BAB II KAJIAN PUSTAKA MENGENAI HARGA DIRI DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL USIA REMAJA AKHIR A. Konsep Harga Diri 1. Definisi Harga Diri Harga diri yang dimiliki individu menunjukkan bagaimana seorang individu menilai dirinya sendiri. Penilaian ini akan memperlihatkan penerimaan atau penolakan individu terhadap keadaan dirinya. Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang memiliki peranan penting bagi kehidupan individu. Hal ini disebabkan karena harga diri berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Stanley Coopersmith (1967: 4-5) mendefinisikan harga diri (self esteem) sebagai berikut: “Self-esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it expresses an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable, significant, successful, and worthy.” Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa harga diri (self esteem) merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya sendiri yang diekspresikan melalui sikap menerima atau menolak serta mengindikasikan besarnya keyakinan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan dirinya sendiri. 11 12 Menurut John W. Santrock (2003), harga diri adalah dimensi evaluatif yang bersifat global dari diri individu. Sedangkan Rosenberg (Burn, 1993) mengemukakan bahwa harga diri merupakan suatu sikap positif atau negatif individu terhadap dirinya sendiri dimana individu tersebut merasakan bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga. Sementara itu, Lerner dan Spanier (Ghufron & Risnawita, 2010) berpendapat bahwa harga diri adalah tingkat penilaian positif atau negatif individu yang dihubungkan dengan konsep diri. Selanjutnya, Robert A. Baron dan Donn Byrne (2004) mengatakan bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri mulai dari sangat negatif sampai dengan sangat positif. Senada dengan hal itu, Klass dan Hodge (Ghufron & Risnawita, 2010) berpendapat bahwa harga diri adalah hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu yang diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya, penerimaan penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri yang didasarkan pada hubungannya dengan orang lain dan menunjukkan sejauhmana individu tersebut menilai dirinya sebagai seseorang yang memiliki kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan, yang diekspresikan melalui sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut. 13 2. Sumber-sumber Harga Diri Stanley Coopersmith (1967: 38) mengemukakan bahwa ada empat sumber harga diri, yaitu: a) Kekuatan (power), yaitu kemampuan untuk dapat mempengaruhi dan mengontrol tingkah laku orang lain yang ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat, serta besarnya pikiran atau pendapat dan kebenaran yang diterima individu dari orang lain. a) Keberartian (significance), yaitu adanya penerimaan, kepedulian, dan rasa kasih sayang yang diterima individu dari orang lain. Hal ini merupakan ekspresi dari penghargaan dan keterarikan orang lain, serta merupakan penerimaan dan popularitas individu. b) Kebajikan (virtue), yaitu kepatuhan individu dalam mengikuti standar moral dan etika; yang ditandai dengan kepatuhan individu dalam menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan dan melakukan tingkah laku yang diharuskan oleh etika, moral, dan agama. c) Kemampuan (competence), yaitu kemampuan untuk sukses dalam memenuhi tuntutan prestasi. Hal ini ditandai dengan keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas dengan baik yang berbedabeda untuk setiap tingkat dan kelompok usia tertentu. 14 3. Tingkatan Harga Diri Tingkatan harga diri yang dimiliki oleh setiap individu berbedabeda. Hal tersebut dapat disebabkan karena harga diri setiap individu berasal dari sumber dan mekanisme pembentukan harga diri yang berbedabeda pula. Menurut Stanley Coopersmith (1967:46), tingkatan harga diri dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu harga diri tinggi, harga diri sedang, dan harga diri rendah. Perbedaan dari ketiganya ditandai oleh adanya perbedaan dalam cara merespon lingkungan, cara beradaptasi, dan perbedaan dalam reaksi afeksi. Karakteristik umum mengenai individu dengan tingkatan harga diri yang tinggi, sedang, dan rendah dijelaskan sebagai berikut: a. Individu dengan Harga Diri Tinggi (High Self Esteem) Individu yang memiliki harga diri tinggi lebih mandiri, memiliki kepercayaan diri yang kuat akan keberhasilan, dan konsisten dalam merespon sesuatu (Coopersmith, 1967:46). Selanjutnya, Stanley Coopersmith (1967:47) menunjukkan bahwa individu yang memiliki harga diri tinggi adalah seseorang yang merasa bahwa dirinya dinilai sebagai seseorang yang berharga, orang yang penting, dan layak dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Selain itu, individu yang memiliki harga diri tinggi mampu mempengaruhi orang lain, percaya diri dengan pandangan yang dianggapnya benar, mampu mempertahankan pendapatnya, mampu mengelola tindakan sesuai dengan tuntutan lingkungan, mampu mengontrol emosi, memiliki 15 pemahaman yang baik tentang dirinya, dan sangat menyukai tantangan serta tugas-tugas baru. Sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri mereka sendiri akan membuat individu dengan harga diri yang tinggi memiliki kompetensi sosial dan kemandirian sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi akan dapat menyusun rencana-rencana masa depannya dan dapat mengarahkan dirinya agar dapat mengaktualisasikan diri. Selain itu, akan membuat remaja dapat bertindak secara tepat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya karena memiliki rasa kompeten dan keyakinan akan hak dan nilai dirinya sendiri. b. Individu dengan Harga Diri Sedang (Median Self Esteem) Individu dengan harga diri sedang memiliki karakteristik yang relatif sama dengan individu yang memiliki harga diri tinggi. Namun, ada beberapa hal yang membedakannya, yaitu individu yang memiliki harga diri sedang memiliki penerimaan diri yang relatif baik, pertahanan yang baik, serta pemahaman dan penghargaan yang baik pula, namun terkadang merasa ragu-ragu dengan penghargaan yang diterimanya dan cenderung tidak yakin terhadap kemampuan yang dimiliki (Coopersmith, 1967: 250). Selain itu, individu ini cenderung memiliki sejumlah pernyataan positif tentang diri mereka, tetapi penilaian mereka mengenai kemampuan, keberartian, dan harapan lebih 16 moderat dibanding dengan yang lain. Mereka tidak menilai diri mereka sebagai seseorang yang paling baik, melainkan lebih baik (Coopersmith, 1967: 47). Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rosernberg (Coopersmith, 1967: 141) menunjukkan bahwa individu yang memiliki harga diri sedang cenderung memiliki orientasi terhadap nilai yang kuat dibanding dengan individu yang memiliki harga diri tinggi atau rendah. Mereka peduli pada hampir semua nilai-nilai, tidak hanya pada lingkungan mereka sendiri. c. Individu dengan Harga Diri Rendah (Low Self Esteem) Gambaran diri orang yang memiliki harga diri rendah sangat bertolak belakang dengan gambaran diri orang yang memiliki harga diri yang tinggi dan sedang. Menurut Stanley Coopersmith (1967: 250), individu dengan harga diri yang rendah memiliki perasaan ditolak, ragu-ragu, merasa tidak berharga, merasa terisolasi, tidak memiliki kekuatan, tidak pantas dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri, tidak mampu mempertahankan diri sendiri, dan merasa terlalu lemah untuk melawan kelemahan mereka sendiri. Selain itu, individu dengan harga diri rendah cenderung merasa kurang percaya diri, memiliki kekhawatiran dalam mengungkapkan ide-ide yang tidak biasa, tidak ingin mengekspos diri atau menunjukkan perilaku yang mengundang perhatian, dan menyukai hidup dalam bayang-bayang kelompok sosial (Coopersmith, 1967: 71). 17 Dengan demikian, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki kesulitan dalam mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya sebagai akibat dari perasaannya yang seringkali berfikir negatif dalam memandang dirinya sendiri. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi terhadap perkembangan harga diri (Coopersmith, 1967: 37), diantaranya adalah sebagai berikut: a. Penghargaan, penerimaan, dan perhatian dari orang-orang terdekat atau orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya Adanya perlakuan dari orang lain yang berupa penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima oleh individu dapat mempengaruhi pada penilaian individu tersebut dalam memandang dirinya sendiri. Stanley Coopersmith (1967: 37) mengemukakan bahwa individu menilai dirinya sendiri sebagaimana dia dinilai oleh orang lain. Dengan demikian, perlakuan dari orang lain yang diterima oleh individu dapat membentuk gambaran dirinya. b. Sejarah kesuksesan dan status sosial Kesuksesan yang telah diperoleh dapat menjadikan individu diterima di lingkungan sosialnya. Kesuksesan menjadi dasar harga diri yang diukur dengan materi-materi dan penerimaan secara sosial (Coopersmith, 1967: 37). Kesuksesan memiliki nilai dan ukuran yang 18 berbeda-beda pada setiap individu. Kesuksesan ini dapat berupa hadiah, kepuasan jiwa, dan popularitas. Pemaknaan yang berbeda ini dapat disebabkan oleh faktor individu dalam memandang kesuksesan dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi budaya yang memberikan nilai pada bentuk dari kesuksesan tersebut. Sedangkan kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekerjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses di mata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. c. Nilai-nilai dan aspirasi/cita-cita yang dimiliki oleh individu dalam menginterpretasi pengalaman Nilai-nilai pada setiap individu berbeda. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai merupakan fungsi yang diperoleh dari orangtua dan figur-figur lain yang penting dalam hidupnya. Kesuksesan, kekuasaan, dan perhatian yang diterima oleh individu tidak menjadi dasar penilaian individu dalam memandang dirinya sendiri secara langsung, tetapi hal tersebut disaring terlebih dahulu melalui cita-cita pribadi dan nilai-nilai yang dipegang oleh individu tersebut (Coopersmith, 1967: 37). 19 d. Cara-cara individu dalam mengatasi devaluasi Setiap individu memiliki cara masing-masing untuk merespon devaluasi atau kegagalan. Sehingga, individu dapat memperkecil, mengubah, menekan, atau bahkan menggagalkan tindakan orang lain (Coopersmith, 1967: 37). Individu juga dapat menolak penilaian orang lain atau mungkin sangat sensitif dan menyadari penilaian orang lain kepada dirinya. Kemampuan seseorang dalam menghadapi kegagaln dan penilaian negatif dari orang lain berkaitan dengan kemampuannya untuk mempertahankan harga dirinya, sehingga akan mengurangi kecemasan dan membantu dalam mempertahankan keseimbangan pribadi. B. Konsep Kompetensi Interpersonal 1. Definisi Kompetensi Interpersonal Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Menurut Mc. Ashan (Mansur, 2009), kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai individu, sehingga individu tersebut dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan pengertian interpersonal menurut James P. Chaplin (2004) adalah segala sesuatu yang berlangsung antara dua orang individu yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu yang lainnya. Dengan demikian, arti kata kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan 20 dengan orang lain yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu yang lain. Duanne Buhrmester, dkk (1988) mendefinisikan kompetensi interpersonal sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain. Selanjutnya, Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2008) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain untuk membentuk suatu komunikasi dan interaksi yang efektif. Kompetensi interpersonal tersebut ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan (Nashori, 2008). Dengan demikian, individu yang memiliki kompetensi interpersonal cenderung lebih disukai karena dapat membuat orang lain merasa nyaman pada saat berinteraksi dengannya dan dapat membuat interaksi dengan orang lain yang menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan hubungan interpersonal secara efektif, dimana di dalamnya terdapat karakteristik-karakteristik psikologis yang meliputi pikiran, perasaan dan tindakan yang mendukung untuk menciptakan, membina mempertahankan relasi interpersonal yang baik dan efektif. dan 21 2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh individu terjadi karena aspek yang dimiliki sebagai karakteristik kepribadian individu. Berkaitan dengan hal ini, Duane Buhrmester, dkk (1988) mengemukakan bahwa terdapat lima domain atau aspek kompetensi interpersonal, yaitu sebagai berikut: a) Initiative (kemampuan berinisiatif), yaitu kemampuan untuk memulai suatu bentuk interaksi dengan orang lain yang diarahkan pada penciptaan suatu hubungan antar pribadi yang baru dengan seseorang yang belum atau baru dikenal maupun tindakan-tindakan yang dapat membantu mempertahankan hubungan yang telah dibina. Duane Buhrmester, dkk. (1988) menyebutkan insiatif sebagai usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dengan individu lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas. b) Negative Assertion (kemampuan untuk bersikap asertif), yaitu kemampuan untuk mempertahankan diri dari tuduhan yang tidak benar atau mempertahankan hak-hak pribadi secara tegas, kemampuan untuk menolak atas permintaan-permintaan yang tidak masuk akal, dan kemampuan untuk meminta pertolongan atau bantuan saat diperlukan. Perilaku asertif yang paling sederhana menurut Duane Buhrmester, dkk (1988) adalah mampu mengatakan tidak jika diminta untuk melakuka sesuatu yang tidak disukai. Dengan memiliki sikap asertif, individu 22 tidak akan diperlakukan secara tidak pantas oleh lingkungan sosialnya dan dianggap sebagai individu yang memiliki harga diri. c) Disclosure (kemampuan untuk bersikap terbuka), yaitu kemampuan untuk mengungkapkan diri kepada orang lain yang berupa pengungkapan ide-ide, pendapat, minat, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaannya. Proses pengungkapan diri (self disclosure) adalah proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain atau sebaliknya (Bungin, 2008). Dengan adanya keterbukaan, kebutuhan dua orang akan terpenuhi, yaitu dari pihak pertama kebutuhan untuk bercerita dan berbagi rasa terpenuhi sedangkan bagi pihak kedua dapat muncul perasaan yang istimewa karena dipercaya untuk mendengarkan cerita yang bersifat pribadi. d) Emotional Support (kemampuan untuk memberikan dukungan emosional), yaitu kemampuan untuk memberikan rasa nyaman kepada orang lain yang sedang menghadapi masalah, mengalami kesulitan, atau sedang dalam kondisi tertekan. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya perhatian, simpati, empati, dan penghargaan terhadap orang lain. e) Conflict Management interpersonal), yaitu (kemampuan cara atau dalam strategi mengatasi untuk konflik menyelesaikan pertentangan dengan orang lain dengan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan atau pertentangan dengan orang lain dan dapat merespon 23 secara positif isyarat penyelesaian konflik yang disampaikan oleh orang lain agar konflik yang muncul tidak semakin memanas. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial (Hurlock, 1980). Kompetensi sosial dipengaruhi oleh partisipasi sosial yang dilakukan oleh individu, semakin besar partisipasi sosial semakin besar pula kompetensi sosialnya. Partisipasi sosial dipengaruhi oleh pengalaman sosial, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kompetensi interpersonal dipengaruhi faktor pengalaman dimana pengalaman tersebut tidak terlepas dari faktor usia dan kematangan seksualnya. Fuad Nashori (2008) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: a. Faktor Internal 1) Jenis Kelamin Fuad Nashori (2008) mengungkapkan bahwa anak-anak dan remaja laki-laki memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif yang lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Selanjutnya, gerakan-gerakannya yang aktif tersebut menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan sosial-interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapi. 24 2) Tipe Kepribadian Adler (Nashori, 2008) mengemukakan bahwa ada individu yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi ke luar cenderung selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain. 3) Kematangan Fuad Nashori (2008) mengemukakan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap perilaku orang lain dan tidak mengadili atau menghukumnya. Ia dapat menerima kelemahan-kelemahan manusia dengan mengetahui bahwa ia punya kelemahan yang sama. 4) Konsep Diri Fuad Nashori (2008) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain. b. Faktor Eksternal 1) Kontak dengan Orangtua Menurut Hetherington dan Parke (Nashori, 2008), kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak anak dengan orangtua, dapat 25 menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosial anak dalam lingkungan sekitarnya. 2) Interaksi dengan Teman Sebaya Kramer dan Gottman (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal. Selanjutnya, Nurrahmati (Nashori, 2008) menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model mental yang positif, meyakini tersedianya respons yang positif dari lingkungannya. Dari sanalah berkembang kompetensi interpersonal pada diri individu. 3) Aktivitas Aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dapat mempengaruhi pada tingkat kompentensi interpersonal yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Danardono (Nashori, 2008) membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kepecintaalaman memiliki perbedaan kompetensi interpersonal yang signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan 26 kepecintalaman. Mahasiswa pecinta alam lebih tinggi kompetensi interpersonalnya dibanding dengan mahasiswa bukan pecinta alam. 4) Partisipasi Sosial Menurut Hurlock (1980), kompetensi sosial, termasuk kompetensi interpersonal dapat dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Oleh karena itu, semakin besar partisipasi sosial, maka semakin besar pula kompetensi interpersonalnya. Selain itu, diketahui bahwa perlakuan khusus pada individu dapat meningkatkan kompetensi interpersonal, seperti pelatihan asertivitas, pelatihan inisiatif sosial, dan lain sebagainya (Nashori, 2008). C. Konsep Remaja Akhir 1. Batasan Usia Remaja Akhir Masa remaja disebut juga adolescence. Kata Adolescence berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere, artinya to grow into adulthood atau tumbuh untuk mencapai kematangan (Yusuf & Sugandhi, 2011). Sementara itu, WHO (Sarwono, 2006:9) mendefinisikan remaja sebagai suatu masa dimana individu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual; individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa; serta terjadi peralihan dari ketergatungan sosialekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. 27 Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja tidak hanya mengalami perubahan psikologis, tetapi juga fisik dan sosialnya, serta munculnya tanda-tanda pubertas. Istilah remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas, yaitu mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1980) yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Monks, Knoers & Haditono (Desmita, 2007:190) membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu: a. Masa pra-remaja atau pra-pubertas (10-12 tahun) b. Masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) c. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) d. Masa remaja akhir (18-21 tahun). Dilihat dari pembagian remaja di atas, remaja akhir merupakan remaja yang berada pada rentang usia 18-21 tahun. 2. Ciri-ciri Remaja Akhir Masa remaja akhir ditandai oleh persiapan seorang remaja untuk memasuki peran-peran orang dewasa (Agustiani, 2006: 29). Masa ini ditandai juga dengan persiapan akhir untuk menjalankan peran-peran 28 orang dewasa. Selama periode ini, remaja berusaha untuk memantapkan tujuan vokasional mereka dan membentuk sense of personal identity. Tahap remaja akhir (late adolescence) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal (Sarwono, 2006), yaitu: a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek; b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru; c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi; d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain; e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Sementara itu, Muhammad Al-Mighwar (2006) mengemukakan bahwa ciri-ciri remaja akhir adalah sebagai berikut: a. Mulai stabil Pada masa remaja akhir, individu menunjukkan peningkatan kestabilannya dalam aspek-aspek fisik dan psikis. Selain itu, terjadi keseimbangan tubuh atau anggota badan. Pada masa ini juga terjadi kestabilan dalam minat-minatnya, seperti gaya berpakaian, pemilihan sekolah, dan pergaulan dengan sesama jenis ataupun berlainan jenis. Kestabilannya juga terjadi dalam sikap dan pandangan, mereka relatif 29 tidak mudah berubah pendirian hanya karena dibujuk atau dihasut oleh orang lain. Akibatnya, remaja akhir lebih dapat menyesuaikan diri dalam berbagai aspek kehidupannya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. b. Citra diri dan sikap-pandangan yang lebih realistis Pada masa ini, remaja mulai menilai dirinya apa adanya, menghargai apa yang dimilikinya, keluarganya, teman-temannya, seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan realistis ini akan menimbulkan perasaan puas, menjauhkan dirinya dari perasaan kecewa, dan mengahantarkannya pada puncak kebahagiaan. c. Lebih matang dalam menghadapi masalah Masalah yang dihadapi oleh remaja akhir sangat beragam. Namun, remaja akhir dapat menghadapinya dengan lebih matang. Kematangan itu ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalahmasalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Usaha pemecahan masalahnya tersebut mengarahkan remaja akhir untuk menyesuaikan diri dalam situasi perasaan sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Kemampuan berpikir dan pandangan yang lebih realistis itulah yang menjadikan remaja akhir mampu memecahkan berbagai masalah secara lebih matang dan realistis. 30 d. Lebih tenang perasaannya Pada masa remaja akhir, individu cenderung lebih tenang dalam menghadapi masalah-masalahnya. Hal ini disebabkan karena remaja akhir telah memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai segala perasaannya dalam menghadapi berbagai kekecewaan atau halhal lain yang mengakibatkan kemarahan. Dia juga telah berpandangan realistis dalam menentukan sikap, minat, dan cita-cita sehingga adanya berbagai kegagalan dapat disikapinya dengan tenang. 3. Tugas Perkembangan Remaja Akhir Havighurst (Yusuf & Sugandhi, 2011) mengemukakan bahwa tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu dimana apabila tugas-tugas perkembangan pada periode tertentu berhasil dituntaskan, maka akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan berikutnya, dan apabila gagal melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada periode tertentu, maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan mengalami kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Justin Pikunas (1969) mengemukakan bahwa remaja pertengahan dan remaja akhir memiliki tugas-tugas perkembangan yang penting, yaitu sebagai berikut: 31 a. Mampu menerima bentuk tubuh atau hal-hal yang berkaitan dengan fisiknya; b. Mampu mencapai kemandirian emosional yang ditunjukkan dengan ketidakbergantungan dari orangtua dan orang dewasa lain yang memiliki otoritas tertentu; c. Mampu dan terampil dalam komunikasi interpersonal dan relasi dengan orang lain, baik secara individu maupun dalam kelompok; d. Mampu menemukan model identifikasi; e. Mampu menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan ataupun sumber-sumber yang ada pada dirinya; f. Mampu memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ada. g. Mampu meninggalkan bentuk-bentuk reaksi dan penyesuaian yang kekanak-kanakan. D. Hubungan antara Harga Diri dengan Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal memiliki kedudukan yang penting bagi remaja karena dapat menunjang kesuksesan masa depan. Dengan memiliki kompetensi interpersonal, remaja diharapkan dapat memahami norma sosial, bersikap penuh pertimbangan, dan mampu bertindak tepat dengan kondisi sosialnya. Sehingga, remaja tersebut dapat diterima dengan baik oleh lingkungan sosialnya dan dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya. 32 Kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain (kompetensi interpersonal) erat kaitannya dengan bagaimana cara individu menilai dirinya sendiri secara positif, baik kelebihannya maupun kekurangannya. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif dengan menerima dan menghargai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (harga diri tinggi). Oleh karena itu, tingkatan harga diri yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi pada tingkat kompetensi interpersonalnya. Hubungan ini diperjelas oleh Stanley Coopersmith (1967: 71) yang mengemukakan bahwa sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri pada orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan membuat individu memiliki kompetensi sosial atau kemandirian sosial yang lebih baik dan kreativitas yang dimilikinya akan membimbingnya untuk lebih tegas dan lebih giat dalam melakukan tindakan sosial. Selanjutnya, Branden (Ghufron & Risnawita, 2010) mengemukakan bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan dan keputusasaan; cenderung lebih berambisi; lebih kreatif dalam pekerjaan; dan memiliki kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa harga diri yang dimiliki oleh seorang individu dapat mempengaruhi pada kompetensi interpersonal. 33 E. Hasil Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Harga diri dan Kompetensi Interpersonal pada Remaja Akhir Ada beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan harga diri dan kompetensi interpersonal yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Salah satu penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Faya Noorhalia Elcamila (2008) dengan judul “Hubungan Self Esteem dengan Relasi Interpersonal pada Penyandang Tunarungu Usia Dewasa Dini di Lembaga Deaf ‘n Dumb Bandung”. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa harga diri memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan relasi interpersonal pada penyandang tunarungu usia dewasa dini di lembaga Deaf ‘n Dumb Bandung, yang berarti semakin tinggi harga diri seseorang, maka akan semakin tinggi pula relasi interpersonalnya. Sebaliknya, semakin rendah harga diri seseorang, maka semakin rendah pula relasi interpersonalnya. Selain itu, beberapa penelitian lain yang terkait dengan harga diri dan kompetensi interpersonal adalah sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yulia Sudhar Dina (2010) dengan judul “Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada Remaja Panti Asuhan”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan. Artinya, semakin tinggi penerimaan diri seseorang maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya. 34 2. Penelitian yang dilakukan oleh Hartanti (2006) dengan judul “Hubungan antara Konsep Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Diponegoro”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada pengurus unit kegiatan mahasiswa Universitas Diponegoro. Semakin tinggi konsep diri seseorang, maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya; dan sebaliknya semakin rendah konsep diri, maka semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya. F. Kerangka Berpikir Masa remaja merupakan masa transisi menuju dewasa dimana remaja mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan fisik, psikis, maupun sosial. Seiring perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja tersebut, muncul berbagai tuntutan-tuntutan yang berlaku di masyarakat. Hal ini membuat remaja mau tidak mau harus berusaha untuk selalu menyesuaikan diri agar dapat diterima, diakui, dan dihargai dalam lingkungan sekitarnya. Tuntutan-tuntutan tersebut akan dapat dipenuhi oleh remaja apabila ia memiliki kemampuan-kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial agar dapat menentukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial tersebut. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal diasumsikan sebagai bagian dari kompetensi sosial yang memiliki aspek-aspek, seperti kemampuan 35 untuk berinisiatif, bersikap asertif, bersikap terbuka, memberikan dukungan emosional, dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan sosial. Kompetensi interpersonal perlu dimiliki oleh remaja karena hubungan baik yang dijalani oleh remaja akan memberikan dampak yang positif bagi hubungan yang mungkin akan terjadi di masa dewasanya. Sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hightower (Desmita, 2007: 220) ditemukan bahwa hubungan harmonis yang terjalin dengan teman sebaya pada saat remaja akan membentuk kesehatan mental yang positif pada saat dewasa. Menumbuhkan kompetensi interpersonal tidak selamanya mudah karena perkembangan tingkah laku individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami oleh individu selama interaksi dengan orang-orang yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Sebelum berperilaku, individu perlu memperhatikan bahwa ia harus mampu memperhitungkan apakah ia bisa atau tidak berperilaku sesuai dengan aturan atau norma sosial yang ada di lingkungannya. Remaja yang memiliki kemampuan interpersonal akan berani mengemukakan, menghargai serta menerima pikiran, perasaan dan pendapat orang lain secara terus terang. Kompetensi interpersonal erat kaitannya dengan bagaimana cara individu menilai dirinya sendiri secara positif, baik kelebihannya maupun kekurangannya. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif dengan menerima hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (harga diri 36 tinggi). Oleh karena itu, tingkatan harga diri yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi pada tingkat kompetensi interpersonalnya. Pada kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan interpersonal secara efektif (kompetensi interpersonal). Sebagian remaja akhir yang berstatus sebagai mahasiswa merasa masih belum mampu untuk menjalin hubungan interpersonal dengan baik. Begitupula yang terjadi pada mahasiswa Jurusan Psikologi FIP UPI angkatan 2009. Sebagian mahasiswa tersebut seringkali merasa kurang mampu untuk memulai interaksi dengan orang lain, merasa kaku, tidak percaya diri, dan malu pada saat berinteraksi dengan orang lain, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal. Oleh karena itu, bertolak dari kerangka pemikiran di atas, maka ditarik hipotesis sebagai berikut: “Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara harga diri dengan kompetensi interpersonal pada mahasiswa Jurusan Psikologi FIP UPI angkatan 2009”. Artinya, semakin tinggi harga diri yang dimiliki oleh seorang remaja, maka akan semakin tinggi pula kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh remaja tersebut, dan sebaliknya semakin rendah harga diri seorang remaja, maka akan semakin rendah pula kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh remaja tersebut. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran di atas dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini: 37 Remaja Akhir Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah Menerima diri sendiri, percaya diri, menilai diri penting, berarti, dan berharga Tidak percaya diri, memandang diri tidak berharga, dan merasa tidak memiliki kemampuan Kompetensi Interpersonal Tinggi Kompetensi Interpersonal Rendah Memiliki inisiatif dalam hubungan sosial, bersikap asertif, bersikap terbuka, memiliki rasa empati, dan aktif menyelesaikan pertentangan dengan orang lain Memiliki kesulitan untuk memulai interaksi sosial, tertutup, acuh tak acuh terhadap orang lain, dan menghindar apabila terjadi konflik Gambar 2.1 Kerangka Berpikir