B9 kitab

advertisement
kitab
REPUBLIKA ● AHAD, 12 DESEMBER 2010
B9
Nashaih Al-Khaththathin
Nasihat untuk
Penulis Kaligrafi
KITAB INI MEMILIKI
MAKNA YANG SANGAT
PENTING DALAM
MEMBENTUK KARAKTER
SEORANG PENULIS
KALIGRAFI BERNILAI
SENI TINGGI.
aligrafi atau seni tulisan indah sudah dikenal
ribuan abad silam. Kaligrafi berasal dari
bahasa Yunani, kalios yang berarti Indah dan
graphia yang mempunyai arti coretan atau
tulisan. Berbeda dengan Yunani, masyarakat
Arab lebih mengenal kaligrafi dengan
sebutan khath. Khath sering diartikan dengan tulisan
indah.
Dalam kitab Irsyad Al Qashid Ila Asna Al-Maqashid,
misalnya, Syamsuddin Al-Akfani memberikan definisi
khath. Menurut dia, khath adalah ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, penempatannnya, dan
cara merangkainya menjadi tulisan atau apa yang ditulis
dalam baris kalimat, bagaimana cara menulisnya, dan
menentukan kalimat yang perlu ditulis serta mengubah
ejaan dan menjadikan sesuatu yang indah.
Kedatangan agama Islam memberikan pengaruh luar
biasa terhadap seni kaligrafi, terutama pengaruh Alquran
yang memberikan sentuhan pada setiap aspek kehidupan
Muslim. Alquran mengangkat kaligrafi ke puncak seni yang
dianggap suci. Oleh karena itu, iman telah mendorong kaum
Muslim untuk memperelok sebuah tulisan (kaligrafi)
dengan menyalin ayat-ayat Alquran. Demikianlah awal
mula penamaan kaligrafi Islam menurut Kamil Al Baba,
seorang tokoh kaligrafi asal Lebanon. Jadi, bukan kaligrafi
Arab, tetapi kaligrafi yang ditulis dengan menggunakan
huruf Arab (hijaiyah).
Mengingat besarnya peranan Islam dalam usaha
pengembangan kaligrafi, dalam pelbagai literatur, sebutan
seni kaligrafi Islam jauh lebih populer daripada sebutan
seni kaligrafi Arab. Tak heran jika kemudian Ya’qut AlMu’thasimi mempersyarakatkan bahwa suatu tulisan akan
disebut indah bila karya tersebut membiaskan pengaruh
indahnya kepada hati, jiwa, dan pikiran. Misalnya, pengaruh
dakwah dipantulkan dari tulisan kaligrafi yang indah.
“Kaligrafi adalah arsitektur rohani yang lahir melalui
perabot kebendaan,” katanya.
Karena itu, dalam Islam, kaligrafi disebut sebagai
seninya seni Islam, yakni suatu kualifikasi dan penilaian
yang menggambarkan kedalaman makna dengan esensinya
berasal dari keseluruhan nilai dan konsep keimanan.
Poin inilah yang menjadi catatan
penting bagi seorang pakar kaligrafi
Islam Indonesia, Didin Sirajuddin AR.
Didin Sirajuddin dikenal sebagai
seorang master kaligrafi di Indonesia. Ia
telah memenangkan sejumlah perlombaan menulis indah. Ia memiliki perhatian yang sangat besar bagi perkembangan dunia kaligrafi di Indonesia.
Untuk itu, ia mendirikan sebuah
lembaga pendidikan kaligrafi yang
bernama Pondok Pesantren Kaligrafi
Alquran, Lemka, di Sukabumi, Jawa Barat.
Melalui lembaga ini, Didin berharap, akan
lahir para penulis kaligrafi yang andal di
masa depan.
Sebagai orang yang mengerti betul selukbeluk dunia kaligrafi, Didin berharap, para
calon ataupun yang sudah mahir dalam
menulis kaligrafi untuk senantiasa
meningkatkan kualitas dirinya dengan banyak
belajar dan terus belajar. Ia pun menyampaikan sejumlah saran (lebih tepatnya nasihat)
kepada calon dan mereka yang sudah mahir
menulis kaligrafi tersebut.
Nasihat-nasihat itu tertuang dalam kitabnya
yang berjudul Majmuat Al-Mawad min Anwa’ AlMashadir fi Nashaih Al-Khaththathin (Kumpulan
Nasihat bagi Penulis Kaligrafi). Di dalam kitab
Nashaih Al-Khaththathin ini, Didin Sirajuddin
menjelaskan bagaimana seharusnya seorang
penulis kaligrafi memaknai atau merefleksikan
karya-karyanya sesuai dengan tuntunan agama
Islam. Karena itu, dalam kitab Nashaih AlKhaththathin, yang terpenting adalah seorang
K
opik inilah sebenarnya yang
menjadi inti dan maksud bahasan
kitab Nashaih Al-Khaththathin.
Bagi Didin, menekuni kaligrafi
sama halnya mengagungkan kalimatkalimat suci. Sebab, sering kali kata-kata
yang diangkat dalam karya kaligrafi adalah
ayat-ayat Alquran ataupun hadis
Rasulullah SAW yang wajib dimuliakan.
Karena itu, paparan tentang etika seorang
kaligrafer diletakkan di pengujung kitabnya. Etika menekuni kaligrafi pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan adab dan
akhlak mempelajari Alquran.
Di antara adab, yang penting ditekankan
oleh para kaligrafer adalah meluruskan
niat. Menekuni kaligrafi sepatutnya tidak
T
ETIKA WAJIB
bagi Penulis
Kaligrafi
kaligrafi tahu etika dalam menulis kaligrafi.
Kitab ini, walaupun tampak sederhana, mempunyai
fungsi dan peranan yang cukup penting bagi para penulis
kaligrafi. Hal ini terutama dalam membentuk karakter
seorang penulis kaligrafi yang mampu menghasilkan karya
seni bernilai tinggi dan memiliki integritas spiritual yang
mumpuni.
Didin Sirajuddin AR mendedikasikan secara khusus
kitabnya ini bagi para santri yang belajar di pesantrennya
tersebut. Secara umum, Didin berharap, kitab yang
rampung ditulisnya pada 23 Juni 2009 atau bertepatan
pada 29 Rabiul Akhir 1430 H itu memberikan inspirasi
berharga bagi para pegiat seni tulis indah Islam di Tanah
Air.
“Kaligrafi Islam bukan hanya berbicara tentang estetika
tulisan, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yakni penanaman akhlak yang mulia bagi kaligrafer atau penulis
kaligrafi,” ujar Didin Sirajuddin yang juga staf pengajar di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kitab Nashaih Al-Khaththathin ini bukanlah entri baru
yang menulis seluk-beluk dunia kaligrafi dalam bahasa
Arab. Sejumlah penulis Timur Tengah telah lebih dahulu
mengarang kitab seputar seni kaligrafi, di antaranya AlLauhat Al-Khaththiyyah fi Al-Fanni Al-Islami karya
Muhammad bin Said Syarifi dan Ushul Al-Khath Al-Arabi
yang dikarang oleh Salman Al-Jaburi.
Namun, memang tidak fair jika membandingkan kitab
Nashaih Al-Khaththathin dengan kitab-kitab tersebut. Hal ini
mengingat kitab tersebut merupakan hasil karya seorang
‘ajam alias non-Arab. Tentu ini menjadi prestasi tersendiri
bagi Didin Sirajuddin. Boleh dibilang, Nashaih Al-Khaththathin adalah kitab pribumi pertama dan satu-satunya yang
secara khusus menjelaskan tentang kiat praktis, adab, dan
etika bagi seorang kaligrafer. Terlebih, kitab Nashaih AlKhaththathin ini sama sekali tidak membahas contoh-contoh
penulisan dengan beragam style kaligrafi, layaknya bukubuku yang banyak beredar di pasaran. Sebab, bagi Didin,
yang terpenting adalah bagaimana menanamkan etika dan
moral bagi penulis kaligrafi. ■ cr1 ed: syahruddin el-fikri
didasari tujuan duniawi semata, baik untuk
ketenaran, meraup materi, maupun alasan
lainnya. Seorang kaligrafer dituntut untuk
menamakan sifat ikhlas. Karena, hal itu
merupakan kunci penting untuk memperoleh ridha Allah.
“Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali
supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.” (QS AlBayyinah [98]: 5).
Hal serupa juga ditekankan oleh Imam
Al-Qusyairi. Menurutnya, ikhlas berarti
memperuntukkan ketaatan hanya untuk
Allah semata. Ketaatan ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan
ikhlas, seseorang tidak akan suka pujian
Pentingnya
Seorang
Pembimbing
elajar sesuatu mesti ada guru atau
pembimbingnya.” Demikian ditegaskan
Syekh Ibrahim bin Ismail az-Zarnuji,
pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim. Sebab,
tanpa bimbingan seorang guru, dikhawatirkan murid atau
pelajar tak mampu memahami kandungan makna yang tersirat dari buku yang dipelajarinya.
Hal ini pula yang ditekankan Didin Sirajuddin dalam
kitab Nashaih al-Khaththathin (Nasihat untuk Penulis
Kaligrafi). Menurutnya, di antara keberhasilan belajar
kaligrafi adalah bimbingan atau guru. Posisi seorang guru
sangat krusial dalam proses belajar mengajar.
Demikian pula ketika mempelajari seni kaligrafi. Sebab,
sebagian rahasia kaligrafi tersimpan dan terletak dalam
arahan-arahan para pengajar. Kadang-kadang terdapat
sejumlah teknik yang tak bisa dijelaskan melalui kalimat,
tetapi harus disampaikan secara lisan. Di sinilah
pentingnya seorang guru.
Ada sebuah ungkapan yang disandarkan kepada Ali bin
Abi Thalib. “Rahasia kaligrafi ada di balik arahan guru dan
mutunya tergantung pada seringnya latihan.”
Dalam kitab Majmu’ Rasail fi Ilmi Al-Khath, Qadli Zadah
bin As-Shalawataini mengutip sebuah syair yang isinya
menerangkan tiga hal yang mesti dipilih sebelum menekuni kaligrafi Islam. Salah satu yang paling mendasar adalah
keberadaan guru.
Seorang pembimbing akan membantu memberi arahan
mengenai segala hal yang berkaitan dengan usaha
membuat karya bernilai seni tinggi. Tanpa kehadiran guru,
sang murid hanya akan mengandalkan kekuatan akal dan
menyampingkan nilai estetika yang terkandung di balik
seni kaligrafi.
Dengan bimbingan dan arahan guru, pola hubungan dan
interaksi kedua belah pihak akan terjalin dengan baik. Tak
hanya sekadar ikatan antara guru dan murid, tetapi lebih
dekat lagi layaknya hubungan antara anak dan orang tua.
Dalam berkomunikasi dan berinteraksi, seorang murid
sekaligus anak harus menghormati arahan dan nasihat
guru. Rasa saling percaya penting ditumbuhkan agar
transformasi keilmuan dapat terwujud dengan baik.
Sejarah telah membuktikan bahwa kesuksesan seorang
kaligafer berkait erat dengan keberadaan seorang guru.
Bahkan, penghormatan kaligrafer terhadap guru dikaitkan
dengan murka atau ridha Allah.
Salah satu contohnya adalah sebuah cerita tentang
kisah Ad-Darwisy Muhammad atau yang sering dikenal
dengan panggilan Al-Kaukab (1149 M/1137 H), murid dari
Al-Hafizh Utsman. Ia merasa tak pernah mendapatkan
didikan dari gurunya. Karena itu, ia pun merasa tidak
berhak untuk memberi penghormatan kepada Al-Hafizh
Utsman. “Saya bisa menulis jauh lebih bagus dari karya
guru saya,” kata dia lantang.
Lantaran kesombongannya itulah, Al-Kaukab mendapat
ganjaran setimpal. Suatu ketika, ia bermaksud mengambil
lembaran mushaf dari tangan gurunya. Namuni, saat
hendak memindahkan mushaf tersebut, secara tidak
sengaja sebilah pisau memotong kedua jarinya.
Hampir setahun, ia mengalami luka itu. Namun, setelah
sembuh, ia tak mampu lagi menghasilkan karya yang indah.
Inilah contoh betapa kesombongan dan tak menghormati
seorang guru bisa membawa bencana bagi murid yang tak
patuh. ■ cr1 ed: syahruddin el-fikri
“B
atau makna apa pun, selain mendekatkan
diri kepada Allah.
Adab yang kedua adalah mengolah dan
menempa kemampuan spiritualitas.
Seorang kaligrafer harus memiliki etika
yang baik dan berakhlak terpuji dalan
setiap tingkah laku dan ucapannya. Olah
spiritual akan sangat membantu menghasilkan seni kaligrafi yang berkualitas.
Sebab, kaligrafi sebagai salah satu seni dan
erat kaitannya dengan kejernihan hati.
Jadi, belajar dan menekuni kaligrafi
bukan sekadar menggoreskan kuas di
kanvas atau lembaran. Tapi, pada hakikatnya, dalam Islam menulis kaligrafi adalah
menukil sesuatu yang suci sehingga proses
dan prosedur yang diletakkan pun mesti
suci pula.
Ada pesan penting yang mesti diperhatikan para penulis kaligrafi. “Wahai, para
pembawa ilmu, amalkanlah ilmu kalian
karena sesungguhnya seorang alim adalah
yang mengamalkan apa yang ia ketahui
sehingga antara ilmu dan amal selaras.
Ingatlah akan muncul kelompok yang
membawa ilmu tidak sampai tenggorokan
mereka. Perbuatan mereka tidak sesuai
dengan ilmunya, antara batin dan realita
lahir tidak sejalan, mereka menghadiri
majelis hanya untuk membanggakan diri
satu sama lain sampai orang lain enggan
duduk dan meninggalkannya. Merekalah
orang-orang yang amalnya tidak diterima
oleh Allah.” ■ cr1 ed: syahruddin el-fikri
Download