antara lain harus dibuat oleh pejabat umum yang khusus diangkat untuk
itu dengan akta yang dibuat dalam bentuk tertentu, sehingga dapat dipastikan
bahwa tindakan dalam pembuatan akta didasarkan atas hukum yang berlaku,
aktanya dapat dijadikan sebagai dasar telah dilakukannya perbuatan hukum
tersebut secara sah dan dapat dijadikan alat pembuktian di depan hukum. Menurut
Philipus M. Hadjon bahwa syarat akta otentik, yaitu : 1. Dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.100
Hal ini sejalan dengan pendapat Irawan Soerodjo bahwa ada 3 (tiga) unsur
esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu : 1. Dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 2. Dibuat oleh dan dihadapan
pejabat umum, 3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.101
100
Philipus M. Hadjon, 2001, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya
Post, hlm. 3 dalam Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 43.
101
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola,
Surabaya, hlm. 148.
69
Dasar hukum untuk menentukan suatu akta itu adalah akta otentik atau
bukan adalah dengan menggunakan parameter ketentuan Pasal 1868 BW.
Menurut pasal 1868 BW bahwa : eene authentieke acte is de zoodanige welke in
den wettelijke vorm is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren
die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is geschied (suatu akta otentik
ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu
dibuat).102 Dengan demikian ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk
dikategorikan sebagai akta otentik, yaitu : a) akta itu harus dibuat oleh (door) atau
di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum, b) akta itu harus dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, c) pejabat umum oleh-atau di
hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta
itu.103
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat
umum.
Akta yang dibuat oleh (door) pejabat umum, disebut akta relaas atau akta
berita acara yang berisi berupa uraian dari pejabat umum yang dilihat dan
disaksikan pejabat umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik.
Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) pejabat umum, dalam praktek
102
AB Massier dkk, 2000, Personen en Familierecht (Hukum Orang dan Keluarga), KITLV
Uitgeverij, Leiden, hlm. 4-5.
103
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 43-44.
70
disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang
diberikan atau yang diceritakan di hadapan pejabat umum. Para pihak
berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta
otentik.104
Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar
utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atau
kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan
permintaan para pihak tidak ada, maka pejabat umum tidak akan membuat akta
yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak pejabat
umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika
saran pejabat umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik,
meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan
permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat pejabat umum atau isi akta
merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan pejabat umum.105
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis
dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti pejabat umum sebagai pelaku dari
akta tersebut, pejabat umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak
dalam akta tersebut. Dengan kedudukan pejabat umum seperti itu, sehingga jika
suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan pejabat umum bukan
sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam
kualifikasi hukum pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara
104
105
Ibid., hlm 44.
Ibid.
71
perdata. Penempatan pejabat umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu
para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke
dalam akta otentik atau menempatkan pejabat umum sebagai tergugat yang
berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, maka hal
tersebut telah mencederai akta otentik dan institusi pejabat umum yang tidak
dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan
pejabat umum di Indonesia.
Berdasarkan tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu
akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka :106 (1). Para pihak datang
kembali ke pejabat umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian
akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak
menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. (2). Jika para pihak tidak
sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat
menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik
menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang
memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang
sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan, hal ini
tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari
akta yang dibuat pejabat umum, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada pejabat umum yang
bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat
106
Ibid., hlm. 45-46.
72
dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta otentik
tersebut. Berdasarkan kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan
apa saja yang dilanggar oleh pejabat umum, dari aspek lahiriah, aspek formal dan
aspek materil atas akta otentik.107
b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk yang
sudah ditentukan dalam undang-undang. Mengenai hal ini harus diartikan undangundang dalam arti formil yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 1 angka 3 undang-undang tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan “undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.108
Ketika kepada para notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris
(PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang.
Pengaturan pertama kali notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de
Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. Nomor 11, tanggal 7
Maret 1822, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie
(Stb.1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842),
kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun notaris di
Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena
sejak lembaga notaris lahir di Indonesia, berdasarkan asas konkordansi maka
107
Ibid.
Ibid., hlm. 53-54. Lihat juga dalam Habib Adjie, Akta PPAT Bukan Akta Otentik, Majalah
Renvoi, Edisi Oktober Tahun 2007, hlm. 84.
108
73
Reglement atau Staatsblad Tahun 1860 Nomor 3 tersebut adalah setara
tingkatannya dengan undang-undang.109
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris atau yang biasa disebut
UUJN, keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya
ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38
UUJN.110 Berbeda dengan Akta Notaris yang bentuknya telah diatur oleh undangundang, akta PPAT sampai dengan saat ini belum diatur keberadaannya dalam
suatu undang-undang melainkan hanya dalam peraturan pemerintah dan peraturan
menteri.111
c) Pejabat umum oleh - atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
109
Wawancara dengan Bapak Nurhadi Darussalam selaku notaris dan PPAT Kota Yogyakarta
pada tanggal 18 Februari 2016.
110
Pasal 38 berbunyi : “(1) Setiap akta Notaris terdiri atas : a. awal akta atau kepala akta; b.
badan akta; dan c. akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat : a. judul akta; b. nomor akta; c. jam, hari, tanggal, bulan,
dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b.
keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. isi akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat: a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7); b. uraian tentang penandatanganan dan
tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. uraian
tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya
perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain
memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat
nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.”
111
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit.
74
Wewenang Notaris dan PPAT meliputi 4 (empat) hal, yaitu:112
(1) Berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu :
Wewenang notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang
tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang
membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung
makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik mempunyai
wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas,
misalnya PPAT mempunyai wewenang terbatas, yaitu hanya membuat 8 (delapan)
jenis akta saja.
(2) Berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta
itu dibuat.
Pejabat umum notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai
orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Mengenai orang dan untuk
siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta
pengikatan jual beli yang diikuti dengan akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak
yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjualnya kepada siapapun.
Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu tentu notaris akan
melihat (asli surat) dan meminta fotocopy atas indentitas dan bukti
kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta oleh Notaris dalam
pembuatan akta notaris, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan sertifikat tanah
sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang yang namanya
112
Ibid., hlm. 54-62.
75
tersebut dalam KTP dan sertifikat bukan orang yang sama, artinya pemilik
sertifikat bukan orang yang sesuai dengan KTP, hal ini bisa terjadi, karena banyak
kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam sertifikat hanya
tertulis nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas lain. Kejadian seperti
ini bagi notaris tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari segi yang lain
notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik) dianggap memberikan
kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan identitas diri
penghadap dan bukti kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan
ternyata palsu, maka hal ini bukan tanggungjawab notaris, tanggungjawabnya
diserahkan kepada para pihak yang menghadap.
(3) Berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat.
Pejabat umum notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai
tempat, di mana akta itu di buat. Baik notaris dan PPAT mempunyai tempat
kedudukan dan wilayah kerjanya masing-masing. Misalnya untuk notaris
sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa notaris
harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap notaris sesuai dengan
keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten
atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi
seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN).
Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena notaris
mempunyai
wilayah
jabatan
seluruh
propinsi,
misalnya
notaris
yang
berkedudukan di Kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau
76
kota lain dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dijalankan dengan
ketentuan :
a). Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat
kedudukkanya, maka notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat.
Contoh notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di
Mojokerto,
maka
notaris
yang
bersangkutan
harus
membuat
dan
menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b). Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan
penyelesaian akta.
c). Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan notaris dalam wilayah
jabatan satu provinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Ketentuan tersebut dalam praktek
memberikan peluang kepada notaris untuk merambah dan melintasi batas
tempat kedudukan dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang
dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya
di luar wilayah jabatannya atau di luar provinsi (Pasal 17 Huruf a UUJN), tapi
untuk saling menghormati sesama notaris di kabupaten atau kota lain lebih
baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para
pihak untuk membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap
notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu
dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada notaris.
Adanya ketentuan tersebut bagi notaris yang mempunyai tempat kedudukan di
77
kota atau kabupaten dan wilayah kerja provinsi, sebenarnya telah menutup
peluang untuk mengambil alih kewenangan PPAT oleh notaris, karena tempat
kedudukan PPAT sesuai dengan tempat kedudukan Kantor Pertanahan Kota
atau Kabupaten.
(4) Berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Pejabat umum notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai
waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus
dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan
sementara waktu. Notaris dan PPAT yang sedang cuti atau diberhentikan
sementara waktu tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta. Khusus
untuk notaris, dalam Pasal 1 angka 2 UUJN dikenal adanya Pejabat Sementara
Notaris, yaitu seseorang yang untuk sementara waktu menjabat sebagai notaris
untuk menjalankan jabatan notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau
diberhentikan sementara. Ketentuan pasal ini rancu, bahwa seorang notaris
melaksanakan tugas jabatannya, karena masih ada wewenang yang melekat pada
dirinya, dengan karena masih ada wewenang, maka notaris yang bersangkutan
dapat mengangkat notaris pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN), sedangkan notaris
yang meninggal dunia, diberhentikan atau diberhentikan sementara waktu sudah
tidak ada wewenang yang melekat pada dirinya, sehingga tidak perlu adanya
pejabat sementara notaris. Untuk notaris yang meninggal dunia atau diberhentikan
seharusnya protokol tersebut langsung diserahkan kepada notaris lain untuk
memegang protokolnya, dan untuk notaris yang diberhentikan sementara,
memang yang bersangkutan sedang tidak mempunyai kewenangan untuk
78
sementara waktu, yang suatu saat dapat diangkat kembali yang sesuai dengan
ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUJN.
Berdasarkan analisis atas syarat akta otentik sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 1868 BW, maka dapat disimpulkan bahwa akta-akta tanah yang
dibuat oleh PPAT bukan merupakan akta otentik. Kendati oleh peraturan
perundang-undangan telah diklaim bahwa akta PPAT sebagai akta otentik, namun
karena tidak memenuhi syarat otentisitas suatu akta yang ditentukan bentuknya
oleh undang-undang sebagaimana bunyi Pasal 1868 BW, maka akta PPAT tidak
termasuk sebagai akta otentik. Kesimpulan senada juga disampaikan oleh Habib
Adjie yang mengatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum telah memenuhi
syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1868 BW, sehingga akta yang dibuat
oleh atau di hadapan notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna. Akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi syarat
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1868 BW, karena dibuat tidak berdasarkan
undang-undang tetapi hanya mendasarkan pada aturan hukum setingkat peraturan
pemerintah dan peraturan menteri, sehingga akta PPAT bukan sebagai akta
otentik, melainkan sebagai perjanjian biasa setingkat dengan akta di bawah
tangan.113
B. Eksistensi jabatan PPAT dalam membuat akta otentik terkait dengan
keharusan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang
berbentuk undang-undang.
113
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 274.
79
Jabatan PPAT telah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksana dari
ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. PP Nomor 10 Tahun 1961 tersebut tidak disebutkan
secara eksplisit dengan nama PPAT melainkan hanya disebut dengan nama
penjabat. Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 menyebutkan :
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan
hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
(selanjutnya dalam peraturan pemerintah ini disebut : penjabat). Akta tersebut
bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Penunjukan penjabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 PP Nomor 10
Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 10 Tahun 1961. Dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria tersebut menyatakan :
(1) Yang dapat diangkat sebagai penjabat adalah :
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen
Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
peraturan-peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lainnya
yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang
penjabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh
Menteri Agraria.
(2) Permohonan untuk diangkat menjadi penjabat disampaikan kepada Menteri
Agraria, dengan perantaraan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah.
80
Pertama kalinya penyebutan jabatan PPAT ke dalam undang-undang yaitu
melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Pasal 10
ayat
(2)
undang-undang tersebut
menyatakan
bahwa
pemindahan
hak
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang
didaftarkan pada kantor agraria kabupaten dan kotamadya. Pada penjelasan ayat
(1) tersebut menyatakan : sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak
diperlukan adanya akta PPAT, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak
diperlukan akta PPAT. Pendaftaran peralihan hak dalam pewarian cukup
didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris atau surat wasiat atau surat
keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya undang-undang rumah susun yang baru, yaitu UndangUndang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun tidak ditemukan
penyebutan PPAT dalam pasal-pasalnya. Penyebutan PPAT ada di pasal
penjelasannya saja. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan bahwa proses jual beli yang
dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, dilakukan melalui akta jual
beli (AJB). Di dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa AJB dibuat dihadapan
PPAT untuk SHM (sertipikat hak milik) Sarusun, dan notaris untuk SKBG
(sertipikat kepemilikan bangunan gedung) Sarusun sebagai bukti peralihan hak.
Perkembangan berikutnya untuk pertama kali keberadaan jabatan PPAT
ditegaskan sebagai pejabat umum yaitu melalui Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang menyatakan bahwa : “pejabat
pembuat akta tanah yang selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang
81
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak
tanggunan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dalam Pasal 1 angka 5 juga
menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta tanah.
Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang
menyatakan bahwa : “pejabat pembuat akta tanah sebagaimana disebut PPAT
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu”. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menegaskan kembali bahwa
PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1
bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah “pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”.
Tugas pokok PPAT adalah membantu pelaksanaan pendaftaran tanah oleh
BPN sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998, yaitu :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran tanah
dengan membuatkan akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
82
susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. Jual beli
b. Tukar menukar;
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g. Pemberian hak tanggungan; dan
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemerintah menurut Pasal
19 ayat (2) UUPA, yaitu : a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, b.
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah tersebut, c.
Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagi alat pembuktian yang kuat.
Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2)
UUPA selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
Yaitu:
1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (opzet atau initial
registration). Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang
belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.114 Pendaftaran
tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara
114
Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
83
sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadis. Dalam Pasal 12 ayat (1)
PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali meliputi :
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. Pembuktian hak dan pembukuannya;
c. Penerbitan sertipikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis;
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
2. Kegiatan
pemeliharaan
data
pendaftaran
tanah
(bijhouding
atau
maintenance). Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut
Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis
dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah,
dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.115
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah
terdaftar.
Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan
satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta
beban-beban lain yang membebaninya.116 Perubahan data yuridis menurut Pasal
94 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997, berupa:
115
116
Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
84
a. Peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;
b. Peralihan hak karena pewarisan;
c. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perusahaan atau
koperasi;
d. Pembebanan hak tanggungan;
e. Peralihan hak tanggungan;
f. Hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah susun
dan hak tanggungan;
g. Pembagian hak bersama;
h. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan ketua
pengadilan;
i. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;
j. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.
Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah
dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atau bagian bangunan di atasnya.117 Perubahan data fisik menurut Pasal
94 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997, berupa: a. Pemecahan Bidang tanah, b. Pemisahan sebagian
atau beberapa bagian dari bidang tanah, c. Penggabungan dua atau lebih bidang
tanah.
Tugas PPAT yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah adalah :118
a. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, PPAT
wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan
117
118
Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran…, Op.Cit., hlm. 345.
85
Kabupaten/Kota setempat mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan memperlihatkan setipikat asli.
b. PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun pada saat wajib pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa surat setor bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
c. PPAT wajib menjelaskan kepada penerima hak dalam pemindahan hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun mengenai surat pernyataan
yang menyatakan bahwa:
1. Yang bersangkutan dengan pemindahan hak tesebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum
penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah Absentee (guntai) menurut ketentuan perundanundangan yang berlaku.
3. Yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana
dimaksud pada nomor 1 dan 2 tersebut tidak benar, maka tanah kelebihan
atau tanah absentee tersebur menjadi objek landreform; dan
4. Yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukum apabila
pernyataan sebagaimana dimaksud pada nomor 1 dan 2 tidak benar.
d. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur
pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang
berlaku.
e. PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang
diperlukan untuk keperluan pendaftaran pemindahan dan pembebanan Hak
tanggungan atas hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat selambatlambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Peraturan perundang-undangan di atas menunjukan bahwa kedudukan
PPAT adalah sebagai pejabat umum, namun dalam peraturan perundangundangan tersebut tidak dijelaskan pengertian apa yang dimaksud dengan pejabat
umum. Menurut R. Soegondo Notodisoerjo mengatakan bahwa pejabat umum
adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, diberi
wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia
ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan
86
(gezag) dari pemerintah, di mana dalam jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri
khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.119
Istilah pejabat umum120 merupakan terjemahan dari istilah openbare
ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 BW. Pasal 1 PJN
menyebutkan bahwa :121
De notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke
akten op te maken wegens alle handelinggen, overeenkomsten en
beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de
belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan
de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan
grossen, afschriften en uittreksels uit te geven, alles voorzoover hep opmaken
dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren
of personen opgedragen of voorhebehouden is (notaris adalah pejabat umum
yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain).
Pasal 1868 BW menyebutkan :122
Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorn is verleden,
door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter
plaatse alwaar zulks is gesschied (suatu akta otentik adalah suatu akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat).
119
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 44.
120
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusan nomor 009-014/PUU-III/2005
tanggal 13 September 2015 menyebut pejabat umum sebagai public official.
121
GHS Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 31.
122
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 15-16. Lebih lanjut beliau menjelaskan
istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi pejabat
umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Pradnya Paramita, Jakarta.
87
Menurut kamus hukum salah satu arti dari ambtenaren adalah pejabat.
Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas
yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika openbare
ambtenaren diartikan sebagai pejabat publik. Khusus berkaitan dengan openbare
amtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan sebagai pejabat
yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
publik.123 Menurut E.Utrecht, jabatan (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan
tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna
kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan lingkungan pekerjaan tetap ialah suatu lingkungan pekerjaan
yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/ seakurat mungkin
(zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat
diubah begitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek hukum
(person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi
diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan
kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban,
walaupun pejabatnya berganti-ganti.124
Baru pertama kali semenjak diterbitkannya UUPA, dasar hukum yang
secara spesifik mengatur tentang jabatan PPAT adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Jika dilihat dasar
pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan "peraturan jabatan
123
124
Ibid., hlm. 16.
E. Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, hlm. 159.
88
PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah".
Bunyi pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan
mengeluarkan PP Nomor 37 Tahun 1998, yang kemudian disusul oleh peraturan
pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 2006 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pada konsideran menimbang Huruf b PP Nomor 37 Tahun 1998
dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan peraturan pemerintah tersebut yaitu
dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan PPAT
yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang
akan dijadikan dasar pendaftaran. Pembentukan PP Nomor 37 Tahun 1998
tersebut memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT
untuk membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah.
Peran PPAT dalam membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah itu
disebutkan di dalam Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yaitu, "Dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT
dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan”. Kata-kata “dibantu” telah menimbulkan salah pengertian pada
89
sementara PPAT maupun BPN. PPAT seakan-akan adalah merupakan pembantu
dalam arti bawahan kepala kantor pertanahan.
Terhadap hal tersebut di atas Habib Adjie berpendapat bahwa PPAT
sebagai pejabat umum berada sebagai subordinasi kepala kantor pertanahan yaitu
hanya sebagai badan atau pejabat tata usaha negara.125 Tugas PPAT membantu
kepala kantor pertanahan harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan
pendaftaran tanah yang menurut Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997
ditugaskan kepada kepala kantor pertanahan. PPAT sebagai pejabat umum
bersifat
independen/imparsial/tidak
memihak,
akuntabilitasnya
kepada
masyarakat, negara, dan tuhan, dan kewenangan PPAT untuk membuat akta
PPAT melekat pada jabatan PPAT itu sendiri, dan bukan kewenangan secara
atribusi, delegasi atau mandat dari BPN.126 Oleh karena itu kepala kantor
pertanahan, bahkan siapapun tidak berwenang memberikan perintah kepadanya
atau melarangnya membuat akta. Keberadaan PPAT harus dilihat sebagai bagian
dari keseluruhan proses pendaftaran tanah, di mana BPN, PPAT, panitia
adjudikasi dan pejabat lainnya yang terkait menjalankan kegiatan pendaftaran
tanah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dimana adanya keterkaitan
serta saling mendukung antar kewenangannya tersebut demi tercapainya tujuan
pendaftaran tanah. Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang saling berkaitan tersebut di atas terlihat kedudukan
jabatan PPAT sebagai suatu jabatan tersendiri dengan kewenangan yang melekat
padanya sesuai peraturan perundang-undangan.
125
126
Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran… Op.Cit., hlm. 102.
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 102-103.
90
Menurut Jimly Asshiddiqie, harus dibedakan antara pertanggungjawaban
fungsional
PPAT
dari
pengertian
pertanggungjawaban
hukum
dan
pertanggungjawaban profesional PPAT. Dalam menjalankan fungsinya, PPAT
tidak bertanggung jawab secara fungsional kepada siapapun, termasuk kepada
pejabat pemerintah yang mengangkatnya. PPAT hanya bertanggung jawab secara
hukum kepada hakim di pengadilan apabila ia disangka dan dituduh melakukan
tindak pidana atau jika ia diminta bertanggung jawab secara professional menurut
norma-norma etika profesinya sendiri melalui dewan kehormatan atau komisi
etika yang dibentuk oleh organisasi profesinya sendiri.127 Surat keputusan
pengangkatan dan pemberhentian seorang PPAT hanya mempunyai sifat
administratif. Secara administratif PPAT tetap bertanggung jawab kepada
pemerintah yang mengangkatnya. Artinya jika ia tidak memenuhi syarat
administratif, ia tidak dapat diangkat menjadi PPAT, sebaliknya jika ia gagal
memenuhi bukti-bukti lain yang dapat dijadikan alasan pemberhentiannya dari
jabatan PPAT, maka ia akan diberhentikan dari jabatan PPAT oleh pejabat
pemerintah yang mengangkatnya sebagai PPAT. Oleh karena itu PPAT haruslah
dikembangkan sebagai pejabat tersendiri yang bersifat independen khusus
mengenai aktifitas pembuatan akta pengalihan dan pelepasan hak atas tanah serta
pembebanan hak tanggungan atas tanah.128 Dengan demikian PPAT sebagai
pejabat umum berkedudukan independen (mandiri), imparsial (tidak memihak),
bukan bawahan atau subordinasi pihak lain yang mengangkatnya, mempunyai
127
Jimly Asshiddiqie, Independensi dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah, Majalah
Media Notariat Edisi April-Juni Tahun 2003, hlm. 74.
128
Ibid., hlm. 75.
91
wewenang yang telah ditentukan berdasarkan aturan hukum yang mengatur
jabatan tersebut, serta akutabilitasnya kepada masyarakat, negara dan Tuhan.129
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie tersebut di
atas, Azmi Fendri berpendapat bahwa salah satu cara yang mesti dilakukan untuk
menjadikan PPAT sebagai pejabat yang independen yaitu harus diatur dalam
undang-undang tersendiri, jadi tidak lagi diatur ke dalam PP. Hal ini dikarenakan
PP Nomor 37 Tahun 1998 merupakan produk eksekutif (pemerintah). Ilmu
perundang-undangan menjelaskan bahwa peraturan pemerintah dibuat untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, sedangkan PP Nomor 37 Tahun 1998
tidak ada melaksanakan ketentuan undang-undang manapun, PP Nomor 37 Tahun
1998 merupakan policy rules yang langsung dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi
artinya keberadaan PP Nomor 37 Tahun 1998 tidak merujuk kepada peraturan
yang ada di atasnya, melainkan murni atas kemauan pemerintah. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa PPAT berada di bawah eksekutif dalam hal ini BPN.
Apabila ingin menjadikan PPAT sebagai pejabat yang independen memang harus
diatur dalam undang-undang tersendiri, sehingga bisa bebas dari segala bentuk
intervensi. Dengan demikian kalau sudah diatur dalam undang-undang maka
PPAT akan mempunyai posisi hukum yang lebih kuat jika dibandingkan pada saat
ini yang hanya diatur oleh PP. Kalau jabatan PPAT tetap masih diatur dalam PP
maka PPAT akan sangat sulit untuk bisa menjadi pejabat yang independen.
Selama ini PPAT tidak bisa keluar dari yang namanya intervensi daripada
eksekutif dalam hal ini adalah BPN. Sebagai contoh di mana PPAT itu tidak
129
Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran… Op.Cit.
92
mempunyai independensi adalah pada saat membuat akta-akta tanah yang menjadi
kewenangannya diatur semua oleh BPN, formatnya seperti ini, ukurannya seperti
ini, sampai kepada hal-hal yang sifatnya teknis diatur oleh BPN. Apabila aturan
tersebut tidak dilaksanakan oleh PPAT, maka akta PPAT tidak akan diproses di
BPN karena dianggap tidak mematuhi apa yang sudah diedarkan oleh BPN yang
kemudian diinstruksikan kepada semua BPN yang ada di daerah.130
PPAT sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
kewenangannya adalah membuat serta mengesahkan akta pemindahan hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, kemudian setelah dibuatkan akta
pemindahan hak tersebut dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten atau
kota. Mekanisme tersebut memperlihatkan bahwa perbuatan atau tindakan hukum
berupa pendaftaran tanah yang berasal dari pemindahan hak yang berupa jual beli
harus didahului dengan pembuatan akta jual beli tanah dan disahkan oleh seorang
pejabat yang disebut PPAT. PPAT merupakan pejabat umum yang membantu
kepala kantor pertanahan kabupaten/kota yang berkaitan dengan sah atau tidaknya
akta pemindahan hak atas tanah atau dengan kata lain PPAT dapat dikatakan
sebagai pejabat yang melaksanakan urusan tugas pemerintahan yang berupa
rangkaian proses pendaftaran hak atas tanah, karena tanpa adanya akta dari PPAT
maka tanah yang bersangkutan itu tidak dapat didaftarkan pada kantor pertanahan
kabupaten atau kota.
130
Wawancara dengan Bapak Azmi Fendri selaku dosen Fakultas Hukum Universitas
Andalas pada tanggal 14 Maret 2016.
93
Berdasarkan uraian tersebut di atas timbul pertanyaan apakah PPAT
merupakan pejabat tata usaha negara dan apakah akta PPAT dapat dijadikan objek
sengketa di peradilan tata usaha negara. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijumpai adanya istilah-istilah
misalnya badan atau pejabat tata usaha negara, keputusan tata usaha negara,
sengketa tata usaha negara, dan sebagainya. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan yang dimaksud badan atau pejabat tata usaha
negara yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Penjelasan
Pasal 1 angka 1, bahwa urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat
eksekutif, dan yang dimaksud dengan pemerintah adalah keseluruhan kegiatan
yang menjadi tugas dan dilaksanakannya oleh para badan dan jabatan/pejabat tata
usaha negara yang bukan pembuatan peraturan (wetgeving) dan mengadili
(rechtspraak).131 Akan tetapi dalam praktik tidaklah gampang untuk menentukan
secara limitatif pejabat atau badan tata usaha negara sebagai tergugat dalam
sengketa tata usaha negara, karena di dalam praktiknya ada tugas-tugas eksekutif
yang dilimpahkan pelaksanaanya kepada lembaga legislatif maupun yudikatif,
malahan ada kalanya dilimpahkan kepada pihak lembaga swasta, hal ini terjadi
karena sistem ketatanegaraan tidak mengenal pemisahan kekuasaan atau
131
Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Introduction to The
Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 5.
94
separation of power sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu melainkan
pendistribusian kekuasaan atau distribution of power.132
Menurut Indroharto bahwa apa dan siapa yang dimaksud dengan badan
atau jabatan tata usaha negara itu menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, ukurannya ditentukan fungsi yang dilaksanakan oleh badan
atau jabatan tata usaha negara pada saat tindakan hukum itu dilakukan. Apabila
suatu tindakan hukum yang dilakukan pada saat itu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan
pemerintahan, maka apa dan siapa saja yang melaksanakan fungsi itu, pada saat
itu dapat dianggap sebagai suatu badan atau jabatan tata usaha negara, dengan
demikian ukuran yang digunakan adalah bersifat fungsional.133
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 memberikan PPAT
kewenangan untuk membuat dan mengesahkan akta peralihan hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun, yang kemudian setelah dibuatkan akta tersebut
barulah
dapat
didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota. Rangkaian perbuatan atau
tindakan hukum berupa pendaftaran tanah yang berasal misalnya dari jual beli,
harus didahului oleh pembuatan akta jual beli tanah dan pengesahannya oleh
PPAT, tanpa itu tanah yang bersangkutan tidak dapat didaftarkan pada kantor
pertanahan kabupaten/kota. Dengan adanya fungsi yang demikian itu, maka
kapasitas PPAT dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara, yaitu
132
Darwan Prinst, 1993, Strategi Memenangkan Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 27.
133
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 64.
95
menjalankan kegiatan urusan pemerintahan yang berupa rangkaian proses
pendaftaran tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, semua itu merupakan kegiatan urusan
pemerintahan. Hal tersebut tidak berarti secara langsung PPAT dan akta PPAT
dapat atau bisa secara langsung digugat atau digunakan sebagai objek sengketa di
peradilan tata usaha negara.134
Peradilan tata usaha negara merupakan peradilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa administrasi antar badan atau pejabat tata usaha negara
dengan individu atau badan hukum perdata sehingga peradilan tata usaha negara
berfungsi sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap tindakan pemerintah,
sejalan
dengan konsep negara hukum di mana kedudukan antara masyarakat dengan
pemerintah adalah sejajar, karena itu di Indonesia sebagai negara hukum harus
ada peradilan tata usaha negara maka didirikanlah peradilan tata usaha negara oleh
pemerintah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang sampai sekarang telah mengalami 2 (dua) kali
perubahan yaitu, pertama diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya dilakukan perubahan yang kedua yaitu
diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
134
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi PPAT Menurut PP 10 Tahun 1961, Airlangga Press,
Surabaya, hlm. 18.
96
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Objek Sengketa di peradilan tata usaha negara adalah keputusan/penetapan
tertulis atau yang disamakan dengan itu, yang dikeluarkan atau ditolak, yaitu
dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha negara seperti tercantum dalam
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa keputusan
atau penetapan tata usaha negara yang dapat disengketakan di peradilan tata usaha
negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, keputusan tertulis.
Keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha
negara haruslah dalam bentuk tertulis. Hal ini adalah untuk memudahkan dari segi
pembuktian. Bentuk tertulis itu dapat juga berupa nota dinas atau memo dan
keputusan itu haruslah bersifat:135 1. Konkret. Obyek yang akan diputuskan dalam
surat keputusan tata usaha negara itu tidak bersifat abstrak tetapi berwujud
tertentu atau dapat ditentukan, misalnya : penerbitan sertifikat tanah oleh BPN
atas nama B; 2. Individual. Keputusan pejabat tata usaha negara itu tidak
ditujukan kepada umum, tetapi untuk orang tertentu, baik nama atau alamat yang
dituju, apabila yang dituju oleh keputusan tata usaha negara itu lebih dari seorang,
maka nama tiap-tiap orang itu disebutkan dalam keputusan tata usaha negara
tersebut, misalnya: nama-nama orang yang tanahnya terkena pelebaran jalan harus
disebut satu per satu dalam lampiran surat keputusan; 3. Final. Keputusan tata
usaha negara itu sudah dapat dilaksanakan dan tidak perlu meminta persetujuan
atasan ataupun instansi lain. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan
135
Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum… Op.Cit., hlm. 137-138.
97
atasan/instansi lain belum bersifat final, karena belum dapat menimbulkan hak
dan kewajiban pada pihak bersangkutan.136 Misalnya, pemberhentian A seorang
Dosen Kopertis sebagai tenaga pengajar oleh Rektor PTS (Keputusan Rektor bagi
Dosen Kopertis) yang bersangkutan itu belum final, karena masih memerlukan
persetujuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kedua, Keputusan yang bersifat negatif, yaitu pejabat atau badan tata
usaha tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, sedangkan hal itu
menjadi kewenangannya untuk dapat mengeluarkan keputusan, perbuatan tersebut
sama dengan telah menolak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986. Apabila peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak mengatur jangka waktu, maka setelah lewat
jangka waktu 3 (tiga) bulan yaitu sejak diterimanya permohonan tersebut itu,
maka pejabat atau badan tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Ketiga, dibuat oleh pejabat atau badan tata usaha negara secara sepihak.
Keputusan yang dapat menjadi obyek sengketa dalam peradilan tata usaha negara,
haruslah dikeluarkan oleh pejabat atau Badan tata usaha negara secara sepihak
walaupun sebelumnya ada permohonan. Keempat, menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum telah timbul, apabila dengan dikeluarkannya keputusan atau
penetapan itu menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Seluruh elemen persyaratan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 harus terpenuhi secara kumulatif, barulah keputusan atau penetapan
136
Vide Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
98
pejabat tata usaha negara tersebut menjadi kewenangan mengadili dari pengadilan
tata usaha negara.137
Keputusan
yang
merupakan
salah
satu
instrumen
yuridis
bagi
pemerintahan untuk dapat melakukan suatu tindakan dan keputusan pemerintah
secara teoritis telah dikenal dengan istilah Beschikking yang dapat diberikan
batasan antara lain, beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi
satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan atas kewenangan
dengan maksud terjadi perubahan hukum, dan tindakan hukum sepihak dalam
lapangan pemerintah dan dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan
wewenang yang ada pada organ itu, dan perbuatan hukum publik yang bersegi
satu yang dilakukan alat-alat pemerintah berdasarkan kekuasaan istimewa.138
Berangkat dari pengertian tentang batasan beschikking tersebut dapat
diartikan beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau
perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan dua
belah pihak, dan bersifat hukum publik diperoleh dari wewenang atau kekuasaan
atau kekuasaan istimewa, dengan maksud terjadi perubahan dalam lapangan
hubungan hukum. Karakteristik beschikking antara lain, bersifat hukum publik,
seperti juga halnya setiap keputusan administrasi lainnya, beschikking selalu
dikeluarkan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh suatu ketentuan hukum
administrasi negara, dan bersifat sepihak, seperti suatu keputusan administrasi
137
Bambang Yunarko, Kedudukan Jabatan dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Sengketa Di Peradilan Tata Usaha Negara, Jurnal Perspektif Edisi September Tahun 2013, hlm.
189-190.
138
S.F. Marbun dan Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 75.
99
lainnya beschikking ternyata juga bersifat sepihak, sekalipun dikarenakan adanya
permohonan, bersifat individual, konkret dan final, artinya individual adalah
untuk orang tertentu, konkret artinya tidak abstrak dan final artinya sudah definitif
sifatnya dan tidak memerlukan lagi persetujuan atasan atau instansi lain.139
Berdasarkan uraian di atas bahwa Akta PPAT bukan suatu akta yang
dilahirkan berdasarkan perbuatan hukum publik akan tetapi di lahirkan
berdasarkan hukum perdata, sehingga akta PPAT tidak dapat digolongkan sebagai
suatu beschikking yang bersifat sepihak dan bersifat hukum publik sehingga akta
PPAT bukan merupakan suatu beschikking, karenanya akta PPAT tidak dapat
dijadikan obyek sengketa di peradilan tata usaha negara sekalipun PPAT
berfungsi pada saat itu sebagai pejabat tata usaha negara. Andaikan dikatakan
bahwa perbuatan mengesahkan akta tersebut merupakan produk hukum yang telah
dituangkan dalam bentuk beschikking, akan tetapi beschikking yang demikian
tetap sebagai perbuatan hukum perdata yang tidak bersifat sepihak dimana PPAT
tidak bisa memaksakan para pihak yang terkait dalam keputusannya, maka
disinilah letak karakter hukum perdatanya akta yang dibuat oleh PPAT, hal ini
secara tegas disebutkan di dalam Pasal 2 Huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986.140
Hal ini senada dengan pendapat dari Logemann tentang konsep ambt (jabatan)
bahwa jika dikaitkan dengan tindak pemerintahan, perbuatan hukum keperdataan
139
140
Bambang Yunarko, Kedudukan Jabatan… Op.Cit., hlm. 189.
Ibid., hlm. 193.
100
yang dilakukan oleh organ administrasi negara tidak termasuk dalam lapangan
hukum administrasi.141
Kedudukan jabatan PPAT dan aktanya sebagaimana tersebut di atas
ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia :142
1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 27 Juli 2001 : bahwa akta-akta yang
diterbitkan oleh PPAT adalah bukan keputusan tata usaha negara
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Sub. 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa tata usaha
negara, karena meskipun dibuat oleh PPAT sebagai pejabat tata usaha
negara, namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak sebagai pejabat
umum dalam bidang perdata.
2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Februari 2000 : PPAT adalah pejabat
tata usaha negara karena melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, jo. Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 dan Pasal 5 Peraturan
Menteri Negara Agraria nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi (akta jual beli)
yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara
karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang
merupakan sifat keputusan tata usaha negara.
Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter
yuridis PPAT dan akta PPAT, yaitu :
1. PPAT sebagai pejabat tata usaha negara, karena menjalankan sebagian urusan
pemerintahan dalam bidang pertanahan atau dalam bidang pendaftaran tanah
dengan membuat akta PPAT sesuai aturan hukum yang berlaku.
2. Akta PPAT bukan merupakan keputusan tata usaha negara, meskipun PPAT
dikualifikasikan sebagai pejabat tata usaha negara.
141
142
Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum… Op.Cit., hlm. 23.
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia… Op.Cit., hlm. 12-13.
101
3. Dalam kedudukan sebagai pejabat tata usaha negara, PPAT tetap bertindak
sebagai pejabat umum dalam bidang hukum perdata.
4. Akta PPAT tidak memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara, karena
akta PPAT bersifat bilateral (kontraktual), sedangkan keputusan tata usaha
negara bersifat unilateral.
Ketentuan-ketentuan yang selama ini mengatur jabatan PPAT dianggap
belum cukup memadai, karena walaupun kedudukan, nama dan status PPAT
sebagai pejabat umum tersebut telah disebutkan dengan tegas dalam undangundang tentang rumah susun maupun undang-undang tentang hak tanggungan,
tetapi ketentuan mengenai peraturan jabatan PPAT hanya diatur dengan peraturan
perundang-undangan setingkat peraturan pemerintah yang masih belum memadai
untuk tugas dan peranan PPAT. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tersebut kurang tepat secara hukum. PP Nomor 37 Tahun 1998 sama
sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang melainkan atas perintah
Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.143 Jika merujuk kepada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud
dengan “peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya”. Oleh karena itu sudah seharusnya suatu peraturan pemerintah
dikeluarkan atas perintah dari suatu undang-undang bukan peraturan pemerintah.
143
Pasal 7 ayat (3) berbunyi : “Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan pemerintah tersendiri”.
102
Kontoversi keberadaan jabatan PPAT yang hanya diatur dalam peraturan
perundang-undangan setingkat peraturan pemerintah menjadi permasalahan
penting. Hal tersebut menjadi menarik menyusul keberadaan Pasal 15 ayat (2)
Huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa "Notaris
berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan". Penjelasan
dari Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN tersebut hanya dinyatakan cukup jelas.
Ketentuan tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari berbagai kalangan,
khususnya pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah, DPR, Notaris dan
PPAT, serta BPN sendiri maupun masyarakat secara luas. Pada akhirnya UndangUndang Jabatan Notaris menimbulkan pro dan kontra khususnya pada ketentuan
yang berkaitan dengan pertanahan yang juga mengakibatkan banyak tafsir yang
berbeda-beda. Apakah dengan lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor
30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 khususnya Pasal 15
Huruf f telah memberi kontribusi lebih bagi seorang notaris untuk ambil peran di
bidang pertanahan secara menyeluruh. Sebuah paradigma baru bahwa selama ini
pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan sebagai objek yang selama ini
menjadi wewenang PPAT, akan bergeser kepada fungsi penuh seorang notaris
yang sebelumnya hanya pada pembuatan akta autentik mengenai aspek
keperdataan di luar bidang pertanahan.144
Sebagaimana
telah
diuraikan
sebelumnya
bahwa
sesungguhnya
keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri
144
Ady Kusnadi dkk, 2010, Masalah Hukum Jabatan Notaris Dalam Kegiatan Pertanahan,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 3.
103
yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula
sebagaimana
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan.
Menyusul
diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014, kedudukan PPAT pun kemudian dipermasalahkan karena
dinyatakan telah melekat secara otomatis pada jabatan notaris berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f tersebut. Ketentuan tersebut menimbulkan
konflik dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan PPAT
sebagai pejabat yang diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah.
Sistem perundang-undangan mengenal adanya hierarchie (kewerdaan atau
urutan). Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang
tinggi, ada yang mempunyai tingkatan yang lebih rendah. Perundang-undangan
suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan
atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Peraturan
perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan yang lebih tinggi. Kalau sampai terjadi konflik, maka peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundangundangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah
yang akan didahulukan. Ini merupakan asas yang dikenal dengan adagium yang
berbunyi lex superior derogate legi inferiori.145
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, jika terjadi konflik hukum yang
mengatur hal yang sama maka dapat diselesaikan dengan menggunakan asas
hukum, yaitu: Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang145
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal… Op.Cit., hlm. 92.
104
undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang lama
yang mengatur hal yang sama. Selain itu dapat juga menggunakan asas Lex
superior derogate legi inferiori sebagaimana telah diijelaskan sebelumnya, yaitu
jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan
yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan. Berdasarkan kedua
asas hukum tersebut maka dapat menjadi dasar untuk mengesampingkan
peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT kedudukannya lebih rendah dari
UUJN karena bentuknya hanya peraturan pemerintah.
Sesungguhnya antara jabatan PPAT dan jabatan notaris adalah dua jabatan
yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula,
selama ini dua jabatan tersebut berada pada instansi pemerintahan yang berbeda
termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya serta hal-hal yang terkait dengan
pelaksanaan jabatan tersebut, walaupun dua jabatan itu dapat disandang sekaligus
oleh seseorang karena pada umumnya seorang notaris juga adalah PPAT.
Masyarakat awam pun selalu menganggap bahwa kedua jabatan ini merupakan
satu kesatuan. Pemisahan antara dua jabatan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15
ayat (1) UUJN yang menyatakan:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta,
menyimpan akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
105
Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN sendiri
mengakui keberadaan suatu jabatan tertentu yang telah ditetapkan dengan undangundang. Misalnya pembuatan akta yang pemindahan hak atas tanah dan/atau akta
pembebanan hak tanggungan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan yang harus dibuat dengan akta PPAT. Jika dicermati bunyi akhir
pasal tersebut, maka sesungguhnya pejabat lain yang berwenang pula untuk
membuat akta otentik dikehendaki supaya pejabat atau orang lain tersebut
ditetapkan dengan undang-undang, tentu saja hal ini akan menjadi masalah bagi
PPAT yang juga berwenang untuk membuat akta otentik di bidang pertanahan
namun hanya diatur melalui peraturan pemerintah.
Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan notaris, pada huruf g
melarang notaris merangkap jabatan sebagai PPAT di luar wilayah jabatan
notaris. Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan
antara jabatan notaris dan jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan jabatan
notaris dengan jabatan PPAT dalam Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak
konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah
otomatis melekat jabatan PPAT dalam jabatan notaris sekaligus, sehingga wilayah
jabatan notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul
larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara selintas ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f
maka akan terlihat bahwa pada jabatan notaris melekat juga jabatan PPAT
sekaligus. Penjelasan pasal tersebut hanya menyatakan cukup jelas, sehingga jika
dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f tidak
106
memberikan kepastian hukum karena tidak mampu memberikan penjelasan lebih
lanjut tentang apa saja yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan
tersebut dan bagaimana kewenangan di bidang pertanahan itu dilaksanakan.
Akibatnya Dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan menimbulkan
penafsiran yang beragam terhadap ketentuan pasal tersebut, sebab tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pasalnya karena dianggap cukup jelas,
termasuk bagaimana ketentuan itu dilaksanakan secara operasional.
Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Huruf f tersebut
didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
yaitu dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Misalnya tata cara
pelaksanaan kewenangan notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden, atau setidaknya
menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan
kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas
dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu
dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya, akta pengikatan jual beli, akta sewa
menyewa. Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN, sampai saat ini tidak
dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan perundangundangan lain yang mengatur hal yang sama. Akibat kondisi demikian, maka
terjadi apa yang disebut dengan contra conseutudinem non obligat yaitu peraturan
yang bertentangan tidak dapat mengikat.146
146
Farida Patittingi, Keberadaan Jabatan PPAT Bersumber Pada UUPA, Makalah di
sampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan yang diselenggarakan PP IPPAT bekerjasama
107
PPAT sebagai jabatan yang memang sejak semula dimaksudkan untuk
membuat akta mengenai perbuatan hukum baik peralihan maupun pembebanan
hak atas tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut.
Eksistensi PPAT harus memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas sehingga
akta yang dilahirkan dari pelaksanaan jabatan tersebut, tidak dipermasalahkan di
kemudian hari dan tidak menimbulkan kerugian kepada masyarakat. Adanya
permasahan yang timbul dari lemahnya dasar hukum jabatan PPAT sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas maka perlu adanya diambil langkah penyelesaian
untuk mengakhirinya.
Pengaturan keberadaan PPAT dapat disatukan dengan notaris karena
peluang untuk hal tersebut terbuka menyusul diakomodasinya kewenangan
pembuatan akta pertanahan oleh notaris melalui Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN.
Hal tersebut juga diamini oleh Nurhasan Ismail bahwa dua jabatan (notaris-PPAT)
yang melekat kepada satu orang tersebut agar disatukan saja supaya ke depan
tidak ada lagi dualisme jabatan. Hal ini dikarenakan orang yang memegang
jabatan tersebut sama, produknya juga sama, yaitu akta otentik yang dibuat oleh
pejabat umum, sehingga dengan adanya penggabungan demikian maka masingmasing jabatan tersebut tidak ada lagi terkesan rebutan.147 Selain itu dengan
adanya penyatuan kedua jabatan antara notaris dan PPAT, maka dualisme jabatan
PPAT yang di satu sisi sebagai pejabat umum namun di sisi lain juga sebagai
pejabat tata usaha negara dapat diakhiri, oleh karena kedua jabatan tersebut
dengan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya tanggal 14 Juli
2012 di Jakarta, hlm. 9.
147
Wawancara dengan Bapak Nurhasan Ismail selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 18 Februari 2016.
108
memiliki ciri-ciri yang berbeda, ciri yang melekat kepada pejabat umum ialah
mandiri dan independen dalam melaksanakan tugasnya, sedangkan ciri yang
melekat pada pejabat tata usaha negara sebagai administrasi negara memiliki
serangkaian hirarkis jabatan yang berarti tidak ada independensi dalam
melaksanakan tugasnya.
Di Belanda para notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang
membuat akta untuk setiap perjanjian atau perbuatan hukum, termasuk akta
hipotik dan akta-akta mengenai pertanahan. Memang sebelum berlakunya BW
(yang di dalamnya mengatur hipotik) pejabat yang membuat akta pertanahan
adalah pejabat balik nama (overschrijvingsambtenaar) berdasarkan stb. 1834
nomor 27. Penunjukan overschrijvingsambtenaar sebagai PPAT bersifat
sementara karena pada waktu itu BW dan PJN belum dibentuk. Setelah BW dan
PJN diterbitkan pada tahun 1848 dan 1860 maka pembuatan akta-akta tanah,
termasuk akta hipotik dilakukan oleh notaris, namun karena pada waktu itu para
notaris belum tersebar ke seluruh Hindia Belanda maka di beberapa daerah
pembuatan akta tanah tetap dilakukan oleh overschrijvingsambtenaar. Pada
dasarnya pelimpahan tugas kepada overschrijvingsambtenaar dalam pembuatan
akta tanah hanya bersifat sementara dan untuk selanjutnya berdasarkan PJN
ditentukan hanya menjadi kewenangan notaris selaku satu-satunya pejabat umum
sebagaimana disebutkan Pasal 1868 BW dan Pasal 1 PJN.148
148
Pasal 1 PJN berbunyi “notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan
109
Dengan demikian penunjukan PPAT sebagai pembuat akta otentik di
bidang pertanahan adalah bertentangan dengan Pasal 1868 BW dan Pasal 1 PJN.
Oleh karena itu jika pemerintah hendak konsisten melaksanakan UUJN, maka
jabatan PPAT seyogyanya dihapuskan dan kewenangan membuat akta-akta
dibidang pertanahan diberikan kepada notaris. Konsekuensi yuridisnya adalah
jabatan PPAT dihapuskan jika kewenangan membuat akta-akta pertanahan
diserahkan kepada notaris sesuai Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN.149
Hal di atas dapat dibenarkan dengan menelaah ketentuan Pasal 19 PP
Nomor 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pemerintah yang dikeluarkan pertama
kalinya untuk mengatur tentang pendaftaran tanah.150 Pasal tersebut tidak
menggunakan frasa “pejabat” melainkan “penjabat”, karena dalam bahasa hukum
kedua kata tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Dalam hukum administrasi
negara dikenal ada dua kategori pejabat yaitu pejabat negara dan pejabat
pemerintahan.
Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada
lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya
berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat negara adalah anggota
DPR, Presiden dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk
dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.
149
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, hlm. 120-122.
150
Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 berbunyi “setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta
yang dibuat oleh dan di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam
peraturan ini disebut : penjabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.”
110
dan atas nama negara. Sedangkan yang dimaksud dengan pejabat pemerintahan
adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan
fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat administrasi negara
seperti menteri-menteri sebagai pembantu Presiden, beserta aparatur pemerintahan
lainnya di lingkungan eksekutif.151
Berbeda dengan pengertian pejabat sebagaimana telah dijelaskan di atas,
yang dimaksud dengan penjabat adalah pemegang jabatan orang lain untuk
sementara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV, cetakan ke-19 September
2015, halaman 554). Sebagai contohmya dapat dilihat ketentuan Pasal 86 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “apabila gubernur
diberhentikan sementara dan tidak ada wakil gubernur, Presiden menetapkan
penjabat gubernur atas usul menteri”.152 Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa PP Nomor 10 Tahun 1961 tidak menghendaki dibuatnya jabatan baru dan
tetap yang bernama PPAT, karena tugas penjabat sebagaimana dimaksud Pasal 19
peraturan pemerintah tersebut telah merupakan tugas notaris sebagai satu-satunya
pejabat umum pembuat akta otentik.
Kalangan notaris pun juga menghendaki agar pembuatan akta-akta tanah
yang selama ini dilakukan oleh PPAT diberikan sepenuhnya kepada notaris
dengan menghapus jabatan PPAT. Irawan Soerodjo mengatakan bahwa oleh
karena jabatan PPAT tidak diatur secara eksplisit dalam UUPA dan Pasal 19 PP
151
Maliki
Ibrahimafi,
Pejabat
Negara
dan
Pejabat
Pemerintahan,
http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 2 April 2016.
152
Muhammad Yasin, Bahasa Hukum : Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian dan Penjabat,
http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 2 April 2016.
111
Nomor 10 Tahun 1961 juga tidak secara tegas menyebut PPAT, maka Menteri
Agraria (pemerintah) tidak perlu membentuk lembaga jabatan baru yaitu PPAT.
Alasannya, karena di samping bukan merupakan hal yang sangat perlu untuk
dibentuk saat itu, pada dasarnya jabatan notaris dapat melakukan fungsi dan tugas
pejabat sebagaimana dimaksud PP Nomor 10 Tahun 1961, yaitu membuat aktaakta dengan mengkonstatir perjanjian antara para pihak yang objeknya mengenai
tanah.153
Ilmu perundang-undangan mengenal adanya dinamika norma hukum yang
vertikal yaitu dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke
atas. Dalam dinamika yang vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, berdasar
dan bersumber pada norma hukum diatasnya, norma hukum yang berada di
atasnya berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum yang di atasnya lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar semua
norma hukum yang dibawahnya. Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke
bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum di
bawahnya, norma hukum di bawahnya selalu menjadi sumber dan dasar norma
hukum yang di bawahnya lagi, dan demikian seterusnya ke bawah.154
Keberadaan PPAT sebagai pejabat umum hanya diatur dalam peraturan
pemerintah yang berkedudukan di bawah undang-undang. Lantas menjadi
pertanyaan karena peraturan pemerintah merupakan peraturan pelaksana dari
undang-undang, maka eksistensi PP Nomor 37 Tahun 1998 tersebut
153
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Indonesia, Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, hlm. 159. Dalam Husni Thamrin, 2011,
Pembuatan Akta… Op.Cit., hlm. 122.
154
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu…, Op.Cit.
112
melaksanakan undang-undang apa, karena undang-undang yang secara khusus
mengatur PPAT hingga saat ini belum ada, sedangkan eksistensi PP Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT merupakan pelaksana dari PP Nomor 24
Tahun 1997.155 Dengan demikian berdasarkan dinamika hukum yang vertikal
dalam ilmu perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka
pembentukan PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah merupakan langkah yang keliru.
Sudah semestinya PP Nomor 37 Tahun 1998 dibentuk berdasarkan suatu norma
yang memiliki jenjang lebih tinggi yaitu undang-undang, bukan berdasarkan
peraturan pemerintah yang derajatnya setara.
Adanya berbagai jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik
Indonesia dalam suatu tata susunan yang hierarkis mengakibatkan pula adanya
perbedaan dalam hal fungsi berbagai jenis peraturan perundang-undangan
tersebut. Fungsi peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang
adalah sebagai berikut :156
a. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UndangUndang Dasar yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi yang pertama ini
terlihat jelas dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, dalam pasal
tersebut dinyatakan secara tegas masalah yang harus diatur dengan
undang-undang.
b. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang
tubuh UUD 1945. Fungsi ini tersirat dalam penjelasan umum UUD 1945
155
156
Vide Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu…, Op.Cit., hlm. 113-115.
113
alinea IV yang menentukan bahwa “apabila kita hendak mengatur segala
sesuatu yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari batang tubuh UUD
1945, kita harus mengaturnya dengan undang-undang”.
c. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam TAP MPR yang tegas-tegas
menyebutnya. Maksudnya adalah apabila sesuatu masalah disebut secara
tegas dalam sesuatu TAP MPR untuk diatur dengan undang-undang, maka
harus mengaturnya dengan undang-undang.
d. Pengaturan di bidang materi konstitusi. Fungsi yang terakhir ini
merupakan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa pengaturan di
bidang materi konstitusi seperti peraturan mengenai organisasi dan
susunan lembaga tinggi negara serta hubungan antara negara dan warga
negara.
Fungsi
peraturan
perundang-undangan
yang
berbentuk
peraturan
pemerintah adalah menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut :157
a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas
menyebutnya. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam suatu
undang-undang. Apabila suatu masalah di dalam suatu undang-undang
memerlukan pengaturan lebih lanjut meskipun tidak disebutkan secara
tegas, maka peraturan pemerintah dapat mengaturnya lebih lanjut
157
Ibid., hlm. 115-116.
114
sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut undang-undang
tersebut.
Menurut Denny Indrayana, tidak ada aturan yang rijid atau baku mengenai
materi yang bagaimana yang harus diatur dalam undang-undang atau peraturan
pemerintah, namun pada umumnya materi yang diatur dalam peraturan
pemerintah merupakan pelaksanaan dari suatu undang-undang yang mengatul halhal yang bersifat pokok.158 Hal senada juga disampaikan oleh Maria Farida Indrati
Soeprapto yang menyatakan bahwa peraturan pemerintah adalah peraturan yang
dibentuk sebagai peraturan yang menjalankan undang-undang, atau peraturan
yang dibentuk agar ketentuan dalam undang-undang dapat berjalan. Peraturan
pemerintah ini dibentuk oleh Presiden, dan berfungsi menyelenggarakan
ketentuan dalam undang-undang. Oleh karena itu, materi muatan peraturan
pemerintah adalah keseluruhan materi muatan undang-undang yang dilimpahkan
kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan peraturan pemerintah
adalah sama dengan materi muatan undang-undang sebatas yang dilimpahkan
kepadanya.159
Istilah “materi muatan undang-undang” diperkenalkan oleh A. Hamid S.
Attamimi dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun ke IX, Mei
1997, sebagai terjemahan dari het eigenaardig onderwerp der wet. UUD 1945
ditentukan mengenai siapa pembentuk undang-undang, yaitu DPR memegang
kekuasaan untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama
158
Wawancara dengan Bapak Denny Indrayana selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 18 Februari 2016.
159
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu…, Op.Cit., hlm. 131.
115
Presiden, tetapi apa yang menjadi materi muatan undang-undang tidak
disebutkan.160
Para ahli umumnya berpendapat materi muatan undang-undang dalam arti
formele wet atau formell Gezets tidak dapat ditentukan lingkup materinya,
mengingat undang-undang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, sedangkan
kedaulatan bersifat mutlak, keluar tidak tergantung siapapun dan ke dalam
tertinggi di atas segalanya. Dengan demikian menurut para ahli itu, semua materi
dapat menjadi materi muatan undang-undang kecuali bila undang-undang tidak
berkehendak mengaturnya atau menetapkannya.161
Seseorang dapat menjadi pejabat umum jika diangkat dan diberhentikan
oleh negara dan diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk melayani
masyarakat dalam bidang tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon, pejabat umum
diangkat oleh Kepala Negara dan bukan oleh menteri. Pembentukan jabatan
umum harus didasarkan pada undang-undang, karena peraturan pemerintah tidak
boleh membentuk suatu jabatan umum tanpa delegasi undang-undang. Hal ini
berkaitan dengan karakter hukum suatu akta yang dibuat oleh pejabat umum
sebagai alat bukti otentik karena adanya publica fides. Kepercayaan umum
(publica fides) tersebut dianggap ada karena pengangkatan seorang pejabat umum
dilakukan oleh Kepala Negara.162
160
Ibid., hlm. 123.
Ibid., hlm. 124.
162
Philipus M. Hadjon, Eksistensi dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Serta
Figur Hukum Akta PPAT, Makalah Ceramah FH UNAIR Surabaya, tanggal 22 Februari 1996,
hlm. 3. Dalam Husni Thamrin, 2011, Pembentukan Akta…, Op.Cit., hlm. 74.
161
116
Sehubungan dengan hal di atas, Husni Thamrin berpendapat bahwa
pejabat umum yang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1868
BW hanyalah notaris. Pada jabatan notaris terpenuhi semua unsur yang ada dalam
Pasal 1868 BW, sehingga akta-akta yang dibuat oleh notaris mempunyai kualitas
sebagai akta otentik, kecuali jika terjadi pelanggaran atau kesalahan dalam
membuat akta tersebut. Notaris menjalankan jabatannya berdasarkan undangundang dan bentuk aktanya juga telah ditentukan dan diatur dalam undangundang. Status notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh undang-undang
sebagaimana terlihat dari bunyi Pasal 1 angka 1 UUJN. Sebagai pejabat umum,
notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara berdasarkan wewenang yang
diberikan oleh undang-undang. Notaris diangkat oleh Presiden selaku Kepala
Negara, yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia.163
Pengangkatan notaris oleh menteri berdasarkan UUJN secara eksplisit
memang tidak dijelaskan atas nama Presiden. Meskipun demikian dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem presidensial, di mana menteri
adalah pembantu Presiden di bidang tertentu, maka dapat dikatakan bahwa secara
implisit pengangkatan notaris oleh menteri tersebut adalah atas nama Presiden
selaku Kepala Negara. Dengan demikian tidak mengurangi kadar dan legalitas
notaris selaku pejabat umum. Tindakan menteri untuk mengangkat notaris
merupakan perbuatan yang tunduk pada hukum publik, sehingga keberadaan
notaris selaku pejabat umum telah mendapat legalitas yang kuat.
163
Ibid., hlm. 75.
117
Idealnya apabila pemerintah sebagai perwujudan kedaulatan rakyat
memang
berkehendak
menempatkan
dan
memberikan
status
openbare
ambtenaren (pejabat umum) kepada PPAT maka keberadaannya harus diatur
dalam undang-undang khusus yang mengatur PPAT. Kemudian dalam undangundang tersebut nanti diatur mengenai kedudukan hukum jabatan PPAT, bentuk
akta PPAT, kewenangan, kewajiban dan larangan serta lain sebagainya. Apabila
tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur jabatan PPAT maka akan
sporadis terus seperti yang terjadi selama ini.164
Dengan demikian adanya suatu undang-undang mengenai jabatan PPAT,
maka eksistensi PPAT dapat memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai pejabat
umum (openbare ambtenaren) sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1868
BW.
Jika hendak memberikan pengukuhan terhadap jabatan PPAT, maka
diperlukan adanya undang-undang dalam arti formil sebagai landasannya, yaitu
pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan
bersama Presiden. Hal ini dapat dilakukan melalui pengajuan rancangan undangundang (RUU) mengenai jabatan PPAT. Pengajuan RUU tersebut harus
berdasarkan kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik sekaligus juga harus didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan
jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan dikukuhkan eksistensinya seiring dengan
perkembangan
kesadaran
hukum
masyarakat
yang
semakin
memahami
pentingnya eksistensi jabatan PPAT tersebut. Sebagaimana bunyi Pasal 10 ayat
(1) Huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
164
Wawancara dengan Bapak Habib Adjie selaku notaris dan PPAT Kota Surabaya pada
tanggal 4 Februari 2016.
Download