SEJARAH PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR’AN (250-940 M) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Oleh: Alan Zuhri 1111022000058 KONSENTRASI TIMUR TENGAH PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M i LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripisi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu, di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 14 Februari 2017 Alan Zuhri ii ABSTRAK Skripsi ini berjudul Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab pada masa praIslam sampai Kodifikasi Al-Qur’an 250-940 M, berusaha dan mencoba untuk mendalami dan mengkaji tentang seni Islam yaitu kaligrafi Arab yang sudah berkembang sejak awal datangnya Islam atau lebih spesifiknya lagi semenjak adanya kitab suci al-Qur’an dan memiliki relasi dengan perkembangan kaligrafi Arab. Temuan berupa beberapa inskripsi kuno semakin menguatkan bahwa kaligrafi Arab juga sudah dikenal sebelum adanya Islam. Kaligrafi Arab yang berkembang dari tulisan Mesir Kuno (Hierogliph) jauh sebelum datangnya Islam. Pada masa pra-Islam tradisi tulis-menulis merupakan hal yang langka yang dilakukan oleh bangsa Arab kuno, dominannya tradisi hafalan membuat tradisi tulisan tidak berkembang di kawasan Arabia. Pada awal Islam-pun tradisi hafalan masih sangat dominan dikalangan kaum Muslim, hingga terjadi beberapa tragedi yang merugi umat Islam akibat peperangan melawan kaum Quraish dan musuh Islam. Kemudian disepakatilah penulisan dan penyalinan yang dihafalkan oleh para sahabat ke dalam tulisan pada masa Abu Bakar as-Siddiq, kemudian hal ini dilanjutkan oleh Utsman bin Affan guna menyeragamkan bacaan al-Qur’an kaum Muslim dan dikenal dengan Mushaf Utsmani. Selanjutnya perkembangan kaligrafi Arab pada masa kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah menggeser dominasi kaligrafi jenis kufi yang kaku, dan mempopulerkan jenis cursif yaitu jenis tulisan dengan gaya miring, yang dipelopori oleh tokoh kenamaan kaligrafi Arab ialah Ibnu Muqlah yang telah merumuskan kaidah-kaidah penulisan kaligrafi Arab. Keyword : Perkembangan, kaligrafi Arab, awal Islam, dan Kodifikasi al-Qur’an iii KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala kebesaran dan karunia-Nya yang telah menciptakan bumi dan alam semesta beserta seluruh isinya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita para umatnya sampai akhir zaman. Skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab pada masa pra-Islam sampai Kodifikasi al-Qur’an tahun 250 sampai 940 M.” ditulis dalam konteks untuk menyelesaikan studi Strata (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya penulis banyak mendapatkan hambatan dan tantangan. Namun, berkat usaha dan bantuan serta kerja sama yang penulis dapatkan dari berbagai pihak, baik itu dukungan materil maupun nonmaterial, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis berterima kasih kepada mereka yang telah membantu, membimbing, memotivasi dan menemani penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Berkaitan dengan penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaiora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. H. Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurusan Sejarah dan iv 5. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, M.A, selaku dosen pembimbing yang dengan tekun membaca dan memberi kritikan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. 6. Dr. H. Didin Sirojuddin AR, M.Ag, selaku penguji I, dan para guru-guru (ustadz), yang sudah banyak memberikan dan membagikan ilmunya, baik dalam diskusi-diskusi kecil dan kajian-kajian kitab. Dan segenap keluarga besar dan teman-teman LEMKA Ciputat dan LEMKA Sukabumi yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu yang sudah berjuang bersamasama dalam mempelajari dan mencari pembahasan yang berkaitan dengan skripsi ini. 7. Dr. Hj. Tati Hartimah, M.A, selaku penguji II yang sudah banyak memberikan dan mengajarkan bagaimana penulisan karya yang baik, yaitu berupa masukan dan saran-saran dalam penulisan skripsi ini. 8. Drs. Azhar Sholeh, M.A, selaku dosen Pembimbing Akademik, yang selalu memberikan arahan serta motivasi dalam belajar. 9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya dosen-dosen Jurusan SKI yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama penulis mengikuti perkuliahan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. 10. Orang tua tercinta: ayahku Saifuddin Suhri, dan ibuku Sabariah dan keluarga-keluargaku yang ada di Sumbawa, yang telah mengasuh, mendidik, membimbing dengan sabar dan penuh kasih sayang, dan banyak berkorban demi kemajuan penulis, serta senantiasa memberikan semangat dan mendoakan dan banyak sekali. Dan untuk adikku Ihzan Yusril Zuhri yang sedang menempuh pendidikannya di pesantren. 11. Adinda Inultya bagaikan alarm terindah yang selalu tepat waktu mengingatkan dan memberikan motivasi kepada penulis di setiap saat, dan dikala penulis merasakan jenuh dan bimbang dalam penulisan skripsi ini. 12. Kawan kosan Borju di Semanggi I, yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu, terima kasih atas kontribusinya. v 13. Sahabat-sahabat SKI angkatan 2011. Khususnya Sahabat SEKOTTENG 2011 (Sejarah Konsentrasi Timur Tengah), yang selama ini telah bersama-sama memberikan dan menciptakan kenangan terindah yang tidak akan terlupakan oleh penulis. Dan satu persatu dari kalian mulai mendapatkan gelar S. Hum, dan melepas status mahasiswa kalian di kampus ini. 14. Dan teruntuk sahabat-sahabat seperjuangan ku yang tidak pernah lelah dalam menyelesaikan tugas akhir; Husen, Sufyan Syafi’i, Ulfa az-Zahra dan Wilda Eka Safitri. Yang selalu memotivasi satu sama lainnya agar kelak dapat menggunakan togah secara bersamaan. 15. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini. 16. Seluruh civitas Akademika dan Staf Akademik Fakultas Adab dan Humaniora. Demikian ucapan terima kasih dan rasa syukur penulis yang tak seberapa jika dibandingkan dengan bantuan dan motivasi yang telah mereka berikan. Semoga segala jerih payah dan kerelaan mereka mendapat pahala dan ganjaran yang lebih baik dari Allah swt. Ciputat, Maret 2017 Penulis vi DAFTAR ISI Lembar Pernyataan.............................................................................................. i Abstrak ............................................................................................................... ii Kata Pengantar .................................................................................................. iii Daftar Isi............................................................................................................ vi BAB I: PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 7 C. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 8 D. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian ................................................................................. 9 F. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 9 G. Kerangka Teori..................................................................................... 10 H. Metode Penelitian................................................................................. 12 I. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14 BAB II: TRADISI BANGSA ARAB DAN KALIGRAFI ............................... 15 A. Tradisi Bangsa Arab ............................................................................. 15 B. Huruf dan Abjad Arab .......................................................................... 20 C. Pengertian Kaligrafi Arab .................................................................... 22 D. Asal-Usul Kaligrafi Arab ...................................................................... 25 BAB III: PENULISAN DAN KODIFIKASI AL-QUR’AN ............................ 30 A. Penulisan al-Qur’an pada masa Rasulullah .......................................... 31 B. Pengumpulan dan penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Siddiq............................................................................................... 34 C. Penulisan dan penghimpunan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan .................................................................................................... 37 D. Penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa dinasti Umayyah .............................................................................................. 41 E. Penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa dinasti Abbasiyah ............................................................................................. 44 vii BAB IV: PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR’AN (250-940 M) ....... 46 A. Sejarah kemunculan kaligrafi Arab dan perkembangannya................ 46 1. Tulisan Musnad dan Nabathi ............................................................ 49 2. Corak Kaligrafi Awal ........................................................................ 51 a. Jenis Mabsuth wa Mustaqim ......................................................... 51 b. Jenis Muqawwar wa Mudawwar................................................... 52 3. Peranan Kaligrafi Arab pada masa pra-Islam .................................. 53 a. Dokumentasi dan Inskripsi Arab kuno ......................................... 53 b. Tradisi Mu’allaqat ....................................................................... 57 B. Penulisan dan Kodifikasi al-Qur’an ...................................................... 60 1. Motivasi Normatif tradisi penulisan................................................ 61 2. Mushaf Utsmani .............................................................................. 63 3. Khat Kufi dalam penulisan al-Qur’an ............................................. 66 4. Tanda Baca ...................................................................................... 68 C. Perkembangan kaligrafi Arab setelah datangnya Islam ....................... 70 1. Ibnu Muqlah dan rumusan kaligrafi Arab dan lahirnya al-Khath al-Mansub dan perkembangan kaligrafi Arab pada masa dinasti Abbasiyah ........................................................................................ 74 2. Faktor-faktor yang menyebabkan kaligrafi berkembang pesat ....... 78 3. Kaligrafi Arab pada beberapa media............................................... 81 a. Kiswah Ka’bah .......................................................................... 81 b. Dekorasi Masjid ........................................................................ 82 c. Koin Islam ................................................................................. 83 BAB V: PENUTUP .......................................................................................... 84 A. Kesimpulan ........................................................................................... 84 B. Saran ...................................................................................................... 86 LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 99 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara etimologi, kaligrafi berasal dari bahasa Inggris, calligraphy yang berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu kallos: beauty (indah) dan graphein: to write (menulis) yang berarti: tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab, biasa disebut khat yang berarti garis atau coretan pena yang membentuk tulisan tangan.1 Dan disebut fann al-khath dalam arti seni memperhalus tulisan atau memperbaiki coretan.2 Tulisan Arab atau yang disebut juga Khat, kaligrafi Arab merupakan proses lanjutan dari tulisan hieroglyph3 melalui tulisan Phunisia. Ada berbagai pendapat mengenai awal kelahiran tulisan Arab. Sebagian para ahli menganggap, tulisan Arab merupakan pecahan dari akar tulisan Suryani, bersandarkan pada adanya kemiripan bentuk huruf-huruf Suryani. Sementara itu, dari kalangan Orientalis ada yang berpegang pada teori ilmuan Jerman Lidzbarsky, bahwa alfabet Arab sebelum masa tumbuh Islam tumbuh dari Funisia.4 Diperkirakan seabad sebelum kedatangan Islam, orang Hejaz sudah mengenal tulisan dan aksara. Hal ini dikarenakan hubungan dagang dan perniagaan mereka dengan orang Arabia Utara dan Selatan yang sudah melek huruf seperti suku Hunain di Yaman (tulisan Musnad) dan orang-orang di selatan Palestina (tulisan Nabath). Mereka mengadakan perjalanan dan belajar baca-tulis di Suriah, sedangkan yang lain di Anbar (Irak). Meskipun demikian di Hejaz, 1 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1987), h. 1. Al-Mu‘jam al-Wajiz, (Majma„al-Lughah al-„Arabiyah, 1995), h. 203 3 Tulisan dan abjad Mesir Kuno, yang terdiri atas 700 gambar dan lambang dalam bentuk manusia, hewan, atau benda; lambang tulisan (menyerupai gambar paku) yang bersifat rahasia atau teka-teki yang sukar dibaca atau dipahami maknanya. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), edisi ke-4, h. 497. 4 Kamil al-Baba, Ruh al-Khat al-‘Arabi: The Spirit of Arabic Calligraphy (Beirut: Dar Lubnan Publishers, 1983). Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Islam, terj. Didin Sirojuddin AR. (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), h. 9. 2 2 menurut para ahli sejarah, hanya ada beberapa orang yang pandai baca-tulis, terdiri aats orang Quraisy, orang Madinah, khususnya orang Yahudi.5 Bangsa Arab kuno juga telah disifatkan sebagai bangsa penyair. Watak seni mereka dituangkan dalam bentuk ungkapan bernuansa puitis dan sastra. Jika bangsa Yunani mengekpresikan seni mereka dalam bentuk patung dan arsitektur, bangsa Ibrani dalam bentuk lagu keagamaan (psalm), maka bangsa Arab menuangkannya dalam bentuk syair (qasidah) sebagai bentuk ungkapan estetis.6 Menurut Didin Sirojuddin AR, sebuah keluarga atau kabilah (suku) merasa lebih bangga mempunyai seorang penyair sebagai anggota keluarganya daripada seorang panglima perang. Penyair-penyair ini sebagaimana kebanyakan penyair lain, sangat ingin dikenang hingga ke anak cucunya, dan untuk mencapai kesitu penyair harus memiliki dua orang murid yang diharapkan menghafal sajak-sajak syairnya, dan kemudian diturunkan ke generasi selanjutnya. Mereka tidak suka menulis sajak-sajak syair mereka, mereka lebih mengutamakan hafalan.7 Kemampuan menghafal, pada gilirannya menjadi tolak ukur dan kemampuan ilmiah seseorang. Lebih parah lagi, seseorang yang bisa baca-tulis dianggap lemah daya ingat (hafalan)-nya (dha if al-dzakirah) karena itu kemampuan baca-tulis dianggap sebagai aib.8 Alkisah, penyair Arab yang bernama Zurrummah meminta kepada seseorang yang mendapatinya sedang menulis, untuk tidak memberitahukan kepada orang lain tentang kemampuan menulisnya. Zurrummah berkata: “Innahu ‘inda ‘aib” (sesungguhnya kemampuan baca-tulis di kalangan kami adalah aib).9 Orang-orang Arab terdahulu (sebelum datangnya Islam) merupakan bangsa yang memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi perkembangan tulisan. Tabiat-tabiat tersebut di antaranya; kehidupan mereka selalu berpindahpindah dari satu tempat ke tempat yang baru (nomaden), hidup bersuku-suku dan 5 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 9. Philip K. Hitti, History of the Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, (Jakarta: Serambi, 2002), h. 112. 7 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 19. 8 Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi (Jakarta: Linus, 2013), h.5. 9 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 72. 6 3 rasa fanatisme kesukuan (‘ashobiyah), tidak memiliki budaya tulis-menulis, dan mereka jauh dari pengetahuan secara umum.10 Faktor inilah yang membuat tulisan atau kaligrafi Arab tidak bertumbuh dan berkembang. Pada masa pra-Islam hingga masa awal Islam, metode hafalan yang masih cukup dominan di kalangan masyarakat Arab. Hanya ada beberapa orang yang mempunyai keahlian menulis11, yang bertugas mencatat wahyu. Menurut literatur Arab ada satu tradisi yang menguatkan bahwa bangsa Arab sudah mengenal tulisan. Terbukti dengan ditemukannya suatu tradisi tahunan pada masa pra-Islam yang disebut dengan Al-Mu’allaqat (gantungan) tercatat kemunculannya sekitar abad ke-6 M, sebagai karya seni sastra yang indah dan sempurna yang punya nama terhormat karena dituliskan dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka‟bah. Tercatat hanya ada tujuh nama penyair dan syair terbaik yang pernah digantungkan pada dinding Ka‟bah. Dikenal juga dengan sebutan Muzahhabat (the seven odes). Adanya tradisi mu’allaqat besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan kaligrafi Arab pada masa selanjutnya. Karena mu’allaqat tersebut dituliskan dengan tulisan indah, yaitu dengan kaligrafi Arab jenis Nabati yang kemudian berkembang menjadi jenis kaligrafi atau khat Kufi.12 Juga ditemukan beberapa inskripsi kuno yang tertulis pada masa pra-Islam dan setelah Islam. Di antaranya; inskripsi Umm Jimal (250-an M) di Suriah, tertulis dengan kaligrafi Nabati Arabi, inskripsi Nammarah (328 M) di Suriah, dituliskan dengan jenis kaligrafi atau tulisan Nabati Mutakhir, inskripsi Zabad (511-512 M) di Aleppo Suriah, yang ditulis ke dalam tiga bahasa dan tiga jenis tulisan (Yunani, Suryani, dan Nabati Mutakhir), inskripsi Harran (568-569 M) di Harran Suriah, dan tertulis dengan kaligrafi hampir menyerupai jenis kaligrafi Kufi, dan yang terakhir adalah inskripsi Umm Jimal II (pada abad ke-6 M) di Suriah, inskripsi ini dituliskan dengan kaligrafi yang sudah mendekati kemiripan 10 Ilham Khoiri R,. Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 57-62. Di antara mereka adalah Sa‟id bin Zuharah, al-Mundzir bin Amr, Ubay bin Wahhab, Zayd bin Tsabit, Rafi‟ bin Malik dan Anas bin Khawli. Lihat Ilham Khoiri R, Al-Qur’an dan Kaligrafi, h. 111. 12 C. Israr, Dari Teks Klasik Sampai Ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 42. 11 4 dengan jenis kaligrafi atau khat kufi yang selanjutnya berkembang pada masa awal Islam dan digunakan untuk menulis al-Qur‟an.13 Tulisan dan kaligrafi Arab mulai berkembang dan tumbuh sejak kemunculan agama Islam di dataran Arab pada abad ke-6 M. Penggunaan tulisan pertama pada masa Islam adalah digunakan sebagai pencatatan ayat atau wahyu yang diterima Nabi.14 Ayat dan wahyu tersebut dituliskan di beberapa media, seperti pada kulit binatang (ar-Riqa’), lempengan batu (al-Likhaf), tulang binatang (al-Aktaf), dan pelepah kurma (al-‘Usbu).15 Barulah pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661 M), tepatnya pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, tulisan-tulisan itu dikumpulkan ke dalam satu mushaf16utuh yang disepakati, dan menjadi mushaf yang digunakan oleh umat Islam hingga sekarang ini, pengumpulan dan penulisan al-Qur‟an yang dilakuakan pada masa Utsman juga dikenal sebagai kodifikasi al-Qur‟an. Pada masa alQur‟an masih dalam proses pewahyuan, para sahabat masih menuliskannya pada kepingan-kepingan tulang, pelepah kurma, kulit binatang atau pada batu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utsman bin Affan pernah mengirimkan kepada Ubay bin Ka‟ab sepotong tulang kambing yang ditulis di atasnya beberapa ayat alQur‟an.17 Pada masa Abu Bakar, akibat perang Riddah, perang melawan orangorang murtad dan nabi-nabi palsu, umat Islam kehilangan banyak penghafal alQur‟an. Merasa khawatir akan semakin berkurangnya para penghafal al-Qur‟an, Umar kemudian meminta Abu Bakar untuk menuliskan kembali al-Qur‟an. Puncaknya pada masa Ali bin Abi Thalib (w.661 M) dimana diciptakan syakl 13 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 31-36. Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya (Bandung: Angkasa, 1993), h. 65-66. 15 Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur’an (Bandung: Salamadani, 2009), h. 38; Hal serupa juga diungkapkan oleh M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 83; C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 47; Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 388. 16 Menurut beberapa pendapat, mushaf yang pertama adalah Mushaf Utsmani yang dibukukan menjadi satu mushaf pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Lihat, C. Israr, Dari Teks Klasik Sampai Ke Kaligrafi Arab, h. 49. Dan juga hal serupa dikemukakan oleh Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 61-62. 17 Hasbi ash-Shidiqi, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.83. 14 5 tanda baca pada tulisan al-Qur‟an. Menurut Kamil al-Baba, orang yang pertama kali meletakkan konstruksi ilmu Nahwu dalam al-Qur‟an adalah Abu Al-Aswad Al-Du‟ali atas perintah dari Ali Bin Abi Thalib.18 Perlu digarisbawahi disini, bahwa bentuk tulisan atau kaligrafi yang digunakan pada masa awal Islam atau turunnya wahyu pertama pada masa nabi Muhammad saw, yaitu dituliskan menggunakan hampir menyerupai khat atau kaligrafi jenis Kufi, yang tidak memiliki tanda baca dan titik yang membedakan setiap huruf-hurufnya. Begitu pula selanjutnya penggunaan khat Kufi masih dominan pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah, sampai Dinasti Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan khalifah al-Radi (934-940 M), mulai menggunakan jenis kaligrafi Arab cursif, yaitu khat atau kaligrafi Naskhi yang diciptakan oleh Ibnu Muqlah (w. 940 M). Dan menjadi tulisan standar al-Qur‟an hingga sekarang. Menurut Ilham Khoiri,19 kajian-kajian tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat bagian. Pertama, kajian yang lebih melihat kaligrafi Arab sebagai ekspresi kesenian atau kemahiran tulis-menulis. Yang menjadi sasaran utama kelompok ini adalah memperkenalkan kaidah-kaidah penulisan sekaligus memberikan pelatihan tentang bagaimana cara mempelajari dan mempraktikkannya. Buku-buku yang dihasilkan tak lebih dari tuntunan tata-cara menulis kaligrafi Arab.20 Kedua, kajian yang mengupas kaligrafi Arab dari sudut normatif. Meski telah beranjak dari sekedar tuntunan menulis dan mulai masuk dalam wacana keilmuan, tetapi ulasan-ulasannya masih bersifat normatif21 atau, dalam beberapa kasus, bahkan mistis. Yang ditekankan adalah keutamaan berkaligrafi dari nabi Adam a.s. dan Nabi-nabi terdahulu,22 yang semuanya sulit dibuktikan secara ilmiah. Kecenderungan seperti ini dapat ditemukan dalam 18 Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Islam, h. 33. Ilham Khoiri R., Al-Qur’an dan Kaligrafi, h. 5. 20 Sebagian besar buku-buku tersebut merujukan diri kepada buku utama yang memuat kaidah-kaidah tulisan Arab, seperti karya Hasyim Muhammad al-Khathtat, Qowa’id al-Khat al‘Arabi, Baghdad: Wazarah al-Ma‟rif al-Iraqiyah, 1961. 21 Pengertian normatif di sini lebih mengacu pada apa yang dikedepankan oleh Jacques Waardenburg yang membatasinya sebagai studi Islam yang menelaah aspek preskripsi-preskripsi, norma-norma, dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk Al-Qur‟an. Lihat; Ilham Khoiri R, Al-Qur’an dan Kaligrafi, h. 5-6. 22 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.5-6. 19 6 beberapa buku yang ditulis oleh sebagian seniman kaligrafi atau pengamat Muslim. Ketiga, kajian yang berusaha mengupas kaligrafi Arab sebagai wacana kebudayaan Islam yang aktual dan empiris. Tujuan disuguhkan secara ilmiah melalui pendekatan social-historis,23 dengan mengedepankan data-data kesejarahan beserta analisis sosial. Yang tercangkup dalam kategori ini adalah para sarjana Barat dan sejumlah sejarawan Muslim modern. Keempat, kajian yang mendalami kaligrafi Arab dari sudut estetika yang lebih menekankan pemahaman tentang keindahan huruf-hurufnya yang sangat elastis sekaligus eksplosif.24 Namun ada suatu hal yang sama-sama selalu dikedepankan, yaitu; pengakuan akan adanya keterkaitan antara kaligrafi Arab dengan al-Qur‟an. Lebih spesifik lagi, hampir seluruh pengamat menyepakati bahwa al-Qur‟an memberi pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kaligrafi Arab. Dari paparan di atas skripsi ini berupaya menelusuri sejarah perkembangan tulisan Arab dalam kaitannnya dengan kaligrafi Arab. Penulis mencoba menggunakan kajian ketiga seperti yang sudah diulas sebelumnya, yaitu dengan berusaha mengupas kaligrafi Arab sebagai wacana kebudayaan Islam yang aktual dan empiris. Tujuannya disuguhkan secara ilmiah melalui pendekatan socialhistoris, dengan mengedepankan data-data kesejarahan beserta analisis sosial. Yang termasuk dalam kategori ini adalah para sarjana Barat dan sejumlah sejarawan Muslim modern. Sebagai pembabakan, kajian ini berfokus pada kajian sejarah pekembangan kaligrafi Arab pada masa sebelum datangnya Islam sampai masa kodifikasi al-Qur‟an, dengan alasan bahwa pada masa itu bangsa Arab mulai mengenal bentuk tulisan hingga berkembang menjadi kaligrafi Arab setelah datangnya Islam (al-Qur‟an), hingga menemukan bentuknya yang standar atau 23 Pendekatan Social-Historis di sini merujuk kepada batasan yang disuguhkan Bernard S. Philips. Bahwa dikatakan sosiologis lantaran pendekatan tersebut mengacu dan lebih concern pada analisis-analisis kemasyarakatan yang digunakan untuk mengembangkan dan mengetes proposisi yang dapat menjelaskan sekaligus memperkirakan tingkah laku manusia secara umum. Sementara pendekatan Historis lebih tertarik untuk memperoleh serangkaian data-data yang kredibel tentang sisi kejadian dalam sejarah. Bernard S. Philips, Social Research: Strategy and Tactics, (London: The Macilland Company, 1968), cet. ke-5, h. 126. 24 Ilham Khoiri R, Al-Qur’an dan Kaligrafi..., h. 7. 7 dikenal dengan al-Khat al-Mansub (kaligrafi standar) dengan tokohnya yaitu Ibnu Muqlah (w. 940 M).25 Atas dasar itu penulis tertarik untuk mengkaji dan melakukan observasi penelitian tentang Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab Pada Masa PraIslam sampai Kodifikasi Al-Qur’an (250-940 M). B. Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini penulis menemukan banyak masalah yang menarik untuk dibahas dalam penelitian ini, yaitu: a. Kapan budaya penulisan ada dan muncul di dataran Arab ? b. Bagaimana para penyair-penyair Arab menyikapi budaya tulisan Arab ? c. Apa dampak budaya tulisan Arab bagi orang Arab pada masa itu ? d. Seperti apa tulisan Arab dalam penulisan ayat dan wahyu yang turun pada masa itu ? e. Bagaimana al-Qur‟an dituliskan pada masa itu ? f. Apa sebab adanya instruksi atau perintah untuk mengkodifikasi alQur‟an pada masa Usman bin Affan ? g. Apakah instruksi penting dan pokok dalam mengkodifikasi al-Qur‟an pada saat itu ? h. Siapakah tokoh yang berperan dalam peletakan tanda baca tulisan Arab (harakat dan tanda titik pada huruf Arab) ? i. Siapa tokoh yang berperan dalam mengkodifikasikan al-Qur‟an ke dalam sebuah mushaf ? j. Bagaimana kemunculan dan perkembangan kaligrafi pada masa awal Islam sampai kodifikasi al-Qur‟an ? Dari beberapa masalah yang penulis uraikan, maka penulis melakukan spesifikasi dan batasan masalah pada penelitian yang penulis paparkan dalam bahasan selanjutnya. 25 Nurul Makin, Kafita Selekta Kaligrafi Islam (Jakarta: Panji Mas, 1996), h. 44-45. 8 C. Batasan dan Rumusan Masalah Dari beberapa identifikasi masalah sebelumnya yang penulis temukan, penulis hanya ingin memfokuskan pembahasan dan lebih membatasi masalah dalam penelitian ini pada SEJARAH PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR‟AN (250-940 M). Untuk menghindari melebar dan meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan waktu atau tahun, yaitu pada rentang tahun 250 sampai 940 M. Dan dengan adanya pembatasan masalah yang ingin dikaji oleh penulis, tulisan ini diharapkan berfokus kepada batasan masalah yang sudah ditentukan oleh penulis. Setelah penulis membatasi masalah pembahasan dalam penelitian ini, penulis juga menggarisbawahi beberapa rumusan masalah pada kajian ini, yang dianggap menarik dan patut untuk dikaji dalam peneliti ini, di antaranya: 1. Bagaimana perkembangan tulisan Arab serta peranannya dalam peradaban Arab pra-Islam ? 2. Bagaimanakah sejarah penulisan dan pengkodifikasian al-Qur‟an pada masa itu ? 3. Bagaimanakah sejarah perkembangan kaligrafi Arab setelah berkembangnya Islam ? D. Tujuan Penelitian Sebagaimana mestinya, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah perkembangan kaligrafi Arab pada masa pra-Islam sampai kodifikasi al-Qur‟an (250-940 H). Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk memaparkan apa yang menjadi judul dari kajian ini, dengan tujuan; 1. Untuk mengetahui perkembangan tulisan Arab dan peranannya dalam peradaban Arab kuno. 2. Untuk mengetahui sejarah penulisan dan pengkodifikasian al-Qur‟an. 3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan kaligrafi Arab setelah datangnya Islam. 9 E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini, penulis membaginya ke dalam tiga poin, yaitu: 1. Bagi Peneliti a. Menambah pengetahuan tentang peran kaligrafi (tulisan Arab) pada peradaban kuno. b. menambah wawasan tentang bagaimana perkembangan tulisan Arab pasca datangnya Islam (al-Qur‟an). c. Sebagai sarana pengembangan pola pikir peneliti dan penambahan wawasan dalam bidang peradaban seni Islam sebagai khazanah Islam yang pernah ada. 2. Bagi Lembaga a. Sebagai sarana kajian dalam ilmu pengetahuan dan seni budaya Islam. b. Memberi masukan dan wawasan kepada sanggar-sanggar atau lembagalembaga seni Islam yang bergelut dibidang kaligrafi, baik wawasan dan kreatifitas dalam mempelajari seni kaligrafi Islam. c. Sebagai sarana kajian bagi lembaga formal dan non-formal yang berkaitan dengan seni budaya Islam. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan a. Dapat memberi kontribusi khazanah keilmuan dan pengetahuan tentang seni budaya Islam yang pernah berkembang pesat dari dulu hingga sekarang. b. Sebagai bahan tambahan kajian bagi yang ingin mendalami dan melakukan observasi tentang seni kaligrafi Arab. F. Tinjauan Pustaka Tema dan judul penelitian yang penulis pilih ini adalah Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab Pada Masa Pra-Islam sampai Kodifikasi AlQur’an (250-940 M). Dalam pencarian repository universitas-universitas lain masih minimnya dan kurangnya yang mendalami dan meneliti sejarah perkembangan seni budaya Islam, khususnya seni kaligrafi Arab. Namun, ada 10 beberapa peneliti yang membahas hal yang berkaitan dengan seni budaya Islam yaitu kaligrafi Arab, diantaranya: Dalam penelusuran penulis di repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis menemukan skripsi yang dituliskan oleh Ilham Khoiri jurusan TafsirHadits fakultas Ushuluddin, yang berjudul; Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab: Studi tentang Pengaruh al-Qur’an terhadap Perkembangan kaligrafi Arab, skripsi ini kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku yang berjudul; Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab: Peran Kitab Suci dalam Transformasi Budaya (Jakarta: Logos), dan diterbitkan pada 1999. Buku ini secara fisik memiliki 230 halaman, termasuk biografi penulis. Dalam skripsi dan buku ini Ilham Khoiri kemudian membuat beberapa teori temuannya dalam penelitiannya. Tulisan dan penelitian ini lebih menekankan pembahasannya bagaimana al-Qur‟an memberikan pengaruh terhadap perkembangan kaligrafi Arab. Selanjutnya penulis juga menemukan judul skripsi yang membahas tentang kaligrafi Arab pada masa Abbasiyah yang ditulis oleh Agus Priatna yang berjudul: Penulisan Mushaf al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Kaligrafi Arab pada masa Abbasiyah, ditulis pada tahun 2005. Dalam skripsi ini, hanya memfokuskan pembahas tentang perkembangan kaligrafi Arab dari masa penulisan mushaf al-Qur‟an sampai pada masa Dinasti Abbasiyah. Kedua tulisan tersebut memiliki kesamaan, yaitu membahas tentang seni kaligrafi Arab. Dari dua penelitian sebelumnya maka penulis tertarik untuk membahas tentang apa yang belum dibahas dan dikaji oleh penulis-penulis sebelumnya. Pembahasan tentang kaligrafi pada masa pra-Islam sampai pada masa kodifikasi al-Qur‟an, belum dibahas dan dikaji oleh peneliti sebelumnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang judul dan tema tersebut. G. Kerangka Teori Dalam membahas permasalahan di atas, sudah tentu akan menggunakan pendekatan konsep pemikiran tertentu sebagai penguat ataupun penunjang masalah yang diajukan. Di antaranya penulis mengutip pendapat Didin Sirojuddin AR, yang berteori bahwa budaya penulisan Arab atau yang disebut dengan khat 11 atau kaligrafi sudah ada sebelum datangnya Kitab suci al-Qur‟an yang dibawa oleh nabi Muhammad. Jauh sebelum Islam dan al-Qur‟an datang, bangsa Arab kuno sebenarnya sudah mengenal tulisan, namun hanya segelintir orang. Ini dikuatkan dengan temuan beberapa inskripsi-inskripsi kuno yang tertua tertanggal 250 M. Bangsa Arab kuno adalah bangsa yang memiliki budaya retorika, yaitu tradisi memberikan informasi dari mulut ke mulut. Namun semenjak kedatangan Islam dan al-Qur‟an bangsa Arab mulai mengenal dan menggeluti budaya penulisan Arab (kaligrafi). Hal yang serupa juga dinyatakan juga oleh C.Israr, yang menyatakan pada zaman Jahiliyah budaya penulisan Arab tidak begitu berkembang. Dikarenakan sebahagian penduduk Hejaz dan Badawi yang masih memiliki tradisi hidup berpindah-pindah tempat atau nomaden dan masih dominan dengan kebiasan bersyair dan berorator. Syair-syair yang bagus dapat mengangkat derajat keluarga dan kabilah si penyair. Suatu hal yang mendorong budaya penulisan kaligrafi Arab sebelum Islam, adalah adanya suatu tradisi tahunan berupa perlombaan pidato dan syair yang diadakan setiap bulan Zulqaidah. Perlombaan tersebut diikuti oleh para penyair terkenal disetiap kabilah, syair-syair yang terbaik dijadikan pemenang dan kemudian dituliskan dengan tinta emas diatas sehelai sutera dan digantungkan didinding Ka‟bah, yang disebut dengan Mu’allaqat. Disamping adanya tradisi mu’allaqat sebagai hal yang mendorong budaya penulisan, juga kebiasaan orang Arab yang gemar berniaga tidak lepas dari pengaruh budaya penulisan. Barulah kedatangan al-Qur‟an dapat merubah budaya bangsa Arab kuno menjadikan bangsa Arab yang gemar menulis. Teori ini juga dikuatkan oleh Ilham Khoiri, yang menurutnya sebenarnya tradisi penulisan pra-Islam sudah ada, namun tidak begitu dominan. Dikarenakan pada masa itu tradisi retorikalah dan folklore yang sangat berkembang dikalangan bangsa Arab kuno. Namun setelah datangnya peradaban baru yaitu datangnya Islam, bangsa Arab mulai mengenal tradisi penulisan. Dengan kerangka teori pemikiran inilah permasalahan dalam penelitian ini dapat dianalisis. 12 H. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Deskriptif-Analisis dengan pendekatan historis. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau yang berupa teks tertulis. Poin-poin yang telah dianalisa, kemudian ditulis atau dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana dan masa berlangsungnya topik penelitian sejarah yang berkaitan.26 Maka dalam penelitian ini penulis akan menguraikan bagaimanakah sejarah perkembangan kaligrafi Arab pada pra-Islam sampai pada masa di mana ada instruksi untuk melakukan kodifikasi al-Qur‟an (250-940 M). Dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat beberapa syarat-syarat sebagai sebuah prosedur yang harus diikuti oleh para peneliti sejarah. Adapun prosedur yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah Heurestik, Verifikasi, Interpretasi, dan Historiografi. Pengumpulan data yang penulis lakukan menggunakan metode kepustakaan (Libary Research) dengan mengakses sumbersumber baik primer maupun sekunder yang tertulis berupa buku-buku serta jurnal, katalog dan internet. Kemudian teknik pengumpulan data melalui tela‟ah terhadap berbagai bahan kepustakaan. Adapun tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penulisan kajian ini adalah sebagai berikut. 1. Sumber Data Data ataupun sumber peneliti dapat dikategorikan menjadi dua: data primer dan data sekunder. Data primer, adalah beberapa data yang merupakan data rujukan utama yang menjadi rujukan penulisan karya ilmiah. Bentuknya berupa dokumen-dokumen penting pada masa dan zaman itu. Sedangkan data Sekunder bentuknya seperti buku-buku bacaan, artikel-artikel, jurnal, dan hasil wawancara pada tokoh yang mempunyai kapasitas yang mumpuni di bidang tersebut. 26 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI-Press, 1983), h. 3. 13 2. Pengumpulan Data Untuk teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian, yaitu; metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta menelaah buku-buku dan dokumen yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis teliti. Sedangkan sumber-sumber lainnya, penulis melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Jakarta dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan beberapa kali penulis melakukan kunjungan ke Perpustakaan LEMKA Sukabumi, sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Barulah setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang tema yang telah penulis angkat. 3. Pengolahan Data Setelah data-data mengklarifikasikan diperoleh, data-data yang maka tahap sudah selanjutnya didapatkan adalah berdasarkan permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini. Data-data tekstual seperti buku, artikel atau jurnal kemudian diperoleh serta dimasukkan sebagai data penunjang untuk tema yang sedang di bahas dalam penelitian ini. 4. Analisis Data Setelah dilakukan klarifikasi data, tahap selanjutnya yang penulis lakukan adalah melakukan analisis yang bersifat kualitatif, dalam artian penulis akan menguraikan data-data historis tersebut dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan konteks. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah sosial dan seni budaya. Adapun buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, terbitan (CeQDA 2007), menjadi buku acuan yang penulis gunakan untuk membantu dalam hal teknik penulisan kajian dan penelitian ini. 14 I. Sistematika Penulisan Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberi gambararan yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam penelitian ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam lima (5) bab dengan urutan sebagai berikut: Bab I adalah berisi tentang signifikansi tema yang di angkat terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan terakhir sistematika penulisan. Bab II merupakan bab yang membahas tentang Kaligrafi dan Tradisi bangsa Arab: pengertian kaligrafi, asal-usul kaligrafi, huruf dan abjad Arab, dan tradisi bangsa Arab. Bab III berisi tentang sejarah kodifikasi dan penulisan al-Qur‟an: penulisan al-Qur‟an pada masa Rasulullah, pengumpulan dan penulisan al-Qur‟an pada masa khalifah Abu Bakar, penulisan dan penghimpunan al-Qur‟an pada masa khalifah Utsman bin Affan, penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur‟an pada masa dinasti Umayyah, penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur‟an pada masa Abbasiyah. Bab IV berisi tentang Perkembangan kaligrafi Arab pada masa pra-Islam sampai kodifikasi al-Qur‟an (250-940 M): sejarah kemunculan kaligrafi Arab dan perkembangannya, penulisan dan kodifikasi al-Qur‟an, dan perkembangan kaligrafi Arab setelah datangnya Islam. Bab V berisi kesimpulan penelitian yang merupakan pandangan penulis tentang hasil penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan merupakan hasil akhir yang dapat penulis berikan sebagai puncak dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan. Sedangkan saran-saran merupakan anjuran penulis kepada para akademisi yang memiliki perhatian terhadap penelitian sejarah dan kebudayaan Islam, terutama yang berkaitan dengan seni dan kebudayaan Islam khususnya di bidang kaligrafi Arab. 15 BAB II TRADISI BANGSA ARAB DAN KALIGRAFI A. Tradisi Bangsa Arab Kata „Arab‟ dewasa ini menunjukkan kepada penduduk sejumlah negeri yang luas, yang menggunakan bahasa Arab dengan berbagai ragam dialeknya sebagai bahasa keseharian dan etnisitas utama mereka. Makna kata ini mencakup mereka yang hidup di perkotaan (ahl al-hadhar) maupun di gurun pasir (ahl alwabar atau ahl al-badiyah). Kata dengan makna ini digunakan juga oleh para ilmuwan untuk mengenali kelompok etnis pengguna bahasa Arab pada zaman Sebelum Masehi dan abad-abad menjelang kelahiran agama Islam, sebagaimana tertuang dalam berbagai sumber kesejarahan.1 Berdasarkan dua karakteristik daratannya, penduduk Semenanjung Arab terbagi ke dalam dua kelompok utama: orang-orang desa (Badui) yang nomaden2 dan masyarakat perkotaan yang menetap. Sisi negatif dari orang-orang Badui adalah mereka orang Badui nomad untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya yang tidak mereka miliki dari tetangganya yang lebih nyaman tempat tinggalnya, dan hal itu dilakukan melalui jalur kekerasan. Sebagian orang Badui nomad dikenal sebagai perampok darat atau makelar. Namun adapula sebagian kelompok orangorang Badui memilih untuk hidup nomad dengan tujuan untuk melarikan diri dan melindungi diri dari dari gempuran dan serangan musuh atau suku lain. Bangsa Arab kuno merupakan bangsa yang memiliki rasa fanatisme yang tinggi terhadap kabilahnya (suku atau klan). Salah satu fenomena yang dimunculkan oleh pola relasi antar suku atau kabilah di kawasan Semenanjung Arab adalah maraknya peristiwa pembegalan, dan perampokan terhadap kabilah atau perkemahan suku 1 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. 157. 2 Kelompok orang yang tidak memiliki dan mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan keperluan kelompok itu. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), edisi ke-4, h. 325. 16 lain.3 Ini disebabkan kondisi sosial-ekonomi kehidupan gurun hingga menjadi semacam penyimpangan dan penyakit sosial. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan bila pada masa itu dikenal dengan masa Jahiliyah atau masa kegelapan. Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut dengan Arab Jahiliyah, bangsa yang belum berperadaban, tidak mengenal aksara.4 Namun, ada sisi positif yang tidak kalah menarik untuk disimak dari bangsa Arab pra-Islam. Menurut Didin Sirojuddin AR, orang-orang Arab kuno telah disifatkan sebagai bangsa penyair. Sebuah keluarga atau kabilah (suku) merasa lebih bangga mempunyai seorang penyair sebagai anggota keluarganya daripada seorang panglima perang. Penyair-penyair ini sebagaimana kebanyakan penyair lain, sangat ingin dikenang hingga ke anak cucunya, dan untuk mencapai kesitu penyair harus memiliki dua orang murid yang diharapkan menghafal sajak-sajak syairnya, dan kemudian diturunkan kegenerasi selanjutnya. Mereka tidak suka menulis sajak-sajak syair mereka, dan mereka lebih mengutamakan hafalan mereka.5 Dalam sejarah bangsa Arab, di antara karya seni yang dikembangkan mereka pada masa pra-Islam tidak ada satu pun yang melebihi dan menyamai seni puisi (shi’r) sebagai sumber estetika. Puisi merupakan bentuk ekspresi estetis dan bakat terbaik mereka dalam bidang seni verbal (fann qawli). Dengan bahasanya yang singkat, padat dan tepat, puisi digubah sebagai bentuk karya sastra lisan yang dituangkan dalam beberapa perangkat matra (wazn) yang berima tunggal (qafiyah), dan dimaksudkan terutama untuk mempengaruhi para pendengarnya. Oleh karena itu, umumnya para penyair senantiasa memusatkan perhatian pada kesempurnaan bentuk dan keindahan sebagai norma fundamental yang banyak menentukan nilai sebuah karya puisi.6 Kecintaan bangsa Arab terhadap puisi merupakan salah satu aset kultural yang mereka miliki. Diakui oleh Philip K. Hitti, tidak ada satu pun bangsa di dunia ini yang menunjukkan apresiasi yang sedemikian besar terhadap ungkapan 3 Philip K. Hitti, History of the Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, (Jakarta: Serambi, 2002), h. 28-32. Lihat juga Ahmad Amin, Fadjar Islam, terj. Zaini Dahlan (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), Cet. ke-1h. 25-26. 4 Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 27. 5 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1987), h. 19. Lihat juga Philip K. Hitti, The Arabs a Short History, diterjemakan oleh Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, Dunia Arab Sedjarah Ringkas (Bandung: Sumur Bandung, 1970), h. 152. ; Ahmad Amin, Fadjar Islam, h. 83-88. 6 Andri Ilham, Puisi Arab dan Protes Sosial; Kajian atas Puisi Pinggiran Sa‘alik pra-Islam, (Jakarta: Transpustaka, 2016), h. 34. 17 bernuansa puitis dan sangat tersentuh oleh kata-kata, selain bangsa Arab. Watak seni mereka dituangkan ke dalam bentuk ungkapan. Jika orang-orang Yunani mengekspresikan kreativitas seninya dalam bentuk seni patung dan arsitektur, orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu keagamaan (psalm), maka orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk syair (qasidah) sebagai bentuk ungkapan estetis.7 Sebagai media pengungkapan yang paling dikenal bangsa Arab pra-Islam di mana budaya oral menguasai mereka, sejak awal muncul dan berkembangnya puisi melalui pendengaran, bukan bacaan, lewat lagu, dan tulisan.8 Bangsa Arab, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Babilonia dan Cina yang telah sukses mengembangkan sistem tulis dan memiliki bentuk kaligrafi atau tulisan yang sangat kompleks, boleh dikatakan sebagai pendatang yang agak terlambat. Padahal, tulisan mereka memiliki tempat kedua sesudah aksara Romawi, yang banyak dipakai dalam berbagai penulisan, sampai sekarang. Tabiat dan tradisi orang Arab kuno yaitu bangsa yang suka berpindahpindah atau nomaden yang belum memiliki catatan sejarah atau historiografi yang dapat dijadikan acuan.9 Bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang memiliki keagungan tersendiri terhadap tulisan seperti halnya bangsa Romawi, Cina dan Mesir kuno. Orang Arab kuno tidak terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah untuk didokumentasikan. Karena itu sangatlah susah mencari data tertulis atau prasasti yang membuktikan peta sejarah perjalanan sebuah kerajaan di Jazirah Arabia. Dapat dikatakan bahwa orang Arab kuno di zaman jahiliyah bukanlah semata-mata sebagian besarnya buta huruf, bahkan juga dari satu segi anti huruf.10 Akan tetapi mereka memiliki suatu kekuatan unik, yaitu “tradisi mulut ke mulut” (tradisi folklor atau oral) dalam menyimpan informasi atau untuk 7 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 112. Adonis, Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibda’ wa al-Itba ‘inda al-Arab. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khairon Nahdiyyin, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam (Yogyakarta: LKiS, 2009), jilid ke-4, h. 20. 9 Y. M. Safadi, Islamic Calligraphy (London: Thumes and Hudson, 1978), h. 7. 10 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 18. Lihat juga Philip K. Hitti, The Arabs a Short History, h. 13-24. 8 18 menyampaikan komunikasi. Tradisi oral dominan penggunaannya lebih disebabkan karena ia sudah mengakar dalam masyarakat Arab pra-Islam. Kekaguman mereka terhadap seni bahasa yang indah, dan bahkan bagi setiap orang apabila ia dapat menghafal atau mentransmisikan puisi-puisi para penyair kabilahnya dari generasi ke generasi.11 Menghafalkan puisi pada masa itu telah menjadi ilmu tersendiri, sehingga hafalan merupakan sesuatu yang dianggap membanggakan, dan menjadi ukuran dalam menilai kapasitas keilmuan seseorang. Tradisi menulis bangsa Arab pada waktu itu hampir tidak ada, kecuali pada beberapa kalangan tertentu. Faktor inilah yang menyebabkan tulisan Arab tidak mengalami pertumbuhan dan bahkan amat lambat. Oleh para ahli, kelambanan ini diakibatkan dari kecenderungan kehidupan bangsa Arab sendiri. Pada masa sebelum Islam, mayoritas bangsa Arab dikenal memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi perkembangan tulisan. Menurut Ilham Khoiri R., terdapat empat jenis kebisaan yang dimiliki bangsa Arab, antara tabiat dan kebiasaan tersebut adalah: pertama, mereka hidup secara nomad (berpindah-pindah) dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai macam motivasi seperti untuk mencari daerah yang subur atau menghindari penyergapan musuh dari suku lain.12 Meskipun ada yang menetap, yaitu etnis Quraish yang membentuk aliansi perdagangan di Makkah. Kebiasaan nomad ini membuat mereka sibuk dengan perpindahan dan mempersempit kemungkinan membangun suatu kebudayaan. Kedua, mereka hidup bersuku-suku dengan rasa fanatisme kesukuan (‘ashobiyah) yang sangat kental dan rasa toleransi antar suku yang kecil. Saling membanggakan suku dan keturunan masing-masing sambil merendahkan suku dan keturunan lain, sehingga seringkali terlibat peperangan antar suku. Oleh sebab itu, sulit untuk mendirikan suatu komunitas bersama yang bersatu. Ketiga, mereka tidak memiliki budaya tulis-menulis, tak pernah mementingkan catatan sejarah kehidupan mereka tidaklah tertuliskan. Sebagian besar mereka adalah buta huruf. Sedikit sekali orang yang mampu menulis, hanya beberapa pemuka masyarakat yang jumlahnya sangat minim yang memiliki 11 Andri Ilham, Puisi Arab dan Protes Sosial, h. 35. Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 28. 12 19 kemampuan menulis. Meskipun demikian, beberapa di antara bangsa Arab masih memerlukan tulisan, terutama untuk kebutuhan perniagaan dan guna menulis syair-syair terbaik yang digantungkan pada dinding Ka‟bah (mu’allaqat)13. Ketidak mampuan tulis-menulis mengantarkan mereka untuk mengandalkan metode hafalan, yang pada gilirannya menjadi tolak ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang. Keempat, mereka jauh dari ilmu pengetahuan secara umum. Pengetahuan mereka tentang ilmu politik, ekonomi, sosial, kedokteran dan lain-lain sangat tertinggal dari bangsa-bangsa lain seperti Romawi dan Persia.14 Hanya saja, bangsa Arab mengerti mengenai astronomi dan meteorologi (ilmu falak), tentang sejarah, pengobatan berdasarkan pengalaman, perdukunan dan serta tata bahasa dan sastra. Untuk bidang tata bahasa dan sastra harus diakui bahwa kemampuan bangsa Arab memang cemerlang.15 Namun, menurut literatur Arab ada satu tradisi yang menguatkan bahwa bangsa Arab sudah mengenal tulisan. Terbukti dengan ditemukannya suatu tradisi tahunan pada masa pra-Islam yang disebut dengan Al-Mu’allaqat (gantungan) sebagai karya seni sastera yang indah dan sempurna yang punya nama terhormat karena dituliskan dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka‟bah. Pada masa Arab pra-Islam, tulisan Arab tidak begitu berkembang. Tidak begitu banyak yang bisa menulis dan membaca, sebagian besar penduduk Hejaz masih diselimuti kegelapan buta huruf, apalagi bagi penduduk badui yang hidupnya nomaden. Keahlian baca-tulis hanya dimiliki oleh golongan yang sangat kecil, yaitu rahibrahib yang beragama Yahudi dan Nasrani. 13 Syair-syair yang terbaik yang menjadi pemenang dalam perlombaan itu, kemudian ditulis dengan tinta emas di atas sehelai sutera halus dan digantungkan di dinding Ka‟bah. Syair-syair yang di gantung di Ka‟bah ini dinamakan al-Mu’allaqat. Lihat C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 42 ; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.19 ; Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 116. 14 Ahmad Amin, Fadjar Islam, h. 18-19. 15 Ilham Khoiri R., Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 57-62. 20 B. Huruf dan Abjad Arab Kata huruf berasal dari bahasa Arab: Harfun, al-Harfu ) الحرف،(حرف. Huruf Arab juga disebut dengan Huruf Hijaiyah ()هجائية, kata Hijaiyyah berasal dari kata Hajaa ( )هجيyang berarti: mengeja, menghitung huruf, membaca huruf demi huruf dengan harakat. Huruf hijaiyah juga disebut dengan alfabet Arab. Kata alfabet itu sendiri berasal dari bahasa Arab: Alif, Baa, Taa ( تاء، باء،)الف. Abjad, alfabet atau huruf hijaiyyah yang kita kenal sekarang berjumlah duapuluh delapan (28) huruf tunggal, tanpa menyertakan huruf lam alif dan hamzah.16 ابتثجحخدذرزسشصضطظعغفقكلمنوهي Penamaan huruf-huruf dengan Abjad diambil dari nama-nama huruf yang empat pada urutan pertama, yaitu: alif, baa, jim, dan dal ( د، ج، ب،)ا. Abjad Arab yang mula-mula mencakup dua puluh dua (22) huruf, karena telah dikurangi enam huruf, yaitu: غ، ظ، ض، ذ، خ،ث. Orang-orang Arab terdahulu tidak pernah menyebutnya, karena huruf-huruf tersebut belum diberi tanda bunyi atau tanda baca17 (harakat dan nuktah). Ketika huruf-huruf diberi tanda titik, untuk menjaganya dari kekeliruan baca, yakni pada masa al-Hallaj di bawah koordinasi Nashir ibnu Ashim al-Laitsi dan Yahya ibnu Ya‟mur al-„Udwani: mereka menyatukan غ، ظ، ض، ذ، خ،( ثtsa, kha, dzal, dha, zha, ghain) dengan abjad dan menamakannya rawadif.18 Dengan demikian huruf hijaiyah berjumlah 28 huruf seperti yang kita kenal sekarang. Tulisan merupakan suatu media komunikasi yang sejak lama sudah dikenal dalam sejarah kebudayaan dan peradaban manusia. Tulisan sebagai simbol bahasa yang disebut juga dengan istilah aksara, khath, dan sebagainya, pada garis besarnya terdiri dari dua jenis, yaitu piktogram19 dan idiogram20. 16 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h. 5. Tanda baca dalam tulisan Arab terdiri dari titik yang disebut naqt dan i’jam; dan barisan yang disebut harakat atau syakal. Namun, jika disebut huruf al-mu’jam, maka artinya adalah huruf hijaiyah juga, atau huruf yang bertanda baca alias huruf hidup. Ada yang mengartikan i’jam sebagai penerang, karena dengan tanda-tanda tersebut huruf-huruf menjadi terang dan jelas bacaannya. Bahkan istilah syakal sering juga digunakan, baik untuk titik ataupun harakat. Sebab, syakal yang mempunyai arti „bentuk‟ telah membentuk tulisan menjadi kata-kata yang dapat dipahami. Lihat Didin Sijoddin AR., Seni Kaligrafi Islam, h. 22. 18 Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Islam, h. 77. 19 Piktogram adalah tulisan gambar, yakni tulisan yang makna atau pengertiannya berawal dari gambar-gambar benda. Bentuk tulisannya benar-benar dibuat berupa gambar-gambar dari apa 17 21 Tulisan merupakan suatu batas pemisah dari zaman sejarah. Pada zaman di mana suatu bangsa di dunia belum mengenal baca-tulis, belum mempergunakan tulisan, maka zamannya disebut zaman pra-sejarah. Peradaban dan kebudayaan dari zaman hanya dapat diketahui dan bersumber dari fosil dan artefak. Oleh sebab itu dalam bahasa Sangsekerta, zaman prasejarah disebut zaman Nirleka, artinya zaman belum adanya tulisan.21 Dari perspektif bahasa, tradisi alfabet atau tulisan Arab merupakan satu dari dua jenis tulisan besar di dunia di samping jenis tulisan Punisia yang kelak menghasilkan jenis tulisan Yunani (Latin). Tulisan Arab terbagi menjadi dua cabang, selatan dan utara. Jenis tulisan Arab selatan terdiri dari 29 huruf, tertulis dalam bentuk huruf capital. Jenis tulisan Arab selatan ini masih terus digunakan hingga periode awal,22 tetapi kemudian ditinggalkan setelah muncul tulisan Arab Tua (Old Arabic Script). Sementara itu, tulisan Arab utara terdiri dari 28 huruf, dengan beberapa variasi tulisan lokal yang ditemukan bukan hanya di wilayah utara dan tengah Arabia, tetapi juga di kalangan masyarakat diaspora23 Arab di Babilonia dan kerajaan lainnya.24 C. Pengertian Kaligrafi Arab Secara etimologi, kaligrafi berasal dari bahasa Inggris, calligraphy yang berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu kallos: beauty (indah) dan yang dimaksudkan; misalnya kata gunung dinyatakan dengan sebuah garis zigzak seperti bentuk sebuah gunung. Kata matahari dinyatakan dengan sebuah garis lingkaran; kata ikan dinyatakan dengan gambar seekor ikan, dan sebagainya. Dalam jenis piktogram ini termasuk tulisan Mesir Purba dan tulisan China. Namun, menurut KBBI: Piktogram ialah idiogram yang berupa gambar untuk mengungkap amanat tertentu, misal tanda lalu lintas. Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), h. 1073. 20 Idiogram adalah tulisan bunyi, yang berasal juga dari piktogram, tetapi sudah disesuaikan sehingga kesan gambar menurut bentuk yang kongkrit sudah tidak terlihat lagi. Huruf-huruf hanya merupakan perlambangan dari bunyi dan jumlahnya tidak lagi sebanyak huruf-huruf piktogram, tetapi sudah disederhanakan. Tulisan-tulisan yang termasuk jenis idiogram ini adalah tulisan Phunisia, tulisan Arab, tulisan Romawi dan sebagainya. Sedangkan menurut KBBI: ideogram adalah tanda grafis yang dipakai untuk menggambarkan bagian ujaran, ada logogram dan piktogram. Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), h. 517. 21 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 3-4. 22 Kala itu jenis tulisan ini sesekali digunakan untuk mengekspresikan bahasa Arab; bahkan jenis tulisan yang digunakan pada pemenang syair yang disebut dengan Mu’allaqat dituliskan dengan jenis tulisan Nabathi, yang saat jenis tulisan ini berkembang di wilayah Arab bagian selatan. 23 Masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya; bangsa Yahudi sebelum Israel berdiri pada tahun 1948. Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), h. 325. 24 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, h. 161. 22 graphein: to write (menulis) yang berarti: tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab, biasa disebut khat25 yang berarti garis atau coretan pena yang membentuk tulisan tangan.26 Dan disebut fann al-khath dalam arti seni memperhalus tulisan atau memperbaiki coretan.27 Menurut Didin Sirojuddin AR, Kaligrafi adalah kegiatan menulis dan menyempurnakan huruf alif sampai ya dengan menggunakan pena. Huruf atau akasara menjadi objek artistik dan asketik didalam mngekspersikan gagasan, inspirasi serta kepekaan seninya. Kaligrafi Islam juga disebut sebagai “ The Art of Islamic Art”. Dahulu, setiap kali nabi Muhammad mengajarkan ayat-ayat al-Qur‟an yang baru diwahyukan kepadanya, saat itu pula Nabi selalu meminta kepada para sekretarisnya untuk menuliskannya. Maka tidaklah salah jika dikatakan usia kaligrafi Islam seumur dengan sejarah Islam itu sendiri.28 Syeikh Syam al-Din al-Afkani menyatakan, secara terminologis bahwa kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; mengubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.29 Yakni terdapat didalam delapan jenis kaligrafi yang berkembang dewasa ini: 25 1. Naskhi 5. Diwani Jali 2. Tsulus 6. Farisi 3. Rayhani 7. Riq‟a 4. Diwani 8. Kufi Khat berasal dari bahasa Arab, Khath ()خط. Secara etimologis, khat berarti garis; baris; tulisan atau sejenisnya yang dirangkai menggunakan tangan. Adapun secara terminologi, Majdi Wahbah dan Kamil al-Muhandis, mendefinisikan khat sebagai simbol atau rumus yang digunakan oleh sekelompok manusia sebagai media untuk membaca dan memahami dialektika (kalam) dari bahasa tertentu. Dikutip dari Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi, (Jakarta: Linus, 2013), h. 160. 26 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 1. 27 Al-Mu‘jam al Wajiz, (Majma„al-Lughah al-„Arabiyah, 1995), h. 203 28 “Dari Tulis ke Lukis” Festival Muharram Bayt al-Qur‟an dan Museum Istiqlal. Katalog Pameran Kaligrafi Islam 7 Desember-31 Maret 2011, h. 11 29 Dikutip dari Irsyad al-Qasid bab Hasr al-‘Ulum oleh Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali alQalqasyandi dalam Subh al-A’syafi Shina’ah al-insya, (Kairo: Kustatasumas wa Syarikahu, tth), h. 3-4. Dikutip juga oleh Didin Sirojuddin AR. dalam: Seni Kaligrafi Islam, h. 65. 23 Ada pula yang mengatakan bahwa kaligrafi merupakan apa-apa yang ditulis para ahli dengan sentuhan kesenian. Kaligrafi melahirkan suatu ilmu tersendiri tentang tata cara menulis, yang meneliti tentang tanda-tanda bahasa yang bisa dikomunikasikan, yang ditorehkan secara proporsional dan harmonis, yang dapat dilihat secara kasat mata dan diakui sebagai susunan yang dihasilkan lewat kerja kesenian.30 Sedangkan menurut Muhammad Thahir ibn „Abd al-Qadir al-Qurdi dalam karyanya Tarikh al-Khath al-‘Arabi wa Adabihi pernah menyimpulkan sekitar tujuh macam pengertian kaligrafi atau khat dan kemudian menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaligrafi adalah suatu kepandaian untuk mengatur gerakan ujung-ujung jari dengan memanfaatkan pena dalam tata cara tertentu. Yang dimaksud dengan “pena” di sini adalah pusat gerakan ujung-ujung jari; sementara “tata cara tertentu” merujuk pada semua jenis kaidah-kaidah penulisan.31 Dibandingkan dengan seni Islam yang lain, kaligrafi memperoleh kedudukan paling tinggi, dan merupakan ekspresi spirit Islam yang sangat khas. Oleh karena itu kaligrafi sering disebut sebagai "seninya seni Islam". Kualifikasi ini memang pantas karena kaligrafi mencerminkan kedalaman makna seni, yang esensinya berasal dari nilai dan konsep keimanan. Oleh sebab itu kaligrafi berpengaruh besar terhadap bentuk ekspresi seni yang lain atau dengan kata lain, terhadap ekspresi kultural secara umum. Hal ini diakui oleh para sarjana Barat yang banyak mengkaji seni Islam, seperti Martin Lings, Titus Burckhardt, Annemarie Schimmel, dan Thomas W. Arnold. Keistimewaan kaligrafi dalam seni Islam terlihat terutama karena merupakan suatu bentuk "pengejawantahan" firman Allah SWT yang suci. Disamping itu, kaligrafi merupakan satu-satunya seni Islam yang dihasilkan murni oleh orang Islam sendiri, tidak seperti jenis seni Islam lain (seperti arsitektur, seni lukis dan ragam hias) yang banyak mendapat pengaruh dari seni dan seniman non- 30 The Encyclopedia Britanica, (USA: Encyclopaedia Britanica, inc., 1970), Vol.4, h. 656. Muhammad Thahir ibn „Abd al-Qadir al-Qurdi al-Makki al-Khaththath, Tarikh al-Khath al‘Arabi wa Adabihi, (Hijaz, 1982), Cet. ke-3, h.17. 31 24 muslim. Tidak mengherankan jika sepanjang sejarah, penghargaan kaum muslim terhadap kaligrafi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis seni yang lain.32 Sedangkan merupakan suatu menurut fase Nurcholish kesinambungan Madjid, yang Kaligrafi harmonis. sesungguhnya Kaligrafi Arab mengekspresikan paham Ketuhanan yang abstrak (dalam arti, Tuhan yang tidak bisa dilukiskan) dengan menekankan pernyataan diri Tuhan melalui wahyu. Maka kaligarfi kebanyakan, dicurahkan untuk mengekpresikan kekuatan wahyu itu. Kaligrafi dalam Islam semata-mata hanya menggunakan media huruf dan tulisan Arab. Ini tidak saja karena huruf Arab dipakai untuk menuliskan bahasa-bahasa kaum Muslimin (meski bukan bahasa Arab, sepeti bahasa Persi, Kurdi, dan Urdu) tetapi lebih-lebih lagi karena dukungan watak huruf Arab itu sendiri bagi seni kaligrafi fleksibel dan elastis, sehingga mudah dibentuk bagi tujuan-tujuan ornamental dan dekoratif tertentu. Dengan alternatif Khath yang kaya seperti Naskhi, Tsuluts, Riq’a, Rayhani, Diwani, Farisi, Kufi dan seterusnya, seorang seniman kaligrafi dapat memilih tema yang dianggapnya paling sesuai bagi tujuannya.33 Kaligrafi adalah salah satu karya kesenian Islam yang paling penting. Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan perkembangan seni menulis indah dalam huruf Arab yang disebut khat. Definisi tersebut sebenarnya persis sama dengan pengertian etimologis kata kaligrafi dari kata Yunani kaligraphia (menulis indah). Dalam perkembangannya, huruf Arab yang menjadi objek seni khat berkembang sesuai dengan perkembangan tempat dimana tempat asal seni khat berada. Demikian pada abad ke-10, misalnya, gaya kufi merupakan awal perkembangan khat yang tadinya agak kaku menjadi semakin lentur dan ornamental meskipun tetap angular. Kemudian berkembang pula bentuk khat yang bersifat kursif (miring) yang diwujudkan dalam seni yang disebut sulus, naskhi, raihany, riq’a dan tauqi. Pada fase berikutnya gaya riq’a dan tauqi tidak tampak lagi penggunaannya.34 Sementara kata Arab merujuk kepada salah satu komunitas yang berasal dari rumpun bangsa Semit35. Istilah Semit ini dinisbahkan kepada Sam bin Nuh. 32 Didin Sirojuddin AR, "Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 290-292. 33 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 2009) h. 41-44. 34 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 181-184. 35 Istilah Semit berasal dari kata Syem yang tertera pada Perjanjian Lama (Kitab Kejadian, 10:1) melalui bahasa Latin dalam Vulgate (Injil Berbahasa Latin yang ditulis oleh St. Jerome pada 25 Wilayah asalnya disebut Semenanjung Arabia. Dinamakan Semenanjung karena wilayah ini dikelilingi oleh sungai dan laut. Secara geografis, Semenanjung Arab terletak dibagian Barat benua Asia. Semenanjung ini berbatasan masing-masing: di sebelah utara dengan Irak dan Suriah; di sebelah selatan dengan Samudra Hindia; di sebelah timur dengan Teluk Persia dan Laut Oman; dan di sebelah barat dengan Laut Merah. Kawasan Semenanjung ini sebagian besar terdiri dari gurun yang terhampar luas di tengah-tengah semenanjung dengan iklim yang sangat panas dan bersuhu tinggi.36 Dengan demikian, kaligrafi Arab adalah tulisan indah yang berasal dan berkembang diwilayah Arab. Dalam dalam bahasa Inggris disebut sebagai Arabic Calligraphy dan dalam bahasa Arab dinamakan al-Khath al-‘Arabi, terdapat pula sejumlah istilah lain seperti Islamic Calligraphy, Fann al-Khath al-‘Arabi atau Qur’anic Calligraphy yang merujuk pada hal yang sama, yaitu kaligrafi Arab. D. Asal Usul Kaligrafi Arab Menurut Ali Romdhoni, pendapat para sejarawan mengenai asal-usul kaligrafi Arab secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa kaligrafi Arab diciptakan dan diajarkan langsung oleh Allah melalui nabi Adam a.s. yang kemudian diturunkan kepada beberapa Nabi lainnya. Pendapat seperti itu, biasanya lebih didasarkan pada keyakinan teologis dan keagamaan yang menjadikan (QS. Al-Baqarah: 31) dan (QS. Hud: 25-49) sebagai landasan. Dan tanpa dibangun di atas bukti atau argumentasi yang rasional. Dalam metode penelitian sejarah, pendekatan model ini termasuk jenis interpretasi, yaitu interpretasi monistik.37 Kedua, teori yang didasarkan pada riwayat hadist, yang secara garis besar mengatakan bahwa kaligrafi Arab diciptakan dan dipelajari oleh beberapa orang ditempat tertentu. Satu riwayat yang diturunkan Hisyam al-Kalabi, misalnya, menceritakan bahwa abad ke-4). Penjelasan tradisional yang menyebutkan bahwa rumpun bangsa Semit adalah keturunan anak Nuh yang tertua dan secara rasial mereka homogen tidak bisa lagi diterima. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 10-11. 36 Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1994, Cet. ke-3, h.153-154. Lihat juga: Ahmad Amin, Fadjar Islam, h.15. 37 Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu lebih menonjolkan aspek teologi yang menekankan pada takdir Tuhan sehingga dinamika sejarah terkesan pasif. Lihat Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 75. 26 peletakan kaligrafi Arab (al-Khath al-‘Arabi) adalah kaum Adnan bin Ad, salah satu suku Arab al-„Aribah. Ketiga, teori dan pendapat yang dibangun pada sejarah dan penemuan arkeologis. Nasiruddin al-Asad, misalnya, mendasarkan pendapatnya pada benda-benda purbakala dan inskripsi-inskripsi Arab pra-Islam yang dia teliti. Menurut Nasir, bangsa Arab telah memiliki budaya menulis kurang lebih tiga abad sebelum kedatangan Islam. Pendapat serupa dinyatakan J. Cantineau, bahwa tradisi literasi di Jazirah Arab dimulai sejak abad ke tiga Masehi. Namun menurut Nasir, di sini bukan berarti Arab adalah wilayah yang berdiri sendiri, yang tidak melibatkan bangsa lain dalam menciptakan tradisi literasi. Artinya, adalah mustahil kaligrafi Arab dibuat dan muncul secara asli dari Arab. Lahirnya tradisi penulisan di kawasan Arab merupakan pertemuan beberapa tradisi dari berbagai wilayah yang diakibatkan oleh kontak budaya, misalnya karena jaringan perdagangan dan lain sebagainya.38 Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ada banyak pendapat berkaitan dengan asal usul kaligrafi Arab. Sebagian mendasarkan diri pada data-data historis yang bisa dilacak dan diuji kebenarannya; sebagian lagi menyandarkannya kepada keyakinan-keyakinan mistis yang sulit dibuktikan secara ilmiah. Walaupun demikian beragam pendapat dikemukakan, tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi Arab. Barangkali cerita-cerita keagamaan adalah yang paling dapat dijadikan pegangan.39 Teori asal-usul dan sejarah kaligrafi Arab juga dikemukakan oleh sejarawan sekaligus sosiolog muslim, Ibnu Khaldun. Menurutnya, orang-orang Hijaz mengenal (belajar) tulis-menulis dari Hirah, dan orang Hirah mengenal tulisan kerajaan Tubba‟ dan Himyar. Oleh karena itu, kaligrafi Arab (alKhath al-„Arabi) terkenal dengan nama al-Khath al-Himyari. Tulisan ini mencapai puncak keindahannya pada masa kejayaannya kerajaan Tubba‟ (para penguasa Yaman pra-Islam). Menurut Ibnu Khaldun, faktor yang mendukung majunya tradisi literasi di Tubba‟ adalah kesejahteraan ekonomi dan tingginya peradaban di wilayah ini. Karena itu, bagi Ibnu Khaldun, kemajuan tradisi literasi di sebuah wilayah sangat ditentukan oleh keberagaman budaya dan tingkat ketersedian lapangan kerja.40 Meskipun demikian dapatlah disepakati bahwa, seperti dinyatakan Habibullah Fadhaili, tulisan (termasuk kaligrafi Arab) tidak tercipta secara mendadak 38 Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi, h. 160-167. Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.5. 40 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Musthafa Muhammad, tth), Juz 1, h. 417-418. 39 27 dalam satu kesempatan dalam keadaaan yang sempurna, melainkan tumbuh melewati proses panjang secara berangsur-angsur. Tidaklah diragukan bahwa setiap jenis tulisan berproses melalui eksperimentasi dan intensifikasi selama bertahun-tahun dan berkurun-kurun sampai kemudian membentuk tulisan yang sempurna.41 Kamil al-Baba memaparkan bahwa sebagian ahli menganggap, tulisan Arab merupakan pecahan dari akar tulisan Suryani, berdasarkan pada adanya kemiripan bentuk huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf Suryani. Sementara itu, dari kalangan Orientalis ada yang berpegangan pada teori ilmuan Jerman yaitu Lidzbarsky, bahwa alphabet Arab sebelum Islam tumbuh dari tulisan Funisia. Namun, ada sebuah pendapat yang telah disepakati oleh para peneliti di bidang ini, yang dilakukan oleh Orientalis Belanda, Von de Bronden. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tulisan Arab dan Kan‟an tumbuh bersamaan di pinggiran Jazirah Sinai. Pada tahun 1904-1905, di Sinai, berhasil dibongkar beberapa ukiran yang ditulis dengan tulisan yang mendekati bentuk tulisan Mesir Hierogliph.42 Berdasarkan dari itu semua, kemudian sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa kaligrafi Arab berasal dari tulisan Mesir Kuno, yaitu Hieroglyph yang berkembang pada 3200 SM. yang hurufnya berupa gambargambar (pictograph) dan berjumlah ratusan.43 Ditemukan pada relief di kuburan Pharao (Fir‟aun) atau raja-raja kerajaan Mesir Purba yang banyak dijumpai di kota Abidos, tidak begitu jauh dari Thunis yang menjadi pusat kerajaan. Adapula yang ditulis pada Papyrus44 sejenis tumbuh-tumbuhan yang banyak tumbuh disepanjang sungai Nil, dipahatkan di batu, dinding-dinding piramida, kuil pemujaan dan lain sebagainya.45 Tulisan ini berkembang menjadi Herotik dan Demotik yang ditemukan di lembah sungai Nil. Bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku, tetapi menyederhanakan diri dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian dimaksudnya.46 Bangsa Mesir lalu berdagang dan berhubungan dengan 41 Habibullah Fadhaili, Athlas al-Khath wa al-Khuthuth, terj. D. Muhamad al-Tunji, (Syiria: Dar Thalas li al-Dirasat wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1993), Cet. ke-1. h. 10. 42 Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, terj. Didin Sirojuddin AR., Dinamika Kaligrafi Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), Cet. ke-1, h. 9-10. 43 Abdul Karim Husein, Seni Kaligrafi Khat Naskhi; Tuntunan Menulis Huruf Halus Arab dengan Metode Komparatif, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, tth), Cet. ke-4, h.15. 44 Dari istilah papyrus inilah lahir kata Papier dalam bahasa Prancis, Belanda dan Jerman, Serta Paper dalam bahasa Inggris yang berarti kertas. Lihat Ilham Khoiri R., Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab, h. 53. 45 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 20-21. 46 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 8-9. 28 komunitas keturunan Kan‟an Smith yang disebut bangsa Phunisia. Hidup sekitar tahun 2000-1500 SM, di Libanon dan Lautan Tengah. Dari sini lahir tulisan Phunisia yang lebih sederhana dan menjadi tulisan bunyi atau ideogram. Jumlah hurufnya hanya 22 saja, yang mereka beri nama alpha (a), yang kedua beta (b) dan seterusnya yang kemudian terkenal dengan huruf alfabet atau abjad.47 Dari tulisan Phunisia timbul lagi tulisan ‘Arami yang digunakan bang Arami yang mendiami daerah-daerah Palestina, Suriah dan Iraq. Di daerah-daerah tersebutlah tulisan ‘Armani dahulunya berkembang. Lahir juga, dalam waktu bersamaan, tulisan Musnad yang tiap huruf-hurufnya terpisah satu dengan yang lain, tidak seperti tulisan Arab yang lahir kemudian.48 Sampai di sini, para ilmuan terutama para ahli dari Barat dan Arab berbeda pandangan tentang jenis-jenis tulisan yang dilahirkan oleh kedua tulisan tersebut. Bahkan, ada yang meyakini salah satu tulisan tersebut kemudian tidak berkembang atau mati.49 Namun, berdasarkan atas bukti-bukti nyata arkeologis yang pernah mengadakan penelitian intensif tentang pertumbuhan tulisan Arab yang berhubungan erat pada ilmu perbandingan bahasa, disimpulkan bahwa kedua tulisan kedua tulisan-tulisan tersebut melahirkan cabang-cabangnya. Tulisan ‘Armani melahirkan tulisan Nabathi di Hirah dan Satranjili-Suryani di Iraq. Sementara tulisan Musnad melahirkan Safawi di bukit Landai Safa, Samudi di kota Samud dan Lihyani di utara Makkah pada pemukiman Bani Lihyan, dan Humeiri di Hemyar, sebelah selatannya.50 Dari beberapa jenis tulisan tersebut, Didin Sirojuddin AR, menyimpulkan hanya Musnad dan Nabathi yang benar-benar dianggap sebagai tulisan Arab kuno. Para ahli tentang Arab Selatan antara lain Klaser, Necker, dan Hommel mampu mengusut pemakaian Musnad semenjak 1000 tahun SM. Menurut data al-Muqrizi, tulisan Musnad merupakan tulisan yang banyak dipakai oleh masyarakat Himyar dan raja-raja Aad.51 Ibnu Khaldun mencatat bahwa orang-orang Hijaz mengambil 47 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 27-28. C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 33. 49 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 35. 50 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 20. 51 Didin Sirojuddin AR., “Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur’an, Vol. 1, 1989/1410 H. hal. 54 ; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 26-27. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 418. 48 29 tulisannya dari Hirah, orang-orang Hirah dari Hameir, sedangkan Hameir sendiri dari Yaman, yang diduga sebagai tempat kelahiran pertama tulisan Musnad. Hanya saja, peninggalannya dan bukti-buktinya tidak ditemukan secara jelas. Pada masa selanjutnya, tulisan Musnad tidak digunakan lagi, terdesak oleh tulisan Kindi dan Nabathi yang menggantikannya.52 Tulisan Nabathi inilah yang dipercaya dan disepekati oleh banyak peneliti sebagai tulisan yang diadopsi oleh kaligrafi Arab.53 Para peneliti54 setuju bahwa kaligrafi Arab senantiasa langsung dikaitkan dengan tulisan Nabathi sebagai bentuk tulisan Arab paling mulia. Tulisan tersebut dipakai oleh suku Nabathi, ras Arab yang menempati wilayah utara jazirah Arabia di negeri Yordan dengan ibukota Puerto pada abad 1 SM. Kerajaan Nabathi, dengan wilayah geografisnya yang strategis, pernah mekar dan mengalami saat-saat kejayaannya. Tanah kekuasaannya membentang dari Semenanjung Jazirah Arab hingga tetanggatetangganya di utara.55 Kepercayaan itu bukan tanpa alasan, lantaran ia didukung oleh bukti-bukti berupa inskripsi pahatan purbakala yang berhasil ditemukan, yaitu : Inskripsi Umm al-Jimal (250 M), Inskripsi Nammarah (328 M), Inskripsi Zabad (511-512 M), Inskripsi Huron (568-569 M), dan yang terakhir adalah Inskripsi Umm alJimal II.56 Kelima inskripsi (naqs) di atas yang dikenal dengan Al-Hajar AlKhomsah (prasasti lima batu) yang dianggap sebagai asal-usul dan pembuka sejarah kaligrafi Arab. 52 Abdul Karim Husein, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h.7. Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, h. 10. 54 Di antara peneliti yang berpendapat demikian adalah: Francis Robinson, Atlas of Islamic World Since 1500, (London: Phaidon Press, Ltd., 1982), h. 200 ; Yasin Hamid Safadi, Islamic Calligraphy, (London: Themes and Hudson, 1978), h. 7 ; Abdulkebir Khatibi dan Muhammed Sijelmassi, The Splendours of Islamic Calligraphy, (London: Themes and Hudson, 1976), h. 60. 55 Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, h. 20-21. 56 Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, h. 21-23. Lihat juga W. Montgomery Wall, Pengantar Studi al-Qur’an; Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, terj. Taufik Adnan Amal, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 1991), h. 46-47; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.32-37 ; C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h.37-38 ; Y. Hamid Safadi, Islamic Calligraphy, h. 6 ; Abdulkebir Khatibi dan Muhammed as-Syjelmassi, The Spledours, h. 22 ; Habibullah Fadha„ili, Athlas al-Khath wa al-Khuthuth, h. 97-100 ; M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-1, h. 92-93. 53 30 BAB III KODIFIKASI DAN PENULISAN AL-QUR’AN Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam dan pedoman hidup para penganutnya, agar selalu mengikuti norma-norma hukum untuk mewujudkan dan membina suatu masyarakat. Al-Qur‟an yang diturunkan kepada nabi Muhammad dimulai pada malam bukan puasa tanggal 17 Ramadhan, pada saat Nabi telah berusia 40 tahun bertepatan dengan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. 1 Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah surat al-„Alaq.2 Dan ayat yang terakhir diturunkan kepada Nabi adalah surat al-Maidah ayat 3 pada saat Nabi sedang melaksanakan wukuf di Arafah melakukan haji Wada pada tahun kesepuluh Hijriyah atau 7 Maret 622 M.3 Al-Qur‟an kemudian menjadi kitab suci kaum Muslimin yang prosesnya disampaikan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad saw selama kurang lebih 23 tahun.4 Menurut Harun Nasution, bahwa dalam faham dan keyakinan kita sebagai umat Islam, al-Qur‟an sebagai kitab suci, mengandung sabda Tuhan (Kalam Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada nabi Muhammad, seperti dijelaskan dalam al-Qur‟an, proses pewahyuan ada tiga macam: Pertama, yang kelihatan adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan france, ru‟yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang disampaikan melalui utusan atau malaikat yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata. Dan wahyu yang disampaikan kepada nabi Muhammad adalah wahyu dalam bentuk ketiga.5 1 Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 35-36. Karen Armstrong, Muhammad: Prophet for Our Time, terjemahan Yuliani Lipito, (Bandung: Mizan, 2006), h. 19-20. 3 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 32-34. 4 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. 88. 5 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan. 1995), h.17. 2 31 Wahyu dalam bentuk kata-kata disampaikan kepada nabi Muhammad tidak secara langsung sekaligus, tetapi bertahap dan berangsur-angsur dalam masa kurang lebih dari dua puluh tiga tahun, dengan salah satu tujuannya yaitu memudahkan Nabi untuk menghafalkannya, sebab pada masa awal Islam, metode hafalan masih cukup dominan di kalangan masyarakat Arab. Hanya ada beberapa orang yang memiliki kemampuan baca-tulis. Di antara mereka adalah Sa„id bin Zuharah, al-Mundzir bin Amr, Ubay bin Wahhab, Zayd bin Tsabit, Rafi‟ bin Malik dan Anas bin Khawli.6 Nabi Muhammad sendiri pun diyakini sebagai seorang yang ummi,7 (tidak bisa baca-tulis) sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam al-Qur‟an (QS. 7:157-158). Ke-ummi-an Nabi ini dikuatkan dengan adanya tiga peristiwa, yaitu; Nabi mengangkat sekretaris dan beberapa penulis wahyu; ketika menerimah surat dari al-Abbas sebelum perang Uhud, beliau meminta dibacakan oleh Ubay bin Ka„ab; dan Nabi meminta dituliskan perjanjian dengan utusan Tsaqif.8 A. Penulisan al-Qur’an pada masa Rasulullah Proses pengumpulan al-Qur‟an meliputi proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan, dan kodifikasi, sehingga menjadi sebuah mushaf al-Qur‟an yang disebut dengan Jam‟ al-Qur‟an. Semua proses ini merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan dan melestarikan kitab suci al-Qur‟an.9 Cara paling lazim dalam menjaga al-Qur‟an pada masa Nabi dan sahabat adalah dengan metode hafalan. Hal ini selain karena masih banyaknya sahabat yang buta huruf, juga karena hafalan orang Arab ketika itu terkenal sangat kuat dan dominan. Bisa dimaklumi juga pencatatan dan penulisan al-Qur‟an belum merupakan alat pemelihara yang handal, karena dari segi teknis, alat-alat tulis ketika itu masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Bahkan tempat 6 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 47-48. Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 31. 7 Annemarie Schimmel, Calligraphy and Islamic Culture (London: I.B. Tauris & Co Ltd Publishers, 1990), h. 77. Lihat juga pendapat Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1998), h. 71. 8 Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet. ke-3, h. 37-38. 9 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran (Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, 2013), h.142. 32 dan media menulis berasal dari pelepah kurma dan tulang-tulang yang gampang lapuk dan patah, tinta yang mudah luntur, dan qalam (alat tulis) yang sangat sederhana.10 Upaya pelestarian al-Qur‟an pada masa Nabi yaitu setiap kali menerima wahyu beliau langsung mengingat dan menghafalkannya. Selanjutnya Nabi menyampaikan kepada para sahabatnya. Kemudian sahabat menyampaikannya secara berantai kepada sahabat-sahabat lain. Sebagian sahabat, di samping langsung menghafalnya, juga mencatatnya sesuai dengan urutan-urutannya berdasarkan petunjuk Nabi yang kemudian disimpan di rumah Nabi dan mereka menyalinnya untuk dibawa pulang. Catatan-catatan itu tidak dimaksudkan untuk orang lain, tetapi sebagai koleksi pribadi.11 Kalau ada ayat-ayat al-Qur‟an yang turun, para sahabat berlomba-lomba menghafalnya, lalu disampaikan kepada keluarga dan sahabat-sahabat lain. Jika ada masalah, mereka langsung mengkonfirmasikannya kepada Nabi, kemudian beliau segera memberikan penjelasan, Karena hafalan Nabi sangat kuat, dan bahkan Nabi digelari dengan Sayyed al-Huffadzh (penghulu para penghafal alQur‟an).12 Penulisan al-Qur‟an pada masa Nabi sudah dikenal secara umum. Meski demikian, tetapi sesungguhnya Nabi sendiri memerintahkan penulisan al-Qur‟an. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi memiliki juru tulis yang biasa diperintahkan untuk menuliskan wahyu Beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain: Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asyari, Aban bin Sa„id dan Abu Darda.13 10 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, h. 61-63. 11 M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 27. 12 Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 34. 13 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 47. Lihat juga Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 28. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, h. 59-60. 33 Sementara itu, beberapa sahabat lain juga menulis al-Qur‟an dalam dokumen pribadi masing-masing atas inisiatif sendiri. Semangat penulisan semakin marak, apalagi sesudah mendapatkan kemenangan pada perang Badar dan menahan beberapa orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis, Rasulullah menetapkan tebusan tawanan yang tidak bersedia masuk Islam dan tidak mampu membayar tebusan untuk masing-masing mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh anak muda Madinah.14 Saat itu, penulisan al-Qur‟an tidak dilakukan secara kolektif, sehingga alQur‟an tidak terkumpul dalam satu buku, akan tetapi ayat-ayatnya ditemukan terserak dan tersebar di tangan para sahabat. Tulisan dan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut masih berserakan dalam berbagai versi dan bahan. Media penulisan pun bermacam-macam, seperti pada ar-Riqa‟ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-„Usbu (pepelah kurma). Tersebarnya ayatayat al-Qur‟an disebabkan oleh proses turunnya al-Qur‟an secara berangsurangsur.15 Menurut Taufik Adnan Amal, bahwa pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an pada masa nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara: 1. Al-Jam‟u fis Sudur. Para sahabat langsung menghafalnya setiap kali Rasulullah menerima wahyu. Hal ini bisa mereka lakukan dengan mudah karena budaya orang Arab dalam menjaga turast (peninggalan nenek moyang melalui syair atau cerita) dengan media hafalan. Mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya ingatnya. 2. Al-Jam‟u fis Suthur. Setiap kali turun wahyu, nabi Muhammad saw selalu membacakan secara langsung kepada sahabat, kemudian memerintahkan mereka untuk menulikannya dengan hati-hati sambil melarang para 14 Ibrahim al-Ibyari, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, h. 41. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 60-61. 15 Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur‟an (Bandung: Salamadani, 2009), h. 38; Hal serupa juga diungkapkan oleh M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum al-Qur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 83; C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 47; Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 388. 34 sahabat untuk menulis perkataan-perkataan Nabi karena dikhawatirkan akan bercampur dengan ayat-ayat al-Qur‟an.16 Barulah pada masa Khulafa al-Rasyidin, tulisan itu dikumpulkan dalam satu mushaf yang disepakati, dan dikenal sebagai kodifikasi al-Qur‟an. Usaha bermula dari banyaknya yang gugur para penghafal al-Qur‟an akibat peperangan dengan para pemberontak dan yang menginspirasikan gagasan ialah „Umar bin Khathtab untuk mengumpulkan ceceran tulisan al-Qur‟an yang ada dalam satu mushaf. Kalau dihafal saja, „Umar khawatir al-Qur‟an akan berangsur-angsur hilang seiring dengan berkurangnya penghafal al-Qur‟an. Diusulkanlah gagasan itu kepada Abu Bakar sebagai khalifah saat itu.17 B. Pengumpulan dan Penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Shidiq Setelah nabi Muhammad saw wafat dan Abu Bakar dipilih dan diangkat menjadi sebagai khalifah, terjadilah pembangkangan dalam hal pembayaran zakat, dan gerakan keluar dari agama Islam (murtad) di bawah pimpinan Musailamah alKadzab. Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan khusus di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Terjadilah pertempuran di Yamamah pada tahun 12 H, yang tidak sedikit memakan korban dikalangan pasukan Islam termasuk 70 sahabat yang menghafal al-Qur‟an.18 Peristiwa yang tragis itu mendorong Umar bin Khaththab untuk menyarankan kepada khalifah agar segera dihimpun dan dikumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an dalam Mushaf atau Shuhuf (kodifikasi), karena kekhawatirkan kehilangan sebagian ayat-ayat al-Qur‟an dengan wafatnya sebagian para penghafalnya. Gagasan dan ide yang disarankan oleh Umar diterima oleh Abu Bakar dengan ragu-ragu, karena Abu Bakar takut umat Islam beranggapan bahwa kalau ayat-ayat al-Qur‟an sudah ada dalam mushaf akan mengahapus tradisi lama 16 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, h.142-144. Lihat juga Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur‟an, h. 38-39. 17 Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur‟an, h. 39-44. 18 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur‟an (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 16. 35 yaitu hafalan, karena mereka akan berprinsip bahwa semua itu telah dituliskan ke dalam mushaf.19 Ditinjuau dari segi lain, Abu Bakar adalah seorang yang benar-benar berhatihati dalam masalah syari‟at, ia selamanya mengikuti jejak Nabi saw. Maka apabila Abu Bakar menerima ide dan gagasannya Umar tersebut, ia takut dirinya dinyatakan sebagai ahli bid‟ah, searu perbuatan yang sangat tidak disenangi Rasulullah. Oleh karen itu Abu Bakar tegaskan kepada Umar, “Bagaimana mungkin aku akan berbuat sesuatu yang belum dilakukan Rasululllah ? lagipula aku takut akan perpecahan, pertengkaran dan bid‟ah”.20 Namun setelah diadakan diskusi dan pertimbangan-pertimbangan maka gagasan dan ide yang diusulkan oleh Umar dapat diterima oleh Abu Bakar. Kemudian khalifah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera menghimpun dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam satu mushaf. Zaid bin Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia adalah seorang penulis wahyu yang utama dan hafal seluruh ayat-ayat al-Qur‟an. Zaid dalam menjalankan tugasnya berpegang kepada dua hal, yaitu: pertama, ayat-ayat al-Qur‟an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi; kedua, ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang menghafal al-Qur‟an. Zaid bin Tsabit akan menerima tulisan ayat-ayat al-Qur‟an kalau disaksikan oleh dua saksi yang adil, bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah dan petunjuk dari Nabi.21 Tugas mengumpulkan dan menghimpun al-Qur‟an dapat dilaksanakan oleh Zaid bin Tsabit dalam waktu kurang lebih satu tahun, yakni antara sesudah terjadinya perang Yamamah (632 M) dan sebelum wafatnya Abu Bakar (w. 634 M). dengan demikian tercatat dalam sejarah bahwa Abu Bakar sebagai orang yang pertama memerintahkan penghimpunan dan pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an 19 Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam (Jakarta: Zaman, 2014), h. 109. Lihat juga pendapat Richard Bell, Pengantar Qur‟an, diterjemahkan oleh Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 35. 20 Moh. Ali ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur‟an (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 107. Lihat juga Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, h. 109110. 21 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 48. 36 dalam mushaf atau shuhuf. Dan Umar bin Khaththab sebagai yang pertama memiliki gagasan dan ide untuk mengumpulkan dan menghimpun al-Qur‟an, dan Zaid bin Tsabit adalah orang yang pertama-pertama melaksanakan penulisan dan pengumpulan al-Qur‟an dalam satu mushaf.22 Mushaf atau shuhuf al-Qur‟an itu kemudian disimpan oleh Abu Bakar seterusnya oleh Umar bin Khaththab setelah Abu Bakar wafat. Kemudian disimpan Hafsah bin Umar setelah Umar wafat, atas pesan Umar dengan pertimbangan bahwa Hafsah adalah seorang istri dari Nabi yang menghafal alQur‟an dan bisa baca-tulis. Di samping itu, masalah khalifah pengganti Abu Bakar harus dimusyawarahkan dahulu, jadi Utsman bin Affan belum ditentukan sebagai khalifah pada waktu itu.23 Mushaf yang dikumpulkan atau yang dikodifikasi pada masa Abu Bakar terdapat beberapa keistimewaan: 1. Penyelidikan yang mendetail dan konfirmasi yang sempurna. 2. Tidak ditulis kecuali telah nyata bebas dari nasakh bacaannya secara konfirmatif. 3. Semua ayat-ayat tersebut telah nyata mutawattir dan berdasarkan pada kata kesepakatan umat. 4. Mushafnya meliputi semua qira‟at yang tujuh (qira‟at sab‟ah), yang dinukil secara konfirmatif dan tegas. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, Abu Bakar mendapat banyak sanjungan dari para sahabat, yang berarti ia telah memelihara al-Qur‟an agar tidak hilang bersama kalam Allah dan siapa yang memegangnya. 24 Terkumpullah seluruh catatan al-Qur‟an yang pada kala itu secara lengkap dalam sebuah mushaf yang kemudian disimpan Abu Bakar (w. 634 M) lalu 22 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, h. 72-74. 23 Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, h. 389. 24 Moh. Ali ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, h. 110-111. 37 disimpan di „Umar bin Khathtâb (w. 643 M). Selain itu, ada pula mushaf-mushaf lain yang ditulis dan dimiliki secara pribadi oleh para sahabat lainnya. C. Penulisan dan Penghimpunan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan Pada masa khalifah „Utsman bin „Affan (644-656 M), penyebaran Islam ke daerah-daerah mengakibatkan perbedaan bacaan antar daerah tersebut. Puncak perbedaan terjadi di kalangan tentara muslim dari Irak ketika berekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan. Oleh Hudzaifah bin al-Yamani, sang panglima perang, peristiwa ini dilaporkan ke khalifah.25 Hudzaifah bin al-Yamani menyarankan kepada khalifah agar segera mengusahakan keseragaman bacaan al-Qur‟an dengan jalan menyeragamkan tulisan al-Qur‟an. Dan kalau masih terjadi perbedaan-perbedaan dalam bacaannya, diusahakan masih dalam batas-batas yang ma‟tsur (diajarkan oleh Nabi), mengingat bahwa al-Qur‟an diturunkan dengan memakai tujuh dialek bahasa Arab yang hidup pada waktu itu.26 Tujuh macam dialek itu sering disebut dengan “tujuh macam pembacaan (qira‟at) atau dikenal dengan Qiraatus Sab‟ah. Tokoh-tokoh yang memang di antara mereka yang bacaannya berlainan adalah: 1. Di Madinah, Imam Nafi‟ bin Abi Na‟im, ia belajar kepada 70 ahli qira‟at, bekas murid dari Abdullah bin Abbas. Imam Nafi‟ meninggal pada tahun 169 H. 2. Di Mekkah, Imam Abdullah bin Katsir, ia belajar kepada Zaid bin Tsabit, dan lain-lainnya. Ia meninggal pada tahun 120 H. 3. Di Bashrah, Imam Abu Amr bin al-Alla, ia belajar kepada Sa‟id bin Jubair dan lain-lainnya. Ia meninggal pada tahun 155 H. 4. Di Dimasyq (Syam), Imam Abdullah bin Amir, ia belajar kepada Mughirah bin Syu‟bah yang pernah belajar kepda Utsman bin Affan. Ia kemudian wafat pada tahun 118 H. 25 Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 114. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur‟an, h. 17. 26 38 5. Di Kufah, Imam Abu Bakar Aashim bin Najwad, ia pernah belajar kepada Abdullah as-Sulami dan Zur bin Hubaisy, yang mereka itu pernah berguru kepada Utsman bin Affan. 6. Di Kufah juga, Imam Hamzah bin Hubaib, ia belajar kepada Said Ja‟far as-Shidiq, yang sanad qira‟atnya sampai kepada Ali bin Abi Thalib. 7. Dan terakhir di Kufah, Imam Ali bin Hamzah al-Kusai, ia berguru kepada Imam Hamzah bin Hubaib.27 Khalifah Utsman dapat menerima ide Hudzaifah, kemudian membentuk panitia terdiri dari empat orng, yakni: Zaid bin Tsabit, Sa‟id bin al-„Ash, Abdullah bin al-Zubair an Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam. Panitia ini diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin shuhuf al-Qur‟an ang disimpan oleh Hafsah, sebab shuhuf yang disimpan di Hafsah dipandang sebagai naskah alQur‟an standar.28 Menurut Qasim A. Ibrahim, bahwa faktor utama yang mendorong penulisan dan penghimpunan al-Qur‟an jilid 2 dapat disimpulkan dan dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor: Pertama, luasnya daerah-daerah taklukan dan kekuasaan Islam, dan banyaknya kaum non-Arab yang memeluk Islam. Sebelumnya, Umar pernah melarang sejumlah sahabat terkemuka untuk pergi keluar dari Makkah dan Madinah. Hal ini menimbulkan perbedaan bacaan alQur‟an di kalangan masyarakat. Kedua, Utsman ingin menyeragamkan penulisan al-Qur‟an dengan salah satu dari tujuh huruf (dialek) yang ada. Ditetapkanlah penulisan al-Qur‟an dengan dialek Quraisy. Bacaan al-Qur‟an dengan dialekdialek lain masih diperkenankan sampai lisan orang-orang sudah terbiasa dengan dialek Quraisy. Keempat panitia penulis al-Qur‟an pernah berbeda pendapat tentang penulisan kata “tabut” dalam ayat, Dan nabi mereka berkata pada mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya tabut kepadamu, 27 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, h. 67-68; Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 85; Richard Bell, Pengantar Qur‟an, h. 43. 28 Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, h. 390. 39 yang didalamnya terdapat kemenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dibawa oleh malaikat.” Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda kebesaran Allah bagimu, jika kamu orang beriman (al-Baqarah [2]: 248). Zaid menulisnya tabuh, semetara tiga penulis sisanya menulisnya tabut. Mereka lalu mengadu persoalan ini kepada Utsman, dan Utsman pun berkata, “Tulislah tabut karena al-Qur‟an diturunkan dengan dialek Quraisy.” Tak bisa dipungkiri, ini merupakan pencapaian terbesar khalifah Utsman bin Affan dan disetujui oleh semua sahabat yang masih ada.29 Panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit diperintahkan menyalin dan menggandakan shuhuf al-Qur‟an yang berada di Hafsah ke dalam beberapa mushaf untuk dikirimkan ke beberapa daerah kekuasaan Islam disertai instruksi bahwa semua shuhuf dan mushaf al-Qur‟an yang berbeda dengan mushaf alUtsman yang terkirim itu harus dimusnahkan atau dibakar. Umat Islam dan para sahabat menyambut dengan baik mushaf Utsman dan mematuhi instruksi khalifah. Maka dimusyawarahkanlah dan sebagai hasilnya, dibentuk panitia penyeragaman mushaf yang diketuai Za„id bin Tsabit. Mereka mengumpulkan dan kemudian melenyapkan seluruh mushaf yang ada, mencari sambil mengevaluasi sandaransandaran yang benar, dan kemudian menyeragamkannya dalam satu model dan pola saja. Hasilnya adalah suatu kumpulan yang disetujui bersama dan dikenal dengan nama Mushaf Utsmani. Sejumlah salinan dibuat dan dikirimkan ke daerahdaerah penting.30 Setelah panitia yang dipimpin Zaid bin Tsabit berhasil melaksanakan tugasnya, shuhuf Hafsah yang dipinjamnya dikembalikan kepada Hafsah binti Umar. Marwan bin Hakam seorang khalifah dari dinasti Umayyah (w. 65 H) pernah memintah Hafsah agar shuhufnya dibakar, tetapi ditolak oleh Hafsah. Setelah wafatnya Hafsah, shuhuf tersebut kemudian dimusnahkan dengan dibakar. Tindakan yang dilakukan oleh Marwan ini sebenarnya bertujuan untuk menjaga 29 Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, h. 213-214. Hal seruapa juga dikemukakan oleh Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 59. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, h. 222. 30 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49-50. 40 dan mengamankan keseragaman mushaf al-Qur‟an yang telah diusahakan oleh khalifah Utsman bin Affan dengan menyalin seluruh isi shuhuf Hafsah ke dalam mushaf Utsmani, dan pula untuk menghindari keraguan umat Islam di masa yang akan datang terhadap mushaf al-Qur‟an, jika masih terdapat dua macam naskhah al-Qur‟an (shuhuf Hafsah dan mushaf Utsmani).31 Terdapat perbedaan di antara para ulama tentang jumlah mushaf yang ditulis dan disalin pada masa Utsman. Kebanyakan ulama mengatakan dan berpendapat sebanyak empat buah, masing-masing dikirim ke Kufah, Bashrah, Syiria, dan sementara satu buah lagi disimpan oleh khalifah Utsman. Pendapat lain mengatakan berjumlah tujuh buah mushaf, yaitu tiga buah dikirimkan kedaerah Kufah, Bashrah, Syiria, dan tiga buah lagi dikirimkan ke Mekkah, Yaman dan Bahrain, semetara satu buah mushaf disimpan oleh Utsman. Adapula yang berpendapat bahwa mushaf yang disalin sebanyak enam buah, masingmasing dikirim ke Mekkah, Bashrah, Hufah dan Syiria, satu buah beraa di Madinah, dan satu lagi berada dan disimpan oleh Utsman bin Affan.32 Berapa pun jumlah mushaf yang disalin dan ditulis pada masa Utsman tidak menjadi masalah dan persoalan. Yang jelas, penggandaan dan penyalinan mushaf al-Qur‟an yang baku dan standar telah dilaksanakan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Namun demikian, dengan penggandaan dan penyalinan mushaf, tidak berarti persoalan dan permasalahan yang berkenaan dengan alQur‟an dapat dituntaskan. Perlu diketahui, mushaf Utsmani belum menggunakan tanda-tanda baca seperti titik dan simbol-simbol bacaan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, kita bisa membedakan upaya antara Abu Bakar as-Shidiq dengan apa yang dilakukan Utsman bin Affan dalam menghimpun, menyalin dan mengkodifikasi al-Qur‟an. 31 Richard Bell, Pengantar Qur‟an, h. 37. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, h. 225. C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49. 32 41 Penghimpunan dan kodifikasi al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Abu Bakar as-Shidiq hanyalah berupa penukilan dan penulisan ke dalam bentuk satu mushaf menurut aturan ayat-ayat trsebut yang dihimpun dan dikumpulkan dari arRiqa‟ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al„Usbu (pepelah kurma). Dan faktor besar yang mendorong Abu Bakar untuk melakukan penghimpunan dan pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an adalah banyaknya pada penghafal al-Qur‟an (huffadzh) yang gugur dalam beberapa peperangan. Sedangkan penulisan, penyalinan dan kodifikasi al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Utsman bin Affan hanyalah berupa transkrip mushaf peninggalan Abu Bakar yang berada pada Hafsah untuk dikirimkan dan disebarluaskan ke daerahdaerah kekuasaan Islam. Dan faktor penulisan dan penghimpunannya adalah terjadinya perselisihan dan perbedaan para pembaca al-Qur‟an (Qurra) dalam membaca ayat-ayat al-Qur‟an. Adapun arti penting dibalik kodifikasi al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Utsman bin Affan adalah: 1. Menyatukan kaum muslim pada satu macam dan jenis mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya. 2. Menyatukan bacaan, meskipun pada kenyataannya masih ada perbedaan pada cara membaca. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlawanan dengan ejaan-ejaan Mushaf Utsmani. Bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf Utsmani tidak diperbolehkan lagi. 3. Menyatukan tata tertib susunan surat-surat, menurut tata tertib sebagaimana yang terlihat pada mushaf-mushaf sekarang. D. Penulisan dan Penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa Dinasti Umayyah Dinasti Umayyah yang berkuasa antara tahun 660-750 M, ketika „Ali bin Abi Thalib (w. 661 M) menjadi khalifah, lalu hadir bani Umayyah mengambil alih 42 kekuasaan khalifah sampai kira-kira selama 40 tahun lebih, tidak begitu banyak mengalami perkembangan penulisan al-Qur‟an dan kaligrafi. Pertumbuhan tulisan pada dekade ini mengalami kelambatan, terlihat dengan bentuk tulisan atau rangkaian huruf yang agak terpenggal-penggal. Mushaf Utsmani selanjutnya ditulis dan disalin terus-menerus sebagaimana adanya dengan tulisan Kufi, tanpa syakl dan titik.33 Walaupun pada masa dinasti Umayyah perkembangan tulisan mengalami kelambatan, bukan berarti penulisan al-Qur‟an tidak dilakukan sama sekali. Penulisan al-Qur‟an pada masa Umayyah terus berlangsung, namun tidak sepesat masa sesudahnya yaitu dinasti Abbasiyah. Pada masa dinasti Umayyah timbul inisiatif untuk menyempurnakan penulisan al-Qur‟an pertama kali. Dikarenakan oleh timbulnya bermacam kekeliruan bacaan terutama di kalangan bangsa non-Arab atau „ajam, maka Abu Aswad al-Du‟ali (w. 688 M) mengantisipasinya dengan menciptakan syakl tanda baca atas perintah Ziad bin Sumayyah, Gubernur Muawiyah di Basrah. Penyempurnaan selanjutnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad (w. 786 M) dengan memberikan i‟jam dan kemudian diteruskan dengan sejumlah penyempurnaan lain hingga mapan dan sempurna seperti yang ada sekarang ini.34 Namun, apa yang dilakukan Abu Aswad belumlah dikatakan sempurna, Abu Aswad hanya menambahkan dan menempatkan “titik-titik” berwarna merah pada huruf-huruf yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukkan pada unsur-unsur kata Arab.35 Selanjutnya upaya peletakan tanda baca dilanjut oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (786 M) mengadakan perubahan atas tanda baca yang diciptakan oleh 33 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79. Dawud al-Atthar, Persepektif Baru Ilmu al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 34 195. 35 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64-65. 43 Abu Aswad. al-Khalil justru menggunakan titik-titik sebagai pembeda huruf yang bentuknya sama tetapi penyebutannya berbeda.36 Pada masa kekuasaan dinasti Umayyah ada seorang kaligrafer pertama yang paling lama bertahan, ia adalah Quthbah al-Muharrir, ia banyak menciptakan dan memperbaharui tulisan-tulisan lama, pada akhirnya berlaku setelah kelahirannya. Quthbah berhasil mewarisikan empat jenis tulisan atau kaligrafi, yaitu; Tumar, Jalil, Nisf, dan Tsulus, dan dia pulalah yang menciptakan Tsulusayn. Quthbah juga terkenal dengan jasanya yang menghiasi mihrab masjid Nabawi di Madinah dengan berragam ayat al-Qur‟an yang ditulis dengan tulisan indah.37 Abad ketiga Hijriyah diadakan lagi penyempurnaan al-Qur‟an khususnya dalam bentuk tulisannya. Para penulis al-Qur‟an berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang di syaddah sebuah tanda seperti busur. Sedangkan untuk alif washal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai harakat sebelumnya: fathah, kasrah, atau dhammah. Secara bertahap pula penulis alQur‟an mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda pemberhentian (wakaf).38 Selanjutnya pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), tidak sedikit menulis dan menyalinkan al-Qur‟an berukuran besar dengan tulisan dan kaligrafi yang indah. Penulisan al-Qur‟an pada masa dinasti Umayyah masih menggunakan kaligrafi gaya Kufi. Huruf Kufi ini dijadikan huruf atau tulisan standar yang banyak dipakai dalam penulisan al-Qur‟an pada masa itu.39 36 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h. 76. Lihat juga Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 68-71. 37 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79. 38 Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 35. 39 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 81-82. 44 E. Penulisan dan Penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa Dinasti Abbasiyah Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah (750-1258 M), perkembangan penulisan tercatat dan rupa-rupa inovasi dapat dikenali. Pada awal kekuasaannya, ada dua kaligrafer yang sering disebut dalam sumber Arab, yaitu al-Dhahak bin Ajlan yang hidup pada masa khalifah Abu al-Abbas al-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq bin Hammad terkenal dan masyhur pada masa al-Mansur (754-775 M). Kaligrafer lain, Yusuf al-Sijzi (w. 825 M) berhasil menemukan model-model tulisan yang lebih bagus dari sebelumnya, yaitu Khafif al-Tsulus, Khafif Tsulutsain dan al-Riyasi, kemudian al-Ahwal al-Muharrir mengubah dan menemukan perumusan enam jenis tulisan pokok (al-Aqlam al-Sittah, The Six Pens), yaitu: Tsulus, Naskh (Naskah), Muhaqqaq (teratur dan pasti), Rahyani (harum), Riq‟i (potongan-potongan kecil), dan Tauqi‟ (tanda tangan). Dari sini, lalu muncul gaya tulisan lain seperti, Ghubar (debu), Riyasi, Musalsal (bersambung), Majmu, Lu‟li Asyar, dan lain-lain.40 Penulisan al-Qur‟an pada masa dinasti Abbasiyah mulai menggunakan tulisan-tulisan gaya cursif terutama jenis khat Naskhi yang diciptakan oleh Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Muqlah atau yang dikenal dengan nama Ibnu Muqlah sebagai tokoh al-Khat al-Mansub (kaligrafi standar), Ibnu Muqlah sangat berjasa dalam membangun tulisan Naskhi dan Tsulust.41 Pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah mushaf al-Qur‟an sudah menggunakan kertas sebagai media penulisan ayat-ayat al-Qur‟an. Terutama pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, untuk penulisan al-Qur‟an khalifah Harun mendatangkan media berupa kertas dari Cina. Harun al-Rasyid menganjurkan agar orang-orang tidak menulis kecuali di atas kagad atau kertas. Media berupa kulit, pelepah kurma atau sejenisnya akan mudah melunturkan tulisan. Pada beberapa tulisan yang luntur akan menimbulkan kerancuan dan kekacauan dalam membacanya. Lebih-lebih jika tulisan itu adalah ayat-ayat al-Qur‟an. Lain halnya 40 Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 65. Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 83-84. 41 45 dengan kertas, apabila tulisannya terhapus akan langsung rusak, dan jika terkelupas, kupasannya akan jelas terlihat. Demikian pendapat Harun al-Rasyid, sejak itulah seni tulis menulis diatas kertas menyebar luas kemana-mana. Pada masa berikutnya, Mushaf Utsmani yang telah bertanda baca itu disalin ulang berkali-kali dengan semangat mengebu-gebu. Hampir dapat dipastikan tiap-tiap dinasti dan kerajaan Islam memiliki mushaf-mushaf salinan yang semakin ditingkatkan kualitasnya, baik dari sudut gaya tulisan, hiasan ataupun lembar halaman yang digunakan. Para khalifah Islam mengadakan pembuatan mushaf secara besar-besaran, bahkan para Shah Persia, dinasti Moghul, dan kekhalifahan Turki Utsmani, tak segan-segan menghaburkan dana untuk membayar dan membiayai sebuah mushaf dari tulisan Kaligrafer. Para kaligrafer pun baru merasa puas dan dianggap mencapai puncak prestasi jika telah menulis mushaf al-Qur‟an.42 Sepanjang sejarah perkembangan kaligrafi Arab dari mula hingga terkini, aktivitas berkaligrafi sebenarnya sangat identik dengan hiruk-pikuk penulisan mushaf-mushaf al-Qur‟an. Nama-nama kaligrafer adalah juga nama-nama penulis mushaf al-Qur‟an yang handal. Memang kaligrafi Arab pada realitasnya tidak bisa dipisahkan dari al-Qur‟an. Kaligrafi Arab merupakan perwujudan visual dari wahyu; merupakan penjelmaan teks al-Qur‟an. 43 42 Didin Sirojuddin AR.,“Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur‟an (Jakarta: LSAF, vol. 1, th. 1989), h. 56. 43 Sayyed Hossein Nasr, Spritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan, 1993), h. 29 dan 38. 46 BAB IV PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR’AN (250-940 M) A. Sejarah Kemunculan Kaligrafi Arab dan Perkembangannya Penelitian para ahli menyatakan bahwa tulisan Arab merupakan proses lanjutan dari tulisan Hierogliph melalui tulisan Phunisia. Selanjutnya dari tulisan Phunisia ini timbul lagi tulisan Arami dan tulisan Musnad dengan segala jenisnya. Bangsa Aramy mendiami daerah-daerah Palestina, Syria, dan Irak. Di daerah tersebut tulisan Arami itu pertama kali berkembang. Tulisan Musnad tiap hurufnya terpisah yang satu dengan lainnya, tidak seperti tulisan Arab yang lahir kemudian. Dari tulisan tersebut lahir pula tulisan Shafawi, tulisan Tsamudi, tulisan Lihyany, dan tulisan Himyari.1 Bangsa Himyari dari selatan jazirah Arab, dalam sejarahnya pernah mencapai zaman kejayaannya, pada masa pemerintahan al-Tababi‟ah (raja-raja Tubba‟). Bangsa Himyari ini telah mempunyai tulisan yang berasal dari tulisan atau khat Musnad. Pada zaman al-Tababi‟ah tersebut, tulisan Musnad semakin berkembang dan bertambah sempurna, sehingga kemudian lebih terkenal dengan nama tulisan Himyari atau khath al-Himyari.2 Pemakaian tulisan Himyari semakin bertambah luas dan berkembang sampai ke Hirah di Irak, yaitu ketika Hirah diperintah oleh kerajaan Manazirah di bawah dinasti Al-Munzir, sekitar tahun 268-628 M. Di daerah Irak, pernah juga berdiri kerajaan Anbath, ibu kotanya bernama Petra. Di sana pernah pula berkembang sejenis tulisan yang disebut tulisan atau khat Nabathi. Orang-orang Quraisy dari Hijaz sering pergi berniaga atau berdagang ke Syria dan Hyrah. Di antara mereka ada yang mempelajari tulisan-tulisan yang berkembang di daerah tersebut, seperti tulisan Siryani dan tulisan Nabthi. Bangsa Siryany mempunyai 1 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 6- 7. 2 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab,(Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 33. 47 lagi, tulisan yang disebut tulisan Strangeli (Satranjili-Siryani). Tulisan ini khusus dipergunakan untuk menulis kitab-kitab suci (The Holy Scriptures).3 Tulisan Himyari, tulisan Strangeli, dan tulisan Nabthi, kemudian mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan tulisan Arab sesudah kedatangan agama Islam. Tulisan Strangeli berkembang menjadi tulisan Kufi, sedangkan tulisan Nabthi berkembang berkembang menjadi tulisan Naskhi. Di bawah ini dicantumkan silsilah menurut beberapa ahli, ahli Barat (orientalis) dan ahli Arab (muslim), tentang perkembangan tulisan Hierogliph dari Mesir Kuno sampai kepada tulisan Arab pada permulaan Islam.4 Pendapat Ahli Barat: Pendapat Ahli Arab: 3 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 34. C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 35. 4 48 Suatu bukti yang menguatkan pendapat bahwa tulisan Arab itu berasal dari tulisan Nabthi, ialah dengan ditemukannya tulisan pada batu (inskripsi) yang dikenal dengan Naqsh al-Namarah yang berasal dari tahun 328 M yakni hampir tiga abad sebelum datangnya agama Islam. Menurut penelitian para ahli sejarah Naqsh al-Namarah ini dianggap sebagai suatu jenis tulisan yang pernah berkembang di wilayah sebelah utara jazirah Arab dahulunya dan yang sangat berpengaruh terhadap tulisan Arab yang muncul kemudiannya.5 Seperti disebutkan diatas, tulisan Arab berasal dari tulisan Mesir Kuno (Kan‟an , Semith atau Tursina). Kemudian berkembang menjadi tulisan Phunisia (Fieniceqy), dan kemudian berkembang menjadi Arami dan Musnad dengan cabang-cabang (Arami): Nabathi di Hiran/Huron dan Satranjili-Siryani di Irak; dan (Musnad): Safawi, Samudi, Lihyani (utara jazirah Arabia) dan Humeiri di selatan Arab. Menurut Albert Hourani, bahwa dominannya tradisi puisi dan hafalan pada masa itu membuat tulisan Arab tidak berkembang pada saat itu, namun tidak menutup kemungkinan bahwa bangsa Arab sama sekali belum mengenal tulisan, karena tradisi menulis telah dikenal dijazirah Arab; huruf-huruf dalam bahasa Arab selatan telah ada berabad-abad lamanya. Huruf-huruf Arab pertama, dalam tulisan Arami, bermula semenjak abad ke-4 M, sedangkan tulisan Arab baru muncul kemudian. Di luar huruf-huruf, penulisan mungkin juga telah digunakan dalam perdagangan jarak jauh.6 Hal tersebut berdasarkan atas temuan-temuan arkeologi yang pernah melakukan penelitian tentang pertumbuhan tulisan Arab yang memiliki hubungan erat dengan Ilmu Perbandingan Bahasa. Perkembangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tulisan Mesir Kuno (Hierogliph) adalah sumber kelahiran tulisan Phunisia (Fieneceqy). 2. Tulisan Phunisia berkembang menjadi dua cabang: Arami dan Musnad. 5 Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-„Arabi, terj. Didin Sirojuddin AR., Dinamika Kaligrafi Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), Cet. ke-1, h. 10-12. 6 Albert Haourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, ter. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2004), h. 57. 49 3. Tulisan Arami melahirkan tulisan-tulisan: Nabathi di Hirah dan Satranjili-Siryani di Irak. 4. Tulisan Musnad berkembang dan melahirkan jenis tulisan-tulisan: Safawi, Samudi, dan Lihyani di Jazirah Arabia utara, dan Humeiri di bagian selatan. 5. Tulisan Nabathi dinyatakan sebagai induk dari jenis tulisan atau khat Naskhi. 6. Sedangkan tulisan Satranjili-Suryani kemudian berkembang menjadi jenis tulisan atau khat Kufi yang sebelum datangnya Islam bernama Hieri (diambil dari kata Hirah, kota kelahiran tulisan tersebut) dan sering juga dinamakan dengan Jazm.7 1. Tulisan Musnad dan Nabathi Para ahli tentang “Arab Selatan” mengatakan bahwa Quthbania, Hadramaut, Saba, Himyar, Ausan, Dzu Reidan, dan Yaman merupakan pemerintahan-pemerintahan Arab yang berkuasa di selatan jazirah Arab, masyarakat tulen dan kaligrafi yang mereka pakai adalah Musnad. Juga telah ditemukan beberapa tulisan di jazirah Delius Yunani dan Gazza Mesir, yang semuanya menggunakan tulisan Musnad tersebut. Atas dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa seni (fan) Musnad adalah kaligrafi tertua yang pernah diketahui di semenanjung Arab. Tulisan dibaca dari kanan ke kiri seperti tulisan Arab. Tapi sewaktu-waktu dibaca dari kiri ke kanan seperti model tulisan latin. Sering juga dicampuradukkan antara dua sistem, yaitu dengan mula-mula ditulis dari kanan ke kiri. Apabila selesai satu baris, maka baris di bawahnya ditulis dari kiri ke kanan. Ibnu Khaldun mencatat, bahwa orang-orang Hijaz mengambil khatkhatnya dari Hirah, orang-orang Hirah dari Hameir, sedangkan Hameir sendiri dari Yaman, yang diduga sebagai tempat kelahiran pertama kaligrafi Musnad.8 Al Muqrizy menulis pula, bahwa fan Musnad adalah kaligrafi yang mulamula dari sekian banyak kaligrafi yang dipakai oleh masyarakat Humeiri dan raja7 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 20. Hal serupa juga dikemukan oleh Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran (Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, 2013), h.140-141. 8 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 28. 50 raja „Ad.9 Khat Musnad yang sudah sedemikian lama bertahan, dan berpengaruh besar di hampir seluruh jazirah Arab akhirnya tergeser oleh pengaruh tulisan Kindi, yakni suku yang bermukim di selatan jazirah Arab, sebelum masa Islam, dan tulisan Nabthi. Nabathie adalah kerajaan yang berdiri kokoh pada abad I SM dengan kekuasaan yang memanjang dari Sinai dan bagian selatan Arab melampaui daerah-daerah Damaskus Syria dengan wilayah-wilayah Madyan, Selat Aqaba, Hijaz, Palestina dan Hirah. Kerajaan tersebut berpusat di kota-kota penting Hijr, Petra, dan Bushra yang bertahan di bawah penindasan sejak 150 SM oleh bangsa Romawi sampai sekitar tahun 105 M. Tidak berarti, bahwa tulisan Musnad musnah sama sekali. Sebab interaksi antara tulisan lama dengan pendatang baru tersebut telah melahirkan cikal-bakal tulisan Nabthi Mutakhir, yang pada hakekatnya masih merupakan rantai penyambung dari tulisan Musnad yang lebih lengkap dan sempurna.10 Ciri-ciri tulisan pada masa itu antara lain huruf-huruf ditulis bergandengan seperti sekarang. Huruf hidup tidak ditulis dan belum memakai titik. Orang-orang Nabathie tidak saja berkerabat dekat dengan kabilah Arab, bahkan juga banyak bergantung kepada usaha dagang bersama dan mempunyai hubungan kultural dengan mereka. Orang-orang Nabathie juga merupakan masyarakat yang gemar berpindah-pindah seperti masyarakat Arab umumnya. Ini telah menjadi tradisi turun-temurun pada masyarakat kuno yang berlokasi di kawasan tandus. Berbeda dengan tulisan Musnad, tulisan Nabthi bisa diketahui lebih jelas karena adanya bukti-bukti inskripsi yang ditemukan. Data tersebut mengambil nama-nama sesuai dengan lokasi di mana inskripsi-inskripsi tersebut didapat, menurut Didin Sirojuddin AR., selanjutnya perkembangan tulisan-tulisan Arab dapat dilihat dari beberapa bukti-bukti dan temuan inskripsi-inskripsi pada masa pra-Islam dan setelah Islam. Seperti inskripsi Umm al-Jimal (tertanggal dari kira-kira 250 M), di tulisan dengan tulisan Nabathi-Arami, di daerah Umm al-Jimal Syiria. Inskripsi kedua adalah inskripsi Nammarah, yang dikenal sebagai karya syair Imru al-Qays. Di temukan di daerah Nammarah di sekitar Huran Syiria. Ditulisan dengan jenis tulisan Nabathi Mutakhir (bertahun 328 M), dari isi inskripsi tersebut kuat dugaan bahwa Imru al-Qays salah seorang raja atau kepala kabilah di Arab utara. Dan tulisan pada inskripsi tersebut diduga sebagai tulisan Arab utara 9 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 28-29. Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 32. 10 51 tertua yang pernah ada. Dan inskripsi yang ketiga adalah inskripsi Zabad (511-512 M), ditulis dengan tiga bahasa dan jenis tulisan: Yunani, Suryani dan Nabathi Mutakhir, pada puing reruntuhan Zabad sebelah tenggara Aleppo, antara Qisrin dan sungan Eufrat. Dan yang keempat adalah inskripsi Harran (Huran), yang berasal dari tahun 568-569 M, ditemukan di wilayah timur pegunungan Druzze, dengan bahasa dan tulisan Greek dan Arab (hampir menyerupai jenis tulisan Kufi). Dan inskripsi temuan terakhir adalah inskripsi Umm al-Jimal II, pada abad ke-6 di kawasan Umm al-Jimal diantara Syiria dan Yordania sekarang. Inskripsi ini merupakan naskah Arab kuno yang paling muda yang diketemukan. Tulisan pada Inskripsi ini lebih mendekati tulisan Arab al-Qur‟an (jenis tulisan Kufi), dan jauh dari jenis tulisan Nabathi.11 Pemakaian tulisan Nabathi pada masa selanjutnya memunculkan jenis Nabathi Mutakhir yang kemudian melahirkan beberapa cabang lain, seperti yang dihimpun Ibnu al-Nadhim, yaitu Hieri (dari kota Hirah di Irak), Anbari (kota Anbar), Makki (Makkah), dan tulisan Madani (Madinah). Dua yang terakhir kerap disebut Hijazi, karena berada wilayah Hijaz. Nama-nama tersebut sama sekali tidak menunjuk pada bentuk atau corak sendiri-sendiri yang bebas, tetapi semuanya mirip dan berpangkal pada Nabathi Mutakhir. Sebenarnya, tulisan-tulisan tersebut hanya terdiri dari dua bentuk pokok, yaitu mabsuth yang bersudut-sudut (dry writing/ tulisan kering) dan mudawwar yang bundar dan lentur (soft writing/ tulisan lembut). Tulisan mabsuth pada waktu belakangan lazim dikenal dengan tulisan Kufi.12 2. Corak Kaligrafi Awal Kaligrafi Arab pada masa permulaannya di Hejaz, dapat dikatakan terbagi menjadi dua kategori besar. Pertama, Mabsut wa Mustakim (memanjang dan lurus); kedua, Muqawwar wa Mudawwar (melengkung dan bundar). Ma‟il dan Mashq dan semua jenis kaligrafi Kufi termasuk ke dalam kategori pertama. Sedangkan kategori kedua tercakup tulisan jenis kursif.13 a. Jenis Mabsuth wa Mustaqim Tulisan (khat) jenis Mabsuth wa Mustaqim yang identik dan belakang lazim dikait dengan khat Kufi. Khat Kufi juga disebut dengan khat Muzawwa (kubisme), yakni suatu jenis tulisan atau kaligrafi Arab yang berbentuk sikusiku, dimana tulisan ini semula berasal dari khat Hieri (Hirrah), yakni suatu tempat bernama Hirah dekat Kufah. Dengan kelahiran nama Kufah pada tahun 640 M sebagai pusat agama dan pemerintahan Islam, maka dengan sendiri khat Hieri berubah nama menjadi khat Kufi. Khat Kufi sering juga 11 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 31-36. Didin Sirojuddin AR., “Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur‟an, Vol. 1, 1989/1410 H. hal. 37-38. 13 Aswab Mahasin (Ed.) Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep Estetika, ( Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 161. 12 52 disebut Jazm dan merupakan evolusi dari khat Satranjili-Suryani. Ada dua jenis tulisan yang berkembang di Makkah dan Madinah, di saat perkembangan jenis khat Mabsuth, yakni khat Ma‟il dan khat Mashq. Kedua jenis kaligrafi ini memiliki persamaan bentuk dengan huruf-huruf Kufi dimana akhri keduanya melebur dan menyatu menjadi bentuk tulisan atau kaligrafi Kufi.14 Ciri-ciri kaligrafi Kufi sangat jelas, yakni berukuran seimbang yang spesifik dengan sifat bersudut-sudut atau persegi yang mencolok, memiliki tarikan garis vertikal pendek dan garis-garis horizontal yang memanjang dalam ukuran sama lebar. Begitu jelas bahwa tulisan berbentuk empat persegi panjang. Dalam gaya hiasam dam iluminasi, ukuran tersebut tidak menjadi landasan yang mengikat. Misalnya, pada tarikan garis vertikal yang dibikin panjang-panjang melebihi garis horizontalnya. Namun tetap harus ditekankan, bahwa tulisan kufi adalah tulisan bersiku-siku.15 Hingga pada masa awal Islam tulisan jenis ini, yaitu kaligrafi Kufi begitu dominan penggunaannya, dan digunakan untuk penulisan al-Qur‟an bahkan menjadi tulisan yang diemaskan oleh umat Islam pada masa awal Islam. Dapat dilihat penggunaannya di beberapa media, seperti di koin atau mata uang dan lain sebagainya. b. Jenis Muqawwar wa Mudawwar Jenis kaligrafi Muqawwar wa Mudawwar atau kaligrafi yang berbentuk melengkung dan bulat, jenis ini juga biasa dikategorikan kedalam jenis kaligrafi Cursif. Jenis cursif ini tidak berasal dari jenis kaligrafi Kufi, namun ada bekas-bekas pengaruh daripadanya. Ini dikarenakan adanya garis klasifikasi yang jelas diantara tulisan-tulisan yang sedang tumbuh dan berkembang pada masa tersebut. Nama-nama kaligrafi yang beraneka ragam pada waktu itu lebih sering kaitkan kepada nama-nama daerah di mana tulisan atau kaligrafi tersebut dipakai. Dapat dikatakan kaligrafi model atau jenis cursif yang paling mula sekali, bentuknya kurang indah dan tidak beraturan. Kaligrafi jenis cursif pada awalnya digunakan terutama untuk maksud-maksud atau yang bersifat keduniaan atau pergaulan sehari-hari, seperti surat-surat atau adminstrasi pemerintahan dan untuk tauqi (tanda tangan).16 14 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 46-49. Yasin Hamid Safadi, Islamic Calligraphy, (London: Thames adn Hudson Limited, 1978), h. 15 10. 16 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 76-78. 53 Selanjutnya jenis tulisan cursif mendapat tempat dan berhasil menggeserkan jenis tulisan yang dominan masa itu yaitu kaligrafi Kufi pada masa pemerintahan dinasti Umayyah yang berkuasa, tepatnya pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680 M), kemudian melahirkan beberapa tokoh kaligrafi terkemuka. Seperti Ibnu Muqlah, Ibnu al-Bawab, Ya‟qut al-Mu‟tasimi, dan akhirnya menjadi tulisan yang dibanggakan oleh khalifah-khalifah selanjutnya.17 3. Peranan Kaligrafi Arab masa pra-Islam Jauh sebelum kedatangan Islam ke jazirah Arab dengan membawa peradaban baru, bangsa Arab sudah lebih dulu mengenal kaligrafi atau tradisi tulis-menulis. Namun tidak begitu dominan penggunaan dan peranannya dalam kehidupan bangsa Arab sehari-hari. Disamping ketergantungan dan kebiasaan bangsa Arab dalam menyimpan informasi dengan menggunakan hafalannya. Namun ada beberapa kalangan yang menggunakan tradisi penulisan dalam kesehariannya, seperti untuk kepentingan perniagaan dan perdagangan. Adapula beberapa peristiwa dan catatan yang didokumentasikan ke dalam tulisan, pada masa Arab pra-Islam. Seperti ditemukannya beberapa inskripsi Arab kuno yang tertua tertanggal tahun 250 M, dan selanjutnya berkembang tradisi Mu‟allaqat yang menjadi panggung dan wadah bagi para penyair. a. Dokumentasi dan Inskripsi Arab Kuno Peranan kaligrafi Arab pada masa pra-Islam dapat dilacak dan ditemukan di beberapa temuan arkeologi seperti inskripsi-inskripsi Arab kuno, dari yang tertua tertulis perkiraan tahun 250-270 M, dan yang termuda sekitar abad ke-6 M. Berikut adalah inskripsi-inskripsi tersebut: Inskripsi Umm Al-Jimal (tertanggal dari kira-kira 250 M, ditulis dengan bahasa Nabthi Arami, di daerah Umm Al Jimal, Syria). Kunt Devogue menentukan bahwa 250 M hanya sebagai waktu perkiraan. Ini adalah masa permulaan digunakannya khat Nabthi oleh raja-raja Arab, sebagai pengganti tulisan Arab lainnnya, seperti Lihyani, Tsamudi, dan Shafawi yang terpecah dari khat Musnad Humeiri. 17 Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 63-64. 54 Gambar 1: Inskripsi Umm al-Jimal Inskripsi yang kedua adalah Nammarah, terkenal sebagai pantun syair Imru Al Qays. Ditemukan oleh ilmuwan Dussoud di Nammarah, sekitar Huran, Syria. Ditulis dengan khath Nabthi Mutakhir, yakni tulisan yang akan menjadi cikal-bakal bentuk kaligrafi Arab sejak keruntuhan kota Sala‟, atau Petra yang bertepatan pada tahun 328 M. Penemuan tersebut sangat penting artinya bagi studi penelitian tulisan Arab dan perkembangannya, sekaligus untuk mempelajari kemungkinan bentukbentuk dialek Arab pra-Islam, karena merupakan teks (nash) permulaan yang ditulis dengan dialek lidah Arab tulen yang mendekati dialek Qureisy. Ini merupakan lukisan inskripsi tersebut: Gambar 2: Inskripsi Nammarah 55 Inskripsi ketiga adalah Zabad, dengan pengusutan tarikh dari tahun 511512 M. Ditulis dengan tiga bahasa: Yunani, Suryani, dan Nabthi Mutakhir (Arab kuno), pada puing reruntuhan “Zabad” yang terletak di sebelah tenggaran Aleppo (Halaba), antara Qishrin dan sungai Eufrat. Tulisannya dipahatkan di atas batu mati pada sebuah bangunan gereja. Di dalamnya dicantumkan nama-nama orang yang turut membangun bangunan tersebut.18 Gambar 3: Inskripsi Zabad Batu nisan Raqush di Mada‟in Saleh bertanggalkan 267 M. menurut beberapa ahli mencantumkan sebagai “teks Nabathi”, karena di tuliskan dengan huruf-huruf Nabati-Hejazi. Para ahli menyebutnya sebagai bentuk dokumetasi Arab tertua.19 18 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 36. M. Mustafa al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 119. 19 56 Gambar 4: Batu Nisan Raqush Terakhir inskripsi Harran (Huran). Pahatan ini berasal dari tahun 568-569 M. Ditulis pada sebuah batu di atas pintu gereja di Luja, Harran, wilayah timur pegunungan Druzze. Ditulis dengan bahasa Yunani dan Arab. Para ahli tentang ketimuran mengatakan, bahwa pahatan ini berhubungan dengan seorang Raja dari Kindah (Kindi), yang diletakkan dalam rangka membangun sebuah gereja yang dipersembahkan untuk yang kudus Yohanna al-Ma‟madan. Ditulis dengan khat yang jelas tidak menyalahi rumus Naskhi kuno. Gambar 5: Inskripsi Harran 57 Menurut orientalis Noldkeh, inskripsi ini ditulis yakni sesudah kehancuran total Khaibar, bertepatan dengan 568-569 M, yakni 45 tahun saja sebelum penanggalan Hijriyah. Sedangkan angka-angka tahun ditulis dengan huruf-huruf Aramia. Naskah tersebut dipandang sebagai akhir periode peralihan dari khat Nabthi kepada khat Arab Hejazy.20 Selain naskah-naskah di atas, telah ditemukan pula inskripsi kedua dari Umm al-Jimal II, tertanggal dari abad ke-6 M, menguatkan asal-usul tulisan Arab dari tulisan Nabthi, sekaligus menunjuk pada suatu evolusi bentuk-bentuk kaligrafi Arab yang beranekaragam.21 b. Tradisi Mu’allaqat Disamping ditemukan didalam beberapa inskripsi Arab kuno, ternyata menurut beberapa riwayat tulisan juga digunakan pada acara dan agenda tertentu, seperti Mu‟allaqat. Yang tercatat dan mencapai masa keemasannya pada abad ke6 M. Dan menjadi ajang bari penyair-penyair Arab untuk menunjukan kehebatannya dalam bersair. Suatu hal yang mendorong berkembangnya tulisan Arab sebelum Islam, adalah adanya suatu tradisi tahunan berupa pekan perlombaan Pidato dan Syair yang dilaksanakan setiap bulan Zulqaidah, yang bertempat di Ukaz yaitu daerah yang berada di Taif dan Nakhla. Kemudian pemenang dalam perlombaan ini akan dituliskan dengan tinta emas di atas sutera dan digantungkan di dinding Ka‟bah yang dinamakan dengan Mu‟allaqat. Syairsyair yang dituliskan dengan tinta emas itu dinamakan juga dengan Muzahhabat (the seven odes), besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan tulisan Arab pada waktu itu. Karena Mu‟allaqat tersebut tertulis dengan tulisan indah, yaitu dengan tulisan Arab jenis Nabathi yang berbentuk persegi atau almurabba, jenis tulisan ini sesudah Islam berkembang menjadi jenis tulisan atau khat Kufi.22 Tercatat hanya ada tujuh nama penyair dan syair terbaik Mu‟allaqat yang pernah digantungkan pada dinding Ka‟bah, ialah: 1. Imru al-Qays (w. 540 M). 2. Haris bin Hilzah (w. 540 M). 20 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 37-38. Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 38. 22 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 42. Lihat juga Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 19-20. 21 58 3. Turfah bin al-„Ady (w. 564 M). 4. Antarah bin Syaddat (w. 615 M). 5. Amru ibnu Kalthum (w. 622 M). 6. Zuher bin Abi Salma (w. 627 M). 7. Lubeid bin Rab‟ah (w. 651 M).23 Dengan demikian dari segi lain tradisi Mu‟allaqat itu merupakan suatu perkembangan dari tulisan Arab yang berlanjut dengan datangnya peradaban dan budaya baru yaitu datangnya Islam. Sehingga jenis tulisan Kufi inilah nantinya yang kemudian dipakai untuk penulisan ayat-ayat al-Qur‟an. Kedatangan agama Islam telah membawa perubahan besar terhadap tulisan Arab. Perubahan ini terutama disebabkan ayat-ayat al-Qur‟an ditulis dengan tulisan Arab. Dengan demikian kedudukan dan peran tulisan Arab bertambah penting. Namun, berdasarkan peninggalan-peninggalan historis berupa perkamen, uang logam dan inskripsi-inskripsi, bisa dipastikan bahwa titik-titik tanda bacaan untuk konsonan-konsonan telah digunakan pada abad pertama Islam, sekalipun tidak menjangkau secara luas penggunaannya pada masa belakangan. Dari temuan sejumlah manuskrip al-Qur‟an beraksara Kufi yang awal, dapat dipastikan bahwa tanda-tanda konsonan belum digunakan dalam penyalinan mushaf al-Qur‟an. Selanjutnya, dapat juga dikemukakan bahwa dari contoh tulisan Arab dalam inskripsi abad ke-6 M yaitu inskripsi Umm alJimal II, bisa disimpulkan bahwa bentuk tulisan yang berkembang ketika itu mengarah kepada bentuk yang lebih kursif dan menyerupai bahkan dalam perkembangan selanjutnya secara praktis identik dengan tulisan Kufi yang belakangan.24 Kemudian, lahirlah nabi Muhammad dan serta-merta di wahyukanlah alQur‟an kepada Nabi saat berumur 40 tahun. Sampai ayat pertama turun pada tahun 610 M, berarti selama kurang lebih 1600 tahun sejak tulisan Musnad digunakan pada tahun 1000 SM. Menurut Didin Sirojuddin AR, hanya ada dua genre tulisan yang benar-benar digunakan masyarakat Arab, yaitu Musnad dan kemudian Nabathi. Hanya untuk dua jenis dan aliran tulisan, masa itu terlalu panjang.25 23 Andri Ilham, Puisi Arab dan Protes Sosial, (Jakarta: Transpustaka, 2016), h. 69. Lihat juga Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), h. 15. Lihat juga Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, h. 59. 24 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, h. 141-142. 25 Didin Sirojuddin AR., “Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, h. 55. 59 Jika varian-variannya, yaitu tulisan Satranjili-Siryani, Safawi, Samudi, Lihyani, Humeiri, Hieri, Anbari, Makki, dan Madani yang hanya mengalami sedikit perunbahan yang tidak begitu mendasar, maka terdapat sebelas jenis tulisan yang pernah muncul sepanjang 1600 tahun. Bagi sebelas jenis tulisan, rentang waktu sepanjang itu pun terasa begitu lama. Selain bentuk-bentuk antar varian tidak jauh berbeda, bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Babilonia atau Cina. Bangsa Arab memang kelihatan agak terlambat dalam hal tulis-menulis.26 Apalagi kalau disandingkan dengan kemajuan kaligrafi Arab setelah al-Qur‟an turun, perkembangan itu pasti sangat lamban. Oleh para ahli, kelambanan ini diakibatkan dari kecenderungan kehidupan bangsa Arab sendiri. Pada masa sebelum Islam, mayoritas bangsa Arab dikenal memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi perkembangan tulisan. Menurut Ilham Khoiri R., terdapat empat jenis kebisaan yang dimiliki bangsa Arab, antara tabiat dan kebiasaan tersebut adalah: pertama, mereka hidup secara nomad (berpindah-pindah) dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai macam motivasi seperti untuk mencari daerah yang subur atau menghindari penyergapan musuh dari suku lain.27 Meskipun ada yang menetap, yaitu etnis Quraish yang membentuk aliansi perdagangan di Makkah. Kebiasaan nomad ini membuat mereka sibuk dengan perpindahan dan mempersempit kemungkinan membangun suatu kebudayaan. Kedua, mereka hidup bersuku-suku dengan rasa fanatisme kesukuan („ashobiyah) yang sangat kental dan rasa toleransi antar suku yang kecil. Saling membanggakan suku dan keturunan masing-masing sambil merendahkan suku dan keturunan lain, sehingga seringkali terlibat peperangan antar suku. Oleh sebab itu, sulit untuk mendirikan suatu komunitas bersama yang bersatu. Ketiga, mereka tidak memiliki budaya tulis-menulis, tak pernah mementingkan catatan sejarah kehidupan mereka tidaklah tertuliskan. Sebagian besar mereka adalah buta huruf. Sedikit sekali orang yang mampu menulis, hanya beberapa pemuka masyarakat yang jumlahnya sangat minim yang memiliki kemampuan menulis. Meskipun demikian, beberapa di antara bangsa Arab masih 26 Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 59. Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 28. 27 60 memerlukan tulisan, terutama untuk kebutuhan perniagaan dan guna menulis syair-syair terbaik yang digantungkan pada dinding Ka‟bah (mu‟allaqat)28. Ketidak mampuan tulis-menulis mengantarkan mereka untuk menghandalkan metode hafalan, yang pada gilirannya menjadi tolak ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang. Keempat, mereka jauh dari ilmu pengetahuan secara umum. Pengetahuan mereka tentang ilmu politik, ekonomi, sosial, kedokteran dan lain-lain sangat tertinggal dari bangsa-bangsa lain seperti Romawi dan Persia.29 Hanya saja, bangsa Arab mengerti mengenai astronomi dan metereologi (ilmu falak), tentang sejarah, pengobatan berdasarkan pengalaman, perdukunan dan serta tata bahasa dan sastra. Untuk bidang tata bahasa dan sastra harus diakui bahwa kemampuan bangsa Arab memang cemerlang.30 B. Penulisan dan Kodifikasi al-Qur’an Al-Qur‟an yang dituliskan pada masa nabi Muhammad saw, tertulis dalam beberapa media, yang tulisannya masih sangat rentan salah terbaca bagi umat Islam yang non-Arab. Disamping dominannya tradisi hafalan, tradisi penulisan mulai dikembangkan setelah turunnya al-Qur‟an, dan tulisan yang berkembang adalah kaligrafi Kufi. Selanjutnya pada masa Khulafa al-Rasyidin yang menimbulkan beberapa konflik tentang atau kaitannya dengan al-Qur‟an. Mulai dari masa Abu Bakar dengan banyak para penghafal al-Qur‟an yang gugur di medan perang, Utsman bin Affan dengan adanya perbedaan cara baca (qiraat). Namun pada masa Utsman bin Affan inilah al-Qur‟an dikodifikasi menjadi satu mushaf yang di kenal dengan Mushaf Utsmani. Selanjutnya peletakan tanda baca yang diperkasai oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali, kemudian disempurnakan oleh alKhalil. Dari sinilah kodifikasi kaligrafi Arab bermula dan dimulai, dan melahirkan jenis-jenis kaligrafi Arab yang indah dan ideal. 28 Syair-syair yang terbaik yang menjadi pemenang dalam perlombaan itu, kemudian ditulis dengan tinta emas di atas sehelai sutera halus dan digantungkan di dinding Ka‟bah. Syair-syair yang di gantung di Ka‟bah ini dinamakan al-Mu‟allaqat. Lihat C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 42 ; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.19 ; Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 116. 29 Ahmad Amin, Fadjar Islam, h. 18-19. 30 Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 57-62. 61 1. Motivasi Normatif Tradisi Penulisan Motivasi normatif tradisi tulisan Arab atau kaligrafi pada al-Qur‟an adalah salah satu bentuk pengaruh penulisan al-Qur‟an terhadap kaligrafi Arab. Pengertian dari motivasi normatif disini adalah, semangat yang dimunculkan dan ditimbulkan dari ayat-ayat al-Qur‟an yang ditulis berupa norma-norma yang memilki daya pengaruh terhadap kesadaran dan tingkah laku umat Islam dalam hubungannya dengan tulis-menulis yang pada gilirannya akan mendorong kemajuan kaligrafi Arab. Salah satu motivasi normatif itu adalah perintah untuk belajar baca-tulis.31 Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang secara gamblang dan terang-terangan memerintahkan umat Islam untuk belajar menulis, salah satunya adalah lima ayat permulaan surat al-„Alaq yang secara tegas menunjukan hal ini, lewat kata-kata: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajar menulis dengan pena. Mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya”(QS: 96 15). Ayat ini merupakan wahyu yang pertama kali diturunkan, dan dengan begitu, bisa ditegaskan betapa pentingnya keharusan membaca dan menulis, sehingga diucapkan pertama kali. Ayat-ayat ini membawa masyarakat Arab kala itu yang hanya mementingkan tradisi hafalan, dan syi‟irnya, dengan menyodorkan hal lain tidak kalah penting, yaitu tradisi tulisan. Bahkan tidak semata-mata menyodorkan, melainkan mewajiban membaca dan menulis. Tentu saja, hal ini merupakan suatu kewajiban yang sangta revousioner, mengingat bangsa Arab waktu itu sangat jauh dari tradisi tulis-menulis, dan secara tiba-tiba diharuskan belajar membaca dan menulis. Mereka seakan tiba-tiba menjalankan revolusi dari tradisi lisan ke tradisi 31 Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 85-86.. 62 tulis, dari sifat tulisan yang semula bersifat pribadi menjadi konsumsi publik, dari masa kegelapan menuju masa kepada keaadan yang terang benderang.32 Bahkan oleh Didin Sirojuddin AR, mengibaratkan bagaikan bom yang menggebrak umatnya agar tidak menjadi orang bodoh.33 Menurut Quraish Shihab, perintah diatas merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan kepada umat manusia. Karena membaca dan menulis merupakan jalan yang mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusian yang sempurna. Sehigga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa membaca dan menulis adalah syarat utama dalam membangun sebuah peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas bacaan dan tulisan, semakin tinggi peradaban dan pengetahuan.34 Ayat lain yang memberikan motivasi dalam menulis berbunyi: “Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS: 68:1) Pengertian Nun memiliki banyak pemahaman yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, namun pengertian nun sebagai tinta lebih memudahkan penafsiran katakata selanjutnya. Ayat ini mengisyaratkan sumpah Allah dengan tiga hal: tinta, pena dan tulisan. Allah tidak pernah bersumpah, kecuali dengan hal-hal yang agung. Jika ada sumpah dengan bukan, matahari dan malam, tentu sumpah itu pun memiliki keangungan yang serupa dengan tinta, pena dan tulisan. Maka dengan sendirinya ayat ini berposisi sebagai perintah yang mengharuskan dan mewajibkan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu tulis-menulis. Penyebutan kalam dalam ayat ini diartikan sebagai pena dan sangat berhubungan dengan penyebutan kata serupa dalam surat al-„Alaq sebelumnya. Dengan penalah ilmu pengetahuan dicatat.35 32 M.Mustafa al-A‟zami, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 75. 33 Didin Sirojuddin AR, Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: LSAF, Vol 1, Th. 1989), h. 47 34 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. ke-4, h. 44-45. 35 Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 89-90. 63 Secara fungsional, perintah tulis-menulis kemudian disebutkan lagi untuk diterapkan, salah satunya dalam dunia perdagangan dan perniagaan, sebagaimana firman Allah: .... “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS: 2:282) Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat ayat-ayat alQur‟an yang berisi norma-norma yang secara langsung memotivasi umatnya untuk belajar, mentradisikan dan menerapakan kemampuan tulis-menulis dalam kehidupan. Hal demikian memiliki pengaruh yang luar biasa bagi masyarakat Arab kala itu. Dari mereka yang awalnya buta huruf dan bahkan anti huruf menjadi mengenal tulisan, kemudian mempelajari dan lalu mengembangkannya sehingga mencapai bentuk-bentuk seperti sekarang. Sayyed Hossein Nasr mengatakan bahwa apa-apa yang disebut dalam alQur‟an menyangkut pena, tinta dan menyertainya menunjukkan nilai signifikansi tersendiri.36 Simbol-simbol al-Qur‟an tentang pena (qalam) dan tinta (nun), memberikan kunci untuk memahami prinsif metafisika dan signifikansi spritual dari kaligrafi Arab serta peranan yang dimainkan kaligrafi dalam kehidupan agama dan artistik Islam tradisional. Pada kenyataannya, sejak alat-alat dan bahan-bahan tulis-menulis disebut di dalam al-Qur;an para seniman kaligrafi (kaligrafer) mengacunya dan mulai mengembangkan pemakaian dari masa ke masa. 2. Mushaf Utsmani Ketika al-Qur‟an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, bentuknya bukanlah berupa teks yang tertulis, melainkan hafalan-hafalan yang kemudian dituliskan oleh beberapa sekretaris atau juru tulis Nabi pada masa itu. Dan penulisan dibeberapa media seperti, pelepah kurma, kulit binatang, tulang- 36 Seyyed Hossein Nasr, Spritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. ke-2, h. 35-36. 64 benulang, lempengan batu, kayu dan lain sebagainya. Alat-alat tulis pada masa itu sangatlah langkah, oleh sebab itu wahyu yang turun sebagian dihafalkan dan sebagian lagi dituliskan oleh sahabat. Para sahabat itu adalah Abudullah bi Mas‟ud, Ubaiya bin Kaad, Zaid bin Tsabit, Muiz bin Jabal, Abu Darda, Abu Bakar, dan lainnya.37 Pada zaman Abu Bakar terjadi beberapa kali peperangan yang meminta korban. Banyak para sahabat yang menghafal al-Qur‟an gugur sebagai syuhada dalam perang Yamamah 12 H/ 622 M. Menurut sejarah lebih dari tujuh puluh orang yang hafal al-Qur‟an gugur dalam peperangan tersebut. Keadaan yang sangat memperihatinkan itu serta kekhawatiran terhadap berkurangnya orang yang hafal al-Qur‟an meyebabkan Umar bin Khathab menyampaikan saran kepada khalifah Abu Bakar, agar lembar-lembaran ayat al-Qur‟an yang terpisah-pisah dikumpulkan dan ditadwinkan menjadi sebuah mushaf. Gagasan tersebut diterimah oleh khalifah Abu Bakar dan menugaskan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an itu. Kumpulan lembaran dan kepingan ayatayat al-Qur‟an tersebut kemudian disimpan dirumah Hafsah bin Umar, istri nabi Muhammad.38 Setelah Abu Bakar wafat, usaha penyusunan dan kodifikasi mushaf tersebut diteruskan oleh khalifah Umar bin Khathab. Pekerjaan besar ini membutuhkan ketekunan, ketelitian dan ketabahan dari mereka yang ditugaskan menyusun mushaf sesuai dengan urutan ayat demi ayat, serta urutan surat demi surat menurut susunan yang diatur dan ditentukan oleh Rasulullah. Tugas ini dipegang oleh Zaid bin Tsabit yang dianggap sebagai seseorang yang teliti dalam mengumpulkan dan menuliskan al-Qur‟an, ia juga seorang penghafal al-Qur‟an (hafiz), maka hafalannya dapat meringankan sedikit bebannya.39 Pada masa pemerintahan khalifah Utsaman bin Affan, agama Islam semakin berkembang sampai ke Irak, Persia, Syiria, Mesir, dan lainnya, sehingga banyak pula orang-orang yang bukan bangsa Arab telah memeluk agama Islam. 37 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 47. C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 48. 39 Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet. ke-3, h. 71. 38 65 Pergaulan dan hubungan bangsa Arab dengan mereka yang bukan bangsa Arab semakin luas dan akrab. Mereka ini sering mengalami kesalahan dalam membaca al-Qur‟an karena belum begitu paham terhadap bahasa dan tulisan Arab. Kesalahan membaca itu dapat mengelirukan dan mengubah maksud dari ayat-ayat al-Qur‟an. Pada suatu waktu Huzaifah bin al-Yamani seorang panglima perang Islam baru kembali dari Syira dan Irak, serta kemabli dari penaklukan Armenia dan Azerbaijan, datang mengadap khalifah Utsman bin Affan, menjelaskan bahwa ia merasa sangat kaget dan perihatin melihat orang-orang didaerah itu berselisih dan bertengakar dalam membaca berbagai ayat-ayat al-Qur‟an. Ia sangat khawatir kalau pertengkaran itu akan membawa akibat yang lebih besar. Kekhawatiran itu cukup beralasan dan sangat dirasakan oleh khalifah Utsman, sehingga setelah menerimah laporan tersebut Utsman lalu memanggil beberapa orang sahabat untuk bermusyawarah, merumuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi masalah yang terjadi. Para sahabat sepakat agar khalifah memerintahkan untuk menuliskan al-Qur‟an dalam bentuk sebuah mushaf yang disalin dengan rapi dari mushaf yang telah mulai disusun semenjak masa khalifah Abu Bakar dan yang disimpan oleh Hafsah. Khalifah Utsman kemudian memerintahkan dan memberi pengarahan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur‟an. Zaid dibentuk oeh tiga orang sahabat lainnya, yaitu Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Haris, dengan asas yang khalifah Utsman tentukan, yakni berpegang kepada dialek Quraish, dengan begitu merdam apabila terjadi suatu perselisihan atau perbedaan pendapat.40 Utsman bin Affan kemudian mengadakan penelitian terhadap suhuf yang ttelah sempurna pengumpulannya pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khathab suhuf yang disimpan dirumah Hafsah yang dijadikan pegangan sebagai rintisan mushaf awal. Para ahli sejarah menjelaskan bahwa antara Zaid bin Tasabit dan Sa‟in bin al-Yamani, tidak terjadi perbedaan pendapat kecuali hanya mengenai satu huruf yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 248. Zaid membaca atTabutu ()التابوت, sedangkan menurut Sa‟id di baca at-Tabuhu ()التابوه, kemudian 40 Richard Bell, Pengantar Qur‟an, diterjemahkan oleh Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 37. 66 dipilihlah bacaan Zaid bin Tsabit sebab dia adalah koordinator penulisan alQur‟an.41 Setelah selesai penulisan empat buah mushaf yang sama maka khalifah memerintahkan agar selain dari mushaf yang ada pada Utsman agar dimusnahkan, dengan demikian tidak ada lagi mushaf al-Qur‟an selain yang telah ditulis dan disusun susuai dengan aslinya, yang diambil dari tulisan yang ditulis pada masa turunnya al-Qur‟an pada masa nabi Muhammad saw, dan yang telah terkumpul pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatahab.42 Oleh sebab itu tadwinul Qur‟an memerlukan waktu ang cukup panjang tidak terbatas pada masa khalifah Utsman saja, tetapi juga meliputi dua setengah tahun masa jabatan khalifah Abu Bakar, di sepuluh tahun masa jabatan Umar bin Khathab, baru kemudian dua belas tahun masa jabatan khalifah Utsman, yang kemudian dikenal dengan Mushaf Utsmani dan semua kitab suci al-Qur‟an yang ada sekarang ini tetap ditulis dan berpegang teguh kepada mushaf Utsmani tersebut.43 Usaha yang sungguh-sungguh jelas tampak berhasil dan terlihat dari dua cara: pertama, tidak ada mushaf di daerah kekuasaan Islam kecuali mushaf Utsmani; dan kedua, mushaf atau kerangka teks mushafnya dalam jangka waktu empat belas abad dan tidak dirusak. Kekhalifan berikutnya, mungkin meneruskan usaha pendahulunya, mengutus dan terus mengirim naskah mushaf yang resmi, tetapi tidak ada naskah yang dikirim yang bertentangan dengan standar universal mushaf Utsmani. Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang dinisbatkan dan dikaitkan langsung kepada Mushaf Utsmani, artinya bahwa mushaf-mushaf tersebut asli atau salinan resmi dari yang asli. Indi Office Library (London), dan Tashkent (dikenal dengan mushaf Samarkhand).44 3. Khat Kufi dalam Penulisan al-Qur’an Kaligrafi Muzawwa (kubisme) yang banyak disebut sebagai khat Kufi adalah asal tulisan Arab yang pernah berjaya di Hirah, Raha, dan Nashibain 41 Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, h. 73. C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49. 43 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49-50. 44 M. Mustafa al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an dari Wahyu sampai Kompilasi, h. 108. 42 67 sebelum kota Kufah lahir. Ciri-ciri pokok khat atau kaligrafi Kufi adalah berukuran seimbang yang spesifik dengan sifat bersudut-sudut atau persegi menyolok, memiliki sapuan-sapuan garis vertikal pendek dan garis-garis horizontal yang memanjang dalam ukuran sama lebar. Namun, dalam gaya hias, ukuran tersebut terkadang tidak mengikat. Misalnya, pada sapuan garis vertikal yang dibuat panjang-panjang melebihi garis horizontalnya. Tapi yang harus ditekanan, bahwa tulisan Kufi adalah tulisan bersiku-siku.45 (khat Kufi yang digunakan dalam penulisan al-Qur‟an pada masa awal Islam) Dalam masa pertumbuhannya, tulisan Kufi tidak hanya mendesak seluruh model tua yang mencoba secara untung-untungan untuk tegak dan terpakai. Lebih daripada itu, Kufi memberikan pengaruh terbesar terhadap segenap pertumbuhan kaligrafi Arab selanjutnya.46 Tulisan Kufi mencapai puncak kesempurnaannya pada pertengahan kedua abad ke-8 M. Waktu tersebut bertepatan dengan abad ke-2 menurut perhitungan tahun Hijriyah. Itu adalah masa yang istimewa bagi tulisan Kufi yang bertahan untuk kira-kira lebih daripada tiga ratus tahun lamanya, dan menjadi tulisan “raja” satu-satunya yang digunakan untuk menyalin al-Qur‟an. Umumnya, mushafmushaf al-Qur‟an terdahulu yang ditulis dengan khat Kufi tersebut mengambil 45 http://www.lemka.net/2011/02/khat-kufi_01.html?m=1 Diakses pada tanggal 14 November 2016. 46 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 47. 68 format empat persegi panjang. Sementara pemakaiannya yang tidak terbatas untuk menyalin al-Qur‟an, Kufi juga dipergunakan sebagai lambang-lambang dalam inskripsi-inskripsi Arab atau sebagai tulisan hias. Hal tersebut ditulis tidak berubah-ubah dalam bentuk persegi empat atau panel-panel empat persegi panjang.47 4. Tanda Baca Pada masa dinasti Umayyah, timbul inisiatif untuk menyempurnakan penulisan al-Qur‟an pertama kali. Dikarenakan oleh timbulnya bermacam kekeliruan bacaan terutama di kalangan bangsa non-Arab atau „ajam, maka Abu Aswad al-Du‟ali (w. 688 M) mengantisipasinya dengan menciptakan syakl /tanda baca atas perintah Ziad bin Sumayyah, Gubernur Muawiyah di Basrah. Penyempurnaan selanjutnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad (w. 786 M) dengan memberikan i‟jam dan kemudian diteruskan dengan sejumlah penyempurnaan lain hingga mapan dan sempurna seperti yang ada sekarang ini.48 Namun, apa yang dilakukan Abu Aswad belumlah dikatakan sempurna, Abu Aswad hanya menambahkan dan menempatkan “titik-titik” berwarna merah pada huruf-huruf yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukkan pada unsur-unsur kata Arab. Penempatan titik-titik tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tanda fathah dengan satu titik di atas huruf (a), 2. Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf (i), 3. Tanda dammah dengan satu titik di sebelah kiri huruf (u), 4. Tanda tanwin dengan dua titik (an-in-un).49 Selanjutnya upaya peletakan tanda baca dilanjut oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 786 M) mengadakan perubahan atas tanda baca yang diciptakan oleh Abu Aswad. al-Khalil justru menggunakan titik-titik sebagai pembeda huruf yang bentuknya sama tetapi penyebutannya berbeda. 47 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 49-50. Dawud al-Atthar, Persepektif Baru Ilmu al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 48 195. 49 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64-65. 69 Misalnya: ظ، ط، ز، ر، ذ، د، غ، ع، خ، ج، ح، ث، ت،ب. Huruf tersebut bukan hanya pada modifikasi dan pembaruan pada huruf, al-Khalil juga menegaskan tanda baca dengan lebih mudah dimengerti. Berikut adalah tanda baca ciptaan al-Khalil. 1. Huruf alif kecil terletak miring di atas huruf, sebagai tanda fathah () ﹷ. 2. Huruf alif kecil terletak miring di bawah huruf, sebagai tanda kasrah () ﹻ. 3. Huruf waw terletak di atas huruf, sebagai tanda dummah () ﹹ. 4. Kepala huruf kha terletak di atas huruf, sebagai tanda sukun ( ). 5. Kepala huruf ain ditulis di atas atau di bawah huruf, sebagai tanda hamzah ()ﺀ. 6. Huruf alif, ya, dan waw ditulis di belakang dan di akhir huruf sebagai tanda maad ) و، ﻲ،( ا. 7. Titik-titik digambarkan (ditulis) benar-benar seperti titik-titik yang ada sekarang ini. Demikianlah usaha penyempurnaan tanda baca dan tanda bunyi yang diciptakan oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, yang tetap berlaku dan dijadikan pedoman sampai sekarang.50 Pada masa kekuasaan dinasti Umayyah ada seorang kaligrafer pertama yang paling lama bertahan, ia adalah Quthbah al-Muharrir, ia banyak menciptakan dan memperbaharui tulisan-tulisan lama, pada akhirnya berlaku setelah kelahirannya. Quthbah berhasil mewarisi empat jenis tulisan atau kaligrafi, yaitu; Tumar, Jalil, Nisf, dan Tsulus, dan dia pulalah yang menciptakan Tsulusayn. Quthbah juga terkenal dengan jasanya yang menghiasi mihrab masjid Nabawi di Madinah dengan berragam ayat al-Qur‟an yang ditulis dengan tulisan indah.51 Abad ketiga Hijriyah diadakan lagi penyempurnaan al-Qur‟an khususnya dalam bentuk tulisannya. Para penulis al-Qur‟an berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan 50 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h. 76. Lihat juga Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 68-71. 51 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79. 70 untuk huruf yang di syaddah sebuah tanda seperti busur. Sedangkan untuk alif washal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai harakat sebelumnya: fathah, kasrah, atau dhammah. Secara bertahap pula penulis alQur‟an mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda pemberhentian (wakaf).52 Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), tidak sedikit menulis dan menyalinkan al-Qur‟an berukuran besar dengan tulisan dan kaligrafi yang indah. Penulisan al-Qur‟an pada masa dinasti Umayyah masih menggunakan kaligrafi gaya Kufi. Huruf Kufi ini dijadikan huruf atau tulisan standar yang banyak dipakai dalam penulisan al-Qur‟an pada masa itu.53 C. Perkembangan Kaligrafi Arab setelah datangnya Islam Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab kurang terbiasa membaca dan menulis. Mereka lebih menyukai tradisi menghafal. Syair, nama silsilah, transaksi, atau perjanjian disampaikan dari mulut ke mulut tanpa dicatat. Hanya sedikit kalangan tertentu, seperti kalangan bangsawan Arab, yang menguasai keterampilan membaca dan menulis. Sampai pada masa awal Islam, yakni zaman Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidun (Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; 632-661), corak kaligrafi masih kuno dan mengambil nama yang dinisbahkan kepada tempat tulisan dipakai, seperti Makki (tulisan Mekkah), Madani (tulisan Madinah), Hejazi (Hijaz), Anbari (Anbar), Hiri (Hirah), dan Kufi (Kufah). Kufi merupakan yang paling dominan dan satu-satunya kaligrafi yang "dirajakan" untuk menulis mushaf (kodifikasi) al Quran sampai akhir kekuasaan Khulafa ar Rasyidun. Islam menghendaki orang Islam belajar menulis pada masa ini, sebagian sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa ada tujuh belas laki-laki dan tujuh wanita yang bisa menulis di Mekkah saat itu, dan sebagian sumber lain menyebutkan terdapat empat puluh dua orang penulis. Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada para tawanan perang Badar untuk mengajari kaum 52 Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 35. Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 81-82. 53 71 muslimin menulis. Sehingga muncul-lah para sahabat yang ahli dalam menulis atau melakukan pencatatan ayat-ayat al Quran, seperti Ali bin Abi Thalib. Pada masa-masa awal Islam, yakni masa Rasulullah dan Khulafau ar-Rasyidin berkembang jenis khat al-Hairi, al-Anbari, al-Kufi. Selanjutnya jenis khat ini pun berkembang pada masa Umawiyah.54 Tatkala al-Qur‟an diwahyukan, jenis tulis yang dominan adalah Kufi (merujuk ke kota Kufah yang didirikan pada 640 M). Kemudian dikenallah jenisjenis seperti Kufi Murabba‟ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu‟aqqad (berlilit-berikatan) dan lain-lain.55 Peranannya cukup sentral dalam berbagai aktivitas masyarakat Arab di awal Islam, terutama untuk penulisan al-Qur‟an, catatan perdagangan, surat-menyurat, dan bentuk dokumentasi lain. Hal demikian terus berlanjut sampai pada saat polapola mabsuth yang kaku telah menjenuhkan, sebaliknya bentuk mudawwar yang lebih elastis dan fleksibel diminati.56 Semenjak itu, dominasi khat Kufi tergeser57 dan bermunculanlah gaya dan corak baru yang dikreasikan para kaligrafer pembaharu. Khat kufi memiliki sekitar 20 literasi yang berbeda, dan menyebar dari Atlantik hingga ke Asia Tengah. Gaya sudut ini kemudian memberikan jalan untuk penulisan Arab kursif, yang tetap dominan sampai saat ini. Bahkan, kepopuleran kaligrafi meluas lebih jauh sampai ke China, Spanyol, India, Asia Tenggara dan Afrika Barat. Penulisan gaya daerah masing-masing pun muncul, sehingga mengurangi gaya klasik dan kodifikasi geometris formal.58 Selanjutnya pada masa awal dinasti Umayyah (661-750 M) jenis tulisan ini masih dominan penggunaannya. Pada masa ini muncullah beberapa jenis tulisan 54 Muhammad Husain Jaudi, Al-Fan al-„Araby al-Islami, (Oman: Dar al-Masirah, 1998), h.33- 34. 55 Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-„Arabi, h. 59-74. Mabsuth adalah bentuk atau corak tulisan yang bersudut-sudut (dry writing/tulisan kering) dan mudawwar adalah bentuk atau corak yang bundar dan lentur (soft writing/ tulisan lembut). Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 58. 57 Tetapi sebagai tulisan yang digunakan untuk menalin al-Qur‟an, khat Kufi masih digunakan pada sebagian besar wilayah Islam sampai abad ke-10 M. Bahkan hingga kini khat Kufi masih digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Lihat Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 63. 58 http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/08/16obzoca394-bagaimana-senikaligrafi-muncul-dalam-dunia-islam diakses pada tanggal 07 Desember 2016. 56 72 baru yaitu: Thumar (dinisbahkan kepada nama daun kayu Tumar), Jalil (anggun, karena lekuk-lekukannya yang menawan), Nishf (setengah; yaitu setengah Jalil dan setengah Thumar), dan Tsuluts (sepertiga; kekakuan pada lengkungan garisnya yang berukuran segitiga. Dan yang menciptakannya adalah seorang kaligrafer ternama yaitu Qutbah al-Muharrir, ia juga mengembang gaya-gaya tulisan tersebut dengan sangat piawai, saling melengkapi sehingga menjadi lebih sempurna.59 Pada masa Dinasti Umayyah juga kaligrafi Arab disempurnakan tanda bacanya, selain itu ada juga kaligrafer lain seperti Khalid bin al-Hayyaj. Ia adalah salah seorang sahabat amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang meninggal dunia sekitar tahun keseratus Hijriyah. Dia dikenal dengan tulisannya yang bagus dan indah. Diriwayatkan bahwa Sa‟ad, Maula, dan Hajib Walid, meminta bantuan kepadanya untuk menuliskan mushaf, puisi, dan berita-berita di istana Walid bin Abd al-Malik. Dia adalah orang yang menulis surat as-Syams dengan emas diatas mihrab masjid Nabawi yang kemudian direnovasi dan diperluas oleh Umar bin Abdul Aziz. Renovasi ini selesai pada tahun 90 Hijriyah. Umar bin Abdul Aziz pernah memintah kepada Khalid bin al-Hayyaj agar menuliskan sebuah mushaf untuknya dengan khat yang sama. Khalid bin al-Hayyaj memenuhi permintaan itu dengan menulis khat yang sangat indah. Umar bin Abdul Aziz menerimanya dan mengucapkan terimakasih kepadanya.60 Di antara beberapa kaligrafer lainnya seperti Khasyam dan Malik bin Nashir yang terkemuka pada saat itu, Khalid bin al-Hayyaj-lah yang terpilih menjadi penulis resmi Khalifah al-Walid bin Abd al-Malik (705-715 M),. Sayangnya, data-data secara lengkap seputar kaligrafi Arab pada masa itu tidak terungkap total, sebab pengguasa penggantinya, Dinasti Abbasiyah menghancurkan peninggalan-peninggalan tersebut atas pertimbangan politik.61 59 Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 63-64. Muhammad Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, terj. Thoha Musawwa (Jakarta: Penerbit alHuda, 2007), h. 206-207. 61 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79-82. Lihat juga Y.H. Safadi, Islamic Calligraphy, (London: Themes and Hudson, 1978), h. 15-16. Lihat juga Ali Akbar, “Kaligrafi Murni: Catatan Ringkas tentang Perkembangan Gaya-Gaya” Katalog Pemenang Sayembara Kaligrafi Festival Istiqlal II 1995, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1995), h. 7. 60 73 Bertolak belakang dengan kondisi Dinasti Umayyah kala itu, pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), perkembangan tulis-menulis terlacak dengan rupa-rupa inovasi yang dapat dikenali. Pada awal dinasti ini, ada dua kaligrafer yang sering disebut dalam sumber Arab, yaitu al-Dhahak bin „Ajlan yang hidup pada masa Abu al-Abbas al-Shaffah (750-754 M) dan Ishaq bin Hammad terkenal pada masa al-Manshur (754-775 M). Kaligrafer lain, Yusuf al-Sijzi (w. 825 M) berhasil menemukan model-model tulisan yang lebih bagus dari sebelumnya, yaitu Khafif al-Tsuluts, Khafif al-Tsulutsain, dan al-Riyasi. Kemudian al-Ahwal al-Muharrir menggubah dan menemukan perumusan enam tulisan pokok (alAqlam as-Sittah, Six Pens), yaitu: Tsuluts, Naskh, Muhaqqaq, Rohyani, Riq‟a, dan Tauqi.62 Pada abad ke-10 M, kaligrafer terkenal yang juga menjabat sebagai Wazir (menteri) Ibnu Muqlah (w. 29 H/ 940 M), mengadakan pembaharuan dan kodifikasi tulisan kaligrafi Arab gaya cursif yang sangat banyak dipakai saat itu. Ibnu Muqlah menetapkan aturan-aturan perbandingan untuk huruf yang didasarkan pada titik rhombic (♦). Dia mengeluarkan aturan atau merumuskan bahwa huruf alif, panjang dan tinggi goresan vertikalnya harus tujuh titik rhombic. Huruf-huruf lain juga diberikan ukuran-ukuran panjang untuk gores vertikal dan horizontal, serta goresan lengkungnya. Dengan cara inilah Ibnu Muqlah membakukan setiap gaya cursif utama yang dipakai pada waktu itu.63 Laju perkembangan kaligrafi secara dinamis berjalan hingga pertengahan abad ke-3 Hijriyah, bertepatan dengan abad ke-9 Masehi. Walaupun demikian, kaligrafi Arab barulah berjaya dan diperkirakan memasuki fase keemasan yang paling agung berkat kemunculan seorang tokoh Ibnu Muqlah, seperti yang diulas pada pembahasan berikutnya. 62 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 82-84. Lihat juga Habibullah Fadha‟ili, Athlas al-Khat wa al-Khututh, terj. Muhamad al-Tunji, (Syiria: Dar Thalas li al-Dirasat wa alTarjamah wa al-Nasyr, 1993), h. 197-312. Lihat juga . Lihat juga Ali Akbar, “Kaligrafi Murni: Catatan Ringkas tentang Perkembangan Gaya-Gaya” h. 8. 63 Ismail Raji al-Faruqi dan al-Faruqi Lois Lamya, Atlas Budya Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 99. Lihat juga Muhammad Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, h. 207. 74 1. Ibnu Muqlah dan Rumusan Kaligrafi Arab dan Lahirnya al-Khath alMansub dan Perkembangan kaligrafi Arab pada masa Abbasiyah Adanya motivasi yang dianjurkan al-Qur‟an kepada umatnya untuk menulis, dan penulisan al-Qur‟an yang memerlukakan huruf dan tanda baca yang bisa dipahami serta bisa dilihat dan dibaca dengan jelas oleh umat Islam non-Arab diseluruh daerah, maka bentuk dan cara penulisan pun makin lama makin diperbarui, dan muncullah metode-metode penulisan baru yang berstandar, metode penulisan baru ini disebut dengan al-Khath al-Mansub (kaligrafi standar). Metode-metode ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh kaligrafi ternama dan termasyhur, di antaranya Ibnu Muqlah, Ibnu al-Bawab, Ya‟qut al-Mustasimi dan masih banyak lagi.64 Abu Ali al-Sadr Muhammad bin al-Hasan ibn Muqlah atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Muqlah lahir pada tahun 272 H/ 884 M, di Baghdad, Iraq. Ibnu Muqlah juga dikenal sebagai “Imam Khattatin” kejeniusan dan kepandaian Ibnu Muqlah dalam bidang geometri (ilmu ukur) yang berhasil mengantarkannya menemukan rumus-rumus atau kaidah-kaidah penulisan kaligrafi Arab. Berkat kepandaian yang dimilikinya, Ibnu Muqlah pernah menjabat mejadi perdana menteri (wazir) pada tiga periode kekhalifahan Abbasiyah, yakni al-Muqtadir (908-932 M), al-Qadir (932-934 M), dan al-Radi (934-940 M). Malangnya Ibnu Muqlah terlibat suatu peristiwa yang menyangkut khalifah ketika terjadi kekacauan yang paling hebat akibat penekanan, penyelewengan dan berkecamuknya intrik-intrik politik. Akibatnya Ibnu Muqlah dihukum dengan di potong organ tubuhnya, dan akhirnya meninggal pada masa kekhalifahan al-Radi pada tahun 940 M. Walaupun demikian, Ibnu Muqlah telah berhasil meletakkan dan menyempurnakan kaligrafi Arab, yang tak seorang pun ahli kaligrafi sebelum yang bisa menyamai kemampuannya, dan inilah yang membuat kedudukannya sangat tinggi dalan sejarah literatur Islam.65 64 http://www.robians.com/2013/12/ibnu-muqlah-abad-ke-9-10-masehi.html?m=1 pada tanggal 07 Desember 2016. 65 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 86-90. diakses 75 Kemajuan yang dicapai sampai akhir abad ke-19 M, melebihi kemajuan gaya Kursif pada abad ke-20 M, dalam hal pemakaian oleh halayak umum, yang banyak diantaranya kurang memiliki keindahan dan keelokan yang sempurna seperti yang dimiliki tulisan atau kaligrafi Kufi. Peranannya cukup sentral dalam berbagai aktivitas masyarakat Arab di awal Islam, terutama untuk penulisan alQur‟an, catatan perdagangan, surat-menyurat, dan bentuk dokumentasi lain. Hal demikian terus berlanjut sampai pada saat pola-pola mabsuth yang kaku telah menjenuhkan, sebaliknya bentuk mudawwar yang lebih elastis dan fleksibel diminati.66 Semenjak itu, dominasi khat Kufi tergeser67 dan bermunculanlah gaya dan corak baru yang dikreasikan para kaligrafer pembaharu. Atas dasar itu Ibnu Muqlah menempatkan diri sebagai perancang tulisan Kursif, yang pada saat yang sama menjadikan tulisan itu mampu bersaing dan bahkan berhasil menggeser kedudukan kaligrafi Kufi. Ibnu Muqlah meletakkan sistem aturan dasar kaligrafi yang lengkap yang didasarkan atas titik belah ketupat atau titik rhombic (♦) sebagai kesatuan ukurannya.68 Ibnu Muqlah sangat berjasa dalam membangun tulisan atau khat Naskh dan Tsulust, serta mempopulerkan pemakaiannya. Menurut teori yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah, bentuk tulisan batulah dianggap benar jika memiliki lima kriteria berikut: 1. Tawfiyah (tepat), yaitu setiap huruf harus mendapatkan usapan sesuai dengan bagiannya, dari lengkungan, kejuran dan bengkokan. 2. Itmam (tuntas), yaitu setiap huruf harus diberi ukuran yang utuh, dari panjang-pendek dan tipis-tebal. 3. Ikmal (sempura), yaitu setiap usapan garis harus sesuai dengan kecantiakan bentuk yang wajar dalam gaya tegak, terlentang, memutar dan melengkung. 66 Mabsuth adalah bentuk atau corak tulisan yang bersudut-sudut (dry writing/tulisan kering) dan mudawwar adalah bentuk atau corak yang bundar dan lentur (soft writing/ tulisan lembut). Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 58. 67 Tetapi sebagai tulisan yang digunakan untuk menalin al-Qur‟an, khat Kufi masih digunakan pada sebagian besar wilayah Islam sampai abad ke-10 M. Bahkan hingga kini khat Kufi masih digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Lihat Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 63. 68 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 90-91. 76 4. Isyba‟ (padat), yaitu setiap usapan garis harus mendapat sentuhan pas dari mata pena, sehingga terbentuk suatu keserasian. Dengan demikan tidak akan terjadi ketimpangan, di mana satu bagian tampak terlalu tipis atau kelebihan tebal dari bagian lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah sentuhan yang menghendaki demikian. 5. Irsal (lancar), yaitu menggoreskan pena secara cepat dan tepat, tidak tersandung atau tertahan-tahan sehingga menyusahkan atau mogok ditengah-tengah membuat getaran tangan yang merusak tulisan yang sedang digoreskan.69 Rumus Ibnu Muqlah: Alif berskala tujuh titik belah ketupat, yang diletakkan vertikal. Dan rumusan lingkaran sebagai standar dari tinggi huruf Alis dan „Ain.70 Sementara tata letak yang baik (husn al-wadh„i), mestilah mengandung tarshif (rapat teratur), yakni tepatnta sambungan satu huruf dengan huruf lain; ta‟lif (tersusun), yakni menghimpun setiap huruf yang terpisah(tunggal) dengan lainnya dalam bentuk wajar dan indah; tasthir (selaras), yakni menghubungkan satu kata dengan yang lainnya sehingga membentuk satu garis yang selaras letaknya bagaikan mistar (penggaris); dan tanshil (menyerupai pedang), yakni 69 Al-Qalqasyandi, Subh al-A„syafi Shina„ah al-Insya (Kairo: Kustantasumas wa Syarikahu, tth). Dikutip dan terjemahkan oleh Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 90. Lihat juga Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 66. 70 Dikutip dari Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 92. 77 meletakkan sapuan-sapuan garis memanjang yang indah pada huruf-huruf sambung.71 Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.72 Gerakan perkembangan seni khat telah mencapai masa keemasan pada masa ini disebabkan motivasi para khalifah dan perdana menteri Abbasiyah, sehingga bermunculan kelompok para kaligrafer yang jenius. Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya ad-Dahhak Ibnu Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As Shaffah (750-754 M), dan Ishaq Ibnu Muhammad pada masa Khalifah al Manshur (754-775 M) dan al Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Suluts dan Sulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.73 Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad Ibnu As Simsimani dan Muhammad Ibnu Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan al-Mansub al-Faiq (huruf berstandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. 71 Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 66-67. http://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafi/ pada tanggal 08 Desember 2016. 73 Muhammad Husain Jaudi, Al-Fan al-„Araby al-Islami, h.169. 72 diakses 78 Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur‟an dan fragmen duniawi saja.74 Sementara itu di wilayah Islam bagian barat (Maghribi), yang mencakup negeri Arab dekat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol), pada abad pertengahan berkembang bentuk tulisan yang disebut khat Maghribi atau Kufi Barat, terdiri atas cabang khat Qairawani, Andalusi, Fasi dan Sudani. Disini, telah dikembangkan pula Sulus Andalusi dan Naskhi Andalusi. 2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kaligrafi Berkembang Pesat Selain eratnya kaitannya antara al-Qur‟an dan perkembangan gaya kaligrafi, ada beberapa faktor lain seperti tersedianya media penulisan, yang menyebabkan kaligrafi dapat berkembang pesat dan menyebar demikian merata di dunia Islam. Ditambah lagi dengan semangat yang menggebuh-gebuh yang ditunjukkan oleh umat Islam untuk belajar menulis dan kaligrafi. Selain dari halhal tersebut, adapun faktor-faktor yang mendukung perkembangan kaligrafi Arab sangat pesat setelah datangnya Islam. Faktor tersebut mencakup tiga hal pokok: Pertama, pengaruh ekspansi kekuasaan Islam. Setidaknya ada tiga hal berkaitan dengan ekspansi kekuasaan Islam, yang setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW segera meluas jauh ke luar jazirah Arabia. Tiga hal tersebut adalah urbanisasi besar-besaran ke wilayah baru, pertemuan budaya antara Islam dan budaya wilayah taklukan, dan proses arabisasi pada wilayah tersebut. Pada masa Daulah Umayyah, wilayah taklukan Islam ke timur telah mencapai perbatasan Cina dan India, sementara ke barat mencapai wilayah tepian Atlantik. Penaklukan wilayah ini segera diikuti oleh pengaturan administrasinya. Pada tahun 50 H/670 M misalnya, Umayyah mendirikan kota Qairawan (di Tunisia sekarang), sebuah perkemahan permanen sebagai pertahanan. Pendirian kota seperti ini segera terjadi di berbagai wilayah taklukan lain pada abad berikutnya. Pada masa Umayyah misalnya, sebagai akibat perluasan wilayah taklukan, terjadilah mobilitas sosial dalam masyarakat Islam. Karenanya masyarakat Islam selama 50 tahun pertama dikenal sebagai masyarakat yang sangat dinamis, secara 74 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 94-95. 79 sosial maupun geografis. Orang Arab yang berasal dari Jazirah Arabia menjadi komunitas yang paling banyak berpindah. Mereka berurbanisasi ke wilayah yang jauh, seperti Suriah, Mesir, Afrika utara, Mesopotamia atau ke Khurasan (Iran). Migrasi dan urbanisasi itu mau tak mau juga melibatkan kaum seniman dan budayawan muslim, memungkinkan terjadinya pertemuan budaya antara Arab (Islam) dan wilayah pusat kebudayaan seperti Mesopotamia, Bizantium, dan Persia. Hal ini berpengaruh besar bagi kekayaan dan kemajuan seni Islam. Satu hal yang tidak mungkin dikesampingkan dalam proses ini adalah arabisasi wilayah taklukan. Pada awal sejarah Islam, Daulah Umayyah merupakan pemerintahan yang menerapkan kebijakan administratifnya berdasarkan ide-ide kearaban. Ini mengakibatkan meluasnya pemakaian bahasa Arab dalam wilayah taklukan. Proses yang didukung oleh pemerintahan selanjutnya ini membawa bahasa Arab bukan saja sebagai bahasa liturgis, namun juga sekaligus kultural. Bahasa Arab akhirnya menjadi bahasa akademik dan kesusastraan. Di pihak lain, huruf Arab pun kemudian menjadi huruf untuk bahasa non-Arab, seperti bahasa Parsi, Urdu, Turki dan Melayu (Jawi). Kedua fenomena terakhir, berkenaan dengan pemakaian bahasa dan huruf Arab yang membawa pengaruh kuat dalam perkembangan kaligrafi, memunculkan beragam gaya dan teknik penulisan. Bahkan tidak jarang wilayah yang berbeda memunculkan model huruf yang berbeda pula, karena pengaruh corak budaya lokal. Kedua, peranan raja dan elit sosial. Pesatnya perkembangan kaligrafi Islam sangat erat kaitannya dengan dukungan dan fasilitas yang diberikan oleh raja dan kaun elite sosial, yang memungkinkan seniman muslim mengembangkan kreativitasnya. Dari catatan sejarah didapatkan banyak bukti tentang hal ini. Diceritakan bahwa gaya tulisan Tumar (lembaran halus daun pohon Tumar) diciptakan atas perintah langsung Khalifah Mu'awiyah (40 H/661 M-60 H/680 M). gaya ini kemudian menjadi tulisan resmi pemerintahan Daulah Umayyah. Pada masa Daulah Abbasiyah dan pemerintahan berikutnya, perhatian istimewa terhadap kaligrafi semakin kuat. Kitab al Fihrist karangan an Nadim (abad ke-10), sebuah karya monumental ensiklopedis yang pantas dijuluki rekaman peradaban 80 dalam arti sesungguhnya, menunjukkan hal ini. An-Nadim menyebutkan bahwa masa pemerintahan Khalifah Ma'mun (197 H/813 M-218 H/833 M) merupakan kulminasi perkembangan kaligrafi. Para penulis di masa itu aktif dalam memperindah huruf Arab. Dukungan pihak istana terhadap pertumbuhan kaligrafi terus berlanjut pada kurun berikutnya di berbagai wilayah dunia Islam. Beberapa sultan Daulah Usmani di Turki dikenal sebagai ahli kaligrafi. Mereka bahkan tak segan belajar kaligrafi kepada penulis istananya. Kemudian pembukaan kota besar sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Islam membawa pengaruh bagi tumbuhnya kaum elite tertentu di masyarakat. Ditunjang oleh berbagai pengaruh, baik pengaruh ekonomi (perdagangan) maupun kontak budaya, kaum elite sosial ini mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap karya seni. Benda seni seperti keramik bertuliskan kaligrafi, misalnya, sangat disukai oleh kaum ini. Pada masa itu muncul pengrajin non-muslim berkebangsaan Yunani dan Koptik, serta terdapat pula pengaruh produksi benda seni dari Cina. Ketiga, pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan. Minat terhadap ilmu pengetahuan yang telah tumbuh sejak masa Daulah Umayyah mengalami perkembangan luar biasa pada masa berikutnya. Pada masa ini kertas telah ada yang dikenalkan oleh orang Arab dari Cina di Samarkand pada tahun 133 H/751 M. Seiring dengan munculnya kertas, maka berkembang pula kreasi manusia yang lebih leluasa. Pemakaian kertas segera meluas ke berbagai kota Islam dan merupakan salah satu sebab utama perkembangan tulisan kursif ornamental. Gaya kaligrafi yang telah ada sebelumnya seperti Tumar, Jalil, Nisf, dan Sulus yang betapa pun masih sangat sederhana, segera berkembang menjadi lebih halus, seperti Khafif as Sulus, Khafif as Sulusain, dan Ri'asi. Tak lama kemudian muncul gaya lain yang dikenal sebagai enam gaya pokok kaligrafi awal (al-Aqlam asSittah) yaitu Sulus, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa', dan Tauqi'.75 Seiring dengan berkembangnya zaman, aneka gaya kaligrafi juga mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai pola dan bentuk serta media. Hal ini ditandai dengan munculnya trend-trend dalam kaligrafi 75 Didin Sirojuddin AR,"Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 293-295. 81 kontemporer di dunia muslim, seperti tradisional, figural, ekspresionis, simbolis dan abstraksionis murni.76 3. Kaligrafi Arab pada beberapa media Al-Qur‟an merupakan mata rantai penghubung antara tulisan Arab dengan Islam. Maka, menjaganya walau setitik kesalahan adalah wajib. Demi untuk keagungan kitab suci ini, ayat-ayat dituangkan dalam bahasa keindahan yang tersimbol dalam kaligrafi pada ribuan bahkan jutaan lembar kertas, kanvas, kayu, marmer, kaca dan lain-lain. Keindahan kaligrafi sudah seharusnya menghiasi seuruh karya seni bahkan segala perabotan yang serba Islami. Begitu juga dengan banyaknya karya-karya kaligrafer yang tertuang di atas kanvas, interior masjid yang oleh kaligrafi Arab. Kegunaan kaligrafi tidak hanya digunakan untuk menulis ayat-ayat alQur‟an, tetapi sejarah perkembangan kaligafi Arab digunakan dibeberapa media yang perannya sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Semarak penggunaan kaligrafi di beberapa media sudah mulai diusung dari masa Khulafa al-Rasyidin, kekhalifah Umayyah dengan adanya koin, dan dekorasi masjid pertama kali, dan selanjutnya pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah yang menjadi masa keemasannya Islam. Penggunaan kaligrafi banyak dijumpai dibeberapa media seperti kiswah Ka‟bah, koin, mihrab masjid, kubah masjid, menara masjid, bejana atau guci, dan lain sebagainya. A. Kiswah Ka’bah Satu kiswah (baju penutup) Ka‟bah ditaksir berharga sekitar 5 juta real Saudi (di rupiahkan mencapai 1 milyar). Dibuat sekali setahun, tercatat sejak tahun 1966 sampai 1980, Ka‟bah sudah mengalami 20 kali ganti kiswah. Menghiasi Ka‟bah dengan kain sutera pertama kali adalah bangsa Himyar (Hameir), dua abad sebelum Hijriyah. Selanjutnya usaha itu dilanjutkan dan diteruskan ole suku Qureisy yaitu Ummu Abbas bin Abdil Mutalliblah. Pada masa nabi Muhammad sampai Khulafa al-Rasyidin tercatat tidak pernah melakukan perobakan dan penggantian kiswa Ka‟bah. Kemudian pada masa dinasti Umayyah 76 Ismail Raji al-Faruqi dan al-Faruqi Lois Lamya, Atlas Budya Islam,h. 402. 82 pernah melakukan pergantian kiswah Ka‟bah dua kali dalam setahun. Barulah pada masa dinasti Abbasiyah hal ini dipandang serius, pada masa pemerintahan al-Makmun adalah yang mula-mula membuat kiswah dari sutera putih dan hiasan kaligrafi, dan kiswah Ka‟bah beberapa kali mengalami pergantian warna, mulai dari warna putih, kuning, hijau, dan hitam-lah yang belaku hingga sekarang ini dan dihiasi kaligrafi berwarna emas.77 B. Dekorasi Masjid Dalam dunia arsitektur, kaligrafi menghiasi situs-situs Islam yang tersuci sekalipun. The Dome of the Rock Yerussalem, merupakan sala satu prasasti tertua yang pernah ada, di tulis dalam mosaik pada tahun 692 M. 78 Bentuk mihrab tampaknya diperkenalkan pada awal abad ke-8 M. tujuannya untuk menunjukkan arah Kiblat. Ketika masa pemerintahan khalifah al-Walid (705-715 M) kemudian melakukan renovasi pada bagian mihrab masjid menghiasnya dengan kaligrafi Arab dan ornamen Islami. Pengguanan kaligrafi mulai semarak dituliskan di dinding, kubah dan menara masjid.79 Sesungguhnya dunia semenjak zaman dinasti Umayyah sampai sekarang ini dan terbentang dari timur sampai ke barat, seakan-akan ditaburi oleh masjid-masjid yang indah dan menakjubkan dengan hiasan-hiasan ornamen dan kaligrafi Arab dengan pesan-pesan ayat-ayat al-Qur‟an. Keindahan yang di miliki oleh masjid Mekkah, masjid Madinah, masjid Damsyik, masjid Yerussalem, masjid Cordova, dan sebagainya, merupakan bukti nyata bagaimana tingginya seni bangunan dan artistik Islam.80 Pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masjid dihias dengan ukiran kaligrafi dari emas dan perak, sebagaiman yang ada sekarang ini di masjid Yerussalem (The Dome of the Rock) Kubah Batu. Sekitar 100.000 koin emas dilelehkan dan gunakan untuk melapisi eksterior kubah masjid tersebut. Sedangkan ektrerior luar diahiasi dengan ubin atau marmer yang benuasa 77 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 178-182. http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/08/16obzoca394-bagaimana-senikaligrafi-muncul-dalam-dunia-islam diakses pada tanggal 07 Desember 2016. 79 Moya Carey, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, terj. Budi Sulistiono (Jakarta: Penerbit Erlangga, tth), h. 22-23. 80 http://www.lemka.net/ diakses pada tanggal 07 Desember 2016 78 83 kaligrafi jenis Tsulus. Di sekeliling dinding dalam, terdapat mozaik emas, sepanjang 240 m, dengan tulisan Kufi yang menyatakan pesan-pesan Islami.81 C. Koin Islam Sekitar tahun 696-698 M, mata uang atau koin Islam direformasi oleh Khalifah Umayyah, Abdul Malik, yang juga membangun The Dome of the Rock di Yerussalem. Standar baru ditetapkan untuk koin, dan semua citra figuratif digantikan oleh pesan-pesan Islam yang ditulis dengan kaligrafi Arab jenis Kufi. Tujuan epigraf-epigraf ini adalah mengingatkan semua rakyat wilayah taklukan akan keberhasilan Islam. Koin-koin itu dihiasi pernyataan-pernyataan doktrinal, misalnya Laa Ilaaha Illallah, wa Muhammad Rasulullah. Dan itu berlangsung selama ratusan tahun selama masa pemerintahan dinasti Umayyah, dan juga oleh dinasti Abbasiyah yang menggantikan Umayyah. Nama khalifah yang memerintah biasanya tidak dicetak pada koin. Namun, sejak era pemerintahan Abbasiyah dimulai dari koin-koin yang diterbitkan oleh khalifah al-Mahdi (775-785 M), mulai mencetakkan nama khalifah yang memerintah pada koin Abbasiyah.82 Cetakan mata uang Dirham, baik yang dikerjakan pada Khuafa arRasyidin, khalifah Umayyah dan khalifah Abbasiyah maupun masa kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol), umumnya menggunakan kaligrafi Kufi di berbagai media. Di Afrika Utara, mata uang yang dibuat pada penghujung abad pertama Hijriyah dicetak dalam gaya tulisan Kufi dengan menggunakan tiga bahas sekaligus: Arab, Spanyol, dan Sisilia. Seluruh mata uang Dirham yang dibuat oleh Muslim, sejak abad pertama Hijriyah hinggan penaklukan Islam terhadap beberpa wilayah, baik Persia dan Romawi, maupun Afrika dan Andalusia, adalah merupakan mata-mata uang atau koin yang bercapkan Islam dan mengandung simbol-simbol sejarah, catatan peribahasa, nama khalifah, kalimat Tauhid, dan tarikh-tarikh agama. Banyak mata uang yang ditulis dengan huruf Arab dan latin sekaligus.83 81 Moya Carey, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, h. 50-51. Moya Carey, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, h. 49. 83 Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 51-52. 82 84 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, bahwa penelitian dengan judul, Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab Pada Masa praIslam sampai Kodifikasi al-Qur’an (250-940 M). Maka penulis menemukan dan mendapatkan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini, diantara: Sejarah perkembangan tulisan Arab dapat dilacak dan dilihat dari beberapa temuan yang ditemukan oleh beberapa ahli arkeologi berupa inskripsi-inskripsi yang ditemukan dikawasan atau jazirah Arabia. Perkembangan tulisan Arab sebelum datangnya Islam sangatlah lamban. Tulisan yang berkembang pada masa itu hanya ada dua jenis, yaitu: Nabathi dan Musnad. Dan kedua jenis tulisan tersebut berakar dari tulisan Mesir Kuno (Hierogliph). Adapun peranan tulisan dalam peradaban Arab pra-Islam sangatlah sentral dan penting dalam kehidupan dan peradaban Arab meskipun bangsa Arab pra-Islam terkenal dengan kejahiliyaannya dalam ilmu pengetahuan, namun mereka sudah mengenal tradisi tulisan sejak tahun 250 M, ini dikuatkan dengan adanya temuan inskripsi Umm alJimal. Disamping itu juga adanya tradisi Mu’allaqat yang digelar setiap tahun pada bulan Zulqaidah, tercatat tradisi ini sudah ada sejak tahun 540 M. Dan dalam keseharian-pun bangsa Arab pra-Islam sudah menggunakan dan mengenal tulisan karena kegemaran bangsa Arab yang melakukan perniagaan dan hubungan dagang ke berbagai wilayah, adapun guna tulisan sebagai bukti transaksi. Sejak awal mula diwahyukan al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw, tradisi hafalan-lah yang digunakan untuk menyimpan ayat-ayat al-Qur’an. Selanjutnya pada masa Khulafa ar-Rasyidin tradisi menuliskan ayat-ayat alQur’an mulai digunakan, guna melestarikan dan menjaga ayat-ayat al-Qur’an dari kekeliruan dan kepunahan. Ini disebabkan oleh beberapa kejadian dan peristiwa yang merugikan umat Islam. Selanjutnya hal ini dipandang serius oleh khalifa Utsman bin Affan kemudian melakukan kodifikasi al-Qur’an dan menyusunnya 85 kedalam satu mushaf dan menunjuk Zaid bin Tsabit dan lain-lainnya sebagai pelaksana, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Kemudian mushaf tersebut disempurnakan oleh beberapa khalifa yang memerintah pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah. Adapun jenis tulisan yang berkembang dan yang gunakan pada masa itu adalah bentuk tulisan yang dominan adalah jenis khat Hieri kemudian menjadi khat Kufi (merujuk kepada kota Kufah yang didirikan pada tahun 640 M). Barulah pada masa Abbasiyah al-Qur’an dituliskan dan kodifikasikan secara rapi diatas kertas sekitar tahun 133 H/751 M, yang dikenalkan oleh orang Arab dari Cina di Samarkand. Pada masa awal Islam penggunaan khat Kufi masih dominan sampai masa pemerintahan awal dinasti Abbasiyah. Dalam perkembangannya, khat Kufi mengalami berbagai variasi dan bentuk. Kemudian dikenal-lah jenis-jenis seperti Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (berlilit-berikatan) dan lain-lain. Sementara itu di wilayah Islam bagian barat (Maghribi), yang mencakup negeri Arab dekat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol), pada abad pertengahan berkembang bentuk tulisan yang disebut khat Maghribi atau Kufi Barat, terdiri atas cabang khat Qairawani, Andalusi, Fasi dan Sudani. Disini, telah dikembangkan pula Sulus Andalusi dan Naskhi Andalusi. Peranannya cukup sentral dalam berbagai aktivitas masyarakat Arab di awal Islam, terutama untuk penulisan al-Qur’an, catatan perdagangan, surat-menyurat, dan bentuk dokumentasi lainnya. Hal demikian terus berlanjut sampai pada saat pola-pola mabsuth yang kaku telah menjenuhkan, sebaliknya bentuk mudawwar (kursif) yang lebih elastis dan fleksibel diminati. Semenjak itu, dominasi khat Kufi tergeser dan bermunculan-lah gaya dan corak baru yang dikreasikan para kaligrafer pembaharu. Setelah temuan rumus dari Ibnu Muqlah (al-Khath al-Mansub), ditambah dengan perkembangan keberagaman media tulis seperti kertas dan pena, perkembangan kaligrafi Arab pada masa dinasti Abbasiyah berkembang pesat. Meluas dan menyebarnya pemakaian kertas ke berbagai kota Islam dan merupakan salah satu sebab utama perkembangan tulisan kursif atau kaligrafi Arab. Selanjunya usaha yang dirintis oleh Ibnu Muqlah diteruskan oleh murid-muridnya hingga kita bisa mengenal delapan jenis 86 kaligrafi standar dewasa ini; Naskhi, Tsuluts, Riq’a, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Rayhani, dan yang tertua adalah Kufi. B. Saran-saran Dalam penelitian yang penulis lakukan banyak sekali penulis mendapatkan kendala dan halangan, baik dalam mencari sumber dan data yang sesuai dengan judul yang penulis angkat. Namun, tidak membuat patah semangat penulis dalam menyelesaikan dan melakukan penelitian ini. Adapun kesempurnaan tulisan dan penelitian tidak bisa lepas dari kritikan dan saran pembaca. Dan penulispun memahahi dan menyadari betul akan kekurangan tulisan dan penelitian ini. Oleh sebab itu, kedepannya dan selanjutnya penulis berharap akan ada muncul sejarawan atau ide-ide untuk terus menggali dan melakukan penelitian dan memahami sejarah Islam khususnya kajian dan konsentrasi sejarah di kawasan Timur Tengah. Saran dari penulis, ada penulis yang meneruskan penelitian tentang kajian sejarah Islam tentang kesenian dan kebudayaan Islam, terutama tentang Kaligrafi Arab dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan Islam yang dulunya berjaya dan mencapai masa keemasan. Kebanyakan penelitian dan kajian tentang sejarah Islam sangat minim dan sedikit yang membahas tentang hal ini. Karena menurut penulis sangat menarik dan penting untuk dibahas dan dikaji tentang kesenian dan kebudayaan Islam yang dulunya pernah menjadi bukti peradaban dan masih berkembang hingga saat ini. 99 DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku: Abdurrahman, Emsoe dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Story of AlQur’an, Bandung: Salamadani, 2009. Adonis, Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibda’ wa al-Itba ‘inda al-Arab, diterjemahkan oleh Khairon Nahdiyyin, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Yogyakarta: LKiS, 2009, jilid ke-4. Al-A’zami, M. Mustafa, Hadist Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1994. ___________________, Sejarah Teks al-Qur’an dan Wahyu sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2014. al-Baba, Kamil, Ruh Al Khath Al ‘Arabi (The Spirit of Arabic Calligraphy). Bairut: Dar Lubnan Publishers, 1983. diterjemahkan oleh Didin Sirojuddin AR. Dinamika Kaligrafi Islam. Jakarta: Darul Ulum Press, 1992. Atthar, Dawud al-, Persepektif Baru Ilmu al-Qur’an, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. Faruqi, Ismail Raji al-, dan al-Faruqi Lois Lamnya, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 1998. Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Quran. Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, 2013. Amin, Ahmad, Fadjar Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. Aziz, Abdul, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011. Bell, Richard, Pengantar Qur’an, diterjemahkan oleh Lillian D. Tedjashudana, Jakarta: INIS, 1998. Carey, Moya, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, diterjemahkan oleh Budi Sulistiono, Jakarta: Penerbit Erlangga, tth. Fadha’ili, Habibullah, Athlas al-Khat wa al-Khututh, diterjemahkan oleh Muhammad al-Tunji, Syiria: Dar Thalas li al-Diasat wa al-Tarjamah wa alNasyr, 1993. Haourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, diterjemahkan oleh Irfan Abubakar, Bandung: Mizan, 2004. 100 Hitti, Philip K., History of the Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, Jakarta: Serambi, 2002. ____________, The Arabs a Short History, diterjemahkan oleh Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, Dunia Arab Sedjarah Ringkas, Bandung: Sumur Bandung, 1970. Husain, Abdul Karim, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985. Ibyariy, Ibrahim al-, Pengenalan Sejarah al-Qur’an, terjemahan Saad Abdul Wahid, Jakarta: Rajawali Press, 1995, Cetakan ke-3. Ilham, Andri, Puisi Arab dan Protes Sosial; Kajian atas Puisi Pinggiran Sa‘alik pra-Islam. Jakarta: Transpustaka, 2016. Israr, C., Dari Teks Klasik Sampai ke Kaligrafi Arab. Jakarta: Yayasan Masagung, 1985. Jaudi, Muhammad Husain, al-Fan al-‘Araby al-Islami, Oman: Dar alMasirah,1998. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Pusat Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008, edisi ke-4. Khoiri R, Ilham, Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab. Jakarta: Logos, 1999. Ma’rifat, Muhammad Hadi, Sejarah al-Qur’an, diterjemahkan oleh Thoha Musawwa, Jakarta: Penerbit al-Huda, 2007. Mahasin, Aswab, (Ed.) Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep Estetika, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996. Muzakki, Ahmad, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006. Nasr, Seyyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam. terj. Sutejo, Bandung: Mizan, 1993. Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan. 1995. Pedersen, J., Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1996. Safadi, Y. M., Islamic Calligraphy, London: Thumes and Hudson, 1978. Shabunie, Moh. Ali ash-, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. 101 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994. Cetakan ke-4. ________________, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Sirojuddin, AR., Didin, Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1987. __________________,“Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Situmorang, Oloan, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya Bandung: Angkasa, 1993. Yatim, Badri, Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008. Jurnal, Katalog dan Majalah: Sirojuddin AR., Didin, “Al-Qur’an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur’an, Vol. 1, 1989/1410 H. Akbar, Ali, “Kaligrafi Murni: Catatan Ringkas tentang Perkembangan GayaGaya” Katalog Pemenang Sayembara Kaligrafi Festival Istiqlal II, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1995. Internet: http://www.lemka.net/2011/02/khat-kufi_01.html?m=1 Diakses pada tanggal 14 November 2016. http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/08/16obzoca394bagaimana-seni-kaligrafi-muncul-dalam-dunia-islam Diakses pada tanggal 07 Desember 2016. http://www.robians.com/2013/12/ibnu-muqlah-abad-ke-9-10-masehi.html?m=1 Diakses pada tanggal 07 Desember 2016. http://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafi/ Diakses pada tanggal 08 Desember 2016. 87 LAMPIRAN-LAMPIRAN Peta perkembangan dan perjalanan kaligrafi Arab menurut buku Didin Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam. 88 Peta perkembangan dan perjalanan kaligrafi Arab menurut buku M. Mustafa al-A’zami. Sejarah Teks al-Qur’an dan Wahyu sampai Kompilasi. 89 Perkembangan tulisan Arab menurut Didin Sirojudin AR, dalam bukunya Seni Kaligrafi Islam.. 90 Khat Kufi pada tulisan al-Qur’an diperkirakan masa awal Islam, yang belum memiliki tanda baca dan tanda titik untuk membedakan antar huruf. 91 Khat Kufi dalam Mushaf yag dituliskan pada masa pemerintahan dinasti Umayyah di awal abad pertama Hijriyah hingga abad ketiga Hijriyah, yang sudah bertanda baca berupa titik-titik berwarna. 92 Jenis tulisan Kursif yaitu khat Tsulus mulai berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah, sekitar abad ke-9 dan ke-10 Masehi, tulisan ini menggeser dominasi khat Kufi. Yang sudah dilengkapi tanda baca berupa harokat dan tanda titik pemisah antar huruf satu dengan yang lainnya. Tulisan ini dipopulerkan oleh Ibnu Muqlah. 93 Kiswah Ka’bah yang dirajut dengan benang emas dan mengalami pergantian setiap tahunnya. Dan tradisi ini mulai dikembangkan pada masa dinasti Umayyah. Tampak jelas kaligrafi jenis Tsulus yang mendominasi hiasan seluruh Kiswah Ka’bah. 94 Tampak Luar dekorasi Masjid Kubah Batu Yerussalem (The Dome of The Rock). Berhias kaligrafi dari keramik yang mengelilingi seluruh masjid. 95 Masjid Umayyah yang ada di Damaskus, atau yang lebih dikenal dengan nama masjid Damsyiq. Dihias indah dengan nuansa kaligrafi, mulai dari Mihrab hingga ke seluruh tembok masjid. 96 Mata uang atau koin emas Islam pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, yaitu pada masa kekuasaan Abd al-Malik 697 M. Mata uang atau koin emas Islam atau yang dikenal dengan Dinar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa kekuasaan al-Mansur 752-753 M. Bentuk mata uang atau koin emas yang berkembang di kawasan Magribi, mencangkup daerah Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Libya hingga ke Spanyol. diperkirakan sekitar abad ke-10 Masehi. 97 Khat Naskhi Khat Tsulus Khat Riq’a Khat Diwani 98 Khat Diwani Jali Khat Farisi Khat Kufi