bab ii kajian pustaka mengenai harga diri dan kompetensi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA MENGENAI HARGA DIRI DAN
KOMPETENSI INTERPERSONAL USIA REMAJA AKHIR
A. Konsep Harga Diri
1. Definisi Harga Diri
Harga diri yang dimiliki individu menunjukkan bagaimana seorang
individu menilai dirinya sendiri. Penilaian ini akan memperlihatkan
penerimaan atau penolakan individu terhadap keadaan dirinya. Harga diri
merupakan salah satu aspek kepribadian yang memiliki peranan penting
bagi kehidupan individu. Hal ini disebabkan karena harga diri berpengaruh
besar terhadap sikap dan perilaku individu dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari. Stanley Coopersmith (1967: 4-5) mendefinisikan harga diri
(self esteem) sebagai berikut:
“Self-esteem we refer to the evaluation which the individual makes
and customarily maintains with regard to himself: it expresses an
attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to
which the individual believes himself to be capable, significant,
successful, and worthy.”
Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa harga diri (self
esteem) merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang
menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam
memandang dirinya sendiri yang diekspresikan melalui sikap menerima
atau menolak serta mengindikasikan besarnya keyakinan individu terhadap
kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan dirinya sendiri.
11
12
Menurut John W. Santrock (2003), harga diri adalah dimensi
evaluatif yang bersifat global dari diri individu. Sedangkan Rosenberg
(Burn, 1993) mengemukakan bahwa harga diri merupakan suatu sikap
positif atau negatif individu terhadap dirinya sendiri dimana individu
tersebut merasakan bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga.
Sementara itu, Lerner dan Spanier (Ghufron & Risnawita, 2010)
berpendapat bahwa harga diri adalah tingkat penilaian positif atau negatif
individu yang dihubungkan dengan konsep diri. Selanjutnya, Robert A.
Baron dan Donn Byrne (2004) mengatakan bahwa harga diri adalah
evaluasi diri yang merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri
mulai dari sangat negatif sampai dengan sangat positif. Senada dengan hal
itu, Klass dan Hodge (Ghufron & Risnawita, 2010) berpendapat bahwa
harga diri adalah hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh
individu
yang
diperoleh
dari
hasil
interaksi
individu
dengan
lingkungannya, penerimaan penghargaan, dan perlakuan orang lain
terhadap individu tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan individu terhadap dirinya
sendiri yang didasarkan pada hubungannya dengan orang lain dan
menunjukkan sejauhmana individu tersebut menilai dirinya sebagai
seseorang yang memiliki kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan
keberhargaan, yang diekspresikan melalui sikap-sikap yang dipegang oleh
individu tersebut.
13
2. Sumber-sumber Harga Diri
Stanley Coopersmith (1967: 38) mengemukakan bahwa ada empat
sumber harga diri, yaitu:
a) Kekuatan (power), yaitu kemampuan untuk dapat mempengaruhi dan
mengontrol tingkah laku orang lain yang ditandai dengan adanya
pengakuan dan rasa hormat, serta besarnya pikiran atau pendapat dan
kebenaran yang diterima individu dari orang lain.
a) Keberartian (significance), yaitu adanya penerimaan, kepedulian, dan
rasa kasih sayang yang diterima individu dari orang lain. Hal ini
merupakan ekspresi dari penghargaan dan keterarikan orang lain, serta
merupakan penerimaan dan popularitas individu.
b) Kebajikan (virtue), yaitu kepatuhan individu dalam mengikuti standar
moral dan etika; yang ditandai dengan kepatuhan individu dalam
menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan dan melakukan
tingkah laku yang diharuskan oleh etika, moral, dan agama.
c) Kemampuan (competence), yaitu kemampuan untuk sukses dalam
memenuhi tuntutan prestasi. Hal ini ditandai dengan keberhasilan
individu dalam mengerjakan berbagai tugas dengan baik yang berbedabeda untuk setiap tingkat dan kelompok usia tertentu.
14
3. Tingkatan Harga Diri
Tingkatan harga diri yang dimiliki oleh setiap individu berbedabeda. Hal tersebut dapat disebabkan karena harga diri setiap individu
berasal dari sumber dan mekanisme pembentukan harga diri yang berbedabeda pula. Menurut Stanley Coopersmith (1967:46), tingkatan harga diri
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu harga diri tinggi, harga diri sedang,
dan harga diri rendah. Perbedaan dari ketiganya ditandai oleh adanya
perbedaan dalam cara merespon lingkungan, cara beradaptasi, dan
perbedaan dalam reaksi afeksi.
Karakteristik umum mengenai individu dengan tingkatan harga diri
yang tinggi, sedang, dan rendah dijelaskan sebagai berikut:
a. Individu dengan Harga Diri Tinggi (High Self Esteem)
Individu yang memiliki harga diri tinggi lebih mandiri,
memiliki kepercayaan diri yang kuat akan keberhasilan, dan konsisten
dalam merespon sesuatu (Coopersmith, 1967:46). Selanjutnya, Stanley
Coopersmith (1967:47) menunjukkan bahwa individu yang memiliki
harga diri tinggi adalah seseorang yang merasa bahwa dirinya dinilai
sebagai seseorang yang berharga, orang yang penting, dan layak
dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Selain itu, individu yang
memiliki harga diri tinggi mampu mempengaruhi orang lain, percaya
diri
dengan
pandangan
yang
dianggapnya
benar,
mampu
mempertahankan pendapatnya, mampu mengelola tindakan sesuai
dengan tuntutan lingkungan, mampu mengontrol emosi, memiliki
15
pemahaman yang baik tentang dirinya, dan sangat menyukai tantangan
serta tugas-tugas baru.
Sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri mereka sendiri
akan membuat individu dengan harga diri yang tinggi memiliki
kompetensi sosial dan kemandirian sosial yang lebih baik. Oleh karena
itu, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi akan dapat menyusun
rencana-rencana masa depannya dan dapat mengarahkan dirinya agar
dapat mengaktualisasikan diri. Selain itu, akan membuat remaja dapat
bertindak secara tepat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
karena memiliki rasa kompeten dan keyakinan akan hak dan nilai
dirinya sendiri.
b. Individu dengan Harga Diri Sedang (Median Self Esteem)
Individu dengan harga diri sedang memiliki karakteristik yang
relatif sama dengan individu yang memiliki harga diri tinggi. Namun,
ada beberapa hal yang membedakannya, yaitu individu yang memiliki
harga diri sedang memiliki penerimaan diri yang relatif baik,
pertahanan yang baik, serta pemahaman dan penghargaan yang baik
pula, namun terkadang merasa ragu-ragu dengan penghargaan yang
diterimanya dan cenderung tidak yakin terhadap kemampuan yang
dimiliki (Coopersmith, 1967: 250). Selain itu, individu ini cenderung
memiliki sejumlah pernyataan positif tentang diri mereka, tetapi
penilaian mereka mengenai kemampuan, keberartian, dan harapan lebih
16
moderat dibanding dengan yang lain. Mereka tidak menilai diri mereka
sebagai
seseorang
yang
paling
baik,
melainkan
lebih
baik
(Coopersmith, 1967: 47). Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh
Rosernberg (Coopersmith, 1967: 141) menunjukkan bahwa individu
yang memiliki harga diri sedang cenderung memiliki orientasi terhadap
nilai yang kuat dibanding dengan individu yang memiliki harga diri
tinggi atau rendah. Mereka peduli pada hampir semua nilai-nilai, tidak
hanya pada lingkungan mereka sendiri.
c. Individu dengan Harga Diri Rendah (Low Self Esteem)
Gambaran diri orang yang memiliki harga diri rendah sangat
bertolak belakang dengan gambaran diri orang yang memiliki harga diri
yang tinggi dan sedang. Menurut Stanley Coopersmith (1967: 250),
individu dengan harga diri yang rendah memiliki perasaan ditolak,
ragu-ragu, merasa tidak berharga, merasa terisolasi, tidak memiliki
kekuatan, tidak pantas dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri,
tidak mampu mempertahankan diri sendiri, dan merasa terlalu lemah
untuk melawan kelemahan mereka sendiri. Selain itu, individu dengan
harga diri rendah cenderung merasa kurang percaya diri, memiliki
kekhawatiran dalam mengungkapkan ide-ide yang tidak biasa, tidak
ingin mengekspos diri atau menunjukkan perilaku yang mengundang
perhatian, dan menyukai hidup dalam bayang-bayang kelompok sosial
(Coopersmith, 1967: 71).
17
Dengan demikian, individu yang memiliki harga diri rendah
cenderung memiliki kesulitan dalam mencapai kebahagiaan dalam
kehidupannya sebagai akibat dari perasaannya yang seringkali berfikir
negatif dalam memandang dirinya sendiri.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri
Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi terhadap
perkembangan harga diri (Coopersmith, 1967: 37), diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Penghargaan, penerimaan, dan perhatian dari orang-orang terdekat
atau orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya
Adanya perlakuan dari orang lain yang berupa penghargaan,
penerimaan, dan perhatian yang diterima oleh individu dapat
mempengaruhi pada penilaian individu tersebut dalam memandang
dirinya sendiri. Stanley Coopersmith (1967: 37) mengemukakan
bahwa individu menilai dirinya sendiri sebagaimana dia dinilai oleh
orang lain. Dengan demikian, perlakuan dari orang lain yang diterima
oleh individu dapat membentuk gambaran dirinya.
b. Sejarah kesuksesan dan status sosial
Kesuksesan yang telah diperoleh dapat menjadikan individu
diterima di lingkungan sosialnya. Kesuksesan menjadi dasar harga diri
yang diukur dengan materi-materi dan penerimaan secara sosial
(Coopersmith, 1967: 37). Kesuksesan memiliki nilai dan ukuran yang
18
berbeda-beda pada setiap individu. Kesuksesan ini dapat berupa
hadiah, kepuasan jiwa, dan popularitas. Pemaknaan yang berbeda ini
dapat disebabkan oleh faktor individu dalam memandang kesuksesan
dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi budaya yang
memberikan nilai pada bentuk dari kesuksesan tersebut.
Sedangkan kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan,
pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekerjaan yang
lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi
rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses di
mata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal
ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi
meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.
c. Nilai-nilai dan aspirasi/cita-cita yang dimiliki oleh individu dalam
menginterpretasi pengalaman
Nilai-nilai pada setiap individu berbeda. Hal ini disebabkan
karena nilai-nilai merupakan fungsi yang diperoleh dari orangtua dan
figur-figur lain yang penting dalam hidupnya. Kesuksesan, kekuasaan,
dan perhatian yang diterima oleh individu tidak menjadi dasar
penilaian individu dalam memandang dirinya sendiri secara langsung,
tetapi hal tersebut disaring terlebih dahulu melalui cita-cita pribadi dan
nilai-nilai yang dipegang oleh individu tersebut (Coopersmith, 1967:
37).
19
d. Cara-cara individu dalam mengatasi devaluasi
Setiap individu memiliki cara masing-masing untuk merespon
devaluasi atau kegagalan. Sehingga, individu dapat memperkecil,
mengubah, menekan, atau bahkan menggagalkan tindakan orang lain
(Coopersmith, 1967: 37). Individu juga dapat menolak penilaian orang
lain atau mungkin sangat sensitif dan menyadari penilaian orang lain
kepada dirinya. Kemampuan seseorang dalam menghadapi kegagaln
dan penilaian negatif dari orang lain berkaitan dengan kemampuannya
untuk mempertahankan harga dirinya, sehingga akan mengurangi
kecemasan dan membantu dalam mempertahankan keseimbangan
pribadi.
B. Konsep Kompetensi Interpersonal
1. Definisi Kompetensi Interpersonal
Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau
kecakapan. Menurut Mc. Ashan (Mansur, 2009), kompetensi adalah
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai individu,
sehingga individu tersebut dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif,
afektif, dan psikomotor. Sedangkan pengertian interpersonal menurut
James P. Chaplin (2004) adalah segala sesuatu yang berlangsung antara
dua orang individu yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu
dengan individu yang lainnya. Dengan demikian, arti kata kompetensi
interpersonal adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan
20
dengan orang lain yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu
dengan individu yang lain.
Duanne Buhrmester, dkk (1988) mendefinisikan kompetensi
interpersonal sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk membina
hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain. Selanjutnya, Spitzberg
dan Cupach (Nashori,
2008) mengemukakan bahwa kompetensi
interpersonal adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan
dengan orang lain untuk membentuk suatu komunikasi dan interaksi yang
efektif. Kompetensi interpersonal tersebut ditandai dengan adanya
karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang mendukung dalam
menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan
memuaskan (Nashori, 2008). Dengan demikian, individu yang memiliki
kompetensi interpersonal cenderung lebih disukai karena dapat membuat
orang lain merasa nyaman pada saat berinteraksi dengannya dan dapat
membuat interaksi dengan orang lain yang menyenangkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi
interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan
hubungan interpersonal secara efektif, dimana di dalamnya terdapat
karakteristik-karakteristik psikologis yang meliputi pikiran, perasaan dan
tindakan
yang
mendukung
untuk
menciptakan,
membina
mempertahankan relasi interpersonal yang baik dan efektif.
dan
21
2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh individu terjadi
karena aspek yang dimiliki sebagai karakteristik kepribadian individu.
Berkaitan dengan hal ini, Duane Buhrmester, dkk (1988) mengemukakan
bahwa terdapat lima domain atau aspek kompetensi interpersonal, yaitu
sebagai berikut:
a) Initiative (kemampuan berinisiatif), yaitu kemampuan untuk memulai
suatu bentuk interaksi dengan orang lain yang diarahkan pada
penciptaan suatu hubungan antar pribadi yang baru dengan seseorang
yang belum atau baru dikenal maupun tindakan-tindakan yang dapat
membantu mempertahankan hubungan yang telah dibina. Duane
Buhrmester, dkk. (1988) menyebutkan insiatif sebagai usaha untuk
memulai suatu bentuk interaksi dengan individu lain atau dengan
lingkungan sosial yang lebih luas.
b) Negative Assertion (kemampuan untuk bersikap asertif), yaitu
kemampuan untuk mempertahankan diri dari tuduhan yang tidak benar
atau mempertahankan hak-hak pribadi secara tegas, kemampuan untuk
menolak atas permintaan-permintaan yang tidak masuk akal, dan
kemampuan untuk meminta pertolongan atau bantuan saat diperlukan.
Perilaku asertif yang paling sederhana menurut Duane Buhrmester, dkk
(1988) adalah mampu mengatakan tidak jika diminta untuk melakuka
sesuatu yang tidak disukai. Dengan memiliki sikap asertif, individu
22
tidak akan diperlakukan secara tidak pantas oleh lingkungan sosialnya
dan dianggap sebagai individu yang memiliki harga diri.
c) Disclosure (kemampuan untuk bersikap terbuka), yaitu kemampuan
untuk
mengungkapkan
diri
kepada
orang
lain
yang
berupa
pengungkapan ide-ide, pendapat, minat, pengalaman-pengalaman, dan
perasaan-perasaannya. Proses pengungkapan diri (self disclosure)
adalah proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada
orang lain atau sebaliknya (Bungin, 2008). Dengan adanya keterbukaan,
kebutuhan dua orang akan terpenuhi, yaitu dari pihak pertama
kebutuhan untuk bercerita dan berbagi rasa terpenuhi sedangkan bagi
pihak kedua dapat muncul perasaan yang istimewa karena dipercaya
untuk mendengarkan cerita yang bersifat pribadi.
d) Emotional
Support
(kemampuan
untuk
memberikan
dukungan
emosional), yaitu kemampuan untuk memberikan rasa nyaman kepada
orang lain yang sedang menghadapi masalah, mengalami kesulitan, atau
sedang dalam kondisi tertekan. Hal ini dapat diperlihatkan dengan
adanya perhatian, simpati, empati, dan penghargaan terhadap orang
lain.
e) Conflict
Management
interpersonal),
yaitu
(kemampuan
cara
atau
dalam
strategi
mengatasi
untuk
konflik
menyelesaikan
pertentangan dengan orang lain dengan berusaha untuk menyelesaikan
permasalahan atau pertentangan dengan orang lain dan dapat merespon
23
secara positif isyarat penyelesaian konflik yang disampaikan oleh orang
lain agar konflik yang muncul tidak semakin memanas.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi
sosial (Hurlock, 1980). Kompetensi sosial dipengaruhi oleh partisipasi
sosial yang dilakukan oleh individu, semakin besar partisipasi sosial
semakin besar pula kompetensi sosialnya. Partisipasi sosial dipengaruhi
oleh pengalaman sosial, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perkembangan kompetensi interpersonal dipengaruhi faktor pengalaman
dimana pengalaman tersebut tidak terlepas dari faktor usia dan
kematangan seksualnya.
Fuad
Nashori
(2008)
mengemukakan
bahwa
kompetensi
interpersonal dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a. Faktor Internal
1) Jenis Kelamin
Fuad Nashori (2008) mengungkapkan bahwa anak-anak dan
remaja laki-laki memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif yang
lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Selanjutnya,
gerakan-gerakannya yang aktif tersebut menjadi modal untuk
berinisiatif
dalam
melakukan
hubungan
sosial-interpersonal,
bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang
dihadapi.
24
2) Tipe Kepribadian
Adler (Nashori, 2008) mengemukakan bahwa ada individu
yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi
ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi ke luar cenderung
selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain.
3) Kematangan
Fuad Nashori (2008) mengemukakan bahwa kematangan
beragama berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal.
Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap
perilaku orang lain dan tidak mengadili atau menghukumnya. Ia
dapat menerima kelemahan-kelemahan manusia dengan mengetahui
bahwa ia punya kelemahan yang sama.
4) Konsep Diri
Fuad Nashori (2008) menemukan bahwa konsep diri
berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang
konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan
peka terhadap kebutuhan orang lain.
b. Faktor Eksternal
1) Kontak dengan Orangtua
Menurut Hetherington dan Parke (Nashori, 2008), kontak
anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi
interpersonal anak. Adanya kontak anak dengan orangtua, dapat
25
menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman
bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosial anak
dalam lingkungan sekitarnya.
2) Interaksi dengan Teman Sebaya
Kramer dan Gottman (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa
individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman
sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan
perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah dalam
membina hubungan interpersonal. Selanjutnya, Nurrahmati (Nashori,
2008) menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman
dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang
memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model
mental yang positif, meyakini tersedianya respons yang positif dari
lingkungannya. Dari sanalah berkembang kompetensi interpersonal
pada diri individu.
3) Aktivitas
Aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dapat
mempengaruhi pada tingkat kompentensi interpersonal yang
dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Danardono (Nashori, 2008)
membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan
kepecintaalaman memiliki perbedaan kompetensi interpersonal yang
signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan
26
kepecintalaman. Mahasiswa pecinta alam lebih tinggi kompetensi
interpersonalnya dibanding dengan mahasiswa bukan pecinta alam.
4) Partisipasi Sosial
Menurut Hurlock (1980), kompetensi sosial, termasuk
kompetensi interpersonal dapat dipengaruhi oleh partisipasi sosial
dari individu. Oleh karena itu, semakin besar partisipasi sosial, maka
semakin besar pula kompetensi interpersonalnya. Selain itu,
diketahui
bahwa
perlakuan
khusus
pada
individu
dapat
meningkatkan kompetensi interpersonal, seperti pelatihan asertivitas,
pelatihan inisiatif sosial, dan lain sebagainya (Nashori, 2008).
C. Konsep Remaja Akhir
1. Batasan Usia Remaja Akhir
Masa remaja disebut juga adolescence. Kata Adolescence berasal
dari bahasa latin, yaitu adolescere, artinya to grow into adulthood atau
tumbuh untuk mencapai kematangan (Yusuf & Sugandhi, 2011).
Sementara itu, WHO (Sarwono, 2006:9) mendefinisikan remaja sebagai
suatu masa dimana individu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual; individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa; serta terjadi peralihan dari ketergatungan sosialekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
27
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa. Pada masa ini, remaja tidak hanya mengalami perubahan
psikologis, tetapi juga fisik dan sosialnya, serta munculnya tanda-tanda
pubertas. Istilah remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas, yaitu
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock,
1980). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1980) yang
menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana
anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih
tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar.
Monks, Knoers & Haditono (Desmita, 2007:190) membedakan
masa remaja menjadi empat bagian, yaitu:
a.
Masa pra-remaja atau pra-pubertas (10-12 tahun)
b.
Masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun)
c.
Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
d.
Masa remaja akhir (18-21 tahun).
Dilihat dari pembagian remaja di atas, remaja akhir merupakan
remaja yang berada pada rentang usia 18-21 tahun.
2. Ciri-ciri Remaja Akhir
Masa remaja akhir ditandai oleh persiapan seorang remaja untuk
memasuki peran-peran orang dewasa (Agustiani, 2006: 29). Masa ini
ditandai juga dengan persiapan akhir untuk menjalankan peran-peran
28
orang dewasa. Selama periode ini, remaja berusaha untuk memantapkan
tujuan vokasional mereka dan membentuk sense of personal identity.
Tahap remaja akhir (late adolescence) adalah masa konsolidasi
menuju periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal
(Sarwono, 2006), yaitu:
a.
Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek;
b.
Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain
dan dalam pengalaman-pengalaman baru;
c.
Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi;
d.
Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang
lain;
e.
Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public).
Sementara itu, Muhammad Al-Mighwar (2006) mengemukakan
bahwa ciri-ciri remaja akhir adalah sebagai berikut:
a. Mulai stabil
Pada masa remaja akhir, individu menunjukkan peningkatan
kestabilannya dalam aspek-aspek fisik dan psikis. Selain itu, terjadi
keseimbangan tubuh atau anggota badan. Pada masa ini juga terjadi
kestabilan dalam minat-minatnya, seperti gaya berpakaian, pemilihan
sekolah, dan pergaulan dengan sesama jenis ataupun berlainan jenis.
Kestabilannya juga terjadi dalam sikap dan pandangan, mereka relatif
29
tidak mudah berubah pendirian hanya karena dibujuk atau dihasut oleh
orang lain. Akibatnya, remaja akhir lebih dapat menyesuaikan diri
dalam berbagai aspek kehidupannya dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya.
b. Citra diri dan sikap-pandangan yang lebih realistis
Pada masa ini, remaja mulai menilai dirinya apa adanya,
menghargai apa yang dimilikinya, keluarganya, teman-temannya,
seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan realistis ini akan
menimbulkan perasaan puas, menjauhkan dirinya dari perasaan kecewa,
dan mengahantarkannya pada puncak kebahagiaan.
c. Lebih matang dalam menghadapi masalah
Masalah yang dihadapi oleh remaja akhir sangat beragam.
Namun, remaja akhir dapat menghadapinya dengan lebih matang.
Kematangan itu ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalahmasalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri maupun dengan
bantuan
orang
lain.
Usaha
pemecahan
masalahnya
tersebut
mengarahkan remaja akhir untuk menyesuaikan diri dalam situasi
perasaan sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Kemampuan berpikir
dan pandangan yang lebih realistis itulah yang menjadikan remaja akhir
mampu memecahkan berbagai masalah secara lebih matang dan
realistis.
30
d. Lebih tenang perasaannya
Pada masa remaja akhir, individu cenderung lebih tenang dalam
menghadapi masalah-masalahnya. Hal ini disebabkan karena remaja
akhir telah memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai
segala perasaannya dalam menghadapi berbagai kekecewaan atau halhal lain yang mengakibatkan kemarahan. Dia juga telah berpandangan
realistis dalam menentukan sikap, minat, dan cita-cita sehingga adanya
berbagai kegagalan dapat disikapinya dengan tenang.
3. Tugas Perkembangan Remaja Akhir
Havighurst (Yusuf & Sugandhi, 2011) mengemukakan bahwa
tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada periode tertentu
dalam
rentang
kehidupan
individu
dimana
apabila
tugas-tugas
perkembangan pada periode tertentu berhasil dituntaskan, maka akan
menimbulkan
kebahagiaan
dan
membawa
keberhasilan
dalam
melaksanakan tugas-tugas perkembangan berikutnya, dan apabila gagal
melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada periode tertentu, maka
akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan mengalami kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Justin Pikunas (1969) mengemukakan bahwa remaja pertengahan
dan remaja akhir memiliki tugas-tugas perkembangan yang penting, yaitu
sebagai berikut:
31
a.
Mampu menerima bentuk tubuh atau hal-hal yang berkaitan dengan
fisiknya;
b.
Mampu mencapai kemandirian emosional yang ditunjukkan dengan
ketidakbergantungan dari orangtua dan orang dewasa lain yang
memiliki otoritas tertentu;
c.
Mampu dan terampil dalam komunikasi interpersonal dan relasi
dengan orang lain, baik secara individu maupun dalam kelompok;
d.
Mampu menemukan model identifikasi;
e.
Mampu menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan ataupun
sumber-sumber yang ada pada dirinya;
f.
Mampu memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ada.
g.
Mampu meninggalkan bentuk-bentuk reaksi dan penyesuaian yang
kekanak-kanakan.
D. Hubungan antara Harga Diri dengan Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal memiliki kedudukan yang penting bagi
remaja karena dapat menunjang kesuksesan masa depan. Dengan memiliki
kompetensi interpersonal, remaja diharapkan dapat memahami norma sosial,
bersikap penuh pertimbangan, dan mampu bertindak tepat dengan kondisi
sosialnya. Sehingga, remaja tersebut dapat diterima dengan baik oleh
lingkungan sosialnya dan dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya.
32
Kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain
(kompetensi interpersonal) erat kaitannya dengan bagaimana cara individu
menilai
dirinya
sendiri
secara
positif,
baik
kelebihannya
maupun
kekurangannya. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan seseorang
dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif
ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif
dengan menerima dan menghargai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya
sendiri (harga diri tinggi). Oleh karena itu, tingkatan harga diri yang dimiliki
oleh seseorang akan mempengaruhi pada tingkat kompetensi interpersonalnya.
Hubungan ini diperjelas oleh Stanley Coopersmith (1967: 71) yang
mengemukakan bahwa sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri pada
orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan membuat individu memiliki
kompetensi sosial atau kemandirian sosial yang lebih baik dan kreativitas yang
dimilikinya akan membimbingnya untuk lebih tegas dan lebih giat dalam
melakukan tindakan sosial. Selanjutnya, Branden (Ghufron & Risnawita,
2010) mengemukakan bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi
cenderung mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan dan keputusasaan;
cenderung lebih berambisi; lebih kreatif dalam pekerjaan; dan memiliki
kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain. Berdasarkan hal
ini, dapat dikatakan bahwa harga diri yang dimiliki oleh seorang individu
dapat mempengaruhi pada kompetensi interpersonal.
33
E. Hasil Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Harga diri dan
Kompetensi Interpersonal pada Remaja Akhir
Ada beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan harga diri dan
kompetensi interpersonal yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Salah satu
penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Faya Noorhalia Elcamila (2008) dengan judul “Hubungan Self Esteem
dengan Relasi Interpersonal pada Penyandang Tunarungu Usia Dewasa Dini
di Lembaga Deaf ‘n Dumb Bandung”. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa harga diri memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan relasi
interpersonal pada penyandang tunarungu usia dewasa dini di lembaga Deaf ‘n
Dumb Bandung, yang berarti semakin tinggi harga diri seseorang, maka akan
semakin tinggi pula relasi interpersonalnya. Sebaliknya, semakin rendah harga
diri seseorang, maka semakin rendah pula relasi interpersonalnya.
Selain itu, beberapa penelitian lain yang terkait dengan harga diri dan
kompetensi interpersonal adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Yulia Sudhar Dina (2010) dengan judul
“Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada
Remaja Panti Asuhan”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara penerimaan diri dengan
kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan. Artinya, semakin
tinggi penerimaan diri seseorang maka semakin tinggi pula kompetensi
interpersonalnya sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka
semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya.
34
2. Penelitian yang dilakukan oleh Hartanti (2006) dengan judul “Hubungan
antara Konsep Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada Pengurus Unit
Kegiatan Mahasiswa Universitas Diponegoro”. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada pengurus unit kegiatan
mahasiswa Universitas Diponegoro. Semakin tinggi konsep diri seseorang,
maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya; dan sebaliknya
semakin rendah konsep diri, maka semakin rendah pula kompetensi
interpersonalnya.
F. Kerangka Berpikir
Masa remaja merupakan masa transisi menuju dewasa dimana remaja
mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi,
baik perubahan fisik, psikis, maupun sosial. Seiring perubahan-perubahan
yang terjadi pada remaja tersebut, muncul berbagai tuntutan-tuntutan yang
berlaku di masyarakat. Hal ini membuat remaja mau tidak mau harus berusaha
untuk selalu menyesuaikan diri agar dapat diterima, diakui, dan dihargai
dalam lingkungan sekitarnya. Tuntutan-tuntutan tersebut akan dapat dipenuhi
oleh remaja apabila ia memiliki kemampuan-kemampuan untuk memahami
berbagai situasi sosial agar dapat menentukan perilaku yang sesuai dan tepat
dalam situasi sosial tersebut. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud adalah
kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal diasumsikan sebagai
bagian dari kompetensi sosial yang memiliki aspek-aspek, seperti kemampuan
35
untuk berinisiatif, bersikap asertif, bersikap terbuka, memberikan dukungan
emosional, dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan sosial.
Kompetensi interpersonal perlu dimiliki oleh remaja karena hubungan
baik yang dijalani oleh remaja akan memberikan dampak yang positif bagi
hubungan yang mungkin akan terjadi di masa dewasanya. Sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hightower (Desmita, 2007: 220)
ditemukan bahwa hubungan harmonis yang terjalin dengan teman sebaya pada
saat remaja akan membentuk kesehatan mental yang positif pada saat dewasa.
Menumbuhkan kompetensi interpersonal tidak selamanya mudah
karena perkembangan tingkah laku individu dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang dialami oleh individu selama interaksi dengan orang-orang yang ada
dalam
lingkungan
sekitarnya.
Sebelum
berperilaku,
individu
perlu
memperhatikan bahwa ia harus mampu memperhitungkan apakah ia bisa atau
tidak berperilaku sesuai dengan aturan atau norma sosial yang ada di
lingkungannya. Remaja yang memiliki kemampuan interpersonal akan berani
mengemukakan, menghargai serta menerima pikiran, perasaan dan pendapat
orang lain secara terus terang.
Kompetensi interpersonal erat kaitannya dengan bagaimana cara
individu menilai dirinya sendiri secara positif, baik kelebihannya maupun
kekurangannya. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan seseorang
dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif
ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif
dengan menerima hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (harga diri
36
tinggi). Oleh karena itu, tingkatan harga diri yang dimiliki oleh seseorang
akan mempengaruhi pada tingkat kompetensi interpersonalnya.
Pada kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam
menjalin hubungan interpersonal secara efektif (kompetensi interpersonal).
Sebagian remaja akhir yang berstatus sebagai mahasiswa merasa masih belum
mampu untuk menjalin hubungan interpersonal dengan baik. Begitupula yang
terjadi pada mahasiswa Jurusan Psikologi FIP UPI angkatan 2009. Sebagian
mahasiswa tersebut seringkali merasa kurang mampu untuk memulai interaksi
dengan orang lain, merasa kaku, tidak percaya diri, dan malu pada saat
berinteraksi dengan orang lain, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam
menjalin hubungan interpersonal.
Oleh karena itu, bertolak dari kerangka pemikiran di atas, maka ditarik
hipotesis sebagai berikut:
“Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara harga diri
dengan kompetensi interpersonal pada mahasiswa Jurusan Psikologi FIP
UPI angkatan 2009”.
Artinya, semakin tinggi harga diri yang dimiliki oleh seorang remaja,
maka akan semakin tinggi pula kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh
remaja tersebut, dan sebaliknya semakin rendah harga diri seorang remaja,
maka akan semakin rendah pula kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh
remaja tersebut.
Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran di atas dapat dilihat pada
gambar 2.1 berikut ini:
37
Remaja Akhir
Harga Diri
Tinggi
Harga Diri
Rendah
Menerima diri sendiri,
percaya diri, menilai diri
penting, berarti, dan
berharga
Tidak percaya diri,
memandang diri tidak
berharga, dan merasa tidak
memiliki kemampuan
Kompetensi Interpersonal
Tinggi
Kompetensi Interpersonal
Rendah
Memiliki inisiatif dalam hubungan
sosial, bersikap asertif, bersikap
terbuka, memiliki rasa empati, dan
aktif menyelesaikan pertentangan
dengan orang lain
Memiliki kesulitan untuk
memulai interaksi sosial,
tertutup, acuh tak acuh terhadap
orang lain, dan menghindar
apabila terjadi konflik
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
Download