PERFORMAN DAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS BROILER YANG DIBERI PAKAN SILASE DAN DITANTANG Salmonella typhimurium FIRSTEA OCTA MERRYANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK FIRSTEA OCTA MERRYANA. Performan dan Histopatologi Usus Halus Broiler yang Diberi Pakan Silase dan Ditantang Salmonella typhimurium. Dibimbing oleh Nahrowi, M. Ridla dan Agus Setiyono. Aplikasi mengenai teknologi pengolahan pakan berupa silase dapat menjamin ketahanan pakan dan juga dapat menggantikan antibiotik melalui kandungan bakteri asam laktat (BAL) dan asam organik yang dimiliki oleh produk silase. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pakan dalam bentuk silase terhadap performa dan perkembangan bakteri Salmonella di dalam usus halus broiler. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan menggunakan 168 ekor broiler yang dibagi dalam 21 petak kemudian diberi salah satu dari 7 macam perlakuan ransum, yaitu : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.). Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam (Analysis of Variance / ANOVA) dan jika berbeda nyata diuji dengan menggunakan uji Kontras Orthogonal. Data tingkat kerusakan usus halus diolah dengan menggunakan Kruskal-Wallis. Produk silase yang dihasilkan sangat baik, ditunjukkan dengan pH yang rendah yaitu 4.28 dan tingginya bakteri asam laktat yang dihasilkan yaitu 9.16 x 108. Ransum silase nyata (P<0.05) mengurangi kerusakan pada vili-vili ileum broiler yang ditantang dengan Salmonella typhimurium. Selain itu, silase juga dapat menekan pertumbuhan Salmonella di dalam sekum broiler. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ransum silase dapat digunakan sebagai bahan pakan yang dapat menekan pertumbuhan Salmonella typhimurium di dalam usus halus broiler. Silase ransum dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh negatif terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, dan konversi ransum, yang ditandai dengan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan yang menggunakan silase ransum dengan perlakuan yang menggunakan ransum basal. Begitu juga halnya untuk silase yang diberikan pada broiler yang ditantang Salmonella typhimurium menunjukkan hasil akhir yang cukup baik. Silase ransum komplit dapat digunakan sebagai pakan alternatif ransum komersial dan juga dapat berperan sebagai alternatif antibiotik tanpa memberikan pengaruh negatif terhadap performan broiler. Kata kunci : Silase, infeksi Salmonella typhimurium, usus halus, broiler. ABSTRACT FIRSTEA OCTA MERRYANA. Performance and Histopathology of Small Intestine of Broiler Treated with Silage Diet and Challenged by Salmonella thypimurium. Under the direction of Nahrowi, M. Ridla and Agus Setiyono. Application of silage technology can guarantee the availability of feed and may substitute antibiotic through the lactic acid bacterium (BAL) and organic acid contents. The aim of this research were to examine the effect of feeding silage on the performance and inhibit the growth of bacteri Salmonella in small intestine of broiler challenged with Salmonella. Completely Randomized design with 7 treatments and 3 replications were used. 168 broilers which are devided into 21 groups were given one of the seven kinds of ration i.e. S1 (silage ration), B1 (basal ration), L1(B1 + L. Plantarum), S2 (S1 + Salmonella typhimurium), B2 (B1 + Salmonella typhimurium), L2 (L1 + Salmonella typhimurium) and A (B1 + antibiotic + Salmonella typhimurium). Data obtained were analysed with Analysis of Variance (ANOVA) and the orthogonal contrast test for comparing differences of treatments. Data due to small intestine damage were analysed by using Kruskal-Wallis. Silage products were very good in term of having low pH (4.28) and increasing number of lactic acid bacteries (9.16 x 108). Silage ration significantly decreased (P<0.05) the damage of ileum villus of broiler chalenged by Salmonella typhimurium. Silage could also depress the growth of Salmonella in broiler’s caecum. The result of this research show silage ration can be used as feed substance which could depress the growth of Salmonella typhimurium in broiler’s small intestine. Silage ration could not give nagative influence to consumption, body weight gain, last body weight and ration convertion wich marked by there was not significant difference between silage ration and basal ration. It can be concluded silage ration can be used as alternative commercial ration without influencing performance of broiler. Key words : Silage, Salmonella infections, small intestine, broiler. © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya PERFORMAN DAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS BROILER YANG DIBERI PAKAN SILASE DAN DITANTANG Salmonella typhimurium FIRSTEA OCTA MERRYANA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Nama NRP : Performan dan Histopatologi Usus Halus Broiler yang Diberi Pakan Silase dan Ditantang Salmonella typhimurium : Firstea Octa Merryana : D051040141 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Ketua Dr.Ir. Muhammad Ridla, M.Agr Anggota Dr.drh. Agus Setiyono, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Tanggal Ujian : 1 Mei 2007 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus : KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 ialah Performan dan Histopatologi Usus Halus Broiler yang Diberi Pakan Silase dan Ditantang Salmonella typhimurium. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc, selaku dosen pembimbing utama, Dr.Ir. Muhammad Ridla, M.Agr dan Dr.drh. Agus Setiyono, MS yang telah banyak meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan arahan, bimbingan dan saran selama penulis melaksanakan penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih juga penulis ucapkan pada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc yang telah bersedia sebagai dosen penguji luar komisi dan banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. Terima kasih tak terhingga dan penuh hormat penulis ucapkan pada Ayah Ir. Muryono dan Mami Fatmawati, S.Pd tercinta yang selalu mengasuh, mendidik dan membimbing dengan penuh kasih sayang serta senantiasa mendo’akan dan memberikan dorongan penuh baik moril maupun materil sampai saat ini. Adek Puspita Maya Margaretha, terima kasih selalu memberi kakak semangat, warna dalam senyum cerianya. Deyusma, S.Pt, terima kasih atas kesabaran dan pengertian yang diberikan selama ini serta pelajaran tentang hidup dan kedewasaan. Keluarga besar Situbondo dan Keluarga besar Bapak Iip Sukandar, terima kasih telah memberikan perhatian, bimbingan dan keceriaan selama ini. Teh Nelly, teh Nia, teh Yati dan Mami Carolina, terima kasih atas arahan dan bantuan selama penulis berada di Bogor. Tak lupa penulis ucap terima kasih yang sebesar besarnya kepada Ir. Ma’ruf Tafsin, M.S dan Dr. Ir. Nevy, M.S, Ir. Yatno, M.S, Ima, bang Yus, kak Linda, Desy, Santy, Dian, kak Lily, Minul, pak Amir, pak Rusdin, kak Fitri dan pak Syahrir yang telah banyak memberikan warna selama penulis melaksanakan pendidikan di IPB. Terima kasih juga penulis ucap buat Ugan, Isfar, Heru terima kasih atas bantuan tenaga selama penelitian. Utie, Anggie, Dewi dan buat adekadek mona terima kasih telah menemani selama penulisan tesis, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu yang telah membantu penulis baik selama pelaksanaan penelitian maupun dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan dapat memberikan masukan bagi dunia peternakan Indonesia. Bogor, April 2007 Firstea Octa M RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Situbondo pada Tanggal 31 Oktober 1981 dari ayah Ir. Muryono dan ibu Fatmawati, S.Pd. penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Situbondo dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, lulus pada tahun 2003. Tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................... 2 Hipotesa ................................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3 Silase ..................................................................................................... 3 Bakteri Asam Laktat ............................................................................. 5 Asam Organik ....................................................................................... 8 Pemanfaatan Bakteri Asam Laktat pada Unggas .................................. 10 Penggunaan Antibiotika ........................................................................ 11 Salmonellosis pada Unggas .................................................................. 11 Organ Vital dan Usus Halus ................................................................. 14 Organ Vital .................................................................................. 14 Usus Halus ................................................................................... 14 MATERI DAN METODE ........................................................................... 19 Tempat dan Waktu ................................................................................ 19 Materi .................................................................................................... 19 Ternak .......................................................................................... 19 Kandang dan Perlengkapan ......................................................... 19 Ransum ........................................................................................ 19 Bakteri dan Additive .................................................................... 19 Vitamin dan Vaksin ..................................................................... 21 Metode .................................................................................................. 21 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................... 21 Pembuatan Ransum Silase Komplit ............................................ 22 Uji Tantang .................................................................................. 23 Analisis Kimia dan Histopatologi ............................................... 23 Kualitas Silase .................................................................... 23 Jumlah Koloni Salmonella ................................................. 23 Pengamatan Histopatologi Usus Halus .............................. 23 Peubah yang Diamati ................................................................... 25 Prosedur Pelaksanaan .................................................................. 25 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 26 Silase Ransum ....................................................................................... 26 Kualitas Silase Ransum dan Ransum Kering selama Penyimpanan .... 27 Performa Broiler yang Diberi Ransum Perlakuan dan Ditantang Salmonella typhimurium ....................................................................... 28 Konsumsi....................................................................................... 29 Pertambahan Bobot Badan .......................................................... 30 Bobot Badan Akhir ...................................................................... 32 Konversi Ransum ........................................................................ 32 Organ Dalam Broiler ............................................................................ 35 Hati .............................................................................................. 35 Empedu ........................................................................................ 36 Limpa ........................................................................................... 37 Jumlah Koloni Salmonella .................................................................... 39 Histopatologi Usus Halus ..................................................................... 41 SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 52 LAMPIRAN .................................................................................................. 56 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Enam fase dari fermentasi silase dan penyimpanannya ........................... 4 2. Susunan dan kandungan zat makanan dalam ransum penelitian ............. 20 3. Koloni bakteri asam laktat (BAL) dan pH silase ransum pada minggu ke 0, 3 dan 6 ............................................................................................. 26 4. Kualitas pakan silase dan pakan kering yang disimpan pada minggu ke 0, 3 dan 6 ............................................................................................. 27 5. Rata-rata konsumsi pakan, pertambahan bobot badan (PBB), bobot badan akhir (BBA) dan konversi ransum broiler yang dipelihara selama 6 minggu .................................................................................................. 29 6. Rata-rata konversi pakan broiler minggu ke 0-3 dan minggu ke 4-6 ....... 34 7. Jumlah koloni Salmonella pada isi sekum broiler .................................... 39 8. Tingkat kerusakan pada usus halus broiler .............................................. 41 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Pembentukan laktat oleh bakteri homofermentatif ............................... 5 2. Pembentukan laktat oleh bakteri heterofermentatif .............................. 6 3. Kerja asam organik pada bakteri yang sensitif (Coliform, Clostridis, Salmonella, Listeria spp) terhadap perubahan pH .............. 9 Kerja asam organik pada bakteri yang tidak sensitif (Bakteri Asam Laktat, Bifidobakteria) terhadap perubahan pH .................................... 10 5. Infeksi pada mukosa usus oleh bakteri Salmonella .............................. 13 6. pH organ dan saluran pencernaan broiler ............................................. 16 7. Gambaran mikroskopis usus halus normal broiler ............................... 17 8. Proses pembuatan ransum silase komplit ............................................. 22 9. Proses pembuatan sediaan preparat histopatologi usus halus ............... 24 10. Pertambahan bobot badan broiler selama 6 minggu pemeliharaan ...... 31 11. Konversi pakan broiler yang dipelihara selama 6 minggu ................... 33 12. Persentase hati broiler yang dipelihara selama 6 minggu ..................... 36 13. Persentase empedu broiler yang dipelihara selama 6 minggu .............. 37 14. Persentase limpa broiler yang dipelihara selama 6 minggu .................. 38 4. + 15. Skema pelepasan proton H oleh asam organik .................................... 40 16. Gambaran mikroskopis usus halus normal broiler umur 9 hari; pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x) ..... 42 Gambaran mikroskopis usus halus broiler yang mengalami koyakan pada permukaan vili-vilinya pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x) ................................................................... 43 18. Ileum broiler yang diberi pakan silase .................................................. 44 19. Ileum broiler yang diberi pakan ransum kering ..................................... 45 20. Ileum broiler yang diberi pakan L. Plantarum melalui air minum ....... 45 21. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi pakan silase ........ 46 22. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi ransum basal ...... 47 23. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi L. Plantarum melalui air minum ................................................................................. 48 Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi Antibiotik ........... 49 17. 24. DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Cara Pewarnaan Haematoxyllin dan Eosin ........................................... 57 2. Analisis ragam (ANOVA) konsumsi broiler umur 6 minggu .............. 58 3. Analisis ragam (ANOVA) pertambahan bobot badan broiler umur 6 minggu ...................................................................................... 58 Analisis ragam (ANOVA) bobot badan akhir broiler umur 6 minggu ...................................................................................... 58 4. 5. 6. 7. 8. Analisis ragam (ANOVA) konversi pakan broiler umur 6 minggu ............................................................................................... Analisis ragam (ANOVA) konversi pakan broiler umur 0-3 minggu ............................................................................................. 59 Analisis ragam (ANOVA) konversi pakan broiler umur 4-6 minggu ............................................................................................ 59 Data histopatologi usus halus bagian ileum .......................................... 60 59 PENDAHULUAN Latar Belakang Kondisi pemeliharaan unggas khususnya broiler di Indonesia masih kurang baik. Hal ini telah menyebabkan penyakit sangat mudah menjangkiti ternak. Salah satu penyakit yang sulit dikendalikan adalah Salmonellosis (penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella). Permasalahan lain peternakan khususnya unggas adalah ketersediaan pakan dan daya tahan pakan dalam penyimpanannya, sehingga teknologi pengawetan dalam bentuk silase merupakan salah satu jalan tepat untuk diterapkan dalam rangka menanggulangi permasalahan tersebut di atas. Saat ini teknologi pengawetan berupa fermentasi anaerob lebih banyak digunakan pada ternak ruminansia khususnya sapi perah, dan masih sangat terbatas dilaporkan penggunaan silase pada unggas. Kajian awal mengenai penggunaan silase pada broiler menunjukkan bahwa broiler umur 1 minggu dapat menerima silase ransum komplit tanpa ada pengaruh negatif terhadap bobot badan yang dihasilkan maupun terhadap organ vital (Tonnedy 2006). Aplikasi teknologi silase pada unggas selain dapat menjamin ketersediaan pakan, juga dapat digunakan sebagai sumber bakteri asam laktat (BAL) dan asam organik. BAL dapat berperan sebagai feed additive alternatif antibiotik dan begitu juga halnya dengan asam organik. Asam organik di Eropa telah diklaim dapat digunakan sebagai growth promotor disamping sebagai bahan yang dapat memperpanjang umur simpan bahan pakan. Terkait dengan hal tersebut maka perlu untuk mengkaji pengaruh bakteri dalam silase dan asam organik terhadap performan dan histopatologi usus halus pada broiler umur 1 minggu samapi 6 minggu yang diberi pakan silase dan ditantang Salmonella typhimurium. Tujuan 1. Mempelajari pengaruh penggunaan silase ransum terhadap performan, organ dalam dan jumlah koloni Salmonella dalam sekum broiler yang diinfeksi bakteri Salmonella typhimurium. 2. Mempelajari histopatologi jaringan usus halus broiler yang diberi silase ransum setelah broiler tersebut diinfeksi dengan bakteri Salmonella typhimurium. Hipotesis 1. Pemberian silase ransum pada broiler dapat menekan jumlah Salmonella typhimurium di dalam usus halus, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan bobot badan. 2. Silase ransum mempengaruhi struktur vili usus halus, kecernaan dan metabolisme pakan sehingga dapat meningkatkan performa broiler jika dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. TINJAUAN PUSTAKA Silase Silase merupakan makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi bahan pakan dengan kandungan kadar air tinggi. Tujuan pembuatan silase ini adalah memaksimalkan nutrient yang dapat diawetkan (Sapienza dan Keith 1993) dan pakan dapat lebih tahan lama dalam penyimpanan. Untuk meningkatkan kualitas silase sering ditambahkan bahan aditif yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu : 1. sebagai stimulan fermentasi dan 2. sebagai inhibitor fermentasi. Zat aditif stimulan fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam dapat segera tercapai. Sedangkan inhibitor fermentasi digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti clostridia agar pakan dapat lebih awet. Keberhasilan pembuatan silase adalah memaksimalkan nutrien yang dapat diawetkan. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki, dan dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Keith 1993). Selain menghasilkan asam laktat, bakteri ini juga mampu menghasilkan berbagai substansi antimikroba yang potensial seperti asam organik, hidrogen peroksida, diasetil, dan bakteriosin (Cintas et al. 1995). Bakteriosin merupakan substansi protein yang memiliki berat molekul kecil dan memiliki efek antagonis sebagai bakterisidal atau bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri patogen (Suarsana et al. 2001). Bakteriosin akan terbentuk setelah 10 jam sampai 26 jam selama ensilase, bakteriosin ini memiliki aktivitas optimum pada pH 6, bersifat termostabil pada pH 3-5 dengan pemanasan 121oC selama 15 menit (Suarsana 2001). Namun mekanisme antimikroba dari bakteriosin secara detail masih belum diketahui. Karakteristik silase yang penting dalam hal ini adalah kandungan asam lemak terbangnya (asam asetat, asam propionat dan asam butirat) akan menekan tumbuhnya jamur. Dari ketiga asam lemak terbang tersebut yang paling toksik adalah asam butirat dan yang paling baik adalah asam asetat. Asam butirat dikatakan paling toksik karena memiliki antifungal yang sangat kuat sehingga menyebabkan bakteri clostridial menjadi stabil (McDonald et al. 1991). Asam laktat dapat menekan pertumbuhan jamur meskipun tidak seefektif asam asetat. Secara keseluruhan, semakin besar tingkat fermentasi asam laktat dan asam asetat maka silase tersebut akan semakin stabil dari kondisi aerob. Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri dari empat fase : (1). Fase aerob (2). Fase fermentasi (3). Fase stabil dan (4). Fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Untuk lebih detail mengenai fase, aktivitas dan produksi dalam fermentasi silase dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Enam fase dari fermentasi silase dan penyimpanannya Suhu (oC) pH Respirasi sel; produksi CO2, panas dan air 15.5 - 32.2 6.5 - 6.0 2-3 Produksi asam asetat dan etanol asam laktat 32.2 - 27.7 6.0 - 5.0 Asam asetat dan bakteri asam laktat III 3-4 Pembentukan asam laktat 32.2 - 27.7 5.0 - 4.0 Bakteri asam laktat IV 4-21 Pembentukan asam laktat 27.7 4.0 Bakteri asam laktat V 21 Penyimpanan materi 27.7 4.0 27.7 4.0-7.0 Fase Umur Silase (hari) I 0-2 II VI Aktivitas Dekomposisi aerobik terhadap produksi oksigen Sumber : Schroeder (2004) Produksi Pembentukan dan aktivitas jamur Selama ini silase pakan hanya digunakan pada ternak ruminansia yaitu sapi perah, karena telah diketahui silase ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain : (1) Ransum lebih awet, (2) Memiliki kandungan bakteri asam laktat (BAL) yang berperan sebagai probiotik, (3) Memiliki kandungan asam organik yang cukup baik, yang berperan sebagai growth promotor dan penghambat penyakit, (4) Kandungan air yang terdapat dalam silase cukup tinggi, kondisi ini sangat bermanfaat bagi ternak. Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat yang umum digunakan dalam proses fermentasi adalah kelompok Lactobacillus, Pediococcus, Leuconostoc, Enterococcus, Lactococcus and Streptococcus (Stefanie et al. 2000). Bakteri penghasil asam laktat akan memfermentasi gula menjadi asam laktat yang disertai dengan produksi asam asetat, etanol, karbondioksida dan lain-lain. Bakteri ini terbagi kedalam dua ketegori, yaitu yang homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri penghasil asam laktat yang homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat dari fermentasi gula, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Sumber : http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook (1999) Gambar 1. Pembentukan laktat oleh bakteri homofermentatif Fermentasi heterofermentatif, selain menghasilkan asam laktat juga menghasilkan etanol, asam asetat dan karbondioksida, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Sumber : http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook (1999) Gambar 2. Pembentukan laktat oleh bakteri heterofermentatif Oleh karena asam laktat lebih kuat daripada asam asetat maka bakteri penghasil asam laktat homofermentatif lebih diinginkan daripada heterofermentatif di dalam proses fermentasi karena bakteri homofermentatif akan merombak gula dengan tingkat kehilangan bahan kering sangat kecil serta tingkat kehilangan energinya sangat sedikit. Bakteri asam laktat merupakan golongan mikroorganisme yang bermanfaat karena sifatnya tidak toksik bagi inang dan mampu menghasilkan senyawa yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Sesuai dengan namanya bakteri asam laktat ini menghasilkan asam laktat sebagai hasil metabolismenya yang sangat bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang merugikan bagi tubuh. Bakteri asam laktat ini juga memproduksi metabolit sekunder seperti asam hidroksi peroksida, diasetil, amonia, asam lemak dan bakteriosin (Lopez 2000). Produksi bakteriosin ini dapat menghambat perkembangan bakteri patogen (Wiryawan dan Anita 2001). Mekanisme kerja bakteri asam laktat yang dikemukakan oleh Lopez (2000), yaitu menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu memproduksi komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida dan asam-asam organik seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan tersebut berguna untuk menurunkan pH. Ada beberapa mekanisme kerja yang dilakukan oleh asam laktat sebagai probiotik, yaitu : (1) Berkompetisi dengan mikroorganisme patogen untuk mendapat nutrisi dan tempat tinggal (2) Menjaga keseimbangan ekosistem melalui penjagaan pH lingkungan agar tetap berada dalam kondisi asam, sehingga perkembangan bakteri patogen dapat terhambat (3) Menyediakan kebutuhan enzim-enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak dan karbohidrat (4) Mendetoksifikasi zat beracun dalam tubuh (5) Mampu menstimulasi kekebalan tubuh dengan cara meningkatkan konsentrasi dari antibodi imunoglobulin (Lopez 2000). Bakteri asam laktat dalam pengawetan bahan pakan digunakan dalam proses ensilase yang akan menghasilkan suatu produk yaitu silase. Silase ini dapat dikategorikan sebagai probiotik yang bermanfaat sebagai feed additive dengan beberapa kelebihan sebagai berikut : dapat meningkatkan ketersediaan lemak dan protein bagi ternak, mempertahankan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat badan, mampu memperbaiki resistensi penyakit akibat stimulasi dan peningkatan natural immunity, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan vitamin B komplek melalui proses fermentasi (McDonald et al. 1991). Genus bakteri asam laktat yang banyak digunakan dalam fermentasi makanan biakan starter adalah genus Lactococcus, Pediococcus, Leuconostoc, Lactobacillus dan Carnobacterium (Nettles dan Barefoot 1993). Berdasarkan proses metabolisme gula, BAL dibagai dalam 3 kelompok, yaitu : 1. obligat homofermentatif (Pediococcus damnosus dan Lactobacillus ruminis), 2. fakultatif heterofermentatif (Lactobacillus plantarum, L. pentosus, Pediococcus acidilactici, P. pentosaceus dan Enterococcus faecium), 3. obligat heterofermentatif (Leuconostoc, dan beberapa Lactobacillus spp., seperti Lactobacillus brevis dan Lactobacillus buchneri). Obligat homofermentatif menghasilkan lebih dari 85% asam laktat dari heksosa (C6) seperti glukosa, tapi tidak dapat memecah pentosa (C5) seperti xylosa. Fakultatif heterofermentatif menghasilkan produk utama asam laktat dari heksosa dan dalam jumlah kecil dapat memecah pentosa menjadi asam laktat dan asam asetat atau etanol. Obligat heterofermentatif dapat memecah heksosa dan pentosa, namun berbeda dengan homofermentatif mereka memecah heksosa menjadi sejumlah equimolar dari asam laktat, CO2 dan asam asetat atau etanol (McDonald et al. 1991). Habitat dari bakteri asam laktat (BAL) sangat beragam dan bertoleran baik terhadap pH, suhu dan udara. BAL bisa bertahan hidup pada kondisi pH yang beragam mulai dari pH 4.0 - 6.8. BAL dari spesies Streptococcus umumnya bertahan pada pH sekitar 4.5 – 5.0. sedangkan untuk spesies Lactobacillus akan tumbuh subur pada media asam mulai dari pH 4.5 – 6.4. Kisaran suhu hidup BAL sangat luas dan beragam mulai dari 5oC – 50oC. Suhu optimal bakteri asam laktat adalah 30oC (untuk strain L. plantarum) dan 37oC (untuk strain L. paracasei) (Koenen et al. 2004). Asam Organik Beberapa asam organik memiliki sifat anti-bakteri. Prinsip dasar kerja asam organik sebagai antibakteri adalah asam organik dapat menembus dinding sel bakteri dan mengganggu fisiologi normal beberapa tipe bakteri. Asam organik dapat berfungsi sebagai growth promotor yang dapat digunakan untuk menstabilkan mikroflora pada saluran pencernaan dan meningkatkan performan secara umum pada unggas (Gauthier 2002). Asam organik meliputi seluruh senyawa asam yang terdiri atas rantai karbon sebagai rantai cabang utama (R-COH) atau yang dikenal sebagai golongan asam karboksilat. Asam-asam karboksilat tersebut umumnya dapat diproduksi oleh mahluk hidup melalui proses metabolisme tubuh. Asam organik dalam saluran pencernaan dapat melakukan proses ionisasi dengan mudah yaitu dengan cara melepaskan ion hidrogen. Peningkatan jumlah ion hidrogen tersebut akan menurunkan pH saluran pencernaan sehingga mikroorganisme yang tidak tahan terhadap kondisi asam akan terhambat pertumbuhannya (Hardy 2003). Pada bakteri yang sensitif terhadap perubahan pH, asam organik menembus dinding sel bakteri sehingga asam organik akan terurai (H+ dan RCOO-), mengakibatkan pH dalam sel akan turun. Pada kondisi tersebut bakteri berusaha melepaskan H+ dari dalam sel agar pH dalam sel menjadi normal, namun proses ini membutuhkan energi yang besar sehingga mengakibatkan bakteri akan berhenti tumbuh dan mati. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Kerja asam organik pada bakteri yang sensitif (Coliform, Clostridis, Salmonella, Listeria spp) terhadap perubahan pH (Gauthier 2002). Beberapa bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda, dinding sel bakteri yang tidak sensitif terhadap perubahan pH memungkinkan jumlah asam organik yang masuk ke dalam sel bakteri berkurang, sehingga bakteri tersebut lebih tahan terhadap lingkungan asam (Gauthier 2002). organik dapat dilihat pada Gambar 4. Proses pelepasan proton asam Gambar 4. Kerja asam organik pada bakteri yang tidak sensitif (bakteri asam laktat, bifidobakteria) terhadap perubahan pH (Gauthier 2002). Pemanfaatan Bakteri Asam Laktat pada Unggas Bakteri asam laktat (BAL) mampu menghasilkan asam laktat, hidrogen peroksida, antimikroba dan hasil metabolisme lain yang memberikan pengaruh positif bagi produktivitas ternak. BAL yang selama ini digunakan terbukti dapat meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian BAL sebagai supplemen diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan bakteri (rasio antara bakteri patogen dan nonpatogen) dalam saluran pencernaan ternak terutama dalam usus. BAL adalah pakan imbuhan dalam bentuk mikroorganisme hidup yang berpengaruh positif pada hewan inang dan dapat meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan unggas. Pemberian BAL pada ayam memiliki dua sasaran, yaitu di saluran pencernaan dan di sekum yang diharapkan dapat menghasilkan senyawa antimikroba sehingga dapat berpengaruh terhadap ternak (Fuller 1992). Watkins dan Miller (1983) menunjukkan adanya penurunan mortalitas pada ayam gnotobiotik yang diberi kultur Lactobacillus acidophilus dua hari sebelum diberi kultur bakteri patogen yaitu Salmonella typhimurium. Suplementasi pakan dengan probiotik ataupun prebiotik nyata meningkatkan bobot badan dan efisiensi serta konversi pakan broiler diusia muda namun tidak berlaku pada broiler berumur lebih dari 2 minggu (Palliyaguru et al. 2004). Penggunaan Antibiotika pada Unggas Broiler mampu mengolah makanannya dengan cepat begitu makanan dikonsumsi. Tingkah laku makan yang seperti ini menyebabkan broiler memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat, selain dipengaruhi oleh genetik, cepatnya laju pertumbuhan juga dipicu oleh adanya growth promotor yang umunya menggunakan senyawa antibiotika. Selain sabagai growth promotor, senyawa antibiotika ini juga dapat meningkatkan efisiensi pakan, alternatif pengobatan dan juga dapat meningkatkan reproduksi ternak. Namun akhir-akhir ini penggunaan antibiotika mulai mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan di beberapa negara telah dilarang penggunaannya sebagai aditif, yaitu : Virginamycin, Tylosin, Spiramycin dan Zinc bacitracyn (Bouliane 2003). Penurunan penggunaan antibiotika ini disebabkan oleh 2 hal utama, yaitu : (1). Antibiotik dapat meninggalkan residu dalam jangka panjang, sehingga dapat membahayakan kesehatan konsumen, (2). Antibiotik menyebabkan mikroorganisme yang berada dalam tubuh manusia ataupun hewan menjadi resisten, terutama bakteri patogen seperti Salmonellae sp, Escherichia coli, dan Clostridium sp. Sehingga penggunaan probiotik sebagai bahan aditif menggantikan antibiotik dalam pakan sebagai growth promotor menjadi suatu pilihan yang tepat. Salmonellosis pada Unggas Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, dapat terjadi pada ternak maupun manusia. Serotipe bakteri ini potensial bersifat patogen, juga merupakan kontaminan bagi produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Salmonellosis merupakan penyakit zoonose ini juga disebut “Food Borne Disease” karena penularannya terjadi melalui makanan dan minuman. Salmonella sp. banyak ditemukan pada saluran pencernaan vertebrata maupun invertebrata, dan juga terdapat pada feses ternak. Bakteri ini juga terdapat pada tembolok broiler sehingga dapat mengkontaminasi karkas (Lee 2000). Salmonella adalah bakteri berbentuk batang langsing. Ukuran lebar Salmonella antara 0.3 – 0.5 µm dan panjang 0.7 – 2.5 µm. Pertumbuhan optimal pada temperatur 37.0 – 37.5oC (Shivaprasad 1997). Di alam bakteri Salmonella tidak tahan hidup lama, terutama bila keadaan sekitarnya kering. Sumber infeksi Salmonella yang paling sering terjadi pada flock unggas diduga berasal dari pakan. Cox et al. (1996) melaporkan bahwa tempat penetasan merupakan sumber penularan Salmonella yang dominan pada peternakan ayam broiler. Infeksi Salmonella terjadi melalui 3 cara yaitu kongenital, oral dan aerogen (Ressang 1984). Secara kongenital yaitu penularan melalui telur, sehingga anak ayam yang menetas melalui telur tersebut akan terinfeksi Salmonella. Infeksi secara oral terjadi melalui pakan dan air minum yang tercemari Salmonella. Sedang aerogen adalah infeksi yang terjadi di dalam mesin penetas telur dimana masa tunas penyakit berkisar antara 1 minggu. Penularan melalui vektor juga lazim terjadi, penyebaran ini terjadi melalui hewan-hewan kecil seperti tikus, lalat, burung liar dan peralatan yang mengandung bakteri Salmonella yang digunakan di dalam kandang (Cox et al. 1996). Daging dan telur unggas merupakan sumber utama tertularnya Salmonella pada manusia. Banyak cara organisme tersebut dapat masuk, menyebar, dan bertahan di dalam tubuh unggas yang pada akhirnya produk yang dihasilkan oleh unggas juga akan terinfeksi oleh Salmonella. Baik perusahaan kecil maupun besar telah menggalakkan kebijakan kontrol dalam mengurangi berkembangnya bakteri Salmonella, jika gagal kemungkinan terinfeksi bakteri Salmonella akan lebih besar. Peningkatan monitoring dan kontrol di dalam kawasan peternakan lebih di fokuskan pada bagian breeding, umumnya lebih menekan berkembangnya S. Enteritidis dan S. Typhimurium. Kawasan breeding, pabrik pakan dan kawasan hatcheries merupakan kawasan utama terjadinya kontaminasi Salmonella. Kontaminasi pada kawasan tersebut umumnya melalui sistem ventilasi (Davis dan Breslin 2004). Bentuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella antara lain : fowl typoid, pullorum dan fowl paratyphoid. Pada kasus fowl typoid, akan terjadi hepatitis parenkimatosa yang menyebar dan pada kasus akut akan terjadi distrofi lemak, sedang pada usus dan ginjal akan ditemukan adanya infiltrasi limfosit dan heterofil, sehingga jumlah eritrosit dapat menurun dari 3.5 juta menjadi 1.5 juta per ml dan leukosit akan meningkat dari 18 000 menjadi 240 000 per ml (Tabbu 2000). Pada ayam muda yang mengalami pullorum akan menunjukkan peradangan dan pendarahan pada hati, paru-paru dan ginjal. Demikian pula dengan sekum pada ayam muda ini akan mengalami nekrosis pada mukosa dan submukosa dengan akumulasi nekrosis debris dengan campuran fibrin dan heterofil dalam lumen (Shivaprasad 1997). Perubahan yang terjadi pada kasus fowl paratyphoid adalah adanya pendarahan dan infiltrasi heterofil pada berbagai jaringan seperti hati, limpa, ginjal, usus dan paru-paru (Tabbu 2000). Mekanisme infeksi Salmonella di dalam usus dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Infeksi pada mukosa usus oleh bakteri Salmonella (Giannella 1996) Pada saat Salmonella masuk ke dalam usus halus, maka sel goblet akan menghasilkan mukus yaitu cairan yang berfungsi untuk mengusir benda asing seperti bakteri patogen, jika ternyata mukus ini tidak dapat mengusir bakteri patogen (Salmonella) maka Salmonella ini akan tetap bertahan dan masuk ke dalam sel epitel usus menembus lapisan atas vili. Selanjutnya, Salmonella ini akan dihambat pertumbuhannya oleh sel-sel limfosit, namun jika sel-sel limfosit tidak dapat menghambat pertumbuhan Salmonella maka Salmonella ini akan masuk ke dalam pembuluh darah. Organ Vital dan Usus Halus Organ Vital Organ vital ayam terdiri dari hati, empedu, limpa, jantung, dan bursa fabrisius (North dan Bell 1990). Hati merupakan organ yang berperan dalam sekresi empedu, metabolisme lemak, karbohidrat, zat besi, fungsi detoksifikasi serta berperan dalam metabolisme dan penyerapan vitamin (Ressang 1984). Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak selalu dapat ditemui, karena hati memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam regenerasi jaringan hati. Persentase hati ayam berkisar antara 1.7–2.8 % dari berat hidup (Putnam 1991). Limpa merupakan organ tubuh komplek dengan banyak fungsi. Fungsi limpa yang utama adalah sebagai penyaring darah dan penyimpanan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin (Dellman dan Brown 1989). Selain menyimpan darah, limpa bersama hati dan sumsum tulang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua dan ikut serta dalam metabolisme sel limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi (Ressang 1984). Ukuran limpa bervariasi dari waktu ke waktu tergantung banyaknya darah di dalam tubuh. Persentase berat limpa ayam normal berkisar antara 0.18–0.23 % dari bobot hidup (Putnam 1991). Pada unggas terdapat dua saluran empedu yang berfungsi untuk menyalurkan isi empedu dari hati ke usus. Fungsi utama empedu adalah mensekresikan kolesterol dan emulsi lemak dengan bantuan asam-asam empedu yang disekresikan oleh hati (Ressang 1984). Usus Halus Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum (Sturkie 1976). Usus halus pada bagian jejenum merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari. Fungsi usus halus selain sebagai penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993). Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus bagian kripta lieberkuhn menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh (Moran 1985), selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus: (1) dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur kearah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia, lipatan ini bersifat permanen, tetapi pada hampir semua hewan piaraan lain tampak pada usus yang sedang istirahat (kosong) dan hilang bila usus mengembang. (2) permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut vili. Tinggi vili ini bervariasi (1.5–1.0 µm), tergantung pada daerah serta jenis hewannya. Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedang pada sapi vili pendek dan lebar. (3) permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellmann dan Brown 1992). Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sel goblet guna produksi mukosa. Luar permukaan membran mukosa yang menyelimuti usus halus meningkat oleh adanya vili yang berguna untuk absorpsi zat makanan (Frandson 1996). Dalam keadaan normal selaput lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan flora kuman-kuman. Pada usus halus ayam juga ditemukan mikroflora yang merupakan komponen normal dalam saluran pencernaan ayam. Spesies bakteri utama yang ada pada usus halus ayam adalah Lactobacillus sp, Streptococcus sp, dan koliform dengan konsentrasi normal 1014 cfu/ml (Rahardjo 2003). Adanya mikroorganisme dalam usus menyebabkan banyak perubahan anatomis. Umumnya usus halus ayam yang mengandung flora bakteria yang normal lebih panjang dan lebih berat dari pada usus halus ayam yang bebas dari flora bakteri (Wahju 1997). Keberadaan mikroflora dalam usus ini juga didukung dengan kondisi pH usus broiler yang memang cenderung netral, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Sehingga sangat mendukung perkembangan berbagai jenis mikroba di dalam usus halus. Gambar 6. pH organ dan saluran pencernaan broiler (Gauthier 2002). Usus halus bagian bawah, terutama sekum ayam mengandung asam lemak terbang dan senyawa lain seperti amonia. Sekum mengandung banyak sekali vitamin B. Akan tetapi vitamin tersebut tidak banyak membantu kebutuhan induk semang karena digunakan untuk biosintesis mikroba (Wahju 1997). Gambaran usus halus normal dapat dilihat pada Gambar 7. Vili hanya terdapat pada usus halus yang berfungsi untuk memperluas permukaan penyerapan, sedang mekanisme penyerapan dilakukan oleh sel-sel penyerap. Resorpsi lemak ditampung dalam pembuluh limfa dan sisanya dalam pembuluh darah.Vili merupakan penjuluran selaput lendir yang menjorok ke dalam lumen usus halus. Pada tiap vili terdapat 3 unsur, yaitu pembuluh limfa, pembuluh darah dan syaraf (Hartono 1982). Serosa Mukosa Sub Mukosa Muskularis Mukosa Kripta Lieberkuhn Sel Goblet Gambar 7. Gambaran mikroskopis usus halus normal broiler Sel goblet melekat dan tersebar secara tidak teratur diantara sel penyerap. Sel goblet akan mengeluarkan mukus yang berfungsi untuk mengusir bakteri patogen yang masuk ke dalam usus. Sel goblet akan semakin banyak jumlahnya di dalam usus halus bagian belakang (Hartono 1982). Kripta lieberkuhn terdapat di dalam tunika propia mulai dari duodenum sampai anus. Kripta lieberkuhn menghasilkan lendir (mukus) dan beberapa enzim yang memecah peptida, lemak dan hidrat arang (Hartono 1982). Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi usus halus broiler adalah pakan, jika pakan yang dikonsumsikan memiliki kualitas yang baik dan tidak mengandung racun maka usus broiler akan berada dalam kondisi yang cukup baik dan dapat melakukan tugasnya dalam mencerna dan menyerap makanan dengan baik. Namun jika pakan yang diberikan mengandung racun, maka kerusakan pada vili-vili usus akan terjadi. Secara keseluruhan, usus akan selalu merespon setiap pakan yang diberikan. MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Histopatologi FKH IPB, Kandang Fakultas Peternakan IPB. Pemeliharaan ayam dilakukan selama 6 minggu yaitu pada tanggal 11 Oktober – 15 November 2006. Materi Ternak Pada penelitian ini digunakan 168 ekor broiler strain Lohman yang dipelihara sejak umur sehari (Day Old Chick) sampai umur 6 minggu dengan ratarata bobot DOC adalah 41.76 gram. DOC diperoleh dari poultry shop Bogor. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan adalah kandang litter sebanyak 21 petak berukuran 1 m x 1 m untuk diisi 10 ekor ayam. Setiap petak dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, plastik ransum, tong, karet, nomor sayap dan ember. Ransum Ransum yang digunakan adalah ransum kering komplit dan ransum silase baik yang diberi perlakuan uji tantang Salmonella ataupun tanpa uji tantang. Ransum yang digunakan tersusun atas : jagung, dedak padi, bungkil kedelai, CGM, tepung ikan, minyak kelapa, CaCO3, DCP, L-Lysin, DL-Methionine dan premix. Ransum disusun atas rekomendasi Scott et al. (1982). Adapun susunan dan kandungan nutrisi ransum basal yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Bakteri dan Additive Dua macam bakteri digunakan dalam penelitian ini, yaitu Lactobacillus plantarum yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor dan Salmonella typhimurium tipe ganas diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Additive yang digunakan adalah antibiotika jenis Bambermicin sebesar 0.02 ppm. Tabel 2. Susunan dan kandungan zat makanan dalam ransum penelitian Bahan Makanan Persentase (%) Jagung 50.0 Dedak padi 12.0 Bungkil kedelai 16.7 CGM 11.0 Tepung ikan 5.5 Minyak kelapa 2.0 DCP 1.0 CaCO3 1.0 L-Lysin 0.3 DL-Methionine 0.2 Premix* 0.3 Total ( % ) 100 Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian :** Protein kasar ( % ) Energi metabolis (kkal/kg) 24.03 *** 3020.00 Bahan kering (%) 86.53 Serat kasar ( % ) 4.09 Lemak kasar (%) 5.80 Ca ( % ) *** 0.96 P tersedia ( % ) *** 0.63 Lysin(% ) *** 1.20 Methionine ( % ) * *** 0.67 Dalam 1 kg premix mengandung Vit A 4000.000 IU, Vit D3 800.000 IU, Vit E 4.500 mg, Vit K3 450 mg, Vit B1 450 mg, Vit B2 1.350 mg, Vit B6 480 mg, Vit B12 6 mg, Ca-d-P 2.400 mg, As folat 270 mg, As nikotinat 7.200 mg, kolin klorida 28.000 mg, DL-Met 28.000 mg, L-Lys 50.000mg, Fe 8.500 mg, Cu 700 mg, Mg 18.500 mg, Zn 14.000 mg, Co 50 mg, I 70 mg, Se 35 mg, dan antioksidan. ** Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2006) *** Hasil perhitungan Vitamin dan Vaksin Vitamin yang digunakan adalah Vita Stress, sedangkan vaksin yang digunakan adalah vaksin ND l (Newcastle Disease) diberikan pada ayam umur 3 hari yaitu melalui tetes mata, ND ll (Newcastle Disease) diberikan pada ayam umur 21 hari dengan cara suntik, dan vaksin Gumboro digunakan pada saat ayam berumur 10 hari secara oral. Metode Penelitian Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan menggunakan 168 ekor broiler yang dibagi dalam 21 petak kemudian diberi salah satu dari 7 macam perlakuan ransum. Perlakuan ransum tersebut yaitu: S1 = Ransum silase B1 = Ransum basal L1 = Ransum basal + L. plantarum S2 = S1 + infeksi Salmonella typhimurium B2 = B1 + infeksi Salmonella typhimurium L2 = L1 + infeksi Salmonella typhimurium A = B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhimurium Model matematik yang digunakan dari rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991) : Yij = µ + τi + εij Keterangan : Yij = pengaruh percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum τi = pengaruh perlakuan ke-i εij = galat percobaan pada pelakuan ke-i dan ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam (Analysis of Variance / ANOVA) dan jika berbeda nyata diuji dengan menggunakan uji Kontras Orthogonal. Data untuk tingkat kerusakan pada usus halus diolah dengan menggunakan Kruskal-Wallis. Pembuatan Ransum Silase Komplit Ransum silase berkadar air 40% dibuat dari ransum basal dengan menambahkan air dan bakteri Lactobacillus plantarum kemudian disimpan dalam kantong plastik kedap udara berukuran 5 kg, selanjutnya disimpan di dalam tong selama 6 minggu (Gambar 8). Untuk setiap pembuatan 100 kg ransum silase berkadar air 40% dibutuhkan starter bakteri Lactobacillus plantarum sebanyak 2 x 106 CFU/gram yang telah dilarutkan dalam air sebanyak 117.5 liter. Air + Lactobacillus plantarum Ransum Air : BK = 40 : 60 Ransum basal + LP Kemas di dalam kantong plastik dan tutup rapat Simpan dalam tong selama 6 minggu Silase Ransum Komplit Gambar 8. Proses pembuatan ransum silase komplit Pada penyimpanan minggu ke-3 dan minggu ke-6, dilakukan pengamatan terhadap kandungan nutrient, energi, pH dan bahan kering ransum yang bertujuan untuk melihat kualitas silase ransum. Uji Tantang Infeksi Salmonella dilakukan pada broiler umur 7 hari secara oral. Jenis Salmonella yang digunakan adalah Salmonella typhimurium ganas dari biakan cair ≈ 1 x 107 CFU untuk tiap ekor ayam. Analisis Kimia dan Histopatologi Kualitas Silase pH silase diukur dengan menggunakan pH meter (Oakton). Kadar air dan abu masing-masing diukur dengan menggunakan oven dan tanur (AOAC 1984). Penghitungan koloni BAL dilakukan dengan metode Total Plate Count (Capucino 2000). Jumlah Koloni Salmonella Uji tantang terhadap Salmonella typhimurium pada ayam dilakukan secara oral pada saat ayam berumur 7 hari. Jumlah koloni Salmonella typhimurium yang diberikan ini sebanyak 108 CFU (Leeuwen et al. 2004). Pengamatan terhadap jumlah koloni Salmonella typhimurium dilakukan pada hari ke 9, 18, dan 35 setelah dilakukan uji tantang, yaitu pada saat broiler berumur 16, 25 dan 31 hari. Setiap pengamatan menggunakan 1 ekor ayam yang diambil secara acak. Sampel yang diperoleh dilakukan prekultur terlebih dahulu dengan menginkubasi sampel (isi usus halus) pada 10 ml Triypticase Soy Broth pada suhu 37oC selama 24 jam. Selanjutnya diambil sampel sebanyak 0.1 ml dan dilakukan kultur pada cawan dengan menggunakan media agar deoxycholate hydrogensulfida lactose (DHL) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Identifikasi terhadap Salmonella pada media agar DHL dilakukan dengan uji aglutinasi dengan antiserum terhadap Salmonella typhimurium. Pengamatan Histopatologi Usus Halus Pemeriksaan histologi (HP) saluran pencernaan dilakukan pada saat broiler berumur 9, 27, 36 dan 42 hari (Tabel 8). Setiap pengamatan menggunakan 1 ekor ayam yang diambil secara acak. Protokol pembuatan sediaan HP saluran pencernaan ini mengikuti prosedur Chiou et al. (1999), yaitu memotong setiap bagian usus secara membujur dan dibilas dengan larutan garam untuk membersihkan isinya, kelebihan lemak yang terdapat di usus diambil dan kelebihan air pada sampel akan dikeringkan dengan tissue. Sampel usus dengan panjang 5 cm diambil dari bagian usus (illeum). Semua sampel tersebut pertama dibilas dengan larutan 0.4 M KCl dan kemudian disimpan dalan larutan buffer neutral formaline (BNF) 10% (pada pH 7.2 – 7.4). Semua sampel secara bertahap didehidrasi dengan peningkatan konsentrasi ethyl alcohol (50% - 100%). Sampel pertama ini disimpan dalam parafin dan dipotong sepanjang 6 μm dengan menggunakan mikrotom, kemudian dilakukan pewarnaan dengan hematoxylin dan eosin (prosedur teknis proses pewarnaan tercantum pada Lampiran 1). Sampel usus 5 cm Bilas 0.4 M KCl Simpan BNF 10% Dehidrasi bertahap dengan peningkatan konsentrasi ethyl alcohol (50% - 100%) Simpan dalam parafin Potong sepanjang 6 μm Letakkan dalam kaca preparat Pewarnaan HE Gambar 9. Proses pembuatan sediaan preparat histopatologi usus halus Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi : 1. Koloni bakteri asam laktat (BAL) dan pH silase pada minggu ke 0, 3 dan 6. 2. Kualitas silase ransum dan ransum kering yang disimpan pada minggu ke 0 dan 6. 3. Penampilan umum ternak (konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir dan konversi ransum). 4. Persentase bobot hati, empedu dan limpa terhadap bobot tubuh. 5. Jumlah koloni Salmonella thypimurium di dalam sekum. 6. Histopatologi usus halus bagian ileum. Prosedur Pelaksanaan Persiapan kandang dan ayam dilakukan dua minggu sebelum penelitian dilaksanakan. Jumlah ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah sejumlah seratus enam puluh delapan ekor DOC yang dipelihara sejak hari pertama. Ransum penelitian dan air minum diberikan ad libitum. Ransum perlakuan yang terdiri atas S1, B1, L1, S2, B2, L2 dan A diberikan pada broiler umur 7 hari. Tempat pakan dan tempat air minum diletakkan di atas sekam di dalam kandang sekat. Tiap unit kandang dilengkapi dengan lampu sebesar 100 watt yang berfungsi sebagai penghangat tubuh DOC. Tempat pakan dan tempat air minum digantung sejajar dengan punggung ayam agar pakan dan air minum tidak mudah kotor oleh ekskreta ataupun sekam. Kontrol kebersihan kandang, tempat minum dan pakan dilakukan setiap hari. Selama penelitian dilakukan, suhu dan kelembaban udara pada ruang kandang akan tetap diperhatikan. Selama periode pemeliharaan broiler dilakukan pengamatan terhadap konsumsi ransum dan bobot badan broiler untuk memperoleh pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Setelah broiler dipelihara selama 4 minggu, dari setiap ulangan diambil dua ekor untuk dipotong dan kemudian dilakukan pengukuran terhadap bobot organ dalam, saluran pencernaan, dan histopatologi saluran pencernaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Silase Ransum Jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) dan pH silase pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Kualitas silase dicapai ketika asam laktat dominan diproduksi dan menunjukkan terjadinya penurunan pH yang cepat, karena semakin cepat pH turun maka akan semakin banyak nutrisi yang dapat dipertahankan (Schroeder 2004). Tabel 3. Koloni bakteri asam laktat (BAL) dan pH silase pada minggu ke 0, 3 dan 6. Peubah Koloni BAL (CFU/g)1 pH Minggu ke-0 Minggu ke-3 Minggu ke-6 2 x 106 6.55 x 108 9.16 x 108 6.75 4.88 4.28 1. Hasil analisa Laboratorium Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor (2006). Jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) dan pH silase pada minggu ke-3 dan ke-6 tidak banyak terjadi perubahan. Namun jika dibandingkan dengan kontrol (minggu ke-0), jumlah koloni BAL silase menjadi meningkat pada minggu ke-3 dan minggu ke-6 masing-masing dari 2 x 106 CFU/g menjadi 6.55 x 108 CFU/g dan 9.16 x 108 CFU/g. Kualitas silase yang dihasilkan pada penelitian ini sangat baik yang ditandai dengan adanya jumlah koloni BAL sebesar 9.16 x 108 CFU/g dengan pH 4.28. Jumlah ini sesuai dengan yang dikatakan Lien et al. (2005) bahwa kandungan Lactobacillus plantarum sebesar 1.05 x 108 CFU/g silase dapat menghasilkan kualitas silase yang sangat baik karena dapat menurunkan pH dari 7 menjadi 4.05 pada saat ensilase umur 3 hari. Semakin banyak jumlah koloni BAL yang dihasilkan maka silase tersebut akan semakin stabil yang ditandai dengan penurunan pH menjadi asam. Mekanisme kerja BAL adalah sebagai berikut : menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu memproduksi komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida dan asam-asam organik seperti asam laktat (Lopez 2000). Asam laktat yang dihasilkan tersebut berperan dalam penurunan pH. Dalam pembuatan silase, peningkatan jumlah koloni BAL akan diikuti dengan penurunan pH seiring dengan fase-fase yang terjadi selama ensilase. Penurunan pH silase di minggu ke-3 (dari 6.75 menjadi 4.88) pada penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-3 berada dalam fase ke-2 fermentasi. Di dalam fase ini akan terbentuk produksi asam asetat, asam laktat dan etanol oleh bakteri asam asetat dan asam laktat dengan pH yang dicapai adalah 5 (Schroeder 2004). Kondisi stabil pembuatan silase pada penelitian ini dicapai setelah penyimpanan 6 minggu dengan pH sebesar 4.28. Minggu ke-6 ini berada pada fase 4 yaitu merupakan fase stabil penyimpanan yang didominasi oleh BAL dengan pH 3.5-4.5 dan dapat disimpan dalam waktu lama jika disimpan dalam silo kedap udara. Namun jika terdapat udara yang masuk ke dalam silo maka jamur dapat tumbuh dengan baik dan hal tersebut dapat merusak kualitas silase (Kunkle et al. 2000). Kualitas Silase Ransum dan Ransum Kering selama Penyimpanan Kualitas silase ransum dan ransum kering setelah disimpan selama 6 minggu disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Kualitas silase ransum dan ransum kering yang disimpan pada minggu ke 0 dan 6 Minggu ke-0 Kandungan zat makanan* Silase Bahan kering (%) Bahan organik (%BK) Protein kasar (%BK) 60.00 86.85 24.12 Ransum kering 86.53 80.52 24.03 Minggu ke-6 Silase 59.38 86.89 24.08 Ransum kering 83.62 75.73 22.19 * Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2006). Penurunan bahan kering selama penyimpanan telah terjadi pada kedua jenis ransum yang digunakan. Bahan kering silase ransum telah mengalami penurunan sebesar 1.03% selama proses penyimpanan. Penurunan bahan kering pada silase ransum menyebabkan adanya peningkatan kadar air. Peningkatan kadar air disebabkan oleh adanya kegiatan respirasi pada fase aerob yang berlangsung selama proses awal ensilase. Sapienza (1993) melaporkan bahwa secara garis besar pembuatan silase terdiri dari 4 fase, yaitu : 1. fase aerob, 2. fase fermentasi, 3. fase stabil dan 4. fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Terjadinya peningkatan bahan organik silase pada minggu ke-6 sampai 0.04% diduga karena terbentuknya asam laktat dan asam organik serta produk sekunder lainnya selama ensilase berlangsung. Penurunan protein silase ransum sebesar 0.16% masih dapat ditolerir. Bahan kering, bahan organik dan protein yang terkandung dalam ransum kering yang disimpan telah mengalami penurunan pada minggu ke-6 masing-masing sebesar 3.36%, 5.95% dan 7.65%. Penurunan ketiga kandungan zat makanan pada ransum kering tersebut memudahkan terjadinya penurunan kualitas pakan. Jika diamati secara keseluruhan, maka kualitas silase ransum lebih baik jika dibandingkan dengan ransum kering selama penyimpanan 6 minggu, karena penyusutan zat makanan pada silase ransum lebih kecil persentasenya jika dibandingkan dengan penyusutan zat makanan yang terjadi pada ransum kering. Performan Broiler yang Diberi Ransum Perlakuan dan Ditantang Salmonella typhimurium Performan broiler selama 6 minggu pemeliharaan yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Perlakuan tidak nyata mempengaruhi tingkat konsumsi, namun sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi pertambahan bobot badan (PBB), bobot badan akhir (BBA) dan konversi ransum broiler yang dipelihara selama 6 minggu. Tabel 5. Rata-rata konsumsi pakan, pertambahan bobot badan (PBB), bobot badan akhir (BBA) dan konversi ransum broiler 6 minggu Peubah Perlakuan S11) Konsumsi (g/ekor) 2090.74 ± 55.40 PBB (g/ekor) 1060.46 ± 3.52a 1356.3 ± 108.5a2) Konversi Ransum 1. 97 ± 0.08a3) B1 2165.60 ± 60.15 1114.26 ± 10.06a 1452.3 ± 99.3a 1.95 ± 0.08a L1 2041.70 ± 46.80 1001.01 ± 6.14b 1211.0 ± 97.2b 2.04 ± 0.12b S2 2119.11 ± 23.61 900.69 ± 23.00d 1109.5 ± 13.0b 2.35 ± 0.02c B2 2182.00 ± 116.96 1000.23 ± 10.67b 1444.7 ± 30.3a 2.18 ± 0.05b L2 2076.19 ± 175.50 972.24 ± 2.26c 1315.4 ±105.4a 2.14 ± 0.20b A 2166.46 ± 100.45 961.87 ± 11.09c 1279.6 ± 93.7a 2.25 ± 0.06b BBA (g/ekor) 1. Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) 2. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) 3. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.01) Konsumsi Perlakuan tidak nyata mempengaruhi konsumsi broiler yang dipelihara selama 6 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi Salmonella tidak mempengaruhi jumlah konsumsi, meskipun broiler telah terinfeksi Salmonella yang ditandai dengan adanya Pullorum (berak kapur) yaitu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shivaprasad (1997) bahwa broiler yang terserang bakteri Salmonella akan mengalami pullorum dan akan menunjukkan peradangan pada hati, paru-paru dan ginjal. Konsumsi broiler yang dipelihara dalam penelitian ini berkisar antara 2041.70–2182.00 gram/ekor. Tidak terdapat perbedaan konsumsi yang nyata antara broiler yang diinfeksi Salmonella ataupun yang tidak diinfeksi. Samanya tingkat konsumsi pada broiler yang diinfeksi Salmonella menyebabkan ketersediaan pakan broiler menjadi baik yang selanjutnya menyebabkan daya tahan tubuh broiler menjadi kuat, sehingga adanya infeksi bakteri patogen tidak berpengaruh pada kondisi ayam. Tingkat konsumsi yang baik diduga telah menyebabkan kondisi dimana laju kecepatan untuk memperbaiki sel-sel yang rusak menjadi lebih cepat dibandingkan dengan peluruhan sel-sel akibat Salmonella. Selain itu broiler diduga telah terinfeksi oleh bakteri Salmonella sejak broiler berada di kawasan penetasan, yang menyebabkan tingkat resistensi broiler terhadap bakteri patogen sangat besar. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Pertambahan bobot badan (PBB) pada perlakuan S2 nyata (P<0.01) lebih rendah dibanding dengan perlakuan S1, B1, L1, B2, L2 dan A. Grafik pergerakan PBB dari minggu pertama sampai minggu ke enam disajikan pada Gambar 10. Perlakuan S1 dan B1 memiliki PBB yang sama, hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pemberian ransum dalam bentuk silase tidak memberikan pengaruh negatif terhadap performan broiler. Perlakuan S2 memiliki rata-rata PPB yang paling rendah yaitu 900.69 g/ekor, namun peningkatan PBB jelas terlihat pada perlakuan S2 (ayam diberi silase ransum dan diinfeksi Salmonella) sejak minggu ke-4. Bahan aktif yang dihasilkan dalam silase diduga mampu merespon kehadiran Salmonella, sehingga bahan aktif tersebut yang seharusnya dipakai untuk memacu pertumbuhan telah digunakan untuk menetralisir keberadaan racun (Salmonella) dalam tubuh, fenomena ini terjadi sejak awal pemeliharaan sampai minggu ke-4 dan pada saat memasuki minggu ke-5 pemeliharaan, bahan aktif tersebut mulai dapat digunakan sebagai pemicu pertumbuhan. Sebaliknya yang terjadi pada perlakuan L1, B2, L2 dan A, penurunan bobot badan mulai terlihat sejak minggu ke-5. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan L1, B2, L2 dan A tidak mampu menetralisir keberdaan Salmonella sehingga mengakibatkan penurunan bobot badan. Pertambahan bobot badan terlihat lebih rendah pada kelompok broiler yang diinfeksi Salmonella typhimurium (infeksi subklinis, dengan dosis sebesar 108 CFU/ml) mulai terjadi pada umur 4 minggu dan berlanjut sampai umur 5, 6 dan 7 minggu (Winarsih 2005). 450 S1 400 B1 PBB (g/ekor) 350 L1 300 S2 250 B2 200 L2 150 A 100 50 0 1 2 3 4 5 6 Minggu keKeterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik+infeksi Salmonella typhi.) Gambar 10. Rataan pertambahan bobot badan broiler selama 6 minggu pemeliharaan Bobot Badan Akhir (BBA) Bobot badan akhir yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 1109.50–1452.30 gram/ekor. Bobot badan akhir yang dihasilkan dalam setiap pemeliharaan broiler, selain dipengaruhi oleh konsumsi juga dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan suhu di sekitar kawasan pemeliharaan serta kepadatan kandang. Bobot badan akhir pada perlakuan S1, B1, B2, L2 dan A nyata (P<0.05) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan L1 dan S2. Bobot badan akhir yang sama pada perlakuan S1 dan B1 mengindikasikan bahwa ransum silase dapat diterima oleh ayam tanpa mempengaruhi bobot badan yang dihasilkan. Selain itu, ransum silase memiliki beberapa kelebihan yaitu : ransum dapat disimpan lebih lama, persiapan lebih mudah karena bahan baku yang akan dijadikan silase tidak harus melewati masa pengeringan sehingga biaya pembuatan ransum juga dapat ditekan. Bobot badan akhir perlakuan silase yang diinfeksi Salmonella (S2) nyata (P<0.05) lebih rendah dibanding perlakuan B2, L2 dan A. Salmonella diduga menjadi salah satu penyebab, nutrisi dalam pakan silase yang seharusnya digunakan untuk menghasilkan bobot badan terlebih dahulu digunakan untuk merespon kehadiran Salmonella dengan cara menetralisir keberadaan Salmonella dalam usus halus. Namun kondisi tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut, mengingat pada perlakuan S2 tidak ditemukan jumlah koloni Salmonella di dalam sekum ayam pada umur 31 hari (Tabel 7). Jumlah koloni Salmonella banyak ditemukan pada perlakuan L2, B2 dan A pada saat ayam berumur 31 hari. Konversi Ransum Perlakuan S1, B1, L1, B2, L2 dan A memiliki konversi ransum sangat nyata (P<0.01) lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan S2. Rata-rata konversi ransum tertinggi adalah perlakuan S2 yaitu sebesar 2.35. Salmonella diduga menjadi salah satu penyebab, keberadaan bakteri ini cukup mengganggu ekosistem saluran pencernaan broiler yang pada akhirnya dapat menghambat proses pecernaan dan penyerapan zat makanan oleh broiler. Tidak terjadi perbedaan konversi ransum antara perlakuan S1 (broiler yang diberi pakan ransum silase) dengan perlakuan B1 (broiler yang diberi pakan ransum basal). Hal ini menunjukkan bahwa ransum silase efisien digunakan sebagai pakan tanpa memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat konversi ransum broiler. 2,50 1.97 1.95 2.04 2.35 2.18 2.14 2.25 S1 K o n v e r si p a k a n 2,00 B1 1,50 L1 S2 1,00 B2 L2 0,50 A 0,00 S1 B1 L1 S2 B2 L2 A Perlakuan Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) Gambar 11. Konversi ransum broiler yang dipelihara selama 6 minggu Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa konversi ransum S2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut terjadi karena bahan aktif yang dihasilkan dalam silase diduga dipakai untuk merespon kehadiran Salmonella, sehingga bahan aktif yang seharusnya dipakai untuk memacu pertumbuhan telah digunakan untuk menetralisir keberadaan racun (Salmonella) dalam tubuh, broiler yang mendapat perlakuan silase dan diinfeksi Salmonella (S2) membutuhkan asupan pakan yang lebih besar tanpa memberikan peningkatan yang nyata terhadap pertambahan bobot badan, yang pada akhirnya menghasilkan konversi ransum lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun jika dikaji lebih lanjut mengenai konversi ransum broiler pada 3 minggu pertama pemeliharaan (Tabel 6), maka terlihat adanya perbedaan konversi ransum broiler pada minggu ke 0-3 dibandingkan dengan konversi ransum broiler pada minggu ke 4-6. Tabel 6. Rata-rata konversi ransum broiler umur 0-3 minggu dan 4 – 6 minggu Perlakuan S11) B1 L1 S2 B2 L2 A Konversi ransum 0-3 minggu 4-6 minggu 1.45 + 1.10 1.16 + 0.27 1.44 + 0.49 1.62 + 1.26 1.32 + 0.26 1.36 + 0.34 1.42 + 0.36 1.98 + 0.31a2) 1.99 + 0.35 a 2.11 + 0.09 b 2.04 + 0.38 a 2.33 + 0.11 b 2.28 + 0.42 b 2.52 + 0.21 b 1. Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) 2. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Pada Tabel 6 terlihat bahwa konversi ransum untuk perlakuan S2 pada minggu ke 4-6 tidak berbeda nyata dengan perlakuan S1 dan B1. Fenomena ini sesuai dengan yang terjadi pada Gambar 10 yang menggambarkan bahwa PBB pada minggu ke 4-6 untuk perlakuan S2 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan PBB pada minggu ke 0-3. Tabel 6 menunjukkan konversi ransum broiler tertinggi yang dipelihara selama 3 minggu adalah perlakuan S2 yaitu sebesar 1.62. Hal ini sesuai dengan fenomena yang terjadi pada Gambar 10 yang menunjukkan bahwa perlakuan S2 pada minggu ke 0-3 juga memiliki PBB yang sangat rendah. Fenomena tersebut tidak selamanya terjadi, karena pada saat memasuki pemeliharaan minggu ke 4-6, konversi ransum pada perlakuan S2 menjadi menurun dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan S1 dan B1. Hal ini menunjukkan bahwa silase lebih efisien penggunaannya pada saat memasuki pemeliharaan minggu ke 4, karena bahan aktif dalam silase pada perlakuan S2 telah dapat digunakan untuk memacu pertambahan bobot badan broiler, sehingga rata-rata konversi ransum yang diperoleh nyata (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan L1, B2, L2 dan A (Tabel6). Implikasi dari hal ini menunjukkan bahwa pemakaian silase akan lebih baik jika diberikan pada broiler umur 3 minggu ke atas. Pada Tabel 6 juga terlihat bahwa semakin lama pemeliharaan maka konversi ransum yang dihasilkan khususnya pada perlakuan L1, B2, L2 dan A menunjukkan adanya peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan S1, B1 dan S2. Diduga adanya infeksi Salmonella menjadi salah satu penyebabnya. Berbeda dengan perlakuan S2, perlakuan L1, B2, L2 dan A tidak dapat menghambat perkembangan Salmonella di dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pengamatan jumlah koloni bakteri Salmonella di dalam sekum (Tabel 7) yang menunjukkan bahwa semakin lama pemeliharaan maka jumlah koloni Salmonella di dalam sekum pada perlakuan L1, B2, L2 dan A juga semakin meningkat, sedangkan pada perlakuan S2 tidak ditemukan adanya koloni Salmonella di dalam sekum broiler sampai hari terakhir pengamatan. Organ Dalam Broiler Perlakuan berupa jenis pakan yang berbeda dan infeksi Salmonella tidak nyata mempengaruhi persentase hati, namun nyata (P<0.05) mempengaruhi persentase empedu dan limpa. Hati Hati merupakan organ yang berperan dalam sekresi empedu, metabolisme lemak, karbohidrat, zat besi, fungsi detoksifikasi serta berperan dalam metabolisme dan penyerapan vitamin. Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak selalu dapat ditemui, karena hati memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam regenerasi jaringan hati (Ressang 1984). Persentase hati pada penelitian ini tidak berbeda antara tiap perlakuan (Gambar 12). Hal ini terjadi karena hati merupakan organ sekresi terbesar dan merupakan kelenjar pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari 80% tanpa menyebabkan gejala yang berat dan dapat sembuh kembali secara sempurna (North dan Bell 1990). Demikian juga halnya yang terjadi pada penelitian ini. 3,00 2.57 2.19 2,50 P e r se n ta se ( % ) 2.57 2.37 2.64 2.57 2.52 S1 2,00 B1 L1 1,50 S2 1,00 B2 0,50 L2 0,00 A S1 B1 L1 S2 B2 L2 A Perlakuan Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) Gambar 12. Persentase hati broiler yang dipelihara selama 6 minggu Empedu Berbeda dengan hati, persentase empedu nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh perlakuan. Empedu dalam sistem organ berperan dalam mensekresikan cairan asam empedu dan garam empedu yang digunakan dalam metabolisme hati. Persentase bobot empedu yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 0.08% – 0.71% dari bobot hidup broiler. Persentase empedu broiler yang tidak diinfeksi Salmonella (S1, B1, L1) memiliki persentase yang nyata (P<0.05) lebih besar jika dibandingkan dengan persentase broiler yang diinfeksi Salmonella (S2, B2, L2, A). Adanya bakteri Salmonella diduga dapat menyebabkan empedu terus menerus menghasilkan cairan-cairan asam empedu dan garam empedu untuk disuplai ke hati dalam proses detoksifikasi, sehingga cairan yang dihasilkan empedu tidak pernah terdeposit dalam waktu lama di dalam empedu itu sendiri. Akhirnya menyebabkan empedu akan memiliki persentase bobot yang kecil, karena lemak dan kolesterol yang ada di dalamnya tidak dapat terdeposit lama di dalam empedu (Wahju 1997). Sesuai dengan fungsinya, empedu merupakan alat eksresi kolesterol yang disekresikan ke hati dengan bantuan asam-asam empedu yang dikeluarkan oleh hati (Ressang 1984). 0,80 0.70 S1 0.62 0,70 P e r se n ta se ( % ) 0.71 0,60 B1 0,50 L1 0,40 S2 0,30 0.16 0,20 B2 0.09 0.08 0.09 L2 A 0,10 0,00 S1 B1 L1 S2 B2 L2 A Perlakuan Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) Gambar 13. Persentase empedu broiler yang dipelihara selama 6 minggu Limpa Limpa merupakan organ tubuh komplek dengan banyak fungsi. Fungsi limpa yang utama adalah sebagai penyaring darah dan penyimpanan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin (Dellman dan Brown 1989). Selain menyimpan darah, limpa bersama hati dan sumsum tulang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua dan ikut serta dalam metabolisme sel limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi (Ressang 1984). 0,60 0.54 0.51 0.46 0,50 0.49 P e r se n ta se ( % ) S1 0,40 B1 L1 0,30 0,20 0.12 S2 0.10 0.10 B2 0,10 L2 0,00 A S1 B1 L1 S2 B2 L2 A Perlakuan Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) Gambar 14. Persentase limpa broiler yang dipelihara selama 6 minggu Broiler yang diinfeksi Salmonella (S2, B2, L2, A) memiliki persentase limpa nyata (P<0.05) lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa infeksi Salmonella (S1, B1, L1). Pembesara limpa pada broiler yang diinfeksi Salmonella pada penelitian ini disebabkan karena secara tidak langsung limpa berperan dalam fungsi daya tahan tubuh dengan cara memproduksi limfosit. Adanya infeksi Salmonella menyebabkan limpa harus bekerja ekstra dalam menyaring darah dan memproduksi limfosit. Limfosit akan berperan sebagai imun dalam melawan kehadiran bakteri patogen. Hal tersebut menyebabkan bobot limpa pada broiler yang diifeksi Salmonella akan lebih besar. Pembesaran limpa karena Salmonella didukung oleh Rofiq (2003) yang menyatakan bahwa secara patologis adanya infeksi Salmonella thyphimurium menunjukkan pembesaran limpa dan ginjal. Adanya benda asing berupa racun ataupun zat anti nutrisi akan mengakibatkan terjadinya perubahan bobot dari organ-organ tersebut menjadi jauh lebih besar karena terjadi pembengkakan (radang). Jumlah Koloni Salmonella Jumlah koloni Salmonella pada penelitian ini diamati dari isi sekum ayam yang diambil pada umur 16, 25 dan 31 hari (Tabel 7). Tabel 7. Jumlah koloni Salmonella pada isi sekum broiler Hasil Pengamatan (102)1 Perlakuan Ayam umur 16 hari Ayam umur 25 hari Ayam umur 31 hari S1 B1 L1 S2 B2 L2 A -2) + ++ + + +++ ++++ ++++ ++++ ++++ Keterangan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (S1 + infeksi Salmonella typhi.), B2 (B1 + infeksi Salmonella typhi.), L2 (L1 + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) 1) Merupakan konsentrasi isi sekum yang ditanam pada media agar 2) (-) tidak terdapat Salmonella typhi.; (+) 50-100 CFU; (++) 100-200 CFU; (+++) 200300 CFU; (++++) ≥ 300 CFU. Perlakuan S (silase) tanpa dan dengan infeksi Salmonella lebih sedikit memiliki jumlah koloni Salmonella di sekumnya jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut menandakan bahwa silase sangat efektif dalam menekan perkembangan Salmonella di sekum. Produk metabolit primer dan sekunder dari silase memiliki senyawa-senyawa bersifat antibakteri terhadap bakteri patogen. Diduga senyawa antibakteri tersebut antara lain : asam organik (asam laktat, asetat, format) dan hidrogen peroksida. Asam organik yang dihasilkan ini akan berdifusi secara pasif ke dalam sel mikroba patogen dalam bentuk tidak terdisosiasi, selanjutnya akan terjadi perubahan proton. Proton (H+) akan menembus membran sel dan akan mempengaruhi integritas membran sitoplasma dan pengasaman sel, akibatnya akan terjadi denaturasi protein serta perusakan membran sitoplasma pada bakteri patogen. Pelepasan proton (H+) ini juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan pH dan dapat mengganggu populasi bakteri yang tidak tahan asam. Skema dari penjelasan tersebut disajikan pada Gambar 15. Asam organik menembus membran sel RCOO- H+ pH Bakteri patogen denaturasi protein dan perusakan membran sitoplasma Gambar 15. Skema pelepasan proton H+ oleh asam organik Kondisi asam pada silase dapat menekan pertumbuhan Salmonella dengan cara merusak flagel Salmonella, sehingga menyebabkan Salmonella menjadi tidak motil dan akhirnya lisis. Sesuai dengan hasil penelitian Kardiyanto (2003) menyebutkan bahwa Salmonella Typhimurium memiliki 3 antigen dan salah satunya adalah antigen H (flagela). Flagela Salmonella akan rusak apabila ditambahkan asam dan alkohol. Pemberian bakteri asam laktat dalam air minum dapat menurunkan jumlah bakteri patogen seperti Salmonella dan Campylobacter (Byrd et al. 2001). Perlakuan yang menggunakan silase komplit (S1 dan S2) memiliki jumlah koloni Salmonella lebih sedikit jika dibandingkan dengan perlakuan L1 dan L2, meskipun keempat perlakuan tersebut menggunakan jenis bakteri yang sama yaitu Lactobacillus plantarum. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya asam organik dan produk sekunder dalam silase seperti etanol, asam asetat dan karbondioksida, sedangkan asam organik dan produk sekunder ini tidak sempat terbentuk oleh Lactobacillus plantarum yang diberikan melalui air minum. Histopatologi Usus Halus Hasil pengamatan histopatologi usus halus bagian ileum broiler dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tingkat kerusakan pada usus halus bagian ileum broiler Hari Pengamatan Perlakuan 9 27 a 36 a 42 0.00 0.40 0.40 0.40a B1 0.00a 0.70b 0.70b 1.30c L1 0.00a 0.50a 1.00b 0.70b S2 0.00a 0.60b 0.20a 0.20a B2 0.00a 1.40c 1.40c 1.50c L2 0.00a 0.70b 0.70b 1.20c A 0.00a 1.00b 1.20c 1.30c S1 1) a 1) Perlakuan : S1 (Ransum silase), B1 (Ransum basal), L1 (Ransum basal + L. Plantarum), S2 (Ransum silase + infeksi Salmonella typhi.), B2 (Ransum basal + infeksi Salmonella typhi.), L2 (Ransum basal + L. plantarum + infeksi Salmonella typhi.), A (B1 + antibiotik + infeksi Salmonella typhi.) 2) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Angka pada tabel diperoleh dari hasil pengamatan usus halus pada 10 titik fokus dan kemudian dibuat skala dengan tingkat kerusakan sebagai berikut : 0.00 ≤ x ≥ 0.40 = 0 0.50 ≤ x ≥ 0.90 = 1 x ≥ 1.00 = 2 (0 = vili dalam kondisi utuh, jumlah sel goblet dan kripta libeurkun normal. Dengan kata lain tidak terjadi kerusakan); (1 = vili tumpul, jumlah sel goblet mulai berkurang dan kripta libeurkun mulai meningkat); (2 = nekrosa vili, sel goblet tidak terlihat, banyak terdapat kripta libeurkun dan juga terdapat sarang radang) Dalam penelitian ini, perlakuan yang menggunakan ransum silase (S1 dan S2) cenderung memiliki tingkat kerusakan paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa silase tidak memberikan efek negatif terhadap ekosistem usus halus, bahkan sebaliknya silase ini dapat mempertahankan kondisi usus halus tetap baik meskipun ayam telah diberi infeksi Salmonella. Hal ini diduga disebakan oleh adanya bahan aktif silase yang berperan dalam menekan keberadaan bakteri Salmonella. Salah satu bahan aktif tersebut adalah asam laktat. Asam laktat ini akan mempengaruhi limfosit untuk memproduksi sel-sel interferon dalam jumlah besar, meningkatkan limfosit B, dan pada akhirnya akan meningkatkan imunoglobulin. Sehingga asam ini dapat menghalangi terbentuknya koloni bakteri patogen di dalam usus halus. Pada pengamatan histopatologi usus halus broiler umur 9 hari untuk semua perlakuan tidak ditemukan adanya kerusakan vili usus halus yang ditandai dengan: (1) bentuk vili usus yang utuh tanpa ada koyakan pada permukaannya, (2) sel goblet dalam jumlah besar di setiap vili-vili usus, dan (3) tidak ditemui adanya sarang radang yang merupakan salah satu indikasi usus terserang bakteri patogen, seperti yang terlihat pada Gambar 16. Kondisi normal morfologi usus halus menandakan bahwa ransum yang diberikan tidak memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan usus halus broiler sampai umur umur 9 hari pemeliharaan (sebelum diberi infeksi Salmonella typhimurium). Sel Goblet Kripta lieberkuhn Gambar 16. Gambaran mikroskopis usus halus normal broiler umur 9 hari; pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x) Kerusakan vili mulai terjadi pada hari ke-27, baik itu pada ayam yang diinfeksi Salmonella ataupun tidak diinfeksi. Banyak hal yang dapat menyebabkan kerusakan ini terjadi, salah satunya adalah adanya mikroorganisme patogen di dalam usus halus. Mikroorganisme patogen ini akan berusaha untuk mencari inang sebagai media tumbuh dengan cara menempel pada permukaan vili usus halus, yang akhirnya menyebabkan permukaan vili usus menjadi terkoyak (Gambar 17). vili terkoyak dan tidak beraturan sarang radang Gambar 17. Gambaran mikroskopis usus halus broiler yang mengalami koyakan pada permukaan vili-vilinya; pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x) Pada gambar di atas jelas terlihat adanya sarang radang yang merupakan indikasi bahwa di dalam usus halus terdapat sejumlah bakteri patogen (Salmonella). Jika bakteri patogen masuk ke dalam usus, maka hal pertama yang akan terjadi adalah sistem perlawanan yang dilakukan oleh sel goblet dengan cara mengeluarkan cairan (mukus) untuk mengusir bakteri patogen. Jika sel goblet tidak dapat mengusir bakteri patogen maka sistem pertahanan seluler akan maju dengan cara mengeluarkan sel-sel limfosit, makrofag dan heterofil untuk menyerang bakteri patogen, sampai akhirnya terbentuk sarang radang. Namun jika populasi bakteri patogen semakin banyak, maka yang terjadi adalah kerusakan pada vili usus yang akhirnya usus tidak dapat berfungsi baik dalam proses penyerapan zat-zat makanan. Perkembangan gambaran usus halus broiler dari hari ke-27 sampai hari ke42 pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 18, 19, 20, 21, 22, 23 dan 24. Kerusakan pada bagian atas vili a. Hari ke 27 Lekukan pada bagian permukaan vili b. Hari ke 36 c. Hari ke 42 Gambar 18. Ileum broiler yang diberi pakan silase; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Gambar 18 menunjukkan terjadi perkembangan kondisi usus ayam yang diberi silase ransum menjadi lebih baik seiring dengan bertambahnya hari pemeliharaan. Lekukan-lekukan yang terjadi pada hari ke-36 menyebabkan bertambahnya luas permukaan vili usus halus, sehingga nantinya akan lebih banyak makanan yang dapat diserap di dalam usus halus. Hal ini menunjukkan bahwa silase selain dapat digunakan sebagai pakan ayam, silase juga dapat membuat kondisi usus halus menjadi lebih baik dengan adanya asam laktat dan asam organik yang terkandung di dalam silase. Vili bagian atas terkoyak a. Hari ke 27 Penumpulan vili b. Hari ke 36 Kerusakan pada seluruh permukaan vili c. Hari ke 42 Gambar 19. Ileum broiler yang diberi pakan ransum kering; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Semakin lama hari pemeliharaan maka kondisi vili usus halus broiler yang diberi ransum kering mengalami kerusakan. Pada perlakuan ini permukaan vili usus mengalami kerusakan atau nekrosis. a. Hari ke 27 b. Hari ke 36 c. Hari ke 42 Gambar 20. Ileum broiler yang diberi pakan ransum kering dan diberi L. Plantarum melalui air minum; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Begitu juga halnya pada perlakuan L1 (Gambar 20), kerusakan vili usus halus broiler terjadi sampai pada akhir pemeliharaan. Hal ini menjelaskan bahwa meskipun broiler tidak diinfeksi Salmonella, namun Salmonella itu telah terdapat di dalam tubuh broiler sejak dari penetasan. Lekukan pada vili usus halus Vili usus terkoyak a. Hari ke 27 Lekukan pada permukaan vili b. Hari ke 36 Kondisi vili utuh dan normal c. Hari ke 42 Gambar 21. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi pakan silase; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Gambar 21 merupakan morfopatologi usus halus broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi ransum silase (S2). Pada gambar tersebut terlihat bahwa vili dalam kondisi normal sampai pada hari ke-42 dan juga terjadi perkembangan bentuk vili usus berupa peningkatan luas permukaan yang ditandai dengan adanya lekukan di setiap vili-vilinya, sehingga akan lebih banyak makanan yang dapat diserap di dalam usus halus. Selain itu, luas permukaan ini digunakan oleh bakteri menguntungkan untuk menempel dan berkoloni. Kondisi vili usus yang diperoleh pada perlakuan S2 ini memiliki vili yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, sehingga pada akhirnya jumlah zat makanan yang dapat diserap menjadi lebih optimal. Vili tidak beraturan dan banyak terdapat sel radang Vili usus terkoyak a. Hari ke 27 b. Hari ke 36 c. Hari ke 42 Gambar 22. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi pakan ransum kering; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Gambar 22 (perlakuan B2) menunjukkan terjadi kerusakan pada usus halus ayam yang diberi pakan kering dan diinfeksi Salmonella (B2). Kerusakan ini terjadi karena di dalam ransum kering tidak terdapat bahan aktif yang dapat menekan perkembangan bakteri Salmonella, sehingga bakteri ini dapat berkembangbiak dengan baik di dalam usus. Akibatnya vili-vili usus menjadi rusak. Selanjutnya bakteri Salmonella ini akan berada di seluruh jaringan tubuh ternak melalui peredaran darah, yang pada akhirnya kondisi ini dapat menyebabkan produk yang dihasilkan oleh broiler akan terkontaminasi bakteri Salmonella. Kontaminasi bakteri Salmonella pada produk akhir broiler juga dapat menular pada manusia. Vili tidak beraturan dan banyak terdapat sel radang Nekrosis Permukaan vili terkoyak a. Hari ke 27 b. Hari ke 36 c. Hari ke 42 Gambar 23. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi L. Plantarum melalui air minum; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Gambar 23 merupakan morfopatologi usus halus broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi L. Plantarum melalui air minum (L2). Pada perlakuan ini terlihat adanya kerusakan pada vili sampai pada akhir pemeliharaan. Kerusakan ini disebabkan oleh bakteri patogen (Salmonella). Meskipun jenis bakteri yang digunakan sama dengan bakteri pada pembuatan silase, namun ternyata perlakuan ini tidak dapat menekan perkembangan Salmonella di dalam usus halus. Kerusakan ini diduga terjadi karena asam organik pada L. Plantarum yang berperan dalam menghambat perkembangan Salmonella typhimurium belum terbentuk. Asam organik baru akan terbentuk setelah berada di dalam saluran pencernaan ayam, sedangkan asam organik pada silase telah terbentuk selama proses ensilase berlangsung. nekrosis Kondisi vili normal Nekrosis a. Hari ke 27 b. Hari ke 36 c. Hari ke 42 Gambar 24. Ileum broiler yang diinfeksi Salmonella dan diberi Antibiotik; pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (HE) (pembesaran obyektif 40x). Dari gambar di atas dapat dilihat adanya peningkatan luas permukaan usus halus pada hari ke-36, namun pada bagian atas vili usus terlihat adanya kerusakan vili. Dan pada hari ke-42 nekrosa usus halus tampak terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa antibiotik tidak dapat melawan kehadiran bakteri patogen, sehingga bakteri-bakteri patogen ini dapat dengan bebas berkoloni pada permukaan vili usus yang pada akhirnya dapat menembus vili usus dan merusak ekosistem usus halus broiler. Antibiotik yang diberikan pada perlakuan ternyata tidak dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen di dalam usus halus yang ditandai dengan adanya sarang radang di dalam usus halus broiler yang diinfeksi Salmonella. Hal tersebut diduga disebabkan oleh 2 hal yaitu :1. Antibiotik yang diberikan bukan merupakan jenis yang dapat menekan pertumbuhan Salmonella, 2. Dosis antibiotik (Bambermicin 0.02 ppm) yang diberikan masih terlalu kecil untuk membunuh Salmonella dalam usus halus. SIMPULAN 1. Silase ransum komplit efektif dalam mempertahankan kondisi usus halus broiler dan dapat berperan sebagai immunomodulator dalam merespon kehadiran bakteri patogen Salmonella typhimurium di dalam saluran pencernaan. 2. Morfopatologi jaringan usus halus broiler pada perlakuan ransum silase menunjukkan kondisi sangat baik, yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel goblet dan tidak ditemui adanya sarang radang baik pada broiler yang diinfeksi Salmonella typhimurium ataupun tanpa infeksi Salmonella typhimurium. 3. Silase ransum komplit dapat digunakan sebagai pakan alternatif ransum komersial dan juga dapat berperan sebagai alternatif antibiotik tanpa mempengaruhi performan broiler. SARAN 1. Perlu dilakukan kajian ulang mengenai tingkat konversi ransum pada perlakuan S2 yaitu broiler yang diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi pakan silase. 2. Pengkajian lebih lanjut mengenai zat aktif yang terkandung di dalam silase yang berperan dalam penghambatan Salmonella typhimurium di dalam saluran pencernaan. DAFTAR PUSTAKA Akoso BT. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Yogyakarta, Kanisius. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of Analysis. 14 ed. A.O.A.C, Washington DC. Bouliane M. 2003. Can We Farm Poultry Withiut Antimicrobial?. Fac. Of Veterinary Medicine, Universiy of Montreal, Quebec. Byrd J et al. 2001. Effect of lactic acid administration in the drinking water during preslaughtter feed withdrawl on Salmonellae and Campylobacter contamination of broiler. Poult Sci 80:278-283. Capucino J. 2000. Microbiology-A Laboratory Manual. The Benjamin Cummings Pub.Co.,Inc. Chiou PWS, CL Chen, KL Chen, CP Wu. 1999. Efect of high dietary copper on morphology of gastro-intestinal tract in broiler chickens. Asia-Aus. J Anim Sci 12. No. 4:548-553. Cintas LM et al. 1995. Isolation and characterization of pediocin L50, a new bacteriocin from pediococcus acidilactici with a broad inhibitory spectrum. Appl Environ Microbiol 61(7):2643-2648. Cox NA, JS Bailey, ME Berrang. 1996. Alternative Routes for Salmonella Intestinal Tract Colonization of Chicks. J Appl Poult Res 5(3):282-288. Davies RH, MF Breslin. 2004. Observations on yhe distribution and control of Salmonella contamination in poultry hathceries. Spring Meeting Of The WPSA UK Branch-Paper. British Poult Sci 54:S12- S13. Dellmann HD, EM Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi ketiga. Terjemahan. R. Hartono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Frandson RI. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fuller R. 1992. Hystory and development of probiotic. In. Fuller Ed. Probiotic The Scientific Basic. Chapman and Hall. London, New York. Gauthier R. 2002. Intestinal health, the key to productivity (The case of organic acid). XXVII Convencion ANECA – WPDC; Puerto Vallarata, 30 April 2002. Canada: Jefo Nutrition Inc. Giannella RA. 1996. General Concepts Salmonella. Department of Medicine, Division of Immunology, University of Connecticut Health Center, Farmington, CT 06030 . www.nutrivisioninc. com. [19 Mei 2007]. Hardy B. 2003. Nutraceutical Concepts for Gut Health in Pigs. NutriVicion Inc. Fairmont, Minnesota. www.nutrivisioninc. com. [19 Mei 2007]. Hartono. 1982. Pengantar Kuliah Histopatologi Jilid II (Organologi). Bagian Histopatologi, Departemen Zoologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Kardiyanto E. 2003. Jumlah leukosit pada ayam broiler yang diinfeksi Salmonella Typhimurium setelah pemberian probiotik pada air minum [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. KunkleWE, CG Chambliss, AT Adesogan, MB Adjiei. 2000. Silage Harvesting, Storing, And Feeding. http://edis.ifas.ufl.edu/TOPIC_Silage. [22 November 2006]. Koenen ME, J Kramer, R Van Der Hulst, L Heres, SHM Jeurisse, WJA Boersma. 2004. Immunomodulation by probiotic lactobacilli in layer and meat type chickens. British Puolt Sci Vol 45. No. 3:355-366. Lee YK, CY Lim, WL Teng, AC Ouwehand, EM Tuomola, S Salminen. 2000. Quantitative Approach in the Study of Adhesion of Lactic Acid Bacteria to Intestinal Cells and Their Competition with Enterobacteria. Appl Environ Microbiol 66 (9) : 3692-3697. http://aem.asm.org/cgi/contentfull/66/9/ 3692. [22 Januari 2007]. Leeuwen VP, JMVM Mouwen, JD Van Der Klis, MWA Verstegen. 2004. Morphology of the small intestinal mucosal surface of broilers in relation to age, diet formulation, small intestinal microflora and performance. British Puolt Sci 45 (1):41-48. Lien LV, Thoa PT, Thai NV, Tao NH. 2005. Use Lactobacillus plantarum inocolate to improve the fermentation process of shrimp by-products silage and evaluation of silage as protein source for ducks. Di dalam: Workshop-Seminar: making better use of local feed resouce. MekarnCTU, 23-25 May 2005. Hanoy-Vietnam: www.mekarn.org. [18 November 2006]. Lopez J. 2000. Probiotic in animal nutrition. Asian-Australian. J of Anim Sci Special Issue 13:12-26. McDonald P, Henderson N, Heron S. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd ed. London: Chalcombe Publication, 13 Highwoods Drive, marlow Bottom, bucks SL7 3PU. [Microtextbook] .2006. Fermentation. http://www.bact.wisc.edu/modules.php?op =modload&name=Sections&file=index&req=viewarticle&artid=49&page. [27 november 2007]. Moran ET. 1985. Digestive physiology of duck. Di dalam: Farrel, D.J., P. Stapleton, editor. Duck Production and World Practice. University of England, Armidale. North MO, DD Bell. 1990. Comercial Chicken Production Manual. 4th Edition. New York: Van Nostrand Reinhold. Palliyaguru MWCD et al. 2004. Effect of different probiotics on nutients utilisation and intestinal microflora of broiler chickens. Veterenary Researh Intitute. British Puolt Sci 54 : S58-S59. Putnam PA. 1991. Handbook of Animal Science. London: CAB International. Rahardjo AP. 2003. Genesis of a highly pathogenic and potentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern asia. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Letters to Nature vol. 430. www.nature.com/om/nature. [8 Juli 2006]. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Kedua. Denpasar: Percetakan Bali N.V. Rofiq MN. 2003. Potensi suspensi teh fermentasi kombucha dalam mengontrol infeksi Salmonella sp dan pengaruhnya terhadap performans ayam broiler [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sapienza DA, Keith KB. 1993. Teknologi Silase. Martoyoedo RBS, penerjemah. Scott ML, Malden CN, Robert JY. 1982. Nutrition of the Chicken. 3ed Ed. New York: Published by ML Scott and Associates. Schroeder JW. 2004. Silage Fermentation and Preservation. Extension Dairy Specialist. http://www.ag.ndsu.edu/pubs/ansci/dairy/as1254w.htm. [27 November 2006]. Shivaprasad GH, 1997. Pullorum disease. In B.W. Calnek et al., Editor. Disease of Poultry. 10 th Edition. USA: Iowa State university Press, Pp. 82 – 96. Steel RGD, JH Torrie., 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka. Stefanie JWH, Oude Elferink, Frank Driehuis, Jan C Gottschal, Sierk F Spoelstra. 2000. Silage fermentation processes and their manipulation. Paper Proceedings of the FAO Electronic Conference on Tropical Silage. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Italy: Viale delle Terme di Caracalla, 00100 Rome. Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. 3rd Edition. New York: Spinnger_Verlag. Suarsana IN. 2001. Sifat fisikokimia bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus epidermis. Laboratorium Biokimia Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar. Suarsana IN, Iwan HU, NGAA Suartini. 2001. Aktivitas invitro senyawa antimikroba dari Streptococcus lactics. J Vet 2(1):25-31. Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Vol 1. Kanisius. Tonnedy EI. 2006. Performa ayam broiler yang diberi silase ransum komersil [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Watkins BA, BF Miller. 1983. Competitive gut exclusion of avian pathogens by Lactobacillus acidophilus in gnotobiotic chick. Poult Sci 62:2088-2094. Winarsih W. 2005. Pengaruh probiotik dalam pengendalian Salmonellosis subklinis pada ayam : gambaran patologis dan performan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiryawan KG, Anita ST. 2001. Produksi biorepreservatif atau feed suplemen (Bakteriosin) dari Bakteri Asam Laktat. Laporan Akhir Hasil Penelitian Dasar. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. LAMPIRAN Lampiran 1. Cara Pewarnaan Haematoxyllin dan Eosin 1. Xylol I 2 menit 2. Xylol II 2 menit 3. Alkohol Absolut 2 menit 4. Alkohol 95 % 1 menit 5. Alkohol 80 % 1 menit 6. Cuci dalam air kran 1 menit 7. Mayer’s Haematoxyllin 8 menit 8. Cuci dalam air kran 30 detik 9. Lithium Carbonat 10. Cuci dalam air kran 11. Eosin 12. Cuci dalam air kran 15 – 30 detik 2 menit 2 – 3 menit 30 – 60 detik 13. Alkohol 95 % 10 celupan 14. Alkohol Absolut I 10 celupan 15. Alkohol Absolut II 2 menit 16. Xylol I 1 menit 17. Xylol II 2 menit 18. Tutup dengan cover glass. * Laboratorium Patologi Veteriner, FKH, IPB. Lampiran 2. Analisis ragam (ANOVA) konsumsi broiler umur 6 minggu. Sumber keragaman Perlakuan Eror Total db JK 6 50963.35 14 127435.48 20 178398.82 KT 8493.89 9102.53 Fhit 0.93 F0.05 F0.01 2.85 4.46 tn Lampiran 3. Analisis ragam (ANOVA) pertambahan bobot badan broiler umur 6 minggu. Sumber keragaman Perlakuan Eror Total db 6 14 20 JK 4183.34 1844.68 6028.02 KT 697.22 131.76 Fhit 5.29 F0.05 F0.01 2.85 4.46 ** JK KT 75666.94 12611.16 87397.82 87397.82 115194.83 115194.83 69.08 69.08 9674.09 9674.09 1860.74 1860.74 0.39 0.39 28582.65 2041.62 104249.59 Fhit 6.18 42.81 56.42 0.03 4.74 0.91 0.00 F0.05 F0.01 2.85 4.46 ** 4.60 8.86 ** 4.60 8.86 ** 4.60 8.86 tn 4.60 8.86 * 4.60 8.86 tn 4.60 8.86 tn Uji Kontras Ortogonal Sumber keragaman Perlakuan 1235 vs 467 4 vs 67 6 vs 7 12 vs 35 1 vs 2 3 vs 5 Eror Total db 6 1 1 1 1 1 1 14 20 Lampiran 4. Analisis ragam (ANOVA) bobot badan akhir broiler umur 6 minggu. Sumber keragaman Perlakuan Eror Total db JK 6 274530.987 14 104102.96 20 378633.95 KT 45755.16 7435.93 Fhit 6.15 F0.05 F0.01 2.85 4.46 ** db 6 1 1 1 1 1 1 14 20 KT 45755.16 78647.63 7286.92 36.70 24230.70 6630.27 823.91 7435.93 Fhit 6.15 10.58 0.98 0.00 3.26 0.89 0.11 F0.05 F0.01 2.85 4.46 ** 4.60 8,86 ** 4.60 8.86 tn 4.60 8.86 tn 4.60 8.86 tn 4.60 8.86 tn 4.60 8.86 tn Uji Kontras Ortogonal Sumber keragaman Perlakuan 125 vs3467 1 vs 25 2 vs 5 34 vs 67 3 vs 4 6 vs 7 Eror Total JK 274530.99 78647.63 7286.92 36.70 24230.70 6630.27 823.91 104102.96 378633.95 Lampiran 5. Analisis ragam (ANOVA) konversi pakan broiler umur 6 minggu. Sumber keragaman Perlakuan Eror Total db 6 14 20 JK 0.349 0.152 0.501 KT 0.06 0.01 Fhit 5.38 F0.05 2.85 F0.01 4.46 ** db 6 1 1 1 1 1 1 1 1 14 20 JK 0.349 0.233 0.131 0.0005 0.017 0.012 0.001 0.303 0.208 0.152 0.501 KT 0.06 0.23 0.13 0.00 0.02 0.01 0.006 0.30 0.21 0.01 Fhit 5.38 21.54 12.08 0.04 1.60 1.09 0.12 27.97 19.18 F0.05 2.85 4.60 4.60 4.60 4.60 4.60 4.60 4.60 4.60 F0.01 4.46 8.86 8.86 8.86 8.86 8.86 8.86 8.86 8.86 ** ** ** tn tn tn tn ** ** Uji Kontras Ortogonal Sumber keragaman Perlakuan 124 vs3567 12 vs 4 1 vs 2 356 vs 7 3 vs 56 5 vs 6 4 vs 7 4 vs 6 Eror Total Lampiran 6. Analisis ragam (ANOVA) konversi pakan broiler umur 0-3 minggu. Sumber keragaman Perlakuan Eror Total db 6 14 20 JK 0.347 6.886 7.234 KT 0.057 0.491 Fhit 0.117 F0.05 2.85 F0.01 4.46 tn Lampiran 7. Analisis ragam (ANOVA) konversi pakan broiler umur 4-6 minggu. Sumber keragaman Perlakuan Eror Total db 6 14 20 JK 1.660 1.062 2.723 KT 0.276 0.075 Fhit 3.646 F0.05 2.85 F0.01 4.46 * Uji Kontras Ortogonal Sumber keragaman Perlakuan 124 vs 3567 12 vs 4 1 vs 2 36 vs 57 3 vs 6 5 vs 7 Eror Total db 6 1 1 1 1 1 1 14 20 JK 1.660 0.246 0.0005 0.0002 0.0691 0.0199 0.0222 1.062 2.723 KT 0.276 0.246 0.0005 0.0002 0.0691 0.0199 0.0222 0.075 Fhit 3.646 3.247 0.007 0.002 0.910 0.263 0.293 F0.05 2.85 4.60 4.60 4.60 4.60 4.60 4.60 F0.01 4.46 8.86 8.86 8.86 8.86 8.86 8.86 Lampiran 8. Data histopatologi usus halus bagian ileum. Kruskal-Wallis Test: H1 versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on H1 Ave perlakuan N Median Rank 1 1 0.000000000 4.0 2 1 0.000000000 4.0 3 1 0.000000000 4.0 4 1 0.000000000 4.0 5 1 0.000000000 4.0 6 1 0.000000000 4.0 7 1 0.000000000 4.0 Overall 7 4.0 Z 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 tn Z -1.00 0.50 -1.00 -1.00 1.50 0.50 0.50 ** H = 0.00 DF = 6 P = 1.000 Kruskal-Wallis Test: H3 versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on H3 Ave perlakuan N Median Rank 1 1 0.000000000 2.0 2 1 1.000000000 5.0 3 1 0.000000000 2.0 4 1 0.000000000 2.0 5 1 2.000000000 7.0 6 1 1.000000000 5.0 7 1 1.000000000 5.0 Overall 7 4.0 H = 5.14 DF = 6 P = 0.526 H = 6.00 DF = 6 P = 0.423 (adjusted for ties) * * tn tn tn tn Kruskal-Wallis Test: H4 versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on H4 Ave perlakuan N Median Rank 1 1 0.000000000 1.5 2 1 1.000000000 4.0 3 1 1.000000000 4.0 4 1 0.000000000 1.5 5 1 2.000000000 6.5 6 1 1.000000000 4.0 7 1 2.000000000 6.5 Overall 7 4.0 Z -1.25 0.00 0.00 -1.25 1.25 0.00 1.25 ** Z -1.50 0.75 -0.75 -0.75 0.75 0.75 0.75 ** H = 5.36 DF = 6 P = 0.499 H = 6.00 DF = 6 P = 0.423 (adjusted for ties) Kruskal-Wallis Test: H5 versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on H5 Ave perlakuan N Median Rank 1 1 0.000000000 1.0 2 1 2.000000000 5.5 3 1 1.000000000 2.5 4 1 1.000000000 2.5 5 1 2.000000000 5.5 6 1 2.000000000 5.5 7 1 2.000000000 5.5 Overall 7 4.0 H = 4.82 DF = 6 P = 0.567 H = 6.00 DF = 6 P = 0.423 (adjusted for ties)