SEJARAH PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA PRA

advertisement
SEJARAH PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB
PADA MASA PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR’AN
(250-940 M)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
Alan Zuhri
1111022000058
KONSENTRASI TIMUR TENGAH
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripisi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu, di
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Februari 2017
Alan Zuhri
ii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab pada masa praIslam sampai Kodifikasi Al-Qur’an 250-940 M, berusaha dan mencoba untuk
mendalami dan mengkaji tentang seni Islam yaitu kaligrafi Arab yang sudah
berkembang sejak awal datangnya Islam atau lebih spesifiknya lagi semenjak adanya
kitab suci al-Qur’an dan memiliki relasi dengan perkembangan kaligrafi Arab.
Temuan berupa beberapa inskripsi kuno semakin menguatkan bahwa kaligrafi Arab
juga sudah dikenal sebelum adanya Islam. Kaligrafi Arab yang berkembang dari
tulisan Mesir Kuno (Hierogliph) jauh sebelum datangnya Islam. Pada masa pra-Islam
tradisi tulis-menulis merupakan hal yang langka yang dilakukan oleh bangsa Arab
kuno, dominannya tradisi hafalan membuat tradisi tulisan tidak berkembang di
kawasan Arabia.
Pada awal Islam-pun tradisi hafalan masih sangat dominan dikalangan kaum
Muslim, hingga terjadi beberapa tragedi yang merugi umat Islam akibat peperangan
melawan kaum Quraish dan musuh Islam. Kemudian disepakatilah penulisan dan
penyalinan yang dihafalkan oleh para sahabat ke dalam tulisan pada masa Abu Bakar
as-Siddiq, kemudian hal ini dilanjutkan oleh Utsman bin Affan guna menyeragamkan
bacaan al-Qur’an kaum Muslim dan dikenal dengan Mushaf Utsmani. Selanjutnya
perkembangan kaligrafi Arab pada masa kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah
menggeser dominasi kaligrafi jenis kufi yang kaku, dan mempopulerkan jenis cursif
yaitu jenis tulisan dengan gaya miring, yang dipelopori oleh tokoh kenamaan
kaligrafi Arab ialah Ibnu Muqlah yang telah merumuskan kaidah-kaidah penulisan
kaligrafi Arab.
Keyword : Perkembangan, kaligrafi Arab, awal Islam, dan Kodifikasi al-Qur’an
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
kebesaran dan karunia-Nya yang telah menciptakan bumi dan alam semesta beserta
seluruh isinya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita para umatnya sampai akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab pada masa
pra-Islam sampai Kodifikasi al-Qur’an tahun 250 sampai 940 M.” ditulis dalam
konteks untuk menyelesaikan studi Strata (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora,
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya penulis banyak mendapatkan
hambatan dan tantangan. Namun, berkat usaha dan bantuan serta kerja sama yang
penulis dapatkan dari berbagai pihak, baik itu dukungan materil maupun nonmaterial,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis
berterima kasih kepada mereka yang telah membantu, membimbing, memotivasi dan
menemani penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Berkaitan dengan penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaiora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris
Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jurusan Sejarah dan
iv
5. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, M.A, selaku dosen pembimbing yang dengan
tekun membaca dan memberi kritikan dan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
6. Dr. H. Didin Sirojuddin AR, M.Ag, selaku penguji I, dan para guru-guru
(ustadz), yang sudah banyak memberikan dan membagikan ilmunya, baik
dalam diskusi-diskusi kecil dan kajian-kajian kitab. Dan segenap keluarga
besar dan teman-teman LEMKA Ciputat dan LEMKA Sukabumi yang tidak
dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu yang sudah berjuang bersamasama dalam mempelajari dan mencari pembahasan yang berkaitan dengan
skripsi ini.
7. Dr. Hj. Tati Hartimah, M.A, selaku penguji II yang sudah banyak memberikan
dan mengajarkan bagaimana penulisan karya yang baik, yaitu berupa masukan
dan saran-saran dalam penulisan skripsi ini.
8. Drs. Azhar Sholeh, M.A, selaku dosen Pembimbing Akademik, yang selalu
memberikan arahan serta motivasi dalam belajar.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya dosen-dosen
Jurusan SKI yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama penulis
mengikuti perkuliahan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
10. Orang tua tercinta: ayahku Saifuddin Suhri, dan ibuku Sabariah
dan
keluarga-keluargaku yang ada di Sumbawa, yang telah mengasuh, mendidik,
membimbing dengan sabar dan penuh kasih sayang, dan banyak berkorban
demi kemajuan penulis, serta senantiasa memberikan semangat dan
mendoakan dan banyak sekali. Dan untuk adikku Ihzan Yusril Zuhri yang
sedang menempuh pendidikannya di pesantren.
11. Adinda Inultya bagaikan alarm terindah yang selalu tepat waktu
mengingatkan dan memberikan motivasi kepada penulis di setiap saat, dan
dikala penulis merasakan jenuh dan bimbang dalam penulisan skripsi ini.
12. Kawan kosan Borju di Semanggi I, yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu, terima kasih atas kontribusinya.
v
13. Sahabat-sahabat SKI angkatan 2011. Khususnya Sahabat SEKOTTENG 2011
(Sejarah Konsentrasi Timur Tengah), yang selama ini telah bersama-sama
memberikan dan menciptakan kenangan terindah yang tidak akan terlupakan
oleh penulis. Dan satu persatu dari kalian mulai mendapatkan gelar S. Hum,
dan melepas status mahasiswa kalian di kampus ini.
14. Dan teruntuk sahabat-sahabat seperjuangan ku yang tidak pernah lelah dalam
menyelesaikan tugas akhir; Husen, Sufyan Syafi’i, Ulfa az-Zahra dan Wilda
Eka Safitri. Yang selalu memotivasi satu sama lainnya agar kelak dapat
menggunakan togah secara bersamaan.
15. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Adab dan Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka
penulisan skripsi ini.
16. Seluruh civitas Akademika dan Staf Akademik Fakultas Adab dan
Humaniora.
Demikian ucapan terima kasih dan rasa syukur penulis yang tak seberapa jika
dibandingkan dengan bantuan dan motivasi yang telah mereka berikan. Semoga
segala jerih payah dan kerelaan mereka mendapat pahala dan ganjaran yang lebih
baik dari Allah swt.
Ciputat, Maret 2017
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan.............................................................................................. i
Abstrak ............................................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................................. iii
Daftar Isi............................................................................................................ vi
BAB I: PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 8
D. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
E. Manfaat Penelitian ................................................................................. 9
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 9
G. Kerangka Teori..................................................................................... 10
H. Metode Penelitian................................................................................. 12
I. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II: TRADISI BANGSA ARAB DAN KALIGRAFI ............................... 15
A. Tradisi Bangsa Arab ............................................................................. 15
B. Huruf dan Abjad Arab .......................................................................... 20
C. Pengertian Kaligrafi Arab .................................................................... 22
D. Asal-Usul Kaligrafi Arab ...................................................................... 25
BAB III: PENULISAN DAN KODIFIKASI AL-QUR’AN ............................ 30
A. Penulisan al-Qur’an pada masa Rasulullah .......................................... 31
B. Pengumpulan dan penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar
as-Siddiq............................................................................................... 34
C. Penulisan dan penghimpunan al-Qur’an pada masa Utsman bin
Affan .................................................................................................... 37
D. Penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa dinasti
Umayyah .............................................................................................. 41
E. Penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa dinasti
Abbasiyah ............................................................................................. 44
vii
BAB IV: PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA
PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR’AN (250-940 M) ....... 46
A. Sejarah kemunculan kaligrafi Arab dan perkembangannya................ 46
1. Tulisan Musnad dan Nabathi ............................................................ 49
2. Corak Kaligrafi Awal ........................................................................ 51
a. Jenis Mabsuth wa Mustaqim ......................................................... 51
b. Jenis Muqawwar wa Mudawwar................................................... 52
3. Peranan Kaligrafi Arab pada masa pra-Islam .................................. 53
a. Dokumentasi dan Inskripsi Arab kuno ......................................... 53
b. Tradisi Mu’allaqat ....................................................................... 57
B. Penulisan dan Kodifikasi al-Qur’an ...................................................... 60
1. Motivasi Normatif tradisi penulisan................................................ 61
2. Mushaf Utsmani .............................................................................. 63
3. Khat Kufi dalam penulisan al-Qur’an ............................................. 66
4. Tanda Baca ...................................................................................... 68
C. Perkembangan kaligrafi Arab setelah datangnya Islam ....................... 70
1. Ibnu Muqlah dan rumusan kaligrafi Arab dan lahirnya al-Khath
al-Mansub dan perkembangan kaligrafi Arab pada masa dinasti
Abbasiyah ........................................................................................ 74
2. Faktor-faktor yang menyebabkan kaligrafi berkembang pesat ....... 78
3. Kaligrafi Arab pada beberapa media............................................... 81
a. Kiswah Ka’bah .......................................................................... 81
b. Dekorasi Masjid ........................................................................ 82
c. Koin Islam ................................................................................. 83
BAB V: PENUTUP .......................................................................................... 84
A. Kesimpulan ........................................................................................... 84
B. Saran ...................................................................................................... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara etimologi, kaligrafi berasal dari bahasa Inggris, calligraphy yang
berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu kallos: beauty (indah) dan
graphein: to write (menulis) yang berarti: tulisan yang indah atau seni tulisan
indah. Dalam bahasa Arab, biasa disebut khat yang berarti garis atau coretan pena
yang membentuk tulisan tangan.1 Dan disebut fann al-khath dalam arti seni
memperhalus tulisan atau memperbaiki coretan.2
Tulisan Arab atau yang disebut juga Khat, kaligrafi Arab merupakan
proses lanjutan dari tulisan hieroglyph3 melalui tulisan Phunisia. Ada berbagai
pendapat mengenai awal kelahiran tulisan Arab. Sebagian para ahli menganggap,
tulisan Arab merupakan pecahan dari akar tulisan Suryani, bersandarkan pada
adanya kemiripan bentuk huruf-huruf Suryani. Sementara itu, dari kalangan
Orientalis ada yang berpegang pada teori ilmuan Jerman Lidzbarsky, bahwa
alfabet Arab sebelum masa tumbuh Islam tumbuh dari Funisia.4
Diperkirakan seabad sebelum kedatangan Islam, orang Hejaz sudah
mengenal tulisan dan aksara. Hal ini dikarenakan hubungan dagang dan
perniagaan mereka dengan orang Arabia Utara dan Selatan yang sudah melek
huruf seperti suku Hunain di Yaman (tulisan Musnad) dan orang-orang di selatan
Palestina (tulisan Nabath). Mereka mengadakan perjalanan dan belajar baca-tulis
di Suriah, sedangkan yang lain di Anbar (Irak). Meskipun demikian di Hejaz,
1
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1987), h. 1.
Al-Mu‘jam al-Wajiz, (Majma„al-Lughah al-„Arabiyah, 1995), h. 203
3
Tulisan dan abjad Mesir Kuno, yang terdiri atas 700 gambar dan lambang dalam bentuk
manusia, hewan, atau benda; lambang tulisan (menyerupai gambar paku) yang bersifat rahasia atau
teka-teki yang sukar dibaca atau dipahami maknanya. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), edisi ke-4, h. 497.
4
Kamil al-Baba, Ruh al-Khat al-‘Arabi: The Spirit of Arabic Calligraphy (Beirut: Dar
Lubnan Publishers, 1983). Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kamil al-Baba,
Dinamika Kaligrafi Islam, terj. Didin Sirojuddin AR. (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), h. 9.
2
2
menurut para ahli sejarah, hanya ada beberapa orang yang pandai baca-tulis,
terdiri aats orang Quraisy, orang Madinah, khususnya orang Yahudi.5
Bangsa Arab kuno juga telah disifatkan sebagai bangsa penyair. Watak
seni mereka dituangkan dalam bentuk ungkapan bernuansa puitis dan sastra. Jika
bangsa Yunani mengekpresikan seni mereka dalam bentuk patung dan arsitektur,
bangsa Ibrani dalam bentuk lagu keagamaan (psalm), maka bangsa Arab
menuangkannya dalam bentuk syair (qasidah) sebagai bentuk ungkapan estetis.6
Menurut Didin Sirojuddin AR, sebuah keluarga atau kabilah (suku) merasa
lebih bangga mempunyai seorang penyair sebagai anggota keluarganya daripada
seorang panglima perang. Penyair-penyair ini sebagaimana kebanyakan penyair
lain, sangat ingin dikenang hingga ke anak cucunya, dan untuk mencapai kesitu
penyair harus memiliki dua orang murid yang diharapkan menghafal sajak-sajak
syairnya, dan kemudian diturunkan ke generasi selanjutnya. Mereka tidak suka
menulis sajak-sajak syair mereka, mereka lebih mengutamakan hafalan.7
Kemampuan menghafal, pada gilirannya menjadi tolak ukur dan
kemampuan ilmiah seseorang. Lebih parah lagi, seseorang yang bisa baca-tulis
dianggap lemah daya ingat (hafalan)-nya (dha if al-dzakirah) karena itu
kemampuan baca-tulis dianggap sebagai aib.8
Alkisah, penyair Arab yang bernama Zurrummah meminta kepada
seseorang yang mendapatinya sedang menulis, untuk tidak memberitahukan
kepada orang lain tentang kemampuan menulisnya. Zurrummah berkata: “Innahu
‘inda ‘aib” (sesungguhnya kemampuan baca-tulis di kalangan kami adalah aib).9
Orang-orang Arab terdahulu (sebelum datangnya Islam) merupakan
bangsa yang memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi perkembangan
tulisan. Tabiat-tabiat tersebut di antaranya; kehidupan mereka selalu berpindahpindah dari satu tempat ke tempat yang baru (nomaden), hidup bersuku-suku dan
5
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 9.
Philip K. Hitti, History of the Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, (Jakarta: Serambi,
2002), h. 112.
7
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 19.
8
Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi (Jakarta: Linus, 2013), h.5.
9
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 72.
6
3
rasa fanatisme kesukuan (‘ashobiyah), tidak memiliki budaya tulis-menulis, dan
mereka jauh dari pengetahuan secara umum.10
Faktor inilah yang membuat tulisan atau kaligrafi Arab tidak bertumbuh
dan berkembang. Pada masa pra-Islam hingga masa awal Islam, metode hafalan
yang masih cukup dominan di kalangan masyarakat Arab. Hanya ada beberapa
orang yang mempunyai keahlian menulis11, yang bertugas mencatat wahyu.
Menurut literatur Arab ada satu tradisi yang menguatkan bahwa bangsa
Arab sudah mengenal tulisan. Terbukti dengan ditemukannya suatu tradisi
tahunan pada masa pra-Islam yang disebut dengan Al-Mu’allaqat (gantungan)
tercatat kemunculannya sekitar abad ke-6 M, sebagai karya seni sastra yang indah
dan sempurna yang punya nama terhormat karena dituliskan dengan tinta emas
dan digantungkan pada dinding Ka‟bah. Tercatat hanya ada tujuh nama penyair
dan syair terbaik yang pernah digantungkan pada dinding Ka‟bah. Dikenal juga
dengan sebutan Muzahhabat (the seven odes). Adanya tradisi mu’allaqat besar
sekali pengaruhnya terhadap perkembangan kaligrafi Arab pada masa selanjutnya.
Karena mu’allaqat tersebut dituliskan dengan tulisan indah, yaitu dengan kaligrafi
Arab jenis Nabati yang kemudian berkembang menjadi jenis kaligrafi atau khat
Kufi.12
Juga ditemukan beberapa inskripsi kuno yang tertulis pada masa pra-Islam
dan setelah Islam. Di antaranya; inskripsi Umm Jimal (250-an M) di Suriah,
tertulis dengan kaligrafi Nabati Arabi, inskripsi Nammarah (328 M) di Suriah,
dituliskan dengan jenis kaligrafi atau tulisan Nabati Mutakhir, inskripsi Zabad
(511-512 M) di Aleppo Suriah, yang ditulis ke dalam tiga bahasa dan tiga jenis
tulisan (Yunani, Suryani, dan Nabati Mutakhir), inskripsi Harran (568-569 M) di
Harran Suriah, dan tertulis dengan kaligrafi hampir menyerupai jenis kaligrafi
Kufi, dan yang terakhir adalah inskripsi Umm Jimal II (pada abad ke-6 M) di
Suriah, inskripsi ini dituliskan dengan kaligrafi yang sudah mendekati kemiripan
10
Ilham Khoiri R,. Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 57-62.
Di antara mereka adalah Sa‟id bin Zuharah, al-Mundzir bin Amr, Ubay bin Wahhab, Zayd
bin Tsabit, Rafi‟ bin Malik dan Anas bin Khawli. Lihat Ilham Khoiri R, Al-Qur’an dan Kaligrafi,
h. 111.
12
C. Israr, Dari Teks Klasik Sampai Ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985),
h. 42.
11
4
dengan jenis kaligrafi atau khat kufi yang selanjutnya berkembang pada masa
awal Islam dan digunakan untuk menulis al-Qur‟an.13
Tulisan dan kaligrafi Arab mulai berkembang dan tumbuh sejak
kemunculan agama Islam di dataran Arab pada abad ke-6 M. Penggunaan tulisan
pertama pada masa Islam adalah digunakan sebagai pencatatan ayat atau wahyu
yang diterima Nabi.14 Ayat dan wahyu tersebut dituliskan di beberapa media,
seperti pada kulit binatang (ar-Riqa’), lempengan batu (al-Likhaf), tulang binatang
(al-Aktaf), dan pelepah kurma (al-‘Usbu).15
Barulah pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661 M), tepatnya pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan, tulisan-tulisan itu dikumpulkan ke dalam satu
mushaf16utuh yang disepakati, dan menjadi mushaf yang digunakan oleh umat
Islam hingga sekarang ini, pengumpulan dan penulisan al-Qur‟an yang dilakuakan
pada masa Utsman juga dikenal sebagai kodifikasi al-Qur‟an. Pada masa alQur‟an masih dalam proses pewahyuan, para sahabat masih menuliskannya pada
kepingan-kepingan tulang, pelepah kurma, kulit binatang atau pada batu. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa Utsman bin Affan pernah mengirimkan kepada
Ubay bin Ka‟ab sepotong tulang kambing yang ditulis di atasnya beberapa ayat alQur‟an.17
Pada masa Abu Bakar, akibat perang Riddah, perang melawan orangorang murtad dan nabi-nabi palsu, umat Islam kehilangan banyak penghafal alQur‟an. Merasa khawatir akan semakin berkurangnya para penghafal al-Qur‟an,
Umar kemudian meminta Abu Bakar untuk menuliskan kembali al-Qur‟an.
Puncaknya pada masa Ali bin Abi Thalib (w.661 M) dimana diciptakan syakl
13
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 31-36.
Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya (Bandung:
Angkasa, 1993), h. 65-66.
15
Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur’an (Bandung: Salamadani, 2009),
h. 38; Hal serupa juga diungkapkan oleh M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum
al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 83; C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke
Kaligrafi Arab, h. 47; Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 388.
16
Menurut beberapa pendapat, mushaf yang pertama adalah Mushaf Utsmani yang dibukukan
menjadi satu mushaf pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Lihat, C. Israr, Dari Teks Klasik
Sampai Ke Kaligrafi Arab, h. 49. Dan juga hal serupa dikemukakan oleh Didin Sirojuddin AR,
Seni Kaligrafi Islam, h. 61-62.
17
Hasbi ash-Shidiqi, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.83.
14
5
tanda baca pada tulisan al-Qur‟an. Menurut Kamil al-Baba, orang yang pertama
kali meletakkan konstruksi ilmu Nahwu dalam al-Qur‟an adalah Abu Al-Aswad
Al-Du‟ali atas perintah dari Ali Bin Abi Thalib.18
Perlu digarisbawahi disini, bahwa bentuk tulisan atau kaligrafi yang
digunakan pada masa awal Islam atau turunnya wahyu pertama pada masa nabi
Muhammad saw, yaitu dituliskan menggunakan hampir menyerupai khat atau
kaligrafi jenis Kufi, yang tidak memiliki tanda baca dan titik yang membedakan
setiap huruf-hurufnya. Begitu pula selanjutnya penggunaan khat Kufi masih
dominan pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah, sampai
Dinasti Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan khalifah al-Radi (934-940
M), mulai menggunakan jenis kaligrafi Arab cursif, yaitu khat atau kaligrafi
Naskhi yang diciptakan oleh Ibnu Muqlah (w. 940 M). Dan menjadi tulisan
standar al-Qur‟an hingga sekarang.
Menurut Ilham Khoiri,19 kajian-kajian tersebut dapat dikategorikan ke
dalam empat bagian. Pertama, kajian yang lebih melihat kaligrafi Arab sebagai
ekspresi kesenian atau kemahiran tulis-menulis. Yang menjadi sasaran utama
kelompok ini adalah memperkenalkan kaidah-kaidah penulisan sekaligus
memberikan
pelatihan
tentang
bagaimana
cara
mempelajari
dan
mempraktikkannya. Buku-buku yang dihasilkan tak lebih dari tuntunan tata-cara
menulis kaligrafi Arab.20 Kedua, kajian yang mengupas kaligrafi Arab dari sudut
normatif. Meski telah beranjak dari sekedar tuntunan menulis dan mulai masuk
dalam wacana keilmuan, tetapi ulasan-ulasannya masih bersifat normatif21 atau,
dalam beberapa kasus, bahkan mistis. Yang ditekankan adalah keutamaan
berkaligrafi dari nabi Adam a.s. dan Nabi-nabi terdahulu,22 yang semuanya sulit
dibuktikan secara ilmiah. Kecenderungan seperti ini dapat ditemukan dalam
18
Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Islam, h. 33.
Ilham Khoiri R., Al-Qur’an dan Kaligrafi, h. 5.
20
Sebagian besar buku-buku tersebut merujukan diri kepada buku utama yang memuat
kaidah-kaidah tulisan Arab, seperti karya Hasyim Muhammad al-Khathtat, Qowa’id al-Khat al‘Arabi, Baghdad: Wazarah al-Ma‟rif al-Iraqiyah, 1961.
21
Pengertian normatif di sini lebih mengacu pada apa yang dikedepankan oleh Jacques
Waardenburg yang membatasinya sebagai studi Islam yang menelaah aspek preskripsi-preskripsi,
norma-norma, dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk Al-Qur‟an. Lihat; Ilham
Khoiri R, Al-Qur’an dan Kaligrafi, h. 5-6.
22
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.5-6.
19
6
beberapa buku yang ditulis oleh sebagian seniman kaligrafi atau pengamat
Muslim. Ketiga, kajian yang berusaha mengupas kaligrafi Arab sebagai wacana
kebudayaan Islam yang aktual dan empiris. Tujuan disuguhkan secara ilmiah
melalui
pendekatan
social-historis,23
dengan
mengedepankan
data-data
kesejarahan beserta analisis sosial. Yang tercangkup dalam kategori ini adalah
para sarjana Barat dan sejumlah sejarawan Muslim modern. Keempat, kajian yang
mendalami kaligrafi Arab dari sudut estetika yang lebih menekankan pemahaman
tentang keindahan huruf-hurufnya yang sangat elastis sekaligus eksplosif.24
Namun ada suatu hal yang sama-sama selalu dikedepankan, yaitu; pengakuan
akan adanya keterkaitan antara kaligrafi Arab dengan al-Qur‟an. Lebih spesifik
lagi, hampir seluruh pengamat menyepakati bahwa al-Qur‟an memberi pengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan kaligrafi Arab.
Dari paparan di atas skripsi ini berupaya menelusuri sejarah perkembangan
tulisan Arab dalam kaitannnya dengan kaligrafi Arab. Penulis mencoba
menggunakan kajian ketiga seperti yang sudah diulas sebelumnya, yaitu dengan
berusaha mengupas kaligrafi Arab sebagai wacana kebudayaan Islam yang aktual
dan empiris. Tujuannya disuguhkan secara ilmiah melalui pendekatan socialhistoris, dengan mengedepankan data-data kesejarahan beserta analisis sosial.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah para sarjana Barat dan sejumlah
sejarawan Muslim modern.
Sebagai
pembabakan,
kajian
ini
berfokus
pada
kajian
sejarah
pekembangan kaligrafi Arab pada masa sebelum datangnya Islam sampai masa
kodifikasi al-Qur‟an, dengan alasan bahwa pada masa itu bangsa Arab mulai
mengenal bentuk tulisan hingga berkembang menjadi kaligrafi Arab setelah
datangnya Islam (al-Qur‟an), hingga menemukan bentuknya yang standar atau
23
Pendekatan Social-Historis di sini merujuk kepada batasan yang disuguhkan Bernard S.
Philips. Bahwa dikatakan sosiologis lantaran pendekatan tersebut mengacu dan lebih concern pada
analisis-analisis kemasyarakatan yang digunakan untuk mengembangkan dan mengetes proposisi
yang dapat menjelaskan sekaligus memperkirakan tingkah laku manusia secara umum. Sementara
pendekatan Historis lebih tertarik untuk memperoleh serangkaian data-data yang kredibel tentang
sisi kejadian dalam sejarah. Bernard S. Philips, Social Research: Strategy and Tactics, (London:
The Macilland Company, 1968), cet. ke-5, h. 126.
24
Ilham Khoiri R, Al-Qur’an dan Kaligrafi..., h. 7.
7
dikenal dengan al-Khat al-Mansub (kaligrafi standar) dengan tokohnya yaitu Ibnu
Muqlah (w. 940 M).25
Atas dasar itu penulis tertarik untuk mengkaji dan melakukan observasi
penelitian tentang Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab Pada Masa PraIslam sampai Kodifikasi Al-Qur’an (250-940 M).
B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini penulis menemukan banyak masalah yang menarik
untuk dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
a. Kapan budaya penulisan ada dan muncul di dataran Arab ?
b. Bagaimana para penyair-penyair Arab menyikapi budaya tulisan Arab ?
c. Apa dampak budaya tulisan Arab bagi orang Arab pada masa itu ?
d. Seperti apa tulisan Arab dalam penulisan ayat dan wahyu yang turun
pada masa itu ?
e. Bagaimana al-Qur‟an dituliskan pada masa itu ?
f. Apa sebab adanya instruksi atau perintah untuk mengkodifikasi alQur‟an pada masa Usman bin Affan ?
g. Apakah instruksi penting dan pokok dalam mengkodifikasi al-Qur‟an
pada saat itu ?
h. Siapakah tokoh yang berperan dalam peletakan tanda baca tulisan Arab
(harakat dan tanda titik pada huruf Arab) ?
i. Siapa tokoh yang berperan dalam mengkodifikasikan al-Qur‟an ke
dalam sebuah mushaf ?
j. Bagaimana kemunculan dan perkembangan kaligrafi pada masa awal
Islam sampai kodifikasi al-Qur‟an ?
Dari beberapa masalah yang penulis uraikan, maka penulis melakukan
spesifikasi dan batasan masalah pada penelitian yang penulis paparkan dalam
bahasan selanjutnya.
25
Nurul Makin, Kafita Selekta Kaligrafi Islam (Jakarta: Panji Mas, 1996), h. 44-45.
8
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah sebelumnya yang penulis temukan,
penulis hanya ingin memfokuskan pembahasan dan lebih membatasi masalah
dalam penelitian ini pada SEJARAH PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB
PADA MASA PRA-ISLAM SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR‟AN (250-940 M).
Untuk menghindari melebar dan meluasnya pembahasan dalam penelitian ini,
maka peneliti memberikan batasan waktu atau tahun, yaitu pada rentang tahun
250 sampai 940 M. Dan dengan adanya pembatasan masalah yang ingin dikaji
oleh penulis, tulisan ini diharapkan berfokus kepada batasan masalah yang sudah
ditentukan oleh penulis.
Setelah penulis membatasi masalah pembahasan dalam penelitian ini,
penulis juga menggarisbawahi beberapa rumusan masalah pada kajian ini, yang
dianggap menarik dan patut untuk dikaji dalam peneliti ini, di antaranya:
1. Bagaimana perkembangan tulisan Arab serta peranannya dalam peradaban
Arab pra-Islam ?
2. Bagaimanakah sejarah penulisan dan pengkodifikasian al-Qur‟an pada
masa itu ?
3. Bagaimanakah
sejarah
perkembangan
kaligrafi
Arab
setelah
berkembangnya Islam ?
D. Tujuan Penelitian
Sebagaimana mestinya, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui
lebih jauh tentang sejarah perkembangan kaligrafi Arab pada masa pra-Islam
sampai kodifikasi al-Qur‟an (250-940 H).
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk
memaparkan apa yang menjadi judul dari kajian ini, dengan tujuan;
1. Untuk mengetahui perkembangan tulisan Arab dan peranannya dalam
peradaban Arab kuno.
2. Untuk mengetahui sejarah penulisan dan pengkodifikasian al-Qur‟an.
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan kaligrafi Arab setelah datangnya
Islam.
9
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, penulis membaginya ke dalam tiga
poin, yaitu:
1. Bagi Peneliti
a. Menambah pengetahuan tentang peran kaligrafi (tulisan Arab) pada
peradaban kuno.
b. menambah wawasan tentang bagaimana perkembangan tulisan Arab
pasca datangnya Islam (al-Qur‟an).
c. Sebagai sarana pengembangan pola pikir peneliti dan penambahan
wawasan dalam bidang peradaban seni Islam sebagai khazanah Islam
yang pernah ada.
2. Bagi Lembaga
a. Sebagai sarana kajian dalam ilmu pengetahuan dan seni budaya Islam.
b. Memberi masukan dan wawasan kepada sanggar-sanggar atau lembagalembaga seni Islam yang bergelut dibidang kaligrafi, baik wawasan dan
kreatifitas dalam mempelajari seni kaligrafi Islam.
c. Sebagai sarana kajian bagi lembaga formal dan non-formal yang
berkaitan dengan seni budaya Islam.
3. Bagi Ilmu Pengetahuan
a. Dapat memberi kontribusi khazanah keilmuan dan pengetahuan tentang
seni budaya Islam yang pernah berkembang pesat dari dulu hingga
sekarang.
b. Sebagai bahan tambahan kajian bagi yang ingin mendalami dan
melakukan observasi tentang seni kaligrafi Arab.
F. Tinjauan Pustaka
Tema dan judul penelitian yang penulis pilih ini adalah Sejarah
Perkembangan Kaligrafi Arab Pada Masa Pra-Islam sampai Kodifikasi AlQur’an (250-940 M). Dalam pencarian repository universitas-universitas lain
masih minimnya dan kurangnya yang mendalami dan meneliti sejarah
perkembangan seni budaya Islam, khususnya seni kaligrafi Arab. Namun, ada
10
beberapa peneliti yang membahas hal yang berkaitan dengan seni budaya Islam
yaitu kaligrafi Arab, diantaranya:
Dalam penelusuran penulis di repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penulis menemukan skripsi yang dituliskan oleh Ilham Khoiri jurusan TafsirHadits fakultas Ushuluddin, yang berjudul; Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab: Studi
tentang Pengaruh al-Qur’an terhadap Perkembangan kaligrafi Arab, skripsi ini
kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku yang berjudul; Al-Qur’an dan
Kaligrafi Arab: Peran Kitab Suci dalam Transformasi Budaya (Jakarta: Logos),
dan diterbitkan pada 1999. Buku ini secara fisik memiliki 230 halaman, termasuk
biografi penulis. Dalam skripsi dan buku ini Ilham Khoiri kemudian membuat
beberapa teori temuannya dalam penelitiannya. Tulisan dan penelitian ini lebih
menekankan pembahasannya bagaimana al-Qur‟an memberikan pengaruh
terhadap perkembangan kaligrafi Arab.
Selanjutnya penulis juga menemukan judul skripsi yang membahas
tentang kaligrafi Arab pada masa Abbasiyah yang ditulis oleh Agus Priatna yang
berjudul:
Penulisan
Mushaf
al-Qur’an
dan
Pengaruhnya
Terhadap
Perkembangan Kaligrafi Arab pada masa Abbasiyah, ditulis pada tahun 2005.
Dalam skripsi ini, hanya memfokuskan pembahas tentang perkembangan kaligrafi
Arab dari masa penulisan mushaf al-Qur‟an sampai pada masa Dinasti Abbasiyah.
Kedua tulisan tersebut memiliki kesamaan, yaitu membahas tentang seni
kaligrafi Arab. Dari dua penelitian sebelumnya maka penulis tertarik untuk
membahas tentang apa yang belum dibahas dan dikaji oleh penulis-penulis
sebelumnya. Pembahasan tentang kaligrafi pada masa pra-Islam sampai pada
masa kodifikasi al-Qur‟an, belum dibahas dan dikaji oleh peneliti sebelumnya,
oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang judul dan tema tersebut.
G. Kerangka Teori
Dalam membahas permasalahan di atas, sudah tentu akan menggunakan
pendekatan konsep pemikiran tertentu sebagai penguat ataupun penunjang
masalah yang diajukan. Di antaranya penulis mengutip pendapat Didin Sirojuddin
AR, yang berteori bahwa budaya penulisan Arab atau yang disebut dengan khat
11
atau kaligrafi sudah ada sebelum datangnya Kitab suci al-Qur‟an yang dibawa
oleh nabi Muhammad. Jauh sebelum Islam dan al-Qur‟an datang, bangsa Arab
kuno sebenarnya sudah mengenal tulisan, namun hanya segelintir orang. Ini
dikuatkan dengan temuan beberapa inskripsi-inskripsi kuno yang tertua tertanggal
250 M. Bangsa Arab kuno adalah bangsa yang memiliki budaya retorika, yaitu
tradisi memberikan informasi dari mulut ke mulut. Namun semenjak kedatangan
Islam dan al-Qur‟an bangsa Arab mulai mengenal dan menggeluti budaya
penulisan Arab (kaligrafi). Hal yang serupa juga dinyatakan juga oleh C.Israr,
yang menyatakan pada zaman Jahiliyah budaya penulisan Arab tidak begitu
berkembang. Dikarenakan sebahagian penduduk Hejaz dan Badawi yang masih
memiliki tradisi hidup berpindah-pindah tempat atau nomaden dan masih dominan
dengan kebiasan bersyair dan berorator. Syair-syair yang bagus dapat mengangkat
derajat keluarga dan kabilah si penyair. Suatu hal yang mendorong budaya
penulisan kaligrafi Arab sebelum Islam, adalah adanya suatu tradisi tahunan
berupa perlombaan pidato dan syair yang diadakan setiap bulan Zulqaidah.
Perlombaan tersebut diikuti oleh para penyair terkenal disetiap kabilah, syair-syair
yang terbaik dijadikan pemenang dan kemudian dituliskan dengan tinta emas
diatas sehelai sutera dan digantungkan didinding Ka‟bah, yang disebut dengan
Mu’allaqat. Disamping adanya tradisi mu’allaqat sebagai hal yang mendorong
budaya penulisan, juga kebiasaan orang Arab yang gemar berniaga tidak lepas
dari pengaruh budaya penulisan. Barulah kedatangan al-Qur‟an dapat merubah
budaya bangsa Arab kuno menjadikan bangsa Arab yang gemar menulis. Teori ini
juga dikuatkan oleh Ilham Khoiri, yang menurutnya sebenarnya tradisi penulisan
pra-Islam sudah ada, namun tidak begitu dominan. Dikarenakan pada masa itu
tradisi retorikalah dan folklore yang sangat berkembang dikalangan bangsa Arab
kuno. Namun setelah datangnya peradaban baru yaitu datangnya Islam, bangsa
Arab mulai mengenal tradisi penulisan. Dengan kerangka teori pemikiran inilah
permasalahan dalam penelitian ini dapat dianalisis.
12
H. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Deskriptif-Analisis
dengan pendekatan historis. Metode ini merupakan proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau yang berupa
teks tertulis. Poin-poin yang telah dianalisa, kemudian ditulis atau dipaparkan
sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana dan masa berlangsungnya topik
penelitian sejarah yang berkaitan.26 Maka dalam penelitian ini penulis akan
menguraikan bagaimanakah sejarah perkembangan kaligrafi Arab pada pra-Islam
sampai pada masa di mana ada instruksi untuk melakukan kodifikasi al-Qur‟an
(250-940 M).
Dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat beberapa syarat-syarat sebagai
sebuah prosedur yang harus diikuti oleh para peneliti sejarah. Adapun prosedur
yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah Heurestik, Verifikasi,
Interpretasi, dan Historiografi. Pengumpulan data yang penulis lakukan
menggunakan metode kepustakaan (Libary Research) dengan mengakses sumbersumber baik primer maupun sekunder yang tertulis berupa buku-buku serta jurnal,
katalog dan internet. Kemudian teknik pengumpulan data melalui tela‟ah terhadap
berbagai bahan kepustakaan.
Adapun tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penulisan kajian ini
adalah sebagai berikut.
1.
Sumber Data
Data ataupun sumber peneliti dapat dikategorikan menjadi dua: data
primer dan data sekunder. Data primer, adalah beberapa data yang
merupakan data rujukan utama yang menjadi rujukan penulisan karya
ilmiah. Bentuknya berupa dokumen-dokumen penting pada masa dan
zaman itu.
Sedangkan data Sekunder bentuknya seperti buku-buku bacaan,
artikel-artikel, jurnal, dan hasil wawancara pada tokoh yang mempunyai
kapasitas yang mumpuni di bidang tersebut.
26
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI-Press, 1983),
h. 3.
13
2.
Pengumpulan Data
Untuk teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,
penulis menggunakan metode penelitian, yaitu; metode Library Research
(Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca,
mempelajari serta menelaah buku-buku dan dokumen yang berkaitan
dengan pembahasan yang penulis teliti.
Sedangkan sumber-sumber lainnya, penulis melakukan kunjungan ke
beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Jakarta dan
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan
beberapa kali penulis melakukan kunjungan ke Perpustakaan LEMKA
Sukabumi, sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi
ini. Barulah setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan
sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang tema
yang telah penulis angkat.
3.
Pengolahan Data
Setelah
data-data
mengklarifikasikan
diperoleh,
data-data
yang
maka
tahap
sudah
selanjutnya
didapatkan
adalah
berdasarkan
permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini. Data-data tekstual
seperti buku, artikel atau jurnal kemudian diperoleh serta dimasukkan
sebagai data penunjang untuk tema yang sedang di bahas dalam penelitian
ini.
4.
Analisis Data
Setelah dilakukan klarifikasi data, tahap selanjutnya yang penulis
lakukan adalah melakukan analisis yang bersifat kualitatif, dalam artian
penulis akan menguraikan data-data historis tersebut dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan konteks. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah sosial dan seni budaya.
Adapun buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis
dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, terbitan (CeQDA 2007),
menjadi buku acuan yang penulis gunakan untuk membantu dalam hal
teknik penulisan kajian dan penelitian ini.
14
I. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberi
gambararan yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam
penelitian ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam lima (5) bab
dengan urutan sebagai berikut:
Bab I adalah berisi tentang signifikansi tema yang di angkat terdiri dari:
latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi
penelitian, dan terakhir sistematika penulisan.
Bab II merupakan bab yang membahas tentang Kaligrafi dan Tradisi
bangsa Arab: pengertian kaligrafi, asal-usul kaligrafi, huruf dan abjad Arab, dan
tradisi bangsa Arab.
Bab III berisi tentang sejarah kodifikasi dan penulisan al-Qur‟an:
penulisan al-Qur‟an pada masa Rasulullah, pengumpulan dan penulisan al-Qur‟an
pada masa khalifah Abu Bakar, penulisan dan penghimpunan al-Qur‟an pada
masa khalifah Utsman bin Affan, penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur‟an
pada masa dinasti Umayyah, penulisan dan penyempurnaan mushaf al-Qur‟an
pada masa Abbasiyah.
Bab IV berisi tentang Perkembangan kaligrafi Arab pada masa pra-Islam
sampai kodifikasi al-Qur‟an (250-940 M): sejarah kemunculan kaligrafi Arab dan
perkembangannya, penulisan dan kodifikasi al-Qur‟an, dan perkembangan
kaligrafi Arab setelah datangnya Islam.
Bab V berisi kesimpulan penelitian yang merupakan pandangan penulis
tentang hasil penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan merupakan hasil akhir
yang dapat penulis berikan sebagai puncak dari kegiatan penelitian yang
dilaksanakan. Sedangkan saran-saran merupakan anjuran penulis kepada para
akademisi yang memiliki perhatian terhadap penelitian sejarah dan kebudayaan
Islam, terutama yang berkaitan dengan seni dan kebudayaan Islam khususnya di
bidang kaligrafi Arab.
15
BAB II
TRADISI BANGSA ARAB DAN KALIGRAFI
A. Tradisi Bangsa Arab
Kata „Arab‟ dewasa ini menunjukkan kepada penduduk sejumlah negeri
yang luas, yang menggunakan bahasa Arab dengan berbagai ragam dialeknya
sebagai bahasa keseharian dan etnisitas utama mereka. Makna kata ini mencakup
mereka yang hidup di perkotaan (ahl al-hadhar) maupun di gurun pasir (ahl alwabar atau ahl al-badiyah). Kata dengan makna ini digunakan juga oleh para
ilmuwan untuk mengenali kelompok etnis pengguna bahasa Arab pada zaman
Sebelum Masehi dan abad-abad menjelang kelahiran agama Islam, sebagaimana
tertuang dalam berbagai sumber kesejarahan.1
Berdasarkan dua karakteristik daratannya, penduduk Semenanjung Arab
terbagi ke dalam dua kelompok utama: orang-orang desa (Badui) yang nomaden2
dan masyarakat perkotaan yang menetap. Sisi negatif dari orang-orang Badui
adalah mereka orang Badui nomad untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya yang
tidak mereka miliki dari tetangganya yang lebih nyaman tempat tinggalnya, dan
hal itu dilakukan melalui jalur kekerasan. Sebagian orang Badui nomad dikenal
sebagai perampok darat atau makelar. Namun adapula sebagian kelompok orangorang Badui memilih untuk hidup nomad dengan tujuan untuk melarikan diri dan
melindungi diri dari dari gempuran dan serangan musuh atau suku lain. Bangsa
Arab kuno merupakan bangsa yang memiliki rasa fanatisme yang tinggi terhadap
kabilahnya (suku atau klan). Salah satu fenomena yang dimunculkan oleh pola
relasi antar suku atau kabilah di kawasan Semenanjung Arab adalah maraknya
peristiwa pembegalan, dan perampokan terhadap kabilah atau perkemahan suku
1
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2011), h. 157.
2
Kelompok orang yang tidak memiliki dan mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari
satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan
keperluan kelompok itu. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Pusat Bahasa, (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2008), edisi ke-4, h. 325.
16
lain.3 Ini disebabkan kondisi sosial-ekonomi kehidupan gurun hingga menjadi
semacam penyimpangan dan penyakit sosial. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan
bila pada masa itu dikenal dengan masa Jahiliyah atau masa kegelapan. Bangsa
Arab pra-Islam biasanya disebut dengan Arab Jahiliyah, bangsa yang belum
berperadaban, tidak mengenal aksara.4
Namun, ada sisi positif yang tidak kalah menarik untuk disimak dari bangsa
Arab pra-Islam. Menurut Didin Sirojuddin AR, orang-orang Arab kuno telah
disifatkan sebagai bangsa penyair. Sebuah keluarga atau kabilah (suku)
merasa lebih bangga mempunyai seorang penyair sebagai anggota
keluarganya daripada seorang panglima perang. Penyair-penyair ini
sebagaimana kebanyakan penyair lain, sangat ingin dikenang hingga ke anak
cucunya, dan untuk mencapai kesitu penyair harus memiliki dua orang murid
yang diharapkan menghafal sajak-sajak syairnya, dan kemudian diturunkan
kegenerasi selanjutnya. Mereka tidak suka menulis sajak-sajak syair mereka,
dan mereka lebih mengutamakan hafalan mereka.5
Dalam sejarah bangsa Arab, di antara karya seni yang dikembangkan
mereka pada masa pra-Islam tidak ada satu pun yang melebihi dan menyamai seni
puisi (shi’r) sebagai sumber estetika. Puisi merupakan bentuk ekspresi estetis dan
bakat terbaik mereka dalam bidang seni verbal (fann qawli). Dengan bahasanya
yang singkat, padat dan tepat, puisi digubah sebagai bentuk karya sastra lisan
yang dituangkan dalam beberapa perangkat matra (wazn) yang berima tunggal
(qafiyah), dan dimaksudkan terutama untuk mempengaruhi para pendengarnya.
Oleh karena itu, umumnya para penyair senantiasa memusatkan perhatian pada
kesempurnaan bentuk dan keindahan sebagai norma fundamental yang banyak
menentukan nilai sebuah karya puisi.6
Kecintaan bangsa Arab terhadap puisi merupakan salah satu aset kultural
yang mereka miliki. Diakui oleh Philip K. Hitti, tidak ada satu pun bangsa di
dunia ini yang menunjukkan apresiasi yang sedemikian besar terhadap ungkapan
3
Philip K. Hitti, History of the Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, (Jakarta: Serambi,
2002), h. 28-32. Lihat juga Ahmad Amin, Fadjar Islam, terj. Zaini Dahlan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968), Cet. ke-1h. 25-26.
4
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 27.
5
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Multi Kreasi Singgasana, 1987), h. 19.
Lihat juga Philip K. Hitti, The Arabs a Short History, diterjemakan oleh Usuludin Hutagalung dan
O.D.P Sihombing, Dunia Arab Sedjarah Ringkas (Bandung: Sumur Bandung, 1970), h. 152. ;
Ahmad Amin, Fadjar Islam, h. 83-88.
6
Andri Ilham, Puisi Arab dan Protes Sosial; Kajian atas Puisi Pinggiran Sa‘alik pra-Islam,
(Jakarta: Transpustaka, 2016), h. 34.
17
bernuansa puitis dan sangat tersentuh oleh kata-kata, selain bangsa Arab. Watak
seni mereka dituangkan ke dalam bentuk ungkapan. Jika orang-orang Yunani
mengekspresikan kreativitas seninya dalam bentuk seni patung dan arsitektur,
orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu keagamaan (psalm), maka orang-orang
Arab menuangkannya dalam bentuk syair (qasidah) sebagai bentuk ungkapan
estetis.7
Sebagai media pengungkapan yang paling dikenal bangsa Arab pra-Islam
di mana budaya oral menguasai mereka, sejak awal muncul dan berkembangnya
puisi melalui pendengaran, bukan bacaan, lewat lagu, dan tulisan.8 Bangsa Arab,
jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Babilonia dan Cina
yang telah sukses mengembangkan sistem tulis dan memiliki bentuk kaligrafi atau
tulisan yang sangat kompleks, boleh dikatakan sebagai pendatang yang agak
terlambat. Padahal, tulisan mereka memiliki tempat kedua sesudah aksara
Romawi, yang banyak dipakai dalam berbagai penulisan, sampai sekarang.
Tabiat dan tradisi orang Arab kuno yaitu bangsa yang suka berpindahpindah atau nomaden yang belum memiliki catatan sejarah atau historiografi yang
dapat dijadikan acuan.9 Bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang memiliki
keagungan tersendiri terhadap tulisan seperti halnya bangsa Romawi, Cina dan
Mesir kuno. Orang Arab kuno tidak terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa penting
dan bersejarah untuk didokumentasikan. Karena itu sangatlah susah mencari data
tertulis atau prasasti yang membuktikan peta sejarah perjalanan sebuah kerajaan di
Jazirah Arabia. Dapat dikatakan bahwa orang Arab kuno di zaman jahiliyah
bukanlah semata-mata sebagian besarnya buta huruf, bahkan juga dari satu segi
anti huruf.10
Akan tetapi mereka memiliki suatu kekuatan unik, yaitu “tradisi mulut ke
mulut” (tradisi folklor atau oral) dalam menyimpan informasi atau untuk
7
Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 112.
Adonis, Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibda’ wa al-Itba ‘inda al-Arab.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khairon Nahdiyyin, Arkeologi Sejarah-Pemikiran
Arab-Islam (Yogyakarta: LKiS, 2009), jilid ke-4, h. 20.
9
Y. M. Safadi, Islamic Calligraphy (London: Thumes and Hudson, 1978), h. 7.
10
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 18. Lihat juga Philip K. Hitti, The Arabs a
Short History, h. 13-24.
8
18
menyampaikan komunikasi. Tradisi oral dominan penggunaannya lebih
disebabkan karena ia sudah mengakar dalam masyarakat Arab pra-Islam.
Kekaguman mereka terhadap seni bahasa yang indah, dan bahkan bagi setiap
orang apabila ia dapat menghafal atau mentransmisikan puisi-puisi para penyair
kabilahnya dari generasi ke generasi.11 Menghafalkan puisi pada masa itu telah
menjadi ilmu tersendiri, sehingga hafalan merupakan sesuatu yang dianggap
membanggakan, dan menjadi ukuran dalam menilai kapasitas keilmuan seseorang.
Tradisi menulis bangsa Arab pada waktu itu hampir tidak ada, kecuali pada
beberapa kalangan tertentu. Faktor inilah yang menyebabkan tulisan Arab tidak
mengalami pertumbuhan dan bahkan amat lambat.
Oleh para ahli, kelambanan ini diakibatkan dari kecenderungan kehidupan
bangsa Arab sendiri. Pada masa sebelum Islam, mayoritas bangsa Arab dikenal
memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi perkembangan tulisan. Menurut
Ilham Khoiri R., terdapat empat jenis kebisaan yang dimiliki bangsa Arab, antara
tabiat dan kebiasaan tersebut adalah: pertama, mereka hidup secara nomad
(berpindah-pindah) dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai macam
motivasi seperti untuk mencari daerah yang subur atau menghindari penyergapan
musuh dari suku lain.12 Meskipun ada yang menetap, yaitu etnis Quraish yang
membentuk aliansi perdagangan di Makkah. Kebiasaan nomad ini membuat
mereka sibuk dengan perpindahan dan mempersempit kemungkinan membangun
suatu kebudayaan. Kedua, mereka hidup bersuku-suku dengan rasa fanatisme
kesukuan (‘ashobiyah) yang sangat kental dan rasa toleransi antar suku yang
kecil. Saling membanggakan suku dan keturunan masing-masing sambil
merendahkan suku dan keturunan lain, sehingga seringkali terlibat peperangan
antar suku. Oleh sebab itu, sulit untuk mendirikan suatu komunitas bersama yang
bersatu. Ketiga, mereka tidak memiliki budaya tulis-menulis, tak pernah
mementingkan catatan sejarah kehidupan mereka tidaklah tertuliskan. Sebagian
besar mereka adalah buta huruf. Sedikit sekali orang yang mampu menulis, hanya
beberapa pemuka masyarakat yang jumlahnya sangat minim yang memiliki
11
Andri Ilham, Puisi Arab dan Protes Sosial, h. 35.
Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 28.
12
19
kemampuan menulis. Meskipun demikian, beberapa di antara bangsa Arab masih
memerlukan tulisan, terutama untuk kebutuhan perniagaan dan guna menulis
syair-syair terbaik yang digantungkan pada dinding Ka‟bah (mu’allaqat)13.
Ketidak mampuan tulis-menulis mengantarkan mereka untuk mengandalkan
metode hafalan, yang pada gilirannya menjadi tolak ukur kecerdasan dan
kemampuan ilmiah seseorang. Keempat, mereka jauh dari ilmu pengetahuan
secara umum. Pengetahuan mereka tentang ilmu politik, ekonomi, sosial,
kedokteran dan lain-lain sangat tertinggal dari bangsa-bangsa lain seperti Romawi
dan Persia.14 Hanya saja, bangsa Arab mengerti mengenai astronomi dan
meteorologi (ilmu falak), tentang sejarah, pengobatan berdasarkan pengalaman,
perdukunan dan serta tata bahasa dan sastra. Untuk bidang tata bahasa dan sastra
harus diakui bahwa kemampuan bangsa Arab memang cemerlang.15
Namun, menurut literatur Arab ada satu tradisi yang menguatkan bahwa
bangsa Arab sudah mengenal tulisan. Terbukti dengan ditemukannya suatu tradisi
tahunan pada masa pra-Islam yang disebut dengan Al-Mu’allaqat (gantungan)
sebagai karya seni sastera yang indah dan sempurna yang punya nama terhormat
karena dituliskan dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka‟bah. Pada
masa Arab pra-Islam, tulisan Arab tidak begitu berkembang. Tidak begitu banyak
yang bisa menulis dan membaca, sebagian besar penduduk Hejaz masih diselimuti
kegelapan buta huruf, apalagi bagi penduduk badui yang hidupnya nomaden.
Keahlian baca-tulis hanya dimiliki oleh golongan yang sangat kecil, yaitu rahibrahib yang beragama Yahudi dan Nasrani.
13
Syair-syair yang terbaik yang menjadi pemenang dalam perlombaan itu, kemudian ditulis
dengan tinta emas di atas sehelai sutera halus dan digantungkan di dinding Ka‟bah. Syair-syair
yang di gantung di Ka‟bah ini dinamakan al-Mu’allaqat. Lihat C. Israr, Dari Teks Klasik sampai
ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 42 ; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi
Islam, h.19 ; Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 116.
14
Ahmad Amin, Fadjar Islam, h. 18-19.
15
Ilham Khoiri R., Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 57-62.
20
B. Huruf dan Abjad Arab
Kata huruf berasal dari bahasa Arab: Harfun, al-Harfu )‫ الحرف‬،‫(حرف‬.
Huruf Arab juga disebut dengan Huruf Hijaiyah (‫)هجائية‬, kata Hijaiyyah berasal
dari kata Hajaa (‫ )هجي‬yang berarti: mengeja, menghitung huruf, membaca huruf
demi huruf dengan harakat. Huruf hijaiyah juga disebut dengan alfabet Arab. Kata
alfabet itu sendiri berasal dari bahasa Arab: Alif, Baa, Taa (‫ تاء‬،‫ باء‬،‫)الف‬. Abjad,
alfabet atau huruf hijaiyyah yang kita kenal sekarang berjumlah duapuluh delapan
(28) huruf tunggal, tanpa menyertakan huruf lam alif dan hamzah.16
‫ابتثجحخدذرزسشصضطظعغفقكلمنوهي‬
Penamaan huruf-huruf dengan Abjad diambil dari nama-nama huruf yang
empat pada urutan pertama, yaitu: alif, baa, jim, dan dal (‫ د‬،‫ ج‬،‫ ب‬،‫)ا‬. Abjad Arab
yang mula-mula mencakup dua puluh dua (22) huruf, karena telah dikurangi enam
huruf, yaitu: ‫ غ‬،‫ ظ‬،‫ ض‬،‫ ذ‬،‫ خ‬،‫ث‬. Orang-orang Arab terdahulu tidak pernah
menyebutnya, karena huruf-huruf tersebut belum diberi tanda bunyi atau tanda
baca17 (harakat dan nuktah). Ketika huruf-huruf diberi tanda titik, untuk
menjaganya dari kekeliruan baca, yakni pada masa al-Hallaj di bawah koordinasi
Nashir ibnu Ashim al-Laitsi dan Yahya ibnu Ya‟mur al-„Udwani: mereka
menyatukan ‫ غ‬،‫ ظ‬،‫ ض‬،‫ ذ‬،‫ خ‬،‫( ث‬tsa, kha, dzal, dha, zha, ghain) dengan abjad dan
menamakannya rawadif.18 Dengan demikian huruf hijaiyah berjumlah 28 huruf
seperti yang kita kenal sekarang.
Tulisan merupakan suatu media komunikasi yang sejak lama sudah
dikenal dalam sejarah kebudayaan dan peradaban manusia. Tulisan sebagai
simbol bahasa yang disebut juga dengan istilah aksara, khath, dan sebagainya,
pada garis besarnya terdiri dari dua jenis, yaitu piktogram19 dan idiogram20.
16
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h. 5.
Tanda baca dalam tulisan Arab terdiri dari titik yang disebut naqt dan i’jam; dan barisan
yang disebut harakat atau syakal. Namun, jika disebut huruf al-mu’jam, maka artinya adalah huruf
hijaiyah juga, atau huruf yang bertanda baca alias huruf hidup. Ada yang mengartikan i’jam
sebagai penerang, karena dengan tanda-tanda tersebut huruf-huruf menjadi terang dan jelas
bacaannya. Bahkan istilah syakal sering juga digunakan, baik untuk titik ataupun harakat. Sebab,
syakal yang mempunyai arti „bentuk‟ telah membentuk tulisan menjadi kata-kata yang dapat
dipahami. Lihat Didin Sijoddin AR., Seni Kaligrafi Islam, h. 22.
18
Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Islam, h. 77.
19
Piktogram adalah tulisan gambar, yakni tulisan yang makna atau pengertiannya berawal
dari gambar-gambar benda. Bentuk tulisannya benar-benar dibuat berupa gambar-gambar dari apa
17
21
Tulisan merupakan suatu batas pemisah dari zaman sejarah. Pada zaman di
mana suatu bangsa di dunia belum mengenal baca-tulis, belum
mempergunakan tulisan, maka zamannya disebut zaman pra-sejarah.
Peradaban dan kebudayaan dari zaman hanya dapat diketahui dan bersumber
dari fosil dan artefak. Oleh sebab itu dalam bahasa Sangsekerta, zaman prasejarah disebut zaman Nirleka, artinya zaman belum adanya tulisan.21
Dari perspektif bahasa, tradisi alfabet atau tulisan Arab merupakan satu
dari dua jenis tulisan besar di dunia di samping jenis tulisan Punisia yang kelak
menghasilkan jenis tulisan Yunani (Latin). Tulisan Arab terbagi menjadi dua
cabang, selatan dan utara. Jenis tulisan Arab selatan terdiri dari 29 huruf, tertulis
dalam bentuk huruf capital. Jenis tulisan Arab selatan ini masih terus digunakan
hingga periode awal,22 tetapi kemudian ditinggalkan setelah muncul tulisan Arab
Tua (Old Arabic Script). Sementara itu, tulisan Arab utara terdiri dari 28 huruf,
dengan beberapa variasi tulisan lokal yang ditemukan bukan hanya di wilayah
utara dan tengah Arabia, tetapi juga di kalangan masyarakat diaspora23 Arab di
Babilonia dan kerajaan lainnya.24
C. Pengertian Kaligrafi Arab
Secara etimologi, kaligrafi berasal dari bahasa Inggris, calligraphy yang
berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu kallos: beauty (indah) dan
yang dimaksudkan; misalnya kata gunung dinyatakan dengan sebuah garis zigzak seperti bentuk
sebuah gunung. Kata matahari dinyatakan dengan sebuah garis lingkaran; kata ikan dinyatakan
dengan gambar seekor ikan, dan sebagainya. Dalam jenis piktogram ini termasuk tulisan Mesir
Purba dan tulisan China. Namun, menurut KBBI: Piktogram ialah idiogram yang berupa gambar
untuk mengungkap amanat tertentu, misal tanda lalu lintas. Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia), h. 1073.
20
Idiogram adalah tulisan bunyi, yang berasal juga dari piktogram, tetapi sudah disesuaikan
sehingga kesan gambar menurut bentuk yang kongkrit sudah tidak terlihat lagi. Huruf-huruf hanya
merupakan perlambangan dari bunyi dan jumlahnya tidak lagi sebanyak huruf-huruf piktogram,
tetapi sudah disederhanakan. Tulisan-tulisan yang termasuk jenis idiogram ini adalah tulisan
Phunisia, tulisan Arab, tulisan Romawi dan sebagainya. Sedangkan menurut KBBI: ideogram
adalah tanda grafis yang dipakai untuk menggambarkan bagian ujaran, ada logogram dan
piktogram. Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), h. 517.
21
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 3-4.
22
Kala itu jenis tulisan ini sesekali digunakan untuk mengekspresikan bahasa Arab; bahkan
jenis tulisan yang digunakan pada pemenang syair yang disebut dengan Mu’allaqat dituliskan
dengan jenis tulisan Nabathi, yang saat jenis tulisan ini berkembang di wilayah Arab bagian
selatan.
23
Masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa
tersebut tidak memiliki negara, misalnya; bangsa Yahudi sebelum Israel berdiri pada tahun 1948.
Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), h. 325.
24
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, h. 161.
22
graphein: to write (menulis) yang berarti: tulisan yang indah atau seni tulisan
indah. Dalam bahasa Arab, biasa disebut khat25 yang berarti garis atau coretan
pena yang membentuk tulisan tangan.26 Dan disebut fann al-khath dalam arti seni
memperhalus tulisan atau memperbaiki coretan.27
Menurut Didin Sirojuddin AR, Kaligrafi adalah kegiatan menulis dan
menyempurnakan huruf alif sampai ya dengan menggunakan pena. Huruf
atau akasara menjadi objek artistik dan asketik didalam mngekspersikan
gagasan, inspirasi serta kepekaan seninya. Kaligrafi Islam juga disebut
sebagai “ The Art of Islamic Art”. Dahulu, setiap kali nabi Muhammad
mengajarkan ayat-ayat al-Qur‟an yang baru diwahyukan kepadanya, saat itu
pula Nabi selalu meminta kepada para sekretarisnya untuk menuliskannya.
Maka tidaklah salah jika dikatakan usia kaligrafi Islam seumur dengan
sejarah Islam itu sendiri.28
Syeikh Syam al-Din al-Afkani menyatakan, secara terminologis bahwa
kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal,
letak-letaknya, dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun.
Atau apa-apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan
menentukan mana yang tidak perlu ditulis; mengubah ejaan yang perlu digubah
dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.29 Yakni terdapat didalam
delapan jenis kaligrafi yang berkembang dewasa ini:
25
1. Naskhi
5. Diwani Jali
2. Tsulus
6. Farisi
3. Rayhani
7. Riq‟a
4. Diwani
8. Kufi
Khat berasal dari bahasa Arab, Khath (‫)خط‬. Secara etimologis, khat berarti garis; baris;
tulisan atau sejenisnya yang dirangkai menggunakan tangan. Adapun secara terminologi, Majdi
Wahbah dan Kamil al-Muhandis, mendefinisikan khat sebagai simbol atau rumus yang digunakan
oleh sekelompok manusia sebagai media untuk membaca dan memahami dialektika (kalam) dari
bahasa tertentu. Dikutip dari Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi, (Jakarta: Linus, 2013), h.
160.
26
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 1.
27
Al-Mu‘jam al Wajiz, (Majma„al-Lughah al-„Arabiyah, 1995), h. 203
28
“Dari Tulis ke Lukis” Festival Muharram Bayt al-Qur‟an dan Museum Istiqlal. Katalog
Pameran Kaligrafi Islam 7 Desember-31 Maret 2011, h. 11
29
Dikutip dari Irsyad al-Qasid bab Hasr al-‘Ulum oleh Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali alQalqasyandi dalam Subh al-A’syafi Shina’ah al-insya, (Kairo: Kustatasumas wa Syarikahu, tth), h.
3-4. Dikutip juga oleh Didin Sirojuddin AR. dalam: Seni Kaligrafi Islam, h. 65.
23
Ada pula yang mengatakan bahwa kaligrafi merupakan apa-apa yang
ditulis para ahli dengan sentuhan kesenian. Kaligrafi melahirkan suatu ilmu
tersendiri tentang tata cara menulis, yang meneliti tentang tanda-tanda bahasa
yang bisa dikomunikasikan, yang ditorehkan secara proporsional dan harmonis,
yang dapat dilihat secara kasat mata dan diakui sebagai susunan yang dihasilkan
lewat kerja kesenian.30
Sedangkan menurut Muhammad Thahir ibn „Abd al-Qadir al-Qurdi dalam
karyanya Tarikh al-Khath al-‘Arabi wa Adabihi pernah menyimpulkan sekitar
tujuh macam pengertian kaligrafi atau khat dan kemudian menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kaligrafi adalah suatu kepandaian untuk mengatur gerakan
ujung-ujung jari dengan memanfaatkan pena dalam tata cara tertentu. Yang
dimaksud dengan “pena” di sini adalah pusat gerakan ujung-ujung jari; sementara
“tata cara tertentu” merujuk pada semua jenis kaidah-kaidah penulisan.31
Dibandingkan dengan seni Islam yang lain, kaligrafi memperoleh
kedudukan paling tinggi, dan merupakan ekspresi spirit Islam yang sangat khas.
Oleh karena itu kaligrafi sering disebut sebagai "seninya seni Islam". Kualifikasi
ini memang pantas karena kaligrafi mencerminkan kedalaman makna seni, yang
esensinya berasal dari nilai dan konsep keimanan. Oleh sebab itu kaligrafi
berpengaruh besar terhadap bentuk ekspresi seni yang lain atau dengan kata lain,
terhadap ekspresi kultural secara umum. Hal ini diakui oleh para sarjana Barat
yang banyak mengkaji seni Islam, seperti Martin Lings, Titus Burckhardt,
Annemarie Schimmel, dan Thomas W. Arnold.
Keistimewaan kaligrafi dalam seni Islam terlihat terutama karena
merupakan suatu bentuk "pengejawantahan" firman Allah SWT yang suci.
Disamping itu, kaligrafi merupakan satu-satunya seni Islam yang dihasilkan murni
oleh orang Islam sendiri, tidak seperti jenis seni Islam lain (seperti arsitektur, seni
lukis dan ragam hias) yang banyak mendapat pengaruh dari seni dan seniman non-
30
The Encyclopedia Britanica, (USA: Encyclopaedia Britanica, inc., 1970), Vol.4, h. 656.
Muhammad Thahir ibn „Abd al-Qadir al-Qurdi al-Makki al-Khaththath, Tarikh al-Khath al‘Arabi wa Adabihi, (Hijaz, 1982), Cet. ke-3, h.17.
31
24
muslim. Tidak mengherankan jika sepanjang sejarah, penghargaan kaum muslim
terhadap kaligrafi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis seni yang lain.32
Sedangkan
merupakan
suatu
menurut
fase
Nurcholish
kesinambungan
Madjid,
yang
Kaligrafi
harmonis.
sesungguhnya
Kaligrafi
Arab
mengekspresikan paham Ketuhanan yang abstrak (dalam arti, Tuhan yang tidak
bisa dilukiskan) dengan menekankan pernyataan diri Tuhan melalui wahyu. Maka
kaligarfi kebanyakan, dicurahkan untuk mengekpresikan kekuatan wahyu itu.
Kaligrafi dalam Islam semata-mata hanya menggunakan media huruf dan tulisan
Arab. Ini tidak saja karena huruf Arab dipakai untuk menuliskan bahasa-bahasa
kaum Muslimin (meski bukan bahasa Arab, sepeti bahasa Persi, Kurdi, dan Urdu)
tetapi lebih-lebih lagi karena dukungan watak huruf Arab itu sendiri bagi seni
kaligrafi fleksibel dan elastis, sehingga mudah dibentuk bagi tujuan-tujuan
ornamental dan dekoratif tertentu. Dengan alternatif Khath yang kaya seperti
Naskhi, Tsuluts, Riq’a, Rayhani, Diwani, Farisi, Kufi dan seterusnya, seorang
seniman kaligrafi dapat memilih tema yang dianggapnya paling sesuai bagi
tujuannya.33
Kaligrafi adalah salah satu karya kesenian Islam yang paling penting.
Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan perkembangan seni
menulis indah dalam huruf Arab yang disebut khat. Definisi tersebut
sebenarnya persis sama dengan pengertian etimologis kata kaligrafi dari kata
Yunani kaligraphia (menulis indah). Dalam perkembangannya, huruf Arab
yang menjadi objek seni khat berkembang sesuai dengan perkembangan
tempat dimana tempat asal seni khat berada. Demikian pada abad ke-10,
misalnya, gaya kufi merupakan awal perkembangan khat yang tadinya agak
kaku menjadi semakin lentur dan ornamental meskipun tetap angular.
Kemudian berkembang pula bentuk khat yang bersifat kursif (miring) yang
diwujudkan dalam seni yang disebut sulus, naskhi, raihany, riq’a dan tauqi.
Pada fase berikutnya gaya riq’a dan tauqi tidak tampak lagi
penggunaannya.34
Sementara kata Arab merujuk kepada salah satu komunitas yang berasal dari
rumpun bangsa Semit35. Istilah Semit ini dinisbahkan kepada Sam bin Nuh.
32
Didin Sirojuddin AR, "Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes" dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 290-292.
33
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 2009) h. 41-44.
34
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 181-184.
35
Istilah Semit berasal dari kata Syem yang tertera pada Perjanjian Lama (Kitab Kejadian,
10:1) melalui bahasa Latin dalam Vulgate (Injil Berbahasa Latin yang ditulis oleh St. Jerome pada
25
Wilayah asalnya disebut Semenanjung Arabia. Dinamakan Semenanjung
karena wilayah ini dikelilingi oleh sungai dan laut. Secara geografis,
Semenanjung Arab terletak dibagian Barat benua Asia. Semenanjung ini
berbatasan masing-masing: di sebelah utara dengan Irak dan Suriah; di
sebelah selatan dengan Samudra Hindia; di sebelah timur dengan Teluk
Persia dan Laut Oman; dan di sebelah barat dengan Laut Merah. Kawasan
Semenanjung ini sebagian besar terdiri dari gurun yang terhampar luas di
tengah-tengah semenanjung dengan iklim yang sangat panas dan bersuhu
tinggi.36
Dengan demikian, kaligrafi Arab adalah tulisan indah yang berasal dan
berkembang diwilayah Arab. Dalam dalam bahasa Inggris disebut sebagai Arabic
Calligraphy dan dalam bahasa Arab dinamakan al-Khath al-‘Arabi, terdapat pula
sejumlah istilah lain seperti Islamic Calligraphy, Fann al-Khath al-‘Arabi atau
Qur’anic Calligraphy yang merujuk pada hal yang sama, yaitu kaligrafi Arab.
D. Asal Usul Kaligrafi Arab
Menurut Ali Romdhoni, pendapat para sejarawan mengenai asal-usul
kaligrafi Arab secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa kaligrafi Arab diciptakan dan diajarkan
langsung oleh Allah melalui nabi Adam a.s. yang kemudian diturunkan kepada
beberapa Nabi lainnya. Pendapat seperti itu, biasanya lebih didasarkan pada
keyakinan teologis dan keagamaan yang menjadikan (QS. Al-Baqarah: 31) dan
(QS. Hud: 25-49) sebagai landasan. Dan tanpa dibangun di atas bukti atau
argumentasi yang rasional. Dalam metode penelitian sejarah, pendekatan model
ini termasuk jenis interpretasi, yaitu interpretasi monistik.37 Kedua, teori yang
didasarkan pada riwayat hadist, yang secara garis besar mengatakan bahwa
kaligrafi Arab diciptakan dan dipelajari oleh beberapa orang ditempat tertentu.
Satu riwayat yang diturunkan Hisyam al-Kalabi, misalnya, menceritakan bahwa
abad ke-4). Penjelasan tradisional yang menyebutkan bahwa rumpun bangsa Semit adalah
keturunan anak Nuh yang tertua dan secara rasial mereka homogen tidak bisa lagi diterima. Lihat
Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 10-11.
36
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1994, Cet. ke-3, h.153-154. Lihat juga:
Ahmad Amin, Fadjar Islam, h.15.
37
Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu lebih menonjolkan aspek teologi yang
menekankan pada takdir Tuhan sehingga dinamika sejarah terkesan pasif. Lihat Dudung
Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 75.
26
peletakan kaligrafi Arab (al-Khath al-‘Arabi) adalah kaum Adnan bin Ad, salah
satu suku Arab al-„Aribah. Ketiga, teori dan pendapat yang dibangun pada sejarah
dan
penemuan
arkeologis.
Nasiruddin
al-Asad,
misalnya,
mendasarkan
pendapatnya pada benda-benda purbakala dan inskripsi-inskripsi Arab pra-Islam
yang dia teliti. Menurut Nasir, bangsa Arab telah memiliki budaya menulis kurang
lebih tiga abad sebelum kedatangan Islam. Pendapat serupa dinyatakan J.
Cantineau, bahwa tradisi literasi di Jazirah Arab dimulai sejak abad ke tiga
Masehi. Namun menurut Nasir, di sini bukan berarti Arab adalah wilayah yang
berdiri sendiri, yang tidak melibatkan bangsa lain dalam menciptakan tradisi
literasi. Artinya, adalah mustahil kaligrafi Arab dibuat dan muncul secara asli dari
Arab. Lahirnya tradisi penulisan di kawasan Arab merupakan pertemuan beberapa
tradisi dari berbagai wilayah yang diakibatkan oleh kontak budaya, misalnya
karena jaringan perdagangan dan lain sebagainya.38
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ada banyak pendapat berkaitan
dengan asal usul kaligrafi Arab. Sebagian mendasarkan diri pada data-data historis
yang bisa dilacak dan diuji kebenarannya; sebagian lagi menyandarkannya kepada
keyakinan-keyakinan mistis yang sulit dibuktikan secara ilmiah. Walaupun
demikian beragam pendapat dikemukakan, tentang siapa yang mula-mula
menciptakan kaligrafi Arab. Barangkali cerita-cerita keagamaan adalah yang
paling dapat dijadikan pegangan.39
Teori asal-usul dan sejarah kaligrafi Arab juga dikemukakan oleh sejarawan
sekaligus sosiolog muslim, Ibnu Khaldun. Menurutnya, orang-orang Hijaz
mengenal (belajar) tulis-menulis dari Hirah, dan orang Hirah mengenal
tulisan kerajaan Tubba‟ dan Himyar. Oleh karena itu, kaligrafi Arab (alKhath al-„Arabi) terkenal dengan nama al-Khath al-Himyari. Tulisan ini
mencapai puncak keindahannya pada masa kejayaannya kerajaan Tubba‟
(para penguasa Yaman pra-Islam). Menurut Ibnu Khaldun, faktor yang
mendukung majunya tradisi literasi di Tubba‟ adalah kesejahteraan ekonomi
dan tingginya peradaban di wilayah ini. Karena itu, bagi Ibnu Khaldun,
kemajuan tradisi literasi di sebuah wilayah sangat ditentukan oleh
keberagaman budaya dan tingkat ketersedian lapangan kerja.40
Meskipun demikian dapatlah disepakati bahwa, seperti dinyatakan Habibullah
Fadhaili, tulisan (termasuk kaligrafi Arab) tidak tercipta secara mendadak
38
Ali Romdhoni, Al-Qur’an dan Literasi, h. 160-167.
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.5.
40
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Musthafa Muhammad, tth), Juz 1, h. 417-418.
39
27
dalam satu kesempatan dalam keadaaan yang sempurna, melainkan tumbuh
melewati proses panjang secara berangsur-angsur. Tidaklah diragukan bahwa
setiap jenis tulisan berproses melalui eksperimentasi dan intensifikasi selama
bertahun-tahun dan berkurun-kurun sampai kemudian membentuk tulisan
yang sempurna.41
Kamil al-Baba memaparkan bahwa sebagian ahli menganggap, tulisan Arab
merupakan pecahan dari akar tulisan Suryani, berdasarkan pada adanya
kemiripan bentuk huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf Suryani. Sementara
itu, dari kalangan Orientalis ada yang berpegangan pada teori ilmuan Jerman
yaitu Lidzbarsky, bahwa alphabet Arab sebelum Islam tumbuh dari tulisan
Funisia. Namun, ada sebuah pendapat yang telah disepakati oleh para peneliti
di bidang ini, yang dilakukan oleh Orientalis Belanda, Von de Bronden. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa tulisan Arab dan Kan‟an tumbuh
bersamaan di pinggiran Jazirah Sinai. Pada tahun 1904-1905, di Sinai,
berhasil dibongkar beberapa ukiran yang ditulis dengan tulisan yang
mendekati bentuk tulisan Mesir Hierogliph.42
Berdasarkan dari itu semua, kemudian sebagian besar sejarawan
berpendapat bahwa kaligrafi Arab berasal dari tulisan Mesir Kuno, yaitu
Hieroglyph yang berkembang pada 3200 SM. yang hurufnya berupa gambargambar (pictograph) dan berjumlah ratusan.43 Ditemukan pada relief di kuburan
Pharao (Fir‟aun) atau raja-raja kerajaan Mesir Purba yang banyak dijumpai di kota
Abidos, tidak begitu jauh dari Thunis yang menjadi pusat kerajaan. Adapula yang
ditulis pada Papyrus44 sejenis tumbuh-tumbuhan yang banyak tumbuh
disepanjang sungai Nil, dipahatkan di batu, dinding-dinding piramida, kuil
pemujaan dan lain sebagainya.45
Tulisan ini berkembang menjadi Herotik dan Demotik yang ditemukan di
lembah sungai Nil. Bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan
paku, tetapi menyederhanakan diri dalam bentuk-bentuk gambar sebagai
simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian
dimaksudnya.46 Bangsa Mesir lalu berdagang dan berhubungan dengan
41
Habibullah Fadhaili, Athlas al-Khath wa al-Khuthuth, terj. D. Muhamad al-Tunji, (Syiria:
Dar Thalas li al-Dirasat wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1993), Cet. ke-1. h. 10.
42
Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, terj. Didin Sirojuddin AR., Dinamika Kaligrafi
Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), Cet. ke-1, h. 9-10.
43
Abdul Karim Husein, Seni Kaligrafi Khat Naskhi; Tuntunan Menulis Huruf Halus Arab
dengan Metode Komparatif, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, tth), Cet. ke-4, h.15.
44
Dari istilah papyrus inilah lahir kata Papier dalam bahasa Prancis, Belanda dan Jerman,
Serta Paper dalam bahasa Inggris yang berarti kertas. Lihat Ilham Khoiri R., Al-Qur’an dan
Kaligrafi Arab, h. 53.
45
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 20-21.
46
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 8-9.
28
komunitas keturunan Kan‟an Smith yang disebut bangsa Phunisia. Hidup
sekitar tahun 2000-1500 SM, di Libanon dan Lautan Tengah. Dari sini lahir
tulisan Phunisia yang lebih sederhana dan menjadi tulisan bunyi atau
ideogram. Jumlah hurufnya hanya 22 saja, yang mereka beri nama alpha (a),
yang kedua beta (b) dan seterusnya yang kemudian terkenal dengan huruf
alfabet atau abjad.47
Dari tulisan Phunisia timbul lagi tulisan ‘Arami yang digunakan bang
Arami yang mendiami daerah-daerah Palestina, Suriah dan Iraq. Di daerah-daerah
tersebutlah tulisan ‘Armani dahulunya berkembang. Lahir juga, dalam waktu
bersamaan, tulisan Musnad yang tiap huruf-hurufnya terpisah satu dengan yang
lain, tidak seperti tulisan Arab yang lahir kemudian.48 Sampai di sini, para ilmuan
terutama para ahli dari Barat dan Arab berbeda pandangan tentang jenis-jenis
tulisan yang dilahirkan oleh kedua tulisan tersebut. Bahkan, ada yang meyakini
salah satu tulisan tersebut kemudian tidak berkembang atau mati.49
Namun, berdasarkan atas bukti-bukti nyata arkeologis yang pernah
mengadakan penelitian intensif tentang pertumbuhan tulisan Arab yang
berhubungan erat pada ilmu perbandingan bahasa, disimpulkan bahwa kedua
tulisan kedua tulisan-tulisan tersebut melahirkan cabang-cabangnya. Tulisan
‘Armani melahirkan tulisan Nabathi di Hirah dan Satranjili-Suryani di Iraq.
Sementara tulisan Musnad melahirkan Safawi di bukit Landai Safa, Samudi di
kota Samud dan Lihyani di utara Makkah pada pemukiman Bani Lihyan, dan
Humeiri di Hemyar, sebelah selatannya.50
Dari beberapa jenis tulisan tersebut, Didin Sirojuddin AR, menyimpulkan
hanya Musnad dan Nabathi yang benar-benar dianggap sebagai tulisan Arab kuno.
Para ahli tentang Arab Selatan antara lain Klaser, Necker, dan Hommel mampu
mengusut pemakaian Musnad semenjak 1000 tahun SM. Menurut data al-Muqrizi,
tulisan Musnad merupakan tulisan yang banyak dipakai oleh masyarakat Himyar
dan raja-raja Aad.51 Ibnu Khaldun mencatat bahwa orang-orang Hijaz mengambil
47
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 27-28.
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 33.
49
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 35.
50
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 20.
51
Didin Sirojuddin AR., “Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur’an, Vol. 1,
1989/1410 H. hal. 54 ; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 26-27. Lihat juga Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, h. 418.
48
29
tulisannya dari Hirah, orang-orang Hirah dari Hameir, sedangkan Hameir sendiri
dari Yaman, yang diduga sebagai tempat kelahiran pertama tulisan Musnad.
Hanya saja, peninggalannya dan bukti-buktinya tidak ditemukan secara jelas. Pada
masa selanjutnya, tulisan Musnad tidak digunakan lagi, terdesak oleh tulisan
Kindi dan Nabathi yang menggantikannya.52
Tulisan Nabathi inilah yang dipercaya dan disepekati oleh banyak peneliti
sebagai tulisan yang diadopsi oleh kaligrafi Arab.53 Para peneliti54 setuju bahwa
kaligrafi Arab senantiasa langsung dikaitkan dengan tulisan Nabathi sebagai
bentuk tulisan Arab paling mulia. Tulisan tersebut dipakai oleh suku Nabathi, ras
Arab yang menempati wilayah utara jazirah Arabia di negeri Yordan dengan
ibukota Puerto pada abad 1 SM. Kerajaan Nabathi, dengan wilayah geografisnya
yang strategis, pernah mekar dan mengalami saat-saat kejayaannya. Tanah
kekuasaannya membentang dari Semenanjung Jazirah Arab hingga tetanggatetangganya di utara.55
Kepercayaan itu bukan tanpa alasan, lantaran ia didukung oleh bukti-bukti
berupa inskripsi pahatan purbakala yang berhasil ditemukan, yaitu : Inskripsi
Umm al-Jimal (250 M), Inskripsi Nammarah (328 M), Inskripsi Zabad (511-512
M), Inskripsi Huron (568-569 M), dan yang terakhir adalah Inskripsi Umm alJimal II.56 Kelima inskripsi (naqs) di atas yang dikenal dengan Al-Hajar AlKhomsah (prasasti lima batu) yang dianggap sebagai asal-usul dan pembuka
sejarah kaligrafi Arab.
52
Abdul Karim Husein, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h.7.
Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, h. 10.
54
Di antara peneliti yang berpendapat demikian adalah: Francis Robinson, Atlas of Islamic
World Since 1500, (London: Phaidon Press, Ltd., 1982), h. 200 ; Yasin Hamid Safadi, Islamic
Calligraphy, (London: Themes and Hudson, 1978), h. 7 ; Abdulkebir Khatibi dan Muhammed
Sijelmassi, The Splendours of Islamic Calligraphy, (London: Themes and Hudson, 1976), h. 60.
55
Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, h. 20-21.
56
Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-‘Arabi, h. 21-23. Lihat juga W. Montgomery Wall,
Pengantar Studi al-Qur’an; Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, terj. Taufik Adnan Amal,
(Jakarta: PT Rajawali Pers, 1991), h. 46-47; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h.32-37 ;
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h.37-38 ; Y. Hamid Safadi, Islamic
Calligraphy, h. 6 ; Abdulkebir Khatibi dan Muhammed as-Syjelmassi, The Spledours, h. 22 ;
Habibullah Fadha„ili, Athlas al-Khath wa al-Khuthuth, h. 97-100 ; M. Quraish Shihab, Mukjizat
al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung:
Mizan, 1997), Cet. ke-1, h. 92-93.
53
30
BAB III
KODIFIKASI DAN PENULISAN AL-QUR’AN
Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam dan pedoman hidup para
penganutnya, agar selalu mengikuti norma-norma hukum untuk mewujudkan dan
membina suatu masyarakat. Al-Qur‟an yang diturunkan kepada nabi Muhammad
dimulai pada malam bukan puasa tanggal 17 Ramadhan, pada saat Nabi telah
berusia 40 tahun bertepatan dengan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. 1 Wahyu
pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah surat al-„Alaq.2 Dan ayat yang
terakhir diturunkan kepada Nabi adalah surat al-Maidah ayat 3 pada saat Nabi
sedang melaksanakan wukuf di Arafah melakukan haji Wada pada tahun
kesepuluh Hijriyah atau 7 Maret 622 M.3 Al-Qur‟an kemudian menjadi kitab suci
kaum Muslimin yang prosesnya disampaikan secara berangsur-angsur kepada
nabi Muhammad saw selama kurang lebih 23 tahun.4
Menurut Harun Nasution, bahwa dalam faham dan keyakinan kita sebagai
umat Islam, al-Qur‟an sebagai kitab suci, mengandung sabda Tuhan (Kalam
Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada nabi Muhammad, seperti
dijelaskan dalam al-Qur‟an, proses pewahyuan ada tiga macam: Pertama, yang
kelihatan adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seorang
timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang
menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam
keadaan france, ru‟yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang
disampaikan melalui utusan atau malaikat yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini
disampaikan dalam bentuk kata-kata. Dan wahyu yang disampaikan kepada nabi
Muhammad adalah wahyu dalam bentuk ketiga.5
1
Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 35-36.
Karen Armstrong, Muhammad: Prophet for Our Time, terjemahan Yuliani Lipito, (Bandung:
Mizan, 2006), h. 19-20.
3
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 32-34.
4
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2011), h. 88.
5
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan. 1995), h.17.
2
31
Wahyu dalam bentuk kata-kata disampaikan kepada nabi Muhammad
tidak secara langsung sekaligus, tetapi bertahap dan berangsur-angsur dalam masa
kurang lebih dari dua puluh tiga tahun, dengan salah satu tujuannya yaitu
memudahkan Nabi untuk menghafalkannya, sebab pada masa awal Islam, metode
hafalan masih cukup dominan di kalangan masyarakat Arab. Hanya ada beberapa
orang yang memiliki kemampuan baca-tulis. Di antara mereka adalah Sa„id bin
Zuharah, al-Mundzir bin Amr, Ubay bin Wahhab, Zayd bin Tsabit, Rafi‟ bin
Malik dan Anas bin Khawli.6 Nabi Muhammad sendiri pun diyakini sebagai
seorang yang ummi,7 (tidak bisa baca-tulis) sesuai dengan apa yang dinyatakan
dalam al-Qur‟an (QS. 7:157-158). Ke-ummi-an Nabi ini dikuatkan dengan adanya
tiga peristiwa, yaitu; Nabi mengangkat sekretaris dan beberapa penulis wahyu;
ketika menerimah surat dari al-Abbas sebelum perang Uhud, beliau meminta
dibacakan oleh Ubay bin Ka„ab; dan Nabi meminta dituliskan perjanjian dengan
utusan Tsaqif.8
A. Penulisan al-Qur’an pada masa Rasulullah
Proses pengumpulan al-Qur‟an meliputi proses penyampaian, pencatatan,
pengumpulan catatan, dan kodifikasi, sehingga menjadi sebuah mushaf al-Qur‟an
yang disebut dengan Jam‟ al-Qur‟an. Semua proses ini merupakan bagian dari
upaya untuk mengamankan dan melestarikan kitab suci al-Qur‟an.9
Cara paling lazim dalam menjaga al-Qur‟an pada masa Nabi dan sahabat
adalah dengan metode hafalan. Hal ini selain karena masih banyaknya sahabat
yang buta huruf, juga karena hafalan orang Arab ketika itu terkenal sangat kuat
dan dominan. Bisa dimaklumi juga pencatatan dan penulisan al-Qur‟an belum
merupakan alat pemelihara yang handal, karena dari segi teknis, alat-alat tulis
ketika itu masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Bahkan tempat
6
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h.
47-48. Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 31.
7
Annemarie Schimmel, Calligraphy and Islamic Culture (London: I.B. Tauris & Co Ltd
Publishers, 1990), h. 77. Lihat juga pendapat Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an (Bandung:
Mizan, 1998), h. 71.
8
Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, (Jakarta:
Rajawali Press, 1995), Cet. ke-3, h. 37-38.
9
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran (Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, 2013),
h.142.
32
dan media menulis berasal dari pelepah kurma dan tulang-tulang yang gampang
lapuk dan patah, tinta yang mudah luntur, dan qalam (alat tulis) yang sangat
sederhana.10
Upaya pelestarian al-Qur‟an pada masa Nabi yaitu setiap kali menerima
wahyu beliau langsung mengingat dan menghafalkannya. Selanjutnya Nabi
menyampaikan kepada para sahabatnya. Kemudian sahabat menyampaikannya
secara berantai kepada sahabat-sahabat lain. Sebagian sahabat, di samping
langsung menghafalnya, juga mencatatnya sesuai dengan urutan-urutannya
berdasarkan petunjuk Nabi yang kemudian disimpan di rumah Nabi dan mereka
menyalinnya untuk dibawa pulang. Catatan-catatan itu tidak dimaksudkan untuk
orang lain, tetapi sebagai koleksi pribadi.11
Kalau ada ayat-ayat al-Qur‟an yang turun, para sahabat berlomba-lomba
menghafalnya, lalu disampaikan kepada keluarga dan sahabat-sahabat lain. Jika
ada masalah, mereka langsung mengkonfirmasikannya kepada Nabi, kemudian
beliau segera memberikan penjelasan, Karena hafalan Nabi sangat kuat, dan
bahkan Nabi digelari dengan Sayyed al-Huffadzh (penghulu para penghafal alQur‟an).12
Penulisan al-Qur‟an pada masa Nabi sudah dikenal secara umum. Meski
demikian, tetapi sesungguhnya Nabi sendiri memerintahkan penulisan al-Qur‟an.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi memiliki juru tulis yang biasa diperintahkan
untuk menuliskan wahyu Beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara
lain: Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin
Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asyari,
Aban bin Sa„id dan Abu Darda.13
10
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir, h. 61-63.
11
M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 27.
12
Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 34.
13
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 47. Lihat juga Quraish Shihab,
Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 28. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, h. 59-60.
33
Sementara itu, beberapa sahabat lain juga menulis al-Qur‟an dalam
dokumen pribadi masing-masing atas inisiatif sendiri. Semangat penulisan
semakin marak, apalagi sesudah mendapatkan kemenangan pada perang Badar
dan menahan beberapa orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis,
Rasulullah menetapkan tebusan tawanan yang tidak bersedia masuk Islam dan
tidak mampu membayar tebusan untuk masing-masing mengajarkan baca-tulis
kepada sepuluh anak muda Madinah.14
Saat itu, penulisan al-Qur‟an tidak dilakukan secara kolektif, sehingga alQur‟an tidak terkumpul dalam satu buku, akan tetapi ayat-ayatnya ditemukan
terserak dan tersebar di tangan para sahabat. Tulisan dan ayat-ayat al-Qur‟an
tersebut masih berserakan dalam berbagai versi dan bahan. Media penulisan pun
bermacam-macam, seperti pada ar-Riqa‟ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan
batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-„Usbu (pepelah kurma). Tersebarnya ayatayat al-Qur‟an disebabkan oleh proses turunnya al-Qur‟an secara berangsurangsur.15
Menurut Taufik Adnan Amal, bahwa pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an
pada masa nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara:
1. Al-Jam‟u fis Sudur. Para sahabat langsung menghafalnya setiap kali
Rasulullah menerima wahyu. Hal ini bisa mereka lakukan dengan mudah
karena budaya orang Arab dalam menjaga turast (peninggalan nenek
moyang melalui syair atau cerita) dengan media hafalan. Mereka sangat
masyhur dengan kekuatan daya ingatnya.
2. Al-Jam‟u fis Suthur. Setiap kali turun wahyu, nabi Muhammad saw selalu
membacakan secara langsung kepada sahabat, kemudian memerintahkan
mereka untuk menulikannya dengan hati-hati sambil melarang para
14
Ibrahim al-Ibyari, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, h. 41. Hal yang sama juga dinyatakan
oleh Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 60-61.
15
Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur‟an (Bandung: Salamadani, 2009),
h. 38; Hal serupa juga diungkapkan oleh M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum
al-Qur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 83; C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke
Kaligrafi Arab, h. 47; Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 388.
34
sahabat untuk menulis perkataan-perkataan Nabi karena dikhawatirkan
akan bercampur dengan ayat-ayat al-Qur‟an.16
Barulah pada masa Khulafa al-Rasyidin, tulisan itu dikumpulkan dalam
satu mushaf yang disepakati, dan dikenal sebagai kodifikasi al-Qur‟an. Usaha
bermula dari banyaknya yang gugur para penghafal al-Qur‟an akibat peperangan
dengan para pemberontak dan yang menginspirasikan gagasan ialah „Umar bin
Khathtab untuk mengumpulkan ceceran tulisan al-Qur‟an yang ada dalam satu
mushaf. Kalau dihafal saja, „Umar khawatir al-Qur‟an akan berangsur-angsur
hilang seiring dengan berkurangnya penghafal al-Qur‟an. Diusulkanlah gagasan
itu kepada Abu Bakar sebagai khalifah saat itu.17
B. Pengumpulan dan Penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Shidiq
Setelah nabi Muhammad saw wafat dan Abu Bakar dipilih dan diangkat
menjadi sebagai khalifah, terjadilah pembangkangan dalam hal pembayaran zakat,
dan gerakan keluar dari agama Islam (murtad) di bawah pimpinan Musailamah alKadzab. Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan
pasukan khusus di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Terjadilah pertempuran di
Yamamah pada tahun 12 H, yang tidak sedikit memakan korban dikalangan
pasukan Islam termasuk 70 sahabat yang menghafal al-Qur‟an.18
Peristiwa yang tragis itu mendorong Umar bin Khaththab untuk
menyarankan kepada khalifah agar segera dihimpun dan dikumpulkan ayat-ayat
al-Qur‟an dalam Mushaf atau Shuhuf (kodifikasi), karena kekhawatirkan
kehilangan sebagian ayat-ayat al-Qur‟an dengan wafatnya sebagian para
penghafalnya. Gagasan dan ide yang disarankan oleh Umar diterima oleh Abu
Bakar dengan ragu-ragu, karena Abu Bakar takut umat Islam beranggapan bahwa
kalau ayat-ayat al-Qur‟an sudah ada dalam mushaf akan mengahapus tradisi lama
16
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, h.142-144. Lihat juga Emsoe
Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur‟an, h. 38-39.
17
Emsoe Abdurrahman dkk, The Amazing Story of Al-Qur‟an, h. 39-44.
18
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur‟an (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 16.
35
yaitu hafalan, karena mereka akan berprinsip bahwa semua itu telah dituliskan ke
dalam mushaf.19
Ditinjuau dari segi lain, Abu Bakar adalah seorang yang benar-benar berhatihati dalam masalah syari‟at, ia selamanya mengikuti jejak Nabi saw. Maka
apabila Abu Bakar menerima ide dan gagasannya Umar tersebut, ia takut
dirinya dinyatakan sebagai ahli bid‟ah, searu perbuatan yang sangat tidak
disenangi Rasulullah. Oleh karen itu Abu Bakar tegaskan kepada Umar,
“Bagaimana mungkin aku akan berbuat sesuatu yang belum dilakukan
Rasululllah ? lagipula aku takut akan perpecahan, pertengkaran dan
bid‟ah”.20
Namun setelah diadakan diskusi dan pertimbangan-pertimbangan maka
gagasan dan ide yang diusulkan oleh Umar dapat diterima oleh Abu Bakar.
Kemudian khalifah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera
menghimpun dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam satu mushaf.
Zaid bin Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia
adalah seorang penulis wahyu yang utama dan hafal seluruh ayat-ayat al-Qur‟an.
Zaid dalam menjalankan tugasnya berpegang kepada dua hal, yaitu: pertama,
ayat-ayat al-Qur‟an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi;
kedua, ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang menghafal al-Qur‟an. Zaid
bin Tsabit akan menerima tulisan ayat-ayat al-Qur‟an kalau disaksikan oleh dua
saksi yang adil, bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah
dan petunjuk dari Nabi.21
Tugas mengumpulkan dan menghimpun al-Qur‟an dapat dilaksanakan
oleh Zaid bin Tsabit dalam waktu kurang lebih satu tahun, yakni antara sesudah
terjadinya perang Yamamah (632 M) dan sebelum wafatnya Abu Bakar (w. 634
M). dengan demikian tercatat dalam sejarah bahwa Abu Bakar sebagai orang yang
pertama memerintahkan penghimpunan dan pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an
19
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam (Jakarta: Zaman,
2014), h. 109. Lihat juga pendapat Richard Bell, Pengantar Qur‟an, diterjemahkan oleh Lillian D.
Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 35.
20
Moh. Ali ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur‟an (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
107. Lihat juga Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, h. 109110.
21
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 48.
36
dalam mushaf atau shuhuf. Dan Umar bin Khaththab sebagai yang pertama
memiliki gagasan dan ide untuk mengumpulkan dan menghimpun al-Qur‟an, dan
Zaid bin Tsabit adalah orang yang pertama-pertama melaksanakan penulisan dan
pengumpulan al-Qur‟an dalam satu mushaf.22
Mushaf atau shuhuf al-Qur‟an itu kemudian disimpan oleh Abu Bakar
seterusnya oleh Umar bin Khaththab setelah Abu Bakar wafat. Kemudian
disimpan Hafsah bin Umar setelah Umar wafat, atas pesan Umar dengan
pertimbangan bahwa Hafsah adalah seorang istri dari Nabi yang menghafal alQur‟an dan bisa baca-tulis. Di samping itu, masalah khalifah pengganti Abu Bakar
harus dimusyawarahkan dahulu, jadi Utsman bin Affan belum ditentukan sebagai
khalifah pada waktu itu.23
Mushaf yang dikumpulkan atau yang dikodifikasi pada masa Abu Bakar
terdapat beberapa keistimewaan:
1. Penyelidikan yang mendetail dan konfirmasi yang sempurna.
2. Tidak ditulis kecuali telah nyata bebas dari nasakh bacaannya secara
konfirmatif.
3. Semua ayat-ayat tersebut telah nyata mutawattir dan berdasarkan pada
kata kesepakatan umat.
4. Mushafnya meliputi semua qira‟at yang tujuh (qira‟at sab‟ah), yang
dinukil secara konfirmatif dan tegas.
Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, Abu Bakar mendapat
banyak sanjungan dari para sahabat, yang berarti ia telah memelihara al-Qur‟an
agar tidak hilang bersama kalam Allah dan siapa yang memegangnya. 24
Terkumpullah seluruh catatan al-Qur‟an yang pada kala itu secara lengkap
dalam sebuah mushaf yang kemudian disimpan Abu Bakar (w. 634 M) lalu
22
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir, h. 72-74.
23
Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, h. 389.
24
Moh. Ali ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, h. 110-111.
37
disimpan di „Umar bin Khathtâb (w. 643 M). Selain itu, ada pula mushaf-mushaf
lain yang ditulis dan dimiliki secara pribadi oleh para sahabat lainnya.
C. Penulisan dan Penghimpunan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan
Pada masa khalifah „Utsman bin „Affan (644-656 M), penyebaran Islam ke
daerah-daerah mengakibatkan perbedaan bacaan antar daerah tersebut. Puncak
perbedaan terjadi di kalangan tentara muslim dari Irak ketika berekspedisi ke
Armenia dan Azerbaijan. Oleh Hudzaifah bin al-Yamani, sang panglima perang,
peristiwa ini dilaporkan ke khalifah.25
Hudzaifah bin al-Yamani menyarankan kepada khalifah agar segera
mengusahakan keseragaman bacaan al-Qur‟an dengan jalan menyeragamkan
tulisan al-Qur‟an. Dan kalau masih terjadi perbedaan-perbedaan dalam bacaannya,
diusahakan masih dalam batas-batas yang ma‟tsur (diajarkan oleh Nabi),
mengingat bahwa al-Qur‟an diturunkan dengan memakai tujuh dialek bahasa Arab
yang hidup pada waktu itu.26
Tujuh macam dialek itu sering disebut dengan “tujuh macam pembacaan
(qira‟at) atau dikenal dengan Qiraatus Sab‟ah. Tokoh-tokoh yang memang di
antara mereka yang bacaannya berlainan adalah:
1. Di Madinah, Imam Nafi‟ bin Abi Na‟im, ia belajar kepada 70 ahli
qira‟at, bekas murid dari Abdullah bin Abbas. Imam Nafi‟ meninggal
pada tahun 169 H.
2. Di Mekkah, Imam Abdullah bin Katsir, ia belajar kepada Zaid bin
Tsabit, dan lain-lainnya. Ia meninggal pada tahun 120 H.
3. Di Bashrah, Imam Abu Amr bin al-Alla, ia belajar kepada Sa‟id bin
Jubair dan lain-lainnya. Ia meninggal pada tahun 155 H.
4. Di Dimasyq (Syam), Imam Abdullah bin Amir, ia belajar kepada
Mughirah bin Syu‟bah yang pernah belajar kepda Utsman bin Affan. Ia
kemudian wafat pada tahun 118 H.
25
Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 114.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur‟an, h. 17.
26
38
5. Di Kufah, Imam Abu Bakar Aashim bin Najwad, ia pernah belajar
kepada Abdullah as-Sulami dan Zur bin Hubaisy, yang mereka itu
pernah berguru kepada Utsman bin Affan.
6. Di Kufah juga, Imam Hamzah bin Hubaib, ia belajar kepada Said
Ja‟far as-Shidiq, yang sanad qira‟atnya sampai kepada Ali bin Abi
Thalib.
7. Dan terakhir di Kufah, Imam Ali bin Hamzah al-Kusai, ia berguru
kepada Imam Hamzah bin Hubaib.27
Khalifah Utsman dapat menerima ide Hudzaifah, kemudian membentuk
panitia terdiri dari empat orng, yakni: Zaid bin Tsabit, Sa‟id bin al-„Ash, Abdullah
bin al-Zubair an Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam. Panitia ini diketuai oleh
Zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin shuhuf al-Qur‟an ang disimpan oleh
Hafsah, sebab shuhuf yang disimpan di Hafsah dipandang sebagai naskah alQur‟an standar.28
Menurut Qasim A. Ibrahim, bahwa faktor utama yang mendorong
penulisan dan penghimpunan al-Qur‟an jilid 2 dapat disimpulkan dan
dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor: Pertama, luasnya daerah-daerah taklukan
dan kekuasaan Islam, dan banyaknya kaum non-Arab yang memeluk Islam.
Sebelumnya, Umar pernah melarang sejumlah sahabat terkemuka untuk pergi
keluar dari Makkah dan Madinah. Hal ini menimbulkan perbedaan bacaan alQur‟an di kalangan masyarakat. Kedua, Utsman ingin menyeragamkan penulisan
al-Qur‟an dengan salah satu dari tujuh huruf (dialek) yang ada. Ditetapkanlah
penulisan al-Qur‟an dengan dialek Quraisy. Bacaan al-Qur‟an dengan dialekdialek lain masih diperkenankan sampai lisan orang-orang sudah terbiasa dengan
dialek Quraisy. Keempat panitia penulis al-Qur‟an pernah berbeda pendapat
tentang penulisan kata “tabut” dalam ayat, Dan nabi mereka berkata pada
mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya tabut kepadamu,
27
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir, h. 67-68; Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 85; Richard Bell, Pengantar Qur‟an, h.
43.
28
Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, h. 390.
39
yang didalamnya terdapat kemenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan
keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dibawa oleh malaikat.” Sungguh, pada
yang demikian itu terdapat tanda kebesaran Allah bagimu, jika kamu orang
beriman (al-Baqarah [2]: 248). Zaid menulisnya tabuh, semetara tiga penulis
sisanya menulisnya tabut. Mereka lalu mengadu persoalan ini kepada Utsman,
dan Utsman pun berkata, “Tulislah tabut karena al-Qur‟an diturunkan dengan
dialek Quraisy.” Tak bisa dipungkiri, ini merupakan pencapaian terbesar khalifah
Utsman bin Affan dan disetujui oleh semua sahabat yang masih ada.29
Panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit diperintahkan menyalin dan
menggandakan shuhuf al-Qur‟an yang berada di Hafsah ke dalam beberapa
mushaf untuk dikirimkan ke beberapa daerah kekuasaan Islam disertai instruksi
bahwa semua shuhuf dan mushaf al-Qur‟an yang berbeda dengan mushaf alUtsman yang terkirim itu harus dimusnahkan atau dibakar. Umat Islam dan para
sahabat menyambut dengan baik mushaf Utsman dan mematuhi instruksi khalifah.
Maka dimusyawarahkanlah dan sebagai hasilnya, dibentuk panitia penyeragaman
mushaf yang diketuai Za„id bin Tsabit. Mereka mengumpulkan dan kemudian
melenyapkan seluruh mushaf yang ada, mencari sambil mengevaluasi sandaransandaran yang benar, dan kemudian menyeragamkannya dalam satu model dan
pola saja. Hasilnya adalah suatu kumpulan yang disetujui bersama dan dikenal
dengan nama Mushaf Utsmani. Sejumlah salinan dibuat dan dikirimkan ke daerahdaerah penting.30
Setelah panitia yang dipimpin Zaid bin Tsabit berhasil melaksanakan
tugasnya, shuhuf Hafsah yang dipinjamnya dikembalikan kepada Hafsah binti
Umar. Marwan bin Hakam seorang khalifah dari dinasti Umayyah (w. 65 H)
pernah memintah Hafsah agar shuhufnya dibakar, tetapi ditolak oleh Hafsah.
Setelah wafatnya Hafsah, shuhuf tersebut kemudian dimusnahkan dengan dibakar.
Tindakan yang dilakukan oleh Marwan ini sebenarnya bertujuan untuk menjaga
29
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, h. 213-214. Hal
seruapa juga dikemukakan oleh Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur‟an, h. 59. Taufik Adnan Amal,
Rekonstruksi Sejarah al-Quran, h. 222.
30
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49-50.
40
dan mengamankan keseragaman mushaf al-Qur‟an yang telah diusahakan oleh
khalifah Utsman bin Affan dengan menyalin seluruh isi shuhuf Hafsah ke dalam
mushaf Utsmani, dan pula untuk menghindari keraguan umat Islam di masa yang
akan datang terhadap mushaf al-Qur‟an, jika masih terdapat dua macam naskhah
al-Qur‟an (shuhuf Hafsah dan mushaf Utsmani).31
Terdapat perbedaan di antara para ulama tentang jumlah mushaf yang
ditulis dan disalin pada masa Utsman. Kebanyakan ulama mengatakan dan
berpendapat sebanyak empat buah, masing-masing dikirim ke Kufah, Bashrah,
Syiria, dan sementara satu buah lagi disimpan oleh khalifah Utsman. Pendapat
lain mengatakan berjumlah tujuh buah mushaf, yaitu tiga buah dikirimkan
kedaerah Kufah, Bashrah, Syiria, dan tiga buah lagi dikirimkan ke Mekkah,
Yaman dan Bahrain, semetara satu buah mushaf disimpan oleh Utsman. Adapula
yang berpendapat bahwa mushaf yang disalin sebanyak enam buah, masingmasing dikirim ke Mekkah, Bashrah, Hufah dan Syiria, satu buah beraa di
Madinah, dan satu lagi berada dan disimpan oleh Utsman bin Affan.32
Berapa pun jumlah mushaf yang disalin dan ditulis pada masa Utsman
tidak menjadi masalah dan persoalan. Yang jelas, penggandaan dan penyalinan
mushaf al-Qur‟an yang baku dan standar telah dilaksanakan pada masa khalifah
Utsman bin Affan. Namun demikian, dengan penggandaan dan penyalinan
mushaf, tidak berarti persoalan dan permasalahan yang berkenaan dengan alQur‟an dapat dituntaskan. Perlu diketahui, mushaf Utsmani belum menggunakan
tanda-tanda baca seperti titik dan simbol-simbol bacaan lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, kita bisa membedakan upaya antara
Abu Bakar as-Shidiq dengan apa yang dilakukan Utsman bin Affan dalam
menghimpun, menyalin dan mengkodifikasi al-Qur‟an.
31
Richard Bell, Pengantar Qur‟an, h. 37.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, h. 225. C. Israr, Dari Teks Klasik
sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49.
32
41
Penghimpunan dan kodifikasi al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Abu
Bakar as-Shidiq hanyalah berupa penukilan dan penulisan ke dalam bentuk satu
mushaf menurut aturan ayat-ayat trsebut yang dihimpun dan dikumpulkan dari arRiqa‟ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al„Usbu (pepelah kurma). Dan faktor besar yang mendorong Abu Bakar untuk
melakukan penghimpunan dan pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟an adalah
banyaknya pada penghafal al-Qur‟an (huffadzh) yang gugur dalam beberapa
peperangan.
Sedangkan penulisan, penyalinan dan kodifikasi al-Qur‟an yang dilakukan
pada masa Utsman bin Affan hanyalah berupa transkrip mushaf peninggalan Abu
Bakar yang berada pada Hafsah untuk dikirimkan dan disebarluaskan ke daerahdaerah kekuasaan Islam. Dan faktor penulisan dan penghimpunannya adalah
terjadinya perselisihan dan perbedaan para pembaca al-Qur‟an (Qurra) dalam
membaca ayat-ayat al-Qur‟an.
Adapun arti penting dibalik kodifikasi al-Qur‟an yang dilakukan pada
masa Utsman bin Affan adalah:
1. Menyatukan kaum muslim pada satu macam dan jenis mushaf yang seragam
ejaan dan tulisannya.
2. Menyatukan bacaan, meskipun pada kenyataannya masih ada perbedaan
pada cara membaca. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlawanan dengan
ejaan-ejaan Mushaf Utsmani. Bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan
Mushaf Utsmani tidak diperbolehkan lagi.
3. Menyatukan tata tertib susunan surat-surat, menurut tata tertib sebagaimana
yang terlihat pada mushaf-mushaf sekarang.
D. Penulisan dan Penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa Dinasti
Umayyah
Dinasti Umayyah yang berkuasa antara tahun 660-750 M, ketika „Ali bin
Abi Thalib (w. 661 M) menjadi khalifah, lalu hadir bani Umayyah mengambil alih
42
kekuasaan khalifah sampai kira-kira selama 40 tahun lebih, tidak begitu banyak
mengalami perkembangan penulisan al-Qur‟an dan kaligrafi. Pertumbuhan tulisan
pada dekade ini mengalami kelambatan, terlihat dengan bentuk tulisan atau
rangkaian huruf yang agak terpenggal-penggal. Mushaf Utsmani selanjutnya
ditulis dan disalin terus-menerus sebagaimana adanya dengan tulisan Kufi, tanpa
syakl dan titik.33
Walaupun pada masa dinasti Umayyah perkembangan tulisan mengalami
kelambatan, bukan berarti penulisan al-Qur‟an tidak dilakukan sama sekali.
Penulisan al-Qur‟an pada masa Umayyah terus berlangsung, namun tidak sepesat
masa sesudahnya yaitu dinasti Abbasiyah.
Pada masa dinasti Umayyah timbul inisiatif untuk menyempurnakan
penulisan al-Qur‟an pertama kali. Dikarenakan oleh timbulnya bermacam
kekeliruan bacaan terutama di kalangan bangsa non-Arab atau „ajam, maka Abu
Aswad al-Du‟ali (w. 688 M) mengantisipasinya dengan menciptakan syakl tanda
baca atas perintah Ziad bin Sumayyah, Gubernur Muawiyah di Basrah.
Penyempurnaan selanjutnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad (w. 786 M) dengan
memberikan i‟jam dan kemudian diteruskan dengan sejumlah penyempurnaan lain
hingga mapan dan sempurna seperti yang ada sekarang ini.34
Namun, apa yang dilakukan Abu Aswad belumlah dikatakan sempurna,
Abu Aswad hanya menambahkan dan menempatkan “titik-titik” berwarna merah
pada huruf-huruf yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukkan pada
unsur-unsur kata Arab.35
Selanjutnya upaya peletakan tanda baca dilanjut oleh Al-Khalil ibn Ahmad
al-Farahidi (786 M) mengadakan perubahan atas tanda baca yang diciptakan oleh
33
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79.
Dawud al-Atthar, Persepektif Baru Ilmu al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.
34
195.
35
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64-65.
43
Abu Aswad. al-Khalil justru menggunakan titik-titik sebagai pembeda huruf yang
bentuknya sama tetapi penyebutannya berbeda.36
Pada masa kekuasaan dinasti Umayyah ada seorang kaligrafer pertama
yang paling lama bertahan, ia adalah Quthbah al-Muharrir, ia banyak menciptakan
dan memperbaharui tulisan-tulisan lama, pada akhirnya berlaku setelah
kelahirannya. Quthbah berhasil mewarisikan empat jenis tulisan atau kaligrafi,
yaitu; Tumar, Jalil, Nisf, dan Tsulus, dan dia pulalah yang menciptakan
Tsulusayn. Quthbah juga terkenal dengan jasanya yang menghiasi mihrab masjid
Nabawi di Madinah dengan berragam ayat al-Qur‟an yang ditulis dengan tulisan
indah.37
Abad ketiga Hijriyah diadakan lagi penyempurnaan al-Qur‟an khususnya
dalam bentuk tulisannya. Para penulis al-Qur‟an berlomba-lomba memilih bentuk
tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan
untuk huruf yang di syaddah sebuah tanda seperti busur. Sedangkan untuk alif
washal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai harakat
sebelumnya: fathah, kasrah, atau dhammah. Secara bertahap pula penulis alQur‟an mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus
yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda pemberhentian (wakaf).38
Selanjutnya pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Abdul Malik
(705-715 M), tidak sedikit menulis dan menyalinkan al-Qur‟an berukuran besar
dengan tulisan dan kaligrafi yang indah. Penulisan al-Qur‟an pada masa dinasti
Umayyah masih menggunakan kaligrafi gaya Kufi. Huruf Kufi ini dijadikan huruf
atau tulisan standar yang banyak dipakai dalam penulisan al-Qur‟an pada masa
itu.39
36
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h. 76. Lihat juga Didin Sirojuddin AR,
Seni Kaligrafi Islam, h. 68-71.
37
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79.
38
Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 35.
39
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 81-82.
44
E. Penulisan dan Penyempurnaan mushaf al-Qur’an pada masa Dinasti
Abbasiyah
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah (750-1258 M), perkembangan
penulisan tercatat dan rupa-rupa inovasi dapat dikenali. Pada awal kekuasaannya,
ada dua kaligrafer yang sering disebut dalam sumber Arab, yaitu al-Dhahak bin
Ajlan yang hidup pada masa khalifah Abu al-Abbas al-Shaffah (750-754 M), dan
Ishaq bin Hammad terkenal dan masyhur pada masa al-Mansur (754-775 M).
Kaligrafer lain, Yusuf al-Sijzi (w. 825 M) berhasil menemukan model-model
tulisan yang lebih bagus dari sebelumnya, yaitu Khafif al-Tsulus, Khafif
Tsulutsain dan al-Riyasi, kemudian al-Ahwal al-Muharrir mengubah dan
menemukan perumusan enam jenis tulisan pokok (al-Aqlam al-Sittah, The Six
Pens), yaitu: Tsulus, Naskh (Naskah), Muhaqqaq (teratur dan pasti), Rahyani
(harum), Riq‟i (potongan-potongan kecil), dan Tauqi‟ (tanda tangan). Dari sini,
lalu muncul gaya tulisan lain seperti, Ghubar (debu), Riyasi, Musalsal
(bersambung), Majmu, Lu‟li Asyar, dan lain-lain.40
Penulisan al-Qur‟an pada masa dinasti Abbasiyah mulai menggunakan
tulisan-tulisan gaya cursif terutama jenis khat Naskhi yang diciptakan oleh Abu
Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Muqlah atau yang dikenal dengan nama
Ibnu Muqlah sebagai tokoh al-Khat al-Mansub (kaligrafi standar), Ibnu Muqlah
sangat berjasa dalam membangun tulisan Naskhi dan Tsulust.41
Pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah mushaf al-Qur‟an sudah
menggunakan kertas sebagai media penulisan ayat-ayat al-Qur‟an. Terutama pada
masa pemerintahan Harun al-Rasyid, untuk penulisan al-Qur‟an khalifah Harun
mendatangkan media berupa kertas dari Cina. Harun al-Rasyid menganjurkan
agar orang-orang tidak menulis kecuali di atas kagad atau kertas. Media berupa
kulit, pelepah kurma atau sejenisnya akan mudah melunturkan tulisan. Pada
beberapa tulisan yang luntur akan menimbulkan kerancuan dan kekacauan dalam
membacanya. Lebih-lebih jika tulisan itu adalah ayat-ayat al-Qur‟an. Lain halnya
40
Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 65.
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 83-84.
41
45
dengan kertas, apabila tulisannya terhapus akan langsung rusak, dan jika
terkelupas, kupasannya akan jelas terlihat. Demikian pendapat Harun al-Rasyid,
sejak itulah seni tulis menulis diatas kertas menyebar luas kemana-mana.
Pada masa berikutnya, Mushaf Utsmani yang telah bertanda baca itu
disalin ulang berkali-kali dengan semangat mengebu-gebu. Hampir dapat
dipastikan tiap-tiap dinasti dan kerajaan Islam memiliki mushaf-mushaf salinan
yang semakin ditingkatkan kualitasnya, baik dari sudut gaya tulisan, hiasan
ataupun lembar halaman yang digunakan. Para khalifah Islam mengadakan
pembuatan mushaf secara besar-besaran, bahkan para Shah Persia, dinasti
Moghul, dan kekhalifahan Turki Utsmani, tak segan-segan menghaburkan dana
untuk membayar dan membiayai sebuah mushaf dari tulisan Kaligrafer. Para
kaligrafer pun baru merasa puas dan dianggap mencapai puncak prestasi jika telah
menulis mushaf al-Qur‟an.42
Sepanjang sejarah perkembangan kaligrafi Arab dari mula hingga terkini,
aktivitas berkaligrafi sebenarnya sangat identik dengan hiruk-pikuk penulisan
mushaf-mushaf al-Qur‟an. Nama-nama kaligrafer adalah juga nama-nama penulis
mushaf al-Qur‟an yang handal. Memang kaligrafi Arab pada realitasnya tidak bisa
dipisahkan dari al-Qur‟an. Kaligrafi Arab merupakan perwujudan visual dari
wahyu; merupakan penjelmaan teks al-Qur‟an. 43
42
Didin Sirojuddin AR.,“Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur‟an (Jakarta:
LSAF, vol. 1, th. 1989), h. 56.
43
Sayyed Hossein Nasr, Spritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan, 1993), h.
29 dan 38.
46
BAB IV
PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB PADA MASA PRA-ISLAM
SAMPAI KODIFIKASI AL-QUR’AN (250-940 M)
A. Sejarah Kemunculan Kaligrafi Arab dan Perkembangannya
Penelitian para ahli menyatakan bahwa tulisan Arab merupakan proses
lanjutan dari tulisan Hierogliph melalui tulisan Phunisia. Selanjutnya dari tulisan
Phunisia ini timbul lagi tulisan Arami dan tulisan Musnad dengan segala jenisnya.
Bangsa Aramy mendiami daerah-daerah Palestina, Syria, dan Irak. Di daerah
tersebut tulisan Arami itu pertama kali berkembang. Tulisan Musnad tiap
hurufnya terpisah yang satu dengan lainnya, tidak seperti tulisan Arab yang lahir
kemudian. Dari tulisan tersebut lahir pula tulisan Shafawi, tulisan Tsamudi,
tulisan Lihyany, dan tulisan Himyari.1
Bangsa Himyari dari selatan jazirah Arab, dalam sejarahnya pernah
mencapai zaman kejayaannya, pada masa pemerintahan al-Tababi‟ah (raja-raja
Tubba‟). Bangsa Himyari ini telah mempunyai tulisan yang berasal dari tulisan
atau khat Musnad. Pada zaman al-Tababi‟ah tersebut, tulisan Musnad semakin
berkembang dan bertambah sempurna, sehingga kemudian lebih terkenal dengan
nama tulisan Himyari atau khath al-Himyari.2
Pemakaian tulisan Himyari semakin bertambah luas dan berkembang
sampai ke Hirah di Irak, yaitu ketika Hirah diperintah oleh kerajaan Manazirah di
bawah dinasti Al-Munzir, sekitar tahun 268-628 M. Di daerah Irak, pernah juga
berdiri kerajaan Anbath, ibu kotanya bernama Petra. Di sana pernah pula
berkembang sejenis tulisan yang disebut tulisan atau khat Nabathi. Orang-orang
Quraisy dari Hijaz sering pergi berniaga atau berdagang ke Syria dan Hyrah. Di
antara mereka ada yang mempelajari tulisan-tulisan yang berkembang di daerah
tersebut, seperti tulisan Siryani dan tulisan Nabthi. Bangsa Siryany mempunyai
1
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 6-
7.
2
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab,(Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h.
33.
47
lagi, tulisan yang disebut tulisan Strangeli (Satranjili-Siryani). Tulisan ini khusus
dipergunakan untuk menulis kitab-kitab suci (The Holy Scriptures).3
Tulisan Himyari, tulisan Strangeli, dan tulisan Nabthi, kemudian
mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan tulisan Arab sesudah
kedatangan agama Islam. Tulisan Strangeli berkembang menjadi tulisan Kufi,
sedangkan tulisan Nabthi berkembang berkembang menjadi tulisan Naskhi. Di
bawah ini dicantumkan silsilah menurut beberapa ahli, ahli Barat (orientalis) dan
ahli Arab (muslim), tentang perkembangan tulisan Hierogliph dari Mesir Kuno
sampai kepada tulisan Arab pada permulaan Islam.4
Pendapat Ahli Barat:
Pendapat Ahli Arab:
3
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 34.
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 35.
4
48
Suatu bukti yang menguatkan pendapat bahwa tulisan Arab itu berasal dari
tulisan Nabthi, ialah dengan ditemukannya tulisan pada batu (inskripsi) yang
dikenal dengan Naqsh al-Namarah yang berasal dari tahun 328 M yakni hampir
tiga abad sebelum datangnya agama Islam. Menurut penelitian para ahli sejarah
Naqsh al-Namarah ini dianggap sebagai suatu jenis tulisan yang pernah
berkembang di wilayah sebelah utara jazirah Arab dahulunya dan yang sangat
berpengaruh terhadap tulisan Arab yang muncul kemudiannya.5
Seperti disebutkan diatas, tulisan Arab berasal dari tulisan Mesir Kuno
(Kan‟an , Semith atau Tursina). Kemudian berkembang menjadi tulisan Phunisia
(Fieniceqy), dan kemudian berkembang menjadi Arami dan Musnad dengan
cabang-cabang (Arami): Nabathi di Hiran/Huron dan Satranjili-Siryani di Irak;
dan (Musnad): Safawi, Samudi, Lihyani (utara jazirah Arabia) dan Humeiri di
selatan Arab.
Menurut Albert Hourani, bahwa dominannya tradisi puisi dan hafalan pada
masa itu membuat tulisan Arab tidak berkembang pada saat itu, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa bangsa Arab sama sekali belum mengenal tulisan,
karena tradisi menulis telah dikenal dijazirah Arab; huruf-huruf dalam bahasa
Arab selatan telah ada berabad-abad lamanya. Huruf-huruf Arab pertama, dalam
tulisan Arami, bermula semenjak abad ke-4 M, sedangkan tulisan Arab baru
muncul kemudian. Di luar huruf-huruf, penulisan mungkin juga telah digunakan
dalam perdagangan jarak jauh.6
Hal tersebut berdasarkan atas temuan-temuan arkeologi yang pernah
melakukan penelitian tentang pertumbuhan tulisan Arab yang memiliki hubungan
erat dengan Ilmu Perbandingan Bahasa. Perkembangan tersebut
dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tulisan Mesir Kuno (Hierogliph) adalah sumber kelahiran tulisan
Phunisia (Fieneceqy).
2. Tulisan Phunisia berkembang menjadi dua cabang: Arami dan Musnad.
5
Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-„Arabi, terj. Didin Sirojuddin AR., Dinamika Kaligrafi
Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), Cet. ke-1, h. 10-12.
6
Albert Haourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, ter. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan,
2004), h. 57.
49
3. Tulisan Arami melahirkan tulisan-tulisan: Nabathi di Hirah dan
Satranjili-Siryani di Irak.
4. Tulisan Musnad berkembang dan melahirkan jenis tulisan-tulisan:
Safawi, Samudi, dan Lihyani di Jazirah Arabia utara, dan Humeiri di
bagian selatan.
5. Tulisan Nabathi dinyatakan sebagai induk dari jenis tulisan atau khat
Naskhi.
6. Sedangkan tulisan Satranjili-Suryani kemudian berkembang menjadi
jenis tulisan atau khat Kufi yang sebelum datangnya Islam bernama Hieri
(diambil dari kata Hirah, kota kelahiran tulisan tersebut) dan sering juga
dinamakan dengan Jazm.7
1. Tulisan Musnad dan Nabathi
Para ahli tentang “Arab Selatan” mengatakan bahwa Quthbania,
Hadramaut, Saba, Himyar, Ausan, Dzu Reidan, dan Yaman merupakan
pemerintahan-pemerintahan Arab yang berkuasa di selatan jazirah Arab,
masyarakat tulen dan kaligrafi yang mereka pakai adalah Musnad. Juga telah
ditemukan beberapa tulisan di jazirah Delius Yunani dan Gazza Mesir, yang
semuanya menggunakan tulisan Musnad tersebut. Atas dasar tersebut dapat
disimpulkan bahwa seni (fan) Musnad adalah kaligrafi tertua yang pernah
diketahui di semenanjung Arab.
Tulisan dibaca dari kanan ke kiri seperti tulisan Arab. Tapi sewaktu-waktu
dibaca dari kiri ke kanan seperti model tulisan latin. Sering juga dicampuradukkan
antara dua sistem, yaitu dengan mula-mula ditulis dari kanan ke kiri. Apabila
selesai satu baris, maka baris di bawahnya ditulis dari kiri ke kanan.
Ibnu Khaldun mencatat, bahwa orang-orang Hijaz mengambil khatkhatnya dari Hirah, orang-orang Hirah dari Hameir, sedangkan Hameir sendiri
dari Yaman, yang diduga sebagai tempat kelahiran pertama kaligrafi Musnad.8
Al Muqrizy menulis pula, bahwa fan Musnad adalah kaligrafi yang mulamula dari sekian banyak kaligrafi yang dipakai oleh masyarakat Humeiri dan raja7
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 20. Hal serupa juga dikemukan oleh Taufik
Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran (Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, 2013), h.140-141.
8
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 28.
50
raja „Ad.9 Khat Musnad yang sudah sedemikian lama bertahan, dan berpengaruh
besar di hampir seluruh jazirah Arab akhirnya tergeser oleh pengaruh tulisan
Kindi, yakni suku yang bermukim di selatan jazirah Arab, sebelum masa Islam,
dan tulisan Nabthi. Nabathie adalah kerajaan yang berdiri kokoh pada abad I SM
dengan kekuasaan yang memanjang dari Sinai dan bagian selatan Arab
melampaui daerah-daerah Damaskus Syria dengan wilayah-wilayah Madyan,
Selat Aqaba, Hijaz, Palestina dan Hirah. Kerajaan tersebut berpusat di kota-kota
penting Hijr, Petra, dan Bushra yang bertahan di bawah penindasan sejak 150 SM
oleh bangsa Romawi sampai sekitar tahun 105 M.
Tidak berarti, bahwa tulisan Musnad musnah sama sekali. Sebab interaksi
antara tulisan lama dengan pendatang baru tersebut telah melahirkan cikal-bakal
tulisan Nabthi Mutakhir, yang pada
hakekatnya masih merupakan rantai
penyambung dari tulisan Musnad yang lebih lengkap dan sempurna.10
Ciri-ciri tulisan pada masa itu antara lain huruf-huruf ditulis bergandengan
seperti sekarang. Huruf hidup tidak ditulis dan belum memakai titik. Orang-orang
Nabathie tidak saja berkerabat dekat dengan kabilah Arab, bahkan juga banyak
bergantung kepada usaha dagang bersama dan mempunyai hubungan kultural
dengan mereka. Orang-orang Nabathie juga merupakan masyarakat yang gemar
berpindah-pindah seperti masyarakat Arab umumnya. Ini telah menjadi tradisi
turun-temurun pada masyarakat kuno yang berlokasi di kawasan tandus.
Berbeda dengan tulisan Musnad, tulisan Nabthi bisa diketahui lebih jelas
karena adanya bukti-bukti inskripsi yang ditemukan. Data tersebut
mengambil nama-nama sesuai dengan lokasi di mana inskripsi-inskripsi
tersebut didapat, menurut Didin Sirojuddin AR., selanjutnya perkembangan
tulisan-tulisan Arab dapat dilihat dari beberapa bukti-bukti dan temuan
inskripsi-inskripsi pada masa pra-Islam dan setelah Islam. Seperti inskripsi
Umm al-Jimal (tertanggal dari kira-kira 250 M), di tulisan dengan tulisan
Nabathi-Arami, di daerah Umm al-Jimal Syiria. Inskripsi kedua adalah
inskripsi Nammarah, yang dikenal sebagai karya syair Imru al-Qays. Di
temukan di daerah Nammarah di sekitar Huran Syiria. Ditulisan dengan jenis
tulisan Nabathi Mutakhir (bertahun 328 M), dari isi inskripsi tersebut kuat
dugaan bahwa Imru al-Qays salah seorang raja atau kepala kabilah di Arab
utara. Dan tulisan pada inskripsi tersebut diduga sebagai tulisan Arab utara
9
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 28-29.
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 32.
10
51
tertua yang pernah ada. Dan inskripsi yang ketiga adalah inskripsi Zabad
(511-512 M), ditulis dengan tiga bahasa dan jenis tulisan: Yunani, Suryani
dan Nabathi Mutakhir, pada puing reruntuhan Zabad sebelah tenggara
Aleppo, antara Qisrin dan sungan Eufrat. Dan yang keempat adalah inskripsi
Harran (Huran), yang berasal dari tahun 568-569 M, ditemukan di wilayah
timur pegunungan Druzze, dengan bahasa dan tulisan Greek dan Arab
(hampir menyerupai jenis tulisan Kufi). Dan inskripsi temuan terakhir adalah
inskripsi Umm al-Jimal II, pada abad ke-6 di kawasan Umm al-Jimal diantara
Syiria dan Yordania sekarang. Inskripsi ini merupakan naskah Arab kuno
yang paling muda yang diketemukan. Tulisan pada Inskripsi ini lebih
mendekati tulisan Arab al-Qur‟an (jenis tulisan Kufi), dan jauh dari jenis
tulisan Nabathi.11
Pemakaian tulisan Nabathi pada masa selanjutnya memunculkan jenis
Nabathi Mutakhir yang kemudian melahirkan beberapa cabang lain, seperti
yang dihimpun Ibnu al-Nadhim, yaitu Hieri (dari kota Hirah di Irak), Anbari
(kota Anbar), Makki (Makkah), dan tulisan Madani (Madinah). Dua yang
terakhir kerap disebut Hijazi, karena berada wilayah Hijaz. Nama-nama
tersebut sama sekali tidak menunjuk pada bentuk atau corak sendiri-sendiri
yang bebas, tetapi semuanya mirip dan berpangkal pada Nabathi Mutakhir.
Sebenarnya, tulisan-tulisan tersebut hanya terdiri dari dua bentuk pokok, yaitu
mabsuth yang bersudut-sudut (dry writing/ tulisan kering) dan mudawwar
yang bundar dan lentur (soft writing/ tulisan lembut). Tulisan mabsuth pada
waktu belakangan lazim dikenal dengan tulisan Kufi.12
2. Corak Kaligrafi Awal
Kaligrafi Arab pada masa permulaannya di Hejaz, dapat dikatakan terbagi
menjadi dua kategori besar. Pertama, Mabsut wa Mustakim (memanjang dan
lurus); kedua, Muqawwar wa Mudawwar (melengkung dan bundar). Ma‟il dan
Mashq dan semua jenis kaligrafi Kufi termasuk ke dalam kategori pertama.
Sedangkan kategori kedua tercakup tulisan jenis kursif.13
a. Jenis Mabsuth wa Mustaqim
Tulisan (khat) jenis Mabsuth wa Mustaqim yang identik dan belakang lazim
dikait dengan khat Kufi. Khat Kufi juga disebut dengan khat Muzawwa
(kubisme), yakni suatu jenis tulisan atau kaligrafi Arab yang berbentuk sikusiku, dimana tulisan ini semula berasal dari khat Hieri (Hirrah), yakni suatu
tempat bernama Hirah dekat Kufah. Dengan kelahiran nama Kufah pada
tahun 640 M sebagai pusat agama dan pemerintahan Islam, maka dengan
sendiri khat Hieri berubah nama menjadi khat Kufi. Khat Kufi sering juga
11
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 31-36.
Didin Sirojuddin AR., “Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul Qur‟an, Vol. 1,
1989/1410 H. hal. 37-38.
13
Aswab Mahasin (Ed.) Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep Estetika, ( Jakarta:
Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 161.
12
52
disebut Jazm dan merupakan evolusi dari khat Satranjili-Suryani. Ada dua
jenis tulisan yang berkembang di Makkah dan Madinah, di saat
perkembangan jenis khat Mabsuth, yakni khat Ma‟il dan khat Mashq. Kedua
jenis kaligrafi ini memiliki persamaan bentuk dengan huruf-huruf Kufi
dimana akhri keduanya melebur dan menyatu menjadi bentuk tulisan atau
kaligrafi Kufi.14
Ciri-ciri kaligrafi Kufi sangat jelas, yakni berukuran seimbang yang spesifik
dengan sifat bersudut-sudut atau persegi yang mencolok, memiliki tarikan
garis vertikal pendek dan garis-garis horizontal yang memanjang dalam
ukuran sama lebar. Begitu jelas bahwa tulisan berbentuk empat persegi
panjang. Dalam gaya hiasam dam iluminasi, ukuran tersebut tidak menjadi
landasan yang mengikat. Misalnya, pada tarikan garis vertikal yang dibikin
panjang-panjang melebihi garis horizontalnya. Namun tetap harus ditekankan,
bahwa tulisan kufi adalah tulisan bersiku-siku.15
Hingga pada masa awal Islam tulisan jenis ini, yaitu kaligrafi Kufi begitu
dominan penggunaannya, dan digunakan untuk penulisan al-Qur‟an bahkan
menjadi tulisan yang diemaskan oleh umat Islam pada masa awal Islam. Dapat
dilihat penggunaannya di beberapa media, seperti di koin atau mata uang dan lain
sebagainya.
b. Jenis Muqawwar wa Mudawwar
Jenis kaligrafi Muqawwar wa Mudawwar atau kaligrafi yang
berbentuk melengkung dan bulat, jenis ini juga biasa dikategorikan kedalam jenis
kaligrafi Cursif. Jenis cursif ini tidak berasal dari jenis kaligrafi Kufi, namun ada
bekas-bekas pengaruh daripadanya. Ini dikarenakan adanya garis klasifikasi yang
jelas diantara tulisan-tulisan yang sedang tumbuh dan berkembang pada masa
tersebut. Nama-nama kaligrafi yang beraneka ragam pada waktu itu lebih sering
kaitkan kepada nama-nama daerah di mana tulisan atau kaligrafi tersebut dipakai.
Dapat dikatakan kaligrafi model atau jenis cursif yang paling mula sekali,
bentuknya kurang indah dan tidak beraturan. Kaligrafi jenis cursif pada awalnya
digunakan terutama untuk maksud-maksud atau yang bersifat keduniaan atau
pergaulan sehari-hari, seperti surat-surat atau adminstrasi pemerintahan dan untuk
tauqi (tanda tangan).16
14
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 46-49.
Yasin Hamid Safadi, Islamic Calligraphy, (London: Thames adn Hudson Limited, 1978), h.
15
10.
16
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 76-78.
53
Selanjutnya
jenis
tulisan
cursif
mendapat
tempat
dan
berhasil
menggeserkan jenis tulisan yang dominan masa itu yaitu kaligrafi Kufi pada masa
pemerintahan dinasti Umayyah yang berkuasa, tepatnya pada masa Muawiyah bin
Abu Sufyan (661-680 M), kemudian melahirkan beberapa tokoh kaligrafi
terkemuka. Seperti Ibnu Muqlah, Ibnu al-Bawab, Ya‟qut al-Mu‟tasimi, dan
akhirnya menjadi tulisan yang dibanggakan oleh khalifah-khalifah selanjutnya.17
3. Peranan Kaligrafi Arab masa pra-Islam
Jauh sebelum kedatangan Islam ke jazirah Arab dengan membawa
peradaban baru, bangsa Arab sudah lebih dulu mengenal kaligrafi atau tradisi
tulis-menulis. Namun tidak begitu dominan penggunaan dan peranannya dalam
kehidupan bangsa Arab sehari-hari. Disamping ketergantungan dan kebiasaan
bangsa Arab dalam menyimpan informasi dengan menggunakan hafalannya.
Namun ada beberapa kalangan yang menggunakan tradisi penulisan dalam
kesehariannya, seperti untuk kepentingan perniagaan dan perdagangan. Adapula
beberapa peristiwa dan catatan yang didokumentasikan ke dalam tulisan, pada
masa Arab pra-Islam. Seperti ditemukannya beberapa inskripsi Arab kuno yang
tertua tertanggal tahun 250 M, dan selanjutnya berkembang tradisi Mu‟allaqat
yang menjadi panggung dan wadah bagi para penyair.
a. Dokumentasi dan Inskripsi Arab Kuno
Peranan kaligrafi Arab pada masa pra-Islam dapat dilacak dan ditemukan
di beberapa temuan arkeologi seperti inskripsi-inskripsi Arab kuno, dari yang
tertua tertulis perkiraan tahun 250-270 M, dan yang termuda sekitar abad ke-6 M.
Berikut adalah inskripsi-inskripsi tersebut:
Inskripsi Umm Al-Jimal (tertanggal dari kira-kira 250 M, ditulis dengan
bahasa Nabthi Arami, di daerah Umm Al Jimal, Syria). Kunt Devogue
menentukan bahwa 250 M hanya sebagai waktu perkiraan. Ini adalah masa
permulaan digunakannya khat Nabthi oleh raja-raja Arab, sebagai pengganti
tulisan Arab lainnnya, seperti Lihyani, Tsamudi, dan Shafawi yang terpecah dari
khat Musnad Humeiri.
17
Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 63-64.
54
Gambar 1: Inskripsi Umm al-Jimal
Inskripsi yang kedua adalah Nammarah, terkenal sebagai pantun syair
Imru Al Qays. Ditemukan oleh ilmuwan Dussoud di Nammarah, sekitar Huran,
Syria. Ditulis dengan khath Nabthi Mutakhir, yakni tulisan yang akan menjadi
cikal-bakal bentuk kaligrafi Arab sejak keruntuhan kota Sala‟, atau Petra yang
bertepatan pada tahun 328 M.
Penemuan tersebut sangat penting artinya bagi studi penelitian tulisan
Arab dan perkembangannya, sekaligus untuk mempelajari kemungkinan bentukbentuk dialek Arab pra-Islam, karena merupakan teks (nash) permulaan yang
ditulis dengan dialek lidah Arab tulen yang mendekati dialek Qureisy. Ini
merupakan lukisan inskripsi tersebut:
Gambar 2: Inskripsi Nammarah
55
Inskripsi ketiga adalah Zabad, dengan pengusutan tarikh dari tahun 511512 M. Ditulis dengan tiga bahasa: Yunani, Suryani, dan Nabthi Mutakhir (Arab
kuno), pada puing reruntuhan “Zabad” yang terletak di sebelah tenggaran Aleppo
(Halaba), antara Qishrin dan sungai Eufrat. Tulisannya dipahatkan di atas batu
mati pada sebuah bangunan gereja. Di dalamnya dicantumkan nama-nama orang
yang turut membangun bangunan tersebut.18
Gambar 3: Inskripsi Zabad
Batu nisan Raqush di Mada‟in Saleh bertanggalkan 267 M. menurut
beberapa ahli mencantumkan sebagai “teks Nabathi”, karena di tuliskan dengan
huruf-huruf Nabati-Hejazi. Para ahli menyebutnya sebagai bentuk dokumetasi
Arab tertua.19
18
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 36.
M. Mustafa al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta:
Gema Insani, 2014), h. 119.
19
56
Gambar 4: Batu Nisan Raqush
Terakhir inskripsi Harran (Huran). Pahatan ini berasal dari tahun 568-569
M. Ditulis pada sebuah batu di atas pintu gereja di Luja, Harran, wilayah timur
pegunungan Druzze. Ditulis dengan bahasa Yunani dan Arab. Para ahli tentang
ketimuran mengatakan, bahwa pahatan ini berhubungan dengan seorang Raja dari
Kindah (Kindi), yang diletakkan dalam rangka membangun sebuah gereja yang
dipersembahkan untuk yang kudus Yohanna al-Ma‟madan. Ditulis dengan khat
yang jelas tidak menyalahi rumus Naskhi kuno.
Gambar 5: Inskripsi Harran
57
Menurut orientalis Noldkeh, inskripsi ini ditulis yakni sesudah kehancuran
total Khaibar, bertepatan dengan 568-569 M, yakni 45 tahun saja sebelum
penanggalan Hijriyah. Sedangkan angka-angka tahun ditulis dengan huruf-huruf
Aramia. Naskah tersebut dipandang sebagai akhir periode peralihan dari khat
Nabthi kepada khat Arab Hejazy.20
Selain naskah-naskah di atas, telah ditemukan pula inskripsi kedua dari
Umm al-Jimal II, tertanggal dari abad ke-6 M, menguatkan asal-usul tulisan Arab
dari tulisan Nabthi, sekaligus menunjuk pada suatu evolusi bentuk-bentuk
kaligrafi Arab yang beranekaragam.21
b. Tradisi Mu’allaqat
Disamping ditemukan didalam beberapa inskripsi Arab kuno, ternyata
menurut beberapa riwayat tulisan juga digunakan pada acara dan agenda tertentu,
seperti Mu‟allaqat. Yang tercatat dan mencapai masa keemasannya pada abad ke6 M. Dan menjadi ajang bari penyair-penyair Arab untuk menunjukan
kehebatannya dalam bersair.
Suatu hal yang mendorong berkembangnya tulisan Arab sebelum Islam,
adalah adanya suatu tradisi tahunan berupa pekan perlombaan Pidato dan
Syair yang dilaksanakan setiap bulan Zulqaidah, yang bertempat di Ukaz
yaitu daerah yang berada di Taif dan Nakhla. Kemudian pemenang dalam
perlombaan ini akan dituliskan dengan tinta emas di atas sutera dan
digantungkan di dinding Ka‟bah yang dinamakan dengan Mu‟allaqat. Syairsyair yang dituliskan dengan tinta emas itu dinamakan juga dengan
Muzahhabat (the seven odes), besar sekali pengaruhnya terhadap
perkembangan tulisan Arab pada waktu itu. Karena Mu‟allaqat tersebut
tertulis dengan tulisan indah, yaitu dengan tulisan Arab jenis Nabathi yang
berbentuk persegi atau almurabba, jenis tulisan ini sesudah Islam
berkembang menjadi jenis tulisan atau khat Kufi.22
Tercatat hanya ada tujuh nama penyair dan syair terbaik Mu‟allaqat yang
pernah digantungkan pada dinding Ka‟bah, ialah:
1. Imru al-Qays
(w. 540 M).
2. Haris bin Hilzah
(w. 540 M).
20
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 37-38.
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 38.
22
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 42. Lihat juga Didin Sirojuddin AR,
Seni Kaligrafi Islam, h. 19-20.
21
58
3. Turfah bin al-„Ady
(w. 564 M).
4. Antarah bin Syaddat
(w. 615 M).
5. Amru ibnu Kalthum
(w. 622 M).
6. Zuher bin Abi Salma
(w. 627 M).
7. Lubeid bin Rab‟ah
(w. 651 M).23
Dengan demikian dari segi lain tradisi Mu‟allaqat itu merupakan suatu
perkembangan dari tulisan Arab yang berlanjut dengan datangnya peradaban dan
budaya baru yaitu datangnya Islam. Sehingga jenis tulisan Kufi inilah nantinya
yang kemudian dipakai untuk penulisan ayat-ayat al-Qur‟an. Kedatangan agama
Islam telah membawa perubahan besar terhadap tulisan Arab. Perubahan ini
terutama disebabkan ayat-ayat al-Qur‟an ditulis dengan tulisan Arab. Dengan
demikian kedudukan dan peran tulisan Arab bertambah penting.
Namun, berdasarkan peninggalan-peninggalan historis berupa perkamen,
uang logam dan inskripsi-inskripsi, bisa dipastikan bahwa titik-titik tanda
bacaan untuk konsonan-konsonan telah digunakan pada abad pertama Islam,
sekalipun tidak menjangkau secara luas penggunaannya pada masa
belakangan. Dari temuan sejumlah manuskrip al-Qur‟an beraksara Kufi yang
awal, dapat dipastikan bahwa tanda-tanda konsonan belum digunakan dalam
penyalinan mushaf al-Qur‟an. Selanjutnya, dapat juga dikemukakan bahwa
dari contoh tulisan Arab dalam inskripsi abad ke-6 M yaitu inskripsi Umm alJimal II, bisa disimpulkan bahwa bentuk tulisan yang berkembang ketika itu
mengarah kepada bentuk yang lebih kursif dan menyerupai bahkan dalam
perkembangan selanjutnya secara praktis identik dengan tulisan Kufi yang
belakangan.24
Kemudian, lahirlah nabi Muhammad dan serta-merta di wahyukanlah alQur‟an kepada Nabi saat berumur 40 tahun. Sampai ayat pertama turun pada
tahun 610 M, berarti selama kurang lebih 1600 tahun sejak tulisan Musnad
digunakan pada tahun 1000 SM. Menurut Didin Sirojuddin AR, hanya ada dua
genre tulisan yang benar-benar digunakan masyarakat Arab, yaitu Musnad dan
kemudian Nabathi. Hanya untuk dua jenis dan aliran tulisan, masa itu terlalu
panjang.25
23
Andri Ilham, Puisi Arab dan Protes Sosial, (Jakarta: Transpustaka, 2016), h. 69. Lihat juga
Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2006), h. 15. Lihat juga Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, h. 59.
24
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, h. 141-142.
25
Didin Sirojuddin AR., “Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, h. 55.
59
Jika varian-variannya, yaitu tulisan Satranjili-Siryani, Safawi, Samudi,
Lihyani, Humeiri, Hieri, Anbari, Makki, dan Madani yang hanya mengalami
sedikit perunbahan yang tidak begitu mendasar, maka terdapat sebelas jenis
tulisan yang pernah muncul sepanjang 1600 tahun. Bagi sebelas jenis tulisan,
rentang waktu sepanjang itu pun terasa begitu lama. Selain bentuk-bentuk antar
varian tidak jauh berbeda, bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti
Mesir, Babilonia atau Cina. Bangsa Arab memang kelihatan agak terlambat dalam
hal tulis-menulis.26 Apalagi kalau disandingkan dengan kemajuan kaligrafi Arab
setelah al-Qur‟an turun, perkembangan itu pasti sangat lamban.
Oleh para ahli, kelambanan ini diakibatkan dari kecenderungan kehidupan
bangsa Arab sendiri. Pada masa sebelum Islam, mayoritas bangsa Arab dikenal
memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi perkembangan tulisan. Menurut
Ilham Khoiri R., terdapat empat jenis kebisaan yang dimiliki bangsa Arab, antara
tabiat dan kebiasaan tersebut adalah: pertama, mereka hidup secara nomad
(berpindah-pindah) dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai macam
motivasi seperti untuk mencari daerah yang subur atau menghindari penyergapan
musuh dari suku lain.27 Meskipun ada yang menetap, yaitu etnis Quraish yang
membentuk aliansi perdagangan di Makkah. Kebiasaan nomad ini membuat
mereka sibuk dengan perpindahan dan mempersempit kemungkinan membangun
suatu kebudayaan. Kedua, mereka hidup bersuku-suku dengan rasa fanatisme
kesukuan („ashobiyah) yang sangat kental dan rasa toleransi antar suku yang
kecil. Saling membanggakan suku dan keturunan masing-masing sambil
merendahkan suku dan keturunan lain, sehingga seringkali terlibat peperangan
antar suku. Oleh sebab itu, sulit untuk mendirikan suatu komunitas bersama yang
bersatu. Ketiga, mereka tidak memiliki budaya tulis-menulis, tak pernah
mementingkan catatan sejarah kehidupan mereka tidaklah tertuliskan. Sebagian
besar mereka adalah buta huruf. Sedikit sekali orang yang mampu menulis, hanya
beberapa pemuka masyarakat yang jumlahnya sangat minim yang memiliki
kemampuan menulis. Meskipun demikian, beberapa di antara bangsa Arab masih
26
Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 59.
Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 28.
27
60
memerlukan tulisan, terutama untuk kebutuhan perniagaan dan guna menulis
syair-syair terbaik yang digantungkan pada dinding Ka‟bah (mu‟allaqat)28.
Ketidak mampuan tulis-menulis mengantarkan mereka untuk menghandalkan
metode hafalan, yang pada gilirannya menjadi tolak ukur kecerdasan dan
kemampuan ilmiah seseorang. Keempat, mereka jauh dari ilmu pengetahuan
secara umum. Pengetahuan mereka tentang ilmu politik, ekonomi, sosial,
kedokteran dan lain-lain sangat tertinggal dari bangsa-bangsa lain seperti Romawi
dan Persia.29 Hanya saja, bangsa Arab mengerti mengenai astronomi dan
metereologi (ilmu falak), tentang sejarah, pengobatan berdasarkan pengalaman,
perdukunan dan serta tata bahasa dan sastra. Untuk bidang tata bahasa dan sastra
harus diakui bahwa kemampuan bangsa Arab memang cemerlang.30
B. Penulisan dan Kodifikasi al-Qur’an
Al-Qur‟an yang dituliskan pada masa nabi Muhammad saw, tertulis dalam
beberapa media, yang tulisannya masih sangat rentan salah terbaca bagi umat
Islam yang non-Arab. Disamping dominannya tradisi hafalan, tradisi penulisan
mulai dikembangkan setelah turunnya al-Qur‟an, dan tulisan yang berkembang
adalah kaligrafi Kufi. Selanjutnya pada masa Khulafa al-Rasyidin yang
menimbulkan beberapa konflik tentang atau kaitannya dengan al-Qur‟an. Mulai
dari masa Abu Bakar dengan banyak para penghafal al-Qur‟an yang gugur di
medan perang, Utsman bin Affan dengan adanya perbedaan cara baca (qiraat).
Namun pada masa Utsman bin Affan inilah al-Qur‟an dikodifikasi menjadi satu
mushaf yang di kenal dengan Mushaf Utsmani. Selanjutnya peletakan tanda baca
yang diperkasai oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali, kemudian disempurnakan oleh alKhalil. Dari sinilah kodifikasi kaligrafi Arab bermula dan dimulai, dan melahirkan
jenis-jenis kaligrafi Arab yang indah dan ideal.
28
Syair-syair yang terbaik yang menjadi pemenang dalam perlombaan itu, kemudian ditulis
dengan tinta emas di atas sehelai sutera halus dan digantungkan di dinding Ka‟bah. Syair-syair
yang di gantung di Ka‟bah ini dinamakan al-Mu‟allaqat. Lihat C. Israr, Dari Teks Klasik sampai
ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), h. 42 ; Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi
Islam, h.19 ; Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 116.
29
Ahmad Amin, Fadjar Islam, h. 18-19.
30
Ilham Khoiri R., Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab (Jakarta: Logos, 1999), h. 57-62.
61
1. Motivasi Normatif Tradisi Penulisan
Motivasi normatif tradisi tulisan Arab atau kaligrafi pada al-Qur‟an adalah
salah satu bentuk pengaruh penulisan al-Qur‟an terhadap kaligrafi Arab.
Pengertian dari motivasi normatif disini adalah, semangat yang dimunculkan dan
ditimbulkan dari ayat-ayat al-Qur‟an yang ditulis berupa norma-norma yang
memilki daya pengaruh terhadap kesadaran dan tingkah laku umat Islam dalam
hubungannya dengan tulis-menulis yang pada gilirannya akan mendorong
kemajuan kaligrafi Arab. Salah satu motivasi normatif itu adalah perintah untuk
belajar baca-tulis.31
Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang secara gamblang dan terang-terangan
memerintahkan umat Islam untuk belajar menulis, salah satunya adalah lima ayat
permulaan surat al-„Alaq yang secara tegas menunjukan hal ini, lewat kata-kata:
 
    
     
           
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajar
menulis dengan pena. Mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya”(QS: 96 15).
Ayat ini merupakan wahyu yang pertama kali diturunkan, dan dengan
begitu, bisa ditegaskan betapa pentingnya keharusan membaca dan menulis,
sehingga diucapkan pertama kali.
Ayat-ayat ini membawa masyarakat Arab kala itu yang hanya
mementingkan tradisi hafalan, dan syi‟irnya, dengan menyodorkan hal lain tidak
kalah penting, yaitu tradisi tulisan. Bahkan tidak semata-mata menyodorkan,
melainkan mewajiban membaca dan menulis. Tentu saja, hal ini merupakan suatu
kewajiban yang sangta revousioner, mengingat bangsa Arab waktu itu sangat jauh
dari tradisi tulis-menulis, dan secara tiba-tiba diharuskan belajar membaca dan
menulis. Mereka seakan tiba-tiba menjalankan revolusi dari tradisi lisan ke tradisi
31
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 85-86..
62
tulis, dari sifat tulisan yang semula bersifat pribadi menjadi konsumsi publik, dari
masa kegelapan menuju masa kepada keaadan yang terang benderang.32 Bahkan
oleh Didin Sirojuddin AR, mengibaratkan bagaikan bom yang menggebrak
umatnya agar tidak menjadi orang bodoh.33
Menurut Quraish Shihab, perintah diatas merupakan perintah yang paling
berharga yang dapat diberikan kepada umat manusia. Karena membaca dan
menulis merupakan jalan yang mengantarkan manusia mencapai derajat
kemanusian yang sempurna. Sehigga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
membaca dan menulis adalah syarat utama dalam membangun sebuah peradaban.
Dan bila diakui bahwa semakin luas bacaan dan tulisan, semakin tinggi peradaban
dan pengetahuan.34
Ayat lain yang memberikan motivasi dalam menulis berbunyi:
     
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS: 68:1)
Pengertian Nun memiliki banyak pemahaman yang dikemukakan oleh para
ahli tafsir, namun pengertian nun sebagai tinta lebih memudahkan penafsiran katakata selanjutnya. Ayat ini mengisyaratkan sumpah Allah dengan tiga hal: tinta,
pena dan tulisan. Allah tidak pernah bersumpah, kecuali dengan hal-hal yang
agung. Jika ada sumpah dengan bukan, matahari dan malam, tentu sumpah itu pun
memiliki keangungan yang serupa dengan tinta, pena dan tulisan. Maka dengan
sendirinya ayat ini berposisi sebagai perintah yang mengharuskan dan
mewajibkan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu tulis-menulis.
Penyebutan kalam dalam ayat ini diartikan sebagai pena dan sangat berhubungan
dengan penyebutan kata serupa dalam surat al-„Alaq sebelumnya. Dengan penalah
ilmu pengetahuan dicatat.35
32
M.Mustafa al-A‟zami, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), h. 75.
33
Didin Sirojuddin AR, Al-Qur‟an dan Reformasi Kaligrafi Arab, Ulumul Qur‟an, (Jakarta:
LSAF, Vol 1, Th. 1989), h. 47
34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. ke-4, h. 44-45.
35
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 89-90.
63
Secara fungsional, perintah tulis-menulis kemudian disebutkan lagi untuk
diterapkan, salah satunya dalam dunia perdagangan dan perniagaan, sebagaimana
firman Allah:
 ....          
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS: 2:282)
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat ayat-ayat alQur‟an yang berisi norma-norma yang secara langsung memotivasi umatnya
untuk belajar, mentradisikan dan menerapakan kemampuan tulis-menulis dalam
kehidupan. Hal demikian memiliki pengaruh yang luar biasa bagi masyarakat
Arab kala itu. Dari mereka yang awalnya buta huruf dan bahkan anti huruf
menjadi mengenal tulisan, kemudian mempelajari dan lalu mengembangkannya
sehingga mencapai bentuk-bentuk seperti sekarang.
Sayyed Hossein Nasr mengatakan bahwa apa-apa yang disebut dalam alQur‟an menyangkut pena, tinta dan menyertainya menunjukkan nilai signifikansi
tersendiri.36 Simbol-simbol al-Qur‟an tentang pena (qalam) dan tinta (nun),
memberikan kunci untuk memahami prinsif metafisika dan signifikansi spritual
dari kaligrafi Arab serta peranan yang dimainkan kaligrafi dalam kehidupan
agama dan artistik Islam tradisional. Pada kenyataannya, sejak alat-alat dan
bahan-bahan tulis-menulis disebut di dalam al-Qur;an para seniman kaligrafi
(kaligrafer) mengacunya dan mulai mengembangkan pemakaian dari masa ke
masa.
2. Mushaf Utsmani
Ketika al-Qur‟an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, bentuknya
bukanlah berupa teks yang tertulis, melainkan hafalan-hafalan yang kemudian
dituliskan oleh beberapa sekretaris atau juru tulis Nabi pada masa itu. Dan
penulisan dibeberapa media seperti, pelepah kurma, kulit binatang, tulang-
36
Seyyed Hossein Nasr, Spritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan, 1993),
Cet. ke-2, h. 35-36.
64
benulang, lempengan batu, kayu dan lain sebagainya. Alat-alat tulis pada masa itu
sangatlah langkah, oleh sebab itu wahyu yang turun sebagian dihafalkan dan
sebagian lagi dituliskan oleh sahabat. Para sahabat itu adalah Abudullah bi
Mas‟ud, Ubaiya bin Kaad, Zaid bin Tsabit, Muiz bin Jabal, Abu Darda, Abu
Bakar, dan lainnya.37
Pada zaman Abu Bakar terjadi beberapa kali peperangan yang meminta
korban. Banyak para sahabat yang menghafal al-Qur‟an gugur sebagai syuhada
dalam perang Yamamah 12 H/ 622 M. Menurut sejarah lebih dari tujuh puluh
orang yang hafal al-Qur‟an gugur dalam peperangan tersebut. Keadaan yang
sangat memperihatinkan itu serta kekhawatiran terhadap berkurangnya orang yang
hafal al-Qur‟an meyebabkan Umar bin Khathab menyampaikan saran kepada
khalifah Abu Bakar, agar lembar-lembaran ayat al-Qur‟an yang terpisah-pisah
dikumpulkan dan ditadwinkan menjadi sebuah mushaf. Gagasan tersebut
diterimah oleh khalifah Abu Bakar dan menugaskan kepada Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an itu. Kumpulan lembaran dan kepingan ayatayat al-Qur‟an tersebut kemudian disimpan dirumah Hafsah bin Umar, istri nabi
Muhammad.38
Setelah Abu Bakar wafat, usaha penyusunan dan kodifikasi mushaf
tersebut diteruskan oleh khalifah Umar bin Khathab. Pekerjaan besar ini
membutuhkan ketekunan, ketelitian dan ketabahan dari mereka yang ditugaskan
menyusun mushaf sesuai dengan urutan ayat demi ayat, serta urutan surat demi
surat menurut susunan yang diatur dan ditentukan oleh Rasulullah. Tugas ini
dipegang oleh Zaid bin Tsabit yang dianggap sebagai seseorang yang teliti dalam
mengumpulkan dan menuliskan al-Qur‟an, ia juga seorang penghafal al-Qur‟an
(hafiz), maka hafalannya dapat meringankan sedikit bebannya.39
Pada masa pemerintahan khalifah Utsaman bin Affan, agama Islam
semakin berkembang sampai ke Irak, Persia, Syiria, Mesir, dan lainnya, sehingga
banyak pula orang-orang yang bukan bangsa Arab telah memeluk agama Islam.
37
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 47.
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 48.
39
Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, (Jakarta:
Rajawali Press, 1995), Cet. ke-3, h. 71.
38
65
Pergaulan dan hubungan bangsa Arab dengan mereka yang bukan bangsa Arab
semakin luas dan akrab. Mereka ini sering mengalami kesalahan dalam membaca
al-Qur‟an karena belum begitu paham terhadap bahasa dan tulisan Arab.
Kesalahan membaca itu dapat mengelirukan dan mengubah maksud dari ayat-ayat
al-Qur‟an. Pada suatu waktu Huzaifah bin al-Yamani seorang panglima perang
Islam baru kembali dari Syira dan Irak, serta kemabli dari penaklukan Armenia
dan Azerbaijan, datang mengadap khalifah Utsman bin Affan, menjelaskan bahwa
ia merasa sangat kaget dan perihatin melihat orang-orang didaerah itu berselisih
dan bertengakar dalam membaca berbagai ayat-ayat al-Qur‟an. Ia sangat khawatir
kalau pertengkaran itu akan membawa akibat yang lebih besar. Kekhawatiran itu
cukup beralasan dan sangat dirasakan oleh khalifah Utsman, sehingga setelah
menerimah laporan tersebut Utsman lalu memanggil beberapa orang sahabat
untuk bermusyawarah, merumuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk
mengatasi
masalah
yang
terjadi.
Para
sahabat
sepakat
agar
khalifah
memerintahkan untuk menuliskan al-Qur‟an dalam bentuk sebuah mushaf yang
disalin dengan rapi dari mushaf yang telah mulai disusun semenjak masa khalifah
Abu Bakar dan yang disimpan oleh Hafsah. Khalifah Utsman kemudian
memerintahkan dan memberi pengarahan kepada Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan al-Qur‟an. Zaid dibentuk oeh tiga orang sahabat lainnya, yaitu
Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Haris, dengan asas
yang khalifah Utsman tentukan, yakni berpegang kepada dialek Quraish, dengan
begitu merdam apabila terjadi suatu perselisihan atau perbedaan pendapat.40
Utsman bin Affan kemudian mengadakan penelitian terhadap suhuf yang
ttelah sempurna pengumpulannya pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khathab
suhuf yang disimpan dirumah Hafsah yang dijadikan pegangan sebagai rintisan
mushaf awal. Para ahli sejarah menjelaskan bahwa antara Zaid bin Tasabit dan
Sa‟in bin al-Yamani, tidak terjadi perbedaan pendapat kecuali hanya mengenai
satu huruf yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 248. Zaid membaca atTabutu (‫)التابوت‬, sedangkan menurut Sa‟id di baca at-Tabuhu (‫)التابوه‬, kemudian
40
Richard Bell, Pengantar Qur‟an, diterjemahkan oleh Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta:
INIS, 1998), h. 37.
66
dipilihlah bacaan Zaid bin Tsabit sebab dia adalah koordinator penulisan alQur‟an.41
Setelah selesai penulisan empat buah mushaf yang sama maka khalifah
memerintahkan agar selain dari mushaf yang ada pada Utsman agar dimusnahkan,
dengan demikian tidak ada lagi mushaf al-Qur‟an selain yang telah ditulis dan
disusun susuai dengan aslinya, yang diambil dari tulisan yang ditulis pada masa
turunnya al-Qur‟an pada masa nabi Muhammad saw, dan yang telah terkumpul
pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatahab.42
Oleh sebab itu tadwinul Qur‟an memerlukan waktu ang cukup panjang
tidak terbatas pada masa khalifah Utsman saja, tetapi juga meliputi dua setengah
tahun masa jabatan khalifah Abu Bakar, di sepuluh tahun masa jabatan Umar bin
Khathab, baru kemudian dua belas tahun masa jabatan khalifah Utsman, yang
kemudian dikenal dengan Mushaf Utsmani dan semua kitab suci al-Qur‟an yang
ada sekarang ini tetap ditulis dan berpegang teguh kepada mushaf Utsmani
tersebut.43
Usaha yang sungguh-sungguh jelas tampak berhasil dan terlihat dari dua
cara: pertama, tidak ada mushaf di daerah kekuasaan Islam kecuali mushaf
Utsmani; dan kedua, mushaf atau kerangka teks mushafnya dalam jangka waktu
empat belas abad dan tidak dirusak. Kekhalifan berikutnya, mungkin meneruskan
usaha pendahulunya, mengutus dan terus mengirim naskah mushaf yang resmi,
tetapi tidak ada naskah yang dikirim yang bertentangan dengan standar universal
mushaf Utsmani. Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang dinisbatkan dan
dikaitkan langsung kepada Mushaf Utsmani, artinya bahwa mushaf-mushaf
tersebut asli atau salinan resmi dari yang asli. Indi Office Library (London), dan
Tashkent (dikenal dengan mushaf Samarkhand).44
3. Khat Kufi dalam Penulisan al-Qur’an
Kaligrafi Muzawwa (kubisme) yang banyak disebut sebagai khat Kufi
adalah asal tulisan Arab yang pernah berjaya di Hirah, Raha, dan Nashibain
41
Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur‟an, h. 73.
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49.
43
C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, h. 49-50.
44
M. Mustafa al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an dari Wahyu sampai Kompilasi, h. 108.
42
67
sebelum kota Kufah lahir. Ciri-ciri pokok khat atau kaligrafi Kufi adalah
berukuran seimbang yang spesifik dengan sifat bersudut-sudut atau persegi
menyolok, memiliki sapuan-sapuan garis vertikal pendek dan garis-garis
horizontal yang memanjang dalam ukuran sama lebar. Namun, dalam gaya hias,
ukuran tersebut terkadang tidak mengikat. Misalnya, pada sapuan garis vertikal
yang dibuat panjang-panjang melebihi garis horizontalnya. Tapi yang harus
ditekanan, bahwa tulisan Kufi adalah tulisan bersiku-siku.45
(khat Kufi yang digunakan dalam penulisan al-Qur‟an pada masa awal Islam)
Dalam masa pertumbuhannya, tulisan Kufi tidak hanya mendesak seluruh
model tua yang mencoba secara untung-untungan untuk tegak dan terpakai. Lebih
daripada itu, Kufi memberikan pengaruh terbesar terhadap segenap pertumbuhan
kaligrafi Arab selanjutnya.46
Tulisan Kufi mencapai puncak kesempurnaannya pada pertengahan kedua
abad ke-8 M. Waktu tersebut bertepatan dengan abad ke-2 menurut perhitungan
tahun Hijriyah. Itu adalah masa yang istimewa bagi tulisan Kufi yang bertahan
untuk kira-kira lebih daripada tiga ratus tahun lamanya, dan menjadi tulisan “raja”
satu-satunya yang digunakan untuk menyalin al-Qur‟an. Umumnya, mushafmushaf al-Qur‟an terdahulu yang ditulis dengan khat Kufi tersebut mengambil
45
http://www.lemka.net/2011/02/khat-kufi_01.html?m=1 Diakses pada tanggal 14 November
2016.
46
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 47.
68
format empat persegi panjang. Sementara pemakaiannya yang tidak terbatas untuk
menyalin al-Qur‟an, Kufi juga dipergunakan sebagai lambang-lambang dalam
inskripsi-inskripsi Arab atau sebagai tulisan hias. Hal tersebut ditulis tidak
berubah-ubah dalam bentuk persegi empat atau panel-panel empat persegi
panjang.47
4. Tanda Baca
Pada masa dinasti Umayyah, timbul inisiatif untuk menyempurnakan
penulisan al-Qur‟an pertama kali. Dikarenakan oleh timbulnya bermacam
kekeliruan bacaan terutama di kalangan bangsa non-Arab atau „ajam, maka Abu
Aswad al-Du‟ali (w. 688 M) mengantisipasinya dengan menciptakan syakl /tanda
baca atas perintah Ziad bin Sumayyah, Gubernur Muawiyah di Basrah.
Penyempurnaan selanjutnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad (w. 786 M) dengan
memberikan i‟jam dan kemudian diteruskan dengan sejumlah penyempurnaan lain
hingga mapan dan sempurna seperti yang ada sekarang ini.48
Namun, apa yang dilakukan Abu Aswad belumlah dikatakan sempurna,
Abu Aswad hanya menambahkan dan menempatkan “titik-titik” berwarna merah
pada huruf-huruf yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukkan pada
unsur-unsur kata Arab. Penempatan titik-titik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanda fathah dengan satu titik di atas huruf (a),
2. Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf (i),
3. Tanda dammah dengan satu titik di sebelah kiri huruf (u),
4. Tanda tanwin dengan dua titik (an-in-un).49
Selanjutnya upaya peletakan tanda baca dilanjut oleh Al-Khalil ibn Ahmad
al-Farahidi (w. 786 M) mengadakan perubahan atas tanda baca yang diciptakan
oleh Abu Aswad. al-Khalil justru menggunakan titik-titik sebagai pembeda huruf
yang bentuknya sama tetapi penyebutannya berbeda.
47
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 49-50.
Dawud al-Atthar, Persepektif Baru Ilmu al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.
48
195.
49
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64-65.
69
Misalnya:
‫ ظ‬،‫ ط‬،‫ ز‬،‫ ر‬،‫ ذ‬،‫ د‬،‫ غ‬،‫ ع‬،‫ خ‬،‫ ج‬،‫ ح‬،‫ ث‬،‫ ت‬،‫ب‬.
Huruf tersebut bukan hanya pada modifikasi dan pembaruan pada huruf,
al-Khalil juga menegaskan tanda baca dengan lebih mudah dimengerti. Berikut
adalah tanda baca ciptaan al-Khalil.
1. Huruf alif kecil terletak miring di atas huruf, sebagai tanda fathah (‫) ﹷ‬.
2. Huruf alif kecil terletak miring di bawah huruf, sebagai tanda kasrah (‫) ﹻ‬.
3. Huruf waw terletak di atas huruf, sebagai tanda dummah (‫) ﹹ‬.
4. Kepala huruf kha terletak di atas huruf, sebagai tanda sukun ( ).
5. Kepala huruf ain ditulis di atas atau di bawah huruf, sebagai tanda hamzah
(‫)ﺀ‬.
6. Huruf alif, ya, dan waw ditulis di belakang dan di akhir huruf sebagai tanda
maad ) ‫ و‬،‫ ﻲ‬،‫( ا‬.
7. Titik-titik digambarkan (ditulis) benar-benar seperti titik-titik yang ada
sekarang ini.
Demikianlah usaha penyempurnaan tanda baca dan tanda bunyi yang
diciptakan oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, yang tetap berlaku dan
dijadikan pedoman sampai sekarang.50
Pada masa kekuasaan dinasti Umayyah ada seorang kaligrafer pertama
yang paling lama bertahan, ia adalah Quthbah al-Muharrir, ia banyak menciptakan
dan memperbaharui tulisan-tulisan lama, pada akhirnya berlaku setelah
kelahirannya. Quthbah berhasil mewarisi empat jenis tulisan atau kaligrafi, yaitu;
Tumar, Jalil, Nisf, dan Tsulus, dan dia pulalah yang menciptakan Tsulusayn.
Quthbah juga terkenal dengan jasanya yang menghiasi mihrab masjid Nabawi di
Madinah dengan berragam ayat al-Qur‟an yang ditulis dengan tulisan indah.51
Abad ketiga Hijriyah diadakan lagi penyempurnaan al-Qur‟an khususnya
dalam bentuk tulisannya. Para penulis al-Qur‟an berlomba-lomba memilih bentuk
tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan
50
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, h. 76. Lihat juga Didin Sirojuddin AR,
Seni Kaligrafi Islam, h. 68-71.
51
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79.
70
untuk huruf yang di syaddah sebuah tanda seperti busur. Sedangkan untuk alif
washal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai harakat
sebelumnya: fathah, kasrah, atau dhammah. Secara bertahap pula penulis alQur‟an mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus
yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda pemberhentian (wakaf).52
Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik
(705-715 M), tidak sedikit menulis dan menyalinkan al-Qur‟an berukuran besar
dengan tulisan dan kaligrafi yang indah. Penulisan al-Qur‟an pada masa dinasti
Umayyah masih menggunakan kaligrafi gaya Kufi. Huruf Kufi ini dijadikan huruf
atau tulisan standar yang banyak dipakai dalam penulisan al-Qur‟an pada masa
itu.53
C. Perkembangan Kaligrafi Arab setelah datangnya Islam
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab kurang terbiasa membaca dan
menulis. Mereka lebih menyukai tradisi menghafal. Syair, nama silsilah, transaksi,
atau perjanjian disampaikan dari mulut ke mulut tanpa dicatat. Hanya sedikit
kalangan tertentu, seperti
kalangan bangsawan Arab,
yang menguasai
keterampilan membaca dan menulis. Sampai pada masa awal Islam, yakni zaman
Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidun (Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Umar
bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; 632-661), corak kaligrafi
masih kuno dan mengambil nama yang dinisbahkan kepada tempat tulisan
dipakai, seperti Makki (tulisan Mekkah), Madani (tulisan Madinah), Hejazi
(Hijaz), Anbari (Anbar), Hiri (Hirah), dan Kufi (Kufah). Kufi merupakan yang
paling dominan dan satu-satunya kaligrafi yang "dirajakan" untuk menulis mushaf
(kodifikasi) al Quran sampai akhir kekuasaan Khulafa ar Rasyidun.
Islam menghendaki orang Islam belajar menulis pada masa ini, sebagian
sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa ada tujuh belas laki-laki dan tujuh
wanita yang bisa menulis di Mekkah saat itu, dan sebagian sumber lain
menyebutkan terdapat empat puluh dua orang penulis. Rasulullah SAW telah
memerintahkan kepada para tawanan perang Badar untuk mengajari kaum
52
Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 35.
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 81-82.
53
71
muslimin menulis. Sehingga muncul-lah para sahabat yang ahli dalam menulis
atau melakukan pencatatan ayat-ayat al Quran, seperti Ali bin Abi Thalib. Pada
masa-masa awal Islam, yakni masa Rasulullah dan Khulafau ar-Rasyidin
berkembang jenis khat al-Hairi, al-Anbari, al-Kufi. Selanjutnya jenis khat ini pun
berkembang pada masa Umawiyah.54
Tatkala al-Qur‟an diwahyukan, jenis tulis yang dominan adalah Kufi
(merujuk ke kota Kufah yang didirikan pada 640 M). Kemudian dikenallah jenisjenis seperti Kufi Murabba‟ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun),
Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu‟aqqad (berlilit-berikatan) dan lain-lain.55
Peranannya cukup sentral dalam berbagai aktivitas masyarakat Arab di awal
Islam, terutama untuk penulisan al-Qur‟an, catatan perdagangan, surat-menyurat,
dan bentuk dokumentasi lain. Hal demikian terus berlanjut sampai pada saat polapola mabsuth yang kaku telah menjenuhkan, sebaliknya bentuk mudawwar yang
lebih elastis dan fleksibel diminati.56 Semenjak itu, dominasi khat Kufi tergeser57
dan bermunculanlah gaya dan corak baru yang dikreasikan para kaligrafer
pembaharu.
Khat kufi memiliki sekitar 20 literasi yang berbeda, dan menyebar dari
Atlantik hingga ke Asia Tengah. Gaya sudut ini kemudian memberikan jalan
untuk penulisan Arab kursif, yang tetap dominan sampai saat ini. Bahkan,
kepopuleran kaligrafi meluas lebih jauh sampai ke China, Spanyol, India, Asia
Tenggara dan Afrika Barat. Penulisan gaya daerah masing-masing pun muncul,
sehingga mengurangi gaya klasik dan kodifikasi geometris formal.58
Selanjutnya pada masa awal dinasti Umayyah (661-750 M) jenis tulisan ini
masih dominan penggunaannya. Pada masa ini muncullah beberapa jenis tulisan
54
Muhammad Husain Jaudi, Al-Fan al-„Araby al-Islami, (Oman: Dar al-Masirah, 1998), h.33-
34.
55
Kamil al-Baba, Ruh al-Khath al-„Arabi, h. 59-74.
Mabsuth adalah bentuk atau corak tulisan yang bersudut-sudut (dry writing/tulisan kering)
dan mudawwar adalah bentuk atau corak yang bundar dan lentur (soft writing/ tulisan lembut).
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 58.
57
Tetapi sebagai tulisan yang digunakan untuk menalin al-Qur‟an, khat Kufi masih digunakan
pada sebagian besar wilayah Islam sampai abad ke-10 M. Bahkan hingga kini khat Kufi masih
digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Lihat Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h.
63.
58
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/08/16obzoca394-bagaimana-senikaligrafi-muncul-dalam-dunia-islam diakses pada tanggal 07 Desember 2016.
56
72
baru yaitu: Thumar (dinisbahkan kepada nama daun kayu Tumar), Jalil (anggun,
karena lekuk-lekukannya yang menawan), Nishf (setengah; yaitu setengah Jalil
dan setengah Thumar), dan Tsuluts (sepertiga; kekakuan pada lengkungan
garisnya yang berukuran segitiga. Dan yang menciptakannya adalah seorang
kaligrafer ternama yaitu Qutbah al-Muharrir, ia juga mengembang gaya-gaya
tulisan tersebut dengan sangat piawai, saling melengkapi sehingga menjadi lebih
sempurna.59
Pada masa Dinasti Umayyah juga kaligrafi Arab disempurnakan tanda
bacanya, selain itu ada juga kaligrafer lain seperti Khalid bin al-Hayyaj. Ia adalah
salah seorang sahabat amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang meninggal dunia
sekitar tahun keseratus Hijriyah. Dia dikenal dengan tulisannya yang bagus dan
indah. Diriwayatkan bahwa Sa‟ad, Maula, dan Hajib Walid, meminta bantuan
kepadanya untuk menuliskan mushaf, puisi, dan berita-berita di istana Walid bin
Abd al-Malik. Dia adalah orang yang menulis surat as-Syams dengan emas diatas
mihrab masjid Nabawi yang kemudian direnovasi dan diperluas oleh Umar bin
Abdul Aziz. Renovasi ini selesai pada tahun 90 Hijriyah. Umar bin Abdul Aziz
pernah memintah kepada Khalid bin al-Hayyaj agar menuliskan sebuah mushaf
untuknya dengan khat yang sama. Khalid bin al-Hayyaj memenuhi permintaan itu
dengan menulis khat yang sangat indah. Umar bin Abdul Aziz menerimanya dan
mengucapkan terimakasih kepadanya.60
Di antara beberapa kaligrafer lainnya seperti Khasyam dan Malik bin
Nashir yang terkemuka pada saat itu, Khalid bin al-Hayyaj-lah yang terpilih
menjadi penulis resmi Khalifah al-Walid bin Abd al-Malik (705-715 M),.
Sayangnya, data-data secara lengkap seputar kaligrafi Arab pada masa itu tidak
terungkap
total,
sebab
pengguasa
penggantinya,
Dinasti
Abbasiyah
menghancurkan peninggalan-peninggalan tersebut atas pertimbangan politik.61
59
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 63-64.
Muhammad Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, terj. Thoha Musawwa (Jakarta: Penerbit alHuda, 2007), h. 206-207.
61
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 79-82. Lihat juga Y.H. Safadi, Islamic
Calligraphy, (London: Themes and Hudson, 1978), h. 15-16. Lihat juga Ali Akbar, “Kaligrafi
Murni: Catatan Ringkas tentang Perkembangan Gaya-Gaya” Katalog Pemenang Sayembara
Kaligrafi Festival Istiqlal II 1995, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1995), h. 7.
60
73
Bertolak belakang dengan kondisi Dinasti Umayyah kala itu, pada masa
Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), perkembangan tulis-menulis terlacak dengan
rupa-rupa inovasi yang dapat dikenali. Pada awal dinasti ini, ada dua kaligrafer
yang sering disebut dalam sumber Arab, yaitu al-Dhahak bin „Ajlan yang hidup
pada masa Abu al-Abbas al-Shaffah (750-754 M) dan Ishaq bin Hammad terkenal
pada masa al-Manshur (754-775 M). Kaligrafer lain, Yusuf al-Sijzi (w. 825 M)
berhasil menemukan model-model tulisan yang lebih bagus dari sebelumnya,
yaitu Khafif al-Tsuluts, Khafif al-Tsulutsain, dan al-Riyasi. Kemudian al-Ahwal
al-Muharrir menggubah dan menemukan perumusan enam tulisan pokok (alAqlam as-Sittah, Six Pens), yaitu: Tsuluts, Naskh, Muhaqqaq, Rohyani, Riq‟a, dan
Tauqi.62
Pada abad ke-10 M, kaligrafer terkenal yang juga menjabat sebagai Wazir
(menteri) Ibnu Muqlah (w. 29 H/ 940 M), mengadakan pembaharuan dan
kodifikasi tulisan kaligrafi Arab gaya cursif yang sangat banyak dipakai saat itu.
Ibnu Muqlah menetapkan aturan-aturan perbandingan untuk huruf yang
didasarkan pada titik rhombic (♦). Dia mengeluarkan aturan atau merumuskan
bahwa huruf alif, panjang dan tinggi goresan vertikalnya harus tujuh titik rhombic.
Huruf-huruf lain juga diberikan ukuran-ukuran panjang untuk gores vertikal dan
horizontal, serta goresan lengkungnya. Dengan cara inilah Ibnu Muqlah
membakukan setiap gaya cursif utama yang dipakai pada waktu itu.63
Laju perkembangan kaligrafi secara dinamis berjalan hingga pertengahan
abad ke-3 Hijriyah, bertepatan dengan abad ke-9 Masehi. Walaupun demikian,
kaligrafi Arab barulah berjaya dan diperkirakan memasuki fase keemasan yang
paling agung berkat kemunculan seorang tokoh Ibnu Muqlah, seperti yang diulas
pada pembahasan berikutnya.
62
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 82-84. Lihat juga Habibullah Fadha‟ili,
Athlas al-Khat wa al-Khututh, terj. Muhamad al-Tunji, (Syiria: Dar Thalas li al-Dirasat wa alTarjamah wa al-Nasyr, 1993), h. 197-312. Lihat juga . Lihat juga Ali Akbar, “Kaligrafi Murni:
Catatan Ringkas tentang Perkembangan Gaya-Gaya” h. 8.
63
Ismail Raji al-Faruqi dan al-Faruqi Lois Lamya, Atlas Budya Islam, (Bandung: Mizan,
1998), h. 99. Lihat juga Muhammad Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, h. 207.
74
1. Ibnu Muqlah dan Rumusan Kaligrafi Arab dan Lahirnya al-Khath alMansub dan Perkembangan kaligrafi Arab pada masa Abbasiyah
Adanya motivasi yang dianjurkan al-Qur‟an kepada umatnya untuk
menulis, dan penulisan al-Qur‟an yang memerlukakan huruf dan tanda baca yang
bisa dipahami serta bisa dilihat dan dibaca dengan jelas oleh umat Islam non-Arab
diseluruh daerah, maka bentuk dan cara penulisan pun makin lama makin
diperbarui, dan muncullah metode-metode penulisan baru yang berstandar,
metode penulisan baru ini disebut dengan al-Khath al-Mansub (kaligrafi standar).
Metode-metode ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh kaligrafi ternama dan
termasyhur, di antaranya Ibnu Muqlah, Ibnu al-Bawab, Ya‟qut al-Mustasimi dan
masih banyak lagi.64
Abu Ali al-Sadr Muhammad bin al-Hasan ibn Muqlah atau yang lebih
dikenal dengan nama Ibnu Muqlah lahir pada tahun 272 H/ 884 M, di Baghdad,
Iraq. Ibnu Muqlah juga dikenal sebagai “Imam Khattatin” kejeniusan dan
kepandaian Ibnu Muqlah dalam bidang geometri (ilmu ukur) yang berhasil
mengantarkannya menemukan rumus-rumus atau kaidah-kaidah penulisan
kaligrafi Arab. Berkat kepandaian yang dimilikinya, Ibnu Muqlah pernah
menjabat mejadi perdana menteri (wazir) pada tiga periode kekhalifahan
Abbasiyah, yakni al-Muqtadir (908-932 M), al-Qadir (932-934 M), dan al-Radi
(934-940 M). Malangnya Ibnu Muqlah terlibat suatu peristiwa yang menyangkut
khalifah ketika terjadi kekacauan yang paling hebat akibat penekanan,
penyelewengan dan berkecamuknya intrik-intrik politik. Akibatnya Ibnu Muqlah
dihukum dengan di potong organ tubuhnya, dan akhirnya meninggal pada masa
kekhalifahan al-Radi pada tahun 940 M. Walaupun demikian, Ibnu Muqlah telah
berhasil meletakkan dan menyempurnakan kaligrafi Arab, yang tak seorang pun
ahli kaligrafi sebelum yang bisa menyamai kemampuannya, dan inilah yang
membuat kedudukannya sangat tinggi dalan sejarah literatur Islam.65
64
http://www.robians.com/2013/12/ibnu-muqlah-abad-ke-9-10-masehi.html?m=1
pada tanggal 07 Desember 2016.
65
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 86-90.
diakses
75
Kemajuan yang dicapai sampai akhir abad ke-19 M, melebihi kemajuan
gaya Kursif pada abad ke-20 M, dalam hal pemakaian oleh halayak umum, yang
banyak diantaranya kurang memiliki keindahan dan keelokan yang sempurna
seperti yang dimiliki tulisan atau kaligrafi Kufi. Peranannya cukup sentral dalam
berbagai aktivitas masyarakat Arab di awal Islam, terutama untuk penulisan alQur‟an, catatan perdagangan, surat-menyurat, dan bentuk dokumentasi lain. Hal
demikian terus berlanjut sampai pada saat pola-pola mabsuth yang kaku telah
menjenuhkan, sebaliknya bentuk mudawwar yang lebih elastis dan fleksibel
diminati.66 Semenjak itu, dominasi khat Kufi tergeser67 dan bermunculanlah gaya
dan corak baru yang dikreasikan para kaligrafer pembaharu.
Atas dasar itu Ibnu Muqlah menempatkan diri sebagai perancang tulisan
Kursif, yang pada saat yang sama menjadikan tulisan itu mampu bersaing dan
bahkan berhasil menggeser kedudukan kaligrafi Kufi. Ibnu Muqlah meletakkan
sistem aturan dasar kaligrafi yang lengkap yang didasarkan atas titik belah ketupat
atau titik rhombic (♦) sebagai kesatuan ukurannya.68
Ibnu Muqlah sangat berjasa dalam membangun tulisan atau khat Naskh dan
Tsulust, serta mempopulerkan pemakaiannya. Menurut teori yang ditemukan oleh
Ibnu Muqlah, bentuk tulisan batulah dianggap benar jika memiliki lima kriteria
berikut:
1. Tawfiyah (tepat), yaitu setiap huruf harus mendapatkan usapan sesuai
dengan bagiannya, dari lengkungan, kejuran dan bengkokan.
2. Itmam (tuntas), yaitu setiap huruf harus diberi ukuran yang utuh, dari
panjang-pendek dan tipis-tebal.
3. Ikmal (sempura), yaitu setiap usapan garis harus sesuai dengan
kecantiakan bentuk yang wajar dalam gaya tegak, terlentang, memutar
dan melengkung.
66
Mabsuth adalah bentuk atau corak tulisan yang bersudut-sudut (dry writing/tulisan kering)
dan mudawwar adalah bentuk atau corak yang bundar dan lentur (soft writing/ tulisan lembut).
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 58.
67
Tetapi sebagai tulisan yang digunakan untuk menalin al-Qur‟an, khat Kufi masih digunakan
pada sebagian besar wilayah Islam sampai abad ke-10 M. Bahkan hingga kini khat Kufi masih
digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Lihat Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h.
63.
68
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 90-91.
76
4. Isyba‟ (padat), yaitu setiap usapan garis harus mendapat sentuhan pas
dari mata pena, sehingga terbentuk suatu keserasian. Dengan demikan
tidak akan terjadi ketimpangan, di mana satu bagian tampak terlalu tipis
atau kelebihan tebal dari bagian lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah
sentuhan yang menghendaki demikian.
5. Irsal (lancar), yaitu menggoreskan pena secara cepat dan tepat, tidak
tersandung atau tertahan-tahan sehingga menyusahkan atau mogok
ditengah-tengah membuat getaran tangan yang merusak tulisan yang
sedang digoreskan.69
Rumus Ibnu Muqlah: Alif berskala tujuh titik belah ketupat, yang
diletakkan vertikal. Dan rumusan lingkaran sebagai standar dari tinggi huruf Alis
dan „Ain.70
Sementara tata letak yang baik (husn al-wadh„i), mestilah mengandung
tarshif (rapat teratur), yakni tepatnta sambungan satu huruf dengan huruf lain;
ta‟lif (tersusun), yakni menghimpun setiap huruf yang terpisah(tunggal) dengan
lainnya dalam bentuk wajar dan indah; tasthir (selaras), yakni menghubungkan
satu kata dengan yang lainnya sehingga membentuk satu garis yang selaras
letaknya bagaikan mistar (penggaris); dan tanshil (menyerupai pedang), yakni
69
Al-Qalqasyandi, Subh al-A„syafi Shina„ah al-Insya (Kairo: Kustantasumas wa Syarikahu,
tth). Dikutip dan terjemahkan oleh Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 90. Lihat juga
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 66.
70
Dikutip dari Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 92.
77
meletakkan sapuan-sapuan garis memanjang yang indah pada huruf-huruf
sambung.71
Pemakaian
kaligrafi
pada
masa
Daulah
Abbasiyah
menunjukkan
keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Umayyah.
Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan
baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya
kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani
Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi unsur ornamen
floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan
Sasania.72
Gerakan perkembangan seni khat telah mencapai masa keemasan pada
masa ini disebabkan motivasi para khalifah dan perdana menteri Abbasiyah,
sehingga bermunculan kelompok para kaligrafer yang jenius. Gaya dan teknik
menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak
kaligrafer yang lahir, diantaranya ad-Dahhak Ibnu Ajlan yang hidup pada masa
Khalifah Abu Abbas As Shaffah (750-754 M), dan Ishaq Ibnu Muhammad pada
masa Khalifah al Manshur (754-775 M) dan al Mahdi (775-786 M). Ishaq
memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Suluts dan Sulutsain
dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as
Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang
lebih halus dari sebelumnya.73
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal
diantaranya Muhammad Ibnu As Simsimani dan Muhammad Ibnu Asad. Dari dua
muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab
mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal
dengan al-Mansub al-Faiq (huruf berstandar yang indah). Ia mempunyai
perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal.
71
Ilham Khoiri R. Al-Qur‟an dan Kaligrafi Arab, h. 66-67.
http://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafi/
pada tanggal 08 Desember 2016.
73
Muhammad Husain Jaudi, Al-Fan al-„Araby al-Islami, h.169.
72
diakses
78
Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah
al-Qur‟an dan fragmen duniawi saja.74
Sementara itu di wilayah Islam bagian barat (Maghribi), yang mencakup
negeri Arab dekat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol), pada abad pertengahan
berkembang bentuk tulisan yang disebut khat Maghribi atau Kufi Barat, terdiri
atas cabang khat Qairawani, Andalusi, Fasi dan Sudani. Disini, telah
dikembangkan pula Sulus Andalusi dan Naskhi Andalusi.
2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kaligrafi Berkembang Pesat
Selain eratnya kaitannya antara al-Qur‟an dan perkembangan gaya
kaligrafi, ada beberapa faktor lain seperti tersedianya media penulisan, yang
menyebabkan kaligrafi dapat berkembang pesat dan menyebar demikian merata di
dunia Islam. Ditambah lagi dengan semangat yang menggebuh-gebuh yang
ditunjukkan oleh umat Islam untuk belajar menulis dan kaligrafi. Selain dari halhal tersebut, adapun faktor-faktor yang mendukung perkembangan kaligrafi Arab
sangat pesat setelah datangnya Islam. Faktor tersebut mencakup tiga hal pokok:
Pertama, pengaruh ekspansi kekuasaan Islam. Setidaknya ada tiga hal
berkaitan dengan ekspansi kekuasaan Islam, yang setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW segera meluas jauh ke luar jazirah Arabia. Tiga hal tersebut
adalah urbanisasi besar-besaran ke wilayah baru, pertemuan budaya antara Islam
dan budaya wilayah taklukan, dan proses arabisasi pada wilayah tersebut. Pada
masa Daulah Umayyah, wilayah taklukan Islam ke timur telah mencapai
perbatasan Cina dan India, sementara ke barat mencapai wilayah tepian Atlantik.
Penaklukan wilayah ini segera diikuti oleh pengaturan administrasinya. Pada
tahun 50 H/670 M misalnya, Umayyah mendirikan kota Qairawan (di Tunisia
sekarang), sebuah perkemahan permanen sebagai pertahanan. Pendirian kota
seperti ini segera terjadi di berbagai wilayah taklukan lain pada abad berikutnya.
Pada masa Umayyah misalnya, sebagai akibat perluasan wilayah taklukan,
terjadilah mobilitas sosial dalam masyarakat Islam. Karenanya masyarakat Islam
selama 50 tahun pertama dikenal sebagai masyarakat yang sangat dinamis, secara
74
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 94-95.
79
sosial maupun geografis. Orang Arab yang berasal dari Jazirah Arabia menjadi
komunitas yang paling banyak berpindah. Mereka berurbanisasi ke wilayah yang
jauh, seperti Suriah, Mesir, Afrika utara, Mesopotamia atau ke Khurasan (Iran).
Migrasi dan urbanisasi itu mau tak mau juga melibatkan kaum seniman dan
budayawan muslim, memungkinkan terjadinya pertemuan budaya antara Arab
(Islam) dan wilayah pusat kebudayaan seperti Mesopotamia, Bizantium, dan
Persia. Hal ini berpengaruh besar bagi kekayaan dan kemajuan seni Islam. Satu
hal yang tidak mungkin dikesampingkan dalam proses ini adalah arabisasi
wilayah taklukan. Pada awal sejarah Islam, Daulah Umayyah merupakan
pemerintahan yang menerapkan kebijakan administratifnya berdasarkan ide-ide
kearaban. Ini mengakibatkan meluasnya pemakaian bahasa Arab dalam wilayah
taklukan.
Proses yang didukung oleh pemerintahan selanjutnya ini membawa bahasa
Arab bukan saja sebagai bahasa liturgis, namun juga sekaligus kultural. Bahasa
Arab akhirnya menjadi bahasa akademik dan kesusastraan. Di pihak lain, huruf
Arab pun kemudian menjadi huruf untuk bahasa non-Arab, seperti bahasa Parsi,
Urdu, Turki dan Melayu (Jawi). Kedua fenomena terakhir, berkenaan dengan
pemakaian bahasa dan huruf Arab yang membawa pengaruh kuat dalam
perkembangan kaligrafi, memunculkan beragam gaya dan teknik penulisan.
Bahkan tidak jarang wilayah yang berbeda memunculkan model huruf yang
berbeda pula, karena pengaruh corak budaya lokal.
Kedua, peranan raja dan elit sosial. Pesatnya perkembangan kaligrafi Islam
sangat erat kaitannya dengan dukungan dan fasilitas yang diberikan oleh raja dan
kaun elite sosial, yang memungkinkan seniman muslim mengembangkan
kreativitasnya. Dari catatan sejarah didapatkan banyak bukti tentang hal ini.
Diceritakan bahwa gaya tulisan Tumar (lembaran halus daun pohon Tumar)
diciptakan atas perintah langsung Khalifah Mu'awiyah (40 H/661 M-60 H/680
M). gaya ini kemudian menjadi tulisan resmi pemerintahan Daulah Umayyah.
Pada masa Daulah Abbasiyah dan pemerintahan berikutnya, perhatian istimewa
terhadap kaligrafi semakin kuat. Kitab al Fihrist karangan an Nadim (abad ke-10),
sebuah karya monumental ensiklopedis yang pantas dijuluki rekaman peradaban
80
dalam arti sesungguhnya, menunjukkan hal ini. An-Nadim menyebutkan bahwa
masa pemerintahan Khalifah Ma'mun (197 H/813 M-218 H/833 M) merupakan
kulminasi perkembangan kaligrafi. Para penulis di masa itu aktif dalam
memperindah huruf Arab. Dukungan pihak istana terhadap pertumbuhan kaligrafi
terus berlanjut pada kurun berikutnya di berbagai wilayah dunia Islam. Beberapa
sultan Daulah Usmani di Turki dikenal sebagai ahli kaligrafi. Mereka bahkan tak
segan belajar kaligrafi kepada penulis istananya. Kemudian pembukaan kota besar
sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Islam membawa pengaruh bagi
tumbuhnya kaum elite tertentu di masyarakat. Ditunjang oleh berbagai pengaruh,
baik pengaruh ekonomi (perdagangan) maupun kontak budaya, kaum elite sosial
ini mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap karya seni. Benda seni
seperti keramik bertuliskan kaligrafi, misalnya, sangat disukai oleh kaum ini. Pada
masa itu muncul pengrajin non-muslim berkebangsaan Yunani dan Koptik, serta
terdapat pula pengaruh produksi benda seni dari Cina.
Ketiga, pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan. Minat terhadap ilmu
pengetahuan yang telah tumbuh sejak masa Daulah Umayyah mengalami
perkembangan luar biasa pada masa berikutnya. Pada masa ini kertas telah ada
yang dikenalkan oleh orang Arab dari Cina di Samarkand pada tahun 133 H/751
M. Seiring dengan munculnya kertas, maka berkembang pula kreasi manusia yang
lebih leluasa. Pemakaian kertas segera meluas ke berbagai kota Islam dan
merupakan salah satu sebab utama perkembangan tulisan kursif ornamental. Gaya
kaligrafi yang telah ada sebelumnya seperti Tumar, Jalil, Nisf, dan Sulus yang
betapa pun masih sangat sederhana, segera berkembang menjadi lebih halus,
seperti Khafif as Sulus, Khafif as Sulusain, dan Ri'asi. Tak lama kemudian muncul
gaya lain yang dikenal sebagai enam gaya pokok kaligrafi awal (al-Aqlam asSittah) yaitu Sulus, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa', dan Tauqi'.75
Seiring dengan berkembangnya zaman, aneka gaya kaligrafi juga
mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai pola dan bentuk serta
media. Hal ini ditandai dengan munculnya trend-trend dalam kaligrafi
75
Didin Sirojuddin AR,"Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes" dalam Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 293-295.
81
kontemporer di dunia muslim, seperti tradisional, figural, ekspresionis, simbolis
dan abstraksionis murni.76
3. Kaligrafi Arab pada beberapa media
Al-Qur‟an merupakan mata rantai penghubung antara tulisan Arab dengan
Islam. Maka, menjaganya walau setitik kesalahan adalah wajib. Demi untuk
keagungan kitab suci ini, ayat-ayat dituangkan dalam bahasa keindahan yang
tersimbol dalam kaligrafi pada ribuan bahkan jutaan lembar kertas, kanvas, kayu,
marmer, kaca dan lain-lain. Keindahan kaligrafi sudah seharusnya menghiasi
seuruh karya seni bahkan segala perabotan yang serba Islami. Begitu juga dengan
banyaknya karya-karya kaligrafer yang tertuang di atas kanvas, interior masjid
yang oleh kaligrafi Arab.
Kegunaan kaligrafi tidak hanya digunakan untuk menulis ayat-ayat alQur‟an, tetapi sejarah perkembangan kaligafi Arab digunakan dibeberapa media
yang perannya sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Semarak penggunaan
kaligrafi di beberapa media sudah mulai diusung dari masa Khulafa al-Rasyidin,
kekhalifah Umayyah dengan adanya koin, dan dekorasi masjid pertama kali, dan
selanjutnya pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah yang menjadi masa
keemasannya Islam. Penggunaan kaligrafi banyak dijumpai dibeberapa media
seperti kiswah Ka‟bah, koin, mihrab masjid, kubah masjid, menara masjid, bejana
atau guci, dan lain sebagainya.
A. Kiswah Ka’bah
Satu kiswah (baju penutup) Ka‟bah ditaksir berharga sekitar 5 juta real
Saudi (di rupiahkan mencapai 1 milyar). Dibuat sekali setahun, tercatat sejak
tahun 1966 sampai 1980, Ka‟bah sudah mengalami 20 kali ganti kiswah.
Menghiasi Ka‟bah dengan kain sutera pertama kali adalah bangsa Himyar
(Hameir), dua abad sebelum Hijriyah. Selanjutnya usaha itu dilanjutkan dan
diteruskan ole suku Qureisy yaitu Ummu Abbas bin Abdil Mutalliblah. Pada masa
nabi Muhammad sampai Khulafa al-Rasyidin tercatat tidak pernah melakukan
perobakan dan penggantian kiswa Ka‟bah. Kemudian pada masa dinasti Umayyah
76
Ismail Raji al-Faruqi dan al-Faruqi Lois Lamya, Atlas Budya Islam,h. 402.
82
pernah melakukan pergantian kiswah Ka‟bah dua kali dalam setahun. Barulah
pada masa dinasti Abbasiyah hal ini dipandang serius, pada masa pemerintahan
al-Makmun adalah yang mula-mula membuat kiswah dari sutera putih dan hiasan
kaligrafi, dan kiswah Ka‟bah beberapa kali mengalami pergantian warna, mulai
dari warna putih, kuning, hijau, dan hitam-lah yang belaku hingga sekarang ini
dan dihiasi kaligrafi berwarna emas.77
B. Dekorasi Masjid
Dalam dunia arsitektur, kaligrafi menghiasi situs-situs Islam yang tersuci
sekalipun. The Dome of the Rock Yerussalem, merupakan sala satu prasasti tertua
yang pernah ada, di tulis dalam mosaik pada tahun 692 M. 78 Bentuk mihrab
tampaknya diperkenalkan pada awal abad ke-8 M. tujuannya untuk menunjukkan
arah Kiblat. Ketika masa pemerintahan khalifah al-Walid (705-715 M) kemudian
melakukan renovasi pada bagian mihrab masjid menghiasnya dengan kaligrafi
Arab dan ornamen Islami. Pengguanan kaligrafi mulai semarak dituliskan di
dinding, kubah dan menara masjid.79
Sesungguhnya dunia semenjak zaman dinasti Umayyah sampai
sekarang ini dan terbentang dari timur sampai ke barat, seakan-akan ditaburi oleh
masjid-masjid yang indah dan menakjubkan dengan hiasan-hiasan ornamen dan
kaligrafi Arab dengan pesan-pesan ayat-ayat al-Qur‟an. Keindahan yang di miliki
oleh masjid Mekkah, masjid Madinah, masjid Damsyik, masjid Yerussalem,
masjid Cordova, dan sebagainya, merupakan bukti nyata bagaimana tingginya
seni bangunan dan artistik Islam.80
Pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masjid
dihias dengan ukiran kaligrafi dari emas dan perak, sebagaiman yang ada
sekarang ini di masjid Yerussalem (The Dome of the Rock) Kubah Batu. Sekitar
100.000 koin emas dilelehkan dan gunakan untuk melapisi eksterior kubah masjid
tersebut. Sedangkan ektrerior luar diahiasi dengan ubin atau marmer yang benuasa
77
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 178-182.
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/08/16obzoca394-bagaimana-senikaligrafi-muncul-dalam-dunia-islam diakses pada tanggal 07 Desember 2016.
79
Moya Carey, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, terj. Budi Sulistiono (Jakarta:
Penerbit Erlangga, tth), h. 22-23.
80
http://www.lemka.net/ diakses pada tanggal 07 Desember 2016
78
83
kaligrafi jenis Tsulus. Di sekeliling dinding dalam, terdapat mozaik emas,
sepanjang 240 m, dengan tulisan Kufi yang menyatakan pesan-pesan Islami.81
C. Koin Islam
Sekitar tahun 696-698 M, mata uang atau koin Islam direformasi oleh
Khalifah Umayyah, Abdul Malik, yang juga membangun The Dome of the Rock di
Yerussalem. Standar baru ditetapkan untuk koin, dan semua citra figuratif
digantikan oleh pesan-pesan Islam yang ditulis dengan kaligrafi Arab jenis Kufi.
Tujuan epigraf-epigraf ini adalah mengingatkan semua rakyat wilayah taklukan
akan keberhasilan Islam. Koin-koin itu dihiasi pernyataan-pernyataan doktrinal,
misalnya Laa Ilaaha Illallah, wa Muhammad Rasulullah. Dan itu berlangsung
selama ratusan tahun selama masa pemerintahan dinasti Umayyah, dan juga oleh
dinasti Abbasiyah yang menggantikan Umayyah. Nama khalifah yang memerintah
biasanya tidak dicetak pada koin. Namun, sejak era pemerintahan Abbasiyah
dimulai dari koin-koin yang diterbitkan oleh khalifah al-Mahdi (775-785 M),
mulai mencetakkan nama khalifah yang memerintah pada koin Abbasiyah.82
Cetakan mata uang Dirham, baik yang dikerjakan pada Khuafa arRasyidin, khalifah Umayyah dan khalifah Abbasiyah maupun masa kekuasaan
Islam di Andalusia (Spanyol), umumnya menggunakan kaligrafi Kufi di berbagai
media. Di Afrika Utara, mata uang yang dibuat pada penghujung abad pertama
Hijriyah dicetak dalam gaya tulisan Kufi dengan menggunakan tiga bahas
sekaligus: Arab, Spanyol, dan Sisilia. Seluruh mata uang Dirham yang dibuat oleh
Muslim, sejak abad pertama Hijriyah hinggan penaklukan Islam terhadap beberpa
wilayah, baik Persia dan Romawi, maupun Afrika dan Andalusia, adalah
merupakan mata-mata uang atau koin yang bercapkan Islam dan mengandung
simbol-simbol sejarah, catatan peribahasa, nama khalifah, kalimat Tauhid, dan
tarikh-tarikh agama. Banyak mata uang yang ditulis dengan huruf Arab dan latin
sekaligus.83
81
Moya Carey, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, h. 50-51.
Moya Carey, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, h. 49.
83
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 51-52.
82
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, bahwa
penelitian dengan judul, Sejarah Perkembangan Kaligrafi Arab Pada Masa praIslam sampai Kodifikasi al-Qur’an (250-940 M). Maka penulis menemukan dan
mendapatkan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini, diantara:
Sejarah perkembangan tulisan Arab dapat dilacak dan dilihat dari beberapa
temuan yang ditemukan oleh beberapa ahli arkeologi berupa inskripsi-inskripsi
yang ditemukan dikawasan atau jazirah Arabia. Perkembangan tulisan Arab
sebelum datangnya Islam sangatlah lamban. Tulisan yang berkembang pada masa
itu hanya ada dua jenis, yaitu: Nabathi dan Musnad. Dan kedua jenis tulisan
tersebut berakar dari tulisan Mesir Kuno (Hierogliph). Adapun peranan tulisan
dalam peradaban Arab pra-Islam sangatlah sentral dan penting dalam kehidupan
dan peradaban Arab meskipun bangsa Arab pra-Islam terkenal dengan
kejahiliyaannya dalam ilmu pengetahuan, namun mereka sudah mengenal tradisi
tulisan sejak tahun 250 M, ini dikuatkan dengan adanya temuan inskripsi Umm alJimal. Disamping itu juga adanya tradisi Mu’allaqat yang digelar setiap tahun
pada bulan Zulqaidah, tercatat tradisi ini sudah ada sejak tahun 540 M. Dan dalam
keseharian-pun bangsa Arab pra-Islam sudah menggunakan dan mengenal tulisan
karena kegemaran bangsa Arab yang melakukan perniagaan dan hubungan dagang
ke berbagai wilayah, adapun guna tulisan sebagai bukti transaksi.
Sejak awal mula diwahyukan al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw,
tradisi hafalan-lah yang digunakan untuk menyimpan ayat-ayat al-Qur’an.
Selanjutnya pada masa Khulafa ar-Rasyidin tradisi menuliskan ayat-ayat alQur’an mulai digunakan, guna melestarikan dan menjaga ayat-ayat al-Qur’an dari
kekeliruan dan kepunahan. Ini disebabkan oleh beberapa kejadian dan peristiwa
yang merugikan umat Islam. Selanjutnya hal ini dipandang serius oleh khalifa
Utsman bin Affan kemudian melakukan kodifikasi al-Qur’an dan menyusunnya
85
kedalam satu mushaf dan menunjuk Zaid bin Tsabit dan lain-lainnya sebagai
pelaksana, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Kemudian mushaf tersebut
disempurnakan oleh beberapa khalifa yang memerintah pada masa dinasti
Umayyah dan dinasti Abbasiyah. Adapun jenis tulisan yang berkembang dan yang
gunakan pada masa itu adalah bentuk tulisan yang dominan adalah jenis khat
Hieri kemudian menjadi khat Kufi (merujuk kepada kota Kufah yang didirikan
pada tahun 640 M). Barulah pada masa Abbasiyah al-Qur’an dituliskan dan
kodifikasikan secara rapi diatas kertas sekitar tahun 133 H/751 M, yang
dikenalkan oleh orang Arab dari Cina di Samarkand.
Pada masa awal Islam penggunaan khat Kufi masih dominan sampai masa
pemerintahan awal dinasti Abbasiyah. Dalam perkembangannya, khat Kufi
mengalami berbagai variasi dan bentuk. Kemudian dikenal-lah jenis-jenis seperti
Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq
(berdekorasi daun), Mudhaffar
(dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (berlilit-berikatan) dan lain-lain. Sementara itu
di wilayah Islam bagian barat (Maghribi), yang mencakup negeri Arab dekat
Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol), pada abad pertengahan berkembang bentuk
tulisan yang disebut khat Maghribi atau Kufi Barat, terdiri atas cabang khat
Qairawani, Andalusi, Fasi dan Sudani. Disini, telah dikembangkan pula Sulus
Andalusi dan Naskhi Andalusi. Peranannya cukup sentral dalam berbagai aktivitas
masyarakat Arab di awal Islam, terutama untuk penulisan al-Qur’an, catatan
perdagangan, surat-menyurat, dan bentuk dokumentasi lainnya. Hal demikian
terus berlanjut sampai pada saat pola-pola mabsuth yang kaku telah menjenuhkan,
sebaliknya bentuk mudawwar (kursif) yang lebih elastis dan fleksibel diminati.
Semenjak itu, dominasi khat Kufi tergeser dan bermunculan-lah gaya dan corak
baru yang dikreasikan para kaligrafer pembaharu. Setelah temuan rumus dari Ibnu
Muqlah (al-Khath al-Mansub), ditambah dengan perkembangan keberagaman
media tulis seperti kertas dan pena, perkembangan kaligrafi Arab pada masa
dinasti Abbasiyah berkembang pesat. Meluas dan menyebarnya pemakaian kertas
ke berbagai kota Islam dan merupakan salah satu sebab utama perkembangan
tulisan kursif atau kaligrafi Arab. Selanjunya usaha yang dirintis oleh Ibnu
Muqlah diteruskan oleh murid-muridnya hingga kita bisa mengenal delapan jenis
86
kaligrafi standar dewasa ini; Naskhi, Tsuluts, Riq’a, Farisi, Diwani, Diwani Jali,
Rayhani, dan yang tertua adalah Kufi.
B. Saran-saran
Dalam penelitian yang penulis lakukan banyak sekali penulis mendapatkan
kendala dan halangan, baik dalam mencari sumber dan data yang sesuai dengan
judul yang penulis angkat. Namun, tidak membuat patah semangat penulis dalam
menyelesaikan dan melakukan penelitian ini. Adapun kesempurnaan tulisan dan
penelitian tidak bisa lepas dari kritikan dan saran pembaca. Dan penulispun
memahahi dan menyadari betul akan kekurangan tulisan dan penelitian ini. Oleh
sebab itu, kedepannya dan selanjutnya penulis berharap akan ada muncul
sejarawan atau ide-ide untuk terus menggali dan melakukan penelitian dan
memahami sejarah Islam khususnya kajian dan konsentrasi sejarah di kawasan
Timur Tengah.
Saran dari penulis, ada penulis yang meneruskan penelitian tentang kajian
sejarah Islam tentang kesenian dan kebudayaan Islam, terutama tentang Kaligrafi
Arab dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan Islam
yang dulunya berjaya dan mencapai masa keemasan. Kebanyakan penelitian dan
kajian tentang sejarah Islam sangat minim dan sedikit yang membahas tentang hal
ini. Karena menurut penulis sangat menarik dan penting untuk dibahas dan dikaji
tentang kesenian dan kebudayaan Islam yang dulunya pernah menjadi bukti
peradaban dan masih berkembang hingga saat ini.
99
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdurrahman, Emsoe dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Story of AlQur’an, Bandung: Salamadani, 2009.
Adonis, Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibda’ wa al-Itba ‘inda al-Arab,
diterjemahkan oleh Khairon Nahdiyyin, Arkeologi Sejarah-Pemikiran
Arab-Islam, Yogyakarta: LKiS, 2009, jilid ke-4.
Al-A’zami, M. Mustafa, Hadist Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta:Pustaka
Firdaus, 1994.
___________________, Sejarah Teks al-Qur’an dan Wahyu sampai Kompilasi,
Jakarta: Gema Insani, 2014.
al-Baba, Kamil, Ruh Al Khath Al ‘Arabi (The Spirit of Arabic Calligraphy).
Bairut: Dar Lubnan Publishers, 1983. diterjemahkan oleh Didin Sirojuddin
AR. Dinamika Kaligrafi Islam. Jakarta: Darul Ulum Press, 1992.
Atthar, Dawud al-, Persepektif Baru Ilmu al-Qur’an, Bandung: Pustaka Hidayah,
1994.
Faruqi, Ismail Raji al-, dan al-Faruqi Lois Lamnya, Atlas Budaya Islam, Bandung:
Mizan, 1998.
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Quran. Jakarta: PT. Pustaka
Alvabet, 2013.
Amin, Ahmad, Fadjar Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Aziz, Abdul, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2011.
Bell, Richard, Pengantar Qur’an, diterjemahkan oleh Lillian D. Tedjashudana,
Jakarta: INIS, 1998.
Carey, Moya, Ensiklopedia Seni dan Arsitektur Islam, diterjemahkan oleh Budi
Sulistiono, Jakarta: Penerbit Erlangga, tth.
Fadha’ili, Habibullah, Athlas al-Khat wa al-Khututh, diterjemahkan oleh
Muhammad al-Tunji, Syiria: Dar Thalas li al-Diasat wa al-Tarjamah wa alNasyr, 1993.
Haourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, diterjemahkan oleh Irfan
Abubakar, Bandung: Mizan, 2004.
100
Hitti, Philip K., History of the Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, Jakarta:
Serambi, 2002.
____________, The Arabs a Short History, diterjemahkan oleh Usuludin
Hutagalung dan O.D.P Sihombing, Dunia Arab Sedjarah Ringkas,
Bandung: Sumur Bandung, 1970.
Husain, Abdul Karim, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1985.
Ibyariy, Ibrahim al-, Pengenalan Sejarah al-Qur’an, terjemahan Saad Abdul
Wahid, Jakarta: Rajawali Press, 1995, Cetakan ke-3.
Ilham, Andri, Puisi Arab dan Protes Sosial; Kajian atas Puisi Pinggiran Sa‘alik
pra-Islam. Jakarta: Transpustaka, 2016.
Israr, C., Dari Teks Klasik Sampai ke Kaligrafi Arab. Jakarta: Yayasan Masagung,
1985.
Jaudi, Muhammad Husain, al-Fan al-‘Araby al-Islami, Oman: Dar alMasirah,1998.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Pusat Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka,
2008, edisi ke-4.
Khoiri R, Ilham, Al-Qur’an dan Kaligrafi Arab. Jakarta: Logos, 1999.
Ma’rifat, Muhammad Hadi, Sejarah al-Qur’an, diterjemahkan oleh Thoha
Musawwa, Jakarta: Penerbit al-Huda, 2007.
Mahasin, Aswab, (Ed.) Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep Estetika,
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Muzakki, Ahmad, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006.
Nasr, Seyyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam. terj. Sutejo, Bandung: Mizan,
1993.
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.
1995.
Pedersen, J., Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran
Informasi di Dunia Arab, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman,
Bandung: Mizan, 1996.
Safadi, Y. M., Islamic Calligraphy, London: Thumes and Hudson, 1978.
Shabunie, Moh. Ali ash-, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas,
1983.
101
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994. Cetakan ke-4.
________________, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Sirojuddin, AR., Didin, Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgasana,
1987.
__________________,“Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes” dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Situmorang, Oloan, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya
Bandung: Angkasa, 1993.
Yatim, Badri, Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Jurnal, Katalog dan Majalah:
Sirojuddin AR., Didin, “Al-Qur’an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, Ulumul
Qur’an, Vol. 1, 1989/1410 H.
Akbar, Ali, “Kaligrafi Murni: Catatan Ringkas tentang Perkembangan GayaGaya” Katalog Pemenang Sayembara Kaligrafi Festival Istiqlal II,
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1995.
Internet:
http://www.lemka.net/2011/02/khat-kufi_01.html?m=1 Diakses pada tanggal 14
November 2016.
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/08/16obzoca394bagaimana-seni-kaligrafi-muncul-dalam-dunia-islam Diakses pada tanggal
07 Desember 2016.
http://www.robians.com/2013/12/ibnu-muqlah-abad-ke-9-10-masehi.html?m=1
Diakses pada tanggal 07 Desember 2016.
http://hilyatulqalam.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-perkembangan-kaligrafi/
Diakses pada tanggal 08 Desember 2016.
87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peta perkembangan dan perjalanan kaligrafi Arab
menurut buku Didin Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam.
88
Peta perkembangan dan perjalanan kaligrafi Arab
menurut buku M. Mustafa al-A’zami. Sejarah Teks al-Qur’an dan Wahyu
sampai Kompilasi.
89
Perkembangan tulisan Arab menurut Didin Sirojudin AR, dalam bukunya
Seni Kaligrafi Islam..
90
Khat Kufi pada tulisan al-Qur’an diperkirakan masa awal Islam, yang belum memiliki
tanda baca dan tanda titik untuk membedakan antar huruf.
91
Khat Kufi dalam Mushaf yag dituliskan pada masa pemerintahan
dinasti Umayyah di awal abad pertama Hijriyah hingga abad ketiga Hijriyah, yang
sudah bertanda baca berupa titik-titik berwarna.
92
Jenis tulisan Kursif yaitu khat Tsulus mulai berkembang pada masa
Dinasti Abbasiyah, sekitar abad ke-9 dan ke-10 Masehi, tulisan ini
menggeser dominasi khat Kufi. Yang sudah dilengkapi tanda baca berupa harokat
dan tanda titik pemisah antar huruf satu dengan yang lainnya. Tulisan ini dipopulerkan
oleh Ibnu Muqlah.
93
Kiswah Ka’bah yang dirajut dengan benang emas dan mengalami pergantian
setiap tahunnya. Dan tradisi ini mulai dikembangkan pada masa dinasti Umayyah.
Tampak jelas kaligrafi jenis Tsulus yang mendominasi hiasan seluruh
Kiswah Ka’bah.
94
Tampak Luar dekorasi Masjid Kubah Batu Yerussalem
(The Dome of The Rock). Berhias kaligrafi dari keramik yang
mengelilingi seluruh masjid.
95
Masjid Umayyah yang ada di
Damaskus, atau yang lebih
dikenal dengan nama masjid
Damsyiq. Dihias indah dengan
nuansa kaligrafi, mulai dari
Mihrab hingga ke seluruh tembok
masjid.
96
Mata uang atau koin emas Islam pada masa pemerintahan dinasti Umayyah,
yaitu pada masa kekuasaan Abd al-Malik 697 M.
Mata uang atau koin emas Islam atau yang dikenal dengan Dinar pada masa
pemerintahan dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa kekuasaan al-Mansur 752-753 M.
Bentuk mata uang atau koin emas yang berkembang di kawasan Magribi, mencangkup
daerah Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Libya hingga ke Spanyol.
diperkirakan sekitar abad ke-10 Masehi.
97
Khat Naskhi
Khat Tsulus
Khat Riq’a
Khat Diwani
98
Khat Diwani Jali
Khat Farisi
Khat Kufi
Download