BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan semakin melaju tanpa titik henti. Pusaran globalisasi juga memberikan tantangan pada manusia untuk merespon segala perubahan secara cepat dan tepat. Perubahan akan selesai ketika paradigma berhenti (Fuller dalam Yood, 2005: 4). Sebagai konsekuensinya, paradigma-paradigma baru bermunculan sebagai jawaban sekaligus dasar kritik untuk perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Karena paradigma mencakup semua bidang, termasuk akademis, maka dibutuhkan sebuah revolusi dimana satu set ide dikuatkan oleh ide yang lain. Bidang pendidikan yang berperan sebagai wadah sekaligus pencipta agen perubahan (agent of change) menjadi sebuah keniscayaan untuk terus mengembangkan dan memperkuat kekuatannya dalam menyokong kehidupan manusia. Tantangan sekaligus kesempatan sebagai pemaknaan positif untuk menjawab perubahan dalam uraian di atas tidak akan bisa terlaksana tanpa adanya jalinan komunikasi yang kuat. Dalam hal ini, bahasa memegang peranan strategisnya sebagai alat untuk berkomunikasi. Berbagai teori interpretasi wacana berkembang bahkan saling tumpang tindih. Paradigma baru dalam pendidikan bahasa muncul sebagai jawaban dari beberapa hasil penelitian para ahli bahwa kondisi sosiokultur menjadi poin penting bagi perkembangan paradigma, pendekatan, metode, dan sekaligus tujuan pendidikan bahasa. Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical 1 Language Awareness/CLA) yang dikemukakan oleh Fairclaugh (1995: 219) menjadi referensi pendidikan bahasa terkini. Dalam uraian khususnya tentang CLA, penulisan akademik menjadi subketerampilan penting yang harus dikuasai disamping keterampilan berbahasa yang lain untuk menunjukkan identitas sekaligus meningkatkan kapabilitias berbahasa. Banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan Language Awareness dan Critical Language Awareness dalam 10 tahun terakhir ini seperti di Kanada, Amerika, Australia, Inggris, dan Afrika yang juga didukung dengan proyek pengembangan tentang Language Awarenss seperti The European Awareness and Intercomprehension (EU + I) Project di Eropa (Svalberg, Agneta M-L, 2007: 301). Iklim akademis di sekolah senantiasa disiapkan sekaligus dikondisikan untuk memperkuat identitas siswa agar mampu aktif dan progresif. Dalam segala aktivitas sekolah, respons terhadap fenomena sosial, budaya, dan politik baik dalam diskusi ringan, diskusi formal akademis, telaah pustaka (buku dan media massa) maupun kegiatan penulisan diarahkan untuk dilakukan secara komprehensif dan holistik. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa manusia memang tidak dapat terlepas dari lingkungannya sebagai representasi dari karya manusia itu sendiri. Dalam hal ini, sastra menjadi salah satu media tulis untuk menyampaikan respons dari berbagai pengalaman hidup siswa. Dari sastra pula, siswa dapat mempelajari berbagai karakter manusia lengkap dengan gaya dan pilihan hidupnya masing-masing. Melalui kegiatan membaca dan menulis sastra, siswa diharapkan dapat menjadi pribadi yang memiliki karakter kuat dan senantiasa melakukan refleksi dalam hidupnya. 2 Namun, pembelajaran sastra di sekolah/madrasah dewasa ini banyak mendapat sorotan dari kalangan pakar, khususnya pakar di bidang sastra, termasuk kalangan sastrawan. Taufik Ismail misalnya, merasa prihatin dengan realitas sastra dan pengajarannya di sekolah. Dia mengungkapkan bahwa pelajaran sastra dan mengarang di sekolah-sekolah di Indonesia sangat ketinggalan. Memang, pada kenyataannya hampir 50 tahun siswa-siswa di Indonesia tidak diberikan pelajaran sastra. Jikalau diberikan, hal itu hanya terbatas pada pengetahuan sastranya saja, bukan pada apresiasinya. Akibatnya siswa kurang bahkan tidak berminat membaca dan menulis karya-karya sastra. Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya minat baca dan lemahnya kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Lemahnya pembelajaran sastra di sekolah sebagaimana juga dikeluhkan kalangan sastrawan dapat dilacak dari beberapa segi. Pertama, komitmen pemerintah terlihat kurang serius. Seperti terlihat pada kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, porsi pembelajaran sastra sangat minim dibanding pembelajaran bahasa. Secara terminologis, penamaan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, bukan sebaliknya, Sastra dan Bahasa Indonesia, cukup menjelaskan hal di atas. Meskipun hal itu hanya istilah, tetapi dalam kenyataannya membawa implikasi luas bagi pembelajaran sastra. Lebih-lebih di sekolah menengah kejuruan (SMK), sastra telah lama menjadi anak tiri. Kedua, secara teknis guru-guru bahasa pada umumnya tidak selalu mampu menjadi guru sastra. Bila pembelajaran sastra memerlukan bakat, maka sedikit 3 saja yang memenuhi kualifikasi guru sastra. Akibatnya, pembelajaran apresiasi sastra akan cenderung bersifat teknis-teoritis. Dengan demikian, kegiatan ini cenderung menghafal. Misalnya, sebuah novel itu bertema A, berplot B, berlatar C dan seterusnya. Lebih ironis lagi, novel yang sering dibicarakan itu belum pernah dibaca karena memang tidak tersedia di perpustakaan sehingga kebenaran dalam menafsirkan karya sastra bersifat tunggal. Guru hanya sekadar menyampaikan keterangan dari buku pegangan, sedangkan siswa sekadar menerima informasi, tanpa reserve. Singkatnya, kegiatan apresiasi sastra tereduksi oleh kepentingan praktis belaka, yaitu demi dan untuk menjawab soal ujian akhir. Ketiga, ada kesenjangan antara karya sastra dan daya pemahaman siswa, bahkan juga guru nonsastrawan. Karya-karya puisi seperti ciptaan Danarto, Budi Darma, Sutardji C. Bachri termasuk jenis karya sastra yang sulit dipahami. Karyakarya mereka ibarat menara gading, tampak indah di kejauhan, tetapi sulit didekati. Kalau kegiatan apresiasi sastra menuntut pemahaman siswa dan guru, sementara sastrawan tetap menjaga jarak, baik terhadap karyanya maupun masyarakat pembacanya, maka hal ini menjadi fakta dari arogansi sastrawan. Keempat, implikasi lebih jauh dari kondisi di atas adalah siswa cenderung mejauhi karya-karya sastra, apalagi terhadap karya sastra yang dianggap “aneh’. Tidak heran jika siswa lebih menyukai sastra populer seperti karya Mira W, Ashadi Siregar, bahkan karya Fredy S. Akibat dari kondisi pembelajaran sastra sebagaimana diuraikan di atas adalah siswa kurang terlibat dalam proses berpikir (bernalar) secara bebas. Artinya, siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam menggunakan daya nalarnya. Padahal, 4 pembelajaran sastra pada dasarnya harus lebih melibatkan siswa secara aktif dalam proses berpikir logis. Langkah yang dapat ditempuh agar siswa dapat secara terbuka terlibat dalam proses pembelajaran yang memungkinkan daya nalar mereka berkembang melalui sarana sastra adalah melalui penerapan suatu strategi pembelajaran dengan prosedur-prosedur yang sistematis dan konsisten. (IQRA’ Volume 3 Januari - Juni 2007) Dalam kegiatan pembelajaran sastra khususnya penulisan fiksi, siswa diarahkan untuk dapat menuangkan ide mereka ke dalam sebuah karya fiksi. Namun sayangnya, mereka kurang dibimbing bagaimana cara menuangkannya. Guru menjadi fasilitator yang terkadang pasif dalam penulisan karya fiksi. Teori senantiasa menjadi alat ampuh bagi para guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Pada jurusan bahasa khususnya, menulis merupakan subketerampilan berbahasa yang dipelajari dan diterapkan. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa guru dan siswa dituntut untuk menguasai teknik penulisan yang baik sehingga akan menjadikan mereka tidak hanya sebagai konsumen namun lebih sebagai kreator karya tulis. Dalam kaitan ini, menulis sastra atau fiksi menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran berbahasa yang memegang peranan penting. Karya fiksi atau sastra sarat dengan muatan nilai yang merupakan representasi kondisi sosial masyarakat. Maka dari itu, mempelajari sastra atau fiksi berarti juga mempelajari masyarakat lengkap dengan budaya, kondisi, psikologi, gaya, politik, dan sebagainya. Namun apakah karya fiksi siswa ditinjau dari segi isi atau substansi materi sudah menunjukkan respons mereka terhadap kondisi sosial, 5 kultural, dan politik yang merupakan representasi pribadi siswa sebagai bagian dari masyarakat lokal, nasional, sekaligus global? Isu ini menjadi isu menarik dalam bidang pendidikan dan pembelajaran di beberapa negara terutama negara yang memiliki kultur masyarakat beragam termasuk Indonesia Berdasarkan paradigma baru pembelajaran bahasa serta permasalahan pembelajaran sastra khususnya penulisan fiksi, penelitian untuk melihat sekaligus menganalisis Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) dalam kegiatan penulisan fiksi siswa sangat penting untuk dilakukan. Penelitian tahun pertama dari rancangan penelitian multitahun yang ditujukan untuk guru dan siswa SMA se-DIY ini diharapkan akan dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran khususnya sastra di samping pendekatan kontekstual yang sudah diaplikasikan pada pembelajaran sastra saat ini dan pendekatan lain yang sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran. B. Batasan dan Rumusan Masalah Berbagai masalah dalam pembelajaran sastra di atas hendaknya menjadi perhatian seluruh khalayak pendidikan terutama pakar bidang bahasa dan sastra. Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) sebagai sebuah pandangan baru menjadi dalam pembelajaran bahasa dapat dijadikan satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Dengan mempertimbangkan konteks pendidikan di Indonesia dan kebutuhan solutif atas banyaknya masalah yang muncul, penelitian terfokus untuk melihat bagaimana 6 model pembelajaran sastra khususnya penulisan fiksi yang sesuai untuk guru dan siswa tingkat SMA. Tingkat SMA dipilih dengan pertimbangan bahwa pada level pendidikan ini, siswa sudah dituntut untuk aktif, mandiri, serta mengembangkan kesadaran dan respons mereka terhadap segala fenomena sosial kehidupan sebagai bekal hidup untuk menghadapi tantangan dunia kerja, dunia pergulatan ideologi di kampus, serta dunia masyarakat global dimana persaingan menjadi cara dalam mencapai sesuatu. Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena kondisi multikultur masyarakat Yogyakarta disamping kemudahan koordinasi dan akses peneliti dengan pihak sekolah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) dalam penulisan karya fiksi guru dan siswa SMA se-DIY? 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan dan Globalisasi Globalisasi membawa dampak yang cukup hebat dalam dunia pendidikan. Manusia harus bisa hidup tidak hanya dengan lingkungan kecil di sekitarnya tapi juga harus hidup sebagai masyarakat dunia. Hal ini menjadi sebuah tuntutan bagi dunia pendidikan untuk memberikan sumbangsih dalam penciptaan kultur masyarakat global. Gambaran masyarakat global secara praktisnya adalah adanya mobilitas yang tinggi untuk saling mencari, member, dan bertukar pengetahuan dan ide. Namun tentu saja identitatas nasional bukan berarti dikesampingkan. Globalisasi justru menuntut karakter nasional yang kuat sehingga tantangan yang ada dapat dihadapi dan permasalahan dapat diselesaikan dengan tetap berlandaskan pada identitas pribadi dan kultur masyarakat yang membentuk pribadi tersebut. Pendidikan dalam proses pembelajaran diarahkan untuk menumbuhkan pribadi yang berkarakter nasional untuk menghadapi tantangan globalisasi. Berbagai seminar dan forum diskusi diselenggarakan di berbagai institusi. Sebagai contoh, Universitas Negeri Yogyakarta menyelenggarakan seminar transnasional yang bertema “Build Nation Character Through Education Based on Culture” pada tahun 2005 dan yang baru saja diselenggarakan adalah seminar “Interprenuership in Global Era” yang mendatangkan Renald Kasali sebagai pembicara di tahun ini. 8 Dampak positif globalisasi dapat dilihat terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang teknologi yang sangat pesat. Namun hal-hal negatif sangat mungkin terjadi dan bahkan sudah terjadi. Etnosentris, superior, hegemonik, kesenjangan, dan menilai kelompok lain lebih rendah menjadi hal yang sering terjadi yang merupakan kelemahan dari model cawan lebur (Suyata, 2006: 217). Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan rasisme seperti di Africa, Amerika (perjuangan orang berkulit hitam) atau bahkan di Indonesia sendiri seperti konflik di Ambon, Kalimantan, Papua juga sampai sekarang masih sering terjadi. Namun, perjuangan kelas-kelas yang terdeskriminasi terutama di Eropa telah membawa keberhasilan gemilang dengan menggunakan sarana literasi (kebahasaan) sebagai alat perjuangan kelas seperti dari beberapa hasil penelitian dalam buku Making Race Visible: Literary Research for Cultural Understanding (Greene dan Perkins, 2003). B. Kehidupan Sosial, Kultural, dan Politik sebagai Bagian dari Dimensi Pendidikan Diskusi tentang kaitan antara bahasa, kekuatan, dan komunitas sebenarya sudah diawali dari sekitar tahun 1970. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (via Yood, 2005: 5) mengatakan bahwa perubahan intelektual dibangun dalam komunitas. Namun Kuhn tidak bisa memberikan penjelasan mengenai hubungan rekursif bahwa komunitas akan berperan untuk umum dan untuk dirinya sendiri juga dengan perjuangan yang terus menenrus untuk menemukan makna dan relevansi dalam disiplim akademis. Fuller dalam sumber yang sama mengemukakan konsep “pergerakan sosial” (social movement) sebagai alternatif paradigma. Dalam konsep ini, pengetahuan baru dimaknai dalam 9 konteks perubahan intelektual dan politik dan dalam respon terhadap citra profesi yang diciptakannya sendiri. Yood (2005, 3) menambahkan uraiannya sebagai tanggapan terhadap pandangan Fuller sebagai berikut. “Movement” are self-referential and reflexive-they recognize how knowledge in discipline gets made and changed not only by people creating ideas but by the interaction between ideas and a public and by the interaction between a community’s thinking about knowledge and their actualizing it in form of politics and program-like writing programs. Key to this concept is the notion that knowledge making today needs to be understood as reflexive, in a recursive relationship with its image of itself and with the changing environment. It requires being a social and intellectual body in movement, hanging on the hinges of transforming society.” Dari kutipan dari jurnal tulisan Yood di atas dapat dimaknai bahwa pengetahuan yang terus berkembang dan berubah tidak hanya dari perkembangan ide saja tetapi juga interaksi antara ide dan public serta interaksi antara pemikiran komunitas tentang pengetahuan dan aktualisasinya dalam bidang politik dan dunia penulisan. Pengetahuan merupakan hal yang refleksif, dalam hubungannya dengan pencitraan diri sekaligus perubahan lingkungan. Hal ini membutuhkan sebuah pergerakan social dan intelektual dalam masyarakat yang transformatif. Di Indonesia sebenarnya sosok Ki Hajar Dewantara sangat patut menjadi panutan. Dalam bukunya, Menuju Manusia Merdeka ( 2009: 43) dia menyatakan bahwa pendidikan yang terdapat dalam hidup segala makhluk disebut sebagai laku kodrat (instinct), maka hidup manusia yang beradab bersifat usaha kebudayaan, yaitu: 10 1. Sebagai laku kodrat, pendidikan bersifat laku atau kejadian yang masih sederhana. 2. Pendidikan yang berlaku sebagai insting berupa pemeliharaan terhadap anak-anak serta latihan-latihan. 3. Pendidikan bertujuan untuk member tuntunan pekembangan jiwa anak untuk menuju adab kemanusiaan. 4. Mengenal sifat kodrat dan sifat kebudayaan merupakan hal penting. Konsep dari uraian di atas sesuai untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Kondisi sosiologis dan geografis Indonesia dengan beragam suku dan budaya mestinya harus disikapi secara arif, artinya harus dirancang satu sistem pendidikan yang dapat mengelaborasi kekayaan-kekayaan dan sumber yang ada dan menghindari praktik-praktik diskriminasi kesukuan. C. Kesadaran Berbahasa Kritis (Critical Language Awareness/CLA) Fairlaugh dalam bukunya Critical Language Awareness (1992: 14-15) menyatakan bahwa “CLA is an awareness of the ways in which ideas become naturalized or taken for granted as thruth about the natural and social world and how these truths are tied up with language in use (CLA adalah kesadaran dimana gagasan menjadi netral atau diakui sebagai kebenaran alam dan sosial dan kebenaran ini terikat pada penggunaan bahasa. Tujuan dari CLA adalah untuk mendorong siswa membuka pikiran bahwa bahasa dalam teks adalah sebuah konstruksi social dan memberikan pemahaman bahwa bahasa mungkin akan memberikan posisi negative dan positif baik disengaja maupun tidak disengaja. 11 Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Global Capitalism and Critical Awareness of Language, Fairclaugh menguraikan mengapa CLA sangat penting untuk dikaji seperti uraian berikut. “….. several key features of late modern society which help make the case for critical awareness of discourse: the relationship between discourse, knowledge, and social change in our ‘information’ or ‘knowledge-based’ society; what Smith(1990) has called the ‘textually-mediated’ nature of contemporary social life; the relationship between discourse and social difference; the commodification of discourse; discourse and democracy (Fairclaugh, 1999: 71). Alasan pentingnya CLA untuk dari uraian di atas yaitu andanya hubungan antara wacana, pengetahuan, dan perubahan sosial dalam masyarakat yang berdasar pada informasi dan pengetahuan, konsep dari Smith tentang mediasi tekstual dalam kehidupan social sekarang ini, hubungan antara wacana dan perbedaan social, komodifikasi wacana, serta wacana dan demokrasi. Dalam laporan Higher Education in the Learning Society dari National Committee of Inquiry into Higher Education, 1997 (Fairclaugh, 1999: 80) pendidikan diarahkan pada kemampuan (skill) untuk pembelajaran seumur hidup (lifelong learning). Kemampuan yang dimaksud adalah komunikasi, numerasi, teknologi informasi, dan belajar untuk belajar. Dalam tulisan ini, komunikasi yang diwujudkan dalam bahasa menjadi poin khusus pembahasan yang dikaitkan dengan Critical Language Awareness (CLA). Fairclaugh (1992: 226) menguraikan bahwa kesadaran berbahasa didasarkan pada kemampuan berbahasa yang didasarkan pada pengalaman. Tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dan kesadaran berbahasa akan menjadikan 12 kapabilitas kemampuan berbahasa yang potensial. Fairclaugh menvisualisasikan model pembelajaran bahasa seperti pada bagan berikut. Language capabilities: potential Purposeful discourse Language awareness Language capabilities: experience Bagan 1. Model Pembelajaran Kesadaran Bahasa Fairclaugh Dalam pemahaman tentang Kesadaran Berbahasa secara Kritis, siswa diarahkan untuk menjadi etnografer bahasa dan budaya. Siswa tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tetapi menjadi kreator pengetahuan (Egan dan Bloome via Menacker, 1998: 2). Bahasa dan pemikiran tidak akan pernah bisa dipisahkan. “learn a new language and get a new soul” (belajar bahasa baru akan mendapatkan jiwa baru) merupakan semboyan yang dinyatakan oleh Czeh (via Halpern, 2003: 106). Diskusi tentang telaah kuasa bahasa juga menjadi kegiatan yang sering dilakukan 13 untuk mengkaji dan memaknai teks. Beberapa penelitian tentang CLA juga dilakukan yang dapat dilihat dari beberapa buku seperti “The Language of Africa and The Diaspora:Educating for language Awareness” yang menguaraikan tentang pengajaran Language Awareness di Guadaloupe (Kleifgen dan Bond: 2009) serta Linguistic Awareness in Multilinguals oleh Ulrike Jessner (2006) yang mengkaji metalinguistics awareness atau kesadaran metalinguistik. D. Penulisan Fiksi dan Critical Language Awareness Menulis merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan respon terhadap kemampuan Kesadaran Berbahasa Kritis. Hal ini dikarenakan dalam menulis, penulis akan memunculkan identitasnya dengan mengaitkan pandangan, gagasan, dan posisinya dalam konteks sosiokultural yang ada di sekitarnya. Sebelumnya keterampilan menulis hanya diarahkan pada kemampuan menulis dasar. Melalui pendekatan CLA, kegiatan menulis dipandang sebagai kegiatan menyeluruh yang meliputi dimensi sosial, budaya, politik, termasuk respon terhadap kebijakan strategis dan birokratik. Dari pemahaman ini dan juga teori tentang kuasa bahasa, serta penelitian-penelitian yang terkait dengan kesadaran berbahasa penelitian tentang CLA menjadi penting untuk dilakukan. Dalam praktiknya, CLA dalam keterampilan seperti yang telah dilakukan oleh Clarks dan Fairclaugh (dalam Fairclaugh, 1992) siswa diarahkan untuk meningkatkan kesadaran tentang proses menulis sesudah itu dilanjutkan dengan kegiatan diskusi. Tulisan siswa dianalisis dengan melihat penggunaan kata ganti persona, siksi yang menunjukkan komitmen kuat untuk proposisi, kata dengan intonasi dan bunyi kuat. Dalam penelitian ini, instrumen untuk menilai karya fiksi 14 disusun berdasarkan elemen-elemen tersebut dengan mengkolaborasikan konteks sosiokultur dan politik yang ada dalam masyarakat Indonesia. Sebuah karya sastra ditampakkan oleh satuan-satuan lingual yang menyatu dan menjalin membentuk wacana yang indah-estetis. Meskipun demikian, karya sastra dibangun oleh unsur-unsur intrinsik yang luas. Antara bahasa dan unsurunsur intrinsik karya sastra terjadi jalinan yang padu, tak teisahkan. Wujud kebahasaan dalam karya sastra merefleksikan keberadaan unsur intrinsiknya. Sebaliknya, keberadaan unsur karya sastra akan menentukan wujud kebahasaan karya sastra. Karya sastra ditulis melalui proses menyinergikan unsur kesastraan dan kebahasaan, dan itu bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai masalah dan tahapan yang dapat dikategorikan sebagai kendala. Kendala tersebut dapat dilihat dari wujud karya, aktivitas pada saat berkarya, dan pengakuan dari penulis, baik lisan maupun tulisan. Kendala kesastraan dapat digolongkan ke dalam kendala ide, fakta cerita, dan sarana cerita. Umumnya, kendala menulis karya sastra bagi penulis pemula terlihat dari kedangkalan ide dan pengolahannya. Kendala menggali ide terlihat dari munculnya ide-ide yang monoton dan tidak baru, bahkan seringkali sama dengan bacaan-bacaan yang sudah ada. Hal ini terkait dengan ketidakmampuan untuk menangkap hal-hal menarik di sekitarnya, yang dapat diangkat menjadi ide tulisan. Kendala mengembangkan ide terlihat dari alur tulisan yang “kurang menggigit” atau datar-datar saja, tidak tercipta konflik yang beragam, tidak ada klimaks yang menarik, dan sebagainya. Masuk dalam permasalahan ini juga 15 adalah adanya kesan yang sangat mekanis dalam menulis, seakan-akan menulis seperti menyusun puzzle dan setelah menjadi gambar yang diinginkan lalu dianggap cukup. Selain ide, pengembangan fakta yang terdiri dari alur, tokoh, dan latar juga menjadi kendala tersendiri bagi anak. Kendala dalam pengembangan alur cerita tampak pada pengembangan bagian perbagiannya. Menurut Sayuti (2000), bagian-bagian struktur alur dapat dibagi dalam awal (eksposisi, instabilitas, dan konflik), tengah (klimaks dan komplikasi), dan akhir (denoument/penyelesaian). Kendala yang paling sering muncul pada penulis pemula adalah kendala dalam penciptaan dan penggarapan konflik, klimaks, dan akhir cerita. Terkait dengan alur cerita, penulis pemula juga mengalami kendala dalam hal struktur cerita, baik dalam hal pembukaan cerita, konflik, klimaks, maupun penyelesaian. Kendala dalam pengembangan struktur cerita muncul dalam bentuk tidak proporsionalnya bagian-bagian cerita. Pembukaan cerita sering dibuat bertele-tele. Untuk sebuah novel atau tulisan dalam bentuk buku, hal ini masih sedikit bisa tertutupi, tetapi untuk sebuah cerpen, pembukaan yang bertele-tele akan menghabiskan ruang untuk pengembangan konflik. Sebaliknya, konflik dan klimaks yang mestinya memerlukan ruang yang lebih luas, justru hanya dimunculkan seperti percikan yang tidak digarapnya dengan baik. Penulis pemula seringkali hanya memberi tahu tentang bentuk konflik dan klimaksnya, tetapi belum mampu menggambarkannya secara teadu dengan emosi tokoh, latar, dialog, dan sebagainya. Penyelesaian cerita pun seringkali dilakukan dengan sambil lalu dan biasa-biasa saja (mudah ditebak). Padahal, penyelesaian cerita 16 perlu digarap dengan baik karena pembaca akan banyak terkesan dengan akhir cerita yang menarik. Secara lebih tegas lagi, Sumardjo (2001) berkomentar terhadap kelemahan struktur cerita atau komposisi para penulis pemula, khususnya untuk penulisan cerpen. Menurutnya, dalam cerpen mestinya pengenalan (pembukaan cerita) dilakukan secara ringkas, pembangunan konflik dilakukan secara jelas, luas, dan lengkap, serta penyelesaian (pengakhiran cerita) dilakukan secukupnya saja. Masih terkait dengan pengembangan alur, menurut Sayuti (2000), sebuah cerita harus mengandung kaidah-kaidah alur, yaitu kemasukakalan (plausabilitas), kejutan (suprise), suspense, dan keutuhan (unity). Kendala bagi penulis pemula dalam kaidah-kaidah alur ini antara lain tampak dalam ketidaklogisan cerita, tidak munculnya surise dan suspense sehingga cerita menjadi membosankan dan tidak menarik, serta teutusnya bagian-bagian cerita sehingga tidak memenuhi kaidah keutuhan (unity). Untuk pengembangan tokoh cerita, kendala muncul dalam bentuk tidak munculnya lifelikeness. Menurut Sayuti (2000), sebagian besar pembaca mengharapkan adanya tokoh-tokoh fiksi yang bersifat alamiah (natural), dalam arti bahwa tokoh memiliki derajat kesepertihidupan (likelifeness). Kendala dalam pengembangan tokoh cerita juga tampak dalam kontribusi tokoh dalam cerita dan penokohan. Pada penokohan, seorang penulis pemula dominan menggunakan penokohan langsung sehingga tidak variatif dan terkesan membosankan. Padahal, menurut Sayuti (2000), ada banyak cara menggambarkan tokoh, yaitu langsung (telling, analitik) dan tidak langsung (showing, dramatik). Penokohan tidak 17 langsung dapat dilakukan dengan sepuluh cara, yaitu teknik penamaan tokoh (naming), cakapan, penggambaran pikiran tokoh, arus kesadaran (stream of consciousness), pelukisan perasaan tokoh, perbuatan tokoh, sikap tokoh, pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu, pelukisan fisik, dan pelukisan latar. Untuk pengembangan latar cerita, kendala antara lain muncul dalam bentuk penggarapan latar yang tidak optimal. Menurut Sayuti (2000), unsur latar terdiri dari latar tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur latar tersebut terbangun secara bersama dan tidak teutus. Akan tetapi, penulis pemula seringkali tidak menggarap ketiga unsur latar tersebut dengan baik. Kendala pengembangan latar cerita yang lain tampak pada keterbatasan penguasaan latar cerita yang diangkatnya sehingga sering terkesan asal dimunculkan dalam cerita. Ketidakkonsistenan latar dengan unsur lain juga muncul sebagai kendala dalam pengembangan latar cerita. Selain kendala pada ide dan pengembangan fakta cerita, kendala pada pengembangan sarana cerita, terutama pada pemilihan judul, juga banyak muncul pada penulis pemula. Judul perlu mendapat titik tekan karena judul menjadi daya tarik pertama bagi pembaca. Judul merupakan elemen lapis luar suatu fiksi. Oleh karena itu, ia merupakan elemen yang paling mudah dikenali oleh pembaca (Sayuti, 2000). Sebelum membaca tulisan lengkapnya, sudah pasti pembaca akan membaca judulnya. Yang menjadi masalah adalah tidak mudah mendapatkan judul yang menarik ini. Sumardjo (2001) memberikan rambu-rambu bahwa judul harus menggambarkan isi, bersifat konotatif (bukan denotatif), dan mampu menggugah 18 pembaca terhadap keinginannya mencari makna dari cerita yang dibacanya. Menurutnya juga, judul yang berhasil banyak ditentukan oleh sensitivitas pengarang terhadap kekuatan kata-katanya. Dengan kata lain, Rosa (2003) menyebutnya dengan kepekaan rasa bahasa. Kriteria judul yang baik ini pun diberikan oleh Marahimin (2001), yaitu singkat, menarik, dan memunculkan rasa ingin tahu. Judul harus singkat agar mudah diingat. Judul juga harus bersifat eyecatching atau menangkap mata begitu orang memandangnya. Terkait dengan kriteria judul, Sayuti (2000) menambahkan bahwa judul harus memberikan gambaran makna suatu cerita. Oleh karena itu, biasanya judul mengacu pada sejumlah elemen struktural lain. Artinya, judul suatu karya bertalian erat dengan elemen-elemen yang membangun fiksi dari dalam. Dalam kaitan ini, mungkin sekali judul mengacu pada tema, latar, konflik, tokoh, simbol cerita, atmosfer, akhir cerita, dan sebagainya. Selain pengembangan unsur kesastraan seperti telah dipaparkan di atas, kendala berikutnya yang sering muncul adalah kendala kebahasaan yang mencakup pemilihan kata (diksi), bahasa (naratif dan dialog), dan penataannya. Kendala ini dapat dikaitkan dengan temuan riset Suryaman (2003) tentang penguasaan kosakata siswa SLTP di Bandung yang menunjukkan bahwa 92% penguasaan kosakata subjek rendah. Lebih lanjut ditemukan Suryaman, bahwa siswa SLTP di Bandung yang membaca buku hanya 5%, itu pun tak satu pun karya sastra yang mereka baca. Hal ini menunjukkan bahwa minat baca dan penguasaan kosakata menjadi masalah kebahasaan remaja. 19 Permasalahan bahasa dalam sebuah tulisan terdapat dalam bentuk munculnya bahasa yang klise. Selain itu, kalimat-kalimat yang muncul pun banyak dalam bentuk kalimat inofmatif. Dalam sebuah tulisan fiksi, dominasi kalimat inofmatif terasa membosankan. Rosa (2003) mengatakan bahwa bahasa informasi tidak akan menimbulkan makna dan tidak meninggalkan efek, apalagi imajinasi dalam diri pembaca. Masalah lain adalah dominasi bahasa pop atau gaul dalam seluruh penceritaan. Menurut Sumardjo (2001), bahasa pop bisa digunakan untuk membangun suasana dan bukan pada penceritaan (narasi). Dalam narasi pengarang dituntut menggunakan bahasa yang standar, yang berlaku secara umum dan teratur. Konsistensi bahasa dengan latar cerita juga sering tidak diperhatikan oleh para penulis pemula. Hal ini dapat dicontohkan dengan munculnya bahasa gaul Jakarta (Betawi) pada cerita dengan latar Yogyakarta, tanpa memberikan gambaran pengait antara munculnya bahasa gaul tersebut dengan latar cerita, misalnya orang Jakarta yang kuliah di Yogyakarta. Masalah seperti ini biasanya muncul pada novel-novel remaja. Pengaruh televisi yang banyak mengangkat tema dan dunia remaja agaknya menjadi penyebab kecenderungan ini. Permasalahan terakhir adalah tatatulis. Meskipun fiksi bukan sebuah tulisan ilmiah, bukan berarti harus meninggalkan kaidah tata tulis yang berlaku. Masalah tatatulis ini biasanya muncul dalam bentuk penyusunan paragraf, kesalahan penulisan kata, pemberian tanda baca, serta penggunaan huruf kapital dan miring. 20 Kesalahan-kesalahan ini muncul bisa disebabkan oleh ketidakpahaman penulis atau kurangnya ketelitian penulis. Berbagai kriteria yang menjadi kendala dalam penulisan karya sastra telah dijelaskan di atas. Hal tersebut harus diperhatikan oleh penulis mengingat teknik penyajian ide dalam tulisan menjadi masalah lain yang tidak bisa disepelekan. Penulis, apalagi penulis fiksi, bukan saja sekadar memberitahukan cerita kepada pembaca, tetapi ia juga harus hadir sebagai tukang cerita yang baik. Untuk menjadi tukang cerita yang baik inilah seorang penulis memerlukan teknik. Ada beberapa tahap yang dapat dilakukan dalam menulis fiksi. Secara garis besar, proses penulisan karya sastra, maupun penulisan karya lainnya, dibedakan menjadi lima tahap, yaitu tahap persiapan dan usaha, tahap inkubasi, tahap iluminasi, tahap verifikasi, dan tahap publikasi. Berikut uraian lebih lengkapnya untuk masing-masing tahap. 1. Tahap Persiapan dan Usaha Pada tahap ini seorang calon penulis haruslah menentukan masalah apa yang akan dijadikan dasar penulisannya. Setelah itu, disusul dengan mengumpulkan informasi dan data yang dibutuhkan. Makin banyak informasi yang terkumpul berhubungan dengan masalah yang menjadi dasar penulisan, maka akan memperlancar proses penulisan. Pada tahap ini pemikiran kreatif dan daya imajinatif seorang penulis sangat diperlukan. Misalnya, seorang penulis akan menulis masalah yang berkaitan dengan anak yang putus sekolah akibat keluarganya menjadi korban gempa bumi, maka harus dikumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan keadaan saat dan 21 pasca gempa bumi, misalnya yang teradi di Yogyakarta 27 Mei 2006 yang lalu. Informasi tersebut dapat ditemukan dari surat kabat, file berita radio atau televisi, maupun survei langsung ke lapangan. 2. Tahap Inkubasi dan Tahap Pengendapan Pada tahap ini, semua informasi yang telah dikumpulkan diendapkan dalam diri penulis lalu dimasukkan dalam alam prasadar yang kemudian akan dimunculkan kembali dalam penulisan. Intuisi diperlukan untuk mematangkan dan mengendapkan gagasan yang telah diperoleh. 3. Tahap Iluminasi Tahap iluminasi adalah tahap perwujudan gagasan menjadi sebuah tulisan. Untuk memudahkan proses menulis, kerangka atau garis besar cerita dapat dibuat terlebih dahulu. Dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan, pengetahuan mengenai unsur-unsur prosa dapat dimanfaatkan. Langkah selanjutnya adalah menentukan siapa nama tokoh-tokohnya, bagaimana wataknya, bagaimana mereka mengalami peristiwa, di mana dan kapan peristiwa terjadi, mengapa mereka dapat mengalami peristiwa itu, serta apa akibat yang mereka alami dari peristiwa tersebut. Cerita akan menjadi hidup dan menarik ketika disajikan dalam rangkaian alur yang menarik pula. Maka, rancangan alur cerita perlu dipikirkan terlebih dahulu sebelum menulis. Penulis dapat memilih alur maju, atau sorot balik. Pemanfaatan teknik kejutan (surprise) dan suspense juga penting agar cerita menjadi menarik. 22 4. Tahap Verifikasi Tahap verifikasi merupakan tahap penilaian dan revisi yang dilakukan oleh penulis untuk menyempurnakan karyanya. Pada tahap ini karya yang sudah selesai dutulis, dibaca dan dinilai oleh penulis untuk menemukan kekurangan. Kalau diperlukan dapat juga minta tolong orang lain untuk membaca dan memberikan masukan. Tahap ini diakhiri dengan membuat revisi karya. 5. Tahap Publikasi Pada tahap ini, karya yang sudah selesai direvisi selanjutnya dipublikasikan untuk dapat dibaca oleh masyarakat. Media dan tempat publikasi harus dipilih yang sesuai agar penerimaan masyarakat positif terhadap karya yang dihasilkan. 23 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada dasarnya ingin mengetahui Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (Critical Language Awareness/CLA) yang terefleksikan melalui karya fiksi guru dan siswa SMA se-DIY. Secara khusus, tujuan penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut. 1. Tahun Pertama Tahun pertama memiliki tiga tujuan, yaitu: a. mengidentifikasi kemampuan menulis karya fiksi pada guru dan siswa, b. mengidentifikasi materi dan model penulisan fiksi yang dikaitkan dengan hasil kajian penelitian yang relevan,dan c. mengidentifikasi dan merumuskan hasil resepsi kesadaran berbahasa secara kritis (CLA) pada karya fiksi guru dan siswa. 2. Tahun Kedua Tahun kedua memiliki tiga tujuan, yaitu: a. menyusun modul penulisan fiksi dengan pendekatan CLA, b. melakukan validasi dengan pakar sastra, penulis, dan guru,dan c. melakukan revisi terhadap modul. 3. Tahun Ketiga Tahun ketiga memiliki dua tujuan, yaitu: a. pelaksanaan TOT bagi guru dengan menggunakan modul, dan 24 b. sosialisasi model dan modul yang dihasilkan. B. Urgensi dan Manfaat Penelitian Kehidupan masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu cepat. Untuk menyikapi perubahan dan perkembangan ini, pemahaman terhadap masyarakat itu sendiri sebagai agen sekaligus sasaran perubahan semestinya dilakukan. Upaya penyadaran terhadap berbagai dimensi kehidupan dalam masyarakat tersedia dalam berbagai alternatif pilihan jawaban melalui berbagai pandangan dari beberapa ahli, salah satunya adalah Fairclaugh (1992, 1995). Dia menyatakan pentingnya studi dan implementasi CLA dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini (www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs). “… three reasons for this: there are changes in the ways in which power and social control are exercised (eg. Classroom language or the language of medical consultation); changes in contemporary society in language practices for example, changes in ways of talking as part of changes in professional-client relationship; and language it self as a target for change.” (“… tiga alasan untuk ini: ada perubahan-perubahan dimana kekuasaan dan kontrol sosial dilakukan (contoh: dalam kelas bahasa atau bahasa dalam konsultasi medis); perubahan masyarakat dalam praktik bahasa, perubahan cara berkomunikasi sebagai bagian dari relasi professional; dan bahasa itu sendiri sebagai target perubahan”). Berbagai dimensi sosiokultur di tengah keberagaman masyarakat seperti Indonesia menjadi syarat pemahaman konseptual sekaligus kontekstual. Iklim sosial, politik, kekuasaan, dan keberagaman itu sendiri selayaknya menjadi tidak hanya sebuah pemahaman namun lebih pada kesaradan. Dalam dunia pendidikan khususnya bahasa dan sastra, Critical Language Awareness (CLA) menjadi 25 strategi, metode, sekaligus pendekatan yang sangat penting. Hal ini sejalan dengan pemikiran Fairclaugh di atas bahwa perubahan dalam praktik dan kelas bahasa, perubahan masyarakat dalam praktik berbahasa, dan perubahan bahasa menjadi target itu sendiri menjadi alasan utama mengapa CLA menjadi sangat penting untuk dipahami. Pembelajaran sastra sejatinya dapat menjadi sarana peningkatan daya nalar dan kreativitas siswa. Melalui sastra, warna-warni kehidupan dapat tergambar sekaligus terlihat secara jelas. Karya-karya sastra memberikan ruang untuk mengekspresikan sekaligus menginterpretasikan pertanyaan dan jawaban kehidupan yang memiliki berbagai dimensi sosiokultur maupun politis. Imajinasi dan realitas berpadu menjadi sebuah keutuhan karya sastra. Dalam konsep pembelajaran, siswa berbicara dengan imajinasi dan realitas dalam bangunan sastra. Dengan begitu, kekayaan hati dan kepekaan sosial dapat ditingkatkan melalui pemahaman dan pemaknaan terhadap karya sastra dan terlebih lagi pada penciptaan karya sastra sebagai ruang imajinasi mereka. Namun, dalam praktiknya, pembelajaran sastra di sekolah masih mengalami keterbatasan atau kadang dapat dikatakan menemukan “kebuntuan”. Hal ini dikarenakan imajinasi siswa kurang diberi ruang seluas-luasnya untuk berkembang. Di samping karena pemahaman terhadap realitas dan berbagai dimensi kehidupan yang melingkupi siswa sendiri kurang dimaknai sebagai sumber imajinasi karya sastra yang sebenarnya sangat inspiratif, guru sebagai pendamping siswa juga cenderung memaknai pembelajaran sastra secara teoritis saja. Siswa menjadi kurang bebas mengembangkan daya imajiansi dan nalar 26 bersastra. Hal ini berimplikasi pada kurangnya kemampuan meresepsi sekaligus mencipta karya sastra atau fiksi. Berbagai masalah dalam pembelajaran khususnya sastra dan penulisan sastra (karya fiksi) seperti yang telah diuraikan di atas menemukan sinkronisasinya dengan pentingnya studi tentang CLA. Sastra sebagai representasi kehidupan semestinya hidup dengan kehidupan itu sendiri. Pembelajaran sastra juga memiliki posisi yang sejajar dengan hal tersebut, artinya pembelajaran sastra di sekolah semestinya dilakukan melalui pemahaman dan pemaknaan yang mendalam mengenai konteks sosiokultural siswa. Hal ini menjadi prasyarat mutlak juga bagi guru sebagai pendamping siswa dalam belajar untuk menguasai berbagai konsep, pendekatan, maupun metode pembelajaran sastra yang elaboratif dengan berbagai dimensi dan konteks kehidupan. Beberapa penelitian yang terkait dengan studi CLA menjadi bahan kajian yang relevan untuk melakukan penelitian berdasarkan permasalahan yang dihadapi seperti yang telah diuraikan di atas khususnya masalah yang berkaitan dengan pembelajaran sastra dalam menulis karya fiksi. Karena guru dan siswa merupakan pelaku utama dalam sebuah proses pembelajaran, permasalahan ini juga semestinya dicari solusinya secara kolaboratif juga, artinya guru bersama dengan siswa melakukan pemahaman dan pemaknaan terhadap karya sastra dengan keseluruhan aspek yang melingkupinya. Penelitian ini mencoba untuk memberikan salah satu alternatif jawaban terhadap tantangan bagaimana menciptakan pembelajaran sastra terutama penulisan karya fiksi yang kolaboratif baik dari guru maupun siswa. Identifikasi 27 awal terhadap resepsi siswa dan guru mengenai pembelajaran sastra dan cipta karya fiksi menjadi sumber utama rancangan proses penelitian yang akan dilakukan. Kemudian pemahaman dan pemaknaan terhadap proses pembelajaran dan bagaimana mencipta karya fiksi dikaitkan dengan pentingnya studi Kesadaran Berbahasa secara Kritis (CLA). Guru yang berperan sebagai pendidik akan mengikuti training (TOT) untuk memahami secara lebih komprehensif bagaimana pembelajaran sastra semestinya dilakukan. Karya fiksi guru dan karya fiksi siswa sesudah mengikuti proses pembelajaran sastra melalui pemahaman terhadap Kesadaran Berbahasa secara Kritis (CLA) menjadi karya utama dalam penelitian. Dalam hal ini, diharapkan studi dan pemaknaan pembelajaran sastra sebagai proses kreatif produktif menemukan eksistensinya. Bagi siswa dan guru, penelitian ini disamping untuk meningkatkan kemampuan menulis fiksi, juga untuk meningkatkan kepekaan sosial dan kemampuan berpikir analitis dan kritis mereka. Selain itu, pembaca dan masyarakat luas juga dapat menjadikan penelitian ini sebagai salah satu bahan referensi pengetahuan dalam upaya mewujudkan harmonisasi hubungan masyarakat yang multikultur. 28 BAB IV METODE PENELITIAN A. Rencana/Desain Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian multitahun yang dirancang untuk tiga tahun. Pada awal penelitian, identifikasi dan pemetaan bagaimana resepsi kritis kemampuan menulis fiksi guru dan siswa dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD), observasi dan analisis karya fiksi guru dan siswa, wawancara serta pemberian kuesioner. Kemudian, dari hasil analisis pemetaan tersebut, modul mengenai resepsi kesadaran berbahasa secara kritis disusun yang berisi panduan teoretis, desain pembelajaran, contoh aplikasi pembelajaran sastra dengan Kesadaran Berbahasa secara Kritis serta panduan yang dapat digunakan oleh guru. Kemudian, pembinaan secara intensif dan berkelanjutan dilakukan untuk mencapai keberhasilan secara proses yang dilandasi oleh analisis kritis terhadap hal-hal yang terjadi di lapangan. Monitoring pelaksanaan dilakukan serta evaluasi dilaksanakan secara bersama-sama oleh pengembang, guru, dan siswa untuk keperluan penyempurnaan modul. Sosialisasi modul dilakukan sebagai bagian dari diseminasi produk hasil penelitian. Ada juga beberapa side product yang dihasilkan pada tiap tahapan penelitian. Secara umum, rencana atau desain penelitian keseluruhan dapat dilihat pada bagan di bawah ini. 29 Penyusunan modul resepsi kritis (CLA) penulisan fiksi Workshop dan TOT resepsi CLA untuk guru SMA se-DIY Identifikasi masalah resepsi kritis keamampuan menulis fiksi untuk guru dan siswa *RPP penulisan fiksi *fiksi karya siswa Pembinaan penulisan karya fiksi guru kepada siswa Evaluasi proses dan produk revisi modul Validasi modul secara logis dan empiris Observasi (guru, siswa, karya) Kuesioner Focus group discussion (FGD) Pengkajian hasil penelitian relevan Bagan 2. Alur Penelitian CLA Multitahun Tahun ini merupakan tahun pertama pelaksanaan penelitian. Pada tahun ini, penelitian lebih difokuskan pada identifikasi awal situasi dan kemampuan siswa serta guru dalam menulis fiksi. Karena ada beragam jenis karya fiksi, dari beberapa pertimbangan, karya fiksi yang dipilih berjenis cerpen. Hal ini didasarkan pada pertimbangan waktu yang memungkinkan sesuai dengan alokasi waktu penelitian serta pada kemampuan cerpen untuk menjadi wahana penggambaran respons kritis siswa terhadap fenomena di sekitarnya. Siswa dapat menarasikan ide/gagasan cerita mereka secara lebih leluasa sehingga akan tampak 30 Sosialisasi modul kepekaan sosial siswa yang dituangkan dalam cerita, melalui tokoh, alur, dan setting cerita serta unsur-unsur pembangun cerpen lainnya. Beberapa tahapan yang diagendakan pada tahun pertama dapat dirinci sebagai berikut. Bagan 3. Alur Penelitian CLA Tahun Pertama Tahap awal yang dilakukan pada tahun pertama adalah mengidentifikasi kemampuan menulis fiksi. Untuk guru, kemampuan ini diwujudkan dalam mendesain bentuk pembelajaran yang dilakukan di kelas melalui penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP dalam Standar Kompetensi dan 31 Kompetensi Dasar yang berkaitan dengan penulisan karya fiksi. Desain pembelajaran yang sudah disusun oleh guru kemudian dilaksanakan di kelas yang kemudian dihasilkan produk karya fiksi siswa berupa cerpen. Sebelumnya, pengembangan melakukan supervisi dan koordinasi pada bulan Juni 2011 yang dilakukan dengan guru-guru SMA baik negeri maupun swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya, forum diskusi ilmiah diselenggarakan dalam rangka membangun konsep bersama dengan para guru mengenai bagaimana mengajarkan pembelajaran menulis fiksi di sekolah dengan mengenalkan konsep kesadaran berbahasa secara kritis. Selain itu, upaya untuk menggali permasalahan yang dialami guru maka kuesiioner mengenai pembelajran sastra khususnya menulis fiksi diberikan. Telaah pakar untuk melakukan penilaian terhadap RPP guru yang diserta dengan uraian dasar penyusunan RPP dilakukan untuk melihat kesadaran kritis guru mendesain pembelajaran. Kemudian, analisis terhadap karya siswa juga dilakukan untuk melihat kompetensi siswa dalam menulis cerpen dengan berdasar kesadaran berbahasa secara kritis. Sesudah itu, forum evaluasi dilakukan untuk melihat bagaimana hasil pemetaan kemampuan menulis fiksi guru dan siswa sekaligus sebagai upaya reflektif terhadap seluruh rangkaian kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan ini diagendakan akan dilaksanakan pada awal bulan oktober. Sebagai side product tahun pertama penelitian ini, buku mengenai bagaimana motivasi menulis fiksi menjadi pilihan. Buku ini akan dilengkapi dengan contohcontoh aplikatif penulisan karya fiksi yang dilakukan oleh guru dan siswa. 32 Harapannya, karya guru dan siswa disini memiliki tempat dan dapat dipublikasikan. B. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini meliputi: 1. Karya RPP guru dan cerpen siswa 2. Pendidik atau guru Bahasa Indonesia SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 50 orang, terdiri dari 10 guru sebagai wakil tiap kabupaten di DIY. 3. Siswa SMA yang gurunya menjadi subjek penelitian atau sebagai peserta FGD, workshop dan TOT. C. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan khusus pada tahun pertama penelitian untuk identifikasi masalah dan kebutuhan adalah observasi, wawancara mendalam, pengedaran angket, dokumentasi hasil penelitian, dan diskusi. Selain itu, data diperoleh melalui umbar-saran dari ahli sastra dan calon pengguna, baik dalam bentuk lisan (masukan dalam pertemuan) dan kuesioner (masukan tertulis). Metode diskusi ini dicatat dan diimplementasikan dalam draf modul. Sementara itu, motede pengumpulan data untuk tahun penelitian berikutnya akan menyesuaikan dengan jenis data yang akan diperoleh berdasarkan tujuan penelitian. 33 D. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan berbagai metode sesuai dengan data penelitian yang dihasilkan. Untuk tahun pertama, metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pertama, analisis konten akan dilakukan untuk mengetahui resepsi kritis kesadaran berbahasa pada karya fiksi guru dan siswa yang ditunjukkan dari RPP guru dan karya fiksi siswa berupa cerpen. Kedua, setelah hasil resepsi diketahui maka analisis dilakukan dengan membandingkan substansi karya guru dan siswa dengan elemen-elemen yang ada dalam kesadaran berbahasa secara kritis. Selain itu, untuk data hasil wawancara, diskusi, dan catatan lapangan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil analisis kualitatif mendasari disusunnya materi dan modul yang menjadi kegiatan inti pada rancangan tahun kedua. Untuk tahun penelitian selanjutnya, metode analisis data menyesuaikan tujuan penelitian dan jenis data yang diperoleh. Namun secara umum, teknik analisis deskriptif kualitatif dan kualitatif intrepretif banyak dipakai dalam teknik analisis data penelitian ini. E. Validitas dan Reliabilitas Penelitian Untuk mencapai validitas dan reliabilitas penelitian khususnya pada rancangan desain tahun pertama digunakan cek anggota (member check) dan cek orang luar (outsider check). Telaah pakar (expert judgment) juga dilakukan terutama untuk melihat dan menelaah hasil produk karya guru dan siswa. Pakar yang dilibatkan tentu saja yang memiliki keahlian di bidang sastra dan pembelajaran sastra. 34 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini merupakan pemetaan kemampuan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru dan siswa SMA se-DIY baik ditinjau dari proses maupun produk. Kemampuan guru tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran penulisan fiksi yang disusun dengan dilandasi alasan penyusunan serta refleksi terhadap proses pembimbingan penulisan karya fiksi cerpen pada para siswa. Sementara itu, kemampuan siswa tercermin dari kualitas karya yang dihasilkan yakni cerpen. A. Hasil Penelitian 1. Pemetaan Awal Kondisi Pembelajaran Menulis Fiksi di Sekolah Kondisi awal pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi yang dilakukan oleh guru dan siswa di sekolah tergambar dari respons terhadap kuesioner guru serta hasil diskusi pada tahap satu. Kuesioner yang diberikan oleh guru disusun berdasarkan empat aspek, yakni sebagai berikut. a. Relevansi kurikulum pembelajaran menulis fiksi dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan b. Metode pembelajaran menulis fiksi c. Pelaksanaan dan hasil karya pembelajaran menulis fiksi d. Respons terhadap kesadaran berbahasa secara kritis dalam pembelajaran menulis fiksi 35 Keempat aspek ini terurai dalam 28 pertanyaan kuesioner dengan skala likert. Kemudian ada tambahan 2 pertanyaan kuesioner terbuka dengan alasan untuk menggali respons guru secara lebih luas dan mendalam mengenai kendala proses pembelajaran menulis fiksi serta harapan yang diinginkan guru dalam pelaksanaan kegiatan diskusi. Dari hasil rekapitulasi kuesioner guru untuk, aspek relevansi kurikulum dengan kebutuhan pembelajaran sudah baik, dengan skor rerata 4.26. Dari respons guru ini, dapat diartikan bahwa kurikulum pembelajaran menulis fiksi tidak memerlukan perubahan yang berarti karena sudah sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan perkembangan pengetahuan. Pada aspek metode pembelajaran, skor rerata pembelajaran menulis fiksi khususnya cerpen menunjukkan hasil yang cukup baik yakni 3.31. Dalam hal ini, metode yang digunakan guru sudah beragam dan menuntun keaktifan siswa, tidak lagi pada teacher-centered. Aspek pelaksanaan pembelajaran dan hasil karya menulis fiksi masih menunjukkan hasil yang minim, yakni dengan skor rerata 1.93. Hasil ini kontras dengan aspek metode pembelajaran. Banyak karya siswa yang belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Dari hal ini pula dapat dimaknai bahwa pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi masih mengalami banyak kendala yang kemudian berimbas pada hasil karya fiksi siswa. Sementara itu, skor rerata untuk respons terhadap aspek-aspek kesadaran berbahasa secara kritis juga masih minim, yakni dengan skor rerata 2.15. dari hasil ini, dasar mengapa resepsi kesadaran berbahasa secara kritis perlu mendapat 36 perhatian bagi para praktisi pembelajaran sastra dan kegiatan penyusunan model dan modul penulisan karya fiksi dengan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis penting untuk dilakukan. Berikut tabel rekapitulasi skor rerata untuk masing-masing aspek dalam kuesioner guru. Tabel 1. Skor Rerata Respons Awal Guru dalam Pembelajaran Menulis Fiksi Aspek Skor rerata Relevansi kurikulum pembelajaran menulis fiksi dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan Metode pembelajaran menulis fiksi Pelaksanaan dan hasil karya pembelajaran menulis fiksi Respons terhadap kesadaran berbahasa secara kritis dalam pembelajaran menulis fiksi 4.26 3.31 1.93 2.15 Berdasarkan tanggapan tertulis guru dalam kuesioner, pembelajaran menulis fiksi di sekolah juga masih mengalami banyak masalah. Pada umumnya siswa kurang memiliki motivasi kuat dalam mengenal beragam cerpen serta menulis cerpen. Hasil karya-karya cerpen siswa pun juga belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Berikut contoh rekaman tertulis tanggapan guru terhadap permasalahan pembelajaran menulis fiksi di sekolah. 37 Tabel 2. Respons Guru terhadap Pembelajaran Menulis Fiksi PESERTA JAWABAN URAIAN 1 Pada awalnya siswa kurang tertarik dengan penulisan fiksi sehingga perlu diberi motivasi terlebih dahulu; tingkat imajinasi siswa berbeda-beda menyebabkan guru selalu dituntut untuk memberikan variasi motivasi sesuai kebutuhan siswa. Mendapat motode yang praktis dalam memberikan pembelajaran sastra khususnya penulisan fiksi disesuaikan dengan tingkat pengetahuan siswa SMA pada umumnya. 2 Kurangnya minat siswa Siswa sadar, berminat, tergugah hatinya untuk menulis sastra, mengingat pentingnya menulis sastra yang didalamnya bias dituliskan pengalaman hidupnya. 3 Minat siswa dalam keterampilan menulis kuran; perbendaharaan kata/diksi kurang; imajinasi siswa kurang Apresiasi siswa terhadap karya sastra meningkat; siswa dan guru peka terhadap lingkungan/ketimpangan-ketimpangan yang etrjadi di sekitarnya dan menuangkannya dalam karya fiksi yang baik dan menarik. 4 Karya sastra yang dibuat siswa masih etrjebak pada fase muda mereka; eksplorasi juga kurang; salah satu waktu untuk berbicara/berdiskusi tentang sesuatu dengan siswa kurang Semakin banyak ruang untuk siswa dalam memahami sastra; mempublikasikannya. 5 Kesulitan siswa dalam mengungkapkan ide; minat baca siswa masih rendah sehingga kesulitan dalam menulis sastra. Dapat mengubah imajinasi siswa untuk lebih menyukai dalam menulis fiksi; siswa semakin tertarik untuk menulis fiksi; ada model pembelajaran sastra yang lebih menarik. 6 Kepekaan siswa terhadap sekitar (alam, lingkungan, peristiwa) sangat rendah sehingga siswa mengalami kesulitan menemukan ide Pembelajaran sastra; ada model pembelajaran sastra; menulis fiksi; memperkaya pengalaman dan wawasan siswa tentang kehidupan karena dalam menulis fiksi siswa mengalami pengendapan pengalaman Dari tabel di atas, pembelajaran menulis fiksi masih mengalami banyak kekurangan, baik ditinjau dari lemahnya metode yang digunakan, kurangnya pemanfaatan media, rendahnya budaya baca siswa, kesulitas siswa menuangkan ide, dan lain-lain. Hal ini menjadi bahan kajian dan dasar untuk memperbaiki kualitas pembelajaran khususya menulis fiksi. 38 2. Pemetaan Proses Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Fiksi Guru dan Siswa Pemetaan proses pelaksanaan penulisan fiksi khususnya cerpen dapat dilihat dari tiga hal, yakni pemahaman guru terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis yang merupakan hasil dari ToT yang sudah dilakukan, proses pembuatan RPP, serta pembimbingan terhadap siswa dalam menulis cerpen. Ketiga hal ini terekam dalam Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun oleh guru serta uraian guru sebagai hasil dari Forum diskusi kedua yang telah dilaksanakan. RPP menunjukkan proses kegiatan yang akan dilaksanaan dalam pembelajaran di kelas. Dalam menyusun rancangan kegiatan, guru semestinya memiliki dasar yang kuat berkaitan dengan kompetensi dasar yang akan diajarkan, tujuan pembelajaran yang kemudian secara teknis terlihat pada susunan kegiatan awal, inti, dan penutup. Proses pelaksanaan pembelajaran tercermin dalam ketiga rancangan kegiatan ini. Secara umum, proses pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi, dalam hal ini cerpen, yang dilakukan oleh guru sudah memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat secara aktif. Siswa diposisikan sebagai centre dari pembelajaran. Namun, perlu disadari bahwa menulis fiksi bukan merupakan kegiatan yang dapat dilakukan dalam waktu sekejap dan secara spontan. Guru semestinya membimbing siswa mulai dari menggali ide-ide yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan siswa dan masyarakat sekitar kemudian menuangkan ide-ide tersebut yang dipadukan dengan sarana-sarana sastra agar menarik. Pada sebagian RPP yang dirancang guru, guru sudah terlihat menyusun proses kegiatan pembelajaran dengan runtut meskipun ada beberapa yang kurang memberikan 39 arahan kepada siswa khususnya dalam mencari inspirasi sebanyak-banyaknya dan menuntun siswa pada proses berpikir yang kritis. Media yang dipakai guru dalam proses belajar mengajar beragam. Ada yang menggunakan buku teks, koran, contoh cerpen internet, alam sekitar, dan sebagainya. Namun beberapa RPP menunjukkan bahwa media yang digunakan masih sangat terbatas, yakni hanya menggunakan satu cerpen saja, dari koran atau buku. Padahal untuk mengembangkan inspirasi dan motivasi siswa, banyak hal yang bisa dihadirkan, termasuk menggunakan beberapa cerpen karya-karya terkenal di Indonesia maupun cerpen-cerpen dunia. Pada umumnya, siswa diarahkan untuk membaca satu cerpen, baik dari buku, koran, maupun internet. Lalu secara individual maupun berkelompok siswa mengidentifikasi unsur-unsur dalam cerpen. Sesudah itu, guru meminta siswa untuk membuat cerpen. Proses pembelajaran seperti ini kurang memberikan ruang bagi siswa untuk mencari inspirasi sebanyak-banyaknya menurut proses berpikir kritis dan kreatif mereka. Unsur-unsur cerpen masih menjadi andalan bagi guru untuk dianalisis misalnya saja watak tokoh, alur, setting, diksi, dan sebagainya. Namun, bagaimana penulis menghadirkan cerita itu, mengapa penulis muncul inspirasi untuk membuat cerpen tersebut, bagaimana fenomena yang terjadi diramu oleh penulis, serta proses-proses kreatif penulis lainnya kurang diperhatikan oleh guru. Hal ini mengakibatkan kurangnya kesadaran bagi siswa untuk memahami proses kreatif penulis yang akhirnya mempengaruhi proses kreatif menulis siswa atau dapat dikatakan proses berpikir siswa menjadi terlalu 40 sederhana. Berikut contoh RPP yang kurang melibatkan proses inspiratif dan kritis siswa. 1. Kegiatan Awal (Orientasi) Kegiatan orientasi diawali dengan : a. Apersepsi dan motivasi b. Guru menyajikan informasi mengenai penulisan karangan berdasarkan pengalaman diri c. Siswa merespon apersepsi, motivasi, dan informasi materi dari guru 2. Kegiatan Inti Pembelajaran Eksplorasi Meliputi : a. Siswa mencari contoh cerpen dan membacanya di perpustakaan b.Siswa mengidentifikasi tokoh (watak), alur, setting,dan diksi. c. Siswa menentukan relevansi cerpen yang dibaca dengan kehidupan sekarang. Elaborasi a.Siswa mendiskusikan hasil identifikasi cerpen di kelas b.siswa bersama guru mendiskusikan unsur-unsur pembangun cerpen. c. Siswa menentukan gagasan yang akan digunakan untuk menulis cerpen. d. Siswa menentukan kerangka atau garis besar cerita Konfirmasi a. Siswa mengecek kesesuaian gagasan dengan kerangka cerita atau garis besar cerita 3. Kegiatan Akhir a. Guru bersama siswa membuat kesimpulan pembelajaran yang telah dibahas dengan mengacu pada tujuan pembelajaran. b. Guru memberi tugas pada siswa untuk mengembangkan cerita di rumah. Vignet 1. Contoh RPP Pembelajaran Menulis Cerpen 41 Beberapa dasar kajian terhadap pemahaman guru mengenai resepsi kesadaran kritis dapat dilihat pada hasil refleksi dan diskusi pada tahap kedua. Secara terbuka, guru menyampaikan bagaimana proses pembelajaran menulis cerpen yang sudah dilakukan, bagaimana tanggapan mereka terhadap proses tersebut, serta tanggapan siswa dalam proses pembalajaran. Beberapa tanggapan proses pembelajaran menulis cerpen yang dilakukan guru dapat dilihat pada vignet berikut. Vignet 2. Pemahaman Guru terhadap Resepsi Kesadaran Berbahasa Secara Kritis dalam Menulis fiksi (cerpen) Dari vignet di atas dapat diamati bahwa dari forum diskusi yang dilakasanakan, guru dapat berbagi dan bertukar pengalaman bagaimana pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa kritis. Kesadaran terhadap pemanfaatan potensi-potensi dan metode pembelajaran yang berbeda-beda dari masing-masing guru menjadi inti dari uraian tersebut. Pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis juga menjadikan guru dapat menggali 42 persoalan-persoalan tentang ketimpangan yang ada di sekitar siswa yang dapat menjadi sumber inspirasi penulisan karya cerpen. Hal ini dapat diamati pada vignet berikut. Vignet 3. Pemahaman Guru terhadap Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis dalam Menulis Fiksi (cerpen) Dasar kritis proses penyusunan RPP menjadi poin dalam melihat pemetaan terhadap proses pelaksanaan penulisan fiksi yang ditinjau dari guru. RPP yang dirancang semestinya dilandasi dengan alasan dan daya kritis mengapa merancang pembelajaran seperti yang tertuang dalam RPP. Berikut beberapa contoh uraian proses pembuatan RPP. Vignet 4. Uraian Dasar Penyusunan RPP 43 Vignet 5. Uraian Dasar Penyusunan RPP Dari vignet di atas, guru menyusun RPP dengan dilandasi kesadaran terhadap kondisi siswa, sarana multiliterasi yang tersedia, serta proses penulisan cerpen yang membutuhkan waktu agal lama. Hal ini menunjukkan bahwa guru sudah berpikir kritis dan sadar terhadap kondisi yang dihadapi yang kemudian menjadi dasar terhadap penyusunan kegiatan pembelajaran yang dilakukan (sesuai konteks). 3. Pemetaan Hasil Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Fiksi Guru dan Siswa Hasil pelaksanaan penulisan fiksi dalam penelitian ini merupakan produk yang dapat ditinjau dari dua hal, yakni produk dari guru dan produk dari siswa. Produk dari guru berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) terkait kompetensi penulisan fiksi berupa cerpen. Sementara itu, produk dari siswa merupakan karya cerpen hasil pembelajaran menulis fiksi cerpen. Berikut uraian untuk masng-masing produk hasil penelitian. Hasil pelaksanaan juga akan dilihat dari respons guru pada forum diskusi kedua. Berikut uraiannya selengkapnya. 44 a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Guru untuk Kompetensi Penulisan Fiksi (Cerpen) Melalui validasi pakar, pemetaan terhadap produk RPP guru dapat dilakukan. Beberapa aspek yang divalidasi merupakan komponen pokok RPP yang kemudian disesuaikan dengan dasar pemikiran kritis dalam menyusun RPP. Hal ini merupakan wujud praktis kesadaran kritis dari guru sehingga RPP yang dirancang bukan hanya sekedar pemenuhan aspek formalitas saja, namun guru hendaknya memiliki kesadaran mengapa merancang pembelajaran sebagaimana yang dituangkan dalam RPP tersebut. Oleh karena itu, para guru diharapkan menulis alasan atau dasar penyusunan RPP. Aspek-aspek validasi RPP berikut penjelasannya adalah sebagai berikut. 1) Kesesuaian RPP dengan Kurikulum Selama ini banyak guru yang mengkhawatirkan format RPP yang mereka susun. RPP memang memiliki format khusus yang telah diatur dalam standar penyusunan RPP. Format ini sebenarnya untuk membantu agar susunan RPP runtut dan poin-poin substansial dalam RPP tidak terlewatkan. Namun dalam kenyataannya, banyak guru yang justru meributkan aspek formalitas RPP dan tidak jarang ditemui perbedaan paham mengenai susunan RPP. Lebih buruknya lagi, hal itu berimbas pada aspek substansial RPP yang sering terlewatkan karena aspek formalitas menyita lebih banyak perhatian. Tentu saja, hal ini dapat memberikan efek kurang baik bagi terciptanya rencana pembelajaran yang benarbenar berorientasi pada siswa karena aspek substantif materi kurang diperhatikan. 45 RPP merupakan wadah bagi guru sebagai bentuk otonomi sekolah dalam memanfaatkan sumber daya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru sebagai pengampu mata pelajaran dapat mengembangkan materi berdasarkan hasil kerja pikir pengembangan ilmu serta pemanfaatan segala sumber daya sekitar termasuk kualitas diri dari guru tersebut. Dari pemahaman ini, maka implikasi yang seharusnya timbul yakni RPP suatu sekolah pasti berbeda dengan sekolah lain karena guru berbeda dan sumber daya yang dimanfaatkan pun juga berbeda. Namun, dari hasil evaluasi yang dilakukan, banyak diantara guru yang hanya asal copy paste RPP sekolah lain untuk kepentingan praktis. Maka tidak heran jika RPP di Papua dijumpai ternyata sama dengan RPP di Jogjakarta. Hal ini menjadi bahan diskusi juga pada forum diskusi ilmiah dengan guru. Forum ToT yang dilaksanakan pada 12 Juli 2011 mengajak para guru untuk menyusun dasar rancangan kerja RPP yang dilandasi dengan kesadaran akan kebutuhan para guru dalam memecahkan masalah yang sering terjadi sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya dalam penulisan fiksi. Karena jenis karya fiksi bermacam-macam, ada satu jenis fiksi yang dipilih untuk dijadikan orientasi produk yakni cerpen, sebagaimana yang sudah termuat dalam judul penelitian ini. Disamping karena ada Kompetensi Dasar yang dituntut dalam kurikulum terkait penulisan cerpen, karya fiksi berbentuk cerpen memberikan ruang bagi siswa untuk berimajinasi dan mencipta karya sastra yang erat dengan kehidupan mereka sehari-hari, bahasanya ringan, tidak terlalu panjang (dalam hal kuantitas tulisan), serta dapat menjadi media yang sesuai untuk menunjukkan kemampuan siswa. 46 Hasil validasi pakar menunjukkan bahwa hampir semua RPP yang disusun oleh guru sudah memenuhi kesesuaiannya dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar berdasarkan kurikulum. hal ini dapat dipahami karena memang di tingkat SMA ada beberapa KD terkait dengan menulis cerpen yang dapat menjadi pilihan guru untuk dikembangkan dengan menyesuaikan tema penelitian ini. hal ini dapat ditunjukkan dalam lampiran mengenai validasi pakar khususnya untuk kesesuaian RPP dengan kurikulum. 2) Dasar Kritis Pengembangan Metode/strategi Cerpen Pembelajaran Menulis Dalam RPP baik secara eksplisit maupun implisit tertuang strategi atau metode pembelajaran yang dilakukan. Komponan ini memiliki andil besar dalam menentukan apakah proses pembelajaran yang dilakukan sesuai, inovatif, berkualitas, dan berfokus pada siswa. Metode-metode pembelajaran dapat dipelajari dari berbagai literatur. Sebagai guru, sudah menjadi keharusan untuk mempelajari berbagai metode pembelajaran agar kelas yang dirancang menyenangkan, Siswa dapat mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki dan yang tidak dapat terlewatkan adalah materi pembelajaran dapat disampaikan dengan tepat. Dalam pembelajaran menulis fiksi, berbagai referensi metode pembelajaran dapat diacu. Metode apa atau metode yang bagaimana yang paling tepat bagi siswa? Tentu saja, metode yang paling tepat adalah yang sesuai dengan tujuan, situasi, kondisi siswa, sarana prasarana serta menginspirasi siswa untuk mampu menulis fiksi khususnya cerpen dengan baik. 47 Alam, lingkungan, kebiasaan sehari-hari, peristiwa yang dilihat, berita, dan sebagainya dapat menjadi inspirasi dalam menulis cerpen. Bahkan mimpi pun dapat menjadi media dalam menyampaikan materi yang kemudian menjadi inspirasi menulis cerpen. Metode kontekstual dapat menjadi pilihan bagi guru untuk mengembangkan RPP. Namun dari hasil validasi ahli, dasar kritis pengembangan metode atau strategi pembelajaran belum tampak baik. Dalam uraian validasi, ternyata “Strategi PBM terlalu global, belum tampak aktivitas nyata langkah-langkah PBM, (metode informasi terlalu umum)”. Hal ini dapat diamati pada contoh validasi RPP. Juga dapat dilihat pada contoh validasi lain terkait pengembangan metode pembelajaran menulis fiksi yang dilakukan guru bahwa “Pada aktivitas, masih ada lompatan aktivitas, belum secara runtut. Contoh: siswa diskusi tentang cerpen langsung diminta membuat cerpen”. 3) Dasar Kritis Pemanfaatan Media Pembelajaran Menulis Cerpen Dalam pembelajaran menulis cerpen, media pembelajaran yang dipakai sangat penting terutama untuk memunculkan daya imajinasi siswa. Dari imajinasi itulah siswa dapat memunculkan karya kreatif fiksi karena sebuah karya cipta tidak akan dapat terwujud tanpa adanya imajinasi. Segala yang ada di sekitar siswa, kelas, atau sekolah dapat menjadi media. Di era sekarang, media internet memberi ruang yang lebih luas bagi siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan mengenai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memunculkan daya imajinasi menciptakan cerpen. Sesuai dengan pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis, alasam mengapa 48 guru memakai media tertentu merupakan aspek penting dalam mengkaji daya kritis guru. Dari hasil validasi RPP yang telah dilakukan, sebagian besar menunjukkan bahwa “antara media dengan tugas pada siswa tidak relevan”. Misalnya, ada RPP yang minta siswa untuk membaca cerpen “Katurangan” KARYA Slamet Nurzaini untuk tugas tatap muka, namun kegiatan yang dilakukan adalah mencari informasi dari siswa tentang cerpen dari internet. Beberapa RPP guru menunjukkan pula bahwa media yang digunakan masih konvensional, yakni dengan buku dan koran. Resepsi kesadaran berbahasa secara kritis memberikan pemahaman terhadap guru dan siswa bahwa fenomena atau segala sesuatu yang ada di sekitar adalah media yang penting dan bermanfaat untuk mengembangkan imajinasi siswa. Kejadian yang dijumpai siswa ketika berangkat sekolah, mimpi yang dialami siswa malam sebelum berangkat sekolah, acara-acara televisi yang ditonton siswa, berbagai gambar yang dapat diunduh dari internet, foto-foto siswa ketka mereka pergi bermain dengan keluarga atau teman sebenarnya merupakan media menarik yang sesuai dengan konteks siswa. Dari media-media ini, siswa akan lebih dapat merasakan apa yang etrjadi dan cerita rekaan apa yang akan mereka ciptakan karena siswa mengalami sendiri hal-hal tersebut. guru tampak belum mengekslporasi potensi-potensi yang merupakan pengalaman siswa itu sendiri. Meskipun ada juga guru yang sudah mengajak siswa untuk benar-benar berpikir dengan dilandasi kesadaran kritis untuk menciptakan cerpen. Uraian guru mengenai pembelajaran yang dilakukan sudah menunjukkan proses yang sesuai dengan konsep kesadaran kritis (hal ini akan 49 dibahas pada bagian selanjutnya). Namun dalam RPP, proses yang menunjukkan hal ini kurang tampak sehingga sebagian besar hasil validasi RPP menunjukkan bahwa guru belum dapat memanfaatka media dengan optimal. 4) Dasar Kritis Penilaian Kompetensi Siswa dalam Menulis Cerpen Penilaian merupakan bagian penting yang harus dilakukan guru dalam menilai kompetensi siswa yang didasarkan pada tujuan dan indikator keberhasilan pembelajaran. Melalui sistem penilaian yang dilakukan, guru dapat menyimpulkan apakah proses pembelajaran yang dilakukan berhasil atau belum berhasil sehingga harus dilakukan pengulangan maupun pengayaan untuk siswa. Refleksi dari hasil penilaian yang dilakukan guru juga penting untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya yang menuntun guru untuk terus berinovasi mengembangkan pembelajaran yang berkualitas. Dari hasil validasi RPP, dasar kritis peilaian kompetensi siswa dalam menulis cerpen masih menunjukkan beberapa kelemahan, bahkan ada beberapa RPP yang tidak mencantumkan cara penilaian atau biasa disebut dalam poin evaluasi pembelajaran. Sebagian besar RPP menunjukkan sistem penilaian yang dilakukan masih terlalu general, hanya melihat pada aspek isi dan bahasa saja. Penilaian yang dilakukan guru dapat tercermin juga dalam latihan-latihan yang diberikan. Tugas individu maupun kelompok dapat digunakan guru, namun seharusya perlu diuraikan lebih lanjut macam tugas apa yang diminta sebagai tagihan dari siswa. Pemahaman terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis menuntun guru untuk memahami kesadaran kritis terhadap keseluruhan aspek pembelajaran. 50 Kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran menjadi kunci penting dalam menentukan bagaimana sistem penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru karena penilaian sendiri harus didasarkan pada indikator pencapaian kompetensi yang harus dikuasai siswa serta apa tujuan pembelajaran yang dilakukan. Hal ini tampaknya belum disadari sepenuhnya oleh guru. b. Produk Cerpen Karya Siswa Cerpen karya siswa menjadi bahan kajian penting dalam melihat keberhasilan guru dan resepsi siswa dalam penulisan karya fiksi cerpen. Guru melakukan pembimbingan pada siswa untuk menulis karya fiksi dengan dilandasi kesadaran berbahasa secara kritis dan siswa memberikan respons dengan menuliskan daya kreativitasnya dalam menulis cerpen. Ada 70 cerpen siswa yang terkumpul sebagai produk pembelajaran menulis fiksi cerpen. Validasi cerpen dilakukan oleh ahli pembelajaran sastra terhadap beberapa aspek kesadaran berbahasa secara kritis. namun begitu, penilaian terhadap cerpen secara umum juga dilakukan. Aspek penilaian cerpen dengan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis didasarkan pada dimensi kesadaran kritis yang disesuaikan dengan kompetensi penulisan karya fiksi. Aspek yang dinilai meliputi: 1) Penggunaan sarana bahasa untuk kekuatan cerita 2) Kepekaan terhadap pergeseran bahasa 3) Komitmen penulis pada proposisi 4) Pemetaan diri terhadap lingkungan sosial, budaya, politik 51 5) Pemetaan masyarakt sebagai bagian dari diri penulis, kesadaran terhadap emansipasi dan demokrasi 6) Kesadaran terhadap relevansi cerita dengan kehidupan. Aspek-aspek di atas memang sangat kompleks dan tentunya membutuhkan kecrematan dalam melakukan penilaian. Oleh karena itu, hal ini menjadi kerja besar bagi validator untuk melihat kualitas cerpen siswa yang disesuaikan dengan konsep resepsi kesadaran berbahasa secara kritis. Hasil validasi menunjukkan bahwa ada beberapa cerpen siswa yang sudah menunjukkan kekuatan bahasa dan pemetaan diri siswa di tengah lingkungan sosialnya, misalnya saja pada cerpen Bintang yang Jatuh, Diary depresiku, Hanya Kisah Hanya Suara, Arti Persahabatan. Cerpen-cerpen tersebut berisikan ekspresi siswa terhadap segala perasaan yang mereka miliki maupun respons terhadap fenomena sosial di sekitar mereka dengan memanfaatkan unsur budaya yakni budaya jawa. Misalnya saja dapat dicermati pada penggalan kisah cerpen Hanya Kisah Hanya Suara berikut. 52 Si Bocah penjual Koran, berlarian kecil menghampiri sebuah truk kuning pengangkut barang. Ia menengadah, memandang gelagat sopir gemuk dengan sebuah batang rokok disela mulutnya. “Korannnya pak” tawar si bocah sembari mengangkat tinggi Koran jajakannya. “Tidak dek.” Ujar sopir itu begitu santainya “Dari pada kamu jualan Koran, ya mbok sekolah tho dek.” Kemudiam menghisap kembali rokoknya, deng menyembulkan asapnya ke udara. “Tidak ada biaya pak, bapak saya cuma seorang kuli.” Jawab bocah itu dengan wajah penuh harap si sopir akan membeli korannya. “Oalah, gendheng. Jogja iki kota pendidikan, tetep ora ethis ana bocah ora sekolah malah kluyuran neng dalan.” Sahut si sopir “Lha, pemerintah ada bantuan untuk anak-anak yang tidak mampu, kalau tidak bisa kamu manfaatkan, gimana tidak dikorupsi sama pejabat?!” Vignet 6. Contoh Penggalan Cerpen Siswa Dari hasil validasi ahli, sebagian besar cerpen mengangkat tema-tema yang sudah biasa diangkat dalam cerita. Konflik yang dihaditkan pun kurang tajam sehingga kemenarikan cerita menjadi kurang. Hal ini dapat menjadi refleksi bagi guru untuk melakukan refleksi dan perbaikan proses pembelajaran. Dari Forum diskusi kedua yang dilaksanakan, kesadaran guru terhadap kekurangan inipun juga muncul. Hal ini dapat dilhat pada uraian hasil diskusi berikut. 53 Vignet 7. Tanggapan Guru terhadap Kemampuan Siswa Menulis Cerpen Tanggapan pada vignet di atas merupakan tanggapan dari Bu Indri, salah satu peserta diskusi. Kemudian oleh peserta lain yang mendasarkan masalah pada kurangnya minat baca siswa sehingga mereka belum memiliki referensi untuk mengembangkan cerita agar menarik dan mencapai konflik yang tajam. Berikut vignet tanggapan Bu Shinta terkait lemahnya kebiasaan membaca. Vignet 8. Tanggapan Guru terhadap Kelemahan Kompetensi Siswa 54 c. Respons Guru terhadap Pembelajaran Menulis Fiksi dengan Kesadaran Berbahasa secara Kritis Dari diskusi kedua yang diselenggarakan, kesadaran dan respons guru terhadap pelaksanaan pembelajaran menulis fiksi dengan kesadaran berbahasa secara kritis terlihat dari uraian mereka mengenai bagaimana proses pelaksanaan penulisan cerpen yang harus dilaksanakan dengan konsep kesadaran berbahasa secara kritis. Hal ini dapat dicermati pada vignet berikut. Vignet 9. Contoh Uraian Guru Mengenai Proses Pembelajaran Menulis Cerpen Dari uraian tersebbut terlihat pemanfaatn media seperti musik, video klip dapat digunakan oleh guru untuk merangsang daya imajinasi siswa dalam menulis 55 cerpen. Proses pembimbingan pun semestinya dilakukan dengan menyesuaikan kondisi siswa serta kelas harus dirancang agar menyenangkan. Namun ada pula hasil refleksi guru yang perlu dipertimbangkan yakni mengenai kebutuhan terhadap waktu. Proses pembimbingan dari mulai penyampaian materi sampai pada penciptaan produk dan penilaian membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Menumbuhkan kepekaan dan siswa tentunya tidak dapat dilakukan secara instan. Kesadaran harus berasal dari refleksi dan kerja pikir yang didasarkan pada pengalaman hidup siswa sendiri. Uraian tersebut dapat diamati pada vignet berikut. Vignet 10. Contoh Uraian Guru Mengenai Proses Pembelajaran Menulis Cerpen 56 Forum diskusi memberikan ruang bagi para guru sekaligus peneliti untuk saling berbagi. Beberapa masukan, referensi yang kemudian menuntun pada refleksi dari masing-masing guru sekaligus peneliti muncul dalam diskusi. Hal ini memberikan manfaat yang begitu besar khususnya sebaai bahan kajian utuk mengembangkan lebih lajut pembelajaran menulis fiksi khususnya cerpen agar lebih berkualitas. B. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini didasarkan pada data penelitian yang diperoleh dan disesuaikan dengan tujuan penelitian pada bab I Pendahuluan. Uraian pembahasan akan disajikan dalam tiga bagian, yakni pembahasan mengenai kemampuan guru dan siswa dalam penulisan karya fiksi, pembahasan mengenai pemetaan resepsi kesadaran berbahasa secara kritis karya fiksi guru dan siswa, serta rancangan materi dan modul penulisan fiksi untuk guru dan siswa. 1. Kemampuan Guru dan Siswa dalam Penulisan Karya Fiksi Permasalahan pembelajaran bahasa dan sastra memang tidak pernah ada akhirnya. Hal ini dapat dipahami karena bahasa dan sastra selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Bahasa merupakan media komunikasi sosial masyarakat dalam menyampaikan ide, gagasa, pemikiran kepada sesama. Sementara itu, sastra dapat dipandang sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri. Tidak berlebihan jika sastra dianggap sebagai salah satu artefak masyarakat yang juga merupakan bagian dari hasil budidaya manusia. 57 Melalui sastra, pola kehidupan, pandangan, pola pikir, dan perkembangan keilmuan masyarakat dapat diketahui. Ekspresi, luapan perasaan, ataupun tanggapan seorang penulis terhadap fenomena sekitar akan tercermin dalam karya sastra. Dari sinilah, identifikasi terhadap era, semangat zaman, maupun realitas sosial masyarakat dapat dilakukan. Dalam bidang pendidikan pun khususnya pembelajaran sastra, siswa sebagai penulis sastra harus mampu menghadirkan gambaran-gambaran realitas sosial dan ekspresi diri mereka. Tentu saja ekspresi ini akan terkait dengan perkembangan psikologis siswa yang sudah kaya dengan pengalaman-pengalaman sejak kecil. Sumber inspirasi menulis cerita dapat berasal dari mana saja. Melalui berbagai sarana-prasarana yang tersedia sekarang, pengetahuan dunia dapat diperoleh dari manapun. Internet misalnya, telah menjadi alat untuk membuka pintu-pintu wawasan atas segala yang terjadi di seluruh tempat di dunia. Semuanya dapat diperoleh dengan lengkap. Maka, dengan tersedianya fasilitas ini, tidak ada alasan bagi para siswa maupun praktisi pendidikan untuk tidak mengetahui berita-berita atau kejadian yang berkaitan dengan realitas sosial masyarakat dunia. Guru pun dapat memanfaatkan berbagai media yang telah tersedia. Materi dari koran, internet, buku, dan sumber-sumber lain dapat menjadi pegangan dalam membimbing siswa bagaimana berproses kreatif sastra yang baik, artinya pemahaman dan dasar kritis penyusunan karya sastra lebih dikedepankan daripada hanya sekedar berorientasi pada produk akhir saja. 58 Dari data hasil penelitian yang diperoleh, kemampuan guru dan siswa dalam penulisan karya fiksi ditinjau baik secara proses maupun produk. Secara proses, guru melakukan studi, mengkaji, ilmi penulisan sastra atau karya fiksi, dalam hal ini cerpen melalui berbagai sumber. Guru juga melakukan diskusi ilmiah untuk berbagi dan melakukan brainstorming pembelajaran menulis fiksi yang mereka laksanakan maupun yang ideal untuk diaplikasikan dalam kelas. Dari telaah ahli dan kajian yang komprehensif yang dilakukan, proses yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan keterampilan menulis cerpen memang masih menemui banyak kendala. Umumnya, kendala ini terkait dengan motivasi siswa untuk menulis yang kurang serta minat baca siswa yang terlalu rendah. Membangkitkan motivasi menulis cerpen memang bukan sesuatu hal yang mudah. Guru harus melakukan identifikasi terhadap pribadi siswa, apa yang membuat siswa tidak tertarik menulis cerpen, dan kemudian merancang metode yang tepat dan menarik minat siswa dengan memanfaatkan berbagai media pembelajaran yang ada. Hal ini tercermin dari dasar penyusunan RPP guru serta kegiatan yang dirancang dalam RPP dengan memanfaatkan berbagai media yang digunakan. Permasalahan lain juga terkait dengan kemampuan guru meramu dan merancang pembelajaran. Mengenal karakter siswa, mengakses pengetahuan yang sesuai dengan minat siswa dan perkembangan psikologis siswa juga membutuhkan ilmu yang tentunya harus dikuasai oleh guru. Pembelajaran yang monoton, terlalu banyak ceramah tentu saja tidak sesuai dengan kebutuhan pembalajaran menulis fiksi. 59 Namun dari kajian terhadap refleksi diri para guru, proses yang dilakukan guru dalam membimbing proses kreatif siswa setelah mengikuti workshop sudah lebih baik. Berikut contoh kutipan refleksi guru yang dapat dicermati. - - Siswa (kemampuan menulis cerpen) sebenarnya setiap siswa itu berbedabeda, bagi yang belum bisa atau tidak ada minat kami selaku guru selalu memberi motovasi dan selalu menunukkan hasilnya, kemudian anak itu akan termotivasi untuk menulis karena pendekatan guru dan bimbingan yang tidak pernah bosan-bosan Proses pembuatan RPP sebenarnya sudah kewajiban kita sebagai guru dan itu pasti ada, Cuma kita harus selalu mengembangkan RPP itu, baik materi maupun contoh-contohnya. Vignet 11. Contoh Refleksi Proses oleh Guru Dari vignet kutipan refleksi guru di atas terlihat bahwa guru sudah melakukan identifikasi dan refleksi terhadap kebutuhan pembelajaran menulis cerpen. Ada beberapa hal yang semestinya menjadi kemampuan dasar yang harus dikuasai guru, selain juga kemampuan-kemampuan lain yang harus dikembangkan. Kesadaran guru terhadap pengembangan RPP juga sudah tampak. Hal ini mengindikasikan dampak yang positif dari pengalaman mengajar guru dan hasil sharing bersama dalam diskusi. Respons lain dari perbaikan secara proses yang dilakukan oleh guru dapat dicermati pula dalam contoh vignet berikut. - - Ternyata setelah mendengarkan pengalaman guru-guru, saya dapat menyimpulkan bahwa masing-masing guru punya cara yang unik. Tujuannya sama, siswa dapat membuat produk. Dengan cara pemodelan, tunjukkan beberapa cerpen. Kiteria cerpen dan unsur-unsurnya. Beri semangat, beri kemungkinan memunculkan gagasan baik pengalaman pribadi atau orang lain. Vignet 12. Contoh Refleksi Proses oleh Guru 60 Pengetahuan guru terhadap berbagai cara membelajarkan sastra dapat menjadi modal yang sangat besar untuk menyusun metode dan memanfaatkan media pembelajaran yang tepat. Dengan referensi yang beragam ini, guru menjadi lebih inovatif mengembangan model-model pembalajaran menulis sastra atau fiksi yang harapannya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran baik secara proses maupun produk. Bagi siswa, proses menulis fiksi cerpen mungkin menjadi mudah, namun banyak juga yang beranggapan kegiatan ini sulit dilakukan. dari respons dan jawaban guru, kendala terbesar dari siswa adalah kurangnya minat baca. Dari membaca berbagai jenis karya sastra, sebenarnya siswa akan mengetahui bagaimana seorang penulis menghadirkan kejuta, menonjolkan karakter tokoh, membuat alur yang mengalir dan selalu menimbulkan rasa ingin tahu pembaca. Dengan membaca dan memplejarai cerpen-cerpen yang berkualitas, siswa dapat mengenal bagaimana cerpen yang baik dapat dihasilkan oleh seorang penulis. Ketika minat baca renda, atau bahkan siswa belum pernah membaca cerpen proses dan pengetahuan berpikir tersebut tidak terlibat dalam tahap proses kreatif menulis cerpen. Akibatnya, karya siswa menjadi sangat biasa, tidak mampu menghadirkan sesuatu yang unik dan menarik hati pembaca, bahkan cerita hanya dangkal saja. Dari tinjauan produk, karya siswa banyak yang sudah menggambarkan ekspresi jiwa dan respons terhadap fenomena sekitar. Kriteria yang dipakai memang diperuntukkan bagi siswa SMA. Dari hasil validasi ahli, cerpen-cerpen 61 karya siswa banyak yang masih terkesan dangkal. Namun beberapa karya cerpen sudah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. 2. Pemetaan Resepsi Kesadaran Berbahasa secara Kritis Karya Fiksi Guru dan Siswa Melalui pemahaman bahwa sastra merupakan representasi respons manusia terhadap lingkungan pribadi, sosial, masyarakat, maupun dunia global inilah kesadaran berbahasa secara kritis menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan dalam proses penyusunan karya fiksi. Seperti yang telah dinyatakan di bagian sebelumnya bahwa pemetaan terhadap resepsi kesadaran berbahasa secara kritis untuk guru tercermin terutama dari produk RPP yang disusun. RPP ini dikaji dengan mempertimbangkan beberapa aspek konsep teoretis kesadaran berbahasa secara kritis yang disesuaikan dengan komponen-komponen dalam RPP. Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam RPP yakni sebagai berikut. a. Kesesuaian RPP dengan kurikulum b. Dasar kritis pengembangan metode/strategi pembelajaran c. Dasar kritis pemanfaatan media pembelajaran d. Dasar kritis penilaian karya siswa Penentuan keempat aspek di atas didasarkan pada kajian komprehensif RPP yanag bertolak dari landasan konseptual dan prosedural, khususnya pada aspek kesesuaian RPP dengan kurikulum. kemudian, aspek selanjutnya yakni dasar kritis pengembangan strategi dan metode pembelajaran berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru semestinya 62 memiliki landasan kuat dalam memilih metode atau strategi pemebelajaran yang tepat. Banyak sekali strategi maupun metode pembelajaran menulis fiksi. Satu hal yang harus dipahami bahwa tidak ada metode yang paling bagus baik. Namun, metode yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan tersediaya saranalah yang paling tepat untuk dipilih, tentu saja dengan mempertimbangkan jenis atau topik materi yang disampakan. Oleh karena itu, dasar kritis mengapa guru memilih strategi atau metode pembelajaran semestinya menjadi bagian dari resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru juga. Dari data yang diperoleh, masing-masing guru memang memiliki keunikan dan cara sendiri dalam membelajarkan menulis cerpen. Ada yang dengan mengajak siswa keluar kelas/ruangan kemudian meminta siswa untukmencari inspirasi dan menuliskan inspirasinya ke dalam sebuah cerpen. Ada guru yang memilih metode modelling yakni dengan mengajak siswa membaca cerpen kemudian menganalisis unsur-unsur yang ada dalam cerpen. Sesudah itu siswa diminta untuk menulis cerpen mereka. ada pula guru yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memiliih cerpen dari internet, buku, atau koran kemudian menganalisis unsur-unsurnya. Sejauh metode ini memang dapat diikuti siswa dan menjadikan kelas menyenangkan sehingga dapat menarik minat siswa, guru dapat mengembangkan lebih lanjut penerapan strategi tersebut. Tentu saja, guru juga harus senantiasa melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan, apakah sudah tepat atau belum, atau masih perlu perbaikan. 63 Di era multiliterasi ini, paradigma yang berkembang dalam pembelajaran baca-tulis (literasi) yakni adanya sarana literasi yang beragam (multi) yang dapat dimanfaatkan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Sarana literlahasi yang dimaksud dapat dijadikan media dalam pembelajaran. Pemanfaatan media memang sangat penting dalam menciptakan suasan belajar yang menyenangkan, innovatif, dan inspiratif. Apalagi dalam pembelajaran menulis kreatif fiksi, media yang dipakai harus mampu membangkitkan inspirasi dan motivasi siswa dalam menemukan ide dan mengembangkan cerita. Dari hasil telaah dasar kritis penggunaan media, banyak guru yang belum memanfaatkan media dengan maksimaal. Dalam pembelajaran menulis cerpen, media yang dipakai tidak hanya terbatas pada contoh cerpen saja. Hal ini dikarenakan akan berdampak kurang baik pada siswa yang memang tidak menyukai cerpen. Guru dapat memakai media yang erat dengan kehidupan siswa, misalnya saja kartu mimpi, kartu ucapan ulang tahum, pengalaman ketika beragkat ke sekolah, diary, foto, facebook, dan sebagainya. Tampaknya pemnafaatan media pembelajaran masih menjadi kelemahan dari sebagian besar para guru sehingga siswa menjadi kurang tertarik dengan membaca dan menulis cerpen. Menentukan aspek-aspek penilaian kualitas baik proses maupun produk dalam pembelajaran menulis memang bukan merupakan hal yang mudah. Guru hatus memiliki landasan konseptual dna teoretis yang jelas mengenai materi serta bagaimana sistem penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi yang disampaikan. Hal ini menjadi kelemahan sebagian besar guru yang kurang 64 menguasai sistem penilaian dengan baik. Jika kualitas cerpen siswa hanya ditentukan dari unsur-unsur pembangun cerita seperti alur, penokohan, setting, dan lain-lain maka nantinya karya siswa hanya akan menjadi karya yang biasa tanpa didasari pada pemahaman kritis terhadap fenomena yang terjadi di kehidupannya. Oleh karena itu, penilaian terhadap karya siswa untuk mengkaji kualitas cerpen didasarkan pada penilaian cerbeberapa elemepen secara umum dan penilaian menurut elemen kesadaran berbahasa secara kritis. Adapun rincian aspek-aspek penilaian cerpen antara lain sebagai berikut. a. Penilaian cerpen secara umum, terdiri dari: 1) Kemenarikan judul 2) Penggunaan bahasa figuratif 3) Penciptaan alur cerita 4) Penggunaan setting 5) Penggambaran tokoh 6) Kedalaman makna b. Penilaian cerpen dengan kesadaran berbahasa secara kritis, terdiri dari: 1) Penggunaan sarana bahasa untuk kekuatan cerita 2) Kepekaan terhadap pergeseran bahasa 3) Komitmen penulis pada proposisi 4) Pemetaan diri terhadap lingkungan sosial,budaya, politik 5) Pemetaan masyarakat sebagai bagian dari diri penulis 6) Kesadaran terhadap emansipasi dan demokrasi 7) Kesadaran terhadap relevansi cerita dengan kehidupan 65 Dari hasil telaah produk cerpen karya siswa, untuk penilaian cerpen secara umum pada dasarnya hampir semua karya siswa sudah memenuhi aspek-aspek tersebut. namun, aspek-aspek dalam kesadaran berbahasa secara kritis belum tampak jelas pada sebagian besar karya siswa. Dalam proses kreatif menulis, siswa berdiri dan berposisi sebagai penulis yang kaya akan berbagai pengalaman, pengamat yang memiliki referensi pengetahuan yang berbeda setiap hari, serta pengarang cerita yang memiliki kekuatn untuk mengajak pembaca dan mempengaruhi pembaca masuk ke alam dunia pikiran penulis. Oleh karena itu, sarana-sarana pembangun kekuatan yang dihadirkan dalam cerita harus dapat menjadi alat yang tepat untuk membangun kekuatan penulis. Dengan kata lain, proposisi yang dimunculkan harus didukung oleh sarana kebahasaan yang kuat. Siswa sebagai penulis harus dengan sadar mengerti dan memahami fenomena di sekitar mereka. Oleh karena itu, posisi penulis dalam lingkungan sosial, budaya, dan politik harus jelas juga. Dengan kepekaan pengamatan siswa, cerita pendek yang dibangun tidak akan “berada di atas awan”, namun cerita tersbeut hidup dalam lingkungn penulis dan pembaca sehingga cerita akan lebih mudah diterima, mudah dicerna, menimbulkan ketertarikan untuk terus menerus membaca, dan tentu saja sarat akan nilai-nilai kehidupan. 3. Rancangan Materi dan Modul Menulis Fiksi untuk Guru dan Siswa Pembahasan mengenai racangan materu dan modul menulis fiksi merupakan bagian dari tujuan penelitian. Gambaran awal bagaimana materi dan modul yang akan disusun sebenarnya bertolak dari hasil pemetaan terhadap proses dan produk 66 penelitian baik dari proses yang dilakukan guru dan peneliti dalam diskusi, proses guru dalam pembelajaran dan pembimbigan siswa, proses siswa dalam menulis cerpen, produk RPP guru, maupun produk karya cerpen siswa. Dari hasil penelitian yang diperoleh, satu kesimpulan yang dapat ditarik sebagai dasar pengembangan materi dan modul menulis fiksi adalah bahwa perlu adanya petunjuk praktis dan sederhana bagi guru dan siswa sehingga materi dan modul tersebut dapat diaplikasikan secara mandiri oleh guru dan siswa di sekolah. Modul yang disusun secara komunikatif dan inspiratif sehingga kesadaran kritis guru dan siswa akna terbangun. Penyusunan materi dan modul merupakan agenda penelitian pada tahun kedua. Oleh karena itu, bahasan bagian ini tidak diuraikan secara lengkap karena pada tahun pertama penelitian hanya berupa identifikasi terhadap materi dan modul yang sesuai dan komprehensif dengan mempertimbangan kebutuhan pemenuhan kurikulum, kompetensi yang harus dikuasai siswa, kemudahan guru dalam membelajarkan materi dan modul, kemudahan siswa dalam mempelajari modul, serta kualitas modul itu sendiri. 67 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Kemampuan guru dan siswa dalam menulis fiksi masih mengalami banyak kendala. Kendala tersebut dapat berasal dati guru yang memiliki keterbatasan dalam mengembangkan metode pembelajaran yang umumnya masih monoton. Namun dari diskusi yang dilakukan, pemahaman terhadap beragam metode dapat menginspirasi guru untuk merancang pembelajaran yang lebih inovatif. Sementara itu, kemampuan siswa masih terkendala dengan lemahnya motivasi menulis dan minat baca siswa yang berdampak pada kualitas karya siswa yang kurang optimal. 2. Resepsi kesadaran berbahasa secara kritis guru dan siswa dalam menulis fiksi tercermin baik dalam proses maupun hasil. Dari kajian proses dan hasil pihak guru, dasar kritis pengembangan metode, pemanfaatan media, dan pemilihan sistem penilaian masih kurang optimal. Pada proses dan karya siswa, secara umum karya siswa sudah baik, namun jika ditinjau dari aspek kesadaran berbahasa secara kritis, sebagian besar karya siswa belum menampakkan kesadaran pentingnya kekuatan bahasa dan posisi diri siswa sebagai penulis. 3. Materi dan modul penulisan karya fiksi dengan kesadaran berbahasa secara kritis harus dirancang dengan sederhana, praktis, komunikatif, dan inspiratif sehingga dapat dengan mudah diaplikasikan oleh guru dan siswa. 68 Saran untuk dapat diberikan dari hasil kajian penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Perlu diadakan forum-forum diskusi sejenis sebagai tindak lanjut dari diskusi pembelajaran sastra. 2. Guru diharapkan senantiasa aktif dalam berbagai kegiatan training yang berguna untuk pengembangan keilmuan. 3. Pelu dirancang sebuah program yang mampu membangkitkan minat baca siswa sehingga mereka tidak terbelenggu inspirasi proses kreatif menulis hanya karena kekurangan bahan literatur. 69 DAFTAR PUSTAKA Ardianto. 2007. Pembelajaran Sastra sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Manusia,Iqra,volume 3 Januari-Juni.Manado Borg, Walter R. & Meredith D. Gall. 1983. Educational Research: An Introduction. New York: Longman. Dewantara, Ki Hajar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika. Fairclaugh, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. USA: Longman. . 1999. “Global Capitalism and Critical Awareness of Language” dalam jurnal Language Awareness volume 8. www.scribd.co/doc/274032/critical-awareness-of-language. Greene dan Perkins, 2003. Making Race Visible: Literary Research for Cultural Understanding. New York: Teacher College, Columbia University. Halpern, Diana F. Thought & Knowledge: An Introduction to Critical Thinking. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc. Jessner, Ulrike. 2006. Linguistic Awareness in Multilinguals. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd. Kleifgen, Jo Anne and George C. Bond. 2009. The Language of Africa and The Diaspora:Educating for language Awareness. Great Britain: MPG Books Ltd. Marahimin, Ismail. 2001. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya Menacker, Terri. 1998. Active Critical Language Awareness: An Innovative Approach to Language Pedagogy. Department of Hawai, University of Hawai. Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Tamadun. Sanchez, Deborah. 2008. “Critical Language Awareness and Learners in College Transition English”. Urbana: National Council of English Teacher. www.proquest.umi.pqd/web. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta : Gama Media 70 Sayuti, Suminto A. dkk. 2007. “Pengembangan Model Pembinaan Menulis Karya Sastra Anak dan Remaja”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Pertama. Suryaman, Maman. 2003. “Kemampuan Baca Siswa SLTP di Kabupaten dan Kota Bandung” Riset dijurnalkan dalam Litera Volume II, Nomor 1, Januari 2003. Suyata dalam Ma’arif, Ahmad Syafi’I, dkk. 2006. Kearifan Sang Profesor: Bersuku-suku untuk Kenal-mengenal. Yogyakarta: UNY Press. Svalberg, Agneta, M-L. 2007. “Language Awareness and Language Learning” dalam Language Teaching volume 40. www.proquest.umi.pqd/web. Yood, Jessica. 2005. “Present-Process: The Composition of Change”. Journal of Basic Writing Fall Volume 24. www.proquest.umi.pqd/web 71 72